Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“Masalah-Masalah Dalam Penerapan e-Procurement”

OLEH:

MUCH FAISAL SYAPUTRA


E011191022

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2022
PENDAHULUAN

Latar Belakang

e-Government (berasal dari kata dalam Bahasa Inggris electronics government,


juga disebut e-gov, digital government, online government atau dalam konteks tertentu
transformational government) adalah penggunaan teknologi informasi oleh pemerintah
untuk memberikan informasi dan pelayanan bagi warganya, urusan bisnis, serta hal-hal
lain yang berkenaan dengan pemerintahan. Terdapat dua aspek yang ada pada e-
government, yaitu pemanfaatan teknologi informasi dan tujuan dari pemanfaatan itu
sendiri. Sehingga, dalam pengaplikasiannya, sistem e-government diharapkan dapat
membuat sistem pemerintahan semakin efisien.

Electronic government di Indonesia telah diperkenalkan sejak tahun 2001 melalui


Instruksi Presiden No.6 Tahun 2001 tentang Telematika (Telekomunikasi, Media dan
Informatika) yang menyebutkan bahwa aparat pemerintah harus menggunakan teknologi
telematika untuk mendukung good governance dan mempercepat proses demokrasi.
Kemudian keluarnya Instruksi Presiden RI No.3 Tahun 2003 Tentang Kebijakan dan
Strategi Nasional Pengembangan E-Government merupakan langkah serius Pemerintah
Indonesia untuk memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi Menurut Inpres No.
3 Tahun 2003, pengembangan e-government terdiri atas 4 tingkatan yaitu tahap persiapan,
tahap pematangan, dan tahap pemanfaatan dimana e-government menjadi suatu sistem
terintegrasi antar lembaga dengan masyarakat. Penerapan e-government ini sebagai salah
satu bentuk usaha pemerintah Indonesia dalam rangka mendukung transparansi tata
kelola pemerintahan terutama di tingkat daerah. Dengan asas keterbukaan atau
transparansi tersebut maka diharapkan seluruh kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
daerah dapat dipantau oleh masyarakat sehingga akan meningkatkan kepercayaan publik.

Salah satu produk dari e-Government adalah perwujudan proses pengadaan yang
dilakukan secara elektronik yang disebut sebagai e-Procurement. Prinsip dasar dari
pengadaan elektronik ini ialah upaya untuk melakukan transformasi dalam pelayanan
publik dengan mengedepankan transparansi, keterbukaan akses informasi, dan
mekanisme pengawasan oleh khalayak umum. Rekam jejak e-Procurement di Indonesia
dimulai sejak ditetapkannya Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaaan Barang/Jasa Pemerintah yang didasari oleh pemanfaatan
teknologi informasi dengan prinsip keterbukaan, kompetitif, transparansi, dan adil dalam
pengadaan barang dan jasa menggunakan mekanisme pembiayaan APBN/APBD.
Langkah tersebut kemudian berlanjut dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor
5 Tahun 2003 tentang Kebijakan Ekonomi Selama dan Setelah Program Kerjasama
dengan IMF yang menekankan pada efisiensi belanja negara terhadap empat kementerian
yaitu Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian
Komunikasi dan Informasi, dan Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi yang secara
eksplisit didorong agar dapat melakukan pengembangan dan implementasi e-
procurement. Menindaklanjuti hal tersebut, setahun berikutnya disusul dengan Instruksi
Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang dengan
lokus yang tetap diharapkan agar melakukan telaah dan uji coba e-procurement yang
dapat digunakan oleh Instansi Pemerintah. Kebijakan tersebut mengalami progresi yang
cukup lamban apabila merujuk pada fakta bahwa hanya 3,5% dari 4,2 juta perusahaan
yang menggeluti sektor pengadaan barang/jasa pemerintah yang terlibat (LKPP,2009:12).
Menyikapi hal tersebut kemudian pada tahun 2010 ditetapkan Peraturan Presiden Nomor
54 Tahun yang kemudian hari mengalami pembaharuan menjadi Peraturan Presiden
Nomor 72 Tahun 2012. PP tersebut menjadi stimulus dalam implementasi e-procurement
di Indonesia dimana tahun 2012 sebanyak 75% kementerian telah menerapkan Sistem
Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) dan 40% pada tingkar pemerintah daerah. Setahun
kemudian pada lingkup kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah SPSE telah
ditargetkan mencapai 100% tingkat implementasinya.

Penerapan e-procurement bukan sesuatu yang mudah karena menentang status


quo paradigma birokrasi yang identik dengan kelambanan, prosedur yang berbelit-belit,
dan tidak adanya kepastian berusaha. Selain itu, pengadaan barang/jasa juga telah
mengalami patologi akut yang seringkali diidentifikasi melalui mark up, inefisiensi, dan
tidak adanya transparansi. Kondisi tersebut dapat dijumpai misalnya melalui jumlah
kasus pengadaan barang dan jasa yang ditangani oleh KPK di tahun 2009 sebanyak 50
perkara dengan total nilai proyek mencapai 1,9 triliyun (LKPP 2009:18). Indonesia
Procurement Watch (IPW) menyebutkan bahwa 70 persen dari 385 kasus korupsi yang
ditangani oleh KPK pada tahun 2013 merupakan kasus pengadaan barang dan jasa.
Berdasarkan data penanganan korupsi KPK tahun 2008–2015 Pengadaan barang/jasa
menempati urutan kedua dibawah penyuapan dengan jumlah 108 kasus. Kondisi tersebut
menjadi bukti konkret dari betapa kompleksnya implementasi e-procurement.

Masalah dalam implementasi e-procurement tidak hanya dijumpai pada negara


berkembang yang memiliki keterbatasan teknologi, kemampuan manajemen, dan
organisasi (Quangdung, Huang, Liu, & Ekram, 2011). Namun, penerapannya juga
memiliki sejumlah kendala pada negara maju misalnya di Amerika Serikat dan Canada.
Kedua negara tersebut menemuui beberapa perkara berikut ini: ketidaksesuaian platform
dari software e-procurement, adanya resistensi organisasi, kurangnya integrasi dalam
sistem, dan kegagalan dalam melibatkan professional pengadaan publik dalam desain
sistem e-procurement (McCue, Roman, 2012).

PEMBAHASAN

A. Penerapan dan Perkembangan e-Procurement di Indonesia

e-Procurement adalah proses pengadaan barang dan jasa berbasis elektronik yang
dilaksanakan secara online melalui website. Aplikasi ini merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari perkembangan e-Government yang memanfaatkan Teknologi, Informasi,
dan Komunikasi (TIK). Pelaksanaan e-Procurement di Indonesia berada dibawah
wewenang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) yang
dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007. LKPP termasuk dalam
lembaga pemerintah non departemen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Ruang lingkup pengadaan barang/jasa terdiri atas pengadaan barang, konstruksi,
konsultasi, dan jasa yang dalam menunjang fungsinya dapat berkoordinasi dengan Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Penyelenggaraan pengadaan
barang/jasa di Indonesia berbasis elektronik diwujudkan melalui fasilitas Layanan
Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) yang didukung dengan Sistem Pengadaan Secara
Elektronik (SPSE) selaku sistem pendukung. LPSE merupakan layanan yang
menggunakan teknologi informasi untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa secara
elektronik. Terbentuknya LPSE didasari oleh ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor
16 Tahun 2018 yang dalam pelaksanaan teknis operasionalnya diatur oleh Peraturan
Lembaga LKPP Nomor 14 Tahun 2018 tentang Layanan Pengadaan Secara Elektronik.
Sedangan SPSE adalah aplikasi e-procurement yang dikembangkan oleh Direktorat
Pengembangan Sistem Pengadaan Secara Elektronik LKPP untuk dapat digunakan pada
LPSE di seluruh kementerian, lembaga, maupun perangkat daerah. Pengembangan SPSE
selain dimotori oleh LKPP, turut juga berkolaborasi dengan Badan Siber dan Sandi
Negara (BSSN) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Dalam pelakasanan fungsi LPSE didukung pula dengan pemberlakuan standar


layanan yang mengacu pada ISO 27001 tentang Keamanan Informasi dan ISO 20000
tentang ITSM (IT Service Management). Melalui kedua standar tersebut lantas dibuatlah
pedoman penyusunan standar LPSE yang ditetapkan dalam Perka LKPP Nomor 9 Tahun
2015. Terdapat 17 standar yang digolongkan menjadi 4 kelompok berikut ini:

1. Kelompok Standar Dasar


Komitmen pimpinan dalam meningkatkan kualitas layanan melalui
kebijakan layanan yang ditopang oleh struktur organisasi formal, sumber
daya manusia professional, dan konsistensi anggaran operasional layanan.
2. Kelompok Standar Menengah
Pengelolaan dan identifikasi aset yang sesuai dengan klasifikasi keamanan
informasi, Pengelolaan risiko dan pengendalian terhadap risiko yang tidak
diinginkan, Pengelolaan layanan help desk dalam penanganan gangguan
dan permasalahan yang disertai dengan evaluasi pelaporan dan
pengelolaan database help desk sebagai knowledges management,
Pengelolaan permintaan perubahan terhadap penggunaan sistem
informasi, dan Pengelolaan kepastian ketersediaan kapasitas komponen
layanan.
3. Kelompok Standar Atas
Jaminan kepastian komponen layanan dapat diakses oleh pengguna
layanan pada kondisi apapun termasuk dalam keadaan darurat dan
bencana, Jaminan kepastian penyelenggaraan layanan oleh pihak
pendukung layanan dapat berjalan dengan baik, efektif, dan efisien
sehingga mampu memenuhi kebutuhan dan kualitas penyelenggaraan
layanan, dan Jaminan kepastian terpenuhinya kebutuhan pengguna
layanan akan permintaan peningkatan layanan melalui pengelolaan
hubungan dengan pengguna layanan baik dengan lembar evaluasi maupun
survei pengguna layanan.
4. Kelompok Standar Penuh
Jaminan perlindungan keamanan perangkat terhadap akses yang tidak sah
yang dapat berakibat pada interferensi informasi yang ada di dalamnya,
Perlindungan keamanan informasi pada operasional penyelenggaraan
layanan, dan Perlindungan informasi penting pada perangkat pengolah
informasi utama dari upaya akses pihak yang tidak berwenang baik akses
fisik naupun akses non fisik.

Pengadaan barang/jasa berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021


tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah ditujukan untuk: Menghasilkan barang/jasa yang tepat dari setiap
uang yang dibelanjakan, diukur dari aspek kualitas, kuantitas, waktu, biaya, lokasi, dan
penyedia; meningkatkan penggunaan produk dalam negeri; Meningkatkan peran serta
usaha mikro, usaha kecil, dan koperasi; Meningkatkan peran pelaku usaha nasional;
Mendukung pelaksanaan penelitian dan pemanfaatan barang/jasa hasil penelitian;
Meningkatkan keikutsertaan industri kreatif; mewujudkan pemerataan ekonomi dan
Memberikan perluasan kesempatan berusaha; dan Meningkatkan pengadaan
berkelanjutan. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012, pengadaan barang
dan jasa secara elektronik terbagi atas E-Tendering, E-Catalogue, dan E-Purchasing.

Jenis-Jenis e-Procurement di Indonesia

E-Tendering Tata cara pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara


terbuka dan dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang
terdaftar pada sistem pengadaan secara elektronik dengan cara
menyampaikan 1 kali penawaran dalam waktu yang telah
ditentukan

E-Catalogue Sistem informasi elektronik yang memuat daftar, jenis, spesifikasi


teknis dan harga barang tertentu dari berbagai penyedia barang/jasa
pemerintah

E-Purchasing Tata cara pembelian barang/jasa melalui sistem katalog elektronik

Data portal pengadaan nasional Indonesia tahun 2018 menunjukkan jumlah LPSE
di seluruh Indonesia sebanyak 683 LPSE yang terdiri dari 71 LPSE Kementerian
Negara/Lembaga, 525 LPSE Pemerintah Provinsi/Kota/ Kabupaten dan 87 LPSE
Perguruan Tinggi/Rumah Sakit/Instansi Lainnya.

B. Masalah-Masalah Dalam Penerapan e-Procurement di Indonesia

Menurut MacManus (2002), secara umum masalah dalam penerapan e-


procurement dapat diklasifikasikan menjadi perbedaan karakter antara sektor bisnis dan
publik, adanya ketidakpercayaan antara pemerintah dan swasta, dan kemapuan pegawai
dalam menjalankan e-procurement.

1. Perbedaan karakter antara sektor bisnis dan publik


Perbedaan karakter ini merupakan hal yang sifatnya fundamental baik
pada sektor bisnis maupun sektor publik. Dalam sektor bisnis, terdapat
kesenjangan digital dalam hal penguasaan teknologi bagi kelompok usaha
kecil yang pada sisi lain kalangan pengusaha yang memiliki keunggulan
dalam hal tersebut sangat terbantu dengan adanya pengadaan berbasis
elektronik (e-procurement). Kesenjangan tersebut bertentangan dengan
asas keterbukaan dan kompetensi yang menjadi landasan dalam
implementasi e-procurement oleh organisasi sektor publik. Kondisi
tersebut menyebabkan probabilitas untuk mengikuti dan memenangkan
tender cenderung besar pada para pengusaha.
2. Adanya ketidakpercayaan antara pemerintah dan swasta
Peraturan ataupun kebijakan menjadi basis utama dalam menjamin
penerapan e-procurement. Dalam hal ini seringkali menimbulkan
pertentangan seperti peraturan yang terlalu umum sehingga menimbulkan
tafsir yang bermacam-macam. Kondisi tersebut menciptakan adanya
ketidakpastian hukum yang berimplikasi pada kelambanan dalam
perpindahan estafet e-procurement dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Selain itu, arus utama dari keluhan swasta terhadap
pemerintah meliputi kecakapan aspek manajemen keuangan, adopsi
teknologi baru, prosedur yang berbelit-belit, kemampuan sumber daya
manusia, dan mekanisme pembayaran.
3. Kemampuan pegawai dalam menjalankan e-procurement
Kapasitas sumber daya manusia yang tidak mampu relevan terhadap
aplikasi e-procurement menyebabkan proses pengadaan barang/jasa
menjadi lambat. Salah satu wadah untuk mengatasi masalah ini ialah
dengan dilakukannya pelatihan. Namun, perlu pendekatan yang berbeda
yakni people perspective yang memberikan rasa nyaman dengan sistem
baru yang akan diberlakukan.

Selain tiga masalah diatas terdapat pula kecendrungan umum bahwa pemerintah terlalu
fokus pada aspek teknologi pada awal pengadopsian e-procurement, baru kemudian fokus
pada isu kebijakan dan organisasional. Akibatnya, implementasi e-procurement
dilakukan secara serampangan dan tanpa perencanaan.

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia memiliki lebih


dari 17.000 pulau, di mana hanya sekitar 7.000 pulau yang berpenghuni. Kalimantan,
Jawa, Sulawesi, Sumatra dan Papua merupakan pulau utama di Indonesia. Kondisi
tersebut merupakan tantangan bagi Indonesia karena dalam pembagunan infrastrukturnya
harus melintasi lautan antar pulau. Realitas tersebut tercermin melalui Indeks
Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (IP-TIK) tahun 2017 yang dilansir
oleh Badan Pusat Statistik (BPS). IP-TIK tertinggi dimiliki oleh Provinsi DKI Jakarta
dengan skor 7,61, Sedangkan raihan terendah oleh Provinsi Papua sejumlah 2,95.
Ketimpangan yang begitu nyata menyebabkan penerapan e-procurement di Indonesia
antara satu daerah dan daerah lainnya memiliki masalahnya masing-masing. Berikut
merupakan hasil kajian terhadap beberapa K/L di wilayah Republik Indonesia:

I. Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta


Sumadilaga dan Pudjijono (2011) melalui penelitiannya yaitu “Evaluasi
pelaksanaan e-Procurement pada Kementerian PU” membagi masalah-masalah
dalam pengadaan barang dan jasa secara elektronik dalam empat aspek meliputi
regulasi, sumber daya manusia, resistensi, dan teknologi. Temuan dalam tahapan
awal yang sering kali timbul pada penerapan e-procurement ialah tidak adanya
payung hukum yang kuat. Kondisi tersebut menyebabkan adanya keragu-raguan
dalam pengambilan keputusan. Sedangkan pada aspek sumber daya manusia
dipicu oleh tingkat melek internet yang rendah. Beberapa upaya pengentasan
dilakukan seperti mutasi pegawai urung menunjukkan hasil yang signifikan
karena tidak diikuti dengan transfer pengetahuan. Resistensi yang merupakan
wujud penolakan berasal dari pihak yang merasa dirugikan karena akses dan
kecepatan internet yang belum merata. Dalam hal teknologi umumnya disebabkan
oleh belum terjadinya pemerataan teknologi sehingga praktik dalam bentuk
konvensional masih sering dilakukan.
II. Pemerintah Kota Yogyakarta
Studi yang dilakukan oleh Haryati, Anditya, & Wibowo (2011) terkait
pelaksanaan pengadaan barang/jasa secara elektornik (e-procurement) pada
Pemerintah Kota Yogyakarta menghasilkan beberapa variabel yang menjadi
hambatan dalam e-procurement antara lain; faktor hukum, faktor birokrasi, serta
faktor masyarakat dan budaya. Faktor hukum disebabkan oleh adanya kerancuan
landasana hukum dimana panitia lelang berasumsi bahwa Keppres Nomor 80
Tahun 2003 tidak mengatur secara eksplisit mengenai pengadaan barang/jasa
secara elektronik. Selain itu, peraturan daerah yaitu Peraturan Walikota Nomor
137 Tahun 2009 mengandung ketidakjelasan diantara pasal-pasalnnya. Pada
faktor birokrasi tidak terbangun koordinasi yang baik karena pada tahapan
monitoring dari Badan Pengawas Daerah tidak menerima dokumen pengadaan
digital. Faktor ketiga yaitu masyarakat dan budaya terdapat dua masalah yakni
pola piker penyedia barang/jasa yang menyamakan e-procurement dengan
pengadaan konvensional dimana adanya ketakutan dokumen penawaran dapat
diketahui oleh kompetitor dan masih menggunakan email pribadi untuk
korespondensi.
III. Pemerintah Kota Surabaya
Kebijakan e-procurement telah diterapkan oleh Pemerintah Kota Surabaya sejak
tahun 2004. Dekade pertama aplikasi pengadaan barang/jasa di Kota Surabaya
menghadapi beberapa kendala teknis berikut ini:
• Penyedia barang/jasa belum memahami aplikasi e-Procurement
• Panitia Pengadaan sebagian besar masih mengalami kesulitan untuk
menggunakan dan memahami aplikasi e-Procurement
• Tingkat kelalaian sangat tinggi dalam penggunaan password dan kunci
kerahasiaan lainnya oleh pengguna baik Penyedia Barang/Jasa, Pejabat
Pelaksanaan Kegiatan maupun Panitia Pengadaan
• Jadwal lelang masih belum sepenuhnya bisa diikuti oleh Panitia
Pengadaan
• Ketersediaan fasilitas koneksi internet dan fasilitas pendukung lainnya
masih sangat terbatas untuk Panitia Pengadaan di lingkungan Pemerintah
Kota Surabaya
• Terbatasnya bandwidth menyebabkan masih seringnya terjadi kegagalan
proses pada aplikasi e-Procurement
• Kekhawatiran beberapa kalangan di internal Pemerintah Kota Surabaya
bahwa penghasilan tambahan mereka saat menjalankan aktifitas
pengelolaan pengadaan (mulai dari pengadaan, pelaksanaan dan
pengawasan) akan terpotong

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Yuwinanto (2013) terhadap


implementasi e-procurement pada Pemerintah Kota Surabaya menemukan
sejumlah kendala dalam penerapan e-procurement. Pertama, kendala teknis yang
disebabkan oleh kapasitas SDM yang mampu melaksanakan pengadaan
barang/jasa secara elektronik. Kedua, kendala internal yaitu keterbatasan server
dan tenaga teknis jaringan sistem dan kendala eksternal berupa terbatasnya unit
akses publik dalam bentuk bidding point. Ketiga, kesulitan pengguna dalam
melakukan upload data penawaran. Keempat, kurangna komitmen kepala daerah
dalam mewujudkan clean government. Kelima, terbatasnya juklak dan juknis
secara elektronik. Keenam, penyedia jasa masih memerlukan sosialisasi dan
pelatihan karena belum sepenuhnya memahami e-procurement.

IV. Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat


Pakarwati, Mulyani, & Syahrudin dalam penelitiannya yang berjudul
“Pelaksanaan Pelelangan Umum Dengan Sistem e-Procurement Berdasarkan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012” melakukan studi
terhadap peserta pelelangan umum melalui e-procurement yang berlatarbelakang
perusahaan konstruksi/kontraktor. Penelitian yang menggunakan analisis data
Skala Likert tersebut menunjukkan beberapa kendala yang ditemukan dalam
penerapan pengadaan barang/jasa secara elektronik di Kabupaten Kayong Utara.
Adapun hasil dari penelitian tersebut sebagai berikut: 1) 60% mengalami kesulitan
akses jaringan internet; 2) 65,71% mengeluhkan lambatnya jaringan internet; 3)
54,29% kontaktor mengalami kegagalan dalam penguploadan; dan 4) 60%
menyatakan kendala ditimbulkan akibat pemadaman listrik dalam waktu yang
sangat lama.
V. Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua
Faktor penghambat sebagaimana yang diungkapkan dari hasil penelitian
Prihastuti (2014) dalam pelaksanaan e-procurement di Dinas Pekerjaan Umum
Provinsi Papua terbagi menjadi 3 faktor, yaitu teknologi, sumber daya manusia,
dan hukum.
a. Teknologi
Teknologi yang dimaksudkan penelitian ini adalah kecepatan akses
internet yang lambat dan kapasitas server yang terbatas serta listrik yang
sering padam. Akses internet yang terkadang sangat lambat serta kapasitas
server yang terbatas, menjadi kendala saat proses pelaksanaan e-
procurement seperti saat melakukan upload dan download dokumen,
kegagalan pada saat download dokumen penawaran karena website
kelebihan beban, dan sulitnya mengakses informasi yang berkaitan dengan
pelelangan.
b. Sumber Daya Manusia
Tingkat melek IT belum merata keseluruh komponen masyarakat, hal ini
karena internet baru berkembang di Papua mulai tahun 2007. Data
Pengusaha Konstruksi Kota Jayapura, menunjukkan dari 600 pengusaha
yang tergabung di organisasi profesi hanya 200 pengusaha yang bisa
mengakses Sistem e-procurement. Selain itu, hasil ujian sertifikasi
pengadaan barang dan jasa terlihat bahwa dari 1.665 peserta ujian
sertifikasi pengadaan barang jasa, jumlah peserta yang lulus 11,35% (189
orang).
c. Hukum
Penelitian menunjukkan 49.2% responden menyatakan bahwa belum ada
peraturan daerah yang dapat menjadi acuan dalam pelaksanaan e-
procurement yang sesuai dengan kondisi Papua yang dapat menjadi
penghambat dalam pelaksanaan e-procurement di Dinas Pekerjaan Umum
Provinsi Papua.
VI. Kementerian Keuangan Provinsi Papua Barat
Penelitian yang dilakukan oleh Adi (2017) terhadap penerapan e-procurement
dengan fokus Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) dan lokusnya yaitu
Kementerian Keuangan Provinsi Papua Barat mengamati masalah-masalah dalam
pengadaan barang/jasa secara elektronik berdasarkan tinjauan internal dan
eksternal. Kendala internal yang dihadapi dalam penerapan e-procurement pada
LPSE Kementerian Keuangan Papua Barat adalah keterbatasan sumber daya
manusia yaitu tidak memiliki pegawai tetap namun merupakan pegawai yang
diperbantukan dari kantor-kantor vertikal Kementerian Keuangan di wilayah
Sorong sehingga pelaksanaan pelayanan kurang maksimal. Pegawai-pegawai
tersebut mempunyai tugas fungsi pokok pada kantor masing-masing sehingga jika
terjadi pekerjaan, penumpukan tugas pada kantor vertikal masing-masing akan
diselesaikan terlebih dahulu sebelum menjalankan tugas pada LPSE. Kendala
lainnya adalah kurangnya keahlian dalam bidang pengadaan barang dan jasa serta
keterampilan pengoperasian SPSE. Seluruh pegawai LPSE Kementerian
Keuangan Papua Barat sampai dengan tahun 2015 belum memiliki sertifikat
pengadaan barang dan jasa meskipun dalam proses pelayanan bagi para pengguna
SPSE serta fungsi, dalam tugas pokok para pegawai LPSE Kementerian
Keuangan tidak diharuskan memiliki sertifikat pengadaan barang dan jasa.
Kendala eksternal yang dihadapi dalam penerapan e-procurement pada LPSE
Kementerian Keuangan Papua Barat adalah jaringan listrik yang sering
mengalami pemadaman listrik secara bergilir. Hal ini menjadi kendala bagi
penyedia dan panitia lelang dalam mengikuti jadwal proses lelang yang lelang ada
di mana akan tetap berjalan sesuai jadwal yang ada pada pusat server SPSE
meskipun tidak ada proses lelang yang gagal karena pemadaman listrik bergilir.
Beberapa penyedia tidak dapat mengikuti jadwal lelang yang ada karena
mengalami pemadaman listrik. Hambatan eksternal berikutnya yang dialami
adalah kurangnya pengetahuan panitia dan penyedia seputar SPSE dan proses
lelang menurut peraturan perundang-undangan. Hal ini dikarenakan kurangnya
pelatihan dan sosialisasi yang dilakukan oleh LPSE Kementerian Keuangan Pusat
maupun LPSE Kementerian Keuangan di Papua Barat.

KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan diatas mengenai penerapan dan perkembangan e-


procurement di Indonesia serta masalah-masalah yang dihadapi dalam penerapannya
dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan e-Procurement di Indonesia berada dibawah wewenang Lembaga


Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) yang dibentuk melalui
Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007. LKPP termasuk dalam lembaga
pemerintah non departemen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
2. Penyelenggaraan pengadaan barang/jasa di Indonesia berbasis elektronik
diwujudkan melalui fasilitas Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) yang
didukung dengan Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) selaku sistem
pendukung.
3. Berdasarkan Data portal pengadaan nasional Indonesia tahun 2018 jumlah LPSE
di seluruh Indonesia sebanyak 683 LPSE yang terdiri dari 71 LPSE Kementerian
Negara/Lembaga, 525 LPSE Pemerintah Provinsi/Kota/ Kabupaten dan 87 LPSE
Perguruan Tinggi/Rumah Sakit/Instansi Lainnya.
4. Menurut MacManus (2002), secara umum masalah dalam penerapan e-
procurement dapat diklasifikasikan menjadi perbedaan karakter antara sektor
bisnis dan publik, adanya ketidakpercayaan antara pemerintah dan swasta, dan
kemapuan pegawai dalam menjalankan e-procurement.
5. Embrio e-Procurement di Indonesia dimulai sejak ditetapkannya Keputusan
Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaaan
Barang/Jasa Pemerintah yang didasari oleh pemanfaatan teknologi informasi
dengan prinsip keterbukaan, kompetitif, transparansi, dan adil dalam pengadaan
barang dan jasa menggunakan mekanisme pembiayaan APBN/APBD.
6. Hasil penelitian yang memiliki lokus berbeda-beda yakni di Jakarta, Yogyakarta,
Surabaya, Kalimantan Barat, Papua, dan Papua Barat menunjukkan korelasi
antara satu studi dan studi lainnya yang menjadi gambaran umum kondisi aktual
penerapan e-procurement di Indonesia. Masalah-masalah yang ditemui berkutat
pada aspek Regulasi, Sumber Daya Manusia, dan Teknologi.
DAFTAR PUSTAKA

Adi, C. S. W. (2017). Analisis Penerapan E-Procurement Menggunakan Sistem


Pengadaan Secara Elektronik: Studi Kasus pada Layanan Pengadaan Secara
Elektronik (LPSE) Kementerian Keuangan Papua Barat. Indonesian Treasury
Review: Jurnal Perbendaharaan, Keuangan Negara dan Kebijakan Publik, 2(2), 1-
16.
LPSE LKPP - Tentang Kami. (2018). Lkpp.go.id.
https://lpse.lkpp.go.id/eproc4/publik/tentangkami
Pakarwati, V., & Mulyani, E. Pelaksanaan Pelelangan Umum Dengan Sistem E-
procurement Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70
Tahun 2012. JeLAST: Jurnal PWK, Laut, Sipil, Tambang, 2(2).
Prihastuti, N. E. (2015). Faktor-Faktor Penghambat Dalam Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Elektronik (E-Procurement) Di Dinas Pekerjaan Umum Provinsi
Papua (Doctoral dissertation, Institut Technology Sepuluh Nopember).
PDSI KOMINFO. (2020). Lompatan Katak untuk Pemerataan Infrastruktur TIK
Indonesia. Website Resmi Kementerian Komunikasi Dan Informatika RI.
https://www.kominfo.go.id/content/detail/21767/lompatan-katak-untuk-
pemerataan-infrastruktur-tik-indonesia/0/artikel
Rahmadhani, H. (2016). Evaluasi Kinerja Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Secara
Elektronik (E-Procurement) Pemerintah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2015
(Studi Pada Unit Layanan Pengadaan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo)
(Doctoral dissertation, Universitas Brawijaya).
Sani, A. (2011). Evaluasi Penerapan e-Procurement pada Pemerintahan Provinsi Sulawesi
Selatan (Doctoral dissertation, Universitas Hasanuddin).
Yuwinanto, H. P. (2013). Implementasi E-Procurement pada Pemerintah Kota Surabaya.
Jejaring Administrasi Publik, Th V, 1, 212-231.
Peraturan Perundang-undangan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah

Anda mungkin juga menyukai