Anda di halaman 1dari 10

Setelah segala sesuatu dipersiapkan untuk menyambut pemberian hukum dari Allah, maka

di dalam pasal ini kita mendapati,

I. Kesepuluh perintah hukum yang disampaikan sendiri oleh Allah di atas Gunung Sinai (ay.
1-17), sebagai bagian luar biasa dari Kitab Suci, sama seperti bagian-bagian lain di dalam
Perjanjian Lama.

II. Kesan yang ditimbulkan pada umat Israel (ay. 18-21).

III. Beberapa petunjuk khusus yang diberikan Allah secara pribadi kepada Musa, untuk
disampaikannya kepada umat, berkaitan dengan cara menyembah Dia (ay. 22 dst.)

Sepuluh Perintah Allah (20:1-11)

Di sini diceritakan tentang,

I. Kata pengantar dari Musa, sang penulis hukum: Allah mengucapkan segala firman ini (ay.
1). Hukum dari sepuluh perintah Allah itu merupakan,

1. Hukum yang dibuat oleh Allah. Kesepuluh perintah itu disusun oleh Kuasa Tertinggi langit
dan bumi yang tiada terbatas dan kekal. Dan di mana ada perkataan dari Raja segala raja, di
situ titah raja berkuasa.

2. Hukum itu diucapkan sendiri oleh-Nya. Allah mempunyai banyak cara untuk berbicara
kepada anak-anak manusia (Ayb. 33:14), dengan satu dua cara, melalui Roh-Nya, melalui
hati nurani, melalui tindakan-tindakan pemeliharaan-Nya, melalui suara-Nya, yang
semuanya harus kita perhatikan dengan saksama. Namun, Ia tidak pernah berbicara, kapan
pun dan dalam kesempatan apa pun, seperti saat mengucapkan kesepuluh hukum itu. Oleh
sebab itu, kita patut mendengarkannya dengan lebih teliti, lebih sungguh-sungguh lagi.
Kesepuluh hukum itu tidak saja diucapkan dengan suara yang jelas-jelas terdengar (seperti
itu juga Allah meneguhkan keberadaan Sang Penebus dengan suara-Nya yang terdengar dari
langit [Mat. 3:17]), tetapi juga dengan kemegahan luar biasa yang menimbulkan kegentaran.
Hukum ini sudah pernah diberikan Allah kepada manusia yakni tertulis di dalam hati
manusia secara alami. Namun, dosa telah begitu merusak dan menghapus tulisan tersebut
hingga hukum itu perlu disampaikan kembali, dengan cara seperti ini, supaya pengetahuan
akan hukum itu dihidupkan kembali.
II. Kata pengantar Sang Pembuat hukum: Akulah TUHAN, Allahmu (ay. 2). Di dalam hal ini,

1. Allah menegaskan kekuasaan-Nya untuk memberlakukan hukum ini secara umum:


“Akulah TUHAN yang memerintahkan kepadamu semua hal berikut.”

2. Ia menyatakan diri-Nya sendiri sebagai satu-satunya yang harus disembah dalam ibadah
penyembahan, yang dicantumkan dalam keempat hukum pertama. Umat Israel diikat di sini
untuk taat pada keempat hukum ini dengan tiga alasan yang sama sekali tidak bisa
dipisahkan, yaitu

(1) Sebab Allah adalah TUHAN, Yehova, Keberadaan yang ada dari diri-Nya sendiri, bebas
tidak terikat oleh apa pun, kekal, dan merupakan sumber dari semua makhluk serta kuasa.
Oleh karena itu, Ia mempunyai hak yang tidak terbantahkan lagi untuk memerintah kita. Dia
yang memberikan keberadaan, boleh memberikan hukum. Oleh karena itu, Ia sanggup
mendukung kita di dalam ketaatan kita dan memberikan pahala, atau menghukum
ketidaktaatan kita.

(2) Ia adalah Allah mereka, Allah yang terikat perjanjian dengan mereka, dan Allah atas
persetujuan mereka sendiri. Karena itu, jika mereka tidak mau mengikuti segala perintah-
Nya, lalu siapa lagi? Ia telah mengikat diri-Nya dengan berbagai kewajiban terhadap mereka
melalui janji, dan oleh sebab itu Ia berhak pula mengenakan berbagai kewajiban kepada
mereka melalui hukum-Nya. Meskipun sekarang perjanjian khusus itu sudah tidak berlaku
lagi, namun masih ada perjanjian lain, berdasarkan perjanjian itu, semua orang yang telah
dibaptis juga memiliki hubungan dengan Dia sebagai Allah mereka. Karena itu, sekarang ini,
jika kita sampai tidak menaati-Nya, maka kita ini tidak berlaku adil, tidak setia, dan sangat
tidak tahu berterima kasih.

(3) Allah telah membawa mereka keluar dari Mesir. Oleh sebab itu mereka harus bersyukur
dan taat kepada-Nya, sebab Ia telah melakukan suatu kebaikan yang luar biasa kepada
mereka, yaitu membawa mereka keluar dari perhambaan yang menyengsarakan menuju
kemerdekaan yang mulia. Mereka sendiri sudah menjadi saksi mata perkara-perkara besar
yang dilakukan Allah saat membebaskan mereka. Dan mereka bisa melihat sendiri betapa
semuanya itu pastilah semakin mengharuskan mereka untuk taat kepada Dia. Sekarang
mereka sedang menikmati buah-buah manis pembebasan mereka, dan berharap akan
segera menetap di Kanaan. Jadi, masakan ada hal yang terlampau berat bagi mereka untuk
melakukan sesuatu bagi Dia yang telah berbuat begitu banyak bagi mereka? Bahkan lebih
dari itu, dengan menebus mereka, Ia memperoleh hak selanjutnya untuk memerintah
mereka. Mereka berutang pelayanan kepada Dia yang telah memberikan kebebasan kepada
mereka, dan yang telah memiliki mereka dengan tebusan-Nya. Demikianlah, Kristus yang
telah menyelamatkan kita dari belenggu dosa, berhak mendapatkan pelayanan terbaik dari
kita (Luk. 1:74). Setelah melepaskan ikatan kita, Ia mengikat kita untuk taat kepada-Nya
(Mzm. 116:16).

III. Hukum itu sendiri. Keempat perintah pertama dalam kesepuluh hukum itu menyangkut
kewajiban kita kepada Allah, yang biasa disebut loh yang pertama, terdapat di dalam ayat-
ayat ini. Patutlah bila keempat perintah pertama tersebut ditempatkan di bagian awal,
sebab manusia terlebih dahulu mempunyai Sang Pencipta yang harus dikasihinya sebelum
ada sesamanya untuk dikasihi. Dan keadilan dan kemurahan hati terhadap sesama
merupakan bentuk tindakan ketaatan yang pantas terhadap Allah hanya apabila dilakukan
berdasarkan asas-asas kesalehan. Kalau orang berlaku salah terhadap Allah-nya, maka tidak
bisa diharapkan ia akan berlaku benar terhadap sesamanya. Nah, singkatnya, kewajiban kita
kepada Allah adalah menyembah Dia. Artinya, memberi Dia kemuliaan yang diperuntukkan
bagi nama-Nya, menyembah Dia dengan segenap batin dan perasaan, dan menyembah Dia
secara lahiriah dengan perkataan dan perilaku kita dengan sungguh-sungguh hati. Inilah
yang disebut sebagai inti sari dari Injil yang kekal (Why. 14:7), yaitu Sembahlah Dia.

1. Hukum pertama berkaitan dengan Siapa yang harus kita sembah, yaitu Yehova, dan hanya
Dia semata (ay. 3): Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku. Orang Mesir dan bangsa-
bangsa di sekitar mereka memiliki banyak dewa, benda-benda ciptaan hasil khayalan
mereka sendiri, dewa-dewa asing, atau allah-allah baru. Hukum ini ditempatkan di bagian
awal karena pelanggaran itu. Karena itu, karena Yehova adalah Allah orang Israel, maka
mereka harus benar-benar melekat kepada-Nya, dan bukan kepada allah lain, baik yang
mereka ciptakan sendiri maupun yang mereka pinjam dari tetangga-tetangga di sekitar
mereka. Inilah dosa yang paling berbahaya yang sedang mereka hadapi sekarang karena
dunia sudah sangat sarat dengan kepercayaan kepada banyak allah, yang tidak dapat
dibasmi selain oleh Injil Kristus. Dosa terhadap perintah ini, yang merupakan bahaya besar
yang dihadapi manusia adalah memberi kemuliaan dan kehormatan yang menjadi milik
Allah kepada suatu benda atau hal lain. Kesombongan adalah perbuatan yang mendewakan
diri sendiri, ketamakan mendewakan uang, hawa nafsu mendewakan perut. Apa pun yang
dihargai atau dicintai, ditakuti atau dilayani, disukai atau diandalkan lebih daripada Allah,
sebenarnya (apa pun itu) sudah kita jadikan sebagai allah. Larangan ini mencakup perintah
yang merupakan dasar seluruh hukum Taurat, yaitu bahwa kita harus menerima TUHAN
sebagai Allah kita, mengakui bahwa Dialah Allah, menerima Dia sebagai Allah kita, memuja
Dia dengan rasa kagum dan hormat dengan penuh kerendahan hati, dan mengasihi Dia
dengan segenap hati dan perasaan kita. Di dalam kata-kata terakhir, yakni di hadapan-Ku,
tersirat,
(1) Bahwa kita tidak dapat memiliki Allah lain tanpa diketahui oleh-Nya. Tidak ada siapa pun
selain yang ada di hadapan-Nya. Para penyembah berhala sangat ingin menyembah berhala
dengan sembunyi-sembunyi, namun masakan Allah tidak akan menyelidikinya?

(2) Bahwa pelanggaran itu sangat membuat Dia murka. Dosa berhala itu adalah dosa yang
menampar Dia pada muka-Nya, sehingga membuat Dia tidak dapat dan tidak akan
membiarkan lewat begitu saja atau tidak memedulikannya (Mzm. 44:21-22).

2. Hukum kedua berkaitan dengan ketetapan tentang penyembahan, atau dengan cara
bagaimana Allah ingin disembah. Sungguh patut apabila Dia sendirilah yang
menentukannya. Di sini terdapat,

(1) Larangan: kita dilarang menyembah Allah yang sejati bahkan dengan menggunakan
patung-patung (ay. 4-5).

[1] Orang-orang Yahudi (setidaknya sesudah pembuangan) berpendapat bahwa hukum ini
melarang mereka membuat patung atau gambar apa pun. Itulah sebabnya gambar-gambar
yang digunakan tentara Romawi dalam panji-panji mereka disebut kekejian oleh orang
Yahudi (Mat. 24:25), terutama ketika didirikan di tempat kudus. Sudah jelas bahwa hukum
ini melarang pembuatan patung apa pun yang menggambarkan Allah (sebab dengan siapa
hendak kita samakan Allah? (Yes. 40:18, 15), atau patung makhluk apa pun untuk digunakan
dalam ibadah. Berbuat demikian berarti menggantikan kebenaran Allah dengan dusta (Rm.
1:25), sebab patung adalah guru segala dusta. Perbuatan demikian mengelabui kita bahwa
Allah memiliki tubuh, padahal Ia adalah Roh yang tidak terbatas (Hab. 2:18). Hukum ini juga
melarang kita membuat patung atau gambaran Allah dalam khalayan kita, seolah-olah Dia
manusia biasa seperti kita. Ibadah kita harus dipimpin oleh kekuatan iman, bukan dengan
kekuatan daya khayal. Umat Israel tidak boleh membuat patung atau gambar seperti yang
disembah orang kafir, supaya mereka tidak tergoda untuk menyembahnya juga. Kalau kita
mau berjaga-jaga supaya tidak berbuat dosa, maka kita harus menjauhkan diri dari
kesempatan berbuat dosa.

[2] Mereka tidak boleh sesekali sujud menyembah kepada patung. Artinya, mereka tidak
boleh menunjukkan tanda apa pun untuk menghargai atau menghormati, apalagi sampai
terus-menerus mengabdi kepada patung-patung itu, baik dengan memberikan korban
persembahan, membakar dupa, atau bentuk ibadah lain apa saja. Ketika beribadah kepada
Allah yang benar pun, mereka tidak boleh menggunakan patung apa saja di hadapan mereka
untuk mengarahkan, membangkitkan semangat, atau mendukung ibadah mereka. Meskipun
penyembahan ditujukan kepada Allah, namun Ia tidak akan berkenan apabila ibadah itu
dilakukan melalui patung. Pemberi-pemberi hukum terbaik dan paling kuno di antara orang-
orang kafir melarang patung-patung ditegakkan di kuil-kuil mereka. Perilaku ini dilarang oleh
Numa, seorang raja pada zaman Romawi kuno.

(2) Alasan untuk melaksanakan larangan ini (ay. 5-6),

[1] Kecemburuan Allah dalam hal-hal yang berkaitan dengan penyembahan kepada-Nya:
“Aku, TUHAN, Yehova dan Allahmu, adalah Allah yang cemburu, terutama dalam hal
menyembah-Nya.” Hal ini menyiratkan betapa Ia memperhatikan semua ketetapan-Nya
sendiri, betapa Ia membenci penyembahan berhala dan segala jenis penyembahan palsu,
betapa Ia murka para penyembah berhala, serta betapa Ia benci terhadap segala sesuatu
dalam penyembahan kepada-Nya yang terlihat seperti, atau menuntun kepada
penyembahan berhala. Cemburu berarti berpandangan tajam. Penyembahan berhala itu
merupakan perzinaan rohani, sehingga, seperti yang sangat sering digambarkan dalam Kitab
Suci, Allah teramat gusar terhadap perbuatan ini, sehingga kegusaran-Nya itu pantas disebut
kecemburuan. Jika Allah cemburu terhadap hal ini, maka kita juga sepatutnya bersikap
demikian, dan harus takut menyembah Allah dengan cara lain selain yang telah ditetapkan-
Nya melalui firman-Nya.

[2] Hukuman bagi para penyembah berhala. Allah memandang mereka sebagai para
pembenci Dia, walaupun mereka mungkin berpura-pura mengasihi-Nya. Ia akan
membalaskan kesalahan mereka. Artinya, Ia akan menghukum berat kesalahan ini, bukan
saja sebagai pelanggaran terhadap hukum-Nya, tetapi juga sebagai penghinaan terhadap
keagungan-Nya, pelanggaran terhadap perjanjian-Nya, dan hantaman terhadap akar agama
seluruhnya. Ia akan membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya. Artinya, karena hal
ini merupakan dosa yang akan membuat jemaat dikucilkan dan dipisahkan, maka anak-anak
mereka akan dikeluarkan dari perjanjian dan persekutuan bersama orangtua mereka, sama
seperti anak-anak diterima di dalam jemaat ketika orangtua mereka menjadi bagian dalam
jemaat. Atau, Ia akan menjatuhkan hukuman ke atas suatu umat seluruhnya yang dapat
menghancurkan semua keluarga. Jika para penyembah berhala berumur panjang sehingga
sempat melihat keturunan mereka hingga angkatan ketiga atau keempat, maka mata
mereka akan melihat kesusahan dan hati mereka akan hancur melihat keturunan mereka itu
roboh oleh pedang, diangkut ke pembuangan, dan diperbudak. Bukan merupakan sesuatu
yang tidak adil apabila Allah melakukan hal itu (apabila para orangtua mati dalam kejahatan
mereka, dan anak-anak mereka mengikuti langkah mereka serta terus menjalankan
penyembahan palsu karena menerima kebiasaan itu dari leluhur mereka). Sebab, ketika
takarannya sudah penuh, Allah datang dengan penghakiman-Nya untuk mengadakan
perhitungan dengan mereka, dan meminta pertanggung-jawaban atas dosa penyembahan
berhala yang menjadi kesalahan leluhur. Walaupun Ia panjang sabar terhadap para
penyembah berhala, Ia tidak akan bersabar selamanya. Paling lambat sampai keturunan
keempat, Ia akan mulai membalaskan kesalahan. Anak-anak sangat dikasihi orangtua. Oleh
karena itu, demi mencegah manusia menyembah berhala, dan untuk menunjukkan betapa
Allah sangat tidak menyukainya, maka bukan saja keluarga para penyembah berhala akan
dicap keji dan hina turun-temurun, tetapi juga hukuman Allah atas dosa itu juga bisa
dijatuhkan ke atas keturunan yang malang itu setelah orangtua mereka sudah tiada.

[3] Perkenan yang Allah tunjukkan kepada orang-orang yang menyembah Dia dengan setia:
kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang
pada perintah-perintah-Ku. Hal ini menyiratkan bahwa walaupun dalam kata-katanya
hukum kedua hanya melarang penyembahan palsu, namun hukum kedua tersebut juga
mencakup perintah untuk menyembah Allah di dalam semua ketetapan yang telah
ditentukan-Nya. Sama seperti hukum pertama menghendaki penyembahan batiniah yang
penuh kasih, kerinduan, sukacita, pengharapan, dan kekaguman, demikian pula hukum
kedua menghendaki penyembahan lahiriah berupa doa, puji-pujian, dan perhatian yang
sungguh-sungguh terhadap firman Allah. Perhatikanlah, pertama, orang-orang yang
mengasihi Allah dengan sungguh akan senantiasa berusaha keras menjalankan perintah-
perintah-Nya, terutama yang berhubungan dengan penyembahan kepada-Nya. Orang-orang
yang mengasihi Allah dan memelihara perintah-perintah itu akan menerima kasih karunia
untuk menjalankan perintah-perintah-Nya yang lain. Bila orang menyembah Allah menurut
ketentuan Injil, maka hal itu akan menuntun dia untuk menaati seluruh Injil. Kedua, Allah
menyediakan kasih setia-Nya bagi orang-orang seperti itu. Bahkan mereka pun
membutuhkan kasih setia dan tidak dapat meminta imbalan atas jasa mereka. Mereka akan
memperoleh kasih setia dari Allah, perlindungan berlimpah dalam ketaatan mereka, serta
imbalan penuh rahmat untuk itu. Ketiga, kasih setia ini akan meluas sampai kepada ribuan
orang, jauh lebih luas daripada murka yang mengancam orang-orang yang membenci Dia,
sebab murka itu hanya mencapai angkatan ketiga atau keempat. Sekarang aliran kasih setia
itu senantiasa mengalir dengan sepenuh-penuhnya, sebebas-bebasnya, dan sesegar-
segarnya sepanjang masa.

3. Hukum ketiga berkaitan dengan cara kita menyembah, yaitu dengan rasa hormat
sepenuh-penuhnya dan dengan segala kesungguhan sedalam-dalamnya (ay. 7). Di sini
terdapat,

(1) Larangan tegas: Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan. Karena
mereka telah menerima Yehova sebagai Allah mereka, maka pastilah mereka akan
menyebut nama-Nya (sebab demikianlah segala bangsa berjalan masing-masing demi nama
allahnya. Oleh karena itu, perintah ini mengingatkan mereka untuk tidak menyebut nama-
Nya dengan sembarangan, dan peringatan ini pun masih berlaku bagi kita juga untuk
seterusnya. Kita menyebut nama Allah dengan sembarangan,

[1] Bila kita berlaku munafik, dengan mengakui nama Allah, tetapi tidak menjalani hidup
sesuai pengakuan itu. Orang-orang yang menyebut nama Kristus, namun tidak mau
meninggalkan kejahatan seperti yang diwajibkan oleh nama itu, ia telah menyebut nama-
Nya itu dengan sembarangan. Penyembahan mereka percuma saja (Mat. 15:7-9),
persembahan korban mereka sia-sia saja (Yes. 1:11, 13), ibadah mereka juga sia-sia (Yak.
1:26).

[2] Bila kita melanggar perjanjian. Jika kita berjanji kepada Allah, mengikat jiwa kita untuk
berbuat baik, namun tidak melaksanakan sumpah kita kepada Tuhan, maka kita telah
menyebut nama-Nya dengan sia-sia (Mat. 5:33). Perbuatan seperti ini merupakan
kebodohan, dan Allah tidak senang kepada orang-orang bodoh (Pkh. 5:3). Ia juga tidak mau
dipermainkan (Gal. 6:7).

[3] Bila kita mengumpat secara gegabah, menyebut nama Allah atau suatu sifat-Nya dengan
sumpah, tanpa alasan yang tepat atau dengan kesadaran penuh, tetapi sekadar ungkapan
begitu saja tanpa tujuan sama sekali, atau tanpa tujuan yang baik.

[4] Bila kita bersumpah palsu, yang menurut pendapat beberapa orang, merupakan sesuai
dengan apa yang ditulis dalam hukum ketiga tersebut. Demikianlah yang dijelaskan oleh
nenek moyang dahulu. Jangan bersumpah palsu (Mat. 5:33). Sebagian orang saleh
beranggapan bahwa orang Yahudi diajarkan untuk bersumpah demi nama-Nya (Ul. 10:20).
Namun, mereka tidak memberi hormat kepada-Nya, tetapi justru menghina Dia ketika
menjadikan Dia saksi atas dusta.

[5] Dengan menganggap enteng dan ceroboh dalam menggunakan nama Allah dan tidak
menunjukkan rasa hormat terhadap maknanya yang luar biasa. Pencemaran terhadap
bentuk-bentuk ibadah juga dilarang, seperti halnya pencemaran terhadap bentuk sumpah
dan juga terhadap hal-hal yang digunakan Allah untuk memperkenalkan diri, yakni firman-
Nya atau ketetapan-Nya. Jika firman atau ketetapan-Nya itu digunakan sebagai jimat,
mantra, atau bahan senda gurau, maka itu berarti nama Allah digunakan dengan sia-sia.

(2) Hukuman berat: TUHAN akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya
dengan sembarangan. Para hakim yang menghukum pelanggaran-pelanggaran lain, mungkin
tidak menganggap perlu untuk memperhatikan hal ini, karena tidak meninggalkan dampak
buruk secara langsung terhadap milik pribadi atau ketenteraman umum. Namun, Allah yang
sangat menjaga kehormatan-Nya, tidak akan membiarkannya. Orang berdosa mungkin saja
menganggap dirinya tidak bersalah, menyangka bahwa perbuatannya tidak menimbulkan
masalah, dan bahwa Allah tidak akan pernah meminta dia mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Untuk menyingkirkan anggapan ini, ancaman itu pun diungkapkan, bahwa
Allah akan memandang dia bersalah, tidak seperti yang diharapkannya. Dan, lebih daripada
yang tidak dinyatakan secara langsung, Allah sendirilah yang akan membalas orang-orang
yang menggunakan nama-Nya dengan sembarangan. Mereka akan mendapati bahwa
sungguh menakutkan apabila mereka jatuh ke tangan Allah yang hidup.

4. Hukum keempat berkaitan dengan waktu penyembahan. Allah harus disembah dan
dihormati setiap hari. Namun, salah satu dari ketujuh hari harus khusus dipersembahkan
demi kehormatan-Nya dan dilewatkan dengan beribadah kepada Dia. Di sini terdapat,

(1) Perintah itu sendiri (ay. 8): Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat, dan jangan melakukan
sesuatu pekerjaan (ay. 10). Sudah disetujui umum bahwa hari Sabat telah ditetapkan
sebelum itu. Kita membaca perihal Allah memberkati dan menguduskan hari ketujuh sejak
awal (Kej. 2:3), sehingga perintah keempat ini pemberian sebuah hukum baru, melainkan
pemulihan sebuah hukum lama.

[1] Bangsa Israel diberitahu tentang hari yang harus mereka jalani dengan sikap saleh, yaitu
hari ketujuh, setelah enam hari lamanya bekerja. Apakah yang dimaksudkan di sini adalah
hari ketujuh yang dihitung dari hari ketujuh yang pertama, atau sejak hari ketika mereka
keluar dari Mesir, atau kedua-duanya, tidaklah jelas. Tetapi sekarang hari yang tepat
diberitahukan kepada mereka (16:23), dan dihitung sejak itu, mereka harus memperhatikan
hari ketujuh.

[2] Bagaimana hari ketujuh itu harus dijalani. Pertama, sebagai hari perhentian. Pada hari itu
mereka tidak boleh melakukan pekerjaan apa pun yang menjadi panggilan atau pekerjaan
duniawi mereka. Kedua, sebagai hari yang kudus, yang dikhususkan demi menghormati
Allah yang kudus, dan dijalani dengan melakukan kegiatan-kegiatan ibadah yang kudus.
Dengan memberkatinya, Allah telah menguduskan hari itu. Dan dengan memuji Dia dengan
khidmat, mereka harus memelihara kekudusan hari itu, dan tidak memanfaatkannya untuk
tujuan apa pun selain yang sudah ditetapkan-Nya untuk membedakan hari itu dengan
keenam hari lain.

[3] Siapa yang harus menghormati hari ketujuh itu: engkau atau anakmu laki-laki, atau
anakmu perempuan. Sang istri tidak disebutkan, sebab dia dipandang menyatu dengan
suami dan senantiasa menyertainya. Bila sang suami menguduskan hari Sabat, maka istri
dianggap juga bergabung dengannya. Tetapi, anggota keluarga yang lain disebutkan secara
terperinci. Anak-anak dan para hamba harus memelihara hari Sabat, sesuai usia dan
kemampuan mereka. Di dalam hal ini, seperti juga dalam kegiatan-kegiatan ibadah lain, para
kepala keluarga diharapkan untuk memperhatikan agar mereka tidak beribadah kepada
TUHAN seorang diri saja. Seisi rumah mereka juga harus beribadah kepada-Nya. Jangan
sampai oleh karena kelalaian mereka, seisi rumah mereka tidak menunaikan ibadah kepada-
Nya (Yos. 24:15). Bahkan orang asing yang menganut agama orang Yahudi pun harus
membedakan hari ini dengan hari-hari lain. Sekalipun pada masa itu hal ini dirasa agak
mengekang mereka, namun ini merupakan bukti maksud baik Allah yang penuh rahmat,
bahwa dengan berjalannya waktu, bangsa-bangsa lain akan dibawa ke dalam jemaat-Nya
supaya mereka dapat merasakan manfaat hari Sabat juga (bdk. Yes. 56:6-7). Allah
memperhatikan apa yang kita lakukan, terutama pada hari Sabat, meskipun di tempat kita
berada, kita merupakan orang asing.

[4] Peringatan khusus mengenai kewajiban ini: Ingatlah hari Sabat. Walaupun tidak
diungkapkan secara langsung, namun sudah diketahui bangsa Israel secara umum bahwa
hari Sabat telah ditetapkan dan diperhatikan sejak sebelum itu. Namun, di tengah
perbudakan di Mesir, mereka tidak menghitung hari itu lagi, atau dikekang majikan mereka,
atau, akibat kemunduran dan ketidakpedulian luar biasa terhadap agama, mereka tidak
memperhatikannya lagi. Oleh sebab itulah mereka perlu diingatkan kembali tentang Sabat
itu. Perhatikanlah, kewajiban yang diabaikan tetap saja merupakan kewajiban, sekalipun
kita alpa menunaikannya. Hal ini juga menyiratkan bahwa kita mudah melupakannya, dan
karena itu perlu mengingatnya. Ada yang berpendapat bahwa perintah keempat ini juga
menunjukkan persiapan yang harus kita buat untuk hari Sabat. Kita harus memikirkannya
sebelum hari itu tiba, supaya ketika hari itu benar-benar tiba, kita dapat menguduskannya
dan melaksanakan kewajiban yang berkaitan dengannya.

(2) Alasan bagi perintah keempat ini.

[1] Kita mempunyai cukup banyak waktu bagi diri sendiri selama enam hari. Pada hari
ketujuh, marilah kita beribadah kepada-Nya. Kita juga mempunyai cukup waktu untuk
berlelah-lelah, jadi pada hari ketujuh, sungguh baik bagi kita, apabila kita diharuskan
beristirahat.

[2] Ini adalah hari Allah: yakni hari Sabat TUHAN, Allahmu, yang tidak saja ditetapkan oleh-
Nya, tetapi juga dikhususkan bagi-Nya. Mengalihkan tujuannya merupakan pelanggaran
terhadapnya. Pengudusan hari itu merupakan utang.

[3] Hari Sabat dirancang sebagai tanda peringatan akan penciptaan dunia, dan oleh karena
itu harus diperhatikan demi kemuliaan Sang Pencipta, sebagai janji kita untuk beribadah
kepada-Nya, dan sebagai dorongan bagi kita untuk percaya kepada Dia yang telah
menciptakan langit dan bumi. Melalui pengudusan hari Sabat, orang Yahudi menyatakan
bahwa mereka menyembah Allah yang telah menciptakan dunia, sehingga dengan demikian
membedakan diri mereka dengan semua bangsa lain yang menyembah dewa-dewa buatan
tangan mereka sendiri.
[4] Allah telah memberikan contoh tentang istirahat kepada kita. Sesudah bekerja enam
hari, Ia berhenti pada hari ketujuh, merasa puas, dan bersukacita tentang apa yang dibuat
sendiri oleh-Nya. Hal ini mengajar kita untuk merasa puas di dalam Dia pada hari itu, dan
memberi Dia kemuliaan atas perbuatan tangan-Nya (Mzm. 92:5). Hari Sabat diawali ketika
dunia selesai diciptakan, demikian juga halnya dengan Sabat yang kekal, ketika karya
pemeliharaan dan penebusan Allah dituntaskan. Dan kita menunaikan perayaan hari Sabat
mingguan dalam pengharapan akan Sabat kekal itu, sambil mengingat Sabat hari
penciptaan, dengan beribadah dan menyembah Dia.

[5] Ia sendiri telah memberkati hari Sabat dan menguduskannya. Ia telah memberikan
kehormatan atasnya dengan mengkhususkannya bagi diri-Nya. Inilah hari Tuhan yang kudus
dan mulia. Ia telah menaruh berkat-berkat ke dalam hari itu, dan Ia mendorong kita untuk
mengharapkan semua berkat itu dari Dia ketika kita merayakan hari itu. Inilah hari yang
dijadikan TUHAN, janganlah kita melakukan apa pun yang dapat merusaknya. Ia telah
memberkati, menghormati, dan menguduskannya, jadi janganlah kita mencemarkannya,
membuatnya menjadi cela, dan menyamakannya dengan hari-hari biasa, karena Allah telah
memberkatinya menjadi mulia dan berbeda dengan waktu yang lain.

Anda mungkin juga menyukai