Anda di halaman 1dari 13

MODUL

DASAR PERENCANAAN
TRANSPORTASI
CHAPTER 2

Fera Lestari, S.T,M.T. | Pengantar Rekayasa Transportasi | Teknik Sipil UTI


Materi Pembelajaran
1. Ciri Perncanaan Transportasi
2. Campur tangan manusia pada sistem transportasi
3. Perencanaan transportasi sebagai bentuk campur tangan manusia
4. Pihak yang terlibat dalam perencanaan transportasi

Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa dapat memahami dan mengidentifikasi dasar perencanaan transportasi, ciri perencanaan
transportasi, dan pihak yang terlibat dalam perencanaan transportasi.

Referensi
1. Black, J, 1985, Urban Transport Planning, croom Helm ltd.london
2. Cascetta, Ennio, 2009.Transportation Systems Analysis, Models and Applications.
Springer. ISBN 978-0387-75856-5
3. C. Jotin Khisty &B. Kent Lall, 2003, Transportation Engineering: An Introduction, 3rd
Edition, ISBN-13: 9780130335609
4. Morlok, E.K., 1978 Introduction to transportation Engineering and Planning, Mc
Graw Hill,Inc
5. Tamin, Ofyar Z, 2012. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi.ITB.ISBN 979-
9299-10-01

Fera Lestari, S.T,M.T. | Pengantar Rekayasa Transportasi | Teknik Sipil UTI


PAGE 1
CIRI PERENCANAAN TRANSPORTASI
PENDAHULUAN

Perlu disadari bahwa kajian perencanaan transportasi mempunyai ciri yang berbeda dengan kajian
bidang lain. Hal ini disebabkan karena objek penelitian suatu kajian perencanaan transportasi cukup
luas dan beragam. Di samping itu, kajian perencanaan transportasi juga biasanya melibatkan aspek
yang cukup banyak dan beragam pula. Secara singkat, ciri kajian perencanaan transportasi ditandai
dengan adanya multimoda, multidisiplin, multisektoral, dan multimasalah

MULTIMODA

Kajian perencanaan transportasi selalu melibatkan lebih dari satu moda transportasi sebagai bahan
kajian. Hal ini mudah dimengerti mengingat objek dasar kajian perencanaan transportasi adalah
pergerakan manusia, dan/atau barang, yang pasti melibatkan banyak moda transportasi. Tambahan
lain, Indonesia dikenal sebagai negara yang terdiri dari ribuan pulau sehingga pergerakan dari suatu
tempat asal ke tempat tujuan sangat tidak mungkin hanya menggunakan satu moda saja.

Tidaklah mengherankan bahwa Sistem Transportasi Nasional (Sistranas) yang kita miliki
mempunyai konsep utama, yaitu konsep sistem transportasi integrasi antarmoda. Kalaupun kajian
yang dimaksud difokuskan pada daerah tertentu, misalnya terminal bus atau bandara, aspek
multimoda akan selalu timbul ke permukaan. Perencana transportasi, bagaimana pun, harus
memperhatikan adanya interaksi antara pergerakan internal di dalam daerah kajian (misalnya
terminal bus atau bandara) dengan pergerakan eksternalnya. Artinya, harus diperhatikan adanya
moda transportasi lain selain bus (untuk terminal bus) atau pesawat udara (untuk bandara).
Terminal dalam konsep sistem transportasi integrasi antarmoda memegang peranan yang sangat
penting karena proses pertukaran moda terjadi di terminal dan waktu proses tersebut merupakan
hal terpenting yang sangat perlu diperhatikan para perencana transportasi. Ketidakefisienan dalam
proses pertukaran moda akan menyebabkan sistem transportasi integrasi antarmoda pun secara
keseluruhan menjadi tidak efisien.

MULTIDISIPLIN

Kajian perencanaan transportasi melibatkan banyak disiplin keilmuan karena aspek kajiannya sangat
beragam, mulai dari ciri pergerakan, pengguna jasa, sampai dengan sistem prasarana atau pun sarana
transportasi itu sendiri. Tentu saja dalam pelaksanaannya, semua aspek kajian tersebut harus dapat
diantisipasi. Kajian perencanaan transportasi biasanya melibatkan bidang keilmuan seperti rekayasa,
ekonomi, geografi, penelitian operasional, sosial politik, matematika, informatika, dan psikologi.

Sebagai ilustrasi, mari kita tinjau kajian penyusunan rencana induk terminal bus antarkota. Untuk
melakukan kajian tersebut, diperlukan seorang ahli perencana wilayah untuk menentukan lokasi
terminal bus yang baik, ditinjau dari sudut pandang penataan tata ruang dan daerah. Selanjutnya,
juga dibutuhkan seorang ahli teknik untuk mengkaji tata letak bangunan di areal terminal dan juga
untuk mengkaji jenis konstruksi setiap prasarana terminal. Selain itu, dalam kajian ini juga akan
dibutuhkan seorang ahli transportasi untuk mengkaji dan memperkirakan potensi jumlah
penumpang atau pun jumlah bus yang akan dilayani oleh terminal bus itu pada tahun rencana, dan
untuk mengkaji sistem sirkulasi internal dan eksternal yang terbaik bagi terminal bus itu. Di samping
itu, seorang ahli ekonomi juga dibutuhkan untuk mengkaji sistem dan besaran tarif di lingkungan

Fera Lestari, S.T,M.T. | Pengantar Rekayasa Transportasi | Teknik Sipil UTI


PAGE 2
terminal dan juga untuk mengkaji tingkat kelayakan ekonomi dan keuangan dari rencana
pengembangan terminal antarkota itu

MULTISEKTORAL

Yang dimaksud dengan multisektoral di sini adalah banyaknya lembaga, atau pihak terkait yang
berkepentingan dengan kajian perencanaan transportasi. Kajian perencanaan transportasi biasanya
melibatkan beberapa lembaga pemerintah atau pun swasta yang masing-masing mempunyai
kepentingan yang berbeda sehingga diperlukan koordinasi dan penanganan yang baik. Untuk kasus
perencanaan terminal bus antarkota seperti contoh di atas misalnya, lembaga pemerintah atau pun
swasta yang terkait meliputi DLLAJ, BPN, Dinas Tata kota, polantas, operator bus, Dinas Pendapatan
Daerah, dan lain-lain.

MULTIMASALAH

Karena kajian perencanaan transportasi merupakan kajian multimoda, multidisiplin, dan


multisektoral, tentu saja menimbulkan multimasalah − permasalahan yang dihadapi mempunyai
dimensi yang cukup beragam dan luas, mulai dari yang berkaitan dengan aspek pengguna jasa,
rekayasa, operasional, ekonomi, sampai dengan aspek sosial. Untuk contoh kasus pengembangan
terminal bus antarkota di atas, masalah yang mungkin timbul meliputi masalah rekayasa (lapisan
tanah yang jelek atau sistem drainase yang buruk), masalah ekonomi (alokasi dana pemerintah yang
terbatas, daya beli masyarakat yang rendah), masalah pertanahan (lahan yang terbatas), masalah
sosial (perilaku penumpang bus yang tidak disiplin atau timbulnya premanisme), masalah lalulintas
(gangguan lalulintas di pintu masuk dan keluar terminal atau perilaku pengemudi yang tidak
disiplin).

Meskipun terdapat perbedaan antara kota-kota di berbagai negara, pergerakan di dalam daerah
perkotaan mempunyai beberapa ciri yang sama yang berlaku hampir pada semua kota kecil dan kota
besar di dunia. Ciri ini merupakan prinsip dasar yang merupakan titik tolak kajian transportasi. Ciri
ini juga mendefinisikan konsep yang digunakan oleh para perencana angkutan dan perekayasa untuk
memahami dan mempelajari pergerakan.

Oleh sebab itu, perlu dikaji beberapa konsep dasar yang melatarbelakangi kajian angkutan dan
bagaimana konsep ini saling berkaitan untuk membentuk apa yang disebut sistem transportasi.
Konsep yang akan dikaji dibagi dalam dua bagian, yaitu:

a. konsep mengenai ciri pergerakan tidak-spasial (tanpa batas ruang) di dalam kota, misalnya yang
menyangkut pertanyaan mengapa orang melakukan perjalanan, kapan orang melakukan
perjalanan, dan jenis angkutan apa yang mereka pergunakan;
b. konsep mengenai ciri pergerakan spasial (dengan batas ruang) di dalam kota, termasuk pola tata
guna lahan, pola perjalanan orang, dan pola perjalanan angkutan barang. Sebagian besar konsep
ini telah dikembangkan pada tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, baik di Eropa maupun di
Amerika Serikat. Kemudian, muncul permasalahan mengenai relevansinya dengan negara sedang
berkembang seperti Indonesia. Meskipun demikian, sebelum data kota di Indonesia dikumpulkan
secara rutin, kita tidak akan dapat mengetahui secara pasti bagaimana konsep ini harus
disesuaikan dengan keadaan kota di Indonesia.

Fera Lestari, S.T,M.T. | Pengantar Rekayasa Transportasi | Teknik Sipil UTI


PAGE 3
CIRI PERGERAKAN TIDAK-SPASIAL

Seperti diuraikan sebelumnya, ciri pergerakan tidak-spasial adalah semua ciri pergerakan yang
berkaitan dengan aspek tidak-spasial, seperti sebab terjadinya pergerakan, waktu terjadinya
pergerakan, dan jenis moda yang digunakan.

Sebab terjadinya pergerakan

Sebab terjadinya pergerakan dapat dikelompokkan berdasarkan maksud perjalanan (lihat tabel 1.)
Biasanya maksud perjalanan dikelompokkan sesuai dengan ciri dasarnya, yaitu yang berkaitan
dengan ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan agama. Jika ditinjau lebih jauh lagi akan dijumpai
kenyataan bahwa lebih dari 90% perjalanan berbasis tempat tinggal; artinya, mereka memulai
perjalanannya dari tempat tinggal (rumah) dan mengakhiri perjalanannya kembali ke rumah. Pada
kenyataan ini biasanya ditambahkan kategori keenam tujuan perjalanan, yaitu maksud perjalanan
pulang ke rumah.

Tabel 1. Klasifikasi pergerakan orang di perkotaan berdasarkan maksud pergerakan

Waktu terjadinya pergerakan

Fera Lestari, S.T,M.T. | Pengantar Rekayasa Transportasi | Teknik Sipil UTI


PAGE 4
Waktu terjadinya pergerakan sangat tergantung pada kapan seseorang melakukan aktivitasnya
sehari-harinya. Dengan demikian, waktu perjalanan sangat tergantung pada maksud perjalanan.
Perjalanan ke tempat kerja atau perjalanan dengan maksud bekerja biasanya merupakan perjalanan
yang dominan, dan karena itu sangat penting diamati secara cermat. Karena pola kerja biasanya
dimulai jam 08.00 dan berakhir pada jam 16.00, maka waktu perjalanan untuk maksud perjalanan
kerja biasanya mengikuti pola kerjanya. Dalam hal ini kita dapati bahwa pada pagi hari, sekitar jam
06.00 sampai jam 08.00, dijumpai begitu banyak perjalanan untuk tujuan bekerja, dan pada sore hari
sekitar jam 16.00 sampai jam 18.00 dijumpai banyak perjalanan dari tempat kerja ke rumah masing-
masing. Karena jumlah perjalanan dengan maksud bekerja ini merupakan jumlah yang dominan,
maka kita dapatkan bahwa kedua waktu terjadinya perjalanan dengan tujuan bekerja ini
menghasilkan waktu puncak pergerakan.

Di samping kedua puncak tersebut, dijumpai pula waktu puncak lainnya, yaitu sekitar jam 12.00
sampai 14.00; pada saat itu para pekerja pergi untuk makan siang dan kembali lagi ke kantornya
masing-masing. Tentu saja jumlah perjalanan yang dilakukan pada siang hari ini tidak sebanyak pada
pagi atau sore hari mengingat makan siang terkadang dapat dilakukan di kantor atau kantin di
sekitar kantor. Selanjutnya, perjalanan dengan maksud sekolah atau pun pendidikan cukup banyak
jumlahnya dibandingkan dengan tujuan lainnya sehingga pola perjalanan sekolah ini pun turut
mewarnai pola waktu puncak perjalanan. Mengingat sekolah dari tingkat dasar sampai tingkat
menengah pada umumnya terdiri dari dua giliran, yaitu sekolah pagi dan sekolah sore, maka pola
perjalanan sekolah pun dipengaruhi oleh keadaan ini. Dalam hal ini dijumpai tiga puncak perjalanan
sekolah, yaitu pada pagi hari jam 06.00 sampai 07.00, di siang hari pada jam 13.00−14.00, dan di sore
hari pada jam 17.00−18.00.

Perjalanan lainnya yang cukup berperan adalah perjalanan untuk maksud berbelanja. Karena
kegiatan berbelanja ini tidak mempunyai waktu khusus, dan pelakunya bisa melakukannya kapan
pun selama toko atau pasar buka, maka tidak ada pola khusus untuk perjalanan dengan maksud
belanja ini; pada umumnya berupa pola menyebar. Meskipun terdapat juga puncak pada pagi dan
sore hari, puncak ini tidak terlalu nyata.

Jadi, jika ditinjau secara keseluruhan, pola perjalanan setiap hari di suatu kota pada dasarnya
merupakan gabungan dari pola perjalanan untuk maksud bekerja, pendidikan, berbelanja, dan
kegiatan sosial lainnya. Pola perjalanan yang diperoleh dari penggabungan ketiga pola perjalanan di
atas terkadang disebut juga pola variasi harian, yang menunjukkan tiga waktu puncak, yaitu waktu
puncak pagi, waktu puncak siang, dan waktu puncak sore.

Pola variasi harian seperti ini dijumpai di semua kota berukuran sedang dan besar di seluruh dunia.
Tentu saja rincian waktu terjadinya waktu puncak berbeda antara satu kota dengan kota lainnya,
tergantung pada ciri pola waktu kerja yang ada dan ciri pola waktu sekolah. Informasi mengenai pola
variasi harian ini sangat penting bagi perencana transportasi. Dengan mempelajari pola variasi harian
perjalanan, ahli transportasi dapat mengetahui pada jam-jam berapa saja sebenarnya prasarana
jaringan jalan atau pun jaringan angkutan umum akan menerima beban puncaknya. Dengan
demikian, penanganan yang paling sesuai dapat diterapkan pada waktu yang tepat sehingga masalah
kemacetan dapat dihindari sejak awal.

Selain itu, informasi pola variasi harian ini juga dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan
strategi yang paling sesuai untuk pengaturan sistem angkutan umum mengingat bahwa pola beban

Fera Lestari, S.T,M.T. | Pengantar Rekayasa Transportasi | Teknik Sipil UTI


PAGE 5
yang berbeda mengakibatkan pola operasional yang berbeda dan juga pola pembiayaan yang
berbeda.

Dengan diketahuinya pola variasi harian ini, perencana transportasi dapat mengatur, misalnya,
sistem frekuensi dan sistem pentarifan yang paling sesuai. Adanya pola variasi harian yang tidak
seimbang antara waktu puncak dan waktu tidak-puncak saat ini menjadi perhatian utama para ahli
perencana transportasi karena masalah yang dihadapi di kota besar biasanya masalah kemacetan
yang terjadi pada jam puncak.

Jika waktu puncak diantisipasi dengan baik, maka pada waktu tidak-puncak, prasarana dan sarana
transportasi yang disediakan menjadi rendah tingkat pemakaiannya. Untuk itu perlu dipikirkan cara
lain agar penyediaan prasarana dan sarana transportasi mampu mengantisipasi perjalanan yang ada
dan sekaligus mempunyai tingkat pemakaian yang memadai.

Jenis sarana angkutan yang digunakan

Dalam melakukan perjalanan, orang biasanya dihadapkan pada pilihan jenis angkutan − mobil,
angkutan umum, pesawat terbang, atau kereta api. Dalam menentukan pilihan jenis angkutan, orang
mempertimbangkan berbagai faktor, yaitu maksud perjalanan, jarak tempuh, biaya, dan tingkat
kenyamanan. Meskipun dapat diketahui faktor yang menyebabkan seseorang memilih jenis moda
yang digunakan, pada kenyataannya sangatlah sulit merumuskan mekanisme pemilihan moda ini.

Dari hasil survei yang pernah dilakukan di DKI-Jakarta pada tahun 1987 terlihat bahwa moda yang
paling umum digunakan dalam perjalanan di dalam kota adalah berjalan kaki, becak, sepeda motor,
kendaraan pribadi, taksi, dan bus kota. Dari semua jenis moda angkutan umum tersebut terlihat
bahwa yang paling dominan adalah perjalanan dengan moda angkutan bus, disusul oleh taksi dan
paratransit. Jika kita bandingkan dengan salah satu kota di Amerika Serikat, akan didapatkan pola
yang hampir sama.

Dari hasil penelitian di Chicago diperoleh kenyataan bahwa perjalanan dengan maksud pendidikan
merupakan 10% dari seluruh jumlah perjalanan; sekitar 70% dari perjalanan tersebut dilakukan
dengan berjalan kaki, 15% dengan bus, dan 10% dengan mobil atau sepeda motor. Perjalanan ke
tempat kerja mencakup 20% dari jumlah seluruh perjalanan; 80% dilakukan dengan mobil pribadi,
sepeda motor dan bus, dan hanya 20% dengan berjalan kaki.

Dari data tersebut jelas terlihat bahwa ditinjau dari maksud perjalanan, sebagian besar perjalanan
dengan maksud bekerja dilakukan oleh orang dewasa yang memiliki kendaraan dan
mengemudikannya sendiri ke tempat kerja. Karena anakanak tidak memiliki kendaraan dan tidak
dapat mengemudi sendiri, mereka berjalan kaki atau naik bus ke sekolah.

Dari faktor jarak terlihat bahwa jarak kurang dari 2 km didominasi oleh perjalanan dengan berjalan
kaki, yaitu sampai 90% dari jumlah perjalanan. Mobil tercatat digunakan kurang dari 10% untuk
perjalanan berjarak dekat ini. Sebaliknya, dengan meningkatnya jarak perjalanan, proporsi
perjalanan dengan berjalan kaki menurun, dan perjalanan dengan mobil meningkat. Angkutan
dengan bus juga meningkat untuk jarak perjalanan sampai sejauh 9 km.

Dari data di atas jelas tampak bahwa secara umum faktor jarak dan faktor maksud perjalanan
merupakan faktor yang paling dominan dalam menentukan jenis atau moda kendaraan yang
digunakan. Dengan berjalan kaki, persentase tinggi cenderung untuk perjalanan jarak dekat,

Fera Lestari, S.T,M.T. | Pengantar Rekayasa Transportasi | Teknik Sipil UTI


PAGE 6
sedangkan perjalanan dengan mobil dan sepeda motor dengan persentase tinggi cenderung untuk
jarak tempuh yang lebih jauh.

Perjalanan untuk maksud belajar dilakukan oleh anak-anak, terutama untuk ke sekolah, yang
biasanya jarak perjalanannya masih dapat dijangkau dengan berjalan kaki dari rumah atau dapat
dicapai dengan mudah dengan menggunakan angkutan umum.

CIRI PERGERAKAN SPASIAL

Seperti yang telah dijelaskan, perjalanan terjadi karena manusia melakukan aktivitas di tempat yang
berbeda dengan daerah tempat mereka tinggal. Artinya, keterkaitan antarwilayah ruang sangatlah
berperan dalam menciptakan perjalanan. Jika suatu daerah sepenuhnya terdiri dari lahan tandus
tanpa tumbuhan dan sumber daya alam, dapat diduga bahwa pada daerah tersebut tidak akan timbul
perjalanan mengingat di daerah tersebut tidak mungkin timbul aktivitas. Juga, tidak akan pernah
ada keterkaitan ruang antara daerah tersebut dengan daerah lainnya.

Konsep paling mendasar yang menjelaskan terjadinya pergerakan atau perjalanan selalu dikaitkan
dengan pola hubungan antara distribusi spasial perjalanan dengan distribusi spasial tata guna lahan
yang terdapat di dalam suatu wilayah. Dalam hal ini, konsep dasarnya adalah bahwa suatu perjalanan
dilakukan untuk melakukan kegiatan tertentu di lokasi yang dituju, dan lokasi kegiatan tersebut
ditentukan oleh pola tata guna lahan kota tersebut. Jadi, faktor tata guna lahan sangat berperan.
Berikut ini dijelaskan beberapa ciri perjalanan spasial, yaitu pola perjalanan orang dan pola
perjalanan barang.

Pola perjalanan orang

Seperti dikatakan sebelumnya, perjalanan terbentuk karena adanya aktivitas yang dilakukan bukan
di tempat tinggal sehingga pola sebaran tata guna lahan suatu kota akan sangat mempengaruhi pola
perjalanan orang. Dalam hal ini pola penyebaran spasial yang sangat berperan adalah sebaran spasial
dari daerah industri, perkantoran, dan permukiman.

Pola sebaran spasial dari ketiga jenis tata guna lahan ini sangat berperan dalam menentukan pola
perjalanan orang, terutama perjalanan dengan maksud bekerja. Tentu saja sebaran spasial untuk
pertokoan dan areal pendidikan juga berperan. Tetapi, mengingat porsi keduanya tidak begitu
signifikan, pola sebaran pertamalah yang sangat mempengaruhi pola perjalanan orang.

Sebagai contoh diambil pola penyebaran daerah perkantoran yang ada di DKIJakarta. Pusat
perkantoran atau pusat lapangan kerja yang tertinggi jelas terdapat di sekitar segitiga emas dan di
sepanjang koridor jalan utama yang mengarah keluar dari pusat perdagangan. Di sekeliling daerah
yang tinggi jumlah kesempatan kerjanya tersebut terdapat daerah perumahan utama yang
kesempatan kerjanya jauh lebih rendah.

Jika ditinjau lebih jauh terlihat bahwa makin jauh dari pusat kota, kesempatan kerja makin rendah,
dan sebaliknya kepadatan perumahan makin tinggi. Tingkat perjalanan yang muncul dari setiap
daerah ke arah pusat kota sebenarnya menunjukkan hubungan antara kepadatan penduduk dengan
kesempatan kerja, yang kondisinya sangat tergantung pada jarak lokasi daerah yang bersangkutan
ke pusat kota.

Fera Lestari, S.T,M.T. | Pengantar Rekayasa Transportasi | Teknik Sipil UTI


PAGE 7
Pada lokasi yang kepadatan penduduknya lebih tinggi daripada kesempatan kerja yang tersedia,
terjadi surplus penduduk, dan mereka harus melakukan perjalanan ke pusat kota untuk bekerja. Di
sini terlihat bahwa makin jauh jarak dari pusat kota, makin banyak daerah perumahan dan makin
sedikit kesempatan kerja yang berakibat makin banyak perjalanan yang terjadi antara daerah
tersebut yang menuju pusat kota.

Kenyataan sederhana ini menentukan dasar ciri pola perjalanan orang di kota. Pada jam sibuk pagi
hari akan terjadi arus lalulintas perjalanan orang menuju ke pusat kota dari sekitar daerah
perumahan, sedangkan jam sibuk sore hari dicirikan oleh arus lalulintas perjalanan orang dari pusat
kota ke sekitar daerah perumahan. Arus lalulintas ini persentasenya sekitar 50−70% dari total jumlah
perjalanan harian yang dibangkitkan di dalam daerah perkotaan, dan karena itu merupakan faktor
terpenting yang membentuk pola perjalanan orang di kota.

Pola perjalanan barang

Berbeda dengan pola perjalanan orang, pola perjalanan barang sangat dipengaruhi oleh aktivitas
produksi dan konsumsi, yang sangat tergantung pada sebaran pola tata guna lahan permukiman
(konsumsi), serta industri dan pertanian (produksi). Selain itu, pola perjalanan barang sangat
dipengaruhi oleh pola rantai distribusi yang menghubungkan pusat produksi ke daerah konsumsi.

Beberapa kajian menunjukkan bahwa 80% dari perjalanan barang yang dilakukan di kota menuju ke
daerah perumahan; ini menunjukkan bahwa perumahan merupakan daerah konsumsi yang
dominan. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa jumlah perjalanan yang besar itu hanya
merupakan 20% dari total jumlah kilometer perjalanan. Hal ini menunjukkan bahwa pola perjalanan
barang lebih didominasi oleh perjalanan menuju daerah lainnya, yaitu ke daerah pusat distribusi
(pasar) atau ke daerah industri.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditinjau dari jumlah kilometer perjalanan, perjalanan barang
menuju daerah dan dari daerah industri merupakan yang terbesar, yaitu perjalanan yang cukup
panjang. Jadi, sangatlah jelas bahwa pola menyeluruh dari perjalanan barang sangat tergantung pada
sebaran tata guna lahan yang berkaitan dengan daerah industri, daerah pertanian, dan daerah
permukiman.

CAMPUR TANGAN MANUSIA PADA SISTEM TRANSPORTASI


Secara ekonomi, ketidakefisienan sistem transportasi atau permasalahan transportasi merupakan
pemborosan besar. Amat banyak bahan bakar terbuang percuma akibat kendaraan terpaksa berjalan
di bawah kecepatan optimum atau sering berhenti. Selain itu, ban dapat lebih cepat aus karena
kendaraan terlalu sering direm, dan masih banyak persoalan lain yang dapat diungkapkan untuk
membuktikan akibat negatif yang timbul oleh transportasi yang tidak direncanakan dengan baik.

Kegiatan manusia yang berbagai macam menyebabkan mereka perlu saling berhubungan. Untuk itu
diperlukan alat perhubungan, salah satu di antaranya dan yang paling tua umurnya adalah
transportasi. Jadi, transportasi bukanlah tujuan akhir, melainkan sekadar alat untuk melawan jarak.
Dengan kemajuan teknologi, muncul berbagai macam atau bentuk alat transportasi untuk
memenuhi berbagai keperluan.

Fera Lestari, S.T,M.T. | Pengantar Rekayasa Transportasi | Teknik Sipil UTI


PAGE 8
Sarana transportasi (alat angkut) terus berkembang mengikuti fenomena baru yang timbul akibat
penggalian sumber daya, seperti penemuan teknologi baru, perkembangan struktur masyarakat, dan
peningkatan produksi. Keterlambatan perkembangan alat angkut akan menyebabkan tidak
tercapainya maksud utama pembangunan nasional, yaitu menyejahterakan masyarakat.

Contohnya, untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada di pulau Sumatera harus dapat dibuat
hubungan antara berbagai sumber alam tersebut dengan tempat pengolahan, dan kemudian dengan
pasar; untuk ini diperlukan transportasi. Karena itulah pemanfaatan sumber daya alam bagi
kesejahteraan masyarakat hanyalah angan-angan belaka selama transportasi untuk itu belum
tersedia. Di sinilah diperlukan campur tangan manusia atau pemerintah pada sistem transportasi

Pemerintah memiliki sejarah panjang dalam hal campur tangan dan prakarsa di bidang transportasi.
Penjelasan mengenai hal ini tidak sulit diperoleh. Akan tetapi, tingkat keterlibatan pemerintah
tersebut tumbuh seiring dengan meningkatnya kerumitan sistem transportasi dan peranannya
dalam perekonomian nasional secara keseluruhan.

Selanjutnya, kebijakan sosial suatu pemerintah yang modern mempunyai dampak terhadap sistem
transportasi nasional dan industri transportasi itu sendiri. Persoalan dasar transportasi sebenarnya
sederhana, yaitu terlalu besarnya kebutuhan akan pergerakan dibandingkan dengan sistem
prasarana transportasi yang tersedia. Karena itu, Wells (1970) menyatakan bahwa usaha
pemecahannya tidak terlalu sulit. Yang mungkin dilakukan adalah:

1. membangun sistem prasarana transportasi dengan dimensi yang lebih besar sehingga
kapasitasnya sesuai dengan atau melebihi kebutuhan;
2. mengurangi tuntutan akan pergerakan dengan mengurangi jumlah kendaraan pemakai jalan;
3. menggabungkan (1) dan (2), yaitu menggunakan sistem prasarana transportasi yang ada secara
optimum, membangun sistem prasarana transportasi tambahan, dan sekaligus melakukan
pengawasan dan pengendalian sejauh mungkin atas meningkatnya kebutuhan akan pergerakan.

Cara pertama tentu saja tak mungkin dilakukan terus menerus tanpa batas. Pada daerah yang sudah
berkembang, bahkan pelebaran jalan saja pun hampir tidak mungkin karena biayanya terlalu mahal,
tidak ekonomis, dan tidak jarang menimbulkan berbagai masalah sosial.

Cara kedua, mengurangi atau membatasi jumlah kendaraan pun hampir tak mungkin dilakukan.
Setiap orang berhak menikmati kesejahteraan dan tidak ada dasar hukum yang melarang orang
memiliki kendaraan bermotor yang diperolehnya secara sah; pabrik kendaraan pun tak bisa
diharapkan berhenti berproduksi. Karena itu, penanggulangan dengan mencari jalan tengah di
antara kedua cara tersebut adalah cara yang pada umumnya ditempuh.

Secara umum bentuk campur tangan manusia pada sistem transportasi dimungkinkan dengan cara:
1. mengubah teknologi transportasi
2. mengubah teknologi informasi
3. mengubah ciri kendaraan
4. mengubah ciri ruas jalan
5. mengubah konfigurasi jaringan transportasi
6. mengubah kebijakan operasional dan organisasi
7. mengubah kebijakan kelembagaan
8. mengubah perilaku perjalanan
9. mengubah pilihan kegiatan

Fera Lestari, S.T,M.T. | Pengantar Rekayasa Transportasi | Teknik Sipil UTI


PAGE 9
PERENCANAAN TRANSPORTASI SEBAGAI BENTUK CAMPUR
TANGAN MANUSIA
Seperti telah dikemukakan, sarana transportasi adalah salah satu dari sekian macam alat
penghubung yang dimaksudkan untuk melawan jarak. Melawan jarak tidak lain adalah menyediakan
sistem sarana dan prasarana transportasi, yaitu alat yang bergerak, menyediakan ruang untuk alat
angkut tersebut, dan tempat berhentinya (untuk bongkar muat), mengatur kegiatan transportasi,
menentukan tempat perhentian, lokasi untuk berproduksi dan mengkonsumsi, serta merencanakan
semuanya untuk perkembangan selanjutnya. Pengembangan mengenai perencanaan itu disebut
perencanaan transportasi.

Perencanaan transportasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan kota atau
perencanaan daerah. Rencana kota atau rencana daerah tanpa mempertimbangkan keadaan dan pola
transportasi yang akan terjadi sebagai akibat rencana itu sendiri akan menghasilkan kesemrawutan
lalulintas di kemudian hari. Keadaan ini akan membawa akibat berantai cukup panjang dengan
meningkatnya jumlah kecelakaan, pelanggaran lalulintas, menurunnya sopan santun berlalulintas,
dan lain-lain.

Dalam kaitan antara perencanaan transportasi dan perencanaan kota, maka menetapkan suatu
bagian kawasan kota menjadi tempat kegiatan tertentu (misalnya kawasan perumahan mewah
Pondok Indah atau kawasan Industri Pulo Gadung di DKI-Jakarta) bukanlah sekadar memilih lokasi.
Pada akhirnya, dalam perencanaan tata guna lahan untuk perkotaan harus diperhitungkan lalulintas
yang bakal terjadi akibat penetapan lokasi itu sendiri, lalulintas di kawasan itu sendiri, serta lalulintas
antara kawasan itu dengan kawasan lain yang sudah ada lebih dahulu.

Perencanaan transportasi itu sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang tujuannya
mengembangkan sistem transportasi yang memungkinkan manusia dan barang bergerak atau
berpindah tempat dengan aman dan murah (Pignataro, 1973). Selain itu, sebenarnya masih ada unsur
‘cepat’; jadi, selain aman dan murah, transportasi juga harus cepat. Bahkan untuk memindahkan
manusia, selain cepat, aman, dan murah, sistem transportasi harus pula nyaman.

Perencanaan transportasi ini merupakan proses yang dinamis dan harus tanggap terhadap
perubahan tata guna lahan, keadaan ekonomi, dan pola arus lalulintas. Modal yang dikeluarkan
untuk menerapkan sistem transportasi sangat besar sehingga mungkin saja terjadi perubahan yang
radikal atas tata guna lahan tempat sistem prasarana transportasi dibangun karena pemakai lahan
mengharapkan mendapatkan keuntungan atas pembangunan prasarana tersebut.

Perlu dicatat bahwa proses perencanaan transportasi dipengaruhi secara langsung oleh ada tidaknya
pengawasan atas pola dan sistem kegiatan manusia, yang biasanya dicerminkan dengan pola tata
guna lahan. Misalnya, pada keadaan tanpa pengawasan tata guna lahan, maka jaringan transportasi
dengan sendirinya akan menjadi penentu yang kuat bagi peruntukan tata guna lahan tersebut. Jadi,
harus direncanakan dengan memperhatikan dampaknya. Hal seperti ini akan terjadi di negara
sedang berkembang yang pertumbuhannya berjalan cepat dan tidak terpengaruh oleh kurangnya
sarana pelayanan umum yang lain.

Apa pun asumsi yang dibuat tentang tata guna lahan, perencanaan transportasi akan mengusulkan
untuk membuat jalan, jembatan, dan tempat parkir, serta membuat kebijakan dan peraturan yang
diperlukan, misalnya tarif, pengendalian perparkiran, dan pembatasan lalulintas. Kekuatan hukum

Fera Lestari, S.T,M.T. | Pengantar Rekayasa Transportasi | Teknik Sipil UTI


PAGE 10
diperlukan bilamana suatu rencana diajukan. Di negara sedang berkembang, para pejabatnya kurang
memiliki wewenang untuk memperoleh tanah guna membuat jalan, memungut ongkos parkir,
mengadakan larangan beberapa jenis kendaraan yang datang dari jalan pribadi, atau mengawasi
masalah perparkiran kendaraan pribadi. Perencanaan transportasi tanpa pengendalian tata guna
lahan adalah mubazir karena perencanaan transportasi pada dasarnya adalah usaha untuk
mengantisipasi kebutuhan akan pergerakan di masa mendatang, dan faktor aktivitas yang
dicanangkan (dan juga tata guna lahan) merupakan dasar analisisnya.

Jadi, bila tata guna lahan tidak bisa diawasi atau dikendalikan melalui tindakan hukum, maka
perencanaan transportasi harus dimulai dari posisi antara yang diinginkan dan yang bisa berjalan
wajar tanpa perencanaan. Contohnya adalah proses timbulnya pasar. Kebijakan yang mungkin bisa
digunakan untuk mempengaruhi perkembangan tata guna lahan adalah:

1. memberikan rangsangan berbentuk uang untuk mereka yang dapat menciptakan lapangan kerja
di daerah tertentu, dengan cara memberi hadiah atau pengurangan pajak kepada setiap
pengusaha;
2. membebankan pajak yang lebih tinggi kepada pengusaha yang membangun daerah lain, selain
yang ditunjuk;
3. menurunkan tarif umum untuk listrik, gas, air PAM, dan telepon untuk daerah yang sedang
dibangun, dan menaikkan tarif tersebut untuk daerah yang tidak mendapat izin pembangunan
lagi;
4. memberikan rangsangan berupa subsidi pembangunan dan penyewaan untuk bangunan industri,
ruang perkantoran, dan pertokoan di daerah pembangunan; 5 memperbaiki jalan raya dan
pelayanan transportasi yang lebih baik untuk menunjang daerah yang dibangun; 6 menerapkan
pengaturan yang baik untuk merancang akses.

PIHAK YANG TERLIBAT DALAM PERENCANAAN


TRANSPORTASI
Dalam kajian perencanaan transportasi, pihak yang terlibat sangatlah beragam di berbagai negara.
Semuanya sangat tergantung pada sistem kelembagaan yang ada di negara yang bersangkutan,
terutama kelembagaan yang menyelenggarakan atau bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
kajian perencanaan transportasi. Meskipun demikian, dalam kajian perencanaan transportasi
biasanya ada tiga kelompok atau pihak yang terlibat, yaitu:

1. penyelenggara kajian, yaitu orang atau lembaga yang bertanggung jawab dalam pengambilan
keputusan dari hasil kajian. Untuk proyek milik swasta, pihak yang dimaksud dapat berupa
wakil perusahaan penyelenggara kajian, misalnya pengembang kawasan industri atau pemodal
sistem prasarana transportasi.
2. profesional atau pakar, yaitu pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kajian. Pihak
itu biasanya merupakan lembaga profesional (konsultan, pusat kajian, atau pusat penelitian).
3. masyarakat, yaitu mencakup sekelompok anggota masyarakat yang dipilih untuk mewakili
masyarakat umum dalam proses pengkajian.

Dalam pelaksanaan kajian, pihak penyelenggara dan masyarakat selanjutnya berfungsi sebagai pihak
yang mengawasi atau mengarahkan pelaksanaan kajian oleh pihak profesional. Biasanya tugas

Fera Lestari, S.T,M.T. | Pengantar Rekayasa Transportasi | Teknik Sipil UTI


PAGE 11
pengarahan ini dikelompokkan dalam tiga komite; setiap komite menangani tugas dan kepentingan
yang berbeda. Misalnya, untuk kajian dengan skala yang cukup besar, komite yang dimaksud
meliputi:

1. komite eksekutif, terdiri dari perwakilan dari pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan
(misalnya menteri, direktur jenderal, kepala direktorat).
2. komite pengarah teknis, terdiri dari perwakilan penyelenggara kajian atau perwakilan dari
lembaga terkait. Komite ini bersifat teknis, yaitu mampu mengarahkan kajian secara substansif.
Karena itu, anggota komite ini terdiri dari orang yang mempunyai latar belakang yang cukup
secara teknis, seperti ahli ekonomi, perencana, ahli teknik, dan manajer operasi.
3. komite perwakilan masyarakat, terdiri atas perwakilan dari kelompok kepentingan yang ada di
masyarakat luas. Komite perwakilan masyarakat biasanya terisolasi dalam penyelenggaraan
kajian yang dilakukan di negara Barat. Di Indonesia, partisipasi masyarakat luas belum begitu
dikenal sehingga komite perwakilan masyarakat dalam pelaksanaan kajian perencanaan
transportasi seperti ini jarang sekali terlihat.

Fera Lestari, S.T,M.T. | Pengantar Rekayasa Transportasi | Teknik Sipil UTI


PAGE 12

Anda mungkin juga menyukai