Anda di halaman 1dari 3

AIR MATA BERSEJARAH

kedua kakak beradik terpaksa harus terlibat dalam peperangan melawan komunis dan
harus meninggalkan seorang ibu yang sudah tua dan sering sakit-sakitan. Peristiwa itu terjadi di
Poso, Sulawesi Tengah, pada tahun 1965.
Seperti biasa di pagi hari, seorang kakak harus bekerja sebagai tukang semir sepatu
keliling untuk membiayai hidup keluarga, dan menyekolahkan adiknya. “semir… semir
sepatunya pak?.” dengan suara yang penuh sopan dia menawarkan semirnya. Tak lama
kemudian, suara yang tak begitu asing bagi sang adik dari lorong pasar yang begitu padat dan dia
lalu mengejar suara itu. Dan, ternyata Arga si kakak yang begitu semangat bekerja melihat
kebelakang tersadar bahwa Arman sedang mengejarnya dan mereka pun kejar-kejaran di tengah
padatnya pasar. Akhirnya mereka berhenti di depan penjual es krim. “kau mau es krim?” tanya
sang kakak. “iya mau”, jawab Arman. “baiklah bang es krimnya satu.” lanjut arga. “loh kenapa
cuma satu kan kita berdua?.” tanya Arman penasaran. “untuk kau saja gigiku ngilu kalau kena
es.” jawab Arga. “ini nak es krimnya (sambil mengasih es krimnya)” kata penjual es krim. “oh
iya (sambil mengambil es krim itu dari tangan si penjual)”, dan Arga langsung mengasihnya
kepada Arman . “terima kasih”, kata Arman. Arga kemudian membayarnya dengan uang hasil
kerjanya tadi pagi.
Kemudian, mereka berjalan pulang kerumah. “kau mau?”, Arman menawarkan es krim
kepada kakaknya. “aku sudah puas makan es krim saat aku masih kecil. Jadi, untuk kau saja”,
Arga menolak tawaran Arman. Tetapi Arman tetap memasukkan es krim itu ke mulut Arga.
“apa-apaan kau ini sudah ku bilang aku tidak mau”, jawab Arga sambil mengelakkan mulutnya
dari es krim itu. Tetapi arga terus memaksanya. “hahaha, mukamu jadi comang-comeng”, Arman
tertawa. “sudah lah (sambil mengelap mukanya)”, lanjut Arga. Arga kemudian memberikan
sebuah pulpen kepada adiknya itu. “ini untukmu”. Kata Arga. “hah kenapa kau memberiku
pulpen”, tanya Arman. “supaya kau lebih rajin lagi belajar sampai masuk Universitas yang kau
impikan” jawab Arga. “oo… begitu oke lah terima kasih”, lanjut Arman sambil menganggukan
kepalanya. Lalu, Arga mengelus kepala adiknya sambil tersenyum. Arga sangat menyayangi adik
satu-satunya itu karena hanya Arman dan Ibunya keluarga yang dia punya setelah sang Ayah
meninggal dunia.
Keesokan hari, ibunya yang sedang berbelanja di pasar dan orang-orang yang disitu
mendengar sebuah pengumuman. “telah terjadi pembantaian dari kolompok komunis. Maka dari
itu, kita akan berperang melawan para komunis. Kepada warga yang berumur 17- 30 tahun dan
tidak memiliki riwayat penyakit harap segera bergabung dalam peperangan ini karena kami
kekurangan pasukan”, dengan nada yang lantang begitulah pengumuman yang keluar dari suara
toak mobil-mobil tentara. Dan para tentara itu seketika keluar dari mobil untuk mencari angggota
seperti yang sudah di umumkan tadi. Suasana di pasar pun semakin heroik, orang-orang pada
berlarian kesana-kemari. Sang ibu terkejut dan tiba-tiba Arman yang kebetulan pulang sekolah
dan bertemu ibunya. “ibu baik-baik saja?” tanya Arman. “ibu baik-baik saja nak, kau sudah
pulang sekolah?”, lanjut ibunya. “sudah bu”, kata Arman. “apakah kau mendengar pengumuman
yang tadi”?, tanya ibu balik. “iya sudah bu”, jawab anaknya. Dan seketika itu juga salah satu
prajurit bertanya kepada Arman. “ berapa usia anda?”, tanya si prajurit. Arman langsung melihat
kearah ibunya dan menjawab “umur saya 18 pak”. Tanpa basa-basi tentara itu langsung
menggeret Arman ikut dengannya dan masuk ke dalam mobil. Sang ibu menangis dan berlari
mengejar anaknya sambil memanggil-manggil namanya. Arga yang kebetulan melihat sang ibu
menangis histeris langsung menghampiri ibunya itu. Ibunya berhenti berlari dan berkata
“Arman… Arman” (sambil menunjuk kearah Arman). “kenapa pada Arman dan dimana dia
bu?”, tanya arga cemas. “Arman dibawa ke mobil itu”. Situasi semakin panik di tengah
keramaian pasar yang semakin padat Arga langsung menyusul Arman dan menitipkan ibunya
kepada tetangganya.
Arga sebagai seorang kakak, tidak mau adiknya ikut serta dalam peperangan karena
terlalu berbahaya bagi adiknya yang masih sekolah. Dia berusaha keras agar bisa keluar dari
zona militer itu. Tetapi semua yang dilakukannya sia-sia. Akhirnya, dia dan adiknya harus ikut
berperang melawan komunis. Dengan semangat penuh juang mereka melindungi negaranya
dengan sekuat tenaga yang mereka punya. Perang berlangsung selama beberapa hari. Tetapi
ditengah peperangan Arga berkhianat, dia masuk kedalam kelompok komunis karena dia
mengetahui bahwa adiknya itu meninggal. Dia melihat pulpen yang pernah ia beri ada dalam
lokasi ledakan bom. Namun, siapa sangka adiknya itu ternyata masih hidup, dia kecewa
mendengar bahwa kakaknya berkhianat. Kemudian, dia mencari kakaknya di markas komunis itu
secara diam-diam di tengah peperangan yang sangat dahsyat. Walaupun darah sudah mengalir
dibadan, dia terus berjuang untuk menunjukkan dirinya kepada kakaknya bahwa dia masih
hidup. Dengan sisa tenaga yang dia punya, Arman menemukan kakaknya sudah menjadi kapten
kelompok komunis itu. Dia pun sedih melihat kakaknya yang dulunya bagitu baik dalam
melindungi dirinya kini bergabung dengan para komunis.
Kemudian, dia mencoba menyadarkan kakaknya di tengah peperangan. Kakaknya
berkata,“ada musuh”, kepada adiknya. Arman pun langsung menjatuhkan senjatanya dan
memeluk kakaknya. Arga langsung memukul Arman dan terus memukulnya. “sadarlah kak, aku
ini adikmu” (sambil memegang kerah leher Arga). “omong kosong, adikku sudah mati!”, Arga
meneriakinya. Arga tetap memukulnya tetapi Arman mencoba membuatnya sadar dengan
menceritakan kisah-kisah yang pernah mereka alami selama ini, menceritakan ibunya yang
sedang sakit di rumah menunggu kepulangan mereka. Dia berkata “kita harus pergi dari sini kak,
perang ini sangat besar”. Di tengah suara tembakan sana-sini seketika Arga terdiam dan menatap
mata Arman yang bercucuran air mata dan tubuhnya yang penuh darah. “kau sudah sadar?”,
tanya Arman. “kau Arman adikku, kau masih hidup?”, tanya Arga. “syukurlah kau benar-benar
sadar, ayo kita pergi dari sini kak”, ajak adiknya. “tidak, aku tidak mungkin meninggalkan
perang ini, negaraku dalam bahaya, kau saja yang harus pergi dan pastikan dirimu selamat,” kata
Arga tegas. “aku tidak mau meninggalkanmu kita sudah berjanji untuk terus bersama-sama dan
membahagiakan ibu, kita harus pergi dan melihat kondisi ibu, pasti dia sedang mencemaskan
kita”, Arman mencoba meluluhkan hati Arga. Mereka berlindung karena mendengar suara bom
dan Arga mengeluarkan pulpen yang di temukannya pada saat kejadian itu dan memberikannya
kepada Arman. “kau simpan ini dan pergilah Man”, sambil meletakkan pulpen itu di genggaman
tangan Arman. “kau saja yang simpan kak, dan pastikan kau memberikannya lagi padaku, kau
harus selamat dan kita harus bahagia bersama”, kata Arman yang matanya masih mengalir air
mata. “baiklah kalau begitu kau cepat pergi dan langsung temui ibu dan katakan kalau aku akan
menyusul kalian”, lanjut Arga yang menahan air matanya. Arman menepuk bahu kakaknya dan
langsung berlari meninggalkan tempat itu, dan Arga terus bertahan untuk kemerdekaan Negara-
nya. Tetapi, Arga tertembak dari belakang dan dia pun tewas seketika.
Perang pun berakhir, kemenangan ada di tangan kita. Kini Negara Indonesia merdeka
dari pembantaian kaum komunisme dan rakyatnya hidup sejahteta.
Karya: Muhfita Choiriyah Siregar
Kelas: XI ilmu agama-2

Anda mungkin juga menyukai