OLEH:
Latar Belakang
Salah satu produk dari e-Government adalah perwujudan proses pengadaan yang
dilakukan secara elektronik yang disebut sebagai e-Procurement. Prinsip dasar dari
pengadaan elektronik ini ialah upaya untuk melakukan transformasi dalam pelayanan
publik dengan mengedepankan transparansi, keterbukaan akses informasi, dan
mekanisme pengawasan oleh khalayak umum. Rekam jejak e-Procurement di Indonesia
dimulai sejak ditetapkannya Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaaan Barang/Jasa Pemerintah yang didasari oleh pemanfaatan
teknologi informasi dengan prinsip keterbukaan, kompetitif, transparansi, dan adil dalam
pengadaan barang dan jasa menggunakan mekanisme pembiayaan APBN/APBD.
Langkah tersebut kemudian berlanjut dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor
5 Tahun 2003 tentang Kebijakan Ekonomi Selama dan Setelah Program Kerjasama
dengan IMF yang menekankan pada efisiensi belanja negara terhadap empat kementerian
yaitu Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian
Komunikasi dan Informasi, dan Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi yang secara
eksplisit didorong agar dapat melakukan pengembangan dan implementasi e-
procurement. Menindaklanjuti hal tersebut, setahun berikutnya disusul dengan Instruksi
Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang dengan
lokus yang tetap diharapkan agar melakukan telaah dan uji coba e-procurement yang
dapat digunakan oleh Instansi Pemerintah. Kebijakan tersebut mengalami progresi yang
cukup lamban apabila merujuk pada fakta bahwa hanya 3,5% dari 4,2 juta perusahaan
yang menggeluti sektor pengadaan barang/jasa pemerintah yang terlibat (LKPP,2009:12).
Menyikapi hal tersebut kemudian pada tahun 2010 ditetapkan Peraturan Presiden Nomor
54 Tahun yang kemudian hari mengalami pembaharuan menjadi Peraturan Presiden
Nomor 72 Tahun 2012. PP tersebut menjadi stimulus dalam implementasi e-procurement
di Indonesia dimana tahun 2012 sebanyak 75% kementerian telah menerapkan Sistem
Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) dan 40% pada tingkar pemerintah daerah. Setahun
kemudian pada lingkup kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah SPSE telah
ditargetkan mencapai 100% tingkat implementasinya.
PEMBAHASAN
e-Procurement adalah proses pengadaan barang dan jasa berbasis elektronik yang
dilaksanakan secara online melalui website. Aplikasi ini merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari perkembangan e-Government yang memanfaatkan Teknologi, Informasi,
dan Komunikasi (TIK). Pelaksanaan e-Procurement di Indonesia berada dibawah
wewenang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) yang
dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007. LKPP termasuk dalam
lembaga pemerintah non departemen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Ruang lingkup pengadaan barang/jasa terdiri atas pengadaan barang, konstruksi,
konsultasi, dan jasa yang dalam menunjang fungsinya dapat berkoordinasi dengan Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Penyelenggaraan pengadaan
barang/jasa di Indonesia berbasis elektronik diwujudkan melalui fasilitas Layanan
Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) yang didukung dengan Sistem Pengadaan Secara
Elektronik (SPSE) selaku sistem pendukung. LPSE merupakan layanan yang
menggunakan teknologi informasi untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa secara
elektronik. Terbentuknya LPSE didasari oleh ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor
16 Tahun 2018 yang dalam pelaksanaan teknis operasionalnya diatur oleh Peraturan
Lembaga LKPP Nomor 14 Tahun 2018 tentang Layanan Pengadaan Secara Elektronik.
Sedangan SPSE adalah aplikasi e-procurement yang dikembangkan oleh Direktorat
Pengembangan Sistem Pengadaan Secara Elektronik LKPP untuk dapat digunakan pada
LPSE di seluruh kementerian, lembaga, maupun perangkat daerah. Pengembangan SPSE
selain dimotori oleh LKPP, turut juga berkolaborasi dengan Badan Siber dan Sandi
Negara (BSSN) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Data portal pengadaan nasional Indonesia tahun 2018 menunjukkan jumlah LPSE
di seluruh Indonesia sebanyak 683 LPSE yang terdiri dari 71 LPSE Kementerian
Negara/Lembaga, 525 LPSE Pemerintah Provinsi/Kota/ Kabupaten dan 87 LPSE
Perguruan Tinggi/Rumah Sakit/Instansi Lainnya.
Selain tiga masalah diatas terdapat pula kecendrungan umum bahwa pemerintah terlalu
fokus pada aspek teknologi pada awal pengadopsian e-procurement, baru kemudian fokus
pada isu kebijakan dan organisasional. Akibatnya, implementasi e-procurement
dilakukan secara serampangan dan tanpa perencanaan.
KESIMPULAN