PENDEKATAN PERENCANAAN
TRANSPORTASI
CHAPTER 3
Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa dapat memahami aksesbilitas dan mobilitas, pendekatan sistem untuk perencanaan
transportasi, konsep perencanaan transportasi dan análisis interaksi sistema kegiatan dan sistema
jaringan
Referensi
1. Black, J, 1985, Urban Transport Planning, croom Helm ltd.london
2. Cascetta, Ennio, 2009.Transportation Systems Analysis, Models and Applications.
Springer. ISBN 978-0387-75856-5
3. C. Jotin Khisty &B. Kent Lall, 2003, Transportation Engineering: An Introduction, 3rd
Edition, ISBN-13: 9780130335609
4. Morlok, E.K., 1978 Introduction to transportation Engineering and Planning, Mc
Graw Hill,Inc
5. Tamin, Ofyar Z, 2012. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi.ITB.ISBN 979-
9299-10-01
Terdapat beberapa skala atau periode waktu dalam perencanaan sistem transportasi perkotaan,
yaitu: skala panjang, menengah, dan pendek. Jangka waktu perencanaan bisa sangat lama (misalnya
25 tahun) yang biasanya digunakan untuk perencanaan strategi pembangunan kota berjangka
panjang. Strategi ini akan sangat dipengaruhi oleh perencanaan tata guna lahan dan perkiraan arus
lalulintas dalam perencanaan ini biasanya dikategorikan berdasarkan moda dan rute. Kajian tersebut
biasa dilakukan untuk merencanakan kota baru.
Kajian lainnya adalah kajian transportasi berskala pendek, dengan tahun rencana maksimum 5
tahun. Kajian ini biasanya berupa kajian manajemen transportasi yang lebih menekankan dampak
kebijakan manajemen lalulintas terhadap perubahan rute suatu moda transportasi. Kajian tersebut
pada dasarnya bersifat sangat teknis karena dampak tata guna lahan tidak begitu signifikan pada
waktu yang sangat singkat.
Di antara kedua kajian tersebut terdapat kajian transportasi berskala menengah dengan umur
perencanaan sekitar 10−20 tahun di masa mendatang. Kajian semacam ini telah dimulai sejak tahun
1950-an di Amerika Serikat, dilakukan minimal sekali pada hampir semua kota besar di Amerika
Serikat dan di beberapa negara dunia ketiga. Di Indonesia, yaitu di DKI-Jakarta, Surabaya, Bandung,
dan Medan telah pula dilakukan kajian semacam itu pada waktu 10 tahun belakangan ini.
Teori, model, dan metode yang digunakan dalam kajian transportasi berskala menengah merupakan
topik utama buku ini. Modul ini menjelaskan hubungan dalam bentuk kuantitatif (model matematis)
yang dapat digunakan untuk memperkirakan besarnya kebutuhan akan transportasi sebagai akibat
adanya kegiatan yang dilakukan pada tata guna lahan. Hubungan dan model yang dikembangkan
digunakan untuk lebih memahami hubungan yang terjadi dalam suatu kota, yaitu antara tata guna
lahan (kegiatan), transportasi (jaringan), dan lalulintas (pergerakan). Model tersebut harus dengan
mudah dapat dimodifikasi dan diperbaiki secara terus menerus. Hal ini sering dilakukan oleh
pemerintah untuk meramalkan arus lalulintas yang nantinya menjadi dasar perencanaan investasi
untuk suatu fasilitas transportasi yang baru.
PENGERTIAN SISTEM
Sistem adalah gabungan beberapa komponen atau objek yang saling berkaitan. Dalam setiap
organisasi sistem, perubahan pada satu komponen dapat menyebabkan perubahan pada komponen
lainnya. Dalam sistem mekanis, komponen berhubungan secara ‘mekanis’, misalnya komponen
dalam mesin mobil. Dalam sistem ‘tidakmekanis’, misalnya dalam interaksi sistem tata guna lahan
dengan sistem jaringan transportasi, komponen yang ada tidak dapat berhubungan secara mekanis,
akan tetapi perubahan pada salah satu komponen (sistem ‘kegiatan’) dapat menyebabkan perubahan
pada komponen lainnya (sistem ‘jaringan’ dan sistem ‘pergerakan’). Pada dasarnya, prinsip sistem
‘mekanis’ sama saja dengan sistem ‘tidak-mekanis’.
Proses selanjutnya adalah mengumpulkan data untuk melihat kondisi yang ada dan hal ini sangat
diperlukan untuk mengembangkan metode kuantitatif yang akan dipilih yang tentu harus sesuai
dengan sistem yang ada. Proses peramalan sangat dibutuhkan untuk melihat perkiraan situasi pada
masa mendatang dan merumuskan beberapa alternatif pemecahan masalah, termasuk standar
perencanaan yang diteruskan dengan proses pemilihan alternatif terbaik. Untuk itu diperlukan suatu
metode atau teknik penilaian yang cocok dalam proses pemilihan alternatif terbaik tersebut.
Untuk lebih memahami dan mendapatkan alternatif pemecahan masalah yang terbaik, perlu
dilakukan pendekatan secara sistem − sistem transportasi dijelaskan dalam bentuk sistem
transportasi makro yang terdiri dari beberapa sistem transportasi mikro. Sistem transportasi secara
menyeluruh (makro) dapat dipecahkan menjadi beberapa sistem yang lebih kecil (mikro) yang
masing-masing saling terkait dan saling mempengaruhi seperti terlihat pada gambar 2
Fera Lestari, S.T,M.T. | Pengantar Rekayasa Transportasi | Teknik Sipil UTI
PAGE 4
Gambar. 2 Sistem Transportasi Makro
a. sistem kegiatan
d. sistem kelembagaan
Seperti kita ketahui, pergerakan lalulintas timbul karena adanya proses pemenuhan kebutuhan. Kita
perlu bergerak karena kebutuhan kita tidak bisa dipenuhi di tempat kita berada. Setiap tata guna
lahan atau sistem kegiatan (sistem mikro yang pertama) mempunyai jenis kegiatan tertentu yang
akan membangkitkan pergerakan dan akan menarik pergerakan dalam proses pemenuhan
kebutuhan.
Sistem tersebut merupakan sistem pola kegiatan tata guna lahan yang terdiri dari sistem pola
kegiatan sosial, ekonomi, kebudayaan, dan lain-lain. Kegiatan yang timbul dalam sistem ini
membutuhkan pergerakan sebagai alat pemenuhan kebutuhan yang perlu dilakukan setiap hari yang
tidak dapat dipenuhi oleh tata guna lahan tersebut. Besarnya pergerakan sangat berkaitan erat
dengan jenis dan intensitas kegiatan yang dilakukan.
Pergerakan yang berupa pergerakan manusia dan/atau barang tersebut jelas membutuhkan moda
transportasi (sarana) dan media (prasarana) tempat moda transportasi tersebut bergerak. Prasarana
transportasi yang diperlukan merupakan sistem mikro yang kedua yang biasa dikenal dengan sistem
jaringan yang meliputi sistem jaringan jalan raya, kereta api, terminal bus dan kereta api, bandara,
dan pelabuhan laut.
Fera Lestari, S.T,M.T. | Pengantar Rekayasa Transportasi | Teknik Sipil UTI
PAGE 5
Interaksi antara sistem kegiatan dan sistem jaringan ini menghasilkan pergerakan manusia dan/atau
barang dalam bentuk pergerakan kendaraan dan/atau orang (pejalan kaki). Suatu sistem mikro yang
ketiga atau sistem pergerakan yang aman, cepat, nyaman, murah, handal, dan sesuai dengan
lingkungannya dapat tercipta jika pergerakan tersebut diatur oleh sistem rekayasa dan manajemen
lalulintas yang baik. Permasalahan kemacetan yang sering terjadi di kota besar di Indonesia biasanya
timbul karena kebutuhan akan transportasi lebih besar daripada prasarana transportasi yang
tersedia, atau prasarana tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Sistem kegiatan, sistem jaringan, dan sistem pergerakan akan saling mempengaruhi seperti terlihat
pada gambar 2. Perubahan pada sistem kegiatan jelas akan mempengaruhi sistem jaringan melalui
perubahan pada tingkat pelayanan pada sistem pergerakan. Begitu juga perubahan pada sistem
jaringan akan dapat mempengaruhi sistem kegiatan melalui peningkatan mobilitas dan aksesibilitas
dari sistem pergerakan tersebut.
Selain itu, sistem pergerakan memegang peranan penting dalam menampung pergerakan agar
tercipta pergerakan yang lancar yang akhirnya juga pasti mempengaruhi kembali sistem kegiatan
dan sistem jaringan yang ada dalam bentuk aksesibilitas dan mobilitas. Ketiga sistem mikro ini saling
berinteraksi dalam sistem transportasi makro. Sesuai dengan GBHN 1993, dalam usaha untuk
menjamin terwujudnya sistem pergerakan yang aman, nyaman, lancar, murah, handal, dan sesuai
dengan lingkungannya, maka dalam sistem transportasi makro terdapat sistem mikro tambahan
lainnya yang disebut sistem kelembagaan yang meliputi individu, kelompok, lembaga, dan instansi
pemerintah serta swasta yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam setiap sistem
mikro tersebut.
Di Indonesia, sistem kelembagaan yang berkaitan dengan masalah transportasi secara umum adalah
sebagai berikut.
• Sistem kegiatan
• Sistem jaringan
Bappenas, Bappeda, Bangda, dan Pemda memegang peranan yang sangat penting dalam
menentukan sistem kegiatan melalui kebijakan baik yang berskala wilayah, regional, maupun
sektoral. Kebijakan sistem jaringan secara umum ditentukan oleh Departemen Perhubungan baik
darat, laut, maupun udara serta Departemen PU melalui Direktorat Jenderal Bina Marga. Sistem
pergerakan ditentukan oleh DLLAJ, Organda, Polantas dan masyarakat sebagai pemakai jalan.
Kebijakan yang diambil tentunya dapat dilaksanakan dengan baik melalui peraturan yang secara
tidak langsung juga memerlukan sistem penegakan hukum yang baik pula. Jadi, secara umum dapat
Sistem transportasi perkotaan terdiri dari berbagai aktivitas seperti bekerja, sekolah, olahraga,
belanja, dan bertamu yang berlangsung di atas sebidang tanah (kantor, pabrik, pertokoan, rumah,
dan lain-lain). Potongan lahan ini biasa disebut tata guna lahan. Untuk memenuhi kebutuhannya,
manusia melakukan perjalanan di antara tata guna lahan tersebut dengan menggunakan sistem
jaringan transportasi (misalnya berjalan kaki atau naik bus). Hal ini menimbulkan pergerakan arus
manusia, kendaraan, dan barang.
Pergerakan arus manusia, kendaraan, dan barang mengakibatkan berbagai macam interaksi.
Terdapat interaksi antara pekerja dan tempat mereka bekerja, antara ibu rumah tangga dan pasar,
antara pelajar dan sekolah, dan antara pabrik dan lokasi bahan mentah serta pasar. Beberapa
interaksi dapat juga dilakukan dengan telepon atau surat (sangat menarik untuk diketahui
bagaimana sistem telekomunikasi yang lebih murah dan lebih canggih dapat mempengaruhi
kebutuhan lalulintas di masa mendatang). Akan tetapi, hampir semua interaksi memerlukan
perjalanan, dan oleh sebab itu menghasilkan pergerakan arus lalulintas.
Sasaran umum perencanaan transportasi adalah membuat interaksi tersebut menjadi semudah dan
seefisien mungkin. Cara perencanaan transportasi untuk mencapai sasaran umum itu antara lain
dengan menetapkan kebijakan tentang hal berikut ini.
a. Sistem kegiatan
Rencana tata guna lahan yang baik (lokasi toko, sekolah, perumahan, pekerjaan, dan lain-lain yang
benar) dapat mengurangi kebutuhan akan perjalanan yang panjang sehingga membuat interaksi
menjadi lebih mudah. Perencanaan tata guna lahan biasanya memerlukan waktu cukup lama dan
tergantung pada badan pengelola yang berwewenang untuk melaksanakan rencana tata guna lahan
tersebut.
b. Sistem jaringan
Hal yang dapat dilakukan misalnya meningkatkan kapasitas pelayanan prasarana yang ada:
melebarkan jalan, menambah jaringan jalan baru, dan lain-lain.
c. Sistem pergerakan
Hal yang dapat dilakukan antara lain mengatur teknik dan manajemen lalulintas (jangka pendek),
fasilitas angkutan umum yang lebih baik (jangka pendek dan menengah), atau pembangunan jalan
(jangka panjang).
Tujuan utama dilakukannya analisis interaksi sistem ini oleh para perencana transportasi adalah
sebagai berikut:
1. memahami cara kerja sistem tersebut,
2. menggunakan hubungan analisis antara komponen sistem untuk meramalkan dampak lalulintas
beberapa tata guna lahan atau kebijakan transportasi yang berbeda.
Hubungan dasar antara sistem kegiatan, sistem jaringan, dan sistem pergerakan dapat disatukan
dalam beberapa urutan tahapan, yang biasanya dilakukan secara berurutan sebagai berikut.
a Aksesibilitas dan mobilitas
Ukuran potensial atau kesempatan untuk melakukan perjalanan. Tahapan ini bersifat lebih abstrak
jika dibandingkan dengan empat tahapan berikut, digunakan untuk mengalokasikan masalah yang
terdapat dalam sistem transportasi dan mengevaluasi pemecahan alternatif.
1. Pembangkit lalulintas
Bagaimana perjalanan dapat bangkit dari suatu tata guna lahan atau dapat tertarik ke suatu tata
guna lahan.
2. Sebaran penduduk
Bagaimana perjalanan tersebut disebarkan secara geografis di dalam daerah perkotaan (daerah
kajian).
3. Pemilihan moda transportasi
Menentukan faktor yang mempengaruhi pemilihan moda transportasi untuk tujuan perjalanan
tertentu.
4. Pemilihan rute
Menentukan faktor yang mempengaruhi pemilihan rute dari setiap zona asal dan ke setiap zona
tujuan.
Perlu diketahui bahwa terdapat hubungan antara waktu tempuh, kapasitas, dan arus lalulintas −
waktu tempuh sangat dipengaruhi oleh kapasitas rute yang ada dan jumlah arus lalulintas yang
menggunakan rute tersebut.
Semua tindakan yang dilakukan pada setiap tahapan akan mempengaruhi tahapan lainnya dalam
sistem tersebut. Pihak yang terlibat dalam sistem tersebut dapat dilihat pada tabel 1
Perencana kota mengatur lokasi aktivitas suatu tata guna lahan agar dapat pula mengatur
aksesibilitas kota tersebut. Hal ini pasti berdampak pada bangkitan dan tarikan lalulintas serta
sebaran pergerakannya. Pengelola angkutan umum harus memperhatikan kemampuannya untuk
Ahli lalulintas mencoba meningkatkan kecepatan lalulintas ini dan membuat perjalanan lebih aman
dengan menyediakan beberapa sarana seperti marka, rambu, dan pengaturan persimpangan.
Perubahan sistem transportasi ini akan berdampak baik pada tata guna lahan (dengan mengubah
aksesibilitas dan mobilitas) serta arus lalulintas.
Ahli jalan raya selalu dicap sebagai orang yang ‘berbahaya’ dalam sistem transportasi, apalagi jika dia
tidak waspada terhadap dampak pembangunan dalam bagian sistem tersebut. Ahli jalan raya
biasanya mempunyai uang untuk membangun jalan. Oleh karena itu, dia berada pada posisi yang
bisa membuat dampak besar dalam sistem tersebut. Jalan baru akan menghasilkan perubahan besar
terhadap sebaran pergerakan, pemilihan moda dan rute, serta tata guna lahan (aksesibilitas). Ahli
jalan raya harus waspada pada pengaruh jalan terhadap seluruh bagian sistem transportasi, termasuk
seluruh sistem perkotaan di masa mendatang.
Aksesibilitas adalah konsep yang menggabungkan sistem pengaturan tata guna lahan secara
geografis dengan sistem jaringan transportasi yang menghubungkannya. Aksesibilitas adalah suatu
ukuran kenyamanan atau kemudahan mengenai cara lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama
lain dan ‘mudah’ atau ‘susah’nya lokasi tersebut dicapai melalui sistem jaringan transportasi (Black,
1981).
Pernyataan ‘mudah’ atau ‘susah’ merupakan hal yang sangat ‘subjektif’ dan ‘kualitatif’. Mudah bagi
seseorang belum tentu mudah bagi orang lain, begitu juga dengan pernyataan susah. Oleh karena
itu, diperlukan kinerja kuantitatif (terukur) yang dapat menyatakan aksesibilitas atau kemudahan.
Sedangkan mobilitas adalah suatu ukuran kemampuan seseorang untuk bergerak yang biasanya
dinyatakan dari kemampuannya membayar biaya transportasi.
Ada yang menyatakan bahwa aksesibilitas dapat dinyatakan dengan jarak. Jika suatu tempat
berdekatan dengan tempat lainnya, dikatakan aksesibilitas antara kedua tempat tersebut tinggi.
Sebaliknya, jika kedua tempat itu sangat berjauhan, aksesibilitas antara keduanya rendah. Jadi, tata
guna lahan yang berbeda pasti mempunyai aksesibilitas yang berbeda pula karena aktivitas tata guna
lahan tersebut tersebar dalam ruang secara tidak merata (heterogen).
Akan tetapi, peruntukan lahan tertentu seperti bandara, lokasinya tidak bisa sembarangan dan
biasanya terletak jauh di luar kota (karena ada batasan dari segi keamanan, pengembangan wilayah,
dan lain-lain). Dikatakan aksesibilitas ke bandara tersebut pasti akan selalu rendah karena letaknya
yang jauh di luar kota. Namun, meskipun letaknya jauh, aksesibilitas ke bandara dapat ditingkatkan
dengan menyediakan sistem jaringan transportasi yang dapat dilalui dengan kecepatan tinggi
sehingga waktu tempuhnya menjadi pendek.
Beberapa jenis tata guna lahan mungkin tersebar secara meluas (perumahan) dan jenis lainnya
mungkin berkelompok (pusat pertokoan). Beberapa jenis tata guna lahan mungkin ada di satu atau
dua lokasi saja dalam suatu kota seperti rumah sakit, dan bandara. Dari sisi jaringan transportasi,
kualitas pelayanan transportasi pasti juga berbeda-beda; sistem jaringan transportasi di suatu daerah
mungkin lebih baik dibandingkan dengan daerah lainnya baik dari segi kuantitas (kapasitas) maupun
kualitas (frekuensi dan pelayanan). Contohnya, pelayanan angkutan umum biasanya lebih baik di
pusat perkotaan dan pada beberapa jalan utama transportasi dibandingkan dengan di daerah
pinggiran kota.
Skema sederhana yang memperlihatkan kaitan antara berbagai hal yang diterangkan mengenai
aksesibilitas dapat dilihat pada tabel 2 (Black, 1981).
Apabila tata guna lahan saling berdekatan dan hubungan transportasi antar tata guna lahan tersebut
mempunyai kondisi baik, maka aksesibilitas tinggi. Sebaliknya, jika aktivitas tersebut saling terpisah
jauh dan hubungan transportasinya jelek, maka aksesibilitas rendah. Beberapa kombinasi di
antaranya mempunyai aksesibilitas menengah.
Kelompok populasi yang berbeda, atau orang yang sama pada saat yang berbeda, akan tertarik pada
aksesibilitas yang berbeda-beda. Keluarga, pada waktu yang berbeda-beda, tertarik akan aksesibilitas
ke tempat pekerjaan, pendidikan, belanja, pelayanan kesehatan, dan fasilitas rekreasi. Pedagang akan
lebih tertarik pada aksesibilitas untuk pelanggan, sedangkan industri lebih tertarik pada aksesibilitas
untuk tenaga kerja dan bahan mentah.
Beberapa pertanyaan mengenai aksesibilitas untuk suatu daerah perkotaan dapat dilihat berikut ini
(Black, 1977), dengan contoh khusus untuk suatu daerah permukiman:
a. berapa jarak ke tempat kerja, sekolah, dan lain-lain; dan bagaimana kondisi fasilitas sistem
jaringan transportasinya (jalan, angkutan umum)?
b. bagaimana keragaman aksesibilitas tersebut dilihat dari ciri sosio-ekonomi dari daerah yang
berbeda-beda?
Fera Lestari, S.T,M.T. | Pengantar Rekayasa Transportasi | Teknik Sipil UTI
PAGE 10
c. apakah aksesibilitas yang baik akan mengurangi jumlah perjalanan ke beberapa lokasi aktivitas?
• bagaimana keragaman aksesibilitas dalam kelompok yang berbeda, misalnya orang tua dan anak
muda yang bergantung pada ketersediaan angkutan umum?
d. apakah ada kelompok lain yang mempunyai aksesibilitas rendah karena mereka tidak mempunyai
sepeda motor? Dalam hal ini, konsep aksesibilitas dapat digunakan untuk menganalisis struktur
suatu perkotaan dalam hal lokasi aktivitas yang mempunyai hubungan dengan lokasi perumahan.
Evaluasi seperti ini telah dilakukan sesuai dengan permintaan pemerintah DKI-Jakarta
(Gakenheimer, 1982).
e. bagaimana mengenai keseragaman daerah? (pertanyaan ini tidak begitu penting untuk daerah
perkotaan).
f. bagaimana kesejahteraan sosial, terutama untuk daerah perkotaan, yang memegang peranan
yang sangat penting? Gakenheimer (1982) mengatakan bahwa hanya sedikit informasi yang
didapat tentang aksesibilitas angkutan umum, terutama di luar DKI-Jakarta, terutama yang
berkaitan dengan pentingnya orang berpendapatan rendah mendapatkan aksesibilitas yang
cukup untuk mencapai tempat bekerja, fasilitas kesehatan, serta sarana sosial lainnya.
g. bagaimana lokasi industri dan produktifitas daerah perkotaan? Aksesibilitas penting artinya bagi
lokasi industri pada skala daerah dan nasional, tapi kurang begitu penting (dari sudut efisiensi
dan produktivitas) dalam daerah perkotaan. Secara aksiomatis, kenyataannya sangat sederhana;
produktivitas suatu daerah perkotaan dan pengembangan ekonominya dapat diperbaiki dengan
tersedianya fasilitas transportasi yang baik (aksesibilitas yang baik) di dalam kota. Aksesibilitas
yang baik lebih penting untuk kesejahteraan sosial dibandingkan dengan pengembangan
ekonomi.
Setiap orang menginginkan aksesibilitas yang baik dan ini digunakan dalam beberapa model
penentuan lokasi tata guna lahan di daerah perkotaan. Model yang terakhir dan banyak dikenal
adalah model Lowry (Lowry, 1964). Model ini mengasumsikan bahwa lokasi industri utama di daerah
perkotaan harus ditentukan terlebih dahulu. Setelah itu, jumlah keluarga dapat diperkirakan dan
lokasinya ditentukan berdasarkan aksesibilitas lokasi industri tersebut.
Jumlah sektor pelayanan kemudian dapat diperkirakan dari jumlah keluarga dan model tersebut,
yang selanjutnya ditentukan lokasinya berdasarkan aksesibilitasnya terhadap lokasi perumahan.
Dengan kata lain, dengan menentukan lokasi industri (lapangan kerja), lokasi lainnya (perumahan
dan fasilitas pelayanan lainnya) dapat ditentukan oleh model dengan kriteria dasar aksesibilitas.
Ukuran untuk menentukan besarnya hambatan pergerakan yang dapat digunakan untuk mengukur
aksesibilitas telah didiskusikan. Black and Conroy (1977) membuat ringkasan tentang cara mengukur
aksesibilitas di dalam daerah perkotaan. Yang paling mudah adalah mengasumsikan bahwa daerah
perkotaan dipecah menjadi N zona, dan semua aktivitas terjadi di pusat zona.
Aktivitas diberi notasi A. Aksesibilitas K untuk suatu zona adalah ukuran intensitas di lokasi tata
guna lahan (misalnya jumlah lapangan kerja) pada setiap zona di dalam kota tersebut dan
kemudahan untuk mencapai zona tersebut melalui sistem jaringan transportasi.
Telah diterangkan bahwa aksesibilitas di daerah perkotaan digunakan sebagai ukuran struktur
spasial suatu kota dan selanjutnya digunakan untuk mengevaluasi struktur tersebut dalam bentuk
sosial. Beberapa contoh yang diberikan akan menjelaskan ini. Hasil kerja di Inggris (Dallal, 1980)
bertujuan untuk mengukur aksesibilitas angkutan umum di kota London. Tujuan utama penelitian
ini adalah:
Indeks aksesibilitas untuk angkutan umum didapatkan dengan mengkombinasikan jarak dari rumah
ke tempat pemberhentian bus atau stasiun kereta api bawah tanah terdekat, termasuk perkiraan
waktu menunggu bus dan kereta api (yang tergantung dari frekuensi pelayanan). Perhatikan bahwa
indeks aksesibilitas hanya memperhatikan waktu sebenarnya dari rumah sampai pada waktu menaiki
bus atau kereta api, bukan sampai pada tujuan akhir.
Aksesibilitas adalah alat untuk mengukur potensial dalam melakukan perjalanan, selain juga
menghitung jumlah perjalanan itu sendiri. Ukuran ini menggabungkan sebaran geografis tata guna
lahan dengan kualitas sistem jaringan transportasi yang menghubungkannya. Dengan demikian,
aksesibilitas dapat digunakan untuk menyatakan kemudahan suatu tempat untuk dicapai,
sedangkan mobilitas untuk menyatakan kemudahan seseorang bergerak, yang dinyatakan dari
kemampuannya membayar biaya transportasi.
Konsep aksesibilitas ini dapat juga digunakan untuk mendefinisikan suatu daerah di dalam suatu
wilayah perkotaan atau suatu kelompok manusia yang mempunyai masalah aksesibilitas atau
mobilitas terhadap aktivitas tertentu. Dalam hal ini, analisis aksesibilitas dapat digunakan untuk
mengidentifikasi masalah yang perlu dipecahkan dan mengevaluasi rencana dan kebijakan
pemecahan masalah selanjutnya.
• aksesibilitas
• bangkitan dan tarikan pergerakan
• sebaran pergerakan
• pemilihan moda
• pemilihan rute
• arus lalulintas dinamis
Fera Lestari, S.T,M.T. | Pengantar Rekayasa Transportasi | Teknik Sipil UTI
PAGE 12