Pengertian Inflasi
Inflasi adalah gejala kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan terusmenerus.
Dari definisi ini, ada tiga komponen yang hams dipenuhi agar dapat dikatakan telah terjadi inflasi:
1. Kenaikan Harga
Harga suatu komoditas dikatakan naik jika menjadi lebih tinggi daripada harga
periode sebelumya. Misalnya, harga sabun mandi 80 gram per buah kemarin adalah Rp
1.000,00. Hari ini menjadi Rp 1.100,00. Berarti harga sabun per buah hari ini Rp 100,00 lebih
mahal dibanding harga kemarin. Dapat dikatakan telah terjadi kenaikan harga sabun.
Perbandingan tingkat harga bisa dilakukukan dengan jarak waktu yang lebih
pannjang: seminggu, sebulan, triwulan dan setahun.
2. Bersifat Umum
Kenaikan harga suatu komoditas belum dapat dikatakan berdampak inflasi jika kenaikan
tersebut tidak menyebabkan harga-harga secara umum naik.
Harga buah mangga harum manis di Jakarta, jika belum musimnya dapat mencapai Kp
10.000,00 per kilogram. Tetapi jika sudah musimnya, sekitar akhir tahun, dapat dibeli dengan harga
Rp 4000,00 - Rp 5.000,00 per kilogram. Jadi harga mangga pada perioderenode tertentu akan
mengalami kenaikan dua sampai tiga kali lipat. Tetapi kenaikan harga mangga yang sangat tajam
tersebut tidak menimbulkan inflasi, karena harga-harga komoditas lain tidak naik. Mangga harum
manis bukanlah komoditas pokok, sehingga tidak memiliki dampak besar terhadap stabilitas harga..
Ceritanya akan menjadi lain jika yang naik adalah harga bahan bakar minyak (BBM).
Pengalaman Indonesia, menunjukkan setiap pemerintah menaikkan harga BBM, hargaharga
komoditas lain turut naik. Karena BBM merupakan komoditas strategis, maka kenaikan harga BBM
akan merambat kepada kenaikan harga komoditas yang lain. Jika harga mangga harum manis naik,
harga BBM belum tentu naik. Tetapi jika harga BBM naik, harga mangga harum manis di Jakarta pasti
naik. Mengapa? biaya transportasinya naik? BBM adalah komponen input paling penting untuk
dapat membuat roda-roda mobil angkutan umum (bus, truk) dan mobil pribadi untuk dapat
berputar. Karenanya, kenaikan harga BBM menyebabkan biaya operasional transportasi akan naik.
Kenaikan harga BBM juga membuat harga jual produk-produk industri, khususnya kebutuhan
pokok, merambat naik. Sebab biaya operasional untuk menjalankan mesin-mesin pabrik menjadi
lebih mahal. Bahkan, kenaikan harga BBM akan mengundang kaum buruh menuntut kenaikan upah
harian, untuk memelihara daya beli mereka.
Kenaikan harga yang bersifat umum juga belum akan menimbulkan inflasi, jika terjadinya
hanya sesaat. Karena itu perhitungan inflasi dilakukan dalam rentang waktu minimal bulanan.
Sebab dalam sebulan akan terlihat apakah kenaikan harga bersifat umum dan terus-menerus.
Rentang waktu yang lebih panjang adalah triwulanan dan tahunan. Jika pemerintah
melaporkan bahwa inflasi tahun ini adalah 10%, berarti akumulasi inflasi adalah 10% per tahun.
Inflasi triwulan rata-rata 2,5% (10%:4), sedangkan inflasi bulanan sekitar 0,83% ( 10%: 12).
Analogi ini dapat dipakai dalam analisis inflasi. Karena merupakan permintaan dan penawaran
agregat, maka dapat dianggap merupakan permintaan dan penawaran perekonomian. Sehingga
produksi barang dan jasa yang dihasilkan pada kondisi keseimbangan merupakan output
keseimbangan atau PDB, umumnya dinotasikan Y. Karena inflasi adalah gejala di tingkat makro,
maka permintaan dan penawaran yang dianalisis adalah bersifat agregat (menyeluruh).
1) Permintaan Agregat
Permintaan agregat (Aggregate demand AD) adalah total permintaan barang dan jasa dalam
suatu perekonomian selama satu peri ode tertentu. Bentuk kurva AD adalah sama seperti bentuk
kurva permintaan terhadap satu komoditas tertentu. Bedanya adalah tingkat harga merupakan
tingkat harga umum yang biasanya dalam angka indeks. Angka indeks diperoleh melalui
penghitungan dengan menggunakan metode pembobotan (weigthed) tertentu.
Jika yang berubah hanya tingkat harga umum, permintaan bergerak di sepanjang kurva
(Movement along curve). Tetapi jika yang berubah adalah faktor-faktor yang dianggap tetap (ceteris
paribus), kurva permintaan agregat (AD) bergeser (shifting). Faktor-faktor ceteris paribus dalam
analisis mikro seperti membaiknya pendapatan per kapita dan bertambahnya jumlah penduduk,
tetap relevan sebagai faktor yang mempengaruhi pergeseran kurva AD. Namun, dalam analisis
makro harus ditambah dua faktor ceteris paribus yang sangat berpengaruh terhadap permintaan
agregat. Kedua faktor tersebut adalah kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah: kebijakan
moneter dan kebijakan fiskal.
2) Penawaran Agregat
Penjelasan tentang permintaan agregat mempermudah kita memahami penawaran agregat
(aggregate supply/AS), yang secara visual ditunjukkan dengan kurva AS.
Kebijakan pemerintah juga sangat berpengaruh terhadap penawaran agregat. Kebijakan moneter
ekspansif, misalnya dengan memberikan bantuan kredit, dapat meningkatkan penawaran agregat,
sehingga kurva AS bergeser ke kanan. Demikian halnya dengan kebijakan fiskal, seperti yang telah
dijelaskan di atas. Kebijakan fiskal ekspansif akan meningkatkan penawaran agregat, sehingga kurva
AS bergeser ke kanan.
Dalam Gambar terlihat, misalnya, ketika P1 > PO. Perhatikan dengan seksama bahwa pada
tingkat P1 ada tiga kemungkinan titik keseimbangan, yaitu A, B dan C. Di titik A inflasi disertai
penurunan output (kontraksi ekonomi). Hal ini sering disebut sebagai resesi. Di titik B inflasi disertai
kemandekan output (pertumbuhan ekonomi 0%). Kondisi ini disebut stagflasi, kombinasi dari
keadaan kemandekan output (stagnasi) dan inflasi. Di titik C inflasi disertai pertumbuhan ekonomi,
umumnya terjadi pada saat ekonomi sedang membaik (ekspansi). Tiga gejala di atas menunjukkan
gejala inflasi berdasarkan faktor penyebabnya, yaitu inflasi tekanan permintaan (demandpull
inflation), inflasi dorongan biaya (cost-fush inflation) dan kombinasi keduanya.
6) Stagflasi
Stagflasi menerangkan kombinasi dari dua keadaan buruk, yaitu stagnasi dan inflasi. Stagnasi
adalah kondisi di mana tingkat pertumbuhan ekonomi sekitar nol persen per tahun. Jumlah output
relatif tidak bertambah. Sayangnya, kondisi ini disertai inflasi. Secara garis terlihat stagflasi akan
terjadi jika permintaan agregat (AD) bertambah, sedangkan penawaran agregat (AS) berkurang.
Sumber: Diolah dari Statistik Ekonomi dan Keunggulan Keuangan Indonesia (Bank Indonesia)
Tabel 15.1 menyatakan bahwa titik awal penghitungan angka IHK adalah April 1988 Maret
1989, dengan angka 100. Jika angka IHK makin besar, maka telah terjadi Inflasi. Misalnya, angka IHK
akhir periode 1994 adalah 163,17 menunjukkan selama
1989-1994 telah terjadi inflasi. Angka perubahan IHK (kolom 3) adalah angka inflasi per tahun.
Misalnya, IHK 1995 adalah 177,83, angka perubahan IHK-nya 8.98%. Berarti selama periode 1994-
1995 telah terjadi inflasi sebesar 8.98%. Angka 8,9% diperoleh dengan menggunakan rumus
perhitungan di bawah ini.
= 177,83IHK-163,1701994 x 100%
163,17
= 8,98%
Dilihat dari cakupan komoditas yang dihitung, IHK kurang mencerminkan tingkat inflasi yang
sebenarnya. Tetapi IHK sangat berguna karena menggambarkan besarnya kenaikan biaya hidup bagi
konsumen, sebab IHK memasukakan komoditas-komoditas yang relevan (pokok) yang biasanya
dikonsumsi masyarakat.
Tabel 15.2
Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) 1995-1998 (1983=100)
Akhir Periode IHPB
Perubahan IHPB(%)
1995 240 11,62
1996 259 7,92
1997 282 8,88
1998 568 101,42
Prinsip menghitung inflasi berdasarkan data IHPB adalah sama dengan cara berdasarkan IHK:
IHPB-IHPB x 100%
-1
Inflasi =
IHPB-1
Anda dapat mencobanya, lalu cocokan hasilnya dengan kolom 3, Tabel 15.2
Angka deflator ini telah diperkenalkan dalam pembahasan Produk Domestik Bruto
berdasarkan harga berlaku dan konstan. Sama halnya dengan dua indikator sebelumnya,
penghitungan inflasi berdasarkan IHI dilakukan dengan menghitung rerubahan angka indeks.
IHH-IHH x 100%
-1
Inflasi =
IHH-1
Tabel 15.3
Indeks Harga Inflasi (IHI) 1990-1996
(1990=100)
Harus diakui, sampai tingkat tertentu, inflasi dibutuhkan untuk memicu pertumbuhan
penawaran agregat. Sebab kenaikan harga akan memacu produsen untuk meningkatkan outputnya.
Kendatipun belum dapat dibuktikan secara matematis, umumnya ekonom sepakat bahwa inflasi
yang aman adalah sekitar 5% per tahun. Jika terpaksa maksimal 10% per tahun. Bagaimana jika
inflasi melebihi angka 10%? Umumnya sudah mulai sangat mengganggu stabilitas ekonomi. Apalagi
bila yang terjadi adalah hiperinflasi (hyper-inflation), yaitu inflasi yang > 100% per tahun. Ada
beberapa masalah sosial (biaya sosial) yang muncul dari inflasi yang tinggi (> 10% per tahun). yang
akan dibahas dalam bagian ini adalah:
300.000,00 per bulan. Tahun lalu harga beras Rp 1.500,00 per kilogram. Karena itu gaji Pak Suhardi
tahun lalu setara dengan 200 kilogram per bulan. Jika terjadi inflasi 20% per tahun, maka tahun ini
gaji sebulan Pak Suhardi setara dengan 166 kilogram beras. Kesejahteraan Pak Suhardi menurun.
Jika terjadi inflasi tetap 20% per tahun, maka dalam tempo 3.5 tahun. kesejahteraan Pak Suhardi
tinggal separonya. Makin tinggi tingkat inflasi, makin cepat penurunan tingkat kesejahteraan.
1. Demand inflation, yaitu inflasi yang terjadi karena permintaan akan barang/ jasa lebih tinggi
dari yang bisa dipenuhi oleh produsen.
2. Cost inflation, yaitu inflasi yang terjadi karena terjadi kenaikan biaya produksi sehingga
harga penawaran barang naik.
Gambar 10.1
Gambar berikut ini menggarisbawahi perbedaan kedua macam inflasi ini. Gambar 10.1
menunjukkan suatu demand inflation. Karena permintaan masyarakat akan barangbarang
(aggregate demand) bertambah (misalnya, karena bertambahnya pengeluaran pemerintah yang
dibiayai dengan pencetakan uang, atau karena kenaikan permintaan luar negeri akan barang-
barang ekspor, dan karena bertambahnya pengeluaran investasi swasta akibat kredit murah),
maka kurva aggregate demand bergeser dari D1 ke D2. Akibatnya tingkat harga umum naik dari
H1 ke H2.
Pada gambar 10.1 kita lihat bahwa bila biaya produksi naik (misalnya, karena kenaikan harga
sarana produksi yang didatangkan dari luar negeri, atau kenaikan harga bahan bakar minyak),
maka kurva penawaran masyarakat (aggregate supply) bergeser dari S1 ke S2. Akibat dari kedua
macam inflasi tersebut, dari segi kenaikan harga output, tidak berbeda, tetapi dari segi volume
output (GDP riil) ada perbedaan. Dalam kasus demand inflation, biasanya ada kecenderungan
untuk output (GDP riil) menaik bersama-sama dengan kenaikan harga umum. Besar kecilnya
kenaikan output ini tergantung kepada elastisitas kurva aggregate supply ; semakin mendekati
output maksimum semakin tidak elastis kurva ini. Sebaliknya, dalam kasus cost inflation,
kenaikan harga-harga barang pada umumnya dibarengi dengan penurunan omzet penjualan
barang, akibat dari “kelesuan usaha”.
Perbedaan yang lain dari kedua proses inflasi ini terletak pada urutan dari kenaikan harga.
Dalam demand inflation kenaikan harga barang akhir (output) mendahului kenaikan harga
barang-barang input dan harga-harga faktor produksi (upah dan sebagainya). Sebaliknya, dalam
cost inflation kita melihat kenaikan harga barangbarang input dan harga-harga faktor produksi
mendahului kenaikan harga barangbarang akhir (output).
Kedua macam inflasi ini jarang sekali dijumpai dalam praktek atau dalam bentuknya yang murni.
Pada umumnya, inflasi yang terjadi adalah kombinasi dari kedua macam inflasi tersebut, dan
seringkali keduanya saling memperkuat satu sama lain.
Inflasi yang berasal dari dalam negeri timbul karena terjadi defisit anggaran belanja yang dibiayai
oleh pemerintah dengan pencetakan uang baru, karena panenan gagal dan akibat-akibat lain
sebagainya.
Inflasi yang berasal dari luar negeri adalah inflasi yang timbul karena kenaikan harga-harga (yaitu,
inflasi) di luar negeri atau di negara-negara langganan berdagang kita. Kenaikan harga barang-barang
yang kita impor mengakibatkan:
(1) secara langsung kenaikan indeks biaya hidup karena sebagian dari barang-barang yang
tercakup di dalamnya berasal dari impor,
(2) secara tidak langsung menaikkan indeks harga melalui kenaikan biaya produksi (dan
kemudian, harga jual) dari berbagai barang yang menggunakan bahan mentah atau mesin-
mesin impor (cost inflation),
(3) secara tidak langsung menimbulkan kenaikan harga di dalam negeri karena kemungkinan
(tetapi ini tidak demikian) kenaikan harga barang-barang impor mengakibatkan kenaikan
pengeluaran pemerintah/swasta yang berusaha megimbangi kenaikan harga impor tersebut
(demand inflation).