Anda di halaman 1dari 70

MAKALAH

KEPERAWATAN DEWASA

DISUSUN OLEH:

DZUNURAIN

038STYC21

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS
MATARAM
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunianya
penulis dapat menyusun makalah untuk menyelesaikan tugas mata kuliah “ KEPERAWATAN
DEWASA”

Dalam penyusunan makalah ini,tidak lepas dari hambatan yg penulis hadapi, namun penulis
menyadari kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat dorongan, bantuan, dan
bimbingan dari semua pihak, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi dapat teratasi.
Penulis menyadari tulisan makalah ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan,
mengingat akan keterbatasan dan kemampuan yang dimiliki oleh penulis.untuk itu kritik dan saran
sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan makalah yang akan datang.

DAFTAR ISI
Hal
BAB 1 PENDAHULUAN ……………………...………………………................... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA …………………………….……………………... 3
1.1pemasangan dan perawatan kateter.............................................................................. 3
2.1.1 kateter urine................................................................................................. 3
2.1.2 tipe kateterisasi............................................................................................. 3
2.1.3 indikasi pemasangan kateter........................................................................ 5
2.1.4 akibat yang didapat dari pemasangan kateter............................................... 6
2.1.5 derajat ketidak nyamanan (nyeri)................................................................. 15
2.2 Nyeri Akut …………………………………………………………………............. 16
2.1.1 Definisi Nyeri ………………………………………………………... 18
2.1.2 Klasifikasi Nyeri …………………………………………………….. 20
2.1.3 Fisiologi dan Anatomi Nyeri ………………………………………… 21
2.1.4 Patofisiologi Nyeri …………………………………………………... 21
Sistem Inhibisi Terhadap Nyeri ……………………………………........................... 22
Respon Tubuh Terhadap Stress Nyeri ………………………………........................ 30
Pengukuran Intensitas Nyeri …………………………………………...................... 31
2.1.8 Diagnostik Nyeri …………………………………………………….. 32
2.2 Penatalaksanaan Nyeri Akut ………………………………………………. 33
2.2.1 Terapi Multimodal …………………………………………………... 33
2.2.2 Farmakoterapi Nyeri ………………………………………………… 34
2.2.3 Analgesia Balans …………………………………………………….. 35
2.2.4 Analgesia Preemptif ………………………………………………….
2.2.5 PCA …………………………………………………………………..
2.2.6 Tim Nyeri Akut ………………………………………………………
2.2.7 Servis Nyeri Akut …………………………………………………….
3.3 pemeriksaan cct.........................................................................................................
BAB 3 SIMPULAN …………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………...
BAB I
LATAR BELAKANG
A. Latar Belakang
Pemasangan kateter merupakan tindakan keperawataan dengan cara memasukkan
kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan untuk membantu
memenuhi kebutuhan eliminasi dan sebagai pengambilan bahan pemeriksaan (Hidayat,
2006). Tindakan pemasangan kateter urin dilakukan dengan cara memasukkan selang
plastik sesuai dengan ukurannya ke dalam kandung kemih. Kateter memungkinkan
mengalirnya urin yang berkelanjutan pada klien yang tidak mampu mengontrol
perkemihan atau klien yang mengalami obstruksi. Kateter juga menjadi alat untuk
mengkaji pengeluaran urin per jam pada klien yang status hemodinamiknya tidak stabil
(Potter dan Perry, 2008).
Selain untuk dekompresi kandung kemih, kateter juga digunakan untuk
mengevaluasi jumlah urin yang keluar dan pada pasien inkontinensia urin. Mengingat
fungsi tersebut, 15% - 25% pasien di rumah sakit memakai kateter. Pemasangan kateter
dilakukan lebih dari lima ribu pasien setiap tahunnya di Amerika, dimana sebanyak 4 %
penggunaan kateter dilakukan pada perawatan rumah dan sebanyak 25 % pada perawatan
akut. Sebanyak 15- 25% pasien di rumah sakit menggunakan kateter menetap untuk
mengukur haluaran urin dan untuk membantu pengosongan kandung kemih (Smith,
2009).

Nyeri merupakan bagian dari pengalaman hidup sehari-hari. Nyeri mempunyai


sifat yang unik, karena di satu sisi nyeri menimbulkan derita bagi yang
bersangkutan, tetapi disisi lain nyeri juga menunjukkan suatu manfaat. Nyeri bukan
hanya merupakan modalitas sensori tetapi juga merupakan suatu pengalaman.
Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri
didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan adanya atau potensi rusaknya jaringan
atau keadaan yang menggambarkan kerusakan jaringan tersebut.1,2 Berdasarkan
definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek
fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis).
Nyeri akut merupakan sensibel nyeri yang mempunyai manfaat. Adapun yang
menjadi manfaatnya antara lain: manfaat berupa mekanisme proteksi, mekanisme

1
defensif, dan membantu menegakkan diagnosis suatu penyakit. Di lain pihak, nyeri
tetaplah merupakan derita belaka bagi siapapun, dan semestinya ditanggulangi oleh
karena menimbulkan perubahan biokimia, metabolisme dan fungsi sistem organ.2
Bila tidak teratasi dengan baik nyeri dapat mempengaruhi aspek psikologis dan
aspek fisik dari penderita. Aspek psikologis meliputi kecemasan, takut, perubahan
kepribadian dan perilaku,gangguan tidur dan gangguan kehidupan sosial. Sedangkan
dari aspek fisik, nyeri mempengaruhi peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.
Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya (noksius, protofatik) atau
yang tidak berbahaya (nonnoksius, epikritik) misalnya sentuhan ringan, kehangatan,
tekanan ringan.3 Nyeri dapat dirasakan/terjadi secara akut, dapat pula dirasakan secara
kronik oleh penderita. Nyeri akut akan disertai heperaktifitas saraf otonum dan
umumnya mereda dan hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan. Pemahaman
tentang patofisiologi terjadinya nyeri sangatlah penting sebagai landasan
menanggulangi nyeri yang diderita oleh penderita. Bila pengelolaan nyeri dan
penyebab nyeri akut tidak dilaksanakan dengan baik, nyeri itu dapat berkembang
menjadi nyeri kronik.2

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Kateter Urin
1.Pengertian
Kateter urin adalah selang yang dimasukkan ke dalam kandung
kemih untuk mengalirkan urine. Kateter ini biasanya dimasukkan melalui
uretra ke dalam kandung kemih, namun metode lain yang disebut
pendekatan suprapubik, dapat digunakan (Marrelli, 2007). Pemasangan
kateter merupakan tindakan keperawataan dengan cara memasukkan
kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan untuk
membantu memenuhi kebutuhan eliminasi dan sebagai pengambilan
bahan pemeriksaan (Hidayat, 2006).
Tindakan pemasangan kateter urin dilakukan dengan memasukan
selang plastik atau karet melalui uretra ke dalam kandung kemih.Kateter
memungkinkan mengalirnya urin yang berkelanjutan pada klien yang
tidak mampu mengontrol perkemihan atau klien yang mengalami
obstruksi. Kateter juga menjadi alat untuk mengkaji haluaran urin per jam
pada klien yang status hemodinamiknya tidak stabil (Potter dan Perry,
2006).
Kateterisasi urin membantu pasien dalam proses eliminasinya.
Pemasangan kateter menggantikan kebiasaan normal dari pasien untuk
berkemih. Penggunaan kateter intermiten dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan pasien mengalami ketergantungan dalam berkemih (Craven
dan Zweig, 2010).

2.Tipe Kateterisasi
Menurut Hidayat pemasangan kateter dengan dapat bersifat
sementara atau menetap.Pemasangan kateter sementara atau intermiten
catheter (straight kateter) dilakukan jika pengosongan kandung kemih
dilakukan secara rutin sesuai dengan jadwal, sedangkan pemasangan
kateter menetap atau indwelling catheter (folley kateter) dilakukan apabila
pengosongan kateter dilakukan secara terus menerus (Hidayat, 2006).
a. Kateter sementara (straight kateter).
Pemasangan kateter sementara dilakukan dengan cara kateter
lurus yang sekali pakai dimasukkan sampai mencapai kandung kemih
yang bertujuan untuk mengeluarkan urin. Tindakan ini dapat
dilakukan selama 5 sampai 10 menit.Pada saat kandung kemih
kosong maka kateter kemudian ditarik keluar, pemasangan kateter
intermitten dapat dilakukan berulang jika tindakan ini diperlukan,
tetapi penggunaan yang berulang meningkatkan resiko infeksi (Potter
dan Perry, 2006).
Pemasangan kateter sementara dilakukan jika tindakan untuk
mengeluarkan urin dari kandung kemih pasien dibutuhkan. Efek
samping dari penggunaan kateter ini berupa pembengkakan pada
uretra, yang terjadi saat memasukkan kateter dan dapat menimbulkan
infeksi (Rizki, 2009).
Beberapa keuntungan penggunaan kateterisasi sementara yang
dikemukakan oleh Japardi (2008) antara lain:
1) Mencegah terjadinya tekanan intravesikal yang
tinggi/overdistensi yang mengakibatkan aliran darah ke mukosa
kandung kencing dipertahankan seoptimal mungkin
2) Kandung kencing dapat terisi dan dikosongkan secara berkala
seakan-akan berfungsi normal.

3) Bila dilakukan secara dini pada penderita cedera medula spinalis,


maka penderita dapat melewati masa syok spinal secara
fisiologis sehingga fedback ke medula spinalis tetap terpelihara
4) Teknik yang mudah dan klien tidak terganggu kegiatan sehari
harinya

Kerugian kateterisasi sementara ini adalah adanya bahaya


distensi kandung kemih, resiko trauma uretra akibat kateter yang
keluar masuk secara berulang, resiko infeksi akibat masuknya
kuman-kuman dari luar atau dari ujung distal uretra (flora normal)
b. Kateter menetap (folley kateter)
Kateter menetap digunakan untuk periode waktu yang lebih
lama.Kateter menetap ditempatkan dalam kandung kemih untuk
beberapa minggu pemakaian sebelum dilakukan pergantian
kateter.Pemasangan kateter ini dilakukan sampai klien mampu
berkemih dengan tuntas dan spontan atau selama pengukuran urin
akurat dibutuhkan (Potter dan Perry, 2006).
Pemasangan kateter menetap dilakukan dengan sistem
continue ataupun penutupan berkala (clamping).Pemakaian kateter
menetap ini banyak menimbulkan infeksi atau sepsis. Bila
menggunakan kateter menetap, maka yang dipilih adalah penutupan
berkala oleh karena kateterisasi menetap dimana kandung kencing
yang selalu kosong akan mengakibatkan kehilangan potensi sensasi
miksi serta terjadinya atrofi serta penurunan tonus otot kandung
kemih (Japardi, 2009).

Kateter menetap terdiri atas foley kateter (double lumen)


dimana satu lumen berfungsi untuk mengalirkan urin dan lumen
yang lain berfungsi untuk mengisi balon dari luar kandung kemih.
Tipe triple lumen terdiri dari tiga lumen yang digunakan untuk
mengalirkan urin dari kandung kemih, satu lumen untuk
memasukkan cairan ke dalam balon dan lumen yang ketiga
dipergunakan untuk melakukan irigasi pada kandung kemih dengan
cairan atau pengobatan (Potter dan Perry, 2006).

3. Indikasi Pemasangan kateter


Kateter diindikasikan untuk beberapa alasan. Pemasangan kateter
dalam jangka waktu yang pendek akan meminimalkan infeksi, sehingga
metode pemasangan kateter sementara adalah metode yang paling baik
(Japardi, 2009).
a) Indikasi pada pemasangan kateter sementara :
1) Mengurangi ketidaknyamanan pada distensi kandung kemih
2) Pengambilan urin residu setelah pengosongan kandung kemih
b) Indikasi pada pemasangan kateter jangka pendek :
1) Obstruksi saluran kemih (pembesaran kelenjar prostat)
2) Pembedahan untuk memperbaiki organ perkemihan,
sepertivesika urinaria, uretra dan organ sekitarnya
3) Preventif pada obstruksi uretra dari perdarahan
4) Untuk memantau output urin
5) Irigasi vesika urinaria
c) Indikasi pada pemasangan kateter jangka panjang :
1) Retensi urin pada penyembuhan penyakit ISK/UTI
2) Skin rash, ulcer dan luka yang iritatif apabila kontak dengan urin
3) Klien dengan penyakit terminal

4. Akibat yang Didapat Dari Pemasangan Kateter


a) Iritasi ataupun trauma pada uretra
Penggunaan kateter yang ukurannya tidak tepat dapat
mengiritasi uretra, sehingga kemungkinan terjadinya trauma pun
meningkat. Selain itu, kurangnya penggunaan lubrikasi dapat
melukai jaringan sekitar uretra pada saat penyisipan. Trauma pada
jaringan uretra pun dapat terjadi apabila penyisipan letak kateter
belum tepat pada saat balon retensi pada kateter dikembangkan.
Fiksasi kateter yang kurang tepat dapat menambah gerakan yang
menyebabkan regangan atau tarikan pada uretra atau yang membuat
kateter terlepas tanpa sengaja. Manipulasi kateter paling sering
menjadi penyebab kerusakan mukosa kandung kemih pada pasien
yang mendapat kateterisasi (Brunner & Suddarth, 2006).
b) Krustasi pada kateter
Urin yang banyak mengandung urea yang memproduksi bakteri
seperti Proteus mirabilis, yang meningkatkan pH urin memicu
terbentuknya krusta pada kateter. Lumen kateter tersumbat oleh
kristal yang berasal dari campuran ph urin yang tinggi, bakteri dan
ion kalsium maupun ion magnesium (Mandigan et all, 2006).
Pembentukan krusta yang berasal dari garam urin dapat
menjadi sumber pembentukan batu.Asupan cairan yang bebas dan
peningkatan halauran urin harus dipastikan untuk mengirigasi kateter
dan mengencerkan zat-zat dalam urin yang dapat membentuk krusta.
Pemakaian katetersilicon secara signifikan jarang menimbulkan
pembentukan krusta (Brunner & Suddarth, 2006).
c) Terjadi blocking( Tersumbat, tidak mengalir dengan lancar )
Kerusakan pada kateter yang disebabkan oleh krusta yang
menutupi area lumen kateter (Mandigan et al, 2006).
d) Terjadi kebocoran.

Kateter yang pada bagian balon untuk memfiksasi kateter tidak


terfiksasi dengan baik akan menyebabkan pengeluaran urin yang
tidak tepat. Sehingga urin dapat merembes keluar tidak melalui
selang kateter.
e) Resiko infeksi saluran kemih tinggi
Pemasangan kateter akan menurunkan sebagian besar daya
tahan alami pada saluran kemih bagian bawah dengan menyumbat
duktus periuretralis, mengiritasi mukosa kandung kemih dan
menimbulkan jalur artificial untuk masuknya kuman ke dalam
kandung kemih. Banyak mikroorganisme ini merupakan bagian dari
flora endogen atau flora usus normal, atau didapat melalui
kontaminasi silang oleh pasien atau petugas rumah sakit maupun
melalui kontak dengan peralatan yang tidak steril (Brunner
&Suddarth,2006).

5.Derajat Ketidaknyamanan (Nyeri)


Konsep kenyamanan merupakan hal subjektif yang sama halnya
dengan sensasi nyeri yang dirasakan. Kenyamanan merupakan kebutuhan
dasar manusia yang harus dipenuhi setelah terpenuhinya kebutuhan
biologis dan fisiologis. Setiap individu memiliki pembawaan fisiologi,
sosial, spiritual, psikologis maupun karakter budaya yang berbeda dan
mempengaruhi pengalaman dan persepsi kenyamanan masing-masing.
Pandangan yang holistik mengenai kenyamanan membantu dalam
mengenali 4 konteks yaitu konteks fisik, yang menyinggung sensasi pada
tubuh, pada konteks sosial menyinggung tentang hubungan interpersonal,
keluarga dan sosial, sedangkan konteks psikospiritual menyinggung pada
kesadaran internal diri sendiri, termasuk harga diri, seksualitas, dan makna
kehidupan. Pada konteks lingkungan menyinggung pada latar belakang
eksternal dari pengalaman manusia seperti sinar, kebisingan, suhu, warna,
dan unsur-unsur alami.
Oleh karena itu pengetahuan tentang konteks kenyamanan memberi
rentang pilihan yang lebih luas dalam mengukur nyeri. Nyeri yang
merupakan salah satu bentuk ketidaknyamanan yang didefinisikan sebagai
suatu pengalaman sensoris maupun emosional yang tidak menyenangkan
yang berhubungan dengan keadaan aktual maupun potensial kerusakan
jaringan tubuh (Potter & Perry, 2006).
Sedangkan nyeri menurut Sherrington adalah “aspek fisik refleks
protektif yang penting”,dimana rangsang yang menimbulkan nyeri
biasanya mencetuskan respons withdrawal( penarikan ) dan penghindaran
yang kuat. Selain itu, nyeri bersifat unik apabila dibandingkan dengan
sensasi lain yaitu bahwa sensasi ini menimbulkan afek tidak
menyenangkan yang “built-in” (Ganong, 2007).
B. Teknik Relaksasi Nafas Dalam
1. Definisi
Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan
keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien
bagaimana cara melakukan napas dalam, napas lambat (menahan
inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan napas
secara perlahan, Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik
relaksasi napas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan
meningkatkan darah (Smeltzer & Bare, 2008).

Pada kondisi rileks tubuh akan menghentikan produksi hormon adrenalin


dan semua hormon yang diperlukan saat stress. Karena hormon seks
esterogen dan progesteron serta hormon stres adrenalin diproduksi dari
blok bangunan kimiawi yang samaka mengurangi produksi kedua
hormon seks tersebut. Jadi, perlunya relaksasi untuk memberikan
kesempatan bagi tubuh untuk memproduksi hormon yang penting untuk
mendapatkan haid yang bebas dari nyeri (Smeltzer & Bare, 2008).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa relaksasi
merupakan metode efektif untuk menurunkan nyeri yang merupakan
pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan dengan
mekanismenya yang menghentikan siklus nyeri.

2. Tujuan dan Manfaat Teknik Relaksasi Nafas Dalam


Menurut National Safety Council (2007), bahwa teknik relaksasi
nafas dalam saat ini masih menjadi metode relaksasi yang termudah.
Metode ini mudah dilakukan karena pernafasan itu sendiri merupakan
tindakan yang dapat dilakukan secara normal tanpa perlu berfikir atau
merasa ragu.
Tujuan dari teknik relaksasi nafas dalam adalah untuk
meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah
atelektasi paru, meningkatkan efisiensi batuk mengurangi stress baik
stress fisik maupun emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri dan
menurunkan kecemasan. Sedangkan manfaat yang dapat dirasakan
oleh klien setelah melakukan teknik relaksasi nafas dalam adalah
dapat menghilangkan nyeri, ketenteraman hati, dan berkurangnya rasa
cemas (Smeltzer dan Bare, 2008).

3.Prosedur Teknik Relaksasi Nafas Dalam


Bentuk pernafasan yang digunakan pada prosedur ini adalah
pernafasan diafragma yang mengacu pada pendataran kubah diafragma
selama inspirasi yang mengakibatkan pembesaran abdomenbagian atas
sejalan dengan desakan udara masuk selama inspirasi (Priharjo, 2006).

Lebih lanjut Priharjo (2006) menyatakan bahwa adapun langkah-


langkah teknik relaksasi nafas dalam adalah sebagai berikut :
a) Us
b) ahakan rileks dan tenang.
c) Menarik nafas yang dalam melalui hidung dengan hitungan 1,2,3,
kemudian tahan sekitar 5-10 detik.
d) Hembuskan nafas melalui mulut secara perlahan-lahan.
e) Menarik nafas lagi melalui hidung dan menghembuskannya lagi
melalui mulut secara perlahan-lahan.
f) Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga nyeri terasa
berkurang.
g) Ulangi sampai 15 kali, dengan selingi istirahat singkat setiap 5 kali.

C. Aromaterapi Lavender
1. Definisi Lavender
Lavender adalah sejenis bunga yang mempunyai aroma khas,
lavender bernama ilmiah (Lavendula Augustfolia). Bunga lavender dapat
hidup di daerah tropis maupun dingin.Aroma khas bunga lavender dapat
berfungsi sebagai aromaterapi yang dapat dijumpai dalam parfum atau
wewangian sejenisnya (Sharma, 2009).
Bunga lavender merupakan salah satu bunga yang dapat digunakan
untuk antiseptik dan penyembuhan luka. Bunga ini mempunyai aroma
yang dapat membuat orang yang mencium wanginya akan merasakan
relaksasi yang dapat menimbulkan efek menenangkan (Sharma, 2009).

2. Definisi Aromaterapi Lavender


Menurut Purwadi (2006) kata aromaterapi berarti terapi dengan
memakai minyak esensial yang ekstrak dan unsur kimianya diambil
dengan utuh, aromaterapi adalah bagian dari ilmu herbal (herbalism).

Sedangkan menurut Sharma (2009) aromaterapi berarti „pengobatan


menggunakan wangiwangian‟. Istilah ini merujuk pada penggunaan
minyak esensial dalam penyembuhan holistik untuk memperbaiki
kesehatan dan kenyamanan emosional dan dalam mengembalikan
keseimbangan badan.
Menurut Jones (2009), terapi komplementer (pelengkap) seperti
homoeopati, aromaterapi dan akupuntur harus dilakukan seiring dengan
pengobatan konvensional. Tumbuhan aromatik menghasilkan minyak
aromatik.Apabila disuling, senyawa yang manjur ini perlu ditangani
secara hati-hati. Sebagian besar senyawa ini akan menimbulkan reaksi
kulit, tetapi jika digunakan secara tepat, senyawa ini memilki nilai
teraupetik. Senyawa ini dapat dihirup, digunakan dalam kompres, dalam
air mandi, atau dalam minyak pijat (Jones, 2009).
Aromaterapi telah digunakan sejak zaman Mesir kuno yang
memang terkenal dengan ilmu pengetahuan yang tinggi.Merekalah yang
menciptakan dan meramaikan dunia pengobatan, farmasi, parfum serta
kosmetik. Dari Mesir, aromaterapi dibawa ke Yunani, Cina, India serta
Timur Tengah sebelum masuk ke Eropa di abad pertengahan.Pada abad ke
19 dimana ilmu kedokteran mulai terkenal, beberapa dokter pada zaman
itu tetap memakai minyak esensial dalam praktek sehari-hari mereka. Pada
zaman aromaterapi modern, aromaterapi digali oleh Robert Tisserand
yang menulis buku The Art of aromatherapy (Purwadi, 2006).
Riset kedokteran pada tahun-tahun belakangan ini mengungkapkan
fakta bahwa bau yang kita cium memiliki dampak penting pada perasaan
kita.Menurut hasil penelitian ilmiah, bau berpengaruh secara langsung
terhadap otak seperti obat.Misalnya, mencium lavender meningkatkan
frekuensi gelombang alfa terhadap kepala bagian belakang dan keadaan
ini dikaitkan dengan relaksasi (Sharma, 2009).

D. Kerangka Teori

Skema Gambar 2.1 Kerangka Teori (Japardi, 2009)


Keterisasi Urin

Indikasi Pemasangan Kateter Urin


Mengurangi ketidaknyamanan pada
distensi kandung kemih
Pengambilan urin residu setelah
pengosongan kandung kemih
Obstruksi saluran kemih (pembesaran
kelenjar prostat)
Pembedahan untuk memperbaiki organ
perkemihan, seperti vesika urinaria, uretra
dan organ sekitarnya
perdarahan
Untuk memantau output urin
Irigasi vesika urinaria
Retensi urin pada penyembuhan penyakit
ISK/UTI
Skin rash, ulcer dan luka yang iritatif
apabila kontak dengan urin
Klien dengan penyakit terminal

Nyeri Akut Aromaterapi Lavender


Teknik Relaksasi Nafas Dalam
E. Kerangka Konsep

Skema Gambar 2. 2 Kerangka Konsep


Pemasangan Kateter Urin

Nyeri Akut

Teknik Relaksasi Nafas Dalam

Aromaterapi Lavender

F. Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah terdapat pengeruh teknik relaksasi nafas
dalam dan aromaterapi lavender terhadap tingkat nyeri pada pasien saat
pemasangan kateterisasi urin.
B. Nyeri Akut

1. Definisi Nyeri
The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri
sebagai berikut nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan.1,4 Berdasarkan
definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi
sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis). 1 Sedangkan
nyeri akut disebabkan oleh stimulasi noxious akibat trauma, proses suatu penyakit atau
akibat fungsi otot atau viseral yang terganggu. Nyeri tipe ini berkaitan dengan stress
neuroendokrin yang sebanding dengan intensitasnya. Nyeri akut akan disertai hiperaktifitas
saraf otonom dan umumnya mereda dan hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan. 1,5

Klasifikasi Nyeri
Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi:
a. Nyeri somatik luar
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membran mukosa.
Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, jatam dan terlokalisasi
b. Nyeri somatik dalam
Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat rangsangan pada
otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat
c. Nyeri viseral
Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya (pleura
parietalis, perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi menjadi nyeri viseral
terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri alih parietal.
Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada lima aksis yaitu: 2
Aksis I : regio atau lokasi anatomi nyeri
Aksis II : sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan timbulnya nyeri
Aksis III : karekteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal, reguler,
kontinyu) Aksis IV : awitan terjadinya nyeri
Aksis V : etiologi nyeri

Berdasarkan jenisnya nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi:7


a. Nyeri nosiseptif
Karena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi nosiseptor baik
secara langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan pengeluaran mediator
1
4
inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung saraf sensoris dan simpatik.
b. Nyeri neurogenik
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem
saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi
sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang
dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya
rasa atau adanya sara tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat
menyebakan terjadinya allodynia. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau
peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang kemudian menghasilkan
sympathetically maintained pain (SMP). SMP merupakan komponen pada nyeri
kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukkan respon yang buruk pada pemberian
analgetik konvensional.
c. Nyeri psikogenik
Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan depresi.
Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.

Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:2


a. Nyeri akut
Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri ini ditandai dengan
adanya aktivitas saraf otonom seperti : takikardi, hipertensi, hiperhidrosis, pucat
dan midriasis dan perubahan wajah : menyeringai atau menangis Bentuk nyeri akut
dapat berupa:
1. Nyeri somatik luar : nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa
2. Nyeri somatik dalam : nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan jaringan ikat
3. Nyeri viseral : nyeri akibat disfungsi organ viseral
b. Nyeri kronik
Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda2 aktivitas otonom kecuali
serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang tetap bertahan sesudah
penyembuhan luka (penyakit/operasi) atau awalnya berupa nyeri akut lalu menetap
sampai melebihi 3 bulan. Nyeri ini disebabkan oleh :
1. kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf
2. non kanker akibat trauma, proses degenerasi dll
Berdasarkan penyebabnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:
a. Nyeri onkologik

1
5
b. Nyeri non onkologik
Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi:
a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari hari dan
menjelang tidur.
b. Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilan gbila
penderita tidur.
c. Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat tidur
dan dering terjaga akibat nyeri.

3.Fisiologi dan Anatomi Nyeri.

Salah satu fungsi sistem saraf yang paling penting adalah menyampaikan informasi
tentang ancaman kerusakan tubuh. Saraf yang dapat mendeteksi nyeri tersebut dinamakan
nociception. Nociception termasuk menyampaikan informasi perifer dari reseptor khusus
pada jaringan (nociseptors) kepada struktur sentral pada otak. Sistem nyeri mempunyai
beberapa komponen (gambar 2.1):. Reseptor khusus yang disebut nociceptors, pada sistem
saraf perifer, mendeteksi dan menyaring intensitas dan tipe stimulus noxious.(orde 1)

d. Saraf aferen primer (saraf A-delta dan C) mentransmisikan stimulus noxious ke


CNS.

e. Kornu dorsalis medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan antara
serat aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks hubungan antara
lokal eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus desenden inhibitor dari otak.

f. Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus lateralis dan


ventralis) menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada thalamus.
(orde 2).

1
6
g. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat relay
sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis. (orde 3)

Gambar 2.1. Lintasan sensibitlitas10

h. Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif
nyeri,ingatan tentang nyeri dan nyeri yang dihubungkan dengan respon motoris
(termasuk withdrawl respon).

i. Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada level
medulla spinalis.

4.Patofisiologi Nyeri
Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti
pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan mengeluarkan zat-
zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri. akan
terjadi pelepasan beberapa jenis mediator seperti zat-zat algesik, sitokin serta produk-
produk seluler yang lain, seperti metabolit eicosinoid, radikal bebas dan lain-lain.
Mediator-mediator ini dapat menimbulkan efek melalui mekanisme spesifik.

1
7
Tabel 2.1 Zat-zat yang timbul akibat nyeri

Zat Sumber Menimbulkan Efek pada aferen


nyeri primer
Kalium Sel-sel rusak ++ Mengaktifkan
Seroronin Trombosis ++ Mengaktifkan
Bradikinin Kininogen plasma +++ Mengaktifkan
Histramin Sel-sel mast + Mengaktifkan
Prostaglandin Asam arakidonat dan sel rusak ± Sensitisasi
Lekotrien Asam arakidonat dan sel rusak ± Sensitisasi
Substansi P Aferen primer ± Sensitisasi

Gambar 2.2 Fisiologi nyeri

Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai


dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada 4 proses yang mengikuti suatu
proses nosisepsi yaitu:2,3
1. Tranduksi
Adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik pada ujung-
ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin, bradikinin, leukotrien,
substans P, potassium, histamin, asam laktat, dan lain-lain akan mengaktifkan atau

1
8
mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung
bebas serat-serat afferent A delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan
kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf afferent A
delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik
nyeri dari perifir ke sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan
reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.

2. Transmisi
Adalah proses perambatan impuls nyeri melalui A-delta dan C serabut yang menyusul
proses tranduksi. Oleh serat afferent A-delta dan C impuls nyeri diteruskan ke sentral,
yaitu ke medulla spinalis, ke sel neuron di kornua dorsalis. Serat aferent A-delta dan C
yang berfungsi meneruskan impuls nyeri mempunyai perbedaan ukuran diameter. Serat A-
delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A-delta
menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5
m/dtk). Sel-sel neuron di medulla spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi
nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi
oleh serat aferent A-delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di
kornua antero-lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornua anterior
medulla spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan menimbulkan
peningkatan tonus sistem saraf otonum simpatis dengan segala efek yang dapat
ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornua anterior medulla spinalis akan
menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera dengan segala akibatnya.

3. Modulasi
Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT) dengan input
nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan oleh serat-serat A-delta
dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis medulla spinalis tidak semuanya
diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi interaksi
antara impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun
sistem inhibisi eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk
lebih dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek sistem
inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel nyeri.

1
9
4. Persepsi
Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang sangat kompleks,
termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan sensibel nyeri.

PERCEPTION

MODULATION

TRANSMISSION

TRANSDUCTION

Gambar 2.3. Proses perjalanan nyeri10

Ada 2 saraf yang peka terhadap suatu stimulus noksius yakni serabut saraf A yang
bermielin (konduksi cepat) dan serabut saraf C yang tidak bermielin (konduksi lambat).
Serat A delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A delta
menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5
m/dtk). Walaupun keduanya peka terhadap rangsang noksius, namun keduanya memiliki
perbedaan, baik reseptor maupun neurotransmiter yang dilepaskan pada presinaps di kornu
posterior. Reseptor (nosiseptor) serabut A hanya peka terhadap stimulus mekanik dan
termal, sedangkan serabut C peka terhadap berbagai stimulus noksius, meliputi mekanik,
termal dan kimiawi. Oleh karena itu reseptor serabut C disebut juga sebagai polymodal
nociceptors. Demikian pula neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut A di presinaps
adalah asam glutamat, sedangkan serabut C selain melepaskan asam glutamat juga
substansi P (neurokinin) yang merupakan polipeptida.

2
0
Sensitisasi Perifer. Kerusakan jaringan akibat suatu trauma selain akan
menyebabkan terlepasnya zat-zat dalam sel juga akan menginduksi terlepasnya
mediator inflamasi dari sel mast, makrofag dan limfosit. Lebih dari itu terjadi
impuls balik dari saraf aferen yang melepaskan mediator kimia yang berakibat
terjadinya vasodilatasi serta peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi
ekstravasasi protein plasma.

Tissue Inflammation Sympathetic

Sensitizing SOUP

Hydrogen ion Norepinephrine


Histamine
Bradykinin
Potassium ion
Purines
Prostaglandins
Cytokines
Leucotrine
5-HT Nerve Growth Factor
Neuropeptides

High Treshold Nociceptor

Transduction Sensitivity Primary

Low Treshold ‘Nociceptor’


Gambar 2.4. Skema Sensitasi perifer11

Interaksi ini akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator inflamasi seperti ion


kalium, hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P, histamin dan produk-produk
siklooksigenase dan lipoksigenase dari metabolisme asam arakidonat yang menghasilkan
prostaglandin. Mediator kimia inilah yang menyebabkan sensitisasi dari kedua nosiseptor
tersebut di atas. Akibat dari sensitisasi ini, rangsang lemah yang normal tidak
menyebabkan nyeri sekarang terasa nyeri. Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer
yang ditandai dengan meningkatnya respon terhadap stimulasi termal/suhu pada daerah
jaringan yang rusak. Dengan kata lain sensitisasi perifer diinduksi oleh adanya perubahan
neurohumoral pada daerah jaringan yang rusak maupun sekitarnya. Jika kita ingin
menekan fenomena sensitisasi perifer ini, maka dibutuhkan upaya menekan efek mediator

2
1
kimia tersebut. Upaya demikian merupakan dasar penggunaan obat-obat anti inflamasi
non-steroid (AINS) yang merupakan anti enzim siklooksigenase.

Sensitisasi Sentral. Suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai akibat


pembedahan/inflamasi, akan mengubah respon saraf pada kornu dorsalis medulla spinalis.
Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat seirama dengan lamanya stimulus tersebut.
Neuron kornu dorsalis berperan sangat penting dalam proses transmisi dan modulasi suatu
stimulus noksius. Neuron kornu dorsalis terdiri atas first-order neuron yang merupakan
akhir dari serabut aferen pertama dan second-order neuron sebagai neuron penerima dari
nuron pertama. Second-order neuron-lah yang memainkan peran modulasi yang dapat
memfasilitasi atau menghambat suatu stimulus noksius. Nosiseptif second-order neuron di
kornu dorsalis terdiri atas dua jenis, yakni pertama, nociceptive-specific neuron (NS) yang
secara eksklusif responsif terhadap impuls dari serabut Aδ dan serabut C. Neuron kedua
disebut wide-dynamic range neuron (WDR) yang responsif terhadap baik stimulus noksius
maupun stimulus non-noksius yang menyebabkan menurunnya respon treshold serta
meningkatnya reseptive field, sehingga terjadi peningkatan signal transmisi ke otak
menyebabkan meningkatnya persepsi nyeri.1,3,5,6

Perubahan-perubahan ini diyakini sebagai akibat terjadinya perubahan pada kornu


dorsalis menyusul suatu kerusakan jaringan/inflamasi. Perubahan ini disebut sebagai
sensitisasi sentral atau wind up. “Wind-up” ini dapat menyebabkan neuron-neuron tersebut
menjadi lebih sensitif terhadap stimulus lain dan menjadi bagian dari sensitisasi sentral. Ini
menunjukkan bahwa susunan saraf pusat tidak bisa diibaratkan sebagai “hard wired” yang
kaku tetapi seperti plastik , artinya dapat berubah sifatnya akibat adanya kerusakan
jaringan atau inflamasi.
Penemuan ini telah memberikan banyak perubahan pada konsep nyeri. Dewasa ini
telah diketahui bahwa suatu stimulus noksius yang berkepanjangan pada serabut C dari
serabut aferen primer akan menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia pada kornu
dorsalis yang sulit untuk dipulihkan. Hal ini menjadi dasar terjadinya nyeri kronik yang
sulit disembuhkan.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada kornu dorsalis sehubungan dengan
sensitisasi sentral adalah: pertama, terjadi perluasan reseptor field size sehingga neuron
spinalis akan berespon terhadap stimulus yang normalnya tidak merupakan stimulus
nosiseptif. Kedua, terjadi peningkatan besaran dan durasi respon terhadap stimulus yang
lebih dari potensial ambang. Dan yang terakhir, terjadi pengurangan ambang batas
2
2
sehingga stimulus yang secara normal tidak bersifat nosiseptif akan mentransmisikan
informasi nosiseptif. Perubahan-perubahan ini penting pada keadaan nyeri akut seperti
nyeri pascabedah dan perkembangan terjadinya nyeri kronik. Perubahan ini bermanifestasi
sebagai hyperalgesia, allodynia dan meluasnya daerah nyeri di sekitar perlukaan.

Suatu jejas saraf akibat pembedahan juga akan mengakibatkan perubahan pada kornu
dorsalis. Telah dibuktikan bahwa setelah terjadi jejas saraf perifer pada ujung terminal
aferen yang bermielin, terjadi perluasan perubahan pada daerah sekitar kornu dorsalis. Ini
berarti bahwa serabut saraf yang biasanya tidak menghantarkan nyeri ke daerah kornu
dorsalis yang superfisial telah berfungsi sebagai relay pada transmisi nyeri.Jika secara
fungsional dilakukan hubungan antara terminal-terminal yang normalnya menghantarkan
informasi non-noxious dengan neuron-neuron yang secara normal menerima input
nosiseptif maka akan terbentuk suatu pola nyeri dan hipersensitivitas terhadap sentuhan
ringan sebagaimana yang terjadi pada kerusakan saraf.

Gambar 2.5. Skema sensitasi sentral

Telah dikenal sejumlah besar tipe reseptor yang terlibat dalam transmisi nyeri.
Reseptor-reseptor ini berada di pre dan postsinaps dari terminal serabut aferen primer.
Beberapa dari reseptor ini telah menjadi target penelitian untuk mencari alternatif
pengobatan baru. Reseptor N-methyl-D-Aspartat (NMDA) banyak mendapat perhatian
khusus. Diketahui bahwa reseptor non NMDA dapat memediasi proses fisiologis dari
2
3
informasi sensoris, namun bukti yang kuat menunjukkan peranan reseptor NMDA pada
perubahan patofisiologis seperti pada mekanisme “wind-up” dan perubahan-perubahan
lain termasuk proses fasilitasi, sensitisasi sentral dan perubahan daerah reseptor perifer.
Dengan demikian antargonis NMDA tentunya dapat menekan respon ini. Ketamin,
penyekat reseptor NMDA, dengan jelas dapat mengurangi kebutuhan opiat bila diberikan
sebelum operasi. Dekstrometorfan, obat penekan batuk, dapat menjadi alternatif lain
karena penelitian menunjukkan bahwa dekrtrometorfan juga merupakan penyekat reseptor
NMDA.

Dewasa ini perhatian selanjutnya juga tertuju pada NO dan peranannya dalam proses
biologik. Sejumlah bukti telah menunjukkan peranan NO pada proses nosiseptif. Produksi
NO terjadi secara sekunder dari aktivasi reseptor NMDA dan influks Ca. Ca intraseluler
akan bergabung dengan calmodulin menjadi Ca-calmodulin yang selanjutnya akan
mengaktivasi enzim NOS (Nitric Oxide Synthase) yang dapat mengubah arginin
menghasilkan sitrulin dan NO (Nitric Oxide) dengan bantuan NADPH sebagai co-factor.
Dalam keadaan normal, NO dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi normal sel.
Namun, dalam jumlah yang berlebihan, NO dapat bersifat neurotoksik yang akan merusak
sel saraf itu sendiri. Perubahan yang digambarkan di atas, terjadi seiring dengan aktivasi
reseptor NMDA yang berkelanjutan. Dengan demikian, obat-obat yang dapat menghambat
produksi dari NO akan mempunyai peranan yang penting dalam pencegahan dan
penanganan nyeri.
Fenomena “wind-up” merupakan dasar dari analgesia pre-emptif, dimana
memberikan analgesik sebelum terjadinya nyeri. Dengan menekan respon nyeri akut sedini
mungkin, analgesia pre-emptif dapat mencegah atau setidaknya mengurangi kemungkinan
terjadinya “wind-up”. Idealnya, pemberian analgesik telah dimulai sebelum pembedahan.
Berbagai upaya telah dicoba untuk memanfaatkan informasi yang diperoleh dari
hasil penelitian farmakologik dan fisiologik dalam penerapan strategi penanganan nyeri.
Percobaan difokuskan pada dua pendekatan. Pertama, penelitian tentang bahan-bahan yang
pada tingkat spinal berefek terhadap opiat, adrenoreseptor alfa dan reseptor NMDA.
Kedua, perhatian ditujukan pada usaha mencoba mengurangi fenomena sensitisasi sentral.
Konsep analgesia pre-emptif telah mendunia sebagai hasil dari penemuan ini dan menjadi
sebuah usaha dalam mencegah atau mengurangi perubahan-perubahan yang terjadi pada
proses nyeri.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik nyeri trauma
adalah terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Oleh karena itu prinsip dasar

2
4
pengelolaan nyeri adalah mencegah atau meminimalisasi terjadinya sensitisasi perifer
dengan pemberian obat-obat NSAID (COX, atau COX2), sedangkan untuk menekan atau
mencegah terjadinya sensitisasi sentral dapat dilakukan dengan pemberian opiat atau
anestetik lokal utamanya jika diberikan secara sentral.

5.Sistem Inhibisi Terhadap Nyeri


Tidak semua stimulus nyeri akan menghasilkan sensibel nyeri. Hal ini dapat terjadi
karena ada suatu proses modulasi di kornua dorsalis medulla spinalis. Ini dimungkinkan
karena ada sistem inhibisi. Inhibisi terjadi melalui beberapa mekanisme, seperti
1. Stimulasi serat afferent yang mempunyai diameter besar.
Stimulasi serat afferent ini dapat menghasilkan suatu efek berupa aktifasi interneuron
inhibisi di kornua dorsalis. Stimulasi halus berulang serat A betha atau menggunakan
alat TENS dapat menghambat transmisi nyeri.
2. Serat inhibisi desendens.
Ada 3 lintasan dari midbrain ke kornua dorsalis medulla spinalis, yaitu :
a. Lintasan I : Berawal dari nukleus raphe magnus.
b. Lintasan II : Berawal dari nukleus lokus seruleus
c. Lintasan III : Berawal dari nucleus Edinger Wesphal
Ketiga lintasan ini turun menuju dan menimbulkan hambatan fungsi respon nyeri
neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis. Bila diaktifkan, ketiga lintasan ini
akan melepaskan serotonin, norepinefrin dan cholecystokinin.
Periaquaductal gray (PAG) mempunyai hubungan dengan ketiga lintasan ini. PAG
kaya dengan reseptor opioid. Bila reseptor ini diaktifkan, PAG akan mengaktifkan
ketiga lintasan ini. Reseptor opioid PAG dapat diaktifkan oleh endorphin yang
dilepaskan secara endogen dan opioid yang diberikan secara eksogen. Pelepasan
endorphin dapat dipicu oleh nyeri dan stres.
3. Betha endorphin.
Diproduksi di hipotalamus dan disalurkan ke ventrikulus tertius. Oleh liquor zat ini
dibawa ke medulla spinalis menimbulkan efek depresi konduksi nyeri di substansia
gelatinosa.
4. Opioid
PAG kaya dengen reseptor nyeri. Substansia gelatinosa kornua dorsalis medulla sinalis
juga kaya dengan reseptor opioid.
hOpioid bekerja dengan mengaktifkan sistem inibisi desendens atau mengaktifkan
2
5
reseptor opioid di substansia gelatinosa.

6.Respon Tubuh Terhadap Stres Nyeri.


Nyeri akut akan menimbulkan perubahan-perubahan didalam tubuh. Impuls nyeri oleh
serat afferent selain diteruskan ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla
spinalis, juga akan diteruskan ke sel-sel neuron di kornu anterolateral dan kornu anterior
medulla spinalis.
Nyeri akut pada dasarnya berhubungan dengan respon stres sistem neuroendokrin
yang sesuai dengan intensitas nyeri yang ditimbulkan. Mekanisme timbulnya nyeri melalui
serat saraf afferent diteruskan melalui sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla
spinalis dan juga diteruskan melalui sel-sel dikornu anterolateral dan kornu anterior
medulla spinalis memberikan respon segmental seperti peningkatan muscle spasm
(hipoventilasi dan penurunan aktivitas), vasospasm (hipertensi), dan menginhibisi fungsi
organ visera (distensi abdomen, gangguan saluran pencernaan, hipoventilasi). Nyeri juga
mempengaruhi respon suprasegmental yang meliputi kompleks hormonal, metabolik dan
imunologi yang menimbulkan stimulasi yang noxious. Nyeri juga berespon terjadap
psikologis pasien seperti interpretasi nyeri, marah dan takut.

Gambar 2.6. Respon tubuh terhadap nyeri

2
6
Impuls yang diteruskan ke sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan mengaktifkan
sistem simpatis. Akibatnya, organ-organ yang diinervasi oleh sistem simpatis akan
teraktifkan. Nyeri akut baik yang ringan sampai yang berat akan memberikan efek pada
tubuh seperti :
• Sistem respirasi
Karena pengaruh dari peningkatan laju metabolisme, pengaruh reflek segmental,
dan hormon seperti bradikinin dan prostaglandin menyebabkan peningkatan
kebutuhan oksigen tubuh dan produksi karbondioksida mengharuskan terjadinya
peningkatan ventilasi permenit sehingga meningkatkan kerja pernafasan. Hal ini
menyebabkan peningkatan kerja sistem pernafasan, khususnya pada pasien dengan
penyakit paru. Penurunan gerakan dinding thoraks menurunkan volume tidal dan
kapasitas residu fungsional. Hal ini mengarah pada terjadinya atelektasis,
intrapulmonary shunting, hipoksemia, dan terkadang dapat terjadi hipoventilasi.3,8
• Sistem kardiovaskuler
Pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi. Terjadi gangguan perfusi,
hipoksia jaringan akibat dari efek nyeri akut terhadap kardiovaskuler berupa
peningkatan produksi katekolamin, angiotensin II, dan anti deuretik hormon (ADH)
sehingga mempengaruhi hemodinamik tubuh seperti hipertensi, takikardi dan
peningkatan resistensi pembuluh darah secara sistemik. Pada orang normal cardiac
output akan meningkat tetapi pada pasien dengan kelainan fungsi jantung akan
mengalami penurunan cardiac output dan hal ini akan lebih memperburuk
keadaanya. Karena nyeri menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen myocard,
sehingga nyeri dapat menyebabkan terjadinya iskemia myocardial.
• Sistem gastrointestinal
Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter dan menurunkan
motilitas saluran cerna yang menyebabkan ileus. Hipersekresi asam lambung akan
menyebabkan ulkus dan bersamaan dengan penurunan motilitas usus, potensial
menyebabkan pasien mengalami pneumonia aspirasi. Mual, muntah, dan
konstipasi sering terjadi. Distensi abdomen memperberat hilangnya volume paru
dan pulmonary dysfunction.
• Sistem urogenital
Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter saluran kemih dan
menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan retensi urin.

2
7
a. Sistem metabolisme dan endokrin
Kelenjar simpatis menjadi aktif, sehingga terjadi pelepasan ketekolamin.
Metabolisme otot jantung meningkat sehingga kebutuhan oksigen meningkat.
Respon hormonal terhadap nyeri meningkatkan hormon-hormon katabolik seperti
katekolamin, kortisol dan glukagon dan menyebabkan penurunan hormon anabolik
seperti insulin dan testosteron. Peningkatan kadar katekolamin dalam darah
mempunyai pengaruh pada kerja insulin. Efektifitas insulin menurun, menimbulkan
gangguan metabolisme glukosa. Kadar gula darah meningkat. Hal ini mendorong
pelepasan glukagon. Glukagon memicu peningkatan proses glukoneogenesis.
Pasien yang mengalami nyeri akan menimbulkan keseimbangan negative nitrogen,
intoleransi karbohidrat, dan meningkatkan lipolisis. Peningkatan hormon kortisol
bersamaan dengan peningkatan renin, aldosteron, angiotensin, dan hormon
antidiuretik yang menyebabkan retensi natrium, retensi air, dan ekspansi sekunder
dari ruangan ekstraseluler.
b. Sistem hematologi
Nyeri menyebabkan peningkatan adhesi platelet, meningkatkan fibrinolisis, dan
hiperkoagulopati.
c. Sistem imunitas
Nyeri merangsang produksi leukosit dengan lympopenia dan nyeri dapat
mendepresi sistem retikuloendotelial. Yang pada akhirnya menyebabkan pasien
beresiko menjadi mudah terinfeksi.
d. Efek psikologis
Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa kecemasan (anxiety),
ketakutan, agitasi, dan dapat menyebabkan gangguan tidur. Jika nyeri
berkepanjangan dapat menyebabkan depresi.
e. Homeostasis cairan dan elektrolit

Efek yang ditimbulkan akibat dari peningkatan pelepasan hormon aldosterom berupa
retensi natrium. Efek akibat peningkatan produksi ADH berupa retensi cairan dan
penurunan produksi urine. Hormon katekolamin dan kortisol menyebabkan berkurangnya
kalium, magnesium dan elektrolit lainnya.

7.Pengukuran Intensitas Nyeri


Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh psikologis,
kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas nyeri merupakan masalah yang
2
8
relatif sulit.
Ada beberapa metoda yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas nyeri, antara
lain :
1. Verbal Rating Scale (VRSs)
Metoda ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang dirasakan.
Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik
nyeri yang dirasakan dari word list yang ada. Metoda ini dapat digunakan untuk
mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan.
Penilaian ini menjadi beberapa kategori nyeri yaitu:
- tidak nyeri (none)
- nyeri ringan (mild)
- nyeri sedang (moderate)
- nyeri berat (severe)
- nyeri sangat berat (very severe)

2. Numerical Rating Scale (NRSs)


Metoda ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari intensitas
nyeri. Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan dari
angka 0-10. ”0”menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan ”10” menggambarkan nyeri
yang hebat.

Gambar 2.7. Numeric pain intensity scale

2
9
3. Visual Analogue Scale (VASs)
Metoda ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. Metoda ini
menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai
nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan
intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metoda ini adalah sensitif
untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan
dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat
digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan mungkin sukar diterapkan jika pasien
sedang berada dalam nyeri hebat.

No Pain The most intense pain imaginable

Gambar 2.8. Visual Analog scale

4. McGill Pain Questionnaire (MPQ)


Metoda ini menggunakan check list untuk mendiskripsikan gejala-gejal nyeri yang
dirasakan. Metoda ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara lain sensorik,
afektif dan kognitif. Intensitas nyeri digambarkan dengan merangking dari ”0”
sampai ”3”.
5. The Faces Pain Scale
Metoda ini dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya untuk menilai
intensitas nyeri pada anak-anak.

Faces Pain Rating Scale (untuk anak)

Gambar 2.9. Faces Pain Scale

8.Diagnostik Nyeri
Nyeri merupakan suatu keluhan (symptom). Berkenaan dengan hal ini diagnostik nyeri

3
0
sesuai dengan usaha untuk mencari penyebab terjadinya nyeri. Langkah ini meliputi
langkah anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan kalau perlu
pemeriksaan radiologi serta pemeriksaan imaging dan lain-lain. Dengan demikian
diagnostik terutama ditujukan untuk mencari penyebab. Dengan menanggulangi penyebab,
keluhan nyeri akan mereda atau hilang. Pemeriksaan laboratorium spesifik untuk
menegakkan diagnosa nyeri tidak ada.2,3
Pemeriksaan terhadap nyeri harus dilakukan dengan seksama yng dilakukan sebelum
pengobatan dimulai, secara teratur setelah pengobatan dimulai, setiap saat bila ada laporan
nyeri baru dan setelah interval terapi 15-30 menit setelah pemberian parenteral dan 1 jam
setelah pemberian peroral.
a. Anamnesis yang teliti
Dalam melakukan anamnesis terhadap nyeri kita harus mengatahui bagaimana kualitas
nyeri yang diderita meliputi awitan, lama, dan variasi yang ditimbulkan untuk
mengetahui penyebab nyeri. Selain itu, kita juga harus mengetahui lokasi dari nyeri
yang diderita apakah dirasakan diseluruh tubuh atau hanya pada bagian tubuh tertentu.
intensitas nyeri juga penting ditanyakan untuk menetapkan derajat nyeri. Tanyakan
pula keadaan yang memperberat atau memperingan nyeri. Tanyakan pula tentang
penyakit sebelumnya, penggobatan yang pernah dijalani, dan alergi obat.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang benar sangat diperlukan untuk menguraikan patofisiologi nyeri.
Pemeriksaan vital sign sangat penting dilakukan untuk mendapatkan hubungannya
dengan intensitas nyeri karena nyeri menyebabkan stimulus simpatik seperti takikardia,
hiperventilasi dan hipertensi. Pemeriksaan Glasgow come scale rutin dilaksanakan
untuk mengetahui apakah ada proses patologi di intracranial.
Pemeriksaan khusus neurologi seperti adanya gangguan sensorik sangat penting
dilakukan dan yang perlu diperhatikan adalah adanya hipoastesia, hiperastesia,
hiperpatia dan alodinia pada daerah nyeri yang penting menggambarkan kemungkinan
nyeri neurogenik.
c. Pemeriksaan psikologis
Mengingat faktor kejiwaan sangat berperan penting dalam manifestasi nyeri yang
subjektife, maka pemeriksaan psikologis juga merupakan bagian yang harus dilakukan

3
1
dengan seksama agar dapat menguraikan faktor-faktor kejiwaan yang menyertai.Test
yang biasanya digunakan untuk menilai psikologis pasien berupa the Minnesota
Multiphasic Personality Inventory (MMPI). Dalam menetahui permasalahan psikologis
yang ada maka akan memudahkan dalam pemilihan obat yang tepat untuk
penaggulangan nyeri. 3,4
d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan bertujuan untuk mengatahui penyebab dari
nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan laboratorium dan imaging
seperti foto polos, CT scan, MRI atau bneo scan.

B.Penatalaksanaan Nyeri Akut

1.Terapi Multimodal
Nyeri akut sering dikelola dengan tidak memadai. Ini tidak seharusnya demikian.
Kontrol nyeri sering bisa diperbaiki dengan strategi sederhana, yaitu nilai nyeri, atasi
dengan obat dan teknik yang sudah ada, nilai kembali nyeri setelah terapi dan bersiap
untuk memodifikasi pengobatan jika perlu. Analgesia yang baik mengurangi komplikasi
pasca bedah seperti infeksi paru, mual dan muntah, DVT ,dan ileus.
Penyebabnya biasanya lebih mudah dapat ditentukan, sehingga penanggulangannya
biasanya lebih mudah pula. Nyeri akut ini akan mereda dan hilang seiring dengan laju
proses penyembuhan jaringan yang sakit. Semua obat analgetika efektif untuk
menanggulangi nyeri akut ini. Diagnosa penyebab nyeri akut harus ditegakkan lebih
dahulu. Bersamaan dengan usaha mengatasi penyebab nyeri akut, keluhan nyeri penderita
juga diatasi. Intinya, diagnosa penyebab ditegakkan, usaha mengatasi nyeri sejalan dengan
usaha mengatasi penyebabnya.
Setelah diagnosis ditetapkan, perencanaan pengobatan harus disusun. Untuk itu
berbagai modalitas pengobatan nyeri yang beraneka ragam dapat digolongkan sebagai
berikut
a. Modalitas fisik
Latihan fisik, pijatan, vibrasi, stimulasi kutan (TENS), tusuk jarum, perbaikan
posisi, imobilisasi, dan mengubah pola hidup.
b. Modalitas kognitif-behavioral
Relaksasi, distraksi kognitif, mendidik pasiern, dan pendekatan spiritual.

3
2
c. Modalitas Invasif
Pendekatan radioterapi, pembedahan, dan tindakan blok saraf.
d. Modalitas Psikoterapi
Dilakukan secara terstruktur dan terencana, khususnya bagi merreka yang
mengalami depresi dan berpikir ke arah bunuh diri
e. Modalitas Farmakoterapi
Mengikuti ”WHO Three-Step Analgesic Ladder”

2.Farmakoterapi Nyeri
Semua obat yang mempunyai efek analgetika biasanya efektif untuk mengatasi
nyeri akut. Hal ini dimungkinkan karena nyeri akut akan mereda atau hilang sejalan
dengan laju proses penyembuhan jaringan yang sakit.
Dalam melaksanakan farmakoterapi terdapat beberapa prinsip umum dalam
pengobatan nyeri. Perlu diketahui sejumlah terbatas obat dan pertimbangkan berikut:
 Bisakan pasien minum analgesik oral?
 Apakah pasien perlu pemberian iv untuk mendapat efek analgesik cepat?
 Bisakan anestesi lokal mengatasi nyeri lebih baik, atau digunakan dalam kombinasi
dengan analgesik sistemik?
 Bisakan digunakan metode lain untuk membantu meredakan nyeri, misal pemasangan
bidai untuk fraktur, pembalut luka bakar.

Freedom from pain

Opioid for moderate to


Step 3
severe pain

Persisting Pain

Opioid for mild to moderate pain Step 2


+/- Non opioid , +/- Adjuvant

3
3
Persisting Pain Non opioid +/- Adjuvant
Step 1

Gambar 2.10. ”WHO Three Step Analgesic Ladder”

3
4
Praktik dalam tatalaksana nyeri, secara garis besar stategi farmakologi mengikuti ”WHO
Three Step Analgesic Ladder” yaitu :1

1. Tahap pertama dengan menggunakan abat analgetik nonopiat seperti NSAID atau
COX2 spesific inhibitors.
2. Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri. Maka diberikan obat-obat
seperti pada tahap 1 ditambah opiat secara intermiten.
3. Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiat yang lebih kuat.
Penanganan nyeri berdasarkan patofisiologi nyeri paada proses transduksi dapat
diberikan anestesik lokal dan atau obat anti radang non steroid, pada transmisi inpuls saraf
dapat diberikan obat-obatan anestetik lokal, pada proses modulasi diberikan kombinasi
anestetik lokal, narkotik, dan atau klonidin, dan pada persepsi diberikan anestetik umum,
narkotik, atau parasetamol

Gambar 2.11. Tangga dosis obat analgetik

Dari gambar tangga dosis di atas, dapat disimpulkan bahwa terapi inisial dilakukan pada
dosis yang lebih tinggi, dan kemudian diturunkan pelan-pelan hingga sesuai dosis
analgesia yang tepat.

3
5
Tabel 2.2. Daftar Indikasi dan dosis obat farmakoterapi nyeri bedasarkan derajat nyeri

NYERI RINGAN
Farmakoterapi Tingkat I
Nama Obat Dosis Jadwal
Aspirin 325-650 mg, maks 4 g/hari 4 jam sekali
Asetaminofen 325-650 mg 4-6 jam sekali

Farmakoterapi Tingkat II
Ibuprofen 200 mg 4-6 jam sekali
Sodium Awalan 440 mg 8-12 jam sekali
Naproksen Selanjutnya 220 mg

Ketoprofen 12,5 mg 4-6 jam sekali

NYERI SEDANG
Farmakoterapi Tingkat III
Nama Obat Dosis Jadwal
Asetaminofen Penyesuaian dosis. 4-6 jam sekali
Misal: Aspirin 1000 mg
Ibuprofen 4-6 jam sekali
Sodium Naproksen 8-12 jam sekali
Ketoprofen 4-6 jam sekali
Farmakoterapi Tingkat IV
Jika farmakoterapi tingkat III gagal, OAINS yang dipilih dapat diganti. Pilihan OAINS ke-2 sebaiknya
dari kelompok kimia yang berbeda (Lihat tabel analgesik non-opioid yang sering digunakan)
Farmakoterapi Tingkat V
Opioid (misal:codein)

3
6
NYERI SEDANG
Farmakoterapi Tingkat VI
Nama Obat Dosis Jadwal
Tramadol 50-100 mg 4-6 jam
NYERI BERAT
Farmakoterapi Tingkat VII
Nama Obat Indikasi Mekanisme
Morfin Bila terapi non narkotik tidak
efektif & terdapat riwayat
terapi narkotik untuk nyeri

Campuran agonis- Blok aktifasi komponen


antagonis m kompleks reseptor
pentazosin
Agonis parsial Blok aktifasi komponen
m kompleks reseptor

Pada dasarnya ada 3 kelompok obat yang mempunyai efek analgetika yang dapat
digunakan untuk menanggulangi nyeri akut.
1. Obat analgetika nonnarkotika.
Termasuk disini adalah obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS)

Banyak jenis obat ini. Manfaat dan efek samping obat-obat ini wajib dipahami sebelum
memberikan obat ini pada penderita. Obat antiinflamasi nonsteroid mempunyai titik
tangkap kerja dengan mencegah kerja ensim siklooksigenase untuk mensintesa
prostaglandin. Prostaglandin yang sudah terbentuk tidak terpengaruh oleh obat ini.
Obat ini efektif untuk mengatasi nyeri akut dengan intensitas ringan sampai sedang.
Obat ini tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara oral (tablet, kapsul, sirup),
dalam kemasan suntik. Kemasan suntik dapat diberikan secara intra muskuler, dan
intravena. Pemberian intravena dapat secara bolus atau infus. Obat ini juga tersedia
dalam kemasan yang dapat diberikan secara supositoria
 Memiliki potensi analgesik sedang dan merupakan anti-radang. Efektif untuk bedah
mulut dan bedah ortopedi minor. Mengurangi kebutuhan akan opioid setelah bedah
mayor. Obat-obat AINS memiliki mekanisme kerja sama, jadi jangan kombinasi
dua obat AINS yang berbeda pada waktu bersamaan.
 Diketahui meningkatkan waktu perdarahan, dan bisa menambah kehilangan darah.

3
7
 Bisa diberikan dengan banyak cara: oral, im, iv, rektal, topikal. Pemberian oral
lebih disukai jika ada. Diklofenak iv harus dihindari karena nyeri dan bisa
menimbulkan abses steril pada tempat suntikan.

Kontraindikasi AINS

 Riwayat tukak peptik


 Insufisiensi ginjal atau oliguria
 Hiperkalemia
 Transplantasi ginjal
 Antikoagulasi atau koagulopati lain
 Disfungsi hati berat
 Dehidrasi atau hipovolemia
 Terapi dengan frusemide
 Riwayat eksaserbasi asma dengan AINS

Gunakan AINS dengan hati-hati (risiko kemunduran fungsi ginjal) pada :


 Pasien > 65 tahun
 Penderita diabetes yang mungkin mengidap nefropati dan/atau penyakit pembuluh
darah ginjal
 Pasien dengan penyakit pembuluh darah generalisata
 Penyakit jantung, penyakit hepatobilier, bedah vaskular mayor
 Pasien yang mendapat penghambat ACE, diuretik hemat- kalium, penyekat beta,
cyclosporin, atau metoreksat.
 Elektrolit dan kreatinin harus diukur teratur dan setiap kemunduran fungsi ginjal
atau gejala lambung adalah indikasi untuk menghentikan AINS.
Ibuprofen aman dan murah. Obat-obat kerja lama (misal piroksikam) cenderung
memiliki efek samping lebih banyak. Penghambat spesifik dari siklo-oksigenase 2
(COX-2) misal meloxicam mungkin lebih aman karena efeknya minimal terhadap
sistem COX gastrointestinal dan ginjal.
Pemberian AINS dalam jangka lama cenderung menimbul-kan efek samping
daripada pemberian singkat pada periode perioperatif. Antagonis H2 (misal ranitidin)
yang diberikan bersama AINS bisa melindungi lambung dari efek samping.

3
8
2. Obat analgetika narkotik
Obat ini bekerja dengan mengaktifkan reseptor opioid yang banyak terdapat
didaerah susunan saraf pusat. Obat ini terutama untuk menanggulangi nyeri akut
dengan intensitas berat. Terdapat 5 macam reseptor opioid, Mu, Kappa, Sigma,
Delta dan Epsilon.
Obat analgetika narkotika yang digunakan dapat berupa preparat alkaloidnya
atau preparat sintetiknya. Penggunaan obat ini dapat menimbulkan efek depresi
pusat nafas bila dosis yang diberikan relatif tinggi.
Efek samping yang tidak tergantung dosis, yang juga dapat terjadi adalah mual
sampai muntah serta pruritus. Pemakaian untuk waktu yang relatif lama dapat
diikuti oleh efek toleransi dan ketergantungan.
Obat ini umumnya tersedia dalam kemasan untuk pemberian secara suntik, baik
intra muskuler maupun intravena.
Pemberian intravena, dapat secara bolus atau infus. Dapat diberikan secara epidural
atau intra tekal, baik bolus maupun infuse (epidural infus). Preparat opioid
Fentanyl juga tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara intranasal atau
dengan patch dikulit. Sudah tersedia dalam bentuk tablet (morfin tablet). Juga
tersedia dalam kemasan supositoria.
Penggunaan obat narkotik ini harus disertai dengan pencatatan yang detail dan ketat,
serta harus ada pelaporan yang rinci tentang penggunaan obat ini ke instansi
pengawas penggunaan obat-obat narkotika.

Mulai

Skor Tidak
Observasi
nyeri 2

Ya

Skor sedasi 0 atau1


Tidak Hitung frekuensi napas
minta nasihat tentang analgesia

Ya

Jika napas < 9/menit dan


Frekuensi napas skor sedasi 2 atau 3 minta nasihat dokter anestesi
Tunggu 10 menit > 8/menit? Tidak
Pikirkan pemberian naloxone

Ya
Tekanan darah sistolik
> 100 mm Hg
3
9
Berikan dosis lanjut im
dari analgesia sesuai resep

Tidak
Minta bantuan dokter

Ya

Tidak
Tunggu sampai 60 menit
telah berlalu sebelum

Ya

Gambar 2.12. Algoritme untuk pemberian opioid im. Skor nyeri: 0, tidak ada nyeri; 1
nyeri ringan;2, nyeri sedang; 3, nyeri berat. Skor sedasi: 0, bangun; 1, ngantuk
kadang-kadang; 2 kebanyakan tertidur; 3, sukar dibangunkan. Morfin:berat
40-65 kg: 7,5 mg; berat 65- 100 kg: 10 mg : Naloxone:200 g iv,
sesuai kebutuhan.

Dengan ditemukannya reseptor opioid didaerah kornua dorsalis medulla spinalis di


tahun 1970 an, obat ini dapat diberikan secara injeksi kedalam ruang epidural atau kedalam
ruang intratekal. Bila cara ini dikerjakan, dosis obat yang digunakan menjadi sangat kecil,
menghasilkan efek analgesia yang sangat baik dan durasi analgesia yang sangat
lama/panjang.
Pemakaian obat analgetika narkotika secara epidural atau intratekal, dapat
dikombinasi dengan obat-obat Alfa-2 agonist, antikolinesterase atau adrenalin.

4
0
Dengan kombinasi obat-obat ini, akan didapat efek analgesia yang sangat adekuat
serta durasi yang lebih panjang, sedangkan dosis yang diperlukan menjadi sangat
kecil.
3. Kelompok obat anestesia lokal.
Obat ini bekerja pada saraf tepi, dengan mencegah terjadinya fase depolarisasi pada
saraf tepi tersebut. Obat ini dapat disuntikkan pada daerah cedera, didaerah
perjalanan saraf tepi yang melayani dermatom sumber nyeri, didaerah perjalanan
plexus saraf dan kedalam ruang epidural atau interatekal.
Tabel 2.3. Dosis maksimum aman dari anestesi lokal

Obat Maksimum Maksimum


untuk infiltrasi untuk anestesi
lokal pleksus
Lidocaine 3 mg/kg 4 mg/kg
(lignocaine)
Lidocaine 5 mg/kg 7 mg/kg
(lignocaine) dengan
adrenalin (epinefrin)
Bupivacaine 1,5 mg/kg 2 mg/kg
Bupivacaine dengan 2 mg/kg 3,5 mg/kg
adrenalin(epinefrin)
Prilocaine 5 mg/kg 7 mg/kg
Prilocaine dengan 5 mg/kg 8 mg/kg
adrenalin(epinefrin)

Obat anestesia lokal yang diberikan secara epidural atau intratekal dapat
dikombinasikan dengan opioid. Cara ini dapat menghasilkan efek sinergistik. Analgesia
yang dihasilkan lebih adekuat dan durasi lebih panjang. Obat yang diberikan intratekal
hanyalah obat yang direkomendasikan dapat diberikan secara intratekal. Obat anesthesia
lokal tidak boleh langsung disuntikkan kedalam pembuluh darah. Memberikan analgesia
tambahan untuk semua jenis operasi. Bisa menghasilkan analgesia tanpa pengaruh
terhadap kesadaran. Teknik sederhana seperti infiltrasi lokal ke pinggir luka pada akhir
prosedur akan menghasilkan analgesia singkat. Tidak ada alasan untuk tidak
4
1
menggunakannya. Blok saraf, pleksus atau regional bisa dikerjakan untuk berlangsung
beberapa jam atau hari jika digunakan teknik kateter.
Komplikasi bisa terjadi:
 Komplikasi tersering berkaitan dengan teknik spesifik, misal hipotensi pada
anestesi epidural karena blok simpatis, dan kelemahan otot yang menyertai blok
saraf besar.
 Toksisitas sistemik bisa terjadi akibat dosis berlebihan atau pemberian
aksidental dari anestesi lokal secara sistemik. Ini bermanifestasi mulai dari
kebingungan ringan, sampai hilang kesadaran, kejang, aritmia jantung dan henti
jantung.
 Pemberian obat yang salah merupakan malapetaka pribadi dan mediko-legal.
Ekstra hati-hati diperlukan ketika memberikan obat.

Analgesia Balans
Obat analgetika nonnarkotika hanya efektif untuk mengatasi nyeri dengan intensitas
ringan sampai sedang. Sedangkan obat analgetika narkotika efektif untuk mengatasi nyeri
dengan intensitas berat. Dipihak lain blok saraf tidak selalu mudah dapat dikerjakan.2
Tidak jarang, untuk mendapatkan efek analgesia yang adekuat diperlukan dosis obat yang
besar. Hal ini dapat diikuti oleh timbulnya efek samping.
Untuk menghindari hal ini, dapat diusahakan dengan menggunakan beberapa macam
obat analgetika yang mempunyai titik tangkap kerja yang berbeda. Dapat digunakan dua
atau lebih jenis obat dengan titik tangkap yang berbeda. Dengan pendekatan ini, dosis
masing-masing individu obat tersebut menjadi jauh lebih kecil, tetapi akan menghasilkan
kwalitas analgesia yang lebih adekuat dengan durasi yang lebih panjang. Dengan demikian
efek samping yang dapat ditimbulkan oleh masing masing obat dapat dihindari.

4
2
Otak
Inhibisi
desenden
TCA
NE/5HT
Lesi Tramadol
Opioid Th/
dll
Reseptor
Medulla
GABAPENTIN
Spinalis
Sensitisasi
sentral Okskarbasepin
(NMDA, Lamotrigin
Ketamin
Dextrome-

Sensitisasi perifer/ thorphan


Calcium
GABAPENTIN
Karbamasepin

Th Okskarbasepin
PHENYTOIN
Mexiletine Lidocain,
dll

Gambar 2.13. Skema Farmakoterapi pada analgesia balans

Analgesia Balans merupakan suatu teknik pengelolaan nyeri yang menggunakan


pendekatan multimodal pada proses nosisepsi, dimana proses transduksi ditekan dengan
AINS, proses transmisi dengan obat anestetik lokal, dan proses modulasi dengan opiat.
Pendekatan ini, memberikan penderita obat analgetika dengan titik tangkap kerja yang
berbeda seperti obat obat analgetika non narkotika, obat analgetika narkotika serta obat
anesthesia lokal secara kombinasi disebut Balans analgesia atau pendekatan polifarmasi.

Analgesia Preemptif.
Diatas sudah dijelaskan bahwa bila seseorang tertimpa cedera dan yang bersangkutan
menderita nyeri (berat) dan nyeri ini tidak ditanggulangi dengan baik, dapat diikuti oleh
perubahan kepekaan reseptor nyeri dan neuron nosisepsi di medulla spinalis (kornu
dorsalis) terhadap stimulus yang masuk.
Ambang rangsang organ-organ tersebut akan turun. Terjadinya plastisitas sistem saraf.
Tindakan mencegah terjadinya plastisitas sistem saraf dengan memberikan obat-obat
4
3
analgetika sebelum trauma terjadi disebut tindakan preemptif analgesia. Tindakan anestesia
merupakan salah satu contoh preemptif analgesia ini. Dengan menanggulangi penyebab,
keluhan nyeri akan mereda atau hilang. Pembedahan merupakan saat yang tepat untuk

4
4
melakukan teknik analgesia preemtif dimana teknik ini menjadi sangat efektif karena
awitan dari sensari nyeri diketahui.

PCA (patient controlled administration)

Patient controlled Administration (PCA) merupakan metode yang saat ini tengah
popular dan digunakan luas terutama di USA, bila opioid analgesia parenteral harus
diberikan lebih dari 24 jam.1,6 PCA ini begitu popular disana karena selain menghindarkan
dari injeksi intramuskular, onset yang dihasilkan juga cepat dan bisa dikontrol sendiri oleh
pasien
Bisa menghasilkan manajemen nyeri berkualitas tinggi. PCA memungkinkan pasien
mengendalikan nyerinya sendiri. Perawat tidak diperlukan untuk memberikan analgesia
dan pasien merasakan nyeri mereda lebih cepat. Keberhasilan PCA tergantung pada :
 Kecocokan pasien dan penyuluhan pada pasca operasi.
 Pendidikan staf dalam konsep PCA serta penggunaan alat
 Pemantauan yang baik terhadap pasien untuk menilai efek terapi dan efek samping.
 Dana : pompa infus PCA mahal.

Tabel 2.4. Regimen PCA tipikal

Obat: morfin
Terdapat perbedaan yang cukup besar pada kebutuhan akan analgesia, atas dasar itulah
Konsentrasi: 1
PCA merupakan metode ideal bagi pasien yang membutuhkan lebih banyak ataupun lebih
mg/ml Dosis bolus:
sedikit daripada standar. Jika kadar plasma berada dibawah ambang analgesik, pasien
1 mg Waktu stop: 5
dapat mentitrasi sendiri opiod pada kadar analgesia yang mereka butuhkan (selama masih
menit
dalam batasan terapi).6 Dosis bolus dan waktu stop bisa diubah sesuai dengan kebutuhan
Dosis bolus: jumlah obat yang diberikan oleh pompa
bila pasien bisa menentukan kebutuhan.

4
5
individu. Pasien harus mendapat PCA dari jalur infus khusus atau katup satu arah
pada infus jaga (jika diberikan dengan piggyback). Ini mencegah akumulasi
sejumlah besar opioid dalam infus

Tim nyeri akut

Tim nyeri akut ada pada banyak rumah sakit. Ini merupakan sumber bantuan
dan informasi bagi staf bedah yunior. Biasanya dikepalai oleh spesialis anestesi,
dengan perawat spesialis yang menjalankan pelayanan dari hari ke hari. Jika
apoteker dan dokter bedah terlibat, perbaikan dalam praktek dan penerapan
perubahan lebih mudah.
Tujuan dari tim adalah memperbaiki dan memelihara standar dalam
manajemen nyeri akut. Tanggung jawab mereka adalah:
 Melatih dan mengajarkan staf dokter dan perawat
 Memberikan informasi kepada pasien
 Memberikan pelayanan untuk masalah yang terkait dengan manajemen nyeri akut
 Audit efek-efek (diinginkan dan tak-diinginkan) dalam praktek manajemen nyeri.

Servis Nyeri Akut


Acute Pain Service (APS) merupakan pelayanan terhadap nyeri akut yang
dilakukan secara kontinyu dan bertujuan sedini mungkin mengatasi nyeri, menilai
nyeri secara rutin, menilai pilihan pengontrolan nyeri, dengan mnggunakan
pendekatan multimodal yang disesuaikan dengan keadaan dan respons pasien.
C.ANATOMI DAN FUNGSI SISTEM UROPOETIK

Sistem uropoetik manusia memiliki peran penting untuk memproduksi, menyimpan,


dan mengalirkan urin. Sistem uropoetik teridiri dari 2 buah organ ginjal dan saluran kemih
( 2 buah ureter, vesica urinaria, dan uretra). Pada bab ini akan dibahas anatomi dan fisiologi
ginjal, serta uji fungsi ginjal.

Gambar 1.1 Anatomi sistem uropoetik.

1..Anatomi ginjal

Manusia memiliki 2 buah ginjal yang terletak pada bagian dorsal rongga abdominal di
sebelah kanan dan kiri kolumna vertebralis, sekitar vertebra thorakal 12 sampai vertebra
lumbal 3. Ginjal kanan posisinya lebih rendah dari ginjal kiri karena desakan lobus kanan
hepar. Ginjal mendapat persarafan dari fleksus renalis, berfungsi untuk mengatur jumlah
darah yang masuk ke dalam ginjal, saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah
yang masuk ke ginjal. Ginjal mendapatkan darah dari aorta abdominalis yang mempunyai
percabangan arteri renalis, arteri ini berpasangan kiri dan kanan. Arteri renalis bercabang
menjadi arteri interlobularis kemudian menjadi arteri akuarta. Arteri interlobularis yang
berada di tepi ginjal bercabang menjadi arteriole aferen glomerulus yang masuk ke dalam
glomerulis. Kapiler yang meninggalkan glomerulus disebut arterole eferen glomerulus
yang kemudian menjadi vena renalis masuk ke dalam vena cava inferior.
Setiap ginjal ditutupi oleh kapsula fibrosa dari jaringan ikat. Bila ginjal dipotong
secara longitudinal, maka terdapat 2 regio, yaitu : regio luar yang disebut korteks ginjal,
dan regio dalam disebut medulla ginjal. Selain itu, terdapat ruang pada bagian akhir ginjal

yang letaknya di atas ureter, disebut sebagai pelvis ginjal (lihat gambar 1.2).

Gambar 1.2 Anatomi makroskopik ginjal

Pada korteks ginjal terdapat suatu unit kerja fungsional ginjal yang disebut nefron. Setiap
ginjal memiliki ± 1 juta nefron. Setiap nefron terdiri dari glomerulus, tubulus proksimal, ansa
Henle, tubulus distal, dan tubulus kolektivus. Fungsi ginjal secara keseluruhan didasarkan
pada fungsi nefron.

2.Nefron

Ginjal manusia memiliki dua buah jenis nefron, nefron kortikal dan junxtamedullary
seperti terlihat pada gambar 1.3. Nefron kortikal terletak di kortek ginjal, menyusun sekitar
85% nefron ginjal, berfungsi membuang produk akhir metabolisme tubuh dan reabsorbsi
zat nutrient. Nefron juxtamedullary terletak di medulla ginjal fungsi utamanya memekatkan
konsentrasi urin.
Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut terutama elektrolit di dalam
tubuh dengan cara menyaring aliran darah, kemudian mereabsorbsi zat yang masih
diperlukan tubuh, zat sisa yang tidak diperlukan tubuh dikeluarkan sebgai urin.

Gambar 1.3 Hubungan nefron dengan ginjal dan saluran uropetik.

3.Glomerulus

Glomerulus berfungsi menyaring substansi yang ada di dalam darah. Glomerulus


terdiri dari kumpulan pembuluh darah kapiler yang dikelilingi oleh membran, yang disebut
kapsula Bowman. Sel epitel yang melapisi kapsula Bowman disebut podocytes. Podocytes
memiliki struktur mirip dengan kaki gurita yang berfungsi sebagai filter selektif
semipermiabel substansi dari plasma. Nilai ambang berat molekul yang dapat melewati
membran glomerulus<66.000 kDa setara dengan berat albumin, sehingga molekul yang
lebih besar seperti lipid dan bilirubin tidak dapat melewati membran glomerulus, sedangkan
zat dengan berat molekul yang lebih rendah, seperti air, elektrolit, asam amino, urea, dan
kreatinin dapat melewati membran glomerulus.2,3 Setiap hari ginjal menerima 1200-1500
mL darah permenit dari arteri renalis, diperkirakan 25% dari cardiac output. Volume darah
yang difiltrasi ginjal permenit disebut glomerular filtration rate (GFR) yang digunakan
sebagai penanda fungsi ginjal.

Komponen glomerulus lain adalah sel mesangial yang terletak diantara kapiler darah,
memiliki fungsi fagosit dan mengambil kompleks antigen-antibodi di sirkulasi yang dapat
memicu glomerulonephritis. Kompleks antigen-antibodi yang terbentuk kemudian
dibersihkan dari sel mesangial oleh proses fagositosis atau mekanisme lain.

4.Tubulus

Bagian paling atas tubulus yang berhubungan langsung dengan glomerulus adalah
tubulus convulated proximalis diikuti segmen yang berdinding tipis dan tubulus convulated
distalis. Segmen berdinding tipis tersebut bersama dengan tubulus convulated distalis
membentuk suatu lengkungan yang disebut loop of Henle (ansa Henle). Cairan dari tubulus
convulated distalis mengalir ke collecting tubulus yang akan bergabung dengan collecting
tubulus lainnya membentuk duktus papilari dan akan mengalir ke kaliks dan kemudian ke
pelvis renal melalui ureter menuju kandung kemih.

a.Tubulus Kontortus Proksimal

Tubulus kontortus proksimal memiliki panjang kurang lebih 15 mm, diameter kurang
lebih 55 µm. Dinding terdiri dari selapis sel yang berinterdigitasi membentuk tight
junction di daerah apikal, sedangkan di daerah basis terdapat ruang intersel lateral. Pada
tepi sel yang menghadap lumen mempunyai brush border (mikrovili yang berukuran 1x0,7
µm).
b.Ansa Henle

Ansa Henle terdiri dari :

• Pars desendens : merupakan tubulus proksimal yang berakhir di segmen tipis. Pars
desendens ansa Henle mempunyai epitel skuamosa.
• Pars asendens memiliki sel kubus. Segmen tebal pars asendens ansa henle mencapai
glomerulus, dan berjalan dekat arteriol aferen dan eferen.

Epitel tubulus berubah membentuk makula densa. Sel jukstaglomerulus, makula densa
dan sel lasis yang berdekatan membentuk apparatus jukstaglomerulus.

c.Duktus Koligentes

Beberapa tubulus akan bersatu membentuk duktus koligentes, dengan panjang ± 20


mm. Epitel pada dinding duktus koligentes terdiri dari dua sel, yaitu sel prinsipal, yang
jumlahnya sangat banyak, berperan dalam reabsorpsi natrium dan air, karena dirangsang
oleh horrmon vasopresin. Sel yang lain adalah sel interkalasi, berperan dalam sekresi asam
dan transport HCO3-. Sel dinding juga mensekresi prostaglandin 2 (PGE2).

Pada duktus koligentes juga terdapat sel interstitiial medula tipe I yang mengandung
gelembung berisi lipid dan mungkin mensekresi beberapa jenis prostaglandin, terutama
PGE2. Prostasiklin dan beberapa prostaglandin lain disekresi oleh arteriol dan glomerulus.

1.FUNGSI GINJAL

Ginjal merupakan organ penting yang memiliki beberapa fungsi, yaitu :

• Pembentukan urin.
• Mengatur keseimbangan air dan elektrolit
• Mengatur keseimbangan asam basa
• Mensekresikan produk sampah hasil metabolism tubuh, obat, dan racun.
• Mensekresi beberapa hormon, yaitu :
• Eritropoietin (EPO) : merupakan hormon yang mengontrol produksi eritrosit
• Renin : merupakan hormon mengontrol pembentukan angiotensin, yang mem-
pengaruhi tekanan darah dan keseimbangan natrium.
• 1,25-dihidroksivitamin D3 : merupakan bentuk aktif vit D hormon yang mem-
bantu keseimbangan kalsium dan kalsifikasi tulang.

2.Uji Fungsi Ginjal

Melalui uji fungsi ginjal di laboratorium dapat dinilai fungsi ginjal dan interaksi kimia yang
terjadi di ginjal. Terdapat 3 proses dasar yang terjadi di ginjal, yaitu :

1. Filtrasi glomerulus
2. Reabsorbsi tubulus
3. Sekresi tubulus

Gangguan pada salah satu proses di atas akan mempengaruhi fungsi tubuh. Terdapat
beberapa cara untuk mengukur fungsi ginjal dalam melakukan bersihan hasil metabolisme
tubuh. Caranya dengan menggunakan pengukuran lansung zat endogen dari dalam tubuh
atau eksogen yang berasal dari luar tubuh,maupun menggunakan rumus yang dibuat untuk
memperkirakan fungsi bersihan ginjal.
3.Pengukuran bersihan ginjal

Metode laboratorium yang digunakan untuk mengevaluasi fungsi ginjal biasanya


mengandalkan pengukuran hasil limbah darah oleh ginjal, substansi yang biasa digunakan
adalah urea dan kreatinin. Laju zat yang dibersihkan oleh ginjal dari darah ke dalam urin
diistilahkan dengan bersihan ginjal. Bersihan ginjal adalah volume plasma dalam (ml)
dari suatu zat yang benar-benar dibersihakan dari ginjal per satuan waktu.Pengukuran
bersihan ginjal ini digunakan untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus.

Laju filtrasi glomerulus pada manusia tidak dapat diukur secara langsung, tetapi dapat
diperkirakan melalui pengukuran bersihan suatu zat (B) melalui urin, seperti rumus di
bawah ini:

B (mL/menit) = Kadar zatGambar 1.4 Rumus


(Z) dalam bersihan
urin (mg/dL) suatu zat.
X Volume
urin per satuan waktu (mL/menit)

Pengambilan zat (Z) dalam darah dan urin harus dalam waktu yang bersamaan. Spesimen
untuk pengukuran bersihan ginjal sebaiknya dikumpulkan dalam 24 jam, hal ini lebih
menggambarkan fungsi fisiologis dari zat tersebut apabila ada variasi diurnal.

Zat yang dianggap ideal untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus adalah zat yang
mampu difiltrasi secara lengkap di glomerulus dan tidak mengalami reabsorbsi atau sekresi
di tubulus. Zat ini dapat berasal dari eksogen atau endogen tubuh. Contoh zat eksogen
adalah inulin. Inulin adalah suatu polimer dari fruktosa merupakan zat yang tidak
direabsorbsi atau disekresi oleh tubulus. Inulin tidak terdapat di dalam tubuh sehingga
harus diberikan melalui intravena dan memerlukan waktu beberapa jam, serta pengambilan
bahan darah dan urin beberapa kali untuk mencerminkan kadarnya. Zat endogen yang
digunakan untuk menentukan bersihan ginjal adalah kreatinin dan ureum.

B.Pemeriksaan laboratorium menilai fungsi ginjal

A.Kreatinin serum
Indikasi
Pemeriksaan kreatinin serum digunakan untuk mendiagnosis gangguan fungsi ginjal
Nilai rujukan
• Usia lanjut : Penurunan massa otot dapat menyebabkan
: penurunan kadar kreatinin.
• Dewasa : Laki-laki: 0,6-1,1 mg/dL
• Perempuan: 0,5 -1,1 mg/dL
• Anak : 0,3-0,7 mg/dL
• Bayi : 0,3-1,2 mg/dL

Nilai kritis

Dewasa
• : 5,0 mg/dL
• Anak : 3,8 mg/dL
PENJELASAN PEMERIKSAAN

Kreatinin adalah hasil metabolisme kreatin yang sebagian besar terletak di dalam
jaringan otot, sebagian kecil kreatin ditemukan dalam hati, ginjal, dan otak serta cairan
tubuh. Kadar kreatinin dalam darah dipengaruhi oleh massa otot tiap individu, tetapi kadar
kreatinin relatif stabil dari waktu ke waktu, walaupun diet protein dapat mempengaruhi
kadar kreatinin darah. Massa otot wanita 15% lebih rendah daripada pria, sehingga nilai
normal kreatinin wanita lebih rendah dibandingkan pria.

Kreatinin hanya dibuang ke luar tubuh melalui ginjal, melalui filtarasi glomerulus dan
tidak direabsorbsi kembali, 15% disekresi oleh tubulus melalui urin. Pengukuran kadar
kreatinin dapat digunakan untuk menilai fungsi ginjal dan pemantauan penyakit ginjal.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMERIKSAAN

• Diet tinggi daging dapat meningkatkan kadar kreatinin


• Obat-obatan ACE ingibitor, aminoglykosida (misalnya gentamisin), simetidin, obat
kemoterapi, dan obat nefrotoksik seperti sephalosporin dapat meningkatkan kadar
kreatinin darah.

PERSIAPAN PEMERIKSAAN

• Pasien tidak perlu puasa


• Gunakan tabung vacum tutup merah atau tanpa antikoagulan untuk pengumpulan
sampel darah vena

INTERPRETASI HASIL
Kadar meningkat
 Penyakit yang mempengaruhi fungsi ginjal, seperti glomerulonephritis, pielonefri- tis,
tubular nekrosis akut, obstruksi saluran kemih, penurunan aliran ginjal (misalnya
syok, dehidrasi, gagal jantung), nefropati diabetik, nefritis.

 Rhabdomyolosis, jejas otot rangka menyebabkan mioglobin dilepaskan dari otot ke


sirkulasi, apabila jumlahnya berlebih menyebabkan nefrotoksik

 Ackromegali, gigiantisme, penyakit yang berhubungan dengan peningkatan massa


otot sehingga meningkatkan kadar kreatinin darah

Kadar menurun
• Debilition
• Penurunan massa otot (missalnya distrofi otot, miastenia gravis)

B. Ureum
Indikasi

Pemeriksaan uream serum digunakan untuk menilai fungsi ginjal (jika fungsi hati nor-
mal)
Nilai rujukan

 Dewasa : 6-20 mg/dL

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

PENJELASAN PEMERIKSAAN

Ureum dibentuk oleh hati hasil dari metabolism protein, terutama protein dari
makanan namun dapat juga berasal dari protein yang dihancurkan saat terjadi kerusakan
jaringan, perdarahan saluran cerna, dan pengobatan kortikosteroid. Protein dari makanan
dipecah menjadi asam amino kemudian oleh bakteri usus dipecah menjadi amoniak, di
dalam hati amoniak diubah menjadi ureum kemudian masuk ke sirkulasi dan dieksresikan
oleh ginjal ke dalam urin.

Pemeriksaan kadar ureum darah dipengaruhi oleh banyak faktor di luar ginjal,
misalnya perdarahan saluran cerna bagian atas dan diet tinggi protein. 40-50% ureum akan
direabsorpsi di tubulus, sehingga tidak dapat menggambarkan laju filtrasi glomerulus
dengan baik.

Ureum merupakan 75% dari nitrogen non protein (NPN) tubuh selain asam urat dan
kreatinin. Peningkatan kadar NPN disebut azotemia. Penyebab azotemia dapat dibedakan
menjadi 3 yaitu pra renal, renal, dan pasca renal. Pra renal azotemia dapat disebabkan
akumulasi NPN sebelum mencapai ginjal misalnya syok, dehidrasi, gagal jantung
kongestif, dan katabolisme protein yang berlebihan, perdarahan saluran cerna bagian atas,
terapi kortikosteroid. Azotemia renal dapat disebabkan gagal ginjal akut dan kronik,
nefritis, glomerulonefritis, dan nekrosis tubular akut. Azotemia pasca renal disebabkan
obstruksi saluran kemih.

Sintesis ureum tergantung fungsi hepar. Pasien dengan penyakit hepar primer
memiliki kadar ureum yang rendah karena hepar mengalami gangguan fungsi. Pada
sindrom hepatorenal gangguan pada hepar dan ginjal ureum tidak dianjurkan digunakan
untuk untuk menilai fungsi eksresi ginjal.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMERIKSAAN

• Diet protein
• Akhir kehamilan, dapat meningkatkan kadar ureum akibat peningkatan metabolism
protein
• Perdarahan saluran cerna
• Hidrasi berlebihan menyebabkan pengenceran kadar ureum menjadi lebih rendah de-
hidrasi menyebabkan kadar ureum lebih tinggi karena terkonsentrasi.
• Obat-obatan yang meningkatkan kadar ureum allopurinol, aminoglikosida, sephalo-
sporin, cisplastin, furosemide, indomethacin, methotrexate, metildopa, obat-obatan
nefrotoksik.
• Obat-obatan yang dapat menurunkan kadar ureum kloramfenikol dan streptomisin.

PERSIAPAN PEMERIKSAAN

• Pasien tidak perlu puasa


• Gunakan tabung vacum tutup merah atau tanpa antikoagulan untuk pengumpulan
sampel darah vena
INTERPRETASI HASIL
Kadar meningkat
 Prerenal: hipovolemi, syok, luka bakar,dehidrasi, gagal jantung kongestif, infark
miokard, perdarahan saluran cerna, katabolisme brotein berlebihan, puasa lama,
sepsis.

 Renal: penyakit ginjal (glomerulonephritis, pielonefritis, tubular nekrosis akut), ga-


gal ginjal

 Pasca renal: obstruksi saluran kemih akibat batu, tumor, atau kelainan kongenital

Kadar menurun
• Gagal hati
• Hidrasi berlebihan
• Keseimbangan nitrogen negative : malnutrisi dan malabsorbsi
• Kehamilan awal akibat hemodilusi
• Sindrom nefrotik, akibat kehilangan protein melalui urin
C. BUN (Blood Urea Nitrogen) Indikasi

Mengukur fungsi ginjal dan laju filtrasi glomerulus secara tidak langsung (jika fungsi hati
baik) dan melihat fungsi ginjal

Nilai rujukan

• Dewasa : 10-20 mg/dL


• Anak : 5-18 mg/dL
• Bayi : 3-12 mg/dL

PENJELASAN PEMERIKSAAN

BUN mengukur jumlah urea nitrogen di darah. Urea dibentuk di hati sebagai
hasil metabolisme protein. Protein dipecah menjadi asam amino, di hati asam amino
dikatabolisme membentuk amonia bebas. Molekul ammonia membentuk urea yang di
bawa oleh darah ke ginjal untuk dieksresikan, sehingga BUN secara tidak langsung dapat
digunakan untuk mengukur fungsi metabolik hati dan fungsi ekresi ginjal. Pasien dengan
kadar BUN yang meningkat disebut azotemia.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMERIKSAAN

• Intake protein
• Massa otot
• Kehamilan
• Perdarahan saluran cerna meningkatkan kadar BUN
• Overhidrasi atau dehidrasi, kadar BUN dapat lebih rendah pada pasien overhidrasi
sedangkan dehidrasi menyebabkan kadar BUN lebih tinggi.
• Allupurinol, aminoglikosida, sephalosporin, furosemide, indometachine, methotrex-
ate, metildopa dan obat-obatan nefrotoksin dapat meningkatkan kadar BUN
• Kloramfenikol dan streptomisin dapat menurunkan kadar BUN

PERSIAPAN PEMERIKSAAN

• Pasien tidak perlu berpuasa


• Gunakan tabung vacum tutup merah atau tanpa antikoagulan untuk pengumpulan
sampel darah vena
• Hindari serum lisis

INTERPRETASI HASIL
Kadar meningkat

 Pre renal

Hipovolemi, shock, luka bakar, dehidrasi, gagal jantung kongestif, miokard infark,
perdarahan saluran cerna, intake protein berlebih, katabolisme protein berlebih, ke-
laparan/puasa lama, sepsis

 Renal

Penyakit ginjal (misalnya glomerulonephritis, pielonefritis, nekrosis tubular akut),


gagal ginjal, obat-obatan nefrotoksik
 Pasca renal azotemia

Obstruksi uretra oleh batu, tumor atau kelainan kongenital

Obstruksi saluran vesika urinaria akibat pembesaran prostat atau kanker mapupun
kelainan kongenital menyebabkan aliran urin terhambat akibatnya jumlah BUN yang
dieksresikan berkurang.

D.Cystatin C

Indikasi

Pemeriksaan cystatin serum digunakan untuk menilai fungsi ginjal


Nilai rujukan
• Dewasa : Pria 0,56 - 0,98 mg/L Wanita 0,52 –
0,90 mg/L

PENJELASAN PEMERIKSAAN

Cystatin C adalah protein dengan berat molekul rendah 13kDa yang dihasilkan oleh
sel berinti. Kelebihan cystatin C dihasilkan dalam laju yang konstan kadarnya stabil pada
ginjal normal. Cystatin C mengalami filtrasi, reabsorbsi di tubulus tetapi langsung
dikatabolisme sehingga tidak kembali ke darah dan tidak disekresi di tubulus maupun
jalur lain selain ginjal dan tidak dipengaruhi diet protein. Penilaian cystatin C juga dapat
memberikan informasi lebih awal dibandingkan GFR, pilihan parameter apabila ada
gangguan metabolism protein seperti gangguan hati dan malnutrisi. Beberapa penelitian
ada yang melaporkan cystatin C juga dipengaruhi usia, jenis kelamin, massa otot, dan
peradangan tetapi pengaruhnya tidak sebesar kreatinin, hal ini masih dalam penelitian lebih
lanjut.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMERIKSAAN

-Dilaporkan cystatisn C meningkat pada keadaan CRP (C-reactive protein) tinggi, indeks
massa tubuh tinggi, hipertiroid, penggunaan steroid, dan keganasan

PERSIAPAN PEMERIKSAAN
• Pasien tidak perlu puasa
• Gunakan tabung vacum tutup merah atau tanpa antikoagulan untuk pengumpulan
sampel darah vena
• Hindari serum keruh

INTERPRETASI HASIL
Kadar meningkat

 Penurunan laju filtrasi glomerulus

E.Uji bersihan kreatinin (Clerens creatinin test/CCT)


Indikasi
Mengukur laju filtrasi glomerulus ginjal

Nilai rujukan
• Pria dewasa : 97 – 173 ml/menit per 1,73m2
• Wanita dewasa : 88 – 128 Ml/menit per 1,73m2
• Kadar normal CCT menurun secara normal dengan pertambahan usia,
penurunannya sekitar 6,5 ml/menit per 1,73m2untuk setiap dekade umur.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

PENJELASAN PEMERIKSAAN

Pada uji bersihan kreatinin diperiksa kadar kreatinin urin dan darah. Uji inimemerlukan
urin tampung sempurna selama 24 jam untuk dapat mencerminkan laju filtrasi glomerulus
sebenarnya. Urin tampung diberikan pengawet urin, dicatat volume urin yang terkumpul
dalam waktu 24 jam, diikuti pengambilan darah pada akhir waktu pengumpulan urin.

Pengukuran uji bersihan kreatinin (CCT) telah menjadi metode standar


laboratorium untuk menentukan laju filtrasi glomerulus. Nilai CCT diperoleh dengan
menghitung rumus :
CCT = Gambar 1.5 Rumus
Ukr (mg/dl) x VurCCT (clerens
(ml/24 jam) creatinin test)
X 1,73

Keterangan :
Ukr = Kadar kreatinin urin
Vur = Volume urin dalam 24 jam
Pkr = Kadar kreatinin plasma/serum
1,73/A = Faktor konversi bersihan kreatinin terhadap luas permukaan tubuh.

Kreatinin sangat dipengaruhi oleh massa otot tubuh sehingga untuk mengurangi
pengaruh perubahan massa otot terhadap pemeriksaan laju filtrasi glomerulus yang
diperkirakan dengan bersihan kreatinin dilakukan konversi bersihan kreatinin terhadap luas
permukaan tubuh sebesar 1,73 m2, nilai ini yang dianggap rata- rata pada ukuran tubuh
normal. Apabila pasien memiliki ukuran tubuh yang berbeda misalnya obes atau anak-anak
maka nilai konversi ini harus disesuaikan dengan normogram yang dapat dilihat pada
gambar 1.6

Normogram lebih tepat dalam mempirkirakan luas permukaan tubuh seseorang


berdasarkan berat dan tinggi badan seseorang. Luas permukaan tubuh dapat ditentukan
dengan menggunakan berbagai nomogram atau rumus yang umumnya didasarkan pada
berat badan dan tinggi badan. Rumus DuBois dan DuBois dipakai untuk menentukan luas
permukaan tubuh dewasa secara klasik.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMERIKSAAN

• Latihan berat dapat meningkatkan kadar kreatinin


• Pengumpulan urin 24 jam yang tidak sempurna memberikan hasil rendah palsu
• Kehamilan dapat meningkatkan nilai CCT
Diet tinggi daging menyebabkan peningkatan kadar kreatinin serum dan nilai CCT
PERSIAPAN PEMERIKSAAN

• Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien


• Pasien tidak perlu puasa
• Intruksikan pasien untuk mengumpulkan urin 24 jam :
• Kumpulkan urin 24 jam dengan mencatat jam pertama pengumpulan dan mem-
buang urin pertama yang keluar, tampung urin setelahnya dan seterusnya (misal-
nya mulai jam 08.00 pagi hari I, urin pertama dibuang. Urin selanjutnya dikum-
pulkan sampai jam 08.00 pagi besok hari II urin dikumpulkan)
• Berikan pasien wadah untuk menampung urin 24 jam dan diberikan pengawet
urin atau disimpan dalam lemari es
• Hindari urin tercampur feses atau tissue
• Jika sudah terkumpul urin 24 jam segera bawa ke laboratorium
• Gunakan tabung vacum tutup merah atau tanpa antikoagulan untuk pengumpulan
sampel darah vena

• Gangguan fungsi ginjal (misalnya atherosclerosis arteri ginjal, glomerulonephritis,


tubular nekrosis akut)
• Konsidi yang menyebabkan penurunan GFR (misalnya gagal jantung kongestif, siro-
sis dengan asites, shock, dehidrasi)

F. Perkiraan laju filtrasi glomerulus/estimated glomerular filtration rate( eGFR)

Cara lain yang lebih sederhana untuk menilai laju filtrasi glomerulus adalah
dengan mengukur perkiraan laju filtrasi glomerulus menggunakan rumus (estimated
glomerular filtration rate/eGFR). Terdapat beberapa rumus untuk memperkirakan laju filtrasi
glomerulus menggunakan kadar kreatinin plasma atau serum. Rumus yang umum digunakan
adalah Cockroft dan Gault dan Modification of Diet in Renal Disease (MDRD). Tiap rumus
tersebut dibuat menggunakan populasi tertentu dan metoda pemeriksaan kreatinin tertentu,
sehingga pemilihan rumus yang digunakan perlu memperhatikan kedua hal tersebut.

 Rumus Cockroft and Gault

Rumus Cockroft and Gault menghitung perkiraan laju filtrasi glomerulus berdasarkan
kadar serum kreatinin, usia, jenis kelamin, dan berat badan. Rumus ini sudah lama
digunakan dan masih digunakan sampai sekarang tetapi cenderung memberikan hasil lebih
tinggi daripada laju filtrasi glomerulus sebenarnya pada pasien dengan penyakit ginjal dan
tidak dapat digunakan untuk anak.

eGFRCockroft and Gambar 1.7 Rumus EGFRCockroft


Gault (ml/menit/1,73m 2
): (140-usia)and
x Gault
BB x 1,2 x (0,85 untuk wanita)
Keterangan :Usia (tahun); Berat badan (kg); Serum kreatinin (µmol/L)

 Rumus Modification of diet and renal disease (MDRD)

Rumus ini terdiri dari banyak variasi. Ada yang menggunakan 7 variabel, 6 variabel, 5
variabel, dan 4 variabel yang paling sederhana (simplified atau abbreviated MDRD).
Rumus ini lebih mendekati nilai laju filtrasi glomerulus sebenarnya pada pasien penyakit
ginjal dibandingkan rumus Cockroft and Gault, walupun demikian rumus ini masih.
KESIMPULAN

Kateter urin adalah selang yang dimasukkan ke dalam kandung kemih untuk mengalirkan
urine. Kateter ini biasanya dimasukkan melalui uretra ke dalam kandung kemih, namun
metode lain yang disebut pendekatan suprapubik, dapat digunakan (Marrelli, 2007).
Pemasangan kateter merupakan tindakan keperawataan dengan cara memasukkan kateter ke
dalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan untuk membantu memenuhi kebutuhan
eliminasi dan sebagai pengambilan bahan pemeriksaan (Hidayat, 2006).
Tindakan pemasangan kateter urin dilakukan dengan memasukan selang plastik atau karet
melalui uretra ke dalam kandung kemih.Kateter memungkinkan mengalirnya urin yang
berkelanjutan pada klien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau klien yang
mengalami obstruksi. Kateter juga menjadi alat untuk mengkaji haluaran urin per jam pada
klien yang status hemodinamiknya tidak stabil (Potter dan Perry, 2006).
Kateterisasi urin membantu pasien dalam proses eliminasinya. Pemasangan kateter
menggantikan kebiasaan normal dari pasien untuk berkemih. Penggunaan kateter intermiten
dalam waktu yang lama dapat menyebabkan pasien mengalami ketergantungan dalam
berkemih (Craven dan Zweig, 2010).

Nyeri merupakan hal seringkali kita jumpai pada dunia praktek kedokteran yang
sampai saat ini merupakan masalah dalam dunia kedokteran Nyeri merupakan
manifestasi dari suatu proses patologis yang terjadi di dalam tubuh. Nyeri akut
merupakan sensibel nyeri yang mempunyai manfaat. Bila pengelolaan nyeri dan
penyebab nyeri akut tidak dilaksanakan dengan baik, nyeri itu dapat berkembang
menjadi nyeri kronik. Beberapa prinsip dalam manajemen nyeri sebagai berikut :
 Pasien yang mengeluh nyeri, berarti mereka betul-betul merasa nyeri. Mereka
perlu didengarkan dan dipercaya.
 Tidak ada pola fisiologis atau perilaku yang bisa digunakan untuk membuktikan
bahwa seseorang sedang berpura-pura nyeri.
 Operasi yang sama mungkin akan menghasilkan kebutuhan analgesia yang
bervariasi pada berbagai pasien.
 Derajat nyeri yang sama mungkin diekspresikan dengan cara berbeda oleh pasien.
 Opioid yang diberikan untuk nyeri akut tidak menyebabkan adiksi obat.
 Nyeri hebat setelah pembedahan bisa dicegah. Cari sebab-sebab nyeri yang bisa
diatasi, tetapi jangan tunda analgesia dengan alasan takut menyelubungi tanda-
tanda bedah.
 Dosis tepat dari analgesik opioid adalah ‘cukup dan sering cukup’
 Manfaat maksimum dengan efek samping paling sedikit sering diperoleh dengan
kombinasi berbagai obat dengan cara pemberian berbeda (misal opioid dan AINS
dan anestesi lokal)
Diagnostik nyeri sesuai dengan usaha untuk mencari penyebab terjadinya nyeri
Penyebabnya biasanya lebih mudah dapat ditentukan, sehingga penanggulangannya
biasanya lebih mudah pula. Nyeri akut ini akan mereda dan hilang seiring dengan laju
proses penyembuhan jaringan yang sakit.
Diagnosa penyebab nyeri akut harus ditegakkan lebih dahulu. Bersamaan dengan
usaha mengatasi penyebab nyeri akut, keluhan nyeri penderita juga diatasi.Pengobatan
yang direncanakan untuk menangulangi nyeri harus diarahkan kepada proses penyakit
yang mendasarinya untuk mengendalikan nyeri tersebut. Pemahaman tentang
patofisiologi terjadinya nyeri sangatlah penting sebagai landasan menanggulangi nyeri
yang diderita oleh penderita. Semua obat analgetika efektif untuk menanggulangi nyeri
akut ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan, G.E., Pain Management, In: Clinical Anesthesiology 2nd ed. Stamford:
Appleton and Lange, 1996, 274-316.
2. Mangku, G., Diktat Kumpulan Kuliah, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, 2002.
3. Latief, S.A., Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi II, Bag Anestesiologi dan
Terapi Intensif FK UI, Jakarta, 2001.
4. Hamill, R.J., The Assesment of Pain, In: Handbook of Critical Care Pain
Management, New York, McGrow-Hill Inc, 1994, 13-25
5. Loese, J.D., Peripheral Pain Mechanism and Nociceptic Plasticity, In Bonica’s
Management of Pain, Lippicott Williams and Wilkins, 2001, 26-65
6. Avidan, M., Pain Managemnet, In Perioperative Care, Anaesthesia, Pain
Management and Intensive Care, London, 2003, 78-102
7. Benzon, et al., The Assesment of Pain, In Essential of Pain Medicine and
Regional Anaesthesia, 2nd ed, Philadelphia, 2005
8. Nicholls, AJ dan Wilson, IH., Manajemen nyeri akut, in Kedokteran Perioperatif,
Darmawan, Iyan (ed), Farmedia, Jakarta, 2001, bab 14, 57-69.
9. Melati, Endang., Pediatric Pain Management In Trauma,
Trauma, Bagian/SMF
Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya,
Palembang, 2003.
10. Sutjahjo, Rita A., Pain Relief In Trauma, Bagian/SMF Anestesiologi dan
Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, 2003.
11. Tanra, Husni., Prehospital Pain Management for Trauma Patient, Bagian/SMF
Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin,
Makasar, 2002.
12. Arifin, Hasanul., Pengelolaan Nyeri Akut, Bagian/SMF Anestesiologi dan
Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002.
13. Mangku G., Nyeri dan Mutu Kehidupan, Buletin IDI, Denpasar, 2005.
14. Meliala A. Pemeriksaan Nyeri, Neuro Sains, Suplemen BNS Vol 4 No 2, 2003,
33- 37.
15. Nicholls, AJ dan Wilson, IH., Peresepan Periperatif, in Kedokteran Perioperatif,
Darmawan, Iyan (ed), Farmedia, Jakarta, 2001, bab 52,403-420
16. Lynch KL., Wu AH. Renal fungtion. In: Bishop ML, Fody EP, Schoff LE, editors.
Chlinical chemistry technique, principles, correlations. 6th ed. Philadelphia: Lippin-
cott Williams & Wilkins; 2010.

17. Strasinger SK, DiLorenzo MJ. Renal fungtion. In: Urinalysis & body fluids. 6th ed.
Philadelphia: Davis Company; 2014.
18. Delaney MP, Price CP, Newman DJ, Lamb EJ. Kidney Disease. In: Burtis CA, Bruns
DE, editors. Tietz Fundamentals of chlinical chemistry and molecular diag- nostics.
4th ed. St Louis Missouri: Elsevier; 2006.

19. Kumalawati J. Uji bersihan ginjal. In: Oesman F editors. Pendidikan berkesinam-
bungan Patologi Klinik. FKUI.2010

20. Brunzel NA. Fundamentals of urin& body fluid analysis. 3th ed. St. Louis Missouri:
Elsevier; 2013.

21. Traynor J, Mactier R, Geddes CC, Fox JG. How to measure renal fungtion in clinical
practice. Brit Med J. 2006; 333: p. 733-7

22. Pagana KD, Pagana TJ. Manual of diagnostocs and laboratory test. 15 th ed. St Louis:
Elsevier; 2014

Anda mungkin juga menyukai