JAKOBSON
OLEH:
WILDAN TAUFIQ
Selain itu juga ia menjadi salah seorang sarjana yang berusaha mencari
relevansi antara semiotika Pierce dan linguistik. Secara khusus –lewat
pengaruhnya terhadap Lévi-Strauss- ternyata prinsip-prinsip semiotik
Jakobson sangat berpengaruh bagi pengembangan strukturalisme
5
Menurut Jakobson, subyek kajian semiotika adalah komunikasi pada pesan apa
saja.
Berbeda dengan linguistik yang hanya mengkaji komunikasi pada pesan verbal,
semiotika mengkaji komunikasi, baik pada pesan verbal maupun non-verbal.
Menurutnya, pesan komunikasi non verbal apapun dianggap sebagai pesan verbal.
Secara tersirat Jakobson menegaskan bahwa semiotika adalah ilmu yang mengkaji
tentang pesan-pesan yang terdapat dalam komunikasi antar tanda, baik berupa
tanda verbal maupun non verbal.
6
Kendati Jakobson tidak bermaksud membentuk teori semiotika secara komprehensif dalam riset-
riset yang ia lakukan, namun ia menempatkan linguistik dan semiotika dibawah kerangka besar
komunikasi.
Terdapat sejumlah teori-teori semiotik yang dirumuskan Roman Jakobson, di antaranya teori
kode dan pesan (code-message).
Jakobson mengungkapkan bahwa dalam setiap pesan verbal atau tertulis, terdapat enam elemen,
yaitu pengirim (addresser), si alamat (addressee), konteks, kode, kontak, dan pesan (message)
Kode merupakan tanda konkrit sebagaimana “representamen” dalam semiotika Pierce.
7
8
Teori di atas, jika dinarasikan maka begini: addresser mengirimkan message pada addressee. Agar
dapat beroperasi, pesan memerlukan context yang diacu yang dapat diterima oleh penerima pesan.
Pesan tersebut diwadahi oleh sebuah code baik verbal ataupun yang dapat diverbalkan -yang
sepenuhnya atau setidaknya sebagian- dikenal oleh addresser dan addressee. Dan dari sana akhirnya
terjadi suatu contact antara addresser dan addressee yang memungkinkan keduanya berkomunikasi.
Dari sini, kita mengetahui bahwa semiotika Jakobson termasuk semiotika komunikasi.
9
Dalam kajian bahasa Arab, aspek-aspek semiotik komunikatif Jakobson dapat
ditemukan dalam ilmu Balaghah. Sebagaimana diketahui bahwa balaghah adalah
ilmu yang mengkaji bagaimana menyampaikan makna (pesan) yang baik dari
penutur (mutakallim) dengan tuturan (kalam) yang fasih, serta sesuai dengan
konteks (mauthin) dan petutur (mukhathab). Dengan demikian semiotika dan
balaghah sama-sama mengkaji komunikasi.
Dalam pengertian ini, diketahui bahwa dalam suatu peristiwa tuturan yang
komunikatif (balīgh), mensyaratkan adanya lima aspek, yaitu penutur (mutakallim),
petutur (mukhathab), pesan (ma’na), tuturan (kalam) dan konteks (mauthin).
10
Kelima unsur balaghah tersebut, sejajar dengan teori semiotika yang dikemukakan Roman Jakobson.
Jakobson mengungkapkan bahwa dalam setiap pesan verbal atau tertulis, terdapat enam elemen,
yaitu pengirim (addresser), si alamat (addressee), konteks, kode, kontak, dan pesan (message).
Jika disejajarkan antara aspek-aspek balaghah dengan elemen teori semiotika Jakobson, maka
sebagai berikut: addresser sejajar dengan mutakallim, addressee sejajar dengan mukhathba, context
sejajar dengan mauthin/hal, code sejajar dengan kalam, dan message sejajar dengan ma’na. Contact
sejajar dengan balīgh atau balāghah, kedati hanya sedikit kesamaannya. Karena balīgh atau
balāghah adalah tersampaikannya pesan dari si pengirim ke si penerima, sedangkan kontak adalah
saling keterhubungan antara si pengirim ke si penerima pesan serta sudah memberi respon satu sama
lain.
11
12
Dari teori di atas, ada dua aspek yang perlu diulas lebih panjang agar menjadi lebih jelas, yaitu
kode dan konteks. Kode adalah sistem tanda yang otonom sekaligus sebagai petunjuk untuk
menerjemahkan tanda dari satu sistem tanda ke sistem tanda yang lain (Nöth, 1995: 207).
Guiraud (1971) membagi kode menjadi tiga macam yaitu:
1. Kode logika (logical codes), yang termasuk di dalamnya ada language based, practical codes,
dan epistemological codes.
2. Kode sosial (social codes), yang termasuk di dalamnya insignia, protocols & etiquettes, dan
rituals, fashions, dan games.
3. Kode bahasa dan estetika (language and aesthetic codes) (Ibid: 212:213)
13
Adapun konteks adalah (1) bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau
menambah kejelasan makna; (2) situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian, seperti
perkataan:”Orang itu harus dilihat dari sebagai manusia yang utuh dalam konteks kehidupan
pribadi dan masyarakatnya.”(KBBI, 1989: 458) Menurut Endarmoko konteks adalah kerangka,
kondisi, latar belakang, lingkungan, seting atau situasi (Endarmoko, 2007: 335)
Menurut seorang ahli bahasa, K. Ammer dalam Umar (tth: 69-71) terdapat empat macam
konteks, yaitu konteks bahasa (linguistics context), konteks emotif (emotional context), konteks
situasi (situational context), dan konteks budaya (cultural).
Cth Aplikasi Teori 14
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh.
Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Pada ayat ini, yang menjadi pengirimnya adalah Allah swt., si alamatnya adalah seluruh umat
manusia, kodenya adalah kata kulū, dan konteksnya adalah konteks bahasa, yaitu kata rizqi. Kata
rizqi memiliki pengertian yang luas, yaitu segala ciptaan Allah yang diperuntukan manusia, baik
benda hidup atau benda mati. Dengan demikian pesan atau makna kata kulū pada ayat ini adalah
kebolehan (ibāhah).
17
Demikian pula, pesan atau makna pada kata kulū dalam surat Mursalat ayat 43 dan 46 berikut
berbeda.
Pada ayat ini, yang menjadi pengirimnya adalah Allah swt., si alamatnya adalah orang-orang yang
bertaqwa (al-Mursalat:41), kodenya adalah kata kulū, dan konteksnya adalah kontek situasi, yaitu
balasan bagi orang-orang yang bertaqwa di akhirat dan juga konteks bahasa, yaitu kata hanī’an.
Dilihat dari konteksnya, maka pesan atau makna yang ada pada kata kulū tersebut adalah
memuliakan (ikrām).
18
Sebaliknya dari ayat 43, pada ayat 46 ini yang menjadi pengirim dan kodenya tetap Allah swt. dan
kata kulū, namun si alamatnya adalah orang-orang kafir yang mendustakan agama (al-Mursalat:45),
serta konteksnya adalah konteks situasi, yaitu balasan bagi orang-orang kafir di akhirat dan juga
konteks bahasa, yaitu kata al-murimūn dan kata qalīlan. Dengan begitu, maka pesan atau maknanya
pada kata kulū berbeda, bukan lagi memuliakan, tetapi menghinakan (ihānah) atau mencemoohkan
(sukhriyyah).