Anda di halaman 1dari 5

PERSIMPANGAN

Sore hari itu masih terbayang di ingatanku tentang suara nyaring khas anak-anak
yang sedang bermain bersama. Mereka saling memainkan berbagai permainan, seperti
petak umpet dan kejar-kejaran. Melihatkan raut wajah yang berseri-seri dan tampak
segar selepas mandi sore. Anak-anak itu bernama Luna dan Arfan. Selain teman
bermain, mereka juga tetanggaku.
Aku mengenal Luna terlebih dahulu sejak usia kami sama-sama menginjak
lima tahun. Luna merupakan sosok yang cantik, percaya diri, dan pandai bergaul.
Sementara Arfan baru pindah ke kompleks perumahan kami sekitar dua tahun
kemudian dan langsung akrab dengan kami. Itu pun karena Luna yang selalu
mengikutinya bagai anak ayam dengan induknya. Kebalikan dari Aku dan Luna yang
banyak bicara, Arfan justru sangat pendiam. Ia hanya akan berbicara saat ditanya dan
selebihnya hanya mendengarkan.
Pertemanan kami yang erat membuat para orang tua memutuskan untuk
menyekolahkan kami di sekolah yang sama dari SD sampai SMA. Masa sekolah kami
dilalui dengan kegembiraan anak remaja pada umumnya. Pernah suatu ketika di
bangku SMA, kami lupa mengerjakan tugas karena keasikan mencoba PC Game
milik Arfan sampai malam. Lalu keesokan harinya, kami dihukum di bawah tiang
bendera.
Ingatan tentang kami, selalu membuatku tersenyum sambil tertawa. Seakan-
akan kami hidup di dunia kecil yang kami buat sendiri. Foto, video, dan buku diary
adalah bukti bahwa mereka pernah hadir membersamai masa mudaku. Itulah
kenanganku bersama mereka, dulu. Sekarang aku hanya bisa menggali memori yang
akan mengingatkanku pada kecerobohan, pertengkaran, kekompakan, dan keseruan
kami.
Saat ini, aku sedang menuju ke kafe yang akan menjadi tempat pertemuan
pertama kami setelah lama tidak bertemu. Aku merasa sedikit asing dan canggung
dengan situasi ini. Awalnya akan kutolak permintaan Luna untuk bertemu, tetapi bila
terus-terusan menolaknya aku takut Luna akan terus menerorku dengan pesan-pesan
yang berisi rengekannya.
“Elena, di sini!” pekik Luna sambil mengangkat tangannya.
Aku yang baru saja memasuki pintu masuk, otomatis melihat ke arah suara
dan berhenti. Di sanalah aku melihat mereka berdua menyambutku dengan senyum
yang sudah lama tak kujumpai. Luna dengan senyum lebarnya, sementara Arfan
menyambutku dengan senyum tipis khasnya. Senyumannya masih saja mampu
membuatku terpukau. Aku yang masih diam di depan pintu masuk, memaksakan diri
untuk mendekati mereka. Senyuman tipis ikut mengiringi langkahku.
“Lama banget gak ketemu, Len. Gimana kabarmu? Baik-baik aja, kan? Aku
dengar kamu udah jadi konsultan? Wah, hebat banget kamu! Eh iya, kabar Bunda
gimana? Aku kangen banget sama Bunda,” kata Luna dengan semangat.
“Tanyanya satu-satu, Lun. Elena kalau mau jawab juga bingung mulai dari
mana,” ungkap Arfan tenang.
Ya, begitulah Arfan. Sosok yang mampu mengimbangi kebawelan Luna. Luna
memang selalu ceria dan punya respon yang hangat pada orang-orang di sekitarnya.
Makanya tak heran kalau ia memiliki banyak teman di bangku kuliah. Ia juga gadis
yang cerdas. Sebelum pertemuan ini, aku mendengar bahwa dia telah mengikuti
beberapa perlombaan di tingkat nasional. Dan beberapa di antaranya berhasil ia
menangkan.
“Salahin aja Elena yang nomornya ganti, tapi gak ngasih tau kita. Kalau
nomornya enggak diganti, kan, kita masih bisa sering kontakan sampai sekarang!
Nah, mumpung sudah ketemu, aku mau nagih alasan kenapa nomormu ganti?” tanya
Luna dengan raut wajah heran.
“Ya, kenapa gak tanya Bundaku saja?” jawabku dengan tenang.
Sebenarnya aku sengaja meminta Bundaku untuk tidak memberi nomor
baruku pada mereka. Saat itu, aku masih dilanda kekecewaan karena hubungan yang
telah mereka jalani tanpa sepengetahuanku. Aku ingin sedikit jarak dari mereka
sehingga memutuskan untuk kuliah di luar kota. Berbeda dengan mereka.
“Aku dah tanya Bunda, tapi katanya juga gak tau. Masa gak tau, sih, Len?
Terus selama ini kamu sama Bunda komunikasi pakai apa?” tanya Luna heran.
“Pakai email,” balasku asal.
“Hah? Yang bener aja, sih, Len. Mana ada anak yang komunikasi sama orang
tua pake email?” tanya Luna tak percaya.
“Ada. Aku,” jawabku berusaha meyakinkan.
“Ya, tapi, kan, gak—”
“Udah. Mending pesen minum dulu, Lun. Elena juga baru dateng udah kamu
tanya-tanyain,” ucap Arfan menengahi kami.
Luna memasang muka memelas. “Iya iya.”
Selanjutnya obrolan kami seputar masa kuliah dan hal-hal apa saja yang telah
kulewatkan. Luna menceritakan bahwa saat ke luar kota untuk perlombaan nasional,
ia mengalami demam sehingga Ibunya harus menginap bersamanya. Ia juga
mengatakan bahwa ia dan Arfan memelihara kucing liar yang dinamakan Bubu. Entah
dari mana ide nama itu. Saat Luna asik menceritakan kejadian-kejadian yang
dialaminya, aku melirik Arfan.
Ia sedang menatap Luna. Tatapan yang sama seperti dulu.
Aku mulai memahami arti tatapan Arfan kepada Luna saat mereka mengaku
telah berpacaran. Itu terjadi 10 tahun yang lalu di parkiran sekolah. Luna
memberitahuku dengan mata yang berbinar-binar. Sementara aku hanya diam dan
berusaha menyembunyikan perasaanku.
Berlalunya waktu, aku mulai menjauh dari mereka. Namun, nyatanya bukan
aku yang menciptakan jarak, melainkan mereka. Luna dan Arfan sering
menghabiskan waktu bersama dan asik dengan dunianya sendiri. Saat bertemu pun,
aku hanya akan diam dan mendengarkan cerita mereka. Sungguh asing. Aku juga
menyadari persahabatan kami tidak akan sama seperti dulu lagi. Jadi aku memutuskan
untuk kuliah di luar kota, tanpa mereka.
“Len, sebenarnya kami ingin kasih tahu kamu sesuatu,” ungkap Luna.
Aku menatapnya. “Apa? Ngomong aja.”
Luna kelihatan ragu. Ia lalu mengeluarkan kotak persegi berwarna merah
muda dari dalam tasnya. Undangan pernikahan.
“Aku sama Luna mau menikah tahun ini, Len,” ucap Arfan.
Aku diam, menunggu kelanjutan dari Arfan.
“Kami juga sadar kalau ada yang beda dari sikap kamu sejak aku sama Luna
pacaran. Apa mungkin itu alasan kamu menjauhi kami?” tanya Arfan.
Aku ragu untuk menjawabnya.
“Len, aku ngerasa kalau kamu memang mulai menjauh waktu aku sama Arfan
pacaran. Aku cerita, kamu diem. Aku ajak main, kamu tolak. Iya, kan? Kenapa gak
jujur dari awal aja, sih, kalau kamu keberatan sama hubungan kami.” Luna mulai
emosi.
Aku masih diam, berusaha merangkai kata.
“Kamu kira kami percaya sama alasanmu? Len, kita udah temenan dari kecil.
Bahkan udah kayak keluarga. Yang kamu lakuin itu kekanakan tahu nggak!” ungkap
Luna dengan mata yang memerah.
Karena tidak tahan dengan omongan Luna, aku pun menyahut.
“Kamu bilang kekanakan? Sekarang siapa yang nyembunyiin hubungan dari
yang katanya keluarga sendiri? Yang ngomong dengan santainya kalau udah pacaran.
Kamu bisa nggak pikirin posisiku di antara kalian? Waktu kamu cerita tentang kencan
kalian, terus ngajakin aku buat nongkrong bareng kalian saat kalian lagi pacaran.”
Aku menatap Luna getir. “Aku ngerasa asing di antara kalian. Jadi buat apa
aku mengekori kalian ke mana pun kalian pergi bersama?”
Luna masih terdiam, begitu pun Arfan.
“Apa aku punya hak untuk melarang hubungan kalian? Saat aku bilang tidak
setuju, apa kalian juga akan pertimbangin itu? Enggak, kan! Jadi jangan ngerasa kalau
cuma aku yang kekanakan di sini.” Aku menatap dingin mereka berdua.
Saat aku menatap Luna, ternyata ia sedang menangis. Aku tidak tahu apakah
tindakanku ini sudah benar atau malah memperkeruh keadaan. Maksudku, mereka
akan segera menikah. Kenapa aku harus mengungkapkannya seperti ini?
Arfan berdehem. “Aku gak tahu kalau kamu ngerasa asing di antara kami,
Len. Maaf banget. Aku pikir hubunganku sama Luna gak akan seberpengaruh itu ke
persahabatan kita.”
Aku diam. Tidak tahu harus berkata apa lagi. Suasana di antara kami masih
hening. Seakan kami sedang mencerna omongan satu sama lain. Ini pertengkaran
hebat pertama kami. Sebelumnya, kami tidak pernah berada di situasi ini. Saat kami
bertengkar, itu pun hanya beberapa menit atau paling lama 2 hari saja. Namun,
pertengkaran kami yang sekarang telah terjadi kurang lebih 10 tahun lamanya.
People come and go. Kata-kata itu seolah mengingatkanku.
Aku dan mereka telah menjadi sahabat dari kecil. Nyatanya, itu tidak bisa
membuat kita terus bertahan di satu tempat yang sama. Sebenarnya itu adalah suatu
hal yang wajar dalam kehidupan ini. Maka dari itu, aku sudah mulai terbiasa.
Karena tidak ada tanda-tanda keheningan ini akan berakhir. Akhirnya aku
memberanikan diri untuk mengambil undangan pernikahan mereka dan tersenyum
tipis.
“Akan kuusahain dateng kok. Tenang aja,” ucapku pelan.
Kulihat jam tanganku. “Habis ini aku masih ada urusan. Aku pergi dulu ya?”
Luna memegang tanganku. “Len, maafin aku. Aku gak berpikir kalau kamu
ada di posisi sulit. Aku—”
“Lun, udah. Enggak apa-apa. Itu perasaan yang aku rasain dulu. Kamu sama
Arfan gak salah juga. Kita cuma kurang komunikasi aja. Jadinya ada salah paham
kayak gini,” jawabku berusaha menenangkannya.
“Len, tapi aku gak mau kamu jauh lagi. Aku kangen waktu kita bisa curhat
sama main bareng kayak dulu.” Luna mulai menangis lagi.
“Enggak. Aku gak akan jauhin kalian lagi. Kita masih bisa main, Lun. Tapi
emang gak akan kayak dulu sebelum kamu sama Arfan pacaran,” jelasku.
Luna heran. “Kenapa gitu?”
“Ya kalian, kan, mau nikah. Masa aku bareng terus sama kalian. Iya, kan,
Fan?”
Arfan hanya menanggapi ucapanku dengan senyum. Aku sebenarnya heran
dengan apa yang dipikirkan Arfan. Sewaktu Aku dan Luna sibuk mengeluarkan isi
hati kami. Kulihat ia hanya mendengarkan, tapi tanpa senyum di wajahnya. Ia terlihat
memikirkan sesuatu. Saat Luna menangis pun, ia hanya sibuk menepuk pelan
pundaknya seakan memberi ketenangan.
Kulihat lagi jam tanganku dan bangkit dari duduk. “Ini aku beneran ada
urusan. Tempatnya agak jauh. Aku pergi dulu ya?”
“Iya deh. Eh, enggak mau bareng sama kami aja, Len?” tanya Luna dengan
pipi dan hidung yang memerah lucu. Matanya benar-benar bengkak khas orang
menangis.
“Enggak usah. Aku bawa mobil kok. Duluan ya,” pamitku. Tidak lupa di
tanganku menggenggam sebuah undangan merah muda. Sebelum aku pergi, mereka
meminta nomor ponselku.
Saat aku keluar pintu, aku berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya dan
menghembuskannya perlahan.
Ting!
Aku mengambil ponsel dari saku celanaku dan mendapati pesan dari nomor
yang tidak kukenal. Bunyi pesannya membuatku tersenyum tipis. Tak sadar kabut
tipis mulai menghiasi mataku.
Maaf ya, Len.
-Arfan
Kemudian, kulangkahkan kakiku menjauhi kafe dengan hati yang ringan.
Selesai.

Anda mungkin juga menyukai