Anda di halaman 1dari 193

i

Prosiding
Seminar Nasional Banda Naira 2018
“Rempah dan Jaringan Perdagangan Global”

Editor

Dr.Muhammad Farid, M.Sos.


Dr.Usman Thalib, M.Hum

LEMBAGA PENELITIAN &PENGABDIAN MASYARAKAT (LPPM)


Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(STKIP) Hatta-Sjahrir Banda Naira
2018

ii
Prosiding Seminar Nasional Banda Naira 2018: Rempah dan Jaringan
Perdagangan Global

Editor:
Muhammad Farid & Usman Thalib

Penyunting:
Najirah Amsi, S.Pd., M.Si

Desain sampul dan tata letak:


Mizwar Kahar, ST.

Penerbit:
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT
STKIP HATTA-SJAHRIR BANDA NAIRA

ISBN
978-602-52083-0-0

Redaksi:
Jl. Said Tjong Baadilla, No.1 Banda Naira, 2011
Tel./fax: 0910-21026. Email: stkiphs@yahoo.com, lppm.hattasjahrir@yahoo.com

Distributor Tunggal:
STKIP HATTA-SJAHRIR BANDA NAIRA

Cetakan Pertama, Mei 2018

Hak cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa
izin tertulis dari penerbit.

iii
Kata Pengantar
Prosiding ini merupakan kumpulan makalah yang telah dipresentasikan dalam
Seminar Nasional Banda Naira (Semnas-BN) yang berlangsung pada tanggal 2 sampai
3 Mei 2018. Seminar Nasional bertema REMPAH DAN JARINGAN
PERDAGANGAN GLOBAL adalah inisiasi dari STKIP Hatta-Sjahrir Banda Naira,
yang dicanangkan sebagai kegiatan akademik nasional setiap tahun, dengan
memfokuskan pada tema yang berbeda-beda.
Makalah dalam Prosiding ini adalah merupakan tulisan dari para pemateri yang
berasal dari berbagai perguruan tinggi dengan disiplin keilmuan yang beragam.
Diskursus rempah dan jaringan perdagangan global menjadi focus telaah, dan juga
menjangkau berbagai factor lain yang mengitarinya, yang kemudian dijadikan sub-sub
bahasan, antara lain; rempah dan persebaran komunitas Islam, rempah dan jaringan
perdagangan laut, rempah dan tradisi, rempah dan penaklukan (kolonialisme), dan
rempah dan integrasi nasional.
Semoga Prosiding SEMNAS-BN 2018 ini bermanfaat sebagaimana misi
kegiatan seminar nasional 2018, yaitu; Pertama, mengungkap berbagai peristiwa
global sebagai akibat dari penemuan jalur rempah dunia. Kedua, memicu gairah
historiografi kolonialisme di Indonesia Timur secara maksimal, dan Ketiga, menjadi
sebuah aras dari kerja-kerja konkret bagi masyarakat peduli sejarah dan budaya di
tanah air, khususnya di banda naira.

iv
Sambutan
Ketua STKIP Hatta-Sjahrir
Assalamu‘alaikum Wr.Wb.
Saya merasa sangat bangga dengan kegiatan Seminar
Nasional Banda Naira yang untuk pertama kali
dilaksanakan ini. Dalam dunia pendidikan yang
semakin kompetitif saat ini, kegiatan seperti ini harus
terus dilakukan, sebagai bukti konsistensi perguruan
tinggi dalam mewujudkan pengabdiannya bagi
masyarakat.
Sekalipun untuk pertama kali, kegiatan SEMNAS-BN 2018 ini tampak sangat berhasil
menghadirkan para pembicara dari banyak perguruan tinggi di Indonesia dengan
disiplin keilmuan yang berbeda-beda. Ini suatu pencapaian yang membanggakan. Saya
berharap kegiatan ini dapat menjadi agenda rutin akademik setiap tahunnya, dan saya
cukup optimis untuk itu.
Disiplin ilmu sejarah sepatutnya memang bukan monopoli sejarawan. Sejarah bahkan
menjadi milik kita bersama. Maka pengembangan keilmuan sejarah menjadi
tanggungjawab kita semua. Terlebih masyarakat Banda Naira yang kaya sejarah dan
budaya.
Semoga kegiatan SEMNAS-BN 2018 ini bermanfaat bagi peserta yang hadir, dan bagi
masyarakat pada umumnya.

Banda Naira, Mei 2018

Dr. Usman Thalib, M.Hum

v
Sambutan
Ketua Panitia SEMNAS-BN 2018
Assalamu‘alaikum Wr.Wb.

Suatu kehormatan bagi saya atas kehadiran para tamu undangan,


para pemakalah nasional, dan peserta seminar dari berbagai
daerah pada Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN
2018).

Urgensi Seminar Nasional bertema Rempah dan Jaringan


Perdagangan Global ini terletak pada 3 hal utama; Pertama, upaya mengungkap
berbagai peristiwa global sebagai akibat dari penemuan jalur rempah dunia. Kedua,
menjadi pemicu gairah historiografi kolonialisme di Indonesia Timur secara maksimal,
dan Ketiga, menjadi sebuah aras dari kerja-kerja konkret bagi masyarakat peduli
sejarah dan budaya di tanah air, khususnya di banda naira. Artinya, seminar ini bukan
semata untuk kepentingan teoretik, tapi juga berorientasi pada langkah-langkah
konkret bagi program-program riil di masyarakat, khususnya dalam bidang sejarah,
budaya, transportasi laut, ekonomi, dan perdagangan.
Seminar Nasional ini diikuti oleh para ilmuan dari 10 perguruan tinggi di
Indonesia dengan berbagai latarbelakang pendidikan. Diawali dengan penyampaian
makalah oleh 3 ahli; sejarah, kebudayaan dan studi maritim, yang makalahnya dapat
dibaca pada lembar-lembar pertama buku prosiding ini. Kemudian 12 pemateri lainnya
mengisi diskusi parallel, dibagi dalam sub-sub tema prosiding.
Kegiatan Semnas-BN 2018, dan terbitnya prosiding ini tidak dapat terwujud
tanpa peran dan kerjasama banyak pihak. Untuk itu, saya ucapkan terimakasih kepada
para sponsor; Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah dan Pemerintah Kecamatan
Banda Naira, BI Cabang Maluku, BRI Cabang Ambon, dan Hotel Cilubintang Banda.
Juga kepada pribadi-pribadi yang peduli terhadap pendidikan Banda, yaitu; Bapak H.
Mansur, Bapak H. Iskandar, dan Bapak Rizal Bahalwan. Dan tentu saja kepada semua
yang turut mendukung yaitu; Yayasan Warisan dan Budaya Banda (YWBB), Sekolah
Tinggi Perikanan Hatta-Sjahrir, Ikatan Alumni Hatta-Sjahrir, LPPM STKIP-HS, dan
Media Online terasmaluku.com.
Semoga buku prosiding ini dapat bermanfaat bagi kemajuan khazanah ilmu-ilmu
sejarah, khususnya bagi peradaban masyarakat dan bangsa Indonesia.

Banda Naira, Mei 2018

Dr. Muhammad Farid

vi
Daftar Isi
KATA PENGANTAR iii
SAMBUTAN KETUA STKIP HATTA-SJAHRIR iv
SAMBUTAN KETUA PANITIA SEMNAS-BN 2018 v
DAFTAR ISI vi

KEYNOTE 1
Kontestasi, Dekonstruksi, dan Revitalisasi: Analisis Peran Orang Banda
Sebagai Aktor
Abdul Latif Bustami 1-21

KEYNOTE 2
Pala dan Islam dalam Jaringan Perdagangan Rempah di Banda Naira
Usman Thalib 23-36

KEYNOTE 3
Rempah dan Perkembangan Jaringan Laut Banda
Abd.Rahman Hamid 37-47

REMPAH DAN JARINGAN PERDAGANGAN LAUT

Pengaruh dan Implikasi Rempah Maluku terhadap Alam Pikiran Eropa


Abad XIV- XVII
Syahyunan Pora 49-57

Transportasi dan Pembangunan Ekonomi: Suatu Refleksi Kejayaan


Pulau Banda Dimasa Lalu menuju Masa Depan
Marcus Tukan & Khalid Latuconsina 59-63

Kejayaan Indonesia sebagai Negara Maritim dalam


Semangat Jalesveva Jayamahe
Bony Fasius 65-79

REMPAH DAN KOLONIALISME

Perdagangan dan Penjajahan: Pengaruh Komoditi Cengkeh Abad X-XVI


Mustafa Mansur 81-95

Penaklukan Banda Besar oleh VOC Pada Abad Ke XVII


Najirah Amsi & Deliya Aher 97-103

Genosida 1621: Jejak Berdarah VOC di Hindia Belanda


Muhammad Farid 105-113

vii
REMPAH DAN BUDAYA

Indonesia Mini di Timur: Kepulauan Banda sebagai Kawasan


Pembauran Sosio-Kultural dari Masa Kolonial hingga Pasca Kolonial
Bimasyah Sihite & Lestari Ginting 115-132

Persaudaraan di Persimpangan Jalur Rempah: Studi Kasus Upacara


Panas Pela Negeri Rohomoni
Mela Maulani 133-143

Aceh Timur dan Seuneubok Lada 1840- 1873


Halimatussa‟diah Simangunsong 145-157

REMPAH DAN INTEGRASI NASIONAL

Deklarasi Djuanda dan Hari Nusantara sebagai Peradaban Maritim


dan Sabuk NKRI
Najib Jauhari 159-170

Peran Kepulauan Lease dalam Perniagaan Rempah Masa Kolonial


Nur Lailiya Hartanti & Dina Stevany Emayasari 171-184

viii
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

KONTESTASI, DEKONSTRUKSI, DAN REVITALISASI:


Analisis Peran Orang Banda Sebagai Aktor

ABDUL LATIF BUSTAMI1

ABSTRAK
Kepulauan Banda memiliki lingkungan alam yang spesifik membentuk
kebudayaan orang Banda secara resprokal dan dinamis. Keberadaan orang Banda
sejak masa nirleka sampai dengan sekarang menunjukkan adanya kontestasi,
dekonstruksi, dan revitalisasi. Temuan arkeologis, sumber sejarah dari asing,
cerita tutur, dan mite menunjukkan pentingnya orang Banda sebagai aktor dalam
kebudayaan Banda. Nilai budaya Banda dijadikan pedoman praktikal dalam
interkasi dengan lingkungan luar sehingga terjadi Bandanisasi dalam setiap
perjumpaaan dengan budaya luar, berseteru dalam pilihan rasional yang fluktuatif,
perjuangan melawan penjajah yang destruktif dengan pengekalan melalui ritus
rofaer. Revitalisasi budaya Banda dilakukan untuk memajukan kebudayaan.
Obyek budaya Banda yang direvitalisasi meliputi tradisi lisan, manuskrip, adat
istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, bahasa, seni,
permainan rakyat, dan olahraga tradisional serta cagar budaya yang memiliki
fungsi sejarah dan identitas budaya Banda. Strategi reviltalisasi adalah
melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan budaya Banda, yang kemudian
telah menjelma Banda menjadi kawasan warisan budaya dunia yang sebenarnya.

Kata Kunci: Kontestasi, Dekonstruksi, Revitalitasi, Aktor

PENDAHULUAN
Kepulauan Banda memiliki potensi lingkungan alam yang mendukung
untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Kepulauan Banda dengan lingkungan
alam yang spesifik itu menghasilkan pala (myristica fragrans) terdiri dari fuli
(myristicae arillus ) dan daging buah pala (myristicae fructus cortex). Kawasan itu
selanjutnya tumbuh dan berkembang menjadi permukiman masyarakat penghasil
Pala. Relasi lingkungan alam dan masyarakat bersifat resiprokal, simbiosis
mutualis, dan dinamis sehingga menghasilkan kebudayaan Kepulauan Banda,
yang menjadi identitas orang Banda sebagai rujukan budaya dalam interaksi
sosial.

1
Dr. Abdul Latif Bustami, M.Si., adalah Keyote Speaker pada Seminar Nasional
Banda Naira 2018. Berpofesi sebagai Dosen Tetap Fakultas Ilmu Sosial (FIS) di
Universitas Negeri Malang. Dan sebagai Tim Ahli Penetapan warisan Budaya Takbenda
Indonesia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

1
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Banda berkembang mulai dari pala bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan


yang bersifat subsisten dan menjadi komersial diperdagangkan sebagai komoditi
melalui mekanisme pasar lokal, dan regional, dan ekspansi pasar melalui rute
pelayaran dan perdagangan internasional. Pala menjadi bagian industri dunia
sehingga mengintegrasikan Banda dalam kesatuan pasar dunia dengan logika
kapitalisme mondial berwajah santun (globalisasi). Internasionalisasi Banda itu
melalui jalur pelayaran yang berlangsung sejak sebelum masehi. Jalur pelayaran
dengan komoditi sutra dari China dan jalur rempah dari Maluku membentuk jalur
perdagangan permanen. Khusus, pala dikenal para pedagang berasal dari Banda,
maka Banda diidentikkan dengan pala sehingga jalur pelayaran dikenal dengan
jalur pala atau jalur Banda dengan sebutan een klein Europeesche Stad in Zuid-
Oost Azie (maket dari kota-kota Eropa yang dimiliki Asia Tenggara)2. Kedua jalur
pelayaran dan perdagangan dunia itu berujung di Laut Tengah yang selanjutnya
didistribusikan ke seluruh Eropa3. Rempah menjadi komoditi internasional
menentukan perkembangan sejarah dan kebudayaan Orang Banda. Rempah
berdampak ibarat blessing in disguise (kekayaan yang membawa rahmat dan
tragedi kemanusiaan).
Tulisan tentang Banda cenderung : (l) mengabaikan masa nirleka dan masa
alifuru yang menjadi dasar nilai budaya Banda dalam berinterkasi dengan agama
dan budaya luar, (2) focus pada Islamisasi Banda sehingga mengabaikan
Bandanisasi Islam karena orang Banda mengamalkan ajaran Islam dengan
konstruksi nilai budaya Banda; (3) dominan focus pada kapitalisme, imperialisme
dan kolonialisme yang destruktif, peliyanan (othering), komplek terjajah
mengalami dekonstruksi yang berujung tragedi kemanusian sehingga peran Orang
Banda sebagai aktor nyaris tak terdengar; dan (4) identitas Banda yang spesifik

2
Hanna, Willard A. 1983. Kepulauan Banda Kolonialisme dan Akibatnya di
Kepulauan Pala. Jakarta: Gramedia, hlm.3
3
J. C.van Leur. 1955. Indonesian Trade and Society. Essay in Asian Social Economic
History. Bandung: W.van Hoeve The Hague Ltd, hlm. 90.; D.G.E.Hal. 1981. A History of
South East Asia. London: Macmillan Asian History Series, hlm.301.D.H.Burger dan
Prajudi Atmosudirdjo. 1984. Sejarah Ekonomi Indonesia Ditinjau Dari Segi Sosiologi
Sampai Akhir Abad ke XII. Jakarta: Pradnya Paramita, hlm. 23

2
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

diintegrasikan sebagai bagian dari Maluku atau Maluku Tengah4; serta (5)
revitalisasi nilai budaya Banda selama fase dekonstruksi telah dilakukan melalui
perjungan dan pergerakan nasional, peran dalam kemerdekaan, dan peran dalam
pembangunan nasional. Orang Banda melakukan revitalisasi strategi perjuangan
untuk menegakkan otonomi diri dan kemerdekaan melalui ritual dan eskapisme
budaya. Ritual berfungsi untuk menguatkan memori dan memori kolektif Banda
tentang perjuangan dan mengintegrasikan masyarakat. Terjadilah eskapisme
budaya ke beberapa kawasan sehingga membentuk diaspora Banda. Masa
kemerdekaan, orang Banda berperan aktif sebagai aktor dalam penyebarluasan
proklamasi, revolusi nasional, kembali ke Negara kesatuan dengan mosi integral
Natsir, demokrasi parlementer, demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, orde baru,
orde reformasi sampai dengan sekarang.
Tulisan ini menjelaskan tentang peran orang Banda sebagi aktor budaya
dalam kontestasi, dekonstruksi, dan revitalisasi budaya Kepulauan Banda. Aktor
budaya yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, pemajuan kebudayaan,
dan peningkatan kesejehteraan masyarakat yang menjadi momentum sejarah.
Orang Banda yang berperan sebagai aktor budaya tidak bersifat elitis melainkan
berasal dari berbagai latarbelakang5. Kebudayaan Banda dipengaruhi oleh factor
internal dan eksternal dalam beberapa aspek. Proses pembentukan kebudayaan
merupakan proses yang tak pernah sudah karena bersifat dinamis.
Kebudayaan orang Banda pengertian pertama merujuk pada representasi
budaya Kepulauan Banda dan rekognisi atau pengakuan identitas orang Banda

4
Kritik terhadap tulisan yang mengabaikan identitas local periksa Abdul Latif
Bustami.’Konflik Maluku Jang PisahKatong’. Lapran Penelitian. Jakarta: Departmen
Kebudayaan dan Pariwisata; Abdul Latif Bustami. 2013. Sasi Kearifan Lokal Masyarakat
Maluku Tengah Mengelola Lingkungan. Jakarta;Direktorat Internalisasi Nilai dan
Diplomasi Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
5
Abdul Latif Bustami. 2014. Rofaer War (Ritual Purifikasi Sumur/Parigi) Di Desa
Lontor Banda Naira. Laporan Verifikasi Penetapan Warisan Budaya Takbenda Provinsi
Maluku. Jakarta: Direktorat Internalisasi dan Diplomasi Budaya Kemneterian Pendidikan
dan Kebudayaan. Rofaer War ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia
Tahun 2014. Abdul Latif Bustami, 2014. Tarian Cakalele Siamale Banda Naira. Laporan
Verifikasi Penetapan Warisan Budaya Takbenda Provinsi Maluku. Jakarta: Direktorat
Internalisasi dan Diplomasi Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tarian
Cakalele Siamale banda Naira ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia
tahun 2014 bersama Cakalele Maluku

3
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

yang mudah dikenal oleh orang lain dalam interaksi social. Representasi terkait
dengan relasi kuasa yang diperjuangkan, dan pengekalan melalui media
kebudayaan. Kebudayaan pengertian kedua, semua unsur budaya yang ada di
wilayah Kepulauan Banda. Pengertian pertama sebagai contoh adalah rofaer war
(ritual purifikasi sumur/parigi di Lonthor)6, orang kaya dalam organisasi social
dan tari cakalele siamale Banda Naira7 sedangkan pengertian kedua semua
ekspresi orang Banda terdiri atas ritual daur hidup, ritus memperingati peristiwa
alam, cerita rakyat, ungkapan tradisional, arsitektur, sistem pengobatan,
permainan rakyat, kuliner, senjata dan peralatan hidup, bahan pakaian dan
pakaian, seni, bahasa, organisasi sosial dan pengetahuan dan teknologi tradisional.
Khusus, diaspora Banda dalam konteks ini berada dalam pilhan rasional
yang eklektif berkiatan dengan rekognisi (pengakuan). Di daerah tujuan ekspresi
budaya Banda dengan identitas. Masyarakat setempat menyesuikan dengan
kebudayaan orang Bandan di Kampung Bandan. Orang Banda di kawasan itu
dalam berinteraksi dengan masyarakat lainnya menyesuaikan dengan kebudayaan
masyarakat lainnya.
Kebudayaan orang Banda menjelaskan sejarah orang Banda yang dinamis,
pasang surut, kadang tak seindah apa yang dibayangkan, apalagi direka bayang
kualitas pembangunan antara pulau yang sejaman dengan Pulau Rhun seperti
Manhattan yang dulu sebagai warga kelas dunia sesungguhnya bertolak belakang.
Kebudayaan pengertian kedua itu menunjukkan bahwa kebudayaan itu melewati
lintas jaman, menembus ruang dan waktu, bertahan sampai dengan sekarang
sebagai identitas. Kendati, dalam alam bawah sadar sebagian orang Banda mereka
bayang kehidupan masa lalu dalam romantika sejarah tak tersentuh.

6
Abdul Latif Bustami. 2014. Rofaer War (Ritual Purifikasi Sumur/Parigi) Di Desa
Lontor Banda Naira.Laporan Verifikasi Penetapan Warisan Budaya Takbenda Provinsi
Maluku. Jakarta: Direktorat Internalisasi dan Diplomasi Budaya Kemneterian Pendidikan
dan Kebudayaan.
7
Abdul Latif Bustami, 2014. Tarian Cakalele Siamale Banda Naira. Laporan
Verifikasi Penetapan Warisan Budaya Takbenda Provinsi Maluku. Jakarta: Direktorat
Internalisasi dan Diplomasi Budaya Kemneterian Pendidikan dan Kebudayaan. Tarian
Cakalele Siamale banda Naira ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia
tahun 2014 bersama Cakalele Maluku

4
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

DINAMIKA ORANG BANDA


Dinamika kebudayaan Kepulauan Banda berdasarkan peran orang Banda
dalam interaksi sosial dibagi menjadi 3 (tiga) periodesasi, yaitu kontestasi,
dekonstruksi, dan revitalisasi.

Kontestasi
Masa kontestasi, terjadi sejak terbentuknya masyarakat di Kepulauan Banda
berdasarkan hasil ekskavasi arkeologi di Pulau Ay yang dilakukan oleh Peter
V.Lape dan Daud A.Tanudirdjo, dkk,tahun 2007 yang menghasilan temuan: (l)
adanya permukiman masa neolitik awal dengan indicator gerabah dengan poles
warna merah sebagai salah satu ciri gerabah awal di Kepulauan Asia Tenggara
dan Pasifik Barat dihasilkan sejak lebih dari 3.500 tahun yang lalu,(2) pola hias
lingkaran kecil dengan paduan tera kerang pada pecahan gerabah itu merupakan
ciri khas dari gerabah Lapita yang berkembang di Melanesia dan Polinesia sekitar
3.300 hingga 2.500 tahun yang lalu yang diperkirakan benda ini berfungsi sebagai
pertukaran barang bermartabat; (3) temuan serpihan obsidian, alat batu lain, sisa
flora dan fauna tulang babi dan anjing menjadi petunjukkan orang banda telah
aktif dalam jaringan pertukaran di Indo-Pasifik dalam budaya lapita. Keterkaitan
komunitas budaya Orang Banda diperkirakan terjadi sejak tahun 4000 hingga
2500 tahun dengan budaya luas yang berkembang di Kepulauan Indo-Pasifik
(Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya dan bermatapencaharian bercocok tanam
dan beternak)8.
Kemudian, terbentuk masyarakat yang lebih teratur yang dikenal dengan
alifuru dengan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berpusat pada
arwah leluhur. Awal masa Organisasi sosial ini adalah siwalima (pengelompokan
masyarakat berdasarkan jumlah soa, yaitu 9 (sembilan) dan 5 (lima).
Pengelompokan sembilan disebut Patasiwa, sedangkan pengelompokan lima
disebut Patalima. Nilai budaya masyarakat yang terbentuk masa nirleka ini
dijadikan pedoman praktikal. Selanjutnya, pengelompokan ini mengalami
dinamika sesuai dengan wilayah dibawah rentang kendali kuasa Kasultanan

8
Des Alwi, 2010, Sejarah Banda Naira Edisi Revisi. Malang: Pustaka Bayan. hlm
374-381

5
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Ternate dan Tidore. Pada masa ini, Islam berkembang di Banda. Tome Pires
mengadakan lawatan antara tahun 1512-1515 di Banda, Hitu, Haruku, Bacan
dinyatakan sudah ada Muslim. Berita ini diperkuat oleh Antonio Galvao yang
menyatakan Islam telah ada sejak lima puluh tahun silam (sekitar 1465)9.
Islamisasi di Banda terjadi melalui beberapa jalur yaitu; jalur dakwah lewat para
penyebar Islam, seperti Sunan Giri, juga pendakwah dari Arab, dan India; jalur
perdagangan dari para saudagar Islam; dan jalur perkawinan. Prose Islamisasi
berlangsung dalam suasana dakwah yang mengajak bukan menghalau serta
mengapresiasi nilai budaya. Strategi dakwah itu memberi ruang untuk terjadinya
Bandanisasi Islam, artinya Islam sebagai isinyanya sedangkan bentuk disesuaikan
dengan nilai budaya Banda.
Pengelompokan Sembilan bertahan dengan sebutan Orang Sembilan atau
Orsiang, Ulisiwa. Pengelompokan lima juga bertahan dengan sebutan berbeda,
yaitu Orang Lima atau Orlim, Ulilima. Valentijn menginformasikan bahwa
kekuasan Ternate mengidentifikasikan dirinya menjadi Ulilima sedangkan
wilayah kekuasaan Tidore sebagai Ulisiwa (Alwi 2010: 8). Uli berasal dari ali,
ari, wari artinya saudara dan berulang-ulang. Pengertian berulang-ulang karena
Ulisiwa dan Ulilima memperhitungkan denda, harta mas kawin selalu berkali
sesuai dengan jumlah pengelompokan. Pada Ulilima selalu diulang-
ulang/diperhitungkan berkali 5 (lima) sedangkan Ulisiwa berkali 9 (sembilan).
Tiap-tiap desa di Banda Naira diketuai oleh Kepala Desa yang disebut
Orang Kaya atau Regent. Saat ini terdapat 7 desa yang meyakini pengelompokan
lima (lima) yang disebut Orang Lima (Orlima), Ulilima atau Patalima, sementara
Desa Lonthor meyakini sebagai kelompok sembilan atau Orsiang,Orsia. Ulisiwa10
(Alwi 2010:7). Kepala Adat disebut Orang Lima, Orang Lima Adat dan Orang
Lima Kora-Kora.Seluruh kampung adat mempunyai satu ketua Kepala Adat yang
disebut Orang Lima Besar.

9
Armando Cortesâo,The Suma Oriental of Tomê Pires,I, hl 312; Hubert
Th.M.Jacobs S.J. A Treatise on the Moluccas (c 1544) Probably the preliminary version of
Antonius Galvao last historia and Moluccas (Source and Studies for the History of the
Jesuits, III, edited from Portuguese manuscript in the Archivo General de Indie Sevilla,
Italy, 1970-1971, hl.83 dikutip Sutjipto, 1983: 61
10
Des Alwi. 2010. Sejarah Banda Naira Edisi Revisi. Malang: Pustaka Bayan, hlm.7

6
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Pengelompokan ini menentukan pranata sosial, yaitu ketua adat dibantu oleh
9 orang pada masyarakat Orsiang/Ulisiwa, dan 5 orang pada masyarakat
Orlim/Ulilima. Kedua masyarakat itu memiliki perangkat Kapitan
(bertanggungjawab terhadap masalah keamanan negeri dan ketertiban sosial) dan
Malesi (pembantu Kapitan).Tome Pires menyebutkan organisasi social dalam
sebuah kampong di Banda hanya ada kepala suku yang disebut cabiles dengan
pemerintahan dibantu oleh beberapa tua-tua kampung11.
Organisasi social yang teratur itu ditentukan oleh pembelajaran sebagai
dampak dari terintegrasinya banda ke dalam rute pelayaran dan perdagangan
lokal, regional, dan internasional. Pelayaran untuk memperdagangkan pala
menyebabkan tersedianya pelabuhan (port) yang selanjutnya dibentuk organisasi
social yang teratur (polity) oleh Wells dan Villers)12. Khusus, Banda dengan
menggunakan pemikiran Leong Saung-Heng berfungsi sebagai collecting centre,
feeder points, dan entrepôt13. Collecting centres adalah pelabuhan Banda
merupakan pelabuhan alam yang baik, tempat persinggahan yang dilengkapi
ketersediaan bahan pangan dan pasar lokal, tempat yang baik dengan memiliki
wilayah pedalaman penyuplai komoditi yang kaya, tempat perakitan barang-
barang yang berasal dari feeder poin serta berada dekat jalur pelayaran
internasional. Pelabuhan ini berfungsi sebagai pusat pengumpul, penerima
pasokan barang-barang dari feeder point, penampungan komoditi yang akan
diperdagangkan ke berbagai wilayah dan transitnya perdagangan dunia. Feeder
points adalah pelabuhan Banda berfungsi penyuplai komoditi yang akan
diperdagangkan dan tempat pemberi untuk menyiapkan bekal makanan selama
pelayaran. Entrepôt adalah pelabuhan Banda sebagai pelabuhan utama dan pintu

11
Armando Cortesâo,The Suma Oriental of Tomê Pires,I, hl 312; Hubert
Th.M.Jacobs S.J. A Treatise on the Moluccas (c 1544) Probably the preliminary version of
Antonius Galvao last historia and Moluccas (Source and Studies for the History of the
Jesuits, III, edited from Portuguese manuscript in the Archivo General de Indie Sevilla,
Italy, 1970-1971, hl.83 dikutip Uka Tjandrasasmita op cit hlm. 298
12
Kathirithimby-Wells dan John Villiers (eds.) 1990. The Southeast Asian Port and
Polity Rise and Denise.Singapore: National University of Singapore Press, hlm.xiv-xx
13
Leong Sau-Heng ‘Collecting centers, Feeder Points, and Entrepôt in The Malay
Peninsula c.1000 BC-1400 AD ‘ dalam Kathirithimby-Wells dan John Villiers (eds.) 1990.
The Southeast Asian Port and Polity Rise and Denise.Singapore: National University of
Singapore Press, hlm.17-38

7
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

gerbang yang berfungsi mendistribusikan komoditi dari bandar ke wilayah


sekitarnya, hinterland (perbukitan), dan pulau-pulau di sekitarnya. Pengaturan di
pelabuhan dipimpin oleh Shahbandar (kepala pelabuhan). Musim perdagangan
pala dan bunga pala di Banda antara bulan Januari dan April namun arus
pelayaran menyesuaikan arah angin. Pada abad ke-16 kepualauan Banda
diperkirakan menghasilkan sekitar 500-600 bahar bunga pala dan 7000 bahar buah
pala setiap tahunnya14.
Dampak dari intensitas pelayaran dan perdagangan itu melahirkan berbagai
permukiman Jawa, Bugis, Arab, Cina, dan asing lainnya15. Orang Banda menjadi
bagian penting dalam integrasi pasar dunia yang menentukan jumlah produksi dan
nilai pala (bahar)16. Hubungan Banda dengan orang Kei dinyatakan oleh Tome
Pires berlangsung sejak lama dalam hubungan dagang. Kei dan Aru memasok
dagangan ke pelabuhan Banda, yaitu sagu, emas, burung kakatua dan

14
Muridan Widjodjo. 2013. Pemberontakan Sultan Nuku Persekutuan Lintas
Budaya di Maluku – Papua Sekitar 1780-1810. Depok: Komunitas Bambu hl.23
15
Pembelian produksi setempat menyuruh anak buahnya untuk tetap tinggal di
Banda atau salah satu Bandar terdekat. Admiral Van der Hagen dari Oude Compagnie
tiba di Banda tanggal 9 Mei 1600 dengan kapal de Maen dan de Morgenatehre
menyebutkan bahwa Pangeran Tallo, seorang co-regent di Gowa mewakilkan kuasa
daganga di Banda dengan maskud memudahkan mendapat barang dagangan rempah-
rempag.sdangan sering
16
Bahar dari bahasa Sansekerta bahãra, beban, bobot, 1 bahar: 3 pikul=550 pon.
Bahar sebagai kesatuan berat untuk pala, bunga pala dan cengkeh yang akan ditukarkan
dengan kain dan barang dagangan lain. Menurut catatan tahun 1605 di Pulau Banda dua
ton beras dapat ditukarkan dengan empat sampai lima bahar pala. Berat bahar tidak
sama di beberapa kawasan.conntoh di Maluku 1 bahar=600 pon, bahar bantan-495
pon,bahar Malaka=530 pon-540 pon.J.A van der Chijs’ Devestiging van het Nederlandsch
gezag over Banda eilanden (1599-1521) hl.10n.2 dijelaskan bahwa kain Mori India
berwarna kunig muda, merah atau strip biru telah dipotong-potong masing-masing
panjang 4 vadem ( 1 vadem= 1 ½tel atau hasta =1,7 meter). Di Banda dapat ditukarkan
dengan pala sebanyaj menurut kualitas kain mori tersebut. Mori kualitas halus dengan
harga pembelian 7,8,9 atau 10 real (real=2,50 gulden atau rupiah Belanda) setiap corge
(kodi)= 20 potong di Banda dtiap 6 atau 8 potong dapat ditukarkan dengan 1 bahar pala.
Kain berkualitas sedang dengan harga pembelian 6/7 real setiap kodi, tiap 10-11 potong
dapat ditukarkan dengan 1 bahar paala, sedangkan kualitas kasar dengan harga
pembelian 5 real tiap kodi, tiap potong dapat ditukarkan dengan 30-35 atau 40 kati pala.
Kain sutra berwarna putih, hitam atau biru dengan harga pembelian 20 atau 25 real tiap
kodi, tiap 5 potong dapat ditukarkan dengan pala sebanyak 1 bahar.Tiap potong kain
sutra itu panjangnya 7-8 vadem (F.A.Sutjipto Tjiptoatmodjo. 1983. ‘Kota-Kota Pantai di
Sekitar Selat Madura Abad XVII Sampai Medio Abad XIX)’. Disertasi tidak
Dipublikasikan.Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, hlm,55-56

8
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

cenderawasih yang dikeringkan. Bahkan, orang Banda bukan tipe pedagang yang
menunggu komoditi di Banda melainkan aktif dalam perdagangan di luar Banda.
Di Maluku terdapat syahbandar yang khusus melayani kepentingan orang
Banda17.
Orang Banda memiliki cerita tutur mengenai ramalan bahwa suatu ketika
Banda akan dikuasai oleh pasukan asing berambut pirang, berkulit terang, berbaju
perang lengkap yang akan menaklukkan Banda. Orang Banda memilki mite
tentang makna tanda-tanda alam dengan peristiwa yang terjadi. Letusan gunung
berapi dan abu panas dri gunung merupakan pesan yang tidak baik. Pada tahun
1609, sebagian besar masyarakat menyadari tentang kebenaran cerita dan tanda-
tanda alam berupa abu panas dari Gunung berapi yang dijadikan pembenaran
penaklukan oleh Belanda. Legitimasi kultural itu menjadi tuna makna karena
menginjak marwah orang Banda dengan menjadikan mereka pekerja kasar
membangun benteng yang berujung pembunuhan seorang komandan Belanda.
Nilai budaya Banda itu menjadi otonomi diri sebagai marwah dalam
beriteraksi dengan orang luar dalam perdagangan pala. Nilai budaya itu
berdampak pada akulturasi budaya. Orang Banda menikmati hasil perdagangan
pala secara otonom18, tegaknya marwah19, dan sejahtera20.

17
Berita pada masa itu dinyatakan bahwa sauh kapalnya hanya dibuat dari kayu
dan sebagian besar dari awak kapal terdiri dari budak-budak sehingga tidak bisa
bertahan lama terhadap saingan pelayaran orang-orang dari luar Banda.Periksa Meilink-
Roelofsz M.A.P. 1962 Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago
between 1500-and about1630. The Hgue: Martinus Nijhoff, hlm96,352 catatan 60
18
Bulan Maret 1599 harga 1 bahar pala adalah 6 real, 1 bahar bunga pala= 60
real, 1 bahar cengkeh=45 real, tetapi 3 ½ bulan kemudian pada bulan Juli 15999 harga
naik 1 bahar pala= 9 real, 1 bahar bunga pala=85 real; 1 bahar cengkeh=55 real.
Perbandingan harga pala, bunga pala dan cengkih= 6;60;45 (2;20;15), maka dalam bulan
Juli perbandingan telah berubah 9:95:55; Harga bunga pala menanjak sedangkan
cengkeh menurun( F.A.Sutjipto Tjiptoatmodjo. 1983. ‘Kota-Kota Pantai di Sekitar Selat
Madura Abad XVII Sampai Medio Abad XIX)’. Disertasi Tidak Dipublikasikan.Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada, hlm,56-57
19
Berita dari Duarte Borbosa. Orang Banda lebih suka membuang palanya
daripada menjualnya dengan harga rendah.Mereka pernah membkar pala untuk
mempertahankan nilai yang lebih dari yang ditetapkan. Kompeni melakukan ekspedisi
ekstirpasi (hongi) membatasi pohn rempah-rempah supaya tidak lolos dari
pengawasannya dan dijual keluar sehingga menurunkan harga.Ekspedisi hongi
dihapuskan tahun 1824 oleh Van der Capellen
20
Pedagang Jawa membawa beras ke Banda sebanyak 12x 120.000
pon=1.440.000 atau 720 ton.Sensus penduduk Pulau Banda tahun 1628 berjumlah

9
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Dekonstruksi
Pala, fuli, dan rempah-rempah lainnya itu menentukan sejarah dunia. Aroma
rempah-rempah sebagai komoditi dunia menentukan perkembangan masyarakat
Banda dengan istilah madu dan racun, antara berkah dan bencana. Hasil interaksi
dengan pedagang dari berbagai latarbelakang itu menimbulkan proses belajar
budaya (akulturasi budaya), masuk dan berkembangnya agama, ilmu dan ilmu
pengetahuan (kartografi,transportasi laut, kelautan dengan discovery dan
invention), dan penguasaan kawasan dengan akumulasi modal (imperialisme,
kolonialisme/ kapitalisme). Raja Spanyol, Portugis, dan Inggris berlomba
mengembangkan ilmu dan ilmu pengetahuan untuk memudahkan menguasai
kawasan produsen rempah-rempah.
Masa dekonstruksi terjadi sejak penguasaan pala yang berdampak pada
tragedi kemanusiaan. Semua kekuatan politik dunia bersaing untuk mendapatkan
kuasa mengontrol semua aktifitas pelayaran dan perdagangan rempah-rempah.
Penaklukan yang diawali dengan perjanjian damai dan saling menguntungkan
sampai dengan yang tersirat untuk menyerahkan kekuasaan secara sepihak,
penaklukan dengan strategi membangun aliansi, sekutu dan seteru yang fluktuatif
sesuai dengan situasi dan kondisi. Kemudian, Sang penguasa melakukan
pembunuhan terhadaporang Banda yang tidak sejalan dengan kepentingan pemilik
modal, pengusiran orang Banda, semua didominasi oleh penjajah, nilai budaya
Banda menjadi terjajah sehingga semua berorientasi pada Eropa, dan hilangnya
otonomi diri orang Banda, kontrol perdagangan dengan penebangan pohon pala
atau pembumihangusan, tukar guling sampai dengan tukar pulau, dan pecah belah

15.000 jiwa.dengan asumsi 2/3 penduduk makan nasi selebihnya makan sagu dan setiap
orang membutuhkan 12 pon maka tiap bulan membutuhkan 120.000 pon.Jika tahun
1600 penduduk Banda sebanyak 13 ribu maka setiap tahun dibutuhkan 624 ton
beras.Beras itu ditukar dengan rempah-rempah. Di Banda tahun 1603, 2 ton beras dapat
ditukarkan dengan 4 atau 5 bahar pala. G.P Rouffaer De Batikkunst,I, lamp.iii,hl,xii.
Menurut J.C van Leur Indonesian Trade and Society, hlm305 no55), 624 ton beras itu
harus ditukar dengan (624;2)X 4 atau 5 bahar ppala=1248 atau 1560 bahar pala ( 1 bahar
Banda=525 pon).Pedaganga Jawa membangun perkampungan di ujung selatan Pulau
Neira di dekat empat yang kemudian didiirkan banteng Nassau oleh Kompeni. Jumlah
penduduk Jawa di Banda tahun 1609 sebanyak 1500 jiwa ( der Chijs hl. 38; van Leur
hl.108) dikutip Sutjipto 1983 ibid hlm 60.Tome Pires dikutip Muridan Widjodjo op cit
hlm. 23

10
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

untuk menguasai masyarakat. Sejarah penguasaan Kepulauan Banda berdampak


pada dekonstruksi budaya Banda.
Penaklukan Banda diawali dengan berbagai ekspedisi mencari kawasan
rempah-rempah Maluku. Awal kehadiran orang Eropa di Banda yang tercatat
sejarah adalah Serrao tahun 1512. Yang mendapatkan pala dan bunga pala dengan
cara memperdangakan secara barter dengan kain. Pala dan bunga pala
diperdagangkan ke pasar Lisbon,Portugis menikmati keuntungan paling sedikit
1000 %. Raja Spanyol mengutus Fernao Magelahes meninggalkan Seirle pada
tanggal 10 Agustus 1519.Tiga buah kapal dipimpin oleh Louis de Mendoza, Juan
de Cartagena dan Gaspar de Quesada berontak. Magelhaes terbunuh di Mactan
tanggal 22 April 1527 dan diteruskan oleh Duarte Borbosa yang juga dibunuh.
Carvalhinho dan Goncalo Gomes tiba di Tidore, pada 8 Nopember 1521. Antonio
de Brito mendirikan Benteng Saint John di Ternate atas ijin Kaitjil Darus yang
bertindak mewakili raja yang masih di bawah umur bernama Boleife tahun 1522.
Permusuhan terjadi saat antara Portugis dan Tidore saat de Brito mendengar
kedatangan jung-jung dari Banda yang hendak membeli cengkeh. Ia mengirim
galai21 yang dibantu oleh Ternate untuk menghadang dan menghancurkan jung
itu. Galai itu tenggelam di dekat Tidore dan sebanyak 16-17 orang Portugis
dipenggal kepalanya sehingga terjadi perang Portugis dan Tidore22.Tidore
mendapatkan bantuan dari orang Spanyol yang datang dari Amerika Selatan.
Perang itu menjadikan sekutu antara Tidore dengan Sanyol sedangkan Portugis
dibantu oleh Ternate.
Tahun 1529, Dom Jonge de Meneses dengan sekutu-sekutunya Ternate dan
Bacan mengalahkan Tidore dan orang Spanyol (Kastilia). Dom Jonge de Meneses
dan Goncalo Pereira dibunuh karena memaksa orang Ternate menyetor 1/3 hasil
cengkeh ke raja Portugis. Portugis diusir dari Ternate terutama saat sikap Tristoa
de Altaida yang kasar terhadap penduduk ternate sehingga menimbulkan
pemberontakan. Benteng Portugis dibakar dan Raja Ternate memobilisasi Maluku

21
galai berasal dari bahasa Inggris untuk menyatakan kapal yang digerakkan oleh
pendayung dalam jumlah besar
22
Jacobs,1970 A Treatise on the Moluccos, hl.201, 203 dikutip oleh
Tjandrasasmita eds. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III. Jakarta:Balai Pustaka hl. 39;
Muridan Widjodjo. 2013. Pemberontakan Nuku Persekutuan Lintas Budaya di Maluku
Papua Sekitar 1780-1810. Depok: Komunitas Bambu, hl. 22-27.

11
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

dan Irian mengusir Portugis23. Kapten Garcia tahun 1529 berdagang di Banda
berencana membangun benteng di Neira tetapi tidak berhasil karena ditentang
orang Banda.Portugis mengandalkan pedagang regional yang membawa rempah-
rempah ke Ternate dan Tidore.
Kemudian, Antonio Galvao berusaha menaklukkan Maluku tahun tanggal
27 Oktober 1556 dengan perjuangan rakyat mengalami kendala. Portugis dan
Spanyol bersatu dibawah Raja Felipe II, tanggal 15 Nopember 1582 mengalami
kegagalan. Kegagalan itu dipicu oleh kehadiran Belanda yang dipimpin oleh
Jacob van Heemskerk, dengan kapal Geldria membawa 200 pedagang, prajurit
dan pelaut tiba tanggal 15 Maret 1599. Kapal itu bagian dari armada Belanda
dibawah komando Laksamana Jacob van Neck. Heemskerk berhasil mendapat
kepercayaan orang Banda sehigga berhasil mendirikan permukiman, gudang
menyimpan rempah-rempah, serta menempatkan 22 orang Belanda yang
ditinggalkan di banda untuk mengumpulkan rempah-rempah. Belanda terlibat
perselisihan di Banda disebabkan masalah wanita, agama, dan senjata24.
Kehadiran Inggris dengan tujuh kapal di bawah komandan Kapten James
Lancaster tahun 1601 dan mendirikan pos perdagangan serta menetap di Pulau
Run, Pada tahun 1602. Laksamana Belanda Wolfert Hermansz menekan orang
Banda agar memberikan hak ekslusif pala dan bunga pala hanya kepada Belanda.
Dalam sebuah kontrak yang tidak dapat dibatalkan, tanggal 2 Mei 1602 yang
selanjutnya hanya 10 orang Belanda tinggal di Banda sehingga dalam jangka
waktu tiga tahun senyap25.
Kemudian, Steven van der Haghen tanggal 23 Februari 1605 dengan armada
berkekuatan 13 kapal, 1500 personil berhasil merebut benteng Portugis di
Amboina dan berlayar ke Banda. Cornelis Bastians merebut benteng Tidore yang
kemudian jatuh kembali ke Tidore atas bantuan Spanyol tahun 1606 dipimpin
oleh Acuna. Dampak dari penaklukan Maluku antara Portugis, Spanyol, dan
Belan,da adalah dekonstruksi kekuasaan raja dan permasalahan larangan pindah

23
Seluruh Maluku berjuang untuk mengusir Portugis. Sebuah kapal besar
(brizantine)Portugis dirampas dan Balthasar Vogado dan anak buahnya dibunuh serta
meebut beberapa kalulues (semacam sampan)
24
Hanna dikutip Muridan Widjodjo op cit hlm. 24
25
Van der Chijs De vestiging het Nederlandsche gezag, hl.18-20 Valentijn Oud en
Nieuw Oost-Indië, I hl.91 dikutip Muridan Widjodjo loc cit hl.24

12
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

agama ke Kristen dan semua orang Kristen yang pindah agama harus dilaporkan
kepada Spanyol26 .
Pada April tahun 1609, Laksamana Pieter Willems Verhoeff berlayar ke
Banda dengan 15 kapal, mengangkut 1000 pelaut dan prajurit dan sejumlah
tentara bayaran Jepang. Belanda memaksa orangkaya Lonthor untuk menjual pala
kepada Belanda dengan harga rendah dari yang ditawarkan ke Inggris. Belanda
memanfaatkan mite tentang ramalan dalam cerita tutur yang dipercaya masyarakat
dan kepercayaan tentang Gunung Api yang mengeuarkan abu panas sebagai
legitimasi kultural penaklukan Banda dengan mendirikan benteng Nassau di Pulau
Neira. Belanda gagal menyulut amarah orang Banda karena dipaksa menjadi kuli
untuk membangun benteng itu. Akibatnya adalah Laksamana Verhoeff bersama
33 orang rekannya dibunuh orang Banda.
Laksamana Simon Jansz Hoen mengirimkan ekspedisi balas dendam
memblokade Banda yang berhasil memaksa orangkaya menandatangani kontrak
tanggal 13 Agustus 1609 untuk mensahkan monopoli rempah-rempah oleh
Belanda. Orang Banda melakukan strategi politik dengan menjual rempah-rempah
ke Inggris di Pulau Ai dan Run selanjutnya diperdagangkan dengan sebuah
armada pinnace27 dan kapal carter ke Makassar atau Banten. Kapten Inggris
William Keeling tiba bulan Februari 1609 dengan kapalnya Hector mengawasi
orang Belanda secara diam-diam di beberapa pelabuhan.
Inggris dan Belanda kemudian mengakhiri persaiangan melalalui traktat
London tanggal 17 Juli 1969. Namun traktat ini dilanggar oleh Belanda yaitu saat
Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, tanggal 1 Januari 1621. Pada tanggal 21
Februari 1621, JP Coen tiba di Benteng Nassau dengan sebuah armada
berkekuatan 13 kapal besar, tiga yacht, 36 kapal kecil, 1655 orang Eropa (150
meninggal karena sakit dalam pelayaran), tambahan 250 garnisun Banda, 286
orang hukuman Jawa bertugas sebagai pendayung dan 100 tentara bayaran Jepang
dengan tujuan menginvasi Banda dan menghukum penduduknya. Hasilnya, Orang
Lonthor dibantai, desa dibumihanguskan sehingga 883 penduduk (287 pria dan

26
Uka Tjandrasasmita, eds. 1984 op cit hl, 62
27
pinnace dari bahasa Perancis, kapal kecil, ringan, bergeladak dua, memuat 20
ton, bertiang layar dua dan menggunakan tali temali kapal seperti schooner, sering
digunakan sebagai kapal komunikasi, pengintai. Muridan Widjodjo op cit hlm. xxxi

13
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

156 wanita, 240 anak-anak yang 176 di antaranya meninggal di atas kapal)
dikiirm ke Batavia untuk dijual sebagai budak.Sebagian lari ke Seram, Kei, Aru
dan lari ke atas gunung (meninggal karena cuaca, kelaparan, dan penyakit).
Penduduk yang selamat diperkirakan hanya 1000 orang dari 15000 jiwa. Para
pemimpin terkemuka Banda yaitu 44 orangkaya ditahan, dirantai dan di penjara di
atas kapal komando Coen untuk menunggu eksekusi. Prajurit Jepang
diperintahkan untuk memenggal kepala orangkaya tanggal 13 Mei 1621
sebagaimana yang diberitakan oleh letnan angkatan laut Belanda, Nicolas van
Waert. Mereka semua mati tanpa sempat mengatakan apapun kecuali satu orang
yang berkata: Myn Heeren, en isser dan geen genade‘ (Apakah tuan-tuan tidak
punya rasa kasihan?)28. Coen mendapatkan teguran dari Heren Seventien tetapi
mendapatkan ucapan terima kasih sebesar 3000 gulden karena berhasil
menaklukkan Banda. Jumlah penduduk pasca tragedi itu hanya tingggal 560 jiwa
jika dibandingkan dengan 539 orang Belanda dan 834 orang asing bebas. Wilayah
Banda kemudian dibagi menjadi 68 perken (kebun atau taman) diperuntukkan
bagi 34 sampai 68 perkenier. Setiap perk mempekerjakan 25 budak sehingga
secara total ada 1900 budak. Banda pasca tragedi sepenuhnya berada dalam
kontrol VOC.
Hubungan antarsukubangsa anatar Banda dan Kei sangat bermanfaat saat
JP. Coen memusnahkan banda tahun 1621 dan mengisinya dengan penduduk
kompeni. Maka penduduk banda kemudian mencari tempat suaka ke pulau-pulau
Kei sampai dengan sekarang dengan mempertahankan budaya Banda.
Di samping itu, orang Banda yang tersisa melakukan ritual Rofaer War29
yang dilakukan secara berulang-ulang setiap 7 (tujuh) tahun sekali. Pelaksanaan 7
(tujuh) tahun berkaitan dengan pengangkatan jenazah pejuang Banda sebanyak 33
orang yang dibantai oleh JP Coen dan mayatnya dibuang ke dalam sumur/parigi
itu dan baru 7 (tujuh) tahun kemudian, tahun 1628 jenazahnya diangkat dan
dikebumikan sebagaimana layaknya penghormatan terhadap orang yang

28
Lucas Kiers’Coen op Banda de qonqueste getoetst ssm hrt recht van den tijd hl.
236 dikuti Muridan Widjodjo ibid hlm. 39
29
Dalam bahasa setempat secara etimologis rofaer adalah pembersihan,
penyucian dan war adalah sumur/parigi. Rofaer War adalah ritual penyucian
sumur/parigi yang dilakukan dalam interval waktu tertentu.

14
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

meninggal. Jenazah itu harus diambil dengan menggunakan kain kafan sepanjang
99 meter sekaligus untuk mencuci sumur30. Musibah meninggalnya 33 orang
penggali sumur itu berhubungan dengan pembantaian 33 orang dan ribuan orang
Banda oleh JP.Coen pada tahun 1621. Mayat ke-33 orang itu dibuang ke sumur
sehingga sumur itu dikenal dengan De Poet Van Coen. Masyarakat Banda Naira
mengabadikan dengan Peristiwa Parigi Pantai.
Ritual ini dilakukan prosesi yang dilanjutkan dengan mencuci kain gajah
yang telah dipakai untuk mencuci sumur di laut lepas. Nalar budaya itu
menjelaskan bahwa segala kotoran, musibah, kejelekan telah dibuang dan
dihanyutkan ke laut. Pertimbangan biaya yang relatif besar maka saat ini rofaer
war saat ini dilaksanakan setiap 10 tahun sekali. Rofaer war dilakukan dengan
ritual buka negeri yang dipusatkan di kawasan sumur. Sumur ini berbentuk
sebuah bejana berhubungan yang bersifat alami, dengan sumber air (mata air)
yang terdapat pada salah satu bejana tadi dan yang disebut keeleliang. Sumur itu
terdiri atas 2 (dua) buah yang berdampingan namun dasar kedua sumur itu
dipercaya saling berhubungan. Kondisi kedua sumur itu berbeda, sumur yang satu
airnya untuk pemenuhan kebutuhan air minum sedangkan sumur yang kedua
untuk nyuci pakaian karena airnya payau. Letak sumur itu di atas 300 dpl (di atas
permukaan laut) tetapi kedalamnnya sumur hanya 4 meter. Realitas itu
menyebabkan tumbuh dan berkembangnya keyakinan di luar nalar budaya
masyarakat sehingga dinyatakan sakral. Di samping itu, letak sumur itu di sebuah
lereng gunung dianggap memiliki kekuatan-kekuatan gaib yang bersifat sacral
magis.
Ritual ini dihadiri oleh semua warga di sekitar parigi/sumur yang diakhiri
dengan pembacaan kapata oleh keturunan Kaki yai dan doa yang dipimpin oleh
tokoh agama Islam. Kemudian, ritual dilanjutkan dengan makan bersama dan
tarian adat cakalele.
Pelaksanaan upacara ini dilakukan dalam lima tahap yaitu pertama
ramtedadat (membuka kampong adat), tahap kedua roantar kain gajah (iringan
kain tanpa sambungan selebar 1 meter dengan panjanga 99 depa (+ 100 meter)
yang disebut kain gajah), tahap ketiga Jiudatak keeleliang (membersihkan sumur),

30
Des Alwi, 2010 op cit hlm 16

15
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

tahap keempat Jiudatak Kain Gajah (membersihkan kain gajah), tahap kelima
Rakota Kain Adat (akhiri kegiatan adat). Setelah itu baru dilakukan cuci perigi
dengan sebuah upacara adat.
Proses pembersihan diawali dengan purifikasi diri, membersihkan secara
nyata dan simbolis kotoran di sekitar sumur. Purifikasi diri dan lingkungan
merupakan penyebaran aura suci ke lingkungan. Penyucian diri dari perbuatan
menyimpang baik dilakukan secara nyata maupun kasat mata merupakan syarat
peserta ritual rofaer war.
Kepercayaan masyarakat desa bahwa jika upacara ini tidak dilaksanakan
maka desa akan mendapat kesialan atau musibah yang akan menghancurkan
bahkan memakan korban nyawa. Bagi masyarakat Banda upacara ini dilakukan
juga untuk melakukan silaturahmi terhadap keluarga maupun garis keturunan
yang ketika terjadi peperangan dengan Belanda mereka melarikan diri dan
menetap di pulau lain. Fungsi ritual ini adalah sebagai penguatan identitas budaya
Banda, pusat solidaritas dan integrasi social, penguatan memori kolektif
perjuangan orang Banda,kearifan ekologis, mitigasi bencana31.
Perkembangan selanjutnya adalah pentingnya Residen Banda. Surat pejabat
Gubernur bertanggal 8 september 1849 No.525, kepada Residen Banda mengenai
12 orang asal Asilulu yang mendapat ijin berdagang selama satu bulan di Wahay,
tetapi kemudian melanjutkan perjalanan ke pelbagai tempat fi wilyah Residen
Banda32. Administrasi pemerintah di Maluku dibagi tiga. Pertama, Gouvernement
der Molukken dengan pusat di Ternate. Masa VOC Molukken mencakup hanya
Maluku Utara. Kedua, Gouvernement van Amboina yang berpusat di Ambon
dengan jangkauan seluruh Maluku Tengah. Ketiga, Gouvernement van Banda
yang berpusat di Banda Neira yang mencakup Maluku Tenggara dan Maluku
Barat Daya. Ketiga pembagian itu bertahan sampai dengan 1817 karena disatukan
menjadi Gouvernement der Molukken termasuk Sulawesi dan Irian yang berpusat
di Ambon. Sistem ini berkembang antara tahun 1864-1865 terjadi reorgaisasi,
yaitu Residensi Manado tahun 1864 (Sulawesi Utara) dan Residensi Ternate tahun

31
Proses ritual ini periksa Abdul Latif Bustami op cit hlm 1-3
32
Leirissa, R.Z,dkk. 1982. Maluku Tengah di Masa Lampau Gambaran Sekilas
Lewat Arsip Abad Semiblan Belas, Penerbitan Sumber-Sumber Sejarah No,13. Jakarta:
Arsip Nasional Republik Indonesia,hlm.161

16
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

1865 (Maluku Utara), dan Residensi Amboina yang menyatukan Maluku Tengah,
Maluku Maluku Tenggara dan Maluku Tenggara Barat Barat Daya dengan
pusatnya di Ambon33.
Orang Banda memperjuangkan kemerdekaan dalam pemenuhan kebutuhan
melawan penaklukan dengan nilai budaya Banda. Perjuangan itu berdampak pada
kehidupan Banda, di antaranya adalah diaspora Banda. Fase revitalisasi dilakukan
mulai masa perjuangan dan pergerakan nasional, serta kemerdekaan sebagai
perbaikan proses dan hasil menuju kehidupan yang lebih baik.

Revitalisasi
Revitalisasi telah diterapkan oleh orang Banda sepanjang sejarahnya dengan
proses belajar dari interkasi sosial. Nilai budaya Banda dijadikan rujukan dalam
revitalisasi. Kemerdekaan Indonesia memberikan legitimasi ideologis,
konstitusonal dan operasional. Revitalisi merujuk pada Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Undang-Undnag Nomor 5 Tahun 2017
tentang Pemajuan Kebudayaaan.
Khusus, warisan budaya takbenda mengacu pada Konvensi UNESCO 2003
mengenai Warisan Budaya Takbenda (WBTB) menyebutkan bahwa warisan
budaya takbenda mengandung arti berbagai praktik, representasi, ekspresi,
pengetahuan, ketrampilan yang diakui oleh berbagai komunitas, kelompok, dan
dalam beberapa hal tertentu, perorangan sebagai warisan budaya mereka. WBTB
yang dimaksud itu telah diklasifikasikan menjadi 5 (lima), yaitu (l) tradisi dan
ekspresi lisan termasuk bahasa sebagai wahana warisan budayatakbenda, cerita
rakyat, naskah kuno, permainan tradisional; (2) seni pertunjukan termasuk seni
visual, seni teater, seni suara, seni tari, musik, film; (3) adat istiadat masyarakat,
ritus dan perayaan-perayaan, sistem ekonomi tradisional, sistem organisasi sosial,
upacara tradisional; (4) pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan
semesta termasuk pengetahuan tradisional, kearifan lokal, pengobatan tradisional,
dan (5) kemahiran kerajinan tradisional termasuk seni lukis, seni pahat/ukir,
arsitektur tradisional, pakaian tradisional, asesoris tradisional, makanan/minuman
tradisional, moda transportasi tradisional

33
Leirissa ,R.Z, dkk, ibid hlm. x-xi

17
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Substansi WBTB adalah: (l) merupakan identitas budaya dari satu atau lebih
Komunitas Budaya; (2) memiliki nilai-nilai budaya yang dapat meningkatkan
kesadaran akan jatidiri dan persatuan bangsa; (3) Memiliki kekhasan/
keunikan/kelangkaan dari suatu suku bangsa yang memperkuat jatidiri bangsa
Indonesia dan merupakan bagian dari komunitas; (4) Merupakan living tradition
dan memory collective yang berkaitan dengan pelestarian alam, lingkungan, dan
berguna bagi manusia dan kehidupan; (5) WBTB yang memberikan dampak
sosial ekonomi, dan budaya (multiplier effect); Mendesak untuk dilestarikan
(unsur/karya budaya dan pelaku) karena perisitwa alam, bencana alam, krisis
sosial, krisis politik, dan krisis ekonomi; (7) Menjadi sarana untuk pembangunan
yang berkelanjutan; menjadi penjamin untuk sustainable development; (8) Yang
keberadaannya terancam punah; (9) WBTB diprioritaskan di wilayah perbatasan
dengan negara lain atau rentan terhadap klaim WBTB oleh Negara lain.; (10)
Sudah diwariskan dari lebih dari satu generasi, Dimiliki seluas komunitas tertentu,
(11) Tidak bertentangan dengan HAM dan konvensi-konvensi yang ada di dunia,
dan Mendukung keberagaman budaya dan lingkungan alam.
Oleh karena, WBTB itu cenderung didominasi oleh budaya lisan sehingga
proses pewarisannya dilakukan secara bertutur. Dengan sendirinya keberadaan
WBTB cenderung mengalami distorsi, amnesia yang berujung pada memudarnya
WBTB. Sementara intensitas interaksi antarmanusia yang semakin intensif
melalui mekanisme, integrasi dan ekspansi pasar dalam jejaring kapitalisme
mondial menyebabkan terjadinya hibridisasi yang cenderung mengabaikan
orisinalitas WBTB. Walupun proses hibridisasi itu sebenarnya menimbulkan
varian WBTB, di sisi lain, perisitiwa alam dan bencana alam yang terjadi
berdampak pada banyaknya maestro pendukung WBTB yang menjadi korban
sehingga proses pewarisan itu menjadi terputus. Ujung dari realitas itu adalah
terancamnya eksistensi WBTB dan terputusnya regenerasi budaya. Realitas itu
terjadi di seluruh dunia yang secara evolutif tidak memberikan ruang
berkebudayaan bagi WBTB.
Realitas itu menjadi keperihatinan kolektif yang terjadi di seluruh dunia
sehingga secara berkelanjutan menjadi gerakan internasional. Salah satu gerakan

18
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

yang mencerahkan adalah dilaksanakannya Konvensi UNESCO 2003 yang isinya


gerakan untuk melindungi WBTB34 .
Indonesia telah melakukan pelindungan WBTB jauh sebelum Konvensi
UNESCO dengan melaksanakan salah satunya pencatatan.35 Secara kelembagaan
pencatatan itu secara berurutan berada di Direktorat Jenderal Kebudayaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Direktorat Jenderal Nilai Budaya
Seni dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan saat ini Direktorat
Warisan dan Diplomasi Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan36.

KESIMPULAN
Kepulauan Banda memiliki lingkungan alam yang spesifik membentuk
kebudayaan orang Banda secara resprokal dan dinamis. Keberadaan orang Banda
sejak masa nirleka sampai dengan sekarang menunjukkan adanya kontetasi,
dekonstruksi, dan revitalisasi. Temuan arkeologis, sumber sejarah dari asing,
cerita tutur, dan mite menunjukkan pentingnya orang Banda sebagai aktor dalam
kebudayaan Banda. Nilai budaya Banda dijaidkan pedoman praktikal dalam
interkasi dengan lingkungan luar sehingga terjadi dalam setiap perjumpaaan
dengan biudaya luar yang terjadi adalah Bandanisasi, Sekutu dan seteru yang
fluktuatif berada dalam pilihan rasional, perjuangan melawan penjajah yang

34
Negara yang yang telah meratifikasi Konvensi Warisan Budaya Takbenda
sebanyak 116 negara termasuk Indonesia34 telah berkomitmen untuk melindungi
dengan melakukan upaya pelindungan,pengembangan dan pemanfaatan. Salah satu
upaya praktis adalah mengidentifikasi dan menentukan berbagai elemen warisan
budaya yang berada di wilayahnya dalam satu atau lebih inventori
35
Masa kerajaan di Nusantara telah melakukan pencatatan sebagaimana yang
dinyatakan dalam beberapa naskah babad, hikayat, kabanti, pantun,gurindam, suluk,
syair, kidung, seni pertunjukan, petuah, pamali, ritual, ungkapan yang sarat nilai budaya
adiluhung. Pencatatan itu berlanjut pada masa kolonial dengan tujuan utama
pengekalan kepentingan kolonial. Pada masa kemerdekaan pencatatan dilanjutkan
dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Pada tahun 1976, pencatatan WBTB
dilaksanakan melalui proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah (IDKD).
Selanjutnya, kegiatam itu berganti nama tetapi substansinya sama yaitu Sistem
Informasi Kebudayaan Terpadu (SIKT) dan Peta Budaya.
36
Proses penetapan itu melalui tahapan-tahapan sebagaimana yang telah
ditentukan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 106 Tahun
2013 tentang Penetapan Warisan Budayatakbenda dan Keputusan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan No.238 Tahun 2013 tentang Warisan Budayatakbenda Indonesia

19
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

destruktif dengan pengekalan melalui ritus roafer. Pala dan fuli menjadi rhamt,
berkah sekaligus menimbulkan tragedy kemanusiaan. Revitalisasi budaya Banda
dilakukan untuk memajukan kebudayaan. Obyek budaya Banda yang direvitalisasi
meliputi tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional,
teknologi tradisional, bahasa, seni, permainan rakyat, dan olahraga tradisional
serta cagar budaya yang memiliki fungsi sejarah dan identitas budaya Banda.
Strategi reviltalisasi adalah melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan
budaya Banda, untuk menjadi kawasan revitalisasi warisan budaya dunia yang
sebenarnya.Upaya kongkrit ini menunjukkan Negara hadir dan berperan positif,
sekalipun dinamika masyarakat masih terus mempertanyakan, ‗Dimanakah peran
Negara?!‘

20
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Des. 2010. Sejarah Banda Naira Edisi Revisi. Malang: Pustaka Bayan
Bustami, Abdul L.. 2014. Tarian Cakalele Siamale Banda Naira. Laporan
Verifikasi Penetapan Warisan Budaya Takbenda Provinsi Maluku. Jakarta:
Direktorat Internalisasi dan Diplomasi Budaya Kemneterian Pendidikan dan
Kebudayaan. Tarian Cakalele Siamale banda Naira ditetapkan sebagai
Warisan Budaya Takbenda Indonesia tahun 2014 bersama Cakalele Maluku
_____________. 2014. Rofaer War (Ritual Purifikasi Sumur/Parigi) Di Desa
Lontor Banda Naira.Laporan Verifikasi Penetapan Warisan Budaya
Takbenda Provinsi Maluku. Jakarta: Direktorat Internalisasi dan Diplomasi
Budaya Kemneterian Pendidikan dan Kebudayaan
_____________. 2013. ‘Konflik Maluku Jang PisahKatong‘. Lapran Penelitian.
Jakarta: Departmen Kebudayaan dan Pariwisata; Abdul Latif Bustami. Sasi
Kearifan Lokal Masyarakat Maluku Tengah Mengelola Lingkungan.
Jakarta;Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya Direktorat
Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Burger, D.H. dan Prajudi Atmosudirdjo. 1984. Sejarah Ekonomi Indonesia
Ditinjau Dari Segi Sosiologi Sampai Akhir Abad ke XII. Jakarta: Pradnya
Paramita
Cortesâo, Armando. T.th. The Suma Oriental of Tomê Pires,I, hl 312; Hubert
Th.M.Jacobs S.J. A Treatise on the Moluccas (c 1544) Probably the
preliminary version of Antonius Galvao last historia and Moluccas (Source
and Studies for the History of the Jesuits, III, edited from Portuguese
manuscript in the Archivo General de Indie Sevilla
Hal, D.G.E. 1981. A History of South East Asia. London: Macmillan Asian
History Series
Hanna, Willard A. 1983. Kepulauan Banda Kolonialisme dan Akibatnya di
Kepulauan Pala. Jakarta: Gramedia
Jacobs. 1970. A Treatise on the Moluccos, dikutip oleh Tjandrasasmita eds.
Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III. Jakarta:Balai Pustaka hl. 39; Muridan
Widjodjo. 2013. Pemberontakan Nuku Persekutuan Lintas Budaya di
Maluku Papua Sekitar 1780-1810. Depok: Komunitas Bambu
Kiers, Lucas. Coen op Banda de qonqueste getoetst ssm hrt recht van den tijd hl.
236 dikutip Muridan Widjodjo
Leirissa, R.Z,dkk. 1982. Maluku Tengah di Masa Lampau Gambaran Sekilas
Lewat Arsip Abad Semiblan Belas, Penerbitan Sumber-Sumber Sejarah
No,13. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia,hlm.161
Meilink-Roelofsz M.A.P. 1962 Asian Trade and European Influence in the
Indonesian Archipelago between 1500-and about1630. The Hgue: Martinus
Nijhoff
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 106 Tahun 2013 tentang
Penetapan Warisan Budayatakbenda dan Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan No.238 Tahun 2013 tentang Warisan Budayatakbenda
Indonesia
Sau-Heng, Leong. 1990. Collecting centers, Feeder Points, and Entrepôt in The
Malay Peninsula c.1000 BC-1400 AD dalam Kathirithimby-Wells dan John

21
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Villiers (eds.) 1990. The Southeast Asian Port and Polity Rise and
Denise.Singapore: National University of Singapore Press
Tjiptoatmodjo, Sutjipto F.A. 1983. ‗Kota-Kota Pantai di Sekitar Selat Madura
Abad XVII Sampai Medio Abad XIX)‘. Disertasi Tidak
Dipublikasikan.Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Van der Chijs De vestiging het Nederlandsche gezag, hl.18-20 Valentijn Oud en
Nieuw Oost-Indië, I hl.91 dikutip Muridan Widjodjo
van Leur, J. C.. 1955. Indonesian Trade and Society. Essay in Asian Social
Economic History. Bandung: W.van Hoeve The Hague Ltd
Widjodjo, Muridan. 2013. Pemberontakan Sultan Nuku Persekutuan Lintas
Budaya di Maluku – Papua Sekitar 1780-1810. Depok: Komunitas Bambu
Wells, Kathirithimby dan Villiers, John (eds.) 1990. The Southeast Asian Port and
Polity Rise and Denise.Singapore: National University of Singapore Press

22
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

PALA DAN ISLAM DALAM JARINGAN PERDAGANGAN REMPAH


DI BANDA NAIRA

USMAN THALIB1

ABSTRAK
Sejarah masuknya Islam menjadi peristiwa paling penting sekaligus paling tidak
jelas dalam diskursus sejarah Indonesia. Penulis mencatat dua problem mendasar
perihal ―Islam Awal‖ ini; Pertama problem terminologis, dan kedua problem
geografis. Dengan menggunakan pendekatan strukturis, lewat tahapan prosedur;
Heuristik, Kritik Sumber, Interpretasi dan Historiografi, penelitian ini
menemukan; Pertama, Islam hadir di kepulauan Banda-Maluku sejak kurun
pertama tahun hijriah, atau abad ke-7 dan ke-8 M, dipraktikkan para musafir
muslim yang nomaden di sejumlah bandar penting, Banda dan Ternate. Kedua,
adalah Pala dan Cengkeh sebagai kommoditi utama perdagangan yang telah
memikat para saudagar Muslim di periode awal menuju pulau Banda, dan
menjadikan kawasan itu sebagai pintu masuk Islam di Nusantara dari jalur Utara.
Ketiga, Proses pelembagaan Islam di kota-kota pelabuhan seperti Banda, Ternate,
dan Hitu, mencapai puncaknya pada abad ke-13 dan abad ke-14. Dibuktikan
dengan perubahan bentuk Kolano menjadi Kesultanan, berdirinya pemerintahan
konfederasi Islam di Hitu dan Banda, dan terbentuknya ―organisasi‖ Orang Kaya
(OK) yang mengatur masalah perdagangan. Temuan ini sekaligus memposisikan
Banda Naira (Maluku) sebagai ―penantang baru‖ dalam diskursus Islam pertama
di Nusantara.

Kata Kunci: Islam, Pala, Jalur Rempah

LATAR BELAKANG
Dalam diskursus sejarah Islam di Nusantara, dikenal beragam versi yang
perihal Islam Awal; Pertama, penemuan Kuburan tua di Sumatera Utara berangka
676 H (1297 M) dan tertulis nama Sultan Malik as-Saleh (Raja di Kerajaan
Samudera Pasai) pada abad ke-13. Kedua, pendapat seorang Belanda bernama
Snouck Hurgronje, yang menyebutkan masuknya Islam ke Indonesia pada abad
ke-17, melalui jalur pedagang Islam-India. Dua pendapat ini kemudian ditantang
oleh Hamka yang lebih meyakini bahwa Islam justru telah ada di Indonesia sejak
tahun 650 M, atau 7 tahun pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW. Apalagi

1
Dr. Usman Thalib, M.Hum. adalah Dosen Pendidikan Sejarah Universitas
Pattimura. Saat ini menjabat sebagai Ketua STKIP Hatta-Sjahrir Banda Naira. Emai:
usmanth55@gmail.com

23
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

asumsi Hamka ini seperti mendapat dukungan kuat oleh temuan T.B. Arnold yang
mengutip sumber Cina, perihal kehadiran Islam sejak perempatan abad ke-7 yang
dibuktikan dengan kepemimpinan seorang Arab dalam sebuah komunitas Muslim
di pesisir Barat Sumatera2.
Tampaknya, persoalan awal masuknya Islam di Nusantara jauh lebih kabur
ketimbang bukti-bukti peninggalan Islam itu sendiri yang lebih kuat terwariskan
melalui sejumlah saluran; (1) Perdagangan, (2) Perkawinan, (3) Pendidikan, (4)
Tasawuf, (5) Kesenian, dan (6) Dakwah. Berbagai jenis saluran ini telah
meninggalkan jejaknya sampai hari ini. Saluran perdagangan meninggalkan
bentuk pemukiman yang disebut ―Pekojan‖; Saluran perkawinan meninggalkan
percampuran aneka ras dalam sebuah komunitas; Saluran Pendidikan menciptakan
pesantren-pesantren; Saluran Tasawuf meninggalkan jejak dalam cerita-cerita
Babad dan Hikayat, memunculkan tokoh-tokoh popular seperti; Hamzah Fansuri,
Syamsuddin, Syekh Abdul Shamad, Nuruddin Ar-Raniry. Saluran Kesenian
meninggalkan karya arsitektur pada masjid-masjid kuno di Demak, Cirebon,
Banten, dan Aceh. Adapun saluran Dakwah mewariskan ajaran-ajaran para wali
yang masih menjadi tradisi hari ini.
Perdebatan akademis seputar Islam awal diduga disebabkan dua problem
mendasar, yaitu; problem terminologis, dan problem geografis. Problem
terminologis berkaitan dengan arti ―Islam‖ yang oleh beberapa sarjana
didefenisikan secara sederhana; sebagai symbol formal yang tampak pada tulisan-
tulisan kaligrafi arab di sejumlah artefak, atau juga dapat berbentuk eksistensi
seorang tokoh Islam di wilayah itu. Adapun ahli lain mendefinisikan Islam lebih
sebagai prinsip-prinsip, nilai-nilai, yang dipraktikkan dalam kehidupan sosial,
budaya dan politik suatu masyarakat3.
Defenisi pertama memberi konsekwensi arti, bahwa suatu wilayah telah
terintroduksi Islam adalah yang didalamnya terdapat symbol-simbol Islam yang
tertuang dalam tulisan arab di sejumlah bangunan tua atau pada kuburan yang
bernisankan kalimat syahadat, dan/atau keberadaan tokoh Islam yang berperan

2
T.W. Arnold; The Preaching of Islam : A History of the Propagation of the Muslim
Faith, London, Constable, h. 364 – 365.
3
Azyumardi Azra, Islam Nusantara Jaringan Global dan Lokal, Mizan, Jakarta,
2002, h.17.

24
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

signifikan bagi wilayah tersebut. Sementara defenisi kedua memberi konsekwensi


bahwa wilayah Islam adalah dimana telah terlembaganya prinsip dan nilai-nilai
Islami dalam setiap aspek kehidupan suatu masyarakat.
Problem geografis, adalah persoalan seputar jarak wilayah antara daerah
yang diintroduksi Islam dengan wilayah-wilayah sumber Islam. Dalam hal ini,
wilayah-wilayah seperti Semenanjung Malaka, Sumatera, dan Jawa adalah yang
sangat popular dalam memori publik perihal Islam pertama di Nusantara. Namun
fakta geografis ini secara implisit telah menafikan faktor penting lainnya seperti
aspek perniagaan yang pernah mendominasi dunia sejak masa pra-Islam dan telah
menciptakan jalur-jalur distribusi barang yang menghubungkan banyak wilayah
berjauhan dan berjarak-jarak. Pertimbangan geografis ini pada akhirnya juga
mengabaikan peran penting wilayah-wilayah terjauh di Nusantara, seperti
Maluku, dalam diskursus sejarah Islam Nusantara. Apalagi kesan yang menempel
pada Maluku yang identik dengan Kekristenan Portugis dan Protestanisme
Belanda.
Diskursus Islam awal di Indonesia semakin rumit akibat ulah para ilmuan
Barat yang dengan sengaja mereduksi peran Islam dalam kehidupan sosial,
budaya, ekonomi dan politik menuju kemandirian dan kemerdekaan Indonesia.
Snouck Hurgronje, dalam studinya tentang Aceh telah mereduksi Islam dengan
membuat perbedaan antara Islam dan Adat4. Dan Clifford Geertz yang menggagas
istilah ―agama Jawa‖ sebagai pengganti Islam untuk menganalisis fenomena Islam
di kalangan masyarakat Jawa5.
Tulisan ini akan menyuguhkan sebuah hasil penelitian yang menawarkan
peran kepulauan Banda Naira di Maluku sebagai wilayah penting dalam
perdagangan rempah-rempah dunia masa lalu, sekaligus menjadi pintu masuk
Islam pertama di Nusantara. Temuan ini boleh dianggap sebagai bantahan
terhadap temuan-temuan terdahulu, namun penulis lebih menyebutnya sebagai
pelengkap temuan para ahli sebelumnya.

4
Azyumardi Azra, Ibid
5
Clifford Geertz, The Religion of Java, The Free Press, New York, 1960.

25
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan strukturis, yang mengasumsikan
bahwa kenyataan sejarah secara ontologis adalah struktur sosial yang longgar
(loosely structured), yang memungkinkan munculnya individu-individu atau
kelompok sosial tertentu memiliki wawasan dan keinginan yang berbeda dengan
masyarakat pada umumnya, dan berusaha mengubahnya 6. Dalam konteks metode
strukturis ini, Islam dilihat sebagai unsur baru yang mempengaruhi sistem sosial
budaya masyarakat di Kepulauan Banda sehingga menciptakan perubahan social
dalam sistem kepercayaan maupun system pemerintahan, sebagai bukti eksistensi
kehadirannya.
Telaah dilakukan terhadap sumber-sumber primer dan monumen (artefak).
Terhadap sumber primer dilakukan dengan cara mengumpul dukumen (arsip).
Adapun untuk monumen dilakukan kajian mendalam terhadap sejumlah artefak
bangunan Islam (masjid, kuburan, prasasti), maupun manuskrip seperti al-Qur‘an
bertulisan tangan, dan karya-karya tulis Islam masa lampau. Kajian juga
diarahkan kepada sejumlah mitos yang hidup di masyarakat tentang Islam di
Kepulauan Banda.
Data-data yang terkumpul kemudian diseleksi melalui pengujian validitas
dan reabilitas dengan menggunakan teknik kritik sumber (kritik ekternal dan
internal). Setelah data-data lolos seleksi dilanjutkan dengan interpretasi data
menggunakan sejumlah paradigma umum. Pada tahap terakhir dilakukan
pendeskripsian data secara logis dan sistematis dalam bentuk historiografi7.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Banda Naira Dan Jaringan Perdagangan Rempah-Rempah Dunia


Sebelum tarikh masehi telah ada jalur perdagangan transcontinental yang
menghubungkan Chang-an di Cina yang melintasi stepa-stepa dan gurun-gurun
menuju wilayah Persia, selatan ke laut Kaspia dan Mesopotamia, hingga laut

6
Lloyd Cristhopher ; The Structures of History, Blackwell Publishers, Cambridge-
Massachussetts, USA, 1993 H. 89 - 100.
7
Untuk ini lihat ; Garraghan J.G ; A Guide to Historical Method, Fordan University
Press, New York, 1957, Lihat juga Gottschalk Louis, 1986; Understanding History: A
Primer of Historical Method (edisi Indonesia), UI Press, Jakarta, 1986.

26
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

tengah (pelabuhan Antiochia). Fungsi utamanya adalah menyalurkan produk-


produk dari Timur termasuk buah pala dari Maluku yang diangkut dari Malaka ke
Cina untuk dibawa ke arah Barat melalui laut Tengah. Produk diangkut dengan
karavan unta dalam jumlah sangat besar dalam perjalanan ke Selatan hingga
mencapai wilayah di Samudra Hindia8.
Sejak abad ke-7 Islam menyebar pula melalui jalur Sutera di Asia Tengah
ini hingga mencapai Cina. Atas dasar itu T.W. Arnold berpendapat bahwa
masuknya Islam di Nusantara perlu juga mempertimbangkan jalur masuk melalui
Cina, dan bukan melalui jalur Coromandel dan Malabar di India saja.
Argumennya itu didasari pada sebuah sumber Cina yang menyatakan bahwa di
sekitar abad ke-7 seorang Arab pernah menjadi pemimpin pemukiman Arab
Muslim di pesisir Barat Sumatera9.
Salah satu wilayah penyebaran Islam yang penting dalam jaringan
perdagangan sutera itu adalah Trans Oxiana yang dialiri sungai-sungai Amu
Darya dan Syr Darya yang bermuara di laut Aral. Selain pengaruh Islam dari
Baghdad, termasuk budaya Islam Parsi yang ikut memasuki wilayah itu, membuat
kota-kota Samarkand dan Bukara berubah menjadi pusat peradaban Islam
Persia10. Ekspansi Islam hingga wilayah Trans Oxiana itu, ternyata menimbulkan
konflik dengan penduduk stepa yang masih kafir, sehingga mengakibatkan
terputusnya jalur perdagangan tersebut.
Ketika jalur di daratan Asia mengalami kemunduran, disaat yang sama
perdagangan antara Timur Tengah dengan Asia Tenggara dan Asia Timur berubah
fundamental. Jalur pesisir pantai berkembang pesat. Bahkan D.H. Burger
menduga jalur yang menghubungkan Laut Tengah di Teluk Persia dengan Laut
Merah ke India, menuju Nusantara dan Cina sangat mungkin sudah mulai dikenal
sejak abad pertama masehi11.

8
K.N. Chaudhuri, Trade and Civilization in the Indian Ocean; An Economic History
from the Rise of Islam to 1750, Cambridge University Press, 1989, h. 28.
9
T.W. Arnold; The Preaching of Islam : A History of the Propagation of the Muslim
Faith, London, Constable, h. 364 – 365.
10
J.M. Roberts, History of the World, Penguin Books, 1995, h.22-32.
11
D.H. Burger; Sejarah Ekonomi Sosiologis Indonesia, (Disadur oleh Prajudi
Atmosudirdjo), Jilid I, J.W. Wolters, Djakarta, 1965, h. 15 – 16.

27
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Di saat kekuasaan Islam mencapai puncaknya pada abad ke-10 dan 11


(dinasti Ottoman–Turki), muncul apa yang dikenal dengan Imporium12. Beberapa
emporium yang popular masa itu antara lain; Aden dan Mekkah di laut Merah,
Muskat, Bandar Abas dan Hormuz di teluk Persia, serta Cambai dan Kalikut di
laut Arab. Selain itu muncul Satgaon di teluk Benggala, Malaka di selat Malaka,
serta Kanton, Zaiton dan Nanking di laut Cina13.
Sejak terbentuk emporium-emporium itu, pelayaran niaga antara Timur dan
Barat tidak lagi ditempuh secara langsung. Para pedagang dari teluk Persia cukup
sampai di Cambay atau Calikut, karena perdagangan dapat dilakukan dengan
pedagang dari Malaka. Pedagang Malaka pun demikian tidak perlu meneruskan
pelayarannya sampai ke Hormuz atau Aden. Juga Cina cukup hanya sampai di
Malaka untuk memperoleh komoditi dagang eks India, Parsi atau Arab serta
rempah-rempah dari Maluku. Itulah sebabnya, Anthony Reid mengatakan
hubungan perdagangan langsung Cina dan Maluku hanya sampai pada
pertengahan abad ke-1414. Sebab, Malaka di masa itu telah menjelma menjadi
sebuah emporium besar dengan segala fasilitas lengkap yang mampu menampung
pedagang dari berbagai wilayah, termasuk pelaut asal Banda Naira.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa orang-orang Banda ikut terlibat
dalam jasa pengangkutan dan perdagangan tersebut. Tome Pires misalnya
menyatakan bahwa kapal-kapal Banda umumnya terlibat dalam pengangkutan
rempah-rempah menuju Gresik, dan seterusnya diangkut dengan kapal-kapal lain
ke Malaka, Sumatera, Kalimantan, Patani sampai ke Siam15. Meskipun armada
niaga Banda, menurut Pires, tidak terlalu baik dibandingkan kapal-kapal asal
Jawa. Kapal-kapal Banda hanya mempunyai jangkar kayu dengan awak kapal dari

12
Emporium adalah kota pelabuhan tempat berlangsungnya aktivitas
perdagangan internasional yang menyediakan aneka fasilitas pendukung seperti
pergudangan, fasilitas kredit, pasar, penginapan, dok untuk memperbaiki kapal-kapal
yang rusak dan sebagainya. Biasanya dari Emporium itulah penguasa dan atau penjajah
melakukan ekspansi politik dan ekonomi untuk kemudian membentuk sebuah
Imperium. Untuk ini lihat ; K.N. Chaudhuri, 1985 : Trade And Civilisation In The Indian
Ocean : An Economic History from the Rise of Islam to 1750.
13
K.N. Chaudhuri, 1989, Op Cit, h. 115-116.
14
Anthony Reid, , Southeast Asia in the Age Commerce 1450 – 1680, Vol II,
Chiangmai Silkworn Books, Bangkok, 1993, h.4.
15
A.B. Lapian ; Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia, Yayasan Pusat Studi
Pelayaran Niaga Indonesia (Puspindo), Jakarta, 1990, h. 43

28
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

para budak, menghasilkan jarak dan waktu tempuh kapal yang menghabiskan
waktu, bahkan tidak sedikit rusak dan tenggelam16.

Rute pelayaran dari Malaka ke Banda Naira biasanya melewati pantai Timur
Sumatera dan menyusur pantai Utara Banten, Jepara dan Gresik, lalu kemudian
menuju Bali, Lombok dan Nusa Tenggara sampai ke Maluku. Faktual, jalur
Malaka-Banda telah berkontribusi penting bagi kemajuan pelabuhan pelabuhan
Banten, Jepara dan Gresik. Juga berdampak signifikan bagi tumbuh pesatnya
pelabuhan Makassar sebagai sebuah emporium17 di Timur Indonesia di masa
Portugis.
Banda Naira berperan penting dalam perniagaan internasional oleh karena
hasil cengkih dan pala yang sangat dibutuhkan pasar-pasar dunia, seperti India,
Cina, Timur-Tengah dan Eropa18. Tome Pires mencatat bahwa Kepulauan Banda
dapat menjamin muatan 500 bahar fulli (bunga pala) dan 6000 – 7000 pala dalam
setahun. Walaupun angka-angka ini dianggap tinggi, namun tidak ada data lain
yang dapat menjadi pembanding.
Namun peranan Banda sebagai bandar di jalur sutera berakhir sejak awal
abad ke-17, bersamaan dengan hadirnya orang-orang Barat VOC-Belanda dan
EIC-Inggris. J.C. van Leur mengakui perubahan besar dalam struktur perdagangan
di Asia Tenggara (termasuk Banda) akibat kedatangan VOC ini. Meski menurut
Meilink Roelofsz, perubahan itu sudah terjadi ketika Portugis menaklukkan kota
Malaka pada 1511, dan Banda-Ternate pada 1512. Namun menurut A.B. Lapian,
terbukanya jalan laut yang menghubungkan Asia Tenggara dengan Eropa yang
dirintis oleh Portugis tidak lantas memutus jalur perdagangan rempah-rempah.
Kemerosotan baru terjadi ketika Inggris (EIC) dan Belanda (VOC) pada awal
abad ke17 berhasil menguasai jalur laut yang memotong jaringan Teluk Persia dan
Laut Merah. Kenyataan ini sekaligus mengubur jalur perdagangan kafilah
(caravan trade) dari Nusantara ke Timur Tengah dan Eropa.

16
Tome Pires Dalam A.B. Lapian, Ibid, h.44.
17
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500 – 1900 : Dari
Emporium Sampai Imperium. Lihat juga R.Z. Lairissa, 1995 ; Emporium Banten : Suatu
Kajian Historiografi (Makalah) dalam simposium Internasional tentang Kedudukan dan
Peranan Bandar Banten Dalam Perdagangan Internasional.
18
D.H. Burger; Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, (Disadur oleh Prajudi
Atmosudirdjo), Jilid I, J.B. Wolters, Djakarta, 1957 ; h. 59.

29
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Islam Di Kepulauan Banda


Pendapat bahwa Agama Islam telah sampai ke Cina sejak abad ke-7 Masehi
didasari pada narasi historis dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW yang
berbunyi: ―tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina‖, sehingga memicu geliat
perkembangan peradaban Islam di dataran Cina. Fakta historis memang
menunjukkan, bahwa para penguasa dan pedagang Muslim telah mendominasi
jalur-jalur perniagaan, baik melalui jalur pelayaran niaga pesisir maupun jalur
perdagangan caravan melalui daratan Asia. Hal ini diperkuat dengan
ditemukannya jalur-jalur perdagangan transcontinental yang menghubungkan
Timur Tengah, Cina dan India melalui Asia Tengah.
Dalam konteks masuknya Islam ke Nusantara, beberapa pendapat dapat
diajukan, seperti; T.B. Arnold yang mengatakan bahwa pada perempatan abad ke-
7 seorang Arab pernah menjadi pemimpin pemukiman Arab Muslim di pesisir
Barat Sumatera19. Juga sejumlah ahli Indonesia yang mengatakan bahwa Islam
masuk ke Indonesia oleh orang-orang Arab bermazhab Syafi‘i, baik melalui
jaringan perdagangan laut India, maupun jaringan perniagaan transcontinental
Cina. A. Hasyimi (ed) dalam bukunya Sejarah Masuk dan Berkembanganya
Islam di Indonesia kemudian menyimpulkan, bahwa Islam datang secara langsung
dari Semenanjung Arabia dan bukan dari India. Dan periode kedatangannya bukan
pada abad ke-12 atau ke-13, melainkan pada abad pertama Hijriah atau abad ke-
7M20.
Pertanyaan pamungkasnya, kapan dan bagaimana Islam sampai ke Maluku,
khususnya ke Kepulauan Banda? Menjawab pertanyaan ini perlu dipisahkan
terlebih dahulu antara dua term, pertama, proses masuknya Islam di suatu daerah,
dan kedua proses pelembagaan Islam. Proses masuknya Islam berkaitan dengan
jalur masuknya Islam dan waktu datangnya Islam. Sedangkan proses pelembagaan
Islam berkaitan dengan telah diterimanya Islam sebagai bagian dari sistem sosial
budaya masyarakat setempat.

19
T.W. Arnold; The Preaching of Islam : A History of the Propagation of the Muslim
Faith, London, Constable, h. 364 – 365.
20
Untuk ini lihat, A. Hasyimi (ed) Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Indonesia, Edisi ke-2, Bandung, Al-Ma’arif, 1989, khususnya halaman 7.

30
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

R.Z. Leirissa dengan mengutip pendapat Hamka, meyakini bahwa Islam


pertama kali masuk di Maluku terjadi sejak tahun 650 M, atau 7 tahun pasca
wafatnya Nabi Muhammad SAW. Di masa itu, para pedagang Arab telah
membawa rempah-rempah cengkih dan pala ke pelabuhan-pelabuhan di teluk
Persia untuk dijual ke Timur Tengah dan daratan Eropa. Mereka para pedagang
Arab kemudian menikah dengan pribumi dan bermukim atau bahkan meninggal.
Dan sepeninggal mereka tidak ada warisan tradisi peribadatan Islam, sehingga
keturunan mereka kembali kepada agama sukunya21.
Ternyata, sinyalemen Hamka sejalan dengan cerita rakyat di Banda Naira
tentang kehadiran orang-orang asing beragama Islam di Banda. Dalam tradisi
lisan Banda, disebutkan Islam masuk ke wilayah mereka melalui seorang bernama
syekh Abubakar Al Pasya yang berasal dari Persia. Kehadirannya dikarenakan
pergolakan politik yang terjadi akibat peralihan kekuasaan dari Bani Umayyah ke
tangan Bani Abasiyah tahun 132H (750M). Ketika datang ke Banda, orang-orang
Banda sangat tertarik dengan syekh Al Pasya karena mempunyai kemampuan
menurunkan hujan di musim kemarau panjang di Banda Naira. Ini artinya, dapat
dipastikan agama Islam telah masuk di Banda Naira pada tahun 132 H atau 750
M.

Foto 1: Situs Mesjid Tua di Banda Naira (Negeri Lonthor)

Adapun proses pelembagaan Islam di Banda Naira terungkap dalam sebuah


tradisi lisan Banda lainnya, yaitu Hikayat Tanah Lonthor. Hikayat ini meskipun

21
R.Z. Leirissa, Sejarah Kebudayaan Maluku, Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat
Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1999, h. 16,
20-21.

31
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

debatable, yang oleh Bung Hatta diragukan keaslian bahasanya, namun oleh
sejumlah ilmuan sejarah tetap diakui sebagai varian sumber sejarah. Des Alwi
bahkan tetap mencantumkan Hikayat Lonthor dalam karya sejarahnya, berjudul
Sejarah Banda Naira. Meskipun versi yang dimiliki penulis memiliki sedikit
perbedaan.

Foto 2: Prasasti Kedatangan Islam Kepulauan Banda (Negeri Selamon)

Sejumlah mitos yang terdapat dalam hikayat Tanah Lonthor sesungguhnya


dimaksudkan untuk mempertegas eksistensi diri sekelompok keluarga bangsawan
yang berbeda status sosialnya dengan rakyat awam di kepulauan Banda, sekaligus
upaya mendapatkan pengakuan (legalitas) kekuasaan mereka atas kepulauan
Banda. Mitos buah delima di hikayat ini serupa dengan mitos rumpun bambu
yang umumnya tersebar dibeberapa wilayah di Asia Tenggara.

Dalam hikayat juga terungkap sistem pemerintahan Lebe Tel Rat At atau
Pemerintahan ―Tiga Imam Empat Raja‖ yaitu sebuah pemerintahan berbentuk
kolegial yang membedakan status keagamaan berdasarkan pengetahuan dan
pengalaman keagamaan. Raja Lonthor Kakyai merangkap Imam untuk negeri
Lonthor, Raja Lautaka Kelelay merangkap Imam untuk pulau Naira, Raja
Selamon Leleway merangkap Imam untuk negeri Selamon dan negeri Waer,
sedangkan Raja negeri Waer Keleliang tidak merangkap sebagai Imam.
Pengalaman tiga bersaudara tentang Islam dimitoskan dengan perjalan laut ke
tempat yang tidak diketahui, menghasilkan status keagamaan yang berbeda
diantara keempat saudara tersebut. Itulah mengapa Keleliang yang tidak
mengikuti perjalanan agama itu hanya mendapat status sebagai Raja di negeri

32
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Waer, namun masalah keagamaan menjadi tanggung jawab Leleway yang adalah
Imam dan Raja di negeri Selamon. Sedangkan Putri bungsu Cilubintang mendapat
kedudukan sebagai pemimpin di sebuah pemukiman baru di pulau Naira, yang
dikenal sebagai negeri Ratu. Negeri Ratu adalah Negeri yang garis
kepemimpinannya menurut faham matrilineal. Dalam hal keagamaan (syariat
Islam), rakyat negeri Ratu tunduk kepada Raja sekaligus Imam Negeri Lautaka.
Des Alwi dalam bukunya Sejarah Banda Naira menjelaskan bahwa putri
Cilubintang menikah dengan bangsawan (Raden) dari Jawa dan setelah
berkeluarga tak lama kemudian mereka pergi ke Jawa22. Namun tidak
menjelaskan latar belakang dan bagaimana proses perkawinan itu bisa
berlangsung. Penjelasan ini menjadi penting, karena dalam sejarah klasik di
Nusantara perkawinan seperti itu sering terjadi dengan motif politik dan ekonomi.
Upaya kerajaan-kerajaan di Nusantara dalam membangun kerjasama sekaligus
saling pengaruh menuntut adanya perkawinan antar bangsawan (perkawinan
politik) demi kekuasaan dan pengaruh ekonomi masing-masing.
Hubungan antara Jawa (Majapahit) dengan Banda Naira ini menjadi begitu
penting, bukan saja karena Banda adalah salah satu wilayah pengaruh Majapahit
di kawasan Timur Nusantara, sebagaimana diceritakan dalam kitab
Negarakertagama (1365) karya Mpu Prapanca, tetapi juga untuk jangka panjang
hubungan itu terkait dengan masalah perdagangan rempah-rempah dan kekuatan
membendung pengaruh Portugis (Katolik) di Maluku pada masa-masa yang akan
datang. Oleh karena itu perkawinan antara Cilubintang dengan bangsawan
Majapahit yang terdapat dalam Babad Tanah Jawi pupuh ketujuh dan kedelapan23
dapat dipahami sebagai bentuk perkawinan politik. Dimana model perkawinan
politik serupa umum terjadi dalam sejarah hubungan antar kerajaan di Nusantara.

22
Des Alwi, Sejarah Banda Naira, Pustaka Bayan, Malang, 2006.
23
Untuk ini, lihat Babad Tanah Jawi, dalam Hoesein Djajadiningrat; Tinjauan Kritis
Sejarah Banten, Jembatan, KITLV, Jakarta, 1983. Hlm 20-21.

33
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Foto 3: Salah Satu Mimbar Khutbah Di Banda Naira


yang arsitekturnya dipengaruhi budaya Cina

Berdasarkan informasi ini, maka kemungkinan besar peristiwa hubungan


politik Majapahit-Banda Naira terjadi pada tahun 1365. Artinya proses
pelembagaan Islam di Banda Naira kemungkinan sudah selesai pada abad ke-14.
Inilah yang mendasari catatan harian Portugis saat tiba di Banda pada 1512, yang
menyebut Islam telah ada sejak 100 tahun sebelum Portugis. Sumber Portugis ini
patut diduga sebagai periode pelembagaan Islam dengan bukti-bukti bahwa Banda
di masa itu telah memiliki sistem pemerintahan adat Lebe Tel Rat At
(kepemimpinan Empat Raja dan Tiga Imam), dan memiliki struktur Orang Kaya
(OK) yang bertugas mengatur masalah perdagangan dan Syahbandar.

KESIMPULAN
Terdapat tiga argumen tentang Islam pertama di Nusantara yang jejaknya
ditemukan di Kepulauan Banda Naira sebagai pintu masuk perdagangan rempah
dunia, yaitu;
Pertama, Islam hadir di kepulauan Maluku terutama di kepulauan Banda
terjadi sejak kurun pertama tahun hijriah atau abad ke-7 dan ke-8 M, dimana
eksistensi Islam pada periode ini berbentuk ―agama personal‖, yang dianut para
musafir muslim yang nomaden di sejumlah bandar-bandar penting yaitu Banda
dan Ternate. Dalam rentang masa itu, besar kemungkinan telah terjadi perkawinan
silang antar pedagang muslim Arab dengan puteri-puteri lokal yang membentuk
suatu kesatuan masyarakat muslim. Dakwah dilakukan para musafir seiring
dengan aktivitas perdagangan yang mereka lakukan.

34
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Kedua, Proses pelembagaan Islam dalam kehidupan sosial budaya


masyarakat Maluku, terutama di kota-kota pelabuhan seperti Ternate, Banda, dan
Hitu, baru terwujud dan mencapai puncaknya pada abad ke-13 dan abad ke-14.
Dibuktikan dengan perubahan bentuk Kolano menjadi Kesultanan dan
pembentukan pemerintahan konfederasi di Hitu dan Banda yang bercorak Islam;
munculnya lembaga baru seperti, Orang Kaya (OK) yang mengatur masalah
perdagangan; lahirnya institusi-institusi pengatur peribadatan dan syariat Islam;
serta tumbuh berbagai tradisi-tradisi baru bernafaskan Islam.

Ketiga, Sumber-sumber lokal, baik historiografi tradisional maupun tradisi


lisan telah memberi gambaran yang relatif sama tentang masuknya Islam dan
proses pelembagaan Islam di Banda Naira, yang kesimpulannya jauh melampaui
dari apa yang ditemukan dalam sumber-sumber Eropa-Portugis. Bahwa Islam
telah sampai di Banda Naira pada abad ke-7 atau ke-8 Masehi sebagai ―Islam
Personal‖, dan hadir pada abad ke-13 Islam sebagai ―Islam Kultural‖ yang telah
terlembaga secara resmi. Hal ini sekaligus membuka tabir fakta baru perihal Islam
di Nusantara yang selama ini lebih dikenal bermula di tanah Aceh, kini
menghadirkan Banda Naira di Maluku sebagai salah satu pintu masuk Islam
pertama di Nusantara melalui jalur Utara.

DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Des. 2005. Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambon,
Gramedia. Jakarta.
Alwi, Des. 2007. Sejarah Banda Naira. Pustaka Bayan. Malang
Ankersmit. F.R 1987. Refleksi Tentang Sejarah: Pendapat-Pendapat Modern
tentang Filsafat Sejarah, disadur oleh Dick Hartoko. Jakarta. Gramedia.
Arnold T.W. The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim
Faith. Constable. London
Armando Cortesao (ed). 1944. The Suma Oriental of Tome Pires. London Printed
for the Hakluyt Society.
Azyumardi Azra. 2002. Islam Nusantara Jaringan Global dan Lokal. Mizan.
Jakarta
Chaudhuri K.N. 1983. Trade and Civilisatian in the Indian Ocean : An Economic
History From the Rise of Islam to 1750. Cambridge University Press.
London & New York.
-------------------. 1989. Asia Before Eropa: Econonomy and Civilisation of the
Indian From the Rise of Islam 1750. Cambridge University Press. London
& New York.

35
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

de Graff H.J. 1877. De Geschiedenis van Ambon en Ziud Molukken. T.Weber


B.V. Franeker. Groningen
Donkin R.A. 2003. Between East and West: The Mollucas and the Traffic in
Spices up to the Arrival of Europeans" Philadelphia: American
Philosophical Society
Geertz, Clifford.1960. The Religion of Java. The Free Press. New York.
Hosein, Djajadiningrat. 1983. Tinjauan Kritis Sejarah Banten. Jembatan, KITLV,
Jakarta
Hasyimi A (ed), 1989. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia.
Edisi ke-2. Al-Ma‘arif, Bandung
Kartodirdjo, Sartono et al. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru (1500-1900)
Dari Emporium ke Imperium, Gramedia, Jakarta.
Kern R.A. 1947. De Islam in Indonesie. s'Gravenhage: van Hoeve
Lairissa R.Z. 1995. Emporium Banten: Suatu Kajian Historiografi (Makalah)
dalam simposium Internasional tentang Kedudukan dan Peranan Bandar
Banten Dalam Perdagangan Internasional.
-----------------.1997. Ternate Dalam Jalur Sutra, Makalah. Membangun Kembali
Peradaban Bahari. Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta.
Leirissa R.Z. 1999. Sejarah Kebudayaan Maluku. Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional
Direktorat Jenderal Kebudayaan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Jakarta
Lapian A.B.1992. Sejarah Nusantara Sejarah Bahari: Pidato Pengukuhan Guru
Besar Luar Biasa. Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta.
---------------. 1997. Dunia Maritim Asia Tenggara. Artikel. Dalam Sejarah
Indonesia: Penilaian Kembali Karya Utama Sejarawan Asing. PPKB
Lemlit Universitas Indonesia. Jakarta.
Putuhena M. Saleh. 1980. Sejarah Agama Islam Di Ternate. Artikel dalam
Majalah Ilmu-Ilmu Sastera Indonesia. vol VIII No.3
Reid Anthony. 1999. Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global
Asia Tenggara 1450 – 1680 (edisi Indonesia). Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta
Reid Anthony. 1993. Southeast Asia in the Age Commerce 1450 – 1680. Vol II.
Chiangmai Silkworn Books, Bangkok.
Rickleft M.C. 1999. A History of Modern Indonesia (Edisi Indonesia).
Gadjamada University Press. Jogyakarta
Turner, Jack. 2005. Spice: the History of a Temptation. Vintage Books, New York
Thalib, Usman. 2012. Sejarah Masuknya Islam di Maluku. Balai Pelestarian
Sejarah dan Nilai Tradisional Maluku dan Maluku Utara, Ambon
Watloly Aholiab. 2012. Memperkuat Falsafah Hidup Orang Basudara. Artikel
dalam Karel A. Ralahalu. Berlayar dalam Ombak Berkarya bagi Negeri:
Pemikiran Anak Negeri untuk Maluku. Ralahalu Institut. Ambon.
Willard A. Hanna. 1978. Colonialism And Aftermath in the Nut Meg Islands.
Copyright. Philedhelphia.
Van Leur J.C, 1960; Indonesian Trade and Society; Essays in Asian Social and
Economic History, Bandung: N.V. Mij Vorkink-Van Hoeve.
Vlekke B.H.M. 1980. Nusantara: A History of Indonesia (edisi Indonesia),
Gramedia. Jakarta

36
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

REMPAH DAN PERKEMBANGAN JARINGAN LAUT BANDA

ABD. RAHMAN HAMID1

ABSTRAK
Konsep archipelago state sering diterjemahkan dengan ―negara kepulauan.
Padahal arti sesungguhnya adalah ―negara laut utama‖. Dengan demikian,
Indonesia hendaknya dilihat sebagai negara laut yang mempunyai ribuan pulau,
bukan pulau-pulau yang dikitari oleh laut. Sejak diberlakukannya Territoriale Zee
en Maritieme Kringen Ordonantie (1939), setiap pulau di Indonesia mempunyai
wilayah laut sejauh 3 mil laut dari tepi pantai. Perkembangan jaringan maritim
Laut Banda sangat penting dalam sejarah Indonesia. Tidak hanya dari segi
geografis, sebagai unit bahari yang terhubung dengan unit bahari lain sehingga
terbentuk ―laut inti‖ Nusantara, tetapi juga karena komoditasnya (rempah-rempah)
yang banyak memberikan ―arah‖ sejarah penduduk dan kekuatan politik di
kawasan ini. Dinamika kehidupan yang dihasilkan dari jaringan ini melampaui
radius geografisnya. Dengan demikian, pengkajian lebih lanjut mengenai sistem
laut ini dapat membuka peluang berbagai interpretasi yang akan semakin
memperkaya pengetahuan kita. Keberadaan orang Buton di berbagai wilayah di
Maluku, adalah ―warisan‖ sejarah Laut Banda, perlu dikaji dalam sebuah tema
―Diaspora Buton‖. Tentunya, aspek yang disorot bukan hanya sebatas pengalaman
mereka (sejarah), tetapi juga (bila mungkin) bagaimana mereka (akan) membuat
sejarahnya.

Kata Kunci: Rempah, Jaringan Laut Banda

PENDAHULUAN
―Pentingnya pelayaran antarpulau bagi Indonesia hampir tidak
membutuhkan penegasan‖, kata H. W. Dick (1989) dalam studinya mengenai
industri pelayaran Indonesia. Itu merupakan konsekuensi geografis dari negara
kita sebagai negara maritim yang ditaburi dengan pulau-pulau. Konsep
“archipelagic state”, untuk menggambarkan wilayah Indonesia, sering
diterjemahkan dengan ―negara kepulauan‖, padahal arti sesungguhnya adalah
―negara laut utama‖ (dari kata archipelago; bahasa Latin arch=utama dan
pelagos=laut). Dengan demikian, Indonesia hendaknya dilihat sebagai negara laut

1
Abd.Rahman Hamid, M.Si. Penulis Buku Sejarah Maritim Indonesia. Kandidat
Doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia. Email: abdul_pasca@yahoo.com

37
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

yang mempunyai ribuan pulau, bukan pulau-pulau yang dikitari oleh laut (Lapian,
1996).
Sejak diberlakukannya Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie
(1939), setiap pulau di Indonesia mempunyai wilayah laut sejauh 3 mil laut dari
tepi pantai. Kalau merujuk konsep itu, maka Laut Banda menjadi pemisah antara
pulau-pulau dalam kawasannya, atau pulau yang pantainya dibasahi Laut Banda.
Ditinjau dari segi latar sejarah, sudut pandang tersebut adalah untuk memberikan
kebebasan terhadap kapal-kapal asing berlayar di Indonesia. Para pendiri bangsa
menyadari bahwa untuk menjaga keutuhan negara, laut hendaknya ditempatkan
sebagai perekat pulau-pulau. Maka lahir Deklarasi Djuanda (13 Desember 1957),
ditetapkan dengan UU No. 4 tahun 1960 dan diatur dalam PP No.8 tahun 1962,
sebagai embrio Wawasan Nusantara. Laut, dalam konsep itu, adalah unsur yang
menyatukan ribuan pulau di Indonesia. Batas laut territorial ditambah sampai 12
mil (Djalal, 1979). Dengan demikian, sejumlah laut, termasuk Laut Banda, yang
sebelumnya merupakan pemisah, menjadi penyatu pulau-pulau dalam wilayah
Indonesia.

LAUT BANDA: “LAUT INTI” INDONESIA


Negara maritim Indonesia terdiri dari sejumlah sistem laut (sea systems)
yang mengintegrasikan pulau-pulau yang ada di dalamnya, mulai dari yang sempit
(selat dan teluk) sampai yang lebih luas (laut). Sistem laut yang terakhir, menurut
Lapian, disebut laut inti (heartsea) terdiri atas Laut Jawa, Laut Flores, dan Laut
Banda. Dikatakan sebagai laut inti, karena kawasan laut yang luas itu berperan
sebagai heartsea dalam sejarah Indonesia. Kekuatan yang menguasai kawasan
laut inti itu niscaya menguasai wilayah Nusantara. Penguasaan yang efektif atas
laut inti menentukan seluruh kepulauan Indonesia (Lapian 1997). Oleh karena itu,
upaya Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) menaklukkan Makassar dan
―bersekutu‖ dengan Buton tak lepas dari strategi perdagangan maritim, khususnya
rempah (cengkih, pala, dan fuli) dari Kepulauan Maluku dan Banda. Van Leur
(1974), dalam sebuah karyanya, mengatakan bahwa ―menguasai Makassar itu
untuk soal kekuasaan di Indonesia lebih penting daripada Malaka Portugis‖.

38
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Sebelum Perang Makassar (1666-1669), raja-raja Makassar menerapkan


kebijakan ―laut bebas‖ (mare liberum) guna melindungi kepentingan kerajaan dan
rakyatnya dalam perdagangan rempah. Segala usaha untuk menguasai laut dalam
rangka monopoli perdagangan ditentang oleh raja Makassar. Untuk meruntuhkan
kebijakan maritim itu, VOC menjalin hubungan dengan Sultan Buton dan Arung
Palakka (pernah di Buton 1660-1662) menantang Makassar dalam sebuah perang
yang berakhir dengan takluknya Makassar. Dalam perjanjian Bunyayya (18
November 1667), antara lain disebutkan: (1) hanya Kompeni [VOC] yang boleh
bebas berdagang di Makassar, dan (2) pemerintah dan rakyat Makassar tidak
boleh berlayar ke mana pun. Ditegas pula ―mereka yang melanggar harus
menebusnya dengan nyawa dan harta‖ (Andaya, 2004).
Langkah VOC menaklukkan Makassar adalah untuk menguasai
perdagangan rempah. Betapa tidak, para pedagang Jawa, Bugis, dan Melayu
membawa barang-barang ke Makassar untuk diperdagangkan di sana atau ditukar
dengan rempah sehingga tidak perlu lagi ke Maluku. Bahkan rempah-rempah
yang menjadi komoditas primadona dalam perdagangan dunia pada saat itu dapat
diperoleh di sana dan kadang lebih murah daripada di Maluku sendiri
(Poesponegoro & Notosusanto, 1993). Setelah runtuhnya Kerajaan Makassar,
jalur dan perdagangan maritim rempah dikuasai oleh VOC.
Apa yang dilakukan oleh Sultan Buton, dalam perebutan kekuasaan di atas,
adalah untuk mempertahankan kewibawaannya di wilayah lautnya (Lapian 1997).
Wilayah laut yang dimaksud meliputi seluruh wilayah kekuasaan Kesultanan
Buton dengan bentangan: Pulau Buton, Pulau Muna, Pulau Kabaena, pulau-pulau
kecil di dekat Buton antara Tikola, Pulau Tobea, dan Kepulauan Tukang Besi
(Zuhdi, 1998). Dalam mempertahankan kewibawaan itu, kedudukan Kepulauan
Tukang Besi sangat penting, seperti tiga daerah lainnya (Muna, Tiworo, dan
Kolensusu), yakni sebagai penyangga (barata) kekuasaan Kesultanan Buton yang
berpusat di Pulau Kaledupa. Di antara tugas barata yang utama adalah menjaga
segala bentuk ancaman yang datang dari seberang lautan yang mengancam
eksistensi Kesultanan Buton. Dua ancaman yang paling serius datang dari
Makassar (Barat) dan Ternate (Timur). Dengan kuatnya pertahanan di empat

39
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

barata, Kesultanan Buton dapat mempertahankan dirinya, sebagaimana ungkapan


“labu rope, labu wana” (Zuhdi, 2010).
Upaya mempertahankan kekuasaan dalam wilayah ―laut inti‖ ini, menyitir
sejarah abad ke-17 dan 18, menunjukkan pentingnya Laut Banda dalam sejarah
Indonesia. Jejak kehadiran kekuatan maritim sekitarnya, misalnya Gowa
(Makassar) dan Ternate, tampak dalam ingatan kolektif penduduk Kepulauan
Tukang Besi. Di bagian terdepan kepulauan ini, tepatnya Pulau Binongko,
terdapat tempat permandian pelaut Tobelo (Topa Tobelo) dan makam Wa Ode
Gowa; semuanya di Desa Wali. Jejak tersebut tak lepas dari kedudukan pulau itu
dalam jalur pelayaran niaga di kawasan Laut Banda.
Belajar dari pengalaman, bangkit dan runtuhnya kekuatan politik terkait erat
dengan kemampuan memanfaatkan atau menguasai laut. Ambil contoh Kedatuan
Sriwijaya (sekitar abad VII-XIII) dan Kerajaan Majapahit (sekitar abad XIII-
XIV), dua kekuatan maritim awal di Nusantara, pada masa jayanya mampu
mengontrol pelayaran dan perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, dan
Laut Jawa. Berikutnya, Kerajaan Makassar (sekitar abad XVI-XVII), adalah
kekuatan maritim utama di kawasan timur Nusantara yang paling diperhitungkan
oleh kekuatan maritim kolonial pada zamannya, mampu memanfatakan pelayaran
niaga di kawasan Selat Makassar, Laut Flores, dan Laut Banda. Begitu pula
Kesultanan Ternate yang mampu mengontrol pelayaran niaga di kawasan Laut
Maluku, Laut Seram, dan Laut Banda (Hamid, 2013).
Bertolak dari uraian di atas, perhatian terhadap laut, mengikuti gagasan
Lapian (2009) ―bukan lagi merupakan hal yang pantas dilakukan‖, karena kita
menganut konsep Tanah-Air atau Pulau-Laut, ―melainkan menjadi sesuatu yang
wajib mendapat prioritas istimewa‖. Karena itu, diperlukan pendekatan sejarah
maritim yang melihat seluruh wilayah perairan sebagai pemersatu yang
mengintegrasikan ribuan pulau yang terpisah-pisah itu. Melalui pendekatan sea
systems dapat dipahami dinamika integrasi bangsa di kawasan Laut Banda,
sebagai bagian dari sistem bahari lain di Indonesia (Lapian, 2011).

40
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

PERDAGANGAN REMPAH
Laut Banda merupakan satu unit bahari yang luas dan terhubungan dengan
unit-unit bahari lain di Nusantara, sehingga memungkinkan terbentuknya jaringan
maritim yang luas pula. Ciri khas jaringan ini adalah komoditasnya, yakni pala,
fuli, dan cengkih, atau dikenal dengan rempah-rempah. Sejak masa Kedatuan
Sriwijaya, komoditas ini diperdagangkan ke Sumatera oleh Kerajaan Bacan lewat
jalur utara melintasi Laut Sulawesi, Laut Sulu, dan Laut Cina Selatan (Lapian
1994: 16-17). Rempah merupakan daya tarik khusus bagi pedagang asing datang
ke pelabuhan Sriwijaya abad ke-7 (Wolters, 2011: 301).
Sejumlah sumber Cina dari abad ke-13 dan 14 menyebutkan Maluku dan
Banda, dengan kata “Wunugu/Wenlugu” dan “Pantan/Wendan”, sebagai negeri
rempah. Penduduknya mengonsumsi sagu. Salah satu pulau yang sering
dikunjungi kapal-kapal Cina ialah Pulau Tidore. Untuk mendapatkan rempah,
pedagang Cina menukarnya dengan keramik dan kain sutra (Ptak 1992: 29; Hamid
2013: 181). Dalam sumber Cina, cengkih disebut dupa (kemenyan). Jika turun
hujan, dupa-dupa berjatuhan menutupi tanah. Jumlahnya begitu banyak sehingga
penduduk tidak dapat mengumpulnya semua. Pemimpin mereka selalu
menyimpan banyak dupa dan menjualnya kepada kapal dagang yang datang.
Banyak pedagang Cina yang mengunjungi pulau itu untuk berdagang
(Groeneveldt, 2009: 165-166). Antonio Galvao, pelaut Portugis yang mengabdi
kepada Raja Portugis, yang pernah menjadi kapitan di Ternate (1536-1539)
menulis bahwa “ship and jungs coming to the Moluccas by the Bornoe route were
the first to be seen in these islands, and they always came from that direction”
(Ptak 1992: 32). Sumber yang terakhir menambah keterangan mengenai jalur
utara dan perdagangan rempah oleh kapal dan pedagang dari Cina ke Maluku.
Jalur perdagangan rempah di utara, seperti disebutkan di atas, mengalami
kemunduran pada bagian kedua abad ke-14. Pada akhir abad itu, penguasa Ming
berkali-kali mengeluarkan larangan terhadap perdagangan luar negeri (Reid 1993:
12), sehingga permintaan Cina terhadap rempah berkurang atau bahkan berhenti.
Pada periode yang sama, berkembang pelabuhan-pelabuhan di kawasan Laut
Jawa, terutama pantai utara Jawa, dibawah kontrol Majapahit. Perdagangan di
Brunei (Kalimantan utara) dibawah Majapahit sampai akhir abad ke-14.

41
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Dampaknya, jalur kapal dagang Cina berubah, dari jalur utara (Laut Cina Selatan,
Laut Sulu, Laut Sulawesi, dan Laut Maluku) ke jalur selatan (Laut Jawa) (Ptak
1992: 33-35; Hamid, 2013: 182).
Ramainya perdagangan di jalur selatan sangat menguntungkan Kerajaan
Majapahit. Para pedagang Jawa hilir mudik ke Maluku mengimbangi aktivitas
pedagang Cina. Mereka mambawa beras dan barang-barang lain dari Jawa untuk
ditukar dengan rempah di Maluku. Rempah dibawa ke Jawa, selanjutnya dibeli
oleh para pedagang Melayu dan kemudian diperdagangkan ke Malaka (Rahardjo,
2011: 359).
Awal abad ke-15, bandar-bandar niaga di pantai utara Jawa berkembang
pesat. Awalnya berfungsi sebagai pangkalan bagi pelaut mengambil perbekalan
(beras dan air) pelayaran. Melimpahnya beras membuat bandar niaga itu menarik
perhatian pelaut. Selain menyediakan beras, bandar-bandar tersebut menjadi
tempat penimbunan rempah. Pengusaha dan pemilik kapal di bandar itu juga
menyediakan kapal untuk perdagangan di seberang lautan (Graaf & Pegeud, 2001:
26-27). Perdagangan dengan Maluku berkembang. Dari sejumlah pelabuhan di
Maluku, yakni Ternate, Tidore, Hitu, dan Banda, diperoleh rempah yang ditukar
dengan pakaian, beras, bahan-bahan makanan, dan alat-alat pertanian. Menurut
Uka Tjandrasasmita, kegiatan tersebut berlangsung sampai pada masa
perkembangan agama Islam di Maluku, sekitar abad ke-15 sampai ke-17 (Hamid,
2013: 188).
Perkembangan perdagangan maritim jalur selatan secara langsung
mengintegrasikan tiga laut inti: Laut Jawa, Laut Flores, dan Laut Banda. Selain
pedagang Cina dan Jawa, pedagang lain yang terlibat dalam perdagangan rempah
ialah orang-orang Makassar (Bugis, Makassar, Mandar). Keterlibatan pedagang
Makassar terutama setelah perkembangan pelabuhan Makassar pada awal abad
ke-16. Pelabuhan itu menyediakan rempah, yang kadang lebih murah daripada di
Maluku sendiri, untuk pedagang asing dari dalam maupun luar Nusantara. Selain
rempah, Makassar juga menyediakan beras yang sangat putih (Pires, 2014: 314).
Berhubung produksi lokal tidak mencukupi, demikian pula impor dari Jawa,
maka Makassar menguasai kawasan lumbung beras, Bima (Schriere, 2016: 93-
94). Produksi beras yang semula dipasarkan langsung oleh jung-jung ke Banda

42
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

(Pires, 2016: 289), kini dibawa ke pelabuhan Makassar. Dengan demikian,


penduduk Banda kian bergantung pada Makassar.
Menurut Schrieke (2016: 100), perkembangan Makassar tidak lepas dari
ekspansi politik Mataram yang menghancurkan kota-kota pelabuhan di Jawa
timur. Akibatnya, pusat perdagangan rempah semakin bergeser ke Makassar. Jalur
perdagangan tidak lagi menyisir pantai utara Jawa atau melalui Gresik ke Selat
Malaka, melainkan dari Maluku ke Makassar terus menyisir pantai selatan
Kalimantan ke Selat Malaka atau Banten. Dengan demikian, penduduk Maluku
yang sebelumnya berpaling pada raja-raja Jawa untuk memenuhi kebutuhan
mereka, kini menempatkan diri dibawah perlindungan Makassar.
Pada tahun 1607, dalam rangka pengembangan politik perdagangan, Raja
Tallo Karaeng Matowaya membuka perwakilan dagangnya di Banda yang setiap
tahun menyediakan beras, bahan pakaian, dan bahan lainnya yang dibutuhkan
penduduk Banda. Dari hasil penjualan tersebut, Raja Tallo membeli sejumlah
besar rempah-rempah yang kemudian dijual di Makassar kepada pedagang-
pedagang asing. Ambil contoh pada tahun itu, pedagang Belanda membeli 38
bahar (hampir 8 ton) pala (Pelras, 1983: 63). Orang Portugis dari Malaka dan
Maluku datang ke Makassar untuk mengambil bahan makanan (beras) untuk
kapal-kapal dan daerah penduduk mereka (Poelinggomang dkk, 2004: 64).
Tampak dapat dipahami alasan sehingga rempah kadang lebih murah di
Makassar daripada di Maluku. Pertama, pelabuhan Makassar merupakan Bandar
niaga internasional yang aman dan terbuka bagi semua pedagang yang datang.
Kedua, pelabuhan ini menyediakan beras dengan kualitas baik dan murah, baik
sebagai mata dagang maupun bahan konsumsi, yang ditukar dengan rempah
sehingga para pedagang tidak perlu berlayar sampai ke Maluku. Ketiga, penduduk
Maluku berupaya memperoleh perlindungan dari Makassar.
Kemampuan Kerajaan Makassar mengendalikan perdagangan rempah dan
beras mengantarnya menjadi kekuatan politik terbesar di kawasan timur Nusantara
abad ke-16 sampai pertengahan ke-17 (sebelum Perang Makassar: 1666-1669).
Namun demikian, keberhasilan itu juga memacu keinginan bangsa asing (Eropa)
untuk menguasainya. Di antaranya yang paling bergairah adalah Belanda (VOC).
Selain menjalin hubungan dengan ―anak angkat‖ Karaeng Pattingaloang, Arung

43
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Palakka, juga terhadap Sultan Buton. Raja terakhir dipandang mempunyai peran
penting dalam mengamankan jalur rempah di kawasan Laut Banda, terutama
barata-nya di Kepulauan Tukang Besi. Ketiganya menantang Makassar dalam
perang yang berakhir dengan kekalahan Makassar. Sejak saat itu, perdagangan
rempah dan jalurnya dikuasai oleh Belanda. Jaringan maritim Laut Banda yang
semula dikuasai kekuatan maritim pribumi, sekarang beralih kepada kekuatan
maritim asing (VOC).

MIGRASI ORANG BUTON KE MALUKU


Pengaruh perkembangan jaringan maritim Laut Banda tidak hanya pada segi
ekonomi dan politik, seperti diuraian di atas, tetapi juga aspek sosial berupa
migrasi penduduk Buton ke Maluku. Sejauh ini belum ada studi yang secara
spesifik menyebutkan awal kedatangan mereka di Maluku. Dalam ingatan kolektif
penduduk Maluku (dan juga Buton sendiri), migran Buton di Ambon dan Seram
lebih dikenal dengan ―orang Binongko‖, meskipun di antara mereka
sesungguhnya tidak berasal dari Pulau Binongko, sebuah pulau di Kepulauan
Tukang Besi. Hal itu mengindikasikan bahwa migrasi awal orang Buton ke
Maluku dilakukan penduduk Binongko.
Nama ―Kepuluan Tukang Besi‖ sering menjadi bahan diskusi dalam
mencari hubungan ―awal‖ Buton dengan Maluku. Menurut Susanto Zuhdi (2010:
61-62), nama itu berkaitan dengan perkembangan politik di Maluku. Ketika VOC
memaksakan monopolinya dalam perdagangan rempah, dengan melakukan
penebangan pohon rempah-rempah (hongi tochten), seorang raja Hitu bangkit
melakukan perlawanan (Perang Hitu: 1634-1646). Dalam pertempuran itu ia
tertangkap dan bersama kira-kira tiga ratus pengikutnya dibuang ke wilayah
Buton, tepatnya gugusan kepulauan di sebelah tenggara dari Pulau Buton. Sejak
kedatangan tawanan VOC di sana, maka pulau-pulau tersebut dikenal dengan
―Tukang Besi‖, yang diambil dari nama pemimpin perlawanan rakyat Hitu,
Kapitan Telukabessi.
Menurut Hamid (2016a; 2016b), selain merujuk nama pemimpin
perlawanan rakyat Hitu, kata ―Tukang Besi‖ sesungguhnya terkait dengan profesi
penduduknya. Dari empat pulau utama (Wangiwangi, Kaledupa, Tomia,

44
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Binongko), hanya penduduk Binongko yang masih bertahan dengan profesi


tukang besi. Mulai pagi sampai malam terdengar bunyi pengolahan besi pada
sejumlah kampung di Binongko. Pada tahun 2016, saat melakukan penelitian di
sana, saya menyaksikan kegiatan itu di tepi pantai dan sekitarnya. Tidak heran,
jika pelaut di kapal-kapal Eropa (Belanda) mendengarkan bunyi besi sepanjang
pelayaran mereka melintasi kawasan itu. Maka disebutlah daerah itu dengan nama
―Toekang Besi Eilanden‖ (Kepulauan Tukang Besi).
Hingga kini, hasil pandai besi Binongko dipasarkan ke berbagai daerah di
Indonesia timur, khususnya Maluku. Parang Binongko paling digemari petani di
Maluku. Menurut keterangan seorang penjual parang di Binongko, ketika dia
melakukan perjalanan berkeliling kampung di Maluku menjual parang, calon
pembeli biasanya tidak banyak bertanya soal seluk beluk parang yang dijualnya
setelah mengetahui bahwa ―itu [adalah] parang Binongko‖. Pasalnya, parang
Binongko terkenal berkualitas (kuat dan tajam). Dengan demikian, nama Tukang
Besi merupakan ―produk lokal‖, yang diambil dari profesi penduduknya. Hasil
pandai besi menjadi komoditas yang diperdagangkan penduduk Binongko. Sejak
zaman bahari, orang Binongko terkenal sebagai pelaut ulung (Hamid, 2016a: 35-
36).
Gubernur Jenderal VOC, Joan Metsuyker (1653-1678), dalam suratnya pada
31 Januari 1673, menyebutkan bahwa Pulau Binongko telah dimanfaatkan sebagai
tempat persinggahan orang Inggris yang datang dari arah timur. Hanya pelaut
berpengalaman yang bisa melewati perairan Binongko dengan selamat, karena
banyak karang yang membahayakan pelayaran (Zuhdi, 2010). Menurut Lapian
(2008: 8-9), kapal-kapal Eropa yang pertama datang di Nusantara dipandu oleh
pelaut lokal sampai ke tempat tujuan. Dalam konteks ini, pelaut Binongko
dimanfaakan sebagai penunjuk jalan bagi kapal-kapal Eropa ke Maluku dan
sebaliknya. Jauh sebelum kedatang bangsa Eropa, mereka telah mengenal
kawasan Laut Banda dan sekitarnya dengan baik sehingga mudah mengarunginya.
Sejarawan Gerrit Knaap (2004) menulis bahwa pada abad ke-17 terdapat
orang Buton di Pulau Seram dan Ambon. Pada akhir abad ke-19, orang Binongko
pergi mencari kerja di Maluku, tepatnya di Pulau Banda. Mereka tinggal di Pulau
Neira, tepatnya Panti Sero. Sebagai pekerja, mereka disebut ―orang sewaan‖.

45
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Ambtenar muda Belanda, W. Ph. Coolhas, yang pernah bertugas di Maluku


mengatakan bahwa orang Binongko yang pertama datang di Ambon dan Seram.
Karena itu, semua yang datang dari Buton disebut ―orang Binongko‖ (Hamid,
2016b: 22-23).

KESIMPULAN
Perkembangan jaringan maritim Laut Banda sangat penting dalam sejarah
Indonesia. Tidak hanya dari segi geografis, sebagai unit bahari yang terhubung
dengan unit bahari lain sehingga terbentuk ―laut inti‖ Nusantara, tetapi juga
karena komoditasnya (rempah-rempah) yang banyak memberikan ―arah‖ sejarah
penduduk dan kekuatan politik di kawasan ini. Dinamika kehidupan yang
dihasilkan dari jaringan ini melampaui radius geografisnya. Dengan demikian,
pengkajian lebih lanjut mengenai sistem laut ini dapat membuka peluang berbagai
interpretasi yang akan semakin memperkaya pengetahuan kita. Keberadaan orang
Buton di berbagai wilayah di Maluku, adalah ―warisan‖ sejarah Laut Banda, perlu
dikaji dalam sebuah tema ―Diaspora Buton‖. Tentunya, aspek yang disorot bukan
hanya sebatas pengalaman mereka (sejarah), tetapi juga (bila mungkin) bagaimana
mereka (akan) membuat sejarahnya.

DAFTAR PUSTAKA

Andaya, L.Y. 2004. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan abad ke-
17 (Terj. Nurhady Sirimorok). Makassar: Ininnawa.
Hamid, A.R. 2013. Sejarah Maritim Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
______. 2016a. ―Binongko People‘s life in Coral Island‖, Wacana: Journal of the
Humanities of Indonesia. Vol. 17 No.1. Depok: Faculty of Humanity,
University of Indonesia. (h. 19-37).
______. 2016b. ―Binongko, Pulau Sejarah‖, Pabitara (Majalah Sastra dan
Budaya). Edisi XI 2016. Kendari: Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara. (h.
18-23).
Djalal, H. 1979. Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut. Bandung:
Binacipta.
Dick, H.W. 1998. Industri Pelayaran Indonesia: Kompetisi dan Regulasi.
(Terj.Burhanuddin A. & Maman H). Jakarta: LP3ES.
Lapian, A.B. 1997. ―Laut, Pasar dan Komunikasi Budaya‖, Kongres Nasional
Sejarah 1966. Jakarta: Depdikbud RI. (h.141-145).
_______. 2008. Pelayaran dan Perniagaan Nusantara abad ke-16 dan 17. Depok:
Komunitas Bambu.

46
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

______. 2009. Orang Laut – Bajak Laut – Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut
Sulawesi abad XIX. Depok: Komunitas Bambu.
______. 2011. ―Sejarah Nusantara Sejarah Bahari‖, Riris K. Toha-Sarumpaet (ed),
Ilmu Pengetahuan Budaya dan Tanggung Jawabnya. Jakarta: UI Press.
(h.24-39).
van Leur, J.C. 1974. ―Mahan di Meja Baca Hindia‖, J.C. van Leur & F.R.J.
Verhoeven. Teori Mahan dan Sejarah Kepulauan Indonesia. Jakarta:
Bhratara (h.13-27).
Pelras, Ch. 1983. ―Sulawesi Selatan sebelum Datangnya Islam berdasarkan
Kesaksian Bangsa Asing‖, Citra Masyarakat Indonesia. Jakarta: Sinar
Harapan. (h. 56-82)
Pires, T., 2014. Suma Oriental. (Terj. Adrian Perkasa & Anggita Pramesti).
Yogyakarta: Ombak.
Poelinggomang, Edward L. 1997. ―Perdagangan Maritim: Sumber Daya Ekonomi
dan Manusia Kawasan Timur Indonesia‖, Kongres Nasional Sejarah 1966.
Jakarta: Depdikbud RI. (h.147-153).
______, dkk, 2004. Sejarah Sulawesi Selatan Jilid 1. Makassar: Balitbangda
Propinsi Sulawesi Selatan.
Poesponegoro, M. D. & N. Notosusanto, 1993. Sejarah Nasional Indonesia III.
Jakarta: Depdikbud – Balai Pustaka.
Scrieke, B.J.O, 2016. Kajian Historis Sosiologis Masyarakat Indonesia Jilid 1.
(Terj. Aditya Pratama). Yogyakarta: Ombak.
Reid, A., 1993. Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680. Thailand:
Silkworm Books.
Zuhdi, S., 1998. ―Perairan Buton abad ke-19‖, Christian Pelras (peny.), Dialog
Prancis-Nusantara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. (h.186-190).
______. 2010. Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana. Jakarta:
Rajawali Pers

47
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

48
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

PENGARUH DAN IMPLIKASI REMPAH MALUKU DALAM ALAM


PIKIRAN EROPA ABAD KE XIV S/D ABAD KE- XVII

SYAHYUNAN PORA1

ABSTRAK
Rempah rempah Maluku sejak awal sejarah perdagangan Timur-Barat telah
menjadi ajang persaingan sengit antara bangsa Asia dan Eropa dalam
memperebutkan cengkeh dan pala. Para pedagang Portugis, Spanyol, Inggris dan
Belanda mencari kemasyhuran, keuntungan dan kekuasaan jauh dari tempat asal
mereka lalu terlibat dalam persaingan sengit dengan pedagang Arab, India, Cina,
Jawa dan Makasar, termasuk orang Maluku. Rempah rempah telah menjadi
legenda di Eropa Abad Pertengahan sebagai sumber terbesar kekayaan timur,
cengkeh dan pala adalah produknya. Rempah rempah eksotis yang datang dari
dunia timur itu dibawa oleh para pedagang Arab melalui Konstantinopel dan
Alexandria untuk kemudian menuju ke sejumlah kota di Yunani dan kota-kota
lainnya di Eropa. Kerajaan koloni Portugis, Inggris dan Belanda di Asia dibangun
atas dasar pencarian kayu manis, cengkeh, lada dan pala. Demi rempah-rempah,
kekayaan datang dan pergi, kekuasaan dibangun untuk kemudian dihancurkan dan
bahkan sebuah dunia baru ditemukan.

Kata Kunci : Rempah, Maluku, Sejarah, Cengkeh, Eropa

PENDAHULUAN
Ribuan tahun lalu, rempah-rempah memiliki banyak implikasi yang
membuatnya dicintai juga dibenci. Rempah adalah katalis penemuan yang secara
tidak langsung sering digunakan oleh kalangan sejarawan untuk mengkonstruksi
ulang dunia. Kerajaan koloni Portugis, Inggris dan Belanda di Asia dibangun atas
dasar pencarian kayu manis, cengkeh, lada dan pala. Nafsu akan rempah
memunculkan energi yang tercurah secara luar biasa dan tidak ada bandingannya,
baik pada saat kelahiran dunia modern maupun dalam beberapa abad atau bahkan
ribuan tahun sebelumnya. Rempah rempah sudah menjadi legenda di Eropa
sebagai sumber terbesar kekayaan dunia timur, cengkeh dan pala adalah
produknya.

1
Syahyunan Pora, M.Hum., Dosen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Khairun Ternate. Kandidat Doktor bidang Sejarah UGM. Email:
yunansyahpora@gmail.com

49
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Cengkeh, kuncup bunga yang dikeringkan dari pohon cengkeh, pertama kali
dicatat dalam literatur barat dalam sebuah laporan Yunani dari Abad ketujuh
Masehi. (Vlekke, 2008 :100). Bandar-bandar besar Tyre di Yunani dan Venesia di
Italia menjadi pelabuhan utama rempah-rempah Maluku yang masuk dalam
kehidupan dan peradaban Eropa. Rempah Maluku selain dijadikan sebagai
bumbu masakan, obat, dan ramuan wewangian, cengkeh dan pala juga menjadi
bahan utama pengawet pangan selama bermusim-musim. (Topatimasang (ed),
Putut EA, dkk, 2013 : 1). Herodotus Sejarawan Yunani lahir di Halicarnassus,
Caria, hidup di Abad ke- V SM (484 SM – 425 SM) menyebut tiga bahan dasar
mumifikasi yang paling mahal adalah menggunakan bahan rempah-rempah,
termasuk legenda heroik perang troya pada masa Yunani Kuno juga melibatkan
rempah rempah (Heraty, 2013 : 59).
Hipokrates (460-377 SM), Filsuf Yunani kuno dan juga dikenal sebagai
"Bapak Kedokteran" serta pencetus kode etik kedokteran yang melalui sumpah
medis namanya selalu disertakan sebagai sumpah Hipokrates, merinci kurang
lebih 400 sampel tanaman obat berbahan rempah dan herbal yang setengahnya
masih digunakan hingga saat ini. Filsuf dan Ilmuwan Yunani kuno lainnya
Theopharastus (372-287 SM), dalam beberapa literatur namanya diacu sebagai
"Bapak Botani moderen, " menulis dua buku On Odors dan An Enquiry into
Plants, merangkum berbagai risalah tumbuh-tumbuhan yang berhubungan
dengan aroma, kelelahan, pingsan, kelumpuhan, cuaca, dan theriaca (semacam
ramuan penangkal terhadap gigitan hewan berbisa yang terdiri dari berbagai
bahan-bahan ―aneh‖ seperti opium, dan rempah-rempah).
Theopharastus menunjukkan bahwa sebagian besar tanaman rempah-
rempah wangi tersebut berasal dari daerah-daerah panas di Asia yang berlimpah
sinar matahari ( Rosengarten, 1969 : 23–96). Melalui catatan yang ditulis oleh
para penulis Romawi dan Yunani kuno dari zaman Perunggu sekitar abad ke 13
dan ke 14 SM, bahwa di Kota kota kuno Yunani seperti Knossos di Pulau Kreta,
Kota Mycenae dan Pylos di Peloponnese banyak memberikan informasi tentang
rempah-rempah dan tanaman herbal aromatik yang telah digunakan oleh bangsa
Romawi dan Yunani sejak awal peradaban kuno. Abad ke-4 SM, Hipokrates
menggunakan rempah sebagai obat-obatan dalam berbagai terapi penyembuhan.

50
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Begitu juga Theopharastus dari Lesbos, yang pernah belajar bersama dengan Plato
dan Aristoteles (sebagai penerus Sekolah Lyceum) satu langkah lebih maju
mengkhususkan minatnya di bidang Botani dengan mengklasifikasi berbagai
tanaman rempah, termasuk khasiat dari pemanfaatan rempah untuk kepentingan
ilmu Gastronomi atau Tata Boga. (Mundigler, 2004 : 1).
Hadirnya rempah Maluku dalam dunia Eropa menandai epik pelayaran
ummat manusia di era ―abad penemuan‖ dalam menyeberangi berbagai benua
dan lautan luas yang pertama kali tercatat dalam kehidupan sejarah manusia.
(Burnet, 2008 :14). Ajaran Kopernikus dan Galileo yang menyatakan bahwa
―bumi ini bulat‖ juga banyak mempengaruhi dan mendorong para pelaut Spanyol
dan Portugis serta negara Eropa lainnya untuk berlayar mengarungi samudra
mencari daerah ―koloni‖ baru. Kisah perjalanan Marco Polo, saudagar dari
Venesia, ke negeri Cina (1271-1292) telah banyak menginspirasi semangat para
pelaut Eropa Barat untuk pergi berlayar jauh mencari negeri-negeri baru. Kisah
perjalanan Marco Polo yang dituliskan dalam kitab Imago Mundi (Citra Dunia)
banyak dibaca dan dicari orang saat itu (Djafaar, 2006 :11).
Cengkeh telah diperdagangkan jauh sebelum era ekspansi pelaut Eropa
dalam mencari rempah rempah ke dunia timur, tercatat ada sebuah perubahan
penting terjadi di akhir Abad XIV, di zaman itulah Kota kota pesisir timur laut
Pulau Jawa dengan para pimpinan elit Cina, Arab dan Jawa, menjadi titik terdepan
dalam jalur perdagangan aktif antar pulau (Internasional) yang menghubungkan
Kepulauan Rempah dengan dunia lainnya. Malaka (1400-1511) menjadi
pelabuhan utama pengumpulan dan distribusi Cengkeh dan rempah rempah Asia
Tenggara, termasuk yang berkontribusi besar buat kemakmuran Maluku sebelum
kedatangan Bangsa Eropa (Cortesao, 2015: 182-189).

PEMBAHASAN
Kata ―Spice‖ yang terkenal di dunia barat atau rempah di dunia Timur,
membangkitkan sesuatu yang lebih dari sekadar bumbu penyedap, melainkan
sebuah sensasi yang penuh gaung masa lalu, termasuk sarat dengan kekayaan cita
rasa dan konsekuensi di luar nalar. Secara umum, rempah rempah bukanlah
herbal, yang umum ditafsirkan sebagai bagian yang hijau dan aromatis dari

51
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

tanaman. Herbal berasal dari daun, sementara rempah dihasilkan dari bagian lain
tanaman: kulit, akar, pucuk bunga, getah dan damar, termasuk buah atau sari
bunga. Herbal cenderung tumbuh di iklim bersuhu dingin, sementara rempah di
udara tropis. (Turner, 2005: xxiv). Pengertian Rempah rempah menurut Kamus
Bahasa Indonesia (KBI) adalah: ―Zat yg digunakan untuk memberi bau dan rasa
khusus pada makanan; bermacam-macam bumbu, obat dan sebagainya‖. (Pusat
Bahasa Depdiknas, 2008:1193). Sementara menurut Kamus Bahasa Inggris
Oxford, yang dikutip oleh Turner (2005), rempah- rempah adalah :
― One or other of various strongly flavored or aromatic substances of
vegetable origin obtained from tropical plants, commonly used as
condiments as employment for other purposes an account of their fragrance
and their preservative qualities‖ (Turner, 2005: xxxiii).

Rempah cengkeh, (Syzigium Aromaticum, atau Eugenia Aromatica atau


Kuntze) berasal dari lima pulau kecil di bagian Utara Maluku yaitu Ternate,
Tidore, Moti, Makian dan Bacan (Andaya, 2015 : xvi). Pala atau buah pala
(Myristica Fragrance) berasal dari kepulauan Banda yang terletak disebelah
tenggara pulau Ambon (Alwy, 2005 : 3). Pala di abad ke-15 menjadi ―magnet‖
bagi bangsa Portugis, Inggris dan Belanda. Selama empat abad dan sesudahnya,
bangsa Eropa masih saling bertikai untuk menguasai pala yang hingga abad ke-18
merupakan satu satunya sumber pala yang ada di dunia (Ismail dalam Des Alwy,
2005 : v). Ketika produk timur yang sangat penting ini menjangkau Barat,
rempah-rempah tidak hanya memperoleh kandungan sejarah penuh makna yang
hanya bisa disetarakan dengan sejumlah jenis makanan kecil lainnya seperti roti,
garam dan anggur yang mana ketiga simbol jenis makanan tersebut memiliki
simbol yang agung pada abad pertengahan. Simbol roti mengandung ungkapan ―
berikan jatah roti kita hari ini‖, (tuntutan keberkahan dan kasih sayang), simbol
garam, mengandung ungkapan ―garam dunia‖ atau merefleksikan kematangan
pengalaman hidup seseorang, dan pada anggur mengandung simbol ―kebenaran,
kematian, dusta atau perbuatan berlebihan sebagai cerminan (perilaku)
seseorang‖.
Pada simbolisme rempah lebih beraneka ragam lagi, simbol rempah
mengandung ambivalensi yang lebih kuat dibandingkan ketiga jenis makanan
tersebut. Saat rempah tiba dengan kapal atau karavan dari timur, terdapat juga

52
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

muatan kasat mata yang penuh dengan keterkaitan mitos dan fantasi yang
menjijikan bagi sebagian orang namun juga memikat bagi sebagian lainnya.
(Turner, 2005: xviii). Rempah Maluku tidak semata mengakumulasi penyebab
kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia dan berimplikasi pada lahirnya sejarah
kolonialisme dan imperalisme yang panjang di Indonesia. Namun pengaruh dan
implikasi rempah-rempah di Eropa juga melahirkan berbagai perisitiwa yang
berhubungan dengan pola pikir masyarakat Eropa.
Cengkeh dan Pala Maluku pernah memetakan geografi dunia yang kental
dimensi politik melalui perjanjian Tordesilas yang ditandatangani antara Spanyol
dan Portugis pada 7 Juni 1494 atas prakarsa Paus Alexander VI, dilanjutkan pada
Traktat Zaragosa pada 22 April 1529, hingga Traktat Breda antara Inggris dan
Belanda yang menggadaikan Pulau Run di sekitar kepulauan Banda dan New
Amsterdam atau New York kini (Ruray, 2010; 14). Pedagang Arab yang lebih
dulu mengenal rempah-rempah berupaya dengan berbagai cara melindungi
monopoli rempah serta menyimpan sumber pengetahuan mengenai dari mana
rempah-rempah timur yang eksostis itu berasal. Berbagai kisah mitos dan mistik
Bangsa Arab yang menyertai suplai rempah-rempah timur ke dunia Eropa
terutama pada awal-awal era peradaban Romawi dan Yunani Kuno, dianggap
oleh para sejarawan modern sebagai rahasia ―terbaik‖ yang pernah bertahan
hingga berabad-abad lamanya (Turner, 2005: 55).
Ketika wabah pes melanda Eropa abad ke 14, dan menyerang hampir semua
wilayah Eropa yang dikenal dengan Black Death atau wabah ―maut‖ hitam.
Bencana itu termasuk bencana terburuk yang pernah dialami oleh umat manusia
yang memakan korban hingga 25 juta orang. Kaum terpelajar di Paris, Prancis,
meyakini bahwa Wabah ―maut‖ Hitam (Black Death) terjadi pada tanggal 20
Maret 1345. Kaum terpelajar Prancis mengklaim bahwa konjungsi rangkap tiga
dari planet Saturnus, Jupiter, dan Mars berada bertepatan atau sejajar dengan satu
sama lain pada bulan Maret 1345 sehingga menghasilkan "udara jahat" yang
secara langsung menyebabkan epidemi. (Kuk dalam De la Haye, 1888: xvi-xvii).
Untuk menghentikan bencana ini, Raja Philippe VI dari Prancis memerintahkan
Fakultas Kedokteran Paris untuk mencari penyebab dan pengobatan untuk wabah
tersebut. Hasil rekomendasi dari Fakultas Kedokteran tersebut antara lain :

53
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

merekomendasikan bahwa setiap orang harus menghindari udara buruk dari


Selatan, dan untuk menghilangkan udara tersebut harus melakukan pengasapan
dengan cara membakar rempah-rempah atau tanaman aromatik. Tidak makan atau
minum secara berlebihan, rebus semua daging dengan menggunakan rempah-
rempah dalam sup kasia, kayu manis, anggur, cuka, dan jahe, ditambah cengkeh
disaat membuat saus (Kuk dalam De la Haye, 1888: xxxii).
Selain itu, rekomendasi lain, yaitu orang-orang harus membawa kantong
dupa yang disebut pomme d'ambre. Dalam kantong dupa tersebut, terdapat
rempah-rempah Asia seperti lada, jahe, kayu manis, cengkeh, kapulaga, kencur,
atau kunyit (Kuk dalam De la Haye, 1888: xxxvii, 82, 146-155; McVaugh, 1982:
253). Pada abad pertengahan bangsa Eropa memandang dunia Timur berdasar
pada karya Cladius Ptolemy abad ke II yang berjudul ―Tetrabiblos‖. Pandangan
orang-orang Yunani bahwa Bumi terbagi antara dua kutub. Wilayah suhu bagian
Utara ―Oikumene‖ atau wilayah yang berpenghuni dan terdapat manusia
―beradab‖. Sementara suhu bagian selatan ―Khatulistiwa‖ adalah wilayah yang
tidak berpenghuni, dan kalaupun berpenghuni wujud manusianya beserta
karakteristik kebudayaannya berbeda dengan wilayah suhu bagian Utara.
Wilayah suhu bagian selatan atau wilayah Khatulistiwa di percaya tidak
akan mampu menopang kehidupan akibat iklimnya yang terlalu panas. (Penrose,
1420 : 2, Andaya, 2015 : 5). Suhu, beserta iklim dan wilayah mendapat prioritas
utama dalam sejarah medis Eropa abad pertengahan. Teori Humoral menerangkan
bahwa kesehatan setiap orang berpengaruh pada lingkungan atau iklim dimana
seseorang itu tinggal. Bahkan ―Jantung‖ ilmu kedokteran Eropa Barat pada Abad
Pertengahan berakar pada teori humoral sistematis yang dikembangkan oleh
Hipokrates dan Gallen. Inti dari teori Humoral adalah harmoni antara manusia dan
alam semesta. Teori Humors atau humoral ini, (Keseimbangan Alam dan
penghuninya) diadopsi dari Filsuf Empedokles (493-433 SM), mengenai Alam
Semesta yang terdiri dari empat anasir : Bumi, Air, Api, dan Udara. Masing-
masing anasir tersebut memiliki kehangatan dan kelembaban yang berbeda beda.
Bumi memiliki sifat dingin dan kering, air memiliki sifat dingin dan basah, api
memiliki sifat hangat dan kering, dan udara memiliki sifat hangat dan basah (Kuk,

54
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

2014 : 322). Ajaran tentang anasir yang empat itu besar pengaruhnya kemudian
dalam Ilmu Alam hingga abad ke-17. (Hatta, 1986 : 36)
Teori humors yang mengacu pada Empat unsur anasir diatas memberi
tempat kepada sejumlah rempah-rempah Asia yang cenderung bersifat kering
sebagai alternatif pengobatan bagi kesehatan manusia. Korelasi antara Rempah
rempah sebagai pengobatan dan ditunjang oleh suhu/iklim tempat manusia
tinggal (Humors) mendapat jastifikasi melalui sebuah buku yang berjudul ―Circa
instans‖ ditulis oleh seorang dokter terkenal Matthaeus Platearius asal Italia.
Buku yang kemudian bisa disetarakan dengan Ensiklopedia Famakologi Abad
Pertengahan yang mengacu pada buku dari Dioscorides, Galen, Oribasius, dan
Constantine dari Afrika. Sepanjang abad ke-13, buku ini diterjemahkan dalam
bahasa Prancis, Inggris, dan Jerman. Dalam buku ini menjelaskan secara rinci,
efek serta kegunaan rempah-rempah seperti : Merica, Jahe, Kayu Manis, Cengkeh,
Pala, dan Fuli. Keenam rempah-rempah Asia utama inilah yang paling dicari oleh
Orang-orang Eropa abad pertengahan. (Kuk, 2014 : 326).

KESIMPULAN
Pentingnya rempah rempah Nusantara (Indonesia) termasuk pohon cengkeh
dan buah pala dari Maluku saat itu, menyiratkan bahwa rempah rempah, terutama
cengkeh dan pala mempunyai peran sentral dalam peradaban Dunia. Dilandasi
oleh fajar budi era Renaisans serta semangat penaklukan dunia di era medio akhir
abad pertengahan hingga permulaan awal abad moderen bangsa Eropa berlomba-
lomba memapankan status sosial dan identitas diri sebagai bangsa yang
―bermartabat‖ dan berkuasa.
Bangsa Eropa saat itu ingin memperadabkan bangsa-bangsa lain melalui
Ilmu pengetahuan dan agama, disamping meraup keuntungan dari hasil rempah-
rempah yang diperoleh dari dunia timur. Kedatangan orang-orang Eropa pertama
di Maluku pada abad ke XV dipandang sebagai masa yang paling penting dalam
kawasan ini. Eropa melakukan ekspansi keluar dan menguasai bangsa-bangsa
lainnya, secara politis maupun ekonomis memberikan asumsi mengenai tiga teori
yang berhubungan dengan ekspansi bangsa Eropa tersebut. Pertama, bahwa
ekspansi terjadi atau dilakukan berdasar pada semangat idealisme abad

55
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

pertengahan untuk menyebarkan ajaran Tuhan dalam hal ini menyebarkan agama
Katolik maupun Kristen, agar terciptanya tatanan dunia yang lebih baik. Kedua,
untuk merepresentasikan semangat kekuasaan dan penaklukan atas nama pribadi
maupun kebesaran masyarakat dan negaranya. Ketiga, obesesi untuk menguasai
sumber sumber ekonomi atau menambah kekayaan pundi-pundi negaranya
(Djafaar, 2007 ; 4). Rentang abad ke-14 hingga abad ke-17, pelayaran melintasi
lautan menimbulkan tuntutan baru pada ilmu astronomi, pengetahuan geografi
hingga tekhnik-tekhnik baru yang terukur secara matematis mengenai dunia
kemaritiman (Ravertz, 2007 : 31 ).
Kemajuan di bidang seni, tekhnologi maupun kebudayaan di era renaisans
yang terjadi sekitar periode 1400 sampai dengan 1600 (Hamersma, 1984: 3), turut
memberi khazanah perkembangan pemikiran ilmu pengetahuan bagi alam
pikiran Eropa yang sebelumnya didominasi oleh alam mitis dan dogma gereja.
Saat yang bersamaan rempah-rempah dari timur, (Nusantara, Maluku dan India)
memainkan peranan penting bagi kemakmuran di beberapa negara kota Italia,
Florence, Roma dan Venesia sebagai kota perdagangan yang mempertemukan
para sudagar dari berbagai bangsa yang berinteraksi secara intensif. (Hardiman,
2004 : 10). Mengutip pendapat Jack Turner dalam ―Spice, The History of A
Temptation‖, (2005), sejarah rempah diibaratkan seperti ribuan gulungan benang
kusut dan tidak teratur yang tidak bisa dibentuk menjadi jalinan benang yang rapi
dan jelas dalam beberapa tahun saja, sebagaimana yang sering dilakukan oleh para
sejarawan. (Turner, 2005: xxii).
Rempah pada sebagian kalangan masyarakat Eropa dianggap sebagai
makanan terlarang, cita rasanya penuh ambiguitas dan paradoks. Efeknya bagi
kesehatan dan daya picu seksualnya ditafsirkan sebagai rangkaian dosa yang
meliputi keangkuhan, kemewahan, keserakahan dan hawa nafsu. Hal tersebut jelas
jauh dari kata suci yang terkandung dan bersumber dari daya tarik rempah. Dalam
konteks ini rempah rempah mengisi tempat yang istimewa, dengan
mengesampingkan fakta bahwa rempah dalam konteks nutrisi tidaklah penting,
yang terpenting adalah bagaimana rempah menurut Jared Diamond dan Gunter
Grass, bahwa makanan telah memainkan peranan penting dalam membentuk nasib
manusia.

56
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Des. 2005. Sejarah Maluku, Banda Naira, Ternate, Tidore Dan Ambon.
Dian Rakyat. Jakarta
Andaya, Leonard. Y. 1993. The World Of Maluku : Eastern Indonesian In Early
Modern Period (Terj. 2015. Dunia Maluku Indonesia Timur Pada Zaman
Modern Awal). Yogyakarta. Penerbit Ombak
Burnet, Ian. 2011. Spice Isands. Australia. Rosenberg Publishing.
Cortesao, Armando. 1944. The Suma Oriental Of Tom Pires An Account of The
East From The Sea To China And The Book of Francisco Rodrigues.
(Terjemahan 2014. Suma Oriental. Tome Pires: Perjalanan dari Laut
Merah Ke China Dan Buku Francisco Rodrigues). Yogyakarta. Penerbit
Ombak.
Djafaar, Irza Arnyta. 2007. Jejak Portugis Di Maluku Utara. Yogyakarta. Penerbit
Ombak.
Hammersma, Harry. 1983. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta. P.T
Gramedia.
Heraty Toeti Noerhadi-Roosseno. 2013. Spices History and Tragedy. Paper On
International Spices Conference 19-21 August 2013. Ambon.
Ismail, Taufik, dalam Des Alwi. 2005. Sejarah Maluku, Banda Naira, Ternate,
Tidore Dan Ambon. Dian Rakyat. Jakarta
Mundigler, Chris. 2004. The Ancient Spice Trade, Part IV: Rome and the Early.
Journal Labyrinth Issue Vol-84. Canada. Department of Classical Studies
University of Waterloo.
Nam, Jong Kuk. 2009. Spices in Europe in the Later Middle Ages. Journal of
Western Medieval History Vol-24. Department of History. Ewha Womans
University Korea.
Ravertz, Jerome, R. 1982. The Philosophy Of Sciene. University Press.Oxford.
Alih Bahasa Saut Pasaribu. 2007. Filsafat Ilmu, Sejarah dan Ruang Lingkup
Bahasan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Rosengarten, Jr. F. 1969. The Book Of Spices. New York. Jove Publication Inc.
Ruray, Syaiful Bahri. 2010. Makalah Simposium mengenai Rediscovery The
Spices Islands, The Legal and Socio-Political in North Moluccas.
Kerjasama pemda provinsi Maluku Utara, bersama University of Le
Havre- Perancis, Yayasan Saloi, Universitas Khairun Ternate (Unkhair),
Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (Ummu), dan Universitas
Halmahera (Uniera).
Topatimasang-ed, Putut EA, dkk. 2013. Ekspedisi Cengkeh. Makasar. Ininnawa &
Layar Nusa.
Turner, Jack. 2005. Spice, The History of A Temptation (terjemahan: 2011 Sejarah
Rempah) Komunitas Bambu. Depok.

57
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

58
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

TRANSPORTASI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI:


Kejayaan Pulau Banda Dimasa Lalu Menuju Masa Depan

MARCUS TUKAN1 & HALID LATUCONSINA2

ABSTRAK
Indonesia sebagai negara maritim berada diantara antara banua Asia dan benua
Australia, juga antara samudra Hindia dan samudra Pasifik, terdiri dari kurang-
lebih 13.000 pulau, dengan perbandingan wilayah laut (78%) dan darat (22%).
Juga memiliki tiga laut utama diantaranya: Laut Jawa, Laut Flores dan Laut
Banda. Ketiga lautan ini merupakan kawasan jalur perdagangan laut kepulauan
Indonesia, dan menjadi jalur pelayaran dan perdagangan antar pulau sebelum
datangnya bangsa Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Kondisi geografis
wilayah secara umum sangat berdampak pada pengembangan dan pembangunan
yang cenderung dipengaruhi oleh karakteristik perbedaan potensi sumber daya
dan ketersediaan infrastruktur yang dimiliki oleh masing-masing wilayah. Kondisi
ini akan memberikan gambaran pendekatan pembangunan yang berbeda untuk
masing-masing wilayah pulau namun infrastruktur transportasi laut sebagai
pendukung utama pembangunan wilayah harus dikembangkan secara sinerjik
sehingga dapat memberikan layanan yang optimal. Maka diperlukan sistem
transportasi yang efektif-efisien sehingga dapat berfungsi melayani perpindahan
orang dan barang antar simpul atau kota di wilayah kepulauan guna menjadikan
Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia serta didukung dengan Tol Laut.
Pembangunan trasportasi wilayah kepulauan menjadi penting, namun jika tidak
direncanakan dengan baik maka dengan demikian akan menjadi beban
pembangunan itu sendiri karenah akan menciptakan ekonomi biaya tinggi yang
berdampak pada pertumbuhan ekonomi wilayah olehnya itu penentuan dimensi
transportasi berkorelasi positip terhadap potensi ekonomi wilayah khususnya
infrastruktur yang ―bergerak‖ baik pada moda darat, laut dan udara dalam
meningkatkan konektivitas antar pulau.

Kata Kunci: Transportasi, Pembangunan Ekonomi, Laut Banda

PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara maritim berada diantara antara dua benua, yaitu
benua Asia dan benua Australia, juga antara dua samudra yaitu samudra Hindia
dan samudra Pasifik, terdiri dari kurang-lebih 13.000 pulau, dengan perbandingan
wilayah laut (78%) dan darat (22%) (Ensiklopedia Nasional Indonesia, 1989: 74-
75). memiliki tiga laut utama diantaranya: Laut Jawa, Laut Flores dan Laut Banda.

1
Prof.Dr. Ir. Marcus Tukan, BSE., MT., adalah Guru Besar pada Fakultas Teknik
Universitas Pattimura Ambon. Email: marcustukan@gmail.com
2
Prof.Dr. Khalid Latuconsina, M.Ag., adalah Guru Besar pada IAIN Ambon.

59
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Ketiga lautan ini merupakan kawasan jalur perdagangan laut kepulauan Indonesia,
dan menjadi jalur pelayaran dan perdagangan antar pulau sebelum datangnya
bangsa Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda.
Houben, Maier, dan Molen, (1992) mengatakan bahwa laut Jawa bukan
hanya merupakan laut utama bagi Indonesia, tetapi juga merupakan laut inti bagi
kawasan Asia Tenggara. Meilink-Roelofzs (1962), dalam tulisannya juga
mengatakan bahwa sebelum kedatangan para pedagang Portugis dan Belanda
sudah ada perdagangan antar-pulau di wilayah Indonesia dengan skala
perdagangan yang cukup besar seperti: beras dan rempah-rempah, dangan
menggunakan kapal-kapal pribumi yang cukup besar pula. Kemaritiman Indonesia
dalam sejarah tidak dapat dipisakan dari kondisi geografis wilayah, sebagai negara
kepulauan yang terbentang sejauh 6.400 km dari timur ke barat dan sejauh 2.500
km dari utara ke selatan, sedangkan garis terluar yang mengelilingi wilayah itu
sekitar 81.000 km (Wertheim, 1969: 16-37; Walcott, 1914: 1; KPM, 1938: 37; dan
Ali, 1966: 27). Sumber lain menyebutkan bahwa Indonesia memiliki wilayah
seluas kurang-lebih 587.000 km², dengan demikian berangkat dari sejarah
perdagangan rempah dan pembangunan transporasi hingga saat ini masi
merupakan tantangan tersendiri khusunya pembangunan transportasi di kepulauan
Banda - Maluku.

PERMASALAHAN
Pembangunan Ekonomi suatu wilayah tidak dapat dipisahkan dari
pembangunan Transportasi, sekaligus merupakan kunci percepatan suksesnya
pembangunan berbagai bidang, olehnya itu penataan infrastruktur transportasi
perlu dilakukan secara cermat dan tepat. Yang menjadi problem mendasar
pembangunaan Indonesia sebagai Negara Kepulauan adalah penataan infrastruktur
transportasi yang optimal dan efisien (Tukan, 2015).
Sebagai provinsi kepuluan Maluku memiliki peran penting sebagai jalur
perdagangan internasional pada masa lampau karenah terkenal sebagai penghasil
rempah-rempah seperti cengkeh, pala dan cokelat hal ini yang mendorong banyak
pegadang dan pelaut dari berbagai penjuru dunia datang mencarinya. Puncak
keramaian perdagangan di Asia Tenggara berlangsung sekitar tahun 1450-1680,

60
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

namun rempah-rempah di Maluku sudah terkenal sebelumnya," pada abad ke-16,


saat itu berbagai kapal niaga berdatangan hingga terjadi konflik bersenjata untuk
memperebutkan wilayah kekuasaan antara Portugis, Inggris, Spanyol dan
Belanda. Catatan sejarah diatas dapat menjadi indicator titikbalik bagi Maluku
untuk mengandalkan potensi sumberdaya alam sebagai komoditi unggulan masa
lalu, guna mendorong perekonomian wilayah dalam pembangunan Indonesia dari
pulau Banda untuk memperkuat integritas dan integrasi sejarah maritime
Indonesia.
Dalam konteks kekinian jalur perdagangan yang merupakan catatan sejarah
menjadi penting untuk direkonstruksi kembali sebagai rute perdagangan rempah-
rempah maupun produk unggulan lainnya seperti pariwisata baik dari pulau
Banda maupun pulau-pulau lainnya dikepulauan Maluku. perdagangan antar pulau
juga tidak dapat dipisahkan dengan pelayaran itu sendiri dimana pelayaran
merupakan faktor penting dalam mendukung konektifitas pada koridor-koridor
ekonomi seperti tercantum dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dicanangkan pemerintah dan
nantinya Revitalisasi Pelayaran Rakyat diharapkan dapat mendukung program
Tol Laut yang dicanangan pemerintahan sekarang sebagai ikon pembangunan
Indonesia.
Pelayaran juga nantinya dapat diharapkan memberikan kontribusi bagi
penyebaran manusia dan barang konsumsi serta tujuan-tujuan wisata khususnya
ke daerah-daerah terpencil dan terisolasi dari jangkauan infrastruktur
pembangunan pada umumnya, jika ini berjalan baik maka otomatis sirkulasi
barang masuk dan keluar akan berjalan dengan baik akan memberikan multiplayer
efeck bagi pembangunan ekonomi suatu wilayah serta terciptanya suatu intergrasi
nasional yang berkeadilan.
Perdagangan rempah yang membentuk peradaban dengan kemasan
pariwisata sejarah maupun pariwisata alam merupakan produk yang dapat
dikemas sebagai produk unggulan wilayah dierah digitalisasi seluruh aspek
kehidupan manusia.
Dengan demikian Banda kedepannya harus mampu menangkap sinyal
perubahan dengan menyiapkan berbagai tantangan dinamika baik dari aspek

61
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

sumber daya alam (SDA) maupun sumberdaya manusia (SDM) yang mampu
mensejajarkan Banda dengan wilayah lainnya pada tingkat regional maupun
internasional guna membangun konektivitas Tol Laut untuk menjadikan
Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.

STRATEGI PENGEMBANGAN TRANSPORTASI KEPULAUAN


Kondisi geografis wilayah secara umum sangat berdampak pada
pengembangan dan pembangunan yang cenderung dipengaruhi oleh karakteristik
perbedaan potensi sumber daya dan ketersediaan infrastruktur yang dimiliki oleh
masing-masing wilayah. Kondisi ini akan memberikan gambaran pendekatan
pembangunan yang berbeda untuk masing-masing wilayah pulau namun
infrastruktur transportasi laut sebagai pendukung utama pembangunan wilayah
harus dikembangkan secara sinerjik sehingga dapat memberikan layanan yang
optimal (Tukan, 2015). Dengan demikian pembangunan infrastruktur menjadi
kunci pembangunan dan pengembangan wilayah guna meningkatkan aksesibilitas
pergerakan orang dan barang disuatu wilayah dalam upaya meningkatkan
pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut.
Olehnya itu sistim transportasi harus disusun pada aspek-aspek perencanaan
kebutuhan, perencanan jaringan prasarana dan pelayanan, penetapan alat angkut,
rute, kebutuhan infrastruktur serta garis kebijakan transportasi yang secara
kesisteman terdiri dari moda transportasi jalan, moda transportasi penyeberangan,
moda transportasi laut, dan moda transportasi udara yang efektif-efisien dapat
berfungsi melayani perpindahan orang dan barang antar simpul atau kota di
wilayah kepulauan guna menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia serta
didukung dengan Tol Laut (Tukan, 2017).

PENUTUP
Pembangunan trasportasi wilayah kepulauan menjadi penting, namun jika
tidak direncanakan dengan baik maka dengan demikian akan menjadi beban
pembangunan itu sendiri karenah akan menciptakan ekonomi biaya tinggi yang
berdampak pada pertumbuhan ekonomi wilayah olehnya itu penentuan dimensi
transportasi berkorelasi positip terhadap potensi ekonomi wilayah khususnya

62
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

infrastruktur yang ―bergerak” baik pada moda darat, laut dan udara dalam
meningkatkan konektivitas antar pulau.

DAFTAR PUSTAKA
Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1989, Cipta Adi Pustaka, Jakarta Indonesia.
Houben, H.M.J. Maier and W . van der Molen, 2992, (eds.), 'Java and Nusantara',
The Java Sea, Leiden: SEMAIAN 5
Marcus Tukan, 2015, Pelabuhan Berbasis Model Ekonomi Kepulauan, Unesa
University Press, ISBN : 978-979-028-806-5.
Marcus Tukan, 2017, Transportasi Kepulauan dalam mendukung Tol Laut,
Polimedia Publishing, ISBN : 978-602-6372-11-6.

63
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

64
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

KEJAYAAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA MARITIM


DENGAN SEMANGAT JALESVEVA JAYAMAHE

BONY FASIUS1

ABSTRAK
Masyarakat yang berpusat pada orientasi ke laut serta hidupnya terpusat pada
perdagangan melalui laut, telah ada di Indonesia sejak periode zaman pra-sejarah.
Letak Indonesia di jalur perdagangan internasional sejak zaman kuno, yaitu antara
Cina dan India yang berpengaruh pada perkembangan sejarah maritim di
Nusantara. Kerajaan berbasis maritim, seperti Sriwijaya pernah merajai kawasan
jalur perdagangan bahari, karena kebijakan penguasanya, tempat yang strategis,
serta sebagai pelabuhan enterport, sehingga membawa keharuman dan kemegahan
kerajaan maritim saat itu. Metode yang digunakan ialah metode yang berorientasi
sejarah, seperti mencari, menilai, menafsir sumber sejarah, dan menulis hasilnya.
Sumber yang digunakan terdiri dari sumber tertulis berupa buku, jurnal, dan
sumber lain. Adapun temuan yang dimunculkan oleh penulis ialah pertama,
memperkuat pemahaman masyarakat bahwa terdapat 2 (dua) Kerajaan Besar,
yaitu Sriwijaya dan Majapahit yang menguasai lautan Nusantara sebelum
datangnya bangsa Belanda. Kedua, meyakini bukti nyata bahwa bangsa Indonesia
ialah bangsa bahari yang berdaulat sesuai Amanna Gappa, yaitu Hukum Laut
yang terdiri dari 21 pasal yang mengatur tentang pelayaran yang wajib ditaati para
penguasa di Laut Sulawesi. Dapat disimpulkan bahwa negara Indonesia memiliki
kekuatan laut sebagai sumber daya yang prima di sektor maritim.

Kata Kunci: Maritim, sejarah, perdagangan internasional, Nusantara

PENDAHULUAN
Seperti halnya ungkapan lirik lagu Pelaut sungguh membuktikan bahwa
nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut handal, namun masa kegemilangan
tersebut tampaknya telah usai. Terbukti dari lirik lagu di paragraf keduanya
berupa himbauan untuk kembali ke laut sekarang tidak lagi dilakukan. Adapun
secara lengkap lirik lagu itu, sebagai berikut:
“Nenek moyangku orang pelaut… Gemar mengarung luas samudera…
Menerjang ombak tiada takut… Menempuh badai sudah biasa…
Angin bertiup layar terkembang… Ombak berdebur di tepi pantai…
Pemuda berani bangkit sekarang… Ke laut kita beramai-ramai…”

1
Bony Fasius, S.Sos., M.AP. adalah dosen Administrasi Negara, Universitas Panca
Marga, Probolinggo. E-mail: upm.mrbony@gmail.com

65
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Hal ini menjadi bukti bahwa kecenderungannya laut telah ditinggalkan oleh
penduduk negeri yang banyak memiliki pulau, yaitu Nusantara. Selain lirik lagu
di atas, Indonesia yang memiliki luas wilayah lautan lebih luas daripada daratan,
justru tidak memfokuskan laut sebagai perhatian. Setidaknya, ini merupakan hasil
dari pengamatan sekilas tentang arah atau kebijakan yang diambil pemerintah
dalam mengelola negeri ini (Dault, 2004). Oleh karena itu, munculnya ungkapan
―negara kelautan, tapi berorientasi daratan‖ menjadi hal yang terbantahkan.
Pudarnya tradisi bahari masyarakat Indonesia menjadi perhatian serius bagi
Presiden terpilih Indonesia, Joko Widodo. Dalam pidato pertamanya seusai
dilantik sebagai Presiden dalam Sidang Paripurna MPR pada hari Senin 20
Oktober 2014, Presiden yang akrab dipanggil Jokowi ini menekankan arah
pembangunan kabinetnya adalah menggagas kembalinya kejayaan Indonesia
sebagai negara maritim, dan hal ini menjadi Program Unggulan Kabinet Kerja
Joko Widodo - Jusuf Kalla, di samping menumbuhkan jiwa Cakrabakti Samudra
(Kompas, 2014 : 3), yaitu jiwa pelaut yang tak gentar mengarungi samudra dan
menghadang gelombang yang menjulang.
Visi kemaritiman di dalam upaya pengelolaan negara seharusnya sudah
dilakukan oleh pemerintah sejak lama, karena secara geohistori kedudukan
Indonesia sangat strategis berada di persimpangan jalur maritim atau pertemuan
berbagai jalur pelayaran internasional yang telah berlangsung sejak berabad-abad
silam. Pentingnya maritim sebagai pusat perhatian juga belum tampak dalam
berbagai kajian akademis, misalnya di bidang ekonomi, sosial politik, antropologi
dan sejarah. Institusi-institusi ilmiah atau riset di Indonesia lebih banyak
memusatkan diri pada daratan daripada lautan sebagai obyek penelitiannya.
Di bidang sejarah misalnya, kajian kemaritiman dan para ahli yang
berkecimpung di dalamnya dapat dihitung jumlahnya, dan itupun hanya di
beberapa tempat. Belum lagi, jika berbicara mengenai suatu pusat yang
mengintegrasikan keahlian atau disiplin ilmiah untuk melihat laut sebagai fokus.
Harapannya, pusat kajian tersebut memberi kontribusi nyata dalam studi
kemaritiman dari sisi akademis di mana menghasilkan buku pemetaan sejarah
peradaban maritim.

66
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Metode yang digunakan ialah metode yang berorientasi sejarah, seperti


mencari, menilai, menafsirkan sumber sejarah, dan menuliskan hasilnya
(Gottschalk, 1975 : 18). Adapun sumber yang digunakan terdiri dari sumber
tertulis berupa buku, jurnal, dan sumber lain. Metode ini menggunakan data yang
diperoleh melalui riset kualitatif dengan studi literatur yang mendukung.

PEMBAHASAN
Pemikiran Kemaritiman
Fokus historiografi Indonesia lebih banyak membahas tentang persoalan
yang menyangkut daratan, baik masyarakat maupun institusi sosial politiknya.
Karya dari Adrian B. Lapian (2008) merupakan salah satu sumbangan penting
dalam historiografi maritim di Indonesia. Banyak informasi dalam buku ini yang
sekaligus menjadi pancingan untuk studi lanjut tentang kemaritiman meliputi
aspek teknologi, pusat-pusat pelayaran, pola pelayaran dan perdagangan, serta
pelabuhan. Buku ini juga menguraikan tentang hal apa saja yang diatur dalam
hukum laut Amanna Gappa.
Karya sejarawan maritim ini mencerminkan suatu sudut pandang
kemaritiman dalam memahami sejarah Indonesia. Sebagaimana dikatakan oleh
Lapian, bahwa pendekatan sejarah maritim Indonesia hendaknya melihat seluruh
wilayah perairannya sebagai pemersatu yang mengintegrasikan ribuan pulau yang
terpisah-pisah. Lapian melihat wilayah-wilayah itu sebagai suatu kesatuan sistem
dari berbagai satuan bahari. Oleh karena itu, proses integrasi dapat dipahami atas
dasar sejarah satuan-satuan sistem yang kemudian menjadi satuan yang lebih
besar, misalnya Laut Jawa, Laut Banda, Laut Sawu, Laut Cina Selatan, dan Selat
Malaka. Implikasi dari pandangan bahwa laut menjadi strategis dan sangat penting
kedudukannya, maka konsep hinterland semestinya diganti oleh hintersea dalam
memahami sejarah Indonesia. Laut sebagai dunia kehidupan, sekaligus dunia
pandangnya sendiri. Esensinya, laut menciptakan hubungan antar manusia melalui
usaha perdagangan hingga pertukaran budaya yang menghasilkan warisan budaya
nasional. Lebih lanjut terkait warisan budaya, Bab I, Pasal 4, huruf (i), Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, menyatakan bahwa

67
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Pemajuan Kebudayaan bertujuan melestarikan warisan budaya bangsa Indonesia,


sehingga Kebudayaan menjadi haluan pembangunan nasional.
Pentingnya laut sebagai suatu kajian maritim juga dapat dibaca dari
pengantar Lapian tentang teori Mahan (Alfred Thayer Mahan). Bercermin pada
Mahan dan menimbang posisi Indonesia sendiri, Lapian berpendapat bahwa riset
sejarah maritim tidak boleh diabaikan. Wawasan bahari bukan saja pengaruh
kekuatan laut terhadap jalannya sejarah, dan hanya dibutuhkan untuk jaman yang
lampau, namun sangat penting bagi keberadaan dan keberlangsungan hidup suatu
negara kepulauan seperti Indonesia juga terhadap sejarah Indonesia adalah suatu
dunia kenyataan yang tidak dapat disangkal hingga kini (Leur, 1974).
Sebagaimana dikatakan oleh Mahan dalam bukunya The Influence of Sea
ower Upon History 1660-1783, yang dikutip Lapian dalam mengantar pemikiran
Mahan, bahwa ―para sejarawan pada umumnya tidak mengenal laut, karena
mereka tidak menaruh perhatian khusus terhadapnya, lagi pula mereka tidak
memiliki pengetahuan yang khusus tentang laut, dan mereka tidak mengindahkan
pengaruh kekuatan laut yang sangat mempengaruhi jalannya sejarah suatu bangsa.
Menurut Mahan, ada enam unsur yang menentukan dapat tidaknya suatu negara
berkembang menjadi kekuatan laut, yaitu 1) kedudukan geografi, 2) bentuk tanah
dan pantainya, 3) luas wilayah, 4) jumlah penduduk, 5) karakter penduduk, dan 6)
sifat pemerintahannya termasuk lembaga-lembaga nasional. Uraian Mahan ini
sebenarnya ditujukan kepada bangsa dan pemerintah Amerika Serikat, yang lebih
berorientasi ke daratan dengan pembukaan wilayah wild west-nya, dari pada ke
laut, padahal negara ini diapit oleh dua samudra besar, yaitu Atlantik dan Pasifik.
Orientasi daratan ini telah menghalangi negara ini menjadi sebuah negara besar,
dan penguasaan dua samudra perlu dilakukan oleh Amerika Serikat, dan
pembangunan Angkatan Laut Amerika Serikat sejak akhir abad ke-19 adalah
dampak pengaruh tulisan Mahan ini.
Sementara itu, kongsi dagang di zaman VOC sangatlah mononjol. Menurut
Wikipedia (2018), singkatan dari VOC ialah Vereenigde Oostindische Compagnie
yang artinya Kongsi Dagang atau Perusahaan Hindia Timur Belanda. VOC berdiri
pada tanggal 20 Maret 1602. Perusahaan dagang asal Belanda ini memiliki
monopoli untuk aktivitas perdagangan di Benua Asia saat itu. Meskipun

68
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

sebenarnya VOC merupakan sebuah badan dagang saja, tetapi badan dagang ini
istimewa, karena didukung oleh negara dan diberi fasilitas-fasilitas sendiri yang
otonom.
J.C van Leur membawa teori Mahan ke dalam uraiannya tentang kepulauan
Indonesia. Van Leur membawa wawasan maritim Mahan dalam kaitan dengan
sejarah VOC di Indonesia. Ia menunjuk peranan VOC sebagai kekuatan maritim
yang besar, sedangkan Verhoeven menguraikan bahwa peranan VOC pada masa
awalnya sebagai alat perang yang bergerak di laut dan yang berhasil mengalahkan
berbagai musuh dari negara induknya, khususnya Spanyol dan Portugis, dan juga
mematahkan persaingan dari Inggris di perairan Indonesia. Pada masa sebelum
VOC didirikan, para penguasa Belanda telah memikirkan pembentukan kekuatan
perang untuk mematahkan kekuatan Spanyol dan Portugis di seberang lautan.
Verhoeven berpendapat bahwa VOC didirikan semata-mata hanya untuk berniaga
merupakan pendapat yang tidak tepat.
Perbincangan teori Mahan ini memunculkan dua istilah penting dalam
sejarah maritime, yaitu sea power dan naval power. Sea power mengacu pada
kontrol menyeluruh atas lautan, sedang yang kedua mengacu kepada angkatan
bersenjata yang terorganisasi di lautan. Naval power tidak hanya digunakan untuk
penyebutan sebuah negara, namun juga dapat untuk menyebut sebuah
Badan/Kompeni dengan sejumlah konsensi yang memiliki kapal-kapal yang
dikirim untuk bertempur melawan musuh atau yang digunakan untuk melindungi
pernigaan. Pemakaian istilah naval power berarti merujuk kembali seluruh
hubungan sejarah yang mengutamakan pengaruh laut. VOC lahir dari perang dan
selama hidupnya merupakan badan perdagangan dan alat perang sekaligus. Dalam
dasawarsa-dasawarsa pertama, VOC dapat dikatakan lebih banyak berperang dari
pada berdagang karena pada dasarnya, VOC merupakan sebuah institusi yang
bertujuan ganda, yaitu untuk keperluan berdagang dan berperang.
Naval power bukan hanya istilah sederhana bagi suatu negara yang
menyediakan armada perang untuk merugikan musuhnya, namun ungkapan yang
dapat dicapai oleh suatu organisasi politik dan maritim dalam pengaruh timbal
balik dengan struktur sosial ekonomi zaman itu yang digunakan untuk
melaksanakan tujuan-tujuan perang. Dengan makna ini, naval power dapat terjalin

69
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

di dalam 1) organisasi negara-negara modern, 2) organisasi angkatan laut yang


berdiri sendiri, dan 3) perkembangan kapitalisme awal.

Budaya Kemaritiman
Di dalam masyarakat maritim, fluktuasi jumlah penduduk terjadi dengan
cepat, pertambahan terjadi dengan cepat, namun penyusutannya cepat pula
tergantung kepada situasi perdagangan yang dapat berpindah karena penaklukan
atau sebab ketidak stabilan (Reid, 1983 : 145). Selain itu ciri yang utama dari
masyarakat maritim sebelum Indonesia modern adalah strukturnya yang heterogen
dan penduduk yang tersebar.
Struktur penduduk yang heterogen ini dijumpai di Sriwijaya pada awal abad
ke-10 dan pertengahan abad ke-12, yang memiliki utusan ke Cina memakai nama
Arab. Peranan bangsa Arab pada periode Sriwijaya selain sebagai utusan negara ,
mereka juga sebagai pedagang (Ricklefs, 2005 : 27-28). Hal ini diperkuat lagi
dengan laporan Ibnu Batuta yang memberi kesan tentang keadaan Samudera Pasai
di Sumatera Utara abad ke-14, yang menemukan pegawai-pegawai dan ahli
hukum dari seluruh dunia Islam. Sifat penduduk yang heterogen dijumpai oleh
Ma-huan yang pernah singgah di pelabuhan-pelabuhan dagang Pulau Jawa, seperti
Gresik, Tuban, dan Surabaya. Di Tuban didiami lebih ratusan keluarga, di bawah
seorang ketua, dan di antaranya terdapat beberapa orang Cina dari Kanton dan
Chang-Chou (Mc Kay, 1976 : 67).
Mobilitas sosial dan politik dalam masyarakat maritim lebih terbuka bagi
semua masyarakat dari berbagai profesi, status sosial, agama, dan suku bangsa.
Hal ini memungkinkan seseorang mencapai kekuasaan dan status. Di sini dapat
dijumpai masyarakat yang sangat berubah-ubah dan tidak menunjukkan pengaruh
tempat. Masyarakat maritim sebelum kedatangan bangsa Eropa tidak hanya
memiliki mobilitas yang lebih besar dibandingkan dengan kerajaan agraris, namun
pada umumnya mereka juga memiliki potensi politik yang lebih terbuka. Keadaan
ini berlainan dengan keadaan masyarakat Hindu Jawa agraris yang memiliki
hubungan sosial yang kaku dan ikatan budaya yang terpusat ke istana yang
memiliki keloyalan kepada penguasa dan mendukung sistem hierarki sosial.

70
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Penguasa, orang Moor dan pedagang merupakan ciri masyarakat maritim di


Indonesia sebelum kedatangan bangsa Eropa. Penguasa pada masyarakat maritim
tidak dipusatkan pada kharisma seorang raja, seperti tampak di dalam dunia
masyarakat agraris orang Jawa. Suksesi kekuasaan dapat diterima, jika terjadi
pewarisan dari raja sebelumnya. Di Malaka, seorang raja ditempatkan di puncak
piramida sosial yang didukung oleh penguasa lokal. Peran penguasa di kerajaan
maritim lebih besar dibanding dengan penguasa kerajaan Hindu. Penguasa-
penguasa di kerajaan Hindu Jawa tinggal jauh di pedalaman, dan menggantungkan
hidupnya pada hasil pertanian. Di lingkungan kerajaan maritim realitas kehidupan
ekonomi dilantunkan dalam upacara keagamaan istana. Pada kesempatan ini, raja
menerima wakil-wakil pedagang asing dan memberikan tempat bagi mereka
dalam upacara istana.
Van Leur berpendapat, bahwa perdagangan Indonesia zaman kuno
diselenggarakan oleh dua golongan yakni, golongan finansial, yang terdiri dari
orang kaya dan hartawan yang menanamkan modal dalam usaha perdagangan, dan
golongan pedagang kelontong/pedagang keliling. Hal tersebut merupakan sifat
utama perdagangan Asia zaman kuno, dan umumnya barang dagangan terdiri dari
barang-barang yang tinggi harganya dan tidak memerlukan tempat banyak
misalnya dari India adalah ekspor tekstil dan kapas bermutu tinggi, dari Cina
berupa kain sutera, dan porselen. Pengaruh raja-raja serta kepala-kepala lokal
dalam perdagangan sangat besar. Ibnu Batuta mewartakan bahwa ia berlayar dari
Cina ke Sumatera dengan kapal penguasa Samudera Pasai, dan penguasa Aceh
terlibat langsung dalam perdagangan. Dalam perdagangan, hak kekuasaan
pemerintah digunakan oleh para pembesar untuk mengeruk dan mendapat
keuntungan bagi dirinya (Burger, 1962 : 65).
Pendirian Malaka, tidak lepas dari persekutuan dengan ―orang laut‖, yaitu
perompak-perompak yang lalu lalang di sekitar Selat Malaka, yang memaksa
kapal-kapal yang lewat untuk singgah di pelabuhan, sehingga Malaka menjadi
pelabuhan internasional (Ricklefs, 2005 : 57). Struktur pemerintahan di Malaka, di
samping seorang raja, terdapat jabatan perdana menteri yang disebut bendahara,
dan laksamana menjadi pemimpin angkatan laut kerajaan, yang memiliki
kewajiban melindungi sultan dan para bangsawan, dan dalam keadaan perang

71
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

jabatan ini menjadi penting. Di saat itu, seorang Tumenggung secara resmi
bertugas sebagai Menteri Peperangan dan Pengadilan, di samping hak-haknya atas
orang asing, Bea Cukai, Petugas Upacara, dan Jabatan Syah Bandar.
Mencermati usaha perniagaan di Jawa, diketahui bahwa mata rantai
perniagaan antara hulu dan hilir cenderung dipegang oleh pedagang kecil yang
berkeliling dengan perahu-perahunya. Mereka terbiasa membawa hasil-hasil
pertanian dari wilayah hulu ke pedagang perantara yang siap menampung barang
dagangannya. Alurnya, dari pedagang perantara, barang dagangan kemudian
dibawa ke kota pelabuhan sebelum diangkut menuju kapal-kapal dengan mesin
besar. Lebih lanjut, perjalanan komoditas dagang dari hulu ke hilir tidak dikuasai
oleh pedagang keliling kecil saja, tetapi juga melibatkan pedagang besar dengan
jaringan niaga yang luas dan modal yang besar dimilikinya. Di sinilah, mereka
memiliki kapal-kapal sendiri yang disewakan kepada para saudagar yang bersedia
membayar berapapun harga yang layak baginya.
Nah, perdagangan dalam skala besar antar kota-kota pelabuhan di Nusantara
itu melibatkan pedagang-pedagang besar dengan kemampuan modal yang besar,
jaringan perdagangan, dan kedekatannya dengan kekuasaan (kerajaan atau
kesultanan). Di beberapa kota-kota pelabuhan di Nusantara, seperti tipe saudagar
dengan kemampuan modal dan jaringan yang besar tumbuh seiring
berkembangnya perniagaan di wilayah Nusantara. Mereka juga mampu berbisnis
dalam aneka usaha, tetapi tetap mempertahankan bisnis mereka, yaitu di bidang
transportasi, sebagai distributor rempah dan berbagai hasil pertanian. Kemunculan
jenis pedagang grosir inilah yang tumbuh di kawasan pantai utara Jawa seiring
dengan ramainya dunia pelayaran dan perniagaan di sepanjang pantai utara Jawa
hingga saat ini.

Hubungan India dan Cina


Kedatangan bangsa-bangsa asing ke Nusantara dalam urusan perniagaan
saat itu sangatlah berpengaruh terhadap migrasi dan berkembangnya pemukiman
di kota-kota pelabuhan di Nusantara. Banyak kota tumbuh dan berkembang,
begitu pula dengan kota-kota pelabuhan di sepanjang pesisir pantai utara Jawa.
Berbagai bangsa turut meramaikan saling berinteraksi dengan masyarakat

72
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Nusantara, seperti bangsa Arab, India, Persia, dan Cina. Dari sinilah, hubungan
antarbangsa itu setidaknya berpengaruh terhadap banyak aspek kehidupan dan
saling memperkaya kehidupan sosial-budaya mereka masing-masing. Secara
esensial, dunia pelayaran dan perniagaan Nusantara tak hanya menghubungkan
Nusantara dengan negeri-negeri lain secara ekonomi, tetapi juga menghubungkan
masyarakat dan kebudayaan di berbagai kota pelabuhan di Nusantara.
Dilihat dari sudut kebudayaan, perdagangan zaman kuno yang merintis
masuk dan berkembangnya agama Hindu, Budha, dan Islam di Indonesia ini
penting perannya di mana aktivitas perdagangan maritim bisa mengikuti arus
angin musim. Menurut van Leur, aktivitas ini sepuluh kali lebih penting dari pada
dilihat dari arti ekonominya, karena perdagangan ini telah mempertemukan
adanya berbagai macam kebudayaan, ibaratnya seperti benang emas halus di
sepanjang pantai (Burger, 1962 : 20).
Perdagangan India pada awal-awal abad Masehi lebih diarahkan ke Barat,
yakni ke Laut Tengah dengan Kerajaan Romawi, mencapai puncak keseimbangan
di bawah Kaisar Augustus hingga Vespisianus (30 SM - 79 M), dengan komoditi
yang diangkut dengan kapal non India. Dampak hubungan India dan Laut Tengah
ini cenderung bermunculan pelabuhan transito, seperti di Srilanka. Kebutuhan
barang-barang import dari Asia Tenggara ke Laut Tengah seperti rempah, karet,
dan kayu wangi yang menyebabkan munculnya pedagang-pedagang India dan
Asia Tenggara untuk mencari barang-barang tersebut di Semenanjung Melayu dan
Indonesia. Akan tetapi, ketika hubungan India dan Romawi mulai menurun
setelah Vespisianus khawatir persediaan emas Romawi mengalir keluar negeri
sebagai alat transaksi perdagangan, maka India mulai berpaling ke Semenanjung
Melayu sebagai sumber emas.
Hubungan dagang langsung dengan India nampaknya sudah ada di sekitar
tahun 50-150 M. Hal ini berdasar keterangan dari seorang kapten kapal Yunani
yang menulis The Periplus of the Erythraean Sea, yang mewartakan bahwa ia
telah melihat kapal Indonesia di Teluk Benggala antara tahun 50-150 M. Van Leur
dan Wolters berpendapat bahwa hubungan dagang antara India dan Indonesia
lebih dulu berkembang daripada hubungan dagang dengan Cina (Poesponegoro,
2005 : 8).

73
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

2.1. Peta Perdagangan Maritim Melalui Jalur Sungai di Riau

Sumber: Google Map

Di abad ke-3, keberadaan kontak dagang antara Indonesia dan India berada di
Sumatera, tepatnya di pelabuhan Sumatera sebelah tenggara mula-mula kontak dagang
dengan Cina berawal yang melewati Laut Cina Selatan. Keistimewaan pantai Sumatera
dan Riau ini membuat Wolters menyebutnya sebagai pantai istimewa jaman perdagangan
awal di Indonesia. Menurut sumber Cina, pusat perdagangan itu adalah Ko-Ying yang
dipercaya sebagai tempat terakhir bagi orang-orang India untuk mengambil barang
dagangan dari para perantara lokal.
Perdagangan antara Cina dan India melalui selat Malaka memiliki arti penting bagi
sejarah Indonesia. Penyerbuan bangsa Mongol dan Tibet ke Cina Utara pada abad ke-4
dan awal abad ke-5, diperburuk lagi dengan rusaknya jalan darat membuat Cina mulai
mencari jalan alternatif ke selatan, yaitu melalui laut. Ketertinggalan Cina tersebut ikut
meramaikan perdagangan maritime di Asia Tenggara akibat dari gagalnya negeri ini
untuk menumpas para lanun yang merajalela disekitar Pantai Fukien dan Kwantung, jadi
faktor keamanan menjadi alasan utama dari Cina. Barulah pada zaman Dinasti Tang abad
ke-7, pengaruh Cina ke Negara Asia Tenggara bertambah besar dan pesat.\
Keterlibatan secara langsung pedagang Indonesia dengan Cina ada 2 (dua)
pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa pedagang-pedagang Indonesia membawa
barang dagangan ke Cina dengan kapal Persia, Arab maupun India. Pendapat kedua
mengatakan, bahwa kapal Indonesia membawa beberapa pedagang dari Asia Barat yang
akan ke Cina. Ada bukti-bukti yang meyakinkan tentang keterlibatan orang Indonesia
dalam pelayaran jarak jauh, antara lain dari Fa-Shien yang kembali ke Cina dari India
pada awal abad ke-5.

74
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

2.2. Peta Perdagangan Maritim Melalui Jalur Sungai


di Sumatera Utara

Sumber: Google Map

Hubungan dagang antara berbagai kerajaan di Indonesia dengan Cina pada


umumnya disimpulkan dari kedatangan utusan mereka. Berita-berita Cina menyebutkan
tentang ―utusan‖ Indonesia, sembilan diantaranya datang dari Sriwijaya dan dua orang
dari Jawa dan Bali. Di samping membawa surat-surat dari raja mereka, mereka pun
membawa barang-barang dagangan untuk ditukar dengan barang dari Cina (Vlekke, 1967
: 42). Utusan ini kemudian diikuti oleh pedagang swasta, namun tidak semua utusan
selalu ada hubungan dengan usaha perdagangan (Poesponegoro, 2005 : 24).

Penguasa Laut: Sriwijaya


Sriwijaya merupakan negara maritim yang kuat, sehingga dapat menguasai
seluruh Sumatera, dan mengirimkan ekspedisinya ke Jawa serta menguasai Selat
Malaka hingga Tanah Genting Kra. Pada puncaknya Sriwijaya menjadi tuan atas
Selat Malaka dan menguasai rute perdagangan yang melalui selat ini. Di tahun
1178, seorang penulis Cina, Chou Ku-fei melaporkan bahwa beberapa kapal asing
yang lewat akan diserang jika tidak masuk pelabuhan Sriwijaya atau membayar
tol (Mc Kay, 1976 : 74). Kapal-kapal Sriwijaya melakukan pelayaran sendiri
antara Cina dan India. Ia juga mengirimkan utusan ke Cina, dan diakui Cina
sebagai negara penguasa di Asia Tenggara.

75
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

2.3. Peta Perdagangan Maritim Melalui Jalur Sungai


di Sumatera Selatan

Sumber: Google Map

Pelayaran ke bagian timur kepulauan Indonesia menjadi monopoli


penduduk. Rempah dari Maluku, terutama cengkih dan pala dikumpulkan di
pelabuhan-pelabuhan Jawa dan Sumatera, untuk selanjutnya dikapalkan ke luar
negeri. Diketahui bahwa daerah Sriwijaya sendiri menghasilkan penyu, gading,
emas, perak, kemenyan, kapur barus, damar, dan lada, serta barang lainnya
(Poesponegoro, 2005 : 84). Hasil bumi dari daerah Sriwijaya ini kemudian dibeli
oleh pedagang asing untuk ditukar dengan produk yang berasal dari luar negeri,
seperti porselen, kain katun dan sutera. Di samping sebagai pusat perdagangan,
Sriwijaya juga menjadi pusat ajaran Budha seluruh Asia dan dikunjungi para
peziarah selain para pedagang. Ada bukti bahwa masyarakat Indo China juga
mendatangkan naskah-naskah zaman kejayaan Budha dari Sriwijaya (Sievers,
1974 : 39).
Intinya, dunia pelayaran dan perniagaan kala itu memang melibatkan
banyak pihak termasuk di dalamnya menyangkut jaringan usaha maupun
pemilikan modal. Logikanya, menguasai jalur rempah sesungguhnya identik
dengan menguasai dunia. Jalur rempah yang terbentuk sejak lama seiring
tumbuhnya keinginan bangsa-bangsa untuk memanfaatkan rempah-rempah asal

76
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Nusantara sebagai aroma pewangi, obat-obatan, dan bumbu masakan, tentunya


mendorong bangsa-bangsa asing datang ke Nusantara.

2.4. Peta Perdagangan Maritim Melalui Jalur Sungai di Jambi

Sumber: Google Map

Sriwijaya berdiri sejak abad ke-7 hingga abad ke-14 ketika kekuasaan
Majapahit menggantikan kekuasaannya. Sebelum Majapahit benar-benar runtuh,
kehidupan perniagaan telah berpindah ke pelabuhan di Pantai Jawa, Teluk Siam,
Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Filipina. Chau
JuKua menyebut beberapa pelabuhan Indonesia yang dikunjungi oleh kapal-kapal
Cina dan Arab dalam abad ke-12 dan ke-13, tidak hanya Palembang di Sumatera
Selatan, namun juga di Sunda, Jawa Barat, Sumatera Utara, Kalimantan, dan
beberapa kota pelabuhan di pantai utara Jawa.
Jaringan pelayaran dan perniagaan Nusantara dan juga internasional secara
konsisten tidak bisa melepaskan pantai utara Jawa yang esensial kedudukannya
dalam jejaring perniagaan di wilayah perairan Nusantara. Kota-kota di pantai
utara Jawa ini penting, karena menghubungkan dunia agraris dengan maritim.
Kota-kota itu tidak hanya menjadi tempat penjualan rempah-rempah yang tak
jarang dibawa dari Kepulauan Maluku dan Banda, tetapi juga mempertukarkan
komoditas tersebut dengan lada, beras, tekstil, emas, keramik, dan komoditas
barang lain yang dibawa oleh kapal-kapal niaga dari berbagai wilayah. Rempah
menjadi salah satu komoditas penting dalam perniagaan dan sekaligus menjadi

77
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

pemikat bangsa-bangsa asing yang berasal dari Asia Timur, Asia Barat, Asia
Tengah dan Eropa untuk datang ke Nusantara.
Setelah Sriwijaya terpaksa mundur, penguasaan Selat Malaka pada abad ke-
14 jatuh ke tangan Malaka. Pada waktu orang-orang Eropa datang, Indonesia tidak
lagi mendominasi perdagangan, seperti masa Sriwijaya. Meskipun demikian,
mereka masih juga terlibat dalam perdagangan yang berada di sisi wilayah timur
Selat Malaka.

KESIMPULAN
Jika dilihat dari ribuan pulau yang dimiliki oleh Indonesia, negara ini secara
geografis termasuk negara maritim. Nenek moyang kita-pun adalah pelaut ulung,
dengan teknologi yang sederhana, mereka telah berlayar sampai di Madagaskar,
Afrika Selatan. Dari sinilah, jiwa bahari dimiliki oleh kerajaan-kerajaan besar
yang pernah menguasai lautan, misalnya Sriwijaya dan Majapahit. Akan tetapi,
sejak datangnya bangsa Eropa, terutama bangsa Belanda sebagai penguasa bumi
Nusantara, para penguasa diikat melalui sejumlah perjanjian yang tendensinya
menghilangkan daerah pantai, agar menjadi milik bangsa Belanda, dampak yang
timbul adalah secara bertahap jiwa bahari yang dimiliki bangsa Indonesia mulai
hilang.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang dikelilingi lautan, namun bukan
bangsa yang memiliki laut, karena laut telah menjadi milik bangsa Belanda saat
itu. Bukti bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa bahari adalah diciptakan
Amanna Gappa, yaitu Hukum Laut yang terdiri dari 21 pasal. Pasal-pasal tersebut
secara keseluruhan mengatur tentang pelayaran yang harus ditaati oleh para
penguasa di Laut Sulawesi.
Jika mencermati Teori yang dibangun oleh Alfred Thayer Mahan, terdapat 6
(enam) unsur yang dapat dikategorikan sebuah negara menjadi kekuatan laut,
yaitu adanya kedudukan geografi, bentuk tanah dan pantai, luas wilayah, jumlah
penduduk, karakter penduduk, jumlah serta sifat pemerintahan termasuk lembaga-
lembaga nasionalnya. Setidaknya, Nusantara telah memenuhi beberapa kriteria
tersebut, dan hal ini nampaknya menjadi perhatian Kabinet Joko Widodo - Jusuf
Kalla. Sebagai anak bangsa yang memiliki negara yang terdiri dari ribuan pulau,

78
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

sudah sepatutnya Program Kabinet Kerja ini dapat didukung dengan kegigihan
yang optimal, seperti halnya nenek moyang kita dahulu.
Besar harapan Program Kabinet Kerja saat ini banyak menyediakan
lapangan kerja di sektor maritim bagi warga yang hidup di sekitar lautan, baik itu
di sektor formal maupun di sektor informal. Paling tidak, masyarakat memperoleh
keterampilan yang proposional setelah belajar di sekolah dan pendidikan tinggi
ataupun setelah mengikuti berbagai pelatihan dan kursus singkat yang bertujuan
dapat hidup mandiri di daerah pesisir lautan yang mereka tinggali. Hal ini penting,
agar penduduk di sekitar sana perlu membekali diri dengan berbagai keterampilan,
supaya dapat memberdayakan potensi maritim untuk mewujudkan pemerataan
ekonomi Indonesia di sektor maritim dan tidak pergi dari asal domisili mereka.

DAFTAR PUSTAKA
Burger, D.H. 1962. Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Jakarta.
Pradnyaparamitha.
Dault, Adyaksa. 2008. Pemuda dan Kelautan. Jakarta. Penerbit Pustaka
Cidesindo.
Gottschalk, L. 1975. Mengerti Sejarah Terjadi. Jakarta. Penerbit Universitas
Indonesia Press.
Lapian, A. B. 2008. Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17.
Jakarta. Komunitas Bambu.
Poesponegoro, Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto. 2005. Sejarah
Nasional Indonesia II, Edisi Pemutakhiran. Jakarta. Penerbit Balai Pusaka.
Mc Kay, Elaine. 1976. Studies in Indonesia History. Australia. Pitman Publishing
Pty.
Ricklefs, M. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta. Serambi Ilmu
Semesta.
Sievers, Allen. 1974. The Mystical World of Indonesia: Culture and Economic
Development in Conflict. London. John Hopkins University Press.
Van Leur, J.C dan F.R.J Verhoven. 1974. Teori Mahan dan Sejarah Kepulauan
Indonesia. Jakarta. Penerbit Bhratara.
Vlekke, Bernard. H.M. 1967. Nusantara: Sejarah Indonesia. Kuala Lumpur.
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Wikipedia. 2018. Vereenigde Oostindische Compagnie.
https://id.wikipedia.org/wiki/Vereenigde_Oostindische_Compagnie

79
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

80
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

PERDAGANGAN DAN PENJAJAHAN:


Studi Mengenai Pengaruh Komoditi Cengkeh Pada Abad X Sampai Abad XVI

MUSTAFA MANSUR1

ABSTRAK
Studi mengenai pengaruh komoditi cengkeh pada abad X hingga abad XVI adalah
studi untuk mengetahui hubungan antara kota-kota pelabuhan niaga dengan
kepulauan penghasil tanaman cengkeh dan hubungannya dengan motivasi
eksploarsi samudera yang melahirkan sistem imprelisme dan kolonialisme bangsa
Eropa di Indonesia. Berkaitan dengan statemen tersebut, permasalahan yang
diangkat dalam studi ini adalah bagaimana asal-muasal tanaman cengkeh,
bagaimana eksistensi dan pengaruhn cengkeh terhadap interaksi perdagangan
dunia pada abad kesepeuluh hingga abad ke enambelas, bagaimana pengaruhnya
terhadap proses eksplorasi samudera dan kolonialisme di Indonesia, dan
bagaimana keutamaan dan keuntungan dari komoditi cengkeh. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah, yakni proses menguju dan
analisis secara kritis agar rekaman dan peristiwa masa lampau dapat
direkonstruksi secara imajinatif. Hasil studi menunjukkan bahwa tanaman
cengkeh pada awalnya tumbuh di Kamarsepan dan Kepulauan Maluku. Dari
Maluku, interaksi perdagangan dunia terjadi melalui jalur sutera di China sebelum
abad kesepuluh, dan jalur laut melalui selat Malaka terjadi setelah runtuhnya
Khalifah Abasiyah pada abad kesepuluh. Jalur perdagangan tersebut mendorong
bangsa Eropa melakukan eksplorasi samudera sampai menerapkan sistem
kolonialisme di Indonesia. Keutamaannya sebagai bahan penyedap dan pengawet
makanan dan juga obat-obatan terhadap berbagai penyakit, menjadikan komoditi
cengkeh menjadi daya tarik untuk diperebutkan walaupun dengan berbagai resiko
yang dihadapinya.

Kata kunci: Cengkeh, Perdagangan, Kolonialisme

PENDAHULUAN
Cengkeh merupakan salah satu tanaman rempah-rempah yang pernah
memegang peranan penting dalam pasar internasional pada zamannya.
Berdasarkan catatan sejarah, komoditi Cengkeh yang diperdagangkan dalam
pasaran internasional pada mulanya adalah Cengkeh yang berasal dari Kepulauan
Maluku. Begitu pentingnya kawasan Maluku yang ditumbuhi tanaman Cengkeh,
sehingga kawasan ini dikenal sebagai Kepulauan Rempah-Rempah. atau ―Spice
Island”. Orang Cina menyebutnya ―Mi-li-ku‖ yang menunjukkan Kepulauan

1
Mustafa Mansur, SS., M.Hum., adalah dosen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Khairun Ternate. Email: Email: almansuriyah16@yahoo.co.id

81
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Rempah-Rempah. Bangsa Portugis pada awalnya menyebut Kepulauan Rempah-


Rempah ini dengan sebuatan al-ihlas de cravo, sedangkan bangsa Spanyol yang
datang belakangan langsung menyebut Moluccas. Sementara bangsa Belanda
menyebutnya Molukken. Sultan Zainal Abidin dari Ternate, bahkan mendapat
julukan oleh Sunan Giri sebagai Raja Bualawa atau Raja Cengkeh.
Julukan Kepulauan Rempah-Rempah oleh bangsa-bangsa Asing untuk
Kepulauan Maluku tersebut, menunjukkan adanya hubungan antara negeri
penghasil rempah-rempah terutama cengkeh dengan bangsa Asing (Cina, Arab,
Portogis, dan Spanyol). Oleh karena itu, hubungan ini menjadi menarik dan
penting untuk dikaji. Dalam kaitan ini, maka masalah yang dirumuskan dalam
kajian ini adalah. Pertama, bagaimana asal-muasal tanaman Cengkeh? Kedua,
bagaimana peranan Cengkeh dalam Bandar-bandar Niaga Abad X M hingga Abad
XIV M? Ketiga, bagaimana pengaruh Cengkeh terhadap penjelejahan Samudera
oleh bangsa Eropa pada Akhir Abad XV dan Awal Abad XVI M? Keempat,
bagaimana pengaruh Cengkeh terhadap sistem kolonialisme Barat (Portugis dan
Spanyol) Pada Abad XVI M? Kelima, bagaimana keutaman dan keuntungan dari
perdagangan Cengkeh?
Kajian ini menggunakan metode sejarah yaitu proses menguji dan
menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan agar peristiwa masa lampau
dapat direkonstruksi secara imajinatif (Gottschalk, 1985: 32). Tahapan dalam
metode sejarah meliputi, pertama, heuristic yakni mencari dan mengumpulkan
sumber. Kedua, kritik yakni menyeleksi sumber, baik dari segi otensitasnya
maupun kredibilitasnya. Ketiga, interpretasi yaitu menafsirkan dan memberi
makna terhadap sumber yang terseleksi. Keempat, historiografi yakni penulisan
sejarah sebagai kisah yang logis dan sistematis.

PEMBAHASAN
Asal-Muasal Tanaman Cengkeh
Eksistensi tanaman Cengkeh pada awalnya dapat ditelususri dari temuan
arkeologis pada tahun 1700 SM di tempat peninggalan purbakala di Terqa,
Mesopotamia (Syiria), di mana di tempat ini terdapat pohon-pohon Cengkeh

82
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

terutama di Kamarsepan. Namun, ―setelah itu‖ Cengkeh hanya ditemukan di


Maluku (Amal, 2007: 229).
Temuan arkelogis di atas, tidak menjelaskan apakah Cengkeh pertama kali
tumbuh di Kamarsepan ataukah di Maluku? Ataukah Cengkeh di Maluku berasal
dari Kamarsepan? Namun, bisa saja pernyataan ―setelah itu‖ menunjukkan bahwa
Cengkeh dikenal di Maluku setelah dari Kamarsepan. Menurut hemat penulis, ada
dua kemungkinan awal tumbuhnya pohon Cengkeh itu yakni di Kamarsepan dan
di Kepulauan Maluku. Hal ini berangkat dari dua pertanyaan mendasar, yakni;
Pertama, apabila dikatakan bahwa Cengkeh di Maluku berasal dari Kamarsepan
yang telah dikenal pada 1700 SM, setidaknya pernah terjadi hubungan kontak
dengan Maluku baik secara langusng maupun tidak langsung. Berdasarkan
sumber sejarah yang ada, tidak terlihat adanya hubungan antara Maluku dan
Kamarsepan pada 1700 SM. Kedua, setelah 1700 SM, Cengkeh tidak lagi tumbuh
di Kamarsepan, atau kualitas Cengkehnya tidak begitu diperhitungkan, sehingga
perhatian pasar tertuju pada Cengkeh yang berasal dari Kepulauan Maluku.
Dengan demikian, dapat dkatakan bahwa tanaman Cengkeh pada mulanya tumbuh
di Kamarsepan dan di Maluku.
Cengkeh di Maluku baru dikenal di pasaran dunia pada sekitar tahun 200
SM. Hal ini berdasarkan epos Ramayana dari India yang mengemukakan bahwa
pada masa ini Cengkeh telah dikenal dan digunakan sebagai obat (Amal, 2007:
229). Lainnya halnya dengan karya Plynus ―Natural History‖, yang
dipublikasikan pada tahun 77 SM menyebutkan bahwa sekitar tahun 70 SM,
Cengkeh telah diperdagangkan secara teratur di pasaran Eropa oleh pedagang-
pedagang Arab dan Eropa sendiri, serta sampai abad ke-13 M masih merupakan
barang mewah yang tidak diketahui dari mana asalnya (Amal, 2007: 229-230).
Lebih lanjut Plynus mengatakan bahwa di India dijumpai sejenis merica pedas,
tetapi ―lebih menggigit‖, pedasnya disebut Caryophyllon. Plynus kemudian
mengatakan bahwa Caryoplyllon bukan Cengkeh, sebab Cengkeh hanya terdapat
di Maluku. Sementara pada tahun 176-180 M, jawatan Bea Cukai Iskandariyah di
Mesir mencatat adanya impor Cengkeh dari ―Timur‖ dan dunia Eropa
mengenalnya dalam abad ke-2 M (Amal, 2007: 130).

83
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Argumentasi lain bahwa tanaman cengkeh merupakan tanaman dari Maluku


dapat dilihat dari catatan Thome Pires, seorang pakar obat-obatan dari Portugis
yang datang ke Nusantara setelah penaklukan Malaka pada 1511. Dalam
catatannya, ia mengemukakan “Tuhan telah menciptakan Timor untuk kayu
Cendana dan Banda untuk Pala serta Maluku untuk Cengkeh, dan barang
dagangan ini tidak dikenal di tempat lain di dunia ini kecuali di tempat-tempat
tadi; dan telah saya tanyakan dan selidiki dengan teliti apakah barang ini
terdapat di tempat lain, dan semua orang katakan tidak” (Djuana, 2011: xx).
Epos Ramayana, karya Plynus dan Catatan Thome Pires di atas
menunjukkan bahwa Cengkeh yang diperdagangkan di pasaran dunia pada masa
itu adalah Cengkeh yang berasal dari Maluku.
Bangsa yang memperdagangkan komoditi Cengkeh kepada orang Arab dan
Eropa tersebut adalah bangsa Cina. Pedagang-pedagang Cina itu memperoleh
Cengkeh dari Kepulauan Maluku, namun mereka merahasiakan keberadaan
Cengkeh itu kepada pedagang Arab dan Eropa. Menurut Deineem dalam
tulisannya tentang ‗Cengkeh‖ mengemukakan bahwa orang Cina telah berabad-
abad lama merahasiakan negeri asal rempah-rempah (Amal, 2007: 234).
Pernyataan ini menunjukkan bahwa orang Cina sudah menjalin kontak dagang di
Maluku jauh sebelum bangsa-bangsa asing lainnya datang ke Maluku. Atau
dengan kata lain, bangsa asing pertama yang datang ke Kepulauan Maluku dengan
misi dagang adalah bangsa Cina (Djafaar, 2005: 107). Dalam konteks ini dapat
dikatakan bahwa keberadaan orang Cina di Maluku jauh sebelum terbentuknya
kerajaan-kerajaan seperti Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo dan Loloda. Berdasarkan
fakta sejarah, kerajaan-kerajaan di Maluku berdiri pada abad ke-13 M (Amal,
2007: 26-207; Djafaar, 2006: 49-50).

Peranan Cengkih dalam Bandar-bandar Perniagaan Abad X hingga Abad XIV


Istilah Maluku pada masa lampau hanyalah untuk daerah kepulauan yang
meliputi Ternate, Tidore, Moti, Makian, Bacan dan Jailolo (Tjandrasasmita, 2011:
23; Leirissa, 1996: 16). Secara geopolitik, pulau-pulau itu merupakan wilayah
kesatuan kerajaan-kerajaan di Maluku yakni Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan dan
Jailolo di Halmahera, serta di utara Pulau Halmahera terdapat Kerajaan Loloda.

84
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Kecuali Loloda, di pulau-pulau inilah pohon-pohon Cengkeh tumbuh (Djuana,


2009: 28).
Orang-orang Maluku memanfaatkan Cengkeh sebagai bumbu penyedap
masakan dan untuk pengobatan. Ketika datang pedagang-pedagang dari Cina,
Cengkeh dijadikan sebagai komoditi unggulan dan dipasarkan ke Timur-Tengah
dan Eropa. Untuk mendapatkan Cengkeh dari penduduk lokal, pedagang-
pedagang Cina melakukan barter berupa keramik dan pakaian (termasuk sutera)
kepada penduduk pribumi. Belum ada sumber yang menjelaskan berapa
perbandingan keramik atau pakaian untuk ditukarkan dengan kuantitas Cengkeh
tersebut.
Kedatangan bangsa Cina ke Maluku baru diabadikan dalam berita pelayaran
pada abad ke-15 M yaitu dalam ―Shum Feng Shang Shung‖ yang merupakan
kompedium pedoman pelayaran yang diperkirakan oleh J. Needham berasal dari
tahun 1430. Rute pelayarannya melalui jalur bagian timur dari Chu‘an-Chou ke
Kepulauan Pascadores lalu menyusuri pesisir Taiwan, Luzon (Lu-Sung) dan
Lubang (Lu-Peng), ke Mindoro (Ma-li-lu). Sebelah selatan dari Mindoro ada jalan
lintas menuju Mindanao dan Maluku (Mei-lo-chu) (Tjandrasamita 2001: 19-20;
Djafaar, 2006: 44). Kehadiran orang Cina ke Maluku membuat adanya hubungan
antara penduduk Maluku dengan Cina. Dari Maluku inilah Cengkeh dipasarkan
oleh orang Cina ke pasaran Eropa dan Timur-Tengah melalui daratan Asia Tengah
dan berakhir di Laut Hitam. Perdagangan melalui jalur darat inilah yang disebut
sebagai Bandar Jalur Sutera (Silk Road).
Sementara perdagangan Cengkeh lewat jalur laut, dilakukan setelah
runtuhnya kekuasaan Khalifah Abasyiah pada abad ke-10 M, di mana pola
perdagangan dari Timur-Tengah ke Asia Timur (Cina) mengalami perubahan
yang fundamental, yakni tidak melalui jalur darat. Sejak saat itu, di sepanjang
Samudera Hindia dinamakan ―emporium‖, yaitu kota-kota pelabuhan yang
menyediakan segala macam fasilitas bagi kaum pedagang dan pelaut (Leirissa
2001: 4).
Dengan dibukanya kota-kota pelabuhan, maka pelayaran niaga dari Timur -
Tengah ke Asia Timur tidak seluruhnya mencakup jalur darat. Para pedagang dan

85
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

pelaut dari Timur-Tengah cukup berlayar hingga ke Surat di pesisir Malabar di


India; dan para pedagang dari Timur pun bertemu di Surat (Leirissa, 2001: 4).
Selain itu, dengan adanya jalur pelayaran laut tersebut, membuat para
pedagang dari India, Gujarat dan Arab kemudian berbondong-bondong ke Timur
untuk membeli langsung rempah-rempah tanpa perantara orang Cina. Mereka
datang ke Nusantara melalui kota-kota pelabuhan penting di Pulau Jawa, seperti
Tuban, Gresik, Sedayu dan Jaratan (Tjandrasasmita, 2001: 19). Kondisi ini
didukung oleh emporium Majapahit yang menghubungkan Asia Tenggara dan
India (Leirissa, 2001: 4-5). Pada masa itu, pelabuhan-pelabuhan Majapahait
tersebut merupakan tempat mengimpor dan mengekspor komoditi rempah-rempah
(Cengkeh dan Pala) dari Maluku dan Banda (Tjandrasasmita 2001: 19).
Menurut Dr. Chris van Fraassen, perdagangan antara wilayah Maluku
Utara dan Jawa telah ada sejak abad ke-10 M, sedangkan perdagangan antara
Maluku dan Sumatera sudah terjalin pada masa Sriwijaya melalui Kerajaan Bacan
(Leirissa, 2001: 6). Ini berarti kontak antara Maluku dengan Sriwijaya terjadi
sebelum abad ke-10 M. Kondisi ini tentunya mendorong pedagang-pedagang
Melayu juga turut berperan. Dari sinilah dapat dikatakan bahwa pedagang-
pedagang Jawa dan Melayulah yang membawa Cengkeh ini ke Pelabuhan Malaka.
Pedagang-pedagang Jawa dan Melayu memperoleh Cengkeh dari orang-orang
Hitu dan Banda. Pedagang Hitu dan Banda mengambil Cengkeh tersebut dari
tempat asalnya di Maluku (Poerwidagdo dalam Djafaar, 2006: 27).
Kehadiran pedagang-pedagang dari Arab, Gujarat, India, Melayu dan Jawa
membuat peran pedagang Cina menjadi melemah pada abad ke-14. Kondisi ini
membuat posisi Majapahit menjadi bagian penting dari perdagangan rempah-
rempah dari Maluku (Leirissa, 2001: 5-6).
Pada abad ke-15 M, posisi Majapahit kemudian digantikan oleh Demak,
Malaka dan kemudian Banteng pada abad ke-16 M. Kondisi ini terjadi ketika
masuknya pengaruh Islam di Jawa yang dibawah oleh Wali Songo. Pada masa ini,
kesultanan-kesultanan Islam berdiri seperti Demak dan Giri. Dalam konteks ini
hubungan perdagangan dan politik antara Jawa dan Maluku pun berpindah ke
Demak dan Giri. Hal ini bisa dilihat pada masa ini, hubungan Maluku khususnya
Ternate telah terjalin dengan Sunan Giri, di mana Raja Ternate, Zainal Abidin

86
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Sjah, memperdalam pengetahuan Islam kepada Sunan Giri dan selalu berkunjung
ke Prabu Satmala. Raja Zainal Abidin kemudian dijuluki sebagai ―Raja Bualawa‖
yang berarti ―Raja Cengkeh‖ dalam bahasa Jawa, karena negerinya dikenal
sebagai negerinya rempah-rempah terutama Cengkeh (Tjandrasasmita, 2001: 19;
Djafaar, 2006: 45). Sementara hubungan Ternate dengan Demak dan Ace terjalin
pada abad ke-16 M. Hal ini bisa dilihat dari adanya pakta kerajasama tiga negara
atau yang dikenal sebagai aliansi tiga negara yakni : Ace, Demak, dan Ternate
(Nachrawy, 2001: 169). Menurut sejarawan Abdul Jalil, pakta kerjasama tiga
negara tersebut sebagai upaya untuk membendung akses perang Salib yang mulai
meluas ke timur, sekaligus membebaskan buta huruf masyarakat di Indonesia dan
Malaisya (Baca Djoko Suryo. et al. Agama dan Perubahan Sosia. Bab III).
Namun, terlepas dari semangat membendung akses Perang Salib dan
membebaskan buta huruf masyarakat Indonesia dan Malaisya tersebut, pakta
kerjasama itu dapat juga dikatakan mempertegas adanya hubungan dagang ketiga
kesultanan tersebut yang telah ada sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit.

Pengaruh Cengkeh terhadap Penjelejahan Samudera Bangsa Portugis dan


Spanyol pada Akhir Abad XV dan Awal Abad XVI
Sebagai komoditi ekspor yang pernah diperhitungkan dalam pasaran
internasional, Cengkeh menjadi salah satu motif penjelajahan Samudera oleh
bangsa-bangsa Eropa. Hal ini tercermin dalam slogan God/gospel, glory dan gold.
Bangsa Eropa tergiur akan aroma dan nilai ekonomis dari Cengkeh tersebut.
Penjelejahan Samudera ini dibekali dengan teori Galileo dan Copernicus yang
menyatakan bahwa dunia ini bulat. Selain itu, kisah-kisah perjalanan Marco Polo,
seorang saudagar dari Venesia ke negeri Cina (1271-1292) juga turut mendorong
para pelaut Eropa Barat berlayar mencari negeri-negeri baru (Djafaar, 2006: 11).
Salah satu dunia baru yang dimaksud adalah Kepulauan Rempah-Rempah.

Persaingan bangsa Portugis dan Spanyol untuk mencari dan merebut


Kepulauan Rempah-rempah, telah mendorong Paus Alexander VI pada tahun
1484, mengambil inisiatif untuk mempertemukan kedua bangsa tersebut.
Pertemuan yang diprakarsai Paus itu, menghasilkan suatu kesepakatan yang
disebut dengan Trakat Tordesillas. Tarakat yang berkarakter imprealisme itu pada

87
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

dasarnya ―membagi dunia‖ ke dalam dua kekuasaan, yaitu belahan barat dan
sekitarnya dinyatakan sebagai kawasan di bawah kekuasaan Kerajaan Spanyol,
dan belahan timur dinyatakan sebagai kekuasaan Kerajaan Portogis (Amal, 2007:
236).
Atas dasar Trakat Tordesillas, pada tahun 1486, Bartholomeus Diaz dari
Portugis berlayar ke timur dan berhasil mencapai ujung Afrika Selatan yaitu
Tanjung Topan, yang kemudian disebut Tanjung Harapan. Sementara pada tahun
1492, seorang Portugis yang menetap di Spanyol ―Christophorus Columbus‖
mngajukan permohonan kepada Raja Spanyol untuk berlayar mencari Kepulauan
Rempah-rempah melalui arah barat. Ia pun berlayar ke arah barat mengarungi
Samudera Atlantik, yang akhirnya sampai di benua baru yang disebut Benua
Amerika. Sejak itu dimulailah era baru dalam sejarah penjelajahan Samudera dan
penemuan-penemuan negeri baru (Djafaar, 2006: 12).
Kisah perjalanan Marco Polo, Bartholomeus Diaz dan Christoporus
Columbus di atas menjadi pedoman bagi pelaut-pelaut selanjutnya untuk mencari
Kepulauan Rempah-Rempah. Pada tahun 1498, Vasco Dagama dari Portugis
melakukan perjalanan ke Timur melalui Tanjung Pengharapan dan mencapai
pantai barat India pada yang sama. Ekspedidi Vasco da Gama ini tidak lain untuk
mencari dan menemukan Kepulaan Rempah-Rempah (Amal, 2007: 236; Juana,
2009: 27; Djafaar, 2006: 15-17). Ekspedisi Vasco da Gama ini berhasil
membangun kantor dagang di Calicuta (Goa) yang kemudian menjadi Kota
Portogis pertama di India. Sejak ekspedidi Vasco da Gama pada tahun 1498,
kapal-kapal Portugis mulai berdatangan ke India untuk memborong barang-barang
dari dunia timur (Djafaar, 2006: 17). Barang-barag dari timur dibawah oleh
pedagang-pedagang dari Cina, Gujarat dan Arab. Dengan demikan, maka barang-
barang tersebut dapat dikatakan adalah rempah-rempah dari Maluku terutama
Cengkeh.
Sementara pada 10 Agustus 1519, Ferdinan Magelan dengan ekspedisi
kapal sebanyak lima buah melakukan pelayaran dengan jalur berbeda. Ia berlayar
ke barat melalui Amerika Latin dengan tujuan yang sama yaitu mencari
Kepulauan Rempah-Rempah. Dari Amerika Latin, ia mengarungi Samudera
Pasifik dengan penuh penderitaan. Ekspedisi mereka banyak terserat memasuki

88
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

muara-muara sungai di Amerika Selatan. Tetapi akhirnya mereka sampai di ujung


benua Amerika Selatan. Dari perairan selat yang sempit itu kemudian disebut
―Selat Magellan‖. Dari Selat Magellan, mereka menemukan perairan laut baru
yang amat luas. Laut yang mereka temukan ini tampak tenang, airnya biru pekat,
tidak seperti kegaganasan Laut Atlantik. Laut yang tenang ini kemudian
menginspirasi Magellan menyebut samudera itu ―Samudera Pasifik‖ artinya
samudera yang damai, yang tenang, sekalipun dalam kenyataannya tidaklah
demikian (Djafaar, 2006: 14).
Ekspedisi Magellan ini akhirnya tiba di Kepulauan Massava Filipina pada
tahun 1521 dengan menempuh waktu 99 hari. Namun karena terjadi pertikaian
dengan penduduk lokal Filipina, Magellan pun dibunuh pada tahun itu juga
(Djafaar, 2009: 14-15; Juana, 2006: 27). Akibat peristiwa ini, ekspedisi Spanyol
segerah meninggalkan Filipina, berlayar ke selatan menuju Kepulauan Maluku,
dengan pemimpin ekspedisi diambil alih oleh Juan Sebastian del Cano. Ekspedisi
ini tiba di Pelabuhan Talangame Ternate pada 1521 (Djafaar, 2006: 15).
Setelah berada di Maluku, ekspedisi mereka banyak mengangkut rempah-
rempah dan kembali ke Spanyol tanpa melalaui Samudera Pasifik, melainkan
langsung ke Tanjung Pengharapan di Afrika Selatan, dan tahun 1522, tiba di
Spanyol (Djafaar, 2006: 15).
Dari penjelajahan samudera yang dilakukan melalui ekspedisi Vasco da
Gama dan Magellan kemudian del Cano di atas menunjukkan bahwa Cengkeh
memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Nilai ekonomis inilah yang menjadikan
Cengkeh menjadi simbol kejayaan bangsa Portugis dan Spanyol pada masanya.
Artinya derajat kegemilaan dari kekuasaan di Spanyol dan Portugis dapat dilihat
dari berapa banyak Cengkeh yang diperoleh oleh ekspedisi-ekspedisi tersebut.
Hal ini dapat dilihat dari bentuk penghormatan Raja Spanyol kepada 17 orang
yang berhasil kembali ke Spanyol dengan membawa rempah-rempah. Mereka
diberikan hadiah ―bola bumi tiruan yang berlilitan ikat pinggang‖ dengan tulisan
―Engkaulah yang pertama kali mengitariku‖ (Dfajaar, 2006: 15).

89
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Pengaruh Cengkeh terhadap Kolonialisme Barat (Portugis dan Spanyol) Pada


Abad XVI
Timbulnya bentuk kolonialisme di Indonesia sebenarnya berawal dari
keinginan atau motivasi bangsa Eropa untuk memonopoli perdagangan rempah-
rempah terutama Cengkeh. Karena itu dapat dikatakan, Cengkeh telah melahirkan
sistem penjajahan di Indonesia. Hal ini sesuai pernyataan pakar Sejarah Indonesia
―Taufik Abdullah‖ bahwa penjajahan di bumi Nusantara tidak akan pernah terjadi
apabilah tidak ada Cengkeh (Eugenia aromatica) di bumi Maluku, karena pada
waktu itu Cengkeh merupakan primadona unggulan untuk perdagangan karena
manfaatnya yang luar biasa bagi manusia (Djafaar, 2006: 38). Pernyataan Taufik
Abdullah ini mengantarkan penulis untuk berani mengatakan bahwa ―Indonesia
ada karena Maluku‖. Artinya dari Malukulah penjajahan itu terjadi, dan
penjajahan itu melahirkan sentimen nasional sehingga akhirnya melahirkan apa
yang kita namakan Indonesia.
Setelah Vasco da Gama mencapai India (Goa) dan menjadikannya sebagai
kantor dagang, secara politik ditempatkan seorang pejabat negara untuk
mengontrol kegiatan perdagangan di Nusantara (Hindia). Pejabat negara yang
ditempatkan itu berkedudukan sebagai Raja Muda Portugis untuk wilayah Hindia.
Adapun Raja Muda itu adalah Alfonso de Albuquerque.
Untuk dapat menguasai jalur perdagangan di timur, Kota Malaka harus
dikuasai. Kota Malaka merupakan pelabuhan yang sangat menentukan interaksi
perdagangan dari Cina, Makasar, Maluku ke India. Karena itulah, dengan
kekuatan militer, Portugis berhasil menaklukan Malaka pada tahun 1511 dan
akhirnya mencapai Maluku pada tahun 1512.
Kedatangan bangsa Portugis di Maluku melalui suatu ekspedisi dibawah
pimpinan Antonio de Abreu dan Franssico Serrao. Kedua ekspedidi ini tiba di
Hitu pada tahun 1512. Berita kedatangan Portugis di Hitu, terdengar oleh Sultan
Ternate, Bayan Sirullah, yang dengan segera mengutus adiknya, Kaicil Darwis, ke
Hitu untuk mengundang orang Portugis itu berkunjung ke Ternate (Amal, 2007:
237; Djafaar, 2006: 64).
Namun pada tahun yang sama setelah kedatangan Serrao di Ternate, jalur
pelayaran Ternate dan Malaka semakin sibuk, terutama kapal-kapal Asia, dan

90
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

pada tahun 1523 datang juga armada niaga Portogis. Armada ini dipimpin oleh
Kapten Antonio de Miranda de Azevedo. Armada ini, membuka sebuah pos
perdagangan kecil di Ternate dan Bacan dengan menjalin hubungan komersial
secara berkesinambungan (Djafaar, 2006: 65). Mereka disambut oleh Sultan
Ternate dan menjadikan sebagai sekutunya (Amal, 2007: 237; Djafaar, 2006; 65).
Jalur Pelayaran Portugis dari Lisabon lewat Tanjung pengharapan ke Goa-
Malaka kemudian menuju Kepulauann Rempah-rempah dirahasiakan dengan
dekrit Raja Portugis, Manuel I, dalam tahun 1505. Sementara itu, Spanyol baru
tiba di Maluku pada tahun 1521 melalui jalur Benua Amerika Selatan sampai ke
ujung selatannya, kemudian melintasi melalui Samudera Pasifik. Mereka
disambut oleh Sultan Al-Mansur dari Tidore dan mengadakan perundingan di
mana berhasil mencapai kesepakatan untuk transaksi Cengkeh dengan harga
mengikuti pasaran lokal yang relatif tinggi (Amal, 2007: 248). Mereka juga
diizinkan untuk membangun benteng (Djafaar, 2006: 65)
Untuk mengimbangi kekuatan Spanyol di Tidore, Sultan Ternate
mengizinkan Portugis membangun benteng di Ternate pada tahun 1522. Benteng
ini memberikan jaminan kekuatan politik dan militer sehingga Ternate menjadi
pusat perdagangan Cengkeh bagi seluruh Maluku. Jailolo dan Bacan kemudian
mencari hubungan dengan Portugis (Djafaar, 2006: 65).
Kehadiran bangsa Portugis dan Spanyol di Maluku membuat kedua bangsa
ini senantiasa berkompetisi untuk menegakkan monopoli perdagangan rempah-
rempah khususnya Cengkeh. Begitu juga dengan Kesultanan Ternate dan Tidore
yang ingin menegakan supremasi politik di kawasan Maluku.
Kompetisi Portugis dan Spanyol mengacu pada Trakat Tordesillas yang
telah membagi belahan dunia menjadi dua, yakni belahan barat di kuasai oleh
Spanyol dan belahan Timur dikuasai oleh Portugis. Bagi Portugis, kehadiran
Spanyol di Maluku merupakan bentuk pengingkaran terhadap Trakat Toerdisilas.
Namun di pihak Spanyol, melihat bahwa keberadaan mereka di Maluku
merupakan sebuah upaya dari proses penjelajahan Samudera berdasarkan arah
angin. Perbedaan pendapat antara kedua bangsa tersebut, mengantarkan kedua
bangsa ini pada suatu perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Saragosa pada

91
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

tahun 1529 (Amal, 2007: 249). Dalam perjanjian itu, Spanyol dibawah Raja
Charles II harus melepaskan klaim atau haknya atas Maluku. (Amal, 2007: 249).
Otoritas Portugis paling berkuasa di Maluku disebut ―Captain of Moluccas‖
(Gubernur Maluku), yang diangkat oleh Raja Portugis untuk jangka waktu tiga
tahun. Apabila Raja Portugis tidak memberikan nominasinya, maka Raja Muda di
Goa (vice roy) dapat mengangkat seorang untuk jabatan gubernur. Orang kedua
dalam otoritas Portugis di Maluku adalah komandan benteng Gamlamo (Amal,
2007: 239). Sasaran utama Portugis di Maluku adalah mengamankan monopoli
perdagangan rempah-rempah (Amal, 2007: 239).
Salah satu tugas Raja Muda Portugis di Goa dan Gubernur di Hindia
(Maluku) adalah mengirim nau careira atau kapal (galleon) Cengkih kerajaan ke
Maluku dalam bulan April setiap tahun. Mula-mula kapal ini dikirim ke Ternate,
namun setelah tahun 1578, kapal tersebut juga dikirim ke Tidore, dan dalam bulan
September ke Banda untuk mengangkut Cengkeh dan Pala (Amal, 2007: 240).
Peranan Portugis terhadap monopoli perdagangan Cengkeh di Maluku
berakhir ketika masuknya bangssa Belanda melalui perusahan dagangnya,
Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada abad ke-17, dan Inggris melalui
East Indische Companie (EIC) pada abad ke-18.

Keutamaan dan Keuntungan dari Perdagangan Cengkeh


Cengkeh memiliki daya tarik yang luar biasa dalam pasaran dunia pada
zamannya. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa Cengkeh dapat dijadikan
sebagai bumbu penyedap dan pengawet makanan, serta sebagai obat. Sebagai
ramuan pengobatan, Cengkeh dapat memperkuat hati, melegakan tenggorokan,
memperkuat jantung dan melancarkan pencernaan. Cengkeh juga dapat
memudahkan keluarnya air seni, dan menghentikan diare, dan bila ditaruh di
mata, dapat memelihara penglihatan, dan apabila dicampur dengan susu, akan
mendatangkan gairah (Djafaar, 2006: 40-41).
Pada zaman dinasti Han di Cina, Cengkeh digunakan para hakim untuk
melegakan tenggorokan sebelum mengucapkan putusan atau menjatuhkan
hukuman pada seorang terdakwa. Para punggawa juga diharuskan mengunyah
Cengkeh untuk mengaharumkan suasana audensi mereka atau ketika menghadap

92
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

kaisar untuk menerima titah, supaya mereka dapat lancar berbicara dengan suara
yang bagus dan lancar (Djafaar, 2006: 42).
Sebelum bangsa Eropa menemukan Kepulauan Rempah-Rempah, Cengkeh
menjadi tanaman misterius. Hal ini bisa dilihat sampai pada abad ke-13 M,
Cengkeh masih menjadi barang mewah dan belum diketahui dari mana asalnya.
Rupanya orang Cina yang telah mengetahui tanaman Cengkeh ini, merahasiakan
keberadaan negeri penghasil Cengkeh. Ini menunjukkan bahwa Cengkeh menjadi
barang dagang yang sangat penting untuk dicari oleh para pedagang dari Eropa
dan Timur-Tengah. Orang Cina merahasiakan tempat negeri penghasil Cengkeh
kepada orang Eropa dan Timur-Tengah agar orang Eropa dan Arab tidak berperan
sebagai perantara utama dalam perdagangan Cengkeh, sehingga harga Cengkeh
yang dipasarkan oleh orang Cina jauh lebih tinggi ketimbang diperoleh langsung
oleh orang Eropa dan orang Arab.
Namun dalam perkembangan kemudian, peran pedagang dari Cina sebagai
agen utama mengalami degradasi dengan munculnya pedagang-pedagang dari
Jawa dan Melayu. Sebuah laporan terperinci mengkonfirmasi adanya pergeseran,
yaitu dari pembelian Cengkeh oleh orang Cina melalui perantara pedagang
Melayu dan Jawa (Antoni Reid dalam Djafaar, 2006: 42-43).
Sebagaimana telah dikemukakan juga bahwa pedagang-pedagang Melayu
dan Jawa memperoleh Cengkeh dari orang-orang Hitu dan Banda, di mana orang
Hitu dan Banda ini mendapatkan Cengkeh dari tempat asalnya di Maluku (Hitu
dan Banda pada masa itu belum dikategorikan Maluku). Peran pedagang-
pedagang Jawa ini tidak terlepas dari emporium Majapahit yang menghubungkan
kawasan Asia Tenggara dengan India. Ini menunjukkan bahwa Cengkeh pada
masa itu telah menjadi barang ekspor yang diperdagangkan oleh pedagang Jawa
dan Melayu ke India. India sebagai pelabuhan niaga menjadi tempat pertemuan
antara pedagang dari Cina dan pedagang Eropa dan Arab.
Ekspor rempah-rempah Maluku ke Cina dan Eropa tiba-tiba melonjak
sekitar tahun 1400 dan dengan pelan meluas sampai abad ke-16 M (Djafaar, 2006:
43). Hal ini bisa dilihat dari perbandingan harga Cengkeh di pasaran lokal dan
internasional, sebagai berikut: Cengkeh 1 bahar (456 Ib) di pasaran lokal seharga
1 sampai 2 ducat. Di Malaka 1 bahar bisa berharga 10 sampai 14 ducat.

93
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Sementara di Calcutta sekitar 500 hingga 600 fanam (1 fanam = 1 real), dan untuk
Cengkeh kualitas utama seharga 700 fanam. Pada 1600, 10 pon Cengkeh di
Maluku seharga setengah penny per-pon – bila dijual di Eropa, akan
menghasilkan keuntungan sebesar 32.000 persen (Amal, 2007: 234).
Dari presentasi harga Cengkeh pada abad ke-16 di atas, menunjukkan
bahwa komoditi Cengkeh merupakan barang dagang yang memiliki daya tarik
para pedagang untuk memperoleh keuntungan yang luar biasa. Seorang pedagang
Arab pernah mengatakan bahwa jika ia membawa enam perahu bermuatan
Cengkeh dan kehilangan lima perahu lainnya di tengah jalan, maka keuntungan
yang diraihnya dari satu perahu yang tinggal itu masih lumayan (Amal, 2007:
133). Dapatlah dibayangkan, jika jumlah perahu sebanyak enam yang bermuatan
Cengkeh itu dijual, keuntungan yang diperoleh orang Arab tersebut sangatlah
menggiurkan beberapa kali lipat.

KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal yang penting yang
berkaitan dengan komoditi Cengkeh, yakni:
Cengkeh merupakan tanaman rempah-rempah yang memiliki nilai ekonomis
dan politik pada abad ke-10 M hingga abad ke-16 M. Bahkan sebelum abad ke-10
M, keberadaan Cengkeh di pasaran Eropa waktu itu dibawakan oleh pedagang-
pedagang Cina melalui Asia Tengah yang ditempuh melalui jalur darat. Para
pedagang tersebut memperoleh cengkeh maupun rempah lainnya secara langsung
dari Kepulauan Maluku.
Keberadaan Cengkeh sangat mempengaruhi terjadinya hubungan dagang
antar negara di mana pelabuhan Malaka menjadi titik temu para pedagang dari
berbagai negara, seperti India, Arab, dan Cina. Di samping menciptakan
hubungan dagang, Cengkeh juga secara tidak langsung mereduksi peran para
pedagang Cina, yang sebelumnya bertindak sebagai perantara langsung dengan
produsen, setelah turutnya pedagang-pedagang Jawa dan Melayu yang membeli
cengkeh langsung dari kepulauan Hitu dan Banda.
Cengkeh juga secara tidak langsung berpengaruh pada terbentuknya
imperialisme dan kolonialisme di Indonesia pada abad ke-15 M, setelah ikutnya
dua bangsa besar dari Eropa yakni Spanyol dan Portugis yang turut mencari

94
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

cengkeh dengan melakukan penjelajahan selama beberapa waktu. Semangat


menjelajah daerah tujuan rempah-rempah diabadikan dalam slogan ―god/glory,
gospel dan gold‖. Gold atau emas merupakan simbol kekayaan yang harus
diwujudkan melalui ekspedisi untuk mencari negeri asal rempah-rempah.
Cengkeh sebagai komoditi ekspor, memiliki keutamaan ketimbang komoditi
yang lain pada zamannya. Ini dikarenakan manfaat cengkeh yang dapat diolah
menjadi obat, menjadi bahan minyak wangi, sebagai bumbu penyedap dan lain
sebagainya. Walaupun dengan harga yang sangat tinggi para pedagang dari
berbagai negara tetap berani mengambil resiko apapun demi memperoleh
cengkeh.

DAFTAR PUSTAKA
Amal, M. Adnan. 2007. Kepulauan Rempah-rempah ; Perjalanan Sejarah
Maluku Utara 1250-1950. Makassar: Nala Cipta Litera.
Djafaar, Irza Arnyta. 2005. ―Pengaruh Kebudayaan Cina Terhadap Masyarakat
Moloku Kie Raha‖ dalam Mudaffar Sjah, et. al. Moloku Kie Raha dalam
Perspektif Budaya dan Sejarah Masuknya Islam. Ternate: HPMT Press.
………. 2009. Jejak Portogis di Maluku Utara. Yokyakarta: Ombak.
Djuana, FX. W. Atma. 2011. Genta Nostra Senhora Del Rorasio. Jakarta:
Perguruan Tinggi 17 Agustus 1945.
Suryo, Djoko. et al. Agama dan Perubahan Sosial. Yokyakarta. UGM.
Leirissa, R.Z. 2001. ―Jalur Sutera: Integrasi Laut-Darat dan Ternate sebagai
Bandar Jalur Sutera‖ dalam Yusuf Abdurrahman, et.al. Ternate Bandar
Jalur Sutera. Ternate: Lintas.
………. 1996. Halmahera Timur dan Raja Jailolo; Pergolakan Sekitar Laut
Seram Awal Abad ke-19. Jakarta: Balai Pustaka.
Nachrawy, Herry RD. 2001. ―Ternate Membentuk Wawasan Kebangsaan
Terpadu‖ dalam Yusuf Abdulrahman, et. al. Ternate Bandar Jalur Sutera>
Ternate: Lintas.
Tjandrasasmita, Uka. 2001. ―Struktur Masyarakat Kota Pelabuhan Ternate (Abad
ke-14 – Abad ke-17)‖ dalam Yusuf Abdulrahman, et. al. Ternate Bandar
Jalur Sutera. Ternate: Lintas.

95
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

96
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

PENAKLUKAN BANDA BESAR OLEH VOC PADA ABAD KE XVII


(1601-1700)

NAJIRAH AMSI1, DELIYA AHER2

ABSTRAK
Kepulauan Banda yang lebih dari 500 tahun sangat besar peranannya dalam
perdagangan dunia sehingga mendorong bangsa-bangsa Eropa datang untuk
menemukan hasil rempah-rempah diantaranya pala dan fuli. Penulisan ini
bertujuan untuk Mendeskripsikan proses penaklukan VOC terhadap Banda Besar
pada Abad ke-XVII (1601-1700). Jenis penulisan ini adalah deskriptif kualitatif
dengan menggunakan strategi pendekatan penelitian historis diantaranya:
Pengumpulan Sumber (Heuristik) yaitu mengumpulkan atau menemukan sumber,
kritik sumber (sumber dokumenter, sumber korporal, dan Sumber lisan),
Interpretasi (penafsiran) dan Historiografi (penyajian data). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa Awal 1621 J.P Coen bertolak dari Batavia menuju Ambon
dan terus melanjutkan pelayaran ke Banda. Penaklukan atas pulau-pulau
Rosengain, Rhun dan sebagian Pulau Banda Besar telah mengorbankan banyak
jiwa manusia serta biaya. Pada akhir april sekitar 1.200-1.300 orang Banda di
Slamma (Selamon) terbunuh. Pada 1635 diperkirakn bahwa jumlah penduduk
Kepulauan Banda sebelum kedatangan ekspedisi Coen berjumlah sekitar 1.5000
jiwa yang tersisa hanyalah tidak lebih dari 3.000 orang. Pada 4-6 Maret 1621
Coen mengutus Yacht-nya het Hert dengan beberapa perahu layar untuk
mengintai pesisir Lonthoir dan Banda Besar. pada 12 Maret Coen sudah dapat
menguasai Lonthoir. Setelah memperoleh kekuasaan atas pulau-pulau yang
sebenarnya sudah hampir tak berpenghuni dan tidak produktif lagi, maka Coen
mulai melancarkan tahap kedua rencananya Lahan-lahan yang produktif dibagi
atas 68 persil atau yang disebut ―perken‖ (perkebunan) berukuran kira-kira 625
roeden persegi atau dari 12 sampai 30 hektar per perk. Seluruhnya ada 34 di
Lontor, 31 di Pulai Ay dan 3 di Pulai Naira dan diberikan hak kelolah kepada 34-
68 orang ―perkenier‖ (petani pala berlisensi yang dapat mengelolah lebih dari satu
perk). Kepada setiap perk akan disediakan 25 orang budak. Untuk keperluan
pembukuan maka setiap perk disasi 625 rijksdalders.

Kata kunci: Penaklukan, VOC, Banda Besar

PENDAHULUAN
Kepulauan Banda merupakan rangkaian pulau-pulau yang membentuk suatu
kepulauan di kawasan Indonesia bagian Timur, dalam hal ini Kabupaten Maluku
Tengah. Pulau terbesar dalam gugusan ini adalah Pulau Banda Besar yang

1
Najirah Amsi, S.Pd., M.Si., adalah dosen Program Studi Pendidikan Sejarah,
STKIP Hatta-Sjahrir, Banda Naira. Email: naj_ira@yahoo.com
2
Deliya Aher, S.Pd., adalah alumnus Program Studi Pendidikan Sejarah, STKIP
Hatta-Sjahrir, Banda Naira

97
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

bentuknya mirip bulan sabit dengan luas darat 34 km persegi. Di pulau ini
terdapat batu karang yang menjulang dengan ketinggian 20 meter, yang dari jauh
tampak seperti kapal kandas. Selain itu Kepulauan Banda yang terpencil ini lebih
dari 500 tahun sangat besar peranannya dalam perdagangan dunia sehingga
mendorong bangsa-bangsa Eropa datang untuk menemukan hasil rempah-rempah
diantaranya pala dan fuli. Bangsa bangsa Eropa yang berhasil menemukan
Nusantara adalah Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda.
Kedatangan bangsa Eropa ke wilayah Indonesia memiliki tujuan salah
satunya untuk mendapatkan rempah-rempah dari asalnya. Diantara pedagang-
pedagang Eropa yang datang ke wilayah Nusantara, pedagang-pedagang dari
Belanda juga termasuk salah satunya yang berusaha menjalin hubungan dagang
dengan wilayah Nusantara. Semakin banyaknya pedagang Belanda yang datang
ke Nusantara ternyata menciptakan persaingan diantara mereka. Persaingan ini
berdampak pada penentuan harga rempah yang akhirnya menyebabkan penurunan
keuntungan dari penjualan rempah. Hal ini mendorong dibentukannya sebuah
perusahaan yang menghimpun perusahan-perusahan dagang asal Belanda untuk
menghindari persaingan yang berakibat pada kerugian. Maka pada tanggal 20
Maret 1602 Staten Generaal mengeluarkan sebuah surat izin pada perusahaan
yang dinamakan Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) sebagai serikat
perusahaan Belanda di Asia. Selain memiliki fungsi memperkuat perdagangan
Belanda, VOC juga berfungsi sebagai wakil pemerintahan Belanda di Hindia
Belanda.
Kehadiran VOC di Kepulauan Banda adalah untuk melakukan monopoli
perdaganagan pala. Olehnya itu, untuk memhami bagaimana proses penaklukan
VOC di Banda maka lahirlah tema penulisan ini dengan judul ―Penaklukan Banda
Besar oleh VOC Abad ke XVII (1601-1700)‖.

METODE PENELITIAN
Berdasarkan pada rumusan masalah dan tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan strategi
pendekatan penelitian historis. Terkait dengan itu menurut Nugroho Notosusanto,
bahwa ―metode sejarah adalah sekumpulan prinsip dan antara yang sitematis yang

98
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

dimaksudkan untuk memberikan bantuan secara efektif dalam usaha


mengumpulkan bahan-bahan sejarah, menilai secara kritis dan kemudian mengkaji
suatu sintesa dari hasil-hasilnya dalam bentuk tertulis‖ (Notosusanto, 1978).

PEMBAHASAN
Teori Penaklukan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia penaklukan merupakan proses atau
cara perbuatan dan menaklukan. Kata perbuatan dan menaklukan bersinonim
dengan Kolonial. Kata ―koloni‖ berasal dari bahasa Latin yaitu ―Colonia‖ yang
artinya tanah, tanah pemukiman atau jajahan. Kolonialisme adalah pengembangan
kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya.
Sering kali untuk mencari dominasi ekonomi dari sumberdaya tenaga kerja dan
pasar wilayah tersebut. Pendukung dari kolonialisme berpendapat bahwah hukum
kolonial menguntungkan negara yang dikolonialkan dengan mengembankan
infrastruktur ekonomi dan politik yang dibutuhkan untuk pemoderenisa dan
demokrasi. Andre Gunder Frank, berpendapat bahwa kolonialisme sebenarnya
menuju kepada pemindahan kekayaan di daerah yang kolonialisasi ke daerah
pengkolonialisasi yang menghambat kekuasaan penghambat ekonomi.
Dalam sejarah perkembangan kolonialisme, politik kolonial modern mulai
tumbuh semarak sejak abat ke 16. Awal mula politik kolonialisme modern adalah
berbagai penemuan besar yang dilakukan oleh para pedagang bangsa barat
(Eropa) mereka haus dengan nama besar, kejayaan dan kekayaan bangsa yang
disebut kolonisato adalah bangsa Inggris, Prancis, dan Belanda yang menguasai
sebagian Amerika utara Hindia barat dan Hindia timur. Sejak awal kemunculan
politik kolonialisme bertujuan untuk menguras sumber-sumber daerah kolonial
demi perkembangan industri dan memenuhi kejayaan dari negara yang
melaksanakan politik kolonial tersebut serta tidak pernah memperhatikan
kesejahteraan dan pendidikan rakyat di daerah kolonial sehingga kehidupan rakyat
di daerah kolonial tetap miskin dan penuh penderitaan.

99
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Kedatangan Belanda di Banda Besar


Awal 1621 J.P Coen bertolak dari Batavia menuju Ambon dan terus
melanjutkan pelayaran ke Banda. Mereka tiba dibenteng Nassau pada 27 Februari.
Dalam waktu 10 hari J.P Coen menghimpun sebuah armada yang terdiri dari 13
kapal besar, 3 kapal kecil (kapal pembawa berita) dan 6 perahu layar pasukanya
berjumblah 1.665 orang Eropa. Ditambah lagi dengan 250 orang dari granisum
Banda. Dalam perjalanan dari Jakarta (Batavia) ke Ambon kurang lebih 150 orang
mati. Di Ambon mereka beristirahat dan berhenti didepan Benteng Viktoria
kemudian melanjutkan pelayaran ke Banda. Tipul, kapitan Hitu dan putranya yang
baru selesai belajar di Holland, berlayar bersama-sama dengan J.P Coen termasuk
juga beberapa perajurit asal Hitu, (Des Alwi, 2005).
J.P Coen juga membawa 286 orang hukuman dari Jawa untuk berkerja
sebagai pendayung perahu dan pemikul barang, 80-100 orang tentara bayaran
Jepang Ronin-Samurai yang tidak mempunyai pimpinan (beberapa diantar mereka
adalah algojo berpegalaman). Raja Hitu terus berusaha menjadi orang tengah
antara orang kaya Banda tetapi maksud dan langkahnya tidak diterima oleh J.P
Coen. Hal ini merupakan ekspedisi paling besar yang di kirim ke kawasan Banda,
sehingga hal ini tidak dapat diragukan lagi akan keberhasilan misi ini. Sementara
J.P Coen masih sempat mengundang beberapa orang Inggris di pulau Rhun dan
Ay untuk menyertainya, namun tidak ada yang menanggapi undangan ini.
Sumber-sumber intelejen J.P Coen telah melaporkan bahwa penembak-penembak
Inggris sedang melatih pasukan rakyat Banda, tetapi J.P Coen tidak mau
menanggapinya dengan hal-hal seperti itu. Dengan sabar ia menuggu kedatangan
seluruh armadanya, lalu mengutus yacht-nya Het Hert dengan beberapa perahu
layarnya untuk mengintari pesisir Lonthoir dan Banda besar dari 4-6 Maret 1621
(Des Alwi, 2006).

Pukulan Pertama Untuk Belanda


Pada 6 Maret pagi hari Galei berkekuatan 1 kompi dibawah komando
Kapten Gomale menuju Lakui dengan menjelang malam hari disusul lagi oleh 4
tinggang. Tetapi setelah beberapa jam berlalu mereka kembali dengan membawa
berita bahwa mereka gagal menemukan kapal ‗Het Hert dan Galei di Lakui,

100
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

barangkali kedua kapal itu hanyut ke laut lepas. Tetapi yang sebenarnya terjadi
tidaklah demikian, bahkan lebih parah lagi. Karena ketika 6 Maret pagi hari orang
Banda melihat kapal ‗Het Hert, sudah berlabuh di Lakui, mereka lalu menyiapkan
sebuah meriam pada posisi yang amat membahayakan posisi kapal ‗Het Hert lalu
mulai menembaknya. Tembakan-tembakan meriam itu menewaskan Adelborst M.
Segers van Nurenberg, melukai 10 orang antara lain seorang pemuda yang terluka
pada kakinya, lalu mereka berusah sekuat tenaga untuk membakar atau
menembaknya sampai tenggelam. Belanda berusaha membalas tembakan, tetapi
tanpa hasil karena posisi musuh berada pada suatu ketinggian yang terjal. Tak
lama kemudian Galei tiba karena tanpa bantuan Galei itu, tidak mungkin kapal
‗Het Hert dapat diselamatkan (Des Alwi, 2006).
Pasukan Belanda cukup terguncang dengan kegagalan ini, karena kapal-
kapal dan pasukan-pasukan mengalami trauma yang cukup kuat. Dilain sisi Coen
menegaskan untuk kembali menyerang Banda besar, tapi anehnya Coen
mengulang kembali penyerangannya ke Lonthoir, ada apa dengan Lonthoir?
Kenapa Coen beranggapan dengan menaklukan Lonthoir maka dapat dengan
mudah menguasai Banda Besar. Padahal Banda Besar terdiri dari kampung-
kampung dengan sistem pemerintahan yang berbeda serta pertahanan rakyat yang
baik pula. mungkinkah secara pemerintahan Lonthoir yang menguasai Banda
Besar seluruhnya?
Menurut bapak Ajit Djuma (Narasumber) menyatakan bahwa Lonthoir
memiliki kekuasaan sangat besar, awalnya kekuasaan Lonthoir meliputi
keseluruhan Banda Besar dan para pimpinan yang berada di Lonthoir sangat tegas
dan keras.

Lonthoir di Taklukan Banda Besar Terancam


Menurut bapak Fadlun (narasumber) menyatakan bahwa ketika masyarakat
Lonthoir berhasil menghancurkan kekuatan Belanda maka mereka mengangap
bahwa Belanda mulai ketakutan untuk kembali menyerang Lonthoir, karena
persenjataan serta penembak-penembak jitu diposisikan pada tempat yang
strategis serta sulit diketahui musuh kerena tempatnya berada dibalik pohon-
pohon besar, Lonthoir merupakan pertahanan rakyat yang paling kuat di Banda

101
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Besar kerena persenjataan-persenjataan yang lengkap serta taktik perang yang


sangat baik sehingga menyulitkan Belanda serta Belanda harus membutuhkan
pembelot (orang bayaran) untuk dapat menaklukan Lontohir.
Pada pagi hari 11 Maret J.P Coen mendaratkan pasukannya pada 6 titik
yang saling berjauhan di Lonthoir dengan tujuan untuk membingungkan pihak
Banda yang bertahan serta membuka peluang bagi pasukannya sendiri untuk
menduduki pos-pos penting, disisi lain Ketika fajar menyingsing pada 11 Maret
orang Banda di Lonthoir melihat 30 Tinggang sedang berlayar melewati selat
Lonthoir namun mereka berfikir bahwa Belanda akan berlayar lagi mengelilingi
pulau sebagaimana yang sudah 3 kali mereka lakukan selama ini. Berdasarkan
pengalaman itu mereka merasa tidak perlu mengintai kemana tujuan ke-30
Tinggang tersebut. Keteledoran inilah yang membuat rencana Coen sukses. Tanpa
diketahui ke 30 Tinggang itu mendarat pada sebuah teluk kecil berpasir yang
terletak diantara tanjung pendek dan tanjung nama lalu mereka mulai mendaki
tebing-tebing yang tidak bagitu curam tetapi cukup tinggi. Bila orang Banda
mengetahui kedatangan mereka, maka sekitar 50 atau 100 orang yang
bersembunyi dan bersenjatakan tongkat-tongkat panjang sudah cukup untuk
mendorong para penyerang itu jatuh ke jurang.
Bagian Barat pulau Lonthoir, yang sekaligus merupakan kekuatan bagi
Banda, kini berada di tangan Belanda. Seluruh kawasan yang penuh dengan pohon
pala dan buah-buahan itu sudah tinggalkan oleh penduduk. Masyarakat yang
mendiami bagian Timur pulau Lonthoir yang telah melihat betapa desa Lonthoir
yang mereka anggap begitu kuat dan tak terkalahkan telah jatuh ke tangan musuh,
kini tidak lagi aman. Masyarakat Lonthoir tidak aman karena sadar bahwa
pertahanan mereka lemah. Maka pada hari berikutnya, tanggal 12 Maret
Masyarakat Lonthoir mengirim utusan sambil membawa bendera perdamaian ke
kapal Gubernur Jendral Coen. Utusan itu membawa hadiah-hadiah berupa rantai-
rantai emas, baskom dari tembaga, sebuah pohon pala hidup dengan tanah pada
akar-akarnya dan berbuah serta beberapa ekor kambing. Mereka berjanji akan
tunduk kepada Belanda dengan persaratan sebagai berikut:
1. Bahwa mereka tetap boleh memiliki harta benda mereka dan bebas
beribadah sesuai agama yang mereka anut.

102
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

2. Bahwa kaum perempuan dan anak-anak mereka tidak diganggu.


3. Bahwa rumah mereka tidak dihancurkan
4. Bahwa tidak ada seorangpun yang akan memaksa mereka untuk
melakukan pekerjaan yang tidak biasa mereka lakukan.
5. Bahwa mereka bersedia membantu Belanda, bila ada musuh datang
menyerang, tetapi mereka tidak bersedia pergi berperang ke luar daerah
6. Bahwa orang-orang Banda yang melarikan diri ke pihak Belanda
(membelot) harus diserahkan kembali, demikian pula sebaliknya (Des
Alwi, 2006).
Selain dari butir-butir perjanjian yang disepakti oleh para orang kaya dari
Lonthoir, Coen menuntut agar mereka merobohkan kubu-kubu pertahanan,
menyerahkan semua senjata mereka, berhenti melancarkan segala bentuk hasutan
dan menyerahkan anak laki-laki mereka keatas kapal mereka sebagai sandera.
Para orang kaya itu setuju dengan tuntutan Coen. Sementara itu Coen
memerintahkan pasukannya membangun sebuah benteng Hollandia. Letaknya
tinggi diatas pusat lereng bukit Lonthoir sehingga dapat mengawasi lautan
disekitarnya serta mudah dijangkau dari daerah pantai dengan sebuah tangga-
tangga batu (Des Alwi, 2006).

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, T. 1985. Ilmu Sejarah Dan Historiografi. Jakarta; Gramedia.


_________. 1978. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Alwi, Des. 2006. Sejarah Banda Naira. Jakarta: Pustaka Bayan.
_________2006, Hanna.A. Willard. 1996. Ternate dan Tidore: Massa Lampau
Penuh Gejolak. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Daliman, A. 2012. Manusia dan Sejarah. Yogyakarta: Ombak
Hariyono. 1995. Mempelajarai Sejarah Secara Efektif. Jakarta: Pustaka Jaya
Ismaun. 2005. Metodologi Penelitian kualitatif. Bandung: Remaja
Maleong. Lexy. Rya. J. 1980. Metode Penelitian Kualitatif. Bandun: Rosdika
Notosusanto, Nugroho. 1987. Masalah Penelitian Sejarah Konteporer. Jakarta:
Yayasan I dayu

103
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

104
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

GENOSIDA 1621:
JEJAK BERDARAH J.P. COEN DI BANDA NAIRA

MUHAMMAD FARID1

ABSTRAK

Adalah Jan Pieterszoon Coen (1587-1629) seorang pegawai administrasi VOC


untuk kawasan Hindia Belanda tahun 1609. Meksipun sebagai juru tulis, J.P.
Coen juga berani terlibat dalam situasi-situasi genting, salah satu yang fenomenal
adalah peristiwa negosiasi dagang antara Laksamana Verhoeven dengan warga
pribumi Banda Naira yang berjalan buntu sehingga berakhir chaos. Dalam
peristiwa itu, J.P. Coen menjadi saksi hidup terbunuhnya Verhoeven bersama 40
serdadu VOC oleh penyerangan warga Banda Naira di sebuah hutan kecil di
kawasan yang saat ini dikenal dengan kampong ―perhopen‖. J.P. Coen
menyimpan dalam-dalam peristiwa traumatik itu, yang ikut menggandakan
ambisinya menggapai mimpi-mimpinya di masa depan. Dari semua kekejaman
yang dilakukan Coen sepanjang 1621, satu kejadian paling menyita perhatian dan
perasaan siapapun pembaca sejarah colonial VOC di tanah air. Adalah peristiwa 8
Mei 1621. Terabadikan dalam laporan J.A Chijs yang ditulis 50 tahun setelah
VOC bubar. Adalah peristiwa Genosida (pembantaian) 40 Orang Kaya (OK) yang
dianggap paling berbahaya karena dituduh sebagai otak dari upaya makar
terhadap colonial VOC. Mereka mengalami multilasi tubuh dan dipenggal kepala,
yang kemudian ditancapkannya kepala-kepala itu di ujung-ujung bamboo. Nasib
para tokoh Banda Naira sungguh sadis. Mereka terbunuh tanpa satu kata pun
terucap. Banda berduka, namun bagi Belanda, J.P Coen hanyalah menjalankan
tugas Negara yang telah dituntaskannya dengan sempurna. Saat J.P. Coen tiba di
Jakarta pada 12 Juli, dia disambut bagaikan pahlawan besar dengan iring-iringan
tembakan meriam dari darat dan laut. Dari prestasinya di Banda Naira, Coen
diberi hadiah 3000 guilders, dengan sedikit hukuman ringan. Sementara
keuntungan VOC atas Banda Naira adalah terbangunnya kota-kota megah seperti
Amsterdam, Hoorn, dan sejumlah benteng kokoh di Batavia (Jakarta). Kejayaan
VOC tidak akan bertahan 350 tahun lamanya tanpa melewati episode ini. Batavia
tidak akan terbangun megah tanpa penggalan kisah Banda Naira ini.

Kata Kunci: Genosida, Banda Naira, J.P. Coen

PENDAHULUAN

―Dispereert niet, onziet uw vijanden niet, want god is met ons‖, bisa jadi
adalah moto hidup paling berpengaruh dan bengis sepanjang sejarah kemanusiaan,

1
Dr. Muhammad Farid, M.Sos. adalah Editor Buku Sejarah Banda Naira (2007).
Aktif sebagai dosen Program Studi Pendidikan Sejarah, STKIP Hatta-Sjahrir Banda Naira..
Email: mfarid01@yahoo.com

105
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

jauh sebelum Her Fuhrer Hitler bangkit dan memporak-pondakan Eropa, atau Pol
Pot yang bersuka-cita di atas ladang pembantaian warga sipil Kamboja. Adalah
Jan Pieterszoon Coen (1587-1629) seorang pegawai karir pada kantor administrasi
VOC untuk kawasan Hindia Belanda tahun 1609. Coen mengawali karirnya
sebagai juru tulis atasannya Pieter Verhoeven di Banda Naira. Dia seorang yang
cakap, disiplin, sekaligus berani menjalankan tugas-tugas VOC. Coen menguasai
berbagai macam bahasa di usia yang masih sangat muda. Tidak heran jika ia
selalu menjadi negosiator andalan dalam urusan dagang, dan sekaligus pembuat
laporan dagang yang sangat detail. Meksipun sebagai juru tulis, Coen juga berani
terlibat dalam situasi-situasi genting, salah satu yang fenomenal adalah peristiwa
negosiasi dagang antara Laksamana Verhoeven dengan warga pribumi Banda
Naira yang berjalan buntu sehingga berakhir chaos. Dalam peristiwa itu, Coen
menjadi saksi hidup terbunuhnya pimpinannya itu bersama 40 serdadu VOC oleh
penyerangan warga Banda Naira di sebuah hutan kecil di kawasan yang saat ini
dikenal dengan kampong ―perhopen‖. Berita yang sangat memukul moral
penjajah, yang tersebar hampir di seluruh ibukota pelabuhan koloni VOC, dari
Tuban, Gresik, Palembang, Teluk Benggala, Malaka, Kalkuta, dan Kolombo
(Srilanka).
METODE PENELITIAN
Tulisan menggunakan metode sejarah yaitu proses menguji dan
menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan agar peristiwa masa lampau
dapat direkonstruksi secara imajinatif (Gottschalk, 1950). Tahapan dalam metode
sejarah meliputi, pertama, heuristic yakni mencari dan mengumpulkan sumber.
Kedua, kritik yakni menyeleksi sumber, baik dari segi otensitasnya maupun
kredibilitasnya. Ketiga, interpretasi yaitu menafsirkan dan memberi makna
terhadap sumber yang terseleksi. Keempat, historiografi yakni penulisan sejarah
sebagai kisah yang logis dan sistematis.

PEMBAHASAN
Arti Genosida
Genosida (Bahasa Inggris: genocide) adalah sebuah pembantaian besar-
besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau sekelompok suku bangsa

106
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

dengan maksud memusnahkan atau (membuat punah) bangsa tersebut. Kata ini
pertama kali digunakan oleh seorang ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin, pada
tahun 1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe yang diterbitkan di
Amerika Serikat. Kata ini diambil dari bahasa Yunani γένος genos ('ras', 'bangsa'
atau 'rakyat') dan bahasa Latin caedere atau 'pembunuhan' (Lemkin, 1944)
Genosida merupakan satu dari empat pelanggaran HAM berat yang berada
dalam yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran HAM berat lainnya
ialah kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan Agresi.
Menurut Statuta Roma dan Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM, genosida ialah;
Perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis,
kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok;
mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota
kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan
kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan
mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-
anak dalam kelompok ke kelompok lain.(lihat
http://www.preventgenocide.org/ab/1998/).

Ada pula istilah genosida budaya yang berarti pembunuhan peradaban


dengan melarang penggunaan bahasa dari suatu kelompok atau suku, mengubah
atau menghancurkan sejarahnya atau menghancurkan simbol-simbol
peradabannya.

J.P. Coen dan Genosida Banda 1621


Peristiwa terbunuhnya Laksamana Verhoeven menjadi pengalaman
traumatik bagi J.P. Coen, yang telah menggandakan ambisinya menggapai mimpi-
mimpinya di masa depan. Ketekunan dan kedisiplinan Coen lalu memikat hati
penguasa Belanda yang kemudian mempercayakan jabatan Gubernur Jendral
VOC di usianya yang ke-31 tahun. Di puncak kepemimpinannya, Coen
menunjukkan watak aslinya. Keputusannya memindahkan kantor dagang VOC
dari Banten ke wilayah Jayakarta adalah salah satu bukti kebenciannya yang
teramat sangat terhadap Inggris dan juga warga pribumi (Banten). Dari kawasan
baru ini, Coen membangun kokoh pertahanan militernya, mewujudkan mimpi
besarnya sejak lama.

107
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Tidak kurang dari satu tahun setelah menduduki Jayakarta, Coen


melancarkan serangannya terhadap benteng benteng pertahanan Inggris dan Istana
Jawa (Kerajaan Mataram). Kemenangan diraihnya dengan sempurna. Dan dari
atas puing-puing kota Jayakarta, Coen membangun kota baru yang dinamainya
―Batavieren‖ (Batavia).
Tidak puas dengan prestasi yang baru saja diraih, Coen mengarahkan
perhatiannya kembali ke Banda Naira. Jelas ia masih menyimpan dendam
membara terhadap pulau-pulau penghasil rempah-rempah dunia itu. Baginya,
pulau yang subur itu harus ditaklukkan dengan kekuatan militer, dan
masyarakatnya yang keras kepala harus dibinasakan atau dibuang. Dengan
pongahnya dia berkata; ―Kegagalan demi kegagalan para pendahulu VOC di
Banda Naira sesungguhnya karena mereka tidak memiliki 3 prinsip; motivasi
yang kuat, efisiensi, dan kebengisan‖. Coen mengusulkan prinsip-prinsip ini
kepada para petinggi VOC di Belanda, dan benar-benar dia wujudkan di Banda
Naira.
27 Februari 1621 armada perang Coen tiba di Benteng Nassau, Banda Naira.
Ia berhasil menghimpun pasukan militernya terdiri dari 13 kapal besar, 3 kapal
kecil, 6 perahu layar, dengan pasukan tentara sebanyak 1.665 orang eropa,
ditambah 250 tentara yang telah menetap di Banda, 100 orang tentara bayaran dari
pasukan ronin-samurai, dan 286 tawanan asal Jawa sebagai buruh kapal. Coen
juga menyertakan 1 orang penerjemah asal Hitu-Ambon, pangeran Tipul, yang
bertugas sebagai negosiator (Des, 2010). Namun peranan Tipul tidak signifikan.
Coen bahkan terkesan hanya memanfaatkan Tipul tidak lebih sebatas penerjemah
yang dirinya sendiri tidak terlalu menghiraukan. Coen menafsirkan kehendak
rakyat Banda sesuka hatinya, sesuai seleranya sendiri.
Kapal Het Hert berlayar mengitari kepulauan Banda Besar, mengintai
pesisir Lonthoir pada tanggal 4 dan 5 Maret 1621. Coen memang sudah menduga,
kapal itu akan menerima tembakan bertubi-tubi dari darat. Pasukannya menderita
kekalahan dan mundur perlahan. Sebanyak 2 awak tewas dan 10 tentara luka-luka.
Namun laporan yang masuk ke meja Coen jauh lebih penting dari korban yang
jatuh. Ia mencatat lebih dari selusin titik pertahanan rakyat Banda tersebar dari
pesisir pantai sampai di punggung-punggung bukit bagian selatan pulau Lonthoir.

108
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Komandan Het Hert juga melihat pasukan gabungan antara rakyat Banda dengan
beberapa tentara Inggris yang sedang berlatih dalam kamp-kamp militer
sederhana.
Coen melancarkan serangan kedua pada 11 Maret 1621. Kali ini dia lebih
strategis, menerjunkan tentaranya pada 6 titik sekaligus untuk mengelabui rakyat
Banda. Dalam waktu singkat, pasukannya telah menduduki pos-pos penting di
sebelah utara dekat Ortatang dan sebelah selatan dekat Lakoy. Meskipun
mendapat perlawanan sengit rakyat Banda, semua menjadi percuma akibat
pengkhianatan oknum warga Lakoy dan Ortatang yang berkhianat menunjuk jalan
ke kantong-kantong tentara rakyat hanya demi 30 real. Matahari belum terbenam,
namun hampir seluruh wilayah Banda Besar nyaris ditaklukkan.
Melihat situasi yang tidak menguntungkan rakyat, salah satu tokoh
masyarakat (Orang Kaya/OK) bernama Kalabaka Maniasa yang adalah peranakan
belanda-banda dan fasih berbahasa Belanda mencoba berdiplomasi dengan Coen
di atas kapalnya. Yongheer Dirk Callenbacker, begitu sapaan Kalabaka, lalu
terlibat adu mulut dengan Jan Pieterszoon Coen. Coen menuduh warga Banda
melanggar janji-janji dan membunuh pedagang Belanda, sebaliknya Kalabaka
menyalahkan Belanda yang terlalu kejam dan serakah. Perdebatan alot sampai
membawa-bawa peristiwa kematian Verhoeven tahun 1609. Tampak jelas Coen
begitu memendam peristiwa kematian pimpinannya itu. Dan dia merasa perlu
membalasnya kini. Diplomasi Kalabaka buntu. Ia kembali ke perkampungan tanpa
hasil.
Tidak selang beberapa hari, para Orang Kaya (OK) atau pemuka adat dan
agama masing-masing kelompok warga mendatangi Coen di atas kapalnya
sebagai tanda menyerah total. Mereka membawa serta upeti dari hasil panen pala,
sebagian membawa ceret dari tembaga, dan sebuah rantai dari emas, dan
menyerahkan senjata-senjata. Akhirnya Banda mengakui kekuasaan Belanda, dan
berjanji memulangkan sebagian warga yang masih bersembunyi di hutan dan
pegunungan, juga akan menaati semua kesepakatan dagang yang diberlakukan.
Hanya saja, mereka memohon 4 syarat; menghormati hak milik mereka, keluarga,
agama, dan menghargai tokoh-tokoh masyarakatnya.

109
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

J.P.Coen menerimanya penyerahan rakyat Banda dengan gembira, dan tanpa


sedikitpun terlihat perduli dengan permintaan yang diajukan. Apa yang dilakukan
Coen selanjutnya adalah bukti besarnya keegoisan Coen hanya demi tujuan
penaklukan dan bukan misi perdagangan. Setelah merasa berhasil menguasai
Banda, Coen membangun sebuah benteng kokoh di puncak Lonthoir, dan
mendirikan markas besarnya di Selamon. Coen juga mengeluarkan kebijakan-
kebijakan kontroversial, seperti mengangkat pribumi Jareng sebagai OK, dan
memposisikan Jenderal T‘Sionck sebagai Gubernur baru. Dua orang ini tidak
disukai penduduk Banda maupun Belanda sendiri. Jareng dianggap sebagai
pengkhianat pribumi. Sementara T‘Sionck dikenal kalangan Belanda sebagai
pemabuk, ceroboh, dan dungu. Salah satu kecerobohan T‘Sionck adalah
menjadikan masjid tua di Selamon sebagai kamar tidur para tentara Belanda, dan
merampas harta benda termasuk rumah-rumah warga yang dijadikan gudang dan
akomodasi. Beberapa versi menyebutkan T‘Sionck juga meminta sejumlah
perempuan-perempuan Banda untuk dikumpulkan di rumah-rumah tertentu
dengan terlebih dahulu berhias diri. Warga tentu saja menolak, bahkan memohon
untuk tidak melakukan kebijakan itu, namun sang Gubernur keras kepala dan
tetap memaksa.
21 April 1621, Malam itu, awan pekat menyelimuti langit banda, sepekat
hati dan pikiran warga Banda. Mereka marah namun tak berdaya. Ingin melawan
tapi tak kuasa. Bahkan alam pun seperti sulit menerima. Sampai suatu ketika
sebuah lampu minyak gantung tiba-tiba jatuh dari langit-langit masjid menimpa
pasukan Belanda yang sedang tertidur. Para serdadu bergegas bangun, termasuk
T‘Sionck, dan langsung memerintahkan siaga penuh. T‘Sionck menduga ini
sebuah konspirasi untuk membunuh dirinya, dia pun berlari keluar masjid dan
menjadi kalap sambil memuntahkan peluru kesegala arah sampai membangunkan
warga Selamon yang kaget dan langsung berlarian. Kejadian ini sampai di telinga
Coen yang langsung memerintahkan penangkapan paksa semua warga yang
melarikan diri kembali ke hutan-hutan. Versi cerita T‘Sionck ditelan mentah-
mentah oleh Coen tanpa terlebih dahulu mengecek kebanaran sesungguhnya.
Coen semakin meradang, dan melancarkan tindakan-tindakan bengisnya yang
menjadi mimpinya sejak lama.

110
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Pengejaran terhadap penduduk pribumi dilakukan secara sporadic dan


kejam. Warga yang ditemukan tetapi melawan langsung dibunuh ditempat.
Beberapa warga lebih memilih membuang dirinya di tebing-tebing tinggi daripada
menyerah kepada kompeni yang mereka sebut ‗kafir‘. Sebagian yang berhasil
ditangkap lalu dipaksa di atas kursi penyiksaan yang mampu membuat tulang-
tulang kaki dan tangan remuk dan patah dengan sekali putaran tuasnya, bagi
mereka yang tidak mengaku terlibat dalam konspirasi. Sebagian penduduk lain
dibuang ke Batavia menjadi budak disana.
Tidak sedikit warga Banda yang berhasil melarikan diri. Tercatat dalam
sejarah sekitar 1000 orang berhasil menuju Ai dan Rhun. Dan sebanyak 2000
orang berhasil mencapai pesisir pantai pulau Kei dan pulau Seram.
Dari semua kekejaman yang dilakukan Coen sepanjang 1621, ada satu
kejadian yang paling menyita perhatian dunia luar, sekaligus paling menguras hati
dan perasaan siapapun pembaca sejarah colonial VOC di tanah air. Adalah
peristiwa 8 Mei 1621. Terabadikan dalam laporan J.A Chijs yang ditulis 50 tahun
setelah VOC bubar. Peristiwa ini kemudian ditulis ulang oleh seorang penulis
anonym dengan judul buku ―conquest‖.
Diceritakan bahwa, setelah hampir satu bulan pengejaran dilakukan, Coen
akhirnya berhasil mengumpulkan sebanyak 40 Orang Kaya (OK) yang dianggap
paling berbahaya karena dituduh sebagai otak dari upaya makar terhadap colonial
VOC (Des, 2010, Lihat juga Loth, 1995: 13-35). Tuduhan yang tidak berdasar itu
tetap dilanjutkan dalam suatu persidangan sepihak, dimana para tokoh yang
ditawan digiring layaknya domba-domba kedalam sebuah pagar bamboo yang
melingkar mirip kandang di luar benteng Nassau. Dibawah kucuran deras hujan
dibacakan kesalahan-kesalahan yang tidak pernah mereka lakukan. Masuklah para
ronin-samurai yang bersiap memulai aksinya. Dihadapan delapan tokoh utama
OK, para ronin mengayunkan samurai tanpa belas kasih. Dipotongnya tubuh
kedelapan tokoh sampai terbelah dua. Lalu kemudian memenggal kepala mereka.
Tidak berhenti sampai disitu, para ronin juga membelah badan mereka menjadi
empat bagian. Sementara kepala yang telah terpenggal lalu ditancapkan di ujung-
ujung bamboo. Nasib 36 tokoh OK lainnya juga mengalami nasib serupa. Para

111
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

OK terbunuh tanpa satu kata pun terucap, kecuali salah seorang diantara mereka
bertanya lirih; ―apakah tuan-tuan tidak merasa berdosa?‖ (Des, 2010)
Gemuruh langit Banda terus menggelegar seakan murka dan menghujat.
Hujan turun deras sampai 3 bulan seakan menangisi kepergian para pejuang
‗tanah barakat‘. Meski teriakan sanak saudara memekik langit-langit suci, namun
terdengar sepi oleh Coen yang hatinya tertutup mati. Dari balik-balik bambu yang
membisu, peristiwa ini tak kan lekang oleh hati sanubari anak cucu Banda yang
mengharu-biru.
Coen yang mati rasa, tak tampak sedikitpun penyesalan dirinya. Pada 15
Mei, Coen membuat jamuan makan bersama sebagai moment perpisahannya
dengan pasukan tentara di benteng Nassau. Bagi Coen, ini hanyalah tugas Negara,
dan dia telah menuntaskannya dengan sempurna. Benarlah Coen, karena setiba
Coen di Jakarta pada 12 Juli, dia disambut bak pahlawan besar dengan iring-
iringan tembakan meriam dari darat dan laut. Atas prestasinya di Banda Naira,
Coen diberi hadiah 3000 guilders, dengan sedikit hukuman ringan. Selama dalam
penaklukan di Banda Naira, VOC telah meraup keuntungan yang fantastis bagi
Nederland; membangun kota Amsterdam, Hoorn, dan sejumlah benteng kokoh di
Batavia.
PENUTUP
Apa yang tersisa bagi Banda Naira? Dari sekitar 15000 jiwa penduduk
Banda kala itu, Coen berhasil menghilangkan 70 persen penduduknya, yang
sebagian besar mati dibunuh (Loth, 1995: 13-35). Di periode pasca-Coen, Banda
hanya dihuni oleh mayoritas para ibu dan anak-anak perempuan. Menyisakan
perkampungan-perkampungan yang kosong layaknya kota mati. Di sejumlah
perbukitan di Selamon (Banda Besar), tempat dimana persembunyian rakyat
selama pengejaran VOC, ditemukan sekitar 1800 gubuk, dan lebih dari 700
kuburan, dan 9 mayat yang belum sempat dikuburkan. Di Gunung Wayer juga
ditemukan 1000 gubuk dan beberapa kuburan. Pasca-Coen, tentara VOC masih
berpatroli mencari sisa-sisa warga Banda yang bersembunyi di hutan-hutan (Des,
2010).
Jan Pieterszoon Coen kembali dipercaya sebagai gubernur jendral untuk
kedua kalinya, setelah kepulangannya ke Belanda pasca peristiwa Banda. Namun

112
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

di Batavia, ajal memanggilnya di usia yang masih sangat muda, 42 tahun.


Terdapat begitu banyak versi mengenai penyebab kematian Coen. Sebagian
menyebutkan dirinya meninggal karena kolera dan muntah darah. Versi lainnya
menyebutkan Coen mati dengan kepala terpenggal dalam sebuah serangan dari
bala tentara Sultan Agung Mataram. Kepalanya lalu ditanam di bawah tangga
pemakaman para Raja Mataram yang berada di Imogiri, Bantul, Yogyakarta.
Coen dan keangkuhannya tak berumur lama. Bahkan patung Coen dengan
motto, Dispereet Niet ("pantang berputus asa") sebagai symbol peringatan
kejayaan VOC yang pernah ada di gedung Kementrian Keuangan (Lapangan
Banteng) pun akhirnya dibongkar di masa pendudukan Jepang.
Di Banda, tidak ada yang tersisa dari Coen, kecuali memory kelam masa
lalu yang sulit dilupakan. Meskipun pernyataan maaf secara resmi Belanda telah
disampaikan oleh Nicolaus Van Dam, seorang duta besar Belanda dalam
peringatan Pembantaian 44 OK di monument parigi rante beberapa tahun silam,
namun luka batin rakyat Banda tetap sulit terobati. Kenang-kenanglah masa lalu,
meski haru-biru, itulah jati dirimu.

DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Des. 2005. Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambon,
Gramedia. Jakarta.
________. 2010. Sejarah Banda Naira Edisi Revisi. Malang: Pustaka Bayan
Gottschalk Louis. 1986. Understanding History: A Primer of Historical Method
(edisi Indonesia). UI Press. Jakarta.
_________. 1950. Understanding History ; A Primer of Historical Method. Pp.
xix, 290, vii. New York
Hanna, Willard A. 1983. Kepulauan Banda Kolonialisme dan Akibatnya di
Kepulauan Pala. Jakarta: Gramedia
Kiers, Lucas. Coen op Banda de qonqueste getoetst ssm hrt recht van den tijd hl.
236 dikutip Muridan Widjodjo
Lemkin, Raphael. 1944. Axis Rule in Occupied Europe, Carnegie Endowment for
International Peace, 700 Jackson Place, N.W. Washington
Loth, Vincent, C. 1995. Pioneers and Perkeniers: The Banda Islands in the 17th
Century, Cakalele Journal Vol.6.
Van der Chijs De vestiging het Nederlandsche gezag, hl.18-20 Valentijn Oud en
Nieuw Oost-Indië, I hl.91 dikutip Muridan Widjodjo

113
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

114
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

INDONESIA MINI DI TIMUR:


Kepulauan Banda Sebagai Kawasan Pembauran Sosio-Kultural Dari Masa
Kolonial Hingga Pasca Kolonial

BIMASYAH SIHITE, LESTARI D.C.U. GINTING1

ABSTRAK
Masyarakat di Kepulauan Banda dewasa ini merupakan kelompok masyarakat
baru yang tercipta melalui integrasi ragam etnis, agama, ras, dan bangsa. Proses
integrasi tingkat tinggi dari berbagai etnis dan kelas masyarakat dan telah
membentuk komunitas baru yaitu komunitas Banda dewasa ini yang merupakan
komposisi penduduk yang terseleksi oleh sistem kekuasaan dan lingkungan alam.
Masyarakat Banda dewasa ini termasuk dalam kelompok masyarakat metropolis
yang benar-benar memiliki pijakan yang kuat dalam status masyarakat baru
setelah terjadinya perubahan politik dan kekuasaan di Nusantara. Sebagai etnik
baru yang lahir dari percampuran unik dari berbagai etnik, menjadikan orang
Banda sebagai manusia-manusia baru yang tahan uji dalam penderitaan, suka
bekerja keras dan memiliki sikap toleran dan kepasrahan yang luar biasa. Itulah
sebabnya Bung Hatta menyebut Orang Banda bagaikan miniaturnya bangsa
Indonesia. Jika Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa sedang berproses
menjadi sebuah bangsa baru, maka sesungguhnya orang Banda telah final menjadi
sebuah suku bangsa baru dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia baru yang
dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini.

Kata Kunci: Indonesia Mini, Integrasi Nasional

PENGANTAR
Kepulauan Banda merupakan salah satu pulau pusat penghasil rempah di
kawasan timur Nusantara. Gugusan Kepulauan Banda di Provinsi Maluku yang
sekarang tersebut terbentang di Laut Banda, di Tenggara Pulau Ambon dan di
Selatan Pulau Seram. Pulau terbesar dalam gugusan pulau ini adalah Pulau Banda
Besar yang bentuknya mirip bulan sabit dengan luas daratan 34 km persegi. Di
pulau ini terdapat batu karang menjulang dengan ketinggian 20 meter, yang dari
jauh tampak seperti kapal kandas.
Perkembangan kepulauan Banda dalam perjalanannya mengalami pasang
surut. Pada masa sebelum munculnya perkebunan pala kolonial, pulau ini berada

1
Bimasyah Sihite, dan Lestari Dara Cinta Utami Ginting adalah Dosen pada
Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Email
bimasyah90@gmail.com, dan rossifumiluphs90@gmail.com.

115
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

di wilayah kekuasaan kesultanan Ternate. Namun, sejak munculnya industri


perkebunan pala kolonial di kepulauan Banda, kawasan kepulauan tersebut
mengalami peningkatan perkembangan yang cukup dinamis. Lalu kemudian
kepulauan Banda muncul sebagai pusat kegiatan ekonomi, administrasi
pemerintahan, politik, sosial, serta kebudayaan. Kepulauan Banda sebagai pusat
kegiatan ekonomi perkebunan memiliki dayatarik tersendiri bagi kaum pendatang
untuk mengadu nasib. Akibatnya berbagai macam kelompok etnik di antaranya:
Jawa, Buton, Makassar, Bali, Minangkabau, Aceh, Batak Toba, Arab, Sunda,
Tionghoa, dan lain-lain merupakan kelompok etnik yang menjadi penghuni
kepulauan Banda bersama-sama dengan etnik asli orang Banda.

Gambar 1: Peta Kepulauan Banda pada masa kolonial.

Sumber: Tropen Museum.


Berbagai kelompok etnik pendatang ini telah banyak memainkan peranan
tidak saja dalam aspek sosial dan ekonomi, tetapi juga dalam memperkaya
khazanah budaya daerah kepulauan Banda. Bahkan juga Banda menjadi
kepulauan Indonesia mini di timur pada masa kolonial hingga pasca kolonial
Belanda. Penduduk di kawasan kepulauan Banda ini merupakan model ideal
dalam konteks keberagaman, kebhinekaan, dan pluralisme bangsa Indonesia.
Penduduk Kepulauan Banda yang semakin heterogen tersebut kemudian
mencerminkan sebuah kultur yang merupakan adaptasi dari berbagai bentuk

116
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

unsur-unsur budaya, tidak hanya ragam budaya etnik-etnik Indonesia, tetapi juga
unsur-unsur budaya yang telah dibawa oleh para buruh-buruh perkebunan Jawa,
Tionghoa, Buton, Sunda, Aceh dan juga para pengusaha perkebunan Eropa.
Secara fisik wajah kepulauan Banda pada era kolonial mencerminkan perpaduan
antara natural kepulauan nusantara timur dengan arsitektur Eropa dan Asia.

Gambar 2. Kondisi buruh dan controleur di salah satu perk.

Sumber: Tropen Museum.

Kepulauan Banda juga muncul sebagai pusat kegiatan perdagangan dan


politik, meski tidak secepat perkembangan Batavia (Jakarta) pada saat itu. Dalam
perkembangan selanjutnya maka penting untuk diungkapkan bahwa bagaimana
peranan Kepulauan Banda sebagai pusat perpaduan sosio-kultur dan tempat
suburnya iklim yang bersifat pluralistik di kepulauan Banda hingga Indonesia.
Tulisan ini dimaksudkan untuk menjelaskan dan menjawab persoalan tentang
sebuah Pulau yang menjadi tempat tumbuh dan suburnya keberagaman,
kebhinekaan, pluralisme antar kelompok etnik dengan mengambil latar Kepulauan
Banda pada masa kolonial hingga pasca kolonial Belanda. Oleh karena itu maka
perlu dijelaskan bagaimana latar belakang historis perkembangan Kepulauan
Banda. Perkembangan Kepulauan Banda tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari
latar belakang historis daerah Banda, Industri perkebunan pala, struktur pelapisan
sosial, perkembangan budaya pulau, serta dinamika etnik yang terjadi pada saat
itu dan sekarang di Kepulauan Banda.

117
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

PENAKLUKAN, PEMBANTAIAN, DAN EKONOMI PERKEBUNAN DI


KEPULAUAN BANDA

Orang-orang Eropa merupakan bangsa yang sangat mengilhami prinsip


people change (manusia yang berubah) dan untuk itu setiap sesuatu yang mereka
anggap realistis selalu mampu diwujudkannya dalam sikap dan tindakan. Hal ini
tanpa kecuali dengan tindakan-tindakan mereka di masa lalu yang telah mereka
lakukan terhadap wilayah Nusantara yang menjadi penghasil rempah. Sekalipun
hanya dengan landasan pemikiran yang bersifat imajinatif dan penuh fantasi2
mereka telah mampu mewujudkan keinginan untuk menemukan sekaligus
menaklukkan wilayah sentra produksi rempah di Nusantara (Ternate, Ambon, dan
Banda) melalui sejumlah tindakan petualangan dan penjelajahan samudera.
Secara kausalitas pemikiran orang-orang Eropa di masa lalu tentang dunia
timur dan daerah penghasil rempah yang kemudian mendorong mereka untuk
melakukan sejumlah petualangan dan penjelajahan samudera sangatlah sarat
dengan kepentingan ekonomi. Hal ini sangat nyata setelah mereka sukses
menemukan daerah-daerah kepulauan penghasil rempah-rempah salah satunya
Kepulauan Banda dan kemudian mereka terlibat dalam persaingan dengan sesama
bangsa Eropa untuk merebut supremasi terhadap sentra produksi rempah baik
cengkih maupun pala dan fuli.3 Mengenai kunjungan orang-orang Eropa ke pusat
rempah di Nusantara, R.A. Donkin pada tulisannya mengenai sejarah perdagangan
rempah menyampaikan penjelasan interpretatif berikut ini :
―Setelah tahun 1500, para pedagang Eropa mengembara jauh lebih luas di
India, Cina dan Jepang. Asia tenggara merupakan salah satu sumber rempah dan
aromata. Sejumlah rempah ditemukan di beberapa daerah luas, tetapi jarak dari
Eropa selalu terlalu jauh. Pandangan bahwa barang-barang langka termasuk pulau
surga di ambang timur Dunia Lama sangat tua dan lebih-lebih memang benar.

2
Vlekke, Nusantara; Sejarah Indonesia (terj. Samsudin Berlian), Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2008, hlm. 100-102.
3
Tentang adanya persaingan yang terjadi antar bangsa Eropa baik Portugis,
Spanyol, Belanda dan Inggris dalam memperebutkan daerah sentra produksi rempah di
Ternate, Ambon, dan Banda, lihat penjelasan Fernand Braudel, Civilization and
Capitalism, 15th-18th Century: The perspective of the world, California: University of
California Press, 1992, hlm. 207-232.

118
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Cengkih, pala, fuli dan kayu cendana semuanya muncul dan hanya muncul dari
ujung timur Indonesia. Para pedagang Melayu menyatakan bahwa Tuhan
menciptakan Timor bagi kayu cendana dan Banda bagi fuli serta Maluku bagi
cengkih, dan barang-barang dagangan ini tidak dikenal di manapun di dunia
kecuali di tempat-tempat ini.
Orang-orang Portugis baru merebut Malaka pada tahun 1511 ketika mereka
mengirimkan suatu armada kecil untuk menemukan kepulauan rempah. Ketika
mencapai Banda tahun 1512, kontrak dengan Timor dan kawasan Maluku lainnya
segera menyusul. Karena itu untuk pertama kalinya cengkih, pala dan kayu
cendana mencapai Eropa melalui kapal-kapal Eropa-jalur pelayaran laut
terpanjang di bumi. Bagi mereka yang menyelesaikan pelayaran ini,
keuntungannya menjadi sangat tinggi. Apa yang sebelumnya dibagi di antara para
pedagang kini terpusat hanya pada segelintir orang. Magellan membawa cengkih,
pala dan fuli (sebagaimana Colombus membawa mutiara) untuk menunjukkan
kepada penduduk setempat bagi apa yang dia cari Vittoria kembali dengan 533
kuintal (53 ribu pon), imbalan besar dari pelayaran keliling dunia tetapi hasil yang
cukup dengan keuntungan 2500 persen untuk menutup biaya ekspedisi. Sebastian
del Cano, yang memimpin armada itu setelah kematian Magellan pada tanggal 27
April 1521, dianugerahi gelar ksatria oleh Raja Charles I (kaisar Charles V) ketika
kembali ke Spanyol. Kenang-kenangan Del Cano menunjukkan tongkat silang
kayu manis yang ditancapkan di atas tanah dengan dihiasi pala dan cengkih di
bawah sebuah bola dunia dengan tulisan : Primus Circumdedisti Me”.4
Berdasarkan konteks dari teks penjelasan R.A. Donkin dan dikaitkan dengan
perspektif re-orient, sesungguhnya tujuan akhir dari petualangan dan penjelajahan
samudera yang dilakukan orang-orang Eropa pada abad ke XVI adalah
menemukan sumber rempah untuk memenuhi permintaan dari pelosok manapun.
Penemuan sentra produksi rempah yang menjadi keinginan para nahkoda
merupakan upaya pengabaian terhadap entry barriers (hambatan untuk memasuki
pasar) yakni adanya penguasaan pasar internasional yang terbatas dan meliputi

4
R. A., Donkin,. Between east and west : the Mollucas and the Traffic in
Spices up to the Arrival of Europeans, Philadelphia: American Philosophical Society,
2003, hlm. 18-19.

119
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

hanya pada Venesia dan Konstantinopel, Lisboa dan Sevilla tetapi melayani
seluruh Eropa dan Asia Barat serta Asia Barat Tengah.
Kedatangan orang-orang Eropa ke Nusantara yang dilandasi oleh
kepentingan ekonomi terjadi dalam suatu proses yang cukup panjang. 5 Dengan
pemikiran imajiner tentang kekayaan dan rempah, kemudian mereka berpetualang
untuk menemukan daerah penghasil rempah terutama cengkeh dan pala. Diantara
tempat yang mereka hendak temukan adalah pulau penghasil pala dan fuli yakni
kepulauan Banda. Orang-orang Portugis setelah penaklukkan Malaka dibawah
Alfonso d'Albuquerque kemudian melakukan sejumlah pelayaran ke Nusantara
termasuk untuk menemukan Kepulauan Banda yang menjadi pulau utama
penghasil pala dan fuli.6 Upaya orang-orang Portugis ini kemudian di ikuti oleh
pelaut-pelaut Belanda dan Inggris yang juga sukses mengunjungi kepulauan
Banda.
Eksploitasi kekayaan alam di luar Jawa, khususnya di kawasan Kepulauan
Banda gencar dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda setelah mereka merasa
khawatir dengan semakin meluasnya pengaruh aktivitas perdagangan yang
dilakukan oleh Inggris sekaligus dalam rangka ingin mengalahkan dominasi
kolonial Inggris terutama dalam aspek memperebutkan monopoli perdagangan
pala di Kepulauan Banda.7 Berdasarkan pertimbangan ini maka kemudian
pemerintah Kolonial Belanda melakukan ekspansi ke daerah tersebut.
Sementara itu, pada abad ke-XVII, Kepulauan Banda berstatus sebagai
ibukota Provinsi. Oleh karena itu, Gubernur Jenderal berkedudukan di Banda.
Beberapa Gubernur Jenderal yang pernah bertugas di Banda antara lain seperti :
Yacob De Biter sebagai gubernur pertama, Gubernur Hendrik Van Bergel sebagai
gubernur kedua, dan Gubernur Jendral Yan Pieterszoon Coen. Penaklukan
wilayah itu kemudian disusul dengan munculnya industri perkebunan dengan

5
Ibid., hlm. 112
6
Mengenai petualangan orang-orang Portugis hingga ke Asia, lihat penjelasan P.A.
Tiele, Affonso d'Albuquerque in het Oosten. 1507-1515, De Gids, tahun 1873, hlm. 378-
408. Selain itu lihat penjelasan R.Z. Leirissa (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta:
Balai Pustaka, 2008, hlm. 344-345. Lihat juga M. Adnan Amal, Portugis dan Spanyol di
Maluku, Jakarta: Komunitas Bambu, 2009, hlm.10-19.
7
Des Alwi, Banda Naira, Sejarah Banda Naira, Jakarta: Penerbit Bayan, 2006, hlm.
38-40.

120
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

segala aspek yang menjadi dampaknya. Meskipun industri perkebunan di


Kepulauan Banda muncul setelah terjadinya penaklukan wilayah. Munculnya
industri perkebunan pada abad ke-XVII tersebut di Kepulauan Banda dapat
disebut sebagai penentu bagi perkembangan daerah Kepulauan Banda sendiri, lalu
kemudian selanjutnya termasuk perkembangan birokrasi kolonial di daerah
tersebut. Bahkan Gubernur Jenderal memiliki kekuasaan absolut di wilayah
kepulauan Banda. Gubernur Jenderal juga menginstruksikan agar para controleur
lebih senang menghukum sendiri kuli yang melanggar aturan dengan sewenang-
wenang.8
Dalam masa-masa penegakan kekuasaan dan monopoli perdagangan
rempah, para penguasa pemerintahan kolonial Belanda telah melakukan sejumlah
tindakan kekerasan terhadap penduduk pribumi. Tindakan-tindakan kekerasan
yang dilakukan VOC terjadi hampir merata di seluruh daerah-daerah di Nusantara.
Salah satu diantaranya adalah tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap
penduduk di Kepulauan Banda oleh Gubernur-Jenderal Jan Pieterszoon Coen.9
Tindakan kekerasan yang terjadi terhadap penduduk Banda oleh Coen
merupakan akumulasi balas dendam, kolonisasi, dan penegakan monopoli
perdagangan pala dan fuli. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa pada mulanya
orang-orang Belanda yang mengunjungi Banda membuat sejumlah kesepakatan
dalam perdagangan rempah dan kesepakatan ini kemudian diperbaharui selama
beberapa kali. Selanjutnya Laksamana Verhoeven membangun pijakan yang kuat
dengan mendirikan Fort Nassau. Berbarengan dengan langkah Verhoeven, orang-
orang Inggris juga secara intensif meningkatkan kegiatan dalam perdagangan
rempah dan terlibat aktif dalam persaingan dengan Belanda. Konflik terbuka
antara Inggris dan Belanda tidak dapat terhindarkan, dan untuk itu tidak ada
langkah lain yang dapat dilakukan oleh orang-orang Belanda untuk
mempertahankan kepulauan Banda dari intervensi Inggris terkecuali dengan jalan
memperkuat posisi-posisi mereka melalui pendirian benteng pertahanan. Dan

8
Des Alwi, Op. Cit., hlm. 60.
9
Jan Pieterszoon Coen (lahir di Hoorn, Belanda, 8 Januari 1587 – meninggal di
Batavia, 21 September 1629 pada umur 42 tahun) adalah Gubernur-Jenderal Hindia
Belanda yang keempat dan keenam. Pada masa jabatan pertama ia memerintah pada
tahun 1619-1623 dan untuk masa jabatan yang kedua berlangsung pada tahun 1627-
1629.

121
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

untuk itu sejumlah benteng pun didirikan seperti Fort Nassau Belgica, Holandia,
Revengie, dan beberapa Loji.
Akan tetapi proses merampungkan kekuasaan terhadap Banda tidak
semudah yang dibayangkan oleh orang-orang Belanda yang ketika itu telah berada
dibawah otoritas VOC. Sejumlah perlawanan sengit diberikan oleh penduduk
Banda terhadap orang-orang Belanda. Diantaranya adalah penyerangan yang
dilakukan terhadap Laksamana Verhoeven dan pasukannya di salah satu tempat di
bagian Timur dari pulau Naira dan dalam penyerangan ini Verhoeven terbunuh.
Selanjutnya penduduk Banda melakukan penyerangan yang bersifat sporadic.
Strategi penyerangan yang besifat sporadis itu menyebabkan Opperkoopman
Jacob Groenewegen dan 28 orang Eropa lainnya menjadi korban.10
Terjadinya aksi-aksi perlawanan terhadap orang-orang Belanda,
menyebabkan penguasa VOC mengambil langkah-langkah yang lebih agresif
terhadap penduduk Banda. Hoen yang menggantikan Verhoeven menyatakan
perang terhadap seluruh penduduk kepulauan Banda dan langkah nyata
dilakukannya dengan menaklukkan Labetakka (Lautaka), ia juga melakukan
tindakan kejam terhadap mereka dengan memerintahkan pembakaran perahu-
perahu mereka. Walaupun Labetakka memberikan perlawanan yang cukup heroik,
namun karena teknologi persenjataan tidak seimbang mengakibatkan kekalahan
berada dipihak Lebetakka.
Tindakan ekspansif terhadap penduduk Banda yang dilakukan oleh Hoen
mendapat dukungan penuh dari gubernur pertama Banda Jakob de Bitter, kapten
kapal Hollandia. Demi mengejar keuntungan yang diperoleh, gubernur baru ini
melancarkan serangan terhadap Celamme (Selamun) bagian timur dari pulau
Banda Besar, tetapi gagal bahkan dia sendiri terluka serta harus mundur dengan
mendapat kerugian besar.
Orang-orang Banda tidak mampu bertahan lama menghadapi orang
Belanda, dan karena itu pada awal bulan Agustus 1609 mereka menyodorkan
perjanjian perdamaian. Setelah itu pada tanggal 13 Agustus kontrak dibuat yang
terutama berisi tentang pelepasan pulau Neira seperti yang sudah ditaklukkan oleh

10
W.R. van Hoevell, De Moluksche Eilanden, Zalt-bommel: Joh. Noman en Zoon,
1856, hlm. 111.

122
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

orang-orang Belanda. Tidak satupun orang boleh bermukim di Neira tanpa


persetujuan gubernur. Orang-orang Banda bisa berlayar dan berdagang bebas
kecuali rempah-rempah yang hanya disetorkan kepada orang Belanda, dan bukan
kepada bangsa lain. Pelarian dari kedua pihak akan diserahkan kembali. Orang-
orang Belanda dari pihaknya berjanji akan melindungi orang Banda terhadap
musuh-musuh mereka.11
Tidak lama setelah kontrak dengan penduduk Banda, Laksamana Muda
Hoen dan sebagian armada kapalnya berangkat menuju Banten, hanya dua kapal
yang ditinggalkan. Namun sebelum berangkat meninggalkan Banda ia terlebih
dahulu mengangkat Hendrik van Bergel menjadi Gubernur Banda menggantikan
De Bitter, yang meninggal sebelum kedatangannya di (Selamun). Sepeninggal
Laksamana Hoen, penduduk Banda kembali melakukan perlawanan dan
mengabaikan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya dengan Laksamana
Hoen, dan atas perlawanan ini penduduk Banda kembali ditindas oleh Gubernur
Jenderal Pieter Both.12 Penindasan yang dilakukan oleh Pieter Both tidak
menghentikan secara totalitas perlawanan penduduk Banda, perlawanan-
perlawanan masih kerap terjadi serta menyebar di beberapa pulau, sikap
perlawanan ini lebih didasarkan pada tuntutan hak kekuasaan dan pembongkaran
benteng Nassau maupun Belgica yang dianggap menjadi simbol kekuasaan VOC,
tetapi sejalan dengan itu pula orang-orang Belanda mengintensifkan penindasan
terhadap penduduk Banda.
Puncak dari penindasan terhadap penduduk Banda mencapai klimaksnya
setelah Gubernur Jenderal J.P. Coen melakukan tindakan totaliter serta kebijakan
pemilahan penduduk ataupun genocide (pemusnahan) terhadap penduduk Banda
dan membangun suatu genotype baru (penyusunan etnis baru). Selain itu juga
merampungkan kekuasaan dan menegakkan monopoli perdagangan pala, tindakan
Coen merupakan misi balas dendam terhadap penduduk Banda dimana pada 22
Mei 1609, Coen yang baru berusia 22 tahun dan berpangkat onderkoopman
hampir terbunuh di Banda ketika rakyat Banda menyerang sepasukan serdadu

11
W.R. van Hoevell, Op. Cit., hlm. 114.
12
W.R. van Hoevell, Op. Cit., hlm. 120.

123
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

VOC yang dipimpin oleh Laksamana Pieter Willemzoon Verhoeven dan


menyebabkan 46 serdadu Belanda tewas dan 29 lainnya terluka.13
Tindakan totaliter Coen terhadap penduduk Banda juga sebagai akumulasi
dari langkah revance terhadap Inggris dan sentiment terhadap penduduk Banda
yang menjalin hubungan dengan orang-orang Inggris. Secara frontal permusuhan
diberikan kepada Inggris karena dianggap sebagai musuh berbahaya yang
senantiasa mengancam eksistensi kekuasaan VOC dan monopoli perdagangan
rempah di Maluku dan Banda. Coen mendasari permusuhan dengan Inggris di
Banda sebagai langkah parsial dalam memulihkan atau defend (mempertahankan)
kekuasaan VOC di Batavia yang terancam oleh Inggris. Langkah ini dianggap
olehnya realistis karena sikap Inggris yang selalu membangkitkan spirit terhadap
penduduk Banda untuk melawan VOC padahal Inggris sesungguhnya telah
mengakhiri perang ekonomi dengan Belanda sejak tahun 1617.14 Tetapi perlu
digarisbawahi bahwa menjelang pembantaian penduduk Banda oleh Coen,
hubungan Inggris dan Belanda telah dipulihkan melalui kesepakatan dan
pembentukan dewan bersama EIC dan VOC sehingga Inggris diminta untuk ikut
mendukung pemulihan kekuasaan di Banda.
Terlepas dari asumsi dasar dan track record (jejak/jalur merekam) menuju
pembantaian berdarah penduduk Banda, rekonstruksi penting yang dapat disajikan
terhadap pembantaian penduduk Banda ataupun genocide berdasarkan konstelasi,
dimulai dengan adanya peristiwa yang langsung menyulut terjadinya kebijakan
destruktif (memusnahkan atau menghancurkan) penduduk Banda oleh Gubernur
Jenderal J.P.Coen. Peristiwa penting yang menyebabkan Coen melakukan
pembantaian terhadap penduduk Banda, tidak lain dan tidak bukan adalah
perlawanan penduduk Banda yang menyebabkan kerugian bagi VOC dalam
perdagangan rempah dan ini jelas sangat merisaukan petinggi-petinggi VOC,

13
Des Alwi, Op. Cit., hlm. 117.
14
Perang ekonomi yang terjadi antara Inggris dan Belanda berupa larangan
Inggris atas eksport tekstil kasar, termasuk ke Belanda, dengan maksud melumpuhkan
industri tekstil Belanda yang mengolah tekstil kasar dengan celupan warna bermutu
tinggi (oleh Inggris disebut proyek Cockayne) di satu pihak, dan larangan Belanda atas
import semua tekstil celupan (dengan alasan mutu rendah, berarti tekstil Inggris) di
pihak lain.

124
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

sehingga Coen diharuskan memulihkan kondisi ini melalui tindakan militer demi
tegaknya kekuasaan VOC di Banda.15
Semakin nyata bahwa tindakan Coen terhadap penduduk Banda
merupakan pembantaian etnis atau genocide terbatas. Hal ini jelas karena perintah
pengosongan pulau merupakan rencana pemilahan penduduk dan atau genotype.
Penduduk asli Banda sekalipun masih ada karena mengungsi ke Banda Eli dan
juga Seram tetapi kenyataannya penduduk Banda yang merupakan pemilahan
penduduk sesuai rencana Coen terbukti telah menempati kepulauan Banda dan
menjadi sub etnis yang baru. Penduduk Banda yang baru yang merupakan
pemilahan penduduk oleh Coen secara struktural adalah percampuran dari
berbagai etnis di Nusantara dan bagian terbesarnya dari praktek perbudakan pada
lahan-lahan perkebunan pala.16
Pada akhirnya suatu konsklusi yang dapat dikemukakan terhadap aksi
pembantaian penduduk oleh Coen secara teoritis hal ini merupakan bagian dari
politik dan ekonomi kapitalis yang menjadi trend di kepulauan Banda. Tolok
ukurnya adalah adanya eksploitasi terhadap penduduk untuk mengurangi biaya
produksi guna memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dalam
perdagangan Pala dan Fuli. Eksploitasi dilakukan di bawah mekanisme kekuasaan
kolonial yang diciptakan melalui perang dan perjanjian politik dengan penguasa
bumiputera atau disebut dengan beaurocratic and armed trade (berdagang yang
didasari birokrasi dan tentara). Wujudnya adalah benteng-benteng dengan
pegawai dan tentaranya serta suatu hubungan surat menyurat yang aktif dan
laporan-laporan yang panjang dan lengkap antara berbagai pejabat di daerah
dengan pusat di Batavia. Wilayah-wilayah yang dikuasai VOC untuk kepentingan
dagangnya dikoordinasi oleh seorang goeverneur, sedangkan di wilayah-wilayah
lain yang tidak memiliki ikatan politik ditempatkan seorang opperhoofd (kepala)
atau seorang gezaghebber (penguasa).17

15
Wawancara dengan Bapak Dr. Usman Thalib, pada pukul 14.15 wit pada tanggal
11 Oktober 2017.
16
Des Alwi, Op. Cit., hlm. 131.
17
Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia IV, (Edisi Pemutakhiran), Jakarta: Balai Pustaka, 2008, hlm. 30.

125
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Gambar 3. Pengolahan Pala di salah satu perk.

Sumber: Troppen Museum


KEPULAUAN BANDA SEBAGAI KAWASAN PEMBARUAN SOSIO-
KULTURAL DARI MASA KOLONIAL HINGGA PASCA KOLONIAL
Ketika industri perkebunan pala dibuka secara besar-besaran maka
kebutuhan tenaga kerja sangat besar. Kepulauan Banda dengan penduduk yang
sangat minim itu, kemudian oleh pemerintah Kolonial didatangkan penghuni-
penghuni baru dari Jawa, Sulawesi, Sumatera dan beberapa daerah lain di
Nusantara. Kepulauan yang kaya akan buah pala itu, oleh VOC kemudian di bagi-
bagikan menjadi 68 persil atau yang disebut Perken (perkebunan) yang masing-
masing persil berukuran antara 12-30 Hektar. Kepada setiap pemilik perkebunan
(perk) oleh VOC disediakan 25 orang budak.18 Kejatuhan Banda tidak berarti
musnah pula tradisi orang Banda sebagai pelaut yang tangguh, sebab beberapa
sumber menyatakan bahwa orang-orang Banda yang mengungsi ke pulau Kei
Besar (Banda Eli) sering melakukan pelayaran ke kepulauan Banda untuk menjual
atau menukar beberapa peralatan masak dari tembikar kepada penduduk di Banda
Neira. Bahkan diantara mereka ada yang menetap di Banda sebagai orang-orang
bebas. Mereka inilah bersama pribumi Banda yang berstatus budak yang
melanjutkan tradisi maritim di kepulauan Banda hingga saat ini. Walaupun harus
diakui untuk pelayaran samudera masih didominasi oleh pendatang dari Buton
yang sudah menetap di Kepulauan Banda sejak ratusan tahun yang lalu.

18
Yang dijadikan budak oleh VOC adalah pribumi Banda yang tidak mau menjadi
penganut agama Kristen. Jika VOC membagi kepulauan Banda dalam 68 Persil lahan
perkebunan, dan setiap persil memperoleh 25 orang budak, maka diperkirakan
sekurang-kurangnya ada 1700 orang Banda yang masih menetap di Kepulauan Banda
walaupun berstatus sebagai budak. (Wawancara dengan Bapak Dr. Usman Thalib, pada
pukul 16.35 wit pada tanggal 14 Oktober 2017.)

126
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Berdasarkan perspektif kesejarahan, adalah hal yang sangat sulit jika timbul
pertanyaan yang mengarah kepada siapakah penduduk pribumi yang mendiami
pulau-pulau di wilayah kepulauan Banda pertanyaan ini tentu sulit untuk dijawab
terutama jika dihubungkan dengan realitas penduduk kepulauan Banda di masa
kini yang telah menjadi heterogen. Akan tetapi karena adanya sejumlah catatan
sejarah yang menjelaskan tentang penduduk kepulauan Banda terutama yang
dibuat oleh orang-orang Belanda, maka jawaban mengenai penduduk pribumi
yang mendiami kepulauan Banda sedikit dimudahkan terutama dalam
rekonstruksi historisnya.
Merujuk pada beberapa penjelasan yang berhasil dihimpun, penduduk
Kepulauan Banda sesungguhnya terbagi kedalam tiga komunitas.19 Komunitas
yang pertama adalah penduduk heterogen yang mendiami kepulauan Banda jauh
sebelum orang-orang Eropa menjejakkan kaki di kepulauan ini. Komunitas yang
kedua merupakan penduduk kolonis yang heterogen yang terdiri dari orang-orang
Eropa, mardijker, mestizo, orang buangan, dan budak. Dan komunitas yang ketiga
merupakan penduduk Banda yang terintegrasi dari berbagai ras, etnis, dan kuli
kontrak yang telah mengalami transisi cukup lama untuk kemudian membentuk
satu komunitas baru yakni komunitas Banda dewasa ini.
Penduduk Banda yang termasuk dalam komunitas pertama merupakan
masyarakat yang terbentuk menurut struktur adat dengan ikatan persekutuan
ulisiwa dan ulisima.20 Laporan orientalis mengenai penduduk Banda yang
termasuk struktur pertama ditafsirkan sebanyak 15 ribu jiwa, termasuk 4 ribu jiwa
pria yang berperawakan tegap, bersenjatakan perisai dan pedang. Menurut Tome
Pires, etnis Banda awal memiliki rambut panjang lurus, yang menunjukkan bahwa

19
Wawancara dengan Bapak Dr. Usman Thalib, pada pukul 15.00 wit pada tanggal
11 Oktober 2017.
20
Umumnya masyarakat di wilayah kepulauan Maluk u (konteks kesejarahan)
terbagi dalam dua kelompok persekutuan, yakni Ulisiwa dan Ulilima (Maluku Utara),
Patasiwa dan Patalima (Maluku Tengah), Ursiuw dan lorlim (Maluku Tenggara), dan
Ulisiwa dan Ulilima (Banda). Seluruh ikatan masyaraat mengacu pada satuan lima dan
satuan sembilan. Pembagian kelompok masyarakat ke dalam satuan lima dan sembilan
merupakan persektuan yang telah terbentuk sejak lama. Persekutuan ini terbentuk
sebagai dampak dari pengaruh kekuasaan Ternate dan Tidore atau kondisi sosial dan
tradisi tertentu yang mengharuskan setiap kelompok masyarakat harus membentuk
identitas sendiri. Untuk lebih jelas mengenai persekutuan masyarakat di Maluku.

127
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

mereka adalah keturunan orang Indonesia asli.21 Penduduk Banda pertama


memiliki struktur sosial yang diatur berdasarkan garis oligarki, bertumpu pada
pembagian penduduk dalam dua kelompok yang saling berperang.
Dalam struktur sosial dan kekuasaan, orang-orang Lonthoir merupakan
penduduk yang tidak diistimewakan, tetapi di laut mereka merupakan pelaut-
pelaut tangguh, dengan junk, perahu, dan kora-koranya. Mereka mampu berlayar
sampai Malaka, Patani, Jawa dan Makasar, untuk melakukan perdagangan.
Stratifikasi penduduk tergambar dengan jelas pada dewan orangkaya di Ortatan
yang bersidang di bawah sebuah pohon yang memiliki fondasi empat persegi.
Pada pertemuan ini, orangkaya menduduki posisi tertinggi dengan dasar empat
persegi menurut status keluarga dan usianya. Orang pribumi yang disebut bujang
duduk di tanah di bawah pohon. Mereka yang termasuk dalam kelompok yang
disebut Ulisiwa duduk di sisi selatan dan barat, mereka yang termasuk kelompok
Ulisima duduk di sebelah timur dan utara. Orang asing duduk menurut keputusan
orangkaya. Di bawah rakyat biasa terdapat kasta budak. Mereka berasal dari
Jawa, Makassar, Aceh, Ambon, Seram, Kei dan Timor.
Sebagian besar penduduk dari stratifikasi yang berbeda dan telah mengakui
sebagai orang Banda merupakan para musafir dari Mozambique, Arab, Persia,
Kamboja, Coromandel, Benggala, Pegu, Aceh, Mamorauer, selain Melayu,
Tionghoa, Jawa, Makasar, Maluku, Ambon dan berbagai bangsa lainnya.
Selanjutnya dari pulau-pulau sekitarnya seperti Seram, Papua, Kei, Tanimbar,
Aru, Timor dan Solor kebanyakan merupakan budak yang telah di beli. Para
wanita yang setiap hari masih menjual dirinya adalah etnis Melayu, Jawa,
Makassar, Buton, Banggai, juga Maluku, Ambon, Seram, Kei, Timor, tetapi yang
lebih dominan berasal dari Bali.22

21
M.Adnan Amal, Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku utara
150-1950, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010, hlm. 169.
22
P.A. Leupe, De Verovering der Banda Eilanden, 1854. hlm. 79.

128
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Gambar 4. Pemukiman masyarakat di kampung baru, Banda Neira yang


didominasi oleh etnik keturunan Arab, Aceh, dan Buton

Sumber: koleksi pribadi.

Sementara itu, komposisi masyarakat zaman kolonial agaknya sedikit


mengalami perubahan yang merupakan sistem masyarakat yang sengaja
diciptakan oleh VOC. Penduduk ini terbentuk paskah pembantaian berdarah
terhadap penduduk Banda yang masuk dalam komunitas penduduk pertama.
Seperti diketahui bahwa rencana Gubernur Jenderal Coen untuk mengosongkan
pulau Banda berujung pada tragedi berdarah terhadap orang-orang Banda.23 Pulau
ini berhasil dikosongkan sehingga pemukiman baru segera dilakukan. Upaya
untuk pemukiman kembali inilah yang menyebabkan terciptanya penduduk
kolonis. Dengan demikian pembentukan penduduk koloni dapat dianggap sebagai
bagian dari rencana Gubernur Jenderal Coen. Berdasarkan instruksi Coen
mobilisasi penduduk segera dilakukan untuk tinggal dan menetap di Banda, baik
dalam status penguasa, orang buangan, dan budak. Pengiriman orang-orang
Belanda dari sebuah panti asuhan mulai terjadi pada tahun 1645. Pada tanggal 26
Maret 1622, sebanyak 307 wanita dan anak-anak Banda dikembalikan dari
Batavia ke Banda. Menyusul kemudian dikembalikan juga 355 orang yang terdiri
dari 38 pria, 186 wanita, 32 pemuda dan 99 anak-anak dikirim ke Banda.24 Demikian

23
Wawancara dengan Bapak Dr. Usman Thalib, pada pukul 16.47 wit pada tanggal
15 Oktober 2017.
24
Wawancara dengan Bapak Dr. Usman Thalib, pada pukul 17.00 wit pada tanggal
15 Oktober 2017.

129
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

pula dari segala penjuru budak dikirim ke Banda, seperti dari India Depan, Pantai
Coromandel, Kei dan Aru.
Gelombangan pengiriman penduduk ke Banda masih terus dilakukan oleh
VOC. Selaku kongsi dagang yang lebih mengedepankan aspek keuntungan dari
perniagaan, kompeni tidak begitu peduli dalam memilih penduduk baru; mereka
lebih memperhatikan jumlah dari pada kualitas. Beragam etnis dan perilaku yang
berbeda telah dikirim ke Banda sebagai penduduk koloni. Orang buangan, budak
pria dan wanita dari kualitas terendah yakni, orang-orang Tionghoa, Arab yang
tergabung dalam kelompok orang-orang Timur Asing lainnya menjadi bagian dari
penduduk koloni. Pengiriman penduduk baru ke Banda yang berasal dari berbagai
ras dan etnis, akhirnya telah membentuk struktur budaya dan kelompok etnik yang
baru di wilayah itu.

PENUTUP
Masyarakat di Kepulauan Banda dewasa ini merupakan kelompok
masyarakat baru yang tercipta melalui integrasi ragam etnis, agama, ras, dan
bangsa. Kelompok masyarakat ini tercipta melalui proses sejarah yang panjang
selama periode perbudakan di era VOC hingga pemerintah kolonial. Proses
integrasi tingkat tinggi dari berbagai etnis dan kelas masyarakat dan telah
membentuk komunitas baru yaitu komunitas Banda dewasa ini yang merupakan
komposisi penduduk yang terseleksi oleh sistem kekuasaan dan lingkungan alam.
Dari sisi fisik, masyarakat Kepulauan Banda dewasa ini mengalami banyak
perubahan fisik, sikap dan perilaku dengan sedikit mempertahankan bentuk
aslinya. Masyarakat Banda dewasa ini termasuk dalam kelompok masyarakat
metropolis yang benar-benar memiliki pijakan yang kuat dalam status masyarakat
baru setelah terjadinya perubahan politik dan kekuasaan di Nusantara. Sebagian
besar dari mereka hanya mengenal lingkungan tempat tinggalnya di Banda,
sedangkan asal usul mereka telah menjadi bayang-bayang masa lalu yang kabur.
Identitas berubah dengan menempatkan dirinya sebagai orang pulau dan atau
orang desa.
Seperti orang pulau Ai, orang pulau Run, orang pulau Hatta, orang Gunung
Api, orang Naira. orang Lonthor, orang Selamon, orang pantesero, orang Tanah

130
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Rata, orang Rajawali, orang Waer, orang Lautang, orang kampong Baru, dan lain
sebagainya, yang secara keseluruhan itu disebut orang Banda. Penduduk Banda
yang termasuk dalam kategori masyarakat transisi meraih supremasi dalam
pemukiman dan status sosial setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia.
Proses-proses asimilasi dan akulturasi terjadi sehingga etnik Banda dewasa ini
dengan adat istiadatnya memiliki ciri tersendiri bila dibandingkan dengan etnik
Maluku lainnya.
Orang Banda dewasa ini adalah keturunan campuran dari berbagai etnik
yang pernah lama bermukim di Banda Neira misalnya, seperti Portugis, Belanda,
Inggris, Cina, Malayu, Arab Jawa, Bali, Melayu, Makassar, Bugis, Buton,
Ambon, Seram, Kei dan lain sebagainya. Proses inilah yang menjadikan etnik
Banda Naira sebagai etnik unik dengan penampilan-penampilan yang enak
dipandang, serta memiliki perangai sebagai ―etnik periang‖, ramah, penuh
persahabatan dengan prioritas proses assosiatif dalam kontak-kontak sosialnya.
Sebagai etnik baru yang lahir dari percampuran unik dari berbagai etnik,
menjadikan orang Banda sebagai manusia-manusia baru yang tahan uji dalam
penderitaan, suka bekerja keras dan memiliki sikap toleran dan kepasrahan yang
luar biasa. Itulah sebabnya Bung Hatta yang pernah dibuang dan bermukim
selama lima tahun di Banda Neira menyatakan Orang Banda bagaikan
miniaturnya bangsa Indonesia. Jika Indonesia yang terdiri dari berbagai suku
bangsa sedang berproses menjadi sebuah bangsa baru, maka sesungguhnya orang
Banda telah final menjadi sebuah suku bangsa baru dalam tatanan sosial
masyarakat Indonesia baru yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini.

DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Des. 2006. Sejarah Banda Naira. Jakarta: Penerbit Bayan.
Adnan, Amal. 2010. M, Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku
utara 150-1950. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
_________.2009. Portugis dan Spanyol di Maluku. Jakarta: Komunitas Bambu.
Braudel, Fernand. 1992. Civilization and Capitalism, 15th-18th Century: The
perspective of the world. California: University of California Press.
Donkin, R. A. 2003. Between east and west : the Mollucas and the Traffic in
Spices up to the Arrival of Europeans. Philadelphia: American
Philosophical Society.
Djoened, Poesponegoro Marwati, Notosusanto, Nugroho. 2008. Sejarah Nasional
Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka.

131
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Leirissa, R.Z. (Ed.). 2008. Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Balai Pustaka.
Leupe, P.A. 1854. De Verovering der Banda Eilanden.
Vlekke. 2008. Nusantara; Sejarah Indonesia (terj. Samsudin Berlian), Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Van Hoevell, R. 1856. De Moluksche Eilanden. Zalt-bommel: Joh. Noman en
Zoon.

132
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

PERSAUDARAAN DI PERSIMPANGAN JALUR REMPAH


Studi Kasus Upacara Panas Pela Negeri Rohomoni

MELA MAULANI1

ABSTRAK
Pela terjalin karena adanya perang Alakape (perang Tuhaha), terdiri dari lima
negeri yang bersatu melawan Belanda yang ingin menghancurkan kerajaan Islam
dan memperebutkan rempah di tanah Maluku. Upacara Adat Panas Pela diadakan
tiga tahun sekali antara negeri yang berpela dengan latar belakang tersebut untuk
memperkuat persaudaraan yang terjalin dengan tujuan memperkenalkan tradisi
leluhur kepada generasi muda negeri tersebut. Tujuannya untuk mengetahui
persaudaraan yang terjalin antar negeri Rohomoni dan Tuhaha. Metode
penelitiannya adalah wawancara mendalam kepada bapak Raja dan Kapitang
negeri Rohomoni serta studi kepustakaan. Hasilnya berupa persaudaraan tidak
memandang agama dan perbedaan, justru karena masyarakatnya pluralisme ikatan
Pela ini semakin kuat. Persaudaraan yang terjalin antara negeri Rohomoni
(muslim) dan Tuhaha (nasrani) berawal dari upacara adat panas Pela,
mengandung unsur pendidikan (mengajari generasi muda tentang Pela),
pluralisme (menghargai keragaman dan perbedaan) dan identitas ke-Indonesiaan
(identitas dan jati diri orang Maluku), terutama erat kaitannya dengan jalur
rempah. Kesimpulannya upacara panas Pela sebagai pemersatu dua negeri yang
berpela dengan latar belakang perang Alaka untuk memperebutkan rempah yang
melimpah, walaupun berbeda ideologi tetapi tetap menjunjung tinggi
persaudaraan.

Kata Kunci: Pela, upacara panas pela, pendidikan, pluralisme, identitas

PENDAHULUAN
Kebudayaan lokal di Indonesia merupakan warisan budaya Indonesia yang
tidak ternilai harganya. Baik tangible maupun intangible suatu kebudayaan itu
merupakan ciri khas dari suatu wilayah atau daerah. Nilai yang terkandung dalam
sebuah budaya memiliki daya tarik tesendiri dan dipegang teguh oleh masyarakat
yang mempercayainya. Salah satu kebudayaan lokal di Indonesia yang berada di
provinsi Maluku adalah budaya Pela. Pela merupakan salah satu tradisi budaya
yang berkembang dalam masyarakat di Provinsi Maluku, khususnya dalam tataran
kesatuan masyarakat adat yang lebih dikenal dengan sebutan Negeri. Tradisi
Budaya Pela adalah salah satu dari beberapa tradisi budaya lokal masyarakat

1
Mela Maulani S.Hum., adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Potilik,
Program Studi Antropologi, Universitas Padjadjaran. Email: mellamaulani18@gmail.com

133
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Maluku seperti sasi, larvul ngabal, masohi dan sebagainya.2 Di dalamnya terdapat
persaudaraan yang terjalin antara negeri muslim dan negeri kristen.
Terdapat pula nilai kebaikan, kebenaran dan keindahan selalu berada pada
wilayah nilai yang paling tinggi dan menjadi tujuan akhir kehidupan. Nilai yang
dimaksudkan dalam tradisi Pela masyarakat Maluku, khusunya kepulauan
Maluku adalah sesuatu yang dipegang seseorang secara pribadi dan juga
merupakan tuntunan yang terinternalisasi dalam perilaku. Kehidupan bersama
dibangun di atas kejujuran, cinta kasih di antara sesama manusia (hidup basudara)
tanpa memandang suku, ras, budaya, dan agama yang mencirikan perbedaan.
Tradisi Pela memandang matra persaudaraan yang dalam kearifan lokal (local
genius) disebut ―orang basudara‖ sebagai sebuah pandangan yang bersifat
filosofis karena melaluinya dibangun rasa persatuan, rasa memiliki harmonisasi
dan tenggang rasa (Thomas, 2015).
Penelitian yang dilakukan oleh Frans (Thomas, 2015) berjudul Pendidikan
Nilai dalam Tradisi Pela (Kajian Etnografis Masyarakat Ambon) mendapatkan
satu kesimpulan bahwa nilai-nilai dalam tradisi Pela meliputi (1) nilai agama yang
mengatur dimensi tuhan dalam kehidupan manusia, (2) nilai filosofi yang
memiliki universal dan akan terpengaruh berakhir nilai dan subjektif, dan (3) nilai
etika yang memiliki konsekuensi tanggung jawab individu dalam mencapai
kewajiban moral. Melihat realita kekinian dan penuturan dari informan, bahwa
tradisi Pela ini kuat sekali mengandung nilai pendidikan. Pendidikan nilai disini
berupa dapat membentuk persepsi, sikap, keyakinan perilaku dan tindakan-
tindakan penduduk sebuah negeri. Bagaimana tradisi Pela ini mengajarkan untuk
selalu membantu dan menghargai satu sama lain. Fungsi yang lain pula untuk
mengajarkan kepada generasi penerus negeri yang berpela bahwa tradisi ini sangat
penting untuk tetap mengikat tali persaudaraan dan melestarikannya.
Ada pula penelitian lain yang berjudul Pela dan Gandong, Sebuah Model
untuk Kehidupan Bersama dalam Konteks Pluralisme Agama di Maluku
(Hehanussa, 2009) mendapatkan kesimpulan bahwa kita harus bersikap adil antara
adat dan agama. Kedua hal tersebut bukan sesuatu hal yang dapat dibandingkan

2
Samsul Ode. (Oktober 2015). Budaya Lokal sebagai Media Resolusi dan
Pengendalian Konflik di Provinsi Maluku (Kajian, Tantangan dan Revitalisasi Budaya Pela.
POLITIKA, 93-99.

134
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

dan dipilih mana yang lebih baik. Terlepas dari itu, Pela Gandong ini
menjembatani antara sisi agama dan sisi adat yang dimana masyarakat
mempercayainya, terutama masyarakat Maluku yang beragam. Persaudaraan ini
tidak memandang perbedaan dan agama, bahkan telah menjadi identitas lokal
orang Maluku.
Dari kedua contoh penelitian sebelumnya yang dibahas di atas dan beberapa
penelitian lain mengemukakan bahwa betapa pentingnya nilai yang terkandung
dalam tradisi Pela Gandong, bahkan dikaitkan dengan multikulturalnya
masyarakat Ambon, konteks pluralisme agamanya dan sebagai media resolusi dan
pengendalian konflik. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang
penulis teliti adalah bagaimana persaudaraan di persimpangan jalur rempah ini
terbentuk.
Penelitian ini dilakukan untuk menelusuri tentang persaudaraan di
persimpangan jalur rempah yang ada di Maluku, terutama negeri-negeri di Pulau
Haruku. Salah satu negeri yang mempunyai ikatan Pela dengan negeri lainnya
yaitu Rohomoni. Penelitian ini akan melihat bagaimana persaudaraan terjalin
dengan peristiwa perang Alaka yang terjadi di gunung Alaka, pulau Haruku
(Nnegeri Rohomoni). Peristiwa perang yang melibatkan lima negeri melawan
Belanda kala itu terjadi karena Belanda ingin menghancurkan kerajaan islam dan
merebut rempah yang ada di sana. Persaudaraan yang terjalin di pesimpangan
jalur rempah ini menjadi saksi perjalanan Pela terbentuk. Dari mulai mengikat
sumpah antar kedua negeri (Pela tumpah darah) dan sampai sekarang ikatan
persaudaraan tersebut tetap terjalin dengan baik. Salah satunya diadakan upacara
Panas Pela setiap tiga tahun sekali untuk memperkenalkan kembali, memberikan
nilai pendidikan, menghargai perbedaan dan keragaman antar sesama negeri yang
berpela. Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui bagaimana
persaudaraan yang terjalin di persimpangan jalur rempah yang berada di
kepulauan Maluku Tengah.

METODE
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan
perspektif antropologi untuk memahami fenomena sosial budaya yang ada dalam

135
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

penelitian ini. Pendekatan secara kualitatif bersifat holistik, menyoroti relasi


dalam sebuah sistem dan kebudayaan, merujuk pada pengalaman dan interaksi
langsung dengan partisipan (Janesick, 2009). Data primer dan data sekunder
digunakan untuk menelusuri bagaimana persaudaraan di persimpangan jalur
rempah tersebut merupakan fenomena yang terjadi di masa silam.
Data primer seperti hasil dari wawancara mendalam kepada tokoh adat
masyarakat negeri Rohomoni yang mengetahui bagaimana sejarah asal muasal
terbentuknya upacara Panas Pela, sejarah jalur rempah dan persaudaraan yang
terbentuk dari latar belakang tersebut. Sementara data sekunder merupakan
tulisan-tulisan yang relevan dan menunjang dengan penelitian, seperti buku dan
arsip di negeri Rohomoni.
Lokasi penelitin ini yaitu di negeri Rohomoni, kecamatan Pulau Haruku,
kabupaten Maluku Tengah. Negeri Rohomoni merupakan negeri di pulau Haruku
yang termasuk ke dalam Uli Hatuhaha atau disebut pula Amarima Hatuhaha
(persekutuan lima negeri). Penelitian ini fokus pada negeri Rohomoni yang masih
memegang teguh dan melaksanakan upacara adat Panas Pela dengan negeri
Tuhaha. 3

HASIL DAN PEMBAHASAN


Latar Belakang Pela dan Upacara Adat Panas Pela
Bercerita asal-muasal Pela, kapitan dari negeri Rohomoni menuturkan
bahwa Pela terjalin karena adanya perang Alaka atau perang Tuhaha yang terdiri
dari lima negeri yang bersatu untuk melawan Belanda yang ingin menghancurkan
kerajaan islam dan memperebutkan sumber daya alam rempah yang ada di tanah
Maluku. Kelima Negeri tersebut yaitu, Negeri Rohomoni, Negeri Kabau, Negeri
Kailolo, Negeri Pelauw dan Negeri Hulaliuw. Persatuan kelima negeri ini
membentuk sebuah negara islam yang terletak di puncak gunung Alaka bernama
kerajaan islam Hatuhaha. Pela terjadi untuk meminta bantuan dalam peperangan
yang menyebabkan 30 bangsa meninggal dalam perang tersebut. Pada awalnya,
masyarakat hidup damai dengan rempah sebagai sumber daya yang melimpah, ada

3
Eliza Kissya., & Annas Radin Syarif. (2016). Kewang, Kisah Laut dan Ikan Lompa.
In R. Mathari, Jalan Panjang Masyarakat untuk Konservasi dan Ruang Hidup, 15 Cerita
Konservasi Masyarakat Adat di Indonesia (p. 31). Bogor: ICCAs Indonesia.

136
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

cengkeh, pala dan koprakan. Belanda menginginkan rempah itu dengan jalan
menghancurkan kerajaan islam yang ada pada saat itu.
“Perang ini terjadi di gunung Alaka, sebab pada saat itu pusat
pemerintahan Kerajaan Hatuhaha berada di gunung Alaka. Perang Alaka
terjadi sebab penjajah ingin menghancurkan persatuan dan kesatuan
masyarakat di Uli Hatuhaha. Selain untuk menghancurkan persatuan,
penjajah juga ingin menguasai rempah-rempah yang berada di Uli
Hatuhaha. Ketika perang terjadi dan penjajah telah berhasil menduduki
benteng di Hatuhaha. Patti (Raja) Hatuhaha mundur dan meminta bantuan
pada Kapitan Huhule (Huhule adalah nama negeri Tuhaha pada zaman
kolonialisme) yang menjabat sebagai panglima perang dari Negeri
Tuhaha.”4

Peperangan pun berlangsung sengit di dalam benteng yang berada di


gunung Alaka. Seluruh bangsa Eropa yang berada di benteng menjadi korban dan
rakyat Hatuhaha bebas kembali dari Penjajah. Atas kemenangan pada perang
Alaka ini dan juga untuk menghargai jasa kapitan-kapitan dari kedua negeri, maka
Mandalise Haitapessy (Rohomoni) dan Beinusa Amalatu (Tuhaha) mengangkat
sumpah sebagai orang bersaudara yang kemudian diabadikan dalam Pela Tumpah
darah. Peperangan di Alaka itulah yang menjadi cikal bakal terbentuknya
hubungan ―Pela Darah‖ Negeri Rohomoni dan Negeri Tuhaha.
Sistem persaudaraan ini tetap terjalin sampai sekarang. Penulis pun berpikir,
bagaimana masyarakat tetap tak tergoyahkan dengan adanya budaya baru yang
masuk, setelah adanya konflik, banyak para pemuda yang belajar keluar pulau dan
masih banyak hal-hal yang menurut penulis akan melunturkan tradisi yang mereka
pegang erat. Tetapi nyatanya, hal tersebut masih terjaga dengan apa yang mereka
ceritakan, dengan apa yang sebenarnya ada di Rohomoni sekarang. Bagaimana
sistem yang mengatur masyarakat agar tetap menjalankan adat yang sudah berlaku
selama 500 tahun lebih ini menjadi jalan dan alat tetap terjalinnya Pela di
persimpangan jalur rempah ini.

Pela, Identitas Orang Maluku


Pela merupakan salah satu tradisi adat budaya masyarakat provinsi Maluku
yang menjadi identitas dari daerah tersebut. Khususnya dalam tataran kesatuan

4
Keterangan Bapak Irahu Sangadji, Kapitan Adat Negeri Rohomoni. (Wawancara,
Oktober 2017).

137
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

masyarakat adat yang disebut dengan negeri dimana Pela ini merupakan sebuah
tradisi turun-temurun yang bertujuan untuk mempersatukan masyarakat antar
negeri. Pasca konflik Maluku tahun 1999, budaya Pela diharapkan mampu
menjadi modal sosial dan juga modal politik bagi masyarakat dan juga
pemerintahan untuk membangun kembali pola-pola kehidupan masyararakat
pasca konflik yang berkepanjangan. Selain itu pemaknaan kembali budaya lokal
Pela bertujuan untuk meggerakkan kebersamaan masyarakat, membangun rasa
saling percaya serta mencapai keuntungan secara bersama (Ode, Oktober 2015).
Dalam kajian ilmu antropologi, identitas bergantung pada hubungan diri dengan
orang lain. Berdasarkan sejarah masa lampau, konflik yang telah terjadi di
Maluku, membuat Pela ini menjadi identitas orang Maluku. Di dalamnya terdapat
sejarah hidup orang Maluku, terkandung penghayatan akan nilai-nilai relasi antar
manusia, baik yang diawali atau tanpa ketegangan seperti persaudaraan di
persimpangan jalur rempah ini.

Upacara Adat Panas Pela (Pela Tumpah Darah)


Panas artinya menghangatkan, menyatukan kembali dua negeri yang terikat
dalam hubungan itu. Kenapa kembali menyatukan? Untuk apa sebenarnya? Ya,
karena panas Pela ini dilaksanakan setiap tiga tahun sekali, bertempat di kedua
Negeri Rohomoni atau Tuhaha yang silih bergantian, mengenalkan kembali
bagaimana sebuah adat membungkus aspek nilai sosial dan budaya masyarakat
yang tetap berpegang teguh pada adat. Pela sendiri merupakan pranata adat yang
berlaku di Maluku, khususnya di wilayah adat Maluku Tengah yang
menyatukan/perjanjian suatu negeri dengan negeri lainnya. Pela ini mengaitkan
antara dua negeri yang berbeda baik dari segi aspek sosial, ekomomi, budaya dan
agama. Panas Pela berfungsi untuk mengembalikan ingatan kedua negeri yang
berpela terhadap aturan-aturan dan norma-norma dalam sumpah tersebut.
Prosesi pun dilsaksanakan antara negeri yang berpela, Rohomoni dengan
Tuhaha. Tak terlewatkan pula kunjungan dari negeri lain yang ikut menyaksikan
sumpah yang sakral. Sumpah diangkat di atas dulang berisi air yang nantinya akan
dimasukan garam ke dalamnya. Mengapa garam? Karena sejarah dulu
mengatakan bahwa panas Pela ini dilaksanakan dengan adanya meminum darah

138
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

yang telah dicampurkan antar pemimpin negeri kala itu. Sesuai perkembangan
zaman, darah digantikan dengan garam karena orang Rohomoni yang beragama
islam tidak diperbolehkan meminum darah lagi. Sifat garam, akan larut dan hilang
ketika masuk air, akan binasa yang hanya meninggalkan jejak rasa asin dalam air
tersebut. Bak garam, sumpah tersebut diangkat oleh kedua negeri, barang siapa
yang langgar, akan melebur seperti garam di dalam air, barang siapa ingkar, akan
hilang seperti garam di dalam air, hanya tersisa sakit akibat sumpah yang
dilanggar.
“Ikatkan dua negeri. Itu negeri tidak boleh terlepaskan dua negeri , pada
zaman dahulu kala kan kita tidak tahu panas Pela dimana tapi di Rohomoni
sama Tuhaha itu masyarakat Tuhaha ini panas Pela tumpah darah, karena
30 anak bangsa meraka itu gugur di medan perang , mereka punya kuburan
masih ada sampai sekarang, tadi di puncak gunung Alaka”.

Tradisi Panas Pela biasanya di lakukan 3 tahun sekali, dan harus ada raja
dari kedua negeri. Jika ada salah satu negeri yang tidak memiliki Raja atau dalam
arti masih terjadi kekosongan kekuasaan maka Panas Pela tidak dapat
dilaksanakan. Panas Pela biasanya dilakukan pada bulan-bulan yang memiliki
curah hujan yang rendah seperti bulan September, Oktober, hingga Februari.
Tempat atau lokasi diadakannya bergilir. Semisal pada prosesi tahun ini
dilaksanakan di Negeri Rohomoni maka pada prosesi selanjutnya diadakan di
Negeri Tuhaha.
Bapak kapitan Irahu Sangadji berkata demikian, bahwa dahulu adanya
pertumpahan darah 30 anak bangsa dalam peperangan. Betapa dasyatnya perang
dahulu sehingga terciptalah tradisi panas Pela tersebut. Begitulah upacara adat
panas Pela dilaksanakan, ramai dikunjungi negeri yang ingin hadir dan tahu,
sakral dengan sumpah yang diangkat diatas dulang air, terjaga dengan adat yang
dipegang teguh oleh masyarakat.
Sei lesi sou (siapa langgar sumpah), sou lesi ei (sumpah akan hukum dia).
Kembalilah terucap sumpah tersebut. Ternyata ada sebuah kisah nyata yang baru
terceritakan. Entah pastinya kapan, bapak menjelaskan bahwa ada suatu kejadian
dimana suatu malapetaka terjadi akibat sebuah negeri tidak memperhatikan
persaudaraan ini. Katanya, terjadi pada orang Tuhaha yang tidak memperhatikan
kaum saudaranya yang dipenjara di Saparua, mereka membiarkan dengan

139
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

sekedarnya tidak membantu sama sekali. Alhasil, seketika itu juga rumah adat
mereka roboh, tanpa diterpa angin, tanpa lapuk dimakan usia, semua terjadi begitu
tiba-tiba setelah mereka berbuat seperti itu.
Orang Rohomoni sendiri percaya, bahwasannya, jika mereka tidak
memegang teguh aturan adat sampai saat ini, tidak akan ada yang namanya
Rohomoni, tidak akan ada namanya rempah, tidak akan ada lagi namanya
persaudaraan, tidak akan ada lagi jalur rempah yang membawa kebajikan negeri
Rohomoni. Malah akan tercipta kesengsaraan, rezeki tidak akan cukup, akan
adanya banyak teguran yang datang langsung dari Allah. Karena Rohomoni
sekarang merupakan pusat dari persaudaraan antar Pela, pusat dari disimpannya
semua catatan sejarah penyebaran islam dan jalur rempah di rumah pusaka dan
tidak sembarang orang bisa memasukinya, seperti sebuah ruangan rahasia yang
menarik diteliti namun sulit tuk dimasuki.

Pluralisme dalam Negeri yang Berpela


Masyarakat pluralisme (majemuk), keragaman yang berdiri sendiri, terjadi
pada masyarakat pemukiman yang terbentuk dan dipengaruhi dari para pendatang.
Struktur masyarakat tradisional Maluku menunjukan bahwa perbedaan dan
keragaman merupakan elemen fungsional dalam masyarakatnya, bukan sesuatu
yang harus dihapuskan atau dihindari. Itu artinya fungsi ini menjadi
berkesinambungan untuk menjaga satu sama lain supaya struktur sosial dalam
masyarakat pluralisme Maluku tetap berjalan dengan baik, hidup rukun dalam
sebuah kemajemukan yang terikat oleh suatu aturan adat. Dengan demikian,
kehidupan sosial di Maluku ditopang dan dilatar belakangi oleh kemajemukan
yang merupakan alat esensial untuk tetap menjaga keseimbangan dan menyatukan
identitas. Identitas ini lah yang bermain dan memiliki peran penting dalam
perjalanan hidup orang Maluku. Tanpa kesadaran pluralisme dalam negeri berpela
ini, tidak mungkin terbentuk kesatuan dan tidak akan ada juga identitas diri.

Persaudaraan di Persimpangan Jalur Rempah


Rempah merupakan berbagai jenis tanaman yang dapat digunakan untuk
bumbu masakan dan bahan obat-obatan yang sangat penting bagi kehidupan

140
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

manusia.5 Rempah dihasilkan dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk salah


satunya Cengkeh yang dihasilkan dari daerah Ambon (kepulauan Maluku) dan
Ternate. Sekitar abad ke- 7 kerajaan-kerajaan di nusantara telah mengetahui nilai
rempah (terutama cengkeh dan pala) sebagai komoditi ekonomi. Pada masa itu
telah ada hubungan dagang antara Jawa dan Maluku.6 Para pedagang ini lah yang
membawa berbagai aspek budaya dan keagamaan ke tanah Maluku, sampai pada
akhirnya bangsa Portugis dan Belanda berlabuh di Maluku untuk mengorganisir
perdagangan rempah-rempah.
Persimpangan para pendatang terutama bangsa Belanda yang menegakan
monopoli perdagangan rempah di Maluku, sebagian kemudian menjajah karena
melihat surga rempah yang melimpah ruah. Kegelapan hati dan mata yang kabur
karena kekuasaan dan harta, persatuan dan kesatuan karena rasa persaudaraan,
kepanasan hati untuk mempertahankan apa yang menjadi jati diri setiap negeri.
Pela, persaudaraan di persimpangan jalur rempah, membuktikan sampai sekarang,
tradisi masih mendarah daging, rempah akan terus melimpah ruah. Rohomoni,
negeri persaudaraan yang indah.
Pulau Haruku termasuk kepulauan Lease dimana dahulu Belanda melakukan
ekspedisi untuk mencari rempah. Kepulauan Lease sendiri khususnya pulau
Haruku, Rohomoni merupakan pulau yang terdapat sumber rempah di dalamnya
seperti cengkeh. Dalam perkembangan di kepulauan Lease, terutama di Pulau
Haruku terdapat suatu peninggalan historis mengenai perdagangan cengkeh pada
masa kolonialisme, yaitu terdapatnya bendeng Niew Zelandia yang pada masa
pemerintahan Belanda dijadikan gudang cengkeh.
Di jalur rempah ini terdapat negeri-negeri yang berpegang teguh pada tradisi
adatnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, salah satu alasan Belanda

5
Turner menyatakan bahwa kekaguman terhadap daya magis rempah dalam
kehidupan masyarakat dunia pada zaman dahulu memang diakui oleh banyak orang,
namun yang lebih mengagumkan lagi adalah bahwa banyak hal telah dikorbankan
(harta, nyawa, kehormatan, kekuasaan, dan sebagainya) hanya untuk memperebutkan
rempah. Dengan demikian, rempah bukan hanya memiliki kekuatan magisbagi para
penggunanya tetapi juga memiliki kekuatan magis dalam menentukan sejarah dunia.
Lihat Jack Turner, Sejarah Rempah: Dari Erotisme sampai Imperialisme (Penerjemah Julia
Absari) (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), hlm. xvi.
6
Dalam buku Rempah, Jalur Rempah, dan Dinamika Masyarakat Nusantara
(Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia). hlm. xxiv.

141
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

melakukan ekspedisi di kepulauan Lease juga tergiur akan rempahnya yang


melimpah. Hal itu pula menjadi salah satu penyebab terjadinya perang Alaka yang
menyatukan kelima negeri untuk menjalin sebuah ikatan persaudaraan, di tanah
leluhur mereka, tanah kelahiran mereka, yang kaya akan rempahnya, terutama
cengkeh.
Erat kaitannya dengan sejarah rempah di Maluku, datangnya para pedagang
dari Jawa karena ada ikatan perdagangan antara Jawa dan Maluku, hingga tibanya
bangsa Portugis dan Belanda yang berekspedisi untuk mencari kekayaan alam di
Indonesia Timur, persaudaraan ini terjalin ketika adanya persaingan yang telah
mengorbankan harta, kekuasaan, kehormatan bahkan nyawa menjadi taruhannya.
Persaudaraan di persimpangan jalur rempah, akhirnya terjadi perang Alaka akibat
ingin dihancurkannya kerajaan islam dan rempah yang diperebutkan. Hingga pada
akhirnya, tergabunglah kelima negeri yang mengangkat sumpah persaudaraan,
sumpah tumpah darah (panas Pela).

KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat diambil beberapa poin penting bahwa rempah
menjadi salah satu alasan utama terciptanya persaudaraan yang menjadi identitas
orang Maluku. Pela yang merupakan sebuah tradisi yang tetap dijaga sampai
sekarang menjadi saksi dan cerita bagaimana rempah yang dipandang sebagai
sebuah surga menghasilkan adanya imperialisme dan kolonialisme yang justru
seringkali menjadi sumber siksaan neraka bagi penduduk kepulauan nusantara
yang menghasilkannya. Oleh karena itu terciptalah pela yang melatarbelakangi
persaudaraan di persimpangan jalur rempah ini.
Namun demikian, rempah juga menjadi kekuatan penggerak sejarah dimana
telah terjadinya komunikasi lintas budaya, berbagai macam etnik dan kelompok
sosial masuk ke Maluku dengan jalur perdagangan rempah. Sehingga
keberagaman tercipta di negeri yang bersaudara ini. Siapapun itu mereka dan
berasal dari manapun, ketika sudah menjadi orang Maluku, mereka tetap
menjunjung tinggi nilai persaudaraan. Jalur rempah, persimpangan jalur rempah
dan persaudaraan di persimpangan jalur rempah ini, membuktikan adanya sebuah

142
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

nilai yang ingin disampaikan sedari orang-orang terdahulu bahwa rempah ini
dapat memisahkan dan menyatukan.
Persaudaraan yang terjalin antara negeri Rohomoni dan Tuhaha ini, sebuah
catatan perjalanan tentang rempah yang mempersatukan dua negeri akibat dari
rempah yang bersifat memisahkan. Perang yang terjadi melawan Protugis dan
Belanda dulu kala membuat kenangan bahwa dimana kita bersatu di sana
kemenangan akan terwujud. Kemenangan persaudaraan, kemenangan
mempertahankan rempah dan kemenangan yang menjadi identitas diri mereka.
Walaupun kedua negeri ini berbeda ideologi dan kepercayaan, tetapi mereka tetap
bersatu untuk mempertahankan negeri dan tanah mereka. Dengan adanya upacara
panas pela dan adanya tradisi pela samai sekarang, itu menjadi tanda bahwa
ikatan persaudaraan tetap kuat dan lestari walaupun sudah bertahun-tahun
lamanya.

DAFTAR PUSTAKA

Frost, N. (2004). Adat di Maluku: Nilai Baru atau Eksklusivisme Lama?


Antropologi Indonesia, 1-11.
Hehanussa, J. (2009). Pela dan Gandong, Sebuah Model untuk Kehidupan
Bersama dalam Konteks Pluralisme Agama di Maluku. Gema Teologi, 33.
Irahu Sangaji, K. A. 2017. Sejarah Rempah dan Panas Pela di Rohomoni. (M.
Maulani, & A. Swasamba, Interviewers , Oktober Jumat).
Janesick, V. J. (2009). Taria Desain Penelitian Kualiatif: Metafora, Metodolatri
dan Makna. Dalam N. K. Denzin, & Y. S. Lincoln, Handbook of Qualitative
Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Joro Sangaji, P. N. (2017). Sejarah Rohomoni, Sejarah Mesjid dan Rempah. (M.
Maulani, & Z. Zakaria, Interviewers Oktober Jumat)
Kissya, E., & Syarif, A. R. (2016). Kewang, Kisah Laut dan Ikan Lompa. In R.
Mathari, Jalan Panjang Masyarakat untuk Konservasi dan Ruang Hidup, 15
Cerita Konservasi Masyarakat Adat di Indonesia (p. 31). Bogor: ICCAs
Indonesia.
Marihandono, D., & Kanumayoso, B. (n.d.). Rempah, Jalur Rempah, dan
Dinamika Masyarakat Nusantara. Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat
Jendral Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Ode, S. (Oktober 2015). Budaya Lokal sebagai Media Resolusi dan Pengendalian
Konflik di Provinsi Maluku (Kajian, Tantangan dan Revitalisasi Budaya
Pela. POLITIKA, 93-99.
Thomas, F. (2015). Pendidikan Nilai dalam Tradisi Pela (Kajian Etnografis
Masyarakat Ambon). Jurnal Pendidikan Humaniora, 125-133

143
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

144
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

ACEH TIMUR DAN SEUNEUBOK LADA 1840- 1873

HALIMATUSSA‘DIAH SIMANGUNSONG1

ABSTRAK
Aceh Timur merupakan daerah yang terletak di pesisir timur Provinsi Aceh, saat
ini wilayahnya meliputi Kabupaten Tamiang, Kota Langsa dan Kabupaten Aceh
Timur. Sebelumnya wilayah ini tidak memiliki peranan yang berarti hingga
pertengahan abad ke-19, Aceh Timur muncul sebagai daerah pusat penanaman
lada yang penting di Aceh yang diusahakan oleh pendatang dari Pasai, Pidie dan
Aceh Besar. Seuneubok Lada adalah komplek perkebunan lada yang merupakan
gabungan dari 10 sampai dengan 20 atau lebih kebun lada. Keberhasilan
penanaman lada di Aceh Timur menyebabkan munculnya kenegerian-kenegerian
baru yang diawali oleh pembentukan Julok Rayeuk, Julok Cut, Bugeng, Bagok,
Idi Cut, Idi Rayeuk, Meureubo, Peudawa Rayeuk, Sungai Iyu, Simpang Ulim, dan
Tanjung Seumantok. Hal ini lebih lanjut berdampak pada aspek ekonominya
yakni memungkinkan perolehan pendapatan yang lebih besar. Dari aspek politik,
dilihat dari perkembangan seuneubok lada menyebabkan tumbuhnya kenegerian-
kenegerian yang memberi kesempatan kepada kepala dalam penanaman lada
untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi (uleebalang) dibandingkan
dengan daerah asalnya. Sedangkan pada aspek sosialnya pertumbuhan seuneubok
lada yang diusahakan oleh para pendatang menyebabkan terjadinya pertambahan
penduduk dan berdampak pada komposisi penduduk.

Kata Kunci : Aceh Timur, Penanaman Lada, Seuneubok Lada

PENDAHULUAN
Lada atau pepper (piper nigrum) termasuk kedalam golongan rempah-
rempah. Namun lebih akrab dengan nama merica merupakan rempah-rempah
yang paling diminati sehingga nilai tukar dan nilai jualnya pun tinggi
dibandingkan rempah-rempah lainnya seperti cengkeh, pala dan lain sebagainya.
lada juga memiliki julukan ―The king of spice‖ yang artinya raja rempah-rempah,
karena sejak dari zaman dulu sampai saat ini lada menjadi komoditas unggulan
dari perdaganganrempah-rempah, dan Indonesia merupaakn pengekspor lada
terbesar di dunia. Bahkan rempah ini telah menjadi primadona sejak abad ke-14

1
Halimatussa’diah Simangunsong, S.Hum adalah mahasiswa Departemen Ilmu
Sejarah Universitas Sumatera Utara. Email: hadiah724@gmail.com

145
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

oleh para pedagang dari India (terutama Malabar) dibeberapa tempat dibagian
utara Pulau Sumatera, hal ini sejalan dengan penyebaran agama Islam.2
Aceh Timur merupakan wilayah yang letaknya berada paling ujung di pantai
timur Aceh. daerahnya terletak di muara Sungai Jambu Ayer di sebelah utara
sampai muara Sungai Ayer Masen di selatan. Daerah pantai Aceh Timur langsung
berhadapan dengan Selat Malaka, hal ini menyebabkan Aceh Timur telah
memainkan peran penting dalam perdagangan dunia sejak abad ke-12.
Wilayah Aceh Timur memiliki iklim tropis dengan curah hujan 1.750-2.000
mm pertahun, itu artinya wilayah ini termasuk daerah dengan intensitas hujan
yang rendah. Selain itu, daerah Aceh Timur sama sekali tidak memiliki gunung
berapi sehingga tingkat kesuburan tanah di daerah ini kurang. Namun, wilayah
Aceh Timur dialiri oleh banyak sungai3, sungai-sungai ini memiliki arti ekonomi
karena semua sungainya dapat dialiri sebagai sarana tranportasi komoditas yang
dihasilkan di pedalaman terutama lada.
Walaupun komponen tanah di daerah Aceh Timur tidak terlalu subur dengan
ciritanah liat yang berpasir, namun tanaman lada masih dapat tumbuh dengan baik
karena akar tumbuhan ini sangat mudah menembus lapisan tanah. Selain lada,
daerah Aceh Timur banyak ditanami tanaman lain salah satunya padi. Faktor
kurang suburnya tanah di daerah Aceh Timur dapat diatasi dengan pemeliharaan
tanaman lada secara lebih intensif termasuk pemberian pupuk. Terdapat tiga
faktor mengapa saat itu padi sangat jarang ditanam dibandingkan tanaman lada
yakni keadaan kesuburan tanah, curah hujan yang rendah serta harga lada yang

2
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), 2006,
Jakarta: Sepustakaan PopulerGramedia, Forum Jakarta Paris, Ecole francaise d’Extreme-
Orient. hlm. 59; lihat juga Edy Soedewo, “Lada si Emas Panas: Dampaknya Bagi
Kesultanan Aceh Dan Kesultanan Banten”, 2007, Jurnal Historisme, edisi No. 23/ Tahun
XI., hlm. 18
3
Sungai-sungai besar bersumber di pedalaman Pegunungan Bukit Barisan yang
bermuara di Selat Malaka. Sungai-sungai tersebut adalah Sungai Jambu Ayer (panjang
200 km), Sungai Tamiang (panjang 180 km), Sungai Peureulak (panjang 140 km) dan
sungai Bayeun (panjang 80 km), sedangkan sungai-sungai yang lebih pendek diantaranya
adalah Sungai Langsa, Sungai Bayeun, Sungai Ranto Panjang, Sungai Alue Nireh, Sungai
Idi, dan Sungai Arakundo. M. Gade Ismail, seuneubok lada, uleebalang, dan kumpeni
perkembangan sosial ekonomi di daerah batas Aceh timur, 1840-1942, 1991, Leiden:
Academish Proefschrift de Rijksuniversiteit te Leiden, hlm. 20.

146
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

tinggi dibandingkan menanam tanaman padi, inilah yang menjadi daya tarik untuk
menanam tanaman lada.
Sejak awal abad ke-19 Aceh Timur mulai muncul sebagai pusat penanaman
lada yang dibuka oleh para pendatang. Perkembangan daerah ini sangat
berpengaruh pada saat itu sangat dipengaruhi oleh penanaman lada. Dibukanya
seuneubok lada di daerah Aceh Timur menyebabkan pertumbuhan kenegerian-
kenegerian baru dan terus berlanjut sampai dengan pecahnya Perang Belanda di
Aceh pada tahun1873.4
Dalam tulisan singkat ini penulis akan memaparkan bagaimana tanaman
lada menjadi primadona sehingga menarik perhatian penduduk daerah lain untuk
melakukan migrasi ke daerah Aceh Timur dengan tujuan membuka seuneubok
lada atau kebun-kebun lada sekaligus menjadi alasan munculnya kenegrian-
kenegrian baru yang menjadi periode baru dalam pengembangan daerah ini.

PEMBUKAAN SEUNEUBOK LADA OLEH PENDUDUK PENDATANG


J. R Logan meneliti tentang asal usul kerajaan Brunai di Pulau Kalimantan,
melihat bahwa pembukaan itu dimulai dari penguasaan muara sungai, kemudian
menjadi sebuah kenegrian yang dipimpin oleh ketua yang disebut dipertuan dan
disahkan oleh penguasa daerah asal.5 Perpindahan penduduk ke daerah lain dan
mendirikan negeri baru di dalam alam melayu, disebut sebagai buka negeri.6 Sama
halnya dengan di Aceh, terjadinya migrasi penduduk karena kegiatan penanaman

4
Ibid., hlm. 37
5
Sesuatu negri secara resmi terbentuk, setelah pengausa di daera baru
memperoleh pengesahan dengan mempoleh nobat. Meskipun demikian, negeri yang
baru terbentuk itu tidak dianggap sebagai daerah bawahan dari negeri asal. J.R. Logan.
Traces of the origin of the Malay Kingdom of Borneo Proper”, JIAEA 2 (1848) 11, hal.
513-514; lihat juga, M.C Sheppard, “The Nobat”, Malaya in History. Jilid. IV. No.1, 1958.
Hal. 22 lihat juga, J.M gullick, Sistem Politik Bumiputera Tanah Melayu Barat, Kuala
Lumpur: dewan Bahasa Pustaka, 1970, hal. 73; lihat juga J.M Gulick, Malay Society in the
Late Nineteenth Century, Singapura: Oxford University Press, 1987, hal. 28-29; ; lihat
juga M. Gade Ismail, ibid., hlm 51.
6
“Alam Melayu” yang dimaksudkan disini untuk menunjukkan kepada daerah-
daerah di semenanjung Melayu, Kepulauan Indonesia dan Filiphina yang berkebudayaan
Melayu. Ac. Milner, 1971, Kerajaan: Political Culture on the eve of colonial rule. Tucson
Arizona: Unversity of Arizona Press, hal.2; lihat juga M.Gade Ismail, Ibid.,

147
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

lada dengan membuka kebun lada disebut dengan istilah buka seuneubok atau
membuka kebun lada.7
Daerah penanaman lada di Aceh telah berkembang di pantai selatan.
Namun, pada awal abad ke-19 pusat penanaman lada di Aceh kembali mengalami
pergeseran ke daerah pantai barat dan timur Aceh dan menjadikan daerah pantai
selatan tidak lagi memiliki peranan penting.
Munculnya daerah-daerah penanaman lada pada permulaan abad ke-19 tidak
dapat dipisahkan dari meningkatnya harga lada di pasar internasional. Pada tahun
1822-1823 lada mancapai harga tertinggi hingga tahun 1871.8
Di pantai barat sejak tahun 1830 muncul pusat penanaman lada baru antara
Meulaboh dan daerah-daerah disebelah baratnya seperti Pati, Rigaih, dan
Teunom.9 Sedangkan di pantai timur Aceh tepatnya di daerah Kuala Krueng
Jambu Aye sampai dengan daerah Tamiang sejak tahun 1840 sebagai pusat
tanaman lada yang baru.

7
Seuneubok adalah kompleks perkebunan lada yang merupakan gabungan dari 10
sampai dengan 20 atau lebih kebun lada. Masing-masing kebun dikerjakan oleh 5 orang
atau lebih. “Aanteekeningen Gehouden Gedurende Mijn Verblijf te Edi”, dalam
Westersche Handscriften van het KITLV Leiden: H. 997. No. 109.
8
Harga lada yang pada tahun 1806 berkisar sekitar 8 Ringgit Spanyol perpikul,
mengalami kenaikan terutama sebagai akibat dari persaingan antara pedagang-
pedagang Isnggris dan Amerika, dalam perdagangan lada di Sumatera. Pada tahun 1822
harga lada mencapai 10 Ringgit Spanyol perpikul. John Bastin, The british in West
Sumatra, 1685-1825. Kuala Lumpur: University of Malaya press, 1965, halaman. 133.
Lihat juga, J.W. Gould, “Sumatra-America’s Pepperpot, 1784-1873”, Essex Institute
Hostisal Series, 92, 1956, halaman 217. Lihat Juga M. Gade Ismail. op.cit. hlm. 63
9
Ibid., hlm. 41. Sampai tahun 1825 di daerah ini belum lagi ditanam lada. Kelapa
tumbuh baim disana. William Milburn, 1825, Oriental Commerce. London, hal.361. W.L
Ritter anggota utusan yang dikirim Gubernur Blenda di Padangkepada Sultan Aceh. pada
tahun 1837. Dalam perjalanan ituia menyinggahi pelabuhan-pelabuhan di pantai barat
Aceh. laporannya menyebutkan bahwa tanaman lada sudah cukup mulai berkembang
dipantai barat aceh. lihat W. L Ritter, “Korte Aanteekeningen over het Rijk van Atjin,
voor zoo verre het zich uitstrekt van den Hoek van Singkel tot aan Zoogenaamd Groot-
Atjin : Opgemaakt op eene Reis langsde Kust in het Begin van 1837”, TNI 1 (1838), 1,
halaman 471. Produksi lada pantai barat Aceh ini tidak ada yang dijual kepada
padagang-pedangan Belanda. Pedagang-pedagang Amerika, Inggris, Italia, Jerman dan
Denmark mengangkut langsung lada-lada ini ke Eropa atau Amerika. Pedagang-
pedagang Cinadari pulau Penang juga ikut ambil bagian dalam perdagangan lada di
daerah ini. P.G.J Senn, “Atjineesche Peperhavens”. ARA: NHM: No. 9468: Reisverslagen
No. 45. 1853.

148
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Pertumbuhan Seunebok lada di Aceh Timur tidak dapat terlepas dari proses
migrasi penduduk dari berbagai daerah ke wilayah Aceh Timuryang pada saat
iniAceh Timur hanya berupa daerah kosong yang dipenuhi semak belakar hanya 4
kenegrian saja yang menjadi pemkiman bagi penduduk setempat, yakni Peureulak,
Langsa, Karang dan Kejuruan Muda.
Migrasi yang dilakukan penduduk dari Pasai, Pidie dan Aceh Besar ke
Aceh Timur pada awal abad ke-19 menjadi modal perkembangan Aceh Timur.
Perpindahan penduduk dapat terjadi atas beberapa faktor yang dilihat pada faktor
pendorong dan faktor penarik.
Faktor pendorong yang dapat menyebabkan terjadi migrasi biasanya
dipengaruhi oleh kepadatan penduduk sehingga berakibat pada kurangnya
sumberdaya alam dan akhirnya akan terjadi persaingan ekonomi antar penduduk.
Selain faktor ekonomi masih banyak lagi faktor pendorong yang menyebabkan
terjadinya migrasi. Dilihat dari 3 daerah asal penduduk yang melakukan migrasi,
ketiganya memiliki kesamaan jika dilihat dari kesuburan tanah, pemukinan
penduduk dan keberadaan kerajaan. Aceh Besar yang terletak di lembah Aceh
Besar serta daerah Pidie dan Pasei adalah daerah yang cukup subur, selain itu,
ketiga daerah ini telah menjadi pusat pemukinan penduduk yang lebih awal
berkembang dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Aceh.10 ketiga daerah
yang menjadi daerah asal juga terdapat kerajaan-kerajaan pantai yang telah lahir
sejak sebelum abad ke-16.11
Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan wahba penduduk
bermigrasi dari daerah asalnya menuju Aceh Timur pada abad ke-19 bukan lah
10
Ibid., hlm. 61-62. Daerah Pidie yaitu lembah yang terletak antara Ndjong sampai
dengan Pidie (Peukan Pidie), dank e arah pedalaman sampai dengan Tangse, di
dalamnya termasuk Kenegrian Gigieng dan Ie Leubue, adalah lembah yang padat
penduduk. Daerah Pasei yang terbentang antara Sungai Jambu Ayer sampai Lhok
Seumawe, juga daerahyang sejak abad ke-16banyak penduduk, walaupun demikian
kedua daerah ini merupakan daerah penghasil beras di Aceh. Sedangkan Aceh Besar pad
abad ke-17 mulai melakukan penanaman padi didaerah pedalaman Aceh Besar.
11
Ibid.,Samudra Pasai yang terletak di Pasei. Di daerah pidie terdapat kerajaan
Pidie yang sampai awal abad ke-16, masih merupakan kekuasaan yang dibawahi
kerajaan Aceh Besar dan Daya. Sedangkan Aceh besar terdapat kerajaan kecil yaitu
Darul Kamal dan Darul Alam, kemudian pada tahun 1520 kedua kerajaan ini digabung
menjadi kerajaan Aceh. Teuku iskandar.”De Hikajat Atjeh”, VKI 26 (1958), hal. 32; lihat
juga Arun K. Dasgupta, Acheh in Indonesian Tradedan politics: 1600-1641. Ph.D thesis,
Cornell Universit, 1962. Ann ArborMIchingan: University Micro Films, 1962, hal. 26-27.

149
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

karena faktor pendorong hal ini jelas terlihat bahwa daerah asal para pendatang
memiliki tanah dengan tingkat kesuburan yang tinggi, kepadatan penduduk yang
tidaklah terlalu padat, serta daerah-daerah tersebut merupakan pusat kerajaan-
kerajaan dibandingkan daerah tujuan migrasi dibandingkan daerah tujuan migrasi.
Motif migrasi penduduk ini bukanlah faktor pendorong yang berakar pada kondisi
ekonomi daerah asal, melainkan faktor penarik yang ditawarkan daerah baru.
Daerah Aceh Timur yang kosong namun memiliki nilai ekonomi dijadikan
sebagai kesempatan bagi kelompok pendatang untuk memperoleh pendapatan
yang lebih tinggi. tingginya harga lada di pasar internasional pada tahun 1820-an
menjadi motivasi penduduk untuk mencari daerah baru yang cocok untuk
ditanami tanaman lada.
Perpindahan penduduk di ceh tergolong baru namun kegiatan ini telah
dilakukan oleh para penduduk dengan beberapa gelombang yakni pada abad ke-18
ketika penduduk daerah Aceh Besar pindah ke daerah Sumatera Barat tepatnya
Trumon dan Susoh sebagai pusat penanaman lada dan membangun negeri-negeri
baru.
Gelombang kedua terjadi pada abad ke-19, saat pusat penanaman lada
bergeser kearah utara disekitar Meulaboh. Penduduk Aceh Besar dan Pidie
melakukan migrasi ke daerah itu untuk alasan yang sama seperti sebelumnya.
Sedangkan gelombang ketiga yakni migrasi penduduk Aceh Timur dengan alasan
yang sama untuk menanam lada terjadi pada abad ke-19. Migrasi ini dilakukan
oleh para penduduk dari Pasei, Pidie, dan Aceh Besar.
Gelombang perpindahan penduduk ke Aceh Timur bukan dipimpin oleh
seorang uleebalang daerah asal, melainkan anggota keluarga uleebalang,
panglima perang uleebalang ataupun anggota dari tuha puet. Sebelum melakukan
perpindahan kedaerah baru, biasanya terlebih dahulu dikirim seseorang yang
12
disebut peutua jaga untuk mencari tanah yang cocok untuk ditanami tanaman
lada berupa semak belukar. Setiap kelompok yang melakukan perpindahan terdiri

12
Ibid.,“Rechtsverhoudingen bij de pepercultuur”. Adatrechtbundel X, 1915, hal.
53; lihat juga Ibid.

150
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

dari 10 sampai dengan 20 orang dan dipimpin dipimpin seorang kepala yang
disebut peutua seuneubok (kepala kebun-kebun lada).13
Kelompok yang melakukan migrasi ke daerah Aceh Timur terbagi atas dua
golongan. Golongan pertama adalah penduduk yang bekerja untuk menanam dan
menelihara tanaman lada, namun di daerah asal biasa mereka adalah seorang
petani. Golongan kedua adalah para pemimpin14 dalam usaha penanaman lada
baik dengan modal sendiri maupun hasil pinjaman dari orang lain.15
Dari kenegrian-kenegrian yang muncul di Aceh Timur pada sekitar
pertengahan abad ke-19, kenegrian Julok Rayeuk merupakan kenegrian yang
paling awal terbentuk pada tahun 1840 oleh para migran yang berasal dari Pasai.
Kemudian meneruskan pembentukan kenegerian-kenegerian baru sebagai
pengembangan dari Kenegerian Julok Rayeuk, yaitu Julok Cut, Bugeng, Bagok,
Idi Cut, Idi Rayeuk dan Mereubo.16
Para pendatang dari Pidie datang dengan membuka kenegerian di Tamiang
yakni Sungai Iyu yang dikepalai oleh Teungku Chik merupakan bawahan dari
Raja Bendaraha.17 Sebagian pendatang dari Pidie langsung menanam lada pada
daerah yang telah dibentuk sebelumnya terutama di daerah Idi Rayeuk, Peudawa
Rayeuk, dan Peureulak. Pada saat itu Kenegerian Idi Rayeuk merupakan
kenegerian terkaya kedua di Aceh Timur setelah Simpang Ulim.18
Pendatang dari Aceh Besar yang datang terakhir membuka kenegerian
Simpang Ulim dan Tanjong Seumeunok. Kenegerian Simpang Ulim antara tahun

13
R.A. Hoesein Djajadiningrat. Atjeh-Netherlandsch Woordenboek, jilid 2, Batavia:
Landsdrukkerij, 1934, halaman 745.
14
Di daerah asal para pemimpin ini termasuk ke dalam kelompok pengusaha
tingkat kenegrian atau anggota keluarga para uleebalang, bisa juga kelompok kedua ini
merupakan orang-orang yang memiliki khusus dengan para penguasa seperti seorang
pedagang.
15
Ibid., hlm. 63
16
Ibid., hlm. 65
17
P.J veth.hlm 237; lihat juga Mawardi Umar, MENGADU NASIB DI KEBUN KARET
Kehidupan Buruh Onderneming Karet Di Aceh Timur, 1970-1939 2015, Aceh. Balai
Pelestarian Nilai Budaya Aceh, hlm.35
18
Ibid., P.J veth, op. cit. hlm. 243

151
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

1860 samapai dengan pecahnya perang Belanda di Aceh merupakan kenegerian


terkaya di Aceh Timur,19
Pada tahun 1850-an terbentuklah dua kenegerian yang merupakan hadiah
dari Mangkubumi Lhokseumawe (Aceh Utara) kepada penduduk Arab Sayid
Yusuf dan Sayid Aqil yang berasal dari Pasai sebagai balas jasa atas bantuan yang
mereka berikan saat Mangkubumi melaksanakan tugas Sultan Aceh untuk
menegaskan kembali kekuasaannya terhadap kesultanan-kesultanan di Sumatera
Timur pada tahun 1854. Kenegerian itu adalah Peudawa Rayeuk dan Sungai
Raya.20

DAMPAK PERTUMBUHAN SEUNEUBOK LADA TERHADAP


PERKEMBANGAN DAERAH ACEH TIMUR

Sejarah pertama tanaman lada di Aceh merupakan sesuatu yang unik. Ada
banyak mitos tentang tanaman ini. Seperti tanaman ini sering disangkut-pautkan
dengan salah seorang Ulama terkenal yakni, Teungku Lam Peuneu Euen (Keueneu
Euen) di bagian IX mukim Aceh Besar.21 Sejak awal abad ke-19, ketika Aceh
timur dibuka untuk penanaman lada, tanaman ini ditanam pada tanah dataran
rendahyang dekat dengan sungai seperti disebutkan terdahulu jelas bahwa tanman
itu ditanam pada tanah yang kandungan humusnya kurang.22
Perkembangan seuneubok lada yang diusahakan oleh para pendatang tidak
hanya memberikan kesempatan kepada para anggota keluarga uleebalang untuk
mengumpulkan kekayaan, tetapi juga kesempatan untuk memperoleh kedudukan
sebagai uleebalang di daerah yang baru. Terlebih-lebih pada abad ke-19.
Penanaman lada yang berhasil menyebabkan sejumlah kepala dalam penanaman
lada, yang kedudukannya didasarkan kepada hubungan ekonomi semata-mata,
berhasil meningkatkan statusnya menjadi Uleebalang.23 Kekayaan yang terus

19
M. Gade Ismail.op.cit. hlm.56
20
Umar Mawardi.op.cit. hlm.36
21
H.M Zainuddin, Tarikh Aceh dan Nusantara, 1961, Medan: Pustaka Iskandar
Muda, hlm. 263; lihat juga Muhammaddar, Kedudukan Ulama Dan Uleebalang Sebagai
Elit Sosial Politik Aceh (1900-1946). 2014. Skripsi S1 tidak diterbitkan, Medan: Institut
Agama Islam Negeri Sumatera Utara. hlm. 56
22
M. Gade Ismail. op.cit., hlm. 30.
23
Ibid.,hlm. 5.

152
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

menerus mereka kumpulkan, wilayah penanaman lada, dengan memperoleh


pengesahan dari Sultan Aceh mereka menjadi Uleebalang.
Baik untuk para pemimpin maupun pengikut yang melakukan perpindahan
ke daerah-daerah baru di Aceh Timur guna menanam lada memang tidak dapat
diragukan bahwa faktor ekonomi amat mempengaruhi motif migrasi tersebut.
Akan tetapi khusus untuk para pemimpin dalam penanaman lada ini faktor politik
yaitu kesempatan untuk mereka memperoleh posisi secara politik menjadi lebih
tinggi di munginkan oleh perpindahan ini. Kedaan ini berkaitan erat dengan
system kekerabatan dan soal pengaturan dalam soal pengangkatan sesseorang
menjadi uleebalang.
Dalam sistem pemerintahan pada tingkat kenegerian di Aceh, seseorang
uleebalang yang meninggal, hanya boleh digantikan oleh putranya yang tertua
dari istri yang gahra pula. Saudara uleebalang tersebut yang lebih muda biasanya
diangkat sebagai banta uleebalang atau panglima perang. Disamping itu,
uleebalang dalam pemerintahan sehari-hari didampingi oleh suatu dewan yang
beranggotakan empat orang kepala yang dikenal sebagai tuhapeut.
Uleebalang pertama kenegrian Julok Rayeuk, ialah Teuku Keujruen Julok,
pendatang dari Pasei. Tidak diketahui secara pasti kedudukannya di Pasei sebelum
pindah dan mendirikan kenegerian di Julok Rayeuk. Namun, ia terbunuh dan
digantikan oleh Teuku kari, salah seorang saudara Teuku Ben Uroe menjadi
uleebalang Julok Rayeuk. Pada masa kedudukan Teuku Kari sebagai uleebalang
Julok Rayeuk ia mengangkat saudaranya, Nyak Sin sebagai panglima perang,
karena itu ia kemudian lebih dikenal sebagai panglima perang Nyak Sin. Nyak Sin
yang pada waktu masih berada di Julok Rayeuk, hanya berkedudukan sebagai
panglima perang, setelah berhasil dalam penanaman tanaman lada di Idi Rayeuk,
ia menjadi uleebalang pertama kenegerian itu. Keadaan serupa juga terjadi pada
para kepala dalam penanaman lada lainnya di daerah itu. Teuku Muda Angkasa
dalam contoh lain dapat ditunjukkan bahwa ia sebagai adik uleebalang Blang Me,
dari Pasei yang membuka Meureubo di Aceh Timur. Teuku Muda Nyak Malam
dan Teuku Payah yang di Aceh Besar hanya berkedudukan sebagai kepala
kampung saja, di Aceh Timur berhasil meningkatkan kedudukannya menjadi
uleebalang.

153
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Pada saat terjadi masa panen lada, daerah-daerah seunebok lada dipadati
oleh para pendatang, yang datang untuk membantu keluarganya memanen lada.
Fenomena ini terjadi selama masa panen lada, pada saat ini penduduk Aceh Timur
bisa meningkat lebih dari 50% dari penduduk yang menetap di Aceh Timur. Ini
menjadi fenomena yang menarik ketika pendatang hanya tinggal sementara di
Aceh Timur menyebabkan daerah Aceh Timur padat penduduknya khususnya
daerah-daerah penanaman lada.24
Pembukaan seuneubok-seuneubok baru membuat hubungan antara orang-
orang yang terlibat dalam organisasi penanaman lada menjadi lebih kompleks.
Peutua Seuneubok pertama yang mengembangkan kebun-kebun lada menjadi
kepala dari seluruh seuneubok. Apabila pada masa sebelumnya, ia adalah kepala
dari satu seuneubok saja maka setelah perluasan ia menjadi kepala dari seluruh
seuneubok. Dalam keadaan seperti itu ia tidak lagi dipanggil peutua seuneubok,
tetapi memperoleh gelar baru yaitu Peutua Rayeuk (Ketua besar). Masing-masing
petua seuneubok, yaitu kepala seuneubok yang berada di bawah kekuasaan petua
rayeuk disebut Petua Cut. (ketua kecil).25
Ketika tahap ketua besar berhasil memperluas tanaman lada, berarti ia juga
berhasil menambahkan pemasukannya. Penambahan jumlah seuneubok juga
berarti daerah yang dikuasainya semakin luas. Keadaan inu sekaligus membuat ia
memiliki pengikut yang bertambah banyak.26
Ketika ketua besar merasa kedudukannya semakin kuat, mareka berusaha
melepaskan diri dari kekuasaan uleebalang. Uleebalang yang memperoleh
sebagian besar pendapatnya dari usaha penanaman lada berusaha sepebuhnya agar
kekuasaannya tetap berlaku atas daerah-daerah penanaman lada. Perang antara
uleebalang dengan petua rayeuk adalah gejala yang umum terjadi di kenegerian-
kenegerian lada.27
Pertubuhan kenegrian-kenegerian di Aceh Timur berbanding lurus dengan
pertambahan penduduk. Kenegrian yang pertama terbentuk pada tahun 1876 yakni

24
Ibid., hlm.70., ARA: Min, can Kol. Vb. 7 Desember 1874. H. 34.
25
Ibid., hlm. 80, ARA: Memories van Overgave KIT. No. 102 (Beschrijiving van het
Zelfbesturend Landszhap Peureulak der Onderafdeeling Langsa, Afdeeling Oostkust van
Atjeh).
26
Ibid.,
27
Ibid.,

154
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Kenegerian Julok Rayeuk.Menurut data yang ada kenegerian ini pada tahun 1876
berpenduduk 6.000 jiwa dan mampu menghasilkan 8.000 pikul lada pertahun.
Selanjutnya pembentukan kenegerian-kenegerian baru yang merupakan
pengembangan dari Kenegrian Julok Rayeuk, yaitu Julok Cut, Bugeng, Bagok, Idi
Cut, Idi Rayeuk dan Mereubo.28
Kenegerian Idi Rayeuk muncul sebagai kenegerian terkaya setelah Simpang
Ulim pada tahu 1875 berjumlah sekitar 8.000 jiwa, dan menghasilkan 15.000
pikul lada pertahun, hal ini menjadi prestasi yang mengagumkan dari daerah ini,
walaupun daerah ini merupakan pengembangan dari daerah intinya Kenegerian
Julok Reyeuk, namun kenegerian ini mampu menghasilkan lada yang lebih
banyak. Sedangkan Kenegerian Idi Cut yang merupakan tetangga dari Kenegerian
Idi Rayeuk mampu menghasilkan 1.800 pikul lada pertahun serta didaerah ini
hanya berpenduduk sekitar 1.200 jiwa yang tinggal didaerah tersebut.29
Kenegerian Sungai Iyu yang termasuk kenegerian yang kecil berada di
daerah Tamiang30 hanya mampu menghasilkan 1.200 pikul lada, namun mengenai
jumlah penduduk yang bermukim di tempat ini tidak diketahui. Kenegerian lain
yang dibangun oleh pendatang dari Aceh Besar, walaupun kedatangannya sedikit
terlambat dibandingkan dengan Pasai namun kenegrian yang dibangun oleh para
pendatang dari Aceh Besar mampu menjadi kenegerian dengan penduduknya
memiliki pendapatan tertinggi hasil dari penanaman ladanya. Kenegerian yang
menjadi kenegerian terkaya di Aceh Timur ini mampu menghasilkan 35.000
pikul lada pertahun, dan jumlah penduduk sekitar 9.000 jiwapada tahun 1876.31
Daerah Kenegrian Peudawa Rayeuk yang dibangun oleh pendatang
keturunan Arab yakni Sayid Yusuf pernah menjadi rebutan antara Peureulak dan
Idi Rayeuk. Kenegerian Peudawa Rayeuk mampu menghasilkan lada 6.000 pikul
pertahun pada tahun 1875 berjumlah 1.500 jiwa.32
Dilihat dari aspek ekonomi faktor penting yang menarik penanam lada ke
Aceh Timur ialah kemungkinan untuk meningkatkan penghasilan. Dari aspek

28
Ibid., hlm 65.
29
P.J veth, op. cit. hlm. 243; lihat juga Mawardi Umar. op.cit., hlm. 35
30
M. Gade Ismail. op.cit., hlm. 55
31
Ibid., hlm. 56
32
P.J veth. hlm. 241; lihat juga Mawardi Umar. op.cit., hlm. 36

155
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

politik pun, terutama bila dilihat pada mobilitas politik, daerah baru juga
memberikan kemungkinan besar kepada sejumlah orang, terutama para kepala
dalam penanaman lada untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi dalam
bidang politik, yang didaerah asalnya kemungkinan untuk itu sudah tertutup.
Terlebih lagi pada aspek sosial dengan adanya migrasi ini barang tentu daerah
Aceh Timur menjadi ramai oleh para pendatang uang datang untuk membuka
kebun-kebun lada.

KESIMPULAN
Lada adalah komoditas yang paling dicari oleh para pedagnag di
mancaranegra hal ini menyebabkan harga remah ini melambung tinggi di pasaran
internasional. Oleh sebab itu, para petani di Nusantara berusaha untuk menanam
tanaman rempah yang dijuluki sebagai ―The king of spice‖ (raja rempah-rempah).
Dengan cara mencari daerah baru yang memilki tanah yang lebih luas untuk dapat
ditanami tanaman lada. Melihat daerah Aceh Timur dengan penduduk yang masih
jarang hanya terdapat empat kenegerian sedangkan tanah kosong masih tergolong
luas menjadi daya tarik untuk dijadikan daerah tujuan migrasi penduduk Pasei,
Pidie dan Aceh Besar.
Migrasi dilakukan penduduk untuk membuka kebun-kebun lada yang oleh
masyarakat Aceh disebut seuneubok lada. Pertumbuhan seuneubok lada menjadi
cikal bakal terbentuknya sebuah kenegerian. Kenegerian-kenegrian terus tumbuh
yang dibangun oleh para pendatang, menyebabkan daerah Aceh Timur mengalami
perkembangan memasuki periode baru dikarenakan perluasan seuneubok lada di
daerah ini.
Pertumbuhan seuneubok lada menyebabkan munculnya kenegerian-
kenegerian baru yang diawali oleh pembentukan Julok Rayeuk, Julok Cut,
Bugeng, Bagok, Idi Cut, Idi Rayeuk, Meureubo, Peudawa Rayeuk, Sungai Iyu,
Simpang Ulim, dan Tanjung Seumantok. Kenegrian-kenerian ini memberi
dampak pada perkembangan Aceh Timur, hal ini dapat dilihat dari aspek
ekonominya yakni dengan penanaman lada di Aceh Timur memungkinkan untuk
memperoleh pemasukan atau pendapatan yang lebih besar. Dari aspek politik,

156
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

dilihat dari perkembangan seuneubok lada menyebabkan tumbuhnya kenegerian-


kenegerian yang memberi kesempatan kepada kepala dalam penanaman lada
untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi (uleebalang) dibandingkan
dengan daerah asalnya. Sedangkan pada aspek sosialnya pertumbuhan seuneubok
lada yang diusahakan oleh para pendatang menyebabkan terjadinya pertambahan
penduduk dan berdampak pada komposisi penduduk.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Ismail, Muhammad Gade. 1991. Seuneubok Lada, Uleebalang, Dan Kumpeni
Perkembangan Social Ekonomi Di Daerah Batas Aceh Timur, 1840-1942.
Leiden. Academish Proefschrift de Rijksuniversiteit te Leiden.
Umar, Mawardi. 2015. MENGADU NASIB DI KEBUN KARET Kehidupan Buruh
Onderneming Karet Di Aceh Timur, 1970-1939. Aceh. Balai Pelestarian
Nilai Budaya Aceh.

Artikel Jurnal
Hardiman. 2015. Perkebunan Lada di Banten tahun 1805-1816. Jurnal,
Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Soedewo, Ery. 2007. Lada Si Emas Panas: Dampaknya Bagi Kesultanan Aceh
Dan Kesultanan Banten. Historisme, Edisi No. 23/Tahun XI.

Makalah, Skripsi, Tesis, Disertasi


Dainuri, Deri. 2016. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor Lada Indonesia
Di Amerika Serikat. Skripsi S1 tidak diterbitkan, Bandung: Universitas
Pasundan.
Mawarnita, Cynthia. 2013. Analisis Kelayakan Usaha Lada (Piper Nigrum L) Di
Desa Kundi Kecamatan Simpang Teritip Kabupaten Bangka Barat. Skripsi
S1 tidak diterbitkan, Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Muhammaddar. 2014. Kedudukan Ulama Dan Uleebalang Sebagai Elit Sosial
Politik Aceh (1900-1946). Skripsi S1 tidak diterbitkan, Medan: Institut
Agama Islam Negeri Sumatera Utara.
Unggraini, Ika Ningtyas. Tanpa tahun terbit. Dari Lada Ke Karet: Perubahan
Sosial Dan Ekonomi Aceh Timur Tahun 1907-1942. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret.

157
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

158
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

DEKLARASI DJUANDA DAN HARI NUSANTARA


SEBAGAI PERADABAN MARITIM DAN SABUK NKRI

NAJIB JAUHARI1

ABSTRAK
Negara Kesatuan Republik Indonesia dikenal masyarakat global sebagai negara
kepulauan terbesar, terletak diantara Benua Asia dan Australia, serta diantara
Samudra Hindia dan Pasifik. Proses pertama usaha untuk persatuannya yaitu
kesadaran penduduknya yang ingin membentuk suatu komunitas, diwujudkan
dalam Kongres Pemuda Indonesia II yang melahirkan Sumpah Pemuda, 28
Oktober 1928. Masyarakat yang berasal dari berbagai suku, membentuk bangsa
yang satu, yaitu Bangsa Indonesia. Proses kedua dalam integrasi nasional adalah
secara politik, diwujudkan dalam pernyataan Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945. Proses ketiga dalam integrasi nasional adalah secara geografis,
wilayah teritorial, diwujudkan dalam Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember
1957. Deklarasi ini menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah
termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu
kesatuan wilayah NKRI. Berdasar Keputusan Presiden No.126 tahun 2001,
Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember dijadikan sebagai Hari Nusantara. Hal ini
yang dirayakan tidak hanya upacara seremonial, tetapi berbagai program nyata
secara berkelanjutan, adalah juga sebagai upaya dalam menjalin integritas
nasional yang makin erat melalui budaya bahari. Segenap elemen bangsa,
pemerintah pusat, daerah dan sektor swasta, dilibatkan dalam kegiatan Hari
Nusantara, yang tiap tahunnya pelaksanaannya diberbagai kota maritim, pesisir di
Nusantara.

Kata Kunci: Deklarasi Djuanda, Peradaban Maritim

PENDAHULUAN

Dari Sabang Sampai Merauke Berjajar Pulau-pulau


Sambung Menyambung Menjadi Satu Itulah Indonesia
Indonesia Tanah Airku Aku Berjanji Padamu
Menjunjung Tanah Airku, Tanah Airku Indonesia

(Dari Sabang Sampai Merauke, oleh R.Soehardjo)

Berdasar syair lagu tersebut, Indonesia adalah sambungan dari berbagai


pulau (daratan/tanah) yang bersatu. Adapun yang menjadi penyambungnya adalah

1
Najib Jauhari, S.Pd., M.Hum., Dosen Sejarah Fakultas Ilmu Sosial, Universitas
Negeri Malang. Email: najib.jauhari.fis@um.ac.id

159
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

laut (air), sehingga muncul istilah tanah-air, ataupun dikenal juga dengan nama
Nusantara. Jika ditelusur ke masa sebelumnya, yaitu Kongres Pemuda Indonesia
II, tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta, menghasilkan pernyataan Saumpah
Pemuda. Isi yang pertama adalah ―Kami putra dan putri Indonesia, mengaku,
bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia‖. Dari pernayataan tersebut, wilayah
Indonesia hanyalah daratan pulau-pulaunya saja, yang dipisahkan oleh lautan
diantaranya.
Pernyatan kemerdekaan Proklamasi 17 Agustus 1945, wilayah negara
Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu
Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939).
Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara
dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di
sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh (mencari
ikan dan lain-lain) dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau
tersebut.
Integrasi nasional secara geografis, wilayah teritorial, diwujudkan dalam
Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Djuanda
Kartawidjaja. Deklarasi ini menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah
termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu
kesatuan wilayah NKRI. Konsekuensinya adalah status kapal asing yang
sebelumnya mencari (ikan dan lain-lain), berubah menjadi mencuri. Berdasar
Deklarasi Djuanda tersebut, tanggal 13 Desember ditetapkan pemerintah sebagai
Hari Nusantara, yang tiap tahun dirayakan dengan berbagai acara yang
menunjukkan budaya maritim bangsa Indonesia.

DEKLARASI DJUANDA
Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh
Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi
yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar,
di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada
Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen

160
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini,
pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap
pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti
kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau
tersebut.
Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip
negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan
besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah
Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya
diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya
luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km²
menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Papua yang walaupun wilayah
Indonesia tetapi waktu itu belum diakui secara internasional (masih dikuasai
Belanda sampai tahun 1963).
Berdasarkan perhitungan 196 garis batas lurus (straight baselines) dari titik
pulau terluar (kecuali Papua), terciptalah garis maya batas mengelilingi RI
sepanjang 8.069,8 mil laut. Setelah melalui perjuangan yang penjang, deklarasi ini
pada tahun 1982 akhirnya dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum
laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The
Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya deklarasi ini dipertegas kembali dengan UU
Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia
adalah negara kepulauan.
Isi dari Deklarasi Juanda yang ditulis pada 13 Desember 1957, menyatakan:
1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai
corak tersendiri
2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu
kesatuan
3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah
keutuhan wilayah Indonesia, dari deklarasi tersebut mengandung suatu
tujuan:
a. Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia
yang utuh dan bulat.

161
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

b. Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan asas


negara Kepulauan.
c. Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin
keamanan dan keselamatan NKRI.
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia dalam
kebijakannya tentang serial matauang emisi 2016, menjadikan tokoh Ir. H.
Djuanda Kartawidjaja sebagai gambar dalam matauang dengan nominal 50.000
rupiah. Nilai nominal matauang ini terbesar kedua, di bawah Rp. 100.000, yang
tetap bergambar Sang Proklamator Dr (HC) Ir. Soekarno dan Dr (HC) Drs.
Muhammad Hatta. Deklarasi Djuanda bisa dikatakan sebagai proklamasi kedua
atas wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atas segala
perjuangannya, setelah wafat 7 Nopember 1963 dan dimakamkan di TMP
Kalibata Jakarta, Presiden Soekarno menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional
dalam SK Presiden No.244, tanggal 29 Nopember 1963.

Gambar Mata Uang Rupiah

HARI NUSANTARA
Hari Nusantara merupakan perwujudan dari Deklarasi Djuanda yang
dianggap sebagai Deklarasi Kemerdekaan Indonesia kedua. Melalui deklarasi
tersebut, Indonesia merajut dan mempersatukan kembali wilayah daratan dan
lautannya yang luas, menyatu menjadi kesatuan yang utuh dan berdaulat. Hari
Nusantara yang diperingati setiap tanggal 13 Desember merupakan penegasan dan
pengingatan bahwa Indonesia adalah Negara Kepulauan terbesar di dunia.
Sayangnya, potensi sumberdaya kelautan Indonesia sebesar kurang lebih 3000
triliun rupiah/tahun belum tergarap secara maksimal. Laut belum dilihat sebagai

162
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

sumber pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, dan pemecah masalah


kemiskinan.
Peringatan Hari Nusantara mempunyai makna yang sangat penting. Hari
Nusantara mengingatkan pada segenap bangsa mengenai konsep Wawasan
Nusantara. Peringatan ini meneguhkan tekad bahwa Republik Indonesia adalah
sebuah negara kesatuan yang tidak terpisahkan kendati secara geografis terdiri
atas lebih dari 17.000 pulau. Peringatan dan perayaan Hari Nusantara, hendaknya
mengajak semua warga Bangsa Indonesia melakukan introspeksi mengenai laut.
Di satu sisi Indonesia memiliki wilayah laut yang begitu luas, namun sumberdaya
laut yang begitu hebat itu belum diberdayakan secara optimal bagi kemakmuran
seluruh bangsa.
Bangsa Indonesia adalah keturunan dari nenek moyang yang merupakan
bangsa pelaut yang cinta laut dan berani mengarungi serta memanfaatkannya
sebagai sumber kehidupan. Sudah banyak catatan sejarah yang menunjukkan
bahwa nenek moyang sejak dulu sudah menjelajah hingga ke benua Afrika.
Budaya bahari ini perlu terus ditanamkan kembali, sehingga Hari Nusantara harus
mampu membangkitkan Budaya Bahari. Anak-anak, generasi muda, harus
semakin di dorong mencintai laut. Tidak boleh berhenti pada slogan tentunya,
tetapi dengan program-program nyata yang dilaksanakan oleh Pemerintah maupun
masyarakat sendiri.
Wawasan Nusantara harus diberi isi kongkrit. Untuk ini Hari Nusantara
adalah bagaimana bisa lebih menyatukan negara kepulauan Indonesia dari segi
politik, sosial dan ekonomi. Kuncinya adalah perbaikan transportasi antar pulau
melalui pembangunan jaringan angkutan laut yang handal. Konektivitas antar-
pulau yang baik adalah kunci penting bagi perbaikan kesejahteraan seluruh rakyat
Indonesia. Ekonomi harus lebih terintegrasi, Indonesia akan jauh lebih kuat
menghadapi krisis. Bangsa Indonesia bisa lebih mantap menatap ketidakpastian di
pasar global yang makin terus bergejolak. Ekonomi yang lebih terintegrasi juga
meneguhkan ikatan (sabuk) sebagai NKRI. Mengikat NKRI secara ekonomi tidak
kalah pentingnya dengan mengikat NKRI secara politis. Bahkan, jika secara
ekonomi tidak terintegrasi dengan kokoh, NKRI bisa tergerogoti dan makin rapuh.

163
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Integrasi ekonomi yang kokoh tidak akan pernah didapatkan jika tidak
menyatukan dan memberdayakan seluruh wilayah perairan Indonesia.
Momentum Hari Nusantara harus terus dipelihara dan lanjutkan. Semua
elemen bangsa menggelorakan Budaya Bahari. Mengoptimalkan perairan laut
sebagai penyatu ekonomi. Kelestarian laut harus dijaga sehingga anak-cucu
generasi penerus, juga dapat menikmati dan memanfaatkannya secara berlanjut.
Potensi sumberdaya alam laut sungguh luar biasa. Dari perikanan, rumput laut,
maupun berbagai bahan hayati laut yang bisa menjadi bahan baku industri farmasi
seperti ubur-ubur, karang lunak, hingga berbagai jenis ganggang mikro. Ini semua
bisa menjadi sumber penghidupan yang layak bagi seluruh penduduk di kawasan
pesisir.
Yang tak kalah penting, harus menjaga baik-baik wilayah laut. Kepemilikan
yurisdiksi resmi atas pulau-pulau terluar harus diikuti oleh upaya kontrol efektif
atas wilayah tersebut. Kerjasama antara aparat TNI dan pemerintah daerah harus
terus berjalan baik untuk menjaga keutuhan wilayah dan keamanan perbatasan.
Kuncinya adalah bersama-sama, Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, TNI,
dunia usaha, untuk memberikan perhatian yang lebih besar dan dengan koordinasi
yang lebih baik untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerah perbatasan.
Semua kekayaan alam ini harus dedikasikan sebesar-besarnya demi kemakmuran
rakyat.

Peringatan Hari Nusantara sebagai Budaya Bahari Bangsa


Era Reformasi, diawali oleh kepemimpinan Presiden BJ Habibie sejak 21
Mei 1998. Adapun visi pembangunan kelautan Indonesia dinyatakan dalam
―Deklarasi Bunaken‖ 26 September 1998. Inti dari deklarasi tersebut adalah laut
merupakan peluang, tantangan dan harapan untuk masa depan persatuan, kesatuan
dan pembagunan bangsa Indonesia. Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan
komitmen terhadap pembangunan kelautan dengan pembentukan Departemen
Eksplorasi Laut pada tanggal 26 Oktober 1999 dan menempatkan Sarwono
Kusumaatmadja sebagai menteri pertamanya, yang hingga kini menjadi
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Pencanangan secara seremonial Hari
Nusantara dilakukan di Istana Negara Jakarta tanggal 13 Desember 1999.

164
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Tanggal 13 Desember 2001, Presiden RI Megawati Sokarnoputri


mengeluarkan Keputusan Presiden No.126/2001, menyatakan bahwa tanggal 13
Desember berkaitan dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 dinyatakan
sebagai Hari Nusantara, sehingga tiap taggal tersebut dirayakan secara nasional
tetapi tidak hari libur. 13 Desember 2002, peringatan Hari Nusantara dilakukan di
Pelabuhan Muarabaru, Jakarta Utara. Penegakan Hukum terhadap penyelundup
dan pencuri di perairan Indonesia belum maksimal, kerugian negara mencapai
US$ 4 milar setiap tahun (Liputan6.com. 2002). 13 Desember 2003: Terminal
Merak Mas, Pelabuhan Merak, Banten. Tema ―Daya Gunakan Potensi Ekonomi
Maritim Untuk Kesejahteraan dan Kejayaan Bangsa Indonesia‖ Presiden
Megawati dan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri. Sosialisasi
Prinsip-prinsip Indonesia sebagai Negara Nusantara (Archipelagic State) dalam
berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah, sekolah dan masyarakat umum
lainnya (Majalah Tokoh Indonesia. 2003).
Pada 13 Desember 2004, Lapangan Paseban, Bantul, DI Jogjakarta.
Presiden Susilo Bambang Yudoyono, Wawasan Maritim dikembangkan melalui
pendidikan. Kesadaran akan kenyataan geografis dan geopolitik, Negara Maritim
yang berada diantara dua samudera dan dua benua (Timurmahardika.id. 2004).
Hal ini selaras dengan tulisan Susanto Zuhdi (2014:185), dalam bukunya yang
berjudul ―Nasionalisme, Laut dan Sejarah‖ bab 13: Laut Sebagai Pusat Peradaban
dan Pemersatu Bangsa: Masalah dan Prospeknya‖, bahwa upaya penyadaran diri
akan arti penting sejarah maritim, bidang yang sangat penting adalah Pendidikan
Sejarah Maritim secara lintas disiplin ilmu. 13 Desember 2005: Denpasar, Bali.
Tema ―Dengan Semangat Negara Kesatuan RI Kita Wujudkan Pembangunan
Indonesia Berbasis Negara Kepulauan‖ Sub Tema ‖Membangun Industri Maritim
Nasional di Negeri Sendiri‖ (Denpasarkota.go.id. 2005). 13 Desember 2006,
Pelabuhan ASDP Teluk Bungus, Teluk Jabung, Padang, Sumatera Barat.
Tema‖Perteguh Negara Nusantara untuk Tingkatkan Daya Saing Bangsa‖
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Perhubungan Hatta Radjasa,
pemberdayaan potensi dan perlindungan pulau-pulau terluar dengan transportasi
penghubung antar pulau (Tempo.Com. 2006).

165
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Pada 13 Desember 2007, Pantai Ancol, Jakarta Utara, Jakarta. Tema ―Tahun
Emas Deklarasi Djoeanda, Dengan Semangat dan Kepeloporan Deklarasi
Djoeanda, Kita Berdayakan Potensi Laut Untuk Kesejahteraan Bangsa. Wakil
Presiden Jusuf Kalla membacakan ―Deklarasi Laut‖ (wikipedia.2007). 13
Desember 2008, Gresik, Jawa Timur. Menteri Perhubungan Jusman Safei Djamal
―Potensi laut kita begitu besar. Ini merupakan kekuatan untuk mengembangkan
industri perkapalan, pelayaran, kelautan, perikanan, dan pariwisata bahari‖
(Kompas.Com. 2008). 13 Desember 2009, Tanjung Bunga, Makassar, Sulawesi
Selatan. Menteri DKP Fadel Muhammad, pemberangkatan Tim Ekspedisi Pulau
Terluar Nusantara, Menko Perekonomian Hatta Rajasa pembuka acara
(Okezone.news.2009).
Tanggal 13 Desember 2010, Pantai Melawai, Kota Balikpapan, Kalimantan
Timur. Wakil Presiden Boediono, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel
Muhammad ―Laut bukanlah pemisah, justru menjadi pemersatu bangsa Indonesia
yang terdiri dari berbagai suku yang mendiami lebih dari 17.000 pulau, baik yang
besar maupun kecil di seantero Nusantara, dari Sabang sampai Merauke
(Kompas.com.2010). 13 Desember 2011, Kota Dumai, Riau. Tema ―Pengamanan
Nusantara: upaya meningkatkan kemampuan pertahanan dan kesejahteraan
masyarakat dalam rangka menuju negara maritim‖. Wakil Presiden Budiono dan
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, mengupayakan Industri Pertahanan
dan Kekuatan Pertahanan (Kompasiana. com.2011). Jika merujuk dari buku AB
Lapian (2009:205-220) ―Adi-Raja Laut ; Senjata Api, Kapal Api, Pemberantasan
Bajak Laut‖ pengembangan industri teknologi pertahanan laut, adalah sangat
penting untuk menanggulangi kejahatan-kejahatan bajak laut modern. 13
Desember 2012, Labuhan Haji, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Wakil
Presiden Budiono didampingi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhamad
Nuh. Peringatan Hari Nusantara harus menjadi spirit untuk mencegah disintegrasi
bangsa dan menjaga serta membangun NKRI menjadi lebih baik
(Mataram.antaranews.com.2012)
13 Desember 2013, Anjungan Pantai Talise, Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Tema ―Setinggi Langit Sedalam Samudera, Potensi Pariwisata dan Kreativitas
Nusantara yang Tak Terhingga‖. Wakil Presiden RI Boediono dan Menteri

166
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mar‘i Elka Pangestu ―Potensi Bahari Nusantara
harus terus digali sedalam mungkin, karena tahun ini fokus pada pariwisata dan
ekonomi kreatif, jadi dikedepankan bagaimana samudera menjadi sumber
pariwisata sekaligus pemersatu NKRI‖ (m.detik.com.2013). 13 Desember 2014,
Pantai Saring laut, Kotabaru, Kalimantan Selatan. Peringatan Hari Nusantara
sangat penting dan sejalan dengan program Presiden Jokowi yang akan
menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (Kompas.com.2014). 13
Desember 2015, Pelabuhan Lampulo, Banda Aceh, DI Aceh. Tema ―Kekayaan
Energi dan Sumber Daya Mineral untuk Pembangunan Indonesia sebagai Poros
Maritim Dunia untuk Mewujudkan Kejayaan dan Kemakmuran Bangsa‖. Wakil
Presiden Jusuf Kalla dalam sambutannya menggambarkan kekuatan maritim perlu
didukung oleh tekad dan ilmu pengetahuan yang maju (Setkab.go.id:2015).
13 Desember 2016, Pelabuhan Lemoleba, Lembata, Nusa Tenggara Timur.
Menko Maritim Luhut Panjaitan mewakili Presiden Joko Widodo
menganugerahkan tanda kehormatan RI berupa Satya Lencana Wira Nusa dan
Wira Dharma, kepada sejumlah orang dan Kapal Perang (Kompas.com:2016). 13
Desember 2017, Dermaga Muarajati, Cirebon, Jawa Barat. Menteri Dalam Negeri
Tjahjo Kumolo mewakili Presiden Joko Widodo. Tema ― Gotong-royong dalam
Kebhinnekaan Nusantara Guna Mewujudkan Indonesia Sebagai Poros Maritim
Dunia‖. Dengan semangat Deklarasi Djuanda yang merupakan tonggak penyatuan
wilayah Indonesia, maka sebagai negara kepulauan, laut bukanlah pemisah, tetapi
justru sebagai pemersatu bangsa (Kompas.com: 2017).

Peta Indonesia
(Garis maya teritorial NKRI dan Kota-kota Hari Nusantara)

167
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Peraturan Presiden no.19 tahun 1960 tentang Pembentukan Dewan Maritim,


menyatakan Indonesia sebagai Negara Maritim memiliki nilai yang unik dan
sangat penting, sehingga segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan masalah
maritim harus diberikan perhatian khusus dan sungguh-sungguh.
Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudera
Menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa
Angin bertiup layar terkembang, ombak berdebur ditepi pantai
Pemuda berani bangkit sekarang, ke laut kita beramai-ramai... (1940)

Beramai-ramai Ke Laut, karya Ibu Sud (1908-1993)

PENUTUP
Wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kini
(2018) mencapai lebih dari 5 juta km persegi, melalui beberapa tahapan. Jika
hanya mengacu pada hasil Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, wilayah Indonesia
hanyalah daratannya saja, adapun menurut Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu
Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939), batas
laut teritorial hanya 3 mil laut. Hal itu menjadikan wilayah Indonesia terpisah-
pisah, tidak bersatu. Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri
Djuanda Kartawidjaja menjadikan wilayah Indonesia menjadi satu kesatuan.
Upaya secara hukum dan politik tentang wilayah kedaulatan Indonesia diakui
Internasional melalui perjuangan yang penjang, deklarasi ini pada tahun 1982
akhirnya dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III
Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982).
Selanjutnya deklarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985
tentang pengesahan UNCLOS 1982.
Salah satu upaya menjaga keutuhan NKRI adalah penetapan hari Nusantara
13 Desember, dan upaya dalam berbagai acara perayaan pelestariannya.
Optimalisasi potensi kelautan, budaya bahari masyarakat digaungkan dan
diapresiasi pemerintah secara nasional. Tiap tanggal 13 Desember, berbagai acara
sebelum dan setelah seremonial, diselenggarakan demi kejayaan bangsa Indonesia
sebagai bangsa maritim. Dengan semakin luasnya wilayah kedaulatan NKRI yang
penuh dengan potensi sumber daya alam, diikuti pula semakin besarnya
tanggungjawab yang diemban oleh manusianya, maka bidang pendidikan

168
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

kemaritiman adalah elemen utamanya. Segenap bangsa Indonesia, tidak hanya


aparatur negara dibidang kelautan, semakin dituntut bersikap profesional, serta
mampu menjawab tantangan, ancaman dengan penuh integritas. Perkembangan
teknologi kemaritiman yang semakin pesat, harus juga mampu diikuti oleh
berbagai elemen bangsa dan negara Indonesia sebagai bangsa maritim.

DAFTAR PUSTAKA
A.B. Lapian. 2009. Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut
Sulawesi Abad XIX. Jakarta: Komunitas Bambu, KITLV, ANRI, UGM dan
UNPAD.
Bernard Kent Sondakh. Sejarah Maritim Indonesia: Meretas Sejarah,
Menegakkan Martabat Bangsa. www.academia.edu>sejarah-maritim-
Indonesia
Denpasarkota.go.id. 2005. Peringatan Hari Nusantara Tahun 2005. 13 Desember
2005.
Ibu Sud. Beramai-ramai Ke Laut.1940.
Kompas.Com. 2014. Hadiri Hari Nusantara, Jokowi Terbang ke Kotabaru. Senin,
15 Desember 2014.
Kompas.Com. 2008. Hari Nusantara Sadarkan Potensi Bahari. Selasa, 23
Desember 2008.
Kompas.Com. 2017. Peringatan Hari Nusantara 2017, Mendagri Sebut Laut
Sebagai Pemersatu Bangsa. Rabu, 13 Desember 2017.
Kompas.Com. 2016. Hujan, Hari Nusantara 2016 di Lembata Tetap Meriah.
Selasa, 13 Desember 2016.
Kompasiana.com. 2011. Hari Nusantara 2011, Bangun Kekuatan Pertahana dan
Industri Pertahanan. 11 Desember 2011.
Kompas.Com. 2010. Jabar Juara Umum Hari Nusantara 2010. Selasa, 14
Desember 2010.
Liputan6.com. 2002. Presiden: Proses Peradilan Kapal Asing Belum Maksimal.
14 Desember 2002.
Majalah Tokoh Indonesia. 2003. Hari Nusantara 2003.Edisi 07.
Mataram.antaranews.com. 2012. Wapres Hadiri Peringatan Hari Nusantara 2012
di Lombok. Senin, 17 Desember 2012.
m.detik.com. 2013. Puncak Acara Hari Nusantara 2013 Resmi Digelar. Minggu,
15 Desember 2013.
Microsoft Encarta 2009. Map. Indonesia.
Okezone news. 2009. SBY Batal Buka Peringatan Hari Nusantara di Makassar.
Selasa, 8 Desember 2009.
R.Soehardjo. Dari Sabang Sampai Merauke.
Setkab.go.id. 2015. Hari Nusantara 2015, Wapres: Poros Maritim Gambarkan
Kekuatan Besar bangsa Indonesia. 14 Desember 2015.
Susanto Zuhdi. 2014. Nasionalisme, Laut, dan Sejarah: Laut Sebagai Pusat
Peradaban dan Pemersatu Bangsa; Masaalah dan Prospeknya. Jakarta:
Komunitas Bambu.

169
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Tempo.Com. 2006. Hatta: Potensi Maritim Belum Dimanfaatkan. 18 Desember


2006.
Timurmahardika.id. 2004. Pokok-pokok Pikiran: Maritim, Partnership,
Partisipasi. Harnus, Bantul Yogyakarta, 15 Desember 2004.
Wikipedia.org. 2007. Berkas: Hari Nusantara Deklarasi Laut. Desember.2007.

170
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

SEJARAH MARITIM DAN INTEGRASI INDONESIA:


Peran Kepulauan Lease Maluku Dalam Perniagaan Rempah-Rempah
Masa Kolonial

NUR LAILIYA HARTANTI & DINA STEVANY EMAYASARI1

ABSTRAK
Indonesia secara geografis merupakan kawasan kepulauan terbesar di dunia.
Kawasan yang dihuni oleh berbagai macam etnis dan tersebar di berbagai wilayah
ini telah menggunakan laut sebagai wahana untuk saling berkomunikasi. Selama
ini terdapat anggapan bahwa laut merupakan pemisah antara daratan yang satu
dengan daratan yang lainnya. Namun pendapat tersebut terbantah oleh teori
Adrian B. Lapian (1992) yang menyebutkan bahwa perairan Indonesia adalah
pemersatu yang mengintegrasikan ribuan pulau yang terpisah-pisah.Teori tersebut
dapat ditunjukan melalui keberadaan Pulau-Pulau Lease (Nusa Laut, Saparua,
Haruku) yang saling membentuk integrasi antara satu dengan yang lainnya. Pada
masa tata niaga rempah berlangsung ketiga pulau ini memiliki peran cukup
penting. Kajian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai peran pulau-
pulau lease dalam tata niaga rempah-rempah pada masa kolonial di Maluku. Serta
memberikan pemahaman bahwa laut bukan halangan untuk melakukan kerjasama
antar pulau. Studi kapustakaan dan arsip mengenai perdagangan rempah-rempah
menjadi metode penelitian yang kami gunakan. Untuk metode penulisan, kajian
ini menggunakan metodologi penulisan sejarah. Hasil dari kajian ini untuk
menanamkan pemahaman bahwa sejarah maritim mampu dijadikan pembangkit
kesadaran mengenai proses-proses historis yang telah mengantarkan terbentuknya
nasion Indonesia dan memacu integrasi antar suku bangsa.

Kata Kunci: Pulau-Pulau Lease, Perniagaan, Rempah-rempah, Maritim

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas
17.499 pulau dari Sabang hingga Merauke. Luas total wilayah Indonesia adalah
7,81 juta km2 yang terdiri dari 2,01 juta km2 daratan, 3,25 juta km2 lautan, dan
2,55 juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). (bphn.go.id) Konsep Negara
Kesatuan Repbulik Indonesia dicetuskan pada Deklarasi Djuanda 13 Desember
1957. Deklarasi Djuanda merupakan pernyataan kepada dunia bahwa laut

1
Nur Lailiya Hartanti & Dina Stevany Emayasari adalah mahasiswa Ilmu Sejarah,
Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Airlangga. Email: nurlailiya.hartanti@gmail.com,
dan dinastevanye02@gmail.com.

171
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan


Indonesia, menyatu menjadi satu kesatuan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Setiap pulau di Indonesia mempunyai komoditas unggulan masing-masing
yang menarik para pedagang dari negeri lain. Jaringan perdagangan pun muncul
dari aktivitas pelayaran dan perniagaan sebelum masa kolonial. Jaringan
perdagangan masa lalu telah menempatkan rempah-rempah sebagai komoditi
utama sejak awal masehi dengan adanya kontak antara pedagang nusantara
dengan pedagang Cina, Arab dan India. Jaringan perdagangan rempah-rempah ini
kemudian semakin ramai dengan kedatangan bangsa Eropa sekitar abad ke-16,
ditandai dengan penguasaan atas Malaka – salah satu bandar penting dalam
jaringan perdagangan Asia Tenggara – pada tahun 1511 oleh bangsa Portugis.
(Mansyur, 2011:23)
Tempat penghasil rempah-rempah terbesar ialah Kepulauan Maluku
terutama Maluku Tengah dengan palanya dan Maluku Utara dengan cengkehnya.
Pada awalnya bangsa Eropa mengira bahwa penghasil rempah-rempah ialah
daerah Kalkuta, namun Kalkuta hanyalah sebagai bandar bukan penghasil. Lalu
bangsa Eropa terus berlayar ke arah Timur untuk menemukan penghasil rempah
dan akhirnya sampailah di Maluku. Permintaan terhadap rempah-rempah terus
mengalami peningkatan. Permintaan tersebut tidak saja dari Eropa, tetapi juga dari
Cina (Reid 1999: 7). Oleh karena itu di wilayah Nusantara, khususnya kepulauan
Maluku, terjadi perluasan tanaman produksi, terutama pala dan cengkeh. Dalam
proses perdagangan dan pelayaran masa lampau membutuhkan waktu yang cukup
lama sampai berbulan-bulan karena mengunakan teknologi dan navigasi kapal
yang sederhana. Perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Maluku
memunculkan proses integrase antara para pedagang dan penduduk lokal. Hal
tersebut dapat dilihat dalam agama, pertukaran kebudayaan dan perkawinan
campuran.
Pada masa kolonial kepulauan Maluku menjadi wilayah monopoli rempah.
Pada tahun 1605, Belanda berhasil mengukuhkan kekuasaannya terhadap ―Kepulauan
Rempah-Rempah‖ menggantikan Portugis yang menguasai perniagaan rempah di
Maluku. Tempat-tempat yang telah menghasilkan cengkih ketika itu adalah Hatuaha, Iha
Mahu, dan Nusalaut yang termasuk dalam Kepulauan Lease. Sebagai penghasil cengkeh

172
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

utama di Kepulauan Maluku, Kepulauan Lease mempunyai peran penting dalam arus
perdagangan rempah di Nusantara. Untuk itu keberadaan Kepulauan Lease perlu untuk
diketahui dan dapat menjadi representasi dalam proses integrasi akibat adanya
perdagangan rempah-rempah di wilayah Kepulauan Maluku. Berdasarkan latar
belakang tersebut terangkum rumusan masalah berikut ini. bagaimana peran
pulau-pulau Lease dalam perdagangan rempah-rempah? Dan bagaimana proses
integrase akibat perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Lease Maluku, untuk
memperoleh gambaran mengenai peran kepulauan Lease dan proses integrasi
dalam perdagangan rempah di Kepulauan Lease.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif
deskriptif. Penelitian deskriptif dilakukan untuk meneliti sebuah realitas
masyarakat tertentu, dimana informasi tentang hal tersebut sudah ada walaupun
tidak terperinci dan lengkap. Secara umum, penelitian ini memiliki kerangka
pemikiran yang tersusun mulai dari realitas di lapangan yang diangkat menjadi
hipotesis sementara. Hipotesis yang dihasilkan adalah bahwa sejarah maritim
dengan mengambil subjek pulau-pulau lease dapat menjadi solusi integrasi
bangsa. Sehingga konsep utama penelitian ini adalah untuk mengetahui kebenaran
hipotesis tersebut, merumuskan metode apakah yang dapat digunakan oleh
wilayah lain dengan berkaca pada sejarah maritim di pulau Lease.
Teknik pengumpulan data yang dipilih merupakan kolaborasi antara
observasi lapangan, wawancara mendalam, dan juga studi dokumentasi. Cara-
cara tersebut dilakukan secara bertahap, pertama peneliti terjun ke lapangan untuk
melakukan observasi, lalu mengimbanginya dengan wawancara di lapangan, dan
bagian terakhir adalah studi dokumentasi yang dimiliki oleh institusi setempat.
Penelitian ini dilaksanakan dengan bantuan subjek-subjek yang menjadi
narasumber wawancara, subjek tersebut disebut sebagai bahan utama penelitian.
Selain narasumber, data-data yang didapatkan di lapangan juga menjadi bahan
utama. Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti berperan penting sebagai salah
satu alat utama penelitian dan ditunjang dengan alat-alat teknis yang membantu

173
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

selama penelitian seperti alat rekam, kamera untuk dokumentasi, alat tulis, dan
lain-lain
Berkaca pula pada Metodelogi Sejarah, Kuntowijoyo menjelaskan beberapa
jenis pendekatan penelitan sejarah. Posisi kajian ini dalam klasifikasi penelitan
sejarah yang dibuat Kuntowijoyo, masuk dalam sejarah maritim. Permasalahan
yang menjadi bidang kajian sejarah maritim sesungguhnya luas sekali, seluas
sejarah sosial sendiri, sehingga kadang orang menjadi heran apa saja yang tidak
termasuk sejarah maritim jika kita ketahui bersama bahwa sejarah sungai
merupakan bagian dari sejarah maritim. Keluasan itu mendorong penulisan
sejarah maritim dapat dimasukkan ke dalam sejarah lokal; dan dari segi lain dapat
dimsukkan ke dalam sejarah lainnya, seperti sejarah ekonomi, politik, demografi,
dan sebagainya. Bidang garapan sejarah maritim juga dapat mencakup
perkembangan ekologi maupun sejarah kebudayaan maritim. Ekologi ialah
interaksi antara manuia dan alam sekitarnya, dan perubahan ekologi terjadi jika
suatu komponen mengalami perubahan. (Kuntowijoyo, 2003:64)
Pengumpulan data atau sumber sebagai langkah yang pertama kali
dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan penggunaan data atau sumber tersebut.
Secara pasti sebelum data atau dokumen tersebut digunakan, terlebih dulu harus
dilakukan verifikasi sumber baik ekstern maupun intern. Sumber-sumber primer
terkait pokok bahasan penulis tentang sejarah kebudayaan maritim memang cukup
banyak, namun demikian hal tersebut disertai harus jelinya penulis dalam
memilah sumber-sumber mana saja yang layak digunakan. Proporsi penggunaan
sumber primer dalam jumlah besar memungkinkan studi ini memperoleh tingkat
objektifitas yang dapat dipertanggung jawabkan. Sumber-sumber primer yang
menjadi landasan adalah beberapa koran lama dan juga beberapa arsip tentang
mengenai pulau-pulau lease. Arsip tentang pulau-pulau Lease penulis dapatkan
dengan jumlah yang besar di situs milik pemerintah Belanda Delpher, KITLV
maupun Jstore, namun hal tersebut tidak demikian mudahnya. Wilayah pulau-
pulau Lease yang tumbuh dari utara ke selatan menyebabkan mayoritas sumber
yang tersedia adalah sumber-sumber wilayah yang lebih tua. Sedangkan wilayah
barat hanya sedikit dan baru berkembang.

174
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Selain sumber berbasis tulisan, penulis juga menggunakan sumber lisan dan
arkeologis. Masih banyaknya bangunan-bangunan berupa benteng yang berdiri di
pulau Lease merupakan sebuah sumber arkeologis yang menarik. Orientasi
sejarawan hari ini yang hanya menghabiskan waktu di kantor arsip saja tanpa
penelitian lapangan terjawab dan menjadi satu poin lebih dari kajian ini.
Beberapa kajian tentang kemaritiman menjadi tolak ukur penulis dalam
menganalisa sumber-sumber yang digunakan. Beberapa kajian sebelumnya
dengan status sumber sekunder yang jumlahnya melimpah ruah memberikan
banyak informasi bagi penulis namun juga menjadikan tuntutan studi ini berbeda
dengan kajian-kajian sebelumnya yang melimpah ruah tadi. Susah-susah gampang
mungkin adalah satu kalimat yang dapat menjelaskan secara gamblang tentang
metode penggunaan sumber tertulis dalam studi ini.
Kembali pada rohnya, penulisan sejarah tidak hanya harus dilandaskan pada
sumber-sumber tertulis saja namun, juga sumber-sumber lisan. Penggunaan
sumber lisan memberikan suatu sumbangsih besar bagi penulis untuk membentuk
perasaannya dalam proses intrepetasi dan penulisan sejarah. Sebanyak-banyaknya
jenis sumber yang dimanfaatkan maka semakin kuat perbandingan yang
terbentuk. Perbandingan ini berfungsi mengalisa sedalam-dalamnya peristiwa apa
yang sesungguhnya terjadi, karena bagi beberapa sejarawan, sejarah ditulis bukan
untuk masanya tapi untuk masa kini. E.Carr misalnya, mengutarakan bahwa
history is unending dialog between the past and the present.
Mengenai sumber lisan, tokoh-tokoh tua di wilayah-wilayah pulau lease
menjadi narasumber sekunder bagi penelitian kami. Setidaknya mereka dapat
menceritakan jiwa zaman yang mereka rasakan. Meskipun terkadang sumber lisan
sangatlah riskan, namun itu bukan menjadi alasan untuk enggan menggunakan
sumber ini. Penulisan sebagai tahap akhir dari prosedur penelitian sejarah ini
diusahakan dengan selalu memperhatikan aspek kronologis, sedangkan
penyajiannya berdasarkan tema-tema penting dari setiap perkembangan objek
penelitian.

175
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

PEMBAHASAN
Pulau Lease dalam Perniagaan Rempah-Rempah
Kemaritiman sebagai salah satu aktifitas budaya secara lebih luas dapat
dimaknai sebagai perwujudan dari wujud gagasan interaksi manusia dengan
perairan dalam beragam bentuk mulai dari kaitannya dengan memenuhi
kebutuhan hidup, misalnya mencari ikan, sampai dengan mata pencaharian seperti
pelayaran dan perdagangan. Keberadaan wilayah perairan inilah yang direspon
oleh manusia dengan melakukan aktivitas kemaritiman yang kemudian
melahirkan budaya kebaharian. Adanya gagasan bahwa di perairan baik sungai,
danau, rawa dan lautan mengandung sumberdaya alam yang dapat mereka
manfaatkan untuk menunjang kehidupan, manusia pun menciptakan ragam bentuk
artefak budaya yang menjadi refleksi gagasan kemaritiman tersebut. (Mulyadi,
2016:3)
Aktifitas kemaritiman dapat berupa pelayaran dan perdagangan. Ketika
kepulauan nusantara menjadi suatu bagian yang integral dalam perdagangan Asia,
dengan rute perdagangan yang merentangdari Asia Barat Daya dan Asia Selatan
ke Tiongkok, dan ketika abad ke-4 dan ke-5 rempah-rempah dari kepulauan
Indonesia —seperti merica, cengkeh, dan pala— menjadi komoditi dalam
ekonomi dunia kuno, keterlibatan dalam perdagangan rempah-rempah
meningkatkan mobilitas antar pulau di kalangan penduduk nusantara. Mereka
yang tinggal pada daerah-daerah strategis dalam jaringan perdagangan antarpulau,
seperti Sulawesi Selatan, pantai timur dan barat Pulau Jawa, Sumatera Selatan,
Malaka, dan Aceh kemudian tampaknya menjadi negara-negara atau kerajaan-
kerajaan dagang kecil (Koentjaraningrat,1993).
Hal itu menguatkan teori dari Adrian B. Lapian bahwa perairan Indonesia
adalah pemersatu yang mengintegrasikan ribuan pulau yang terpisah-pisah.
Sebagaimana dikatakan oleh Lapian bahwa pendekatan sejarah maritim Indonesia
hendaknya melihat seluruh wilayah perairannya sebagai pemersatu yang
mengintegrasikan ribuan pulau yang terpisah-pisah. Lapian melihat wilayah-
wilayah tersebut sebagai suatu kesatuan sistem dari berbagai satuan bahari. Oleh
karena itu, proses integrasi dapat dipahami atas dasar sejarah satuan-satuan sistem
yang kemudian menjadi satuan yang lebih besar, misalnya Laut Jawa, Laut Banda,

176
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Laut Sawu, Laut Cina Selatan,Selat Malaka. Implikasi dari pandangan bahwa laut
menjadi strategis dan sangat penting kedudukannya, maka konsep hinterland
semestinya diganti oleh hintersea dalam memahami sejarah Indonesia. Laut
sebagai dunia kehidupan, sekaligus dunia pandangnya sendiri. (Yuliati, 2014:130)
Pentingnya laut sebagai suatu kajian maritim juga dapat dibaca dari
pengantar Lapian tentang teori Mahan (Alfred Thayer Mahan). Bercermin pada
Mahan dan menimbang posisi Indonesia sendiri, Lapian berpendapat bahwa riset
sejarah maritim tidak boleh diabaikan. Wawasan bahari bukan saja pengaruh
kekuatan laut terhadap jalannya sejarah, dan hanya dibutuhkan untuk jaman yang
lampau, namun sangat penting bagi keberadaan dan keberlangsungan hidup suatu
negara kepulauan seperti Indonesia juga terhadap sejarah Indonesia adalah suatu
dunia kenyataan yang tidak dapat disangkal hingga kini (Leur, 1974).
Sebagaimana dikatakan oleh Mahan dalam bukunya The Influence of Sea ower
Upon History 1660-1783, yang dikutip Lapian dalam mengantar pemikiran
Mahan, bahwa ―para sejarawan pada umumnya tidak mengenal laut, karena
mereka tidak menaruh perhatian khusus terhadapnya, lagi pula mereka tidak
memiliki pengetahuan yang khusus tentang laut, dan mereka tidak mengindahkan
pengaruh kekuatan laut yang sangat mempengaruhi jalannya sejarah suatu bangsa.
Keberadaan pulau Lease2 seperti menjadi salah satu jawaban dari sejarah
kemaritiman Indonesia bahwa dia memiliki integrasi sejak jaman kolonial. Pulau
Lease terdiri dari 3 pulau yang bersebrangan dengan pulau Ambon, yakni pulau
Haruku, Saparua dan Nusa Laut.
Gambar 1:
Peta Pulau Lease

Sumber: Atlas Mutual of Herritage

2
Lease : sebutan dari 3 pulau yaitu Haruku, Saparua dan Nusalaut

177
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Kepulauan Lease merupakan salah satu pusat dari penerapan kebijakan


monopoli yang diterapkan oleh Belanda sejak masa VOC hingga Hindia Belanda
menjadi periode penting dalam jaringan perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Melalui kebijakan monopoli ini, Belanda berhasil menguasai perdagangan
rempah-rempah mulai dari pusat produksi hingga pusat pemasarannya di Eropa.
Kebijakan monopoli ini kemudian ditunjang dengan sistem tata niaga untuk dua
komoditi utama. Komoditi pertama yaitu cengkih pada Kepualauan Lease dan
pala di kepulauan Banda.
Gambar 2
Iring-iringan armada niaga VOC dibawah pimpinan Cornelis de Houtman

Sumber: Atlas Pelabuhan-pelabuhan di Indonesia

Kepentingan monopoli perdagangan cengkih dan pala di Maluku, yang


dicatat dalam ekspedisi The Spice Islands telah banyak memberikan perhatian
bangsa Eropa dalam menelusuri dan menjelajahi kepulauan rempah-rempah di
Maluku. Rekaman jejak ekspedisi yang diutarakan Antonio de Abreu dan
Francisco Serrau dalam buku hariannya sebagaimana dikutip Des Alwi dalam
bukunya ―Sejarah Banda Naira‖ adalah menunjukan posisi Kepulauan Banda
Naira dalam sejarah Maluku tentu memberikan penekanan penting dalam diaspora
sejarah penetrasi Eropa di Maluku. (Wakim, 2014:28) Pulau lease yang masuk
dalam kepentingan pemetaan monopoli perdagangan juga telah dikunjungi oleh
Portugis pada abad ke-16. Catatan ini tentu disesuaikan dengan laporan ekspedisi
Francisco Serrau yang menemukan Kepulauan Banda sebagai pintu masuk
hegemoni Eropa atas Maluku.
Pada tahun 1605, Belanda berhasil mengukuhkan kekuasaannya terhadap
―Kepulauan Rempah-Rempah‖ menggantikan Portugis. Sejak saat itu, Belanda mulai
menapaki upaya monopoli rempah-rempah melalui kekuatan militernya, untuk

178
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

menciptakan keamanan yang kondusif dengan meredam kekuatan-kekuatan penguasa


lokal diantaranya; Hitu (Ambon), Hoamual (Seram Barat), Iha (Saparua) dan Banda.
Upaya ini menampakkan hasil pada paruh pertama abad ke-17, dan dikukuhkan dengan
keberhasilan Belanda mendesak Sultan Ternate pada tahun 1652 untuk memusatkan
penanaman kedua komoditi rempah-rempah yaitu cengkih di pulau Ambon dan
Kepulauan Lease serta pala di Kepulauan Banda (Ricklefs, 2008: 127).
Secara politis, Kepulauan Lease berada di bawah kontrol Amboina (mengacu pada
pemerintahan Portugis di Ambon), keadaan ini tetap bertahan hingga masa penguasaan
Belanda di Maluku. Meski demikian, wilayah ini baru mendapat perhatian dari Belanda
pada tahun 1618, ketika beberapa tempat di kepulauan ini mulai menghasilkan komoditi
cengkih. Tempat-tempat yang telah menghasilkan cengkih ketika itu adalah Hatuaha, Iha
Mahu, dan Nusalaut, untuk itu Belanda menempatkan pos-pos penjagaan di Hatuaha dan
Ihamahu. Berdasarkan catatan Valentijn, bahwa tempat-tempat yang pertama kali
menanam cengkih di Lease adalah penduduk yang beragama Islam, hal ini tentunya
berkaitan dengan kontak dagang sebelum kedatangan bangsa Eropa berada ditangan
pedagang-pedagang Asia (Leirissa, 1973: 94).Dengan ini menunjukkan sejak abad ke-
16 telah terjadi integrasi dintara kepualaun Lease.
Wilayah perairan Indonesia sebagai kesatuan dari berbagai satua bahari (Sea
System), maka proses integrasi dapat dipahami berdasarkan sejarah masing-
masing system itu yang kian berkembang menjadi satuan yang lebih besar yang
kemudian bersama-sama menjadi wiliyah inti dari kepulauan Indonesia Dalam
konteks jaringan niaga yang dibangun oleh Belanda pada abad ke-17, mereka
telah membagi wilayah-wilayah produksi serta menempatkan benteng yang
merupakan pusat pengumpul sementara. Catatan-catatan Belanda menunjukkan
bahwa pada paruh terakhir abad ke-17, daerah-daerah yang menjadi pusat
produksi cengkeh yang dikembangkan oleh Belanda memiliki produksi cengkeh
yang tinggi (Knaap, 2004: 297). Dengan demikian, pengaruh kolonial tampak
jelas dari peninggalan berupa perbentangan yang ada di Kepulauan Lease.

179
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Tabel 1:
Sebaran Benteng di Kepulauan Lease

Secara umum, benteng merupakan bangunan yang berfungsi sebagai simbol


pertahanan, namun seiring berbagai aktivitas yang dipusatkan dalam benteng
termasuk aspek ekonomi dan sosial sehingga mempengaruhi fungsi benteng
sebagai pusat administrasi, pemerintahan, dan perdagangan (Marihandono, 2008)
Menurut Pieter Mustamu (71) selaku Kepala Saniri Negeri, benteng ini
merupakan sistem pertahanan pasukan Belanda yang juga berfungsi sebagai
pengontrol jika ada penjualan gelap yang dilakukan oleh masyarakat sekitar yang
akan menjual rempah-rempah ke daerah ambon - yang pada saat itu pemerintah
kolonial mengeluarkan kebijakan Pelayaran Hongi yang bertujuan
membatasi/melarang transaksi rempah-rempah yang dilakukan oleh masyarakat
sekitar.
Wilayah Ambon dan Kepulauan Lease dibagi atas lima wilayah yaitu;
Jasirah Leitimor dimana Benteng Victoria sebagai pusat utama administrasi dan
perdagangan, Jasirah Leihitu terdapat dua pusat administrasi dan perdagangan
yaitu Benteng Amsterdam dan Benteng Rotterdam, Pulau Haruku terdapat
Benteng Zeelandia, dan Pulau Saparua dan Nusalaut terdapat Benteng Hollandia.
Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa benteng dibangun untuk melengkapi
sistem perbentengan ini yaitu Benteng Beverwijk, Benteng Duurstede di Saparua

180
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

dan Nusalaut, Benteng Hoorn di Haruku. Selanjutnya, untuk memudahkan


pengiriman produksi cengkeh dari Kepulauan Lease ke Kota Ambon, Belanda
membuat secara khusus sebuah benteng di Passo yaitu Benteng Middelburg
sebagai transit sebelum dibawa ke Kota Ambon.‖ (Hanna, 1983: 15).
Pemaparan diatas menunjukan jika wilaayah pulau-pulau Lease memiliki
integrasi yang amat erat. Adanya perdagangan rempah-rempah antar pulau ini
cukup menunjukan baiknya kerjamasama yang terjalin. Melalui adanya
perdagangan rempah-rempah interaksi yang terbangun antar masyarakat semakin
kuat.
Gambar 3:
Ilustrasi Benteng Beverwyk, Duurtede, Niew Zeelandia

Sumber: Atlas Mutual of Heritage

Perdagangan Rempah sebagai Proses Integrasi

Soekarno mengatakan jika ingin merusak sebuah negara buatlah rakyat lupa
akan sejarah bangsanya. Maka untuk mempertahankan negara, sejarah harus
kembali diingatkan dan dibangun. Termasuk sejarah maritim. Sejarawan AB
Lapian mengemukakan bahwa apabila kita berbicara tentang Sejarah Nusantara
maka dengan sendirinya aspek maritim akan selalu menonjol. Tanpa aspek ini
maka sejarawan hanya berkisar kepada pulau yang terpisah-pisah.
Proses integrasi dapat terlihat di Desa Pelauw, Pulau Haruku Provinsi
Maluku. Terdapat sebuah aturan adat dimana jika laki-laki yang berasal dari Desa
Pelauw menikah dengan perempuan yang berasal dari luar desa tersebut, pada saat

181
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

upacara pernikahan berlangsung, perempuan akan „disumpah‟(ma‟asiwasou)


dengan cara diwajibkan memakan papeda dan macam-macam makanan. Semua
makanan tersebut dicampur menjadi satu dan wajib dimakan oleh pengantin
perempuan. Makna dari ritual ini adalah agar perempuan (selanjutnya sebagai
istri) menerima budaya suaminya secara utuh dan sebagai ‗sumpah‘ bahwa Ia
(perempuan) akan patuh dengan suaminya. Namun hal ini tidak berlaku pada
perempuan yang berasal dari Desa Pelauw. Jika perempuan menikah dengan laki-
laki yang berasal dari luar Desa Pelauw, maka perempuan Desa Pelauw tersebut
akan mengikuti budaya suaminya, dan tidak ada keharusan bagi perempuan
tersebut mengikuti tradisi dan upacara adat Desa Pelauw.
Perubahan terhadap aspek sosial-ekonomi masyarakat di wilayah Kepulauan Lease
setidaknya dipengaruhi oleh dua hal yaitu sistem pemerintahan yang diterapkan oleh
Belanda dan masuknya agama Kristen dalam kehidupan masyarakat Saparua. Khusus di
Kota Saparua misalnya, Belanda membuka ruang terbentuknya heterogenitas warga kota
dengan menempatkan berbagai etnis yang ada yaitu Arab dan Cina maupun etnis pribumi
yang lain. Hal inipun semakin berkembang dengan mendirikan sekolah khusus
berdasarkan etnis.
Meski demikian, Belanda tetap melakukan pengawasan dengan adanya pemisahan
permukiman serta adanya kantor polisi yang dekat dengan kedua kluster tersebut. Selain
itu, Belanda juga menerapkan sistem peradilan Eropa dengan adanya pengadilan maupun
rutan di Kota Saparua. dipisahkan berdasarkan latar belakang agama yang dianut oleh
masyarakat masing-masing negeri. Hal ini setidaknya tampak di Pulau Saparua dan
Haruku yang masing-masing penduduknya menganut agama Islam dan Kristen, berbeda
halnya di Pulau Nusalaut yang seluruhnya merupakan negeri Kristen. (Mansyur, 2013:53-
54)
Penyebaran agama Kristen pertama kali terjadi ketika kedatangan Portugis.
Masyarakat di Pulau Nusalaut juga telah menerima agama Kristen sejak kedatangan
Portugis di Maluku. Hal ini, berdasarkan tradisi tutur yang menyebutkan bahwa
penerimaan agama Kristen oleh masyarakat di Pulau Nusalaut diawali dengan
musyawarah yang diikuti seluruh kelompok masyarakat di pulau tersebut di suatu tempat
yang disebut Pusa Pulo. Catatan-catatan dan informasi tutur ini setidaknya telah memberi
informasi tentang masa awal penyebaran agama Kristen khususnya di Kepulauan Lease
bahwa penyebaran agama Kristen di wilayah Kepulauan Lease merupakan gelombang
pertama penyebaran agama Kristen di Nusantara. (Mansyur, 2013:56)

182
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

Secara umum, aspek sosial yang dipengaruhi oleh masuknya agama Kristen adalah
koordinasi pihak gereja untuk berbagai kegiatan sosial yang dilakukan oleh masyarakat
negeri tertentu. Kegiatan gotong royong misalnya dilakukan untuk pembangunan maupun
renovasi sarana umum. Kegiatan seperti ini umum dilakukan khususnya pada saat
pembangunan maupun renovasi gedung gereja di mana seluruh masyarakat bahkan
masyarakat Negeri lain pun ikut terlibat (masyarakat di Maluku menyebutnya dengan
Negeri Pela).
Ada konsep utama dari berbagai macam tatanan adat dan sosial yang
mendasari hubungan persaudaraan di Ambon, Konsep itu dikenal dengan pela
gandong. Pela gandong merupakan suatu relasi hubungan darah dan perjanjian
antara satu negeri dengan negeri lain baik yang terjalin antara negeri-negeri
sedaratan dan berlainan pulau, juga antara etnis dan agama yang berbeda .
Hubungan pela gandong ini mempunyai efek yang sangat penting dimana semua
masyarakat turut serta menjunjung kebersamaan dan menjaga hubungan tersebut.
Pela gandong mengandung arti hubungan kekerabatan meski berbeda agama.
Dapat pula diartikan hidup berdampingan dengan penuh tenggang rasa dalam
perbedaan agama, tetapi tidak saling mempengaruhi untuk masuk dan memeluk
suatu agama tertentu. Mempelajari sejarah maritim memiliki maksud bahwa setiap
permasalahan yang saat ini terjadi hanya terulang dan solusi dari permasalahan
tersebut sudah berhasil dicontohkan oleh masyarakat pada masa dahulu.

KESIMPULAN

Kepulauan Lease mempunyai peran penting dalam arus perdagangan


rempah di Nusantara. Keberadaan Kepulauan Lease dapat menjadi representasi
dalam proses integrasi dari adanya perdagangan rempah-rempah di wilayah
Kepulauan Maluku. Dimana digambarkan dalam penerapan kebijakan monopoli
yang diterapkan oleh Belanda sejak masa VOC. Pada setiap daerah di kepualaun
Lease juga terdapat benteng dimana bangunan tersebut berfungsi sebagai simbol
pertahanan, sekaligus sebagai pusat administrasi, pemerintahan, dan perdagangan.
Hal tersebut menunjukan bahwa adanya kerjamasama dan sistem yang terjalin
sangat kuat dan baik.

183
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

DAFTAR PUSTAKA

Atlasofmutualheritage.nl diakses pada 17 Maret 2018 pukul 01.15 WIB


bphn.go.id diakses pada 13 April 2018 pukul 20.00 WIB
Cinu, Surahman. 2016. ―Agama militerisasi dan konflik (Kasus Poso, Sulawesi
Tengah)‖, dalam Jurnal Ilmiah Universitas Taduloko Volume 15
Hanna, W.A. 1983. Kepulauan Banda Kolonialisasi dan Akibatnya di Kepulauan
Pala. Jakarta: PT. Gramedia.
Knaap, G. 2004. Kruidnagelen en Christenen de VOC en de bevolking van Ambon 1656-
1696. Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde (KITLV).
Koentjaraningrat. 1993. Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
Kuntowijoyo.2003. Metodelogi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
Leirissa, R.Z. 1973. ―Kebijakan VOC untuk Mendapatkan Monopoli Perdagangan
Cengkih di Maluku Tengah antara Tahun-Tahun 1615 dan 1652‖, dalam
Bunga Rampai Sejarah Maluku. Jakarta: Lembaga Penelitian Sejarah
Maluku.
Leur, J.C. Van dan F.R.J. Verhoeven. 1974. Teori Mahan dan Sejarah Kepulauan
Indonesia. Jakarta: Bhratara
Mansyur, Syahruddin. Mei 2013. ―Perdagangan Cengkih Masa Kolonial dan Jejak
Pengaruhnya di Kepulauan Lease‖. dalam KALPATARU, Majalah Arkeologi
Volume 22 No. 1
Mansyur, Syahruddin. November 2011. ―Jejak Tata Niaga Rempah-Rempah
dalam Jaringan Perdagangan Masa Kolonial di Maluku‖. dalam Kapata
Arkeologi Volume 7 Nomor 13.
Marihandono, J. 2008. ―Perubahan Peran dan Fungsi Benteng dalam Tata Ruang Kota‖,
makalah dalam Wacana: Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya Vol. 10 No. 1, April
2008. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya-Universitas Indonesia
Mulyadi, Yadi. Kemaritiman, Jalur Rempah dan Warisan Budaya Bahari
Nusantara. 2016. Diakses dari
https://www.researchgate.net/publication/315681395_Kemaritiman_Jalur_R
empah_dan_Warisan_Budaya_Bahari_Nusantara pada 10 April 2018 pukul
19.00
Ricklefs, M.C.2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta:Serambi
Wakim, Mezak. ―Kepulauan Aru dan Integrasi Kebangsaan dalam Prespektif
Sejarah dan Budaya‖, dalam Kapata Arkeologi Volume 10 Nomor 1, Juli
2014
Yuliati. 2014. ―Kejayaan Indonesia sebagai Negara Maritim (Jalesveva
Jayamahe)‖, dalam Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan,
Th. 27, Nomor 2, Agustus 2014

184
PROSIDING - Seminar Nasional Banda Naira (SEMNAS-BN), 2-3 Mei 2018

185

Anda mungkin juga menyukai