Anda di halaman 1dari 2

Pendidikan Wajib Militer sebagai Implementasi Bela Negara

Mahasiswa

Masyarakat Indonesia pada saat ini disibukkan dengan pemberitaan mengenai


kebijakan bela negara yang dicetuskan oleh Menteri P ertahanan, Ryamizard
R yacudu. Kemenhan mengumumkan kebijakan program bela negara. Setiap warga
negara berusia 50 tahun ke bawah wajib ikut program itu. Nantinya selama satu
bulan akan digembleng pelatihan fisik dan psikis di markas tentara. Pernyataan yang
diberikan Kemenhan ini tentu saja mendapat banyak sekali tanggapan dari setiap
lapisan masyarakat, baik yang pro maupun yang kontra.

Bela negara merupakan sebuah semangat berani berkorban demi tanah air, baik
harta bahkan nyawa sekalipun berani dikorbankan demi keutuhan negara kesatuan
republik indonesia. Bela negara adalah tekad, sikap dan tindakan warganegara yang
teratur, menyeluruh, terpadu dan berkelanjutan yang dilandasi oleh kecintaan
terhadap tanah air serta kesadraan hidup berbangsa dan bernegara (Kaelan &
Achmad Zubaidi,2007). Jika dilihat dari pengertian tersebut, konsep bela negara
yang diutarakan oleh Kemenhan memiliki arti yang berbeda yang lebih mengarah
kepada terminologi wajib militer. Wajib militer memiliki kaitan yang erat dengan
bela negara di mana wajib militer itu sendiri merupakan salah satu implementasi
dari bela negara.

Sebagai agent of change, mahasiswa merupakan ujung tombak masa depan bangsa.
Maka dari itu mahasiswa memerlukan pendidikan bela negara karena orientasi
dari perubahan yang akan dilakukan oleh mahasiswa itu yang akan menjadi tolak ukur
dari perubahan itu sendiri. Pendidikan bela negara pada dasarnya harus diberikan sejak
anak mulai belajar apapun. Penanaman nilai-nilai bangsa dan doktrin-doktrin
nasionalisme dapat diberikan melalui berbagai mata pelajaran yang diberikan di
sekolah. Setelah semua teori di dapat, praktek yang paling mencolok dari bela negara,
yaitu wajib militer haruslah dilaksanakan. Kebiasaan yang berkembang di seluruh
Indonesia pada saat mahasiswa baru mulai memasuki kampus mereka yaitu
diadakannya OSPEK (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus) yang hanya berujung
pada sifat senioritas yang menyebabkan terjadinya bullying yang beberapa waktu yang
lalu sampai memakan korban nyawa.
Kebiasaan OSPEK tersebut sudah saatnya diganti dengan proses pendidikan
wajib militer yang sudah secara jelas merupakan implementasi dari bela negara.
Pihak perguruan tinggi dapat menjadikan wajib militer ini sebagai salah satu syarat
penentu dalam kelulusan perkuliahan mahasiswanya. Dengan cara ini, sikap
senioritas mahasiswa dapat tergantikan dengan sikap saling melindungi satu sama lain
karena belum tentu senior selalu benar dan junior selalu salah. Selain itu, sikap bullying
tidak akan pernah terjadi karena dalam proses pendidikan wajib militer tersebut
sudah sangat jelas aturan- aturan beserta kurikulum pendidikannya. Maka dari itu, pelatih
pun tidak akan sembarangan dalam memberikan contoh terhad ap peserta wajib
militer, apalagi berkaitan dengan alat-alat militer yang memiliki dampak luar biasa
ketika disalahgunakan. P ros es ini tentu saja sangat bermanfaat dalam pros es
pengenalan kampus yang efektif serta bahan acuan kaderisasi organisasi yang baik.

Dampak jangka panjang dari diberlakukannya wajib militer terhadap mahasiswa yaitu
dalam menerapkan disiplin ilmu yang diberikan selama perkuliahan, mahasiswa dapat
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari tanpa adanya penyimpangan.
Dampak yang paling penting adalah pada saat terjadi kemungkinan terburuk
yang terjadi pada suatu negara, yakni perang. Mahasiswa yang sudah memiliki ilmu
tentang perang yang diajarkan pada saat wajib militer sudah siap untuk berperang
dan siap membela tanah air mereka sendiri.

Nama : Aisyah Yuli Andini


NIM : 23040274143
Jurusan : Pendidikan Geografi
Kelompok : 47. Moh Yamin

Anda mungkin juga menyukai