Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keris diperkirakan dikenal masyarakat Indonesia sejak abad ke-19.

Hal ini terbukti dari beberapa kisah tradisional yang menyebut tentang keris,

seperti kisah Ken Arok dan Ken Dedes yang ada pada tahun 1965 dalam

buku Pararaton karangan R. Pitono. Senjata keris milik Indonesia dan resmi

diakui oleh UNESCO pada 25 November 2005 sebagai Warisan Budaya

Dunia Non-Bendawi. Keris dikategorikan sebagai Warisan Budaya Dunia

Non-Bendawi karena yang resmi diakui oleh UNESCO adalah nilai-nilai

yang terkandung di dalam keris bukan benda kerisnya.

Keris tidak hanya digunakan sebagai senjata, namun juga dipercaya

memiliki kekuatan supranatural. Sehingga masyarakat sangat mengagumi,

menghormati, menjaga serta melestarikan keris dengan sebaik mungkin.

Fungsi utama keris pada zaman dahulu sebagai senjata tradisional. Namun,

pada saat ini keris lebih berfungsi sebagai bagian kelengkapan pakaian adat

Jawa dan banyak disimpan masyarakat karena berbagai hal, seperti: untuk

dikoleksi, peninggalan leluhur, dan untuk dijadikan pegangan (meminta

kelancaran hidup, kesehatan, kelancaran panen, gangguan roh-roh jahat, dan

lain sebagainya).

Keris yang digunakan untuk kelengkapan pakaian adat Jawa adalah

keris biasa yang bisa dibeli di toko aksesoris pernikahan yang bagian

dalamnya berupa kayu bukan besi. Sedangkan, keris yang digunakan untuk

1
2

pegangan adalah keris pusaka yang berasal dari peninggalan leluhur atau

dibuat oleh sang Empu. Contoh keris pusaka yang terkenal yaitu: keris Kyai

Setan Kober milik Adipati Jipang, keris Kyai Condong Campur milik Arya

Penangsang, keris Taming Sari milik Taming Sari, keris Mpu Gandring

milik Ken Arok, keris Nogososro milik Prabu Brawijaya, keris Kyai

Carubuk milik Sunan Kalijaga, keris Kyai Sengkelat milik kerajaan Demak,

keris Nyai Sombro milik Nyi Sombro dan keris Nyai Blorong milik Nyi

Blorong.

Sebagai bentuk pelestarian keris, masyarakat terutama di daerah

Jawa biasanya melakukan tradisi yang dinamakan “Marangi Keris”. Ritual

memandikan pusaka ini dilakukan saat bulan suro (tahun baru Jawa).

Adapun tujuan dari ritual Marangi Keris ini untuk menghindarkan diri sang

pemilik keris dari gangguan-gangguan keris miliknya dan untuk

melestarikan tradisi leluhur.

Marangi Keris tidak boleh dilakukan asal-asalan dan tidak boleh

dilakukan oleh sembarang orang. Terdapat prosedur dan sarana khusus

dalam melakukan ritual ini. Keris diperlakukan dengan baik dan tidak asal-

asalan karena keris dibuat dengan penuh filosofi, dibuat dengan harapan,

keinginan, dan cita-cita dari pemesannya. Dari filosofi inilah, masyarakat

Jawa percaya bahwa sebuah keris memiliki ajaran moral berupa nilai-nilai

kehidupan. Nilai-nilai kehidupan ini tidak hanya terdapat pada sebuah keris,

dalam tradisi Marangi Keris pun terkandung nilai-nilai kehidupan di

antaranya: kerendah hatian, kesucian dan berpengetahuan.


3

Mengingat alasan di atas, penulis merasa terpanggil untuk

mengadakan penelitian dengan judul “Tradisi Marangi Keris sebagai

Warisan Budaya Dalam Upaya Pembentukan Nilai-Nilai Sepuluh

Keutamaan Pangudi Luhur di Banyuripan Tirtosuworo Giriwoyo Wonogiri

Tahun 2022”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada Latar Belakang di atas, tampak bahwa

permasalahan yang akan dibahas masih terlalu luas. Agar mampu menyusun

pembahasan secara rinci dan mendalam penulis mempersempit

permasalahan dengan merumuskan permasalahan sebagai berikut:

Bagaimana keterkaitan tradisi Marangi Keris dengan sepuluh keutamaan

Pangudi Luhur serta pengaktualisasiannya dalam kehidupan sehari-hari?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui nilai-nilai

yang terkandung dalam tradisi Marangi Keris dan keterkaitannya dengan

sepuluh keutmaan Pangudi Luhur serta pengaktualisasiannya dalam

kehidupan sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai