Anda di halaman 1dari 18

TEORI SEMIOTIKA ROMAN

JAKOBSON

OLEH:
WILDAN TAUFIQ

BAHASA & SASTRA ARAB


UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2020
2
Mukadimah
 Roman Jakobson lahir pada tahun 1896 di Moskow. Ia dianggap sebagai
salah seorang ahli linguistik abad ke dua puluh yang sangat menonjol.
 Ia merupakan pelopor pendekatan strukturalis dalam kajian bahasa. Ia
merupakan murid dari Nikolai Trubetskoy, salah seorang ahli fonologi Rusia
pengikut strukturalisme Saussure.
 Dengan demikian Jakobson merupakan pelanjut pemikiran strukturalis
Sassure dalam kajian bahasa struktural (Lechte, 2001: 107).
3
 Pada tahun 1915 Jakobson mendirikan lingkungan linguistik di Moskow. Ia
terpengaruh oleh pemikiran Husserl. Husserl merupakan tokoh yang sangat
penting yang membentuk pemikirannya. Pemikiran Husserl membantunya dalam
usaha mencari hubungan antara bagian dan keseluruhan dalam bidang bahasa dan
kebudayaan.
 Pada tahun 1930-an Jakobson bersama dengan Nikolai Trubetskoy melakukan
penelitian tentang pola suara pada bahasa. Sebagai pengikut Saussure, Trubetskoy
mengarahkan Jakobson pada gagasan bahwa suara dalam bahasa berfungsi secara
diferensial. Suara tidak memiliki makna intrinsik.
 Pada tahun 1950, Jakobson berangkat ke Amerika. Di sana ia diangkat sebagai
dosen di universtas Harvard dan Istitut Teknologi Masachussetts. Sampai akhir
hayatnya pada tahun 1982, Jakobson masih tinggal di Amerika.
Teori Semiotik 4

 Jakobson berkontribusi bagi semiotika terapan dengan tulisannya tentang


musik, lukisan, film, teater, dan folklor. Ia juga berkontribusi pada masalah-
masalah utama semiotika, seperti konsep tanda, sistem, kode, struktur,
fungsi, komunikasi dan sejarah semiotika.

 Selain itu juga ia menjadi salah seorang sarjana yang berusaha mencari
relevansi antara semiotika Pierce dan linguistik. Secara khusus –lewat
pengaruhnya terhadap Lévi-Strauss- ternyata prinsip-prinsip semiotik
Jakobson sangat berpengaruh bagi pengembangan strukturalisme
5
 Menurut Jakobson, subyek kajian semiotika adalah komunikasi pada pesan apa
saja.
 Berbeda dengan linguistik yang hanya mengkaji komunikasi pada pesan verbal,
semiotika mengkaji komunikasi, baik pada pesan verbal maupun non-verbal.
 Menurutnya, pesan komunikasi non verbal apapun dianggap sebagai pesan verbal.
 Secara tersirat Jakobson menegaskan bahwa semiotika adalah ilmu yang mengkaji
tentang pesan-pesan yang terdapat dalam komunikasi antar tanda, baik berupa
tanda verbal maupun non verbal.
6

 Kendati Jakobson tidak bermaksud membentuk teori semiotika secara komprehensif dalam riset-
riset yang ia lakukan, namun ia menempatkan linguistik dan semiotika dibawah kerangka besar
komunikasi.

 Terdapat sejumlah teori-teori semiotik yang dirumuskan Roman Jakobson, di antaranya teori
kode dan pesan (code-message).

 Jakobson mengungkapkan bahwa dalam setiap pesan verbal atau tertulis, terdapat enam elemen,
yaitu pengirim (addresser), si alamat (addressee), konteks, kode, kontak, dan pesan (message)
Kode merupakan tanda konkrit sebagaimana “representamen” dalam semiotika Pierce.
7
8

Teori di atas, jika dinarasikan maka begini: addresser mengirimkan message pada addressee. Agar
dapat beroperasi, pesan memerlukan context yang diacu yang dapat diterima oleh penerima pesan.
Pesan tersebut diwadahi oleh sebuah code baik verbal ataupun yang dapat diverbalkan -yang
sepenuhnya atau setidaknya sebagian- dikenal oleh addresser dan addressee. Dan dari sana akhirnya
terjadi suatu contact antara addresser dan addressee yang memungkinkan keduanya berkomunikasi.
Dari sini, kita mengetahui bahwa semiotika Jakobson termasuk semiotika komunikasi.
9
 Dalam kajian bahasa Arab, aspek-aspek semiotik komunikatif Jakobson dapat
ditemukan dalam ilmu Balaghah. Sebagaimana diketahui bahwa balaghah adalah
ilmu yang mengkaji bagaimana menyampaikan makna (pesan) yang baik dari
penutur (mutakallim) dengan tuturan (kalam) yang fasih, serta sesuai dengan
konteks (mauthin) dan petutur (mukhathab). Dengan demikian semiotika dan
balaghah sama-sama mengkaji komunikasi.

 Dalam pengertian ini, diketahui bahwa dalam suatu peristiwa tuturan yang
komunikatif (balīgh), mensyaratkan adanya lima aspek, yaitu penutur (mutakallim),
petutur (mukhathab), pesan (ma’na), tuturan (kalam) dan konteks (mauthin).
10
 Kelima unsur balaghah tersebut, sejajar dengan teori semiotika yang dikemukakan Roman Jakobson.
Jakobson mengungkapkan bahwa dalam setiap pesan verbal atau tertulis, terdapat enam elemen,
yaitu pengirim (addresser), si alamat (addressee), konteks, kode, kontak, dan pesan (message).

 Jika disejajarkan antara aspek-aspek balaghah dengan elemen teori semiotika Jakobson, maka
sebagai berikut: addresser sejajar dengan mutakallim, addressee sejajar dengan mukhathba, context
sejajar dengan mauthin/hal, code sejajar dengan kalam, dan message sejajar dengan ma’na. Contact
sejajar dengan balīgh atau balāghah, kedati hanya sedikit kesamaannya. Karena balīgh atau
balāghah adalah tersampaikannya pesan dari si pengirim ke si penerima, sedangkan kontak adalah
saling keterhubungan antara si pengirim ke si penerima pesan serta sudah memberi respon satu sama
lain.
11
12
 Dari teori di atas, ada dua aspek yang perlu diulas lebih panjang agar menjadi lebih jelas, yaitu
kode dan konteks. Kode adalah sistem tanda yang otonom sekaligus sebagai petunjuk untuk
menerjemahkan tanda dari satu sistem tanda ke sistem tanda yang lain (Nöth, 1995: 207).
Guiraud (1971) membagi kode menjadi tiga macam yaitu:

1. Kode logika (logical codes), yang termasuk di dalamnya ada language based, practical codes,
dan epistemological codes.

2. Kode sosial (social codes), yang termasuk di dalamnya insignia, protocols & etiquettes, dan
rituals, fashions, dan games.

3. Kode bahasa dan estetika (language and aesthetic codes) (Ibid: 212:213)
13
 Adapun konteks adalah (1) bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau
menambah kejelasan makna; (2) situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian, seperti
perkataan:”Orang itu harus dilihat dari sebagai manusia yang utuh dalam konteks kehidupan
pribadi dan masyarakatnya.”(KBBI, 1989: 458) Menurut Endarmoko konteks adalah kerangka,
kondisi, latar belakang, lingkungan, seting atau situasi (Endarmoko, 2007: 335)

 Menurut seorang ahli bahasa, K. Ammer dalam Umar (tth: 69-71) terdapat empat macam
konteks, yaitu konteks bahasa (linguistics context), konteks emotif (emotional context), konteks
situasi (situational context), dan konteks budaya (cultural).
Cth Aplikasi Teori 14

 Perhatikan potongan ayat 286 dari surat al-Baqarah:

َ ‫صرْ نَا َعلَى ْالقَ ْو ِم ْال َكافِ ِر‬


)286 :‫ين (البقرة‬ ُ ‫فَان‬....
“...maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".
Pada ayat di atas terdapat kata yang digaris bawahi, yaitu kata ْ‫صر‬ُ ‫( ا]ن‬tolonglah). Ia merupakan fi’il amar
َ ] َ‫ ن‬. Jika di analisis dengan teori semiotika Jakobson, maka sebagai berikut: pengirim adalah
dari ‫ص َر‬
manusia (ibad/nahnu), si alamatnya adalah Tuhan (Rabb), kodenya adalah kata ْ‫صر‬ ُ ‫ا]ن‬, dan konteksnya
adalah situasi (ibadah). Lalu apa pesan atau maknanya?
Pada dasarnya fi’il amar berfungsi sebagai thalab (perintah atau menuntut). Lalu apakah manusia pantas
memerintah, menyuruh atau menuntut Tuhannya untuk melakukan sesuatu? Tentu jawabannya tidak.
Dengan demikian dalam konteks ini pesan atau makna amar kata ْ‫صر‬ ُ ‫ ا]ن‬adalah do’a.
15
 Bandingkan ayat di atas dengan surat al-Mu’minūn ayat 51 berikut:

َ ُ‫صالِحًا ِإنِّي بِ َما تَ ْع َمل‬


)51:‫ون َعلِي ٌم (المؤمنون‬ ِ ‫يَآَأيُّهَا الرُّ ُس ُل ُكلُوا ِم َن الطَّيِّبَا‬
َ ‫ت َوا ْع َملُوا‬ 

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh.
Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Pada ayat di atas, objek yang dianalsisnya adalah kata ‫ك]لُوا‬,


ُ yang mana ia menjadi kode. Kemudian si
pengirimnya adalah Allah swt., si alamatnya adalah para Rasul-Nya, dan konteksnya adalah konteks
bahasa (verbal), yaitu kata‫ ا]]لطَّيِّبَ ِات‬. Jika si pengirim, Allah posisinya lebih tinggi dari si alamat, sudah
barang tentu fi’il amar tersebut bermakna thalab (menuntut atau memerintah), karena pada dasarnya
amar (perintah) keluar dari si mutakallim yang lebih tinggi kedudukannya dari si mukhathabnya.
16
 Berbeda halnya dengan kata ‫ ُك]لُوا‬yang terdapat dalam surat al-Mulk ayat 15 berikut:

َ ْ‫هُ َو الَّ ِذي َج َع َل لَ ُك ُم اَْألر‬


)15 :‫ض َذلُوالً فَا ْم ُشوا فِي َمنَا ِكبِهَا َو ُك]لُوا ِمن ِّر ْزقِ ِه َوِإلَ ْي ِه النُّ ُشو ُر (الملك‬
“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan
makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah)
dibangkitkan.”

Pada ayat ini, yang menjadi pengirimnya adalah Allah swt., si alamatnya adalah seluruh umat
manusia, kodenya adalah kata kulū, dan konteksnya adalah konteks bahasa, yaitu kata rizqi. Kata
rizqi memiliki pengertian yang luas, yaitu segala ciptaan Allah yang diperuntukan manusia, baik
benda hidup atau benda mati. Dengan demikian pesan atau makna kata kulū pada ayat ini adalah
kebolehan (ibāhah).
17
 Demikian pula, pesan atau makna pada kata kulū dalam surat Mursalat ayat 43 dan 46 berikut
berbeda.

َ ُ‫ُكلُوا َوا ْش َربُوا هَنِيًئا بِ َما ُكنتُ ْم تَ ْع َمل‬


)43:‫ون (المرسالت‬
“(Dikatakan kepada mereka): "Makan dan minumlah kamu dengan enak karena apa yang telah
kamu kerjakan".

Pada ayat ini, yang menjadi pengirimnya adalah Allah swt., si alamatnya adalah orang-orang yang
bertaqwa (al-Mursalat:41), kodenya adalah kata kulū, dan konteksnya adalah kontek situasi, yaitu
balasan bagi orang-orang yang bertaqwa di akhirat dan juga konteks bahasa, yaitu kata hanī’an.
Dilihat dari konteksnya, maka pesan atau makna yang ada pada kata kulū tersebut adalah
memuliakan (ikrām).
18

َ ‫ُكلُوا َوتَ َمتَّعُوا قَ ِليالً ِإنَّ ُكم ُّمجْ ِر ُم‬


)46:‫ون (المرسالت‬
(Dikatakan kepada orang-orang kafir): "Makanlah dan bersenang-senanglah kamu (di dunia dalam
waktu) yang pendek; sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang berdosa."

Sebaliknya dari ayat 43, pada ayat 46 ini yang menjadi pengirim dan kodenya tetap Allah swt. dan
kata kulū, namun si alamatnya adalah orang-orang kafir yang mendustakan agama (al-Mursalat:45),
serta konteksnya adalah konteks situasi, yaitu balasan bagi orang-orang kafir di akhirat dan juga
konteks bahasa, yaitu kata al-murimūn dan kata qalīlan. Dengan begitu, maka pesan atau maknanya
pada kata kulū berbeda, bukan lagi memuliakan, tetapi menghinakan (ihānah) atau mencemoohkan
(sukhriyyah).

Anda mungkin juga menyukai