Anda di halaman 1dari 5

“....

Sebab tempat bagi mereka semua yang pulang adalah kediaman abadi di surga dan
tempat bagi semua mereka yang pergi adalah kenangan...”

Ina, Ama, Wue-wari, Umat Tuhan yang terkasih dalam Kristus Yesus...

Kahil Gibran, seorang penyair kelahiran Lebanon pernah menggambarkan kenangan


kematian sebagai “kekasih terakhir yang paling dirindukan dan paling ingin dipeluk oleh setiap
orang”. Sebagai kekasih terakhir, kenangan akan kematian bukan hanya soal pengalaman
manusiawi setiap orang yang rapuh dan terbatas di dalam ruang dan waktu, melainkan sebuah
peristiwa penuh makna dan damba, sarat cinta serentak sebuah kepasrahan yang bebas.
Berhadapan dengan peristiwa kematian, setiap orang dihantar pada situasi batas, sebuah situasi di
mana kita mesti berhadapan dengan fakta kerapuhan yang paling sejati, baik mereka yang
meninggal pun semua orang yang ditinggalkan. Kerapuhan ini tampil serentak dengan kesadaran
bahwa orang yang kita lepas pergikan dalam peristiwa kematian adalah mereka yang kita cintai
dengan sepenuh hati, sedalam kita memahami cinta yang berarti memberi dan menerima.
Peristiwa kematian selalu membuat kita tertegun antara rasa tidak percaya dan tidak tega dengan
kenyataan keterbatasan eksistensial kita sebagai manusia; tapi, mau bagaimana lagi? Kematian
memang selalu identik dengan perpisahan dan kehilangan. Namun, sebagai orang-orang beriman,
kematian setiap orang Katholik bukan hanya soal kerapuhan diri dan titik akhir dari kehidupan.
Kematian adalah sebuah jalan pulang kepada kediaman Sang Pencipta, Allah Tritunggal yang
MahaKudus. Menuju sukacita kebangkitan yang mulia. Kematian setiap orang kristen
direfleksikan dan dilihat sebagai sebuah titik balik dari kehidupan yang fana menuju kehidupan
yang kekal bersama semua orang kudus dan arwah semua orang beriman. Oleh karenanya
kematian setiap orang Kristen akan selalu memiliki makna yang berbeda, karena penebusan
Kristus kelak akan mengantar semua orang yang percaya padaNya kepada pegalaman yang
paling dirindukan oleh semua orang beriman, yaitu perjumapaan secara langsung dengan Allah
di dalam KerajaanNya yang abadi. Itulah sukacita kebangkitan yang abadi yang membawa setiap
orang beriman kepada terang hidup baru yang kekal. Kita percaya bahwa kemah kediaman abadi
sudah Tuhan siapkan untuk setiap orang yang hidup dalam iman akan kebangkitan.

Satu minggu yang lalu, kita semua kehilangan pribadi yang amat kita cintai: Mama, kakak
dan suadari kita tercinta Maria Albina Du’a Wisang. Keluarga dan kita semua yang
mencintainya jelas menerima sebuah pukulan keras. Sebab kepergian ini adalah sebuah

1
kepergian yang purna, titik terakhir perjumpaan-perjumpaan, serta awal dari sebuah kerinduan
yang panjang. Kita percaya bahwa dalam iman bahwa Mama, kakak dan saudari kita tercinta
telah menyelesaikan pengembaraannya di dunia dan kita yakin kini Ia tengah merayakan
kehidupan kekal bersama para kudus di dalam kediaman Allah yang Maha Kudus. Sejak dua
seminggu yang lalu, secara perlahan-lahan kita belajar untuk menerima kenyataan pahit ini
dengan keyakinan bahwa Allah yang menciptakan kita selalu mempunyai rencana yang mungkin
kurang pas dengan seluruh rencana dan keinginan kita. Namun, percayalah Allah selalu memiliki
rencana yang lebih indah untuk kita semua. Sekali lagi, Percayalah! Kita mengetahui secara
pasti, baik kita dan Mama Maria Albina Du’a Wisang telah memiliki kehidupan yang berbeda,
tetapi cinta kita adalah daya yang melampaui ruang dan waktu. Kita tidak akan bertemu secara
fisik dengan beliau, tetapi cinta kita kekal. Keyakinan akan daya cinta yang luar biasa inilah
yang mengantar kita pada sikap rela dan pasrah. Keyakinan ini pulalah yang menjadikan kita
menjadi kuat di dalam pertistiwa kematian Bapa Kita tercinta. Kita semua tentu masih merasa
sedih, tidak bisa menerima dengan lapang begitu saja, tetapi diam-diam kita berdoa:
“beristirahatlah dalam damai kekasih dan junjungan kami. Tuhan memelukmu di dalam
keabadian. Kami percaya dengan penuh seluruh bahwa saat ini kekasih kami, Bapa
tercinta telah bangkit dalam kehidupan kekal bersama Tuhan. Jadi pendoa untuk kami
semua yang masih berziarah di muka bumi ini.

Mungkin, jika mau jujur penawar atas luka yang diakibatkan kepergian kekasih tercinta
hanya satu, yaitu merayakannya dengan keiklahasan atau kepasrahan pada kehendak
Allah. kita diajak untuk menajdi seperti Bunda Maria yang tegar hati untuk berseru:
Kehendakmulah yang terjadi.”

Ina, Ama, Wue-wari, Umat Tuhan yang terkasih dalam Kristus Yesus...

Nubuat Hagai yang telah kita dengarkan tadi menggambarkan sebuah situasi kisruh
lantaran kemegahan rumah Tuhan yang hilang secara perlahan-lahan dari waktu ke waktu.
Kenyataan ini menimbulkan kecemasan dan ketidaknyamanan dalam diri orang-orang yang
menaruh harapan kepada Tuhan. Mereka merasa tidak berdaya dan boleh jadi kehilangan
pegangan hidup. Serupa dengan pengalaman yang dikisahkan dalam Nubuat Hagai, di tengah
pengalaman ditinggalkan pasca kematian seseorang yang amat kita cintai, boleh jadi kita juga
berada dalam situasi yang tidak berdaya, cemas, ragu, dan merasa sendiri tentang hari-hari yang

2
akan kita lewati tanpa orang yang kita cintai. Suka tidak suka, senang tidak senang, perasaan itu
adalah perasaan yang wajar, sebab bukankah kehilangan selalu meninggalkan ruang kosong?
Ruang yang ke dalamnya kita melihat ada bekas: jejak-jejak kehidupan yang memudar.
Namun, perasaan yang wajar serupa ini pun tidak bisa terus menerus mengahantui kita. Kita
semua yang ditinggalkan mesti menemukan titik keseimbangan untuk melanjutkan kehidupan
secara kreatif, karena melalui Hagai Tuhan menegaskan hal ini: “sesuai dengan janji yang telah
kuikat dengan kalian pada waktu kalian keluar dari Mesir. Dan Rohku tetap tinggal di tengah-
tengah kamu. BANGKITLAH! JANGANLAH TAKUT!” Pesan ini jelas tidak bermaksud agar
kita melupakan orang yang telah meninggal, tetapi meyadarkan kita bahwa bagi mereka yang
telah pergi, kehidupan yang penuh semangat dari kita yang tengah mengembara di dunia adalah
ketenangan dan doa yang tulus. Kita harus yakin bahwa terang kebangkitan abadi telah Tuhan
siapkan bagi setiap umat beriman yang percaya akan dia. Kebangkitan menjadi jalan cinta
menuju hidup yang kekal.

Selanjutnya penginjil Lukas mengisahkan tentang pengakuan Petrus tentang identitas


Yesus sebagai Mesias, Putra Allah dan Penyelamat Dunia. Identitas itu dipertegas bukan melalui
perintah Yesus agar para muridNya tidak menceritakannya kepada orang lain, melainkan dalam
pernyataan Yesus sendiri bahwa: “Anak manusia harus menanggung banyak penderitaan dan
ditolak oleh para tua-tua, oleh para imam kepala dan para ahli Taurat, lalu dibunuh, dan
dibangkitkan pada hari ketiga”. Pernyataan ini adalah kekuatan bagi kita semua yang hari ini
berkumpul untuk merayakan kenangan dua tahun kepergian Bapa kita tercinta. Sebab kita
percaya bahwa melalui hidup, penderitaan, wafat, dan kebangkitan Yesus Kristus, semua orang
yang percaya padaNya pun telah ditebus. Dan bagi mereka semua yang telah meninggal, janji
penebusan itu menjadi lebih lengkap dan lebih sempurna. Sebab mereka sudah melewati pintu
menuju keabadian dan sudah, sedang, dan akan selalu berbahagia bersama Allah.

Ina, Ama, Wue-wari, Umat Tuhan yang terkasih dalam Kristus Yesus...

Hari ini kita mengenang kembali kepergian Mama Maria Albina Du’a Wisang (Mama
NINI). Merayakan kenangan adalah tanda bahwa setelah kematian, ada hal-hal yang tidak bisa
berlalu pergi begitu saja. Kita masih bisa mengenang Mama Maria Albina Du’a Wisang
(Mama NINI) dengan seluruh pengalaman bersama yang pernah dilalui bersama ketika Ia masih
hidup di dunia. Selain cinta, perjumpaan kita dengannya adalah melalui doa. Kita mendoakan

3
Mama NINI dan tentunya Ia akan selalu menjadi pendoa bagi kita semua, baik itu untuk
keluarga juga untuk semua orang yang mencintai dan dicintai olenya. Kita mengenang dengan
keyakinan bahwa Mama, Nenek tercinta telah bergabung dengan para kudus di surga, kita
mengenang sebagai jalan untuk terus merawat jalinan kasih yang telah kita bangun selama ini
tetap awet dan abadi. Mengenang bisa berarti pula sebagai cara yang paling sunyi untuk terus
menghidupkan kedekatan dengan mereka yang telah pergi menmdahului kita. Itu berarti bahwa
setiap kita yang mencintainya mesti belajar untuk meneladani kualitas-kualitas positif yang telah
ditunjukkan dan diajarkan oleh Mama Maria Albina Du’a Wisang untuk kita semua.
Kesabaran, kasih sayang, pengorbanan, kerja keras, ketekunan, cinta dan masih banyak lagi
karakter dirinya yang dapat kita hidupi dan menjadi model dari hidup kita. Upaya untuk
mengenang bukanlah tanda dari kerapuhan dan ketidakbebasan kita untuk merelakan
kepergiannya, tetapi semata-mata sebagai tanda bahwa kita tidak akan pernah melupakanya
dalam seluruh kehidupan kita yang akan datang. Sebab kematian terakhir dan boleh jadi
paling mengerikan adalah dilupakan. Dan pertistiwa itu tidak boleh pernah terjadi untuk
semua orang yang kita cintai. Semoga kita tetap mengenang dan menghidupkan cinta
antara kita dan semua orang yang telah meninggalkan kita melalui doa-doa yang tidak
selesai.

“Proses menacari Tuhan adalah kehidupan, proses menemukan Tuhan adalah kematian,
dan proses mempersatukan diri dengan Allah adalah keabadian.”

Kita serupa mawar; merekah pada taman kehidupan,


kelak hari-hari membawa kita pada situasi batas,
mekar kita jadi layu, patah satu-satu,
lalu selesai,
kembali pada sang hidup.
Kelak, pada giliran kita tiba, di keabadian Bapas Benya akan jadi penuntun kita
pada sang Maha Cahaya.
Percayalah!!!
Bersama rindu dan doa untuk Mama Maria Albina Du’a Wisang serta semua kita yang
mencintainya tanpa tanda titik, tanpa selesai, dan tanpa kenal ruang dan waktu.
Di doa kita Bapa Benya hidup. Berkali-kali.

4
5

Anda mungkin juga menyukai