Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“Kepemimpinan Perempuan”
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Ujian Tengah Semester

Mata Kuliah : Tafsir Ayat Perlindungan Perempuan dan Anak

Dosen Pengampu : Dr. Didi Junaedi. MA

Disusun oleh:

Umairoh Nurfadilah (1808304050)


Salma Rohadatul Aisy (1808304079)
Syamsul Ma’arif Bagaskara (1808304080)

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH


PROGAM STUDY JURUSAN ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
SEMESTER VI
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
2021 M / 1442 H
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬


َ‫ش َه ُد اَنْ ال‬ ْ ‫ َأ‬.‫اجا َوقَ َم ًرا ُمنِ ْي ًرا‬ ً ‫س َر‬ ِ ‫س َما ِء بُ ُر ْو ًجا َو َج َع َل فِ ْي َها‬
َّ ‫ي َج َع َل فِي ال‬ ْ ‫ تَبَا َر َك الَّ ِذ‬،‫ص ْي ًرا‬
ِ َ‫ي َكانَ بِ ِعبَا ِد ِه َخبِ ْي ًرا ب‬ْ ‫اَ ْل َح ْم ُد هَّلِل ِ الَّ ِذ‬
‫ اَللَّ ُه َّم‬.‫اجا ُمنِ ْي ًرا‬
ً ‫س َر‬ ِ ‫ق بِِإ ْذنِ ِه َو‬
ِّ ‫َاعيَا ِإلَى ا ْل َح‬ِ ‫ َود‬،‫ش ْي ًرا َونَ ِذ ْي ًرا‬ ِّ ‫ي بَ َعثَهُ بِا ْل َح‬
ِ ‫ق َب‬ ْ ‫سولُهُ الَّ ِذ‬ ْ ‫ِإلَهَ ِإالَّ هللاُ وَأ‬
ُ ‫ش َه ُد اَنَّ ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ ُو َر‬
‫ َأ َّما َب ْع ُد‬.‫سلِ ْي ًما َكثِ ْي ًرا‬
ْ َ‫سلِّ ْم ت‬ َ ‫ص ِّل َعلَ ْي ِه َو َعلَى آلِ ِه َو‬
َ ‫ص ْحبِ ِه َو‬ َ

Puji syukur dengan hati dan fikiran yang tulus kehadirat Allah Swt. Karena berkat
nikmat, maunah, dan hidayahnya. Kami dapat menyusun dan menyelesaikan tugas makalah
ini dengan baik tanpa ada halangan apapun.

Sholawat dan salam kami haturkan kepada Nabi Muhammad Saw. Serta tak lupa para
keluarga dan sahabatnya yang senantiasa mengorbankan jiwa, raga, harta, dan yang lainnya
untuk tegaknya syi’ar agama islam yang pengaruh dan manfa’atnya hingga kini masih terasa.

Makalah ini kami susun dalam rangka untuk bisa menambah pengetahuan, memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Tafsir Ayat Perlindungan Perempuan dan Anak, sekaligus
dengan tujuan untuk mencari ridha Allah Swt. dan syafa’at Rasulullah Muhammad Saw.
dengan tema “Kepemimpinan Perempuan”. Kami menyadari bahwa makalah ini mungkin
pasti kurang sempurna, dan sekaligus memiliki banyak kekurangan baik dari isinya,
bahasanya, analisisnya, maupun dari segi yang lainnya. Kami ucapkan terima kasih dan kami
mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Sekian, dengan segala hormat. Terima Kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Halaman| 2
DAFTAR ISI
Cover……………………………………………………………………………………...…..1
Kata Pengantar………………………………………………………………………………2
Daftar Isi……………………………………………………………………………………...3
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................................4
A. Latar Belakang................................................................................................................5
B. Rumusan Masalah..........................................................................................................5
C. Tujuan...............................................................................................................................5
BAB II.......................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.......................................................................................................................6
A. Perempuan Sebagai Pemimpin dalam Sejarah.............................................................6
B. Studi Ayat al-Nisa: 34......................................................................................................6
C. Pendapat para Mufassir..................................................................................................7
D. Studi kisah Ratu Bilqis dari Saba'.................................................................................9
E. Ayat-Ayat Lain yang Berkaitan dengan Kepemimpinan Perempuan......................10
F. Argumen Kepemimpinan Perempuan.........................................................................13
BAB III....................................................................................................................................17
PENUTUP...............................................................................................................................17
A. Kesimpulan.....................................................................................................................17
B. Saran...............................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................18

BAB I
Halaman| 3
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam sejarah kaum feminis, tuntutan pertama mereka mengenai peran mereka
dalam kegiatan politik adalah hak suara perempuan. Athena, tempat kelahiran demokrasi
pun hanya memberikan hak suara kepada lelaki. Dan pada pertengahan abad ke-18 (awal
masa pergerakan feminisme), barulah perempuan mendapatkan hak suaranya. Setelah
mendapatkan haknya untuk memilih, harapan kaum feminis berikutnya ialah partisipasi
perempuan dalam politik praktis. Tentu saja pada awalnya hal ini mendapat benturan dari
kaum konservatif dan tradisionalis. Mereka menganggap bahwa perempuan yang ‘keluar
dari rumahnya’ adalah tidak lazim, tidak Islami, dan tidak berbudaya. Perempuan bagi
mereka hanyalah pengayom keluarga dan pendidik anak.
Namun, pada perkembangannya, mulai banyak ulama dan intelektual yang
menyebutkan argumen-argumen mengenai bolehnya perempuan untuk berpartisipasi
dalam kegiatan publik. Bahkan ulama seperti Imam Khomeini menyuruh perempuan
untuk ikut serta dalam kegiatan sosial-politik untuk membangun masyarakat 1 (meski tidak
lupa menyebutkan pula bahwa para wanita tersebut perlu berbicara terlebih dahulu
kepada suaminya). Bagi Imam Khomeini, perempuan memiliki perannya sendiri ketika
mereka berpartisipasi dalam kegiatan sosial-politik. Seperti membangun bangsa,
berpartisipasi dalam legislatif, atau keterlibatan dalam pengawasan sosial.
Tampaknya, suara-suara penolakan isu kepemimpinan perempuan lebih banyak
disuarakan dalam nada budaya. Nuansa patriarkis dalam banyak kebudayaan seringkali
lebih menjadi alasan tepat mengapa mereka menolak kepemimpinan perempuan. Bagi
penulis, penolakan mereka kepada seorang pemimpin perempuan bukanlah bersumber
pada latar belakang keagamaan, melainkan kebudayaan. Setelah itu, barulah mereka
mencari pembenaran dalam kajian keagamaan. Pada era kontemporer sekarang ini, ketika
banyak perempuan yang menjadi kepala daerah atau bahkan kepala negara, penolakan
kebanyakan terjadi pada masyarakat tradisional. Bahkan, ketika seorang perempuan
tersandung suatu masalah pada masa kepemimpinannya, banyak yang dengan mudah
mengatakan bahwa sebabnya ialah gender. Ini artinya, budaya adalah faktor lain sebab
banyak penolakan terhadap kepemimpinan perempuan.
Mungkin, kita dapat mengemukakan tanggung jawab perempuan dalam prinsip
syura sesuai dengan persoalan-persoalan syura yang bermacam-macam.

Wanita diperbolehkan berpartisipasi dalam masalah-masalah legislasi yang memiliki
nuansa kefiqihan karena telah disepakati bersama bahwa wanita mempunyai hak
berijtihad, memberikan fatwa, dan sebagainya.

Wanita boleh berpartisipasi dalam syura yang berkaitan dengan persoalan-persoalan
ilmu pengetahuan yang sangat spesifik kalau dianggap bahwa pengalaman dan
kompetensi itu dimiliki oleh wanita tersebut.

1
Asyraf Borujerdi, “Sekilas tentang Peran Sosial-Politik Perempuan dalam Pemerintahan Islam”, Membela
Perempuan: Menakar Feminisme dengan Nalar Agama, ed. Ali Hosein Hakeem, terj. A.H. Jemala Gembala
(Jakarta: Penerbit Al-Huda, 2005), 130

Halaman| 4

Wanita boleh berpartisipasi yang berkaitan dengan masalah-masalah umum sebagai
individu anggota umat.2

B. Rumusan Masalah
1. Perempuan Sebagai Pemimpin dalam Sejarah
2. Studi Ayat al-Nisa: 34
3. Pendapat para Mufassir
4. Studi kisah Ratu Bilqis dari Saba'
5. Ayat-Ayat Lain yang Berkaitan dengan Kepemimpinan Perempuan
6. Argumen Kepemimpinan Perempuan

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Perempuan Sebagai Pemimpin dalam Sejarah
2. Untuk Mengetahui Studi Ayat al-Nisa: 34
3. Untuk Mengetahui Pendapat para Mufassir
4. Untuk Mengetahui Studi kisah Ratu Bilqis dari Saba'
5. Untuk Mengetahui Ayat-Ayat Lain yang Berkaitan dengan Kepemimpinan
Perempuan.
6. Untuk Mengetahui Argumen Kepemimpinan Perempuan

2
Hibbah Rauf ‘Izzat, Wanita dan Politik, Pandangan Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997, h. 119

Halaman| 5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perempuan sebagai Pemimpin dalam Sejarah


Sejarah Islam dan Indonesia mencatat banyak perempuan yang ikut berpartisipasi
dalam kegiatan publik, bahkan menjadi pemimpin. Seperti, ‘A`isyah, istri Nabi saw.,
Benazir Bhutto atau di Indonesia, keempat Sultanah Aceh Darussalam, Keumalahayati,
Airin Rachmi Diany, walikota Tangerang Selatan sekarang dan Tri Rismaharini, walikota
Surabaya.
Sedangkan beberapa ulama masih menyangsikan partisipasi politik perempuan,
‘A`isyah menjadi figur dan argumen bahwa perempuan boleh berpartisipasi dalam
kegiatan politik. Kehadirannya sebagai pemimpin perang bersama Zubayr dan Thalhah
seringkali dijadikan argumen ulama moderat bahwa partisipasi bahkan kepemimpinan
perempuan dalam Islam adalah dibolehkan.
Ketika Sultan Iskandar Tsani meninggal, terjadi kebingungan dalam istana
Kesultanan Aceh lantaran tak ada tokoh pria yang dianggap mumpuni untuk memimpin
kesultanan. Menanggapi hal tersebut, Nuruddin al-Raniri, seorang ulama asal Gujarat
memberikan sebuah solusi yang cukup asing. Menunjuk istri mendiang sultan untuk
menjadi pemimpin baru mereka. Tentu saja hal ini mendapat tentangan dari ulama dalam
dengan argumen-argumen yang akan kita sebutkan.3

B. Studi Ayat An-Nisa:34

َّ ‫ض َوبِ َما َأ ْنفَقُوا ِمنْ َأ ْم َوالِ ِه ْم فَال‬


ٌ‫صالِ َحاتُ قَانِتَات‬ ٍ ‫ض ُه ْم َعلَى بَ ْع‬ َّ َ‫سا ِء بِ َما ف‬
َ ‫ض َل هَّللا ُ بَ ْع‬ َ ِّ‫الر َجا ُل قَ َّوا ُمونَ َعلَى الن‬ ِّ
َّ‫اض ِربُوهُن‬
ْ ‫ضا ِج ِع َو‬ َ ‫شوزَ هُنَّ فَ ِعظُوهُنَّ َواه ُْج ُروهُنَّ فِي ا ْل َم‬ ُ ُ‫ب بِ َما َحفِظَ هَّللا ُ َوالاَّل تِي ت ََخافُونَ ن‬ ِ ‫َحافِظَاتٌ لِ ْل َغ ْي‬
‫سبِياًل ِإنَّ هَّللا َ َكانَ َعلِيًّا َكبِي ًرا‬ َ َّ‫فَِإنْ َأطَ ْعنَ ُك ْ˜م فَاَل تَ ْب ُغوا َعلَ ْي ِهن‬
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri 4
ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) 5. Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya,6 maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka
di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.7 Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar.

3
M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia c. 1300, Stanford: Stanford University Press, 1994, hal. 35-36
4
Maksudnya: Tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
5
Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.
6
Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah
tanpa izin suaminya.
7
Maksudnya: untuk memberi pelajaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-
mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak
bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Bila
cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.

Halaman| 6
C. Pendapat para Mufassir
Menurut Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya, Tafsir al-Mishbah menyebutkan
bahwa: Kaum laki-laki yakni jenis kelamin laki-laki atau suami itu adalah qawwamun
pemimpin dan penanggung jawab atas kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka
yakni (laki-laki secara umum atau suami telah menafkahkan sebagian dari harta mereka
untuk membayar mahar dan biaya hidup untuk isteri dan anak-anaknya.8
Kata َ‫ قَ َّوا ُمون‬adalah bentuk jamak dari kata qawwam, yang terambil dari kata qama.
Kata ini berkaitan dengannya. Ayat di atas menggunakan bentuk jamak yakni qawwamūn
sejalan dengan makna kata al-rijal yang berarti banyak lelaki. Di dalam kata ini tercakup
pengertian kepemimpinan. Namun, makna yang dikehendaki dari kata ini jauh lebih luas,
yakni pemeliharaan, pembinaan dan pemenuhan hak-kewajiban. Allah swt. menetapkan
lelaki sebagai pemimpin dengan dua pertimbangan pokok, yaitu:
Pertama, ‫ض‬ ٍ ‫ض˜˜˜ ُه ْم َعلَى بَ ْع‬ َّ َ‫ بِ َم˜˜˜ا ف‬bima fadhdhala-llahu ba’dhahum ‘ala
َ ‫ض˜˜˜ َل هَّللا ُ بَ ْع‬
ba’dh/karena Allah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, yakni
masing-masing memiliki keistimewaan-keistimewaan. Tetapi keistimewaan yang dimiliki
lelaki lebih menunjang tugas kepemimpinan daripada keistimewaan yang dimiliki
perempuan.9
Bagi Ayatullah Jawadi Amuli, kelebihan ini bukanlah bukti kemuliaan atau
kelebihan yang patut dibanggakan. Melainkan tugas dan tanggung jawab yang harus
dilaksanakan. Maka lelaki diharapkan untuk tidak bersikap tidak adil terhadap apa-apa
yang dipimpinnya. 10
Kedua, ‫ َوبِ َما َأ ْنفَقُوا ِمنْ َأ ْم َوالِ ِه ْم‬wa bima anfaqū min amwalihim/karena mereka (laki-
laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Kalimat ini menunjukkan bahwa
memberi nafkah kepada wanita telah menjadi suatu kelaziman bagi lelaki, serta kenyataan
umum dalam masyarakat umat manusia sejak dahulu hingga kini.
Disini terdapat dua persoalan penting yang berada dibawah rentetan penggunaan
kata qawwam ini.

Kaum lelaki bertanggung jawab untuk menyediakan segala keperluan material
dan spiritual wanita dalam bentuk yang memuaskan sesuai dengan kesenangan
dan perasaannya sehingga dia tenang dan tenteram.

Kaum lelaki memeberikan perlindungan dan penjagaan terhadap anggota
keluarganya dalam batas-batas kekuasaan terhadap keluarganya.11
Bagi Quraish Shihab, ayat ini tidaklah mengenai kepemimpinan lelaki dalam
segala hal (termasuk sosial dan politik) atas perempuan, melainkan kepemimpinan lelaki
atas perempuan dalam rumah tangga. Artinya, menggunakan ayat ini sebagai larangan

8
Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an. Ciputat: Lentera Hati, 2000. Hal.
402
9
Ibid. hal. 404.
10
Ayatullah Jawadi Amuli. Keindahan dan Keagungan Perempuan: Perspektif Studi Perempuan dalam Kajian Al-
Qur`an, Filsafat dan Irfan. Jakarta: Sadra Press. 2011. Hal. 362
11
Hibbah Rauf ‘Izzat, Wanita dan Politik, Pandangan Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997, h. 159

Halaman| 7
terhadap perempuan untuk memimpin dalam politik tidaklah tepat. 12 Melihat konteks dan
munasabah ayatnya yakni mengenai hubungan rumah tangga, tampaknya hal ini
mendukung pendapat Quraish Shihab. Kemudian, dalam bukunya Wawasan al-Qur`an
mengatakan bahwa ada ayat lain yang justru memberikan tanda-tanda kebolehan
kepemimpinan perempuan, yakni al-Tawbah:71. Melalui teks ayatnya, kata “sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.” berarti seorang
perempuan dapat menjadi awliya` bagi lelaki. Kemudian ia menyebutkan bahwa arti kata
awliya` adalah pemimpin, pelindung dan penolong. Meski dalam penerjemahan Depag
menggunakan kata penolong, menurut Quraish Shihab menganggap bahwa keluasan
makna kata awliya` tentu saja dapat berimplikasi pada arti kepemimpinan.13
َ ِّ‫ ال ِّر َج˜ ا ُل قَ َّوا ُم˜˜ونَ َعلَى الن‬tidaklah dikhususkan
Tapi bagi ‘Allamah Thabathaba`i, ‫س˜ا ِء‬
untuk suami (atau dalam konteks rumah tangga), melainkan memberi hak untuk kepada
para lelaki, secara keseluruhan, untuk memimpin para perempuan dalam segala hal yang
mempengaruhi kehidupan keduanya.14 Alasannya ialah, kepemimpinan adalah suatu
posisi dimana pemiliknya harus memiliki intelektual dan logika yang baik, sesuatu yang
lekat kepada para lelaki. Pendapat ‘Allamah Thabathaba`i merupakan perwakilan dari
pendapat ulama dan ahli fikih lainnya bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin,
dan ayat ini menjadi dalil mereka.15 Namun tampaknya, Thabathaba`i tidak
memperhatikan bahwa Nabi menafsirkan ayat ini terbatas pada rumah tangga. Ia sendiri
hanya menyebutkan dua hadis yang berkenaan dengan ayat ini. Keduanya juga hanya
berkaitan dengan rumah tangga. Hadis pertama membicarakan bahwa ada seorang Arab
menanyai Imam Muhammad al-Baqir menceritakan bahwa tentang orang yang berkata
kepada istrinya, “Urusanku ada padamu”. Kemudian Imam al-Baqir menjawab,
“Bagaimana bisa, ketika Allah mengatakan: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi
kaum wanita.” Hadis kedua mengatakan bahwa ada seorang sahabat Anshar datang
menemui Nabi saw. untuk mengadukan bahwa ia telah memukul istrinya, lalu Nabi saw.
mengatakan untuk meng-qishash. Kemudian Allah menurunkan ayat tersebut, dan
keputusan Nabi saw. tersebut digugurkan. Hadis kedua ini disebutkan juga dalam
riwayat-riwayat lain dalam kitab Sunni.16
Nampaknya, kondisi kehidupan dan kebutuhan kehidupan pada masa ‘Allamah
Thabathaba`i dan Quraish Shihab yang berbeda menyebabkan pendapat keduanya yang
berbeda. Pada masa dan tempat hidup ‘Allamah Thabathaba`i, isu feminisme bukan
suatu hal yang sering dibicarakan. Komunisme, kapitalisme, dan liberalisme adalah
‘musuh’ Islam saat itu, sehingga kebanyakan tulisan-tulisan ulama Islam hanya
membicarakan argumentasi melawan ideologi tersebut. Murtadha Muttahari, murid
‘Allamah Thabathaba`i pun tidak banyak membicarakan isu feminisme (dalam
pengertian ideologis). Beberapa tulisannya mengenai perempuan, tidak banyak
membicarakan partisipasi perempuan dalam kegiatan publik. Hanya Imam Khomeini
yang banyak membicarakan partisipasi politik perempuan melalui khutbah-khutbahnya
12
Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur`an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Penerbit
Mizan. 1996. Hal. 314.
13
Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, hal 315.
14
‘Allamah MH. Thabathaba`i. Al-Mizān: An Exegesis of the Qur`an, vol. 8. Tehran: WOFIS. 1992. Hal 210.
15
Asyraf Borujerdi. Op. cit hal 130.
16
‘Allamah MH. Thabathaba`I, op.cit, hal 217.

Halaman| 8
yang dibukukan menjadi Sahifah al-Nūr. Selain itu, budaya Iran yang masih kental
dengan suasana patriarkisnya mungkin menyebabkan ‘Allamah Thabathaba`i
berpendapat seperti itu dalam kitab tafsirnya, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur`an (sama dengan
keadaan ulama tradisional lainnya).
Berbeda dengan keadaan Quraish Shihab ketika menulis tafsirnya, Tafsir al-
Mishbah. Isu feminisme dan kesetaraan gender justru sedang gencar-gencarnya
dibicarakan dan didiskusikan. Maka ia pun berusaha untuk menggali pendapat ulama
klasik mengenai ayat ini. Ia melihat bahwa kebanyakan ulama tradisionalis
menggunakan ayat ini sebagai argumen ketidak bolehan seorang perempuan memimpin,
apalagi dalam kegiatan sosial-politik. Namun ia juga membaca bahwa ulama klasik
justru mengatakan bahwa ayat ini sedang dan hanya membicarakan berkaitan rumah
tangga. Sehingga nampak baginya ketidak kaitan ayat ini dengan tema yang
diargumenkan.
Selain itu, argumen lainnya penentang kepemimpinan perempuan ialah hadis dari
Abi Bakrah bahwa Rasulullah saw. bersabda: Tidak akan bahagia sesuatu kaum yang
mengangkat sebagai pemimpin mereka seorang perempuan. Akan tetapi Fatimah
Mernissi mengkritik hadis ini, lantaran adanya unsur politik dalam hadis tersebut. Abi
Bakrah menyebutkan hadis tersebut ketika dalam situasi Perang Jamal, dimana ‘A`isyah,
bersama Zubayr dan Thalhah menjadi pemimpin bagi pasukan Jamal (unta) 17. Abi
Bakrah sebagai pihak oposisi nampak menyebutkan hadis tersebut untuk mendapatkan
simpati orang-orang untuk menjelek-jelekkan ‘A`isyah. Ulama lain mencoba memahami
hadis ini dengan berpendapat, bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin, namun tidak
menjadi top leader seperti kepala negara Islam atau khalifah. Sedang hadis dari Abi
Bakrah ini melarang kepemimpinan perempuan, al-Qur`an justru menyebutkan
kepemimpinan perempuan melalui figur Ratu Bilqis dari Saba’.

D. Studi kisah Ratu Bilqis dari Saba'


Al-Qur’an sendiri adalah yang pertama kali menyebutkan kepemimpinan
perempuan melalui figur Ratu Bilqis dari Saba’. Mengenai penyebutan kisah Ratu Bilqis
dalam tafsir-tafsir masa klasik, kebanyakan mufassir klasik menyebutkan kisah-kisah
legenda Isra’iliyat yang sulit dipercaya. Adalagi yang lain, yang menyebutkan kisah
tersebut, namun tidak masuk dalam aspek gender atau kepemimpinan perempuan,
melainkan kemuliaan dan ketakwaan Sulaiman sebagai raja dan nabi yang saleh.
Namun nampaknya, figur ini gagal dipahami oleh penafsir. Barbara Stowasser
menyebutkan bahwa penafsiran figur Ratu Bilqis kebanyakan hanya sebagai legenda,
tokoh sejarah, cerita atau bahkan hanya sebatas bahan material, namun tidak sampai pada
menjadikannya sebagai bagian yang bisa diterapkan oleh masyarakat Islam atau kerangka
mengenai kepemimpinan perempuan. Barbara beralasan bahwa para ulama Islam
menganggap Ratu Saba’, Bilqis tidak pantas bagi Islam. 18 Pernyataan al-Qur`an mengenai
Ratu Bilqis ini nampaknya tidak dapat meyakinkan penafsir bahwa ada perempuan yang

17
Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, M.A. Fikih Perempuan Kontemporer. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010,
hal 51.
18
Barbara Freyer Stowasser, Reinterpretasi Gender: Wanita dalam al-Qur`an, Hadis, dan Tafsir (Terj. Mochtar
Zoerni), Bandung: Pustaka Hidayah, 2001, hal. 162

Halaman| 9
mampu memimpin dengan bijak dibanding dengan hadis Nabi saw. tentang putri
Khosrouw yang berkali-kali disebutkan oleh ulama Islam.
Penulis mengira pendapat Barbara ini perlu diperhatikan. Ia menganggap bahwa
penafsiran baru kisah Ratu Bilqis sebagai kepemimpinan perempuan adalah suatu
pandangan baru yang tentu saja sulit diterima oleh ulama konsevatif dan fundamentalis.
Pengangkatan tema Ratu Bilqis di dalam al-Qur`an mengandung makna implisit bahwa
perempuan boleh menjadi pemimpin sebagaimana halnya laki-laki. Oleh karena itu, al-
Thabari dan Ibn Hazm masih membolehkan perempuan menjadi perdana menteri atau
hakim, sedangkan jumhur ulama tidak membolehkan hadis dari Abi Bakrah.
Dr. Kamal Jaudah mengemukakan bahwa perempuan diperbolehkan menjadi
kepala negara atau kepala pemerintahan (perdana menteri) selama dalam suatu negara,
dimana sistem pemerintahan berdasarkan musyawarah, seorang kepala negara tidak lagi
harus bekerja keras sendirian, tetapi dibantu oleh tenaga-tenaga ahli, sesuai dengan
dengan bidang masing-masing (menteri dan staf ahlinya).19
Berdasarkan kisah Ratu Bilqis, penulis menyimpulkan bahwa ada dua sebab
kebolehan kepemimpinan perempuan, yakni:
 Kebijaksanaan dan kemampuan manajemen yang dimiliki jauh lebih mumpuni
dibanding kaum lelaki. Tidak sedikit perempuan yang menunjukkan
kepemimpinan lebih baik dibanding pria. Misalnya adalah walikota Surabaya saat
ini, Tri Rismaharini.
 Sistem pemerintahan negara tersebut adalah musyawarah. Sebagai contoh, adalah
Sultanah Aceh Darussalam, Safiatuddin Tajul Alam. Dalam cerita sejarah,
kepemimpinannya mengembalikan stabilitas Kesultanan Aceh setelah kematian
suaminya, Sultan Iskandar Tsani.

E. Ayat-Ayat Lain yang Berkaitan dengan Kepemimpinan Perempuan

Berikut ini ayat-ayat yang berkenaan dengan tema diatas:

Relevansi Kepemimpinan
No. Ayat al-Qur’an Terjemah
Perempuan dalam Al-Qur’an

2. QS. An-Nisa (4) : 34 Kaum laki-laki itu adalah Argumen kaum tradisionalis
pemimpin bagi kaum wanita, untuk menolak kepemimpinan
oleh karena Allah telah perempuan.
melebihkan sebahagian
mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka. Sebab itu
maka wanita yang saleh, ialah
yang taat kepada Allah lagi
19
Huzaemah, op.cit.

Halaman| 10
memelihara diri[289] ketika
suaminya tidak ada, oleh
karena Allah telah
memelihara (mereka)[290].
Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya[291],
maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika
mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar.

3. QS. Al-Nisa:135 Wahai orang yang beriman, Kata yang digaris-miringi


jadilah kamu orang yang dalam bahasa Arab adalah kata
benar-benar penegak Qawwamina, salah satu kata
keadilan, menjadi saksi yang sepadan dengan kata
karena Allah biarpun terhadap Qawwamuna.
dirimu sendiri atau ibu bapak
dan kaum kerabatmu. Jika ia
kaya ataupun miskin, maka
Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka
janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran.
Dan jika kamu
memutarbalikkan (kata-kata)
atau enggan menjadi saksi,
maka sesungguhnya Allah
adalah Maha mengetahui
segala apa yang kamu
kerjakan.

4. QS. Al-Ma`idah:8 Hai orang-orang yang Kata yang digaris-miringi


beriman, hendaklah kamu jadi dalam bahasa Arab adalah kata
orang-orang yang selalu Qawwamina, salah satu kata
menegakkan (kebenaran) yang sepadan dengan kata
karena Allah, menjadi saksi Qawwamuna.
yang adil. Dan janganlah

Halaman| 11
sekali-kali kebencianmu
terhadap suatu kaum,
mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah
Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan.

5. QS. At-Taubah : 71 Dan orang-orang yang Ayat ini digunakan oleh


beriman, lelaki dan Quraish Shihab sebagai
perempuan, sebahagian argumen kebolehan seorang
mereka (adalah) menjadi perempuan menjadi pemimpin.
penolong bagi sebahagian
yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma'ruf,
mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka
taat pada Allah dan Rasul-
Nya. Mereka itu akan diberi
rahmat oleh Allah;
sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.

6. QS. Saba’ : 15 Sesungguhnya bagi kaum Ayat yang menyebutkan


Saba' ada tanda (kekuasaan keadaan kerajaan Saba’ yang
Tuhan) di tempat kediaman dipimpin oleh Ratu Bilqis.
mereka yaitu dua buah kebun
di sebelah kanan dan di
sebelah kiri. (kepada mereka
dikatakan): "Makanlah
olehmu dari rezeki yang
(dianugerahkan) Tuhanmu
dan bersyukurlah kamu
kepada-Nya. (Negerimu)
adalah negeri yang baik dan
(Tuhanmu) adalah Tuhan
Yang Maha Pengampun".

7. QS. An-Naml : 23-24 Sesungguhnya aku Ayat yang menyebutkan

Halaman| 12
menjumpai seorang wanita keadaan kerajaan Saba’ yang
yang memerintah mereka, dan dipimpin oleh Ratu Bilqis.
dia dianugerahi segala sesuatu Disana tidak berisi petunjuk
serta mempunyai singgasana larangan kepemimpinan
yang besar. Aku mendapati perempuan. Dan nampaknya,
dia dan kaumnya menyembah al-Qur`an lebih memperhatikan
matahari, selain Allah; dan keadaan keagamaan kerajaan
syaitan telah menjadikan tersebut dibanding gender
mereka memandang indah pemimpin kerajaan tersebut.
perbuatan-perbuatan mereka
lalu menghalangi mereka dari
jalan (Allah), sehingga
mereka tidak dapat petunjuk.

F. Argumen Kepemimpinan Perempuan


Meluruskan Penafsiran di dalam al-Quran ayat yang menerangkan tentang posisi
kepemimpinan misalnya yang terdapat di dalam surat al-Nisa ayat 34. “Kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian
mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” Kalimat al-rijal qawwamun ‘ala al-nisa
yang terdapat pada ayat tersebut selalu dijadikan salah satu alasan dasar normatif
superioritas laki-laki dibandingkan perempuan. Kalimat ini sering diartikan dengan
“kewajiban laki-laki (suami) sebagai satu-satunya pemimpin”, karena menurut sebagian
mufassir kaum laki-laki mempunyai kelebihan (fisik maupun psikis) inilah yang
menunjang suksesnya kepemimpinan. Dalam tafsir al-Manar disebutkan (Rasyid Ridha,
1973, I:608) bahwa laki-laki lebih utama daripada perempuan, sehingga lebih pantas
untuk memimpin.
Al-Quran mengunggulkan kaum laki-laki atas perempuan adalah karena nafkah
yang diberikan, sesuai bunyi ayat “wa bima anfaquu amwalihim” (Qs. Al-Nisa:34) di
mana kata “bima” merupakan ba’ li al-sababiah (sebagai kausalitas), dan karena
kesadaran sosial perempuan saat itu sangat rendah, serta pekerjaan domestic dianggap
sebagai kewajiban kaum perempuan. Sementara, kaum laki-laki mengganggap dirinya
lebih unggul karena kekuasaan dan kemampuannya dalam mencari nafkah bagi kaum
perempuan (istri).
Ada pendapat sebagian Ulama atau Fuqaha` yang memahami secara tekstual ayat-
ayat Al-Qur`an dan Hadits Nabi saw. yang melarang adanya seorang perempuan menjadi
pemimpin publik. Kendati pun demikian, Al-Qur`an tidak pernah menganut suatu faham
yang memberikan keutamaan pada jenis kelamin (gender) tertentu, atau pun
mengistimewakan suku tertentu. Laki-laki dan perempuan, dan suku bangsa mana pun
mempunyai potensi yang sama untuk menjadi seorang pemimpin publik (khalifah) dan
hamba Allah (`abid). Hanya saja yang dapat membedakan di sisi Allah adalah ketaqwaan
manusia itu sendiri.

Halaman| 13
Maka perlu dikaji kembali ayat 34 Surat al-Nisa` “ar-rijaalu qawwamuuna `ala al-
nisa`”, yakni Kaum laki-laki menjadi tanggung jawab kaum perempuan (QS. al-Nisa`)
yang menjadikan pijakan utama pengharaman pemimpin perempuan. Secara historis,
menurut Imam Abul Hasan ibnu Ahmad Al-Wahidi (w. 468 H) sebab-sebab turunnya
ayat tersebut bermula dari cerita Sa`ad ibn Rabi`, seorang pembesar Anshar. Diceritakan
bahwa istrinya (Habibah) telah berbuat durhaka, dan menentang keinginan Sa`ad untuk
bersetubuh, lalu ia ditampar oleh Sa`ad. Peristiwa tersebut sampai pada pengaduan Nabi
sw. Nabi saw kemudian memutuskan untuk menghukum Sa`ad, akan tetapi begitu
Habibah beserta ayahnya mengayunkan beberapa langkah untuk melakukan hukuman,
Nabi saw. memanggil keduanya lagi, seraya meberikan informasi ayat yang baru turun
melalui Jibril (ayat al-Nisa` 34), sehingga hukuman tersebut dibatalkan. Dari sini dapat
difahami bahwa pemakaian ayat tersebut untuk mengharamkan kepemimpinan
perempuan di luar urusan “ranjang” jelas memiliki validitas argumentasi yang sangat
lemah. Ayat tersebut juga bukan kalimat intruksi.
Pihak yang tidak bisa menerima kepemimpinan perempuan, juga berpijak pada
interpretasi mereka dalam memahami hadits riwayat Imam Bukhori yang berbunyi "lan
yufliha qoumun wallau amrohum Imroatan (Tidak akan bahagia suatu kaum yang
menyerahkan urusannya kepada seorang perempuan)'' dengan ketidakbolehan perempuan
dalam memegang tampuk pimpinan. Dari sini mereka mempunyai landasan untuk tidak
memperbolehkan perempuan menjadi pemimpin. Sepintas, penafsiran ini cenderung
tekstualis saja dan tidak memperhatikan konteks dan asbab al-wurud dari hadits tersebut.
Jika ditelusuri asbab al-wurud-nya sendiri, menurut Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani
(W. 825 H) dalam karyanya Fath Al-bari, hadits ini bermula dari kisah Abdullah Ibnu
Hufadzah, seorang utusan Nabi Muhammad SAW yang disuruh ke Kisro Anusyirwan
(penguasa Persia beragama Majusi) untuk menyampaikan surat yang berisi ajakan masuk
Islam. Namun, respon yang diberikan malah menyobek-nyobek surat tersebut. Dari
laporan tersebut kemudian Nabi memiliki firasat bahwa negeri Persia akan terjadi
perpecahan (disintegrasi) sebagaimana dia menyobek-nyobek surat itu. Tidak lama
kemudian, prediksi Nabi ini menjadi fakta yang kemudian mengantarkan Putri Kisro yang
bernama Buran memimpin negeri tersebut. Mendengar kenyataan itu lalu Nabi
menanggapinya dengan kata-kata,"lan yufliha qoumun wallau amrohum Imroatan''.
Komentar Nabi yang demikian tak lepas dari lemahnya kepemimpinan Buran. Sehingga
khitob (arah pembicaraan) Nabi bukan ditujukan untuk seluruh perempuan, tapi khusus
bagi Putri Kisro tersebut.
Realita Sejarah perempuan dalam pandangan masyarakat patriarkhi memang
selalu dijadikan objek diskriminasi, marginalisasi, subordinasi, beban ganda, dan streotyp
yang merendahkan derajat di masyarakat. Hal ini tentunya ada beberapa faktor yang
mendorong tumbuhnya sikap patriarkis yang berdampak besar terhadap peran perempuan
di berbagai bidang. Fakta sejarah membuktikan bahwa di masa lalu perempuan juga
berkesempatan dan berpeluang memegang jabatan kekuasaan sebagai kepala negara dan
berperan aktif dalam berbagai aspek sosial kemasyarakatan, baik ekonomi, sosial, budaya,
politik, maupun militer.
Di Jawa Timur dahulu ketika raja Jayanegara dari kerajaan Majapahit meninggal
dan tidak mempunyai seorang anak, maka ia mengangkat adiknya seorang perempuan

Halaman| 14
untuk menggantikan kepemimpinannya. Dia seorang ratu yang dikenal dengan Ratu
Tribuana Tunggal Dewi Jaya Wisnu Wardani yang memimpin kerajaan Majapahit selama
22 tahun. Kemudian setelah memimpin selama 22 tahun ia mengundurkan diri dan
digantikan oleh Hayam Wuruk. Ratu berikutnya yang memimpin kerajaan Majapahit
adalah Ratu Suhita. Ia memimpin kurang lebih selama 16 tahun (1429-1445), yaitu pada
akhir kejayaan Majapahit.
Pada masa perkembangan Islam di Jawa juga dikenal seorang pemimpin
perempuan yang berkuasa di wilayah kota Jepara tepatnya di Kalinyamat daerah
kesultanan Demak. Ia dikenal dengan sebutan Ratu Kalinyamat, pada masa
pemerintahannya Jepara berkembang pesat, jalur perdagangan sampai ke luar negeri dan
pada tahun 1574 mengirim bantuan ke negeri Aceh dan Ambon untuk menghadapi VOC.
Pada abad XIX (tahun 1856), di Sulawesi Selatan juga terdapat kerajaan Islam
yang dipimpin oleh perempuan, yaitu Siti Aisyah We Tenriolle yang berkuasa di kerajaan
Ternate bahkan menguasai kerajaan Bugis. Pada abad ke VII M tepatnya pada tahun 674
M rakyat kerajaan Holing atau kerajaan Kalingga di Jawa Tengah menobatkan seorang
ratu dengan gelar ratu Hismo (Sima), dalam kepemimpinannya keadilan tercipta dengan
baik dan bahkan konon putranya sendiri harus dikenakan potong jari kaki akibat suatu
kesalahan yang dibuatnya. Tanpa pertimbangan ratu memvonis hukuman tanpa melihat
siapa dia.
Di Aceh nama Cut Nyak Dien juga mempunyai andil besar memimpin pasukan
dalam melawan penjajah, jiwa raganya dikorbankan demi membela bangsa dan agama
tidak kenal lelah dan pantang menyerah menghadapi tekanan dari penjajah. Nama lain
tercatat sebagai pejuang di Aceh misalnya Pocut Meurah Intan, Cut Nyak Meutia dan
Pocut Baren yang selalu mendampingi Cut Nyak Dien, setelah Cut Nyak Dien tertangkap
Belanda Pocut Barenlah yang melanjutkan perlawanannya terhadap penjajah. Di dalam
pemerintahan, perempuan Aceh juga mengukir sejarah yang juga penting. Dalam catatan
sejarah ada empat sultanah (sultan perempuan) yang dalam kurun waktu hampir 60 tahun
(1640-1699), ratu pertama adalah Sulthanah Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641-1675),
putrid sultan Iskandar Muda. Kedua, sulthanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah (1675-
1678, yang ketiga Inayat Syah Zakiatuddin Syah (1678-1688), dan keempat Kamat Syah
Zairatuddin Syah (1688-1699). Selama kepemimpinan mereka masing-masing sulthanah
tersebut mengeluarkan mata uang emas yang disebut deureuham (dirham).
Perempuan yang berpangkat laksamana dalam sejarah juga dicatat keberadaannya,
diceritakan oleh Jhon Davis seorang nahkoda kapal Belanda berkebangsaan Inggris,
bahwa Aceh memiliki armada laut sekitar 100 kapal perang dan salah satu komandannya
adalah seorang perempuan yang berpangkat Admiral. Ada juga Laksamana Keumala
Hayati yang sebelumnya menjadi komandan pasukan perempuan yang terdiri dari para
janda yang suami mereka tewas dalam peperangan kemudian diangkat menjadi
laksamana. Dalam kepemimpinannya tahun 1599 Keumala Hayati mampu mengalahkan
dua buah kapal Belanda yang dipimpin Cornelis dan Federick de Houtman.
Kaum perempuan di masa kebangkitan kebangsaan dan perjuangan membela
kemerdekaan memiliki kesadaran berpolitik dan keberanian yang patut dibanggakan
dalam melawan penjajah. Nama RA. Kartini, Dewi Sartika, Rahmah al-Yunusiyah, Nyai
Haji Ahmad Dahlan, Hajjah Rasuna Said, Maria Walanda Maramis, Rohana Kudus

Halaman| 15
merupakan nama-nama tokoh perempuan dari kalangan elit modern. Di masa sekarang
pun kita banyak melihat perempuan menjadi seorang pemimpin, sebut saja misalnya
Benazzir Bhutto, Sonia Gandhi, Glory Macapaggal Aroyyo, Megawati Soekarno Putri,
dan lain-lain.
Dalam Catatan sejarah Islam menyebutkan ada beberapa perempuan yang menjadi
pemimpin, pengusaha dan pemuka agama yang cukup berperan. Sebut saja istri Nabi Siti
Khadijah perempuan entrepreneur yang menjadi seorang pengusaha sukses, Aisyah binti
Abu Bakar dapat dikategorikan sebagai pemuka agama yang mempunyai banyak peran
sehingga Nabi pernah bersabda “Ambil sebagian agama kalian dari Aisyah.” Aisyah juga
menjadi pemimpin pasukan ketika berkecamuknya perang jamal. Siti Hafsah yang juga
isteri Nabi juga terkenal kecerdasannya dia diberikan kepercayaan untuk menyimpan
naskah kitab suci al-Quran. Ummu Salamah seorang perempuan yang pertama kali hijrah
ke Habsyah dan merupakan perempuan dari kalangan Muhajirrin yang pertama kali
memasuki kota Madinah dan kemudian setelah suaminya meninggal menjadi istri Nabi,
ada pula nama As-Syifa yang pada masa Khalifah Umar bin Khattab diserahkan jabatan
sebagai manager pasar di kota Madinah.
Setelah ustad menerangkan dengan seksama cerita tentang kepemimpinan
perempuan yang tercatat dalam tinta sejarah, maka ustad pun mengajukan kembali
pertanyaan kepada semua santri “Nah, sekarang siapa yang bercita-cita menjadi seorang
pemimpin?” dengan serentak santri laki-laki maupun perempuan mengacungkan
tangaannya dengan penuh semangat. Dengan menghela nafas ustad pun berkata
“Alhamdulillah inilah yang diharapkan oleh ajaran agama Islam”.

BAB III
PENUTUP

Halaman| 16
A. Kesimpulan
Kebanyakan argumen yang dimiliki oleh ulama tradisionalis tidak tepat.
Sehingga penulis melihat bahwa kelemahan ini justru memberikan bukti bahwa
perempuan bisa saja memimpin. Pengutipan ayat al-Nisa:34 sebagai titik tolak
argumen ketidak bolehan kepemimpinan perempuan terlihat tidak tepat. Justru kisah
Ratu Bilqis dan ayat at-Tawbah:71 menunjukkan kebolehan seorang perempuan untuk
memimpin.
Namun, ada satu hal yang menurut penulis perlu disebutkan, yakni adalah
perannya sebagai pemimpin tidaklah mengganggu perannya sebagai ibu dan istri.
Sehingga beberapa ulama menyebutkan salah satu syarat bagi perempuan untuk
berpartisipasi dalam politik ialah, tidak mengganggu perannya yang lain yakni ibu dan
istri. Tentu saja ini patut diingatkan karena al-Qur`an lebih menekankan pada peran
perempuan sebagai ibu dan istri yang baik dibandingkan peran perempuan dalam
berpolitik.
B. Saran
Kami selaku penulis menyadari bahwa makalah yang kami buat ini kurang
sempurna, isinya kurang bagus. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya karena
kami semua ini masih belajar dan kurang tahu tentang ilmu pengetahuan. kami harap
para pembaca memakluminya dan tugas makalah untuk memenuhi tugas Ujian
Tengah Semester (UTS) juga mencari Ridha Allah Swt. Sekian dan terima kasih.

Daftar Pustaka

Halaman| 17
 M. Quraiys Shihab, Membumikan Al-Quran, Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat. Mizan, 2006.

 Syu’bah Asa, “Wanita di dalam dan di luar Fiqih”, Pesanten, No. 2. Vol. VI, 1989,
hlm. 3-16.

 Ariel Hariyanto, ”Wanita Korban Pembangunan”. Kompas, 21 April 1988.

 Faqihuddin Abdulkadir, Memilih Monogami, (Fahmina Institute, 2006)

 Kamla Bahsin Dan Night Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan
Relevansinya, Terjemahan S. Herlina, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995),
hlm.4.

 KH. Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan, Pembelaan Kiai


Pesantren, Yogyakarta, LKIS dan Fahmina Institute, 2004.

 Mansour Faqih, Analisa Gender……, hlm. 11-20.

 M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, Yogyakarta, Pustaka Pesantren,


2005.

 Sayyed Hosen Nasr, The Heart Of Islam, Bandung ; Mizan 2003

 Soffa Ihsan, In The Name Of Sex, Santri, Dunia Kelamin, Dan Kitab Kuning,
Surabaya, JP Book, 2004.

Halaman| 18

Anda mungkin juga menyukai