Anda di halaman 1dari 6

1. secara natural institusi swasta memiliki beberapa ciri yang berbeda dengan institusi publik.

Tidak
dapat kita mungkiri, bahwa terdapat perbedaan iklim kinerja di kedua sektor institusi itu yang
disebabkan oleh adanya berbagai pengaruh kondisi (baik internal maupun external). Secara natural
institusi swasta memiliki beberapa ciri yang berbeda dengan institusi publik. Tidak dapat kita mungkiri,
bahwa terdapat perbedaan iklim kinerja di kedua sektor institusi itu yang disebabkan oleh adanya
berbagai pengaruh kondisi (baik internal maupun external). Secara internal misalnya, orientasi institusi
swasta adalah mencari laba sebanyak-banyaknya, sehingga hal ini mengharuskan mereka berusaha
mendapatkan pengguna jasa (pelanggan) sebanyak-banyaknya. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila
mereka dapat memberikan pelayanan dan produk yang memuaskan konsumen. Oleh karena itu, tidak
ada jalan lain bagi mereka selain melakukan pola manajemen dan kinerja yang paling baik agar
konsumen tidak kecewa. Tidak heran kita sering melihat karyawan swasta bekerja pada jam kerja yang
ketat, bidang tugas dan tanggung jawab yang jelas, dan menggunakan waktu secara lebih efisien. Secara
external, permintaan dan tekanan konsumen ke institusi swasta lebih bersifat langsung (direct).
Manakala konsumen mengalami kekecewaan dalam suatu pelayanan, maka mereka dapat langsung
melakukan komplain, atau berpindah ke penyedia jasa (service provider) lain. Sebagai

contoh, apabila seorang konsumen ingin membeli sepeda, dia bebas pergi ke sebuah toko (misal toko A).
Akan tetapi apabila toko A memberi pelayanan buruk, harganya mahal, kualitas barangnya jelek, dan
pelayannya tidak ramah, maka konsumen dapat pindah ke toko B. Bila toko B memberikan pelayanan
yang jelek pula, konsumen akan pergi ke toko C, dan seterusnya. Karena hal seperti ini, maka toko A, B
dan C akan bersaing memberikan pelayanan terbaik untuk konsumen.

Sejalan dengan hal tersebut, tolok ukur kesuksesan bagi organisasi, manajer dan pegawai ditentukan
seberapa banyak mereka mendapatkan pelanggan dan seberapa banyak mereka meraih keuntungan.
Dalam institusi swasta kita mengetahui bahwa pegawai dan manajer bekerja dengan cara memproduksi
barang atau jasa yang dapat dijual kepada konsumen untuk kemudian mereka akan mendapatkan
keuntungan dari selisih antara modal dan harga jual. Kita juga tahu bahwa pegawai swasta bekerja
dengan misi utama untuk mengumpulkan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi perusahaan. Sedangkan
perangkat kriteria untuk menilai seseorang berhasil atau tidak dalam menjalankan tugas juga sangat
jelas, yakni: rugi dan laba. Bila pegawai atau satu organisasi swasta mampu mendatangkan semakin
banyak keuntungan, maka dia akan semakin dinilai berhasil, sebaliknya pegawai atau organisasi yang
mendatangkan kerugian, maka dia akan dinilai gagal dalam menjalankan tugas. Hal demikian itulah yang
membuat institusi swasta memiliki semacam mekanisme penyesuaian diri yang otomatis (self adjusting
mechanism) untuk setiap saat memperbaiki pelayanan mereka supaya selalu mendapatkan pelanggan
(dan keuntungan) yang banyak (Carnoy 1995: 654).

Situasi semacam ini tidak ada di institusi publik. Orientasi rugi-laba tidak ada dalam organisasi birokrasi.
Akibatnya, tolok ukur untuk menilai kesuksesan seorang pegawai atau pejabat dalam organisasi
birokrasi juga menjadi tidak begitu jelas sehingga tidak ada stimulus yang dapat mendorong mereka
untuk bekerja maksimal. Kita tidak bisa melihat dengan jelas, siapa pejabat atau birokrat yang sukses,
dan siapa yang gagal. Ketidakjelasan ini juga mengakibatkan kekaburan dalam menentukan bagaimana
dan produk apa yang harus dihasilkan oleh suatu instansi pemerintah dan pegawainya untuk
merealisasikan misi tugasnya.

Hal yang harus dilakukan pemerintah untuk Mewujudkannya adalah dengan :

1. Meningkatnya kualitas pelayanan publik (lebih cepat, lebih murah, lebih aman, dan lebih mudah
dijangkau) pada instansi pemerintah;

2. Meningkatnya jumlah unit pelayanan yang memperoleh standarisasi pelayanan internasional pada
instansi pemerintah; dan

3. Meningkatnya indeks kepuasan masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan publik oleh masing-
masing instansi pemerintah.

2. Penyedia jasa hendaknya juga senantiasa menanamkan kebiasaan untuk memperbaiki (improve)
kualitas pelayanannya dari waktu ke waktu, bahkan selalu melakukan perbaikan yang terus menerus.
Setiap saat, pelaku pelayanan harus bertanya: Bagaimanakah kita bisa memperbaiki pelayanan? Hal
apakah yang bisa kami lakukan untuk memperbaiki pelayanan? serta Apakah yang perlu dan dapat
dilakukan segera? Dengan demikian, pikiran penyelenggara harus dipenuhi oleh rancang bangun
(design) pelayanan yang baru yang lebih fresh, menarik, efisien, efektif, dan menyenangkan
konsumennya. Lalu dari manakah ide untuk melakukan perbaikan itu? Penyelenggara pelayanan bisa
mendapatkannya dari berbagai macam sumber, seperti: 1) masukan pengguna jasa, 2) buku—buku
referensi, 3) pengalaman dari penyelenggara jasa lain, baik di dalam maupun di luar negeri, dan 4)
pendapat para pakar/praktisi pelayanan. Secara umum, kriteria yang diharapkan pelanggan terhadap
peningkatan pelayanan adalah semakin lama semakin:

1. baik (better),

2. cepat (faster),

3. diperbaharui (newer),

4. murah (cheaper), dan

3. Sederhana (simpler).

Dalam pelayanan prima, penyedia layanan juga dituntut untuk memberikan perhatian (care) yang
sepenuh hati kepada pelanggan. Walaupun dalam bisnis berbasis layanan, penyedia jasa biasanya tidak
perlu khawatir tentang pengembalian produk, mereka tetap harus memiliki kepedulian terhadap
pelanggan sebagai prioritas teratas. Konsumen perlu diperlakukan sebagai keluarga besar yang dilayani
tidak hanya dalam konteks inti pelayanan, tetapi juga dalam aspek-aspek yang lebih luas dan intim.
Memiliki data profil pelanggan jasa adalah jalan yang sangat penting sehingga sewaktuwaktu penyedia
jasa dapat memberikan perhatian, serta menyesuaikan pola layanan berdasarkan situasi konsumen.
Mengetahui apa yang pengguna jasa inginkan, serta memastikan staf terlatih dan kompeten (khususnya
di bagian Jrontliner) untuk memberikan layanan yang ditawarkan, adalah langkah pertama menuju
sukses memenuhi harapan pelanggan.

Untuk mewujudkan pelayanan prima, organisasi penyedia layanan harus selalu berusaha
mengembangkan karyawan agar mereka senantiasa memiliki keterampilan, kepekaan, dan kemauan
untuk menghayati arti pelayanan. Ada 4 langkah utama dalam memberdayakan karyawan (Steijger
2008).

1. Mengenali keterbatasan pelayanan (misalnya kendala hukum, batas keuangan, etika berinteraksi
dengan pelanggan, dll.) aturan yang masuk akal lebih lanjut mungkin diperlukan, namun terlalu banyak
aturan dapat membunuh pemberdayaan dan kepercayaan.

2. Mengembangkan keterampilan untuk pekerjaan-dengan meminta mereka melakukan apa yang harus
mereka lakukan secara lebih baik, serta memberikan pelatihan / pembinaan. Buat kesepakatan tentang
cara untuk mengukur efektivitas pelatihan.

3. Membangun kemauan karyawan dalam rangka menciptakan pelayanan prima yang berkelanjutan,
mengabadikan diri secara profesional. Perlu dibuat mekanisme incentive-disincentive agar karyawan
termotivasi secara alamiah tanpa harus membuat mereka bekerja di bawah tekanan. Karyawan yang
tidak ingin diberdayakan (misalnya ketika mereka tidak mau bertanggung jawab, dalam membuat
keputusan atau merasa terlalu berisiko) harus dipindahkan ke bagian back office.

4. Menciptakan sistem dan budaya yang mendukung pelayanan. Jika perlu, buat sistem itu dalam
departemen, divisi, dan tim yang kecil agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan praktis.

Tujuan akhir dari pelayanan prima adalah memberikan kepuasan (satisfaction) kepada pelanggan yang
melebihi dari apa yang mereka harapkan. Definisi kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan
pengguna jasa yang dengan senang hati bersedia atau bahkan ingin menggunakan kembali suatu jasa
yang pernah dia dapatkan. Hal ini biasanya terjadi setelah membandingkan kinerja (hasil) yang dirasakan
dengan harapannya, dengan diasumsikan bahwa kalau kinerja di bawah harapan, pelanggan akan
merasa kecewa. Sedangkan kalau kinerja sesuai harapan, pelanggan akan merasa puas, dan kalau kinerja
melebihi harapan, pelanggan akan sangat puas dan “ketagihan” untuk memakai jasa yang diberikan.

Contoh yang dapat dilakukan adalaha dengan melakukan pelatihan bagi pegawai, menjadikan pelanggan
sebagai pusat perhatian, melayani dengan pendekatan personal, dan menangani keluhan dengan baik.

3. pakta integritas adalah dokumen yang berisi pernyataan atau janji kepada diri sendiri tentang
komitmen melaksanakan seluruh tugas, fungsi, tanggung jawab, wewenang dan peran sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan kesanggupan untuk tidak melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Pelaksanaan pakta integritas diwajibkan bagi para pimpinan kementerian/lembaga dan pemerintah
daerah, para pejabat serta seluruh pegawai negeri sipil di lingkungan kementerian/lembaga dan
pemerintah daerah dan diawali dengan penandatanganan dokumen pakta integritas.

Tujuan pakta integritas, antara lain:

1. Memperkuat komitmen bersama dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi;

2. Menumbuhkembangkan keterbukaan dan kejujuran, serta memperlancar pelaksanaan tugas yang


berkualitas, efektif, efisien, dan akuntabel;

3. Mewujudkan pemerintah dan masyarakat Indonesia yang maju, mandiri, bertanggung jawab, dan
bermartabat dengan dilandasi oleh nilai-nilai luhur budaya bangsa, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan Pancasila.

Dampaknya terhadap profesionalisme birokrasi di Indonesia, berdasarkan uraian tersebut, pakta


integritas merupakan perjanjian yang dibuat bersama oleh pejabat di lingkungan kementerian/lembaga
dan pemerintah daerah yang berfungsi untuk menegaskan komitmen dalam menjalankan kewenangan
dengan jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kesanggupan untuk tidak melakukan
korupsi, kolusi dan nepotisme.

Pelaksanaan pakta integritas merupakan wujud pencegahan dan pemberantasan korupsi dalam
pelaksanaan pemerintahan yang transparan dan akuntabel.

Contohnya : Kapolda Jabar Irjen Pol. Drs. Ahmad Dofiri M.Si didampingi Wakapolda Jabar Brigjen Pol.
Drs. Eddy Sumitro Tambunan M.Si, beserta Pejabat Utama Polda Jabar telah melaksanakan kegiatan
Pakta Integritas dan Pengambilan Sumpah dalam rangka Penerimaan Terpadu Taruna/Taruni Akpol,
Bintara dan Tamtama Polri tahun 2021 Panda Polda Jabar, bertempat di Mapolda Jabar, Selasa
(13/4/2021).

Kapolda Jabar mengatakan bahwa Penandatanganan Pakta Integritas Seleksi Penerimaan Anggota Polri
Terpadu, merupakan suatu kontrak moral dan janji integritas yang harus dilaksanakan dengan sungguh –
sungguh sesuai prosedur yang telah ditetapkan dan bukan hanya seremonial semata karena
pertanggungjawabannya kepada Allah SWT dan konsekwensi hukum yang akan diterima

“Hal ini merupakan perwujudan komitmen jajaran Polda Jabar dalam proses penerimaan Anggota Polri,
dilaksanakan sesuai aturan yang berlaku, sehingga diharapkan setiap tahapan seleksi penerimaan ini
dapat dilaksanakan dengan prinsip Bersih, Transparan, Akuntabel dan Humanis (BETAH) serta Clear and
Clean.”

4. Pengembangan E-Government Indonesia telah diperkenalkan melalui Instruksi Presiden (Inpres)


Nomor & Tahun 2001 tertanggal 24 April 2001 tentang Telematika (Telekomunikasi, Media dan
Informatika) yang menyatakan bahwa aparat pemerintah harus menggunakan teknologi telematika
untuk mendukung good governance dan mempercepat proses demokrasi. Lebih jauh lagi, e-government
wajib diperkenalkan untuk tujuan yang berbeda di kantor-kantor pemerintahan. Administrasi publik
adalah salah satu area di mana internet dapat digunakan untuk menyediakan akses bagi semua
masyarakat yang berupa pelayanan yang mendasar dan menyederhanakan hubungan antarmasyarakat
dan pemerintah.

Beberapa contoh inisiatif implementasi e-government di Indonesia adalah: 1). Penayangan hasil pemilu
sejak tahun 2009 secara on-line dan real lime, 2). RI-Net, yaitu sistem yang menyediakan email dan
akses internet kepada para pejabat., 3). Portal nasional yang disediakan oleh kementrian yang
bertanggung jawab di bidang informasi dan komunikasi. Layanan informasi ini dapat diperoleh melalui
situs www.indonesia.go.id, 4). Sistem informasi di masing-masing kementerian dan nonkementerian S).
Penggunaan berbagai media komunikasi elektronik (internet) di beberapa pemerintah daerah di
Indonesia.

Pada bagian kegiatan belajar pertama telah disinggung beberapa hal yang menjadi hambatan atau
tantangan dalam mengimplementasikan e-government di Indonesia. Pengembangan e-government
adalah tanggung jawab bersama pemerintah dan seluruh komponen masyarakat. Oleh karena itu, yang
diperlukan pemerintah adalah mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan
kewenangan masing-masing guna terlaksananya pengembangan e-government secara nasional.

Dalam rangka menindaklanjuti upaya tersebut pemerintah melalui presiden mengeluarkan Inpres
Nomor 3 tahun 2003. Berdasarkan Inpres Nomor 3 tahun 2003, pemerintah telah menggariskan
kebijakan dan strategi nasional dalam pengembangan e-government. Ditegaskan bahwa tujuan
pengembangan e-government merupakan upaya untuk mengembangkan penyelenggaraan
pemerintahan yang berbasis elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas layanan publik secara
efektif dan efisien.

Melalui pengembangan e-government dilakukan sistem penataan manajemen dan proses kerja di
lingkungan pemerintah dengan mengotomasi pemanfaatan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi
informasi tersebut mencakup 2 (dua) aktivitas yang berkaitan yaitu:

1. Pengolahan data, pengelolaan informasi, sistem manajemen, dan proses kerja secara elektronis:

2. Pemanfaatan kemajuan teknologi informasi agar pelayanan publik dapat diakses secara mudah dan
murah oleh masyarakat di seluruh wilayah negara.

Untuk melaksanakan maksud tersebut pengembangan e-government diarahkan guna mencapai 4


(empat) tujuan, yaitu:
1. Pembentukan jaringan informasi dan transaksi pelayanan publik yang memiliki kualitas dan lingkup
yang dapat memuaskan masyarakat luas serta dapat terjangkau di seluruh wilayah Indonesia pada
setiap saat, tidak dibatasi oleh sekat waktu dan dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat:

2. Pembentukan hubungan interaktif dengan dunia usaha untuk meningkatkan perkembangan


perekonomian nasional dan memperkuat kemampuan menghadapi dan persaingan perdagangan
internasional:

3. Pembentukan mekanisme dan saluran komunikasi dengan lembagalembaga negara serta penyediaan
fasilitas dialog publik bagi masyarakat agar dapat berpartisipasi kebijakan publik,

4. Pembentukan sistem manajemen dan proses kerja yang transparan dan efisien serta mempelancar
transaksi dan layanan antarlembaga pemerintah dan pemerintah daerah otonom.

Anda mungkin juga menyukai