Anda di halaman 1dari 282

KARBOHIDRAT

Pakan Ruminansia

Joelal Achmadi
dan
Surono
KARBOHIDRAT
PaKaN Ruminansia
Karbohidrat
Pakan Ruminansia

Joelal Achmadi
dan
Surono
Karbohidrat Pakan Ruminansia

Joelal Achmadi dan Surono


Desain cover:
Joelal Achmadi

Sumber:
Joelal Achmadi dan Surono

Tata Letak:
Joelal Achmadi

Proofreader:
Surono

Ukuran:
6 halaman judul, 268 halaman isi naskah, Uk: 15,5 x 23

ISBN:
9-789790-97901

Cetakan Pertama:
November 2022

Hak Cipta 2022, Pada Penulis

Isi di luar tanggungjawab percetakan

Copyright © 2022 by Undip Press


All Right Reserved

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.

PENERBIT UNDIP PRESS


Anggota APPTI
Jl. Prof. Soedarto, SH., Tembalang, Semarang
Website: press.undip.ac.id
E-mail: undippress@gmail.com
Kata Pengantar

Ruminansia mampu mencerna serat pakan melalui fermentasi


mikroba rumen dalam rangka mendapatkan energi yang sangat berguna
dan dibutuhkan untuk beragam fungsi biologis. Pada ruminansia
penghasil susu, serat pakan meningkatkan lemak susu dengan
menaikkan besaran asetat rumen yang bertindak sebagai sebuah
prekursor dalam sintesis lemak susu. Pada penggemukan ruminansia,
serat pakan mendukung pengendalian deposisi lemak dalam karkas, dan
meningkatkan kualitas marbling seperti yang dikehendaki oleh kon-
sumen. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa respons ruminansia
terhadap serat pakan bergantung pada beberapa faktor.
Menyeimbangkan pakan ruminansia untuk tingkat dan jenis karbo-
hidrat pakannya yang sesuai, dibutuhkan untuk memaksimalkan
produksi sambil memastikan kondisi kesehatan ternak. Beberapa fraksi
pakan (seperti asam lemak volatil, laktat, senyawa gula, bahan pati)
menjadi topik pembahasan yang menarik karena dapat membantu da-
lam formulasi pakan yang lebih baik. Skema fraksionasi karbohidrat
pakan ditetapkan berdasarkan karakteristik degradasi ruminal yang
dijelaskan dengan pemodelan nutrisional, dan dampaknya dapat dinilai
sesuai dengan yang diprediksikan.
Secara umum, seiring dengan peningkatan proporsi bebijian pakan

vi Karbohidrat Pakan Ruminansia


(pakan konsentrat) pada pakan berbasis hijauan, kecernaan hijauan pa-
kan akan menurun secara khas akibat penurunan pH rumen, dan secara
tidak spesifik memengaruhi pertumbuhan mikroba selulolitik rumen.
Pencacahan dan penghalusan hijauan dan produk samping tanaman
pangan merupakan metode umum secara fisik untuk meningkatkan
konsumsi pakan. Dengan metode tersebut, struktur asli serat dipecah
menjadi partikel-partikel pakan berukuran yang lebih kecil, sehingga
memperluas permukaan dan mempermudah penetrasi enzim mikrobial.
Namun, pencacahan hijauan yang terlalu kecil akan berdampak negatif
terhadap kecernaannya karena waktu retensi ruminalnya menjadi lebih
pendek.
Secara umum, karbohidrat pakan dimanfaatkan oleh ruminansia se-
bagai sumber bahan pati dan serat. Bahan pati merupakan sumber ener-
gi yang mudah dan cepat dimanfaatkan. Serat pakan, disamping sebagai
sumber energy, juga dapat dimanfaatkan karakteristik keambaannya.
Buku ini, yang merupakan kapita selekta, menguraikan beberapa
aspek yang berkaitan erat dengan pemanfaatan karbohidrat pakan pada
ruminansia. Aspek-aspek yang dibahas: fraksionasi karbohidrat pakan,
mikroba rumen pendegradasi serat pakan, pencernaan dan penyerapan
karbohidrat pakan, pemanfaatan bahan pati pakan, pemanfaatan serat
pakan, kandungan serat dalam pakan, dan makna penting fisik serat
pakan.

Semarang, November 2022

Penulis

Kata Pengantar vii


DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar vi

Fraksionasi Karbohidrat Pakan dan 1


Pengembangannya
Skema fraksionasi karbohidrat pakan 2
Variabilitas fraksi karbohidrat pakan dan
kepekaan analisis 10
Skema fraksionasi karbohidrat pakan dan metode
analisis 12
Laju degradasi ruminal dan produksi mikroba 20
Variabilitas fraksi-fraksi karbohidrat pakan 22
Model perilaku dan analisis sensitivitas 25
Aplikasi pengembangan skema karbohidrat 27
Daftar Pustaka 34
Mikroba Rumen Pendegradasi Serat Pakan 41
Enzim dan mikroba fibrolitik ruminal 45
Fungi rumen anaerobik 60
Penempelan pada selulosa dan bukti adanya
selulosoma 63
Penempelan fungi pada selulosa 70
Daftar Pustaka 73
Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan 91
Dinding sel, bahan pati dan karbohidrat larut:
besaran dan laju pencernaan rumen 92
Karbohidrat larut air 97

i | Karbohidrat Pakan Ruminansia


Produksi dan penyerapan VFA 99
Pencernaan bahan pati di usus dan penyerapan
glukosa 111
Pencernaan bahan pati di usus 112
Penyerapan glukosa 114
Metabolisme VFA dan glukosa oleh portal-drained
viscera 115
Metabolisme VFA dan glukosa di hati 123
Evaluasi kuantitatif 126
Daftar Pustaka 133
Pemanfaatan Bahan Pati Pakan 149
Karakteristik bebijian pakan 149
Pencernaan bahan pati dalam rumen 152
Sinkronisasi ketersediaan energi dan nitrogen di
rumen 159
Pencernaan bahan pati di usus 160
Penyerapan dan pelepasan nutrien ke dalam
aliran darah 162
Simulasi pencernaan bahan pati dan penyerapan
glukosa dari usus kecil 164
Enzim pencernaan yang tidak memadai sebagai
pembatas utama untuk pencernaan bahan pati di
usus kecil 173
Metabolisme glukosa 175
Daftar Pustaka 184
Pemanfaatan Serat Pakan 199
Evaluasi kimia, fisik dan nutrisi serat 200
Mastikasi 201
Fermentasi rumen 204
Pertumbuhan dan komposisi karkas 206
Komposisi lemak susu 207
Kinetika pencernaan 209
Daftar Pustaka 214

Daftar Isi | ii
Kandungan Serat dalam Pakan 219
Rekomendasi penggunaan serat untuk formulasi 221
ransum
Faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan
serat dalam formulasi ransum 224
Kecernaan serat dalam rumen 230
Kontribusi sumber serat bukan hijauan terhadap 238
NDF dalam bahan kering ransum
Penggunaan kriteria serat hijauan dan bukan 240
hijauan untuk formulasi ransum
Daftar Pustaka 243
Makna Penting Fisik Serat Pakan 251
Aktivitas mengunyah 255
Kondisi keasaman rumen 260
Rasio asetat:propionat 262
Persentase lemak susu 263
Daftar Pustaka 266

iii | Karbohidrat Pakan Ruminansia


Fraksionasi Karbohidrat Pakan
dan Pengembangannya

Karbohidrat merupakan komponen pakan terbesar untuk pakan


ruminansia, dan dapat dipartisi menjadi karbohidrat serat (fiber
carbohydrate, FC) dan non-serat (non fiber carbohydrate, NFC). Serat
CHO (yaitu hemiselulosa dan selulosa) adalah fraksi pakan yang
dapat dicerna secara perlahan yang menempati ruang pada saluran
pencernaan, dan serat CHO yang terkait dengan lignin bersifat ta-
han terhadap pencernaan dan oleh karena itu tidak memberikan
kontribusi energi bagi ternak (Mertens, 1997). Karbohidrat yang
larut dalam larutan deterjen netral (ND) meliputi asam organik,
monosakarida, oligosakarida, fruktan, zat pektik, β-glukan dan ba-
han pati (Hall, 2003). Penyeimbangan tingkat dan jenis NFC yang
sesuai merupakan tantangan utama dalam formulasi ransum rumi-
nansia. Pakan sangat bervariasi dalam jumlah dan komposisi NFC,
dan fraksi CHO di NFC berbeda dalam laju dan tingkat fermentasi,
produk fermentasi, dan kontribusi terhadap produksi CP mikroba
(Nocek dan Tamminga, 1991; Hall dan Herejk, 2001), dan oleh kare-
na itu berkontribusi terhadap kinerja produksi ternak. Sebagai con-
toh, sapi perah laktasi yang diberi pakan berupa produk samping
pertanian dengan kadar serat larut dan gula yang tinggi dapat
menurunkan protein susu dan meningkatkan produksi lemak susu
(Mansfield et al., 1994; Leiva et al., 2000) serta efisiensi N yang lebih
rendah untuk produksi susu (Broderick dan Radloff, 2004) apabila

1 Fraksionasi Karbohidrat Pakan dan Pengembangannya


dibandingkan sapi dengan pakan berbahan pati yang tinggi. Pada
ruminansia, pakan berbahan pati tinggi yang dapat meningkatkan
energi metabolis (ME) cende-rung meningkatkan suplai asam ami-
no mikroba (AA) (Oba dan Allen, 2003), tetapi lebih cenderung
mengakibatkan asidosis ruminal.
Sistem Cornell untuk karbohidrat dan protein netto (Fox et al.,
2004) memperhitungkan efek variasi fraksi CHO pakan dalam pred-
iksi suplai ME pakan, N rumen, dan keseimbangan AA pada saat
mengembangkan pakan untuk memenuhi kebutuhan nutrien ter-
nak. Pada awalnya, skema fraksionasi CHO pakan membagi NFC
menjadi dua fraksi agregat; fraksi A, yang meliputi asam organik
dan senyawa gula serta fraksi B1 yang mencakup serat larut dan
bahan pati (Sniffen et al., 1992). Beberapa keterbatasan skema ini
menjadi jelas karena fraksi ini tidak didefinisikan atau dianalisis
secara tepat (Pitt et al., 1996; Alderman, 2001; Offner dan Sauvant,
2004). Ini tidak memperhitungkan semua variabilitas yang diamati
dalam kecernaan NFC apabila diterapkan berbagai perlakuan pem-
rosesan (Offner dan Sauvant, 2004). Selain itu, deskripsi dan
penecernaan rumen terhadap fraksi yang mengandung bahan pati
dan serat larut diduga kuat sebagai area yang membutuhkan per-
baikan lebih lanjut untuk memprediksi produksi VFA dan pH secara
akurat rumen (Pitt et al., 1996).
Bab ini ditujukan membahas skema fraksionasi CHO pakan yang
mengklasifikasikan CHO sesuai karakteristik degradasi rumen dan
metode analisis yang tersedia dalam rangka mengevaluasi dampak-
nya terhadap perilaku dan sensitivitas model CNCPS, dan ditujukan
untuk membahas penerapannya dalam formulasi ransum ruminan-
sia.

Skema fraksionasi karbohidrat pakan


Skema fraksionasi CHO asli. Dalam skema fraksionasi CHO pakan
pada CNCPS asli (Sniffen et al., 1992), kandungan karbohidrat total

Karbohidrat Pakan Ruminansia 2


dalam bahan pakan ke-j diestimasikan dengan perbedaan (1)

𝐶𝐻𝑂𝑗 (g/kg BK) = 1000 − 𝑃𝐾𝑗 − 𝐿𝐾𝑗 − 𝐴𝑏𝑢𝑗 [1]

𝑃𝐾𝑗 : kadar protein kasar pakan ke-j (g/kg BK); 𝐿𝐾𝑗 : kadar lemak
kasar pakan ke-j (g/kg BK); 𝐴𝑏𝑢𝑗 : kadar abu pakan ke-j (g/kg BK)

Karbohidrat dibagi menjadi FC dan NFC, dengan FC didefinisikan


sebagai NDF. Dalam FC, fraksi serat yang tidak dapat dicerna
(indigestible fiber fraction, CC) dihitung sebagai (2)
𝑁𝐷𝐹 𝑗 𝑋 𝐿𝑖𝑔𝑛𝑖𝑛 𝑗 𝑋 2,4
𝐶𝐶𝑗 (g/kg BK) = 1000
[2]

𝑁𝐷𝐹𝑗 : NDF hasil dianalisis dan tanpa kadar sodium sulfit (aNDR)
pada pakan ke-j (g/kg BK); 𝐿𝑖𝑔𝑛𝑖𝑛𝑗 : kadar lignin pakan ke-j (g/kg
NDF)

Karbohidrat pakan (CB2) yang tersedia dihitung sebagai (3)


𝑁𝐷𝐹 𝑗 − (𝑁𝐷𝐼𝐶𝑃 𝑗 𝑋𝑃𝐾 𝑗 )
𝐶𝐵2𝑗 (g/kg BK) = 1000
− 𝐶𝐶𝑗 [3]

𝑁𝐷𝐹𝑗 : kadar aNDR pakan ke-j (g/kg BK); 𝑁𝐷𝐼𝐶𝑃𝑗 : kadar PK tidak
larut ND pada pakan ke-j (g/kg PK); 𝑃𝐾𝑗 : kadar protein kasar pakan
ke-j (g/kg BK); 𝐶𝐶𝑗 : kadar karbohidrat tidak larut pada pakan ke-j
(g/kg BK)

Karbohidrat non-serat dihitung dengan perbedaan (4)


𝑁𝐹𝐶𝑗 (g/kg BK) = 𝐶𝐻𝑂𝑗 𝑋 𝐶𝐵2𝑗 − 𝐶𝐶𝑗 [4]

3 Fraksionasi Karbohidrat Pakan dan Pengembangannya


Karbohidrat non serat dibagi menjadi fraksi CB1 dan CA. Fraksi
CB1 mewakili serat larut dan bahan pati dengan tingkat degradasi
berkisar antara 0,05 sampai 0,50 per jam. Nilai tabular disediakan
untuk serat larut (Sniffen et al., 1992). Fraksi CA mewakili fraksi
CHO larut air yang difermentasi dengan cepat (1–3 jam), dan dihi-
tung dengan perbedaan [(5) dan (6)]
𝐶𝐵1𝑗 (g/kg BK) = 𝐶𝐵1𝑁𝐹𝐶𝑗 𝑋 𝑁𝐹𝐶𝑗 − 1000 [5]

𝐶𝐴𝑗 (g/kg BK) = 𝑁𝐹𝐶𝑗 𝑋 𝐶𝐵1𝑗 [6]

𝐶𝐴𝑗 : kadar senyawa gula pakan ke-j (g/kg BK); 𝐶𝐵1𝑗 : kadar
bahan pati dan serat pakan ke -j (g/kg BK); 𝐶𝐵1𝑁𝐹𝐶𝑗 : kadar
bahan pati dan serat larut pada pakan ke-j (g/kg NFC);
𝑁𝐹𝐶𝑗 : kadar karbohidrat bukan serat pada pakan ke-j (g/kg
BK)

Implementasi Cornell-Penn-Miner (CPM) pada sapi perah dari


model CNCPS (Boston et al., 2000) membagi fraksi NFC CA dan CB1.
Fraksi CA dipisahkan menjadi fraksi asam silase (CPM CA1, yang
mengandung VFA dan asam laktat) dengan laju degradasi 0 per jam
dan fraksi senyawa gula (CPM CA2) dengan tingkat degradasi 1-3
per jam. Fraksi CB1 dibagi menjadi fraksi bahan pati (CPM CB1) dan
fraksi serat larut (CPM CB2, yang mengandung serat larut dan asam
orga-nik). CPM CB1 dan CPM CB2 memiliki tingkat degradasi yang
identik (0,05-0,50 per jam).
Pengembangan skema fraksionasi CHO. Pengembangan skema
fraksionasi CHO disesuaikan dengan karakteristik degradasi rumen
dan metode analisis yang tersedia, yang selanjutnya memisahkan
skema CNCPS awal dan CPM. Tabel 1 mencantumkan persamaan
skema karbohidrat yang baru. Dalam pengembangan skema
fraksionasi CHO, fraksi CHO dan CC dihitung seperti yang dijelaskan

Karbohidrat Pakan Ruminansia 4


dalam persamaan (1) dan (2). Ketersediaan FC (CB2, persamaan (3))
diubah namanya dari CB2 menjadi CB3, karena CB1 (persamaan (5))
dibagi menjadi bahan pati (CB1) dan serat larut (CB2). Mirip dengan
per-samaan (3) dan (4), NDF dan NFC yang tersedia dihitung sebagai
[(7) dan (8)]
𝑁𝐷𝐹 𝑗 −(𝑁𝐷𝐼𝐶𝑃 𝑗 𝑋 𝐶𝑃 𝑗 ) [7]
𝐶𝐵3𝑗 (g/kg BK) = 1000
− 𝐶𝐶𝑗

𝑁𝐹𝐶𝑗 (g/kg BK) = 𝐶𝐻𝑂𝑗 − 𝐶𝐵3𝑗 − 𝐶𝐶𝑗 [8]

Tabel 1. Daftar persamaan-persamaan dalam pengembangan fraksi-fraksi karbohidrat


(g/kg BK)
Fraksi Deskripsi Persamaan
CHO Karbohidrat total 1000 − CPj − EEj − Ashj
CC Serat tidak tercerna NDFj × Ligninj × 2,4/1000
CB3 Serat tercerna NDFj − (NDICPj × CPj )/1000 − CCj
NFC Karbohidrat bukan serat CHOj − CB3j − CCj
CA1 Asam lemak volatil Asetatj + Propionatj + Butiratj + Isobutiratj
CA2 Asam laktat Laktatj
CA3 Asam-asam organik Organikj
CA4 Senyawa-senyawa gula Sugarj
CB1 Bahan pati Starchj
CB2 Serat dapat larut NFCj − CA1j − CA2j − CA3j − CA4j − CB1j

CA (persamaan (6) dibagi menjadi empat fraksi: asam lemak


volatil (VFA) (CA1), asam laktat (CA2), asam organik lainnya (CA3),
dan senyawa gula (CA4). Meskipun asam organik (CA1, CA2, dan
CA3) bukan merupakan karbohidrat, tetapi dimasukkan dalam
fraksi karbohidrat karena dinilai lebih dekat hubungannya
dengan karbohidrat daripada lemak atau protein.
Pecahan CA1 mewakili VFA (9)

𝐶𝐴1𝑗 (g/kg BK) = 𝐴𝑠𝑒𝑡𝑎𝑡𝑗 − 𝑃𝑟𝑜𝑝𝑖𝑜𝑛𝑎𝑡𝑗 − [9]


𝐵𝑢𝑡𝑖𝑟𝑎𝑡𝑗 − 𝐼𝑠𝑜𝑏𝑢𝑡𝑖𝑟𝑎𝑡𝑗

5 Fraksionasi Karbohidrat Pakan dan Pengembangannya


Asetatj adalah kandungan asam asetat dari pakan ke-j (g/kg
DM), Propionatj adalah kandungan asam propionat dari pakan ke-j
(g/kg DM), Butiratj adalah kandungan asam butirat dari pakan ke-j
(g/kg DM) dan Isobutiratj adalah kandungan asam isobutirat dari
pakan ke-j (g/kg DM).
Asam lemak volatil dapat mewakili hingga 60 g/kg DM dari si-
lase (McDonald et al., 1991). Asam lemak volatil yang merupakan
produk akhir fermentasi bukan merupakan sumber energi bagi
mikro-organisme rumen. Oleh karena itu, laju degradasi rumen dan
hasil pertumbuhan mikroba rumen maksimum (Yg ) adalah 0.
Fraksi CA2 mewakili asam laktat (10)
𝐶𝐴2𝑗 (g/kg BK) = 𝐿𝑎𝑘𝑡𝑎𝑡𝑗 [10]

Dalam pakan fermentasi, asam laktat adalah asam organik yang


dominan, 50-150 g/kg DM (McDonald et al., 1991). Selain silase
pakan, asam laktat juga dapat terkandung dalam molases (Tabel 2)
dari degradasi senyawa gula invert, tetapi juga termasuk asam ma-
lat, sitrat, fumarat dan oksalat (Amin, 1980). Asam laktat terutama
di-ubah menjadi asetat dan propionat dalam rumen, tanpa kontri-
busi langsung terhadap fluks glukosa pada tubuh ternak (Gill et al.,
1986). Sesuai hasil pengukuran produksi gas, tingkat degradasi
asam laktat rumen diukur menjadi 0,07 per jam (Molina, 2002).
CNCPS menggunakan Yg teoritis 50 g sel mikroba untuk 100 g CHO
yang di-fermentasi, atau 0,55 mol heksosa yang difermentasi
(Isaacson et al., 1975), yang mengasumsikan sekitar 3,63 mol ATP
per mol heksosa, dan 1 mol ATP menghasilkan 25 g sel per mol. Na-
mun, asam laktat mensuplai lebih sedikit ATP per mol daripada
CHO. Bagi asam laktat, Yg diatur menjadi 10,8 g sel untuk 100 g
asam laktat karena diasumsikan, rerata sebesar 0,65 mol/mol asam
laktat difermentasi melalui jalur akrilat, yang menyediakan 0,33
mol ATP per mol laktat dan sisanya difermentasikan terutama

Karbohidrat Pakan Ruminansia 6


melalui jalur suksinat-propionat, dengan menghasilkan 0,5 mol
ATP per mol laktat (Counotte et al., 1981). Nilai Yg kemudian berku-
rang 20% untuk memperhitungkan besarnya predasi protozoa
(Russell et al., 1992).
Fraksi CA3 mewakili asam organik selain asam laktat (11)
𝐶𝐴3𝑗 (g/kg BK) = 𝑆𝑒𝑛𝑦𝑎𝑤𝑎 𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑘 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑗 [11]

Asam organik selain laktat dan VFA hampir tidak terdeteksi da-
lam silase (McDonald et al., 1991); tetapi dalam hijauan segar, asam
sitrat, malat, dan akonitat dapat terkandung lebih dari 100 g/kg
hijauan DM (Dijkshoorn, 1973). Asetat merupakan produk fermen-
tasi utama dari asam organik (Russell dan Van Soest, 1984). Sesuai
hasil pengukuran produksi gas, tingkat degradasi rumen untuk
asam organik ditetapkan menjadi 0,05 per jam (Molina, 2002),
lebih sedikit ATP per mol daripada CHO dan asam laktat. Bagi fraksi
CA3, nilai Yg diatur untuk 3,5 g sel untuk 100 g asam organik sesuai
hasil rerata untuk asam malat (Dimroth dan Schink, 1998) dan asam
sitrat (Gottschalk, 1986).
Fraksi CA4 termasuk monosakarida, disakarida, dan oligosakari-
da (12)
𝐶𝐴4𝑗 (g/kg BK) = 𝑆𝑒𝑛𝑦𝑎𝑤𝑎 𝑔𝑢𝑙𝑎𝑗 [12]

Senyawa-senyawa gula yang dominan dalam pakan adalah


glukosa, fruktosa dan sukrosa (Van Soest, 1994; Knudsen, 1997).
Sukrosa merupakan senyawa gula yang paling umum, merupakan
sarana transportasi utama pada tanaman dan dapat disimpan se-
bagai cadangan pakan seperti gula bit (Van Soest, 1994). Dalam biji
legum, rafinosa dan stakyosa mewakili proporsi senyawa gula yang
penting (Knudsen, 1997). Pada pH rendah, senyawa gula
menghasilkan serupa propionat dan butirat lebih tinggi dari bahan

7 Fraksionasi Karbohidrat Pakan dan Pengembangannya


Tabel 2. Fraksi-fraksi karbohidrat dari beberapa pakan yang diukur sesuai pengembangan skema beserta laju degradasinya

8
Fraksi-fraksia (g/kg BK) Laju degradasi (h−1 )
CA1b CA2c CA3d

Karbohidrat Pakan Ruminansia


CA4 CB1 CB2 CB3 CC CA4 CB1 CB2 CB3
Pakan sumber energi
Biji barley, steam-rolled 0 0 0 24 523 61 186 58 0,40 0,35 0,30 0,05
Biji barleu, giling 0 0 0 24 523 61 186 58 0,40 0,30 0,30 0,05
Bubur beet, kering 0 0 0 133 30 267 259 91 0,40 0,20 0,40 0,08
Bubur sitrus, kering 0 0 0 269 12 344 188 56 0,40 0,30 0,30 0,09
Biji jagung, cracked 0 0 0 15 748 8 79 5 0,40 0,10 0,20 0,03
Biji jagung, giling halus 0 0 0 15 748 8 79 5 0,40 0,15 0,20 0,06
Biji jagung, flaked 0 0 0 16 756 8 76 4 0,40 0,25 0,20 0,06
Biji jagung lembab, giling 6 17 0 17 714 14 80 5 0,20 0,30 0,20 0,06
Molasses, beet 0 40 55 700 0 0 0 0 0,40 0,30 0,30 0,05
Biji sorghum, giling kasar 0 0 0 24 564 24 205 34 0,40 0,05 0,20 0,03
Kulit kedele 0 0 0 7 10 156 616 32 0,40 0,30 0,08 0,08
Biji kapas, utuh 0 0 0 23 2 25 350 310 0,40 0,30 0,30 0,06
Forages
Alfalfa kering 0 0 30 105 18 200 275 151 0,40 0,30 0,35 0,08
Silase Alfalfa 16 48 0 31 15 197 303 206 0,20 0,30 0,35 0,06
Silase jagung (terolah, 250 g/kg BK) 30 54 0 4 309 4 390 108 0,20 0,40 0,30 0,04
Silase jagung (tak terolah, 250 g/kg BK) 30 54 0 4 281 32 395 97 0,20 0,40 0,30 0,04
Silase jagung (terolah, 350 g/kg BK) 26 46 0 8 309 12 395 97 0,20 0,32 0,30 0,04
Silase jagung (tak terolah, 350 g/kg BK) 26 46 0 8 309 12 395 97 0,20 0,25 0,30 0,04
Rumput pastura 0 0 40 77 4 82 483 92 0,40 0,30 0,30 0,05
Rumput silase 22 46 0 48 23 88 466 106 0,20 0,30 0,30 0,06
Leguminosa pastura 0 0 80 156 6 82 213 97 0,40 0,30 0,35 0,08
Pakan sumber protein
Bebijian limbah destilasi 0 0 0 34 122 103 187 111 0,40 0,17 0,30 0,07
Bungkil kedele, pelarutan 0 0 0 109 22 141 80 6 0,40 0,25 0,30 0,06
a CA1 = asam acetat, propionat dan butirat; CA2 = asam laktat; CA3 = asam organik lain; CA4 = senyawa gula; CB1 = bahan pato; CB2 = serat larut; CB3 = NDF tersedia;
CC = NDF tidak tersedia (lignin(sa) × 2.4).
b laju degradasi untuk CA1 adalah 0 h−1 .
c laju degradasi untuk CA2 adalah 0,07 h−1 .
d
laju degradasi untuk CA3 adalah 0,05 h−1 .
Sumber: Lanzas et al. (2007)
pati dan menghasilkan lebih banyak laktat daripada bahan pati
(Strobel dan Russell, 1986). Dengan menggunakan pengukuran
produksi gas, Molina (2002) melaporkan tingkat fermentasi 0,40 per
jam untuk glukosa dan 0,16 per jam untuk arabinosa apabila difer-
mentasikan dengan sumber serat. Laju degradasi untuk pakan,
terutama yang mengandung sukrosa ditetapkan pada 0,40 per jam
untuk fraksi senyawa gula, karena lima senyawa gula karbon men-
dukung pertumbuhan mikroba lebih sedikit daripada heksosa
(Strobel dan Russell, 1986), dan berdasarkan komposisi fraksi sen-
yawa gula dalam pakan dan kemampuannya untuk mendukung
pertumbuhan mikroba (Molina, 2002), tetapi untuk produk
turunan susu, tingkat degradasi yang ditetapkan untuk gula adalah
0,30 per jam karena laktosa mendukung per-tumbuhan mikroba
yang lebih sedikit daripada sukrosa (Bond et al., 1998; McCormick et
al., 2001). Bagi silase, dengan pengecualian silase jagung muda,
fraksi senyawa gula tidak mengandung gula yang tidak difermenta-
si, mendukung arabinosa dan senyawa gula sederhana lainnya yang
berasal dari hidrolisis rantai samping pektin dan hemiselulosa
(Dewar et al., 1963; Jones et al. al., 1992). Dengan demikian, tingkat
0,20 per jam, lebih dekat ke tingkat fermentasi arabinosa yang ter-
kandung dalam fraksi gula silase.
Fraksi CB1 mewakili bahan pati (13)
𝐶𝐵1𝑗 (g/kg BK) = 𝐵𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑡𝑖𝑗 [13]

Degradabilitas bahan pati bervariasi bergantung pada ukuran


partikel, jenis butiran, pengaruh pengolahan dan metode peng-
awetan (Offner et al., 2003). Laju degradasi bahan pati di rumen
adalah spesifik sesuai jenis pakan, dengan nilai berkisar dari 0,03
per jam untuk burung yang resisten terhadap sorgum hingga 0,40
per jam untuk gandum (Tabel 2).
Serat larut (CB2) dihitung dengan selisih sebagai (14)

9 Fraksionasi Karbohidrat Pakan dan Pengembangannya


𝐶𝐵2𝑗 (g/kg BK) = 𝑁𝐹𝐶𝑗 − 𝐶𝐴1𝑗 − 𝐶𝐴2𝑗 − 𝐶𝐴3𝑗 − [14]
𝐶𝐴4𝑗 − 𝐶𝐵1𝑗

Fraksi CB2 termasuk β-glukan dan zat pektik, serta didefinisi-


kan sebagai serat pakan karena tidak dapat dicerna oleh enzim-
enzim mamalia. Fermentasi serat larut tertekan pada pH rendah
dan VFA utama yang dihasilkan dari fermentasinya berupa asam
asetat (Strobel dan Russell, 1986). Senyawa-senyawa pektik ter-
dapat dalam konsentrasi tinggi pada pakan produk samping seperti
pulp jeruk, pulp bit dan kulit kedelai, serta pada dinding sel hijauan
legum (Van Soest, 1994). Senyawa pektik terfermentasikan secara
cepat, dengan tingkat degradasi ruminal yang berkisar antara 0,20
hingga 0,40 per jam; kecuali untuk kulit kedelai (sekitar 0,08 per
jam) (Hatfield dan Weimer, 1995; Hall et al., 1998). β-Glukan terkan-
dung dalam gandum dan bebijian gandum sebesar 40-120 g/kg DM
dan terdegradasi pada tingkat yang sama dengan bahan pati
(Engstrom et al., 1992).

Variabilitas fraksi karbohidrat pakan dan kepekaan analisis


Pengembangan skema fraksi CHO pakan dievaluasi dengan
menggunakan sensitivitas analisis tentang variasi yang diharapkan
dalam komposisi pakan dan tingkat degradasi. Analisis sensitivitas
dilakukan dengan menggunakan sampel pakan sapi laktasi dan
variasi yang diharapkan dalam karbohidrat dan laju pencernaann-
ya. Ternak yang disimulasikan adalah sapi perah laktasi (650 kg BB
dan 43 kg susu/hari) setiap hari diberi ransum yang terdiri atas
7,5 kg DM biji jagung berkelembaban tinggi (high moisture corn
grain, HMCG), 7 kg rumput silase, 6 kg jagung silase, 3 kg bungkil
kedelai, 1 kg limbah penyulingan biji, 1,1 kg biji kapas utuh dan
campuran mineral-vitamin. Ransum tersebut memberikan 330 g
aNDF/kg DM, 410 g NFC/kg DM, 173 g CP/kg DM, dan 11,09 MJ/kg

Karbohidrat Pakan Ruminansia 10


BK.
Teknik Monte Carlo digunakan dalam analisis sensitivitas. Pada
analisis Monte Carlo, input model dijelaskan sebagai fungsi
kepadatan probabilitas dari sampel yang diambil untuk meng-
gerakkan model dan kemungkinan menurunkan probabilitas solusi
model (Law dan Kelton, 2000). Analisis Monte Carlo dilakukan
dengan @Risk versi 4.5 (Palisade Corp., Newfield, NY, USA) dalam
versi spreadsheet CNCPS (Fox et al., 2004). Basis data yang disediakan
oleh laboratorium komersial (Dairy One, Ithaca, NY, USA)
digunakan untuk meng-gambarkan komposisi pakan sebagai suatu
distribusi. Semua pakan dianalisis secara kimia 'basah'. Analisis
bahan pati menggunakan pra-ekstraksi gula dan uji glukosa
oksidase-peroksidase yang dikombinasikan dengan probe
pendeteksi peroksida (YSI Incorporated, Yellow Springs, OH, USA).
Metode ekstraksi air digunakan untuk analisis senyawa gula. Data
komposisi pakan sesuai dengan distribusi normal. Apabila input-
input pakan tidak normal secara statistik, maka ditetapkan distri-
busi yang paling sesuai dengan data (Tabel 3). Goodness of fit dinilai
dengan beberapa metode statistik (uji statistik Chi-squared, Kolmo-
gorov-Smirnov dan Anderson-Darling) dan metode grafis (plot
perbedaan fungsi distribusi dan plot probabilitas) (Law dan Kelton,
2000). Nilai minimum dan maksimum dalam basis data digunakan
untuk memotong distribusi, dan matriks korelasi dimasukkan un-
tuk memperhitungkan korelasi antara input dalam jenis-jenis pa-
kan saat pengambilan sampel (Tabel 4). Bagi laju degradasi, distri-
busi normal dengan standar deviasi (S.D.) proporsional sesuai nilai
reratanya digunakan untuk menjelaskan variabilitas dalam pening-
katan laju perkiraan akibat peningkatan nilai rerata (Weiss, 1994).
Terdapat beberapa teknik sampling yang cocok untuk simulasi
Monte Carlo (McKay et al., 1979). Teknik sampling yang dipilih un-
tuk mengambil sampel dari distribusi adalah Hypercube Latin, yang
mana fungsi kepadatan probabilitas dibagi menjadi interval proba-

11 Fraksionasi Karbohidrat Pakan dan Pengembangannya


bilitas yang sama dan dari setiap interval sampel diambil secara
acak (McKay et al., 1979). Sampling diarahkan untuk mewakili nilai
pada setiap interval. Dalam kaitan ini telah dilakukan sepuluh ribu
sampel untuk simulasi. Nomor acak yang sama digunakan dalam
mensimulasikan model, baik dengan skema CHO asli maupun
pengembangan skema CHO untuk setiap pengambilan sampel.
Tabel 6 menunjukkan hasil analisis sensitivitas. Prediksi model
untuk protein metabolis (MP) dari bakteri, dan kecernaan NFC ru-
minal dinilai menggunakan skema fraksionasi CHO asli dan
pengembangan skema fraksionasi CHO. Interval kepercayaan Bon-
ferroni dihitung untuk rata-rata dan S.D. dari output simulasi
digunakan untuk menilai dampak variabilitas pakan pada keluaran
model dengan dua skema (Banks et al., 2004). Selain itu, analisis re-
gresi bertahap digunakan untuk menilai kekuatan hubungan antara
input dan output tertentu. Koefisien regresi standar (standard of re-
gression coefficient, SRC) digunakan untuk menentukan peringkat
input dan memberikan ukuran kepentingan sesuai pengaruh
pemindahan setiap variabel dari nilai yang diharapkan dengan
fraksi tetap dari nilai S.D.-nya dengan mempertahankan semua var-
iabel lain pada nilai yang diharapkan (Helton dan Davis, 2002).

Skema fraksionasi karbohidrat pakan dan metode analisis


Tabel 2 mencantumkan rerata fraksi CHO untuk bahan-bahan
pakan yang umum. Asam lemak volatil dan asam laktat untuk silase
didapatkan dari profil fermentasi yang diberikan oleh beberapa
laboratorium komersial. Kandungan DM silase merupakan pred-
iktor yang buruk untuk kandungan VFA total (Gambar 1). Jumlah
DM dalam silase adalah negatif, dan secara eksponensial terkait
dengan jumlah produk akhir fermentasi selama ensilase (Gambar
1). Kandungan asam laktat secara positif dan linier berhub-
ungan dengan jumlah EE silase rumput (laktat (g/kg DM) = 18,9 EE
(g/kg DM) – 66,1; R2 = 0,58; R.M.S.E. = 18,2)) dan silase legum (laktat

Karbohidrat Pakan Ruminansia 12


(g/kg DM) = 28,1 EE (g/kg DM) – 30,2; R2 = 0,46; R.M.S.E. = 20,2). Baik
EE maupun asam laktat meningkat seiring dengan lamanya fer-
mentasi, karena kandungan EE pada silase dapat meningkat dengan
meningkatnya massa mikroba. Baik VFA dan asam laktat memiliki
hubungan yang buruk dengan fraksi pakan lainnya (Tabel 4) dan
DM (Gambar 1) pada silase jagung.
Secara keseluruhan, diantara input pakan memiliki korelasi ren-
dah atau sedang (yaitu r <0,70) (Tabel 4), dan mencegah
penggunaan analisis pakan yang lebih umum, seperti analisis NDF,
sebagai pre-diktor fraksi-fraksi yang kurang lazim dianalisis, seper-
ti kandungan senyawa-senyawa gula. Komponen-komponen yang
berkorelasi paling tinggi adalah bahan pati dan kandungan aNDF
silase jagung, yang berkorelasi kuat (pati (g/kg DM) = 845,4 – 12,1
NDF (g/kg DM), R2 = 0,84; R.M.S.E. = 31,1 ) karena peningkatan kan-
dungan bebijian dengan kematangan tanaman.
Asam organik umumnya dianalisis dengan gas atau kromato-
grafi cair bertekanan tinggi (Amin, 1980; Russell dan Van Soest,
1984) atau dapat diestimasikan secara tidak langsung sebagai NFC
dikurangi residu tidak larut etanol (disesuaikan dengan CP) dan
kadar senyawa gula (Hall et al., 1999). Fraksi CA3 diduga lebih
mengandalkan nilai pustaka pakan dibandingkan dengan fraksi-
fraksi lainnya, karena kesulitan dalam mengukur asam organik se-
bagai suatu kelompok. Dalam susu CPM, asam non-silase dimasuk-
kan dalam fraksi serat larut (CPM CB2), sementara asam organik
lainnya dimasukkan sebagai fraksi terpisah untuk memperhi-
tungkan karakteristik fermentasinya. Meskipun ini menyediakan
beberapa energi yang dapat difermentasi, hal itu jauh lebih sedikit
daripada komponen lain yang termasuk dalam fraksi serat larut
CPM. Asam dikarboksilat (yaitu aspartat, fumarat, dan malat) me-
rangsang pemanfaatan laktat oleh bakteri ruminansia yang domi-
nan seperti Selenomonas ruminantium (Martin dan Streeter, 1995;
Evans dan Martin, 1997). Pada perpustakaan pakan, konsentrasi

13 Fraksionasi Karbohidrat Pakan dan Pengembangannya


Tabel 3. Nilai tengah, koefisien variasi (CV), minimum, maksimum dan distribusi dari komposisi pakan (g/kg
BK) bagi beberapa pakan yang digunakan dalam analisis sensitivitas
Nilai
N tengah CV Minimum Maksimum Distribusia
Silase jagung
Abu 6292 44 25,8 12 196 Normal (44, 11)
PK 8908 85 12,4 43 192 Loglogistic (21, 62, 11.3)
NDICP 6018 14 23,9 5 58 Loglogistic (3, 11, 6.1)
LK 6189 33 12,4 13 53 Normal (33, 4)
aNDF 9678 441 13,4 281 743 Normal (441, 59)
Lignin(sa) 6257 35 18,4 9 97 Loglogistic (3, 32, 9.3)
Bahan pati 6353 308 25,4 3 499 Weibull (8.9, 613)
Senyawa gula 6045 41 46,3 1 191 PearsonV (13.6, 747)
Asetat 440 23 63,1 0 78 Beta general (1.7, 5.2)
Propionat 440 4 130,0 0 31 Beta general (0.4, 4.4)
Butirat 440 1 254,7 0 19 Exponential (0.7)
Isobutirat 440 6 111,0 1 7 Lognormal (0.6, 0.6)
Laktat 440 50 41,3 0 101 Normal (50, 21)
Silase rumput
Ash 895 96 27,7 36 226 Loglogistic (14, 77, 5.7)
PK 1385 144 26,7 24 292 Beta general (7.7, 11.7)
NDICP 680 33 27,0 12 78 Lognormal (35, 9)
LK 726 37 25,7 9 103 Normal (37, 10)
aNDF 1384 584 11,9 397 818 Normal (584, 69)
Lignin(sa) 728 69 24,5 19 174 Logistic (68, 9)
Bahan pati 681 24 62,9 1 104 Weibull (1.6, 28)
Senyawa gula 689 28 39,4 8 192 Lognormal (105, 28)
Asetat 34 22 74,9 0 63 Loglogistic (−5, 22, 2.6)
Propionat 34 2 128,5 0 8 Exponential (2)
Butirat 34 4 132,1 0 19 Exponential (4)
Isobutirat 34 1 122,0 0 5 Exponential (1)
Laktat 34 47 56,8 1 111 Loglogistic (−131, 176, 11.6)
High moisture corn grain
Abu 1613 17 12,9 11 32 Loglogistic (5, 11, 9.8)
PK 2166 97 10,7 67 149 PearsonV (53.5, 3874)
NDICP 1575 8 23,4 2 19 Logistic (8, 1)
LK 1618 44 15,2 21 105 Loglogistic (13, 31, 8.7)
aNDF 2153 101 20,6 51 272 PearsonV (17.3, 1157)
Lignin(sa) 1576 10 23,9 2 25 Logistic (10, 1)
Bahan pati 1602 706 4,3 543 774 Logistic (708, 15)
Senyawa gula 45 22 65,0 Normal (22, 14)
Asetat 94 3 113,0 Exponential (3)
Propionat 94 0.4 200,0 Exponential (0.4)
Butirat 94 0.1 278,0 Exponential (0.1)
Isobutirat 94 0.1 300,0 Exponential (0.1)
Laktat 94 11 84,0 Normal (11, 9)
Bebjian distilasi
Abu 83 63 17,9 32 96 Normal (63, 11)
PK 354 314 7,6 236 406 Normal (314, 24)
NDICP 1427 310 30,6 Normal (310, 95)
LK 286 135 18,0 36 190 Weibull (9.7, 209)

Karbohidrat Pakan Ruminansia 14


Tabel 3 (Lanjutan )
Nilai
N Tengah CV Minimum Maksimum Distribusia
aNDF 284 338 9,5 245 424 Loglogistic (? 387, 723, 36.9)
Lignin(sa) 370 57 38,6 Normal (57, 22)
Bahan pati 188 45 51,7 4 229 Loglogistic (? 12, 54, 5.7)
Senyawa gula 162 53 41,6 4 138 Loglogistic (? 25, 75, 7.1)

Bungkil kedele
Abu 298 73 30,1 Normal (73, 22)
PK 681 510 6,2 372 569 Logistic (510, 17)
NDICP 124 54 62,4 Normal (54, 34)
LK 322 36 104,4 3 220 PearsonV (1.9, 33)
aNDF 306 123 30,4 70 333 Loglogistic (15, 100, 6.3)
Lignin(sa) 253 14 64,3 Normal (14, 9)
Bahan pati 186 19 60,0 Normal (19, 11)
Senyawa gula 158 135 19,2 Normal (135, 26)
Biji kapok utuh
Abu 99 43 11,9 32 60 Normal (43, 5)
PK 320 241 18,1 114 375 Loglogistic (? 163, 401, 16.4)
NDICP 63 24 25,3 17 58 Loglogistic (14, 9, 3.6)
LK 184 225 22,5 122 361 Loglogistic (92, 124, 4.5)
aNDF 311 508 19,8 247 803 Logistic (508, 57)
Lignin(sa) 95 154 24,0 52 250 Normal (154, 37)
Bahan pati 36 11 52,7 1 23 Loglogistic (? 1, 11, 2.7)
Senyawa gula 39 59 29,0 34 105 Normal (59, 17)
a
Parameter-parameter penting yang untuk mencirikan distribusi ditunjukkan diantara dalam kurung: parameter
a menunjukkan bentuk distribusi, parameter ß menunjukkan skala (p.e. s bagi distribusi normal), parameter
menunjukkan lokasi (p.e. bagi distribusi normal). Distribusi-distribusi adalah beta umum , ), exponential
logistic (a, ß), loglogistic , a, ß), lognormal s ), normal s ), PearsonV (a, ß), and Weibull (a, ß).
Apabila nilai-nilai maksimum dan minimum tidak ditunjukkN, tidak tersedia basis data untuk mencocokkan
distribusi. Diasumsikan distribusi normal atau exponential (bagi asam-asam lemak volatil).
Sumber: Lanzas et al. (2007).

asam organik tertinggi dialokasikan untuk padang rumput dan hi-


jauan segar (Tabel 2) (Martin, 1970; Callaway et al., 1997; Mayland et
al., 2000). Pada hijauan, asam organik menurun seiring dengan ke-
matangan dan umur (Martin, 1970). Pada silase, asam organik
lainnya diasumsikan terdegradasi selama fermentasi saat ensilase
(McDonald et al., 1991), dan oleh karena itu diberi nilai 0 (Tabel 2).
Fraksi senyawa gula mewakili fraksi heterogen dan sebagian
besar penetapan senyawa gula di laboratorium komersial yang
didasarkan pada ekstraksi etanol/air (Hall, 2003), dapat
mengekstrak komponen yang berbeda bergantung pada proporsi
etanol (Smith dan Grotelueschen, 1966; Hall et al., 1999), standar

15 Fraksionasi Karbohidrat Pakan dan Pengembangannya


Tabel 4. Matriks korelasi (Spearman correlations) fraksi-fraksi pakan bagi pakan yang digunakan pada analisis sensitivitas (P<0,05) [yang kosong

16
menunjukkan korelasi tidak nyata (P>0.05)]
Abu PK NDICP LK aNDF Lignin(sa) Bhn pati Seny. gula Asetat Propionat Butirat Isobutirat Laktat

Karbohidrat Pakan Ruminansia


Silase jagung
Abu 1 0,38 0,38 −0,21 0,50 0,47 −0,61 0,14 0,29 0,24 0,24
PK 1 0,45 0,22 0,21 −0,40 0,16 0,21
NDICP 1 0,47 0,49 −0.49 0,24 0,27 −0,18
LK 1 −0,36 −0,22 0,31 −0,38 0,30 0,27
1 0,64 −0,92 0,15 0,17 0,12
aNDF
1 −0,66 0,16
Lignin(sa)
1 −0,27
Bhn pati −0,24 −0,25
Seny gula 1 −0,39 −0,28
Aseat 1 0,65 0,10
Propionat 1 −0,21
Butirat 1
1 −0,28
Isobutirat
Laktat 1
Silase rumput
Abu 1 0,59 0,25 0,36 −0,37 −0,28 −0,55 −0,27 0,49 0,49 0,42 0,45
PK 1 0,41 0,75 −0,80 −0,44 −0,19 0,48
NDICP 1 −0,21 0,15
1 −0,67 −0,58 −0,10 0,48 0,79
LK
aNDF
1 0,44 −0,20 −0,32
Lignin(sa)
1 −0,32 −0,58
Bhn pati
1 0,43 −0,68 −0,59
Seny gula 1 −0,49 −0,52
Asetat 1 0,60
Propionat 1
Butirat 1 0,74
Isobutirat 1
Laktat 1
Table 4 (Lanjutan)

17
Abu PK NDICP LK aNDF Lignin(sa) Bhn pati Senyawa gula
Biji jagung basah
Abu 1 0,35 0,24 0,31 0,27 −0,10 −0,57
PK 1 0,24 0,52 0,10 −0,21 −0,32
1 0,27 0,30 0,33 −0,13
NDICP
1 0,16 −0,29 −0,44
PK
0,21 −0,46
aNDF 1
Lignin(sa) 1
Bahan pati 1
Senyawa gula 1

Bebijian distilasi
Abu 1 0,30 0,23
PK 1 0,26 −0,43 −0,16
NDICP 1
LK 1 0,13 −0,14
aNDF 1 −0,14
Lignin(sa) 1
Bahan pati 1
Senyawa gula 1

Bungkil kedele
Ash 1
PK 1 0,53 0,52
NDICP 1
LK 1 0,44
aNDF 1
Lignin(sa) 1
Bahan pati 1
Senyawa gula 1

Biji kapok utuh

Fraksionasi Karbohidrat Pakan dan Pengembangannya


Abu 1 0,52 0,68 0,58 −0,39 0,62
PK 1 0,57 0,61 −0,29 0,45
NDICP 1
LK 1 0,69 −0,51 −0,44 0,65
aNDF 1 0,41 −0,66
Lignin(sa) 1 −0,55
Bahan pati 1
Senyawa gula 1
Gambar 1. Hubungan antara asam lemak volatil (VFA) total dengan bahan
kering pada silase jagung (N=440), silase rumput (N=34) dan silase legumi-
nosa (N=131). Sumber: Lanzas et al. (2007)

yang digunakan (misalnya glukosa, fruktosa atau sukrosa) dan jenis


matriks bahan pakan. Beberapa perbedaan dalam komposisi senya-
wa gula telah diperhitungkan dengan menggunakan tingkat
degradasi rumen yang berbeda (Tabel 2). Proporsi etanol yang
digunakan dalam ekstraksi dapat memengaruhi partisi komponen
antara senyawa gula dan serat larut. Sebagai contoh, pada rumput
musim dingin yang ditanam pada iklim sedang, jumlah fruktan

Karbohidrat Pakan Ruminansia 18


diekstraksi bervariasi, bergantung pada konsentrasi etanol (Smith
dan Grotelueschen, 1966). Fruktan diklasifikasikan sebagai serat
pakan karena tidak dicerna oleh enzim mamalia (Nilsson et al.,
1988). Meskipun demikian, profil VFA dari fruktan mirip dengan
senyawa gula karena sukrosa merupakan prekursor untuk sintesis
fruktan (Pollock, 1986; Marounek et al., 1988) dan pelepasannya
dari sel tanaman mirip dengan senyawa gula bebas (Boudon et al.,
2002). Oleh karena itu, dalam memprediksi keter-sediaan nutrien
untuk ruminansia, diduga lebih tepat untuk meng-asosiasikan
fruktan dengan senyawa gula daripada serat larut.
Pada pengembangan skema, fraksi serat larut dihitung ber-
dasarkan perbedaan. Dengan demikian mengandung kesalahan dari
pengujian komponen lainnya. Knudsen (1997) mengukur β-glukan
dan polisakarida terlarut lainnya untuk pakan konsentrat kaya pro-
tein dan energi yang terpilih. Bagi bebijian sereal, nilai untuk serat
larut yang dihitung berdasarkan perbedaan serupa dengan serat
larut yang diukur sebagai jumlah β-glukan dan polisakarida larut
lainnya. Sebagai contoh, nilai yang dihitung dan diukur untuk biji
jagung, biji barley, dan gandum yang bermutu sedang masing-
masing adalah 8 g/kg DM versus 10 g/kg DM, 73 g/kg DM versus 98
g/kg DM, dan 98 g/kg DM versus 97 g /kg DM. Bagi pakan kaya pro-
tein, nilai yang dihitung tidak secara konsisten terkait dengan nilai
terukur (misalnya: bungkil kedelai, 63 g/kg DM versus 141 g/kg DM;
tepung biji kapas, 24 g/kg DM versus 18 g/kg DM; tepung biji rami,
521 g/kg DM versus 138 g/kg DM; lupin putih, 131 g/kg DM versus
134 g/kg DM). Beberapa faktor dapat berkontribusi terhadap unpre-
diction fraksi serat larut (Persamaan (14)) untuk beberapa pakan.
Sementara VFA (CA1) di-ekspresikan berdasarkan DM, biasanya
diukur dalam pakan 'basah' karena mereka sebagian menguap sela-
ma pengeringan oven. Bagi asam asetat, kehilangan dari pengerin-
gan bisa mencapai 53% untuk silase rumput, dan 83% untuk silase
jagung (Sorensen, 2004). Hal ini terutama dapat berkontribusi pada

19 Fraksionasi Karbohidrat Pakan dan Pengembangannya


underprediction CB2 dalam silase kacang-kacangan karena fraksi
CA1 dan CB2 dapat menjadi proporsi CHO yang substansial. Sesuai
asumsi bahwa protein mengandung 16% N, faktor konversi 6,25
digunakan sebagai rerata untuk meng-ubah N menjadi CP untuk
semua pakan. Namun, apabila mempertimbangkan senyawa non-
protein dan variasi dalam komposisi AA, faktor konversi untuk se-
bagian besar pakan umum secara konsisten lebih rendah dari 6,25
(misalnya: bungkil kedelai 5,49; barley 5,17; tepung ikan 4,75)
(Boisen et al. , 1987). Kontaminasi abu dapat mengakibatkan abu
yang tidak larut terkandung dalam aNDF, sehingga memprediksi
FC yang tersedia secara berlebihan. Sebaliknya, perkiraan yang ber-
lebihan dapat dihasilkan dari koreksi NDF yang diuji dengan natri-
um sulfit pada ND untuk NDICP yang diuji tanpa natrium sulfit pada
ND. Metode NDF disetujui oleh Association of Official Analytical Chem-
ists International (Mertens, 2002) menggunakan natrium sulfit, yang
menghilangkan sebagian besar N serat tidak larut. Bagi sebagian
besar pakan, perbedaan NDICP dengan dan tanpa natrium sulfit
kurang dari 10 g/kg DM, tetapi untuk pakan kaya protein, perbe-
daannya dapat mencapai 90 g/kg DM (Hintz et al., 1996). Ukuran
pool CB2 sangat sensitif terhadap penyesuaian NDICP untuk bung-
kil kanola dan bunga matahari, limbah bebijian penyulingan dan
kedelai utuh. Koreksi aNDF untuk NDICP dan abu merupakan cara
paling akurat untuk memperkirakan FC dan NFC. Namun, karena
ketidak-konsistenan metode yang digunakan untuk mengukur NDF
di antara laboratorium analisis pakan, diasumsikan bahwa fraksi
NDICP ter-kandung dalam fraksi NDF.

Laju degradasi ruminal dan produksi mikroba


Meskipun pengukuran gravimetri dan gas in vitro telah banyak
digunakan untuk mengukur laju degradasi, tidak ada metode in
vitro yang terbukti tepat untuk mengukur laju untuk semua fraksi
CHO. Laju yang digunakan adalah campuran laju dari fermentasi

Karbohidrat Pakan Ruminansia 20


dan hidrolisis. Laju untuk fraksi CA2, CA3, dan CA4 telah diper-
barui dari data yang tersedia menggunakan sistem produksi gas
(Doane et al., 1998; Molina, 2002). Sistem produksi gas menentukan
tingkat fermentasi rumen. Senyawa gula adalah CHO yang pal-
ing cepat ter-degradasi, dengan tingkat hidrolisis sebesar 10 per
jam (Weisbjerg et al., 1998). Meskipun laju hidrolisisnya tinggi, laju
fermentasi senyawa gula beberapa kali lebih rendah (Van Kessel
dan Russell, 1997). Bagian dari perbedaan antara laju hidrolisis dan
fermentasi adalah karena senyawa gula sebagian dapat disimpan
sebagai glikogen mikroba dan kemudian digunakan untuk metabo-
lisme endogen (Van Kessel dan Russell, 1997). Dengan demikian,
laju fraksi ini lebih rendah dari nilai fraksi A dalam skema CNCPS
asli (Sniffen et al., 1992) yang mem-rediksikan fluktuasi pH rumen
(Pitt dan Pell, 1997) dan produksi mikroba untuk fraksi A (Pitt dan
Pell, 1997).
Beberapa laju degradasi bahan pati untuk pengembangan skema
juga telah diperbarui berdasarkan data in vivo dan in vitro (Richards
et al., 1995; Yang et al., 2000; Monteils et al., 2002; Tothi et al., 2002;
Lanzas, 2003; Tothi et al., 2003; Remond et al., 2004; ). Sebaliknya,
laju in situ belum digunakan untuk fraksi bahan pati karena metode
in situ membagi bahan pati menjadi fraksi larut yang dianggap ter-
degradasi secara instan serta lengkap dan fraksi tidak larut yang
terdegradasi secara eksponensial. Sementara, pati dalam pengem-
bangan skema fraksionasi diperlakukan sebagai fraksi tunggal
dengan laju untuk seluruh pool yang dapat terdegradasi, yaitu nilai
untuk laju degradasi pati; karena hasil in situ mengukur laju pen-
cernaan untuk pool yang dapat terdegradasi secara lambat (Tabel 2)
umumnya lebih tinggi daripada yang diturunkan dari in situ (Offner
et al., 2003). Laju degradasi bahan pati adalah spesifik untuk jenis
pakan dan metode untuk menestimasikannya secara rutin dibutuh-
kan, karena variabilitas dalam tingkat degradasi bahan pati pakan
dapat disebabkan oleh pengolahan dan sumber pati.

21 Fraksionasi Karbohidrat Pakan dan Pengembangannya


Variabilitas fraksi-fraksi karbohidrat pakan
Tabel 3 menunjukkan variasi yang diharapkan dan fungsi
kepadatan probabilitas yang digunakan untuk menggambarkan
pakan simulasi. Angka-angka variasi mewakili variabilitas dalam
populasi bahan pakan karena berasal dari basis data yang luas dan
distribusi untuk sebagian besar pakan bersifat tidak normal (Tabel
3).
Pada silase, senyawa gula dan VFA merupakan fraksi yang paling
bervariasi dan ditunjukkan dengan koefisien variasi yang tinggi
(Tabel 3). Distribusi untuk senyawa gula pada silase jagung serta
VFA silase rumput dan jagung tidak simetris karena beberapa VFA
memiliki distribusi eksponensial dengan probabilitas nilai yang
diberikan menurun ketika nilai menyimpang dari 0, dengan laju
negatif (Evans et al., 2000). Ensilase menambah variabilitas kompo-
sisi hijauan karena menambahkan berbagai faktor, termasuk
kualitas hijauan, jenis silo, ukuran partikel, pengepakan dan pe-
nutup (McDonald et al., 1991). Selain itu, kondisi pra panen dan
cuaca dapat memengaruhi kualitas hijauan. Meskipun bahan pati
silase jagung dan aNDF memiliki distribusi yang simetris (Tabel
3), kedua komponen tersebut memiliki ekor yang berat (heavy tails)
dan subpopulasi silase jagung memiliki kandungan bahan pati yang
rendah (<150 g/kg) dan serat yang tinggi (>580 g/kg). Kondisi
kekeringan atau kepadatan tanaman yang tinggi, menurunkan isi
bebijian hingga kurang dari 270 g/kg DM (Woody, 1978). Biji jagung
berkelembaban tinggi memiliki variasi nutrien terendah dari
semua bahan pakan. Pada pakan hasil samping dan bungkil kedelai,
input dengan variabilitas terbesar adalah nutrien-nutrien yang di-
pengaruhi oleh pengolahan. Bagi bungkil kedelai, EE memiliki vari-
asi yang terbesar karena perbedaan metode ekstraksi minyak
(Tabel 3). Bagi bebijian limbah penyulingan, lignin, senyawa gula
dan NDICP merupakan fraksi-fraksi dengan variasi yang terbesar
karena perbedaan dalam kerusakan panas dan kandungan

Karbohidrat Pakan Ruminansia 22


Tabel 5. Variasi fraksi-fraksi karbohidrat (g/kg BK ransum) apabila input-input bervariasi
Fraksi karbohidrat Nilai tengah S.D. Minimum Maksimum
NDFa 307 23,4 234 388
NFCb 403 27,4 303 403
Asam laktatc 28 8,1 4 60
Bahan patid 284 19,8 192 339
Senyawa gulae 57 9,8 30 99
Serat larutf 40 13,9 4 114
VFAg 14 5,3 2 40
a
Input-input yang sangat berpengaruh (koefisien regresi dalam kurung) adalah aNDF silase rumput
(0,77) dan aNDF silase jagung (0,58).
b Input-input yang sangat berpengaruh (koefisien regresi dalam kurung) adalah aNDF silase

rumput (−0,64) dan aNDF silase jagung (−0,5).


c Input-input yang sangat berpengaruh (koefisien regresi dalam kurung) adalah asetat silase rumput
(0,67) dan asetat silase jagung (064).
d Input-input yang sangat berpengaruh (koefisien regresi dalam kurung) adalah bahan pati silase
jagung (0,89) dan bahan pati HMCG (0,37).
e Input-input yang sangat berpengaruh (koefisien regresi dalam kurung) adalah senyawa gula silase

rumput (0,75) dan senyawa gula silase jagung (0,41).


f Input-input yang sangat berpengaruh (koefisien regresi dalam kurung) aNDF silase rumput

(−0,70) dan PK silase rumput (−0,43).


g
Input-input yang sangat berpengaruh (koefisien regresi dalam kurung) adalah laktat silase rumput
(0,78) dan laktat silase jagung (0,55).
Sumber: Lanzas et al. (2007).

kelarutan diantara sampel (Tabel 3).


Apabila variabilitas dalam input-input pakan dipertimbangkan
dalam pakan yang disimulasikan, fraksi CHO bervariasi dalam uru-
tan menurun sebagai: VFA, serat larut, asam laktat, senyawa gula,
aNDF, bahan pati, dan total NFC (Tabel 5). Asam lemak volatil, serat
larut dan asam laktat adalah proporsi kecil dari total CHO. Variasi
fraksi NFC, CA dan CB1 yang dihitung menyebabkan variasi dalam
fraksi serat larut. Pakan dalam ransum disimulasikan secara
umum me-ngandung serat larut yang rendah, dan sensitif terhadap
kandungan aNDF dan CP dari silase rumput, karena silase rumput
menyediakan jumlah CB2 yang terbesar dari semua pakan dalam
ransum yang disimulasikan. Variabilitas dalam fraksi senyawa gula
terutama disebabkan oleh variasi kandungan senyawa gula dari
silase (Tabel 5) dan diduga merupakan fraksi yang sangat bervaria-
si di antara pakan sapi perah. Pada hijauan segar, fraksi senyawa

23 Fraksionasi Karbohidrat Pakan dan Pengembangannya


Tabel 6. Pengaruh beragamnya input yang digunakan terhadap hasil hitungan
fraksi-fraksi karbohidrat dengan skema asli dan pengembangan, serta laju protein
metabolis (MP) dari bakteri dan kecernaan karbohidrat bukan serat (NFC) di rumen
Pengembangan skema
Skema karbohidrat asli
karbohidrat
Nilai tengah S.D. Nilai tengah S.D.
MP dari bakteri (g/hari)
Perhitungan karbohidrata 1633 a 36.4 a 1574 a 28,1 a
FC vs. NFCb 1632 a 27.4 b 1587 b 30,1 b
Fraksi-fraksi NFCc 1629 b 29.4 c 1581 c 50,1 c
Laju NFCd 1619 c 46.2 d 1543 d 42,5 d
Laju FCe 1617 c 54.3 f 1540 d 53,4 e
Seluruh inputf 1613 d 88.3 g 1570 a 91,5 f

Kecernaan NFC di rumen (g/g)


Perhitungan karbohidrata 0,82 a 0,007 a 0,81 a 0,020 a
FC vs. NFCb 0,82 ab 0,010 b 0,82 b 0,032 b
Fraksi-fraksi NFCc 0,82 b 0,010 b 0,81 c 0,030 b
Laju NFCd 0,81 c 0,017 c 0,79 d 0,015 c
Laju FCe 0,82 d 0,000 d 0,79 d 0,000 d
Seluruh inputf 0,81 e 0,021 e 0,81 c 0,035 e
Nilai tengah atau standar deviasi (S.D.) dengan huruf berbeda dalam kolom yang sama
(untuk setiap skema):
a Input-input untuk menghitung karbohidrat [PK, LK, dan abu, persamaan (1)] beragam.
b Input-input untuk partisi FC [(karbohidrat serat) dan NFC (karbohidrat bukan serat)
bervariasi [(persamaan (2) – (4) untuk skema asli, dan persamaan (2), (7) dan (8) untuk
skema yang dikembangkan].
c Input-input untuk fraksionasi NFC beragam [(persamaan (5) dan (6) untuk skema asli, dan
persamaan (9) – (14) untuk skema yang dikembangkan]
d Laju untuk fraksi-fraksi NFC bervariasi (laju A dan B1 untuk skema asli, serta A2, A3,
A4, B1, dan B2 untuk skema yang dikembangkan).
e Laju untuk fraksi FC bervariasi.
f Seluruh input bervariasi [persamaan (1) – (6) serta laju-laju yang sesuai untuk skema asli;
serta persamaan (1) dan (2), (7) – (14) dan laju-laju yang sesuai dengan pengembangan
skema).
Sumber: Lanzas et al. (2007)

gula merupakan pool yang sangat labil, yang terakumulasi dan akan
habis sepanjang hari (Pollock, 1986). Dalam silase, fraksi senyawa
gula bervariasi sesuai proses ensilase (Tabel 6). Variabilitas analitik
dapat terjadi karena perbedaan kondisi ekstraksi dan metode yang
digunakan untuk menganalisis senyawa gula (Hall, 2003). Meskipun
NFC dihitung sesuai angka-angka selisih (Persamaan (8)), variasi

Karbohidrat Pakan Ruminansia 24


input yang digunakan untuk menghitung NFC saling mengimbangi
sampai batas tertentu, sehingga mengurangi rentang ketidakpas-
tian fraksi NFC. Korelasi moderat antara aNDF silase rumput, input
yang paling mempengaruhi (Tabel 5) dan input lain yang digunakan
untuk menghitung NFC (yaitu, silase rumput CP dan EE), dapat ber-
kontribusi pada penurunan variasi NFC (Tabel 4).

Model perilaku dan analisis sensitivitas


Prediksi model untuk MP dari bakteri dan kecernaan NFC rumi-
nal dinilai dengan skema asli dan pengembangan skema (Tabel 6).
Pengembangan skema CHO menurunkan rerata CP mikroba yang
diprediksi, perbedaan MP diantara kedua skema adalah 43 g.
Dengan asumsi bahwa efisiensi pemanfaatan MP adalah 0,65 untuk
produksi susu dan 30 g protein murni per kg susu, perbedaannya
akan mewakili sekitar 1 kg dalam prediksi MP susu yang dimung-
kinkan (susu MP = 43 × 0,65/30) (Tabel 6). Penurunan MP dari bak-
teri terutama disebabkan oleh penurunan produksi mikroba yang
didukung oleh fraksi CA; laju untuk fraksi-fraksi A yang telah diku-
rangi dibandingkan dengan laju untuk skema asli. Pada skema asli,
laju CA untuk seluruh pool dalam silase ditetapkan pada tingkat
menengah (misalnya 0,10 per jam) untuk memperhitungkan secara
tidak langsung keberadaan asam organik. Pengembangan skema
diduga tidak selalu menghasilkan pertumbuhan mikroba rumen
yang lebih rendah daripada skema asli untuk pakan berbasis
silase. Bagi silase jagung muda dengan CHO larut dalam air yang
tinggi dan kandungan VFA yang rendah, pengembangan skema
memprediksikan MP yang lebih besar dari bakteri daripada skema
asli (hasil tidak ditampilkan).
Kecernaan NFC ruminal yang diprediksi serupa diantara kedua
skema (Tabel 6). Prediksi situs pencernaan kurang sensitif terhadap
laju degradasi CHO daripada produksi CP mikroba. Dengan pen-
dekatan orde pertama yang digunakan untuk memprediksi situs

25 Fraksionasi Karbohidrat Pakan dan Pengembangannya


pencernaan, model bersifat sensitif terhadap laju degradasi yang
lebih dekat dengan laju bagian ruminalnya.
Pengembangan skema fraksionasi juga mempartisi ulang dam-
pak dari input yang berbeda pada prediksi-prediksi model (Tabel 6).
Prediksi dengan skema asli lebih sensitif terhadap laju NFC dan in-
put yang digunakan untuk menghitung CHO daripada prediksi
dengan pengembangan skema, yang lebih sensitif terhadap fraksi
NFC dan tingkat yang sesuai (Tabel 6). Bagi MP dari bakteri, untuk
kedua skema, tingkat degradasi fraksional untuk serat memiliki
efek terbesar (Tabel 6).
Penggunaan pengembangan skema CHO meningkatkan jumlah
input, seperti yang tercantum pada Tabel 6, dan dengan demikian
risiko penggunaan model dapat meningkat jika input ke model ber-
sifat sensitif dan belum diukur. Apabila semua input divariasikan,
nilai S.D. untuk prediksi-prediksi model menjadi lebih besar untuk
pengembangan skema (Tabel 6). Meskipun demikian, input pakan
individu yang paling berkontribusi terhadap variabilitas MP dari
bakteri serupa untuk kedua skema (Gambar 2). Empat variabel yang
sama memiliki koefisien regresi yang tertinggi pada kedua skema
(yaitu bahan pati silase jagung, laju NDF silase rumput, laju bahan
pati biji jagung berkelembaban tinggi, dan laju NDF silase jagung).
Satu-satunya perubahan penting dalam koefisien regresi adalah
nilai yang sangat lebih tinggi untuk variasi dalam pool bahan pati
silase jagung pada pengembangan skema CHO. Ini diduga karena
adanya penghilangan serat larut dari pool ini. Laju CA silase rumput
dan jagung (0,10 per jam) bersifat sensitif pada skema asli, tetapi
tidak terdapat tingkat fraksi CA yang sensitif dalam pengembangan
skema. Pada pengembangan skema, CA1, CA2, dan CA3 memberikan
produksi CP mikroba sebesar 0 atau sangat rendah atau hasil CP
mikroba yang besar (CA4), sehingga hampir semuanya lolos dari
rumen atau terdegradasi di dalamnya yang membuat model lebih
sensitif terhadap ukuran pool daripada tingkat degradasinya. Mes-

Karbohidrat Pakan Ruminansia 26


kipun fraksi senyawa gula sangat bervariasi (Tabel 5), sensitivitas
model terhadap kadar senyawa gula silase adalah sedang (Gambar
2). Apabila memperhitungkan ketidakpastian komposisi pakan da-
lam program analisis pakan, ketidakpastian yang terkait dengan
prediksi model nutrisi yang digunakan untuk merumuskan ransum
diduga menjadi penting. Input pakan yang paling bervariasi dalam
pakan diduga belum pasti menjadi input yang paling sensitif ter-
hadap model. Oleh karena itu, input pakan yang memiliki varia-
bilitas sedang atau besar dan modelnya sensitif merupakan subjek
yang harus lebih sering dianalisis. Dalam ketidakpastian komposisi
pakan, akurasi dan presisi analisis harus dipertimbangkan. Akurasi
yang rendah terjadi apabila nilai yang dilaporkan dari laboratori-
um berbeda dari nilai referensi yang diketahui dan dapat
mengakibatkan bias sistematis dalam prediksi model. Hasil presisi
yang rendah dari variasi acak dapat diatasi dengan meningkatkan
frekuensi analisis.

Aplikasi pengembangan skema karbohidrat


Pengembangan skema CHO dapat meningkatkan kemampuan
model CNCPS untuk memperhitungkan variasi dalam produksi ter-
nak karena perbedaan komposisi pakan, termasuk memperhi-
tungkan kualitas silase, menilai respons produksi terhadap peru-
bahan komposisi NFC pakan dan suplementasi senyawa gula.

Suplementasi silase. Tingkat fermentasi silase sangat bervariasi


(Tabel 3), dan dapat dirangsang dengan menambahkan inokulan
seperti bakteri asam laktat, enzim dan menambahkan CHO yang
dapat difermentasi, sementara pelayuan atau penambahan asam
format dapat mengurangi tingkat fermentasi silase (Huhtanen,
1998). Pengembangan skema menjelaskan lebih banyak variasi da-
lam fermentasi silase dan Tabel 6 merangkum prediksi model
CNCPS dengan pengembangan skema CHO untuk silase rumput

27 Fraksionasi Karbohidrat Pakan dan Pengembangannya


yang berasal dari tanaman yang sama, tetapi dengan fermentasi
yang berbeda (yaitu diinokulasi versus fermentasi terbatas). Apabila
keduanya diberikan secara tunggal, model memprediksi protein
menjadi pembatas pertama untuk kedua silase dengan MP susu
yang dimungkinkan lebih rendah untuk sapi yang diberi pakan si-
lase dengan inokulasi. Model dengan pengembangan skema CHO
memprediksi respons susu terhadap peningkatan suplai MP untuk
kedua silase, dengan respons yang diprediksi untuk suplementasi
CHO dan CP yang dapat difermentasi lebih besar untuk silase in-
okulasi (Tabel 7). Histidin diprediksikan menjadi AA pembatas per-
tama, sesuai dengan laporan sebelumnya (Korhonen et al., 2000).
Kandungan beberapa AA (yaitu histidin dan leusin) dalam CP
mikroba lebih rendah daripada protein susu, yang dapat
melemahkan respons terhadap sumber CHO terfermentasi ter-
hadap pakan apabila salah satu dari AA ini pertama kali membatasi
dalam ransum. Model dengan skema CHO asli tidak memprediksi
perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh tingkat fermentasi si-
lase (hasil tidak ditampilkan).

Penyeimbangan NFC. Sementara NRC (2001) memberikan be-


berapa pedoman untuk menyeimbangkan NFC total pakan, peru-
bahan proporsi jenis NFC dapat mengubah rekomendasi untuk NFC
total dan komponen-komponen ransum lainnya, karena interaksi
diantara komponen NFC dan fraksi serat dan protein (Hall, 2002).
Tabel 8 menunjukkan perubahan fraksi-fraksi CHO dan prediksi
model dengan menggunakan pengembangan skema sebagai akibat
dari penggantian HMCG, konsentrat berbahan pati tinggi, dengan
produk samping pulp bit berserat larut tinggi dalam ransum. Peng-
gantian HMCG dengan limbah pulp bit menyebabkan peningkatan
kandungan senyawa gula, serat larut dan NDF ransum dan
penurunan kandungan bahan pati. Dengan meningkatnya kadar
produk samping pulp bit, model tersebut memprediksi penurunan

Karbohidrat Pakan Ruminansia 28


29
Gambar 2. Koefisien standar regresi (SRC) untuk input-input yang peringkatkan sesuai pengaruhnya
yang paling nyata dalam prediksi pertumbuhan mikroba pada skema asli (A) dan pengembangan skema

Fraksionasi Karbohidrat Pakan dan Pengembangannya


(B). PK: protein kasar, LK: lemak kasar, HMCG: biji jagung basah (high moisture corn grain); NDF: neutral
detergent fiber.
Tabel 7. Prediksi CNCPS dengan skema karbohidrat yang dikembangkan untuk silase rumput tidak terolah
atau dinokulasi dengan bakteri asam laktat dan suplementasi (diformulasikan untuk sapi perah laktasi BB
650 kg, kosumsi 24,9 kg)
MP sesuai untuk ME sesuai untuk Asam amino
produksi susu produksi susu pembatas utama
Silase rumput tidak terolaha 22,3 35,9 Histidine
Silase rumput (500 g/kg BK pakan) dan 30,0 45,9 Isoleucine
cracked jagung (500g/kg BK pakan)
Silase rumput (840 g/kg BK pakan) dan B. 46,3 36,7 Leucine
kedele ekstrusi (160 g/kg BK pakan) b
Silase inokulasi (500 g/kg BK pakan) dan 15,6 30,2 Histidine
cracked jagung (500 g/kg BK pakan)
Silase inokulasi (840 g/kg BK pakan) dan B. 26,6 43,3 Valine
kedele ekstrusi (160 g/kg BK pakan)
Silase rumput tidak terolaha 40,7 32,1 Leucine
a
Komposisi silase rumput (g/kg): senyawa gula 160; asam laktat 35; asam lemak volatil 14.
b
Komposisi silase rumput yang diinokulasikan dengan bakteri asam laktat (g/kg): senyawa gula 61; asam laktat 132;
asam lemak volatil 5.
Sumber: Lanzas et al. (2007)

Tabel 8. Pengaruh penggantian biji jagung basah (HMCG) dengan bubur bit (BP) pada komposisi
karbohidrat pakan terhadap prediksi CNCPS dengan pegambangan skema karbohidrat
100 HMCG 75 HMCG 50 HMCG : 25 HMCG : 0 HMCG :
: 0 BPa,b : 25 BPb 50 BPb 75 BPb 100 BPb
Komposisi pakan (g/kg)
Senyawa gula 38 49 59 70 80
Bahan pati 333 273 213 153 93
Serat larut 71 95 119 143 167
NDF 237 264 290 317 344
Prediksi CNCPS
Prediksi konsumsi BK (kg/kg)c 23,2 23,2 23,2 23,2 23,2
Prediksi konsumsi BK (kg/kg)d 25,5 25,5 25,5 25,5 25,5
ME sesusi untuk produksi susu (kg/hari) 44,7 42,4 40,1 37,9 35,6
MP sesusi untuk produksi susu (kg/hari) 44,6 44,1 43,3 42,0 40,7
MP mikroba (g/hari) 1491 1492 1478 1441 1361
N feses (g/hari) 244 253 261 267 273
N urin (g/kg) 406 399 394 390 386
a
Pakan diformulasikan untuk seekor sapi perah laktasi dengan BB 650 kg, mengonsumsi 24,8 kg BK. Komposisi pakan
(g/kg): 360 HMCG, 200 silase jagung, 200 silase alfalfa, 150 bungkil kedele, 40 biji limbah distilasi, 10 tepung daginh, dan
40 campuran mineral-vitamin.
b
Bubur beet disubstitusikan untuk HMCG sebesar 0, 25, 50, dan 75 g/kg ransumm HMCG. Seluruh pakan adalah 188 g
PK/kg BK.
c
Fox et al. (2004).
d
NRC (2001).
Sumber Lanzas et al. (2007).

ME dan MP susu yang dimungkinkan. Nilai ME susu yang dimung-


kinkan menurun lebih tajam daripada MP susu yang dimungkinkan
karena kandungan NDF yang lebih tinggi dari pulp bit, yang mengu-
rangi total nutrien tercerna ransum. Nilai MP susu dimungkinkan

Karbohidrat Pakan Ruminansia 30


juga menurun terutama karena penurunan suplai CP mikroba
(Tabel 8). Sebuah partisi ulang kecil ekskresi N juga diprediksi.
Produk samping bit pulp mengubah sebagian ekskresi N dari urin
menjadi feses. Dengan produk samping bit pulp, konsumsi DM yang
tidak dapat dicerna meningkat, yang pada gilirannya meningkat-
kan estimasi N metabolis feses. Vanvuuren et al. (1993) mengamati
kecenderungan serupa dalam partisi N ketika mengganti pakan
berbasis biji jagung dengan pakan berbasis bit pulp. Model dengan
skema asli juga memprediksi penurunan ME susu yang dimung-
kinkan apabila kandungan bit pulp meningkat, karena pengaruh ini
disebabkan oleh peningkatan FC pakan; namun prediksi MP mikro-
ba dan MP susu yang dimungkinkan agak tidak sensitif terhadap
perubahan persentase inklusi bit pulp (hasil tidak ditampilkan).
Beberapa perbedaan respon ternak ketika diberi beberapa pa-
kan sumber CHO yang berbeda dijembatani melalui perubahan kon-
sumsi DM. Voelker dan Allen (2003) melaporkan penurunan asupan
DM ketika bit pulp merupakan 240 g/kg dari ransum dalam DM,
yang dikaitkan dengan pengaruh fisik isi. Perubahan konsumsi DM
juga telah diamati ketika HMCG diganti dengan molase kering
(Broderick dan Radloff, 2004). Prediksi konsumsi DM (Roseler et al.,
1997; NRC, 2001) tidak sensitif terhadap perubahan komposisi NFC
ransum (Tabel 8). Persamaan empiris digunakan untuk mempred-
iksi pengaruh konsumsi DM berdasarkan bobot badan, susu
terkoreksi lemak, suhu lingkungan, kedalaman lumpur (mud depth)
jeda awal laktasi (NRC, 2001; Fox et al., 2004), tetapi faktor pakan
tidak di-pertimbangkan. Prediksi perubahan konsumsi DM karena
perubahan faktor pakan merupakan tambahan penting untuk mod-
el nutrien yang diperlukan untuk menjelaskan perbedaan pem-
anfaatan CHO.
Prediksi besaran dan profil VFA dalam rumen akibat variasi
fraksi CHO penting dalam menghubungkan komposisi pakan
dengan produksi dan komposisi susu, serta perubahan komposisi

31 Fraksionasi Karbohidrat Pakan dan Pengembangannya


tubuh (Dijkstra, 1994; Pitt et al., 1996). Sementara produksi VFA to-
tal diprediksi dengan baik oleh banyak model, namun proporsi VFA
telah diprediksi dengan tidak baik (Dijkstra et al., 1992; Pitt et al.,
1996). Deskripsi profil nutrien pakan dan ketersediaan substrat me-
mengaruhi profil VFA yang dihasilkan dalam rumen. Sementara
skema CNCPS asli membagi CHO berdasarkan laju degradasi,
pengembangan skema ini menggabungkan fraksi CHO yang berbeda
dalam profil VFA rumen (misalnya pektin dan pati). Oleh karena
itu, pengembangan skema akan lebih cocok untuk memberikan in-
put pakan untuk submodel pH dan produksi VFA rumen (Fox et al.,
2004).

Sebagai penutup Bab ini, menyeimbangkan pakan ruminansia


untuk tingkat dan jenis karbohidrat pakannya (CHO) yang sesuai,
diperlukan untuk memaksimalkan produksi sambil memastikan
kondisi kesehatan ternak. Beberapa fraksi pakan (seperti asam le-
mak volatile/ VFA), laktat, senyawa gula, pati) menjadi topik pem-
bahasan yang menarik karena dapat membantu dalam formulasi
pakan yang lebih baik. Skema fraksionasi CHO berdasarkan karak-
teristik degradasi ruminal dijelaskan untuk pemodelan nutrision-
al, dan dampaknya dinilai sesuai prediksi yang menggunakan Cor-
nell net carbohydrate and protein system (CNCPS). Karbohidrat pakan
dibagi menjadi delapan fraksi: CA1 adalah asam lemak volatil
(VFA), CA2 adalah asam laktat, CA3 adalah asam organik lainnya,
CA4 adalah senyawa gula, CB1 adalah bahan pati, CB2 adalah serat
larut, CB3 adalah serat deterjen netral tersedia (NDF), dan CC ada-
lah NDF yang tidak tersedia. Analisis Monte Carlo dilakukan dengan
menggunakan contoh ransum sapi perah laktasi untuk mem-
bandingkan skema CHO CNCPS asli (CA = gula dan asam organik,
CB1 = pati dan serat larut, CB2 = NDF tersedia, CC = NDF tidak terse-
dia) dengan pengembangan skema CHO. Sebuah basis data di-
manfaatkan untuk mendapatkan distribusi dan korelasi input pa-

Karbohidrat Pakan Ruminansia 32


kan yang digunakan dalam skema bahan ransum (silase jagung dan
rumput, jagung berkelembaban tinggi, bungkil kedelai, dan limbah
distilasi bebijian). Fraksi CHO bervariasi dalam urutan menurun
sebagai VFA, serat larut, asam laktat, senyawa gula, NDF, bahan
pati, dan total karbohidrat non-serat (NFC). Penggunaan pengem-
bangan skema CNCPS menurunkan produksi protein kasar (crude
protein, CP) mikroba, yang bersifat sensitif (koefisien regresi
standar dalam kurung) terhadap bahan pati silase jagung (0,55),
tingkat NDF silase rumput (0,46), tingkat bahan pati biji jagung
berkelembaban tinggi (0,44), dan kadar NDF silase jagung (0,33).
Kecernaan NFC ruminal yang diprediksi tetap tidak berubah.
Pengembangan skema CHO memberikan deskripsi pakan yang
lebih tepat untuk memperhitungkan variasi dalam perubahan
kualitas silase dan komposisi NFC pakan. Namun, untuk sepe-
nuhnya mengestimasikan perbedaan dalam pemanfaatan CHO pa-
kan membutuhkan pengembangan lebih lanjut dalam metodologi
yang digunakan untuk meng-estimasikan fraksi dan tingkat
degradasi yang sesuai, penyertaan faktor pakan dalam prediksi
konsumsi bahan kering, serta prediksi produksi VFA dan pH ru-
men.
Pengembangan skema CHO untuk model CNCPS yang diuraikan
dalam Bab ini membagi CHO pakan dalam fraksi yang lebih akurat
berhubungan dengan karakteristik fermentasi rumen. Hal ini prak-
tis untuk menggunakan skema ini dalam mengukur fraksi CHO pa-
kan karena sebagian besar fraksi saat ini disediakan oleh beberapa
laboratorium komersial. Kekurangan dalam metodologi analitik
saat ini untuk mengukur beberapa fraksi (misalnya senyawa gula)
dan tingkat degradasi rumen yang sesuai membuat rumit karak-
terisasi CHO pakan secara sempurna. Namun demikian, pengem-
bangan fraksionasi yang diusulkan menyediakan kerangka kerja
untuk menerapkan informasi ini, dan dapat merangsang penelitian
untuk mengembangkan metode laboratorium yang tepat dalam

33 Fraksionasi Karbohidrat Pakan dan Pengembangannya


pengukurannya.

Daftar Pustaka

Alderman, G. 2001. A critique of the Cornell net carbohydrate and


protein system with emphasis on dairy cattle. 1. The rumen
model. J. Anim. Feed Sci. 10: 1–24.
Amin, A., 1980. Gas-chromatographic separation and identification
of organic-acids in beet molasses and date syrup. Nahrung. 24:
705–711.
Banks, J., J.S. Carson, B.L. Nelson, and D.M. Nicol. 2004. Discrete-
event System Simulation. Pearson Education, Delhi, India.
Boisen, S., S. Bech-Andersen, and B. Eggum. 1987. A critical view on
the conversion factor 6.25 from total nitrogen to protein. Acta
Agric. Scand. Sect. A: Anim. Sci. 37: 299–304.
Bond, D.R., B.M. Tsai, B.M., and J.B. Russell. 1998. The diversion of
lactose carbon through the tagatose pathway reduces the intra-
cellular fructose 1,6-bisphosphate and growth rate of Streptococ-
cus bovis. Appl. Microbiol. Biotechnol. 49: 600–605.
Boston, R.C., D.G. Fox, DC.J. Sniffen, E. Janczewski, R. Munson,
and W. Chalupa. 2000. The conversion of a scientific model
describing dairy cow nutrition and production to an industry
tool: the CPM dairy project. In: J.P. McNamara, J. France, D.E.
Beever (Eds.). Modelling Nutrient Utilization in Farm Animals.
CABI Publishing, Wallingford, UK. p. 361–377.
Boudon, A., J.L. Peyraud, and P. Faverdin. 2002. The release of cell
contents of fresh rye-grass (Lolium perenne L.) during digestion
in dairy cows: effect of the intracellular constituents, season
and stage of maturity. Anim. Feed Sci. Technol. 97: 83–102.
Broderick, G.A., and W.J. Radloff. 2004. Effect of molasses supple-
mentation on the production of lactating dairy cows fed diets
based on alfalfa and corn silage. J. Dairy Sci. 87: 2997–3009.
Callaway, T.R., S.A. Martin, J.L. Wampler, N.S. Hill, and G.M. Hill.

Karbohidrat Pakan Ruminansia 34


1997. Malate content of forage varieties commonly fed to cat-
tle. J. Dairy Sci. 80: 1651–1655.
Counotte, G.H.M., R . A . Prins, R.H.A.M. Janssen, and M.J.A. De-
Bie. 1981. Role of Megasphaera elsdenii in the fermentation of
dl-[2-13c]lactate in the rumen of dairy cattle. Appl. Environ.
Microbiol. 42: 649–655.
Dewar, W.A., R. Whittenbury, and P. McDonald. 1963. Hydrolysis
of grass hemicelluloses during ensilage. J. Sci. Food Agric. 14:
411–417.
Dijkshoorn, W. 1973. Organic acids and their role in ion uptake. In:
R.W. Bailey (Ed.). Chemistry and Biochemistry of Herbage. Aca-
demia Press. p. 163–188.
Dijkstra, J. 1994. Production and absorption of volatile fatty acids
in the rumen. Livest. Prod. Sci. 39: 61–69.
Dijkstra, J., H. Neal, D.E. Beever, and J. France. 1992. Simulation of
nutrient digestion, absorption and outflow in the rumen—
model description. J. Nutr. 122: 2239–2256.
Dimroth, P., and B. Schink. 1998. Energy conservation in the de-
carboxylation of dicarboxylic acids by fermenting bacteria.
Arch. Microbiol. 170: 69–77.
Doane, P.H., A.N. Pell, and P. Schofield. 1998. Ensiling effects on
the ethanol fractionation of forages using gas production. J.
Anim. Sci. 76: 888–895.
Engstrom, D.F., G.W. Mathison, and L.A. Goonewardene. 1992. Ef-
fect of beta-glucan, starch, and fiber content and steam vs dry
rolling of barley-grain on its degradability and utilization by
steers. Anim. Feed Sci. Technol. 37: 33–46.
Evans, J.D., and S.A. Martin. 1997. Factors affecting lactate and
malate utilization by Selenomonas ruminantium. Appl. Environ.
Microbiol. 63: 4853–4858.
Evans, M., N. Hastings, and B. Peacock. 2000. Statistical Distribu-
tions. John Wiley & Sons, Inc., NewYork.

35 Fraksionasi Karbohidrat Pakan dan Pengembangannya


Fox, D.G., L.O. Tedeschi, T.P. Tylutki, J.B. Russell, M.E. Van Am-
burgh, L.E. Chase, A.N. Pell, and T.R. Overton. 2004. The Cornell
net carbohydrate and protein system model for evaluating herd
nutrition and nutrient excretion. Anim. Feed Sci. Technol. 112:
29–78.
Gill, M., R.C. Siddons, and D.E. Beever. 1986. Metabolism of lactic
acid isomers in the rumen of silage-fed sheep. Br. J. Nutr. 55:
399–407.
Gottschalk, G. 1986. Bacterial Metabolism. 2nd Ed. Springer-Verlag,
NewYork.
Hall, M.B. 2002. Working with non-NDF carbohydrates with manure
evaluation and environmental considerations. In: Proceedings
of the Mid-south Ruminant Nutrition Conference, Arlington.
Hall, M.B. 2003. Challenges with nonfiber carbohydrate methods. J.
Anim. Sci. 81: 3226–3232.
Hall, M.B., and C. Herejk. 2001. Differences in yields of micro-
bial crude protein from in vitro fermentation of carbohy-
drates. J. Dairy Sci. 84: 2486–2493.
Hall, M.B., A.N. Pell, and L.E. Chase. 1998. Characteristics of neutral
detergent-soluble fiber fermentation by mixed ruminal mi-
crobes. Anim. Feed Sci. Technol. 70: 23–39.
Hall, M.B., W.H. Hoover, J.P. Jennings, and T.K.M. Webster. 1999.
A method for partitioning neutral detergent-soluble carbohy-
drates. J. Sci. Food Agric. 79: 2079–2086.
Hatfield, R.D., and P.J. Weimer. 1995. Degradation characteris-
tics of isolated and in situ cell wall lucerne pectic polysaccha-
rides by mixed ruminal microbes. J. Sci. Food Agric. 69: 185–
196.
Helton, J.C., and F.J. Davis. 2002. Illustration of sampling-based
methods for uncertainty and sensitivity analysis. Risk Anal.
22: 591–622.
Hintz, R.W., D.R. Mertens, and K.A. Albrecht. 1996. Effects of

Karbohidrat Pakan Ruminansia 36


sodium sulfite on recovery and composition of detergent fi-
ber and lignin. J. Assoc. Off. Assoc. Chem. Int. 79: 16–22.
Huhtanen, P. 1998. Supply of nutrients and productive responses
in dairy cows given diets based on restrictively fermented si-
lage. Agric. Food Sci. Finland. 7: 219–250.
Isaacson, H.R., F.C. Hinds, M.P. Bryant, and F.N. Owens. 1975. Effi-
ciency of energy utilization by mixed rumen bacteria in con-
tinuous culture. J. Dairy Sci. 59: 1645–1659.
Jones, B.A., R.D. Hatfield, and R.E. Muck. 1992. Effect of fermen-
tation and bacterial inoculation on lucerne cell walls. J. Sci.
Food Agric. 60: 147–153.
Knudsen, K.E.B., 1997. Carbohydrate and lignin contents of plant
materials used in animal feeding. Anim. Feed Sci. Technol. 67:
319–338.
Korhonen, M., A. Vanhatalo, T. Varvikko, and P. Huhtanen. 2000.
Responses to graded postruminal doses of histidine in dairy
cows fed grass silage diets. J. Dairy Sci. 83: 2596–2608.
Lanzas, C. 2003. Prediction of Digestion Kinetics Using Near In-
frared Reflectance Spectroscopy. Cornell University, Ithaca.
Law, A.M., and W.D. Kelton. 2000. Simulation Modeling and Analy-
sis. 3rd Ed. Tata McGraw-Hill Publishing Company, New Delhi.
Leiva, E., M.B. Hall, and H.H. Van Horn. 2000. Performance of dairy
cattle fed citrus pulp or corn products as sources of neutral de-
tergent-soluble carbohydrates. J. Dairy Sci. 83: 2866–2875.
Mansfield, H.R., M.D. Stern, and D.E. Otterby. 1994. Effects of beet
pulp and animal by-products on milk yield and in vitro fermen-
tation by rumen microorganisms. J. Dairy Sci. 77: 205–216.
Marounek, M., J. Simunek, and P. Brezina. 1988. Production of
acids from inulin by a mixed culture of rumen microorgan-
isms. Arch. Tierernahr. 38: 175–181.
Nilsson, U., R. Oste, M. Jagerstad, and D. Birkhed. 1988. Cereal fruc-
tans—in vitro and in vivo studies on availability in rats and hu-

37 Fraksionasi Karbohidrat Pakan dan Pengembangannya


mans. J. Nutr. 118: 1325–1330.
Nocek, J.E., and S. Tamminga. 1991. Site of digestion of starch in the
gastrointestinal-tract of dairy-cows and its effect on milk-yield
and composition. J. Dairy Sci. 74: 3598–3629.
NRC. 2001. Nutrient Requirements for Dairy Cattle. National Acad-
emy Press, Washington, D.C.
Oba, M., and M.S. Allen. 2003. Effects of corn grain conservation
method on feeding behavior and productivity of lactating dairy
cows at two dietary starch concentrations. J. Dairy Sci. 86: 174–
183.
Offner, A., and D. Sauvant. 2004. Comparative evaluation of the
molly, CNCPS, and LES rumen models. Anim. Feed Sci. Technol.
112: 107–130.
Offner, A., A. Bach, and D. Sauvant. 2003. Quantitative review of
in situ starch degradation in the rumen. Anim. Feed Sci. Tech-
nol. 106: 81–93.
Pitt, R.E., and A.N. Pell. 1997. Modeling ruminal pH fluctuations:
interactions between meal frequency and digestion rate. J.
Dairy Sci. 80: 2429–2441.
Pitt, R.E., J.S. Van Kessel, D.G. Fox, A.N. Pell, M.C. Barry, and P.J.
Van Soest. 1996. Prediction of ruminal volatile fatty acids and
pH within the net carbohydrate and protein system. J. Anim.
Sci. 74: 226–244.
Pollock, C.J. 1986. Fructans and the metabolism of sucrose in vas-
cular plants. New Phytol. 104: 1–24.
Remond, D., J.I. Cabrera-Estrada, M. Champion, B. Chauveau, R.
Coudure, and C. Poncet. 2004. Effect of corn particle size on
site and extent of starch digestion in lactating dairy cows. J.
Dairy Sci. 87: 1389–1399.
Richards, C.J., J.F. Pedersen, R.A. Britton, R.A. Stock, and C.R.
Krehbiel. 1995. In vitro starch disappearance procedure modifi-
cations. Anim. Feed Sci. Technol. 55: 35–45.

Karbohidrat Pakan Ruminansia 38


Roseler, D.K., D.G. Fox, L.E. Chase, A.N. Pell, and W.C. Stone. 1997.
Development and evaluation of equations for prediction of feed
intake for lactating holstein dairy cows. J. Dairy Sci. 80: 878–
893.
Russell, J.B., and P.J. Van Soest. 1984. In vitro ruminal fermenta-
tion of organic acids common in forage. Appl. Environ. Micro-
biol. 47: 155–159.
Russell, J.B., J.D. O’Connor, D.G. Fox, P.J. Vansoest, and C.J. Sniffen.
1992. A net carbohydrate and protein system for evaluating cat-
tle diets. 1. Ruminal fermentation. J. Anim. Sci. 70: 3551–3561.
Smith, D., and D. Grotelueschen. 1966. Carbohydrate in grasses. I.
Sugar and fructosan composition of the stem bases of several
northern-adapted grasses at seed maturity. Crop Sci. 6: 263–
266.
Sniffen, C.J., J.D. O’Connor, P.J. Van Soest, D.G. Fox, and J.B. Russell.
1992. A net carbohydrate and protein system for evaluating cat-
tle diets. 2. Carbohydrate and protein availability. J. Anim. Sci.
70: 3562–3577.
Sorensen, L.K. 2004. Prediction of fermentation parameters in grass
and corn silage by near infrared spectroscopy. J. Dairy Sci. 87:
3826–3835.
Strobel, H.J., and J.B. Russell. 1986. Effect of pH and energy spilling
on bacterial protein synthesis by carbohydrate-limited cultures
of mixed rumen bacteria. J. Dairy Sci. 69: 2941–2947.
Tothi, R., P. Lund, M.R. Weisbjerg, and T. Hvelplund. 2003. Effect
of expander processing on fractional rate of maize and barley
starch degradation in the rumen of dairy cows estimated using
rumen evacuation and in situ techniques. Anim. Feed Sci. Tech-
nol. 104: 71–94.
Van Kessel, J.S., and J.B. Russell. 1997. The endogenous polysac-
charide utilization rate of mixed ruminal bacteria and the ef-
fect of energy starvation on ruminal fermentation rates. J.

39 Fraksionasi Karbohidrat Pakan dan Pengembangannya


Dairy Sci. 80: 2442–2448.
Van Soest, P.J., 1994. Nutritional Ecology of the Ruminant, 2nd ed.
Cornell University Press, Ithaca, NY, USA. Vanvuuren, A.M.,
Vanderkoelen, C.J., Valk, H., Devisser, H., 1993. Effects of par-
tial replacement of ryegrass by low-protein feeds on rumen
fermentation and nitrogen loss by dairy-cows. J. Dairy Sci. 76,
2982–2993.
Voelker, J.A., Allen, M.S., 2003. Pelleted beet pulp substituted for
high-moisture corn. 1. Effects on feed intake chewing behav-
ior, and milk production of lactating dairy cows. J. Dairy Sci.
86, 3542–3552.
Weisbjerg, M.R., Hvelplund, T., Bibby, B.M., 1998. Hydrolysis and
fermentation rate of glucose, sucrose and lactose in the ru-
men. Acta Agric. Scand. Sect. A: Anim. Sci. 48, 12–18.
Weiss, W.P., 1994. Estimation of digestibility of forages by labora-
tory methods. In: Fahey, G.C., Collins, M., Mertens, D.R., Moser,
L.E. (Eds.), Forage Quality, Evaluation, and Utilization. ASA/
CSSA/SSSA, Madison, WI, pp. 644–681.
Woody, H.D. 1978. Influence of ration grain content on feedlot
performance and carcass characteristics. PhD Dissertation.
Michigan State University, Lansing, MI, USA.
Yang, W.Z., Beauchemin, K.A., Rode, L.M., 2000. Effects of barley
grain processing on extent of digestion and milk production of
lactating cows. J. Dairy Sci. 83, 554–568.

Karbohidrat Pakan Ruminansia 40


Mikroba Rumen
Pendegradasi Serat Pakan

Populasi ruminansia menempati proporsi yang signifikan dian-


tara spesies-spesies ternak lain di seluruh dunia, dan ruminansia
merupakan spesies ternak yang paling baik beradaptasi dalam me-
memanfaatkan dinding sel tanaman (Hungate, 1966). Hampir se-
tengah dari karbon global yang terikat setiap tahun dalam proses
fotosintesis diinkorporasikan ke dalam dinding sel tanaman se-
hingga menjadikannya sumber karbon paling terbarukan di bumi
(Enquist et al., 2003). Oleh karena itu, lignoselulosa menjadi kom-
ponen penting dalam pakan ruminansia, dan bahkan dalam sistem
pengolahan intensif diinkorporasikan ke dalam pakan karena nilai
ekonomisnya dan diperlukan untuk fungsi rumen yang sehat dan
normal. Peningkatan kemampuan mikroba rumen untuk
mendegradasi dinding sel tanaman secara umum sangat didamba-
kan dan biasanya mengarah pada peningkatan penampilan
produksi ternak (Fox et al., 1995).
Di negara-negara berkembang, ruminansia memiliki peran
penting dalam keberlanjutan kehidupan masyarakat desa, dan da-
lam banyak kasus merupakan sumber pendapatan utama. Usaha
pertanian skala kecil bergantung pada pertanian subsisten, dengan
sedikit atau tanpa input, tetapi hijauan pakan biasanya tersedia
dan umumnya menyediakan satu-satunya sumber nutrien bagi
ternak (Kelley dan Paterson, 1997; McDermott et al., 1999). Di nega-

41 Mikroba Rumen Pendegradasi Serat Pakan


Tabel 1. Hasil identifik asi GH pada k ultur mikroba rumen beserta familinya
Enzim a Famili GH b Mikroba rumen (famili GH)
Endocellulase 3.2.1.4 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 26, 44, 45, 48, 51, 61, 74 Bu tyrivi brio ¢brisolvens (5, 9)
Fibrobacter succinogenes (5, 51, 9)
Neocallimastix frontalis (5)
Neocallimastix patrici arum (5, 6)
Orpinomyces joyoni i (5)
Orpinomyces sp. (5, 6)
Piromyces equi (45, 5, 48)
Piromyces sp. E2 (9, 48)
Piromyces rhizin £ata (5)
Prevotella ruminicola (26, 5, 9, Nc)
Ruminococcus albus (5, 9)
Ruminococcus £avefaciens (44, 5, 9, Nc)
Exocellulase 3.2.1.91 5, 6, 7, 9, 10, 48 Neocallimastix patrici arum (6)
Orpinomyces sp. (6)
Piromyces rhizin £ata (6)
Piromyces sp. E2 (6)
L-Glucosidase 3.2.1.21 1, 3 Bu tyrivi brio ¢brisolvens (3)
Orpinomyces sp. (1)
Piromyces sp. E2 (3)
Prevotella albensis (3)
Prevotella ruminicola (3)
Ruminococcus albus (3)
Endoxylanase 3.2.1.8 5, 8,10,11, 16, 26, 43, 52, 62 Bu tyrivi brio ¢brisolvens (10)
Eubacterium rumin antium (10)
Fibrobacter succinogenes (10, 11)
Neocallimastix fron talis (11)
Neocallimastix patriciar um (10, 11)
Orpinomyces sp. (11)
Pir omyces commun is (11)
Piromyces sp. (11)
Prevotella bryantii B14 (10)
Prevotella ruminicola (10, 26, 5)
Pseudobutyrivibri o xylan ivoran s type strain: Mz5 (11)
Ruminococcus albus (11)
Ruminococcus £avefaciens (10, 11, 16)
L-Xylosidase 3.2.1.37 3, 10, 39, 43, 52, 54 Bu tyrivi brio ¢brisolvens (43)
Prevotella ruminicola (43)
K-Amylase 3.2.1.1 13, 14, 57 Bu tyrivi brio ¢brisolvens H17c (13)
Licheninase 3.2.1.73 16 Fibrobacter succinogenes (16)
Orpinomyces sp. PC-2 (16)
Mannanase 3.2.1.78 26 Piromyces sp. (26)
Prevotella ruminicola (26)
aIdentifikasi enzim-enzim sesuai IUPAC.
b
Identifikasi Enzim-enzim GH sesuai pada laman peladen Carbohydrate Active Enzyme server (http://afmb.cnrs-
mrs.fr/CAZY). Ini menyediak an basis data laman berbasis hirarki, yang secara sederhana untuk mendukung dentifik asi
organisme atau enzim.
Sumber: Krause et al. (2003).

ra-negara maju, hijauan pakan bahkan merupakan sumber nutrien


utama pada sebagian besar situasi. Sebagai contoh, di negara-
negara penghasil daging sapi, hijauan pakan merupakan satu-
satunya sumber nutrien, karena suplementasi tidak praktis dan

Karbohidrat Pakan Ruminansia 42


Tabel 2. Hasil identifikasi karbohidrat esterase (carbohydrate esterases, CE) pada kultur
mikroba rumen beserta familinya
Enzymea CEb Rumen microorganism (GH families)
Acetyl xylan esterase 3.1.1.72 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 Fibrobacter succinogenes (6)
Neocallimastix patriciarum (3, 2, 6)
Orpinomyces sp. (6)
Ruminococcus albus (1, 4)
Ruminococcus £avefaciens (1, 3)
Ruminococcus sp. (1)
Butyrivibrio ¢brisolvens (Nc)
Piromyces equi (1)
Feruloyl esterase 3.1.1.73 1 Orpinomyces sp. (1)
a
Identifikasi enzim-enzim sesuai IUPAC.
b Identifikasi Enzim-enzim CE sesuai pada laman peladen Carbohydrate Active Enzyme server

(http://afmb.cnrs-mrs.fr/CAZY). Ini menyediakan basis data laman berbasis hirarki, yang secara
sederhana untuk mendukung dentifikasi organisme atau enzim.
Sumber: Krause et al. (2003).

relatif mahal. Hal ini dapat terlihat di negara-negara yang men-


erapkan sistem pasture; penggembalaan ternak merupakan hal
yang umum, dan lignoselulosa merupakan sumber pakan utama.
Simbiosis antara ternak inang dan mikroba di dalam rumen
memungkinkan terjadinya sistem kerja sama, yang sangat ber-
manfaat bagi kedua pihak (Hungate, 1984). Rumen merupakan ru-
ang fermentasi lambung semu yang luas, dan menopang populasi
komunitas mikroorganisme yang sangat besar, dan dengan cepat
mengolonisasi dan mencerna partikel pakan. Polimer karbohidrat
tanaman tidak dapat dicerna oleh ternak monogastrik tetapi dapat
dihidrolisis dan difermentasi oleh berbagai mikroba di dalam ru-
men. Produk akhir fermentasi ini adalah asam lemak yang merupa-
kan bahan bakar metabolik utama bagi ruminansia, dan sel mikro-
ba yang merupakan sumber utama protein dan asam amino bila
diserap di saluran pencernaan bagian belakang. Salah satu dampak
dari hubungan simbiosis ini adalah terjadinya degradasi protein
pakan oleh mikroba rumen sebelum dicerna lebih lanjut oleh sis-
tem enzim ternak inang (Hungate, 1984).

43 Mikroba Rumen Pendegradasi Serat Pakan


Pencernaan serat pakan di rumen telah dipelajari selama ham-
pir seratus tahun terakhir, yang mendukung berbagai penerapan
inovasi dalam strategi manajemen pemberian pakan secara praktis
pada ruminansia. Sebagai contoh, kajian tentang peran penting
nitrogen untuk degradasi serat pakan oleh mikroba fibrobrolitik
rumen mendukung praktik suplementasi urea dalam pakan rumi-
nansia (Hungate, 1966), dan perlakuan fisik dan kimiawi terhadap
hijauan atau pakan berserat untuk meningkatkan daya cerna pakan
(Wilkins dan Minson, 1977). Salah metode yang paling efektif untuk
memanfaatkan informasi tentang mikrobiologi rumen dan pen-
cernaan adalah terciptanya model-model (dengan memanfaatkan
perangkat komputer) yang meramalkan kinerja produksi ternak
melalui karakteristik bahan-bahan pakan (Reichl dan Baldwin,
1975; Fox et al., 1995; NRC, 1996). Model-model ini memiliki kemam-
puan untuk mengembangkan formulasi pakan, meskipun model
tidak secara langsung memanipulasi pencernaan serat pakan dalam
rumen, namun mampu mengoptimalkan pemanfaatan nutrien-
nutrien langka oleh mikroba rumen. Model-model tersebut meru-
pakan contoh-contoh ideal tentang bagaimana kemajuan inkre-
mental (berkembang sedikit demi sedikit secara teratur) dalam me-
mahami proses-proses mikroba rumen sehingga fungsi rumen lebih
dapat dimengerti.
Ketidakmampuan mikroba rumen untuk mengekspresikan
seperangkat enzim yang cocok untuk memaksimalkan pencernaan
serat pakan sering digunakan sebagai latar belakang penelitian
dengan tujuan peningkatan fungsi mikroba rumen. Sebagai contoh,
aspek ini mengarahkan perlakuan dengan inokulasi bakteri ke da-
lam rumen yang ternyata sudah memiliki kemampuan 'unggul'.
Hungate (1966) secara dini membahas aspek ini, ternyata inokulasi
bakteri fibrolitik ke dalam rumen tidak berpengaruh secara nyata
terhadap pencernaan serat pakan. Namun, dugaan bahwa mikrobi-
ota rumen tidak memiliki aktivitas fibrolitik yang memadai masih

Karbohidrat Pakan Ruminansia 44


bertahan, dan sebagai fakta, modifikasi genetik bakteri rumen telah
menjadi fokus penelitian yang intensif selama beberapa tahun tera-
khir (Teather et al., 1997; Vercoe dan White, 1997). Sayangnya, seba-
gian besar upaya dalam memproduksi inokulan rumen belum mem-
buahkan hasil yang sepadan, karena secara in vivo belum mampu
menghasilkan perbaikan dalam pencernaan serat pakan di rumen.
Pemahaman tentang ekosistem mikroba rumen dengan cakupan
kompleksitasnya masih harus ditingkatkan, sehingga proporsi sub-
stansial mikroba rumen dapat dimengerti dalam upaya pening-
katan pencernaan serat pakan. Informasi tentang keterkaitan
peran fungi, protozoa dan bakteri penghuni rumen lebih masih ha-
rus lebih banyak dikaji, khususnya yang berhubungan dengan pros-
es degradasi fermentatif (Hespell et al., 1997; Klieve dan Bauchop,
1988; Klieve dan Swain , 1993). Pentingnya kompleksitas ini menjadi
nyata apabila hasil kajian tentang inokulasi mengungkapkan bahwa
organisme yang berpopulasi besar biasanya menghilang di bawah
tingkat yang dapat dideteksi dalam rumen dan bahwa protozoa ru-
men diduga memainkan peran penting dalam penurunan ini
(Krause et al., 2000; Krause et al., 2001).
Uraian Bab ini ditujukan untuk membahas hasil-hasil kajian
yang berupaya dalam peningkatan pencernaan serat pakan dalam
rumen. Aspek taksonomi mikroba rumen yang terlibat dalam pen-
cernaan serat pakan tidak dibahas, melainkan akan fokus pada
upaya-upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan pen-
cernaan serat pakan dengan inokulan, perlakuan dengan fungi dan
enzim eksogen, serta mengawalinya dengan pembaruan informasi
tentang dari glikosil hidrolase (glycosyl hydrolase, GH) (Tabel 1) dan
enzim-enzim lain (Tabel 2) yang diproduksi oleh mikroba rumen.

Enzim dan mikroba fibrolitik ruminal


Komunitas mikroba fibrolitik yang kompleks mengkatalisiskan
degradasi serat pakan dalam rumen. Beberapa kajian membahas

45 Mikroba Rumen Pendegradasi Serat Pakan


taksonomi komunitas organisme ini secara ekstensif, yang dapat
digunakan sebagai rujukan lebih lanjut (Hespell et al., 1997; Orpin
dan Joblin, 1997; Stewart et al., 1997; Williams dan Coleman, 1997).
Secara umum, bakteri fibrolitik utama adalah Gram-negatif Fibro-
bacter succinogenes, dan dua spesies bakteri Gram-positif, Ruminococ-
cus albus dan Ruminococcus flavefaciens. Butyrivibrio fibrisolvens ada-
lah kelompok bakteri Gram-positif yang sangat xilanolitik di rumen,
yang memiliki peran sentral dalam pencernaan serat pakan.
Prevotella tidak dianggap sebagai bakteri yang sangat selulolitik
tetapi menghasilkan berbagai xilanase. Terdapat sejumlah bakteri
yang kurang memiliki karakter selulolitik, seperti Eubacterium cel-
lulosolvens. Selain itu, fungi rumen anaerobik dianggap penting da-
lam pencernaan serat pakan, dan salah satu jamur yang paling ser-
ing dikaji adalah Neocallimastix sp. Terdapat juga bukti yang se-
makin nyata bahwa protozoa rumen mungkin memiliki kapasitas
pencerna serat pakan, meskipun belum banyak diketahui (Devillard
et al., 2003).

Glikosil hidrolase. Sebagian besar enzim yang terlibat dalam


degradasi selulosa dan hemiselulosa adalah GH (Tabel 1), yang
menghidrolisis ikatan glikosidik diantara karbohidrat, atau antara
karbohidrat dan molekul bukan karbohidrat (Henrissat dan Bai-
roch, 1993). Hidrolisis glukosida menghasilkan pembentukan gula
dan senyawa lain, dan 'hidrolase' menandakan bahwa ikatan C―O,
C―N, atau C―C dapat diputuskan selama hidrolisis. Karbohidrat
esterase (carbohydrate esterase, CE) disertakan dalam bahasan GH,
karena CE menghidrolisis ikatan C―O, meskipun menimbulkan be-
berapa masalah definisi (Tabel 2). Tahap hidrolisis melalui ka-
talisis asam secara umum, dan membutuhkan donor proton dan
nukleofil, atau basa (Henrissat dan Bairoch, 1993). Reaksi ini
menghasilkan retensi atau inversi karbon anomerik. Retensi GH
mempertahankan konfi-gurasi karbon anomerik melalui

Karbohidrat Pakan Ruminansia 46


Selulosa

Endoglukanase

Eksoglukanase Eksoglukanase

Selobiohidrolase

Selobiosa Selotriosa Glukosa

Rantai-rantai D-Glukosa

Eksoglukanase Eksoglukanase

β -Glukosidase
(Selobiosa)

Gambar 3. Sistem enzim selulase terdiri atas tiga komponen utama: endo-β-
glukanase (EC 3.2.1.4), ekso-β-glukanase (EC 3.2.1.91), dan β-glukosidase
(EC 3.2.1.21). Cara aksi ketiga komponen: (1) endo-p-glukanase, 1,4-β-D-
glukan glukanohidrolase, karboksimetil selulase: pengguntingan rantai-rantai
selulosa secara acak menghasilkan glukosa dan selo-oligosakarida. (2) ekso-
p-glukanase, 1,4-β-D-glukan selobiohidrolase: penyerangan ekso terhadap
ujung bukan mereduksi dari selulase dengan selobiosa sebagai struktur
primer. (3) β-Glukosidase, selobiosa: hidrolisis selobiosa menjadi glukosa
Sumber: Bhat et al. (2000)

47 Mikroba Rumen Pendegradasi Serat Pakan


mekanisme perpindahan ganda. Inversi GH membalikkan konfig-
urasi anomerik melalui perpindahan nukleofilik tunggal.
GH dan enzim-enzim yang terkait dapat diklasifikasikan ber-
dasarkan kesamaan urutan asam aminonya dengan menggunakan
analisis klaster hidrofobik daripada spesifisitas substrat sederhana
(Henrissat, 1991) (Tabel 1). Metode klasifikasi ini menghasilkan
semua anggota famili dengan mekanisme katalitik yang dilestari-
kan, meskipun anggota-anggota famili ini dapat bekerja pada sub-
strat yang berbeda (Davies dan Henrissat, 2002). Basis data CAZy
(Carbohydrate Active enZyme) (http://afmb.cnrs-mrs.fr/CAZY)
mengelola dan memperbarui informasi tentang GH dan klasifi-
kasinya melalui urutan asam amino. Saat ini terdapat 91 famili GH
yang ditentukan secara struktural, 65 famili glikosiltransferase, 13
famili polisakarida lyase, 13 famili karbohidrat esterase, dan 32
famili modul pengikat karbohidrat.
Pemecahan selulosa yang efisien di dalam rumen biasanya mem-
butuhkan sejumlah GH termasuk endoglikanase (endo-1,4-LD-
glukan hidrolase, EC 3.2.1.4), eksoglukosa (exo-1,4-LD-glukan
selobiohidrolase, EC 3.2 .1.91), dan L-glukosidase (LD-glukosidase,
EC 3.2.1.21), yang bekerja secara sinergis untuk menghidrolisis
selulosa (Forsberg et al., 1997). Model untuk sinergisme (Gambar 1)
antara tiga jenis enzim telah diusulkan menjadi serangan endog-
likanase pada daerah amorf serat selulosa, sehingga menciptakan
daerah bagi selobiohidrolase untuk melanjutkan ke daerah kristal
selulosa (Lynd et al., 2002). Selobiosa yang telah terbelah dan
selodekstrin rantai pendek kemudian diubah menjadi glukosa oleh
L-glukosidase untuk menghentikan penghambatan produk akhir.
Ketiga jenis GH telah diisolasi dari mikroorganisme selulolitik ru-
men yang berbeda. Terdapat 14 famili GH yang mengandung en-
doglikanase, dan mikroorganisme rumen sebagian besar termasuk
dalam famili 5 dan 9. Hal ini sangat tidak mengherankan, karena
famili-famili ini terdiri dari sebagian besar anggota, menunjukkan

Karbohidrat Pakan Ruminansia 48


bahwa banyak jenis organisme yang berbeda telah menemukan ini
sebagai bentuk terbaik untuk endo-selulase.
Diantara eksoglikanase-eksoglikanase yang diisolasi dari rumen,
enzim famili 6 yang beraktivitas ekso hanya ditemukan pada fungi
anaerobik (Tabel 9). Anggota famili ini memiliki mekanisme pem-
balik, berasal dari ujung rantai selulosa yang tidak mereduksi. En-
zim famili 7 bekerja dengan mekanisme retensi dan melanjutkan
dari ujung pereduksi rantai selulosa. Sampai saat ini belum ter-
dapat ekso-enzim famili 7 yang telah berhasil diisolasi dari
mikroorganisme rumen. Ke-tiadaan ini menjadi penting karena
dalam fungi aerobik seperti Trichoderma reesei dan Humicola insolens,
enzim-enzim ini dapat bertindak bersinergi dengan enzim ekso-
enzim famili 6 untuk menyerang serat selulosa dari kedua
ujung, dan dengan demikian meningkatkan tingkat pencernaan
(Boisset et al., 2001).
Xilanase memiliki aktivitas terhadap xilan, mengubahnya men-
jadi senyawa-senyawa gula penyusunnya dengan endo-β-1,4-
xilanase (1,4-β-D-xilan xilano-hidrolase, EC 3.2.1.8) yang menghi-
drolisis ikatan-ikatan 1,4-β-xilopiranosil dari xilan, dan β -
xilosidase (1,4-β-xilan xylohydrolase EC3.2.1.37) yang menghi-
drolisis xylo-oligosakarida yang dihasilkan oleh endoxilanase
(Tabel 1). Enzim-enzim ini telah ditemukan di rumen, sebagian be-
sar dari famili GH 10 dan 11. Serangkaian enzim, yang membelah
rantai samping senyawa gula atau menghilangkan gugus asetil dari
kerangka utama xilan, juga terlibat dalam degradasi xilan dan
dapat ditemukan di rumen (Tabel 10). Asetilksilan esterase ber-
tanggung jawab atas deasetilasi xilan dan xillo-oligosakarida.
Dengan 22 - 50% residu xilosa yang diasetilasi pada posisi O-2 dan/
atau O-3, asetilasi merupakan faktor penting dalam mempengaruhi
daya cerna dinding sel tanaman pakan pada ruminansia (Hespell
dan Cotta, 1995). Selain itu, arabinoxylan merupakan salah satu
hemiselulosa utama, terdiri atas struktur kerangka utama xilosa

49 Mikroba Rumen Pendegradasi Serat Pakan


yang terikat dengan β -1,4 pada rantai samping arabinosa. Arabino-
sa juga memiliki p-koumarat dan asam ferulat yang terikat ester,
dan hemiselulosa terkait dengan lignin melalui hubungan asam fer-
ulat (Gambar 3) (Bhat et al., 2000; Carpita dan McCann, 2000; Sun
dan Cheng, 2002).
Dengan penerapan teknologi sekuensing seluruh genome (whole
genome sequencing), tabulasi GH dalam beberapa hal menjadi muba-
zir, karena informasi sekuens setiap organisme mengandung se-
luruh komplemen enzim. Secara tradisional, gen-gen telah di-
kloning dan di-skrining pada berbagai substrat yang menunjukkan
jenis aktivitas GH tertentu, dan ketidakmampuan untuk
memulihkan gen dari kelas tertentu dapat berarti bahwa strategi
kloning dan skrining tidak berhasil. Solusi sederhana untuk masa-
lah ini adalah dengan menambang genom dan mengidentifikasi
gen-gen yang dimaksud. Satu-satunya masalah dengan solusi ini
adalah bahwa begitu banyak genom yang tidak memiliki homologi
urutan dengan gen yang diketahui, dan se-kitar 30-40% dari
kerangka pembacaan terbuka (open reading frame, ORF) tidak mem-
iliki homologi/fungsi yang dapat dibedakan. Terdapat peningkatan
jumlah ORF tanpa fungsi yang diketahui, atau ORFans, dan dalam
kasus bakteri rumen dapat mewakili GH yang belum di-kloning
(Siew dan Fischer, 2003).
Uraian berikut membahas GH dari bakteri Fibrobacter, Rumino-
coccus, Butyrivibrio, Prevotella, dan fungi rumen anaerobik, dan tidak
didasarkan pada hasil kajian teknik penambangan genom. Data
genom untuk bakteri rumen tersedia dalam basis data bertujuan
khusus seperti “sumber daya mikroba yang komprehen-
sif” (Peterson et al., 2001). Penelitian GH organisme rumen harus
selalu dilakukan dalam konteks urutan genom. Pembahasan selan-
jutnya sebagian besar didasarkan pada analisis fungsional yang
diandalkan dengan anotasi urutan genom, dan dua pendekatan ini
harus dilakukan secara paralel.

Karbohidrat Pakan Ruminansia 50


Gambar 4. Sebuah representasi jenis-jenis interaksi lignin yang berbeda pada
dinding sel tanaman. Ikhtisar jenis-jenis ikatan silang eter dan ester aromatik
antara karbohdrat dan lignin. Ikatan-ikatan adalah: 1= ikatan ester langsung,
2= ester asam hidroksinnamat, 3= eter asam hidroksinnamat, 4= jembatan
asam ferulat, 5= ikatan eter langsung, 6= jembatan diester asam
dehidrodiferulat, 7= jembatan diester-eter asam dehidroksiferulat.
Digambarkan ulang dari Carpita dan McCann (2000).

51 Mikroba Rumen Pendegradasi Serat Pakan


Fibrobacter succinogenes. Enzim-enzim fibrolitik dari F. suc-
cinogenes merupakan materi terbaik untuk dipelajari diantara bak-
teri-bakteri rumen (Tabel 1 dan 2). Pemurnian enzim pertama kali
ditandai dengan endoglikanase EG1 dan EG2 (McGavin dan
Forsberg (1998), selobiosidase distimulasi dengan klorida (Huang et
al., 1990), dan selodekstrinase (Huang et al., 1988). Secara kese-
luruhan, yang paling umum adalah kloning endoglikanase (Forsber
et al., 1997). Sebuah gen endoglucanase, cel-3, merupakan salah satu
yang pertama kali diurutkan (McGavin et al., 1989) dan setidaknya
tujuh aktivitas glukanase yang berbeda pada F. succinogenes galur
S85 telah dilaporkan (Forsber et al., 1997; Lynd et al., 2002). Per-
pustakaan genomik kemudian mengungkapkan gen endoglikanase
endB, celD, celE, celF, dan celG (Forano et al., 1994; Iyo dan Forsberg,
1994; Malbur Jr et al., 1996; Malburg Sr et al., 1997). Sebuah gen un-
tuk ikatan campuran L-glukanase (mlg) juga telah di-kloning dan
dicirikan (Teather dan Erfle, 1990). Setelah itu, dilaporkan gen en-
doglikanase famili GH 5, endA, dari galur S85 (Cho et al., 2000). Gen
selobiosidase (cedA), menyandikan selodekstrinase yang sebe-
lumnya dimurnikan, juga telah di-kloning dan dicirikan (Gong et
al., 1989). Galur S85 juga mengandung dua aktivitas β-glukosidase
(Buchanan dan Mitchell, 1992) dan aktivitas selobiase (Gong dan
Forsberg, 1993). Apabila gen dan informasi urutan turunan protein
diketahui, gen ini termasuk dalam famili GH 5 atau famili 9, dengan
pengecualian celF yang termasuk dalam famili 51.
Xilanase juga telah dimurnikan dari galur S85. Enzim pemecah
rantai cabang xilan endoksilanase 1, dan telah dicirikan fungsi gan-
da endoksilanase 2 (aktivitas xilanase dan endoglikanase) (Matte,
dan Forsberg, 1992). Empat gen xilanase telah dikloning dan diciri-
kan sepenuhnya. Gen xilanase xynC menyandikan dua domain
katalitik, keduanya memiliki aktivitas xilanase GH famili 11
(Paradis et al., 1993). Gen xynB menyandikan domain GH famili 10

Karbohidrat Pakan Ruminansia 52


fungsi ganda, dengan aktivitas xilanase dan endoglikanase (Cheng
et al., 1997). Fragmen-fragmen genomik dari F. succinogenes galur
S85 yang me-ngandung gen GH famili 10 xilanase juga telah
didepositkan di GenBank oleh dua kelompok. Sebuah fragmen DNA
6688-bp dari F. succinogenes S85 menyandikan empat ORF yang
menunjukkan homologi dengan GH (celJ, cel5K, xyn10L, dan xyn10M)
dan menunjukkan akti-vitas xilanase pada pelat xilan RBB
(GenBank AY007248 (Shaw et al., 2000)). Fragmen lain yang tumpang
tindih (7223 bp) diurutkan dan tiga gen teridentifikasi. Satu mem-
iliki homologi dengan xilanase (xynD) yang identik dengan xyn10L,
dan xynE yang identik dengan xyn10M, sebelumnya dilaporkan se-
bagai xynB (GenBank AF180368) (Ha et al., 1999).
Gen-gen glukanase juga telah diisolasi dari F. succinogenes galur
AR1, SD35, 135 dan BL2. Tiga glukanase di-kloning dari AR1, dan
satu, endAFS, dicirikan secara rinci dan ditemukan sebagai sebuah
famili 9 GH endoglikanase (Cavicchioli et al., 1991; Cavicchioli dan
Watson, 1991a; Cavicchioli dan Watson, 1991b). Galur SD35 berisi
famili 51 GH endoglukanase (end1) (Ozcan et al., 1996), sedangkan
galur BL2 memiliki famili 9 GH endoglukanase (egC) (Bera et al.,
1996). Sebuah endoglikanase (end3) (Lin dan Stahl, 1995) dan xi-
lanase (Hu et al., 1991) telah dijelaskan dalam galur F. succinogenes
135. Gen glukanase dari galur ini tampaknya berbeda dari glukanase
Galur S85 (Flint et al., 1990; Forsberg et al., 1997).

Ruminococcus albus. Sebagian besar GH telah diisolasi dari galur R.


albus (Tabel 1 dan 2). R. albus galur F-40 dilaporkan sangat menarik
perhatian karena memiliki tujuh endoglikanase yang berbeda,
selobiosidase, serta dua β-glukosidase (Forsberg et al., 1997; Miyagi
et al., 1998). Pemurnian enzim dan kajian pencirian lanjut men-
gidentifikasikan dua endoglikanase, selobiosidase (Ohmiya et al.,
1982), dan sebuah β-glukosidase (Ohmiya et al., 1985). β-glukosidase
ini kemudian di-kloning dan diurutkan (Ohmiya et al., 1990). Selan-

53 Mikroba Rumen Pendegradasi Serat Pakan


jutnya, GH famili 5 di-kloning serta diurutkan (egV), dan berisi do-
main dockerin yang diduga terlibat dalam perakitan selulosoma
(Ohara et al., 2000). Ini diikuti dengan isolasi kompleks selulosoma
galur F-40 (Ohara et al., 1998) serta demonstrasi aktivitas selulase
dan/atau xilanase pada 11 dari setidaknya 15 protein yang terdiri
atas senyawa kompleks tersebut.
Enzim pendegradasi serat pakan dan gen yang terkait dari galur
R. albus diisolasi di Australia, yaitu AR67 (Ware et al., 1990; Ohara et
al., 1998). Galur khusus ini sangat menarik karena merupakan salah
satu galur paling aktif yang pernah dikulturkan (Krause et al., 1990).
Sebuah gen yang menyandikan ekso-1,4-β-D-glukosidase dari R.
albus AR67 diekspresikan pada Escherichia coli. Enzim hasil kloning
terletak di dalam sitoplasma (40%) dan menempel pada komponen
sel yang tidak larut (48%). Setelah pemurnian untuk homogenitas,
enzim dibuktikan spesifik terhadap selulosa dengan konfigurasi β-D
-glukopiranosil dan tidak aktif terhadap α-glukosida, laktosida dan
xilosida.
Galur SY3 dari R. albus merupakan pendegradasi dinding sel
tanaman lain yang sangat aktif (Krause et al., 1990). Pembandingan
antara jenis liar SY3 dengan mutan SY3-defisien adhesi dilakukan
untuk menentukan protein subseluler mana yang diduga terlibat
dalam proses adhesi dan kemungkinan sebuah senyawa kompleks
selulo-soma. Mutan cacat-adhesi menghasilkan keseluruhan aktivi-
tas glikanase yang lebih sedikit (5-10 kali lipat), dan 'aktivitas selu-
lase sejati' tampaknya sepenuhnya terikat pada fraksi-fraksi mem-
bran sel. Dua GH famili 4, endoglukanase EGA (celA) dan EGB (celB),
juga telah di-kloning dari dan diurutkan dari R. albus SY3 (Poole et
al., 1990; Miron et al., 2001).
R. albus galur 8 dilaporkan memiliki aktivitas xilanase (Greve et
al., 1984). Xilanase 1 dan 2 telah berhasil dimurnikan dan dianggap
berinteraksi secara sinergis dengan arabinofuranosidase selama
degradasi dinding sel alfalfa (Greve et al., 1984). R. albus galur 7

Karbohidrat Pakan Ruminansia 54


mengandung sebuah β-glukosidase, sebuah endoglikanase, dan tiga
xilanase (Woo et al., 1995; Nagamine et al., 1997; Nakamura et al.,
2002). Gen xynA dari galur 7 menyandikan sebuah protein dengan
tiga domain: domain katalitik famili GH, domain stabilisasi xilanase
yang mirip dengan R. flavefaciens, dan domain yang memiliki ke-
samaan sekuens dengan deasetilase (Nakamura et al., 2004). Gen
xynB mengkodekan protein dari 680 residu asam amino, termasuk
domain katalitik GH famili 11, daerah pengulangan asparagine-
tirosin, dan domain C-terminal yang menunjukkan homologi
dengan domain E Clostridium stercorarium xynY (Nagamine et al.,
1997). Gen xynC juga menunjukkan diskret-diskret: sebuah domain
terminal-N yang homolog dengan xilanase dari Bacillus subtilis dan
Erwinia chrysanthemi, sebuah daerah yang homolog dengan domain
termostabilisasi C. stercorarium xynY dan sebuah linker sequence yang
mengandung 20-residu pengulangan asparagin (Nagamine et al.,
1997). Spesies Ruminococcus yang belum dikenali juga ditemukan
mengandung gen xilanase (xyn1) dan termasuk dalam famili 11
GH, serta menunjukkan homolog dengan gen xilanase R. flavefa-
ciens, xynE (Aurilia et al., 2000) dan gen xilanase R. albus 7 (xynB)
(Nakamura et al., 2002).

Ruminococcus flavefaciens. Galur R. flavefaciens mengandung GH


yang umum (Tabel 1 dan 2). R. flavefaciens FD-1 memiliki aktivitas
eksoglucanase (Gardner et al., 1987), selodekstrinase (Wang dan
Thomson, 1990), dan setidaknya 4 glukanase (Doerner dan White,
1990; Wang et al., 1993; Vercoe et al., 1995; Howard dan White,
1998;). Tiga dari gen glukanase ini (celB, celD dan celE) dapat di-
induksi, sedangkan satu glukanase (celC) dan selodekstrinase FD-1
(celA) diekspresikan secara konstitutif (Gardner et al., 1987; Do-
erner dan White, 1990). Galur 17 memiliki endoglikanase dalam GH
famili 5 (endA) (Cunningham et al., 1991)), dan gen endoglikanase
GH famili 44 yaitu endB (Rincorn et al., 1991). R. flavefaciens mampu

55 Mikroba Rumen Pendegradasi Serat Pakan


mendegradasi xilan, dan empat gen xilanase telah diidentifikasi.
Gen xynA dan xynD menyandikan xilanase dengan domain katalitik
ganda (Flint et al., 1993; Zhang et al., 1994). Meskipun domain xynA
menunjukkan spesifitas substrat yang serupa, domain tersebut ter-
masuk dalam famili GH yang berbeda; domain A termasuk dalam
GH famili 11, sedangkan domain C dimiliki oleh GH famili 10 (Zhang
et al., 1994). Demikian pula, 2 domain xynD termasuk dalam famili
GH yang berbeda: domain A adalah famili 11 xilanase, sedangkan
domain B adalah famili 16 glukanase (Flint et al., 1993). Di sisi lain,
xilanase R. flavefaciens 17, xynB, menyandikan sebuah enzim dengan
domain katalitik famili GH tunggal (Zhang et al., 1994).
Tiga enzim yang membawa domain esterase telah diidentifikasi
pada selulolitik anaerob rumen R. flavefaciens 17 (Aurilia et al.,
2000). Produk gen cesA mencakup domain untuk N-terminal aset-
ilesterase dan domain C-terminal tak teridentifikasi, sedangkan
enzim xynB yang dicirikan sebelumnya (781 asam amino) termasuk
domain asetilesterase internal di samping domain katalitik N-
terminal xilanase. Gen ketiga, xynE, diduga menyandikan enzim
multidomain dari 792 asam amino, termasuk domain famili 11 xi-
lanase dan domain C-terminal esterase. Sebuah gen GH famili 3,
xylA, telah diidentifikasi dalam sebuah fragmen DNA genom 11-kb
dari R. flavefaciens 17 (Aurilia et al., 2000) yang juga membawa dua
regulator tipe AraC, xynD, dan isomerase xylose putatif dan gen-gen
tipe ABC pengangkut senyawa gula.
Sebuah perpustakaan fag (phage library) yang dikonstruksikan
dari galur 186 genomik DNA menghasilkan sebuah klon
pendegradasi karboksimetilselulosa (CMC) dan mengandung em-
pat ORF sesuai dengan sebuah endoglikanase (renA), sebuah
eksoglikanase (rex), sebuah β-glukosidase, dan sebuah xilanase
(rxy) (Asmundson et al., 1990). Protein terprediksi yang disandikan
oleh renA memiliki daerah yang kaya dengan prolin-treonin-serin
N-terminal, domain pusat katalitik dan domain pengikat terminal-

Karbohidrat Pakan Ruminansia 56


C. Exoglucanase yang disandikan oleh rex memiliki daerah katalitik
yang terletak di N-terminus di-ikuti oleh daerah yang kaya prolin-
treonin-serin dan domain pengikat putatif di C-terminus.

Butyrivibrio / Pseudobutyrivibrio. Keberadaan galur Butyrivibrio di


rumen secara genetik beragam, dan telah diklasifikasi ulang
dengan penciptaan genus baru yaitu Pseudobutyrivibrio (Kopecny et
al., 2001). Keragaman filogenetik dari kumpulan Butyrivibrio/
Pseudobutyrivibrio dicerminkan oleh sejumlah besar galur yang te-
lah dideteksi GH-nya (Tabel 1 dan 2) (Dalrymple et al., 1999). Mes-
kipun galur selulolitik Butyrivibrio telah diisolasi di masa lalu
(Shane et al., 1969), aktivitas selulolitiknya sering kali hilang pada
subkultur di laboratorium. Bagaimanapun Butyrivibrio merupakan
pengguna xilan yang efisien (Hespell et al., 1987; Sewell, et al., 1987).
Sejalan dengan itu, banyak sekali gen xilanase yang telah diiso-
lasi dan hanya sedikit yang dijelaskan untuk endoglikanase. Galur
B. fibrisolvens H17c (SA) mengandung GH famili 5 endoglukanase
(endI 93) (Berger et al., 1989), GH famili 9 selodekstrinase (cedI)
(Berger et al., 1990), GH famili 3 β-glukosidase (bglA) (Lin dan Thom-
son, 1991a) dan tiga gen xilanase (xynB) (Lin dan Thomson, 1991b),
xynE dan xynF ((Dalrymple et al., 1999). Galur B. fibrisolvens A46
menghasilkan GH famili 5 glukanase (celA) (Hazlewood et al., 1990),
sementara GS113 menghasilkan enzim GH famili 43 yang menarik
dengan aktivitas xylosidase dan arabinofuranosidase (Sewell et al.,
1989; Utt et al., 1991). Rumbak et al. (1991) melakukan kloning dan
mengurutkan gen α-amylase (amyA) dari galur H17c, dan
menemukan bahwa ini berbagi homologi dengan amilase prokari-
otik dan eukariotik dari GH famili 13. Mannarelli et al. (1990)
melakukan kloning dan pengurutan sebuah gen xilanase (xynA) dari
galur 49 dan menunjukkan melalui studi hibridisasi bahwa gen se-
rupa terkandung dalam galur H17c dan CF3. Selanjutnya, Dalrymple
et al. (1999) menggunakan primer polymerase chain reaction (PCR)

57 Mikroba Rumen Pendegradasi Serat Pakan


yang dirancang untuk membedakan famili-famili gen xilanase da-
lam rangka meneliti genotip xilanase pada 28 galur Butyrivibrio. Ke-
lompok peneliti ini menemukan 11 genotipe xilanase yang baru,
semuanya termasuk dalam GH famili 10. Setelah itu, beberapa xi-
lanase telah dilaporkan dari galur Pseudobutyrivibrio xylanovorans
Mz5 (Zorec et al., 2001). Galur Mz5 memiliki aktivitas xi-
lanolitik yang tinggi dan fraksi yang terkait sel menunjukkan 14
aktivitas xilanase pada zimogram elektroforesis gel natrium dodesil
sulfat-poliakrilamida mulai dari massa molekul berkisar dari 26,7
kDa sampai 145 kDa. Dua xilanase ini (99,8 dan 77,4 kDa) menunjuk-
kan aktivitas CMCase yang lemah dan menunjukkan beberapa ak-
tivitas endoglikanase. Ekspresi xilanase umumnya dapat diinduksi
oleh xilan yang diekstrak dari oat, tetapi dua xilanase menunjuk-
kan ekspresi dengan tingkat yang rendah apabila glukosa,
selobiosa, maltosa dan bahan pati mudah larut digunakan sebagai
sumber karbon. Selanjutnya, sekuens xilanase parsial (xynT) disim-
pan di GenBank (Cepeljnik et al., 2003) dan digolongkan dalam GH
famili 11.

Prevotella. Prevotella mampu memanfaatkan berbagai macam


polisakarida, dan dianggap sebagai kontributor penting untuk
degradasi xilan di rumen (Hespell et al., 1997) dan kisaran GH-nya
telah diidentifikasi (Tabel 1 dan 2). Prevotella bryantii mengandung
GH famili 26 endoglukanase, yang terkenal karena adanya
pergeseran kerangka di daerah penyandiannya (Vercoe dan Gregg,
1992). Matsushita et al. (1991) mengurutkan gen endoglikanase
(celA) yang menyandikan enzim, dan secara substansial homologi
dengan anggota GH famili 26 selulase. Selain itu juga telah dicirikan
glukosidase yang terikat membran dengan aktivitas selodekstrinase
dan siano-glikosidase (Wulff-Strobbel dan Wilson, 1995). Enzim ini
tampaknya memiliki aktivitas ekso-1,4-β-glukosidase karena me-
nyerang selodekstrin pada ujung yang tidak mereduksi. Enzim ini

Karbohidrat Pakan Ruminansia 58


mampu membelah glikosida sianogenik, amigdalin dan prunasin,
dan diduga berperan dalam toksisitas sianida pada ruminansia.
Vercoe dan White (1997) mengidentifikasi sebuah klon fag dari per-
pustakaan genom B14 yang mengekspresikan aktivitas endog-
likanase dan mannanase. Subklon yang berisi fragmen EcoRI di-
urutkan, dan teridentifikasi enam ORF: ORF 1 dan 2 tidak memiliki
homologi yang signifikan dengan setiap urutan basis data, ORF 3
memiliki daerah homologi dengan protein pengikat selulosa
(cellulose binding protein, CBP) dari Clostridium cellulovorans, ORF 4
dan 5 menyandikan dua β-1,4-endoglikan yang terkait, sedangkan
ORF 6 menyandikan mannanase. Urutan-urutan gen dari up- and
down stream dari ORF menunjukkan bahwa gen ini ditranskripsikan
sebagai sebuah unit tunggal.
Gen xilanase dari Prevotella ruminicola 23 (Whitehead, 1993)
dengan aktivitas endoglikanase memiliki domain katalitik yang me
-miliki kesamaan homologi dengan xylanase dari B. fibrisolvens, R.
flavefaciens, dan Clostridium thermocellum. Sebuah perpustakaan fag
dari P. ruminicola (bryantii) B14 yang di-skrining untuk aktivitas
xilanase mengungkapkan empat daerah kromosom yang terkait
dengan aktivitas (Gasparic et al., 1995a). Satu klon menyandikan
endoksilanase, dengan aktivitas p-nitrofenil (pNP)-xylosidase dan
pNP-arabinofuranosidase. Urutan DNA dari klon ini (Gasparic et al.,
1995b) terdiri dari dua gen, xynA yang bertanggung jawab atas ak-
tivitas endoksilanase, dan xynB yang menyandikan aktivitas xilo-
sidase (menggunakan mekanisme eksoksilanase), dan aktivitas
arabinofuranosidase yang lemah. Dua xilanase lainnya telah diciri-
kan yaitu xynC dari galur B14, dan sebuah galur D31d xilanase (Flint
et al., 1997). Xilanase ini memiliki struktur yang sangat tidak biasa
dengan domain katalitiknya yang terinterupsi oleh kemungkinan
sekuens bukan penyandian. Urutan gen selulase dari P. ruminicola
galur 23 yang menunjukkan homologi dengan enzim GH famili 5
juga telah dimasukkan pada GenBank AB022865. Pencirian lebih

59 Mikroba Rumen Pendegradasi Serat Pakan


lanjut dari klaster gen P. bryantii B14 yang mengandung xynA dan
xynB mengidentifikasikan gen-gen tambahan (Miyazaki et al., 2003):
xynD yang tampaknya terlibat sebagai transporter zat terlarut, xynE
yang me-miliki homologi dengan gen yang mengkode asilhidrolase
dan aril- esterase, xynF yang berbagi homologi dengan β-
glukuronidase, dan xynR, protein pengatur multidomain yang dapat
berfungsi untuk mengaktifkan cluster gen xynABD dan karenanya
ekspresi xilanase.

Fungi rumen anaerobik


Peran nyata fungi anaerobik di rumen masih menjadi aspek
yang belum sepenuhnya terselesaikan (Hespell et al., 1997), tetapi
keter-sediaan informasi tentang GH dari fungi rumen menunjukkan
peningkatan sebagaimana dibuktikan dengan berbagai enzim yang
telah ter-identifikasi (Tabel 9 dan 10). Fungi rumen anaerobik men-
golonisasikan jaringan tanaman pakan, dan secara nyata
mendegradasi jaringan tanaman terlignifikasi yang tidak terde-
gradasi oleh spesies mikroba lain (Lowe et al., 1987). Laju pertum-
buhan dan degradasi fungi jauh lebih lambat daripada laju pertum-
buhan dan degradasi bakteri, dan kemampuannya untuk bertahan
terbatas karena laju per-tumbuhannya jauh lebih rendah daripada
laju pengenceran rumen. Fungi mampu mendegradasi hingga 34%
lignin kandungan jaringan tanaman, dapat menembus jaringan
tanaman sebagai akibat dari pertumbuhannya yang lambat
(McSweeney et al., 1994), memiliki berbagai enzim yang sangat ak-
tif, dan merupakan satu-satunya organisme rumen yang diketahui
dengan aktivitas selulase exo-acting (Forsber et al., 1997). Peran
penting fungi selanjutnya didukung oleh sinerginya dengan bakteri
rumen (Dehoriity dan Tirabasso, 2000). Ko-kultur metanogenik
dari fragmen batang non-autoklaf dapat di-degradasi lebih ek-
stensif oleh isolat Neocallimastix frontalis dan Piromyces dibanding-
kan dengan isolat Caecomyces dan isolat N. frontalis serta Piromyces.

Karbohidrat Pakan Ruminansia 60


Ini menunjukkan laju degradasi batang tanaman yang terbesar. In-
teraksi antara F. succinogenes dan ko-kultur fungi metanogenik yang
tumbuh pada batang rye grass menunjukkan, N. frontalis mengham-
bat F. succinogenes. Sebaliknya, spesies Caecomyces yang tumbuh
dengan F. succinogenes dapat meningkatkan degradasi batang tana-
man. Ini menunjukkan bahwa F. succinogenes dan Caecomyces spp.
diduga memiliki aktivitas fibrolitik yang komplementer (Joblin et
al., 2002).
Neocallimastix spp. merupakan fungi rumen yang paling baik un-
tuk dipelajari dan sangat aktif menyerang selulosa kristalin. Wood
et al. (1986) melaporkan bahwa aktivitas Neocallimastix spp. terhadap
selulosa kristalin oleh RK21 bahkan lebih tinggi daripada T. reesei
C30. Perpustakaan cDNA yang bermaterikan Neocallimastix patri-
ciarum CX diciptakan untuk mengungkap selulase (Xue et al.,
19912). Catatan empat cDNA diidentifikasikan: celA, celB, celC, dan
celD. CelA merupakan selobiohidrolase yang menghidrolisis selulosa
kristalin, sedangkan celB dan celD memiliki aktivitas endoglikanase.
cDNA yang paling menarik adalah celD yang memiliki banyak ak-
tivitas antara lain endoglikanase, likeninase, selobiosidase, dan xi-
lanase. Beberapa peneliti juga telah mengidentifikasi selobiohidro-
lase (celA) (Denman et al., 1996), glukanase (celB) (Zhou et al., 1994),
glukosidase [122], L-glukosidase (Wilson et al., 1994), dan selobiase
(Li dan Calza, 1991) dari fungi rumen.
Aktivitas selulase juga terkait dengan Orpinomyces joyonii SG4
anaerobik yang memiliki aktivitas selulase secara signifikan (Qiu et
al., 2000). Dua selulase, celB29 dan celB2, diisolasi dari perpustakaan
cDNA. Enzim yang di-kloning memiliki aktivitas tinggi terhadap β-
glukan tanaman barley, lumut dan CMC, tetapi tidak untuk Avicel,
laminarin, pachyman, xilan dan pullulan. Selain itu, celB29 dan celB2
menunjukkan aktivitas melawan pNP-β-D-selobiosida dan pNP-β-D-
selopentaosida, tetapi tidak terhadap pNP-β-D-glukopiranosida
dengan aktivitas preferensial terhadap pNP-β-D-selotriosida (Qiu et

61 Mikroba Rumen Pendegradasi Serat Pakan


al., 2000). celF diidentifikasikan dari perpustakaan cDNA Orpinomyces
PC2 yang ditunjuk cDNA menyandikan selulase dengan sebuah
sinyal peptida, modul pengikat karbohidrat (carbohydrate-binding
module, CBM), sebuah penaut (linker), dan sebuah domain katalitik
yang mirip dengan celA dari N. patriciarum (Chen et al., 2003). Do-
main katalitik ini juga homolog dengan celA dan celC dari fungi yang
sama dengan domain penambatan teminal N (N-terminal docking)
untuk enzim kompleks selulase-hemiselulase.
Xilanase juga telah di-kloning (xynA dan xynB) dari N. patriciarum
(Gilbert et al., 1992). xynA menyandikan enzim dengan dua domain
katalitik dan sangat aktif (Gilbert et al., 1992). Menariknya, bentuk
enzim yang terpotong ini memiliki aktivitas setidaknya lima kali
lipat lebih tinggi daripada enzim aslinya. xynB menyandikan aktivi-
tas xilanase dan selobiosidase (Gilbert et al., 1992). Data serupa
diperoleh pada Piromyces sp. (Fanutti et al., 1995).
Hijauan dengan kandungan xilan tinggi yang mengandung hemi-
selulosa dan sebanyak 22±50% residu xilosa diasetilasi pada posisi O-
2 dan/atau O-3, dan asetilasi merupakan faktor penting yang
mempengaruhi daya cerna bahan dinding sel tanaman pada rumi-
nansia (Fry et al., 1992; York et al., 1996). Deasetilasi kimiawi xilan
dapat dibuktikan secara mudah, dicapai dengan menggunakan laru-
tan alkali encer dan secara signifikan meningkatkan daya cerna
selulosa oleh enzim (Teixeira et al., 2000). Beberapa hasil penelitian
(Biely et al., 1985; McDermid et al., 1990) menyarankan bahwa
deasetilasi enzimatis mungkin merupakan prasyarat untuk
pemecahan asetilxilan atau dapat meningkatkan laju hidrolisisnya
oleh enzim lain.
Asetilesterase mampu menghilangkan gugus O-asetil dari residu
xilosa pada xilan, dan oligomer-oligomer xillo- diklasifikasikan se-
bagai asetilxilan esterase (Biely et al., 1985a; (Biely et al., 1985b).
Meskipun tidak semua esterase yang menghidrolisis substrat sema-
cam itu adalah asetilxilan esterase, tampaknya pada tingkat kondisi

Karbohidrat Pakan Ruminansia 62


sintesis enzim pengurai serat pakan yang tinggi, sebagian besar
esterase yang mampu menghidrolisis naftil asetat (a-NA) atau sen-
yawa yang serupa, sangat diduga merupakan asetilxilan esterase.
Terbatasnya jumlah kloning asetilxilan esterase yang diisolasi seba-
gian disebabkan oleh kesulitan dalam menemukan substrat yang
sesuai untuk skrining perpustakaan klon asetilxilan esterase. Na-
mun, sejumlah asetilxilan esterase telah dilaporkan memiliki ak-
tivitas melawan a-NA dan substrat buatan lainnya (McDermid et al.,
1990).
Aktivitas asetilesterase dan cinnamoyl ester hydrolase terkan-
dung dalam N. patriciarum (Cybinski et al., 1999; Dalrymple et al.,
1997). Tidak ada satu pun enzim yang memiliki aktivitas hidrolase
ester cinnamoyl secara murni, tetapi terdapat dua enzim yang
memiliki akti-vitas asetilxilan esterase, dan bnaA, bnaB, serta bnaC
menyandikan protein dengan beberapa domain yang berbeda. Pen-
gulangan ujung karboksi di bnaA dan bnaC homolog dengan domain
penambatan protein (protein-docking domains) pada enzim lain dari
spesies Neocallimastix dan fungi anaerob lainnya, yaitu Piromyces sp.
Domain kata-litik bnaB dan bnaC merupakan anggota hidrolase pa-
da daerah aktif Ser/His (Upton dan Buckley, 1995). Feruloyl dan p-
coumaroyl esterase juga telah dimurnikan dari Neocallimastix galur
MC2 (Borneman et al., 1991; Borneman et al., 1991), dan aktivitas
asetilesterase ekstraseluler yang signifikan dapat dideteksi pada
strain MC2 (Borneman et al., 1990).

Penempelan pada selulosa dan bukti adanya selulosoma


Sifat umum penempelan selulosa. Bakteri pemecah serat dan
fungi biasanya menempel pada permukaan dinding sel tanaman
dan kurangnya pemahaman dalam memanfaatkan proses ini diduga
menjadi salah satu penyebab sulitnya penciptaan mikroorganisme
ino-kulan di rumen (Fonty et al., 1983; Fonty et al., 1988; Gregg et al.,
1998). Hubungan erat dengan dinding sel tanaman pakan telah

63 Mikroba Rumen Pendegradasi Serat Pakan


berkembang dalam hubungannya dengan struktur molekul yang
canggih, yaitu selulosoma, yang memfasilitasi proses penempelan
(adherence) (Gambar 4). Selulosoma merupakan struktur ekstra-
seluler, dan muncul dalam banyak kasus penting untuk degradasi
selulosa kristalin dan polisakarida dinding sel tanaman pakan ter-
tentu (Schwarz, 2001). Susunan selulosoma juga meningkatkan
penempelan pada dinding sel tanaman pakan, dan menyediakan
individu sel mikroba dengan keunggulan kompetitif secara lang-
sung dalam pe-manfaatan produk hidrolisis terlarut (Schwarz,
2001). Fungi anaerob tampaknya juga memiliki mesin semacam
selulosoma yang terlibat dalam penempelan terhadap selulosa
(Freelove et al., 2001; Steenbakkers et al., 2001).
Penempelan bakteri pada selulosa dalam ekosistem rumen dapat
dibagi menjadi empat fase pada F. succinogenes, R. fllavefaciens, dan
R. albus (Miron et al., 2001), tetapi diduga terdapat banyak tahapan
yang serupa pada fungi. (1) Pengangkutan bakteri non-motil ke
substrat tanaman pakan. (2) Perlekatan non-spesifik bakteri ke dae-
rah yang tersedia di dinding sel tanaman pakan (Miron et al., 2001).
(3) Perlekatan spesifik melalui perlekatan atau pembentukan ligan
dengan substrat, yang dapat difasilitasi oleh struktur-struktur sep-
erti senyawa kompleks selulosoma, koneksi fimbrial, epitop
glikosilasi dari CBP atau glikokaliks, dan CBM (Miron et al., 2001).
(4) Proliferasi bakteri yang menempel pada jaringan tanaman pa-
kan yang ber-potensi dapat dicerna (Miron et al., 2001). Perlekatan
bakteri tidak langsung dan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor
termasuk: (1) umur bakteri, kondisi glikokaliks, dan persaingan
dengan mikroorganisme lain (Miron et al., 2001), (2) sifat substrat,
termasuk penutup kutikula, luas permukaan, hidrasi, dan muatan
ion (Miron et al., 2001), dan (3) faktor lingkungan seperti pH, suhu,
dan keberadaan kation dan karbohidrat terlarut (Miron et al., 2001).

Penempelan F. succinogenes pada selulosa. F. succinogenes

Karbohidrat Pakan Ruminansia 64


mengikat erat ke permukaan bahan tanaman pakan melalui adhesi
yang menyebabkan degradasi dinding sel tanaman terjadi secara
ekstensif (Mironov dan Shukodolets, 1979; Miron et al., 1989; Miron
dan Ben-Gedhalia, 1993a; Miron dan Ben-Gedhalia, 1993b). Tiga
enzim dari F. succinogenes, endoglukanase EG2 dan EGF serta
selobiosidase yang distimulasi oleh klorida, sangat diduga me-
ngandung CBM, dan diduga terlibat dalam adhesi bakteri ke selu-
losa (Huang et al., 1988; McGavin dan Forsberg, 1989). Bukti kuat
yang menunjukkan bahwa tujuh CBP dengan massa 40, 45, 50, 120,
180, 220, dan 240 kDa yang terletak di membran luar F. succinogenes
diduga terlibat dalam adhesi. Pelabelan dengan imunogold pada
CBP 180-kDa menunjukkan pentingnya adhesi ke selulosa melalui
sebuah epitop glikosidik yang umum (Gong et al., 1996). Pentingnya
gliko-protein untuk proses adhesi dapat dibuktikan lebih langsung
melalui penghilangan struktur karbohidrat pada permukaan sel
dengan protein periodat dan permukaan dengan protease seperti
yang telah dijelaskan untuk Streptococcus bovis dan E. coli (Styriak et
al., 1994; Galfi et al., 1998). Penelitian dengan komponen karbohid-
rat Fibrobacter intestinalis DR7 dari CBP terglikosilasi yang diisolasi
dari membran luar dan periplasma F. intestinalis DR7 terbukti me-
mainkan peran penting dalam adhesi selulosa. CBP yang diisolasi
termasuk residu glukosamin, galaktosamin, asam glukuronat, dan
asam galakturonat yang memblokir adhesi selulosa (Miron et al.,
1989; Miron dan Forsberg, 1999). Namun, bukti tambahan secara
biokimia dan genetika dibutuhkan untuk mengeksplorasi peran
karbohidrat glikokaliks dalam proses adhesi F. succinogenes. Dengan
demikian, baik residu glikosidik dari CBP membran luar dan teruta-
ma dari CBP 180-kDa, dan CBM dari selobiosidase yang terstimulasi
EG2, EGF, dan Cl dapat berperan dalam adhesi F. succinogenes.
Meskipun sejumlah protein tampaknya terlibat dalam proses
penempelan, ini masih merupakan bukti secara tidak langsung. Sa-
tu-satunya bukti langsung untuk mendukung keberadaan baik

65 Mikroba Rumen Pendegradasi Serat Pakan


66
Lignin Mikrofibril-mikrofibril
Selulosa

Karbohidrat Pakan Ruminansia


Bundel-bundel
Selulosa
Hemiselulosa
Domain pengikatan selulosa
Selulosa
Domain-domain
katalitik
Domain dockerin tipe I
Domain dockerin tipe II
Domain kohesi tipe I
Domain kohesi tipe II Sub-unit perancah
Permukaan sel bakteri
Gambar 5. Representasi ideal serat dan komponen-komponennya serat, mikrofibril, hemiselulosa, dan lignin yang didegradasi via kompleks
selulosoma. Seluloma merupakan sebuah kompleks multi-enzim yang dihasilkan oleh sebagian besar mikroba selulolitik rumen. Selulosoma
terkait dengan permukaan sel mikroba, memediasikan pelekatan sel ke substrat tidak larut, dan mendegradasikannya menjadi produk-produk
terlarut yang kemudian diserap. Subunit-subunit multipel dari selulosoma terbentuk dari sejumlah domain fungsional yang berinteraksi
dengan satu sama lain dan dengan substrat selulolisik. Salah satu dari subunit ini, glikoprotein yang besar, dan disebut „scaffoldin‟, terdiri atas
kelas polipeptida scaffolding non katalitik yang khas. Subunit „scaffoldin‟ secara selektif mengintegrasikan beragam subunit-subunit selulase
dan xilanase menjadi kompleks yang kohesif, mengkombinasikan domain-domain „cohesin‟-nya dengan sebuah domain „dockerin‟ yang be-
rada pada setiap enzim-enzim subunit. Domain pengikatan selulosa melekatkan selulosoma pada permukaan selulosa. “Domain katalitik”
menyusun beragam GH. Digambarkan ulang dari Carpita dan McCann (2000), Miron et al. (2001), Bayer et al. (1998).
kompleks selulosoma atau struktur-struktur fimbria yang terlibat
dalam mekanisme adhesi bakteri ini adalah pengamatan yang
menggunakan mikroskop elektron (Miron dan Ben-Gedhalia, 1987;
Miron et al., 1989; Miron dan Ben-Gedhalia, 1993a; Miron dan Ben-
Gedhalia, 1993b; Gong et al., 1996). Namun, pada sel-sel bakteri
dengan feritin yang terkationisasi, kehadiran tonjolan ul-
trastruktural kadang-kadang dihubungkan dengan kecepatan per-
tumbuhan daripada induksi sistem-sistem selulolitik (Blair dan An-
derson, (1998).
Penempelan R. flavefaciens pada selulosa. R. flavefaciens melekat
dengan cepat dan kuat pada partikel serat pakan dan merusak din-
ding sel tanaman pakan dengan kecepatan yang relatif tinggi
(Latham et al., 1978a; Latham et al., 1978b; Miron et al., 1994). Sebagai
contoh, R. favefaciens FD-1 memiliki laju pengenceran yang maksi-
mum pada selulosa kristalin (0,1 h-1), lebih tinggi daripada bakteri
rumen lain pada substrat yang sama (Shi dan Weimer, 1992). Apabi-
la R. flavefaciens dibiarkan tumbuh dengan keberadaan dinding sel
tanaman pakan, sel-sel tersebut akan menempel, dan pengamatan
secara rinci terhadap area perlekatan mengungkapkan adanya ton-
jolan yang memanjang dari bakteri ke permukaan tanaman (Latham
et al., 1978a; Miron et al., 1989; Morrison dan Miron, 2000). White et
al. (1997) juga melaporkan bahwa terdapat dua bentuk endog-
likanase dari R. flavefaciens FD-1: kompleks enzim besar dengan mas-
sa molekul 3000 kDa yang disebut kompleks A, dan fraksi yang
lebih kecil (89 kDa) yang disebut kompleks B. Tampaknya kompleks
A me-ngandung setidaknya 13 endoglikanase yang berbeda, se-
dangkan kompleks B hanya memiliki lima endoglikanase unik dan
beberapa polipeptida dalam kompleks ini mengalami glikosilasi.
Analisis urutan gen dari tiga endoglikanase, dan satu selodekstri-
nase di R. flavefaciens FD-1, dan tiga xilanase (xynB, C, dan D), satu
endoglikanase (endA), dan satu esterase (estA) pada R. flavefaciens 17;
menunjukkan bahwa enzim-enzim ini mengalami kekurangan CBM

67 Mikroba Rumen Pendegradasi Serat Pakan


yang berbeda (Doerner dan White, 1990; White et al., 1997; Flint et
al., 1999). Namun, beberapa enzim dari R. flavefaciens 17 termasuk
xynB, xynD, endA, dan estA mengandung domain semacam dockerin,
yang menunjukkan bahwa enzim-enzim ini dalam beberapa cara
dapat berinteraksi untuk membentuk kompleks seperti selulosoma
yang bisa terlibat dalam mekanisme adhesi (Kirby et al., 1997; Flint
et al., 1999).
Sebuah protein perancah (scaffoldin protein), anggota kompleks
selulosoma R. flavefaciens 17, telah diidentifikasikan beserta be-
berapa senyawa kohesin yang menghubungkan perancah dengan
dockerin tipe 1 yang terkait dengan beberapa enzim katalitik (Miron
et al., 2001). Sebuah protein 30-kDa yang melekat pada CBP di R.
flavefaciens telah diidentifikasi, tetapi perannya dalam adhesi tidak
jelas (Mitsumori dan Minato, 1995; Mitsumori dan Minato, 1997).
Penelitian awal (Latham et al., 1978) mempertimbangkan kemung-
kinan peran glikokaliks glikoprotein dalam memediasi adhesi sel R.
flavefaciens ke selulosa, didukung dengan kajian tentang lektin da-
lam menghambat adhesi yang diduga dengan memblokir epitop
tertentu (Baintner et al., 1993). Polipeptida dari dua senyawa kom-
pleks yang diidentifikasikan dalam R. flavefaciens FD-1 mengalami
glikosilasi (White et al., 1997), ini mendukung kemungkinan pent-
ingnya epitop karbohidrat dalam adhesi bakteri. Adhesi R. flavefa-
ciens ke selulosa dihambat apabila metilselulosa atau CMC dit-
ambahkan ke media (0,1%), tetapi tidak dengan penambahan
selobiosa (1%); ini menunjukkan bahwa daerah pengenalan faktor
pengikat selulosa dari bakteri ini lebih besar dari pada bagian pen-
gulangan selobiosa (Rasmussen et al., 1989; Mitsumori dan Minato,
1995; Mitsumori dan Minato, 1997). Dengan demikian, setidaknya
terdapat dua mekanisme, senyawa kompleks mirip selulosoma dan
epitop-epitop karbohidrat dari lapisan glikokaliks yang terlibat da-
lam adhesi R. flavefaciens pada selulosa.

Karbohidrat Pakan Ruminansia 68


Penempelan R. albus pada selulosa. Studi mikroskop elektron dan
antibodi memberikan beberapa bukti untuk keberadaan struktur
mirip selulosoma di R. albus (Miron et al., 1989; Bayer et al., 1998;
Sakka et al., 1999; Morisson dan Miron, 2000). Wood et al. (1982)
melaporkan bahwa aktivitas selulase dari R. albus SY3 yang di-
tumbuhkan pada selobiosa terkait dengan sel yang memiliki massa
molekul tinggi, te-tapi membentuk kompleks yang tidak stabil (1,5
MDa), dapat dengan mudah dipisahkan menjadi protein bermassa
molekul rendah. Selanjutnya, asam fenilpropanoat (PPA) atau asam
fenilasetat (PAA) terbukti menstabilkan senyawa kompleks ini
(Stack dan Hungate (1994). Miron et al. (1989) melaporkan tentang
isolasi dan pemisahan kapsul glikokaliks, membran bagian dalam,
dan dinding sel peptidoglikan dari R. albus SY3 yang tumbuh pada
selobiosa dari cairan ekstra-seluler dan sitoplasma (Miron et al.,
2001). Hasil dua kajian ini menunjukkan bahwa sebagian besar ak-
tivitas selulase, xilanase, dan degradasi selulosa dari R. albus SY3
dikaitkan dengan kapsul dan dinding sel. Hasil penelitian ini konsis-
ten dengan pengamatan menggunakan mikroskop elektron bahwa
sel R. albus yang melekat dikelilingi oleh kapsul glikokaliks dan
diduga tidak secara nyata menyentuh permukaan selulosa (Dinsdale
et al., 1978; Cheng et al., 1983). Bukti secara genetika dilengkapi
dengan analisis sekuens dari endoglukanase celA dan celB dari R.
albus SY3 serta endoglukanase I, II, III, dan IV dari R. albus F-40, ser-
ta beberapa xilanase. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa enzim
ini kekurangan epitope, baik untuk CBM atau domain yang me-
nyerupai dockerin, sehingga tidak ter-integrasi sebagai bagian dari
kompleks selulosoma (Poole et al., 1990; White et al., 1997; Ohara et
al., 2000).
Meskipun sebagian besar endoglikanase R. albus SY3 tidak ter-
integrasi ke dalam organel mirip selulosoma, sebuah senyawa kom-
pleks bermassa molekul tinggi yang telah diisolasi dan terutama
mengandung xilanase dan beberapa aktivitas endoglikanase. Se-

69 Mikroba Rumen Pendegradasi Serat Pakan


bagian besar aktivitas ini dikaitkan dengan selulosa (Morisson dan
Miron, 2000). Dengan demikian diduga kuat bahwa senyawa
kompleks selulosoma R. albus mengandung CBM atau enzim yang
menggunakan CBM (Miron et al., 2001). Secara paralel, senyawa
kompleks selulosoma yang diisolasi dari kultur supernatan R. albus
F-40 dan tumbuh di atas selulosa, maka komponennya diidentifi-
kasi sebagai tiga endoglikanase seperti yang diurutkan sebelumnya
(egV, egVI, dan egVII). Selain itu, juga terdapat lima endoglikanase,
tiga xilanase, dan empat protein bukan enzimatik seperti dijelas-
kan yang sebelumnya tidak teridentifikasi (Ohara et al., 2000a; Oha-
ra et al., 2000b).

Penempelan fungi pada selulosa


Bukti molekuler yang terakumulasi menunjukkan bahwa enzim
-enzim berkaitan dengan selulosoma fungi dalam genera Neocalli-
mastix, Orpinomyces, dan Piromyces, dan bersifat modular
(Steenbakkers et al., 2001). Selain domain katalitik, enzim-enzim
ini mengandung beberapa salinan dari 40-asam amino yang tinggi
kandungan sisteinnya, domain penambat non-katalitik (non-
catalytic domain docking, NCDD) yang lestari, dan tidak menunjuk-
kan homologi urutan dengan dockerins bakteri (Gilber et al., 1992;
Millward-Sadler et al., 1995; Fujino et al., 1998; Qiu et al., 2001).
NCDD diselingi oleh penaut (linker) pendek dan dipisahkan dari
domain katalitik oleh penaut yang mengandung serin-treonin ting-
gi. Dengan adanya ciri-ciri khas molekuler ini, subunit NCDD dapat
dianggap sebagai anggota selulosoma fungi.
Protein reporter glutathione S-transferase (GST) yang menyatu
menjadi satu, dua, atau tiga NCDD dari Piromyces equi secara khusus
mampu mengenali protein 97-kDa yang ada dalam sediaan selulo-
soma yang dimurnikan dengan prosedur afinitas selulosa
(Fillingham et al., 1999). Hasil ini secara nyata menunjukkan adan-
ya sebuah analog perancah (scaffoldin) dalam selulosoma fungi, dan

Karbohidrat Pakan Ruminansia 70


juga menunjukkan perbedaan dengan dockerin bakteri, NCDD tung-
gal dapat berfungsi sebagai unit yang berinteraksi. estA dari P. equi
(Fillingham et al., 1999) dan celB2 dari O. joyonii (Qiu et al., 2000) han-
ya merupakan contoh-contoh gen yang menyandikan komponen
selulosoma dan hanya mengandung satu NCDD. Sebagian besar
komponen gen penyandian mengandung dua NCDD.
Beberapa penelitian mengungkap sifat selulosoma pada Piromy-
ces spp. Steenbakkers et al. (2003) memurnikan selulosoma yang
diproduksi oleh Piromyces sp. galur E2 selama pertumbuhannya pa-
da kertas saring. Tiga protein dominan diidentifikasi dalam sediaan
selulosoma, dengan massa molekul 55, 80 dan 90 kDa. Protein selu-
losom 90-kDa utama dikaji lebih lanjut, gen yang sesuai yaitu cel9A,
diidentifikasikan sebagai endoglikanase. cel9A termasuk domain
katalitik dengan 445 residu GH famili 9, dan merupakan perwakilan
fungi pertama dari famili besar ini. Domain katalitik digantikan
oleh modul lembaran β (β-sheet) yang diduga terdiri atas 160 asam
amino dengan fungsi yang belum diketahui, diikuti oleh sebuah
penaut yang kaya treonin dan tiga domain docking fungi. Pemod-
elan homologi dockerin cel9A menunjukkan bahwa residu sistein
yang ada semuanya terlibat dalam jembatan disulfida. Investigasi
lebih lanjut dari cDNA pada P. equi dan Piromyces sp. galur E2
mengungkapkan bahwa keduanya menyandikan selulase GH 48
yang mengandung dua domain dockerin fungi terminal-C (Harhangi
et al., 2002). Imuno-skrining dengan antibodi anti-selulosoma
digunakan untuk mengisolasi aktivitas β-glukanase pada seluloso-
ma galur E2. Ujung terminal-C dari protein cel3A (GH famili 3) yang
disandikan terdiri atas domain tambahan dan tiga penambat fungi,
yang khas untuk komponen selulosoma. Domain katalitik cel3A spe-
sifik untuk ikatan β-glukosidik dan berfungsi sebagai eksoglukohi-
drolase pada substrat terlarut beserta selulosa (Steenbakkers et al.
(2003).
Beberapa kajian juga menjelaskan determinan molekuler dari

71 Mikroba Rumen Pendegradasi Serat Pakan


pengenalan substrat pada Piromyces. Freelove et al. (2001) menjelas-
kan dua CBM yang sangat diskriminatif bagi konfigurasi gluko- dan
manno-ligan, dan data yang menyertainya menunjukkan bahwa
senyawa gula ini diduga berperan penting secara efisien dalam
degradasi dinding sel tanaman oleh selulosoma Piromyces. Kekhu-
susan ligan yang tidak biasa ini menyajikan sistem model yang san-
gat baik untuk mempelajari pengenalan protein-karbohidrat. Char-
nock et al. (2002) menjelaskan sebuah model pengenalan ligan CBM
pada Piromyces berdasarkan struktur kristalin. Penentu molekuler
utama dalam pengenalan merupakan orientasi residu-residu aro-
matik pada daerah pengikatan yang koplemen dengan konformasi
konfigurasi gluko- dan manno-ligan.

Sebagai penutup Bab, degradasi dinding sel tanaman oleh salu-


ran pencernaan ruminansia memiliki nilai ekonomi yang penting.
Fermentasi rumen unik karena degradasi dinding sel tumbuhan
yang efisien bergantung pada kerja sama antara mikroorganisme
yang menghasilkan enzim fibrolitik dan ternak inang yang menye-
diakan ruang fermentasi anaerobik. Peningkatan efisiensi mikroba
rumen dalam degradasi serat pakan telah menjadi subjek penelitian
ekstensif setidaknya selama lebih dari 100 tahun terakhir. Pen-
cernaan serat pakan dalam rumen yang tidak optimal akan dic-
erminkan oleh besarnya output ekskresi feses. Fakta ini dapat
dibuktikan dengan kajian tentang beragam perlakuan (secara fisik,
kimia, atau biologi) yang mampu meningkatkan degradasi serat
pakan, serta hasil penelitian yang lebih mutakhir tentang manipu-
lasi genetik mikroba rumen yang dapat memodifikasi ikatan antara
lignin dan hemiselulosa/selulosa untuk meningkatkan degradasi
serat pakan. Para pakar mikrobiologi rumen telah berupaya untuk
meningkatkan pencernaan serat pakan melalui manipulasi genetik
dan lingkungan fermentasi rumen. Namun upaya ini masih harus
ditingkatkan mengingat terdapat beberapa kendala, termasuk: (a)

Karbohidrat Pakan Ruminansia 72


kurangnya sistem transformasi yang dapat diandalkan bagi bakteri
rumen fibrolitik utama, (b) masih rendahnya pemahaman tentang
faktor-faktor ekologi yang mengatur persistensi bakteri dan fungi
fibrolitik dalam rumen, (c) kurangnya pemahaman tentang jenis-
jenis glikolil hidrolase yang harus dimani-pulasikan, dan (d) ku-
rangnya pengetahuan tentang kerangka genom fungsional tempat
berlangsungnya degradasi serat pakan. Bab ini membahas secara
singkat tentang mikroba fibrolitik rumen utama. Enzim-enzim yang
terlibat dalam degradasi serat pakan secara ekstensif juga dibahas.

Daftar Pustaka

Asmundson, R.V., C . M . Huang, W.J. Kelly, P.L. Yu, and M . M . Cur-


ry. 1990. The cellulase of Ruminococcus flavefaciens strain 186 :
Characterization, cloning and use in ruminant nutrition. In: D.E.
Akin, L.G. Ljungdahl, J.R. Wilson, and P.J. Harris (Eds.). Microbial
and Plant Opportunities to Improve Lignocellulose Utilization by
Ruminants. Elsevier, New York. p. 401-409.
Aurilia, V., J.C. Martin, S.I. McCrae, K.P. Scott, M.T. Rincon, and H.J.
Flint. 2000. Three multidomain esterases from the cellulolytic
rumen anaerobe Ruminococcus flavefaciens 17 that carry divergent
dockerin sequences. Microbiol. 146: 1391-1397.
Bera, C., V. Broussolle, E. Forano, and G. Gaudet. 1996. Gene se-
quence analysis and properties of EGC, a family E (9) endoglu-
canase from Fibrobacter succinogenes BL2. FEMS Microbiol. Lett.
136: 79-84.
Berger, E., W.A. Jones, D.T. Jones, and D.R. Woods. 1989. Cloning and
sequencing of an endoglucanase (end1) gene from Butyrivibrio
fibrisolvens H17c. Mol. Gen. Genet. 219: 193-198.
Berger, E., W.A. Jones, D.T. Jones, and D.R. Woods. 1990. Sequencing
and expression of a cellodextrinase (ced1) gene from Butyrivibrio
fibrisolvens H17c cloned in Escherichia coli. Mol. Gen. Genet. 223:

73 Mikroba Rumen Pendegradasi Serat Pakan


310-318.
Bhat, M.K., G.P. Hazlewood, M.R. Bedford, and G.G. Partridge. 2000.
Enzymology and other characteristics of cellulases and xylanases.
In: M. Bedford, and G. Partridge (Eds.). Enzymes in Farm Animal
Nutrition. CAB International, Wallingford. p. 11-60.
Biely, P., D. Mislovicova, and R. Toman. 1985a. Soluble chromogenic
substrates for the assay of endo-1,4-beta-xylanases and endo- 1,4
-beta-glucanases. Anal. Biochem. 144: 142-146.
Biely, P., O. Markovic, and D. Mislovicova. 1985b. Sensitive detec-
tion of endo-1,4-beta-glucanases and endo-1,4-beta-xylanases in
gels. Anal. Biochem. 144: 147-151.
Boisset, C., C. Petrequin, H. Chanzy, B. Henrissat, and M. Schu-
lein. 2001a. Optimized mixtures of recombinant Humicola in-
solenscellulase for the biodegradation of crystalline cellulose.
Biotechnol. Bioeng. 72: 339-345.
Boisset, C., C. Petrequin, H. Chanzy, B. Henrissat, and M. Schulein.
2001b. Optimized mixtures of recombinant Humicola insolens cel-
lulases for the biodegradation of crystalline cellulose. Biotech-
nol. Bioeng. 72: 339-345.
Borneman, W.S., L.G. Ljungdahl, R.D. Hartley, and D.E. Akin. 1991.
Isolation and characterization of p-coumaroyl esterase from the
anaerobic fungus Neocallimastix strain MC-2. Appl. Environ. Mi-
crobiol. 57,: 2337-2344.
Borneman, W.S., L.G. Ljungdahl, R.D. Hartley, and D.E. Akin. 1992.
Purification and partial characterization of two feruloyl esteras-
es from the anaerobic fungus Neocallimastix strain MC-2. Appl.
Environ. Microbiol. 58: 3762-3766.
Borneman, W.S., R.D. Hartley, D.S. Himmelsbach, and L.G. Ljung-
dahl. 1990. Assay for trans-p-coumaroyl esterase using a specific
substrate from plant cell walls. Anal. Biochem. 190: 129-133.
Buchanan, C.J. and W.J. Mitchell. 1992. Two beta-glucosidase activi-
ties in Fibrobacter succinogenes S85. J. Appl. Bacteriol. 73: 243- 250.

Karbohidrat Pakan Ruminansia 74


Carpita, N. and M. McCann. 2000. The cell wall. In: B. Buchanan, W.
Gruissmen, and R. Jones (Eds.). Biochemistry and Molecular Biol-
ogy of Plants. John Wiley and Sons, Somerset. p. 52-108.
Cavicchioli, R. and K. Watson. 1991a. Molecular cloning, expression,
and characterization of endoglucanase genes from Fibrobacter
succinogenes AR1. Appl. Environ. Microbiol. 57: 359-365.
Cavicchioli, R. and K. Watson. 1991b. The involvement of transcrip-
tional read-through from internal promoters in the expression
of a novel endoglucanase gene FSendA, from Fibrobacter suc-
cinogenes AR1. Nucleic Acids Res. 19,: 1661-1669.
Cavicchioli, R., P.D. East, and K. Watson. 1991c. endAFS, a novel
family E endoglucanase gene from Fibrobacter succinogenes
AR1. J. Bacteriol. 173: 3265-3268.
Cepeljnik, T., T. Grebenc, I. Krizaj, and R. Marinsek-Logar. 2003. En-
do-1,4-xylanase xynT from the rumen bacterium Pseudobutyr-
ivibrio xylanivorans: isolation and characterisation. GenBank Ac-
cession number AJ543424.
Chen, H., X.L. Li, D. Blum, E. Ximenes, and L. Ljungdahl. 2003. CelF
of Orpinomyces PC-2 has an intron and encodes a cellulase (CelF)
containing a carbohydrate-binding module. Appl. Biochem. Bio-
technol. 108: 775-786.
Cheng, K.J., L.B. Selinger, T.A. McAllister, L.J. Yanke, H.D. Bae, H.T.
Shin, M. Goto, A. Takenaka, C.W. Forsberg, J.A. Shelford, R. On-
odera, H. Itabashi, K. Ushida, H. Yano, Y. and Sasaki. 1997. Ex-
ploitation of rumen microbial enzymes to benefit ruminant and
non-ruminant animal production. In: H. Itabashi, R. Onocera, Y.
Sasaki, K. Ushida, and H. Yano (Eds.). Rumen Microbes and Di-
gestive Physiology in Ruminants. Karger Landes Systems, Basel.
p. 25-34.
Cho, K.K., S.C. Kim, J.H. Woo, J.D. Bok, and Y.J. Choi. 2000. Molecular
cloning and expression of a novel family A endoglucanase gene
from Fibrobacter succinogenes S85 in Escherichia coli. Enzyme Mi-

75 Mikroba Rumen Pendegradasi Serat Pakan


crob. Technol. 27: 475-481.
Cunningham, C., C.A. McPherson, J. Martin, W.J. Harris, and H.J.
Flint. 1991. Sequence of a cellulase gene from the rumen anaer-
obe Ruminococcus flavefaciens 17. Mol. Gen. Genet. 228: 320- 323.
Cybinski, D.H., I. Layton, J.B. Lowry, and B.P. Dalrymple. 1999. An
acetylxylan esterase and a xylanase expressed from genes cloned
from the ruminal fungus Neocallimastix patriciarum act synergis-
tically to degrade acetylated xylans. Appl. Microbiol. Biotechnol.
52: 221-225.
Dalrymple, B.P., D.H. Cybinski, I. Layton, C.S. McSweeney, G.P. Xue,
Y.J. Swadling, and J.B. Lowry. 1997. Three Neocallimastix patri-
ciarum esterases associated with the degradation of complex pol-
ysaccharides are members of a new family of hydrolases. Micro-
biology. 143: 2605-2614.
Dalrymple, B.P., Y. Swadling, I. Layton, K.S. Gobius, and G.P. Xue.
1999. Distribution and evolution of the xylanase genes xynA and
xynB and their homologues in strains of Butyrivibrio fibrisolvens.
Appl. Environ. Microbiol. 65: 3660-3667.
Davies, G.J. and B. Henrissat. 2002. Structural enzymology of carbo-
hydrate-active enzymes: implications for the post-genomic era.
Biochem. Soc. Trans. 30: 291-297.
Dehority, B.A. and P.A. Tirabasso. 2000. Antibiosis between ruminal
bacteria and ruminal fungi. Appl. Environ. Microbiol. 66: 2921-
2927.
Denman, S., G.P. Xue, and B. Patel. 1996. Characterization of a Neo-
callimastix patriciarum cellulase cDNA (celA) homologous to
Trichoderma reesei cellobiohydrolase II. Appl. Environ. Microbiol.
62: 1889-1896.
Devillard, E., C. Bera-Maillet, H.J. Flint, K.P. Scott, C.J. Newbold, R.J.
Wallace, J.P. Jouany, and E. Forano. 2003. Characterization of
XYN10B, a modular xylanase from the ruminal protozoan Poly-
plastron multivesiculatum, with a family 22 carbohydrate-binding

Karbohidrat Pakan Ruminansia 76


module that binds to cellulose. Biochem. J. 373: 495-503.
Doerner, K.C. and B.A. White. 1990. Assessment of the endo-1,4- beta-
glucanase components of Ruminococcus flavefaciens FD-1. Appl. En-
viron. Microbiol. 56: 1844-1850.
Enquist, B.J., E.P. Economo, T.E. Huxman, A.P. Allen, D.D. Ignace, and
J.F. Gillooly. 2003. Scaling metabolism from organisms to ecosys-
tems. Nature. 423: 639-642.
Fanutti, C., T. Ponyi, G.W. Black, G.P. Hazlewood, and H.J. Gilbert.
1995. The conserved noncatalytic 40-residue sequence in cellulas-
es and hemicellulases from anaerobic fungi functions as a protein
docking domain. J. Biol. Chem. 270: 29314-29322.
Flint, H.J., C.A. McPherson, G. Avgustin, and C.S. Stewart. 1990. Use of
a cellulase-encoding gene probe to reveal restriction fragment
length polymorphisms among ruminal strains of Bacteroides suc-
cinogenes. Curr. Microbiol. 20: 63-67.
Flint, H.J., J . Martin, C.A. McPherson, A.S. Daniel, and J . X . Zhang.
1993. A bifunctional enzyme, with separate xylanase and beta (1,3
-1,4)-glucanase domains, encoded by the xynD gene of Ruminococ-
cus flavefaciens. J. Bacteriol. 175: 2943-2951.
Flint, H.J., T.R. Whitehead, J.C. Martin, and A. Gasparic. 1997. Inter-
rupted catalytic domain structures in xylanases from two distant-
ly related strains of Prevotella ruminicola. Biochim. Biophys. Acta.
1337: 161-165.
Fonty, G., P. Gouet, H. Ratefiarivelo, and J.P. Jouany. 1988. Establish-
ment of Bacteroides succinogenes and measurement of the main di-
gestive parameters in the rumen of gnotobiotic lambs. Can. J. Mi-
crobiol. 34: 938-946.
Fonty, G., P.H. Gouet, J.P. Jouany, and J. Senaud. 1983. Ecological fac-
tors determining establishment of cellulolytic bacteria and proto-
zoa in the rumens of meroxenic lambs. J. Gen. Microbiol. 129: 213-
223.
Forano, E., V. Broussolle, G. Gaudet, and J.A. Bryant. 1994. Molecular

77 Mikroba Rumen Pendegradasi Serat Pakan


cloning, expression, and characterization of a new endoglu-
canase gene from Fibrobacter succinogenes S85. Curr. Microbiol.
28: 7-14.
Forsberg, C.W., K.J. Cheng, and B.A. White. 1997. Polysaccharide
degradation in the rumen and large intestine. In: R.I. Mackie,
and B.A. White (Eds.). Gastrointestinal Microbiology. Chapman
and Hall, New York. p. 319-379.
Fox, D.G., M.C. Barry, R.E. Pitt, D.K. Roseler, and W.C. Stone. 1995.
Application of the Cornell net carbohydrate and protein model
for cattle consuming forages. J. Anim. Sci. 73: 267-277.
Freelove, A.C., D.N. Bolam, P. White, G.P. Hazlewood, and H.J. Gil-
bert. 2001. A novel carbohydrate-binding protein is a component
of the plant cell wall-degrading complex of Piromyces equi. J. Bi-
ol. Chem. 276: 43010-43017.
Fry, S.C., R.C. Smith, K.F. Renwick, D.J. Martin, S.K. Hodge, and K.J.
Matthews. 1992. Xyloglucan endotransglycosylase, a new wall-
loosening enzyme activity from plants. Biochem. J. 282: 821-828.
Gardner, R.M., K.C. Doerner, and B.A. White. 1987. Purification and
characterization of an exo-beta-1,4-glucanase from Ruminococcus
flavefaciens FD-1. J. Bacteriol. 169,: 4581-4588.
Gasparic, A., J. Martin, A.S. Daniel, and H.J. Flint. 1995a. A xylan hy-
drolase gene cluster in Prevotella ruminicola B14: sequence rela-
tionships, synergistic interactions, and oxygen sensitivity of a
novel enzyme with exoxylanase and beta-(1,4)-xylosidase activi-
ties. Appl. Environ. Microbiol. 61: 2958-2964.
Gasparic, A., R. Marinsek-Logar, J. Martin, R.J. Wallace, F.V. Nekrep,
and H.J. Flint. 1995b. Isolation of genes encoding beta-D- xy-
lanase, beta-D-xylosidase and alpha-L-arabinofuranosidase ac-
tivities from the rumen bacterium Prevotella ruminicola B1. FEMS
Microbiol. Lett. 125 (4): 135-141.
Gilbert, H.J., G.P. Hazlewood, J.I. Laurie, C.G. Orpin, and G.P. Xue.
1992. Homologous catalytic domains in a rumen fungal xy-

Karbohidrat Pakan Ruminansia 78


lanase: evidence for gene duplication and prokaryotic origin.
Mol. Microbiol. 6: 2065-2072.
Gong, J. and C.W. Forsberg. 1993. Separation of outer and cyto-
plasmic membranes of Fibrobacter succinogenes and membrane
and glycogen granule locations of glycanases and cellobiase. J.
Bacteriol. 175: 6810-6821.
Gong, J., E.E. Egosimba, and C.W. Forsberg. 1996. Cellulose binding
proteins of Fibrobacter succinogenes and the possible role of a 180-
kDa cellulose binding glycoprotein in adhesion to cellulose. Can.
J. Microbiol. 42: 453-460.
Gong, J., R.Y.C. Lo, and C.W. Forsberg. 1989. Molecular cloning and
expression in Escherichia coli of a cellodextrinase gene from Bac-
teroides succinogenes S85. Appl. Environ. Microbiol. 55: 132-136.
Gregg, K., B. Hamdorf, K. Henderson, J. Kopecny, and C. Wong. 1998.
Genetically modified ruminal bacteria protect sheep from
fluoroacetate poisoning. Appl. Environ. Microbiol. 64: 3496-3498.
Greve, L.C., J.M. Labavitch, and R.E. Hungate. 1984. K-L-
Arabinofuranosidase from Ruminococcus albus 8 : Purification and
possible role in hydrolysis of alfalfa cell wall. Appl. Environ. Mi-
crobiol. 47: 1135-1140.
Ha, J.K., L.M. Malburg Jr., S.Y. Park, and C.W. Forsberg. 1999. Fibro-
bacter succinogenes S85 family 10 glycosyl hydrolase XynD (xynD),
family 10 glycosyl hydrolase XynE (xynE), and family 10 glycosyl
hydrolase XynB (xynB) genes, complete cds. GenBank accession
number AF180368.
Hazlewood, G.P., K. Davidson, J.I. Laurie, M.P. Romaniec, and H.J.
Gilbert. 1990. Cloning and sequencing of the celA gene encoding
endoglucanase A of Butyrivibrio fibrisolvens strain A46. J. Gen. Mi-
crobiol. 136,: 2089-2097.
Hebraud, M. and M. Fevre. 1990. Purification and characterisation of
an aspecific glycoside hydrolase from the anaerobic ruminal fun-
gus Neocallimastix frontalis. Appl. Environ. Microbiol. 56: 3164-

79 Mikroba Rumen Pendegradasi Serat Pakan


3169.
Henrissat, B. 1991. A classification of glycosyl hydrolases based on
amino acid sequence similarities. Biochem. J. 280: 309-316.
Henrissat, B. and A. Bairoch. 1993. New families in the classification
of glycosyl hydrolases based on amino acid sequence similari-
ties. Biochem. J. 293,: 781-788.
Hespell, R.B. and M.A. Cotta. 1995. Degradation and utilization by
Butyrivibrio fibrisolvens H17c of xylans with detgerent chemical
and physical properties. Appl. Environ. Microbiol. 61: 3042-3050.
Hespell, R.B. and T.R. Whitehead. 1990. Physiology and genetics of
xylan degradation by gastrointestinal tract bacteria. J. Dairy Sci.
73: 3013-3022.
Hespell, R.B., D.E. Akin, and B.A. Dehority. 1997. Bacteria, fungi, and
protozoa of the rumen. In: R.I. Mackie, B.A. White, and R.E.
Isaacson. (Eds.). Gastrointestinal Microbiology. Chapman and
Hall, New York. p. 59-141.
Hespell, R.B., R. Wolf, and R.J. Bothast. 1987. Fermentation of xylans
by Butyrivibrio ¢brisolvens and other ruminal bacteria. Appl. Envi-
ron. Microbiol. 53: 2849-2853.
Howard, G.T. and B.A. White. 1988. Molecular cloning and expres-
sion of cellulae genes from Ruminococcus albus in Escherichia coli
bacteriophage lambda. Appl. Environ. Microbiol. 54: 1752-1755.
Huang, L. and C.W. Forsberg. 1988. Purification and comparison of
the periplasmic and extracellular forms of the cellodextrinase
from Bacteroides succinogenes. Appl. Environ. Microbiol. 54: 1488-
1493.
Huang, L., C.W. Forsberg, and D.Y. Thomas. 1988. Purification and
characterizationof a chloride-stimulated cellobiosidase from
Bacteroides succinogenes S85. J. Bacteriol. 170: 2923-2932.
Huang, L., M. McGavin, C.W. Forsberg, J.S. Lam, and K . J . Cheng.
1990. Antigenic nature of the chloride-stimulated cellobiosidase
and other cellulases of Fibrobacter succinogenes subsp. suc-

Karbohidrat Pakan Ruminansia 80


cinogenes S85 and related fresh isolates. Appl. Environ. Microbiol.
56: 1229-1234.
Hungate, R.E. 1966. The Rumen and its Microbes. Academic Press,
New York.
Hungate, R.E. 1984. Microbes of nutritional importance in the ali-
mentary tract. Proc. Nutr. Soc. 43: 1-11.
Iyo, A.H. C.W. and Forsberg. 1994. Features of the cellodextrinase
gene from Fibrobacter succinogenes S85. Can. J. Microbiol. 40: 592-
596.
Joblin, K.N., H. Matsui, G.E. Naylor, and K. Ushida. 2002. Degrada-
tion of fresh ryegrass by methanogenic co-cultures of ruminal
fungi grown in the presence or absence of Fibrobacter suc-
cinogenes. Curr. Microbiol. 45; 46-53.
Kelley, J. and R. Paterson. 1997. Crop residues as a resourse. The use
of fungi to upgrade lignocellulosic wastes. Biol. Int. 26: 16-20.
Klieve, A.V. and R.A. Swain. 1993. Estimation of ruminal bacterio-
phage numbers by pulsed-field gel electrophoresis and laser den-
sitometry. Appl. Environ. Microbiol. 59: 2299-2303.
Klieve, A.V. and T. Bauchop. 1988. Morphological diversity of rumi-
nal bacteriophages from sheep and cattle. Appl. Environ. Micro-
biol. 54: 1637-1641.
Kopecny, J., R.M. Logar, and Y. Kobayashi. 2001. Phenotypic and
genetic data supporting reclassification of Butyrivibrio ¢brisolvens
isolates. Folia Microbiol. 46: 45-48.
Krause, D.O., R.J. Bunch, J.M. Smith, and C.S. McSweeney. 1999. Di-
versity of Ruminococcus strains: a survey of genetic polymor-
phisms and plant digesting ability. J. Appl. Bacteriol. 86: 487-495.
Krause, D.O., R.J. Bunch, L.L. ConlanP.M. Kennedy, W.J. Smith, R.I.
Mackie, and C.S. McSweeney. 2001. Repeated ruminal dosing of
Ruminococcus spp. does not result in persistence, but changes in
other microbial populations occur that can be measured with
quantitative 16S-rRNA-based probes. Microbiol. 147: 1719-1729.

81 Mikroba Rumen Pendegradasi Serat Pakan


Krause, D.O., W.J.M. Smith, F.M.E. Ryan, R.I. Mackie, and C.S.
McSweeney. 2000. Use of 16S-rRNA based techniques to investi-
gate the ecological succession of microbial populations in the
immature lamb rumen: tracking of a specific strain of inoculated
Ruminococcus and interactions with other microbial populations
in vivo. Microbiol. Ecol. 38: 365-376.
Li, X.L. and R.E. Calza. 1991. Fractionation of cellulases from the
ruminal fungus Neocallimastix frontalis EB188. Appl. Environ. Mi
crobiol. 57: 3331-3336.
Lin, C. and D.A. Stahl. 1995. Comparative analyses reveal a highly
conserved endoglucanase in the cellulolytic genus Fibrobacter. J.
Bacteriol. 177: 2543-2549.
Lin, L.L. and J.A. Thomson. 1991a. An analysis of the extracellular
xylanases and cellulases of Butyrivibrio fibrisolvens H17c. FEMS
Microbiol. Lett. 68: 197-203.
Lin, L.L. and J.A. Thomson. 1991b. Cloning, sequencing and expres-
sion of a gene encoding a 73 kDa xylanase enzyme from the ru-
men anaerobe Butyrivibrio fibrisolvens H17c. Mol. Gen. Genet. 228:
55-61.
Lowe, S.E., M.K. Theodorou, and A.P. Trinci. 1987. Cellulases and
xylanase of an anaerobic rumen fungus grown on wheat straw,
wheat straw holocellulose, cellulose, and xylan. Appl. Environ.
Microbiol. 53: 1216-1223.
Lynd, L.R., P.J. Weimer, W.H. van Zyl, and I.S. Pretorius. 2002. Mi-
crobial cellulose utilization: fundamentals and biotechnology.
Microbiol. Mol. Biol. Rev. 66: 506-577.
Malburg Jr., L.M., A.H. Iyo, and C.W. Forsberg. 1996. A novel family 9
endoglucanase gene (celD), whose product cleaves substrates
mainly to glucose, and its adjacent upstream homolog (celE)
from Fibrobacter succinogenes S85. Appl. Environ. Microbiol. 62:
898-906.
Malburg, S.R., L.M. Malburg Jr., T. Liu, A.H. Iyo, and C.W. Forsberg.

Karbohidrat Pakan Ruminansia 82


1997. Catalytic properties of the cellulose-binding endoglucanase
F from Fibrobacter succinogenes S85. Appl. Environ. Microbiol. 63:
2449-2453.
Mannarelli, B.M., S. Evans, and D. Lee. 1990. Cloning, sequencing,
and expression of a xylanase gene from the anaerobic ruminal
bacterium Butyrivibrio ¢brisolvens. J. Bacteriol. 172: 4247-4254.
Matsushita, O., J.B. Russell, and D.B. Wilson. 1991. A Bacteroides rumi-
nicola 1,4-beta-D-endoglucanase is encoded in two reading
frames. J. Bacteriol. 173: 6919-6926.
Matte, A. and C.W. Forsberg. 1992. Purification, characterization,
and mode of action of endoxylanases 1 and 2 from Fibrobacter
succinogenes S85. Appl. Environ. Microbiol. 58: 157-168.
McDermid, K.P., C.W. Forsberg, and C.R. MacKenzie. 1990. Purifica-
tion and properties of an acetylxylan esterase from Fibrobacter
succinogenes S85. Appl. Environ. Microbiol. 56: 3805-3810.
McDermott, J.J., T.F. Randolph, and S.J. Staal. 1999. The economics
of optimal health and productivity in smallholder livestock sys-
tems in developing countries. Rev. Sci. Technol. 18: 399-424.
McGavin, M. and C.W. Forsberg. 1988. Isolation and characterization
of endoglucanases 1 and 2 from Bacteroides succinogenes S85. J.
Bacteriol. 170: 2914-2922.
McGavin, M. and C.W. Forsberg. 1989. Catalytic and substrate-
binding domains of endoglucanase 2 from Bacteroides suc-
cinogenes. J. Bacteriol. 171: 3310-3315.
McGavin, M.J., C.W. Forsberg, B. Crosby, A.W. Bell, D. Dignard, and
D.Y. Thomas. 1989. Structure of the cel-3 gene from Fibrobacter
succinogenes S85 and characteristics of the encoded gene product,
endoglucanase 3. J. Bacteriol. 171: 5587-5595.
McSweeney, C.S., A. Dulieu, Y. Katayama, and J.B. Lowry. 1994. Solu-
bilisation of lignin by the ruminal anaerobic fungus Neocalli-
mastix patriciarum. Appl. Environ. Microbiol. 60: 2985-2989.
Miron, J. and D. Ben-Ghedalia. 1993a. Digestion of cell-wall mono-

83 Mikroba Rumen Pendegradasi Serat Pakan


saccharides of ryegrass and alfalfa hays by the ruminal bacteria
Fibrobacter succinogenes and Butyrivibrio fibrisolvens. Can. J. Micro-
biol. 39: 780-786.
Miron, J. and D. Ben-Ghedalia. 1993b. Digestion of structural poly-
saccharides of Panicum and vetch hays by the rumen bacterial
strains Fibrobacter succinogens BL2 and Butyrivibrio fibrisolvens
D1. Appl. Microbiol. Biotechnol. 39: 756-759.
Miron, J., D. Ben-Ghedalia, and M. Morrison. 2001. Invited review:
adhesion mechanisms of rumen cellulolytic bacteria. J. Dairy Sci.
84,: 1294-1309.
Miron, J., J. Jacobovitch, E.A. Bayer, R. Lamed, M. Morrison, and D.
Ben-Ghedalia. 2001. Subcellular distribution of glycanases and
related components in Ruminococcus albus SY3 and their role in
cell adhesion to cellulose. J. Appl. Microbiol. 91: 677-685.
Miron, J., M.T. Yokoyama, R. and Lamed. 1989. Bacterial cell surfac-
estructures involved in lucerne cell wall degradation by pure
cultures of cellulolytic rumen bacteria. Appl. Microbiol. Biotech-
nol. 32: 218-222.
Mironov, A.S. and V.V. Sukhodolets. 1979. Promoter-like mutants
with increased expression of the Escherichia coli uridine phos-
phorylase structural gene. J. Bacteriol. 137: 802-810.
Miyagi, T., P. Javorsky, P. Pristas, S. Karita, K. Sakka, and K. Ohmiya.
1998. Partial purification and characterization of RalF40I, a class
II restriction endonuclease from Ruminococcus albus F-40, which
recognizes and cleaves 5P-/GATC-3P. FEMS Microbiol. Lett. 164:
215-218.
Miyazaki, K., H. Miyamoto, D.K. Mercer, T. Hirase, J.C. Martin, Y.
Kojima, H.J. and Flint. 2003. Involvement of the multidomain
regulatory protein XynR in positive control of xylanase gene
expression in the ruminal anaerobe Prevotella bryantii B14. J.
Bacteriol. 185: 2219-2226.
Nagamine, T., R.I. Aminov, K. Ogata, M. Sugiura, K. Tajima, and Y.

Karbohidrat Pakan Ruminansia 84


Benno. 1997. Cloning of xylanase genes from Ruminococcus albus
and chromosome mapping of Fibrobacter succinogenes. In: H.
Itabashi, R. Onocera, Y. Sasaki, K. Ushida, and H. Yano (Eds.). Ru-
men Microbes and Digestive Physiology in Ruminants. Japan
Scientific Societies Press, Tokyo. p. 59-67.
Nakamura, M., T. Nagamine, A. Takenaka, R.I. Aminov, K. Ogata, K.
Tajima, H. Matsui, Y. Benno, and H. Itabashi. 2002. Molecular
cloning, nucleotide sequence and characteristics of a xylanase
gene (xynA) from Ruminococcus albus 7. J. Anim. Sci. 73: 347-352.
NRC. 1996. Nutrient Requirements for Beef Cattle. National Acade-
my Press, Washington, DC.
Ohara, H., J. Noguchi, S. Karita, T. Kimura, K. Sakka, and K. Ohmiya.
2000a. Sequence of egV and properties of EgV, a Ruminococcus
albus endoglucanase containing a dockerin domain. Biosci. Bio-
technol. Biochem. 64: 80-88.
Ohara, H., S. Karita, T. Kimura, K. Sakka, and K. Ohmiya. 2000b.
Characterization of the cellulolytic complex (cellulosome) from
Ruminococcus albus. Biosci. Biotechnol. Biochem. 64: 254-260.
Ohara, H., T. Miyagi, K. Kaneichi, S. Karita, Y. Kobayashi, T. Kimura,
K. Sakka, and K. Ohmiya. 1998. Structural analysis of a new cryp-
tic plasmid pAR67 isolated from Ruminococcus albus AR67. Plas-
mid. 39: 84-88.
Ohmiya, K., M. Shimizu, M. Taya, and S. Shimizu. 1982. Purification
and properties of cellobiosidase from Ruminococcus albus. J.
Bacteriol. 150: 407-409.
Ohmiya, K., M. Shirai, Y. Kurachi, and S. Shimizu. 1985. Isolation
and properties of beta-glucosidase from Ruminococcus albus. J.
Bacteriol. 161: 432-434.
Ohmiya, K., M. Takano, and S. Shimizu. 1990. DNA sequence of a
beta-glucosidase from Ruminococcus albus. Nucleic Acids Res. 18:
671-678.
Orpin, C.G. and K.N. Joblin. 1997. The rumen anaerobic fungi. In:

85 Mikroba Rumen Pendegradasi Serat Pakan


P.N. Hobson, and C.S. Stewart (Eds.). The Rumen Microbial Eco-
system. Blackie, Melbourne. p. 140-195.
Ozcan, N., C. Cunningham, and W.J. Harris. 1996. Cloning of a cellu-
lase gene from the rumen anaerobe Fibrobacter succinogenes SD35
and partial characterization of the gene product. Lett. Appl. Mi-
crobiol. 22: 85-89.
Paradis, F.W., H. Zhu, P.J. Krell, J.P. Phillips, and C.W. Forsberg.
1993. The xynC gene from Fibrobacter succinogenes S85 codes for a
xylanase with two similar catalytic domains. J. Bacteriol. 175:
7666- 7672.
Peterson, J.D., L.A. Umayam, T. Dickinson, E.K. Hickey, and O. White.
2001. The comprehensive microbial resource. Nucleic Acids Res.
29: 123-125.
Poole, D.M., G.P. Hazlewood, J.I. Laurie, P.J. Barker, and H.J. Gil-
bert. 1990. Nucleotide sequence of the Ruminococcus albus SY3
endoglucanase genes celA and celB. Mol. Gen. Genet. 223: 217-
223.
Poutanen, K., M. Tenkanen, H. Korte, and J. Puls. 1991. Accessory
enzymes involved in the hydrolysis of xylans. In: G.F. Leatham
(Ed.). Enzymes in Biomass Conversion. American Chemical Socie-
ty, Washington, DC. p. 426-436.
Qiu, X., B. Selinger, L. Yanke, and K. Cheng. 2000. Isolation and anal-
ysis of two cellulase cDNAs from Orpinomyces joyonii. Gene. 245:
119-126.
Reichl, J.R. and R.L. Baldwin. 1975. Rumen modeling: Rumen input-
output balance models. J. Dairy Sci. 58: 879-890.
Rincon, M.T., S.I. McCrae, J. Kirby, K.P. Scott, and H.J. Flint. 2001.
endB, a multidomain family 44 cellulase from Ruminococcus flave-
faciens 17, binds to cellulose via a novel cellulose-binding module
and to another R. flavefaciens protein via a dockerin domain.
Appl. Environ. Microbiol. 67: 4426-4431.
Rumbak, E., D.E. Rawlings, G.G. Lindsey, and D.R. Woods. 1991. Clon-

Karbohidrat Pakan Ruminansia 86


ing, nucleotide sequence, and enzymatic characterization of an
alpha-amylase from the ruminal bacterium Butyrivibrio fibrisol-
vens H17c. J. Bacteriol. 173: 4203-4211.
Schwarz, W.H. 2001. The cellulosome and cellulose degradation by
anaerobic bacteria. Appl. Microbiol. Biotechnol. 56: 634-649.
Sewell, G.W., E.A. Utt, R.B. Hespell, K.F. Mackenzie, and L.O. In-
gram. 1989. Identification of the Butyrivibrio fibrisolvens xylo-
sidase gene (xylB) coding region and its expression in Escherichia
coli. Appl. Environ. Microbiol. 55,: 306-311.
Sewell, G.W., H.C. Aldrich, D. Williams, B. Mannarelli, A. Wilke, R.B.
Hespell, P.H. Smith, and L.O. Ingram. 1987. Isolation and charac-
terization of xylan-degrading strains of Butyrivibrio fibrisolvens
from grass-fed anaerobic digester. Appl. Environ. Microbiol. 54:
1085-1090.
Shane, B.S., L. Gouws, and A. Kistner. 1969. Cellulolytic bacteria oc-
curring in the rumen of sheep conditioned to low protein Teff
hay. J. Gen. Microbiol. 55: 445-447.
Shaw, N.D., D.C. Irwin, and D.B. Wilson. 2000. Cloning and seqeenc-
ing of a 6.7 kb fragment of Fibrobacter succinogens S85 DNA frag-
ment encoding four open reading frames homologous to glycosyl
hydrolases and showing xylanase activity on RBB xylan plates.
Gen-Bank accession number AY007248.
Siew, N. and D. Fischer. 2003. Twenty thousand ORFan microbial
protein families for the biologist? Structure. 11: 7-9.
Steenbakkers, P.J., X.L. Li, E.A. Ximenes, J.G. Arts, H. Chen, L.G.
Ljungdahl, and H.J. Op Den Camp. 2001. Noncatalytic docking
domains of cellulosomes of anaerobic fungi. J. Bacteriol. 183:
5325-5333.
Stewart, C.S., H.J. Flint, and M.P. Bryant. 1997. The rumen bacteria.
In: P.N. Hobson, and C.S. Stewart (Eds.). The Rumen Microbial
Ecosystem. Blackie, Melbourne. p. 10-72.
Sun, Y. and J. Cheng. 2002. Hydrolysis of lignocellulosic materials

87 Mikroba Rumen Pendegradasi Serat Pakan


for ethanol production: a review. Bioresour. Technol. 83: 1-11.
Teather, R.M. and J.D. Erfle. 1990. DNA sequence of a Fibrobacter suc-
cinogenes mixed-linkage beta-glucanase (1,3-1,4-beta-D-glucan 4-
glucanohydrolase) gene. J. Bacteriol. 172: 3837-3841.
Teather, R.M., M.A. Hefford, and R.J. Forster. 1997. Genetics of ru-
men bacteria. In: In: P.N. Hobson, and C.S. Stewart (Eds.). The
Rumen Microbial Ecosystem. Blackie, Melbourne. p. 427-466.
Teixeira, L.C., J.C. Linden, and H.A. Schroeder. 2000. Simultaneous
saccharification and cofermentation of peracetic acid-pre-
treated biomass. Appl. Biochem. Biotechnol. 86: 111-127.
Upton, C. and J.T. Buckley. 1995. A new family of lipolytic enzymes?
Trends Biochem. Sci. 20: 178-179.
Utt, E.A., C.K. Eddy, K.F. Keshav, and L.O. Ingram. 1991. Sequencing
and expression of the Butyrivibrio fibrisolvens xylB gene encoding
a novel bifunctional protein with L-D-xylosidase and K-L-
arabinofuranosidase activities. Appl. Environ. Microbiol. 57:
1227-1234.
Vercoe, P.E. and B.A. White. 1997. Genetics of ruminal anaerobic
bacteria. In: R.I. Mackie, B.A. White, B.A. and R.E. Isaacson (Eds.).
Gastrointestinal Microbiology. Chapman and Hall, New York. p.
321-372.
Vercoe, P.E. and K. Gregg. 1992. DNA sequence and transcription of
an endoglucanase gene from Prevotella (Bacteroides) ruminicola
AR20. Mol. Gen. Genet. 233: 284-292.
Vercoe, P.E., D.H. Spight, and B.A. White. 1995. Nucleotide sequence
and transcriptional analysis of the celD L-glucanase gene from
Ruminococcus flavefaciens FD-1. Can. J. Microbiol. 41,: 27-34.
Vercoe, P.E., J.L. Finks, and B.A. White. 1995. DNA sequence and
transcriptional characterization of a L-glucanase gene (celB)
from Ruminococcus flavefaciens FD-1. Can. J. Microbiol. 41: 869-
876.
Wang, W., S.J. Reid, and J.A. Thomson. 1993. Transcriptional regula-

Karbohidrat Pakan Ruminansia 88


tion of an endoglucanase and a cellodextrinase gene in Rumino-
coccus flavefaciens FD-1. J. Gen. Microbiol. 139: 1219-1226.
Wang, W.Y. and J.A. Thomson. 1990. Nucleotide sequence of the
celA gene encoding a cellodextrinase of Ruminococcus flavefaciens
FD-1. Mol. Gen. Genet. 222: 265-269.
Ware, C.E., A.H. Lachke, and K. Gregg. 1990. Mode of action and sub-
strate specificity of a purified exo-1,4-beta-D-glucosidase cloned
from the cellulolytic bacterium Ruminococcus albus AR67. Bio-
chem. Biophys. Res. Commun. 171: 777-786.
Whitehead, T.R. 1993. Analyses of the gene and amino acid se-
quence of the Prevotella (Bacteroides) ruminicola 23 xylanase re-
veals unexpected homology with endoglucanases from other
genera of bacteria. Curr. Microbiol. 27: 27-33.
Wilkins, R.J. and D.J. Minson. 1970. The effects of grinding, supple-
mentation and incubation period on cellulose digestibility in
vitro and its relationship with cellulose and organic matter di-
gestibility in vivo. J. Agric. Sci. 74: 445-451.
Williams, A.G. and G.S. Coleman. 1997. The rumen protozoa. In: P.N.
Hobson, and C.S. Stewart (Eds.). The Rumen Microbial Ecosys-
tem. Blacke, Melbourne. p. 73-139.
Wilson, C.A., S.I. McCrae, and T.M. Wood. 1994. Characterization of
a beta-D-glucosidase from the anaerobic rumen fungus Neocalli-
mastix frontalis with particular reference to attack on cello-oli-
gosaccharides. J. Biotechnol. 37: 217-227.
Woo, J.H., K.K. Cho, H.K. Min, and Y.J. Choi. 1995. Cloning of gene
for beta glucosidase from Ruminococcus albus 7. Mol. Cell. 5: 448-
451.
Wood, T.M., C.A. Wilson, S.I. McCrae, and K.N. Joblin. 1986. The
highly active extracellular cellulase from the anaerobic ruminal
fungus Neiocallimastix frontalis. FEMS Microbiol. Lett. 34: 37-40.
Wulff-Strobel, C.R. and D.B. Wilson. 1995. Cloning, sequencing, and
characterization of a membrane-associated Prevotella ruminicola

89 Mikroba Rumen Pendegradasi Serat Pakan


B14 beta-glucosidase with cellodextrinase and cyanoglycosidase
activities. J. Bacteriol. 177: 5884-5890.
Xue, G.P., C.G. Orpin, K.S. Gobius, J.H. Aylward, and G.D. Simpson.
1992. Cloning and expression of multiple cellulase cDNAs from
the anaerobic rumen fungus Neocallimastix patriciarum in Esche-
richia coli. J. Gen. Microbiol. 138: 1413-1420.
York, W.S., V.S. Kumar Kolli, R. Orlando, P. Albersheim, and A.G.
Darvill. 1996. The structures of arabinoxyloglucans produced by
solanaceous plants. Carbohydr. Res. 285: 99-128.
Zhang, J.X., J. Martin, and H.J. Flint. 1994. Identification of noncata-
lytic conserved regions in xylanases encoded by the xynB and
xynD genes of the cellulolytic rumen anaerobe Ruminococcus
flavefaciens. Mol. Gen. Genet. 245,: 260-264.
Zhou, L., G.P. Xue, C.G. Orpin, G.W. Black, H.J. Gilbert, and G.P. Haz-
lewood. 1994. Intronless celB from the anaerobic fungus Neocalli-
mastix patriciarum encodes a modular family A endoglucanase.
Biochem. J. 297: 359-364.

Karbohidrat Pakan Ruminansia 90


Pencernaan dan Penyerapan
Karbohidrat Pakan

Sistem evaluasi pakan ruminansia sebagian telah dikembangkan


untuk menyesuaikan suplai nutrien dengan kebutuhan ternak. Evo-
lusi sistem evaluasi pakan perlu berkontribusi pada prediksi yang
lebih baik tentang beberapa respons ternak terhadap pakan, meng-
ingat banyaknya tujuan baru yang membebani sistem produksi ru-
minansia (efisiensi produksi, ekskresi N dan C, kualitas produk dan
aspek kesejahteraan). Sebagian besar respons ternak yang ditarget-
kan terhadap pakan terkait erat dengan situs, besaran, dan kinetika
pencernaan energi yang disuplai oleh karbohidrat pakan, yang san-
gat memengaruhi jumlah dan profil nutrien yang dikirimkan ke
jaringan-jaringan perifer. Energi masih dianggap sebagai unit agre-
gat, di lain pihak, pengembangan sistem evaluasi pakan multi-
tujuan membutuhkan integrasi pemahaman kuantitatif pada pen-
cernaan karbohidrat dan produk akhir, serta metabolismenya oleh
jaringan splanknik. Hal ini menjadi tantangan karena keragaman
komposisi pakan dan tingkat konsumsi yang ada dalam sistem
produksi ruminansia. Bab ini membahas (i) pemahaman secara
kuantitatif tentang pencernaan serat, bahan pati dan senyawa gula,
asam lemak volatil (VFA) dan produksi glukosa, serta metabolisme
splanknik; (ii) pendekatan pemodelan yang bertujuan untuk me-
wakili dan/atau memprediksi fluks nutrien pada saluran pen-
cernaan, serta pengaliran portal dan hepatik. Beberapa hasil kajian

91 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


yang disajikan pada Bab ini berasal dari meta-analisis data pustaka,
menggunakan basis data yang dikembangkan di INRA ber-sama-
sama dengan publikasi penelitian pencernaan in vivo (Sauvant et
al., 2000), produksi VFA rumen (Nozie`re et al., 2007), dan aliran nu-
trien darah yang melintasi jaringan splanknik (Vernet dan Ortigues
- Marty, 2006).

Dinding sel, bahan pati dan karbohidrat larut: besaran dan laju
pencernaan rumen
Beberapa jenis karbohidrat pakan termasuk: karbohidrat tidak
larut atau larut dinding sel (cell wall, CW), bahan pati dan karbohid-
rat larut air (water soluble carbohydrates, WSC). Karbohidrat tidak
larut CW secara klasik dicirikan sebagai fraksi yang tidak larut da-
lam larutan deterjen netral, yang disebut neutral detergent fiber
(NDF); terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin, sejumlah kecil
bahan yang mengandung N dan residu bahan pati untuk bebijianl
jika tidak ada perlakuan amilase yang diterapkan sebelumnya. NDF
tidak ter-masuk bahan larut CW seperti pektin. Di samping NDF,
bahan pati dan senyawa gula larut merupakan fraksi karbohidrat
yang signifikan (umumnya lebih dari 10%) masih belum diperhi-
tungkan dalam analisis pakan yang standar. Ini diduga terdiri dari
xilan, glukan dan asam organik.

Karbohidrat tidak larut CW. Konsentrasi NDF berkisar antara 40%


sampai 80% dari bahan kering (DM) hijauan, bergantung pada
famili botani, tahap vegetasi dan preservasi. Pada pakan konsentrat
dan produk samping, NDF berkisar dari sangat rendah (yaitu te-
pung gluten jagung) sampai lebih dari 80% DM (yaitu kulit soba,
tongkol jagung, bungkil ekstraksi biji anggur yang diekstraksi, dan
lain-lain). Kandungan NDF menyumbang 30% hingga 80% dari kon-
sumsi DM, bergantung pada komposisi pakan. Bagi hijauan,
kecernaan NDF dalam total saluran berkisar antara 40 hingga

Karbohidrat Pakan Ruminansia 92


85%. Porsi NDF yang tidak dapat dicerna sangat tergantung pada
kecernaan bahan organik (organic matter, OM) untuk rumput, ka-
cang-kacangan dan jerami (INRA, 2007). Kecernaan NDF pakan kon-
sentrat dapat dievaluasi secara tidak langsung dari kecernaan OM,
bahan pati, protein kasar (crude protein, CP) dan asam lemak
(Sauvant et al., 2008), dan berkisar antara 20% hingga 90%. Sesuai
kandungan NDF dan daya cernanya, hanya sedikit hijauan
(misalnya rumput brome segar), dan konsentrat (misalnya kulit
kacang kedelai, bungkil inti sawit), yang mengandung hampir 50%
NDF dapat dicerna (dNDF) dalam DM.
Pencernaan NDF dalam rumen tampaknya dimulai setelah se-
buah fase lag. Secara in sacco, fase lag ini berhubungan positif
dengan kandungan NDF dan lamanya dapat mencapai 10 jam
(Sauvant dan Van Milgen, 1995). Waktu yang dibutuhkan untuk ko-
minusi dan kolonisasi mikroba berkontribusi pada fase lag ini. Ke-
rusakan fisik partikel me-rupakan akibat dari pengunyahan selama
konsumsi dan ruminasi, yang pada gilirannya memfasilitasi hidrasi,
kolonisasi mikroba, pelepasan enzim dan hidrolisis. Waktu pengu-
nyahan berkisar antara 400 hingga 1.000 menit per hari, sesuai
dengan indeks pengunyahan sekitar 20 hingga 100 menit per kg
konsumsi DM pada sapi perah (Sauvant et al., 1990). Indeks ini
terkait erat dengan kandungan CW pakan (Dulphy et al., 1993) dan
granulometri (Sauvant, 2000). Studi ekstensif oleh Yang (1991)
menunjukkan bahwa kolonisasi mikroba dimulai sangat awal,
dengan tingkat bervariasi dari 10 sampai 40% per jam secara in sac-
co, dan sebanding dengan kandungan NDF (sekitar 50 mg DM
mikroba per gram NDF setelah 3 jam) karena fakta bahwa CW me-
nyediakan area permukaan yang luas untuk perlekatan mikroba.
Kolonisasi maksimal juga bergantung pada ukuran partikel, berva-
riasi antara 10 hingga 15% (partikel 0,01 mm) dan 40 hingga 60%
(partikel, 0,1 mm). Kolonisasi menurun Setelah pencernaan menuju
asimtot di mana massa mikroba terutama terkait dengan fraksi

93 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


yang tidak dapat dicerna. Dengan demikian, populasi mikroba
penting tetap ada dalam rumen dan berkontribusi pada stabilitas
rumen.
Pencernaan dNDF dalam rumen lajunya rendah (2 sampai 8%/
jam) bergantung pada besaran dan sifat lignifikasi, bila dibanding-
kan dengan jenis karbohidrat lain. Oleh karena itu, besarnya pen-
cernaan NDF di rumen sangat tergantung pada waktu tinggal
partikel dalam rumen, dengan demikian pada fase lag dari partikel
besar yang baru dikonsumsi dan pada tingkat pergantian fraksi
partikel kecil (2% hingga 8% per jam). Tingkat pergantian fraksion-
al partikel bergantung pada ukuran dan kepadatan partikel
(Lechner-Doll et al., 1991), serta pada tingkat konsumsi (dengan
peningkatan rata-rata 0,74% per jam untuk 1 gram konsumsi DM
per 100 kg BB; Sauvant, 2003). Degradasi NDF rumen ditekan oleh
suplementasi konsentrat. Hal ini jelas terkait dengan penurunan
aktivitas enzim fibrolitik dari mikroorganisme yang menempel pa-
da partikel tanaman (Nozie`re et al., 1996), dari-pada perubahan
struktur komunitas bakteri selulolitik (Martin et al., 2001). Modifi-
kasi aktivitas selulolitik sebagian dapat dijelaskan dengan
pergeseran pH rumen. Secara in sacco, ini terutama ter-cermin oleh
penurunan tingkat degradasi fraksional, tetapi juga oleh pening-
katan fraksi yang tidak dapat terdegradasi (Van Milgen et al., 1992).
Ruminansia tidak mensekresikan enzim fibrolitik endogen, se-
hingga NDF yang keluar dari pencernaan rumen tidak dicerna di
usus kecil. Hanya sebagian NDF (secara perlahan) terdegradasi di
usus bagian belakang, karena aktivitas selulolitik di sekum jauh
lebih rendah daripada di rumen (Michalet-Doreau et al., 2002),
dan waktu tinggal partikel di usus belakang lebih rendah daripada
di rumen (Huhtanen et al., 2004). Sebagai konsekuensinya, pen-
cernaan NDF di usus bagian belakang rerata hanya 10% dari saluran
pencernaan total. Faktor-faktor yang memengaruhi degradasi
NDF di rumen (dan akibatnya kecernaan saluran total) tidak hanya

Karbohidrat Pakan Ruminansia 94


karakteristik intrinsik bahan pakan, terutama lignifikasinya, tetapi
juga faktor yang terkait dengan komposisi pakan dan tingkat kon-
sumsi, yaitu besaran dan aktivitas mikroorganisme fibrolitik, dan
kecepatan alir partikel melewati rumen.

Bahan pati. Bahan pati dapat diperhitungkan sebagai sebagian


besar DM pakan ruminansia, dan dapat melebihi 50% dari konsumsi
DM pakan intensif berbasis serealia dan/atau bebijian. Kandungan
pati biji-bijian bervariasi diantara serealia, dari 40% DM (oat) hing-
ga 87% DM (beras), bergantung juga pada varietas, lokasi, tahun,
kondisi iklim dan praktik secara agronomi. Kandungan bahan pati
dari silase jagung (17 hingga 41%) terutama bergantung pada ke-
matangan tanaman, yaitu proporsi biji-bijian di dalam tanaman
(32 hingga 54%), dengan peningkatan rata-rata 0,7 g pati/g biji-
bijian. Degradasi bahan pati terutama merupakan hasil kinerja en-
zim bakteri dengan meng-ikuti perlekatan dan kolonisasi partikel
bebijian oleh bakteri amilolitik, karena saliva ruminansia tidak
mengandung amilase. Protozoa memainkan peran kunci dalam
menunda degradasi bahan pati karena protozoa rumen dapat me-
nyimpan granula bahan pati secara sementara (Jouany dan
Thivend, 1972).
Proporsi bahan pati yang dicerna dalam rumen bervariasi anta-
ra 25% dan hampir 100% dari bahan pati yang dikonsumsi, dan
dapat mencapai hingga 10 g/hari per kg BB (Swingle et al., 1999).
Bahan pati lebih cepat terdegradasi dalam rumen dibandingkan
dengan NDF. Sebuah tinjauan data secara kuantitatif-ekstensif dil-
akukan terhadap kandungan bahan pati dan kinetika degradasi in
sacco bebijian (Offner et al., 2003), yang sebagian besar hasilnya
telah ditabulasikan oleh INRA-AFZ (2004). Ini menunjukkan bahwa
degradabilitas bahan pati di rumen sangat bervariasi di antara
sumber bahan pati, dari rerata 60% untuk jagung dan sorgum hing-
ga 95% untuk gandum, triticale atau gandum hitam, bergantung

95 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


pada besaran fraksi terlarut (20 hingga 80%) dan laju degradasi
fraksional bahan pati yang tidak larut (5 sampai 60% per jam). Pen-
golahan bebijian juga memengaruhi degradasi bahan pati di rumen.
Sebagai contoh, pemanggangan menurunkan degradasi bahan pati
untuk oat dan barley (masing-masing -31 dan -17 gram per 100
gram), sedangkan steam-flaking meningkatkan degradasi bahan pati
untuk jagung dan sorgum (+26 gram per 100 gram setelah 1 jam).
Penurunan rerata ukuran partikel disamping meningkatkan aksesi-
bilitas bahan pati yang dapat dicerna ke enzim mikroba juga
meningkatkan degradabilitas bahan pati in sacco, dengan rerata 16
gram bahan pati terdegradasi per 100 gram biji jagung apabila rera-
ta ukuran partikel berkurang 1 mm (Offner et al., 2003). Genotip
juga sangat memengaruhi degradasi bahan pati, dengan peringkat
degradasi bahan pati in sacco dari 40 hingga 80% untuk jagung ber-
gantung pada tingkat kematangannya (Philippeau et al., 2000), yang
memengaruhi kolonisasi mikroba pada bebijian (McAllister et al.,
1990). Degradabilitas bahan pati silase jagung in sacco belum banyak
didokumentasikan karena adanya kesulitan secara metodologis.
Degradabilitas bahan pati silase jagung berkisar dari 75 hingga
95%, dan rerata menurun 7% apabila seluruh DM tanaman mening-
kat 10%. Namun, penggilingan silase sebelum inkubasi in sacco
menginduksikan hilangnya partikel bahan pati yang besar me-
lalui pori-pori kantong. Ketika sampel bebijian diambil sesaat sebe-
lum pemanenan, kehilangan partikel secara nyata berkurang, se-
hingga memungkinkan penentuan degradasi in sacco yang me-
madai, dengan degradabilitas bahan pati berkisar antara 40 sampai
90%; bergantung pada genotipe dan kematangan, yang keduanya
tercermin oleh tingkat vitreousness. Pengaruh penurunan vitreous-
ness terhadap degradabilitas bahan pati serupa untuk biji jagung
dewasa dan muda, rerata -8% dengan peningkatan vitreousness
sebesar 10% (Philippeau et al., 2000). Selain karakteristik intrinsik
bahan pakan, tingkat konsumsi juga berdampak negatif terhadap

Karbohidrat Pakan Ruminansia 96


kecernaan bahan pati di rumen (ruminal starch digestibility, RSD)
dengan meningkatkan laju partikel yang melalui rumen. Pengaruh
ini kurang penting untuk bahan pati (dan khususnya untuk bahan
pati yang sangat mudah terdegradasi) dibandingkan NDF, karena
rasio laju degradasi/laju penguraian yang lebih tinggi. Aktivitas
amilolitik bakteri meningkat dengan ketersediaan bahan pati
(Nozie`re dan Michalet-Doreau, 1997) dan diduga tidak menjadi
faktor pembatas untuk pencernaan bahan pati di rumen secara
umum.

Karbohidrat larut air


Karbohidrat larut air (water soluble carbohydrates, WSC), ter-
masuk laktat pada silase, biasanya menyumbang kurang dari 15%
dari DM, tetapi bisa mencapai lebih dari 20% pada pemanjangan
batang atau munculnya “telinga” pada ryegrass. Laju hilangnya
WSC dari cairan rumen sangat tinggi (>400% per jam; Weisbjerg et
al., 1998), dan umumnya diakui bahwa WSC terfermentasi di rumen
seketika setelah terlepaskan dari sel tanaman. Namun, berdasarkan
akumulasi WSC pasca-prandial sementara (transitory post-prandial)
dalam rumen bagi pakan kaya WSC, kapasitas mikroba untuk
mengambil dan memetabolismekan WSC diduga dibatasi oleh
hukum termodinamika jalur metabolisme. Selain itu, penyerapan
rantai karbon oleh sel mikroba bisa jauh lebih cepat daripada fer-
mentasinya, dengan tingkat akumulasi karbohidrat maksimal da-
lam sel mikroba sekitar 1 jam setelah konsumsi pakan, dan selan-
jutnya menurun pada 5% hingga 20% per jam (Sauvant dan Van
Milgen, 1995). Adaptasi jangka pendek ini menunda pembuangan
energi oleh mikroba. Sebagai konsekuensinya, laju degradasi
fraksional sebesar 150 hingga 300% per jam diasumsikan untuk
WSC dalam beberapa model rumen (Russell et al., 1992; Petruzzi et
al., 2002), padahal diduga terjadi degradasi fraksional yang sangat
lebih rendah, tetapi bukti eksperimentalnya belum banyak.

97 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


Penyesuaian yang dapat diterima diperoleh dengan asumsi bahwa
laju fraksional sekitar 40% per jam. Dengan asumsi laju aliran
fraksional cairan lebih rendah dari 15% per jam, maka proporsi
WSC terkonsumsi yang rendah dapat lolos dari degradasi rumen,
dan sangat tercerna di usus kecil dan besar.

Representasi pencernaan karbohidrat pada model rumen. Dalam


model rumen yang paling rinci, minimal terdapat 4 empat wakil
fraksi karbohidrat pakan, termasuk karbohidrat larut, bahan pati
ter-degradasi, CW terdegradasi dan tidak terdegradasi. Secara
umum, fraksi-fraksi tersebut didasarkan pada komposisi kimianya
(ADL untuk CW yang tidak tidak terdegradasi), atau dengan data in
sacco atau in vitro (untuk memisahkan fraksi terlarut dan tidak ter-
degradasi). Lanzas et al. (2007) mengembangkan model Cornell
(CNCPS), jumlah pool karbohidrat diperluas dengan mempertim-
bangkan secara terpisah VFA dan asam laktat dari silase, asam-
asam organik lainnya, senyawa gula dan serat larut. Proses yang
berlangsung selama lag time umumnya tidak terwakili secara ek-
splisit, atau dimasukkan tanpa transisi dari lag phase ke dalam pros-
es pencernaan. Secara umum diasumsikan bahwa lag compartments
tidak mengalami perjalanan dari rumen atau degradasi mikroba
(Baldwin et al., 1987b; Chilibroste et al., 2008), padahal Sauvant et al.
(1996) mengusulkan bahwa sebuah lag time yang lebih rendah
sebelum pencernaan daripada sebelum transit. Inklusi lag time sep-
erti itu tidak dapat disangkal menarik untuk representasi dinamika
proses, tetapi minatnya untuk meningkatkan prediksi rerata aliran
harian di duodenum tetap di-pertanyakan (Bannink et al., 1997).
Regulasi laju degradasi CW sesuai pH umumnya diperhitungkan,
dengan tingkat koreksi yang cukup sebanding diantara model-
model. Bagi bahan pati, pengaturan laju degradasi sesuai biomassa
mikroba diperhitungkan pada beberapa model (Baldwin et al.,
1987b; Dijkstra et al., 1992). Dua atau tiga laju aliran keluar

Karbohidrat Pakan Ruminansia 98


umumnya dipertimbangkan untuk laju aliran. Fase cair dan padat
dianggap secara global (Dijkstra et al., 1992), atau dipisahkan antara
hijauan dan partikel pakan konsentrat (Sniffen et al., 1992; Lescoat
dan Sauvant, 1995), atau antara partikel besar dan kecil (Baldwin et
al., 1987b; Petruzzi et al., 2002). Meskipun sebagian besar model me-
wakilkan pengaruh tingkat konsumsi pada laju aliran, persamaan-
persamaan sangat bervariasi diantara model. Hal ini sangat me-
mengaruhi prediksi, seperti yang digarisbawahi oleh Dijkstra dan
France (1996). Sauvant et al. (1996) mengusulkan represen-tasi
transit yang lebih mekanistik pada beberapa model, dan ini layak
untuk dieksplorasi lebih lanjut.
Perbandingan-perbandingan kuantitatif model rumen mekanis-
tik yang dipublikasikan berdasarkan kemampuannya untuk mem-
prediksi pencernaan CW dan/atau bahan pati di rumen, namun
masih langka dan terbatas pada evaluasi kondisi yang steady. Ban-
nink et al. (1997) membandingkan model Baldwin (1995), Danfaer
(1990) dan Dijkstra et al. (1992). Offner dan Sauvant (2004a) mem-
bandingkan model Molly (Baldwin et al., 1987b), CNCPS (Sniffen et
al., 1992; Pitt et al., 1996; Fox et al., 2000) dan Lescoat dan Sauvant
(1995). Evaluasi-evaluasi berbeda sesuai dengan estimasi berbagai
parameter input, besaran dan keragaman situasi pemberian pakan,
serta metode eva-luasi statistik yang diuji, yang menyebabkan be-
berapa perbedaan dalam kesimpulan-kesimpulannya. Kedua eval-
uasi menekankan bahwa tidak ada model saat ini yang secara aku-
rat memrediksikan pencernaan serat, sedangkan Offner dan
Sauvant (2004a) menggarisbawahi kapasitas yang cukup baik dari
model Lescoat dan Sauvant (1995) untuk memrediksi pencernaan
bahan pati di rumen dengan pengujian in sacco.

Produksi dan penyerapan VFA


Mekanisme yang terlibat dalam produksi VFA rumen. Asam le-
mak volatil (VFA), NH3, gas (CO2 dan CH4), dan kadang-kadang asam

99 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


laktat, merupakan produk akhir fermentasi mikroba dalam rumen.
Asam lemak volatil terutama terdiri atas asetat, propionat dan
butirat, serta dengan konsentrasi yang lebih rendah berupa val-
erat, kaproat, isobutirat dan iso-valerat. Asam lemak volatil teruta-
ma berasal dari karbo-hidrat pakan, tetapi pakan dengan kadar
protein terdegradasi di rumen (rumen degradable protein, RDP)
yang tinggi, asam amino yang terdeaminasi (AAs) secara signifikan
berkontribusi terhadap produksi VFA melalui asam isobutirat, iso-
valerat dan 2-metilbutirat yang masing-masing dihasilkan dari
valin, leusin dan isoleusin. Setelah polimer-polimer pakan men-
galami hidrolisis, monomer difermentasi dalam sitoplasma menjadi
VFA melalui glikolisis dan piruvat. Asetat dan butirat keduanya
terbentuk dari asetil koA, sedangkan propionat terutama dibentuk
melalui suksinat dan pada kadar yang lebih rendah melalui jalur
laktat (yaitu akrilat). Valerat dan kaproat diasumsikan terbentuk
setelah kondensasi asetil-KoA dan propionil-KoA. Proses fermenta-
si melibatkan transfer molekul H dan menghasilkan energi
metabolik dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP) yang se-lanjutnya
dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk pokok hidup dan per-
tumbuhannya. Partisi diantara jalur fermentasi diatur melalui
hukum termodinamika oleh rasio kofaktor ATP/ADP dan NADH2/
NAD, yang masing-masing mencerminkan status energi dan kese-
imbangan redoks. Apabila ketersediaan karbon (C) berlebihan,
diduga lebih disukai jalur fermentasi yang menyediakan lebih sedi-
kit ATP (Sauvant dan Van Milgen, 1995). Komposisi VFA dan
hilangnya C dalam gas, terutama ditentukan oleh komposisi popu-
lasi mikroba, dan dengan demikian sangat ditentukan oleh tingkat
konsumsi dan komposisi pakan, terutama karakteristik karbohid-
rat dan tingkat degradasinya. Secara khas, perkembangan mikroor-
ganisme fibrolitik menginduksikan tingkat asetat yang tinggi, se-
dangkan perkembangan mikroorganisme amilolitik menginduksi-
kan peningkatan proporsi propionat, sehingga memungkinkan

Karbohidrat Pakan Ruminansia 100


peningkatan pemanfaatan daya reduksi yang berlebih. Pakan kon-
sentrat, dan khususnya pakan kaya WSC, juga dapat mendorong
perkembangan protozoa yang menginduksikan peningkatan butirat
daripada propionat (Brossard et al., 2004).

Evaluasi kuantitatif produksi VFA.


Asam lemak volatil total. Pada kebanyakan model rumen yang me-
wakili produksi VFA, jumlah total VFA dan gas yang dihasilkan di-
hitung dari jumlah OM terdegradasi yang tidak tergabungkan ke
dalam massa mikroba. Dengan demikian, estimasi sangat bergan-
tung pada keakuratan representasi dari degradasi substrat dan/
atau sintesis mikroba. Selain itu, masalah utama dalam men-
gevaluasi keakuratan estimasi adalah bahwa evaluasi didasarkan
pada pengukuran konsentrasi VFA dan bukan pada tingkat
produksi VFA. Secara fakta, karena kendala metodologis , hanya
produksi VFA yang jarang diukur sehingga nilai sebenarnya tidak
diketahui. Pendekatan empiris yang lebih langsung dapat dikem-
bangkan untuk memrediksi produksi VFA rumen, berdasarkan laju
produksi VFA yang diukur (VFA production rate, VFA-PR) dan ber-
dasarkan estimasi energi yang ter-sedia dalam rumen. Metode in
vivo yang paling umum untuk mengukur VFA-PR didasarkan pada
penggunaan VFA berlabel 14C (Sutton et al., 2003), atau 13C
(Markantonatos et al., 2008). Meskipun kondisi stabil (steady state)
biasanya diasumsikan, interpretasi data pelacak yang
menggunakan pemodelan dinamis memungkinkan adaptasinya un-
tuk kondisi tidak stabil. Besaran VFA-PR total dapat ditentukan
setelah pemberian salah satu dari VFA individu (atau campuran
VFA) dan penentuan pengayaan VFA total, dengan asumsi VFA se-
bagai kumpulan yang homogen (skema pool tunggal). Asam lemak
volatil merupakan faktor pembatas utama untuk sintesis protein
mikroba, sehingga ketersediaan energi dalam rumen direpresenta-
sikan dalam berbagai sistem evaluasi N pakan. Dalam sistem PDI

101 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


102
Tabel 1. Persamaan empiris yang dikembangkan dari sistem evaluasi pakan INRA untuk memrediksikan fluks portal netto VFA,
glukosa dan β-hidroksibutirat

Karbohidrat Pakan Ruminansia


Persa-
Variabel Persamaan prediksi Sy x Prediktor asli
maan
1 Produksi VFA total rumen (mmol/hari per kg 8,9 + 8,03 x konsumsi RfOM 11,8 Tabel INRA (2007)
BB)
Proporsi molar VFA rumen (mol/100 mol)
2 Asetat 54,2 + 12,0 log (100 dNDF/dOM) – 1,23 Hasil pengukuran
0,052 RStd – 1,99 x konsumsi BK
3 Propionat 19,7 – 6,63 log (100 dNDF/dOM) + 1,45 Hasil pengukuran
0,070 RStd + 2,62 x konsumsi BK
4 Butirat 19,0 – 3,99 log (100 dNDF/dOM) + 0,88 Hasil pengukuran
0,026 RStd
5 Kecernaan ruminal bahan pati (RStd) (g/100 g 43,9 + 0,68 StED – 8,27 x konsumsi 11,9 Tabel INRA (2007)
bahan pati) BK
6 Bahan pati yang dicerna di usus kecil (StdSI) St (1 – RStd/100) x (74,05 – 1,22 - Hasil pengukuran
(g/hari per kg BB) St) (1 – RStd/100) x konsumsi
BK/1000
Fluks portal netto (mmol/hari per kg BB)
7 VFA total 1,44 + 5,93 konsumsi RfOM 5,83 Tabel INRA (2007)
8 Asetat 58,7 + 25,1 (0,9 dNDF/RfOM) 2,23 Tabel INRA (2007)
9 Propionat 34,0 – 18,9 (0,9 dNDF/RfOM) 2,18 Tabel INRA (2007
10 Butirat 7,9 – 7,3 (0,9 dNDF/RfOM) 1,10 Tabel INRA (2007)
11 Glukosa -2,47 + 2,19 StdSI 0,84 Persamaan (6)
12 Β-hidroksibutirat 2,74 (±2,11) + 0,252 x konsumsi Tabel INRA
RfOM 0,86
VFA: asam lemak volatil.
RfOM: konsumsi bahan organik yang terfermentasikan di rumen; StdSI: bahan pati yang tercerna di usus kecil.
Konsumsi BK: kg/hari per 100 kg BB.
dNDF: NDF tercerna; dOM: bahan organik tercerna; RfOM: bahan organik yang tercerna di rumen; St: bahan pati: g/100 BK.
RStD: Kecernaan ruminal bahan pati; StED: kecernaan bahan pati in sacco: g/100 g bahan pati.
Persamaan (1) - (4): Noziere et al. (2010); persamaan (5) dan (6): Offner dan Sauvant (2004b); persamaan (7) - (12): Loncke et al.
(2009b).
Prancis dan versi Belanda-nya (DVE/OEB), ini diperkirakan dengan
OM terfermentasi rumen (RfOM) = OM tercerna – CP tidak terde-
gradasi (secara in sacco) – bahan pati tidak terdegradasi (secara in
sacco) – lemak – konstanta produk fermentasi (dengan nilai kon-
stanta = 5). Dengan menggunakan sebuah basis data yang
digabungkan dengan hasil pengukuran VFA-PR (Nozie`re et al.,
2007), dan secara homogen mengkarakterisasikan pakan perlakuan
sesuai Tabel komposisi pakan INRA, dapat ditunjukkan hubungan
erat antara estimasi konsumsi RfOM dan VFA-PR total terukur
(Tabel 11, persamaan (1)). Hubungan tersebut menunjukkan rerata
peningkatan sebesar 8,0 mol (± 0,6) dari total VFA-PR per kg RfOM
(Nozie`re et al., 2010). Prediksi ini menunjukkan tidak adanya
faktor yang mengganggu secara signifikan, dan secara nyata
terlepas dari perubahan konsumsi RfOM akibat perubahan kon-
sumsi DM dan/atau kandungan RfOM pakan. Selain itu, slop ini
sesuai dengan sekitar 540 gram VFA per kg RfOM, sepenuhnya kon-
sisten dengan efisiensi sintesis mikroba, yang diasumsikan dalam
sistem PDI menjadi sekitar 300 gram materi mikrobaper kg RfOM,
dan sisanya terdiri dari gas.
Stoikiometri fermentasi. Beberapa upaya dilakukan untuk mem-
berikan koefisien stoikiometri yang menggambarkan partisi C an-
tara masing-masing VFA untuk setiap substrat yang difermentasi
(Gambar 6). Dengan menggunakan basis data yang besar, Murphy
et al. (1982) mengusulkan bahwa untuk lima substrat terfermentasi
(karbohidrat larut, pati, hemiselulosa, selulosa dan protein)
koefisien terpisah untuk pakan serat dan pakan konsentrat.
Koefisien ini (Murphy et al., 1982; Murphy, 1984) telah digunakan
secara luas dalam beberapa model rumen mekanistik (Baldwin et
al., 1987b; Dijkstra et al., 1992), tetapi hasil evaluasinya menunjuk-
kan bahwa prediksi proporsi molar VFA dalam rumen tetap tidak
akurat (Neal et al., 1992; Bannink et al., 1997). Dengan
menggunakan pendekatan serupa, Bannink et al. (2006) men-

103 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


104
Karbohidrat Pakan Ruminansia
Gambar 1. Variasi-variasi koefisien stoikiometerik (mol/100 ml VFA) bagi karbohidrat struktural (a: ? ? hemiselulosa; ―― selulosa ;
―― NDF dan karbohidrat non struktural (b: ? ? senyawa gula larut ; ―― bahan pati; keduanya ), sesuai dengan komposisi pakan:
porsi hijaun tinggi () porsi konsentrat tinggi () atau semua pakan(). Sumber: Murphy et al. (2006); Sveinbjornson et al. (2006).
gusulkan koefisien baru yang diturunkan dari data secara eksklusif
terhadap pencernaan rumen sebenarnya (bukan semu) pada sapi
laktasi. Namun prediksi VFA tidak meningkat secara substansial.
Dalam rangka menghindari diskontinuitas antara susunan data pa-
kan serat dan pakan konsentrat, Friggens et al. (1998) mengem-
bangkan desain minimalis dengan menggunakan domba, sehingga
memungkinkan perbandingan berbagai macam pakan yang ber-
beda dengan tingkat konsumsi, sifat dan persentase konsentrat.
Koefisien-koefisien turunan, sesuai komposisi kimia makanan (CP,
bahan pati, senyawa gula dan selulosa) pada pencernaan rumen,
dibatasi untuk pakan berbasis rumput. Sveinbjorrnsson et al. (2006)
menggunakan basis data besar pada sapi perah terbatas pada Sis-
tem Pakan Nordic, juga menurunkan koefisien berdasarkan kompo-
sisi kimia pakan (CP, bahan pati, asam laktat, NDF hijauan, NDF
konsentrat dan sebuah 'sisa fraksi' yang didefinisikan sebagai 'OM
-NDF-bahan pati-CP-laktat-VFA'), dan usul koreksi dari koefisien
yang bergantung pada kadar ekstrak eter konsentrat dan tingkat
pemberian pakan. Model Lescoat dan Sauvant (1995) terutama di-
tujukan untuk memprediksi aliran AA, menggunakan pendekatan
empiris yang lebih sederhana berdasarkan respons rerata profil
VFA terhadap persentase konsentrat, tetapi pendekatan ini telah
terbukti tidak akurat (Offner dan Sauvant, 2004a). Selain substrat
tercerna, pengaruh spesifik pH rumen terhadap stoi-kiometri VFA
dari fermentasi WSC dan bahan pati, juga telah dimasukkan oleh
Argyle dan Baldwin (1988), Pitt et al. (1996) dan Bannink et al.
(2006), tetapi pH juga tergantung pada VFA. Model-model stoi-
kiometri ini berfokus pada transformasi substrat spesifik yang ber-
beda, secara tidak langsung mewakili pengaruh diferensial dari
bakteri amilolitik v. selulolitik. Sebaliknya, protozoa, yang
menggunakan semua jenis substrat, tetapi menghasilkan proporsi
butirat yang lebih tinggi daripada bakteri umumnya tidak ter-
wakili. Nagorcka et al. (2000) menyusun koefisien stoikiometri

105 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


secara terpisah dari hasil VFA untuk bakteri amilolitik, bakteri fi-
brolitik dan protozoa. Secara keseluruhan, hasil ini menekankan
tantangan untuk prediksi stoikiometri yang akurat. Secara nyata,
koefisien yang diturunkan dari komposisi pakan tampaknya terlalu
membatasi untuk aplikasi yang generik, mengingat variabilitas laju
dan besaran fermentasi. Koefisien yang sama belum pasti dapat
digunakan untuk semua komposisi pakan atau tingkat konsumsi. Di
sisi lain, penggunaan koefisien yang berasal dari substrat tercerna
membutuhkan estimasi yang akurat dari substrat tercerna yang
dipilih. Masalah utama lainnya dalam mengevaluasi keakuratan
koefisien stoikiometrik adalah bahwa evaluasi didasarkan pada pen-
gukuran konsentrasi VFA daripada pada laju produksi VFA. Selain
itu, asumsi yang ditetapkan untuk penurunan estimasi stoi-kiometri
(misalnya efisiensi sintesis mikroba, tingkat penyerapan, dan lain
sebagainya) sangat bervariasi di antara studi, dan berdampak pada
hasil evaluasi komparatif. Friggens et al. (1998) dengan jelas meng-
gambarkan keterbatasan regresi empiris tersebut dan kekurangan
penerapannya secara umum. Pendekatan yang lebih mekanistik,
berdasarkan representasi hukum termodinamika telah dicoba
(Kohn dan Boston, 2000; Offner dan Sauvant, 2006). Meskipun hasil
pertama menjanjikan, pendekatan seperti itu tampaknya belum
cukup memuaskan sampai saat ini untuk tujuan prediksi.
Pendekatan yang lebih empiris juga dikembangkan berdasarkan
interpretasi basis data bibliografi dengan metode statistik meta-
analisis yang sesuai (Nozie`re et al., 2010). Melalui keragaman faktor
eksperimental yang luas (database BoviDig; Sauvant et al., 2000)
perubahan rasio antara dNDF dan dOM sebagian besar dapat men-
jelaskan perubahan proporsi molar VFA rumen, sesuai respons kur-
vilinier. Variabilitas residual di sekitar prediksi sebagian besar di-
jelaskan oleh RSD yang mencerminkan pengaruh lokasi pencernaan
bahan pati, konsumsi DM dan pH rumen, yang sejalan dengan Frig-
gens et al. (1998), Sveinbjornsson et al. (2006) dan Bannink et al.

Karbohidrat Pakan Ruminansia 106


(2006). Model-model akhir (Tabel 11, persamaan (2) hingga (4)) ter-
masuk dNDF/dOM, RDS dan DMi menunjukkan Sy.x yang sangat
rendah dibandingkan dengan model lain yang dilaporkan baik dari
model stoikiometri (Bannink et al., 2006) atau dari lebih pendekatan
sederhana berdasarkan kovariabel agregat yang unik seperti per-
sentase konsentrat (Lescoat dan Sauvant, 1995) atau kandungan
NDF pakan (Sauvant, 2003). Selain itu, pengaruh kurvilinier dNDF/
dOM, serta pengaruh konsumsi DM terhadap profil VFA menunjuk-
kan bahwa untuk substrat fermentasi tertentu, koefisien stoikiome-
tri mungkin tidak di-anggap konstan.
Perhitungan laju produksi VFA individu dimungkinkan dengan
asumsi proporsional antara produksi dan konsentrasi VFA, tetapi
asumsi ini umumnya dianggap tidak selalu valid. Penggunaan mod-
el-model kompartemen yang saling bertukar (skema 3-pool untuk
asetat, propionat dan butirat) memungkinkan untuk memper-
hitungkan interkonversi antara VFA, dan tidak bergantung pada
asumsi proporsionalitas antara produksi dan konsentrasi VFA.
Dengan menggunakan pendekatan ini, Sutton et al. (2003) menyim-
pulkan bahwa proporsi molar asetat dan propionat hanya sedikit
dibawah estimasi proporsi produksi netto-nya, sedangkan proporsi
molar butirat di atas estimasi laju produksi netto, terutama pada
konsentrasi-konsentrasi yang rendah. Dengan menggunakan basis
data VFA-Prod, Noziere et al. (2010) menegaskan kesimpulan ini
pada rentang yang lebih luas dari proporsi molar VFA, dan juga
menekankan bahwa perbedaan dalam proporsi molar butirat anta-
ra konsentrasi dan produksi netto terutama dijelaskan oleh
pengaruh antar-metode kajian. Ini adalah hasil yang menjanjikan
sehubungan dengan estimasi fluks rumen VFA individu berdasar-
kan konsentrasinya di rumen.

Mekanisme yang terlibat dalam penyerapan VFA. Aspek ini di-tinjau


secara ekstensif oleh Gabel dan Aschenbach (2006). Penyerapan

107 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


Gambar 2. Representasi pengaruh pH terhadap laju absorpsi fraksional (kabs)
asam lemak volatil, sesuai fungsi Michaelis-Menten ( dan : kabs
= kA/1 + (MVFA/[VFA]) dengan kA = laju absorpsi maksimum, MVFA =
konstanta afinitas Michaelis-Menten, dan hubungan pH secara linier terhadap
[VFA], atau terhadap hukum disosiasi Henderson-Hasselbach ( : kabs =
ki + (kni - ki)/(1 + 10 pH-pka), dengan masing-masing Kni dan Kni = laju
absorpsi fraksional dalam bentuk terionisasi dan ttidak terionisasi. Sumber:
Lescoat dan Sauvant (1995); Noziere dan Hoch (2006); Chilibroste et al.
(2008).

VFA melalui dinding retikulo-rumen menyumbang 65 sampai 85%


dari produksi rumen, bergantung pada keseimbangan antara ting-
kat penyerapan dan tingkat pergantian fase cair dalam rumen.
Asam lemak volatil yang meninggalkan retikulo-rumen diserap di
omasum dan abomasum. Nilai pKa dari VFA adalah <4,9; ini berarti

Karbohidrat Pakan Ruminansia 108


bahwa lebih dari 95% dari VFA harus dalam bentuk terionisasi (VFA
-
) pada pH rumen sekitar 6 sampai 7, sedangkan bentuk VFA tidak
terionisasi (VFAH) dapat berdifusi lebih mudah daripada VFA- me-
lalui lapisan ganda lipida dari membran sel. Difusi sederhana
VFAH secara pasti terjadi melalui epitel rumen, dengan H+ yang
berasal dari pertukaran Na+/H+ pada sisi apikal sel epitel. Hal ini
didukung oleh pH intraseluler yang netral yang mendukung ben-
tuk VFA- intraseluler, sehingga meningkatkan gradien VFAH dari
lumen ke sel epitel. Penyerapan VFA- dengan fasilitasi difusi meli-
batkan protein penukar anion (AE, DRA, PAT), mendorong transfer
bikarbonat dari sel epitel ke isi rumen yang tidak dapat
dikesampingkan. Ekstrusi melalui sisi basal sebagian terjadi oleh
difusi pasif VFAH, tetapi protein pertukaran anion (atau transpor
lainnya) mungkin juga terlibat, meskipun belum banyak bukti ek-
sperimentalnya.
Sebagian besar penelitian secara in vivo pada rumen yang diiso-
lasi secara sementara menunjukkan bahwa tingkat penyerapan
fraksional VFA utama (asetat, propionat, butirat) meningkat sesuai
panjang rantai. Data tentang VFA minor masih sedikit tetapi
mengkonfirmasi kecenderungan ini, dan menunjukkan bahwa VFA
rantai bercabang memiliki tingkat penyerapan fraksional yang
lebih rendah daripada isomernya yang tidak bercabang (Oshio dan
Tahata, 1984). Penurunan pH rumen meningkatkan laju penyera-
pan VFA (Oshio dan Tahata, 1984; Dijkstra et al., 1993). Pengaruh
konsentrasi VFA rumen yang dilaporkan terhadap laju penyerapan
fraksionalnya tidak konsisten diantara penelitian-penelitian, dan
dapat bergantung pada perubahan yang terkait dengan pH dan/
atau tingkat metabolisme VFA di epitel rumen yang memengaruhi
gradien konsentrasi antara lumen dan darah. Laju penyerapan VFA
juga dipengaruhi secara positif oleh luas permukaan (Perrier et al.,
1994) dan dengan demikian oleh volume cairan (Dijkstra et al.,
1993), seperti yang diwakili dalam beberapa model rumen (Dijkstra

109 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


et al., 1993; Pitt et al., 1996). Pengaruh spesifik osmolalitas terhadap
laju penyerapan VFA bervariasi diantara penelitian-penelitian. Be-
berapa hasil kajian menunjukkan bahwa baik laju penyerapan air
dan VFA menurun masing-masing dengan rerata 23% per jam dan
26% per jam, ketika osmolalitas meningkat 100 mOsm per liter
(Oshio dan Tahata, 1984), sedangkan hasil kejian lain melaporkan
bahwa tingkat penyerapan VFA akan maksimal apabila osmolalitas
mendekati 350 mOsm per liter (Bueno, 1972; Lopez et al., 1994), yai-
tu, ketika transfer H2O netto melalui dinding rumen mendekati nol.
Fakta bahwa VFA sangat menentukan osmolalitas rumen dapat
menjelaskan perbedaan diantara hasil-hasil kajian.
Evaluasi kuantitatif tingkat penyerapan VFA. Representasi pe-
nyerapan VFA sangat berbeda antara model-model, sehubungan
dengan nilai tunggal v. nilai diferensiasi untuk VFA individu dan
proses penyerapan jenuh v. proses penyerapan tak jenuh. Selain
itu, sebagian besar model rumen memasukkan pengaruh pH pada
laju penyerapan fraksional VFA, sedangkan representasi sangat
berbeda diantara model-model (Gambar 7). Sebagai contoh, fungsi
Michaelis-Menten dari konsentrasi total VFA rumen (oleh karena
itu pH) di-pertahankan oleh Lescoat dan Sauvant (1995) atau
Chilibroste et al. (2008), sedangkan pada Dijkstra et al. (1993) atau
Pitt et al. (1996), masing-masing VFA dipertimbangkan secara indi-
vidual dan respons terhadap pH didasarkan pada hukum disosiasi
Henderson-Hasselbach (rasio VFA-/VFAH). Representasi yanng ter-
akhir ini tampaknya lebih konsisten dengan pengukuran eksperi-
mental menggunakan rumen yang diisolasi secara sementara.
Sesuai asumsi bahwa laju absorpsi bergantung pada rasio VFA-/
VFAH, maka pada nilai pKa, Noziere dan Hoch (2006) mengajukan
persamaan empiris yang mengandalkan variasi laju absorpsi
fraksional dengan pH. Hasil ini menunjukkan pengaruh pH ter-
hadap tingkat penyerapan fraksional VFA dapat secara sederhana
direpresentasikan melalui rasio VFA-/VFAH, dengan nilai tetap

Karbohidrat Pakan Ruminansia 110


sebesar 16, 18 dan 22% per jam untuk VFA- v. 76, 102 dan 135% per
jam untuk VFAH, masing-masing untuk asetat, propionat dan
butirat. Sesuai asumsi bahwa semakin rendah pH rumen, semakin
banyak hasil pengangkutan dari difusi pasif VFAH daripada
pengangkutan VFA- terfasilitasi jenuh (keduanya didorong oleh
konsentrasi rumen), Bannink et al. (2008) mengusulkan representa-
si terpisah dari dua rute penyerapan VFA ini, dan diasumsikan bah-
wa transportasi dari epitel ke darah difasilitasi dan lebih cepat da-
ripada transportasi yang difasilitasi dari lumen ke epitel. Hal yang
menarik, laju penyerapan fraksional dari VFA individu diprediksi
oleh simulasi kondisi steady dengan model mekanistik Bannink et al.
(2008) yang serupa dengan perolehan oleh model empiris Noziere
dan Hoch (2006).

Pencernaan bahan pati di usus dan penyerapan glukosa


Serealia dalam jumlah yang tinggi dalam pakan ruminansia
dapat menyebabkan gangguan pencernaan yang terkait dengan ber
-lebihannya pencernaan bahan pati di dalam rumen. Peningkatan
kandungan bahan pati tercerna sebesar 10 g per kg DM secara dras-
tis memengaruhi pH (-0,1 unit), pencernaan NDF (23 g per 100 g)
dan rasio asetat/propionat (20,4 mol/mol) dalam rumen.
Pergeseran tempat pencernaan bahan pati dari rumen ke usus
dapat mencegah gangguan ini, tetapi efisiensi energi dari strategi
tersebut masih dipertanyakan. Sesuai model simulasi pencernaan
bahan pati usus pada sapi jantan, Huntington et al. (2006) menyim-
pulkan bahwa keuntungan dari efisiensi pencernaan melalui pen-
ingkatan pencernaan bahan pati usus hanya dapat diperoleh pada
tingkat konsumsi yang rendah atau dengan pakan yang diproses
secara sempurna. Secara umum, dengan ternak yang diberi pakan
secara konvensional, terdapat bukti bahwa proporsi yang tidak
dapat diabaikan (rerata 25%) dari bahan pati lolos fermentasi ru-
men ditemukan dalam feses (Offner dan Sauvant, 2004b), ini

111 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


menginduksikan penurunan kecernaan OM, dan akibatnya dapat
menurunkan energi metabolis pakan (ME). Namun, percobaan per-
fusi menunjukkan bahwa pada suplai energi yang sama, glukosa
duodenum lebih efisien daripada propionat rumen untuk laju
ketersediaan glukosa seluruh tubuh (Rigout et al., 2003; Lemosquet
et al., 2009). Namun, dampak terhadap produksi dan komposisi susu
tetap moderat, sebagaimana dikonfirmasi oleh pendekatan meta-
analitis (Rulquin et al., 2007). Selain itu, sesuai basis data yang be-
sar, respons produksi susu terhadap peningkatan C yang dapat dis-
erap tampaknya serupa antara propionat rumen (diperkirakan dari
Tabel 11, persamaan (1) dan (3)) dan glukosa usus (diperkirakan
dari Tabel 11, persamaan (6)).

Pencernaan bahan pati di usus


Bahan pati pakan yang lolos dari degradasi rumen dapat men-
capai 8 g/hari per kg BB (Overton et al., 1995), yaitu 70% dari kon-
sumsi bahan pati. Bahan pati pakan yang masuk ke duodenum di-
pengaruhi oleh aktivitas α-amilase pankreas, yang menghidrolisis
amilosa dan amilopektin menjadi produk-peoduk berantai cabang
(dekstrin, terutama dari amilopektin) dan oligomer-oligomer dari
dua atau tiga unit glukosa. Oligosakarida dihidrolisis oleh oligo-
sakaridase brush border, yaitu maltase dan isomaltase. Sebagian be-
sar pencernaan bahan pati pasca rumen (rata-rata 70%) berlang-
sung di usus halus, tetapi kecernaan bahan pati di usus sangat
bervariasi dari 10 hingga 95%. Beberapa penelitian mengkaji faktor
-faktor yang membatasi pencernaan bahan pati di usus kecil (lihat
ulasan oleh Huntington, 1997; Harmon et al., 2004; Huntington et al.,
2006). Secara singkat, pankreas ruminansia diduga lebih responsif
terhadap konsumsi energi dari-pada bahan pati duodenum, dan
aktivitas oligosakaridase brush border diduga kurang responsif ter-
hadap pakan. Amilase diduga lebih membatasi daripada aktivitas
oligokaridase usus dalam proses pencernaan bahan pati

Karbohidrat Pakan Ruminansia 112


(Huntington, 1997). Sekresi amilase dapat ditingkatkan dengan
meningkatkan masuknya protein ke duodenum (Taniguchi et al.,
1995), tetapi belum secara jelas ditunjukkan pada ternak yang
diberi pakan secara konvensional. Besaran pencernaan bahan pati
di usus kecil juga dapat dibatasi oleh paparan permukaan bahan
pati ke enzim pada kompartemen usus ini. Sesuai kajian in vivo pa-
da sapi perah, beberapa penelitian (Oba dan Allen, 2003a dan 2003b;
Taylor dan Allen, 2005) menyarankan bahwa karakteristik
fisikokimia partikel jagung membatasi pencernaan bahan pati usus.
Sesuai penelitian tentang degradasi biji jagung in sacco, terdapat
bukti bahwa faktor intrinsik yang memengaruhi degradasi bahan
pati di rumen (ukuran partikel, vitreousness) juga memengaruhi ke-
mampuannya untuk dicerna di usus (Ramos et al., 2009).
Hasil tinjauan data pustaka secara ekstensif menunjukkan bah-
wa model empiris untuk memrediksi situs dan besaran pencernaan
bahan pati dari data in sacco telah diusulkan oleh Offner dan
Sauvant (2004b). Dibandingkan dengan upaya serupa sebelumnya
(Nocek dan Tamminga, 1991), model ini mencakup pengaruh ting-
kat konsumsi, dengan rerata pengaruh terhadap RSD sebesar -0,083
gram per gram konsumsi bahan pati, apabila tingkat konsumsi
meningkat 1 kg DM per 100 kg BB. Pengaruh ini diduga menc-
erminkan pengaruh kon-sumsi terhadap laju pergantian partikel
yang bersaing dengan degradasi bahan pati. Prediksi pencernaan
bahan pati di usus halus didasarkan pada hubungan negatif antara
kecernaan bahan pati usus (gram per gram) dan kandungan bahan
pati pakan yang keluar dari pencernaan rumen (gram per gram),
dengan rerata slope sebesar -1,22. Prediksi pencernaan bahan pati
pada usus bagian belakang didasarkan pada rerata kecernaan dari
50% bahan pati yang mencapai ileum. Evaluasi pertama dari model
pencernaan bahan pati yang relatif sederhana ini didasarkan pada
prediksi bahan pati feses pada sapi potong dan sapi perah, yang
diprediksi secara memuaskan dengan Sy.x sebesar 0,12 kg per hari

113 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


di atas target 0 hingga 1 kg per hari. Pendekatan yang lebih
mekanistik masih langka, tetapi be-berapa hasil awal dipresentasi-
kan oleh Bannink et al. (2009).

Penyerapan glukosa
Bahan pati yang dihidrolisis menjadi glukosa dapat mencapai 5
gram per hari per kg BB (Stock et al., 1987), tetapi sebagian besar
nilai yang dilaporkan jarang melebihi 3 g/hari per kg BB. Glukosa
diduga difermentasikan di usus kecil (Nicoletti et al., 1984), di lain
pihak sebagian besar glukosa yang dilepaskan di lumen usus kecil
diduga mengalami proses penyerapan dan transit. Dua jalur utama
transfer glukosa dari lumen ke aliran darah yaitu transpor aktif
dan difusi paraseluler dengan absorpsi air (Huntington, 1997).
Pengangkut glukosa telah dicirikan pada usus kecil ruminansia
(Shirazi-Beechey et al., 1995; Zhao et al., 1998; Guimaraes et al.,
2007). SGLT1 terdiri dari transporter glukosa yang bergantung pa-
da Na+ yang terletak di membran brush border enterosit, dan di-
dorong oleh gradien elektrokimia yang dipertahankan oleh Na+/K+
ATPase yang terletak di membran basolateral. Transporter beraf-
initas tinggi ini menyajikan homologi yang besar (>80%) antara
spesies vertebrata. SGTL1 mengangkut 1 mol glukosa melawan 2
mol Na+ di setiap siklusnya, dengan Km berkisar antara 0,1 dan 0,5
mmol per liter, dan estimasi kapasitas 50 hingga 200 siklus per
detik (Ferraris et al., 1989; Hediger dan Rhoads, 1994). GLUT2 ber-
fungsi sebagai transporter berafinitas rendah yang terlokalisasi
pada membran apikal dan basolateral enterosit (Kellett et al., 2008).
Pada sapi jantan, kapasitas penyerapan glukosa (Krehbiel et al.,
1996; Harmon dan McLeod, 2001), aktivitas penyerapan transporter
glukosa (Bauer et al., 2001), serta ekspresi basal mRNA SGLT1 dan
GLUT2 (Liao et al., 2009), sangat bervariasi di sepanjang sumbu
usus, yang tertinggi di jejunum dan terendah di ileum. Terdapat
bukti eksperimental pada ternak ruminansia bahwa perfusi aboma-

Karbohidrat Pakan Ruminansia 114


sal dari bahan pati atau glukosa yang terhidrolisis sebagian
menginduksikan peningkatan kapasitas transpor glukosa yang ce-
pat (dalam beberapa hari) (Shirazi-Beechey et al., 1995; Bauer et al.,
1995 dan 2001). Ini melibatkan peningkatan kandungan mRNA
transporter glukosa, seperti yang diamati pada domba untuk
SGTL1 (Lescale-Matys et al., 1993; Shirazi-Beechey et al., 1995) dan di
ileum sapi jantan untuk SGLT1 dan GLUT2 (Liao et al., 2009).
Sebuah model simulasi pencernaan bahan pati dan penyerapan
glukosa dari usus kecil dikembangkan oleh Huntington (1997).
Sekresi pankreas, serta kemungkinan fermentasi glukosa, tidak di-
pertimbangkan. Model ini dianggap sebagai transpor aktif, dengan
penurunan kuadratik aktivitas dari bagian proksimal ke distal usus
halus, dan difusi glukosa paraseluler bergantung pada konsentrasi
glukosa lumen. Data Kreikemeier et al. (1991) melaporkan, simulasi
menunjukkan bahwa difusi mewakili sebagian kecil dari total pe-
nyerapan (<15% sampai 20%) pada konsentrasi glukosa luminal fisio
-logis (<3,5 mM). Simulasi juga menunjukkan bahwa pada ternak
yang beradaptasi, kapasitas transpor aktif glukosa melintasi dind-
ing usus yang tidak membatasi penyerapan glukosa, sedangkan
yang merupakan pembetas utama adalah kapasitas pencernaan ba-
han pati.

Metabolisme VFA dan glukosa oleh portal-drained viscera


Mekanisme asam lemak volatil. Aspek ini telah ditinjau secara ek-
stensif (Remond et al., 1995; Kristensen dan Harmon, 2006). Secara
singkat, aktivasi VFA merupakan langkah pertama dan pembatas
dalam metabolismenya di portal-drained viscera (PDV). Secara in
vitro, aktivitas asil-(asetil-, propionil- dan butiril-) sintetase KoA di
epitel rumen meningkat seiring dengan panjang rantai VFA dan
tingkat konsumsi, dan juga diregulasikan oleh ketersediaan VFA
yang berbeda. Regulasi-regulasi ini mendukung aktivasi butirat.
Metabolisme asetat dan butirat dapat mengakibatkan oksidasi

115 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


lengkap menjadi CO2 yang memasuki siklus Krebs melalui asetil-
KoA, dan/atau dalam produksi keton melalui asetoasetil-KoA. In-
terkonversi yang rendah antara asetil-KoA dan asetoasetil-KoA
(dihasilkan dari oksidasi butirat) menjelaskan mengapa asetat lebih
disukai dioksidasi menjadi CO2, sedangkan metabolisme butirat
terutama mengarah ke keton. Propionat dapat memasuki siklus
Krebs melalui suksinil-KoA untuk oksidasi lengkap menjadi CO2,
atau melalui malat sebelum dimetabolismekan di ruang ekstra-
mitokondria menjadi piruvat, laktat atau alanin, seperti yang dia-
mati secara in vitro. Namun, percobaan in vivo berdasarkan infus
propionat ruminal secara simultan (hingga 1,6 mmol per jam per kg
BB) dan pengukuran penampakan nutrien netto pada portal
menunjukkan bahwa konversinya menjadi laktat atau produk lain
VFA total (mmol/hari per kg BB)

Konsumsi RfOM (g/hari per kg BB)

Gambar 3. Pengaruh konsumsi bahan organik yang terfermentasi di rumen terhadap produksi
VFA total ruminal () dan penampakan portal netto VFA total (): disesuaikan dengan model-
model eksperimental [masing-masing Tabel 1, persamaan (1) dan (7)]. Sumber: Noziere et al.
(2010); Loncke et al. (2009b).

Karbohidrat Pakan Ruminansia 116


rendah secara kuantitatif (Nozie`re et al., 2000; Majdoub et al., 2003;
Kristensen dan Harmon, 2004). Valerat dimetabolismekan menjadi
asetil-KoA dan propionil KoA melalui β-oksidasi dan dengan
demikian dapat menghasilkan β-hidroksibutirat dan laktat secara
in vitro. Isobutirat dapat dimetabolismekan dalam metil-malonat
atau asam suksinat.
Evaluasi kuantitatif. Besaran metabolisme VFA oleh PDV telah
lama dikaji secara in vivo melalui pengukuran net portal recovery dari
VFA yang diproduksi (atau diinfuskan) (Remond et al., 1995). Hasil
kajian tersebut diketahui mengestimasikan PDV secara berlebihan,
karena biasnya pengaruh antara metabolisme mikroba dan jarin-
gan. Kristensen (2001) menunjukkan secara in vivo bahwa hingga
28% dari jumlah 13C yang diinfusikan ke rumen sebagai [2-13C]-
asetat yang di-recovery-kan dalam VFA non-asetat (20%) atau dalam
materi mikroba duodenum sebagai asam lemak atau asam amino
(8%). Noziere et al. (2003) menunjukkan secara in vitro bahwa 14C
yang disuplai sebagai [2-14C]-propionat tergabungkan dalam bakteri
dan protozoa. Penggabungan ini diperkirakan menyumbang 10%
dari produksi propionat secara netto, dan diduga dikaitkan dengan
sintesis asam lemak rantai ganjil. Dengan metode pencucian rumen
yang diisolasi secara sementara pada domba dan sapi jantan, Kris-
tensen dan Harmon (2006) mendukung hipotesis bahwa yang dis-
erap pada lintasan pertama; asetat, propionat dan isobutirat ham-
pir sepenuhnya di-recovery-kan pada vena portal (masing-masing
portal recovery sebesar 105% hingga 109%, 91% hingga 95%, 101%
hingga 102%), sedangkan epitel rumen secara ekstensif memetab-
olisme butirat dan valerat (pemulihan portal masing-masing 18
hingga 52%, 16 hingga 54%). Hasil ini juga mendukung rendahnya
produksi asetat oleh epitel rumen, seperti dicatat secara in vitro
(Sehested et al., 1999). Pada lintasan kedua, PDV mengambil
sejumlah besar (20% sampai 40%) suplai asetat arteri. Penyerapan
ini diduga tidak terkait secara linier dengan suplai arteri (Noziere

117 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


dan Hoch, 2006), dan diduga terkait dengan jaringan selain epitel
rumen. Dengan asumsi bahwa 80% dari jumlah asetat yang
digunakan oleh PDV dioksidasikan (Pethick et al., 1981), penyera-
pan ini dapat mencapai 50% dari ATP yang digunakan oleh PDV.
Hasil penelitian Kristensen et al. (2000b) pada domba menunjukkan,
net portal recovery yang rendah dari butirat (20%) dapat dikaitkan
dengan ketogenesis di dinding rumen dengan produksi β-
hidroksibutirat (45%) dan asetosetat (15%), dan dioksidasikan
(20%). PDV (diduga jaringan selain epitel rumen) juga mengambil
sejumlah besar β-hidroksibutirat arteri (Kristensen et al., 2000b),
sebesar 13% dari suplai arteri ke PDV pada domba.
Belum banyak data tersedia tentang interaksi antara VFA dalam
PDV secara in vivo. Tidak seperti pengamatan secara in vitro, Kris-
tensen et al. (2000a) melaporkan tidak terdapat pengaruh yang sig-
nifikan infus butirat jangka pendek (12 jam) in vivo terhadap net
portal recovery dari asetat dan isobutirat, sementara recovery propi-
onat cen-derung meningkat pada infus jangka panjang (1 minggu)
( Noziere et al., 2000). Pada kedua kajian ditunjukkan pengaruh pos-
itif infus butirat ke rumen terhadap net portal recovery butirat dan
valerat. Secara keseluruhan, pada pengamatan PDV secara in vivo,
apabila dibandingkan dengan pengamatan in vitro pada epitel ru-
men, menunjukkan keberadaan asil-KoA sintetase dengan afinitas
pre-ferensial untuk butirat dan valerat, yang dapat mengaktifkan
asetat, propionat, dan isobutirat ketika substrat preferensial
menurun. Meskipun metabolisme propionat oleh epitel rumen
diduga terbatas secara in vivo, data in vitro mendukung fakta bahwa
propionat meniadakan pengaruh penekanan asetat terhadap pem-
bentukan β-hidroksibutirat dari butirat di epitel rumen (Baldwin
dan Jesse, 1996). Ini diduga hasil dari pergeseran sebuah status
NADH/NAD mitokondria. Secara in vitro, afinitas dan kapasitas sel
epitel rumen yang terisolasi untuk mengoksidasikan substrat seba-
gian besar tidak terpengaruh oleh konsumsi ME atau rasio hijauan :

Karbohidrat Pakan Ruminansia 118


konsentrat pakan, yang menunjukkan bahwa lingkungan rumen
diduga tidak memengaruhi kapasitas seluler epitel rumen untuk
mengoksidasikan substrat (Baldwin dan McLeod, 2000).
Upaya utama pada representasi-representasi mekanistik metab-
olisme epitel VFA dilakukan oleh Bannink et al. (2008). Aktivasi VFA
oleh KoA-sintetase diasumsikan ireversibel, dan rate limiting step
pada metabolisme intraepitel. Ini ditunjukkan oleh penghambatan
kompetitif diantara VFA. Metabolisme VFA pada epitel diasumsikan
menyediakan semua energi yang dibutuhkan oleh epitel, yang
dengan sendirinya dipengaruhi oleh beban VFA. Adaptasi fungsion-
al epitel rumen ini ditunjukkan oleh mekanisme kontrol umpan
balik, dan mencakup representasi bentuk papila dan massa epitel.
Simulasi, yang termasuk respon adaptif ini, memiliki dampak besar
pada perkiraan laju penyerapan VFA dan besaran metabolisme in-
tra-epitel asetat dan propionat, di lain pihak dibutuhkan parame-
terisasi akti-vitas KoA-sintetase yang lebih tepat. Selain itu, terbuk-
ti bahwa diduga tidak terdapat interkonversi antara VFA di epitel
dan metabolisme VFA arteri (asetat). Pengambangan pendekatan
molekuler diduga menjanjikan untuk menilai regulasi ekspresi gen
penyandi yang ter-libat dalam metabolisme VFA (ACAS2L, BUCS1,
BCKDHA, dan lain-lain) (Baldwin et al., 2007).
Pendekatan empiris berdasarkan meta-analisis dikembangkan
untuk memperhitungkan prediksi net portal appearance dari VFA
dari karakteristik pakan. Basis data Flora (Vernet dan Ortigues-
Marty, 2006), mengumpulkan hasil aliran nutrien portal dan
menyajikan karakterisasi secara homogen pada perlakuan pakan
menurut tabel pakan INRA yang digunakan (Loncke et al., 2009b).
Hasil kaijan menunjukkan bahwa net portal appearance dari VFA to-
tal secara linier terkait erat dengan perkiraan konsumsi RfOM di
berbagai faktor eksperimental (Tabel 11, persamaan (7)). Slop
menunjukkan net portal appearance sebesar 5,9 mol (±0,5) VFA per kg
RfOM. Perbandingan dengan slop yang diperoleh terhadap produksi

119 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


VFA rumen menggunakan prinsip yang sama (8,0 mol per kg RfOM,
persamaan (1)), menunjukkan net portal recovery sebesar 75% VFA
yang diproduksi di rumen (Gambar 8). Selain itu, perubahan dalam
proporsi molar VFA dalam aliran portal sebagian besar dapat di-
jelaskan oleh perubahan rasio dNDF/RfOM (persamaan (8) hingga
(10)) yang se-penuhnya konsisten dengan pengamatan di rumen
(persamaan (2) hingga (4)). Selain itu, net portal appearance dari β-
hidroksibutirat yang dihasilkan dari ketogenesis rumen dan penye-
rapan β-hidroksibutirat arteri oleh PDV, diduga terkait erat dengan
konsumsi RfOM (persamaan (12)).
Seperti dibahas sebelumnya, meskipun terdapat beberapa per-
bedaan profil VFA antara konsentrasi dan produksi netto dalam
rumen, estimasi laju produksi VFA individu menggunakan kom-
binasi model profil VFA-PR dan VFA total (Tabel 11, persamaan (1)
untuk (4)) diduga terkait erat dengan net portal appearance-nya
(Gambar 4). Hubungan tersebut diduga secara kuantitatif konsisten
dengan pemahaman tentang besaran metabolisme PDV dari VFA,
yaitu, peng-ambilan preferensial butirat dan penyerapan asetat
yang dapat diabaikan selama lintasan pertama. Apabila tampilan
portal memang dikoreksi untuk penyerapan PDV dari asetat arteri
(sesuai hubungan eksponensial antara suplai dan serapan arteri
yang diusulkan oleh Noziere dan Hoch (2006), hubungan antara
perkiraan produksi asetat ruminal dan lintasan pertama penampi-
lan portal asetat tidak berbeda secara signifikan dari garis-bagi
pertama. Selain itu, sebagian besar propionat diduga di-recovery-
kan, sedangkan 25% butirat diperoleh kembali sebagai butirat dan
46% sebagai β-hidroksibutirat. Hasil ini juga menunjukkan bahwa
kadar butirat yang tinggi yang diinfuskan ke rumen dapat me-
nyebabkan kejenuhan ketogenesis di dinding rumen (Krehbiel et al.,
1992; Nozie`re et al., 2000), batas atas ini diduga tidak tercapai pada
ternak yang diberi pakan secara konvensional. Hal yang menarik,
pada simulasi steady-state, portal recovery dari VFA individu yang

Karbohidrat Pakan Ruminansia 120


Penampakan portal asetat yang dikoreksi Penampakan portal netto propionat Penampakan portal netto butirat () dan
(mmol/hari per kg BB) (mmol/hari per kg BB) β-hidroksi butirat() [mmol/hari per kg BB]

Estimasi produksi ruminal asetat Estimasi produksi ruminal propionat Estimasi produksi ruminal butirat
(mmol/hari per kg BB) (mmol/hari per kg BB) (mmol/hari per kg BB)

Gambar 4. Hubungan antara estimasi produksi VFA di rumen [Tabel 1, persamaan (1) – (4)], dan
hasil pengukuran penampakan portal netto-nya. Fluks portal asetat dikoreksi untuk penyerapan

121 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


arterial asetat dengan portal drained viscera (Noziere dan Hoch, 2006): disesuaikan dalam model-
model penelitiann (Noziere et al., 2010).
diprediksi dengan model mekanistik Bannink et al. (2008) mirip
dengan pendekatan empiris ini.
Glukosa. Penyerapan glukosa netto melalui portal dapat diamati
apabila tidak ada atau hanya sedikit bahan pati yang lolos dari fer-
mentasi rumen. Apabila bahan pati, dekstrin atau glukosa dalam
jumlah yang besar diinfuskan ke dalam abomasum, fluks portal
glukosa bergeser dari net uptake ke net appearance, tetapi net portal
recovery tidak lengkap dengan peringkat dari 57% menjadi 73% glu-
kosa yang diinfuskan dan dari 25% sampai 51% bahan pati yang di-
infuskan, bergantung pada kondisi percobaan (Lindsay dan Reyn-
olds, 2005). Hal ini sebagian disebabkan oleh peningkatan
penggunaan glukosa arteri oleh PDV (Janes et al., 1985). Namun,
dengan ternak yang diberi pakan secara konvensional, ini diduga
tidak terkait dengan peningkatan konsumsi oksigen oleh PDV
(Reynolds et al., 1998; Noziere et al., 2005), yang menunjukkan bah-
wa substrat lain dilestarikan (Huntington et al., 2006). Pada PDV,
mesenteric-drained viscera (MDV) merupakan pengguna utama glu-
kosa arteri, berkontribusi 70% dari penyerapan glukosa, seperti
yang diamati dengan menggunakan pakan bukan tepung (Reynolds
dan Huntington, 1988). Dengan pakan kaya biji jagung yang
menginduksikan masuknya bahan pati dalam jumlah besar ke duo-
denum, peningkatan penggunaan glukosa arteri terjadi pada usus
dan jaringan MDV (Reynolds dan Huntington, 1988). Dengan pen-
ingkatan penggunaan glukosa arteri yang tinggi oleh PDV, apparent
portal (atau mesenteric) recovery dari glukosa yang diestimasikan
menjadi lebih rendah apabila dinyatakan sebagai sebuah net basis;
itu meningkat secara substansial apabila perubahan dalam sera-
pan arteri oleh PDV diperhitungkan, tetapi masih tidak lengkap
(dari 51% menjadi 71%; Harmon et al., 2001). Sesuai perhitungan
area di bawah kurva portal (atau mesenterik) fluks glukosa netto
terhadap waktu setelah konsumsi pakan berbahan pati pada domba
(Remond et al., 2009) atau denyut infusi glukosa ke abomasum pada

Karbohidrat Pakan Ruminansia 122


sapi perah (Larsen dan Kristensen , 2007), maka lintasan pertama
recovery glukosa dapat mendekati sempurna. Glukosa yang 'hilang'
dapat dikaitkan dengan metabolisme glukosa di dalam usus kecil
untuk mensuplai gliserol bagi penyerapan asam lemak rantai pan-
jang, seperti yang disarankan oleh Reynolds et al. (1988). Ini juga
diduga sebagian akibat fermentasi mikroba residu glukosa setelah
hidrolisis bahan pati pada usus kecil, seperti yang disarankan oleh
Larsen dan Kristensen (2007). Kontribusi glukosa arteri untuk net
portal release dari laktat masih belum jelas. Terdapat bukti eksperi-
mental secara in vitro bahwa enterosit ruminansia memiliki fleksi-
bilitas metabolik untuk metabolisme oksidatif glukosa, glutamin
dan glutamat yang bergantung pada jenis dan konsentrasi keterse-
diaan substrat tambahan (Oba et al., 2004).
Pendekatan empiris dikembangkan untuk prediksi kuantitatif
net portal appearance dari glukosa berdasarkan pemahaman pen-
cernaan pati (Offner dan Sauvant, 2004b; Loncke et al., 2009b). Hub-
ungan keeratan dan linieritas diamati antara prediksi jumlah bahan
pati diduga dicerna di usus kecil (Tabel 11, persamaan (7)) dan net
portal appearance glukosa yang sebenarnya (persamaan (12)). Hub-
ungan ini tidak menunjukkan terdapatnya faktor-faktir yang
mengganggu, dan agaknya rendahnya besaran Sy.x (0,035 mmol per
jam per kg BB). Intersep hubungan ini menunjukkan rerata
penggunaan basal glukosa arteri oleh PDV adalah 0,103 mmol per
jam per kg BB, yang konsisten dengan serapan basal glukosa netto
yang diamati dengan menggunakan pakan berbahan pati. Slop yang
didapatkan menunjukkan rerata net portal recovery sebesar 44%,
yang konsisten dengan rerata peningkatan net portal flux dari glu-
kosa yang diamati dalam percobaan infus abomasal, seperti yang
dibahas di atas.

Metabolisme VFA dan glukosa di hati


Mekanisme. Metabolisme VFA hepatik pada ruminansia ditelaah

123 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


secara ekstensif oleh Brockman (2005), Hanigan (2005), Lindsay dan
Reynolds (2005), serta Kristensen dan Harmon (2006). Bentuk tidak
terionisasi yang terdapat dalam proporsi yang sangat rendah dalam
darah portal diserap secara pasif melalui membran hepatosit
(Bergman, 1990). Masuknya bentuk ionik yang paling sering dime-
diasi oleh pembawa, melalui transporter monokarboksilat di-
tunjukkan pada hati ruminansia (Koho et al., 2005; Kirat et al.,
2007). Asam lemak rantai pendek sitosolik kemudian memasuki
mitokondria melalui pembawa monokarboksilat atau transporter
karnitin mitokondria (Zammit, 1990), yang diesterifikasikan se-
bagai ester-KoA oleh sintetase spesifik. Asam-asam lemak rantai
genap (asetat, butirat) di-ambil secara berbeda oleh hati. Asetat
dimetabolismekan di hati secara terbatas, yang secara simultan ter-
oksidasi dan diproduksi (Reynolds, 2002), sementara butirat sebagi-
an besar diambil oleh hati. Kedua asam lemak agak berorientasi
ketogenesis dan mengarah pada metabolit asetil-KoA yang sama,
yang dapat memasuki siklus Krebs untuk dioksidasi. Metabolisme
kedua asam lemak berinteraksi dengan semua nutrien, yang juga
dapat diubah menjadi asetil-KoA. Asetat bebas juga dapat dibentuk
dari asetil-KoA dan dari oksidasi asam lemak peroksisomal dan mi-
tokondria (Drackley, 1999 pada sapi perah). Diantara nutrien-
nutrien yang berpotensi teroksidasi di hati untuk produksi ATP,
kontribusi asetat dan butirat telah diper-tanyakan. Penyerapan
asetat secara netto oleh hati jauh lebih rendah daripada butirat
(Reynolds, 2002), tetapi asetat lebih efisien untuk menghasilkan
ATP daripada butirat (Gallis et al., 2007) dan estimasi produksi ATP
dari penggunaan asetat hati dapat menyebabkan estimasi yang
lebih rendah. Ketogenesis merupakan jalur metabolik utama un-
tuk butirat (Heitmann et al., 1987). Butirat telah terbukti mem-
berikan sifat spesifik pada pertumbuhan dan diferensiasi hepatosit
manusia (Yoon et al., 1999), tetapi bukti pada ruminansia masih be-
lum jelas. Asam lemak rantai ganjil, khususnya propionat, meng-

Karbohidrat Pakan Ruminansia 124


ambil jalur enzimatik yang berbeda dan mengarah ke suksinil-KoA.
Dua dari metabolit propionat (propionil-KoA dan 2-metilsitrat) me-
miliki pengaruh penghambatan terhadap siklus Krebs (Nguyen et
al., 2007), propionat sebagian besar digunakan sebagai prekursor
glukoneogenesis. Mengingat penyerapan glukosa yang terbatas,
dan ke-butuhan glukosa seluruh tubuh yang serupa pada ruminan-
sia dan monogastrik (Lindsay, 1981), ruminansia mengandalkan
glukoneo-genesis hati untuk 85% dari pergantian glukosa seluruh
tubuh mereka (Ortigues-Marty et al., 2003a). Glukosa disintesis dari
tiga prekursor karbon, propionat (hingga 50% hingga 70%; Veen-
huizen et al., 1988; Bergman, 1990), AA (terutama Ala, Gln dan Gly)
dari 11% hingga 40% (Kraft, 2009), L-laktat (7% sampai 44%; Kre-
hbiel et al., 1992) dan gliserol (5%; Brockman, 2005), serta dapat
disimpan sementara di hati sebagai glikogen. Kontribusi individu
prekursor dapat sangat ber-variasi dengan status gizi ternak. Kunci
utama yang membatasi enzim glukoneogenik adalah fosfoenolpiru-
vat karboksikinase dan piruvat kinase. Ekspresi relatif dan aktivitas
enzim ini merupakan indikator aktivitas glukoneogenik dan kontri-
busi prekursor (Velez dan Donkin, 2005).
Terdapat interaksi yang kuat antara metabolisme ketogenik dan
glukogenik di hati. Ketogenesis diatur oleh metabolisme glukogenik
(Berthelot et al., 2002). Pada hepatosit tikus, regulasi penurunan ini
sebagian dilawan oleh karnitin (Brass dan Bayerinck, 1988), tetapi
bukti pada ruminansia masih kurang. Sebaliknya, asam lemak
rantai menengah menghambat glukoneogenesis pada hati domba
dan metabolisme propionat secara in vitro (Chow dan Jesse, 1992).
Butirat memiliki pengaruh yang serupa secara in vitro pada hepa-
tosit sapi (Aiello et al., 1989). Suplai butirat yang akut juga memiliki
pengaruh penghematan terhadap oksidasi glukosa hati dan
penyimpanan glikogen seperti yang ditunjukkan pada tikus
(Beauvieux et al., 2008).
Sebagian besar VFA telah lama dipertimbangkan sebagai penye-

125 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


dia karbon atau energi, dan terlepas dari peran pengaturannya ter-
hadap konsumsi, belum ditemukan peran pengaturan lain yang te-
lah dikaji pada tataran seluler. Peran pensinyalan seluler telah di-
tunjukkan untuk asam lemak rantai pendek C2 hingga C6 sebagai
aktivator reseptor berpasangan protein G pada adiposit tikus dan
stimulator produksi leptin. Mekanisme ini diduga terlibat dalam
regulasi konsumsi propionat secara kronis pada tikus (Brown et
al., 2003; Xiong et al. 2004). Namun, relevansi untuk ruminansia be-
lum diketahui.

Evaluasi kuantitatif
Pengukuran-pengukuran kuantitatif metabolisme hati terutama
didasarkan pada metode arterio-vena. Dengan mempertimbangkan
perbedaan arteri-vena yang kecil, risiko ketidaktepatan hasil
diduga lebih besar daripada pengukuran net portal appearance yang
ber-gantung pada metabolit. Pendekatan 'kotak hitam' ini
digabungkan dengan infus molekul berlabel untuk mengevaluasi
jalur metabolisme nutrien dengan lebih baik. Selain itu, sejumlah
model mekanistik metabolisme hati telah dielaborasi untuk
merekonsiliasi informasi kuantitatif dengan pengetahuan biokimia
tentang jalur metabolisme yang berbeda dan pengaturannya di
hati. Semua model yang ada berlaku untuk sapi laktasi, dan sebagi-
an besar berkaitan dengan metabolisme nitrogen. Namun
demikian, beberapa model mewakili VFA atau metabolisme glukosa
sebagai subkomponen dari seluruh model hewan (Waghorn, 1982;
Baldwin et al., 1987a; Danfaer, 1990; Martin dan Sauvant, 2007) atau
dengan komponen pelacak isotop (Freetly et al. , 1993) serta dikem-
bangkannya model ketosis (Guo et al., 2008). Selain itu, meskipun
menjanjikan untuk pengembangan model lebih lanjut, pengaruh
hormonal terhadap metabolisme karbohidrat jarang dimasukkan
dalam model hati (Danfaer, 1990). Evaluasi kuantitatif masih
terbatas dan perbandingan model-model ini telah dipublikasikan.

Karbohidrat Pakan Ruminansia 126


Keseimbangan energi (kkal/hari per kg BB)
Gambar 5. Hubungan antara keseimbangan energi dan
pelepasan hepatik netto β-hidroksibutirat (NHR β–OHB)
pada ruminansia laktasi (▲), pertumbuhan-penggemukan
() dan tidak berproduksi ( ). Sumber: Loncke (2009).

Informasi kuantitatif yang lebih umum diperoleh dari basis data


Flora (Vernet dan Ortigues-Marty, 2006), menggunakan data yang
diperoleh pada status fisiologis yang berbeda (tumbuh, bunting,
laktasi, tidak berproduksi) baik pada domba maupun sapi.
Tidak terdapat hukum aksi massa secara sederhana antara input
hepatik dan output nutrien ketogenik. Sesuai net hepatic flux, meta-
bolisme asetat tampaknya terbatas di hati karena diduga secara
bersamaan mengalami oksidasi dan diproduksi (Reynolds, 1995).
Model mekanistik pada sapi laktasi memprediksikan net hepatic re-
lease dari asetat (Freetly et al., 1993). Pendekatan pemodelan em-

127 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


piris menunjukkan bahwa net hepatic release dapat mencapai 0,32
hingga 0,56 mmol per jam per kg BB, mewakili 20% net hepatic ap-
pearance dari asetat pada sapi laktasi dan 10% pada ruminansia
yang sedang tumbuh (Loncke, 2009) dengan kontribusi pakan dan
asam lemak endogen yang berbeda. Namun, hasil penelitian lain
mengkonfirmasi prediksi bahwa net hepatic release dari asetat
meningkat dengan suplai asam lemak rantai panjang (Hanigan et
al., 2004, dikutip oleh Drackley dan Anderson, 2006). Sebaliknya,
butirat sebagian besar diambil oleh hati (dari 0,05 hingga 0,19
mmol per jam per kg BB), dengan rerata laju serapan netto sebesar
76% dari net hepatic release. Namun, lebih rendahnya net hepatic
release pada ruminansia yang sedang tumbuh dan digemukkan
diduga karena insulinemia yang lebih tinggi (Loncke, 2009).
Akumulasi plasma benda keton (β-hidroksibutirat + asetoasetat +
aseton) juga telah diprediksi pada sapi periparturient dari mobilisasi
lemak tubuh (itu sendiri merupakan fungsi dari BW dan skor kondi-
si ditambah perkiraan defisiensi glukosa) dan pemanfaatannya
(Guo et al., 2008). Lebih tepatnya, net hepatic release dari β-
hidroksibutirat secara jelas ditunjukkan oleh model empiris yang
didorong baik oleh pencernaan (asetat, butirat, asam lemak rantai
panjang) maupun suplai prekursor endogen (asam lemak non-
esterifikasi), tergantung pada keseimbangan energi ternak (Gambar
10; Loncke, 2009). Pada sebagian besar model, estimasi mobilisasi
lemak tubuh dan pemanfaatan hepatik merupakan ke-sulitan yang
umum (Freetly et al., 1993; Danfaer, 1994; Guo et al., 2008). Estimasi
yang tidak akurat diduga bertanggung jawab atas defisit karbon
secara umum yang diidentifikasi pada model mekanistik metabo-
lisme hati (Hanigan et al., 2004). Oleh karena itu, jalur metabolisme
yang terkait dengan asam lemak non-esterifikasi telah dimasukkan
dalam model oleh Martin dan Sauvant (2007).
Besarnya net hepatic release glukosa berkisar dari 0,67 hingga
1,74 mmol per jam per kg BB pada ruminansia, dengan kondisi glu-

Karbohidrat Pakan Ruminansia 128


koneogenesis hepatik yang diatur oleh ketersediaan prekursor atau
oleh sinyal lain (misalnya sinyal portal, Moore et al., 1999), mes-
kipun belum sepenuhnya jelas. Pada ruminansia non-laktasi, per-
gantian glukosa meningkat secara linier dengan konsumsi ME, mes-
kipun pe-ningkatannya lebih tinggi untuk pertumbuhan dibanding-
kan dengan ruminansia non-produktif (Ortigues-Marty et al.,
2003b). Pada sapi laktasi, produksi susu meningkat dengan suplai
prekursor glukoneogenik asal pencernaan (propionat ruminal +
glukosa usus) sampai mencapai plateau (Rigout et al., 2003), tetapi
energi yang disekresikan dalam laktosa susu secara linier
merespons konsumsi ME (Sauvant et al., 2009). Dengan asumsi bah-
wa produksi susu sangat bergantung pada ketersediaan glukosa, ini
menunjukkan bahwa pergantian glukosa mengikuti pola yang sa-
ma. Namun, belum banyak penelitian yang mengukur semua
prekursor glukosa yang berbeda pada kondisi nutrisi dan fisiologis
yang berbeda secara simultan. Hubungan antara pengambilan net
hepatic preursor dan pelepasan glukosa biasanya dipelajari secara
terpisah untuk setiap prekursor. Propionat sebagian besar dimetab-
olismekan di hati (dari 0,08 hingga 1,79 mmol per jam per kg BB
bergantung pada tingkat pemberian pakan dan jenis pakan), pada
tingkat pengambilan sebesar 85% hingga 100% dari net portal ap-
pearance (Majdoub, 2002), dengan rerata 91% berdasarkan hub-
ungan empiris (Loncke, 2009). Hati sangat berkontribusi untuk
mencegah toksisitas propionat secara sistemik. Laju konversi pro-
pionat menjadi glukosa yang tetap digunakan dalam Molly
(Baldwin et al., 1987a) dan dalam model Martin dan Sauvant (2007).
Namun, peningkatan ketersediaan propionat tidak menjamin pen-
ingkatan sintesis glukosa hepatik (Majdoub et al., 2003; Ortigues-
Marty et al., 2003b). Model dinamis lanjut dari metabolisme hati
dengan jelas menunjukkan bahwa produksi glukosa in vitro men-
dekati saturasi ketika suplai propionat meningkat (Baldwin dan
Freetly, 1995). Kontribusi kuantitatif AA terhadap glukoneogenesis

129 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


hepatik tidak mudah untuk dievaluasi. Sebagian besar hasil kajian
didasarkan pada fluks α-amino-nitrogen netto, sedangkan hanya
AA glukoneogenik yang terlibat (Hanigan et al., 2004), dan suplai
metabolisme hepatiknya tidak sepenuhnya bergantung pada
penyerapan usus, tetapi juga dari metabolisme pada jaringan-
jaringan yang berbeda. Kontribusinya bervariasi sesuai keseim-
bangan antara ketersediaan prekursor glukoneogenik, bersama-
sama dengan kebutuhan dan pemanfaatan glukosa seluruh tubuh
serta kebutuhan AA seluruh tubuh (Kraft, 2009). Selama mobilisasi
cadangan tubuh seperti pada pembatasan pakan atau laktasi,
kontribusi prekursor endogen (khususnya AA dari proteolisis otot)
meningkat (Lomax et al., 1986). Hal ini juga terjadi ketika kebu-
tuhan glukosa meningkat, seperti setelah perlakuan phlorizin pada
sapi laktasi (Overton et al., 1999). Sebaliknya ketika anabolisme pro-
tein meningkat setelah infus hormon pertumbuhan (Knapp et al.,
1992), AA dihemat untuk sintesis protein. Pakan yang defisit PDI
atau ME (sebesar 20 hingga 23%) mengurangi pelepasan glukosa
hepatik netto pada domba yang sedang tumbuh masing-masing
sebesar 41 dan 33%. Penghematan AA atau penyesuaian metabo-
lisme hepatiknya untuk modifikasi dalam anabolisme protein
seluruh tubuh mungkin terlibat (Kraft, 2009; Loncke et al., 2009a). L
-laktat, prekursor penting lainnya dari glukoneogenesis hepatik
dapat diambil sebagian besar (sampai 1,94 mmol per jam per kg BB)
atau dilepaskan (sampai 0,11 mmol per jam per kg BB) oleh hati
(Loncke, 2009). Kontribusi potensialnya tampak sangat bervariasi
(dari 7 sampai 44%; Krehbiel et al., 1992). Belum banyak kajian lebih
lanjut yang membahas prekursor individu. Sebagai akibatnya, se-
buah upaya dilakukan untuk menguraikan hubungan empiris anta-
ra net hepatic uptake dari kumpulan prekursor-prekursor (setelah
prediksi nilai yang hilang) (Loncke et al., 2009b) dan pelepasan glu-
kosa hepatik netto (Loncke, 2009). Hasil awalnya menunjukkan
bahwa pelepasan glukosa hepatik netto meningkat dengan keterse-

Karbohidrat Pakan Ruminansia 130


diaan prekursor, dan bahwa hubungan ini tunduk pada beberapa
pengaruh faktor yang masih harus ditetapkan secara kuantitatif.

Sebagai penutup Bab, karbohidrat merupakan sumber energi


utama pada ternak ruminansia. Situs, besaran dan kinetika pen-
cernaannya sangat memengaruhi jumlah dan profil nutrien yang
dikirim ke jaringan perifer, dan respons ternak seperti konsumsi,
efisiensi produksi, ekskresi N dan metana, dan kualitas produk.
Pengembangan sistem evaluasi pakan multi-tujuan memerlukan
pengetahuan kuantitatif yang lebih terintegrasi tentang pen-
cernaan karbohidrat dan hasil produk akhirnya, serta metabo-
lismenya oleh jaringan splanknik. Bab ini membahas (i) pemaham-
an kuantitatif tentang serat, bahan pati dan pencernaan senyawa
gula, asam lemak volatil (VFA) serta produksi glukosa dan metabo-
lisme splanknik, dan (ii) pendekatan pemodelan yang bertujuan
untuk mewakili dan/atau memprediksi fluks nutrien pada saluran
pencernaan, portal dan drainase hati. Hal ini menunjukkan bahwa
representasi kecernaan karbohidrat dan produk VFA relatif homo-
gen antar model. Meskipun perbandingan kuantitatif yang dipub-
likasikan dari model-model ini langka, perbandingan menekankan
bahwa prediksi pencernaan serat dan produk dan komposisi VFA
masih belum cukup baik untuk digunakan dalam formulasi pakan,
sedangkan prediksi hasil N mikroba dan pencernaan bahan pati
rumen tampaknya lebih memuaskan. Ketidakpastian pada
koefisien stoikiometri VFA dan laju penyerapan, sebagian dapat
menjelaskan prediksi yang buruk dari VFA. Hampir tidak ada mod-
el mekanistik yang dikembangkan pada metabolisme portal-drained
viscera (PDV), namun terdapat beberapa untuk metabolisme hati.
Perbandingan model-model ini disajikan secara kualitatif. Sebagian
besar berfokus pada sapi perah dan tingkat agregasinya dalam rep-
resentasi aliran nutrien dan metabolisme sangat berbeda bergan-
tung pada tujuannya. Perbandingan model-model ini secara

131 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


kuantitatif masih belum banyak. Namun, kemajuan mutakhir telah
dicapai dengan prediksi empiris VFA serta produksi dan fluks glu-
kosa melalui PDV dan hati berdasarkan sistem evaluasi pakan INRA.
Beberapa kemajuan ini disajikan dengan menjelaskan bahwa pred-
iksi empiris VFA rumen dan produksi glukosa usus dapat dievaluasi
menggunakan perbandingan dengan pengukuran net portal net flux-
es. Hal itu menggambarkan potensi sinergi antara pemodelan em-
piris dan mekanistik. Sebagai kesimpulan, pendekatan empiris dan
mekanistik secara bersamaan dapat mendukung kemajuan menuju
pengembangan sistem evaluasi pakan multi-tujuan berdasarkan
aliran nutrien.
Evolusi sistem-sistem evaluasi yang mengarah pada prediksi
multi-respons ternak (efisiensi, ekskresi, kualitas produk, kese-
jahteraan, dan lain-lain) membutuhkan integrasi pemahaman ter-
harap situs dan besaran pencernaan, yang sangat berdampak pada
jumlah dan profil nutrien yang dikirimkan ke jaringan-jaringan
perifer. Bab ini mem-bahas pemahaman kuantitatif tentang pen-
cernaan serat, bahan pati dan senyawa gula, asam lemak volatil dan
produksi glukosa, absorpsi dan metabolisme oleh jaringan-jaringan
splanknik, beserta model-model pendekatan yang bertujuan
merepresentasiakn dan/atau prediksi fluks pada saluran pen-
cernaan, pegaliran portal dan hepatik.
Mekanisme dan faktor yang terlibat dalam lokasi, besaran dan
laju pencernaan karbohidrat telah dipelajari secara ekstensif sela-
ma beberapa dekade terakhir, yang menyumbangkan sejumlah be-
sar data publikasi. PDV dan metabolisme hati belum banyak dikaji,
tetapi cukup banyak jumlah hasil yang dipublikasikan. Oleh karena
itu, meskipun upaya-upaya eksperimental menjelaskan represen-
tasi matematis yang lebih baik dari mekanisme fisiologis, harus
diakui bahwa kemampuan model-model mekanistik yang publikasi-
kan untuk memrediksi aliran nutrien belum menjelaskan dengan
lebih baik. Penerapan pengembangan metode statistik meta-

Karbohidrat Pakan Ruminansia 132


analisis yang tepat terhadap kumpulan besar data publikasi, bersa-
ma-sama dalam basis data bibliografi, dan diperlakukan secara
seksama dengan alat statistik yang memadai, dapat menghasilkan
hasil yang menjanjikan. Di luar integrasi pengetahuan kuantitatif
dalam terminologi hukum respon, sifat biologis sistem yang pent-
ing dapat muncul dari pendekatan ini. Sebagai contoh, sebagaima-
na tampak bahwa representasi fluks dari lumen ke darah portal
diduga sebagian besar terbatas pada hukum aksi-massa, fluks me-
lalui hati tampaknya melibatkan dorongan dan tarikan kekuatan
pendorong, dan bahwa pemodelan empiris membantu untuk mem-
isahkan. Sinergi potensial antara pemodelan empiris dan
mekanistik harus sangat berguna untuk kemajuan menuju model
mekanistik yang lebih akurat, dan pengembangan sistem evaluasi
pakan multi-tujuan berdasarkan fluks nutrien.

Daftar Pustaka
Aiello, R.J., L.E. Armentano, S.J. Bertics and A.T. Murphy. 1989. Volatile
fatty acid uptake and propionate metabolism in ruminant hepato-
cytes. Journal of Dairy Science 72, 942–949.
Argyle , J.L. and R.L. Baldwin. 1988. Modeling of rumen water kinetics and
effects of rumen pH changes. Journal of Dairy Science 71, 1178–1188.
Baldwin, R.L. 1995. Modelling ruminant digestion and metabolism. Chap-
man & Hall, London.
Baldwin, R.L. and H.C. Freetly. 1995. Dynamic models of liver and
viscera metabolism. In: R.L. Baldwin (Ed.). Modeling ruminant diges-
tion and metabolism. Chapman and Hall, London. p. 413–440.
Baldwin, R.L. and B . W . Jesse. 1996. Propionate modulation of ru-
minal ketogenesis. J. Anim. Sci. 74: 1694–1700.
Baldwin, R.L. and K.R. McLeod. 2000. Effects of diet forage: concentrate
ratio and metabolizable energy intake on isolated rumen epithelial
cell metabolism in vitro. J. Anim. Sci. 78: 771–783.
Baldwin , R.L., J. France and M. Gill. 1987a. Metabolism of the lactating
cow. 1. Animal elements of a mechanistic model. J. Dairy Res. 54: 77–
105.

133 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


Baldwin, R.L., J.H.M. Thornley and D.E. Beever. 1987b. Metabolism of the
lactating cow. 2. Digestive elements of a mechanistic model. J. Dairy
Res. 54: 107–131.
Baldwin, R.L. S.W. El-Kadi, K . R . McLeod , E.E. Connor and B.J. Bequette.
2007. Intestinal and ruminal epithelial and hepatic metabolism
regulatory gene expression as affected by forage to concentrate
ratio in bulls. In: I. Ortigues- Marty, N. Miraux and W. Brand-Williams
(Eds.). Energy and Protein mMetabolism and Nutrition. EAAP Publi-
cation No. 124. Wageningen Academic Publishers, Wageningen. p.
293–294.
Bannink, A., H. De Visser and A.M. Van Vuuren. 1997. Comparison and
evaluation of mechanistic rumen models. British J. Nutr. 78: 563–
581.
Bannink, A., J.L. Ellis, J. France and J. Dijkstra. 2009. Prediction of starch di-
gestion in the small intestine of lactating cows. In: Y. Chilliard, F.
Glasser, Y. Faulconnier, F. Bocquier, I. Veissier and M. Doreau (Eds.).
Ruminant Physiology: Digestion, Metabolism and Effects of Nutrition
on Reproduction and Welfare. Wageningen Academic Publishers, Wa-
geningen. p. 68–69.
Bannink, A., J. Kogut, J. Dijkstra, E. Kebreab, J. France, A. Tamminga A.M. and
Van Vuuren. 2006. Estimation of the stoichiometry of volatile fatty acid
production in the rumen of lactating cows. J. Theoretical Biol. 238: 36
–51.
Bannink, A., J. France , S. Lopez, G.J.J. Gerrits , E. Kebreab, S. Tamminga
and J. Dijkstra. 2008. Modelling the implications of feeding strategy on
rumen fermentation and functioning of the rumen wall. Anim. Feed
Sci. Technol. 143: 3–26.
Bauer , M.L., D.L. Harmon , K.R. McLeod and G.B. Huntington. 1995. Adap-
tation to small intestinal starch assimilation and glucose transport
in ruminants. J. Anim. Sci. 73: 1828–1838.
Bauer, M.L., D.L. Harmon, D . W. Bohnert, A.F. Branco and
G . B . Huntington. 2001. Influence of a-linked glucose on sodium-
glucose cotransport activity along the small intestine in cattle. J.
Anim. Sci. 79: 1917–1924.
Beauvieux, M.C., H. Roumes, N. Robert, H. Gin, V . Rigalleau and J.L.
Gallis. 2008. Butyrate ingestion improves hepatic glycogen storage
in the re-fed rat. BMC Physiol. 8: 19–30.

Karbohidrat Pakan Ruminansia 134


Bergman, E.N. 1990. Energy contribution of volatile fatty acids
from the gastrointestinal tract in various species. Physiol. Rev. 70:
567–587.
Berthelot, V., S . G . Pierzynowski, D . Sauvant and N . B . Kristensen. 2002.
Hepatic metabolism of propionate and methylmalonate in grow-
ing lambs. Livest. Prod. Sci. 74: 33–43.
Brass, E.P. and R.A. Bayerinck. 1988. Effects of propionate and carnitine
on the hepatic oxidation of short- and medium-chain-length fatty
acids. Biochem. J. 250: 819–825.
Brockman, R.P. 2005. Glucose and short chain fatty acid me-
tabolism. In: J. Dijkstra, J.M. Forbes and J. France (Eds.). Quantita-
tive Aspects of Ruminant Digestion and Metabolism. 2nd Ed. p.
291–310. CAB International, Wallingford.
Brossard, L., C . Martin, F. Chaucheyras-Durand and B. Michalet-Doreau.
2004. Protozoa involved in butyric rather than lactic fermentative
pattern during latent acidosis in sheep. Reprod. Nutr. Dev. 44: 195–
206.
Brown, A.J., S . M . Goldsworthy, A.A. Barnes, M.M. Eilert, L. Tcheang, D .
Daniels, A.I. Muir, M.J. Wigglesworth, I. Kinghorn, N.J. Fraser, N.B. Pike, J.C.
Strum, K.M. Steplewski, P.R. Murdock, J.C. Holder, F.H. Marshall, P.G.
Szekeres, S . Wilson, D .M. Ignar, S.M. Foord, A. Wise and S.J. Dowell.
2003. The orphan G protein-coupled receptors GPR41 and GPR42 are
activated by propionate and other short chain carboxylic acids. J.
Biol. Chem. 278: 11312–11319.
Bueno, L. 1972. Le rumen isolé in situ: absorption des acides gras volatils.
Revue de Mé decine Vé té rinaire 123, 943–953.
Chilibroste, P., J. Dijkstra, P.H. Robinson and S. Tamminga. 2008. A simula-
tion model „„CTR dairy‟‟ to predict the supply of nutrients in dairy
cows managed under discontinuous feeding patterns. Anim. Feed
Sci. Technol. 143: 148–173.
Chow, J.C. and B.W. Jesse. 1992. Interactions between gluconeogenesis
and fatty acid oxidation in isolated sheep hepatocytes. J. Dairy
Sci. 75: 2142–2148.
Danfaer, A. 1990. A dynamic model of nutrient digestion and metabo-
lism in lactating dairy cows. Ph.D. Thesis. Report 671. National
Institute of Animal Science, DK.
Danfaer, A. 1994. Nutrient metabolism and utilization in the liver.

135 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


Livest. Prod. Sci. 39: 115–127.
Dijkstra, J. and J. France. 1996. A comparative evaluation of models of
whole rumen function. Annales de Zootechnie. 45 (suppl. 1): 175–
192.
Dijkstra, J., H.D.St.C. Neal, D. E . Beever and J. France. 1992. Simulation of
nutrient digestion, absorption and outflow in the rumen: model
description. J. Nutr. 122: 2239–2256.
Dijkstra, J., H. Boer, J. van Bruchem, M. Bruining and S. Tamminga. 1993. Ab-
sorption of volatile fatty acids from the rumen of lactating dairy
cows as influenced by volatile fatty acids concentration, pH and ru-
men liquid volume. British J. Nutr. 69: 385–396.
Drackley, J.K. 1999. Biology of dairy cows during the transition period:
the final frontier? J. Dairy Sci. 82: 2259–2273.
Drackley, J.K. and J.B. Anderson. 2006. Splanchnic metabolism of long chain
fatty acids in ruminants. In: K. Sejrsen, T. Hvelplund and M.O. Nielsen
(Eds.). Ruminant Physiology: Digestion, Metabolism and Impact of
Nutrition on Gene Expression, Immunology and Stress. Wageningen
Academic Publisher, Wageningen. p. 199–224.
Dulphy, J.P., J. Rouel, M. Jailler and D. Sauvant. 1993. Donné es complé men-
taires sur les duré es de mastication chez des vaches laitiè res rece-
vant des rations riches en fourrage: influence de la nature du four-
rage et du niveau d‟apport d‟aliment concentré . INRA Productions
Animales. 6: 297–302.
Ferraris, R.P., P . P . Lee and J. M . Diamond. 1989. Origin of regional
and species differences in intestinal glucose uptake. American J.
Physiol. Gastrointestinal Liver Physiol. 257: G689–G697.
Fox, D., T. Tylutki, M. van Amburgh, L. Chase, A. Pell, T. Overton, L.
Tedeschi, C. Rasmussen and V. Durbal. 2000. The net carbohydrate
and protein system for evaluating herd nutrition and nutrient ex-
cretion. CNCPS version 4.0.31. Model documentation. Department of
Animal Science, Cornell University, Ithaca.
France, J. and J. Dijkstra. 2005. Volatile fatty acid production. In: J.
Dijkstra, J.M. Forbes and J. France (Eds.). Quantitative Aspects of
Ruminant Digestion and Metabolism. 2nd Ed. CAB International, Wall-
ingford. p. 157–175.
Freetly, H.C., J.R. Knapp, C.C. Calvert and R.L. Baldwin. 1993. Develop-
ment of a mechanistic model of livermetabolism in the lactat-

Karbohidrat Pakan Ruminansia 136


ing cow. Agric. Systems. 41: 157–195.
Friggens, N.C., J.D. Oldham, R . J . Dewhurst and G. Horgan. 1998. Pro-
portions of volatile fatty acids in relation to the chemical composi-
tion of feeds based on grass silage. J. Dairy Sci. 81: 1331–1344.
Gäbel, G. and J.R. Aschenbach. 2006. Ruminal SCFA absorption: channelling
acids without harm. In: In: K. Sejrsen, T. Hvelplund and M.O. Nielsen
(Eds.). Ruminant Physiology: Digestion, Metabolism and Impact of
Nutrition on Gene Expression, Immunology and Stress. Wageningen
Academic Publisher, Wageningen. p. 173–195.
Gallis, J.L., P . Tissier, H. Gin and M . C . Beauvieux. 2007. Decrease in
oxidative phosphorylation yield in presence of butyrate in perfused
liver isolated from fed rats. BMC Physiol. 7: 8–17.
Guimaraes, K.C., S.M. Rodriguez, J.C. Matthews, K.C. Swanson, D . L .
Harmon and A.F. Branco. 2007. Influence of starch and casein admin-
istered postruminally on small intestinal sodium-glucose cotran-
sport activity and expression. Brazilian Arc. Biol. Technol. 50: 963–
970.
Guo, J., R . R . Peters and R.A. Kohn. 2008. Modelling nutrient fluxes
and plasma ketone bodies in periparturient cows. J. Dairy Sci. 91:
4282–4292.
Hanigan, M.D. 2005. Quantitative aspects of ruminant splanchnic metab-
olism as related to predicting animal performance. Anim. Sci. 80: 23
–32.
Hanigan, M.D., L.A. Crompton, C.K. Reynolds, D. Wray-Cahen, M.A. Lomax and J.
France. 2004. An integrative model of amino acid metabolism in
the liver of the lactating dairy cow. J. Theoretical Biol. 228: 271–289.
Harmon, D.L. and K.R. McLeod. 2001. Glucose uptake and regulation by
intestinal tissues: implications and whole-body energetics. J. Anim.
Sci. 79: E59–E72.
Harmon, D.L., R.M. Yamka and N. Elam. 2004. Factors affecting intestinal
starch digestion in cattle. Canadian J. Anim. Sci. 84: 309–318.
Harmon, D.L., C . J . Richards, K.C. Swanson, J . A . Howell, J.C. Matthews,
A.D. True, G. Huntington, S . A . Gahr and R . W . Russell. 2001.
Influence of ruminal and postruminal starch infusion on visceral
glucose metabolism in steers. In: A. Chwalibog and K. Jakobsen (Eds.).
Energy Metabolism of Farm Animals EAAP Publlication No. 103. Wa-
geningen Press, Wageningen. p. 273–276.

137 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


Hediger, M.A. and D.B. Rhoads. 1994. Molecular physiology of sodium
-glucose transporters. Physiol. Rev. 74: 993–1026.
Heitmann, R.N., D.J. Dawes and S.C. Sensenig. 1987. Hepatic ketogenesis and
peripheral ketone body utilization in the ruminant. J. Nutr. 117: 1174–
1180.
Huhtanen, P., S. Ahvenjärvi, M.R. Weisbjerg and P. Nørgaard. 2004. Di-
gestion and passage of fibre in ruminants. In: K. Sejrsen, T. Hvelplund
and M.O. Nielsen (Eds.). Ruminant Physiology: Digestion, Metabolism
and Impact of Nutrition on Gene Expression, Immunology and
Stress. Wageningen Academic Publishers, Wageningen. p. 87–135.
Huntington, G.B. 1997. Starch utilization by ruminants: from basics to
the bunk. J. Anim. Sci. 75: 852–867.
Huntington, G.B., D.L. Harmon and C.J. Richards. 2006. Sites, rates, and
limits of starch digestion and glucose metabolism in growing cat-
tle. J. Anim. Sci. 84: E14–E24.
INRA. 2007. Alimentation des bovins, ovins et caprins – Besoins des
animaux – Valeurs des aliments – Tables INRA 2007, Versailles.
INRA-AFZ. 2004. Tables of composition and nutritional value of feed ma-
terials. INRA, Wageningen Academic Publishers, Wageningen.
Janes, A.N., T.E. Weekes and D.G. Armstrong. 1985. Absorption and me-
tabolism of glucose by the mesenteric-drained viscera of sheep
fed on dried-grass or ground, maize-based diets. British J. Nutr. 54:
449–458.
Jouany, J.P. and P. Thivend. 1972. Evolution post prandiale de la
composition glucidique des corps microbiens du rumen en fonction
de la nature des glucides du ré gime, II, les bacté ries. Annales
de Biologie Animale, Biochimie, Biophysique. 12: 679–683.
Kellett, G.L., E. Brot-Laroche, O.J. Mace and A. Leturque. 2008. Sugar absorp-
tion in the intestine: the role of GLUT2. Ann. Rev. Nutr. 28: 35–54.
Kirat, D., H. Inoue, H . Iwano, H . Yokota, H . Taniyama and S. Kato.
2007. Monocarboxylate transporter 1 (MCT1) in the liver of pre-
ruminant and adult bovines. Vet. J. 173: 124–130.
Knapp, J.R., H . C . Freetly, B. L. Reis, C.C. Calvert and R.L. Baldwin. 1992.
Effects of somatotropin and substrates on patterns of liver metabo-
lism in lactating dairy cattle. J. Dairy Sci. 75: 1025–1035.
Kohn, R.A. and R.C. Boston. 2000. The role of thermodynamics in controlling
rumen metabolism. In: J.P. McNamara, J. France and D.E. Beever (Eds.).

Karbohidrat Pakan Ruminansia 138


Modelling Nutrient Utilization in Farm Animals. CAB International,
Wallingford. p. 11–24.
Koho, N., V. Maijala, H. Norberg, M. Nieminen and A.R. Pösö. 2005. Ex-
pression of MCT1, MCT2 and MCT4 in the rumen, small intestine
and liver of reindeer (Rangifer tarandus tarandus L.). Compar. Bio-
chem. Physiol. Part A. 141: 29–34.
Krehbiel, C.R., D.L. Harmon and J.E. Schneieder. 1992. Effect of increasing
ruminal butyrate on portal and hepatic nutrient flux in steers. J.
Anim. Sci. 70: 904–914.
Krehbiel, C.R., R.A. Britton, D.L. Harmon, J.P. Peters, R.A. Stock and H.E. Grot-
jan. 1996. Effects of varying levels of duodenal or midjejunal glucose
and 2-deoxyglucose infusion on small intestinal disappearance and
net portal glucose flux in steers. J. Anim. Sci. 74: 693–700.
Kreikemeier, K.K., D.L. Harmon, R.T.J. Brandt, T.B. Avery and D.E. Johnson. 1991.
Small intestinal starch digestion in steers: effect of various levels of
abomasal glucose, corn starch and corn dextrin infusion on small
intestinal disappearance and net glucose absorption. J. Anim. Sci. 69:
328–338.
Kristensen, N.B. 2001. Rumen microbial sequestration of [2-13C]acetate
in cattle. J. Anim. Sci. 79: 2491–2498.
Kristensen, N.B. and D.L. Harmon. 2004. Splanchnic metabolism of vola-
tile fatty acids absorbed from the washed reticulorumen of
steers. J. Anim. Sci. 82: 2033–2042.
Kristensen, N.B. and D.L. Harmon. 2006. Splanchnic metabolism of short
chain fatty acids in ruminant. In: K. Sejrsen, T. Hvelplund and
M.O. Nielsen (Eds.). Digestion, Metabolism and Impact of Nutrition
on Gene Expression, Immunology and Stress. Wageningen Aca-
demic Publishers, Wageningen. p. 249–268
Kristensen, N.B., S.G. Pierzynowski and A. Danfaer. 2000a. Net portal ap-
pearance of volatile fatty acids in sheep intraruminally infused
with mixtures of acetate, propionate, isobutyrate, butyrate, and
valerate. J. Anim. Sci. 78: 1372–1379.
Kristensen, N.B., S.G. Pierzynowski and A. Danfaer. 2000b. Portal-drained
visceral metabolism of 3-hydroxybutyrate in sheep. J. Anim. Sci.
78: 2223–2228.
Lanzas, C., C.J. Sniffen, S. Seo, L.O. Tedeschi and D.G. Fox. 2007. A revised
CNCPS feed carbohydrate fractionation scheme for formulating

139 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


rations for ruminants. Anim. Feed Sci. Technol. 136: 167–190.
Larsen, M. and N.B. Kristensen. 2007. Effect of abomasal glucose infu-
sion on splanchnic glucose metabolism in freshening dairy cows. In: I.
Ortigues-Marty, N. Miraux and W. Brand-Williams (Eds.). Energy and
Protein Metabolism and Nutrition. EAAP Publication No 124. Wa-
geningen Academic Publishers, Wageningen. p. 339–340.
Lechner-Doll, M., M. Kaske and W . Engelhardt. 1991. Factors affect-
ing the retention time of particles in the forestomach of rumi-
nant and camelids. In: T. Tsuda, Y. Sasaki and R. Kawashima (Eds.).
Physiological Aspects of Digestion and Metabolism in Ruminants.
Academic Press, London. pp. 455–482.
Lemosquet, S., E. Delamaire, H. Lapierre, J.W. Blum and J.L. Peyraud. 2009.
Effects of glucose, propionic acid, and nonessential amino
acids on glucose metabolism and milk yield in Holstein dairy cows.
J. Dairy Sci. 92: 3244–3257.
Lescale-Matys, L., J. Dyer, D . Scott, E . M . Wright and S.P. Shirazi-
Beechey. 1993. Regulation of ovine intestinal Na1/glucose cotrans-
porter (SGLT1) by sugar is dissociated from mRNA abundance. Bio-
chem. J. 291: 435–440.
Lescoat, P. and D. Sauvant. 1995. Development of a mechanistic model for
rumen digestion validated using the duodenal flux of amino
acids. Reprod. Nutr. Dev. 35: 45–70.
Liao, S.F., E.S. Vanzant, D.L. Harmon, K.R. McLeod, J.A. Boling and J.C. Matthews.
2009. Ruminal and abomasal starch hydrolysate infusions selective-
ly decrease the expression of cationic amino acid transporter mRNA
by small intestinal epithelia of forage-fed beef steers. J. Dairy Sci. 92:
1124–1135.
Lindsay, D.B. 1981. Characteristics of the metabolism of carbohy-
drate in ruminants compared with other mammals. In: D.E. Hood
and P.V. Tarrant (Eds.). The problem of Dark-Cutting in Beef, Current
Topics in Veterinary Medicine and Animal Science. Vol. 10. Martinus
Nijhoff Publishers, Hague. pp. 101–121.
Lindsay, D.B. and C.K. Reynolds. 2005. Metabolism of the portal drained
viscera and liver. In: J. Dijkstra, J.M. Forbes and J. France (Eds.).
Quantitative Aspects of rRuminant Digestion and Metabolism. 2nd Ed.
CAB International, Wallingford. p. 311–344.
Lomax, M.A., I.A. Donaldson and C.I. Pogson. 1986. The effect of fatty

Karbohidrat Pakan Ruminansia 140


acids and starvation on the metabolism of gluconeogenic precur-
sors by isolated sheep liver cells. Biochem. J. 240: 277–280.
Loncke, C. 2009. Modé lisation des relations ente l„alimentation et
le flux splanchniques de nutriments é nergé tiques chez le rumi-
nant. Thè se de l„Ecole Doctorale Abiè s, AgroParisTech, Paris.
Loncke, C., G. Kraft, I. Savary-Auzeloux and I. Ortigues-Marty. 2009a. Adap-
tation of hepatic glucose uptake and metabolism in growing
lambs fed energy and nitrogen imbalanced diets. In: Y. Chilliard, F.
Glasser, Y. Faulconnier, F. Bocquier, I. Veissier and M. Doreau (Eds.).
Ruminant Physiology, Digestion, Metabolism and Effects of Nutrition
on Reproduction and Welfare. Wageningen Academic Publishers,
Wageningen. p. 586–587
Loncke, C., I. Ortigues-Marty, J . Vernet, H . Lapierre, D . Sauvant and P.
Nozière P. 2009b. Empirical prediction of net portal appearance of
volatile fatty acids, glucose and their secondary metabolites (ß-
hydroxybutyrate, lactate) from dietary characteristics in rumi-
nants: a meta-analysis approach. J. Anim. Sci. 87: 253–268.
Lopez, S., F.D. Hovell and N . A . MacLeod. 1994. Osmotic pressure, water ki-
netics and volatile fatty acid absorption in the rumen of sheep sus-
tained by intragastric infusions. British J. Nutr. 71: 153–168.
Majdoub, L., M . Beylot , M. Vermorel and I . Ortigues-Marty. 2003.
Propionate supplementation did not increase whole body glu-
cose turnover in growing lambs fed rye grass. Reprod. Nutr. Dev.
43: 357–370.
Markantonatos, X., M.H. Green and G . A . Varga. 2008. Use of com-
partmental analysis to study ruminal volatile fatty acid metabo-
lism under steady state conditions in Holstein heifers. Anim. Feed
Sci. Technol. 143: 70–88.
Martin, O. and D. Sauvant. 2007. Dynamic model of the lactating
dairy cow metabolism. Animal. 1: 1143–1166.
Martin, C., L. Millet, G. Fonty and B. Michalet-Doreau. 2001. Cereal supple-
mentation modified the fibrolytic activity but not the structure
of the cellulolytic bacterial community associated with rumen
solid digesta. Reprod. Nutr. Dev. 41: 413–424.
McAllister, T.A., C.M. Rode, D . J . Major, K.J. Cheng and J.G. Buchanan-
Smith. 1990. Effect of ruminal microbial colonization on the cereal
grain digestion. Canadian J. Anim. Sci. 70: 571–579.

141 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


Michalet-Doreau, B., I. Fernandez and G. Fonty. 2002. A comparison of
enzymatic and molecular approaches to characterize the cellulolytic
microbial ecosystems of the rumen and the cecum. J. Anim. Sci. 80:
790–796.
Moore, M.C., P.S. Hsieh, D.W. Flakoll , D . W . Neal and A.D. Cherrington .
1999. Net hepatic gluconeogenic amino acid uptake in response
to peripheral versus portal amino acid infusion in conscious
dogs. J. Nutr. 129: 2218–2224.
Murphy, M.R. 1984. Modeling production of volatile fatty acids in rumi-
nants. In: R.L. Baldwin and A.C. Bywater (Eds.). Modeling Ruminant
Digestion and Metabolism in Ruminants. University of California, Da-
vis. p. 59–62.
Murphy, M.R., R.L. Baldwin and L . J . Koong. 1982. Estimation of stoi-
chiometric parameters for rumen fermentation of roughage and
concentrate diets. J. Anim. Sci. 55: 411–421.
Nagorcka, B.N., G . L . R . Gordon and R.A . Dynes. 2000. Towards a
more accurate representation of fermentation in mathematical
models of the rumen. In: J.P. McNamara, J. France and D.E. Beever
(Eds.). Modelling Nutrient Utilization in Farm Animals. CAB Interna-
tional, Wallingford. p. 37–48
Neal, H.D.St.C., J. Dijkstra and M . Gill. 1992. Simulation of nutrient
digestion, absorption and outflow in the rumen: model evalua-
tion. J. Nutr. 122: 2257–2272.
Nguyen, N.H.T., C. Morland, S.V. Gonzalez, F. Rise, J. Storm-Mathisen, V.
Gundersen and B. Hassel. 2007. Propionate increases neuronal his-
tone acetylation, but is metabolized oxidatively by GLIA. J. Neuro-
chem. 101: 806–814.
Nicoletti, J.M., C.L. Davis, R . B . Hespell and J.A.Z. Leedle. 1984. Enu-
meration and presumptive identification of bacteria from the small
intestine of sheep. J. Dairy Sci. 67: 1227–1235.
Nocek, J.E. and S. Tamminga. 1991. Site of digestion of starch in
the gastrointestinal tract of dairy cows and its effect on milk yield
and composition. J. Dairy Sci. 74: 3598–3629.
Noziè re, P. and B. Michalet-Doreau. 1997. Effects of amount and availa-
bility of starch on amylolytic activity of ruminal solid-associated micro
-organisms. J. Sci. Food Agric. 73: 471–476.
Nozière, P. and T. Hoch. 2006. Modelling fluxes of volatile fatty acids from

Karbohidrat Pakan Ruminansia 142


rumen to portal blood. In: E. Kebreab, J. Dijkstra, A. Bannink, W.J.J.
Gerrits and J. France (Eds.). Nutrient Digestion and Utilization in
Farm Animals: Modelling Approaches. CAB International, Wallingford.
p. 40–47.
Nozière, P., S . Gachon and M . Doreau. 2003. Propionate uptake
by rumen microorganisms: effect of ruminal infusion. Anim. Res. 52:
413–426.
Nozière, P., F. Glasser, C. Loncke, I. Ortigues-Marty, J. Vernet and D .
Sauvant. 2010. Modelling rumen volatile fatty acids and its evalu-
ation on net portal fluxes in ruminants. In: D. Sauvant, J. Agabriel,
P. Faverdin, P. Lescoat and J . Van Milgen (Eds.). 7th International
Workshop: Modelling Nutrient Digestion and Utilization in Farm
Animals. Academic Publishers, Wageningen.
Nozière, P., J.M. Besle, C. Martin and B. Michalet-Doreau. 1996.
Effect of barley supplement on microbial fibrolytic enzyme ac-
tivities and cell wall degradation rate in the rumen. J. Sci. Food
Agric. 72: 235–242.
Nozière, P., F. Glasser, C. Martin and D. Sauvant. 2007. Predicting in vivo
production of volatile fatty acids in the rumen from dietary charac-
teristics by meta-analysis: description of available data. In: I Ortigues
-Marty, N. Miraux and W. Brand-Williams (Eds.). Energy and Pro-
tein Metabolism and Nutrition. EAAP Publication No 124. Wa-
geningen Academic Publishers, Wageningen. p. 585–586
Nozière, P., C.Martin, D. Rémond, N.B. Kristensen, R. Bernard and M. Doreau.
2000. Effect of composition of ruminally-infused short-chain fatty
acids on net fluxes of nutrients across portal-drained viscera in
underfed ewes. British J. Nutr. 83,: 521–531.
Nozière, P., D. Rémond, S. Lemosquet, B. Chauveau, D. Durand and C. Poncet.
2005. Effect of site of starch digestion on portal nutrient net fluxes
in steers. British J. Nutr. 94: 182–191.
Oba, M. and M.S. Allen. 2003a. Effects of corn grain conservation
method on feeding behavior and productivity of lactating dairy
cows at two dietary starch concentrations. J. Dairy Sci. 86: 174–183.
Oba, M. and M.S. Allen. 2003b. Effects of corn grain conservation
method on ruminal digestion kinetics for lactating dairy cows
at two dietary starch concentrations. J. Dairy Sci. 86: 184–194.
Oba, M., V.R.L. Baldwinand B.J. Bequette 2004. Oxidation of glucose, gluta-

143 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


mate, and glutamine by isolated ovine enterocytes in vitro is
decreased by the presence of other metabolic fuels. J. Anim. Sci.
82: 479–486.
Offner, A. and D. Sauvant. 2004a. Comparative evaluation of the
Molly, CNCPS, and LES rumen models. Anim. Feed Sci. Technol. 112:
107–130.
Offner, A. and D. Sauvant. 2004b. Prediction of in vivo starch digestion in
cattle from in situ data. Anim. Feed Sci. Technol. 111: 41–56.
Offner, A. and D . Sauvant. 2006. Thermodynamic modeling of
ruminal fermentations. Anim. Res. 55: 343–365.
Offner, A., A . Bach and D. Sauvant. 2003. Quantitative review of in
situ starch degradation in the rumen. Anim. Feed Sci. Technol. 106:
81–93.
Ortigues-Marty, I., C. Obled, D. Dardevet and I. Savary-Auzeloux. 2003a. Role
of the liver in the regulation of energy and protein status. In: W.B.
Souffrant and C.C. Metges (Eds.)). Progress in Research on Energy
and Protein Metabolism. EAAP No. 109. Wageningen Press, Wa-
geningen. p. 83–98.
Ortigues-Marty, I., J. Vernet and L. Majdoub. 2003b. Whole body glucose
turnover in growing and non-productive adult ruminants: meta-
analysis and review. Reprod. Nutr. Dev. 43: 371–383.
Oshio, S. and I. Tahata. 1984. Absorption of dissociated volatile fatty acids
through the rumen wall of sheep. Canadian J. Anim. Sci. 64
(suppl.): 167–168.
Overton, T.R., M.R. Cameron, J . P. Elliott, J. H . Clark and D.R. Nelson.
1995. Ruminal fermentation and passage of nutrients to the duo-
denum of lactating cows fed mixture of corn and barley. J. Dairy Sci.
78: 1981–1998.
Overton, T.R., J.K. Drackley, C.J. Ottemann-Abbamonter, A.D. Beaulieu, L.S.
Emert and J.H. Clark. 1999. Substrate utilization for hepatic gluco-
neogenesis is altered by increased glucose demand in rumi-
nants. J. Anim. Sci. 77: 1940–1954.
Perrier, R., E. Ferchal, C. Durier and M. Doreau. 1994. Effect of undernutri-
tion on the ability of the sheep rumen to absorb volatile fatty acids.
Reprod. Nutr. Dev. 34: 341–347.
Pethick, D.W., D.B. Lindsay, P.J. Barker and A.J. Northrop. 1981. Acetate
supply and utilization by the tissues of sheep in vivo. British J.

Karbohidrat Pakan Ruminansia 144


Nutr. 46: 97–110.
Petruzzi, H., A.Danfaer and P. Nørgaard. 2002. A dynamic simulation
model of nutrient digestion in the rumen of dairy cows. J. Anim.
Feed Sci. 11,: 367–397.
Philippeau, C., J. Landry and B. Michalet-Doreau. 2000. Influence of the
protein distribution of maize endosperm on ruminal starch degra-
dability. J. Sci. Food Agric. 80: 404–408.
Pitt, R., J. van Kessel, D. Fox, A. Pell, M. Barry and P. van Soest. 1996. Pre-
diction of the ruminal volatile fatty acids and pH within the net car-
bohydrate and protein system. J. Anim. Sci. 74: 226–244.
Ramos, B.M.O., M. Champion, C. Poncet, I.Y. Mizubuti and P. Nozière. 2009.
Effects of vitreousness and particle size of maize grain on ruminal
and intestinal in sacco degradation of dry matter, starch and
nitrogen. Anim. Feed Sci. Technol. 148: 253–266.
Rémond, D., I. Ortigues and J.P. Jouany. 1995. Energy substrates for
the rumen epithelium. Proc. Nutr. Soc. 54: 95–105.
Rémond, D., L. Bernard, I. Savary-Auzeloux and P. Nozière. 2009. Parti-
tioning of nutrient net fluxes across the portal-drained viscera in
sheep fed twice daily: effect of dietary protein degradability. British
J. Nutr. 102: 370–381.
Reynolds, C.K. 1995. Quantitative aspects of liver metabolism in rumi-
nants. In: W.V. Engelhardt, S. Leonhard-Marek, G. Breves and D.
Giesecke (Eds.). Ruminant Physiology: Digestion, Metabolism, Growth,
and Reproduction. Ferdinand Enke Verlag, Stuttgart. p. 351–371.
Reynolds, C.K. 2002. Economics of visceral energy metabolism in rumi-
nants: toll keeping or internal revenue service? J. Anim. Sci. 80: E74
–E84.
Reynolds, C.K. and G.B. Huntington. 1988. Partition of portal-drained
visceral net flux in beef steers. 2. Net flux of volatile fatty acids, D-
ß-hydroxybutyrate and L-lactate across stomach and post-stomach
tissues. British J. Nutr. 60: 553–562.
Reynolds, C.K., G.B. Huntington, H.F. Tyrrell and P.J. Reynolds. 1988. Net
metabolism of volatile fatty acids, D-ß-hydroxybutyrate, non ester-
ified fatty acids, and blood gasses by portal-drained viscera and liv-
er of lactating holstein cows. J. Dairy Sci. 71: 2395–2405.
Reynolds, C.K., D.J. Humphries, S.B. Cammell, J. Benson, J.D. Sut-
ton and D.E. Beever. 1998. Effects of abomasal wheat starch

145 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


infusion on splanchnic metabolism and energy balance of lactating
dairy cows. In: K.J. McCracken, E.F. Unsworth and A.R.G. Wylie
(Eds.). Energy Metabolism of Farm Animals. Proceedings of the 14th
Symposium on Energy Metabolism. CAB International, Wallingford.
Rigout, S., C . Hurtaud, S. Lemosquet , A . Bach and H. Rulquin. 2003. Lac-
tational effect of propionic acid and duodenal glucose in cows. J.
Dairy Sci. 86: 243–253.
Russell, J.B., J. D . O‟Connor, D . G . Fox, P . J . Van Soest and C.J. Sniffen.
1992. A net carbohydrate and protein system for evaluating
cattle diets: I. Ruminal fermentation. J. Anim. Sci. 70: 3551–3561.
Sauvant, D. and J. Van Milgen. 1995. Dynamic aspects of carbohy-
drates and protein breakdown and the associated microbial matter
synthesis. In: W.V. Engelhardt, S. Leonhard-Marek, G. Breves and D.
Giesecke (Eds.). Ruminant Physiology: Digestion, Metabolism,
Growth and Reproduction. Ferdinand Enke Verlag, Stuttgart. p. 71
–91.
Sauvant, D., R. Baumont and P. Faverdin. 1996. Development of a
mechanistic model of intake and chewing activities of sheep. J. Anim.
Sci. 74: 2785–2802.
Sauvant, D., O. Martin and D. Mertens. 2009. Meta-analyis of influence of
dietary NDF on energy partitioning in dairy cows. J. Dairy Sc. 92
(E-Suppl. 1): 583.
Sehested, J., L. Diernas, P.D. Moller and E. Skadhauge. 1999. Ruminal
transport and metabolism of short-chain fatty acids (SCFA) in vitro:
effect of SCFA chain length and pH. Comp. Biochem. Physiol. A123: 359
–368.
Shirazi-Beechey, I., S. Wood, J. Dyer, D. Scott and T . P . King. 1995.
Intestinal sugar transport in ruminants. In: W.V. Engelhardt, S.
Leonhard-Marek, G. Breves and D. Giesecke (Eds.). Ruminant Physiolo-
gy: Digestion, Metabolism, Growth and Reproduction. Ferdi-
nand Enke Verlag, Stuttgart. p. 117–133.
Sniffen, C.J., J . D . O‟Connor, P. J. Van Soest, D.G. Fox and J.B. Russell.
1992. A net carbohydrate and protein system for evaluating cattle
diets: II. Carbohydrate and protein availability. J. Anim. Sci. 70: 3562–
3577.
Stock, R.A., D.R. Brink , R.A. Britton, F.K. Goedeken, M.H. Sindt, K.K.
Kreikemeier, M.L. Bauer and K.K. Smith. 1987. Feeding combinations of

Karbohidrat Pakan Ruminansia 146


high moisture corn and dry-rolled grain sorghum to finishing
steers. J. Anim. Sci. 65: 290–302.
Sutton, J.D., M.S. Dhanoa, S.V. Morant, J. France, D. J. Napper and E.
Schuller. 2003. Rates of production of acetate, propionate, and
butyrate in the rumen of lactating dairy cows given normal and
low-roughage diets. J. Dairy Sci. 86: 3620–3633.
Sveinbjörnsson, J., P. Huhtanen and P. Udén. 2006. The Nordic dairy cow
model, Karoline – development of volatile fatty acid sub-
model. In: E. Kebreab, J. Dijkstra, A. Bannink, W.J.J. Gerrits and J.
France (Eds.). Nutrient Digestion and Utilization in Farm Animals:
Modelling Approaches. CAB International, Wallingford. p. 1–14.
Swingle, R.S., T.P. Eck, C.B. Theurer, M. De la Llata, M.H. Poore and J.A.
Moore. 1999. Flake density of steam-processed sorghum grain alters
performance and sites of digestibility by growing-finishing steers.
J. Anim. Sci. 77: 1055–1065.
Taniguchi, K., G.B. Huntington and B.P. Glenn. 1995. Net nutrient flux by
visceral tissues of beef steers given abomasal and ruminal infu-
sions of casein and starch. J. Anim. Sci. 73: 236–249.
Taylor, C.C. and M.S. Allen. 2005. Corn grain endosperm type and brown
midrib 3 corn silage: site of digestion and ruminal digestion kinetics
in lactating cows. J. Dairy Sci. 88: 1413–1424.
Van Milgen, J., L.L. Berger and M.R. Murphy. 1992. Fractionation of sub-
strate as an intrinsic characteristic of feedstuffs fed to ruminants. J.
Dairy Sci. 75: 124–131.
Veenhuizen, J., R.W. Russell and J . W . Young 1988. Kinetics of metab-
olism of glucose, propionate and CO2 in steers as affected by in-
jecting phlorizin and feeding propionate. J. Nutr. 118: 1366–1375.
Velez, J.C. and S.S. Donkin. 2005. Feed restriction induces pyruvate carbox-
ylase but not phosphoenolpyruvate carboxykinase in dairy cows. J.
Dairy Sci. 88: 2938–2948.
Vernet, J. and I. Ortigues-Marty. 2006. Conception and develop-
ment of a bibliographical database of blood nutrient fluxes across
organs and tissues in ruminants: data gathering and management
prior to meta-analysis. Reprod. Nutr. Dev. 5: 527–546.
Waghorn, G.C. 1982. Modelling Analyses of Bovine Mammary and
Liver Metabolism. University of California, Davis (Ph.D. Thesis).
Weisbjerg, M.R., T . Hvelpund and B.M. Bibby. 1998. Hydrolysis and fer-

147 Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Pakan


mentation rate of glucose, sucrose and lactose in the ru-
men. Acta Agricultura Scandinavica. 48: 12–18.
Xiong, Y., N. Miyamoto, K. Shibata, M.A . Valasek, T . Motoike, R.M.
Kedzierski and M. Yanagisawa. 2004. Short-chain fatty acids stimu-
late leptin production in adipocytes through the G protein-
coupled receptor GPR41. PNSA. 101: 1045–1050.
Yang W 1991. Etude ciné tique de la colonisation microbienne
des aliments dans le rumen du mouton, consé quences sur la
compartimentation de la biomasse et sur sa dynamique de sor-
tie du rumen dans le cas des diffé rents types de rations. Thesis of
Doctorate, University of Clermont-Ferrand, France.
Yoon JH, Lee NVS, Lee JS, Park JB and Kim CY 1999. Development of a non
- transformed human liver cell line with differentiated-
hepatocyte and urea- synthetic functions: applicable for bio-
artificial liver. International Journal of Artificial Organs 22, 769–
777.
Zammit VA 1990. Ketogenesis in the liver of ruminants – adapta-
tions to a challenge. Journal of Agricultural Science, Cambridge 115,
155–162.
Zhao FQ, Okine EK, Cheeseman CI, Shirazi-Beechey SP and Kennelly JJ
1998. Glucose transporter gene expression in lactating bovine gas-
trointestinal tract. Journal of Animal Science 76, 2921–2929.

Karbohidrat Pakan Ruminansia 148


Pemanfaatan Bahan Pati Pakan

Bebijan pakan digunakan untuk menopang produksi daging dan


susu ruminansia sudah sejak berabad-abad yang lalu. Aspek
ekonomis merupakan dorongan dasar untuk memberikan bebijian
pakan pada ruminansia, selain untuk meningkatkan kepadatan en-
ergi pakan, yang selanjutnya mengoptimalkan produksi dalam sis-
tem intensif yang dikelola dengan baik. Bahan pati bebijian meru-
pakan komponen energi utama, sehingga perbaikan pada sistem
pemeliharaan secara intensif ini akan bergantung pada pening-
katan konversi pati menjadi produk hewani.
Beberapa penelitian secara masif mengkaji pemanfaatan bahan
pati pada ruminansia seperti yang dilakukan oleh Rooney dan
Pflugfelder (1986); Orskov (1986); Owens et al. (1986); Theurer
(1986); dan lain sebagainya. Bab ini bertujuan menyajikan dan
mengevaluasi informasi beberapa hasil penelitian, terutama yang
berkaitan dengan aspek-aspek tertentu dari pencernaan bahan
pati, penyerapan glukosa, dan metabolisme glukosa pada ruminan-
sia dengan pakan berporsi bahan pati yang besar (misalnya oleh
Nocek dan Tamminga, 1991; Croom et al., 1992, 1993; Harmon 1992,
1993; Kotarski et al., 1992; Hediger dan Rhoads, 1994; dan lain-lain).

Karakteristik bebijian pakan


Diantara bebijian pakan yang biasa digunakan pada beberapa
penelitian adalah gandum, jagung, sorghum, barley dan oat. Kan-

149 Pemanfaatan Bahan Pati Pakan


dungan bahan pati pada gandum 77% (Aimone dan Wagner, 1977;
Herrera-Saldana et al., 1990b). Jagung mengandung bahan pati se-
besar 72% (Herrera-Saldana et al., 1990b; Zinn, 1991, 1993a,b; Larson
et al., 1993). Kandungan bahan pati pada sorghum serupa dengan
jagung (Herrera-Saldana et al., 1990b; Streeter et al., 1990a,b, 1991;
Zinn, 1991; Poore et al., 1993). Barley dan oat mengandung bahan
pati sekitar 57 sampai 58% (Herrera-Saldana et al., 1990b; Hatfield et
al., 1993; Zinn, 1993a, b). Pemeringkatan kandungan bahan pati pa-
da beberapa bebijian ini belum memperhatikan perbedaan diantara
sumber bahan pati atau pengaruh varietas, lokasi, tahun, kondisi
iklim, dan praktik agronomi. Nocek dan Tamminga (1991) mener-
bitkan informasi lebih rinci tentang karbohidrat non-struktural
pada beberapa bahan pakan. Kandungan bahan pati pada silase ja-
gung me-rupakan fungsi langsung dari maturitas tanaman dan pro-
porsi bebijian di seluruh tanaman. Mahanna (1994) melaporkan
bahwa kandungan bahan pati dalam silase jagung meningkat dari
22 menjadi 35% seiring dengan peningkatan persentase gabah da-
lam silase dari 32 menjadi 50%. Perbandingan lima bebijian dari
suplai lokal (Herrera-Saldana et al., 1990b) menunjukkan bahwa
koefisien variasi terkecil untuk jagung sebesar 2,4%; diikuti oleh
sorghum (3,7%), gandum (4,1%), barley (5,2). %), dan oat (7,1%). Em-
pat puluh dua sampel biji sorgum yang dikumpulkan oleh National
Grain Sorghum Producers Association mengandung (rerata) 68%
bahan pati dengan koefisien variasi sebesar 7,1% (Preston et al.,
1991). Sebagai bahan perbandingan, jerami alfalfa atau silase
mengandung dari 2,7% hingga 20% bahan pati (Mahanna, 1994;
Poore et al., 1993), dan suplemen protein seperti bungkil kedelai,
tepung biji kapas, dan tepung ikan mengandung dari 2,5% hingga
27% bahan pati (Nocek dan Tamminga, 1991; Poore et al., 1993).
Struktur biji mencerminkan fungsi biologisnya: perlindungan
dan pengangkutan embrio, dilengkapi dengan sumber energi untuk
membantu perkecambahan, dan pertumbuhan awal. Perikarp

Karbohidrat Pakan Ruminansia 150


membungkus embrio serta endosperma yang mengandung sebagi-
an besar pati (Kotarski et al., 1992). Di dalam endosperma terdapat
lapisan aleuron yang mengandung enzim esensial dan inhibitor
enzim. Di bawah lapisan aleuron terdapat endosperma perifer dan
corneous, yang mengandung granula pati dan tertanam dalam
matriks berprotein tinggi. Mikrograf elektron hasil pemindaian
oleh Rooney dan Pflugfelder (1986), Chandrashekar dan Kirleis
(1988), dan McAllister et al. (1990b) memberikan visualisasi yang
baik tentang struktur tersebut, serta visualisasi invasi mikroba dan
pencernaan bahan pati. Jenis mikrograf ini menunjukkan bahwa
"serangan mikroba" bukanlah metafora yang berlebihan untuk
“sebuah malapetaka” yang ditimbulkan oleh bakteri rumen. Di
bawah semua lapisan ini adalah endosperm tepung yang memiliki
konsentrasi granula pati tertinggi dan tidak tertanam dalam
matriks protein. Bahan pati dalam endosperm yang bertepung
merupakan yang paling rentan terhadap kekuatan eksternal seper-
ti pencernaan atau pemrosesan bebijian. Butiran pati terutama
terdiri dari amilopektin (hubungan α1-4 dan α1-6) dan amilosa
(ikatan α1-4). Proporsi dua polisakarida bervariasi diantara spesies
dan varietas, dengan amilosa berkontribusi dari 0 sampai sekitar
20% dari total (Rooney dan Pflugfelder, 1986; Kotarski et al., 1992).
Selain itu juga terdapat sejumlah kecil pektin dan gula, bersama-
sama dengan pati, menyusun karbohidrat non-struktural (Nocek
dan Tamminga, 1991).
Perbedaan dalam kelimpahan relatif lapisan endosperma adalah
dasar untuk beberapa deskriptor seperti vitreous, flinty, waxy,
nonwaxy, dan opaque, yang digunakan untuk mengkategorikan
bebijian dan varietas. Perbedaan struktural ini juga merupakan
dasar untuk perbedaan yang dilaporkan dalam pencernaan in vitro
atau in vivo diantara sumber bebijian dan perbedaan selanjutnya
pada kinerja produksi ternak yang disebabkan oleh spesies atau
varietas bebijian (Rooney dan Pflugfelder, 1986; McAllister et al.,

151 Pemanfaatan Bahan Pati Pakan


1990b; Streeter et al., 1990a,b, 1991; Kotarski et al., 1992; Wester et
al., 1992). Secara umum, genotipe waxy hanya mengandung ami-
lopektin, mengembang lebih cepat dalam air panas, dan memiliki
tingkat pencernaan in vitro atau in vivo yang lebih cepat daripada
genotip heterogen atau nonwaxy.

Pencernaan bahan pati dalam rumen


Meskipun protozoa dan fungi berpartisipasi dalam proses pen-
cernaan di rumen, sebagian besar fermentasi dilakukan oleh bak-
teri rumen. Sekitar tiga perempat dari serat, protein, dan pen-
cernaan pati dilakukan oleh bakteri yang terikat secara longgar
atau erat pada partikel pakan (McAllister et al., 1994). Kotarski et al.
(1992) mengidentifikasi 15 galur bakteri amilolitik dan mengkarak-
terisasi delapan enzim amilolitik yang dihasilkan oleh bakteri ter-
sebut. Setidaknya beberapa bakteri ini menempel dan mengolo-
nisasikan partikel bebijian di rumen dan menghasilkan endo- dan
ekso-enzim yang menghidrolisis ikatan α1-4 dan α 1-6 dari amilosa
dan amilopektin. Namun, tidak semua bakteri dilengkapi dengan
rangkaian lengkap enzim pencernaan; oleh karena itu, pencernaan
maksimal bahan pati menjadi monosakarida membutuhkan inte-
grasi diantara spesies bakteri. Kokultur Streptoccocus bovis, Butyr-
ivbrio fibrisolvens, Bacteriodes ruminicola, dan Selenomonas ruminatium
menunjukkan pentingnya cross-feeding diantara spesies bakteri da-
lam mencapai tingkat pertumbuhan bakteri terbesar dan pen-
cernaan bahan pati yang lengkap (Cotta, 1992). Protozoa rumen
berperan dalam proses menelan/memangsa dan mencerna granula
pati (dengan atau tanpa bakteri yang menempel). Laju dan besaran
pencernaan bahan pati di rumen lebih besar ketika protozoa di-
hilangkan dari rumen domba yang diberi pakan jagung dan dry-
rolled sorghum (Mendoza et al., 1993). Hifa fungi diduga memainkan
peran penting dalam perlekatan bakteri dengan menciptakan lesi
pada permukaan jaringan tanaman (McAllister et al., 1994).

Karbohidrat Pakan Ruminansia 152


Bebijian utuh dengan perikarp utuh sebagian besar atau se-
luruhnya tahan terhadap pencernaan oleh ruminansia karena se-
luruh bagian biji tahan terhadap perlekatan bakteri (McAllister et
al., 1994; Beauchemin et al., 1994). Sebaliknya, bebijian yang dipros-
es dengan berbagai perlakuan kombinasi panas, kelembaban, wak-
tu, dan aksi mekanis menjadi tidak tahan terhadap pencernaan
saluran pencernan ruminansia. Perlakuan-perlakuan pengolahan
ini meningkatkan kecernaan bahan pati dengan memberikan kes-
empatan bagi bakteri untuk menempel pada granula pati. Rooney
dan Pflugfelder (1986) menggambarkan perubahan kimia dan fisik
akibat metode pengolahan bebijian yang populer seperti gelatini-
sasi, retrogradasi, dan dekstrinisasi pati bebijian. Ruminansia
“memroses” bahan pati pakan dengan mengunyah, sehingga
merusak bagian perikarp bebijian.
Laju dan besaran pencernaan bahan pati dalam rumen diten-
tukan oleh keterkaitan yang rumit di antara beberapa faktor, ter-
masuk sumber bahan pati pakan, komposisi pakan, besaran pakan
yang dikonsumsi per satuan waktu, perubahan mekanis
(pengolahan biji-bijian, pengunyahan), perubahan kimia (tingkat
hidrasi, gelatinisasi), dan tingkat adaptasi mikrobia rumen ter-
hadap jenis pakan. Tiga pendekatan untuk mengontrol laju dan
besaran pencernaan bahan pati yang paling banyak mendapat per-
hatian adalah manajemen kon-sumsi pakan, jenis pengolahan
bebijian, dan aditif pakan. Owens dan Goetsch (1986) memberikan
tinjauan komprehensif tentang efek dari pendekatan ini pada vari-
abel kinetik utama rumen seperti ukuran cairan rumen dan pool
partikel pakan, sifat kimia dari pool tersebut (pH, osmolaritas), laju
aliran cairan, laju pencernaan partikel pakan, laju aliran partikel
pakan (keluar dari rumen), laju pengenceran media rumen, dan
aliran keluar produk-produk pencernaan mikroba (protein mikro-
ba). Secara umum, apabila dengan lebih disederhanakan, maka laju
pencernaan partikel pakan dalam rumen berbanding lurus dengan

153 Pemanfaatan Bahan Pati Pakan


tingkat pencernaan, dan peningkatan laju bagian partikel pakan
berbanding lurus dengan peningkatan konsumsi pakan. Oleh kare-
na itu, perubahan konsumsi pakan akibat teknik manajemen
(Loerch, 1990; Pritchard, 1995) atau dengan aditif pakan seperti
senyawa ionofor (Zinn, 1987; Burrin et al., 1988; Stock et al., 1990;
Zinn dan Borques, 1993) dapat mempengaruhi besaran bahan pati
yang dicerna dalam rumen. Demikian pula, aditif atau jenis perla-
kuan seperti lemak pakan (Brandt, 1992) atau perlakuan formalde-
hida atau fenolat (Fluharty dan Loerch, 1989; Mahmoudzadeh et al.,
1989; McAllister et al., 1990a; Oke et al., 1991; McAllister et al.,
1992a,b; Castlebury dan Preston, 1993) dirancang untuk memper-
lambat atau membatasi pencernaan bahan pati rumen; namun,
penelitian ini belum menunjukkan hasil yang konsisten dalam hal
lokasi dan besaran pencernaan bahan pati atau dalam hal kinerja
produksi ternak.
Evaluasi terhadap hibrida sorghum menjadi contoh terbaik ten-
tang hubungan antara genotip dan pencernaan bahan pati. Hibrida
sorghum bervariasi dalam kandungan bahan pati dan protein,
struktur lapisan endosperma, kecernaan in vitro, serta penggunaan-
nya untuk penambahan berat badan ternak (Streeter et al., 1990a,b,
1991; Kotarski et al., 1992; Wester et al., 1992). Hasil studi ini menun-
jukkan bahwa varietas berlilin (waxy) memiliki laju dan besaran
pencernaan bahan pati in vitro yang lebih besar daripada varietas
tidak berlilin. Varietas tidak berlilin memiliki tekstur pati tepung
pada endospermanya, sehingga tingkat penghilangan bahan pati
secara in vitro lebih cepat daripada varietas dengan endosperma
yang intermediate atau vitreous. Varietas dengan bird-resistant mem-
iliki tingkat pencernaan in vitro yang lebih lambat daripada varietas
yang tidak diklasifikasikan sebagai bird-resistant. Sebagian besar
data menunjukkan tidak terdapat korelasi yang kuat antara kan-
dungan protein dan laju pencernaan bahan pati secara in vitro
(Camgampang dan Kirleis, 1984; Wester et al., 1992). Laju dan

Karbohidrat Pakan Ruminansia 154


efisiensi pertambahan berat badan sapi atau domba tidak selalu
memberikan respon yang jelas terhadap perbedaan varietas sesuai
yang diprediksikan dengan pemeringkatan secara in vitro, tetapi
pada umumnya varietas berlilin (atau genotip-genotip heterogen
yang mengekspresikan gen lilin) memiliki konversi pakan yang
lebih efisien untuk penambahan bobot badan.
Ulasan oleh Owens et al. (1986) dan Theurer (1986) menyajikan
ringkasan komprehensif tentang pengaruh sumber bebijian dan
metode pemrosesan bebijian terhadap lokasi dan besaran
kecernaan pati; data sejak publikasi ulasan tersebut mengkonfir-
masi dan menguraikan ringkasan tersebut. Tabel 3 merangkum
hasil-hasil penelitian pada sapi daging dan sapi susu. Jumlah
pengamatan (ternak) per perlakuan berkisar antara tiga sampai
enam ekor, dengan empat ekor sebagai jumlah yang lazim. Tidak
satu pun dari penelitian-penelitian ini melibatkan bebijian yang
tidak diolah; per-lakuan lazim adalah metode pengolahan, selalu
dibandingkan dengan dry-rolled jagung sebagai kontrol atau perla-
kuan dasar. Sebagai tujuan perbandingan, Owens et al. (1986)
melaporkan bahwa kecernaan rumen jagung utuh menjadi 58,9%
dan kecernaan total saluran pencernaan menjadi 91,7%. Standar
deviasi dihitung dari nilai-nilai tengah perlakuan, apabila terdapat
lebih dari tiga penelitian yang menggunakan bebijian dengan
metode pengolahan tertentu. Secara pasti, variasi diantara nilai-
nilai tengah perlakuan men-cerminkan perbedaan dalam teknik
pemrosesan, sumber bebijian, dan prosedur eksperimental. Regresi
kecernaan ruminal, pasca ruminal atau saluran pencernaan total
untuk dry-rolled jagung, dry-rolled sorghum, dan steam-flaked sor-
ghum digunakan sebagai sebuah fungsi konsumsi bahan pati hari-
an tidak menunjukkan korelasi yang kuat antara konsumsi dan
kecernaan. Hal ini konsisten dengan hasil penelitian yang
dirancang untuk menguji pengaruh konsumsi (Zinn, 1990b).
Dibandingkan dengan proses dry rolling, steam flaking mening-

155 Pemanfaatan Bahan Pati Pakan


katkan kecernaan bahan pati untuk jagung dan sorghum; ini di-
jelaskan dengan nilai-nilai tengah pada Tabel 3 serta dalam hasil
studi yang dirancang untuk menguji metode pemrosesan. Lebih
lanjut, steam flaking versus dry rolling jagung menurunkan variasi
nilai-nilai tengah, menunjukkan bahwa gelatinisasi dan peru-
bahan lain yang disebabkan oleh jenis pemrosesan tersebut
meningkatkan kesera-gaman respon. Proses steam rolling mening-
katkan kecernaan bahan pati pada barley tetapi memiliki pengaruh
kecil terhadap gandum atau oats. Proses steam flaking meningkat-
kan kecernaan bahan pati ruminal yang lebih besar untuk sorghum
(19 unit persentase) daripada jagung (13 unit persentase). Preston
et al. (1993) meng-hubungkan kecernaan enzimatik in vitro bahan
pati biji sorghum dengan derajat gelatinisasi pati, dan menemukan
bahwa kecernaan bahan pati (ketersediaan) berhubungan positif
dengan persentase pati yang tergelatinisasi; namun, ketersediaan
tidak meningkat secara substansial ketika lebih dari 60% bahan
pati mengalami gelatinisasi. Hubungan in vitro ini sangat cocok
dengan kinerja feedlot yang diamati terhadap respon flake density
sorghum. Ketersediaan bahan pati dan efisiensi dari keduanya
meningkat karena ketersediaan pati mencapai 70% dari total bahan
pati (Xiong et al., 1991).
Tidak terdapat hubungan yang kuat antara konsumsi bahan
pati dan kecernaan rumen, sehingga tidak terdapat batasan yang
jelas terhadap kapasitas rumen untuk mencerna bahan pati. Na-
mun, hampir semua gangguan yang terkait dengan pemberian pa-
kan bebijian dengan porsi tinggi (misalnya kembung, asidosis,
founder, abses hati) merupakan hasil fermentasi bahan pati menjadi
asam organik yang terlalu cepat. Oleh karena itu sebagian besar
aditif pakan, perlakuan pakan, dan teknik manajemen yang
dirancang untuk memperbaiki gangguan ini berfokus pada cara
untuk memperlambat laju fermentasi atau menetralkan asam yang
dihasilkan. Demikian pula, tujuan utama dari penelitian tentang

Karbohidrat Pakan Ruminansia 156


Tabel 1. Kecernaan beberapa bahan pati rumen
Pasca rumen
Konsumsi bahan % Konsumsi Saluran
Bebijian a pati, kg/d Rumen % Konsumsi % Yg masuk
Pemrosesan total, % Sitasib
Jagung DR 2.06 ±1.08 76.2 ±7.9 16.2 ±6.7 68.9 ±18.4 92.2 ±3.0 1 8
SF 2.20 ±.52 84.8 ±4.1 14.1 ±3.7 92.6 ±4.1 98.9 ±0.8 5 13
SR 6.91 72.1 19.0 68.2 91.2 14
HM 3.89 89.9 6.3 67.8 95.3 15
G 10.65 49.5 44.0 86.5 93.5 16
Sorghum DR 4.81 ±1.49 59.8 ±12.0 26.1 ±11.4 62.5 ±16.2 87.2 ±5.4 1, 4, 15, 17 19
SF 4.78 78.4 19.6 89.9 98.0 10, 14, 18
HMG 3.64 73.2 19.6 46.1 92.8 2, 20, 21
G 3.81 70.0 15.4 51.0 91.0 21
Barley DR 4.09 ±1.74 80.7 ±3.9 13.7 ±3.8 75.2 ±5.2 94.3 ±2.9 16, 22 24

157 Pemanfaatan Bahan Pati Pakan


SR 4.53 84.6 13.6 88.0 98.2 8
Gandum DR 2.94 88.3 9.9 85.4 98.2 20, 24
SR 2.87 88.1 10.0 88.2 98.6 24
Oats DR 1.53 92.7 5.6 76.3 98.3 12
SR 1.49 94.0 4.5 78.8 98.8 12
aDR = dry-rolled; SF = steam-flaked; HM = high moisture, kelembaban tinggi; G = ground, halus; SR = steam-rolled.
b
Citations: 1. Spicer et al. (1986); 2. Streeter et al. (1989); 3. Streeter and Mathis (1995); 4. Streeter et al. (1990b); 5.
Zinn (1987); 6. Zinn (1988); 7. Zinn (1990a); 8. Zinn et al. (1995); 9. Zinn (1990b); 10. Zinn (1991); 11. Zinn (1993a);
12. Zinn (1993b); 13. Zinn and Borques (1993); 14. Oliveira et al. (1995); 15. Stock et al. (1987a); 16. McCarthy et al. (1989);
17. Herrera-Saldana et al. (1990a); 18. Poore et al. (1993); 19. Streeter et al. (1991); 20. Axe et al. (1987); 21. Hill et al.
(1991); 22. McNiven et al. (1995); 23. McAllister et al. (1992b); 24. Zinn (1994).
teknik pengolahan pakan bebijian adalah untuk meningkatkan
kecernaan bahan patinya, namun menghindari "terlalu banyak hal
yang baik" dengan membuat bahan pati menjadi cepat tersedia un-
tuk serangan mikroba.
Penggunaan penyangga (buffer) atau penetralisir ruminal diikuti
dengan identifikasi asidosis sebagai penyebab utama gangguan
pencernaan yang terkait dengan tingginya konsumsi bahan pati
pakan. Senyawa-senyawa seperti natrium bikarbonat, kalsium kar-
bonat, atau magnesium oksida ditambahkan untuk memperbaiki
gangguan pencernaan tersebut atau untuk mempertahankan per-
sentase lemak susu apabila pakan berbijian tinggi diberikan kepada
sapi laktasi. Beberapa penelitian mengubah persepsi tentang
bagaimana senyawa-senyawa ini bekerja. Erdman (1988) mengulas
bahwa tidak ditemukan hubungan antara pH cairan rumen dengan
persentase lemak susu pada sapi perah. Selain itu, juga tidak
ditemukan hubungan antara natrium bikarbonat atau magnesium
oksida dalam pakan dengan pH darah atau urin, CO2 darah, atau
konsentrasi bikarbonat darah. Aslam et al. (1991) tidak berhasil
menunjukkan bahwa pengantaran natrium bikarbonat ke rumen
sampai 6 jam setelah konsumsi pakan akan mengubah konsentrasi
asam organik rumen dan karenanya mengubah persentase lemak
susu. Penambahan senyawa penyangga komersial pada pakan sapi
perah kadang-kadang meningkatkan persentase lemak susu, tetapi
tidak berpengaruh pada pH cairan rumen atau konsentrasi asam
organik (Xu et al., 1994). Zinn dan Borques (1993) tidak menemukan
pengaruh natrium bikarbonat pakan terhadap karakteristik cairan
rumen, lokasi atau besaran pencernaan bahan pati, atau kinerja
penggemukan sapi jantan dengan pakan bebijian yang tinggi. Ren-
dahnya hubungan antara pemberian penyangga pakan dengan var-
iabel metabolik atau status fisiologis asam-basa tidak mendukung
gagasan bahwa senyawa-senyawa ini berfungsi sebagai penyangga
rumen atau metabolik. Setelah beberapa penelitian tidak dapat

Karbohidrat Pakan Ruminansia 158


membangun hubungan apa pun antara sebuah "indeks nilai pen-
yangga" dalam pakan yang mengandung 50 sampai 70% bebijian
dengan produksi susu, lemak susu, atau protein susu. Miller et al.
(1993) menetapkan bahwa bahan pakan menyumbang sekitar 15%
dari kapasitas penyangga total yang tersedia bagi sapi. Setelah pen-
injauan pustaka beserta perhitungan biokimiawi, Russell dan Chow
(1993) menyimpulkan bahwa secara fisio-logis tidak mungkin bah-
wa penyangga pakan dapat memiliki banyak pengaruh terhadap pH
cairan rumen secara relatif terhadap pengaruh utama pemindahan
CO2 darah. Russell dan Chow (1993) mengusulkan bahwa
mekanisme kerja natrium bikarbonat adalah untuk meningkatkan
konsumsi air, meningkatkan pengenceran cairan rumen, dan selan-
jutnya meningkatkan jumlah pati yang lolos fermentasi rumen.
Wiedmeier et al. (1987) meningkatkan keluaran saliva sapi dengan
senyawa farmakologis dan memberikannya baik natrium klorida
atau natrium bikarbonat. Semua perlakuan meningkatkan laju
pengen-ceran cairan dalam rumen dan meningkatkan laju partiku-
lat yang keluar dari rumen. Peningkatan keluaran saliva
menurunkan volume cairan rumen tetapi tidak mengubah pH;
kedua garam natrium meningkatkan volume cairan rumen dan pH.
Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa natrium klorida
dan natrium bikarbonat memiliki efektivitas yang sama dalam
meningkatkan pH cairan rumen. Injeksi slaframin intramuskular
meningkatkan salivasi, pH cairan rumen, laju aliran cairan dan
partikulat dari rumen, produksi protein mikroba, dan pencernaan
pati dalam rumen pada sapi jantan (Froetschel et al., 1995).

Sinkronisasi ketersediaan energi dan nitrogen di rumen


Tingkat penyerapan amonia yang relatif tinggi oleh ruminansia
(Huntington, 1990) menunjukkan bahwa ketersediaan energi atau
kurangnya sinkronisasi antara pasokan energi dan nitrogen, se-
hingga membatasi penggunaan nitrogen yang tersedia oleh

159 Pemanfaatan Bahan Pati Pakan


mikroorganisme rumen. Hal ini pada gilirannya membatasi
efisiensi penggunaan nitrogen pakan untuk tujuan produktif. Sink-
ronisasi suplai bahan pati dan nitrogen ke rumen mengurangi
penyerapan amonia dan meningkatkan retensi nitrogen pada sapi
jantan (Taniguchi et al., 1995). Sin-kronisasi fermentabilitas rumen
terhadap bahan pati dan protein pakan dapat meningkatkan reten-
si nitrogen dari domba yang sedang tumbuh sebagai persentase
konsumsi nitrogen (Matras et al., 1991). Energi yang tersedia dari
fermentasi bahan pati kondusif untuk meningkatkan aliran protein
mikroba yang keluar dari rumen sapi (Spicer et al., 1986; Zinn, 1988,
1993a,b; Streeter et al., 1989; Poore et al., 1993). Sebagai contoh, ali-
ran protein bakteri yang keluar dari rumen dapat meningkat dari
2,2 menjadi 2,8 kg/hari pada sapi perah yang diberi steam-flaked
versus dry rolled sorghum (Poore et al., 1993). Studi lain pada sapi
laktasi (Herrera-Saldana dan Huber, 1989; Herrera-Saldana et al.,
1990a; Aldrich et al., 1993) mengkonfirmasi bahwa sinkronisasi fer-
mentabilitas bahan pati dan sumber protein (nitrogen) di rumen
dapat meningkatkan aliran protein bakteri yang keluar dari ru-
men. Dua penelitian pada sapi laktasi yang diberi jagung atau bar-
ley sebagai sumber bahan pati tidak menunjukkan respon yang
jelas terhadap sinkronisasi ruminal (McCarthy et al., 1989; Khorasa-
ni et al., 1994). Pada salah satu studi tersebut, kemampuan untuk
mendeteksi respon diduga telah dikompromikan oleh per-bedaan
konsumsi antara pakan yang mengandung jagung giling, jagung
pipil, dan steam-rolled barley (McCarthy et al., 1989).

Pencernaan bahan pati di usus


Pencernaan bahan pati secara enzimatis di usus kecil ruminan-
sia berlangsung seperti halnya pada spesies lain. Pankreas men-
sekresi α-amilase (EC 3.2.1.1), yang menghidrolisis amilosa dan
amilopektin sehingga membatasi dekstrin (terutama dari hidrolisis
amilopektin) dan oligosakarida linier dari dua sampai tiga unit glu-

Karbohidrat Pakan Ruminansia 160


kosa (Gray, 1992; Harmon, 1993). Proses ini diselesaikan oleh oligo-
sakaridase permukaan yang terletak di membran brush border
mikrovili usus. Namun, tidak seperti monogastrik, ruminansia tid-
ak memiliki aktivitas sukrase yang terukur, dan karena itu bergan-
tung pada aktivitas maltase dan isomaltase dalam menghasilkan
unit glukosa untuk penyerapan (Harmon, 1992).
Maraknya penggunaan pakan dengan bebijian yang tinggi men-
dorong minat dalam penentuan kapasitas ruminansia untuk men-
cerna bahan pati di usus, karena penyerapan dan metabolisme
glukosa tampaknya lebih efisien secara energetik daripada fermen-
tasi dan penyerapan asam organik (Owens et al., 1986). Harmon
(1993) menyimpulkan dalam ulasannya bahwa sekresi dan produksi
enzim pencernaan bahan pati di usus lebih merespon besarnya en-
ergi yang dikonsumsi oleh ternak daripada besarnya bahan pati
pakan. Croom et al. (1992) menyimpulkan bahwa sebagai fermentor
pragastrik, ruminansia memiliki aliran digesta yang relatif konstan
ke duodenum, yang menghalangi pelaksanaan beberapa kontrol
neuro-endokrin sekresi pankreas, seperti yang diamati pada spesies
lain.
Dari rerata 5 sampai 20% bahan pati terkonsumsi yang dicerna
pasca rumen, sebagian besar dicerna di usus kecil (Streeter et al.,
1989, 1991; Hill et al., 1991; Zinn, 1991). Pada Tabel 3, terdapat tiga
pengecualian untuk rentang ini. Pertama, data jagung giling pada
Tabel 3 berasal dari sapi laktasi (McCarthy et al., 1989). Sapi-sapi
tersebut memiliki konsumsi bahan pati tertinggi yang pernah
dilaporkan dalam jenis penelitian intensif ini, yang diduga men-
dorong laju aliran cairan dan partikulat yang sangat cepat dari ru-
men. Pe-ningkatan laju aliran menyebabkan "pencucian" jagung
giling dari rumen dan menyajikan lebih dari 4 kg pati setiap hari
untuk berpotensi dicerna pasca ruminal. Kedua, penelitian dengan
dry rolled sorghum menunjukkan bahwa corneous endosperm dari
bebijian yang tahan terhadap pengolahan tersebut (Theurer, 1986).

161 Pemanfaatan Bahan Pati Pakan


Ketiga, dibandingkan dengan dry rolled sorgum , pengaruh waktu
dan kelembaban yang terkait dengan kelembaban tinggi, sorghum
giling me-miliki efek positif terhadap pencernaan rumen, tetapi
berpengaruh negatif terhadap kecernaan pati pasca ruminal. Pen-
cernaan saluran pencernaan total terhadap sorghum kelembaban
tinggi lebih besar daripada dry rolled sorghum, tetapi lebih rendah
daripada steam-flaked sorghum (Stock et al., 1987b).
Dalam ulasannya, Harmon (1992) melaporkan bahwa kecernaan
usus dari pati pada sapi jantan atau sapi dara (220-395 kg BW)
berkisar 17,3-84,9% dari bahan pati yang memasuki duodenum atau
122-636 g/hari. Konsumsi bahan pati pakan (dari jagung, barley,
atau sorghum) berkisar antara 2,0 sampai 4,6 kg/hari. Hill et al.
(1991) menemukan kecocokan linier dari hilangnya 45% di usus
kecil sapi jantan pada saat 430 hingga 1.200 gram bahan pati sor-
ghum memasuki duodenum. Kreikemeier et al. (1991)
menginfusikan bahan pati jagung ke abomasum sapi jantan, dan
mencatat penurunan hilangnya dari 86 menjadi 55%, karena
besarnya bahan pati yang diinfusikan meningkat dari 480 menjadi
1.440 g/hari. Owens et al. (1986) menemukan kisaran serupa dalam
tinjauan pustakanya (88 sampai 45% kecernaan bahan pati jagung
atau sorghum dalam usus kecil sapi). Kemiringan (slop) regresi
linier melalui pengumpulan data menunjukkan bahwa 55% tepung
jagung yang masuk ke usus halus menghilang di usus kecil. Hasil-
hasil penelitian ini mengkonfirmasikan penemuan-penemuan
sebelumnya yang mengidentifikasikan kurangnya aktivitas amilase
pankreas secara memadai sebagai alasan utama bahwa tidak ter-
dapat 100% pencernaan bahan pati di usus kecil; hasil-hasil kajian
itu juga menyiratkan bahwa sekresi amilase pankreas terus
meningkat selaras dengan peningkatan konsumsi energi.

Penyerapan dan pelepasan nutrien ke dalam aliran darah


Dua jalur utama transfer glukosa dari lumen usus halus ke ali-

Karbohidrat Pakan Ruminansia 162


ran darah adalah transpor aktif dan difusi paraselular bersama
dengan penyerapan air ("hambatan pelarut"). Pengangkut-
pengangkut glukosa telah dikarakterisasikan untuk berbagai spe-
sies, termasuk ruminansia (Hediger dan Rhoads, 1994; Shirazi-
Beechey et al., 1995; Bird et al., 1996). Karakterisasi transporter na-
trium-glukosa yang terletak di usus ( SGLT1) mencakup informasi
tentang lokasi kromosom gen yang bertanggung jawab untuk sin-
tesisnya, struktur dan konformasi utamanya di membran brush bor-
der, dan mekanisme yang digunakannya untuk mengangkut satu
molekul glukosa dan dua molekul Na+ dalam setiap siklusnya. Esti-
masi kapasitas transporter SGLT1 berkisar antara 50 sampai lebih
dari 200 siklus per detik (Hediger dan Rhoads, 1994; Ferraris et al.,
1989). Terdapat banyak homologi (80% atau lebih besar) struktur
SGLT1 diantara spesies yang memfasilitasi ekstrapolasi data dari
spesies lain ke ruminansia. Kepadatan transporter SGLT1 merupa-
kan fungsi dari luas permukaan mikrovili, yang pada gilirannya
merupakan fungsi dari jumlah dan konformasi vili usus dan lokasi
di dalam usus kecil. Perbandingan luas permukaan usus di antara
berbagai spesies menemukan bahwa luas permukaan sebanding
dengan BB0.70 (Ferraris et al., 1989). Kepadatan transporter tertinggi
berada di bagian proksimal usus, dengan menjadi lebih sedikit di
bagian tengah dan paling sedikit di bagian distal usus (Ferraris et
al., 1989). Estimasi jumlah transporter SGLT1 per sel umumnya
berkisar antara 105 hingga 107 per enterosit. Transporter SGLT1 di-
sintesis saat enterosit berada di kripta vili, kemudian matang dan
menjadi aktif saat enterosit matang dan bermigrasi ke ujung vili
(Shirazi-Beechey et al., 1995). Penelitian pada ruminansia (Shirazi-
Beechey et al., 1995) bertepatan dengan hasil dari spesies lain
(Diamond dan Karasov, 1984) yang menunjukkan adaptasi cepat
terhadap perubahan peningkatan suplai bahan pati pakan. Kapasi-
tas untuk mengangkut glukosa secara aktif dapat meningkat dua
kali lipat selama periode 2 sampai 4 hari.

163 Pemanfaatan Bahan Pati Pakan


Simulasi pencernaan bahan pati dan penyerapan glukosa dari
usus kecil
Informasi dasar yang diuraikan sebelumnya digunakan untuk
mendapatkan kesesuaian matematis dengan data dari Kreikemeier
et al. (1991). Data tersebut memberikan informasi tentang aliran
digesta dan konsentrasi bahan pati dan glukosa, hilangnya dari
usus, dan penyerapan portal netto glukosa pada sapi jantan yang
mengonsumsi alfalfa kering saja atau jerami kering ditambah
menerima tiga tingkat glukosa atau pati abomasal. Usus halus
dipilih secara arbitrari dengan panjang 25 m dan memiliki volume
3,02 liter (Kreikemeier et al., 1990). Aktivitas transportasi didistri-
busikan dalam rasio 5.4:3.75:1 proksimal:tengah:distal di usus
(Ferraris et al., 1989), kemudian memasangkan nilai-nilai tersebut
ke persamaan kuadrat dengan panjang usus sebagai variabel inde-
penden. Penyerapan air ditetapkan pada 0,8 kali volume per hari,
dan difusi paraseluler glukosa diekstrapolasi dari parameter dari
tikus (Pappenheimer dan Reiss, 1987). Versi ringkas persamaan
untuk difusi paraseluler (gram per hari) adalah 0,743 kali konsen-
trasi glukosa luminal milimolar. Usus secara matematis dibagi
menjadi 25 bagian @ 1 meter untuk mengulangi persamaan.
Setelah setiap iterasi, aliran cairan dan konsentrasi glukosa di-
sesuaikan untuk penyerapan glukosa dan penyerapan air. Nilai-
nilai yang disesuaikan ini digunakan untuk menentukan trans-
portasi dan difusi paraseluler pada bagian usus selanjutnya.
Apabila pengangkutan aktif maksimal ditetapkan pada 757 g/
hari dan Km ditetapkan pada konsentrasi glukosa luminal 5 mM,
data glukosa dari Kreikemeier et al., (1991) dapat diduplikasi
dengan kesepakatan yang logis (Tabel 13). Transportasi maksimal
dihitung menjadi 60,7 g/hari untuk meter pertama usus dan
menurun secara kuadrat menjadi 0,9 g/hari untuk meter terakhir.
Rerata transportasi maksimal adalah 30,3 g/hari. Transportasi sim-

Karbohidrat Pakan Ruminansia 164


Tabel 2. Intestinal disappearancea yang diprediksi dan diobservasi, konsentrasi glukosa dan
bahan pati pada ileum, serta prediksi serapan glukosa pada sapi jantan
Yang memasuki duodenum, gram per hari
Item 480 960 1.440 1.920
Glucose infused
Disappeared, observed 466 830 1,026
Disappeared, predicted 479 797 970 1,123
Active transport 448 664 705 720
Paracellular diffusion 31 133 265 403
Starch infused
Digested, observed 411 644 793

165 Pemanfaatan Bahan Pati Pakan


Digested, predicted 417 637 802 943
Active transport 397 551 615 645
Paracellular diffusion 20 48 81 114
Ileal glucose, mM
Infusi glukosa
Diobservasi 1,11 24,56 61,24
Diprediksi 0,2 21,00 60,00 103
Infusi bahan pati
Diobservasi 2,49 4,3 5,64
Diprediksi 1,05 7
4,9 13,7 23,8
a 2
Data Kreimeier et al. (1991)
ulasi (Tabel 13) mendekati maksimum pada infusi glukosa 1.920 g/
hari; konsentrasi glukosa luminal maksimal dalam simulasi tersebut
adalah 103 mM. Pada infusi glukosa 1.920 g/hari, kapasitas usus un-
tuk mengangkut atau difusi glukosa secara pasif terlampaui, dan
konsentrasi glukosa ileum meningkat cukup besar. Difusi adalah
sebagian kecil dari penyerapan total tetapi meningkat karena
jumlah glukosa yang diinfusikan meningkat dan konsentrasi glu-
kosa luminal meningkat.
Pencernaan bahan pati yang diestimasikan kemudian dit-
ambahkan ke transpor dan difusi glukosa yang dihitung dengan
menyesuaikan persamaan Michaelis-Menten dengan pati yang dic-
erna sebagai fungsi dari panjang usus (Tabel 13). Besaran hilangnya
bahan pati beserta observasi konsentrasi luminal tidak dapat disim-
ulasikan seperti yang dilaporkan oleh Kreikemeier et al. (1991)
sampai laju maksimal yang ditempatkan sedikit lebih tinggi dari
observasi hilangnya untuk setiap tingkat infusi bahan pati, atau
sampai nilai Km (jarak dari depan usus yang menandai 50%
selesainya pencernaan) yang dekat dengan bagian depan usus (1,5
m). Pola pencernaan enzimatik bahan pati ini cocok dengan penga-
matan Krebhel et al. (1996), yang melaporkan bahwa sebagian besar
pencernaan bahan pati pada sapi jantan berada di bagian proksimal
usus kecil. Peningkatan kapasitas maksimal untuk mencerna bahan
pati menyiratkan peningkatan sekresi amilase pankreas dan (atau)
peningkatan aktivitas oligosakaridase usus sebagai respon terhadap
peningkatan infusi bahan pati. Sekresi amilase oleh pankreas atau
aktivitas oligosakaridase usus dapat meningkat korelasinya, tetapi
tidak selalu sebagai respon langsung terhadap peningkatan kon-
sumsi bebijian (Harmon, 1993). Walker dan Harmon (1995)
melaporkan bahwa tidak terdapat peningkatan sekresi pankreas
atau konsentrasi amilase pada sapi jantan sebagai respon terhadap
infusi bahan abomasal pati yang sebagian terhidrolisis. Peningkatan
potensi amilase yang disekresikan akan membutuhkan beberapa

Karbohidrat Pakan Ruminansia 166


jenis interaksi positif antara enzim dan substratnya, atau perlin-
dungan enzim dari degradasi oleh enzim proteolitik yang juga
disekresikan oleh pankreas.
Simulasi terlalu menyederhanakan situasi in vivo dengan
mengasumsikan bahwa aliran digesta dalam keadaan tunak dan
volume usus selama 24 jam, dan dengan mengasumsikan kesamaan
penyerapan air dan difusi paraseluler pada setiap bagian usus.
Penambahan cairan seperti sekresi pankreas tidak dipertim-
bangkan. Pencernaan bahan pati menjadi glukosa tidak dipisahkan
menjadi produk aktivitas amilase dan oligosakaridase. Fermentasi
glukosa tidak dipertimbangkan, meskipun diduga terdapat fer-
mentasi ter-sebut (Nicoletti et al., 1984). Selanjutnya, simulasi
mengasumsikan aktivitas basal transporter SGLT1, atau tidak ter-
dapat adaptasi untuk masuknya bahan pati ke duodenum. Sapi-
sapi jantan dalam kumpulan data referensi (Kreikemeier et al.,
1991) tidak beradaptasi dengan bahan pati. Pola pencernaan bahan
pati sesuai dengan aktivitas awal amilase yang cepat di duodenum,
diikuti oleh memuncaknya aktivitas oligosakaridase usus di jeju-
num (Harmon, 1992). Pola penyerapan glukosa di sepanjang usus
mirip dengan pola nutrien lain pada domba, termasuk mineral,
lipida, dan protein (Sklan dan Hurwitz, 1985; Sklan dan Halevy,
1985; Sklan et al., 1985). Hal ini konsisten dengan lebih besarnya
kehilangan dan penyerapan netto glukosa dari bagian proksimal
versus bagian distal dari usus kecil sapi jantan (Krehbiel et al.,
1996). Nilai Km untuk transporter SGLT1 berada di bawah kisaran
nilai Km secara in vivo (yaitu 6 sampai 23 mM) untuk mamalia lain
(Ferraris et al., 1990); namun, nilai Km lebih tinggi dari 0,8 mM sep-
erti yang dilaporkan dari studi aktivitas SGLT1 secara in vitro
(Hediger dan Rhoads, 1994) dan tidak memecahkan teka-teki ten-
tang konsentrasi aktual dalam lapisan air yang tidak diaduk dan
mengelilingi mikrovili usus. Hubungan transpor aktif dengan difu-
si paraseluler mirip dengan yang diturunkan oleh Pappenheimer

167 Pemanfaatan Bahan Pati Pakan


dan Reiss (1987) berdasarkan datanya pada usus tikus. Pappenhei-
mer dan Reiss (1987) menunjukkan kontribusi yang sama dari dua
jalan penyerapan ketika konsen-trasi glukosa luminal sekitar 220
mM, dibandingkan 180 mM pada sapi jantan yang tidak diadaptasi
(Gambar 10). Apabila pengangkutan glukosa maksimal digandakan,
mensimulasikan sapi jantan yang mengalami adaptasi, kemudian
pengangkutan dan difusi mendekati 50% dari masing-masing
pemindahan total pada konsentrasi glukosa luminal 320 mM. Kon-
sentrasi glukosa luminal maksimal dalam semua simulasi adalah
103 mM pada saat 1,920 g/hari glukosa diinfusikan ke sapi jantan
yang tidak terdaptasi. Gambar 13 menunjukkan bahwa konsentrasi
glukosa luminal untuk aktivitas SGLT1 maksimal 757 atau 1,514 g/
hari tidak melebihi 35 mM. Konsentrasi ini sesuai dengan spesies
lain (Ferraris et al., 1990), dengan kemungkinan pengecualian pada
tikus yang mengonsumsi pakan tinggi sukrosa. Kontribusi yang
relatif kecil dari difusi paraseluler dalam simulasi didukung oleh
penyerapan portal netto dari jumlah kecil 2-deoksiglukosa yang
dapat dideteksi pada sapi jantan dengan infusi duodenal analog
glukosa tersebut (Krehbiel et al., 1996); 2-deoxyglucose tidak di-
angkut oleh SGLT1.
Seperti dibahas sebelumnya, sangat beralasan untuk
mengharapkan peningkatan aktivitas pengangkutan glukosa yang
cepat, karena ruminansia beradaptasi dengan bahan pati yang me-
masuki duodenum. Selain bukti peningkatan transporter SGLT1 di
usus domba sebagai respons terhadap suplai glukosa atau bahan
pati duodenum (Shirazi-Beechey et al., 1995), Bauer et al. (1995)
menemukan pe-ningkatan pengangkutan glukosa setelah tiga hari
adaptasi terhadap infusi bahan pati yang terhidrolisis sebagian ke
dalam abomasum sapi jantan dan sapi betina. Bauer et al. (1995)
juga membuktikan peran SGLT1 dalam pengangkutan glukosa, ka-
rena infusi phlorizin (penghambat kompetitif aktivitas SGLT1)
menurunkan pengangkutan glukosa pada hewan yang tidak be-

Karbohidrat Pakan Ruminansia 168


Gambar 1. Panel paling atas menunjukkan kontribusi relatif pengangkutan SGLT1 dan difusi
paraseluler pada usus kecil seekor sapi jantan sebagai kosentrasi glukosa lumen putatif yang
bervariasi dari 0 sampai 360 mM. Difusi paraseluler tidak melebihi pengangkutan SGLT1
sampai konsentrasi glukosa melebihi 180 mM. Panel tengah menunjukkan simulasi
konsentrasi glukosa sepanjang usus kecil pada empat level bahan pati yang memasuki usus
kecil. Panel paling bawah menunjukkan konsentrasi glukosa yang sama seperti pada panel
tengah, kecuali pengangkutan SGLT1 maksimum pada 1514 gram per hari. Sumber:
Huntington (1997).

169 Pemanfaatan Bahan Pati Pakan


Gambar 2. Simulasi pencernaan bahan pati secara kumulatif, pengangkutan glukosa oleh
SGLT1, dan pengangkutan (SGLT1 plus difusi paraseluler) pada tiga level pengangkutan
SGLT1 yang maksimal. Besaran pencernaan bahan pati sama pada tiga simulasi, dan
serasi dengan pencernaan tertinggi yang diobservasi oleh Kreikermeier et al. (199).
Sumber: Huntington (1997)

Karbohidrat Pakan Ruminansia 170


radaptasi dan beradaptasi. Gambar 1 menunjukkan pengaruh pen-
ingkatan transpor SGLT1. Panel pertama menunjukkan respons
terhadap 1.440 g/hari bahan pati yang masuk ke duodenum dan
802 g/hari pati yang dicerna di usus halus. Panel lain menunjukkan
pengaruh masuknya bahan pati dan kapasitas pencernaan yang
sama, tetapi dengan peningkatan pengangkutan SGLT1 yang
maksimal. Gambar 1 juga menunjukkan bahwa aktivitas trans-
portasi adalah batasan utama jumlah glukosa yang diserap dari
pencernaan bahan pati pada sapi jantan yang tidak beradaptasi.
Besarnya bahan pati yang dicerna melebihi kapasitas transpor
maksimal, sehingga peningkatan pencernaan bahan pati dalam
situasi ini tidak akan menghasilkan peningkatan penyerapan glu-
kosa yang besar. Pada sepertiga proksimal usus, simulasi konsen-
trasi glukosa luminal (Gambar 10) adalah lima kali nilai Km dari
transporter dalam simulasi (5 mM), sehingga difusi paraseluler
akan memindahkan lebih banyak glukosa dari lumen apabila kapa-
sitas untuk mencerna bahan pati ditingkatkan melebihi 802 g/hari
dalam simulasi. Namun, apabila kapasitas pengangkutan maksimal
meningkat, pencernaan bahan pati menjadi pembatas utama.
Pengangkutan SGLT1 pada dasarnya dapat menjelaskan glukosa
dari pencernaan bahan pati pada dua per tiga pertama atau seper-
tiga dari usus, apabila kapasitas transportasi meningkat masing-
masing 1,5 atau 2,0 kali (Gambar 1). Dalam simulasi ini, konsentrasi
glukosa luminal menurun di bawah nilai Km yang disimulasikan
dari transporter SGLT1 (Gambar 10), yang kemudian membatasi
aktivitas SGLT1. Difusi paraseluler (diwakili oleh area antara garis-
garis untuk transportasi SGLT1 dan serapan total) menyumbang
11,2% dari serapan total apabila kapasitas pengangkutan maksimal
adalah 757 g/hari, tetapi menurun sampai 5% atau berkurang apa-
bila aktivitas pengangkutan meningkat. Oleh karena itu, simulasi
tampaknya sesuai dengan peningkatan aktivitas transporter dalam
menanggapi glukosa luminal (Shirazi-Beechey et al., 1995), dan kes-

171 Pemanfaatan Bahan Pati Pakan


impulan dari Owens et al. (1986) bahwa kapasitas pencernaan ada-
lah pembatas utama untuk penyerapan maksimal glukosa dari
pencernaan bahan pati. Dengan menggunakan persentase pada
Tabel 3, seseorang dapat menciptakan sapi penggemukan yang
mengonsumsi 6 kg bahan pati setiap hari dan mencerna pasca ru-
men 1,03 kg dry-rolled jagung, 1,62 kg dry-rolled sorghum, 0,858 kg
dry-rolled barley, 0, 600 kg dry rolled atau steam-rolled gandum atau
0,336 kg dry rolled oats. Pencernaan bahan pati di usus kecil sebe-
sar 802 g/hari dalam simulasi (Gambar 1) akan memungkinkan
sekitar setengah dari suplai pati pasca ruminal maksimal (dari dry
rolled sorgum) untuk dicerna di usus kecil dan diserap sebagai glu-
kosa; oleh karena itu, simulasi tampaknya cukup mewakili situasi
tempat pemberian pakan yang praktis. Simulasi tidak memberikan
banyak kesempatan untuk fermentasi glukosa usus, karena kon-
sentrasi luminal dalam usus sapi jantan teradaptasi dengan cepat
mendekati nol (Gambar 1).
Simulasi diperluas pada sapi jantan seberat 350 kg yang me-
ngonsumsi konsentrat tinggi dan pada sapi perah laktasi dengan
berat 520 kg; contoh-contoh tersebut dijelaskan pada Tabel 1.
Panjang usus, volume, penyerapan air, dan difusi paraselular un-
tuk sapi jantan sama dengan yang digunakan untuk mengem-
bangkan simulasi. Kapasitas angkut SGLT1 maksimal ditetapkan
pada 1.514 g/hari dan nilai Km pada 5 mM. Bahan pati yang me-
masuki duodenum adalah 2.058 g/hari. Panjang usus untuk sapi
perah ditetapkan pada 30 m, aliran ileum (73 L/hari) berasal dari
Lu et al. (1988), bahan pati yang memasuki duodenum ditetapkan
pada 2.790 g/hari, dan kapasitas transpor SGLT1 maksimal ditetap-
kan pada 2.725 g/hari (nilai dasar untuk sapi jantan dari simulasi
[757 g/hari] dikalikan dengan 1,5 untuk menyesuaikan ukuran
tubuh dan aktivitas metabolism; 1,2 untuk mengakomodasi usus
yang lebih panjang, dan 2,0 untuk ber-adaptasi dengan aliran pati
ke duodenum). Volume usus (6,62 L) di-hitung dari kehilangan

Karbohidrat Pakan Ruminansia 172


cairan (127 L/hari) dan prinsip pengangkutan 0,8 kali volume air
luminal usus setiap jam (Pappenheimer dan Reiss, 1987). Difusi par-
aseluler menggunakan persamaan yang sama yang digunakan un-
tuk mengembangkan simulasi. Versi ringkas serapan glukosa
secara difusi adalah difusi (g/hari) setara dengan 1,356 kali konsen-
trasi glukosa luminal milimolar.
Besaran bahan pati yang dicerna kurang dari kapasitas transpor
SGLT1 maksimal, sehingga baik sapi jantan maupun sapi laktasi
mampu mengangkut hampir semua glukosa yang tersedia dari pen-
cernaan bahan pati di bagian proksimal usus (Gambar 12).
Seseorang dapat menyimpulkan dari simulasi ini bahwa pada ter-
nak yang teradaptasi, kapasitas untuk mencerna bahan pati meru-
pakan pembatas utama untuk menangkap glukosa secara maksimal
dari pencernaan bahan pati usus kecil sampai atau kecuali jika ka-
pasitas tersebut melebihi sekitar 1,5 kg/hari untuk sapi jantan dan
3,0 kg/hari untuk sapi.

Enzim pencernaan yang tidak memadai sebagai pembatas uta-


ma untuk pencernaan bahan pati di usus kecil
Ulasan Owens et al. (1986) tentang simulasi yang dijelaskan se-
belumnya dan hasil kajian Kreikemeier et al. (1991) menunjukkan
bahwa amilase diduga lebih membatasi aktivitas oligosakaridase
usus dalam proses pencernaan bahan pati. (Gambar 2). Oleh karena
itu, peningkatan suplai amilase yang efektif harus meningkatkan
kecernaan pati usus dan penyerapan sebagai glukosa. Upaya pen-
ingkatan produksi enzim pencernaan pankreas dengan injeksi
slaframin tidak berhasil. Pan-kreas sapi jantan melepaskan lebih
banyak cairan sebagai respon terhadap obat, tetapi cairan itu
memiliki konsentrasi enzim yang lebih rendah. Oleh karena itu,
peningkatan pencernaan bahan pati pasca rumen pada sapi jantan
yang disuntik dengan slaframin (Walker et al., 1994) tampaknya
tidak disebabkan oleh peningkatan suplai amilase pankreas.

173 Pemanfaatan Bahan Pati Pakan


Gambar 3. Simulasi pencernaan bahan pati secara kumulatif, pengangkutan glukosa oleh
SGLT1, dan pengangkutan total (SGLT1 plus difusi paraseluler) pada nsapi jantan dan sapi
perah laktasi seperti yang dijelaskan pada Tabel 3. Sumber: Huntington (1997)

Penelitian pada domba dan sapi jantan mendukung gagasan yang


sudah mapan bahwa lebih banyak protein yang ter-sedia untuk
pencernaan di usus kecil berarti sekresi yang lebih besar dari
semua enzim pencernaan untuk pankreas, termasuk yang ber-
tanggung jawab untuk pencernaan bahan pati. Taniguchi et al.
(1993, 1995) menunjukkan bahwa peningkatan kecernaan pati di
usus halus domba dan peningkatan penampilan netto glukosa da-
lam darah portal sapi jantan sebagai respons langsung terhadap
peningkatan suplai protein ke usus halus. Data ini dan data lain
yang telah dibahas menunjukkan manfaat ganda dari pencernaan

Karbohidrat Pakan Ruminansia 174


bahan pati rumen: pertama, peningkatan produksi dan aliran
keluar protein mikroba dari rumen; dan kedua, peningkatan pen-
cernaan bahan pati duodenum sebagai akibat dari respons pankre-
as terhadap lebih banyak suplai protein yang masuk ke usus kecil.

Metabolisme glukosa
Kebutuhan atau manfaat metabolik untuk glukosa mencakup
fungsi tertentu dari sistem saraf, pembangkitan ATP melalui
glikolisis dan siklus asam trikarboksilat, dan pembangkitan senya-
wa pereduksi (NADPH) melalui jalur heksosa monofosfat. Peru-
bahan status nutrisional atau fisiologis (puasa, pertumbuhan cepat,
kebuntingan, laktasi) memengaruhi besaran dan laju pemanfaatan
glukosa. Metabolisme glukosa berhubungan erat dengan metabo-
lisme asam amino dan lipida melalui kinerja endokrin insulin dan
glukagon. Konsentrasi glukosa, urea, asam amino, non-esterified fat-
ty acids (NEFA), keton, dan VFA dalam darah biasanya menurun
sebagai respon terhadap peningkatan konsentrasi insulin (Bell et
al., 1987; Debras et al., 1988; Faulkner dan Pollock, 1990; Petterson
et al. , 1993; Eisemann dan Huntington, 1994). Peningkatan konsen-
trasi insulin plasma terkait dengan penurunan glukoneogenesis
hati dan peningkatan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer
kecuali kelenjar susu (Sano et al., 1992; Eisemann dan Huntington,
1994; McGuire et al., 1995). Penghilangan propionat (prekursor glu-
kosa utama) oleh hati pada sapi yang kenyang tidak terlalu di-
pengaruhi oleh insulin (Eisemann dan Huntington, 1994). Oleh ka-
rena itu, penurunan konsentrasi glukosa darah disebabkan oleh
efek gabungan dari penurunan produksi dan peningkatan
penggunaan, seperti halnya perubahan konsentrasi insulin atau
glukagon diduga disebabkan oleh perubahan produksi hormon-
hormon tersebut oleh pankreas dan (atau) pembuangan oleh jarin-
gan target (Guerino et al., 1991). Glukagon umumnya me-miliki
pengaruh penyeimbang dengan insulin, tetapi konsentrasi keduan-

175 Pemanfaatan Bahan Pati Pakan


ya dapat naik atau turun bersama-sama (Brockman, 1978).
Ruminansia yang mengonsumsi hijauan dengan proporsi yang
tinggi dan bahan pati rendah bergantung pada sintesis glukosa hati
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme mereka. Substrat utama
atau sumber karbon untuk sintesis glukosa adalah asam organik
dari fermentasi (terutama propionat dan laktat), kerangka karbon
dari asam amino deaminasi, dan gliserol dari pemecahan trigliseri-
da. Hati ruminansia pada dasarnya menghilangkan semua asam
lemak volatil berkarbon tiga, empat, dan lima yang mencapai
darah portal. Hati juga membuang sebagian besar laktat dan asam
amino yang masuk ke dalam darah portal (Huntington, 1990).
Penggunaan glukosa meningkat dengan meningkatnya asupan en-
ergi (Herbein et al., 1978; Schmidt dan Keith, 1983), sehingga kebu-
tuhan glukosa ruminansia serta sumber pakan potensial glukosa
meningkat ketika mengonsumsi pakan tinggi bahan pati. Seperti
yang dinyatakan sebelumnya, sekresi enzim pencernaan pankreas
juga meningkat dengan meningkatnya asupan energi. Dengan pa-
kan tinggi bahan pati, sintesis glukosa pada hati mengikuti skema
umum yang digariskan untuk pakan tinggi hijauan, kecuali un-
tuk kemungkinan perubahan kontribusi relatif dari berbagai sum-
ber karbon yang digunakan untuk mensintesis glukosa. Hasil
penelitian pada ruminansia dengan multi-kateterisasi menunjuk-
kan bahwa pelepasan glukosa netto oleh hati dapat berubah
(Taniguchi et al., 1995) atau mungkin tidak berubah (Reynolds dan
Tyrrell, 1991; Casse et al., 1994) dengan peningkatan suplai glukosa
atau prekursor glukosa dari organ portal drained-viscera, tetapi
penggunaan prekursor secara proporsional oleh hati menc-
erminkan perubahan dalam suplai tersebut (Reynolds dan Tyrrell,
1991; Casse et al., 1994; Bauer et al., 1995; Taniguchi et al., 1995; ).
Studi dengan zat pelacak isotop menunjukkan bahwa propionat
dari fermentasi rumen menyediakan 43 hingga 67% karbon yang
digunakan untuk sintesis glukosa di hati dan bahwa laktat menye-

Karbohidrat Pakan Ruminansia 176


diakan hingga 12% (Huntington et al., 1981; Veenhuizen et al., 1988;
Amaral et al., 1990).
Tabel 1 berisi dua contoh untuk menunjukkan bagaimana pen-
cernaan bahan pati dan penyerapan glukosa berhubungan dengan
metabolisme glukosa secara keseluruhan pada sapi daging dengan
pakan yang mengandung 77% dry-rolled sorghum (Theurer et al.,
1990; 1991), dan pada sapi perah laktasi pertama dengan pakan
yang mengandung 47% jagung giling dan 3% barley giling (Casse et
al., 1994). Pencernaan bahan pati usus dan penyerapan glukosa
dari usus untuk contoh-contoh ini ditunjukkan pada Gambar 12.
Kajian-kajian tersebut mengukur penyerapan netto glukosa dan
nutrien lain dari usus, penyerapan prekursor glukosa oleh hati,
keluaran glukosa oleh hati produksi susu sapi, serta kecernaan ba-
han pati dan energi terkonsumsi pada sapi jantan. Tingkat kon-
sumsi bahan pati pada sapi diestimasikan dari rerata konsentrasi
bahan pati pakan seperti yang dikutip sebelumnya pada Bab ini.
Pencernaan pati ruminal dan pasca ruminal pada sapi jantan dan
sapi perah dihitung dari nilai-nilai pada Tabel 3. Sumber faktor
lain yang digunakan dalam perhitungan tercantum dalam catatan
kaki Tabel 1. Kehilangan ireversibel yang mewakili glukosa dan
meninggalkan plasma darah tidak pernah kembali sebagai glukosa;
itu dapat dianggap sebagai kebutuhan minimal ternak untuk glu-
kosa baru. Masuknya glukosa total adalah jumlah glukosa baru
yang masuk ke plasma darah dari sumber luar (penyerapan dari
usus kecil dan sintesis oleh hati). Perbedaan antara masuk dan ke-
hilangan ireversibel secara total mewakili jumlah glukosa yang
didaur ulang (meninggalkan plasma darah untuk berpartisipasi
dalam metabolisme tetapi masuk kembali sebagai glukosa). Persa-
maan untuk menghitung kehilangan ireversibel glukosa dari kon-
sumsi energi yang dapat dicerna (Herbein et al., 1978) dapat di-
perhitungkan, sesuai kesepakatan prediksi persamaan tersebut
dengan kumpulan data independen (Weighart et al., 1986; Bauman

177 Pemanfaatan Bahan Pati Pakan


et al., 1988). Seperti dibahas sebelumnya, penyerapan glukosa dapat
dihitung sebagai 0,45 sampai 0,88 kali bahan pati tercerna pasca
ruminal; pada Tabel 1 menggunakan faktor kelipatan 0,55. Faktor
ini sangat berpengaruh terhadap perhitungan pemasukan glukosa
total. Perbandingan proporsi pemasukan glukosa total yang di-
perhitungkan sebagai kehilangan ireversibel dengan data dari
Schmidt dan Keith (1983) menunjukkan bahwa pemasukan glukosa
total mungkin terlalu tinggi tetapi tidak diestimasikan terlalu ren-
dah pada Tabel 1.
Dibandingkan dengan sapi jantan, sapi perah pada Tabel 1
mengonsumsi sekitar dua kali lebih banyak energi tercerna, mem-
iliki dua kali pencernaan bahan pati pasca ruminal dan penyera-
pan glukosa, dua kali kehilangan glukosa ireversibel, dan dua
kali pe-masukan glukosa total. Keluaran glukosa hati netto untuk
sapi perah lebih besar dari dua kali lipat untuk sapi jantan. Baik
untuk sapi jantan maupun sapi perah, keluaran hati netto melebihi
kehilangan ireversibel, yang menunjukkan kemampuan ternak ru-
minansia untuk memenuhi kebutuhan glukosa minimal melalui
sintesis hati, atau kemandiriannya dari suplai glukosa eksogen.
Konsumsi dan pencernaan ruminal bahan pati juga mendukung
sapi perah, tetapi tidak dengan faktor dua. Perbedaan dalam pen-
cernaan bahan pati pasca ruminal mencerminkan tingkat aliran
keluar rumen yang tinggi untuk sapi perah (McCarthy et al., 1989),
yang mengimbangi perbedaan dalam pencernaan rumen jagung
dan barley versus sorghum.
Baik untuk sapi jantan maupun sapi perah pada Tabel 1, glukosa
yang diserap memberikan persentase yang sama dengan pema-
sukan glukosa total (28 hingga 33%) dan kehilangan ireversibel (64
hingga 65%), serta sapi jantan dan sapi perah memiliki kontribusi
teoretis maksimal yang serupa untuk laktat menjadi sintesis glu-
kosa hati (6 sampai 7%). Kontribusi teoritis maksimal propionat
untuk sintesis glukosa di hati lebih tinggi untuk sapi perah; propi-

Karbohidrat Pakan Ruminansia 178


Tabel 3. Pencernaan bahan pati dan kinetika glukosa pada sapi jantan dan sapi
perah laktasi
Item Sapi jantana Sapi perah laktasib
Bobot badan, kg 363 520
PBB/produksi susu, kg/hari 1,1 32
Konsumsi energi tercerna, Mkal/hari 21,8 44,0
Sumber bahan pati Sorghum dry- Jagung dan
rolled barley giling
Konsumsi bahan pati,g/haric 4278 5690
Pencernaan bahan pati ruminald 2220 2900
Pencernaan bahan pati pasca ruminald 1286 2320
Variabel glukosa
Kehilangan ireversibel, g/harie 1096 2007
Oksidasi menjadi CO2, g/harif 487 345
Sekresi sebagai laktosa susu, 0 1600
g/harig
Produksi netto glukosa hepatik, 1443 3313
g/hari
Produksi netto oleh viscera, g/hari 60 220
Glukosa dari pencernaan bahan 707 1276
pati, g/harih
Glukosa total yang masuk, g/harii 2150 4589
Propionat 58 88
Laktat 7 6
a
Dari data Theurer et al. (1990, 1991).
b
Dari data Casse et al. (1992).
c
Pengukuran pada sapi jantan, perhitungan untuk sapi perah.
d
Perhitungan pada kecernaan (Tabel 1).
e
Kehilangan ireversibel (mol/hari) = 1,116 + 0,228 DE (Mkal/hari) (Herbein et al. 1978),
merepresentasikan glukosa yang meninggalkan plasma darah dan tidak kembali lagi.
f
Kehilangan ireversibel X 0,444 untuk sapi jantan (Veenhuizen et al., 1988) dan kehilangan
ireversibel X 0,172 untuk sapi perah (Bauman et al., 1988).
g
Perhitungan sebagai produksi susu X 0,05.
h
Perhitungan sebagai pencernaan bahan pati pasca ruminal X 0,55 (Kreikemeier et al., 1991).
i
Jumlah produksi hepatik netto dan glukosa dari pencernaan bahan pati, representasi seluruh
glukosa “baru” yang memasuki plasma darah.
Sumber: Huntington (1997).

onat secara maksimal dapat mencapai 64% dari total pemasukan


glukosa, sedangkan sapi jantan mendapatkan hingga 39% dari total
pemasukan glukosa dari pengambilan propionat oleh hati. Persen-
tase laktat dan propionat ini secara teoritis maksimal, karena
didasarkan pada anggapan bahwa semua pembuangan prekursor

179 Pemanfaatan Bahan Pati Pakan


tersebut oleh hati meninggalkan hati dalam bentuk glukosa. Sum-
ber karbon glukosa lainnya, seperti gliserol dari pergantian lipid
atau karbon dari asam amino, secara nyata lebih penting untuk
daging sapi jantan. Contoh pada Tabel 1 menunjukkan bagaimana
kebutuhan produksi memengaruhi partisi glukosa untuk digunakan
oleh jaringan viseral, dan menunjukkan bagaimana pertumbuhan
atau laktasi mempengaruhi besaran glukosa yang didaur ulang,
mengalami oksidasi menjadi CO2, atau digunakan oleh kelenjar su-
su. Keluaran glukosa netto oleh jaringan visera adalah negatif un-
tuk sapi jantan dan positif untuk sapi perah. Itu berarti organ vis-
era (usus, pankreas, limpa, omentum, dan mesenterium) sapi
jantan menggunakan 60 g glukosa/hari lebih banyak daripada yang
diserapnya. Total penggunaan viseral oleh sapi jantan adalah 767
g/hari atau 36% dari total pemasukan glukosa. Visera sapi perah
menggunakan 220 g lebih sedikit daripada yang diserap, 1.056 g/
hari atau 23% pemasukan glukosa. Glukosa yang dikeluarkan se-
bagai laktosa susu oleh sapi perah kira-kira 1,5 kali lipat kehilangan
seluruh tubuh sapi jantan yang tidak dapat diubah. Glukosa yang
didaur ulang (selisih antara tingkat masuk dan kehilangan ireversi-
bel) adalah 2,4 kali lebih besar untuk sapi perah daripada untuk
sapi jantan. Namun, sapi jantan mengoksidasikan menjadi CO 2 1,4
kali lebih banyak glukosa daripada sapi perah. Dibandingkan
dengan sapi jantan, sapi perah memperoleh proporsi pasokan glu-
kosa yang serupa dari pakannya, tetapi sapi perah mendaur ulang
lebih banyak glukosa dan mengoksidasi lebih sedikit glukosa se-
hingga dapat memenuhi kebutuhannya untuk mensintesis dan
mengeluarkan laktosa susu.
Poin terakhir yang tersirat dari Tabel 1 adalah hubungan antara
konsumsi bahan pati dan metabolisme glukosa. Meskipun tidak ter-
dapat contoh yang cocok untuk semua situasi produksi, contoh-
contoh ini mewakili “jalan tengah” produksi daging sapi atau susu.
Pemasukan glukosa total menyumbang 50% konsumsi bahan pati

Karbohidrat Pakan Ruminansia 180


sapi jantan dan 80% konsumsi bahan pati sapi perah. Beberapa
konsumsi bahan pati yang hilang, seperti pencernaan dan penyera-
pan yang tidak sempurna, fermentasi menjadi metana, dan
oksidasi menjadi CO2, tidak akan dapat dihindari dalam situasi
produksi yang menguntungkan. Namun, contoh menunjukkan
bahwa sapi jantan memiliki suplai glukosa yang lebih dari cukup
dari sumber pakan, dan menyarankan bahwa fermentasi rumen
bahan pati untuk me-nyediakan kebutuhan nutrien lain (substrat
energi, asam amino) akan meningkatkan efisiensi penggunaan pati
untuk pertumbuhan; hasil yang telah dibahas sebelumnya dan
yang akan dibahas dalam bab ini menyiratkan bahwa inilah masa-
lahnya. Di lain pihak, sapi perah lebih dekat dengan penggunaan
bahan pati yang optimal untuk memasok kebutuhan glukosanya;
suplai glukosa dari pencernaan bahan pati mendekati kemampu-
annya untuk secara aktif mengangkut glukosa melintasi dinding
usus, dan mendaurulangkannya 7,5 kali lebih banyak glukosa da-
ripada yang dioksidasikannya menjadi CO2. Baik sapi jantan mau-
pun sapi perah akan mendapatkan keuntungan lebih banyak dari
suplai bahan pati yang mudah terfermentasi (untuk meningkatkan
produksi nutrisi rumen) daripada peningkatan suplai bahan pati
yang lolos dari fermentasi rumen.

Sebagai penutup Bab ini, bahan pati merupakan komponen en-


ergi utama dari biji-bijian. Gandum mengandung 77% DM sebagai
pati, jagung dan sorghum mengandung 72%, dan barley dan oat me
-ngandung 57 sampai 58%. Sistem in vitro memberikan data berhar-
ga tentang aspek kinetik pencernaan bahan pati. Teknik biologi
mole-kuler memberikan gambaran yang lebih jelas tentang ling-
kungan mikroba rumen. Proporsi bahan pati yang difermentasi
dalam rumen dapat diprediksikan secara memuaskan untuk
berbagai jenis bebijian dan metode pengolahan. Dibandingkan
dengan dry rolling, proses penguapan (flaking atau rolling) mening-

181 Pemanfaatan Bahan Pati Pakan


katkan kecernaan bahan pati rumen (persentase asupan) dari 52
menjadi 78% untuk sorghum, dari 75 menjadi 85% untuk jagung,
dan enam unit persentase atau kurang untuk bebijian lainnya. Be-
berapa hasil penelitian memberikan wawasan baru tentang fungsi
pankreas dan sistem transportasi glukosa usus. Kapasitas untuk
mencerna bahan pati di usus berkisar antara 45 hingga 85% bahan
pati yang masuk ke duodenum, dengan kapasitas itu tampaknya
dibatasi oleh suplai amilase pankreas. Terdapat bukti bahwa sekresi
amilase dapat ditingkatkan dengan meningkatkan masuknya pro-
tein ke duodenum. Kapasitas transpor aktif glukosa melintasi dind-
ing usus diduga tidak membatasi besaran bahan pati tercerna yang
diserap sebagai glukosa. Pada ternak ruminansia yang mengonsum-
si pakan konsentrat dengan proporsi yang sedang sampai tinggi,
sekitar 30% kebutuhan glukosa totalnya berasal dari absorpsi glu-
kosa, 50% dari absorpsi asam organik (substrat untuk glukoneogen-
esis hepatik), dan 20% dari sumber lain. Apabila penyerapan glu-
kosa dari usus meningkat, secara umum ruminansia menyesuaikan
(menurunkan) glukoneogenesis untuk memenuhi ke-butuhannya;
kebutuhan itu secara langsung terkait dengan asupan energi
tercerna (DE). Dalam kaitannya dengan energi metabolis (ME)
secara keseluruhan, bahan pati bebijian paling baik digunakan apa-
bila dapat difermentasikan dalam rumen. Namun, koordinasi yang
erat antara suplai protein dan bahan pati ke duodenum dapat
meningkatkan penangkapan bahan pati dalam bentuk glukosa.
Sebagian besar bebijian, kecuali oat, merespon secara positif
terhadap proses pengolahan, khususnya proses yang melibatkan
penerapan uap dan rolling atau flaking secara mekanis. Respon yang
paling dramatis untuk sorghum dan yang paling tidak dramatis un-
tuk gandum. Perbedaan antara sorghum hibrida lebih pada fungsi
jenis dan lokasi protein daripada kandungan protein total. Muncul-
nya dan penerapan teknik laboratorium baru telah meningkatkan
pema-haman kita tentang taksonomi dan fungsi mikroba rumen.

Karbohidrat Pakan Ruminansia 182


Lebih lanjut, penerapan teknik analisis baru memberikan penilaian
yang cepat dan cukup akurat tentang lokasi dan luas pencernaan di
saluran pencernaan ruminansia, yang meningkatkan kemampuan
untuk mengevaluasi sumber pakan dan secara akurat mempred-
iksi kinerja ternak yang mengkonsumsi pakan tersebut. Tantangan
bagi manajer produksi adalah menyesuaikan teknik pengolahan
dan formulasi diet untuk mengakomodir karakteristik ketersedi-
aan sumber bahan pati.
Simulasi pencernaan bahan pati dan pengambilan glukosa di
usus sapi jantan yang sedang tumbuh dan sapi perah laktasi
menunjukkan bahwa kapasitas untuk mencerna bahan pati meru-
pakan faktor utama yang membatasi penyerapan glukosa di usus
kecil. Pada tataran produksi, konsumsi pada ternak yang teradap-
tasi terhadap pakan dengan bahan pati yang tinggi, simulasi
pengangkutan glukosa oleh transporter SGLT1 melebihi dugaan
pencernaan bahan pati enzimatik oleh amilase pankreas dan oligo-
sakarida usus yang nyaris oleh sebuah faktor dua. Pengambilan
glukosa oleh difusi paraseluler merupakan penyumbang kecil ter-
hadap pengambilan glukosa total di usus kecil, karena simulasi
konsentrasi glukosa luminal hanya mendekati 30 mM, dan kemudi-
an untuk periode atau ruang yang terbatas di usus.
Penggunaan bahan pati oleh ruminansia harus dikaitkan
dengan kebutuhan glukosa ternak. Sebagai contoh, penyerapan
glukosa menyumbang 33% dari suplai glukosa total dari sapi jantat;
44% suplai glukosa tersebut berasal dari asam organik dari fermen-
tasi bahan pati dalam rumen dan 23% dari sumber karbon lain, sep-
erti asam amino. Pada sapi perah laktasi, 28% dari suplai glukosa
total berasal dari glukosa yang diserap, 67% dari asam organik
produk fermentasi bahan pati dalam rumen, dan 5% dari sumber
lain. Sebagai pemahaman umum, besaran glukosa yang digunakan
oleh jaringan visceral ruminansia (yang mengonsumsi pakan tinggi
bebijian) akan sama dengan atau sedikit lebih besar dari jumlah

183 Pemanfaatan Bahan Pati Pakan


glukosa yang diserap dari usus kecil.
Studi intensif yang telah mengukur batas suplai glukosa dari
pencernaan pasca ruminal, dan studi produksi dengan bebijian
olahan menunjukkan secara pasti bahwa bahan pati bebijian yang
paling baik digunakan apabila mengalami fermentasi secara ek-
stensif dalam rumen. Respon utama bebijian terhadap proses pen-
golahan adalah penurunan kepadatan dan peningkatan fermentasi
dalam rumen. Kapasitas pencernaan membatasi penangkapan
maksimal bahan pati yang masuk ke usus kecil, sehingga sekitar
45% bahan pati yang masuk ke usus tidak diserap sebagai glukosa.
Oleh karena itu, setiap peningkatan energi metabolik yang disebab-
kan oleh peningkatan suplai glukosa dari sumber pakan harus
mempertimbangkan potensi kehilangan energi yang disebabkan
oleh fermentasi bahan pati di sekum, usus besar, dan kolon da-
ripada di rumen. Pilihan tingkat optimal bahan pati pakan dan
tempat pencernaan bahan pati dari sudut pandang ekonomi akan
mencocokkan pencernaan bahan pati dengan kebutuhan glukosa
ternak pada skenario produksi yang ada.

Daftar Pustaka

Aimone, J.C., and D. G. Wagner. 1977. Micronized wheat.


I. Influence of feedlot performance, digestibility, VFA
and lactate levels in cattle. J. Anim. Sci. 44:1088.
Aldrich, J.M., L.D. Muller, G.A. Varga, and L.C. Griel, Jr.
1993.
Nonstructural carbohydrate and protein effects on
rumen fermentation, nutrient flow, and perfor-
mance of dairy cows. J. Dairy Sci. 76:1091.
Amaral, D.M., J.J. Veenhuizen, J.K. Drackley, M.H. Cooley,
A.D. McGilliard, and J.W. Young. 1990. Metabolism of
propionate, glucose, and carbon dioxide as affected by

Karbohidrat Pakan Ruminansia 184


exogenous glucose in dairy cows at energy equilibri-
um. J. Dairy. Sci. 73:1244.
Aslam, M., W. B. Tucker, J.F. Hogue, R. K. Vernon, and G.
D. Adams. 1991. Controlled ruminal infusion of sodi-
um bicarbonate. 2. Effects of dietary and infused
buffer on ruminal millieu. J. Dairy Sci. 74:3496.
Axe, D.E., K.H. Bolsen, D.L. Harmon, R.W. Lee, G.A. Milliken,
and T. B. Avery. 1987. Effect of wheat and high-
moisture sorghum grain fed singly and in combina-
tion on ruminal fermentation, solid and liquid flow,
site and extent of digestion and feeding perfor-
mance of cattle. J. Anim. Sci. 64:897.
Bauer, M.L., D.L. Harmon, K.R. McLeod, and G.B. Hunting-
ton. 1995. Adaptation to small intestinal starch as-
similation and glucose transport in ruminants. J.
Anim. Sci. 73:1828.
Bauman, D. E., C. J. Peel, W.D. Steinhour, P. J. Reynolds,
H.F. Tyrrell, A.C.B. Brown, and G.L. Haaland. 1988.
Effect of bovine somatotropin on metabolism of lac-
tating dairy cows: Influence on rates of irreversible
loss and oxidation of glucose and nonesterified fatty
acids. J. Nutr. 118:1031.
Beauchemin, K.A., T.A. McAllister, Y. Dong, B.I. Farr, and
K.J. Cheng. 1994. Effects of mastication on digestion of
whole cereal grains by cattle. J. Anim. Sci. 72:236.
Bell, A.W., D. E. Bauman, and W.B. Currie. 1987. Regula-
tion of nutrient partitioning and metabolism during
pre- and postnatal growth. J. Anim. Sci. 65(Suppl
2):186.
Bird, A.R., W.J. Croom, Jr., Y.K. Fan, B.L. Black, B.W. McBride,
and I.L. Taylor. 1996. Peptide regulation of intestinal
glucose absorption. J. Anim. Sci. 74:2523.

185 Pemanfaatan Bahan Pati Pakan


Brandt, R.T. Jr. 1992. Fat in diets for feedlot cattle: Em-
phasis on effects of fat type and level, grain type,
nutrient levels, and ionophores. Proc. 1992 Southwest
Nutr. Mgt. Conf.:27. University of Arizona, Tucson.
Brockman, R.P. 1978. Roles of glucagon and insulin in the
regulation of metabolism in ruminants - A review. Can.
Vet. J. 19:55.
Burrin, D.G., R.A. Stock, and R.A. Britton. 1988. Monensin
level during grain adaptation and finishing perfor-
mance in cattle. J. Anim. Sci. 66:513.
Camgampang, C. B., and A.W. Kirleis. 1984. Relationship of
sorghum grain hardness to selected physical and
chemical meas- urements of grain quality. Cereal
Chem. 61:100.
Casse, E. A., H. Rulquin, and G. B. Huntington. 1994. Effect
of mesenteric vein infusion of propionate on
splanchnic metabolism in primiparous Holstein cows.
J. Dairy Sci. 77: 3296.
Castlebury, R.E., and R.L. Preston. 1993. Effect of dietary
protein on nutrient digestion in lambs duodenally
infused with corn starch. J. Anim. Sci. 71(Suppl.
1):264.
Chandrashekar, A., and A.W. Kirleis. 1988. Influence of
protein on starch gelatinization in sorghum. Cereal
Chem. 65:457.
Cotta, M.A. 1992. Interaction of ruminal bacteria in the
production and utilization of maltooligosaccharides
from starch. Appl. Environ. Microbiol. 58:48.
Croom, W.J., Jr., A.R. Bird, B.L. Black, and B.W. McBride.
1993. Manipulation of gastrointestinal nutrient deliv-
ery in livestock. J. Dairy Sci. 76:2112.
Croom, W.J., Jr., L. S. Bull, and I. L Taylor. 1992. Regulation

Karbohidrat Pakan Ruminansia 186


of pancreatic exocrine secretions in ruminants: A re-
view. J. Nutr. 122:191.
Debras, E., E. Aina, J. Grizard, and C. Champredon. 1988.
Influence of insulin on glucose and amino acid me-
tabolism in lactating goat studies with the euglyce-
mic clamp technique. 5th Intl. Symp. on Protein
Metab. and Nutr. EAAP Publ. No. 35. p. 33.
Diamond, J.M., and W.H. Karasov. 1984. Effect of dietary
carbohydrate on monosaccharide uptake by mouse
small intestine in vitro. J. Physiol. 349:419.
Eisemann, J.H., and G.B. Huntington. 1994. Metabolite flux
across portal-drained viscera, liver, and hindquarters
of hyperinsulinemic, euglycemic beef steers. J. Anim.
Sci. 72:2919.
Erdman, R.A. 1988. Dietary buffering requirements of the
lactating dairy cow: A review. J. Dairy Sci. 71:3246.
Faulkner, A., and H. T. Pollock. 1990. Metabolic responses
to euglycemic hyperinsulinemia in lactating and non-
lactating sheep in vivo. J. Endocrinol. 124:59.
Ferraris, R. P., P. P. Lee, and J.M. Diamond. 1989. Origin
of regional and species differences in intestinal glu-
cose uptake. Am. J. Physiol. 257:G689.
Ferraris, R.P., S. Yasharpour, K.C. Kent-Lloyd, R. Mirzaya,
and J.M. Diamond. 1990. Luminal glucose concentra-
tions in the gut under normal conditions. Am. J.
Physiol. 259:G822.
Fluharty, F. L., and S. C. Loerch. 1989. Chemical treat-
ment of ground corn to limit ruminal starch diges-
tion. Can. J. Anim. Sci. 69:173.
Froetschel, M.N., M.N. Streeter, H.E. Amos, W.J. Croom, Jr.,
and W.M. Hagler, Jr. 1995. Effects of abomasal
slaframine infusion on ruminal digesta passage and

187 Pemanfaatan Bahan Pati Pakan


digestion in steers. Can. J. Anim. Sci. 75:157.
Gray, G.M. 1992. Starch digestion and absorption in nonru-
minants. J. Nutr. 122:172.
Guerino, F., G.B. Huntington, R.A. Erdman, T.H. Elsasser,
and C.K. Reynolds. 1991. The effects of abomasal casein
infusions in growing beef steers on portal and hepat-
ic flux of pancreatic hormones and arterial concen-
trations of somatomedin-C. J. Anim. Sci. 69:379.
Harmon, D.L. 1992. Dietary influences on carbohydrases
and small intestinal starch hydrolysis capacity in
ruminants. J. Nutr. 122:203.
Harmon, D.L. 1993. Nutritional regulation of postruminal
digestive enzymes in ruminants. J. Dairy Sci. 76:2102.
Hatfield, P. G., M. K. Petersen, C. K. Clar, H. A. Glimp, K. J.
Hemenway, and W.S. Ramsey. 1993. Effects of barley
variety and restricted versus ad libitum intake on rate,
site, and extent of digestion by wethers fed a high-
energy diet. J. Anim. Sci. 71: 1390.
Hediger, M. A., and D. B. Rhoads. 1994. Molecular physiolo-
gy of sodium-glucose transporters. Physiol. Rev.
74:993.
Herbein, J.H., R. W. Van Maanen, A. D. McGilliard, and
J.W. Young. 1978. Rumen propionate and blood glucose
kinetics in growing cattle fed isoenergetic diets. J.
Nutr. 108:994.
Herrera-Saldana, R., R. Gomez-Alarcon, M. Torabi, and J.T.
Huber. 1990. Influence of synchronizing protein and
starch degradation in the rumen on nutrient utiliza-
tion and microbial protein synthesis. J. Dairy Sci.
73:142.
Herrera-Saldana, R., and J.T. Huber. 1989. Influence of
varying protein and starch intake degradabilities on

Karbohidrat Pakan Ruminansia 188


performance of lactating cows. J. Dairy Sci. 72:1477.
Herrera-Saldana, R., J.T. Huber, and M.H. Poore. 1990.
Dry matter, crude protein and starch degradability
of five cereal grains. J. Dairy Sci. 73:2386.
Hill, T.M., S.P. Schmidt, R.W. Russell, E. E. Thomas, and
D.F. Wolfe. 1991. Comparison of urea treatment with
established methods of sorghum grain preservation
and processing on site and extent of starch digestion
by cattle. J. Anim. Sci. 69:4570.
Huntington, G. B. 1990. Energy metabolism in the diges-
tive tract and liver of cattle: Influence of physiological
state and nutrition. Reprod. Nutr. Dev. 30:35.
Huntington, G.B., R.L. Prior, and R.A. Britton. 1981. Glucose
and lactate absorption and metabolic interrelation-
ships in steers changed from low to high concentrate
diets. J. Nutr. lll:ll64.
Khorasani, G.R., G. De Boer, B. Robinson, and J.J. Kenelly.
1994. Influence of dietary protein and starch on
production and metabolic responses of dairy cows. J.
Dairy Sci. 77:813.
Kotarski, S. F., R.D. Waniska and K.K. Thurn. 1992.
Starch hydrolysis by the ruminal microflora. J. Nutr.
122:178.
Krehbiel, C. R., R. A. Britton, D.L. Harmon, J.P. Peters, R.
A.
Stock, and H. E. Grotjan. 1996. Effects of varying
levels of duodenal or midjejunal glucose and 2-
deoxyglucose infusion on small intestinal disappear-
ance and net portal glucose absorption in steers. J.
Anim. Sci. 74:693.
Kreikemeier, K. K., D.L. Harmon, R.T. Brandt, Jr., T. B.
Avery, and D.E. Johnson. 1991. Effect of various levels

189 Pemanfaatan Bahan Pati Pakan


of abomasal glucose, corn starch and corn dextrin on
small intestinal disappearance and net glucose ab-
sorption. J. Anim. Sci. 69:328.
Kreikemeier, K.K., D.L. Harmon, R.T. Brandt, Jr., T.G. Naga-
raja and R.C. Cochran. 1990. Steam-rolled wheat diets
for finishing cattle: Effects of dietary roughage and
feed intake on finishing steer performance and rumi-
nal metabolism. J. Anim. Sci. 68: 2130.
Larson, E.M., R.A. Stock, T.J. Klopfenstein, M.H. Sindt, and
R.P. Huffman. 1993. Feeding value of wet distillers by-
products for finishing ruminants. J. Anim. Sci.
71:2228.
Loerch, S.C. 1990. Effects of feeding growing cattle high
concentrate diets at a restricted intake on feedlot
performance. J. Anim. Sci. 68:3086.
Lu, C.D., N.A. Jorgensen, and L.D. Satter. 1988. Site and ex-
tent of nutrient digestion in lactating dairy cows fed
alfalfa protein concentrate or soybean meal. J. Dairy
Sci. 71:697.
Mahanna, B. 1994. Proper management assures high-
quality silage, grains. Feedstuffs. 66:12.
Mahmoudzadeh, H., E. Karangwa, G.E. Mitchell, Jr., R.B.
Muntifering, and R.E. Tucker. 1989. Post-ruminal
digestion of starch in the presence of phenolic mono-
mers. Anim. Feed Sci. Tech. 27:111.
Matras, J., S.J. Bartle, and R.L. Preston. 1991. Nitrogen uti-
lization in growing lambs: Effects of grain (starch) and
protein sources with various rates of ruminal degra-
dation. J. Anim. Sci. 69:339.
McAllister, T. A., H.D. Bae, G.A. Jones, and K.J. Chung.
1994. Microbial attachment and feed digestion in the
rumen. J. Anim. Sci. 72:3004.

Karbohidrat Pakan Ruminansia 190


McAllister, T.A., K.A. Beauchemin, L.A. McClelland, and
K.J. Cheng. 1992a. Effect of formaldehyde-treated bar-
ley or escape protein on the nutrient digestibility,
growth and carcass traits of feedlot lambs. Can. J.
Anim. Sci. 72:309.
McAllister, T. A., K.J. Cheng, L.M. Rode, and J.G. Buchan-
an- Smith. 1990a. Use of formaldehyde to regulate
digestion of barley starch. Can. J. Anim. Sci. 70:581.
McAllister, T.A., L.M. Rode, K.J. Cheng, and J.G. Buchan-
an- Smith. 1992b. Effect of formaldehyde-treated bar-
ley or escape protein on the ruminal environment
and digestion in steers. Can. J. Anim. Sci. 72:317.
McAllister, T. A., L. M. Rode, D. J. Major, K.J. Chung, and
J.G. Buchanan-Smith. 1990b. Effect of ruminal microbi-
al colonization on cereal grain digestion. Can. J.
Anim. Sci. 70:571.
McCarthy, R.D., Jr., T.H. Klusmeyer, J.L. Vicini, and J.H.
Clark. 1989. Effects of source of protein and carbohy-
drate on ruminal fermentation and passage of nutri-
ents to the small intestine of lactating cows. J. Dairy
Sci. 72:2002.
McGuire, M. A., J.M. Grinaldi, D.A. Dwyer, and D.E. Bau-
man. 1995. Role of insulin in the regulation of mamma-
ry synthesis of fat and protein. J. Dairy Sci. 78:816.
McNiven, M.A., M.R. Weisbjerg, and T. Hvelplund. 1995. In-
fluence of roasting or sodium hydroxide treatment of
barley on digestion in lactating cows. J. Dairy Sci.
78:1106.
Mendoza, G.D., R.A. Britton, and R.A. Stock. 1993. Influ-
ence of ruminal protozoa on site and extent of
starch digestion and ruminal fermentation. J. Anim.
Sci. 71:1572.

191 Pemanfaatan Bahan Pati Pakan


Miller, T.P., W.B. Tucker, M. Lema, I.S. Shin, J.F. Hogue, and
G. D. Adams. 1993. Influence of dietary buffer value in-
dex on the ruminal millieu of lactating dairy cows fed
sorghum silage and grain. J. Dairy Sci. 76:3571.
Nicoletti, J.M., C.L. Davis, R.B. Hespell, and J.A.Z. Leedle.
1984. Enumeration and presumptive identification of
bacteria from the small intestine in sheep. J. Dairy
Sci. 67:1227.
Nocek, J.E., and S. Tamminga. 1991. Site of digestion of
starch in the gastrointestinal tract of dairy cows and
its effect on milk and composition. J. Dairy Sci.
74:3598.
Oke, B.O., S.C. Loerch, and D.R. Redman. 1991. Effects of die-
tary level and formaldehyde treatment of corn in nu-
trient digestion and metabolism in sheep. Can. J.
Anim. Sci. 71:1197.
Oliveira, J.S., J.T. Huber, J.M. Simas, C. B. Theurer, and
R.S. Swingle. 1995. Effect of sorghum grain processing
on site and extent of digestion of starch in lactating
dairy cows. J. Dairy Sci. 78:1318.
Ørskov, E. R. 1986. Starch digestion and utilization in ru-
minants. J. Anim. Sci. 63:1624.
Owens, F. N., and A. L. Goetsch. 1986. Digesta passage
and microbial protein synthesis. In: L. P. Milligan, W.
L. Grovum, and A. Dobson (Eds.) Control of Digestion
and Metabolism in Ruminants. Prentice-Hall, Eng-
lewood Cliffs. p 196-223.
Owens, F.N., R.A. Zinn, and Y.K. Kim. 1986. Limits to
starch digestion in the ruminant small intestine. J.
Anim. Sci. 63: 1634.
Pappenheimer, J.R., and K.Z. Reiss. 1987. Contribution of
solvent drag through intercellular junctions to ab-

Karbohidrat Pakan Ruminansia 192


sorption of nutrients by the small intestine of the
rat. J. Membrane Biol. 100:123.
Petterson, J.A., F.R. Dunshea, R.A. Ehrhardt, and A.W.
Bell. 1993. Pregnancy and undernutrition alter glu-
cose metabolic responses to insulin in sheep. J.
Nutr. 123:1286.
Poore, M.H., J.A. Moore, T.P. Eck, R.S. Swingle, and C.B.
Theurer. 1993. Effect of fiber source and ruminal
starch degradability on site and extent of digestion in
dairy cows. J. Dairy Sci. 76:2244.
Preston, R.L., S.J. Bartle, and R.E. Castlebury. 1991. Labor-
atory evaluation of grain sorghum for steam-flaking
and utilization by feedlot cattle. Texas Tech Univ.
Agric. Sci. Tech. Rep. No. T-5-297:69.
Preston, R.L., A.C. Brake, T.P. Karnezos, A.G. Matches and
Y. Xiong. 1993. Near infrared reflectance and gelati-
nization as measures of starch availability in steam-
flaked sorghum grain. Texas Tech Univ. Agric. Sci.
Tech. Rep. No. T-5-327:189.
Pritchard, R.H. 1995. Why are they using programmed
feeding? Proc. 1995 Southwest Nutr. Mgt. Conf.:27.
University of Arizona, Tucson.
Reynolds, C.K., and H.F. Tyrrell. 1991. Effects of mesen-
teric alanine vein L-alanine infusion on liver metab-
olism in beef heifers fed on diets differing in for-
age:concentrate ratio. Br. J. Nutr. 66:437.
Rooney, L.W., and R.L. Pflugfelder. 1986. Factors affecting
starch digestibility with special emphasis on sor-
ghum and corn. J. Anim. Sci. 63:1607.
Russell, J.B., and J.M. Chow. 1993. Another theory for the
action of ruminal buffer salts: Decreased starch fer-
mentation and propionate production. J. Dairy Sci.

193 Pemanfaatan Bahan Pati Pakan


76:826.
Sano, H., S. Matsunobu, T. Abe, and Y. Terashima. 1992.
Combined effects of diet and cold exposure on insulin
responsiveness to glucose and tissue responsiveness to
insulin in sheep. J. Anim. Sci. 70:3514.
Schmidt, S.P., and R.K. Keith. 1983. Effects of diet and
energy intake on kinetics of glucose metabolism in
steers. J. Nutr. 113: 2155.
Shirazi-Beechey, I., S. Wood, J. Dyer, D. Scott, and T.P. King.
1995. Intestinal sugar transport in ruminants. In: W.
V. Engelhardt, S. Leonhard-Marek, G. Breves, and
D. Giesecke (Eds.) Ruminant Physiology: Digestion,
Metabolism, Growth and Reproduction. Proc. 8th Intl.
Symp. Ruminant Physiol. Ferdinand Enke Verlag,
Stuttgart. p. 117.
Sklan, D., A. Arieli, W. Chalupa, and D.S. Kronfeld. 1985. Di-
gestion and absorption of lipids and bile acids in sheep
fed stearic acid, oleic acid, or tristearin. J. Dairy Sci.
68:1667.
Sklan, D., and O. Halevy. 1985. Digestion and absorption of
protein along ovine gastrointestinal tract. J. Dairy
Sci. 68:1676.
Sklan, D., and S. Hurwitz. 1985. Movement and absorption
of major minerals and water in ovine gastrointestinal
tract. J. Dairy Sci. 68:1659.
Spicer, L.A., C.B. Theurer, J. Sowe, and T.H. Noon. 1986. Ru-
minal and post-ruminal utilization of nitrogen and
starch from sorghum grain, corn and barley-based
diets by steers. J. Anim. Sci. 62: 521.
Stock, R.A., D.R. Brink, R.A. Britton, F.K. Goedeken, M.H.
Sindt, K.K. Kreikemeier, M.L. Bauer, and K.K. Smith.
1987a. Feeding combinations of high moisture corn and

Karbohidrat Pakan Ruminansia 194


dry-rolled sorghum to finishing steers. J. Anim. Sci.
65:290.
Stock, R.A., D.R. Brink, K.K. Kreikemeier, and K.K.
Smith. 1987b. Evaluation of early harvested and re-
constituted grain sorghum in finishing diets. J.
Anim. Sci. 65:548.
Stock, R.A., M.H. Sindt, J.C. Parrot, and F.K. Goedeken.
1990. Effects of grain type, roughage level and
monensin level on finishing cattle performance. J.
Anim. Sci. 68:3441.
Streeter, M.N., and M.J. Mathis. 1995. Effect of supple-
mental fish meal protein of site and extent of diges-
tion in beef steers. J. Anim. Sci. 73:1196.
Streeter, M.N., D. G. Wagner, C. A. Hibberd, and E. D.
Mitchell, Jr. 1990a. Effect of variety of sorghum
grain on digestion and availability of dry matter
and starch in vitro. Anim. Feed Sci. Tech. 29:279.
Streeter, M. N., D.G. Wagner, C.A. Hibberd, and F.N. Ow-
ens. 1990b. Comparison of corn with four sorghum
grain hybrids: Site and extent of digestion in steers.
J. Anim. Sci. 68:3429.
Streeter, M.N., D.G. Wagner, F.N. Owens, and C.A. Hib-
berd. 1989. Combinations of high-moisture harvested
sorghum grain and dry-rolled corn: Effects on site
and extent of digestion in beef heifers. J. Anim. Sci.
67:1623.
Streeter, M.N., D.G. Wagner, F.N. Owens, and C.A. Hib-
berd. 1991. The effect of pure and partial yellow endo-
sperm sorghum grain hybrids on site and extent of
digestion in beef steers. J. Anim. Sci. 69:2571.
Taniguchi, K., G.B. Huntington, and B.P. Glenn. 1995.
Net nutrient flux by visceral tissues of beef steers giv-

195 Pemanfaatan Bahan Pati Pakan


en abomasal and ruminal infusion of casein and
starch. J. Anim. Sci. 73:236.
Taniguchi, K., Y. Sunada, and T. Obitsu. 1993. Starch di-
gestion in the small intestine of sheep sustained by
intragastric infusion without protein supply. Anim.
Sci. Technol. Jpn. 64:892.
Theurer, C.B. 1986. Grain processing effects on starch utili-
zation by ruminants. J. Anim. Sci. 63: 1649.
Theurer, C.B., G.B. Huntington, J.T. Huber, M.H. Poore, and
R.S. Swingle. 1990. Net glucose and L-lactate ab-
sorption and visceral oxygen use in beef steers fed di-
ets containing 77% dry- rolled (DR) or steam-flaked
(SF) sorghum grain. J. Anim. Sci. 68(Suppl. 1):540.
Theurer, C.B., G.B. Huntington, R.S. Swingle, and J.T. Hu-
ber. 1991. Net VFA and energy absorption in beef
steers fed diets containing 77% dry-rolled (DR) or
steam-flaked (SF) sorghum grain. J. Anim. Sci. 69
(Suppl. 1): 503.
Veenhuizen, J.J., R.W. Russell, and J.W. Young. 1988. Kinet-
ics of metabolism of glucose, propionate and CO2 in
steers as affected by injecting phlorizin and feeding
propionate. J. Nutr. 118: 1366.
Walker, J.A., and D.L. Harmon. 1995. Influence of rumi-
nal or abomasal starch hydrolysate infusion on pan-
creatic exocrine secretion and blood glucose and insu-
lin concentration in steers. J. Anim. Sci. 73:3766.
Walker, J.A., C.R. Krehbiel, D.L. Harmon, G. St. Jean, W.J.
Croom, Jr., and W.M. Hagler, Jr. 1994. Effects of
slaframine and 4-diphenylacetoxy-N-methylpiperidine
methiodide (4DAMP) on pancreatic exocrine secretion
in the bovine. Can. J. Physiol. Pharmacol. 72:39.
Weighart, M., R. Slepetis, J.M. Elliot, and D.F. Smith.

Karbohidrat Pakan Ruminansia 196


1986. Glucose absorption and hepatic gluconeogenesis
in dairy cows fed diets varying in forage content. J.
Nutr. 116:839.
Wester, T.J., S.M. Gramlich, R.A. Britton, and R.A. Stock.
1992. Effect of grain sorghum hybrid on in vitro
rate of starch disappearance and finishing perfor-
mance of ruminants. J. Anim. Sci. 70:2866.
Wiedmeier, R.D., M.J. Arambel, R.C. Lamb, and D.P. Mar-
cinowski. 1987. Effect of mineral salts, carbachol, and
pilocarpine on nutrient digestibility and ruminal
characteristics in cattle. J. Dairy Sci. 70:592.
Xiong, Y., S.J. Bartle, and R.L. Preston. 1991. Density of
steam-flaked sorghum grain, roughage level, and
feeding regimen for feedlot steers. J. Anim. Sci.
69:1707.
Xu, S., J. H. Harrison, R.E. Riley, and K.A. Loney. 1994. Effect
of buffer addition to high grain total mixed rations on
rumen pH, feed intake, milk production, and milk
composition. J. Dairy Sci. 77:782.
Zinn, R.A. 1987. Influence of lasalocid and monensin plus
tylosin on comparative feeding value of steam-flaked
versus dry-rolled corn in diets for feedlot cattle. J.
Anim. Sci. 65:256.
Zinn, R.A. 1988. Influence of tempering on the comparative
feeding value of rolled and steam-flaked corn for
feedlot steers. Proc West. Sect. Am. Sci. Anim. Sci.
39:286.
Zinn, R. A. 1990a. Influence of steaming time on site of di-
gestion of flaked corn in steers. J. Anim. Sci. 68:776.
Zinn, R. A. 1990b. Influence of flake density on the com-
parative feeding value of steam-flaked corn for feed-
lot cattle. J. Anim. Sci. 68:767.

197 Pemanfaatan Bahan Pati Pakan


Zinn, R. A. 1991. Comparative feeding value of steam-
flaked corn and sorghum in finishing diets supple-
mented with or without sodium bicarbonate. J. Anim.
Sci. 69:905.
Zinn, R. A. 1993a. Influence of processing on the feeding
value of barley for feedlot cattle. J. Anim. Sci. 71:3.
Zinn, R. A. 1993b. Influence of processing on the feeding
value of oats for feedlot cattle. J. Anim. Sci. 71:2303.
Zinn, R. A. 1994. Influence of flake thickness on the feeding
value of steam-rolled wheat for feedlot cattle. J. Anim.
Sci. 72:21.
Zinn, R. A., C. F. Adam, and M. S. Tamayo. 1995. Interaction
of feed intake on comparative ruminal and total tract
digestion of dry- rolled and steam-flaked corn. J.
Anim. Sci. 73:1239.
Zinn, R. A., and J. L. Borques. 1993. Influence of sodium bi-
carbonate and monensin on utilization of a fat-
supplemented, high-energy growing-finishing diet by
feedlot steers. J. Anim. Sci. 71:18.

Karbohidrat Pakan Ruminansia 198


Pemanfaatan Serat Pakan

Kambing sebagai ruminansia membutuhkan serat pakan yang me-


madai untuk fungsi rumen yang normal. Fungsi rumen terkait
dengan ruminasi untuk mempertahankan salivasi yang memadai dan
pH optimal untuk mikroorganisme selulolitik, yang biasanya
menghasilkan rasio asetat terhadap propionat yang lebih tinggi da-
lam cairan rumen. Serat pakan melalui degradasi dan sintesis mikro-
ba mensuplai energi untuk mendukung pokok hidup, pertumbuhan,
laktasi, dan reproduksi. Meskipun terdapat pemahaman secara kom-
prehensif tentang peran serat pakan sebagai nutrien dan pen-
cernaannya pada sapi, pencernaan serat dan perannya dalam kinerja
produktif belum mendapat perhatian yang sama pada kambing.
Kambing berbeda dalam perilaku pakan, tingkat konsumsi, seleksi
pakan, diskriminasi rasa, dan mengonsumsi pakan dengan domba
dan sapi (Lu, 1988; Reid et al., 1990). Akibat perbedaan ini, pemaham-
an yang diperoleh dari spesies ruminansia lain diduga tidak dapat
diekstrapolasikan ke kambing.
Kebutuhan serat pakan pada kambing belum ditentukan pada
publikasi NRC (NRC, 1981). Kambing perah laktasi, khususnya, mem-
butuhkan serat untuk mempertahankan kandungan lemak susu yang
normal. Selain besaran serat pakan yang dikonsumsi, ukuran partikel
(Lu, 1987), jenis serat, laju fermentasi, dan sifat pertukaran per-
mukaan memengaruhi ruminasi, produksi susu, dan kandungan

199 Pemanfaatan Serat Pakan


lemak susu. Penetapan konsentrasi serat pakan yang optimal untuk
produksi susu, harus mempertimbangkan faktor-faktor seperti
tahap laktasi dan tingkat produksi. Informasi mengenai pengaruh
komposisi kimia dan bentuk fisik serat terhadap pemanfaatan nutri-
en dapat meningkatkan efisiensi kambing sebagai penghasil susu
dan daging. Tantangannya adalah untuk memahami berapa banyak
serat dan dalam bentuk fisik apa yang dibutuhkan untuk memper-
tahankan fungsi rumen normal, tanpa pembatasan fisik terhadap
konsumsi, dan bagaimana memaksimalkan ketersediaan serat pakan
untuk mendukung produksi.

Evaluasi kimia, fisik dan nutrisi serat


Secara nutrisional, komposisi kimia dan bentuk fisik karbohidrat
struktural atau serat pakan tidak larut memengaruhi kinerja
produktif pada kambing. Oleh karena itu, pengukuran serat pakan
secara kimia dan fisik dapat bermanfaat sebagai indikator nutrision-
al. Serat pakan secara kimiawi dapat ditentukan sebagai serat kasar,
serat deterjen netral (neutral detergent fiber, NDF), serat deterjen
asam (acid detergent fiber, ADF), dan lignin deterjen asam. Dengan
perhitungan selisih matematis, seseorang dapat memperoleh nilai
(kadar) selulosa dan hemiselulosa. Bagi pakan konsentrat tinggi,
amilase dapat ditambahkan ke prosedur NDF untuk meningkatkan
akurasi dan menghasilkan serat deterjen netral yang diperlakukan
dengan amilase (amylase-treated neutral detergent fiber, aNDF). Pada
sebagian besar kasus, ADF bisa menjadi uji yang lebih dapat diterima
untuk menganalisis serat pakan tidak larut dalam ransum komplit
(total mixed ration, TMR). Tahap maturitas hijauan juga dapat
digunakan untuk memrediksikan kandungan serat, karena kan-
dungan serat dalam hijauan meningkat seiring dengan umur tana-
man. Mertens (2003) menelaah tentang tantangan pengukuran serat
tidak larut. Hasilnya menyimpulkan bahwa analisis senyawa-
senyawa gula dalam polisakarida tidak larut bersifat kurang repro-

Karbohidrat Pakan Ruminansia 200


dusibel dan lebih mahal, meskipun memberikan lebih banyak infor-
masi.
Pengukuran bentuk fisik serat bisa menjadi tantangan tersendiri.
Sebagian besar pengukuran bersifat kualitatif, seperti kasar versus
halus atau panjang versus pendek. Rerata panjang partikel dapat
ditentukan dengan oscillating screen particle separator dan digunakan
sebagai pengukuran bentuk fisik dalam serat pakan (Lu, 1987). Se-
buah sistem yang menghubungkan berat dengan rerata panjang
partikel hijauan dapat merupakan indikator nutrisional yang lebih
baik daripada berat saja. Bentuk fisik hijauan dapat memengaruhi
kinerja produktif melalui pengaruh pengunyahan, fermentasi
mikroba dalam rumen, serta laju pengaliran dan pencernaan di
saluran pencernaan. Selanjutnya, panjang partikel hijauan dapat
memengaruhi kandungan lemak dan produksi susu yang dikoreksi
lemak (fat corrected milk, FCM) pada kambing perah laktasi.

Mastikasi
Mastikasi merupakan proses penting secara nutrisional karena
berkaitan dengan keterbatasan fisik konsumsi dan pemeliharaan/
penstabilan fermentasi normal dalam rumen. Secara umum disepa-
kati bahwa pakan tinggi serat yang menghasilkan waktu ruminasi
yang lebih lama dapat membatasi konsumsi pakan volunter. Selain
itu juga dipahami bahwa saliva sebagai hasil pengunyahan dapat
memengaruhi produksi asetat, yang merupakan prekursor lemak
susu.
Pengurangan ukuran partikel melalui mastikasi dan ruminasi
merupakan bagian penting dari pencernaan hijauan pada kambing.
Pengunyahan selama mengonsumsi pakan dan ruminasi mengurangi
ukuran partikel, meningkatkan luas permukaan yang tersedia untuk
mikroba dan enzim pencernaan rumen, serta meningkatkan peng-
aliran digesta. Salivasi selama pengunyahan memengaruhi laju pen-
genceran dan kapasitas penyanggaan (buffering) cairan rumen. Apa-

201 Pemanfaatan Serat Pakan


bila kambing perah laktasi diberi pakan Bermuda grass kering dengan
campuran bebijian, ruminasi dan total waktu mengunyah berkurang
jika rerata panjang partikel Bermuda grass kering berkurang dari 3,87
menjadi 2,38 mm (Lu, 1987). Kambing perah laktasi menghabiskan
188-219 menit per hari untuk mengonsumsi pakan, dan 294-364
menit per hari untuk ruminasi pakan Bermuda grass kering dengan
panjang partikel yang lebih pendek. Sebaliknya, kambing perah
laktasi menghabiskan 207-245 menit per hari untuk mengonsumsi
pakan, dan 380-459 menit per hari untuk ruminasi ketika diberi pa-
kan rumput kering dengan panjang partikel yang lebih panjang.
Waktu yang dihabiskan untuk ruminasi lebih besar untuk kambing
yang diberi ransum mengandung 15% dedak jagung (corn bran) (397
menit per hari) dibandingkan dengan kambing yang diberi ransum
30% dedak jagung (338 menit per hari) (Franz et al., 2004). Peng-
gilingan dedak jagung secara signifikan tidak mengubah waktu yang
dihabiskan kambing untuk ruminasi.
Mastikasi dapat dipengaruhi oleh rasio hijauan terhadap konsen-
trat dalam pakan. Ketika kambing persilangan Saanen dan Marota
diberikan pakan dengan rasio hijauan dan konsentrat dari 45:55
menjadi 75:25; waktu makan berkisar antara 188 hingga 207 menit
per hari dan waktu ruminasi berkisar antara 299 hingga 363 menit
per hari (Kawas et al., 1991).
Pada kambing perah laktasi terdapat hubungan linier antara
konsumsi serat dan aktivitas mengunyah. Apabila konsumsi serat
serat meningkat maka konsumsi pakan, ruminasi, dan total waktu
mengunyah meningkat (Santini et al., 1991, 1992). Hasil penelitian
Santini et al. (1991) pada 40 ekor kambing Alpine laktasi multipara
yang diberikan pakan dengan berbagai kandungan serat, menunjuk-
kan bahwa waktu mengonsumsi pakan berkisar antara 176 sampai
325 menit per hari dan waktu ruminasi berkisar antara 267 hingga
486 menit per hari. Pada studi lanjutan, kambing perah laktasi
menghabiskan 180-263 menit per hari untuk mengonsumsi pakan

Karbohidrat Pakan Ruminansia 202


dan 249-364 menit per hari memamah biak apabila diberikan pakan
jerami alfalfa dengan campuran bungkil jagung dan kedelai, dengan
serat pakan total berkisar antara 14 hingga 26% (Santini et al., 1992).
Pada kambing perah laktasi, waktu mengunyah total dapat dipred-
iksikan dari konsumsi serat pakan (dalam % atau gram per hari):

= 33,11 + 30,13 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖 𝐴𝐷𝐹 %

(P < 0,001; r = 0,83; n = 40)

waktu mengunyah total (min per hari)

= 345,33 + 0,32 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖 𝐴𝐷𝐹 (𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑝𝑒𝑟 ℎ𝑎𝑟𝑖)

(P < 0,001; r = 0,60; n = 40)

Apabila aktivitas mengunyah total dibagi menjadi mengonsumsi


pakan dan ruminasi, rasionya sedikit berbeda diantara beberapa
laporan hasil penelitian (Lu, 1987; Kawas et al., 1991; Santini et al.,
1991, 1992). Namun demikian, informasi ini menjelaskan pedoman
umum untuk aktivitas mengunyah yang normal. Nilai rasio me-
ngonsumsi pakan terhadap ruminasi yang dilaporkan adalah 37:63
(Lu, 1987), 38:62 (Kawas et al., 1991), 43:57 (Santini et al., 1991), dan
46:54 (Santini et al., 1992). Pada sebagian besar hasil penelitian yang
dilaporkan, waktu mengonsumsi pakan dan ruminasi dipengaruhi
secara bersamaan oleh perlakuan yang mencakup panjang partikel
hijauan, rasio hijauan terhadap konsentrat dan konsumsi serat pa-
kan. Pada kambing laktasi, masuk akal untuk menyimpulkan bahwa
rasio untuk partisi aktivitas mengunyah total menjadi makan dan
memamah biak berkisar antara 37 sampai 46:54 sampai 63.
Ukuran tubuh kambing menyumbang lebih dari 50% dari varia-
bilitas aktivitas mengunyah (Bae et al., 1979). Welch (1982)
melaporkan efisiensi ruminansi pada domba, kambing, dan sapi

203 Pemanfaatan Serat Pakan


dengan berbagai umur, dan menyarankan bahwa ternak yang lebih
besar ukuran tubuhnya membutuhkan lebih sedikit waktu me-
ngunyah total per unit serat yang dicerna setelah dikoreksi untuk
ukuran metabolik. Oleh karena itu, aktivitas mengunyah yang dis-
esuaikan dengan ukuran tubuh metabolik mungkin menjadi parame-
ter yang lebih baik untuk membandingkan hasil dari beberapa
penelitian yang berbeda, terutama apabila mempertimbangkan
perbedaan bobot badan ternak. Waktu mengunyah total, yang dinya-
takan sebagai per unit NDF dan dikoreksi untuk bobot badan
metabolik (metabolic body weight, MBW), akan menurun dari 21,2
menjadi 16,3 menit per gram NDF per kg BW0,75 apabila rasio hijauan-
konsentrat diturunkan dari 75:25 menjadi 45:55 (Kawas et al., 1999).
Waktu mengunyah total yang dinyatakan per unit DMI yang dikore-
ksi untuk MBW meningkat secara linier dengan konsumsi ADF pakan
(Santini et al., 1991). Apa-bila waktu mengunyah total dinyatakan
sebagai per unit konsumsi ADF yang dikoreksi untuk MBW, maka tid-
ak terpengaruh oleh konsumsi ADF pakan. Ini menyiratkan bahwa
efisiensi mengunyah per unit konsumsi serat dapat menjadi sebuah
konstanta. Namun pada penelitian selanjutnya, Santini et al. (1992)
menjelaskan bahwa efisiensi mengunyah dinyatakan sebagai menit/
(gram DMI × kg BW0.75) menurun dari 3,85 menjadi 4,89 apabila kon-
sumsi ADF pakan ditingkatkan dari 373 menjadi 738 gram per hari.
Efisiensi mengunyah yang dinyatakan sebagai menit/(g ADFI × kg
BW0.75) meningkat dari 26,9 menjadi 19,1 saat konsumsi ADF mening-
kat. Hal ini menyiratkan bahwa kambing menjadi pengunyah yang
lebih efisien, karena dengan peningkatan konsumsi ADF, kambing
mengunyah hanya 71% per unit ADF yang dikonsumsi dibandingkan
dengan perlakuan konsumsi serat rendah.

Fermentasi rumen
Asam-asam lemak volatil merupakan produk akhir dari fermenta-
si mikroba dalam rumen. Produk-produk ini diserap melintasi dind-

Karbohidrat Pakan Ruminansia 204


ing rumen dan digunakan untuk sintesis biokimiawi; lebih lanjut
menghasilkan produk yang dapat berfungsi sebagai sumber energi,
disimpan sebagai lemak tubuh, atau disintesis menjadi lemak susu.
Pakan konsentrat secara khas menghasilkan proporsi asam propio-
nat yang lebih tinggi sementara pakan hijauan menghasilkan lebih
banyak asam asetat, butirat, dan isobutirat. Komposisi asam lemak
volatil dalam rumen dapat menjadi penting secara nutrisional; yaitu
memengaruhi ternak inang tidak hanya secara metabolik dan fisiolo-
gis, tetapi juga menentukan efisiensi sintesis susu atau lemak tubuh.
Asam asetat dikenal sebagai prekursor untuk lemak susu, sedangkan
asam propionat terutama digunakan untuk biosintesis glukosa atau
deposisi sebagai lemak tubuh. Kambing yang diberi pakan tinggi se-
rat memiliki konsentrasi puncak glukosa yang lebih rendah dalam
plasma darah (Schmidely et al., 1999a), yang menyiratkan lebih sedi-
kit glukosa untuk penggunaan energi daripada deposit lemak susu.
Nilai pH cairan rumen berperan dalam komposisi asam-asam lemak.
Nilai pH rumen yang lebih tinggi biasanya mendukung mikroorgan-
isme selulolitik (Fibrobacter succinogenes, Ruminococcus flavefaciens,
dan Ruminococcus albus) yang menghasilkan lebih tingginya proporsi
asam asetat dan butirat. Di sisi lain, pH rumen yang lebih rendah
cenderung mendukung mikroorganisme amilolitik yang
menghasilkan lebih tingginya proporsi asam propionat. Kinetika
pencernaan selulosa menempati urutan pertama dan pencernaan
selulosa dibatasi oleh ketersediaan substrat; bukan oleh kemampuan
selulolitik mikroflora rumen (Weimer, 1998). Oleh karena itu,
ketersediaan serat, besaran total dan permukaan yang dapat di-
akses untuk pencernaan, memainkan peran penting dalam kinerja
produksi pada kambing.
Pakan tinggi serat tidak hanya menyediakan substrat yang men-
dukung pertumbuhan mikroba selulolitik, tetapi juga meningkatkan
salivasi melalui pakan dan ruminasi. Salivasi melalui kapasitas pe-
nyanggaannya semakin meningkatkan pH rumen yang mendukung

205 Pemanfaatan Serat Pakan


pertumbuhan mikroba selulolitik dan menghasilkan lebih banyak
asam asetat dan butirat. Pemberian pakan hijauan dengan panjang
partikel yang lebih panjang sedikit meningkatkan pH rumen dan ra-
sio asetat terhadap propionat pada kambing perah laktasi primipara
(Lu, 1987), meskipun perbedaannya tidak signifikan secara statistik.
Namun, pada kambing laktasi multipara terdapat hubungan yang
jelas antara pH rumen, rasio asetat terhadap propionat, dan konsum-
si serat pakan (Santini et al., 1992). Nilai pH rumen meningkat secara
linier dari 6,28 menjadi 6,55 saat konsumsi ADF meningkat. Konsen-
trasi asetat ruminal meningkat seiring dengan peningkatan konsum-
si serat pakan. Rasio asetat terhadap propionat meningkat dari 3,3
menjadi 3,6 akibat peningkatan ADF pakan dari 14 menjadi 26%. Pada
kajian ini, pH rumen dan rasio asetat terhadap propionat terkait
dengan aktivitas pengunyahan total. Hasil penelitian lain menunjuk-
kan, pH rumen jelas terkait dengan konsentrasi asetat ruminal (Bava
et al., 2001).
Beberapa senyawa sekunder tanaman dapat memengaruhi fer-
mentasi rumen (Lu, 1992). Senyawa metabolit sekunder sering di-
anggap beracun karena penghambatan pertumbuhan mikroba dan/
atau penurunan kinerja pada ruminansia inang. Saponin dari alfalfa
menurunkan sintesis protein mikroba dalam rumen (Lu dan Jorgen-
sen, 1987). Mimosin dari Leucaena dikenal diubah menjadi goitrogen
beracun 3-hidroksi-4(1H)-piridone dan menyebabkan toksikosis pada
kambing. Daun milkvetch mengandung protein arabinogalaktan yang
mencegah bakteri selulolitik menempel pada selulosa (Weimer et al.,
1993). Detoksifikasi terhadap senyawa-senyawa metabolit sekunder
di rumen secara nyata bermanfaat untuk pencernaan dan pemanfaa-
tan serat.

Pertumbuhan dan komposisi karkas


Pemberian pakan berserat tinggi sering kali menghasilkan laju
pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan dengan pemberian

Karbohidrat Pakan Ruminansia 206


pakan dengan konsentrat tinggi (Mahgoub et al., 2005). Kambing
Batina dan Dhofari yang diberi pakan 12,3; 18,3; dan 24,7% ADF (23,6,
33,0, dan 43,4% NDF) masing-masing tumbuh dengan pertambahan
bobot badan 45 dan 45, 83, dan 51, dan 98 dan 55 gram per hari.
Peningkatan kadar serat pakan menurunkan kadar lemak karkas
dan non karkas pada kambing (Mahgoub dan Lu, 2004). Pada kamb-
ing yang diberikan 12, 19, dan 26% ADF pakan (atau masing-masing
setara dengan kandungan NDF sebesar 24, 34 dan 44%), masing-
masing menghasilkan lemak karkas sebesar 5,3; 4,6; dan 4,3%; dan
lemak non karkas sebesar 4,6; 4,5; dan 3,8%).
Peningkatan kadar serat pakan juga menurunkan kimiawi lemak
(Mahgoub et al., 2005). Pada kambing yang diberi pakan 12,3; 18,3 dan
24,7% ADF (23,6; 33,0; dan 43,4% NDF), kimiawi lemak karkas (lemak
yang diekstraksi eter) masing-masing adalah 36,7 dan 38,9; 45,1 dan
43,7; serta 47,4 dan 46,7% untuk kambing Batina dan Dhofari. Lemak
non karkas yang sesuai pada kambing yang sama masing-masing
adalah 45,5 dan 46; 56,4 dan 43,5; dan 59,5 dan 47,1%.

Komposisi lemak susu


Depresi lemak susu telah dikaitkan dengan konsumsi serat pakan
yang tidak memadai pada sapi laktasi. Depresi lemak susu diduga
dapat terjadi pada kambing perah produksi tinggi selama awal lak-
tasi. Mekanisme yang menjelaskan sindrom depresi lemak susu pada
ruminansia laktasi yang berproduksi tinggi melibatkan konsumsi
serat pakan, aktivitas mengunyah, salivasi, dan fungsi fermentasi
rumen. Pakan tinggi serat menghasilkan aktivitas mengunyah yang
lebih tinggi, yang pada gilirannya meningkatkan salivasi untuk men-
dukung pertumbuhan mikroba selulolitik dan produksi asam asetat.
Rasio asetat terhadap propionat yang lebih tinggi dalam cairan ru-
men mendukung sintesis lemak susu, karena asetat adalah prekursor
utama lemak susu. Pemberian pakan silase jagung dari brown midrib
mutants menekan konsentrasi lemak susu pada sapi apabila diberi

207 Pemanfaatan Serat Pakan


pakan dengan pakan rendah NDF (Oba dan Allen, 2000). Kandungan
lignin pakan yang lebih rendah disertai dengan pakan rendah NDF
dikenal berkontribusi pada depresi lemak susu. Pakan dengan serat
yang lebih rendah tidak selalu menghasilkan lemak susu yang ren-
dah, meskipun aktivitas mengunyah dapat tertekan (Colenbrander et
al., 1991). Pada penelitian itu, besaran serat efektif yang memadai
disajikan sebagai pakan rendah serat. Kebutuhan serat untuk mem-
pertahankan kandungan lemak susu ditunjukkan dengan mem-
berikan pakan kaya bahan pati (15 versus 43% NDF atau 6 berbanding
25% ADF) yang mengakibatkan penurunan lemak susu pada kambing
Alpine dan Saannen multipara (Schmidely et al., 1999b ).
Konsumsi serat pakan tidak selalu dapat dihubungkan dengan
depresi lemak susu pada kambing setidaknya karena beberapa
alasan. Salah satunya adalah sebagian besar kambing yang diteliti
tidak berproduksi tinggi (lebih dari 2,5 kg susu per hari) dan tidak
dalam masa laktasi awal (selama 12 minggu pertama pasca kelahir-
an). Alasan lain adalah bahwa pakan tinggi konsentrat tidak sering
diberikan pada kambing. Pada penelitian yang menggunakan
kambing Granadina laktasi (Sanz Sampelayo et al., 1998), bentuk fisik
(rumput kering panjang versus pellet alfalfa) tidak memengaruhi
produksi susu (1,35 kg per hari berbanding 1,31 kg per hari) dan kan-
dungan lemak susu (6,3% dibandingkan 6,7%). Pada primipara lak-
tasi, lemak susu kambing 0,4% lebih tinggi bila diberi pakan dengan
panjang partikel hijauan yang lebih panjang (Lu, 1987). Hal ini
terkait dengan peningkatan aktivitas mengunyah, rasio asetat ter-
hadap propionat yang sedikit lebih tinggi, dan hanya 0,1 unit pen-
ingkatan nilai pH dalam cairan rumen. Dalam kajian lain pada kamb-
ing primi-para, lemak susu menurun dari 3,62 menjadi 2,92% apabila
konsentrat ditingkatkan dari 25 menjadi 55% dari pakan (Kawas et
al., 1991). Terdapat hubungan yang jelas antara konsumsi serat pa-
kan, aktivitas mengunyah dan kandungan lemak susu. Pada sebuah
penelitian yang menggunakan kambing multipara dalam jumlah be-

Karbohidrat Pakan Ruminansia 208


sar, terdapat pengaruh nyata dari konsumsi serat pakan terhadap
kandungan lemak susu, dengan peningkatan linier dari 4,85 men-
jadi 5,40%; akibat konsumsi ADF pakan meningkat dari 396 menjadi
839 gram per hari (Santini et al., 1991). Dalam penelitian tersebut,
peningkatan lemak susu juga dikaitkan dengan peningkatan aktivi-
tas mengunyah. Pada kajian lanjutan, kambing multipara yang
diberi pakan 14, 18, 22, dan 26% ADF pakan berturut-turut
menghasilkan lemak susu sebesar 2,48; 3,09; 3,19; dan 3,32% (Santini
et al., 1992). Dalam penelitian tersebut penurunan kandungan lemak
susu dikaitkan dengan penurunan aktivitas mengunyah, penurunan
pH, dan penurunan rasio asetat terhadap propionat dalam cairan
rumen. Hasil lemak susu dapat diprediksikan dari persamaan beri-
kut:
Produksi lemak susu (gram per hari)

= 115,78 − 0,128 𝑋 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖 𝐴𝐷𝐹 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑝𝑒𝑟 ℎ𝑎𝑟𝑖


+ 0,00021 𝑋 (𝑘𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖 𝐴𝐷𝐹, 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑝𝑒𝑟 ℎ𝑎𝑟𝑖)2

(P < 0,01; r = 0,55; n = 40)

Kinetika pencernaan
Pada ruminansia perah laktasi, konsumsi bahan kering (DMI) di-
batasi oleh regulasi fisiologis selama pemberian pakan konsentrat
yang tinggi dan oleh faktor fisik selama pemberian pakan hijauan
yang tinggi. Seperti yang diamati pada spesies ruminansia lainnya,
peningkatan kandungan serat pakan mengurangi DMI pada kambing.
Apabila rasio hijauan terhadap konsentrat meningkat dari 45:55
menjadi 55:45, DMI total harian menurun dari 84,3 menjadi 59,8
gram per kg BW0,75 (Kawas et al., 1991). Nampaknya DMI diatur oleh
peng-isian fisik pada penelitian itu. Satu contoh yang khas dapat
digunakan untuk menunjukkan regulasi DMI baik secara fisik
(distensi rumen) maupun metabolik/fisiologis (densitas energi pa-

209 Pemanfaatan Serat Pakan


kan) pada kambing multipara laktasi (Santini et al., 1991). Konsumsi
bahan kering mencapai puncaknya apabila kambing diberi pakan
yang mengandung 18% ADF dengan 2,30 Mkal per kg ME. Apabila
ADF pakan lebih tinggi dari 18%, terjadi sedikit penurunan DMI. Apa-
bila ADF pakan lebih rendah dari 18%, juga terjadi penurunan DMI.
Pakan dengan 14% ADF dan 2,48 Mkal per kg ME dapat menurunkan
DMI melalui regulasi fisiologis. Hal ini ditegaskan dengan hasil
penelitian lanjutan bahwa pakan dengan 14% ADF dan 2,39 Mkal per
kg ME tidak menurunkan DMI dibandingkan pada pakan dengan 18%
ADF dan 2,19 Mkal per kg ME (Santini et al., 1992). Konsumsi bahan
kering menurun secara linier dengan meningkatnya NDF pakan (52,4
-62,1%) pada kambing Boer dan kambing persilangan (Luginbuhl et
al., 2000). NDF pakan pada penelitian itu diduga berada di atas kis-
aran kritis kontrol fisik. Komponen-komponen berserat terfermenta-
sikan dan keluar dari retikulo-rumen lebih lambat daripada kompo-
nen-konponen pakan lainnya, sehingga kambing memiliki efek pen-
gisian yang lebih besar dari waktu ke waktu (Allen, 1996). Ukuran
partikel, frekuensi dan efektivitas mengunyah, kerapuhan partikel,
NDF yang tidak dapat dicerna, dan karakteristik kontraksi retikuler
mempengaruhi pengisian secra fisik (Allen, 1996).
Pada kambing perah laktasi, regulasi fisiologis terjadi pada den-
sitas energi pakan antara 2,39 dan 2,48 Mkal per kg ME. Illius dan Jes-
sop (1996) menelaah tentang kendala metabolik terhadap konsumsi
volunter pada ruminansia. Dari model pengaruh suplai nutrien yang
tidak sinkron untuk mikroba rumen, disimpulkan bahwa pen-
daurulangan amonia dan mikroba serta kontribusi fermentasi usus
bagian belakang menurunkan ketidaksinkronan dalam keseim-
bangan nutrien yang diserap ke dalam aliran darah. Dengan
menggunakan analisis regresi bertahap, kepadatan energi pakan,
produksi susu dan bobt badan merupakan tiga variabel teratas yang
mengestimasikan DMI secara baik (Lu et al., 1991). Persamaan pred-
iksinya adalah:

Karbohidrat Pakan Ruminansia 210


Konsumsi bahan kering pakan (kg per hari)

= 3,61 + 0,35 𝑋 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝑠𝑢𝑠𝑢 𝑘𝑔 𝑝𝑒𝑟 ℎ𝑎𝑟𝑖


+ 0,02 𝑋 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 𝑘𝑔 − 0,05 𝑋 𝑇𝐷𝑁 (%)

(P < 0,001; r = 0,92; n = 60)

Pada kambing Alpine serta Nubia yang sedang tumbuh dan diberi
pakan komplit dengan kandungan 2,46; 2,77 atau 3,05 Mkal per kg
ME, terjadi penurunan DMI mengikuti pola kurva linier seiring
dengan meningkatnya kepadatan energi pakan (Lu dan Potchoiba,
1990). Kajian yang relatif besar dengan menggunakan 90 ekor ternak
ini menunjukkan bahwa isi fisik pada kambing yang sedang tumbuh
lebih tinggi dari 26% ADF, dan titik kritis untuk kontrol fisiologis
konsumsi mendekati atau lebih rendah dari 2,46 Mkal per kg ME.
Secara umum dikenali bahwa peningkatan konsumsi serat
menekan daya cerna komponen pakan lain kecuali serat, yang biasa-
nya meningkatkan daya cerna. Konsumsi serat yang lebih rendah
menggeser populasi mikroba ke arah peningkatan produksi laktat
dalam rumen, menekan pH rumen, dan mengurangi aktivitas selulo-
litik. Pada kambing perah laktasi yang diberi pakan dengan rasio
hijauan terhadap konsentrat yang berkisar antara 45:55 sampai
75:25, terjadi penurunan kecernaan DM dari 74,5 menjadi 61,0%
(Kawas et al., 1991). Sebaliknya, kecernaan semu NDF meningkat dari
43,4 menjadi 55,0%. Pada kambing perah laktasi yang diberi pakan
dengan kandungan ADF dari 14 menjadi 26%, kecernaan semu DM
dan energi hanya sedikit berkurang, sedangkan kecernaan ADF tid-
ak berbeda pada seluruh perlakuan (Santini et al., 1992).
Pengukuran kinetika pencernaan dapat berguna untuk menjelas-
kan pengaruh serat pakan terhadap konsumsi dan kecernaan nutri-
en. Sementara masih terdapat keterbatasan data pada kambing, San-
tini et al. (1992) melakukan penelitian untuk mengukur laju per-
gantian pada rumen, laju pergantian pada usus bagian belakang, dan

211 Pemanfaatan Serat Pakan


waktu transit melalui usus bagian belakang. Nilai tengah waktu re-
tensi total dihitung sebagai penjumlahan dari waktu pergantian ru-
men, waktu pergantian di usus belakang dan waktu transit
menggunakan senyawa pelacak mineral bumi. Tingkat pergantian di
usus bagian belakang memiliki makna biologis yang tidak pasti. Ini
dapat diperkirakan mewakili tingkat pergantian isi di sekum dan ko-
lon proksimal. Laju peng-aliran dipengaruhi oleh tingkat konsumsi,
rasio hijauan terhadap konsentrat, fase fisiologis, dan spesies rumi-
nansia. Laju pengaliran cairan, konsentrat, dan hijauan dapat diukur
secara terpisah dengan menggunakan senyawa pelacak yang ber-
beda. Angka laju-laju ini dapat berbeda di antara spesies yang ber-
beda. Secara umum, fraksi cair bergerak lebih cepat daripada materi
tertentu, tetapi per-bedaannya lebih kecil pada sapi daripada pada
domba dan kambing. Perbedaan spesies dapat dikaitkan dengan arsi-
tektur usus (kantung buntu caudoventral yang lebih panjang) dan
struktur feses (pelet).
Pengaruh konsumsi serat terhadap laju pergantian ruminal dapat
dimediasi melalui produksi saliva sebagai akibat dari peningkatan
aktivitas mengunyah. Laju pergantian ruminal adalah: 3,96-4,60% per
jam untuk cairan; 4,01–4,28% per jam untuk jerami; 3,66-4,12% per
jam untuk konsentrat pada kambing perah laktasi yang diberi pakan
dengan kandungan ADF dari 14 hingga 26%. Nilai tengah waktu
retensi total yang sesuai adalah 40-45 jam untuk cairan; 47-53 jam
untuk jerami; 42-55 jam untuk konsentrat. Nilai tengah waktu retensi
total terlama untuk konsentrat dan cairan adalah pada kambing yang
diberi pakan 18% ADF. Nilai tengah waktu retensi total terpanjang
terjadi pada kambing yang diberi pakan 14% ADF. Sebuah kajian di-
tujukan untuk menunjukkan rasio gradien NDF yang berpotensi
dapat dicerna terhadap NDF yang tidak dapat dicerna di berbagai
lokasi retikul-orumen, omasum, dan abomasum pada kambing
Spanyol; dan menyimpulkan bahwa metode kompartemen mineral
bumi (sebagai senyawa pelacak) lebih dapat diandalkan daripada

Karbohidrat Pakan Ruminansia 212


metode pengenceran pool NAF (nipple aspirate fluid) yang tidak dapat
dicerna. Selain itu hasil kajian juga menunjukkan bahwa perkiraan
nilai tengah laju pelepasan selama beberapa hari harus mempertim-
bangkan interaksi kompleks antara jaringan tanaman dan dinamika
pencernaan rumen terhadap NDF yang berpotensi dapat dicerna.
Sebagai penutup Bab, serat pakan memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap keseimbangan kebutuhan nutrien pada kamb-
ing. Serat pakan juga memainkan peran penting dalam produksi
kambing melalui pengaruhnya dan interaksinya dengan konsumsi
dan pencernaan nutrien. Regulasi fisiologis (umpan balik dari faktor
-faktor metabolik) konsumsi menjadi dominan pada kambing yang
diberi pakan konsentrat tinggi, sedangkan isi fisik merupakan
faktor dominan dalam pengaturan konsumsi saat kambing diberikan
pakan hijauan tinggi. Dengan mediasi salivasi dan kapasitas pen-
yanggaan (buffering), konsumsi serat pakan memengaruhi pengunya-
han dan fermentasi rumen. Pada kambing yang sedang tumbuh,
kepadatan energi yang dapat dimetabolismekan dari pakan di atas
2,78 Mkal/kg menekan konsumsi dan mengurangi laju pertumbuhan
pada kambing. Serat pakan yang memadai menjadi sangat penting
dalam menghasilkan karkas rendah lemak pada kambing yang se-
dang tumbuh. Pada kambing perah laktasi produksi tinggi, kon-
sumsi serat pakan berperan dalam pencegahan depresi lemak susu.
Pengaruhnya dimediasi melalui penstabilan rasio asetat terhadap
propionat yang menguntungkan dalam cairan rumen, karena asetat
adalah prekursor utama lemak susu. Kadar ADF dan NDF masing-
masing dengan kisaran 18-20% ADF atau 41% NDF secara nutrisional
memadai untuk kambing perah laktasi produksi tinggi. Kambing
yang sedang tumbuh berumur antara 4 dan 8 bulan, kadar ADF pa-
kan disarankan sebesar 23%. Hubungan antara waktu mengunyah
dan serat pakan dapat didefinisikan dengan persamaan: total waktu
mengunyah (min per hari) = 33,11 + 30,13 konsumsi ADF (%). Hasil
lemak susu dapat diprediksi dari konsumsi serat pakan: hasil lemak

213 Pemanfaatan Serat Pakan


susu (gram per hari) = 115,78 - 0,128 × konsumsi ADF (gram per hari)
+ 0,00021 × (konsumsi ADF, gram per hari)2 .
Kandungan serat pakan sangat penting untuk regulasi konsumsi
pada kambing, meskipun dengan keterbatasan kajian pustaka. Serat
pakan juga penting dalam pencernaan nutrien yang dimediasi me-
lalui pengunyahan, fermentasi mikroba dalam rumen, dan laju pen-
galiran di saluran gastro-intestinal. Terdapat sebuah gagasan tentang
besar-an serat minimum yang diperlukan untuk mempertahankan
fungsi rumen normal pada kambing di semua tahap fisiologis, dan
pen-cegahan depresi lemak susu, khususnya pada kambing laktasi
berproduksi tinggi. Sebagian besar informasi masih terlalu kecil un-
tuk menarik kesimpulan yang andal dan tepat. Kajian lebih lanjut
masih dibutuhkan untuk menentukan secara kuantitatif hubungan
antara konsumsi serat pakan, pengunyahan, degradasi dan sintesis
mikroba, laju perjalanan, dan biosintesis lemak tubuh dan susu. Sink-
ronisasi pencernaan serta degradasi karbohidrat struktural dan sin-
tesis protein dalam rumen, pengaruh asupan serat pada komposisi
asam lemak jaringan adiposa dan lemak susu, serta kinetika pen-
cernaan serat merupakan beberapa area yang perlu dieksploitasi
lebih lanjut. Kajian-kajian seharusnya difokuskan pada peningkatan
efisiensi produksi, sehingga usaha peternakan kambing menjadi
lebih penting secara ekonomi. Peningkatan efisiensi pemanfaatan
sumber serat pakan penting yang berkelanjutan diharapkan mem-
berikan kontribusi pada ternak kambing sebagai ruminansia produk-
tif. Manipulasi pe-manfaatan serat pakan untuk meningkatkan
produksi susu, daging, dan menghasilkan produk berkualitas yang
diinginkan konsumen tetap menjadi tantangan di sektor peternakan
kambing.

Daftar Pustaka
Allen, M.S., 1996. Physical constraints on voluntary intake of forages by
ruminants. J. Anim. Sci. 74: 3063-3075.

Karbohidrat Pakan Ruminansia 214


Bae, D.H., J.G. Welch, and A.M. Smith. 1979. Forage intake and rumina-
tion by sheep. J. Anim. Sci. 49: 1292-1299.
Bava, L., L.P. Rapetti, G.M. Crovetto, A. Tamburini, A. Sandrucci, G.
Galassi and G. Succi. 2001. Effects of a nonforage diet on milk pro-
duction, energy, and nitrogen metabolism in dairy goats through-
out lactation. J. Dairy Sci. 84: 2450-2459.
Colenbrander, V.F., C.H. Noller, and R.J. Grant. 1991. Effect of fibre
content and particle size of alfalfa silage on performance and
chewing behavior. J. Dairy Sci. 74: 2681-2690.
Franz, C.F., F. Garza-Cazares, G. Hernandez-Vidal, E. Olivares-Saenz,
C.D. Lu, and R.J. Kawas. 2004. Intake, digestibility, ruminal fer-
mentation of ground and whole maize bran fed to American Al-
pine goats. S. Afr. J. Anim. Sci. 34 (Suppl. 1): 55-58.
Illius, A.W., and N.S. Jessop. 1996. Metabolic constrains on voluntary
intake in ruminants. J. Anim. Sci. 74: 3052-3062.
Kawas, J.R., J. Lopes, D.L. Danelon, and C.D. Lu. 1991. Influence of for-
age-to-concentrate ratios on intake, digestibility, chewing, and milk
production of dairy goats. Small Rum. Res. 4: 11-18.
Kawas, J.R., W.H. Schacht, J.M. Shelton, E. Olivares, and C.D. Lu.
1999. Effects of grain supplementation on the intake and digesti-
bility of range diets consumed by goats. Small Rumin. Res. 34: 49-
56.
Luginbuhl, J.M., M.H. Poore, and A.P. Conrad. 2000. Effect of level of
whole cottonseed on intake, digestibility, and performance of
growing male goats fed hay-based diets. J. Anim. Sci. 78: 1677-
1683.
Lu, C.D. 1987. Implication of forage particle length on milk produc-
tion in dairy goats. J. Dairy Sci. 70: 1411-1416.
Lu, C.D. 1988. Grazing behavior and diet selection of goats. Small
Rum. Res. 1: 205-216.
Lu, C.D. 1992. Effect of antiquality substances on utilization of leave
protein by animals. Wld. Rev. Anim. Prod. 26: 29-35.

215 Pemanfaatan Serat Pakan


Lu, C.D., A.O. Akinsoyinu, and K. Qi. 1991. Predicting dry matter in-
take of lactating goats. In: Proceeding of the 7th National Confer-
ence on Goat Production, Monterrey, Mexico. p. 258-289.
Lu, C.D., and N.A. Jorgensen. 1987. Alfalfa saponins affect site and
extent of nutrient digestion in ruminants. J. Nutr. 117: 919-927.
Lu, C.D., and M.J. Potchoiba. 1990. Feed intake and weight gain of
growing goats fed diets of various energy and protein levels. J.
Anim. Sci. 68: 1751-1759.
Mahgoub, O., and C.D. Lu. 2004. Influence of various levels of metabo-
lizable energy on chemical composition of whole carcass and non-
carcass portion of goats and sheep. S. Afr. J. Anim. Sci. 34 (Suppl.
1): 81-84.
Mahgoub, O., C.D. Lu, C.D. Hameed, A. Richie, A.S. Al-Halhali, and K.
Annamalai. 2005. Performance of Omani goats fed diets containing
various metabolizable energy densities. Small Rum. Res. 58: 175-
180.
Mertens, D.R. 2003. Challenges in measuring insoluble dietary fibre. J.
Anim. Sci. 81: 3233-3249.
National Research Council. 1981. Nutrient Requirements for Goats.
National Academy of Science, Washington, DC.
Oba, M., and M.S. Allen. 2000. Effects of brown midrib 3 mutation in
corn silage on productivity of dairy cows fed two concentration of
dietary neutral detergent fibre. 1. Feeding behavior and nutrient
utilization. J. Dairy Sci. 83: 1333-1341.
Reid, R.L., G.A. Jung, J.M. Cox-Ganser, B.F. Rybeck, and E.C. Townsend.
1990. Comparative utilization of warm- and cool-season forages
by cattle, sheep and goats. J. Anim. Sci. 68: 2986-2994.
Santini, F.J., C.D. Lu, M.J. Potchoiba, and S.W. Coleman. 1991. Effects of
acid detergent fibre intake on early postpartum milk production and
chewing activities in dairy goats fed alfalfa hay. Small Rum. Res. 6: 63
-71.
Santini, F.J., C.D. Lu, M.J. Potchoiba, J.M. Fernandez, and S.W. Cole-

Karbohidrat Pakan Ruminansia 216


man. 1992. Dietary fibre and milk yield, mastication, digestion and
rate of passage in high Alpine goats fed alfalfa hay. J. Dairy Sci. 75:
209-219.
Sanz Sampelayo, M.R., L. Perez, J. Boza, and L. Amigo. 1998. Forage of
different physical forms in the diets of lactating Granadina goats:
nutrient digestibility and milk production and composition. J.
Dairy Sci. 81: 492-498.
Schmidely, P., M. Lloret-Pujol, P. Bas, A. Rouzeau, and D. Sauvant.
1999a. Influence of feed intake and source of dietary carbohy-
drate on the metabolic response to propionate and glucose chal-
lenges in lactating goats. J. Dairy Sci. 82: 738-746.
Schmidely, P., M. Lloret-Pujol, P. Bas, A. Rouzeau, and D. Sauvant.
1999b. Influence of feed intake and source of dietary carbo-
hydrate on milk yield and composition, nitrogen balance, and
plasma constituents of lactating goats. J. Dairy Sci. 82: 747-756.
Weimer, P.J. 1998. Manipulating ruminal fermentation: a microbial
perspective. J. Anim. Sci. 76: 3114-3122.
Weimer, P.J., R.T. Hatfield, and D.R. Buxton. 1993. Inhibition of ruminal
cellulose fermentation by extracts of the perennial legume cicer
milkvetch. Appl. Environ. Microbiol. 59: 405-409.
Welch, J.G. 1982. Rumination, particle size and passage from the
rumen. J. Anim. Sci. 54: 885-894.

217 Pemanfaatan Serat Pakan


Karbohidrat Pakan Ruminansia 218
Kandungan Serat dalam Pakan

Kemampuan untuk menyediakan energi yang cukup untuk sapi


perah laktasi dan berproduksi tinggi bergantung pada seberapa
akurat respons biologis yang dapat diprediksikan dengan ukuran-
ukuran nutrien secara kuantitatif atau kualitatif. Karbohidrat ada-
lah sumber energi terpenting bagi mikroorganisme rumen dan
merupakan komponen terbesar (65 sampai 75%) dari pakan sapi
perah. Penggunaan karbohidrat oleh mikroorganisme rumen san-
gat penting dalam memaksimalkan produksi protein mikroba
dengan tetap mempertahankan fungsi rumen. Karbohidrat merupa-
kan komponen utama energi netto untuk mendukung hidup pokok
dan produksi susu. Metabolisme karbohidrat juga menyediakan
prekursor untuk laktosa, lemak, dan protein (Mertens, 1985). For-
mulasi ransum berdasarkan NDF sebagai persentase dari ransum
DM telah direkomendasikan karena terdapat hubungan positif an-
tara NDF dan isi rumen dan hubungan negatif antara NDF dan
kepadatan energi (Mertens, 1994). Mertens (Mertens, 1987) men-
gusulkan agar NDF dapat digunakan sebagai indeks kapasitas hi-
jauan pakan isi rumen. Konsep yang dikemukakan oleh Mertens
(1983) adalah bahwa pakan dengan 35% NDF akan merangsang kon-
sumsi NDF secara maksimum, bahwa konsentrasi NDF yang lebih
tinggi dibatasi konsumsinya melalui pengisian rumen, dan bahwa
asupan NDF pakan yang lebih rendah dibatasi oleh kebutuhan ener-
gi ternak.
Pengukuran kebutuhan serat telah direkomendasikan untuk
sapi perah laktasi sejak publikasi NRC (1989). Mertens (1983)

219 Kandungan Serat dalam Pakan


menunjukkan bahwa maksimum NDF pakan untuk sapi periode
pertengahan dan akhir laktasi adalah 1,2 ± 0,1% dari BB per hari,
apabila konsumsi dibatasi oleh kapasitas rumen. Allen (1996)
menyarankan bahwa ransum dengan NDF yang terfermentasi dan
keluar dari rumen dengan cepat membutuhkan lebih banyak NDF
ransum karena lebih sedikit serat yang tertahan dalam rumen un-
tuk merangsang ruminasi, pengunyahan, dan aliran saliva. Namun,
terdapat keterbatasan informasi yang menghubungkan total waktu
mengunyah per kilogram konsumsi NDF dengan waktu pergantian
NDF dalam rumen. Hubung-an antara karbohidrat non-struktural,
bahan pati yang tersedia dalam rumen, dan NDF ransum sangat
penting dalam mempertahankan fungsi rumen yang tepat. Poore et
al. (1991) menyarankan bahwa rasio NDF hijauan terhadap bahan
pati yang terdegradasi dalam rumen harus sekitar 1:1 (berat/berat)
untuk menghindari depresi dalam pencernaan serat dan untuk
mempertahankan fungsi rumen yang normal. Nocek dan Russell
(1988) menunjukkan bahwa produksi susu akan maksimum apabila
rasio karbohidrat non-struktural terhadap NDF adalah antara 0,9
dan 1,2. Namun, Varga dan Whitsel (1991) menunjukkan bahwa tid-
ak ada hubungan antara rasio ini serta laju dan besaran pencernaan
DM atau NDF. Sebagian besar variasi (95%) dalam laju dan besaran
pencernaan NDF dijelaskan dengan komposisi senyawa gula dari
DM pakan atau komposisi senyawa gula dari fraksi dinding sel
(Varga dan Whitsel, 1991).
Belum banyak informasi tentang kebutuhan serat pakan pada
sapi selama periode segera setelah melahirkan sampai puncak lak-
tasi. Sapi pada awal laktasi secara nyata lebih dibatasi oleh isi fisik
daripada sapi selama pertengahan dan akhir laktasi (Robinson dan
McQueen, 1997). Sebagian besar pabrik pakan menggunakan kon-
sep ini dan memasarkan suplemen NDF tinggi (>45% NDF) berdasar-
kan sumber serat non hijauan untuk sapi awal laktasi. Terdapat
keterbatasan informasi tentang variasi besaran asam fermentasi
yang diproduksi, aktivitas mengunyah, dan volume air liur yang
disekresikan untuk sumber serat non-makanan, dan semuanya ber-
kontribusi untuk menentukan ke-butuhan konsentrasi NDF dalam
DM pakan.
Sebagian besar faktor yang memengaruhi kebutuhan serat pa-

Karbohidrat Pakan Ruminansia 220


kan pada sapi perah laktasi, termasuk DMI, besaran dan jenis kar-
bohidrat non-struktural dan struktural dalam DM ransum, ukuran
partikel dan metode pengolahan hijauan dan bebijian, laju dan be-
saran fermentabilitas sumber serat, dan feed bunk management.
Pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor ini diperlukan
untuk memaksimalkan konsumsi energi pada awal laktasi. Bab ini
membahas 1) rekomendasi untuk penggunaan serat pakan dalam
formulasi ransum, 2) penggunaan faktor kimia dan fisik untuk for-
mulasi ransum, dan 3) kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam
formulasi ransum ketika menentukan kebutuhan serat pakan pada
sapi produksi tinggi.

Rekomendasi penggunaan serat untuk formulasi ransum


Ruminansia membutuhkan pakan berserat dalam pakannya.
Namun, tidak mudah mendefinisikan kebutuhan spesifik untuk
konsumsi serat pakan harian, terutama untuk sapi perah ber-
produksi tinggi. Rasio hijauan terhadap konsentrat masih
digunakan dalam formulasi ransum, tetapi karena tingkat serat
dan kandungan hijauan sangat bervariasi, sebagian besar nutri-
sionis telah beralih dari penggunaan rasio hijauan terhadap kon-
sentrat ke sistem yang secara langsung mengukur kandungan serat
pakan (Tabel 1). Serat deterjen netral dan ADF adalah ukuran serat
yang cepat dan berulang untuk diaplikasikan yang secara rutin
digunakan untuk menciptakan ransum yang seimbang.

ADF. Sebagai komponen utama fraksi ADF bahan pakan terma-


suk selulosa dan lignin. Konsentrasi ADF dan lignin lebih berko-
relasi dengan kecernaan dibandingkan dengan konsumsi [r = -0,75
dan -0,46 masing-masing untuk kecernaan dan konsumsi ADF, (van
Soest et al., 1978)]. Sebagian besar faktor yang memengaruhi hub-
ungan antara ADF dan kecernaan, termasuk varietas hijauan, kema-
tangan atau umur tanaman saat panen, dan kondisi penyimpanan
(van Soest, 1965). Mathison (1990) mengembangkan persamaan
yang meng-hubungkan antara ADF dengan kandungan energi yang
dapat dicerna pada berbagai jenis hijauan. Hubungan tersebut ada-
lah alfalfa (r2 = 0,46); legum-rumput, (r2 = 0,58); rumput, (r2 = 0,34);
dan serealia utuh, (r2 = 0,34). Sebagian besar sistem yang digunakan

221 Kandungan Serat dalam Pakan


Tabel 1. Komposisi serat* pada beberapa hijauan pakan
Komposisi serat
Silase hijauan
NDF ADF Selulosa
Leguminosa 42 39 31
40-45 33-44 22-34
Rerumputan 62 41 34
55-68 37-44 31-37
Hijauan jagung 45 26 23
38-51 22-30 19-27
*Nilai tengah dengan kisaran hasil analisis.
Sumber: Varga et al. (1998).

untuk memberi pakan sapi perah didasarkan pada prediksi NE L dari


ADF serta kandungan NDF (NRC, 1989; Chandler, 1990). Namun, per-
samaan sumatif telah digunakan untuk menghitung nilai teoritis
maksimum untuk ketersediaan energi dari masing-masing kompo-
nen organik dalam pakan, bukan hanya fraksi ADF (Weiss, 1993).
Fraksi-fraksi ini termasuk NDF dan interaksi pencernaan negatif
lignin dan kandungan karbohidrat non-struktural, protein, dan le-
mak; yang memungkinkan varians kandungan abu pakan; dan
memperkirakan kehilangan feses metabolik.

NDF. Serat deterjen netral merupakan ukuran fraksi selulosa,


hemiselulosa, dan lignin pada pakan. Serat deterjen netral bukan-
lah entitas yang murni secara kimia, tetapi mewakili komponen
karbo-hidrat struktural dari pakan yang biasanya memerlukan ak-
tivitas mengunyah untuk penurunan ukuran partikel dan alirnya.
Lebih banyak mengunyah diperlukan untuk pakan dengan NDF
yang lebih tinggi, dan lebih sedikit mengunyah diperlukan saat
ukuran partikel serat berkurang. Swain dan Armentano (Swain dan
Armentano, 1994) menyarankan bahwa sumber serat non-hijauan
kira-kira setengah efektif dalam memberikan karakteristik fisik
serat seperti pada silase alfalfa apabila diganti dengan pakan ren-
dah serat. Namun, terdapat banyak variabilitas dalam mem-
perkirakan efektivitas sumber serat non-hijauan, terutama apabila
prediksi dibuat untuk total ransum yang mengandung bahan-bahan

Karbohidrat Pakan Ruminansia 222


ini (Swain dan Armentano, 1994).
Serat deterjen netral diduga lebih cocok untuk menentukan ke-
butuhan serat karena konsentrasi serat optimal yang menghasilkan
FCM maksimum telah terbukti lebih konsisten pada seluruh hi-
jauan untuk NDF daripada untuk ADF (Mertens, 1994). Rekomen-
dasi NRC (1989) untuk ADF belum berhasil mencerminkan bahwa
rasio hemiselulosa terhadap selulosa sangat bervariasi di antara
sumber serat pakan, terutama yang berkaitan dengan ransum ber-
basis alfalfa versus silase jagung. Penggunaan rekomendasi NRC
(1989) untuk ADF akan mengakibatkan pemberian NDF yang ber-
lebihan dalam kasus silase jagung, rerumputan, dan jerami (van
Soest et al., 1991). Selain itu, NDF telah digunakan untuk mem-
perkirakan nilai energi pakan (Merten, 1980, Weiss, 1993) dan te-
lah digunakan sebagai indeks berat jenis pakan dan nilai isi
(Merten, 1985). Waldo (1986) menyarankan bahwa NDF adalah
prediktor kimia tunggal terbaik dari DMI voluntari oleh ruminan-
sia. Selain itu, NDF telah dikaitkan dengan depresi kecernaan
dengan konsumsi yang tinggi (Merten, 1983). Model mekanistik
telah menggunakan NDF untuk memprediksi kandungan energi
hijauan (Conrad et al., 1984; Illius dan Allen, 1994) dan DMI untuk
ruminansia (Illius dan Allen, 1994). Hoover (1986) mengamati hub-
ungan linier antara persentase NDF dan DMI (r2 = 0,33). Van Soest
(1965) menunjukkan hubungan yang serupa (r2 = 0,76). Rekomen-
dasi NRC (1989) untuk ADF dan NDF masing-masing adalah 19 hing-
ga 21% dan 25 hingga 28%, dan 75% dari NDF harus diberikan se-
bagai hijauan. Kandungan NDF pakan sebesar 28 hingga 31% telah
disarankan untuk sapi antara minggu laktasi ke-10 sampai 26
(Kawas et al., 1991). Bagi sapi dalam masa laktasi yang
menghasilkan 16 hingga 24 kg FCM, disarankan kandungan NDF se-
besar 34 sampai 38% (Merten, 1987). NRC (1989) merekomendasi-
kan minimal 25% NDF untuk sapi berproduksi tinggi pada awal lak-
tasi. Meskipun kebutuhan serat sebagai persentase DM menurun
seiring dengan peningkatan produksi, pentingnya serat lebih pent-
ing ketika produksi tinggi (Allen, 1996). Tabel 2 menjelaskan pan-
duan konsumsi NDF yang berasal dari hijauan pakan.

223 Kandungan Serat dalam Pakan


Faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan serat dalam for-
mulasi ransum
Combs (1992) menelaah sembilan percobaan dan menyimpulkan
bahwa 4% dari produksi FCM menurun secara linier pada 0,44 kg
per unit persentase peningkatan NDF pakan, terutama karena kon-
sumsi NDF meningkat seiring proporsinya dalam TMR meningkat.
McQueen dan Robinson (McQueen dan Robinson, 1993) melaporkan
bahwa pada sapi perah yang diberi pakan TMR dengan rasio yang
luas dari silase alfalfa dan konsentrat barley, produksi susu
menurun sebesar 0,43 kg per unit persentase peningkatan NDF pa-
kan. Namun, Briceno et al. (1987) menunjukkan tidak terdapat hub-
ungan yang konstan antara tingkat NDF dengan DMI atau produksi
susu pada berbagai sumber hijauan (DMI = 0,005; produksi susu =
0,008). Hasil-hasil kajian tersebut menyimpulkan bahwa sumber
hijauan harus dipertimbangkan secara individual ketika NDF
digunakan untuk memformulasi ransum sapi perah. Namun,
temuan-temuan tersebut (Briceno et al., 1987) dapat menyesatkan
karena potensi produksi susu sapi ber-variasi di antara eksperimen,
dan NDF yang optimal bergantung pada potensi produksi sapi

Tabel 2. Pedoman tingkat konsumsi NDF hijauan*

NDF hijauan (% BB) Tingkat konsumsi NDF

0,75** Minimum, apabila ransum limbah pertanian


menyediakan 1,3-1,4% dari NDF total
0,85** Minimum, apabila ransum bebijian atau
tinggi berbahan pati menyediakan 1,1-1,2%
dari NDF total
0,90 Moderat rendah, dalam NDF total
0,95 Rerata (600 kg X 0,0095 = 5,7 kg NDF hijauan)
1,00 Moderat tinggi, dalam NDF total
1,20 Maksimum, dalam NDF total
*Disitasi dari Mertens, D. R. 1983; Mertens, D. R. 1985; Mertens, D. R. 1987;
Mertens, D. R. 1988; Mertens, D. R. 1994.
** Lebih tinggi dari minimum dibutuhkan apabila hijauan dicacah sangat
halus.
Sumber: Varga et al. (1998).

Karbohidrat Pakan Ruminansia 224


(Merten, 1987). Nocek dan Russel (1988) mengkaji 14 penelitian lak-
tasi (rerata DMI sebesar 20,9 kg per hari dan rerata produksi susu
adalah 31,9 kg per hari) dengan menggunakan 62 pakan. Konsentra-
si NDF berkorelasi (P < 0,01) dengan DMI (r2 = 0,48) tetapi pada ting-
kat yang lebih rendah dari-pada konsentrasi NEL. Konsentrasi NDF
tidak erat berkorelasi dengan produksi susu (r2 = 0,04) dalam basis
data ini. Jung dan Allen (1995) menelaah 28 penelitian yang
menghasilkan 99 pengamatan. Hasil telaahnya menunjukkan bahwa
DMI sebagai persentase BB sangat bervariasi dan konsentrasi NDF
pakan menjelaskan variasi yang kecil (r2 = 0,16). Apabila pakan
dengan kandungan NDF yang lebih besar dari 42% dihilangkan,
hubungan menjadi tidak signifikan (r2 = 0,03). Apabila beberapa
kumpulan data yang disebutkan sebelumnya di-evaluasi, beberapa
faktor perlu disebutkan yang memengaruhi apakah hubungan anta-
ra NDF dan DMI atau NDF dan FCM sangat berkorelasi. Sebagai con-
toh, Jung dan Allen (1995) mengevaluasi kumpulan data dengan kis-
aran konsentrasi NDF antara 20 sampai 55%, dan Hoover (1986)
mengevaluasi kumpulan data dengan kisaran konsentrasi NDF anta-
ra 30 sampai 45%. Apabila berbagai sumber hijauan dipartisi dalam
kumpulan data yang digunakan oleh Jung dan Allen (1995), seperti
alfalfa versus bromegrass, hubungan antara NDF dan DMI dan anta-
ra produksi NDF dan FCM sangat berkorelasi untuk bromegrass
tetapi tidak untuk alfalfa. Kumpulan data dari Putnam et al. (1997)
mengungkapkan bahwa koefisien untuk persamaan regresi
(konsumsi NDF sebagai persentase BB vs minggu pasca-melahirkan)
yang membandingkan pakan silase jagung dan pakan silase alfalfa
berbeda apabila konsumsi NDF dinyatakan sebagai persentase BB
untuk 4 minggu pertama pasca kelahiran (Gambar 1).
Mertens (1994) menggunakan data yang dikompilasikan oleh
Jung dan Allen (1995), dan memberikan interpretasi yang berbeda
apabila data dipartisikan berdasarkan produksi susu (Gambar 2).
Hubungan positif antara DMI dan NDF ditunjukkan oleh garis kebu-
tuhan energi untuk berbagai tingkat produksi susu. Korelasi negatif
antara persentase NDF dan DMI tinggi hanya jika pengaruh pengis-
ian (filling effect) dari pakan tinggi dalam kaitannya dengan kebu-
tuhan energi sapi (Merten, 1994). Namun, konsumsi NDF yang ting-
gi sebagai persentase BB pada awal laktasi tidak selalu hanya di-

225 Kandungan Serat dalam Pakan


Gambar 1. Hubungan antara konsumsi NDF (persentase BB dan minggu pasca melahirkan bagi
pakan silase hijauan jagung (panel atas). Persamaan yang menjelaskan regresi: konsumsi NDF,
persentase BB = 0,531 + 0,141x – 0,015X2; r2= 0,999. Hubungann antara konsumsi NDF (persentase
BB) dan minggu pasca melahirkan bagi pakan silase alfalfa (panel bawah). Persamaan yang
menjelaskan regresi: konsumsi NDF (persentase BB) = 0,379 + 0,0246x - 0,095x2; r2 = 0,999).
Sumber: Varga et al. (1998).

pengaruhi oleh isi fisik. Beauchemin et al. (1994) menunjukkan bah-


wa pakan dengan serat tinggi (32 vs 40% NDF) yang mengandung
barley mendorong ruminansi dan meningkatkan produksi susu
sambil mempertahankan lemak susu ketika besarnya cacahan silase
ditingkatkan dari 5 menjadi 10 mm. Nilai efektivitas NDF yang
ditentukan berdasarkan persentase lemak susu secara logis akan

Karbohidrat Pakan Ruminansia 226


Gambar 2. Hubungan antara NDF ransum (persentase DM) dan konsumsi
BK (persentase BB) yang dipengaruhi oleh produksi susu (20, 30, dan 40
kg/hari), apabila konsumsi dibatasi oleh energi (e) atau isi saluran
pencernaan (f). Konsumsi dibatasi oleh isi saluran pencernaan pada
kandungan NDF yang lebih rendah, dan pada tingkat produksi yang lebih
tinggi. Data diadopsi dari Mertens (1994). Sumber: Varga et al. (1998).

berbeda dengan nilai yang berpengaruh pada waktu mengunyah


(Allen, 1996). Banyak faktor, termasuk tahap laktasi, sumber serat
yang digunakan, dan cara ekspresi data, berkontribusi terhadap
variasi dalam hubungan antara persentase NDF dan DMI dan antara
persentase NDF dan produksi susu. Data diduga telah dinyatakan
dalam NDF ransum sebagai persentase DM, NDF ransum sebagai
persentase BB, atau konsumsi NDF total per hari ketika korelasi ini
dibuat, yang diduga juga memengaruhi hubungan yang diamati.
Masalah signifikan yang perlu diperhatikan selama perumusan ran-
sum untuk persentase serat yang optimal adalah bagaimana men-
jelaskan perbedaan di antara ternak. Ukuran dan merupakan meru-
pakan faktor-faktornya. Sapi yang lebih besar memiliki rumen yang
lebih besar dan, oleh karena itu, mungkin memerlukan lebih ban-
yak serat untuk merangsang gerakan rumen dan ruminasi; namun,
sapi dengan rumen yang lebih besar sebenarnya membutuhkan

227 Kandungan Serat dalam Pakan


lebih sedikit serat dibandingkan dengan sapi dengan rumen kecil
pada tingkat konsumsi tertentu (Allen, 1991). Sapi yang memiliki
rumen lebih besar memiliki laju aliran cairan dan padatan rumen
yang lebih lambat daripada sapi dengan rumen kecil, dan dengan
demikian telah mengurangi tingkat hasil produk akhir fermentasi;
tingkat pengenceran cairan yang tinggi biasanya mendorong per-
tumbuhan bakteri yang lebih besar. Serat pakan yang sedikit
diduga diperlukan untuk merangsang ruminasi dan produksi saliva
untuk sapi dengan rumen yang lebih besar. Meskipun beberapa
informasi (Hartnell dan Satter, 1979) telah menunjukkan bahwa
sapi pada awal laktasi memiliki kapasitas rumen yang lebih kecil
daripada sapi di tahapan laktasi selanjutnya, penelitian lanjut di-
perlukan untuk mengonfirmasi hasil observasi ini. Namun, sapi
pada awal laktasi lebih mudah menderita asidosis (Gentile et al.,
1986) daripada tahap-tahap laktasi berikutnya, terutama disebab-
kan oleh kapasitas rumen yang rendah, pengenceran yang tinggi,
dan tingginya produksi asam laktat akibat peningkatan pertum-
buhan mikroba (Allen, 1991).
Belum banyak bukti yang tersedia untuk menunjukkan bahwa
untuk penyeimbangan ransum, kebutuhan serat sebagai proporsi
BB lebih baik daripada menyeimbangkan ransum berdasarkan kon-
sen-trasi DM pakan. Data dari Putnam et al. (1997) menunjukkan
lemahnya hubungan antara BW dan konsumsi NDF per hari
(Gambar 3) bagi sapi perah laktasi hingga 6 minggu pasca kelahiran
(n = 60).
Oleh karena itu, penetapan cara terbaik untuk mengekspresikan
kebutuhan serat memerlukan kajian tambahan, terutama bagi sapi
awal laktasi dan untuk pakan dengan proporsi serat yang lebih be-
sar dari sumber selain hijauan. Sebuah hasil kajian on farm menun-
jukkan kelebihan dengan tersedianya kebutuhan porsi NDF yang
berasal dari hijauan. Sekelompok sapi perah laktasi yang dikelola
dengan baik di kawasan Timur Laut memroduksi susu dengan ka-
dar lemak yang rendah. Rerata produksi susu adalah 42 kg per
hari, tetapi kadar lemaknya adalah 2,8% (rerata kelompok ber-
produksi susu sebesar 10.455 kg, lemak 3,1%, dan protein 3,3%).
Evaluasi ransum tersebut menunjukkan sudah memenuhi kebu-
tuhan serat hanya untuk total konsumsi NDF per hari, konsumsi

Karbohidrat Pakan Ruminansia 228


NDF sebagai persentase BB, atau NDF sebagai persentase ransum
DM dievaluasi. Namun, apabila informasi tersebut dinyatakan ber-
dasarkan NDF hijauan, sebagai persentase BW, atau sebagai persen-
tase DM, maka menjadi jelas bahwa kebutuhan minimum belum
terpenuhi. Ransum sebelum perubahan memiliki kadar NFC yang
lebih tinggi sebagai persentase DM, yang menyebabkan rendahnya
kadar lemak susu.
Informasi yang disajikan sebelumnya bervariasi dalam deskripsi
hubungan antara konsentrasi NDF dan DMI. Beberapa alasan untuk
variabilitas ini telah dikutip oleh Nocek (1991): 1) kinetika digesta
yang terkait dengan tahap laktasi dapat memengaruhi pemanfaa-
tan NDF ruminal, 2) karakterisasi serat secara berbeda (yaitu sum-
ber serat non hijauan vs. sumber serat hijauan), 3) NDF bukanlah
entitas kimia yang seragam, dan 4) NDF tidak menjelaskan sebagi-
an besar variabilitas yang terkait dengan ketersediaannya di ru-
men [kandungan NDF vs kecernaan; r2= 0,2 (van Soest et al., 1978)].
Sebagian variabilitas ini berasal dari perbedaan komposisi gula
dari fraksi NDF legum versus fraksi NDF dari serat rumput (Tabel
4). Varga dan Whitsel (1991) menunjukkan bahwa lebih dari 95%
variasi dalam laju dan besaran hilangnya NDF dapat dijelaskan

Gambar 3. Hubungan antara konsumsi NDF dan berat badan (BB). Persamaan yang menjelaskan
regresi: konsumsi NDF (kg per hari): 0,637 + 0,013x; r2 = 0,35. Sumber: Varga et al. (1998).

229 Kandungan Serat dalam Pakan


Tabel 3. Komposisi senyawa gula* pada leguminosa dan rumput
Senyawa gula
Glukosa Xylosa Arabinosa
------------------ (% NDF) -------------------
Alfalfa 68 21 6,1
Orchardgrass 56 32 7,6
*Disitasi dari Varga dan Whitsel (1991).
Sumber: Varga et al. (1988).

oleh proporsi senyawa gula (arabinosa, xilosa, dan glukosa) dalam


DM atau NDF pakan. Laju hilangnya NDF paling negatif terkait
dengan rasio xilosa terhadap arabinosa dan proporsi xilosa pada
dinding sel. Perbedaan komposisi senyawa gula dan proporsi tercer-
na dapat berkontribusi ke variabilitas yang terkait dengan
penggunaan NDF untuk memprediksi DMI.
Rerata pencernaan NDF dalam rumen telah terbukti sekitar 44%
(kisaran 11 sampai 73%), dan NDF dari sumber serat non hijauan
rata-rata 55% (kisaran 30 sampai 95%; Nocek, 1991). Selain itu,
sebanyak 15% protein dalam pakan dapat dikaitkan dengan fraksi
NDF, ter-utama pada pakan yang mendapatkan perlakuan panas,
dan dapat menyebabkan estimasi kandungan serat yang kurang
akurat (Aldrich et al., 1996). Organisme selulolitik rumen memiliki
kebutuhan nitrogen amonia (Varga dan Kolver, 1997). Apabila seba-
gian dari kumpulan data yang digunakan untuk mengevaluasi hub-
ungan antara NDF dan DMI, akan ditemukan variasi yang besar da-
lam protein dan fraksi protein DM ransum (Varga dan Kolver,
1997). Kandungan protein (CP) kasar dalam ransum DM bervariasi
antara 15,5 sampai 18%, RDP sebagai persentase CP berkisar antara
35 sampai 75%, dan RUP sebagai persentase CP berkisar antara 25
sampai 65%. Secara umum, hubung-an NDF dengan DMI lebih kuat
pada semua hijauan atau pakan ber-hijauan tinggi, dan hubungan
yang lebih baik telah dicapai dalam hijauan.

Kecernaan serat dalam rumen


Kecernaan serat biasanya didefinisikan sebagai proporsi serat
terkonsumsi yang tidak diekskresikan dalam feses. Serat mengan-
dung fraksi yang tidak dapat dicerna dan satu atau lebih fraksi yang

Karbohidrat Pakan Ruminansia 230


ber-potensi dapat dicerna, yang masing-masing terdegradasi
dengan kecepatan yang berbeda. Proses pencernaan serat terdiri
dari hidrolisis polisakarida dan konversi monosakarida menjadi
VFA, gas fermentasi, dan panas (Tamminga, 1993). Laju hidrolisis
umumnya merupakan faktor pembatas dalam pencernaan serat
dalam rumen (Tamminga et al., 1990). Laju hidrolisis dibatasi oleh
penetrasi jauh ke dalam kompleks lignin-polisakarida oleh enzim
yang mendegradasi dinding sel (Chesson, 1988). Besaran pen-
cernaan serat bergantung pada ukuran fraksi yang tidak dapat dic-
erna dan persaingan antara laju degradasi dan laju yang keluar dari
rumen.
Kecernaan serat dari sumber hijauan dan bebijian sangat ber-
variasi di rumen (13,5 sampai 78%) (Varga dan Kolver, 1997). Meski-
pun kecernaan serat hijauan tidak konstan pada semua ternak atau
semua kondisi makan, banyak dari variasi ini disebabkan oleh per-
bedaan komposisi dan struktural dari hijauan, waktu pemanenan,
dan tinggi tanaman saat panen. Fraksi NDF yang tidak dapat dic-
erna merupakan faktor utama yang mempengaruhi pemanfaatan
sumber karbohidrat serat karena sangat bervariasi dan dapat
melebihi lebih dari setengah dari total NDF dalam rumen. Hasil
studi oleh Huhtanen dan Khalili (1991) menunjukkan hubungan
negatif antara kecernaan in vivo NDF (Gambar 4). Apabila
kecernaan NDF dalam rumen meningkat, pool NDF dan NDF yang
dapat dicerna menurun pada tingkat yang sama, tetapi penurunan
fraksi NDF yang tidak dapat dicerna lebih lambat. Sebagai alter-
natif, faktor-faktor pakan, yang mendorong penurunan pencernaan
NDF dalam rumen dengan memengaruhi lingkungan rumen, akan
meningkatkan ukuran pool rumen dari komponen NDF, terutama
fraksi yang dapat dicerna. Penurunan daya cerna serat rumen
dapat mengurangi konsumsi serat apabila isi rumen membatasi
DMI, seperti pada awal laktasi. Namun pada satu jenis hijauan, ter-
dapat hubungan yang baik antara kandungan serat dan fraksi yang
tidak dapat dicerna, tetapi, di antara hijauan, terdapat perbedaan
yang penting (Tamminga, 1993). Sebagai contoh, pada persentase
serat pakan yang lebih tinggi (55% NDF), terdapat hampir setengah
jumlah residu serat yang tidak dapat dicerna untuk jerami rumput
daripada jerami alfalfa (Sutherland, 1988; Tamminga, 1993). Mes-

231 Kandungan Serat dalam Pakan


Gambar 4. Hubungan antara ukuran pool rumen NDF total, NDF tercerna, dan NDF tidak tercerna
serta kecernaan NDF secara in vivo. Kurva dimodifikasi dari Huhtanen dan Khalili (1991). Sumber:
Varga et al. (1998).

kipun tersedia informasi tentang ukuran fraksi serat yang tidak


dapat dicerna dari beberapa sumber hijauan, informasi masih di-
perlukan terkait sumber serat non-hijauan serta tentang porsi
fraksi yang sebenarnya tercerna dari fraksi total yang berpotensi
tercerna.
Sebagian besar faktor pakan, termasuk NDF tidak tercerna, ber-
interaksi untuk membatasi konsumsi; namun, faktor-faktor lain
juga penting, seperti laju fermentasi karbohidrat mudah terfer-
mentasi. Oleh karena itu, laju fermentasi untuk NDF yang berpoten-
si dapat difermentasikan merupakan faktor utama lain yang me-
mengaruhi pemanfaatan serat. Meskipun hijauan umumnya lebih
tinggi kandungan seratnya daripada sumber serat non hijauan, be-
berapa di-antaranya dapat dicerna pada tingkat yang lebih tinggi
daripada beberapa produk samping serat pakan non hijauan. Oleh
karena itu, terdapat keutamaan dari penggantian sumber hijauan
seperti jerami alfalfa yang berkualitas tinggi dengan sumber serat
non hijauan untuk mengurangi laju fermentasi dalam rumen. Ke-
cepatan keluarnya serat dari rumen memengaruhi kecernaan serat
di rumen. Laju pengaliran partikel dipengaruhi terutama oleh DMI,
meskipun ukuran partikel pakan, jenis serat pakan, tingkat kar-
bohidrat nonstruktural, dan laju pencernaan fraksi serat yang ber-

Karbohidrat Pakan Ruminansia 232


potensi dapat dicerna juga memengaruhi laju pengaliran. Banyak
kajian yang membahas tentang gangguan karbohidrat non-
struktural terhadap besaran pencernaan serat. Pengaruh utamanya
adalah penurunan pH rumen (Tamminga et al., 1990) dan pengaruh
negatif terhadap pencernaan serat, yang diduga merupakan hasil
dari preferensi karbo-hidrat nonstruktural; bakteri pencerna serat
dapat ditumbuhi oleh bakteri amilolitik saat bersaing untuk nutri-
en yang sama, atau enzim pendegradasi serat dapat langsung
dihambat oleh karbohidrat nonstruktural atau produk pen-
cernaannya (Hoover, 1986). Urutan pemberian pakan dapat
berdampak nyata terhadap stabilitas pH rumen. Nocek (1991)
menunjukkan bahwa pemberian bahan pakan dan hijauan yang
sama dengan strategi yang berbeda dapat memengaruhi lamanya
waktu pH tetap di bawah minimum kritis. Periode pH rendah yang
lebih lama sepanjang hari diduga memiliki dampak merugikan
yang lebih besar terhadap kesehatan rumen dan DMI daripada
periode pH rendah yang singkat; Namun, penelitian lebih lanjut di-
perlukan untuk mengeksplorasi topik ini sepenuhnya.
Pengaruh bahan pati terhadap pencernaan serat bervariasi
dengan sumber bahan pati (Tabel 4). Penggantian jagung dengan
barley memiliki pengaruh negatif terhadap kecernaan serat
(Herrera-Saldana et al., 1990). Dalam percobaan yang dilakukan di
Institute for Livestock and Feeding Research (Tamminga, 1993),
pengaruh sumber pati yang berbeda (singkong, barley, dan jagung)
dikaji untuk menentukan pengaruhnya terhadap pencernaan serat.
Singkong dan barley me-miliki pengaruh yang lebih nyata pada
ukuran pool NDF dalam rumen seiring dengan bertambahnya waktu
setelah pemberian pakan (Gambar 5). Kecernaan semu dari serat
masing-masing adalah 55,1 dan 56,3% untuk pakan yang mengan-
dung barley dan singkong, dan 63,6% untuk pakan yang mengan-
dung jagung. Banyak percobaan juga menunjukkan bahwa sumber
serat non-hijauan, seperti pulp bit, pulp jeruk, dan biji kapas utuh,
memiliki pengaruh positif terhadap pencernaan serat karena
jumlah serat dalam ransum meningkat dengan menggunakan sum-
ber serat non-hijauan ini.
Pada formulasi ransum ruminansia, ransum dapat dimanipulasi
sedemikian rupa sehingga ternak tersebut dapat meningkatkan

233 Kandungan Serat dalam Pakan


Gambar 5. Ukuran pool NDF rumen pada sapi perah sebagai akibat pengaruh bahan pati barley,
singkong, atau jagung; dan waktu (jam) pasca pemberian pakan. Data diadopsi dari Tamminga et
al. (1990). Sumber: Varga et al. (1998).

kapasitasnya untuk mengkonsumsi sejumlah besar ransum berserat


melalui tiga mekanisme: peningkatan laju pencernaan mikroba, pe-
ningkatan laju pengaliran, atau peningkatan kapasitas rumen un-
tuk menampung bahan. Bosch (1991) menunjukkan bahwa kliransi
rumen (ruminal clearance) (yaitu kombinasi laju degradasi dan laju
keluarnya pakan dari rumen) dan variasi kapasitas penahanan
(holding capacity) tidak saling bergantung satu sama lain. Faktor-
faktor utama yang menyebabkan variasi tersebut adalah produksi
susu, persentase NDF hijauan, kadar konsentrat pada DM pakan,
dan BB. Variasi isi maksimum diduga bertanggung jawab untuk
sekitar dua pertiga dari variasi kapasitas rumen (isi rumen × laju
kliransi) atau DMI. Produksi susu didugaa menjadi faktor penting
yang menentukan kapasitas rumen dan menyumbang 76% dari
variasi isi total. Temuan ini sesuai dengan hasil Waldo (1986), batas
fisik rumen bersifat elastis dan menjadi lebih besar seiring dengan
defisit dalam memenuhi dorongan meta-bolisme yang semakin be-
sar. Produksi susu merupakan penguras energi metabolik utama
untuk sapi perah dan mewakili kapasitas untuk penggunaan ener-
gi (Tamminga 1993).
Sutherland (1988) menunjukkan bahwa setengah partikel dalam
rumen lebih kecil dari partikel terbesar dalam feses. Partikel yang
mengandung lebih banyak serat tercerna mendukung lebih banyak

Karbohidrat Pakan Ruminansia 234


produksi gas, memberikan daya apung yang lebih besar pada
partikel tersebut, yang membuatnya cenderung tidak mengalir
dari rumen. Partikel dengan konsentrasi serat terfermentasi secara
cepat yang rendah, seperti serat alfalfa, diduga melewati lebih ce-
pat daripada partikel dengan serat lambat terfermentasi yang
lebih banyak, seperti serat dari rumput (Allen dan Oba, 1996; Jung
dan Linn, 1988). Apabila waktu retensi rumen diasumsikan di-
pengaruhi oleh tahap laktasi, sapi pada awal laktasi diduga mem-
iliki waktu retensi rumen selama 30 jam untuk NDF, dan sapi pada
akhir laktasi diduga memiliki waktu retensi rumen sekitar 45 jam.
Fraksi NDF alfalfa yang berpotensi dapat di-cerna dapat hampir
seluruhnya tercerna dalam rumen sapi pada awal laktasi; bahwa
rumput hanya dapat dicerna 65% dengan waktu yang sama. Pada
waktu retensi rumen yang lebih pendek, legum mungkin memiliki
kecernaan DM yang lebih tinggi karena kandungan NDFnya yang
lebih rendah dan kecernaan NDF yang lebih rendah daripada
rumput (Varga dan Whitsel, 1991). Laju pencernaan yang lebih ce-
pat pada serat alfalfa yang berpotensi tercerna dapat meningkat-
kan DMI yang lebih besar karena lebih cepatnya laju pengaliran.
Namun, rumput diduga memiliki daya cerna NDF yang lebih besar
apabila diberikan pada sapi dengan waktu retensi yang lebih lama,
seperti sapi pada akhir laktasi atau pada periode kering. Oleh kare-
na itu, rumput diduga memiliki daya cerna yang sama atau lebih
besar dari-pada legum apabila diberikan pada sapi dengan waktu
retensi rumen yang lebih lama. Persediaan hijauan dapat divaria-
sikan untuk mengakomodasikan sapi dengan kondisi fisiologis
yang berbeda.
Allen dan Oba (1996) mengevaluasi hubungan antara kecernaan
serat dan kinerja hewan menggunakan 45 kumpulan data hasil
perlakuan dari 27 artikel yang diterbitkan dalam Journal of Dairy
Science. Artikel-artikel tersebut melaporkan perbedaan pada
kecernaan NDF secara in vivo, in situ, atau in vitro. Hasil-hasil
penelitian menunjukkan bahwa rerata DIM sebesar 100 pada titik
tengah yang diklasifikasikan sebagai awal laktasi, dan yang lainnya
diklasifikasikan sebagai per-tengahan laktasi. Kecernaan serat pa-
kan yang dievaluasi untuk sapi pada awal laktasi berbeda sebesar
5,2% dan 9% unit untuk sapi pada kumpulan data pertengahan lak-

235 Kandungan Serat dalam Pakan


tasi. Sapi pada awal laktasi dengan porsi kecernaan serat hijauan
yang tinggi mengonsumsi lebih dari 1,18 kg DM (n = 16; P<0,004)
dan menghasilkan FCM 1,23 kg per hari lebih banyak daripada sapi
yang diberi pakan dengan porsi kecernaan serat hijauan yang lebih
rendah. Besaran DMI tidak terpengaruh oleh kecernaan hijauan
pada sapi pertengahan laktasi. Perbedaan pengaruh kecernaan se-
rat pada DMI diduga terkait dengan tahapan laktasi. Apabila sapi
berada dalam keseimbangan energi negatif, konsumsi dikendalikan
oleh isi fisik selama diberikan pakan dengan porsi kecernaan serat
hijauan yang tinggi (Dado dan Allen, 1995; Dado dan Allen, 1996;
Johnson dan Combs. 1991). Konsentrasi NDF dalam pakan berko-
relasi negatif dengan DMI karena serat terfermentasikan secara
perlahan dan bertahan di rumen lebih lama daripada kom-ponen
pakan lainnya. Namun, serat yang lebih mudah tercerna dapat me-
rangsang konsumsi karena lebih cepat menghilang dari rumen dan

Tabel 4. Laju dan besaran degradasi NDF secara in situ dan kandungan
NDF beberapa bahan pakan*
Besaran
Bahan pakan Laju pencernaan
NDF
degradasi
NDF**
per jam ----------- (%) -----------

Oats 0,270 36,7 26,4


Barley 0,145 28,0 58,0
Gandum biasa 0,144 40,0 52,1
Bebijian distiller 0,072 38,5 76,6
Bebijian brewer 0,071 65,0 50,8
Corn gluten pakan 0,065 39,0 42,1
Bubur beet 0,055 55,7 68,9
Alfalfa kering 0,078 48,2 34,6
Orchardgrass kering 0,056 71,4 50,0
Silase hijauan jagung 0,082 49,3 32,3
*Disitasi dari Varga dan Hoover (1983).
**Dinyatakan sebagai persentase pencernaan NDF selama 24 jam.
Sumber: Varga et al. (1998).

Karbohidrat Pakan Ruminansia 236


dapat menciptakan ruang untuk porsi pakan selanjutnya. Besaran
DMI sapi pada pertengahan atau akhir laktasi, bagaimanapun,
cenderung dibatasi oleh isi fisik daripada oleh kemampuan proses
metabolisme tubuh sapi untuk memanfaatkan nutrien yang diserap
untuk tujuan produktif (Forbes, 1980). Oleh karena itu, bergantung
pada produksi, sapi pada pertengahan dan akhir laktasi diharapkan
kurang merespon terhadap peningkatan DMI karena peningkatan
kecernaan serat (Robinson dan McQueen, 1997). Hal yang menarik,
perhitungan Allen dan Oba (1996) dari kajian telaah ini menunjuk-
kan bahwa peningkatan satu unit persentase dalam pencernaan
NDF menghasilkan peningkatan produksi susu sebesar 0,23 kg per
hari. Perubahan ini dapat dengan mudah mengimbangi penurunan
0,09 kg dalam produksi susu per unit persentase peningkatan kon-
sentrasi NDF pakan yang ditunjukkan oleh Combs (1992) dalam
sembilan hasil penelitian yang dievaluasi.
Semua penelitian tidak secara konsisten membuktikan hipotesis
bahwa kliransi NDF dari rumen dapat lebih cepat, yang memung-
kinkan lebih banyak ruang untuk memungkinkan peningkatan be-
sar-an DMI, apabila fermentabilitas serat dalam rumen lebih tinggi.
McQueen dan Robinson (1993) dan Robinson dan McQueen (1997)
menunjukkan bahwa sapi dengan pakan hijauan sangat mudah ter-
fermentasi dan relatif tinggi NDF memiliki produksi susu yang lebih
tinggi tetapi memiliki ukuran pool rumen yang lebih kecil, dan tidak
menunjukkan perubahan DMI dibandingkan dengan sapi yang
diberi pakan hijauan kurang mudah terfermentasi. Apabila ruang
rumen tersedia, sapi seharusnya mengkonsumsi lebih banyak DM.
Varga et al. (1984) memberikan pakan pada sapi awal laktasi dengan
rendah atau tinggi isi fisik, serta diformulasikan dengan perbedaan
laju dan besaran pencernaan NDF. Meskipun sapi menghasilkan
lebih banyak produksi susu dan protein susu secara signifikan pada
pakan rendah isi fisik, dan memiliki hampir dua kali lipat lebih
sedikit DM dalam rumen, sapi tidak mengkonsumsi lebih banyak
pakan daripada sapi yang diberi dengan isi fisik tinggi. Miller et al.
(1990) menggunakan pakan dengan NDF sedikit lebih rendah (39,4
vs 34,2% NDF) untuk membandingkan antara pakan rendah dan
tinggi isi fisik, mengamati perbedaan sebesar 0,76 kg DMI dan pen-
ingkatan produksi susu se-besar 3 kg. Pada penelitian Robinson dan

237 Kandungan Serat dalam Pakan


McQueen (1987) dengan sapi pertengahan laktasi, yang diberi pa-
kan hijauan dengan berbagai tingkat fermentabilitas dan porsi kon-
sentrat, sapi menanggapi pakan yang lebih mudah tercerna dengan
meningkatkan DMI dan produksi susu. Variasi dalam hasil-hasil
kajian ini dapat dikaitkan dengan sebuah kombinasi beberapa
faktor. Potensi produksi susu dari sapi dapat berbeda sebagaimana
perbedaan sumber serat hijauan dan sumber serat non hijauan
yang digunakan dalam ransum. Selain itu, keadaan fisiologis sapi
juga dapat berbeda. Faktor yang paling penting diduga masih be-
lum diketahui, dan ini merupakan kontribusi dari pool serat tidak
tercerna terhadap konsumsi beserta daya cerna dari pool serat yang
berpotensi dapat dicerna. Alasan utama kurang-nya pengaruh DMI
diduga adalah NDF yang berpotensi tercerna dari partikel kecil tid-
ak dapat meningkatkan aktivitas ruminasi, dan oleh karena itu
dapat mempertahankan banyak karakteristik keambaan-nya, dan
berkontribusi pada isi rumen. Kajian lebih lanjut diperlukan untuk
mengukur kontribusi serat hijauan dan ragam sumber serat non
hijauan terhadap total aktivitas mengunyah dan keambaan rumen.

Kontribusi sumber serat bukan hijauan terhadap NDF dalam


bahan kering ransum
Beragam sumber serat non-hijauan, seperti kulit kedelai, biji
kapas utuh, bebijian limbah penyulingan, dan bekatul gandum, te-
lah digunakan dalam ransum sapi laktasi untuk melengkapi serat
hijauan konvensional. NRC (1989) merekomendasikan bahwa 75%
dari NDF total pakan berasal dari hijauan: 28% NDF × 75% = 21% NDF
hijauan (persentase DM ransum). Namun, Sarwar et al. (1992) meng-
ganti NDF hijauan dengan NDF kulit kedelai dan menemukan bahwa
60% NDF hijauan dapat mencukupi untuk merangsang fungsi ru-
men dan produksi susu apahila pakan mengandung 31% NDF. Per-
sentase NDF pakan dari hijauan mungkin tidak mencerminkan
keberadaan serat efektif secara memadai, apabila produk samping
tinggi serat diberikan sebagaimana serat dinyatakan sebagai NDF
hijauan (Harmison et al., 1997). Ukuran partikel dan spesies hijauan
merupakan variabel yang perlu dievaluasi secara cermat dalam
kombinasi dengan konsentrasi NDF hijauan untuk menentukan
kecukupan konsentrasi NDF dalam ransum. Pada percobaan jangka

Karbohidrat Pakan Ruminansia 238


pendek, Harmison et al. (1997) menggunakan kulit kedelai sebagai
sumber serat non-hijauan utama, dan menunjukkan bahwa sapi
tidak mengalami masalah kesehatan, apabila diberikan ransum
yang mengandung NDF hijauan 16% (basis DM). Selain itu, tidak
ada perubahan yang diamati pada DMI atau produksi susu.
Pertimbangan utama apabila sumber pakan produk samping
yang tinggi serat digunakan untuk menggantikan hijauan adalah
potensi untuk merangsang aktivitas mengunyah dan fungsi rumen.
Mooney dan Allen (1993) membandingkan efektivitas NDF biji ka-
pas utuh dan silase alfalfa. Dua silase alfalfa dibandingkan dengan
panjang potongan teoretis 4,8 dan 9,5 mm, serta biji kapas meng-
gantikan 0 atau 27% alfalfa NDF. Apabila biji kapas utuh disertakan
dalam ransum, DMI dan produksi susu meningkat. NDF efektif
yang dihitung dari biji kapas masing-masing adalah 41 dan 78%
dari total NDF dibandingkan dengan NDF efektif dari silase alfalfa
yang dipotong lebih panjang dan lebih pendek. Beberapa perco-
baan (Beauchemin, 1994; Clark dan Armentano, 1993; Depies dan
Armentano. 1995; Swain dan Armentano, 1994) menggunakan
persentase lemak susu sebagai bio-assay untuk efektivitas serat dari
berbagai pakan produk samping. Perubahan persentase lemak susu
tidak selalu menunjukkan efek-tivitas fisik bahan pakan berserat.
Beberapa percobaan ini dilakukan dengan sapi pada pertengahan
atau akhir laktasi, dan seperti yang telah dibahas sebelumnya,
tahap laktasi dapat mengubah nilai efektivitas pakan. Clark dan
Armentano (1993) menemukan bahwa NDF biji kapas utuh adalah
1,3 kali lebih efektif daripada NDF silase alfalfa; efektivitas NDF
bebijian limbah penyulingan adalah sekitar 0,9.
Hal yang penting, nilai efektif negatif dapat diperoleh untuk
umpan produk samping apabila konsentrasi ADF dan NDF dalam
ransum melebihi rekomendasi NRC (Chase, 1994; NRC, 1989). Oleh
karena itu, nilai NDF yang efektif dari suatu pakan dapat bervariasi
bergantung pada bahan pakan lain dan pada kualitas NDF hijauan
yang diganti dengan pakan non-hijauan tersebut.
Clark dan Armentano (Clark dan Armentano, 1997) mengevalua-
si efektivitas dari kombinasi sumber serat non-hijauan: biji kapas
berserat utuh, bebijian limbah penyulingan, dan dedak gandum.
Nilai prediksi untuk efektivitas NDF sebesar 0,84 lebih tinggi da-

239 Kandungan Serat dalam Pakan


ripada nilai yang diamati sebesar 0,54 untuk campuran. Pem-
bandingan satu eksperimen dengan eksperimen lainnya tidak mu-
dah dilakukan apabila tidak menggunakan serat standar. Namun,
karakteristik kualitas hijauan berubah dari satu panen ke panen
lainnya dan dari satu musim ke musim lainnya, membuat hijauan
standar sulit dipertahankan.
Mertens (1994) menyarankan bahwa faktor-faktor penyesuaian
sederhana dapat digunakan apabila sumber serat non-hijauan
menggantikan NDF hijauan. Pakan berserat non-hijauan yang digil-
ing halus dan mengandung NDF lebih besar dari 40% harus diberi-
kan nilai NDF yang disesuaikan sebesar 12%. Lebih dari 40% akan
dengan NDF semacam ini dianggap hanya memiliki 30% pengaruh
pengisian hijauan panjang.

Penggunaan kriteria serat hijauan dan bukan hijauan untuk


formulasi ransum
Sebagian besar faktor yang harus diperhatikan dalam formulasi
ransum sapi perah berproduksi tinggi, terutama pada awal laktasi.
Allen (1996) menjelaskan beberapa kriteria untuk menyesuaikan
ransum NDF yang dimulai pada titik tengah 30%. Kriteria ini meli-
puti panjang partikel hijauan, frekuensi pemberian pakan bebijian,
penggunaan senyawa penyangga (buffer), kecernaan bahan pati di
rumen, kecernaan serat, dan penggunaan pakan produk samping.

Ukuran hijauan. Apabila 5 sampai 10% silase memiliki ukuran


partikel 19 mm, maka tidak diperlukan penyesuaian. Kandungan
NDF ransum dapat diturunkan 2 unit apabila pakan silase yang
diberikan sebagian besar mengandung partikel (>15%) 19 mm, atau
apabila diberikan pakan rumput kering yang panjang. Kandungan
NDF ransum harus ditingkatkan 2 unit apabila sebagian kecil hi-
jauan hanya memiliki partikel yang panjang (19 mm). Kandungan
NDF ransum harus ditingkatkan hingga 4 unit apabila silase yang
diberikan dicincang sangat halus tanpa disertai partikel yang pan-
jang.

Frekuensi pemberian bebijian. Kandungan NDF pakan harus di-


kurangi 1,5 unit apabila bebijian diberikan empat kali per hari atau

Karbohidrat Pakan Ruminansia 240


apabila diberikan pakan komplit (total mixed ration, TMR); kandung-
an NDF pakan harus dikurangi 1,5 unit apabila bebijian diberikan
dua kali sehari atau kurang.

Senyawa penyangga. Apabila senyawa penyangga diberikan, tidak


diperlukan penyesuaian konsentrasi NDF pakan. Konsentrasi NDF
harus diturunkan 1 unit apabila senyawa penyangga (buffer) diberi-
kan pada 0,5 sampai 1% dari DM ransum.

Kecernaan bahan pati dalam rumen. Apabila ransum mengandung


75 sampai 80% bahan pati mudah tercerna di rumen, tidak dibutuh-
kan penyesuaian. Kandungan NDF ransum harus ditingkatkan sam-
pai 2 unit apabila ransum mengandung 65 sampai 75% bahan pati
mudah tercerna di rumen. Kandungan NDF pakan harus ditingkat-
kan sampai 2 unit apabila pakan mengandung lebih dari 80% bahan
pati mudah tercerna di rumen.

Kecernaan serat. Apabila menggunakan hijauan dalam ransum


tidak dibutuhkan penyesuaian. Kandungan NDF ransum harus di-
tingkatkan sampai 2 unit apabila ransum menggunakan hijauan
dengan kecernaan NDF yang sangat tinggi (hijauan muda).
Produk samping tanaman pangan sebagai pakan. Apabila ran-
sum mengandung produk samping dengan kadar serat yang tinggi,
tidak dibutuhkan penyesuaian. Kandungan NDF ransum harus dit-
ingkatkan sampai 2 unit apabila produk samping berserat tinggi
diberikan dengan ukuran partikel halus sampai 10% dari DM ran-
sum (dibutuhkan lebih sedikit penyesuaian untuk biji kapas utuh).
Kombinasi pelet hijauan dan produk samping berserat tinggi harus
dibatasi < 30% dari total serat yang dibutuhkan.
Pada semua skenario, total pengurangan netto tidak boleh me-
lebihi 5%, dan konsentrasi NDF ransum terendah yang direkomen-
dasikan adalah 25%. Nocek dan Russel (1988) menunjukkan, ketika
NDF hijauan diganti dengan sumber serat non-hijauan, karena
sumber non-hijauan memiliki efisiensi sebesar dua pertiga dari
NDF hijauan dalam merangsang produksi saliva, maka harus diper-
timbangkan beberapa penyesuaian ransum. Sebagai contoh pada
perubahan pakan, persentase NDF hijauan dalam DM ransum di-

241 Kandungan Serat dalam Pakan


ganti dengan sumber serat non-hijauan dengan mengurangi NDF
hijauan dari 21 menjadi 16%, sehingga perbedaannya adalah 5 unit.
Secara umum, sumber serat non hijauan memiliki efisiensi sebesar
dua per tiga dalam menggantikan NDF hijauan (5/0,67 = 7,5). Nilai
tersebut dapat digunakan untuk mereduksi karbohidrat non-
struktural total dalam ransum. Apabbila dalam contoh ini total kar-
bohidrat non-struktural adalah 40%, maka karbohidrat non-
struktural akan berkurang menjadi 32,5% ( 40 – 7,5 = 32,5%).

Sebagai penutup bab, sapi perah membutuhkan bahan pakan


berserat dalam pakannnya. Namun, mendefinisikan kebutuhan se-
rat mensyaratkan pemahaman tentang banyak komponen yang
berinteraksi dalam pakan serta bagaimana pengalokasian dan pem-
rosesan pakan. Pakan terdiri dari konsentrat dalam jumlah besar
dan hijauan berkualitas tinggi yang mengandung serat dalam
jumlah yang relatif rendah dalam rangka memenuhi kebutuhan
energi pada sapi perah berproduksi tinggi. Namun, sebagian besar
serat perlu berasal dari hijauan untuk mempertahankan fungsi ru-
men dan persentase lemak susu yang normal. Rekomendasi NRC
adalah minimum 25 hingga 28% serat deterjen netral, 75% di an-
taranya disuplai dari hijauan. Serat pakan bervariasi sesuai
keefektifannya dalam me-rangsang pengunyahan, sehingga karak-
teristik kimia serat pakan saja belum memadai untuk formulasi
ransum yang seimbang. Variasi ini lebih besar apabila pakan
mengandung produk samping pertanian dalam porsi besar sebagai
pengganti hijauan. Efektivitas dalam stimulasi pengunyahan serat
bervariasi karena terdapat keragaman dalam ukuran partikel dan
waktu retensi serat tidak tercerna dan serat tercerna. Belum ban-
yak informasi tentang kebutuhan serat pakan pada sapi sejak sege-
ra setelah melahirkan sampai puncak laktasi. Pada awal laktasi
secara nyata serat lebih dibatasi hanya sebagai pengisian fisik da-
ripada pertengahan dan akhir laktasi. Beberapa kajian membahas
ransum berberbasis sumber serat bukan hijauan (>45% serat deter-
jen netral pada bahan kering) untuk sapi pada awal laktasi. Infor-
masi dibutuhkan untuk menentukan variasi besaran asam fermen-
tasi yang diproduksi, aktivitas mengunyah, dan besaran saliva yang
disekresikan, karena semua ini berkontribusi pada efektivitas fisik

Karbohidrat Pakan Ruminansia 242


serat.
Efektivitas fisik pakan secara relatif terhadap nilai standar
umum selayaknya dikaji lebih lanjut. Perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut untuk mengkaji pengaruh distribusi ukuran partikel
bahan pakan berserat terhadap aktivitas mengunyah, khususnya
pada hubungan total waktu mengunyah per kilogram NDF dengan
waktu pergantian NDF di rumen. Hubungan antara protein dan kar-
bohidrat non struktural dan model interaksinya untuk
mempengaruhi kebutuhan serat memerlukan penelitian lebih
lanjut, terutama karena faktor-faktor ini memengaruhi kebutuhan
serat dari sapi pada awal laktasi. Sebagai pamungkas, kontribusi
serat tidak tercerna di rumen serta kecernaan fraksi serat yang
berpotensi tercerna di rumen, dapat memberikan beberapa wawa-
san tentang variasi yang terkait dengan DMI untuk pakan yang
mengandung serat tercerna dalam jumlah tinggi.

Daftar Pustaka

Aldrich, J.M., L.A. Holden, L.D. Muller, and G.A. Varga.


1996. Rumen availabilities of nonstructural carbohy-
drate and protein estimated from in situ incubation of
ingredients versus diets. Anim. Feed Sci. Technol. 63:
257–271.
Allen, M.S. 1991. Carbohydrate Nutrition. Vet. Clin.
North Am. Food Anim. Pract. 7: 327–340.
Allen, M.S. 1996. Fiber requirements for dairy cattle? How
low can you go? Proc. Calif. Nutr. Conf. Univ. Calif., Davis.
p. 12–18.
Allen, M.S., and M. Oba. 1996. Increasing fiber digestibil-
ity may increase energy density, dry matter intake.
Feedstuffs. 18:13–17.
Beauchemin, K.A., B.I. Farr, L.M. Rode, and G.B. Schaalje.
1994. Optimal neutral detergent fiber concentration of
barley- based diets for lactating dairy cows. J. Dairy Sci.
77: 1018–1029.
Bosch, M.W. 1991. Influence of stage of maturity of
grass silages on digestion processes in dairy cows. Ph.D.

243 Kandungan Serat dalam Pakan


Diss., Agric. Univ., Wageningen, Wageningen.
Briceno, J.V., H.H. VanHorn, B. Harris, and C.J. Wilcox.
1987. Effects of neutral detergent fiber and roughage
on dry matter intake and milk yield and composition
of dairy cows. J. Dairy Sci. 82: 298–308.
Chandler, P. 1990. Energy predicting of feeds by forage
testing explored. Feedstuffs. 27:12.
Chase, L. E. 1994. Where do fibrous by-products fit in
dairy rations? Proc. Cornell Nutr. Conf., Syracuse, NY.
Cornell Univ. Agric. Exp. Stn., Ithaca. p. 138–149.
Chesson, A. 1988. Lignin-polysaccharide complexes of the
plant cell wall and their effect on microbial degradation
in the rumen. Anim. Feed. Sci. Technol. 21: 219–228.
Clark, P. W., and L.E. Armentano. 1993. Effectiveness of
neutral detergent fiber in whole cottonseed and dried
distillers grains compared with alfalfa haylage. J.
Dairy Sci. 76: 2644–2650.
Clark, P.W., and L.E. Armentano. 1997. Replacement of alfal-
fa neutral detergent fiber with a combination of non-
forage fiber sources. J. Dairy Sci. 80: 675–680.
Combs, D. 1992. Dietary fiber and the ruminant. Thir-
teenth Western Nutr. Conf., Saskatoon, Canada. Univ.
Saskatoon, Saskatoon. p. 23–31.
Conrad, H.R., W.P. Weiss, W.O. Odwongo, and W.L. Shockey.
1984. Estimating net energy lactation from components
of cell solubles and cell walls. J. Dairy Sci. 67:427–439.
Dado, R.G., and M.S. Allen. 1995. Intake limitations, feeding
behavior, and rumen function of cows challenged with
rumen fill from dietary fiber or inert bulk. J. Dairy
Sci. 78: 118–133.
Dado, R.G., and M.S. Allen. 1996. Enhanced intake and
production of cows offered ensiled alfalfa with higher
neutral detergent fiber digestibility. J. Dairy Sci. 79:
418–428.
Depies, K.K., and L.E. Armentano. 1995. Partial replace-
ment of alfalfa fiber with fiber from ground corn
cobs or wheat middlings. J. Dairy Sci. 78: 1328–1335.

Karbohidrat Pakan Ruminansia 244


Forbes, J.M. 1980. Hormones and metabolites in the con-
trol of food intake. In: Y. Ruckebusch and P. Thivend
(Eds.). Digestive Physiology and Metabolism in Rumi-
nants. AVI Publ. Co., Inc., Westport. p. 145–160.
Gentile, G., S. Cinotti, G. Ferri, and P. Famigli-
Bergamini. 1986. Nutritional acidosis and technologi-
cal characteristics of milk in high producing dairy cows.
I n : P.J. Harigan and M.L. Monaghan (Eds.). 14th World
Congr. Diseases Cattle. Dublin, Ireland. Cattle Vet. As-
soc., Dublin, Ireland. p. 823–828.
Harmison, B., M.L. Eastridge, and J.L. Firkins. 1997. Effect
of percentage dietary forage neutral detergent fiber
and source of starch on performance of lactating Jersey
cows. J. Dairy Sci. 80: 905–911.
Hartnell, G.F., and L.D. Satter. 1979. Determination of ru-
men fill, retention time, and ruminal turnover rates
of ingesta at different stages of lactation in dairy
cows. J. Dairy Sci. 48: 381–392.
Herrera-Saldana, R., R. Gomez-Alarcon, M. Torabi, and
J.T. Huber. 1990. Influence of synchronizing protein
and starch degradation in the rumen on nutrient uti-
lization and microbial protein synthesis. J. Dairy Sci.
73: 142–148.
Hoover, W.H. 1986. Chemical factors involved in ruminal
fiber digestion. J. Dairy Sci. 69: 2755–2766.
Huthanen, P., and H. Khalili. 1991. Sucrose supplements
in cattle given grass silage based diet. 3. Rumen pool
size and digestion kinetics. Anim. Food Sci. Technol.
33: 275–287.
Illius, A.W., and M.S. Allen. 1994. Assessing forage quality
using integrated models of intake and digestion by ru-
minants. In: G.C. Fahey Jr., M. Collins, D.R. Mertens, and
L.E. Moser (Eds.). Forage Quality, Evaluation and Utili-
zation. Am. Soc. Agron., Crop Sci. Soc. Am., and Soil Sci.
Soc. Am., Madison. p. 869–890.
Johnson, T. R., and D.K. Combs. 1991. Effects of prepartum
diet, inert rumen bulk, and dietary polyethylene glycol

245 Kandungan Serat dalam Pakan


on diet dry matter intake of lactating dairy cows. J.
Dairy Sci. 74: 933–941.
Jung, H. G., and M. S. Allen. 1995. Characteristics of plant
cell walls affecting intake and digestibility of forages by
ruminants. J. Anim. Sci. 73:2774–2790.
Jung, H.G., and J.G. Linn. 1988. Forage NDF and intake: a
critique. Proc. Minnesota Nutr. Conf., Blooming-
ton, Univ. Minn, St. Paul. p. 39–54.
Kawas, J.R., N.A. Jorgensen, and J.L. Danelon. 1991. Fiber
requirements of dairy cows: optimum fiber level in
lucerne-based diets for high producing cows. Livest.
Prod. Sci. 28: 108–119.
Mathison, G.W. 1990. New methods of forage evaluation.
Proc. 11th West. Can. Nutr. Conf., Calgary. p. 59–70.
McCarthy, R.D., Jr., T.H. Klusmeyer, J.L. Vicini, and J.H.
Clark. 1989. Effects of source of protein and carbohy-
drate on ruminal fermentation and passage of nutri-
ents to the small intestine of lactating cows. J. Dairy
Sci. 72: 2002–2016.
McQueen, R. E., and P.H. Robinson. 1993. Intake behavior,
rumen fermentation, and milk production of dairy
cows as influenced by dietary levels of fermentable
neutral detergent fiber. Can. J. Anim. Sci. 76:357–365.
Mertens, D.R. 1980. Fiber content and nutrient density
in dairy rations. Proc. Dist. Feed Conf., Cincinnati. p. 35–
44.
Mertens, D.R. 1983. Using neutral detergent fiber to for-
mulate dairy rations and estimate the energy content
of forage. Proc. Cornell Nutr. Conf. Feed Manuf., Syra-
cuse. Cornell Univ., Ithaca. p. 60–69.
Mertens, D.R. 1985. Factors influencing feed intake in lac-
tating cows: from theory to application using neutral
detergent fiber. Proc. 46th Georgia Nutr. Conf. Univ.
Georgia. p. 1–18.
Mertens, D.R. 1987. Predicting intake and digestibility
using mathematical models of ruminal function. J.
Anim. Sci. 64: 1548–1558.

Karbohidrat Pakan Ruminansia 246


Mertens, D.R. 1988. Balancing carbohydrates in dairy
rations. Proc. Large Herd Dairy Manage. Conf., Dep.
Anim. Sci., Cornell Univ., Ithaca. p. 150–155.
Mertens, D. R. 1994. Regulation of forage intake. I n :
G.C. Fahey, Jr., M. Collins, D.R. Mertens, and L.E. Moser
(Eds.). Forage Quality, Evaluation and Utilization. Am.
Soc. Agron., Crop Sci. Soc. Am., and Soil Sci. Soc. Am., Mad-
ison. p. 450–493.
Miller, T.K., W.H. Hoover, W.W. Poland Jr., R.W. Wood, and
W.V. Thayne. 1990. Effects of low and high fill diets on
intake and milk production in dairy cows. J. Dairy Sci.
73: 2453–2459.
Mooney, C. S., and M.S. Allen. 1993. Effectiveness of whole
fuzzy cottonseed NDF relative to alfalfa silage at two
lengths of cut. J. Dairy Sci. 76(Suppl. 1): 247.(Abstr.)
National Research Council. 1989. Nutrient Require-
ments of Dairy Cattle. 6th rev. ed. Natl. Acad. Sci.,
Washington.
Nocek, J.E. 1991. New concepts in carbohydrate nutrition
for high producing cows. Prof. Anim. Sci. 8: 5–16.
Nocek, J.E., and J.B. Russell. 1988. Protein and energy as
an integrated system. Relationship of ruminal protein
and carbohydrate availability to microbial synthesis
and milk production. J. Dairy Sci. 71: 2070–2111.
Poore, M.H., J.A. Moore, R.S. Swingle, T.P. Eck, and W.H.
Brown. 1991. Wheat straw or alfalfa hay in diets
with 30% neutral detergent fiber for lactating Hol-
stein cows. J. Dairy Sci. 74: 3152–3159.
Putnam, D.E., K.J. Soder, L.A. Holden, G.A. Varga, and
H.M. Dann. 1997. Periparturient traits correlate with
postpar- tum dry matter intake and milk yield. J.
Dairy Sci. 80 (Suppl. 1): 142.(Abstr.)
Robinson, P.H., and R.E. McQueen. 1997. Influence of level of
concentrate allocation and fermentability of forage
fiber on chewing behavior and production of dairy cows.
J. Dairy Sci. 80: 681–691.
Sawar, M., J. L. Firkins, and M.L. Eastridge. 1992. Effects of

247 Kandungan Serat dalam Pakan


varying forage and concentrate carbohydrates on nu-
trient digestibilities and milk production by dairy
cows. J. Dairy Sci. 75: 1533–1542.
Shaver, R.D., A.J. Nytes, L.D. Satter, and N.A. Jorgensen.
1988. Influence of feed intake, forage physical form, and
forage fiber content on particle size of masticated
forage, ruminal digesta, and feces of dairy cows. J.
Dairy Sci. 71: 1566–1572.
Sutherland, T.M. 1988. Particle separation in the
forestomachs of sheep. I n : A. Dobson and M. J. Dob-
son (Eds.). Aspects of Digestive Physiology in Rumi-
nants. Comstock Publ. Assoc., Ithaca. p. 43–73.
Swain, S. M., and L. E. Armentano. 1994. Quantitative
evaluation of fiber from nonforage sources used to
replace alfalfa silage. J. Dairy Sci. 77:2318–2331.
Tamminga, S. 1993. Influence of feeding management
on ruminant fiber digestibility. In: H. G. Jung, D. R.
Buxton, R. D. Hartfield, and J. Ralph (Eds.). Forage Cell
Wall Structure and Digestibility. Am. Soc. Agron., Crop
Sci. Soc. Am., and Soil Sci. Soc. Am., Madison. p. 572–602.
Tamminga, S., A. M. Van Vuuren, C. J. Van Der Koelen, R.
S. Ketelaar, and P. L. Van Der Togt. 1990. Ruminal be-
haviour of structural carbohydrates, non-structural
carbohydrates and crude protein from concentrate
ingredients in dairy cows. Neth. J. Agric. Sci. 38:513–
526.
Van Soest, P. J. 1965. Voluntary intake in relation to
chemical composition and digestibility. J. Anim. Sci.
24:834–843.
Van Soest, P. J., D. R. Mertens, and B. Deinum. 1978. Pre-
harvest factors influencing quality of conserved for-
age. J. Anim. Sci. 47:712–720.
Van Soest, P. J., J. B. Robertson, and B. A. Lewis.
1991. Methods for dietary fiber, neutral detergent
fiber, and non- starch polysaccharides in relation to
animal nutrition. J. Dairy Sci.74:3583–3597.
Varga, G. A., and W. H. Hoover. 1983. Rate and extent

Karbohidrat Pakan Ruminansia 248


of neutral detergent fiber degradation of feedstuffs
in situ. J. Dairy Sci. 66:2109–2115.
Varga, G. A., W. H. Hoover, L. L. Junkins, and B. J. Shriv-
er. 1988. Effects of urea and isoacids on in vitro fer-
mentation of diets containing formaldehyde-treated
or untreated soybean meal. J. Dairy Sci. 71:737–744.
Varga, G. A., and E. S. Kolver. 1997. Microbial and ani-
mal limitations to fiber digestion and utilization. J.
Nutr. 127: 819S–823S.
Varga, G. A., E. M. Meisterling, R. A. Dailey, and W. H. Hoo-
ver. 1984. Effect of low and high fill diets on dry matter
intake, milk production, and reproductive perfor-
mance during early lactation. J. Dairy Sci. 67:1240–
1248.
Varga, G. A., and T. J. Whitsel. 1991. Effect of nonstructural
to structural carbohydrate ratio on rate and extent
of nutrient utilization in situ. Anim. Feed Sci. Technol.
68:32:275–286.
Varga, G. A., H. F. Tyrrell, G. B. Huntington,. D. R. Waldo,
and B. P. Glenn. 1990. Utilization of nitrogen and en-
ergy by Holstein steers fed formaldehyde and formic
acid treated alfalfa or orchardgrass at two intakes. J.
Anim. Sci. 68:3780–3792.
Waldo, D. R. 1986. Effect of forage quality on intake and for-
age- concentrate interactions. J. Dairy Sci. 69:617–631.
Weiss, W. P. 1993. Predicting energy values of feeds. J.
Dairy Sci. 76:1802–1811.

249 Kandungan Serat dalam Pakan


Karbohidrat Pakan Ruminansia 250
Makna Penting Fisik Serat Pakan

Karbohidrat pakan dapat dibagi menjadi dua fraksi dasar: karbo-


hidrat serat dan karbohidrat non-serat (non fiber carbohydrate, NFC)
(Gambar 1). Serat memainkan peran mendasar dalam nutrisi rumi-
nansia. Baik besaran maupun bentuk fisik serat pakan telah banyak
dibuktikan bermakna penting dalam ransum sapi perah laktasi untuk
mempertahankan fungsi rumen, status kesehatan ternak dan kompo-
sisi susu yang tepat. Serat didefinisikan sebagai komponen pakan
yang tidak dicerna oleh enzim mamalia. Beberapa dari komponen ini
larut dengan prosedur ekstraksi ringan (mild extraction) dan dengan
demikian menghasilkan serat "larut" dan "tidak larut". Sebagian be-
sar konstituen serat larut (pektin, fruktan, beta-glukan) mudah difer-
mentasi di rumen dan bahkan diduga mudah difermentasikan di usus
besar ternak monogastrik (Mertens, 1992; Kearney, 2008; Righi et al.,
2008). Mertens (1992) lebih sepakat dengan definisi serat yang lebih
substansial sebagai "fraksi yang tidak dapat dicerna dan dicerna
dengan lambat, atau tidak tersedia secara lengkap, dari pakan yang
menempati ruang di saluran pencernaan", yang mendefinisikan serat
sebagai komponen pakan yang tidak larut. Secara nutrisional, serat
memiliki sifat fisik dan kimia yang berhubungan dengan proses
mekanis pencernaan (mengunyah dan keluar) dan degradasi en-
zimatik yang berhubungan dengan fermentasi (Mertens, 1992).
Mertens (1997) menekankan bahwa definisi serat pakan secara
kimiawi seperti kandungan serat deterjen netral (neutral detergent

251 Makna Penting Fisik Serat Pakan


252
Karbohidrat
Tanaman Pakan

Karbohidrat Pakan Ruminansia


Isi Sel Dinding Sel
Asam Mono- dan Bahan Fruktan Senyawa Hemiselulosa Selulosa
organik oligo-sakarida pati pektik
Galaktan
β-Glukan ADF
NDSF NDF
Polisakarida bukan bahan pati
NFC
Gambar 1. Fraksinasi karbohidrat pakan
ADF: acid detergent fiber; NDF: neutral detergent fiber; NDSF: neutral detergent-soluble fiber; NFC: non carbohydrate fiber
(disebut juga sebagai neutral detergent-soluble carbohydrate/NDSC) (Sumber: Hall, 2003)
fiber, NDF) atau serat deterjen asam (acid detergent fiber, ADF) meru-
pakan deskripsi yang tidak memadai tentang kandungan serat pa-
kan. Fraksi ADF bahan pakan termasuk selulosa dan lignin sebagai
komponen utama. Konsentrasi ADF dan lignin lebih berkorelasi
dengan kecernaan dibandingkan dengan konsumsi [r = –0,75 dan
–0,46 masing-masing untuk kecernaan dan asupan ADF]. Banyak
faktor yang memengaruhi hubungan antara ADF dan kecernaan, ter-
masuk varietas hijauan, umur saat panen, dan kondisi penyimpanan
(Van Soest, 1965; Varga et al., 1998). Komponen NDF pakan terdiri
atas fraksi selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Komponen NDF lebih
berkorelasi dengan volume pakan dan aktivitas mengunyah
dibandingkan ADF atau protein kasar (crude protein, CF) (Coppock,
1987; Varga et al., 1998). NRC (2001) merekomendasikan kandungan
NDF untuk dipertahankan pada 25% dari bahan kering (dry matter,
DM), dengan 75% kebutuhan NDF berasal dari hijauan. Oleh karena
itu, terdapat peluang sampai 25% NDF dari sumber serat non hijauan
(non forage fiber source, NFFS) untuk memenuhi kebutuhan NDF (Holt,
2010). Mertens (1997) mengusulkan definisi untuk NDF efektif
(effective NDF, eNDF) dan NDF yang efektif secara fisik (physically effec-
tive NDF, peNDF). Selain itu, peNDF pakan terkait dengan sifat fisik
seratnya (terutama ukuran partikel) yang merangsang aktivitas
mengunyah dan menetapkan stratifikasi bifasik dari isi rumen
(lapisan partikel besar yang mengambang pada pool cairan dan
partikel kecil) (Mertens, 1997). Kandungan peNDF dari pakan dapat
ditentukan dengan mengalikan konsentrasi NDF dengan proporsi
partikel yang tertahan pada saringan 1,18 mm atau dengan faktor
efektivitas fisiknya (physical effectiveness factor, pef) (Holt et al., 2010).
NDF efektif (eNDF) terkait dengan jumlah kemampuan pakan total
untuk menggantikan pakan berserat sehingga persentase lemak susu
dapat dipertahankan secara efektif. NDF yang efektif secara fisik
(peNDF) hanya berhubungan dengan sifat fisik serat, sehingga meru-
pakan istilah dan konsep yang lebih terbatas daripada eNDF. NDF

253 Makna Penting Fisik Serat Pakan


yang efektif secara fisik (peNDF) selalu lebih kecil dari NDF, se-
dangkan eNDF bisa lebih kecil atau lebih besar dari konsentrasi NDF
dalam pakan (Gambar 2) (Mertens, 2000). NDF efektif (eNDF) dibu-
tuhkan oleh sapi perah untuk merangsang pengunyahan, menjaga
lingkungan rumen yang optimal dan mencegah depresi lemak susu
(Mertens, 1997). Beberapa parameter, termasuk pengunyahan, pH
rumen, rasio asetat: propionat, dan persentase lemak susu, telah
digunakan sebagai respon ternak untuk menilai efektivitas NDF da-
lam ransum sapi perah (Kononoff et al., 2000). Nilai peNDF dari sum-
ber serat bukan hijauan jauh lebih rendah daripada hijauan berba-
tang panjang, tetapi diduga lebih tinggi dari beberapa bentuk kon-
sentrat, bebijian, dan rerumputan. Peningkatan jumlah serat dalam
ransum sapi perah merangsang aktivitas mengunyah dan mengu-
rangi produksi asam. Rangkaian kejadian yang mengarah pada
penurunan kinerja ternak apabila serat efektif yang diberikan terlalu
sedikit, termasuk penurunan aktivitas mengunyah, yang menyebab-
kan berkurangnya sekresi buffer saliva, yang mengarah pada lebih
rendahnya pH rumen dan mengakibatkan perubahan pola fermentasi
rumen serta rendahnya rasio asetat terhadap propionat (A:P), yang
pada akhirnya menghasilkan modifikasi metabolisme tubuh ternak
dan mengurangi sintesis lemak susu. Kandungan serat yang tidak
memadai dalam ransum diduga bukan penyebab utama dari skenario
di atas. Dalam banyak situasi, karbohidrat non serat (non fiber carbo-
hydrate, NFC) atau karbohidrat non struktural (non structural carbohy-
drate, NSC) yang mudah terfermentasi digunakan untuk mengganti-
kan serat dalam ransum rendah serat, dan karbohidrat yang cepat
terfermentasi ini dapat berkontribusi pada respons ternak terhadap
ransum rendah serat (Mertens, 1997; Kearney, 2005). Bab ini memba-
has beberapa parameter, termasuk aktivitas mengunyah, pH rumen,
rasio asetat:propionat, dan persentase lemak susu, yang telah
digunakan sebagai respon ternak untuk menilai makna penting
peNDF dalam ransum ruminansia perah.

Karbohidrat Pakan Ruminansia 254


Lemak

Penyanggaan
hakiki

Protein
terlarut

Karbohidrat
terlarut

Gambar 2. Ilustrasi hubungan antara NDF, fisik NDF yang efektif (peNDF),
dan NDF yang efektif (eNDF) (Sumber: Merten, 2000).

Aktivitas mengunyah
Laju sekresi saliva dan besaran saliva yang dihasilkan ditentukan
oleh aktivitas mengunyah, yang selanjutnya dipengaruhi oleh sum-
ber hijauan, rasio hijauan terhadap konsentrat, konsumsi hijauan
dan status fisiologis sapi. Dalam hal faktor-faktor yang berkaitan
dengan pakan, karakteristik pakan yang membatasi tingkat konsum-
si seperti densitas keambaan (bulk density), kecernaan, laju pen-
cernaan, waktu ruminasi, total waktu pengunyahan dan pengeluaran
digesta dari retikulo-rumen terkait dengan kandungan serat pakan
dan rasio hijauan: konsentrat (Okine et al., 1997).

255 Makna Penting Fisik Serat Pakan


Konsep peNDF pakan terkait dengan karakteristik fisik seratnya
(terutama ukuran partikel). Konsep ini didasarkan pada hipotesis
bahwa serat dalam partikel pakan yang panjang (>1 cm) mendorong
pengunyahan dan sekresi saliva untuk membantu menetralkan asam
yang dihasilkan selama pencernaan pakan dalam rumen
(Beauchemin dan Yang, 2005). Serat yang mendorong pengunyahan
dianggap efektif secara fisik (Holt et al., 2010). Ukuran partikel pakan
dapat memengaruhi konsumsi volunter, laju pencernaan, dan laju
dan besaran fermentasi rumen (Kearney, 2005). Terdapat beberapa
metode untuk mengukur ukuran partikel pakan; Penn State Particle
Separator (PSPS) yang telah diterima secara luas sebagai metode ce-
pat dan praktis dalam penggunaan rutin untuk mengevaluasi ukuran
partikel hijauan dan pakan komplit (total mixed ration, TMR)
(Lammers et al., 1996). Dengan menggunakan PSPS, distribusi
partikel dapat ditentukan sesuai 3 fraksi: proporsi partikel yang ter-
tahan pada saringan 19,0 mm, proporsi partikel yang lolos saringan
19,0 mm tetapi tertahan pada saringan 8,0 mm, dan proporsi partikel
yang lolos saringan 19,0 mm. melewati saringan 8,0 mm (Lammers et
al., 1996). Nilai pef (berkisar dari 0 hingga 1) dihitung sebagai jumlah
dari proporsi partikel yang tertahan pada saringan 19,0 dan 8,0 mm
(Holt et al., 2010).
Pengurangan ukuran partikel dapat menurunkan aktivitas me-
ngunyah per kilogram NDF (Tabel 15). Pemotongan hijauan melalui
saringan berukuran 40 mm mengurangi aktivitas mengunyah total
sampai 80% dari bahan asli yang tidak dipotong. Pencacahan hijauan
dapat mengurangi aktivitas mengunyah hingga 20 hingga 60% dari
aktivitas untuk hijauan panjang, dan memotong hijauan dengan pan-
jang potongan teoritis sekitar 5 mm menghasilkan sekitar 70% dari
mengunyah hijauan yang dipotong hingga panjang potongan teoritis
20 mm (Tabel 1; Gambar 3) (Grant, 1997; Mertens, 1997). Mertens
(1986) mengasumsikan hubungan eksponensial antara panjang
pemotongan teoretis dan aktivitas mengunyah, dan memrediksikan

Karbohidrat Pakan Ruminansia 256


Tabel 1. Pengaruh panjang partikel hijauan pakan terhadap aktivitas mengunyah
pada sapi perah
Aktivitas mengunyah total
Bentuk fisik pakan NDF2 (%BK)
min/kg BK min/kg NDF % reduksi
Alfalfa kering
Panjang 54 72 134 100
Dicacah (3,8 cm)1 54 59 109 82
Bermuda grass kering
Panjang 72 108 149 100
Dicacah (3,8 cm) 72 85 118 79
Alfalfa kering
Panjang 53 62 117 100
Dicacah (3,8 cm) 53 44 84 72
Jerami oat
Panjang 84 163 194 100
Halus 75 84 113 58
Ryegrass
Panjang 65 90 139 100
Halus (1,2 cm) 64 19 29 21
Silase jagung
Panjang 1,9 cm3 68 66 97 100
Panjang 1,3 cm 62 60 96 99
Panjang 0,6 cm 60 40 66 68
Alfalfa kering
Panjang 2,5 cm 55 52 95 100
Panjang 0,5 cm 45 30 66 69
1
Diameter lubang saringan.
2
NDF dihitung dari konsentrasi serat.
3
Panjang potongan teoritis.
Sumber: Merten (1997).

bahwa aktivitas mengunyah hijauan dengan panjang pemotongan


teoritis 40, 20, 5, dan 1 mm masing-masing adalah 80, 70, 50, dan 25%.
Pertanyaan penting yang timbul kemudian, berapa ukuran partikel
kritis untuk keluar dari rumen, dan fraksi partikel mana yang tersisa
dalam rumen untuk merangsang pengunyahan? (Mertens, 1997); pa-
ra peneliti menemukan bahwa partikel pakan yang tertahan pada
saringan 1,18 mm (dengan teknik penyaringan basah) memiliki
ketahanan yang tinggi untuk lolos dari rumen domba (Mertens,
1997). Sebagai konsekuensinya, Mertens (1986) mengadopsi pendeka-
tan penyaringan 1,18-mm untuk fraksionasi partikel pakan yang
lebih besar, yang membutuhkan pengunyahan untuk lolos dari
rumen, dan "fraksi 1,18-mm" ini telah menjadi penilaian laboratori-

257 Makna Penting Fisik Serat Pakan


258
Porsi hijauan yang rendah atau ukuran partikel yang kecil

Karbohidrat Pakan Ruminansia


Porsi serat bukan hijauan yang tinggi
Penjebakan
berkurang

pH rendah
+
- Laju pencernaan serat
+
pH tinggi
Penjebakan
- Laju pengaliran serat
Porsi hijauan yang tinggi atau ukuran partikel yang besar
Porsi serat bukan hijauan yang rendah
Gambar 3. Potensi interaksi-interaksi diantara tingkat dan ukuran partikel serta besaran serat bukan hijauan pada
pencernaan dan pengaliran serat pakan ruminal. Model menjelaskan bahwa apabila serat bukan hijauan diberikan
selain hijauan, maka besaran serat pakan yang dibutuhkan menjadi rendah; karenanya ukuran partikel hijauan
harus mencukupi untuk menstimulasikan ruminani dan menjebak partikel-partikel pakan dengan ukuran yang
kecil (Sumber: Grant, 1997).
um standar untuk mengukur physical effectiveness facor (pef) pakan
dengan menggunakan teknik pengayakan kering. Yansari et al. (2004)
menunjukkan bahwa aktivitas mengunyah per unit konsumsi peNDF
dapat konsisten pada seluruh pakan yang bervariasi dalam panjang
partikel, apabila diestimasikan dengan menggunakan sistem yang
tergabungkan pada saringan 1,18 mm. Rasio aktivitas mengunyah
yang konsisten terhadap peNDF dikehendaki untuk memprediksikan
waktu pengunyahan berdasarkan konsumsi peNDF. Proporsi partikel
>19mm diduga menjadi faktor utama yang memengaruhi aktivitas
me-ngunyah Yansari et al. (2004). Namun, aktivitas mengunyah
merupakan salah satu tersedianya indikator kesehatan dan fungsi
rumen dan efektivitas serat. Mertens (1997) mengaitkan aktivitas
mengunyah baik dengan konsentrasi NDF dan ukuran partikel dan
mengusulkan konsep NDF yang efektif secara fisik (peNDF) untuk
menggabungkan sifat-sifat ini dalam satu pengukuran. Basis data
informasi aktivitas mengunyah dikembangkan untuk mem-
perkirakan faktor NDF yang efektif secara fisik dari berbagai hijauan
dan bentuk fisik. Mertens (1997) melaporkan berdasarkan rangsan-
gan mengunyah per unit asupan NDF, bahwa efektivitas fisik silase
jagung dengan cacahan kasar, sedang dan halus masing-masing
berkisar antara 0,90 sampai 1,00; 0,85 sampai 0,95; dan 0,80 sampai
0,90. Variasi efektivitas fisik di dalam dan di antara panjang pencaca-
han menunjukkan bahwa metode kuantitatif untuk mengukur peNDF
silase jagung secara langsung akan berdayaguna (Mertens, 1997).
Beauchemin dan Yang (2005) menunjukkan bahwa peningkatan pan-
jang partikel hijauan akan meningkatkan konsumsi peNDF, tetapi
tidak memengaruhi konsumsi DM dan NDF. Jumlah kunyah
(kunyahan per hari) dan waktu kunyah (konsumsi + waktu rumi-
nansi) meningkat secara linier dengan meningkatnya peNDF pakan
(Holt et al., 2010). Gencoglu dan Turkmen (2006) menyimpulkan bah-
wa sumber hijauan diduga berpengaruh terhadap aktivitas mengu-
nyah dan pH rumen terkait dengan peNDF dan struktur serat. Na-

259 Makna Penting Fisik Serat Pakan


mun, proporsi partikel > 19,0 mm dan peNDF dapat digunakan se-
bagai prediktor aktivitas pengunyahan.

Kondisi keasaman rumen


Kondisi keasaman rumen merupakan salah satu faktor yang pal-
ing variabel dan dapat memengaruhi populasi mikroba serta tingkat
asam lemak volatil yang dihasilkan (Gambar 4). Fungsi-fungsi rumen
tertentu dapat beroperasi secara optimum pada pH rumen yang ber-
beda. Terdapat dua kelompok dasar bakteri yang berfungsi pada
berbagai pH. Pencernaan serat pakan paling aktif pada pH 6,2 sampai
6,8. Aktivitas bakteri selulolitik dan bakteri metanogenik dapat dapat
berkurang apabila pH mulai menurun di bawah 6,0. Pencernaan
bahan pati lebih menyukai lingkungan yang lebih asam, pH 5,2 hing-
ga 6,0. Spesies protozoa tertentu dapat sangat tertekan dengan pH
rumen di bawah 5,5. Praktik pemberian pakan secara normal harus
mempertahankan kisaran pH antara 5,8 sampai 6,4, untuk meng-
akomodasi semua kebutuhan fungsi-fungsi rumen. Kondisi keasaman
rumen diduga merupakan indikasi yang lebih baik untuk kesehatan
rumen dan fungsi optimumnya daripada mempertahankan produksi
lemak susu (Kaufman et al., 1980; Mertens, 1997). Pada pengem-
bangan sistem serat, konsep peNDF yang diusulkan oleh Mertens
(1997) paling terkait erat dengan pH rumen karena merupakan
ukuran/standar yang mencerminkan karakteristik fisik serat, teruta-
ma ukuran partikel, dan kemampuannya untuk merangsang mengu-
nyah dan penyanggaan (buffering) saliva di rumen. Kondisi keasaman
rumen dipengaruhi oleh konsentrasi asam, basa dan buffer secara
relatif pada waktu tertentu. Fermentasi NFC pada konsentrasi yang
tinggi (dalam pakan konsentrat dan bebijian serealia menghasilkan
produksi asam organik yang cepat, sementara konsumsi peNDF me-
rangsang aliran saliva. Konsumsi sumber NFC dan peNDF secara ber-
samaan dapat difasilitasi dengan menggabungkan komponen-
komponen pakan dalam sebuah TMR daripada memberikan pakan

Karbohidrat Pakan Ruminansia 260


% Mol

70 -
60 -
Flora
50 - selulolitik
Flora Asam laktat
amilolitik
aktif
40 - aktif
Asam propionat
30 -
Asam asetat
20 -

10 -
7 6 5 pH Rumen
Gambar 4. Adaptasi fermentasi ruminal terhadap perubahan pH (Sumber:
Kaufman et al., 1980)

hijauan dan konsentrat secara terpisah (Kearney, 2005). Dengan


menggunakan pendekatan Penn State Particle Separator (PSPS),
kebutuhan peNDF sapi perah dapat ditentukan sebesar 22% dari BK
ransum untuk mempertahankan rerata pH rumen sebesar 6,0 (Holt et
al., 2010). Hasil pengamatan Erdman (1998) menunjukkan bahwa tid-
ak terdapat hubungan antara pH rumen dan persentase lemak susu,
serta hubungan antara pH rumen dan konsentrasi ADF adalah linier.
Pitt et al. (1996) menggunakan data dari domba, sapi potong, dan
sapi perah menunjukkan hubungan yang lebih baik antara eNDF dan
pH daripada antara NDF dan pH. Selain itu, hubungan antara eNDF
dan pH rumen mencapai sebuah plateau pada pH 6,4. Nilai rumen
yang rendah merupakan hasil dari akumulasi VFA akibat pakan
dengan proporsi konsentrat terfermentasi yang tinggi dan hijauan
dengan peNDF yang rendah (Yang dan Beauchemin, 2006). Nocek
(1991) menunjukkan bahwa pemberian bahan-bahan pakan dan hi-
jauan yang sama dengan strategi yang berbeda dapat memengaruhi
lamanya waktu pH yang bertahan di bawah minimum kritis. Periode
pH rendah yang lebih lama sepanjang hari diduga memiliki dampak

261 Makna Penting Fisik Serat Pakan


merugikan yang lebih besar pada kesehatan rumen dan DMI da-
ripada periode pH rendah yang singkat.

Rasio asetat: propionat


Produk utama fermentasi serat pakan (dietary fiber, DF) adalah
asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid, SCFA), terutama
asetat, propionat dan butirat, laktat dan suksinat, serta air, berbagai
gas (karbon dioksida, hidrogen, dan metana) dan biomassa sel
bakteri. Perubahan bentuk fisik pakan mengubah lingkungan rumen,
dan dapat mengakibatkan perubahan profil VFA. Secara tradisional,
konsentrasi asetat yang tinggi dikaitkan dengan fermentasi serat,
dan konsentrasi propionat yang tinggi dikaitkan dengan fermentasi
NFC (Kearney, 2005). Rasio asetat dan propionat kurang dari 2,0 ser-
ing dikaitkan dengan penurunan lemak susu, serta berhubungan
positif antara konsentrasi ADF dan persentase lemak susu (Holt et al.,
2010). Pada domba dan sapi, perubahan profil asetat dan propionat
ruminal dapat diubah dengan memodifikasikan NFC pakan (Kearney,
2005). Apabila cirtus pulp dalam jumlah tinggi (84,4% DM pakan)
diberikan kepada domba untuk menggantikan 20,4% citrus pulp dan
76,5% barley, propionat menurun secara numerik dari 17,6 menjadi
14,4% molar dan asetat meningkat dari 65,0 menjadi 69,1 molar%
(Ben-Ghedalia et al., 1989) Pada kultur kontinyu fermentasi in vitro
menggunakan mikroba rumen campuran dari inokulum sapi, Ariza et
al. (2001) mengamati perubahan konsentrasi molar propionat dan
asetat apabila porsi bahan pati menurun dari 24,0 menjadi 11,0%; dan
porsi serat larut deterjen netral (neutral soluble-detergent fiber, NDSF)
meningkat dari 8,8 menjadi 14,4%; serta dengan mengubah rasio sub-
strat pakan bubur jagung (hominy) menjadi citrus pulp. Propionat
menurun dari 22,7 menjadi 16,7 % molar dan asetat meningkat dari
62,6 menjadi 68,9% molar. Rasio asetat: propionat meningkat dari 2,8
menjadi 4,1. Selanjutnya, periode awal laktasi biasanya ditandai
dengan asupan konsentrat yang lebih tinggi dibandingkan dengan

Karbohidrat Pakan Ruminansia 262


periode pertengahan dan akhir laktasi atau kering kandang, yang
mengakibatkan lebih rendahnya rasio asetat: propionat ruminal
(Van Knegsel et al., 2007). Jorgenson dan Schultz (1963) memberi pa-
kan sapi laktasi berupa 7,26 kg jagung giling setiap hari, bersama-
sama dengan jerami alfalfa dalam bentuk batang panjang (kontrol)
atau pelet secara ad libitum. Pemberian pelet jerami menurunkan
asetat (sebagai persentase dari total VFA) dari 60,3 menjadi 55,6%,
meningkatkan propionat dari 20,1 menjadi 27,0%, dan menurunkan
butirat secara numerik dari 17,0 menjadi 15,3%.

Persentase lemak susu


Efektivitas serat dalam pakan spesifik untuk mempertahankan
produksi lemak susu diestimasikan secara relatif terhadap serat pada
pakan standar atau pakan referensi. Nilai serat yang efektif didasar-
kan pada beberapa standar seperti kulit biji kapas, jerami, atau silase
alfalfa, sehingga menyulitkan penggunaan sistem ini pada seluruh
kisaran pakan yang diberikan kepada ruminansia. Pengaruh besaran
dan sumber serat terhadap produksi lemak susu telah diketahui sejak
lama (Mertens, 1992; Mertens, 1997; Grant, 1997; Beauchemin dan
Yang, 2005). Dengan menggunakan pendekatan PSPS, kebutuhan
peNDF sapi perah ditentukan sebesar 20% dari DM ransum untuk
mempertahankan persentase lemak susu sapi Holstein awal sampai
pertengahan laktasi sebesar 3,4% (Holt et al., 2010). Depresi lemak
susu telah dikaitkan dengan konsumsi serat pakan yang tidak me-
madai pada sapi laktasi. Depresi lemak susu diduga dapat diamati
pada kambing perah berproduksi tinggi selama awal laktasi (Lu et al.,
2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran partikel jerami
alfalfa yang lebih halus menyebabkan pengurangan waktu ruminasi
dan lemak susu pada sapi perah laktasi (Righi et al., 2008). Mekanisme
yang menjelaskan sindrom depresi lemak susu pada ruminansia lak-
tasi produksi tinggi melibatkan konsumsi serat pakan, aktivitas
mengunyah, salivasi, dan fermentasi rumen. Pakan tinggi serat

263 Makna Penting Fisik Serat Pakan


menghasilkan aktivitas mengunyah yang lebih tinggi, yang pada
gilirannya meningkatkan salivasi dan mendukung pertumbuhan
mikroba selulolitik dan produksi asam asetat ruminal. Rasio asetat
terhadap propionat yang lebih tinggi dalam cairan rumen men-
dukung sintesis lemak susu, karena asetat adalah prekursor utama
lemak susu.
Pemberian pakan silase jagung (brown midrib mutants) menekan
konsentrasi lemak susu pada sapi apabila pakan diberikan dengan
NDF yang rendah (Lu et al., 2005). Kandungan lignin yang lebih
rendah disertai dengan NDF pakan rendah berkontribusi pada depre-
si lemak susu. Hal yang perlu dicatat bahwa pakan dengan serat yang
lebih rendah tidak selalu menghasilkan lemak susu yang rendah
meskipun aktivitas mengunyah ditekan (Colenbrabder et al., 1991).
Dalam penelitian itu, besaran serat efektif yang memadai diberikan
pada ransum rendah serat. Pada laktasi primipara (primiparous lactat-
ing), lemak susu kambing 0,4% lebih tinggi bila diberi pakan dengan
panjang partikel hijauan yang lebih panjang (Lu, 1987). Hal ini terkait
dengan peningkatan aktivitas mengunyah, rasio asetat terhadap pro-
pionat yang sedikit lebih tinggi, dan hanya peningkatan nilai pH 0,1U
dalam cairan rumen. Pada kajian lain dengan kambing primipara,
lemak susu menurun dari 3,62 menjadi 2,92% apabila porsi konsen-
trat ditingkatkan dari 25 menjadi 55% dari pakan total (Kawas et al.,
1991). Terdapat hubungan yang jelas antara konsumsi serat pakan,
aktivitas mengunyah dan kandungan lemak susu (Lu et al., 2005).
Hasil kajian Shaver et al. (1986) menjelaskan bahwa penurunan yang
signifikan pada lemak susu (3,11% vs 3,62%) dan aktivitas mengu-
nyah (3,2 vs 9,5 jam/hari) pada sapi perah apabila jerami alfalfa
diberikan dalam bentuk halus dan bentuk pelet dibandingkan
dengan bentuk yang belum dipotong.
Karbohidrat pakan dapat dibagi menjadi dua fraksi dasar: karbo-
hidrat serat dan non-serat (NFC). Serat dalam ransum sapi perah
sangat penting untuk kesehatan ternak, karena diperlukan untuk

Karbohidrat Pakan Ruminansia 264


mendukung fungsi dan fisiologi rumen yang tepat. Oleh karena itu,
ternak ruminansia membutuhkan serat dalam bentuk fisik kasar agar
aktivitas mengunyah dan aktivitas rumen lebih efektif. Peningkatan
kandungan serat dan ukuran partikel hijauan dalam pakan secara
efektif meningkatkan aktivitas mengunyah yang mengakibatkan pe-
ningkatan aliran saliva, pH rumen, rasio asetat:propionat, dan kadar
lemak susu. Peningkatan aktivitas mengunyah dan produksi senyawa
penyangga (buffer) saliva diyakini sebagai indikator peningkatan
pengaruh pakan terhadap kesehatan dan fungsi rumen. Namun, NDF
yang efektif secara fisik (physically effective NDF, peNDF) dari pakan
terkait dengan sifat fisik seratnya (terutama ukuran partikel) yang
merangsang aktivitas mengunyah dan menetapkan stratifikasi bi-
fasik dari isi rumen (lapisan mengambang partikel besar di pool cair
dan partikel kecil). Bab ini membahas beberapa parameter, termasuk
mengunyah, pH rumen, rasio asetat: propionat, dan persentase le-
mak susu, yang digunakan sebagai respons ternak untuk menilai efek
-tivitas NDF ransum ruminansia susu.
Karakteristik fisik ransum ruminansia perah sangat penting un-
tuk mencapai fermentasi rumen yang tepat bagi produksi ternak.
Dalam hal ini, bentuk fisik hijauan dan konsentrat harus dalam uku-
ran partikel yang sesuai untuk menghindari perubahan komposisi
susu. Salah satu faktor terpenting yang terkait dengan bentuk fisik
serat adalah konsumsi bahan kering (DMI): apabila ransum seimbang
dan kebutuhan energi tinggi, DMI terutama bergantung pada aspek
fisik. Kebutuhan energi yang tinggi mengurangi kepekaan dinding
rumen terhadap distensi yang berpotensi meningkatkan konsumsi
pakan. Dalam kondisi-kondisi ini, DMI menjadi dibatasi terutama
oleh laju pengaliran, dan laju terkait erat dengan ukuran partikel
pakan dan bentuk fisik serat. Bentuk fisik serat telah terbukti me-
mengaruhi stratifikasi rumen, pengisian dan retensi rumen seperti
degradasi pakan dan fermentasi ruminal (Righi et al., 2008). Sapi pe-
rah laktasi memiliki obligat kebutuhan serat untuk mempertahankan

265 Makna Penting Fisik Serat Pakan


ruminasi normal, mengunyah dan produksi salivasi, dan fungsi ru-
men yang normal. Pada ransum sapi berproduksi tinggi, besaran se-
rat dalam ransum cenderung menurun seiring dengan meningkatnya
kepadatan energi. Istilah-istilah faktor efektivitas secara fisik
(physical effectiveness factor, pef) dan NDF yang efektif secara fisik
(peNDF), telah digunakan untuk memperjelas ukuran partikel baik
untuk hijauan atau ransum komplit (TMR), sehingga dapat mencapai
aktivitas mengunyah bersama-sama dengan konsentrasi lemak susu
yang tepat.

Daftar Pustaka

Ariza, P., A. Bach, M. D. Stern, and M. B. Hall. 2001. Effects of carbohy-


drates from citrus pulp and hominy feed on microbial fermenta-
tion in continuous culture. J. Anim. Sci. 79: 2713-2718.
Beauchemin, K. A., and W. Z. Yang. 2005. Effects of physycally effec-
tive fiber on intake, chewing activity, and ruminal acidosis for
dairy cows fed diets based on corn silage. J. Dairy Sci. 88: 2117–
2129.
Ben-Ghedalia, D., E. Yosef, J. Miron, and Y. Est. 1989. The effects of
starch- and pectin-rich diets on quantitative aspects of digestion
on sheep. Anim. Feed Sci. Technol. 24: 289-298.
Colenbrander, V. F., C. H. Noller, and R. J. Grant. 1991. Effect of fiber
content and particle size of alfalfa silage on performance and
chewing behavior. J. Dairy Sci. 74: 2681-2690.
Coppock, C. E. 1987. Supplying the energy and fiber needs of dairy
cows from alternate feed sources. J. Dairy Sci. 70: 1110-1119.
Erdman, R. A. 1988. Dietary buffering requirements of the lactating
dairy cow: a review. J. Dairy Sci. 71: 3246-3266.
Gencoglu, H., and I.I. Turkmen. 2006. Effects of forage source on
chewing and rumen fermentation in lactating dairy cows. Revue
Méd. Vét. 157 (10): 463-470.

Karbohidrat Pakan Ruminansia 266


Grant, R.J. 1997. Interactions among forages and nonforage fiber
sources. J. Dairy Sci. 80: 1438–1446.
Hall, M.B. 2003. Challenges with nonfiber carbohydrate methods. J.
Anim. Sci. 81:3226-3232.
Holt, M.S., C.M. Williams, C.M. Dschaak, J.S. Eun and A.J. Young. 2010.
Effects of corn silage hybrids and dietary nonforage fiber sources
on feed intake, digestibility, ruminal fermentation, and produc-
tive fermentation of lactating Holstein dairy cows. J. Dairy Sci. 93:
5397-5407.
Jorgenson, N.A. and L.H. Schultz. 1963. Ration effects on rumen ac-
ids, ketogenesis and milk composition. J. Dairy Sci. 46:437-443.
Kaufman, W., H . Hagemeister, an d G . Durksen. 1980. Adaptation
to changes in die tary composit ion, le ve l and f re quency
of fee ding. In: Y. Ruckebusch, a n d P . Thivend (Eds.). Diges-
tive Physiology and Metabolism in Ruminants. AVI Publishing,
Westport. p. 587.
Kawas, J.R., J. Lopes, D.L. Danelon, and C.D. Lu. 1991. Influence of for-
age-to-concentrate ratios on intake, digestibility, chewing and
milk production of dairy goats. Small Rum. Res. 4: 11-18.
Kearney, C.C. 2005. Importnace of Phisically Effective Fibre in Rumi-
nant Nutrition. M.Sc. Thesis. University of Florida, Gainesville.
Kononoff, P.J., A.F. Mustafa, D.A. Christensen, and J.J. McKinnon.
2000. Effects of barley silage particle length and effective fiber on
yield and composition of milk from dairy. Can. J. Anim. Sci. 80: 749
-752.
Lammers, B.P., D.R. Buckmaster, and A.J. Heinrichs. 1996. A simple
method for the analysis of particle sizes of forage and total mixed
rations. J. Dairy Sci. 79: 922–928.
Lu, C.D. 1987. Implication of forage particle length on chewing activi-
ties and milk production in dairy goats. J. Dairy Sci. 70: 1411-1416.
Lu, C.D., J.R. Kawas, and O.G. Mahgoub. 2005. Fiber digestion and utili-
zation in goats. Small Rum. Res. 60: 45-52.

267 Makna Penting Fisik Serat Pakan


Mertens, D.R. 1986. Effect of physical characteristic, forage particle
size and density on forage utilization. Proc. Nutr. Symp., St
Louis, Am. Feed Ind. Assoc., Arlington.
Mertens, D.R. 1992. Nonstructural and structural carbohydrates.
Large Dairy Herd Management. Am. Dairy Sci. Assoc., Cham-
paign.
Mertens, D.R. 1997. Creating a system for meeting the fiber require-
ments of dairy cow. J. Dairy Sci. 80: 1463-81.
Mertens, D.R. 2000. Physycally effective NDF and its use in
formulating dairy rations. 11th Florida Ruminant Nutrition
Symposium, Gainesville, January 13-14.
Mirzaei-Aghsaghali, A. and N. Maheri-Sis. 2011. Importance of
“physically effective fibre” in ruminant nutrition: A review. An-
nals Biol. Res. 2(3): 262-270.
Niba, A.T., J.D. Beal, A.C. Kudi, and P.H. Brooks PH. 2009. Bacterial fer-
mentation in the gastrointestinal tract of non-ruminants: Influ-
ence of fermented feeds and fermentable carbohydrates. Trop.
Anim. Health Prod. 41: 1393-1407.
Nocek, J.E., and S. Tamminga. 1991. Site of digestion of starch in the
gastrointestinal tract of dairy cows and its effect on milk yield
and composition. J. Dairy Sci. 74: 3598-3629.
NRC (National Research Council). 2001. Nutrient Requirements of
Dairy Cattle. Seventh Revised Edition. The National Academies
Press, Washinton, DC.
Okine, E.K., G.R. Khorasani, and J.J. Kennelly. 1997. Effects of source of
forage and level of concentrate chewing activity and milk produc-
tion responses in late lactation cows. Can. J. Anim. Sci. 77: 253-258.
Pitt, R.E., J.S. Van Kessel, D.G. Fox, A.N. Pell, M.C. Barry, and P.J.
Van Soest. 1996. Prediction of ruminal volatile fatty acids and pH
within the net carbohydrate and protein system. J. Anim. Sci. 74:
226-244.
Righi, F., P . Rubini, S . Romanelli, M . Renzi, F . Rossi, a n d A .

Karbohidrat Pakan Ruminansia 268


Quarantelli. 2 0 0 8 . F i b r a s o l u v e l n o m e t a b o l i s m o e n e r -
g e t i c o d e r u m i n a n t e s . Ann. Fac. Medic. Vet. Di Parma. 181-
190.
Shaver, R.D., A.J. Nytes, L.D. Satter, and N.A. Jorgensen . 1986. Influ-
ence of amount of feed intake and forage physical form on diges-
tion and passage of prebloom alfalfa hay in dairy cows. J. Dairy Sci.
69: 1545-1559.
Van Knegsel, A.T.M., H . Van den Brand, J . Dijkstra, W . M . Van
Straalen, M . J . W . Heetkamp, S. Tamminga, and B. Kemp. 2007.
Dietary energy source in dairy cows in early lactation: Metabolites
and metabolic hormones. J. Dairy Sci. 90: 1467-1476.
Van Soest, P.J. 1965. Symposium on factors affecting the voluntary
intake of herbage by ruminants: voluntary intake in relation to
chemical composition and digestibility. J. Anim. Sci. 24: 834–843.
Varga, G.A., H.M. Dann, and V.A. Ishler. 1998. The use of fiber concen-
trations for ration formulation. J. Dairy Sci. 81: 3063-3074.
Yang, W.Z., and K.A. Beauchemin. 2006. Effects of physically effective
fiber on chewing activity and ruminal pH of dairy cows fed diets
based on barley silage. J. Dairy Sci. 89: 217–228.
Yansari, A.T., R. Valizadeh, A. Naserian, D.A. Christensen, P. Yu, and
F.E. Shahroodi. 2004. Effects of alfalfa particle siza and specific
gravity on chewing activity, digestibility and performance of
Holstein dairy cows. J. Dairy Sci. 87: 3912–3924.

269 Makna Penting Fisik Serat Pakan


Karbohidrat Pakan Ruminansia 270
KARBOHIDRAT PAKAN RUMINANSIA
KARBOHIDRAT
Pakan Ruminansia
Mengoptimalkan kinerja produksi ruminansia bergantung pada seberapa
akurat kita dapat memrediksikan respons biologis melalui pengukuran
nutrien secara kuantitatif dan/atau kualitatif. Karbohidrat pakan
merupakan sumber energi terpenting bagi mikroba rumen. Penggunaannya
oleh mikroba rumen sangat penting dalam memaksimalkan produksi protein
mikroba dengan tetap mempertahankan fungsi rumen normal. Selain itu,
nutrien mikroba dan produk akhir (protein dan asam lemak volatil) harus
disuplementasikan dengan karbohidrat, protein, dan lemak yang tidak
dapat terdegradasi untuk memaksimalkan respons produksi.
Perubahan karbohidrat pakan dalam rumen sangat berbeda diantara
bahan pakan. Perbedaan ini terkait dengan karbohidrat struktural dan
nonstruktural, serta dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pemrosesan
bahan pakan, tahap maturitas tanaman, dan kondisi penyimpanan.
Karakteristik pencernaan (yaitu cepat atau lambatnya laju degradasi)
menghasilkan perbedaan besaran substrat yang tersedia untuk
pertumbuhan mikroba vs. yang disuplai untuk pencernaan pasca rumen.
Pola fermentasi yang bervariasi diantara sumber karbohidrat pakan
mengakibatkan perbedaan profil nutrien (asam lemak volatil, protein

Joelal Achmadi dan Surono


mikroba, dan nutrien-nutrien tidak terdegradasi) yang disuplai ke ternak
inang. Pengukuran nutrien secara kuantitatif diperlukan untuk memberikan
besaran nutrien yang sesuai tetapi belum mampu menggambarkan
ketersediaan nutrien untuk ternak inang. Beberapa teknik pendekatan dan
metode untuk mengevaluasi bahan pakan yang mempertimbangkan
karakteristik digesti rumen dan pasca rumen diperlukan untuk
memrediksikan respons produksi secara lebih akurat.

Undip Press
Semarang
Anggota APPTI

Anda mungkin juga menyukai