Anda di halaman 1dari 4

Ketika para imigran Eropa menetap di perbatasan barat Amerika Serikat, mereka menghadapi

tantangan untuk menemukan kembali unsur-unsur budaya yang mereka kenal dalam kondisi
lingkungan dan sosial yang sangat berbeda. Dulu tinggal di rumah yang terbuat dari papan kayu
atau kayu gelondongan, mereka mendapati diri mereka berada di dataran luas dengan sedikit
pohon. Adaptasi umum terhadap keterbatasan lingkungan ini adalah menggali lereng bumi
untuk membuat rumah galian dengan dinding dan atap rumput.

Meskipun rumah-rumah ini berfungsi sempurna, banyak pemukim Euro-Amerika


menganggapnya kotor dan terbelakang. Ketika usaha pertanian mereka menjadi makmur,
mereka seringkali mengeluarkan biaya yang besar untuk mengimpor kayu dari kawasan hutan
untuk membangun jenis rumah yang mereka kenal dari kehidupan di timur, baik di Pantai
Timur Amerika Serikat atau di negara-negara Eropa tempat mereka berasal.

Saat melakukan penelitian lapangan di Lesotho pada tahun 1980-an, antropolog budaya Jim
Ferguson mengamati bahwa masyarakat yang menjadi makmur sering kali mengganti rumah
bundar mereka yang terbuat dari lumpur dan batu serta beratap jerami dengan rumah persegi
panjang yang berlantai semen dan atap baja galvanis. Meskipun bangunan bundar secara
fungsional disesuaikan dengan kondisi setempat, terbuat dari bahan lokal, sejuk di hari panas,
dan hangat di malam dingin, bangunan persegi panjang memanas seperti oven di bawah terik
matahari dan berisik saat hujan. Bahan-bahannya diimpor dan mahal. Berbicara dengan
seorang pria yang berencana mengganti rumah bundarnya dengan rumah persegi panjang yang
terbuat dari semen dan baja, Ferguson berpendapat bahwa metode dan bahan bangunan lokal
mungkin lebih unggul daripada metode dan bahan bangunan asing.

1. Kebudayaan itu berkelanjutan, namun berubah

Ada sejumlah factor yang dapat mengintervensi proses reproduksi budaya. Dalam beberapa
konteks, generasi muda dianggap gagal mempelajari secara tepat budaya orang yang lebih tua
atau bahkan dengan sengaja menolak pelajaran budaya tsb. Contohnya: orang2 melalui
perjalanan dan perdagangan, mereka akan belajar cara2 lain dalam melakukan sesuatu dan
membawa ide2 tsb ke budaya mereka masing2. Dengan begitu mereka bisa melihat bagaimana
cara mereka meningkatkan taraf hidup mereka. Trial dan error tersebut, eksperimen, dsb dapat
menimbulkan kemungkinan2 baru. Terdapat juga kemungkinan jika orang bisa saja bosan
melakukan hal yang berulang2 dan ingin mencoba hal baru.

Kita dapat mengidentifikasi empat mekanisme utama perubahan budaya. Keempat mekanisme
ini saling tumpang tindih dan berinteraksi seiring dengan berkembangnya sejarah suatu
kebudayaan dari waktu ke waktu.

Masih berhubungan dengan contoh yang ditampilkan di awal, Teknik bangunan berubah
seiring dengan adanya migrasi manusia ke lingkungan baru. Mereka mau tidak mau harus
merubah bentuk bangunan agar sesuai dengan material yang ada di tempat baru tsb/lingkungan
baru tsb.
Selain itu, contoh lain penemuan budaya yang begitu sukses dan mengubah seluruh cara hidup
masyarakat adalah penemuan teknologi informasi. Sejak tahun 70-an, di US, dengan
dikembangkannya teknologi seperti internet, computer, hp, bisa mempermudah hidup manusia.
Alat tersebut mengubah cara orang US untuk berkomunikasi, bekerja, belanja, dan menghibur
diri. Teknologi itu disebarkan melalui perdagangan hingga kemudian mengubah budaya di
seluruh dunia dengan berbagai cara. Itu lah yang dimaksud dengan budaya itu berkelanjutan
namun berubah.

2. Budaya terikat namun bergerak

Orang sering berpindah-pindah, dan ini bukanlah hal baru. Dalam serial televisi populer Inggris
Time Team, penggalian arkeologi di seluruh Inggris mengungkap artefak dari zaman kuno yang
diproduksi di tempat-tempat yang sangat jauh seperti Roma, Skandinavia, dan Timur Tengah.
Di salah satu episodenya, mereka menggali sebuah kota di Wales yang dibangun oleh Romawi
di masa penaklukan Romawi. Di sana arkeolog menemukan fondasi bangunan Romawi beserta
berbagai benda Romawi, termasuk koin Romawi abad ketiga, alat Romawi untuk
menghilangkan kotoran telinga, gelang kawat yang dipilin, dan gagang pisau yang dihias
dengan gladiator. Investigasi Tim Waktu lainnya telah menemukan artefak dari para pelancong
dan peziarah ke situs keagamaan suci. Benda-benda ini telah menyebar ke budaya Inggris
melalui penaklukan, perdagangan, dan migrasi. Ketika manusia bergerak, begitu pula objek,
teknologi, praktik, dan ide.

Contoh:

Wax print di Afrrika. Kain cetakan lilin ini sangat terkenal di wilayah Afrika. Di sebagian besar
negara Afrika, beragam pilihan desain dan merek cetakan lilin dapat ditemukan di pasar mana
pun. Banyak desain cetakan lilin yang bersifat simbolis, berfungsi sebagai sarana komunikasi
nonverbal bagi orang yang memakainya. Beberapa kain dikaitkan dengan peribahasa,
peristiwa, monumen, dan orang terkenal. Meskipun secara ikonik kain tersebut oleh warga
Afrika diasosiasikan dengan pakaian Afrika, namun cetakan lilin sebenarnya berasal dari
Indonesia, yang kita kenal sebagai batik.

Ketika Belanda menjajah Indonesia pada tahun 1700-an, para pedagang Belanda terkesan
dengan keindahan batik lokal dan berusaha menggunakan metode pencetakan blok mereka
sendiri yang diproduksi secara massal untuk meniru warna-warna cerah dan desain kain
Indonesia yang rumit.

Pada tahun 1880-an, para pedagang Belanda dan Inggris memperkenalkan cetakan lilin mereka
yang diproduksi secara massal kepada orang-orang di koloni mereka di Afrika, khususnya di
sepanjang pantai barat Afrika. Kain lilin Belanda diterima dengan antusias oleh orang-orang
Afrika, yang mulai menanamkan makna sosial pada pola-pola tertentu. Dengan kemerdekaan
pada pertengahan abad ke-20, banyak negara Afrika mengembangkan industri tekstil cetak lilin
mereka sendiri dengan menggunakan desain yang dikembangkan oleh seniman lokal.
Banyak antropolog budaya mengadopsi pakaian, pola makan, gerak tubuh, dan bahasa
masyarakat yang mereka pelajari saat mereka melakukan kerja lapangan. Seringkali, para
antropolog membawa kecintaan mereka terhadap unsur-unsur budaya ini kembali ke
masyarakat asal mereka dan terus menggunakan dan mempraktikkannya untuk menunjukkan
apresiasi mereka terhadap budaya yang telah mereka pelajari.

Jika seseorang menggunakan benda budaya sebagai cara untuk menghormati budaya tersebut,
banyak orang akan berpikir itu tidak masalah. Jika seseorang mengenakan benda dari budaya
lain sebagai kostum lucu, seperti maskot olahraga atau kostum Halloween, kebanyakan orang
akan menganggapnya menyinggung. Masalah yang lebih serius muncul ketika seseorang
memanfaatkan atau mengklaim unsur budaya dari masyarakat lain untuk mendapatkan
keuntungan.

3. Kebudayaan itu konsensual tapi diperebutkan

Misalnya, bayangkan seseorang di Amerika baru saja lulus kuliah dan sedang mencari
pekerjaan. Apa yang harus dilakukan orang itu? Di Indonesia, adalah hal yang lumrah untuk
menghabiskan waktu menyusun resume yang mengesankan, menggunakan bentuk bahasa
teknis tertentu yang menonjolkan kualitas keterampilan dan pengalaman seseorang sambil
menunjukkan latar belakang pendidikannya. Misalnya mereka memiliki pengalaman magang
sebagai data entry. Mereka akan menuliskan di dalam CV mereka, bukan sekadar “memiliki
pengalaman data entry”, namun untuk “menjual diri”, mereka akan menuliskan “Memiliki
penglamanan mengolah seribu data dalam waktu satu minggu menggunakan Microsoft excel
untuk mencapai target yang ditentukan”. Kemudian mereka akan melamar pekerjaan di portal2
pencari kerja seperti misalnya Indeed/Jobstreet/LinkedIn.

Beda halnya dengan di Tiongkok. Strategi seperti itu tampaknya sangat sederhana dan bahkan
sangat tidak memadai. Dalam mencari peluang pendidikan, pekerjaan, dan bisnis, masyarakat
Tiongkok sering kali mengandalkan sistem budaya yang dikenal sebagai guanxi.

Berdasarkan ajaran Konfusianisme, guanxi mengacu pada pemberian dan bantuan yang
dipertukarkan di antara orang-orang di jaringan sosial yang luas berdasarkan saling
menguntungkan. Guanxi didasarkan pada ikatan keluarga tetapi juga mencakup hubungan yang
terbentuk di sekolah, di tempat kerja, dan bahkan di antara orang asing yang bertemu di pesta
atau melalui teman bersama (Yin 2017).

Contoh: Bisa berupa mendekati di dalam jam perkuliahan atau di luar jam perkuliahan, dengan
memberikan bingkisan dsb. Setelah dengan hati-hati memupuk hubungan yang dipersonalisasi
ini selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, siswa tersebut kemudian dapat meminta
profesornya untuk menggunakan koneksi industri untuk membantu mereka mendapatkan
pekerjaan.

Di banyak masyarakat, orang lebih suka bekerja dengan orang yang mereka percayai. Daripada
mempekerjakan orang asing secara acak, banyak orang lebih memilih untuk mempekerjakan
seseorang yang direkomendasikan oleh teman atau mitra bisnis tepercaya. Dalam hubungan
guanxi, hubungan kepercayaan dibangun melalui pertukaran hadiah dan bantuan dari waktu ke
waktu.

Pada tahun 2012, pemerintah Tiongkok meluncurkan kampanye ambisius melawan korupsi di
kalangan pejabat pemerintah. Lebih dari 100.000 orang telah diselidiki dan didakwa
melakukan korupsi, termasuk banyak pejabat tinggi pemerintah, perwira militer, dan eksekutif
senior perusahaan milik negara. Investigasi telah mengungkap bagaimana orang-orang
berkuasa menggunakan jaringan guanxi mereka yang luas untuk mendapatkan kesepakatan,
memberikan pengaruh, dan mengambil barang dan jasa. Kampanye melawan korupsi di
Tiongkok menimbulkan pertanyaan tentang moralitas dan legalitas praktik guanxi.

Meskipun guanxi adalah sistem yang diterima secara luas untuk mendapatkan akses terhadap
barang, jasa, dan peluang, masyarakat yang tidak memiliki koneksi elit mungkin merasa bahwa
sistem budaya informal ini tidak adil. Karena alasan pribadi atau etika, beberapa orang
mungkin menentang atau menolak praktik guanxi.

4. Kebudayaan itu dibagi, namun bervariasi

Anggota dan kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat mempunyai perspektif yang
berbeda mengenai budaya mereka—dan versi yang berbeda dari budaya tersebut. Di kalangan
elit, penggunaan guanxi Tiongkok merupakan proses yang lebih pribadi dan dapat dipercaya
untuk mewujudkan sesuatu. Namun bagi masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap
jaringan elit, norma-norma budaya ini mungkin tampak sebagai alat penindasan kelas yang
eksklusif dan tidak adil.

Kembali ke contoh rumah. Orang-orang di wilayah berbeda hidup dalam bangunan dengan
bentuk dan ukuran berbeda yang terbuat dari bahan berbeda. Namun, anggota suatu budaya
mempunyai asumsi yang sama tentang rumah. Rumah adalah tempat kita tinggal, tempat kita
tidur, dan seringkali juga tempat tinggal keluarga kita. Bahkan dengan keberagaman tersebut,
orang-orang dalam suatu masyarakat mempunyai gambaran umum atau cita-cita tentang
rumah.

Masyarakat adalah kumpulan individu, keluarga, kelompok regional, kelompok etnis, kelas
sosial ekonomi, kelompok politik, dan sebagainya. Kebudayaan memberikan cara bagi
masyarakat untuk hidup dan bekerja sama sekaligus memungkinkan adanya ekspresi dan
kinerja perbedaan-perbedaan yang khas. Alih-alih rusak, budaya merespons tekanan perubahan
dengan melakukan adaptasi terhadap kondisi baru.

Anda mungkin juga menyukai