Anda di halaman 1dari 18

KIPRAH JAVA INSTITUUT DALAM MENDORONG PERKEMBANGAN

KEBUDAYAAN SUNDA TAHUN 1919-1927

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan untuk mengikuti Seminar Proposal Skripsi pada Program Studi


Pendidikan Sejarah

Oleh:
Kiki Rizki Fauzi NIM 1902083

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2022
1

A. Judul Penelitian
KIPRAH JAVA INSTITUUT DALAM MENDORONG PERKEMBANGAN
KEBUDAYAAN SUNDA TAHUN 1919-1927

B. Latar Belakang
Lahirnya Politik Etis yang diterapkan oleh pihak kolonial Belanda
menyebabkan banyak lahirnya kaum intelektual. Kaum intelektual ini nantinya
akan membentuk sebuah organisasi modern. Organisasi Budi Utomo menjadi
pelopor organisasi-organisasi modern selanjutnya yang menjadi sebuah corak
khas masa pergerakan nasional (Kusumasumantri, 1965, hlm. 32). Organisasi
modern yang digerakkan oleh para pemuda yang kala itu memiliki akses
pendidikan di Hindia-Belanda tidak hanya bergerak pada hal-hal yang bersifat
politis saja. Lebih dari itu, aspek-aspek lain seperti budaya menjadi fokus gerakan
yang dilakukan pada saat itu. Perkembangan praktik kolonialisme dan
imperialisme di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari proses
kedatangan bangsa Barat. Di Indonesia sendiri, kolonialisme memiliki dua aspek
kekuasaan, yang pertama berkaitan dengan kekuasaan secara fisik, yaitu dengan
menguasai tatanan politik atau ekonomi suatu wilayah, yang kedua adalah
kekuasaan pada kebudayaan yang membuahkan dampak kesadaran (Gandhi, 1998,
hlm. 15). Aspek kedua adalah upaya untuk menanamkan sebuah hegemoni dalam
rangka mempertahankan kekuasaan secara fisik. Kajian mengenai perkembangan
Java Instituut tidak dapat dilepaskan pada aspek kedua, yaitu munculnya
kesadaran-kesadaran pada masyarakat pribumi akan kebudayaan yang dimilikinya.
Mengenai pentingnya pengenalan atas masyarakat pribumi, pemerintah
kolonial Belanda mendapat inspirasi dari Inggris ketika berada di Indonesia.
Menurut Hans Groot (dalam Suhardi, dkk, 2001) melalui Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang dibentuknya, Raffles menulis
karya besarnya yang berjudul History of Java. Karya ini membawa ketertarikan
kolonialisme Belanda terhadap penguasaan pribumi pada wilayah pengetahuan.
Pada tahun 1832 berdiri sebuah lembaga yang dikenal sebagai Instituut Voor Het
Javaansche Taal di Surakarta sebagai pioneer dari kegiatan keilmuan mengenai
masyarakat pribumi terutama bahasa. Selanjutnya pada abad ke-20 berdiri Java
Instituut dengan sistem pengetahuan yang sistematis mengenai masyarakat Jawa,
2

Sunda, Bali, dan Madura (Erkelens, 2001, hlm. 30). Pengetahuan yang sistematis
maksudnya adalah bahwa masyarakat pribumi tidak hanya didekati dengan ilmu
filologi, namun telah berkembang pula ilmu-ilmu humaniora seperti sejarah,
kesenian, arsitektur, sosiologi, atau hukum Islam.
Menurut Syed Husein Alatas (1998) kegiatan kajian ilmu pengetahuan
terhadap masyarakat pribumi pada dasarnya beriringan dengan praktik
penguasaan Belanda atas wilayah jajahannya. Dalam hal ini Syed Husein Alatas
memandang bahwa kaum kolonial sebenarnya telah membangun pengetahuan
mengenai pribumi yang malas dengan jalan membuat sebuah pembenaran bahwa
mereka harus bekerja di perkebunan sebagai bagian dari upaya untuk membentuk
pribumi yang beradab. Pendirian Java Instituut pada tahun 1919 dapat dikatakan
berada di saat yang tepat, mengingat pada saat itu konteks politik di Hindia
Belanda mencapai titik penting. Titik tersebut adalah munculnya nasionalisme
yang dicirikan dengan munculnya berbagai pergerakan di Hindia-Belanda. Tujuan
dari didirikannya Java Instituut adalah untuk mendorong perkembangan
kebudayaan Jawa, Sunda, Madura, dan Bali. Kegiatan-kegiatan Java Instituut
yang cukup menonjol dan dapat menyumbangkan banyak hal bagi pengembangan
intelektualitas serta kebudayaan antara lain, diadakannya Kongres Kebudayaan
dan Sejarah, lomba karya tulis tentang budaya Jawa, menerbitkan empat majalah
yang diantaranya yaitu Djawa, Poesaka Djawi, Poesaka Soenda, dan Poesaka
Madhoera, mendirikan sekolah kerajinan tangan, didirikannya Museum Sana
Budaya pada tahun 1935, dan juga diadakan Kongres Bahasa pada Oktober 1924
di Bandung (Supardi, 2017, hlm. 113).
Organisasi-organisasi pemuda yang berkembang pada masa Pergerakan
Nasional seperti yang kita tahu bukan saja dimasukkan ke dalam buku sejarah
nasional, tetapi banyak dipublikasikan secara khusus atau secara umum oleh
media-media kala itu. Berbeda dengan Java Instituut yang hanya diekspos oleh
surat kabarnya sendiri yakni Djawa, Poesaka Djawi, Poesaka Soenda, dan
Poesaka Madhoera. Sehingga kalangan umum jarang ada yang mengetahui
tentang Java Instituut. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis akan mengkaji
bagaimana perkembangan Java Instituut dalam sudut pandang surat kabar
Poesaka Soenda. Tahun yang ditentukan dalam penelitian ini adalah 1919-1927,
3

tahun 1919 merupakan kali pertama kali Java Instituut didirikan di Yogyakarta.
Dengan berbagai macam kerangka organisasi yang tertuang dalam Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dengan tujuan awal untuk
melestarikan kebudayaan Jawa, Sunda, Madura, dan Bali. Periode 1927 yang
menjadi batas tahun dalam penelitian ini merujuk pada masa penulisan surat kabar
Poesaka Soenda yang diterbitkan oleh Java Instituut dalam rangka
memperkenalkan budaya Sunda melalui surat kabar. Hal ini mengarah pada
pengkajian mengenai bagaimana kebudayaan Sunda direpresentasikan pada surat
kabar Poesaka Soenda.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah penelitian ini, maka penting
dilakukan suatu penelusuran mengenai bagaimana Kiprah Java Instituut dalam
Mendorong Perkembangan Kebudayaan Sunda Tahun 1919-1927. Supaya
penelitian ini tidak meluas, maka penulis akan membagi fokus penelitian kedalam
beberapa pertanyaan penelitian, sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah awal berdirinya Java Instituut?
2. Bagaimana keterkaitan Java Instituut dengan organisasi lainnya pada masa
Pergerakan Nasional (1919-1927)?
3. Bagaimana peran Java Insitituut dalam mendorong perkembangan
kebudayaan Sunda (1919-1927)?

D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh keterangan dan pemahaman
mengenai Kiprah Java Instituut dalam Mendorong Perkembangan Kebudayaan
Sunda Tahun 1919-1927 yang akan dijabarkan ke dalam beberapa poin sesuai
dengan rumusan masalah yang terdapat di dalam penelitian ini:
1. Mendeskripsikan sejarah awal berdirinya Java Instituut.
2. Menganalisis hubungan budaya Java Instituut dengan organisasi lain pada
masa Pergerakan Nasional.
3. Menganalisis peran Java Instituut dalam mendorong perkembangan
kebudayaan Sunda.
4

E. Manfaat Penelitian
Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
mengenai Pergerakan Nasional Indonesia yang ditandai dengan perkembangan
berbagai organisasi, baik yang bercorak politik, ekonomi, sosial, budaya, ataupun
keilmuan. Sementara itu, secara praktis penulis berharap bahwa penelitian ini
dapat memberikan manfaat yang diantaranya, yaitu:
1. Menambah pengetahuan mengenai latar belakang lahirnya Java Instituut dan
keterkaitannya dengan organisasi lainnya di masa Pergerakan Nasional.
2. Memberikan pengetahuan dan referensi untuk topik kajian Kiprah Java
Instituut dalam Mendorong Perkembangan Kebudayaan Sunda (1919-1927).
3. Memperkaya materi pembelajaran sejarah wajib di SMA/Sederajat berkaitan
dengan Kompetensi Dasar 3.3 tentang menganalisis dampak politik, budaya,
sosial, ekonomi, dan pendidikan padad masa penjajahan bangsa Eropa
(Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris) dalam kehidupan bangsa Indonesia
masa kini.
5

F. Kajian Pustaka
a. Konsep dan Teori
1. Pergerakan Nasional
Pergerakan Nasional merupakan salah satu bagian dari perjalanan sejarah
bangsa ini yang penting adanya. Para sejarawan menginterpretasikan pergerakan
nasional berlangsung saat dimulainya politik etis 1900 hingga Indonesia merdeka.
Karena pada masa ini meliputi berdirinya organisasi-organisasi modern memiliki
cita-cita kemerdekaan bagi bangsa Indonesia telah melahirkan beberapa tokoh di
dalamnya, yang ikut andil dalam membangun bangsa ini kearah yang lebih baik.
Hal ini tidak lain adalah politik etis yang diterapkan oleh pihak pemerintah
Kolonial Belanda terhadap masyarakat “pribumi” di Hindia Belanda. Akibat dari
politik etis yang diterapkan muncul golongan-golongan pemuda intelektual yang
salah satu pemikirannya adalah Indonesia merdeka dalam berbagai bidang
(Anderson, 1988, hlm. 5).
Pergerakan Nasional memiliki sebuah arti yang luas bagi bangsa Indonesia.
Pada masa pergerakan nasional muncul gagasan nasionalisme Indonesia, corak
pergerakan yang asalnya kedaerahan berubah menjadi pergerakan berskala
nasional yang memiliki arti bahwa nasionalisme Indonesia tumbuh baik pada
masa-masa ini. Masa pergerakan nasional tidak saja pada pergerakan yang bersifat
perbaikan derajat dari sisi politik, akan tetapi juga menuju perbaikan aspek-aspek
lain seperti perekonomian, pendidikan, kebudayaan, keagamaan, dan sebagainya
(Pringgodigdo, 1980, hlm. VII). Budi Utomo dapat dikatakan sebagai pelopor
munculnya organisasi-organisasi modern. Tidak hanya memunculkan semangat
yang bersifat nasional, jiwa pergerakan nasional juga pada dasarnya telah
memasuki ranah kedaerahan. Di Jawa Barat, misalnya berdiri Paguyuban
Pasundan yang bersifat kedaerahan. Selain itu, ada juga organisasi peranakan
Belanda di Bandung yaitu Insulinde yang didirikan pada tahun 1907 dan
kemudiann berganti nama menjadi Nasionaal Indische Partij (NIP) pada bulan
Juni 1919.
Semangat pergerakan nasional tidak hanya ditandai oleh munculnya
organisasi-organisasi yang bersifat politis saja. Lebih dari itu bangsa Indonesia
juga mencoba untuk menunjukkan eksistensinya melalui organisasi atau lembaga
6

yang bergerak pada bidang kebudayaan. Organisasi yang dimaksud adalah Putri
Mardika, Sekar Rukun, Kautamaan Istri, Jong Sumateranen Bond, Kaum Betawi,
Jong Indonesia, Persatuan Minahasa, Perserikatan Selebes, dan Isti Sedar.
Sementara itu, lembaga studi kebudayaan yang muncul pada masa pergerakan
nasional adalah Java Instituut.

2. Kebudayaan Sunda
Berbicara mengenai kebudayaan Sunda tentunya tidak akan terlepas dari
unsur yang menggerakan kebudayaan tersebut. Kebudayaan sendiri terbentuk
karena keberadaan serta kebutuhan manusia untuk mengatasi alam dan
lingkungan yang menjadi tempat tinggalnya. Kebudayaan Sunda identik dengan
keberadaan masyarakat Sunda sebagai penggeraknya. Istilah Sunda sendiri berasal
dari bahasa Sansekerta, yakni “sund” atau “suddha” yang berarti bersinar, terang,
atau putih. Istilah Sunda juga kemudian dikenal dalam dalam bahasa Jawa Kuno
dan bahasa Bali dengan pengertian yang kurang lebih sama, yaitu bersih, suci,
murni, tidak bercela, air, tumpukan, pangkat, dan waspada (Ekadjati, 2009, hlm.
1). Menurut Harsojo (dalam Koentjaraningrat, 2004) secara antropologi budaya
yang dimaksud dengan Suku atau Orang Sunda adalah sekelompok orang yang
telah menggunakan bahasa dan dialek Sunda dalam kehidupan sehari-seharinya
secara turun temurun.
Sementara itu, menurut Koesoemadinata (dalam Rosidi, dkk, 2006) yang
dimaksud dengan masyarakat Sunda adalah masyarakat yang cinta pegunungan.
Pernyataan tersebut dibuktikan dengan banyaknya masyarakat Sunda yang
menghabiskan hidupnya di daerah-daerah pegunungan yang kemudian dijadikan
sebagai lahan untuk beternak dan bertani. Batas-batas wilayah etnik Sunda secara
administratif kemudian dijelaskan oleh Moriyama (2013, hlm. 12), ia mengutip
pernyataan dari Herbert de Jager (1636-1694) yang mengatakan bahwa bahasa
Sunda sebagai zondaase taal mayoritas digunakan oleh masyarakat di bagian
barat pulau Jawa. Bagi mereka yang berada di luar pulau Jawa namun
menggunakan bahasa Sunda, maka dapat dinyatakan bahwa mereka adalah orang
yang memiliki kesadaran akan budaya dan identitas Sunda yang dimilikinya.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
7

masyarakat Sunda adalah etnis atau suku bangsa yang hidup di Indonesia dengan
identitas dialek Sunda yang dibawanya. Keberadaan masyarakat Sunda umumnya
tersebar di daerah Jawa Barat.
Sementara itu, berkaitan dengan kebudayaan Sunda, menurut Edi S. Ekadjati
(2009, hlm. 7) adalah “…kebudayaan yang hidup, tumbuh, dan berkembang
dikalangan orang Sunda yang pada umumnya berdomisili di Tanah Sunda”.
Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa yang identitas dari masyarakat
Sunda sendiri adalah dialek bahasa yang digunakannya, yaitu Bahasa Sunda.
Bahasa Sunda sendiri muncul dari proses interaksi antar masyarakat Sunda yang
kemudian menjadi kebiasaan dalam berkomunikasi. Hufad (2005, hlm. 129)
menyatakan bahwa sikap ramah dan religius merupakan ciri khas dari orang
Sunda. Kecenderungan tersebut dapat dilihat dari nilai-nilai budayanya yang
kemudian menjelma menjadi sebuah pameo silih asih, silih asah, silih asuh. Arti
dari pameo tersebut adalah ‘saling mengasihi, saling memperbaiki diri, saling
melindungi’. Selain erat dengan nilai dan norma, kebudayaan Sunda juga
tercermin dalam berbagai muatan karya sastra ataupun seni seperti dongeng,
drama, ataupun karya-karya yang lainnya.

3. Java Instituut
Keberadaan Java Instituut sebagai perkumpulan studi kebudayaan yang
muncul pada masa pergerakan nasional dapat dikatakan tidak sefamiliar organisasi
lainnya, terutama mereka yang bergerak langsung pada proses perjuangan bangsa
Indonesia. Padahal perannya sangat penting terutama dalam pelaksanaan-
pelaksanaan Kongres Kebudayaan pada saat itu. Secara operasional Java Instituut
berbeda dengan Budi Utomo, Indische Partij atau bahkan organisasi lainnya yang
bersifat politis. Java Instituut merupakan sebuah lembaga studi kebudayaan yang
didirikan di Surakarta. Secara gagasan lahirnya Java Insitituut tidak terlepas dari
pelaksanaan Kongres Kebudayaan yang diselenggarakan oleh Budi Utomo.
Kongres tersebut kita kenal dengan sebutan Congres voor Javanische Cultuur
Ontwikkeling (Kongres untuk membahas pengembangan kebudayaan Jawa).
Kongres ini diadakan pada tanggal 5-7 Juli 1918 di Bangsal Kepatihan
Mangkunegaran Surakarta (Supardi, 2013, hlm. 19). Kongres kebudayaan tersebut
8

tidak hanya dihadiri oleh masyarakat Jawa saja, lebih dari itu terdapat delegasi
dari Eropa yang datang ke Solo. Diperkirakan jumlah peserta yang menghadiri
kongres ini berada pada angka seribu dua ratus orang (Hase Helle, 2006, hlm.
188). Ketika kongres selesai dilaksanakan tercetus sebuah rekomendasi agar
diadakan sebuah lembaga penelitian kebudayaan. Pada saat itu, kehadiran
lembaga penelitian sangat diperlukan dalam rangka menyelamatkan kekayaan
budaya di Pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Atas rekomendasi tersebut
kemudian pada tanggal 4 Agustus 1919 berdiri lembaga penelitian dengan nama
Java Instituut.
Dalam usaha mencapai tujuan mengembangkan kebudayaan di Pulau Jawa,
Bali, dan Madura, Java Instituut mengadakan berbagai macam kegiatan. Kegiatan
tersebut diantaranya meliputi kongres kebudayaan, pameran, kongres bahasa,
penerbitan majalah, dan mendirikan sekolah seni kerajinan (Kunst
Ambachtsschool), lomba karya tulis, riset, dan kajian, serta menggagas berdirinya
lembaga kebudayaan dan museum. Sejak awal berdiri, Java Instituut telah
memprakarsai enam kali Kongres Kebudayaan dan acara pendukungnya yang
membahas berbagai tema mengenai kebudayaan Jawa, Sunda, Madura, dan Bali.
Kongres lain yang diinisiasi oleh Java Instituut adalah Kongres Bahasa Daerah
(bahasa Jawa dan bahasa Sunda).

b. Penelitian Terdahulu
1. Skripsi
Penelitian mengenai Java Instituut sebenarnya telah ada sebelumnya yang
tertuang dalam sebuah skripsi berjudul Sejarah Java Instituut Dalam Perspektif
Discourse Orientalis (1919-1941) ditulis oleh Christian Wahyu Wijayanto
mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma pada tahun
2006. Dalam kajiannya penulis mencoba mengungkap bagaimana keberadaan
Java Instituut dari sudut pandang orientalisme dengan bersumber pada jurnal
Djawa salah satu majalah terbitan Java Instituut. Oleh karenanya studi tersebut
mengambil rentang waktu antara tahun 1919-1941 yang tak lain adalah masa
penulisan jurnal Djawa. Skripsi ini sebagian besar membahas corak orientalisme
yang tergambar pada Java Instituut. Mengingat dalam struktur kepengurusan
9

perkumpulan ini terdapat beberapa anggota yang berasal dari Belanda. Dalam hal
ini penulis juga mengungkapkan bagaimana awal perkembangan studi-studi Jawa
yang pada akhirnya terakumulasikan menjadi Java Instituut. Dalam tulisannya
juga penulis lebih banyak menyinggung representasi Jawa yang pada akhirnya
tertuang pada Museum Sanaboedaya. Kajian dalam skripsi ini juga membantu
dalam menganalisis bagaimana melihat perspektif Java Instituut dalam surat kabar
Poesaka Soenda yang masa penulisannya berada pada rentang waktu 1922-1927.
Keberadaan surat kabar Poesaka Soenda sendiri ditujukan untuk menonjolkan
eksistensi kebudayaan Sunda melalui surat kabar.

2. Jurnal
Penulis menemukan jurnal tentang Perkumpulan Sekar Rukun: Perjuangan
Pemuda Sunda Masa Pergerakan Nasional (1919-1931). Jurnal ini ditulis oleh
Mohammad Refi Omar Ar Razy (2021, hlm. 159-172). Jurnal ini membahas
mengenai kiprah organisasi Sekar Rukun pada masa pergerakan nasional. Artikel
dalam jurnal ini membantu dalam analisis awal penulis dalam melihat sudut
pandang organisasi yang memiliki tujuan untuk mengembangkan kebudayaan
Sunda. Seperti yang disebutkan dalam artikel ini bahwa pada awal keberadaannya,
Sekar Rukun ditujukan untuk mengembangkan kebudayaan Sunda seperti
melaksanakan kegiatan-kegiatan untuk memajukan bahasa Sunda dan pentas seni
seperti tonil, tembang dan pupuh. Batasan-batasan dalam artikel ini juga
membantu dalam menganalisis bagaimana nantinya hubungan Java Instituut
dengan organisasi-organisasi lainnya pada masa pergerakan nasional. Mengingat
terdapat keberadaan tokoh yang sama dalam Java Instituut dan Sekar Rukun yaitu
Hoesein Djajadiningrat.
10

G. Metode Penelitian
Dalam menyusun pembahasan mengenai Java Instituut, penulis menggunakan
metode historis atau metode sejarah. Selain itu dalam mengkaji topik yang
diangkat penulis menggunakan bantuan studi literatur sebagai teknik
pengumpulan data untuk memecahkan permasalahan yang diangkat dalam
penelitian. Merujuk pada pernyataan Gottschalk (2008) metode historis diartikan
sebagai suatu proses rekonstruksi terhadap peristiwa masa lampau dengan
berdasar pada data yang telah diuji secara kritis. Sedangkan menurut Ismaun,
Winarti, & Darmawan (2016, hlm. 40) metode historis sendiri merupakan suatu
rekonstruksi imajinatif mengenai gambaran masa lampau tentang peristiwa-
peristiwa sejarah yang secara kritis dan analitis berdasarkan bukti-bukti dan data
peninggalan masa lampau yang disajikan dalam bentuk penulisan sejarah. Metode
historis pada dasarnya bertumpu pada empat tahapan yang terdiri dari heuristik,
kritik, interpretasi, dan historiografi (Ismaun, dkk, 2016):
3.1 Heuristik
Heuristik merupakan suatu proses kegiatan dalam rangka mencari serta
menemukan sumber sejarah. Sumber sejarah sendiri diklasifikasikan menjadi
beberapa bagian. Helius Sjamsuddin (2012, hlm. 76) membagi sumber sejarah
berdasarkan kepentingan praktis, yang diantaranya terdiri dari peninggalan
(relics/remains) dan catatan (records). Sumber yang termasuk ke dalam jenis
peninggalan diantaranya, yaitu dokumen, sastra, inskripsi, surat, bahasa, adat
istiadat, artefak, dan lain sebagainya. Sedang sumber yang termasuk ke dalam
jenis records (catatan) adalah biografi, kronik, memoir, genealogi, anekdot,
lukisan, mata uang, dan lain sebagainya. Pada penelitian ini penulis memfokuskan
pada proses pencarian sumber-sumber berupa arsip mengenai Java Instituut dan
surat kabar yang dikelola oleh Java Instituut, khususnya surat kabar Poesaka
Soenda yang dikelola oleh Java Instituut dalam rangka mendorong perkembangan
budaya Sunda. Diharapkan dalam arsip dan surat kabar tersebut memuat berbagai
kegiatan yang diselenggarakan atau diikuti oleh Java Instituut, terutama kaitannya
dengan aktivitas melestarikan kebudayaan Sunda.
Selain itu, penulis juga berusaha mengumpulkan sumber-sumber pendukung
lainnya dalam mengembangkan pembahasan dalam penelitian ini. Sumber
11

pendukung yang dimaksud adalah buku, artikel jurnal, ataupun dokumen-


dokumen lain yang berkaitan dengan kiprah Java Instituut. Berdasarkan proses
pencarian sumber-sumber yang telah dilakukan oleh penulis, kebanyakan sumber
arsip mengenai Java Instituut terdapat di Arsip Nasional Republik Indonesia
(ANRI). Sedangkan untuk surat kabar Poesaka Soenda dapat ditemukan di Dinas
Perpustakaan dan Arsip Daerah (Dispusipda) Jawa Barat. Sementara itu, penulis
juga melakukan proses pencarian sumber berupa buku-buku pendukung ke
beberapa perpustakaan yang ada di Kota Bandung seperti Perpustakaan Ajip
Rosidi, Perpustakaan Batu Api, dan Perpustakaan Daerah Jawa Barat.

3.2 Kritik
Setelah data yang dibutuhkan untuk kepentingan penelitian terkumpul, maka
tahap selanjutnya adalah melakukan kritik sumber. Yang dilakukan pertama kali
oleh penulis adalah kritik eksternal yang ditujukan untuk menguji autentisitas dan
integritas sumber (Ismaun, dkk, 2016, hlm. 62). Untuk mengidentifikasi
autentisitas dari sumber berupa surat kabar dan arsip yang berkaitan dengan Java
Instituut, maka harus dilakukan pengecekan terhadap bentuk ejaan-ejaan yang
terdapat pada surat kabar atau arsip tersebut. Apakah sudah sesuai dengan bentuk
ejaan pada periode itu atau bahkan tidak sesuai. Sementara itu, untuk sumber-
sumber berupa buku dan artikel jurnal, kritik eksternal dapat dilakukan dengan
cara meninjau waktu pembuatan, latar belakang pengarang, serta kelengkapan
sumber-sumber yang digunakan oleh penulis dalam tulisannya. Dengan demikian,
autentisitas dari sumber sejarah yang ditemukan oleh penulis dapat
dipertanggungjawabkan sebagaimana mestinya.
Kemudian, setelah dilakukan kritik eksternal terhadap sumber-sumber sejarah.
Maka tahap selanjutnya adalah melakukan kritik internal. Dilakukannya kritik
internal sendiri tak lain untuk menguji kredibilitas dari suatu sumber dengan cara
melakukan analisis isi, kemampuan penulis, dan tanggung jawab moralnya
(Ismaun, dkk, 2016, hlm. 62). Dalam melakukan kritik internal terhadap sumber
sejarah, penulis mencoba untuk melihat ketersesuaian antara tulisan-tulisan yang
terdapat dalam arsip dan surat kabar Java Instituut dengan tulisan-tulisan lain
yang terdapat dalam buku “Bianglala Budaya: Rekam Jejak 95 Tahun Kongres
12

Kebudayaan 1918-2013” karya Nunus Supardi dan buku “Java-Instituut dalam


Foto” yang disusun oleh Jaap Erkelens. Pada kedua buku tersebut
menggambarkan aktivitas apa saja yang dilakukan oleh Java Instituut terutama
berkaitan dengan pelaksanaan kongres kebudayaan, ataupun kegiatan lainnya
yang berkaitan dengan upaya pelestarian kebudayaan Jawa, Sunda, Madura, dan
Bali. Dengan demikian, diharapkan sumber-sumber yanng nantinya sudah
terkumpul dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya.

3.3 Interpretasi
Interpretasi merupakan suatu proses penafsiran terhadap fakta yang didapati
pada tahap kritik sumber. Menurut Abdurrahman (2007) interpretasi artinya
proses menguraikan keterangan yang didapatkan dalam sumber sejarah. Di dalam
penafsiran juga kita mengenal istilah sintesis yang berarti proses menggabungkna
keterangan-keterangan dalam sumber sejarah untuk kemudian dilakukan analisis
dalam rangka menghasilkan penafsiran yang sesuai dengan permasalahan. Dalam
melakukan interpretasi, penulis menyesuaikan dengan konteks bahasan yang
diangkat pada penelitian tentang Java Instituut dan peranannya dalam mendorong
perkembangan kebudayaan Sunda. Hal tersebut penulis lakukan agar tidak terjadi
pembahasan yang melebar ke arah konteks pembahasan lainnya. Walaupun
demikian, penulis pun tidak hanya membatasi permasalahan pada kiprah Java
Instituut saja, tetapi juga mencoba untuk melihat bagaimana keterkaitannya
dengan organisasi-organisasi lain yang sezaman pada masa Pergerakan Nasional.
Untuk mendapatkan penafsiran yang utuh, penulis juga melakukan penafsiran
sintesis. Dalam kajian filsafat, penafsiran deterministik merupakan bentuk
sederhana dari filsafat sejarah deterministik. Menurut aliran filsafat deterministik,
keberadaan manusia pada dasarnya ditentukan oleh kekuatan diluar dirinya.
Kekuatan dari luar yang dimaksud tersebut berasal dari alam yang meliputi, faktor
geografis, etnologi, lingkungan budaya sebagai faktor sosial yang melingkunginya
(Bisri, 2007). Berkaitan dengan hal tersebut, maka penggunaan penafsiran sintesis
dalam penelitian ini bertujuan untuk menyatukan berbagai faktor yang menjadi
penggerak sejarah. Dalam penafsiran sintesis, peristiwa sejarah tidak sebabkan
oleh sebuah sebab tunggal saja. Menurut Sjamsuddin (2012) hal tersebut berarti,
13

jalannya suatu peristiwa sejarah itu sebenarnya digerakkan oleh faktor dan tenaga
bersama. Dalam hal ini manusia tetap menjadi subjek dalam peristiwa sejarah
tersebut.

3.4 Historiografi
Setelah melewati tiga tahapan di atas maka langkah terakhir yang harus
ditempuh dalam proses penulisan sejarah ini adalah historiografi. Menurut
Sjamsuddin (2012) penulis harus menjelaskan permasalahan yang diangkatnya
dalam penelitian dengan mencoba menghayati dan menjelaskan bagaimana pelaku
sejarah dalam artian Java Instituut berpikir, merasakan dan berbuat dengan latar
belakang organisasi dan perjuangan yang dilakukannya pada masa Pergerakan
Nasional. Tahap historiografi ini sebenernya mencakup proses interpretasi pula,
seperti halnya diungkapkan oleh Sjamsuddin (2012, hlm. 121) bahwa dalam
penulisan sejarah (historiografi) itu mencakup interpretasi, eksplanasi, hingga
pada tahap penyajian sejarah (expose). Historiografi merupakan ajang seorang
sejarawan dalam melakukan suatu proses rekonstruksi terhadap peristiwa di masa
lampau yang ditemukan dalam fakta-fakta sejarah. Dalam penelitian skripsi ini,
penulis akan menggunakan model eksplanasi Heurmeuneutika. Model ekplanasi
ini relevan digunakan mengingat kajian dalam skripsi ini terkait dengan proses
menafsirkan teks-teks yang terdapat di masa lalu dengan kegiatan dari pelaku
sejarah (Java Instituut).
Menurut Sjamsuddin (2012) model eksplanasi heurmeuneutika dimaksudkan
untuk mengetahui pemikiran orang lain, tidak hanya terpaku pada penafsiran
suatu teks. Lebih dari itu ada upaya lain untuk memahami mengapa dan
bagaimana seseorang atau kelompok dapat berbuat demikian. Berkaitan dengan
hal tersebut, dalam mengolah eskplanasi heurmeuneutika ini penulis mencoba
untuk menggunakan dua cara, yaitu sebagai berikut:
1) Segala bentuk kegiatan Java Instituut yang keterangannya terdapat dalam
sumber-sumber sejarah ditafsirkan dan dijelaskan arti serta maksud
sebenarnya dari keterangan tersebut. Hal ini dilakukan dalam rangka
mendapatkan suatu kesimpulan yang jelas dan mempunyai relevansi dengan
topik yang diangkat (Gottschalk, 2008).
14

2) Penulis mencoba untuk menjawab “mengapa” dan “bagaimana” Java


Instituut melakukan kegiatan-kegiatan yang mendorong perkembangan
budaya Sunda.
Setelah proses eksplanasi dilakukan maka tahapan selanjutnya yang penulis
lakukan adalah melakukan ekspose sejarah. Tahapan ini erat kaitannya dengan
proses penyajian suatu fakta sejarah yang telah ditulis ke dalam sebuah tulisan.
Proses ekspose yang akan penulis lakukan diantaranya adalah melalui skripsi ini
sebagai wujud dari historiografi.

H. Struktur Organisasi Skripsi


Berdasarkan pedoman penulisan karya tulis ilmiah yang dikeluarkan oleh
Universitas Pendidikan Indonesia pada tahun 2019, diketahui bahwa struktur
organisasi penulisan skripsi sendiri terdiri dari:
Bab I Pendahuluan akan berisi mengenai segala hal yang menjadi dasar
penulis melakukan penelitian ini seperti: 1) Latar belakang penelitian, bagian ini
memaparkan konteks penelitian yang dilakukan; 2) Rumusan masalah, bagian ini
memuat identifikasi spesifik mengenai permasalahan yang akan diteliti. Rumusan
masalah biasanya dibuat dalam bentuk pertanyaan penelitian; 3) Tujuan penelitian,
keberadaan tujuan penelitian pada dasarnya merupakan cerminan dari rumusan
masalah yang diangkat oleh peneliti; 4) Manfaat penelitian, bagian ini
menggambarkan nilai lebih atau kontribusi yang dapat diberikan oleh penelitian
yang akan dilakukan oleh peneliti; dan 5) Struktur organisasi skripsi, bagian ini
memuat sistematika penulisan skripsi dengan memberikan gambaran isi dari
setiap bab.
Bab II Kajian Pustaka akan dipaparkan hal-hal yang berkaitan dengan konten
penelitian seperti konsep atau teori yang menjadi acuan dalam keterkaitannya
dengan konten penelitian. Selain itu pada bab ini juga akan dibahas mengenai
penelitian terdahulu yang relevan dengan topik yang akan dikaji oleh penulis
dalam penelitian ini serta sebagai upaya untuk terhindar dari plagiarisme
penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini.
Bab III Metode Penelitian, pada bab ini akan dibahas mengenai metode-
metode yang digunakan penulis dalam menyusun penelitian. Metode yang
15

digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode historis. Selain itu,
proses penelitian sendiri disesuaikan dengan Pedoman Penulisan Karya Tulis
Ilmiah UPI dan berdasarkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).
Bab IV Temuan dan Pembahasan, pada bab ini penulis akan memaparkan
mengenai Kiprah Java Instituut dalam Mendorong Perkembangan Kebudayaan
Sunda (1919-1927). Temuan-temuan yang berhasil ditemukan dari sumber yang
merupakan bagian dari metode penelitian yang diolah menjadi suatu pembahasan
dan menjawab dari rumusan masalah yang telah dirumuskan pada bab
pendahuluan.
Bab V Simpulan dan Rekomendasi ini merupakan bab terakhir yang disajikan
dari penelitian ini. Dalam bab ini penulis akan menyimpulkan dari berbagai
temuan dan pembahasan yang didapat dari bab sebelumnya. Selain itu, penulis
juga akan memberikan rekomendasi untuk hal-hal yang bersangkutan dengan
penelitian seperti rekomendasi untuk penelitian selanjutnya yang mempunyai
konten yang sama namun dengan sudut pandang yang berbeda.
16

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, D. (2007). Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar-Ruzz


Media.
Alatas, S. H. (1988). Mitos Pribumi Malas. Jakarta: LP3ES.
Anderson, B. (1988). Revoloesi Pemuda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di
Jawa 1944-1946. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Ar Razy, M.R.O. (2021). Perkumpulan Sekar Rukun: Perjuangan Pemuda Sunda
Masa Pergerakan Nasional (1919-1931). HISTORIA: Jurnal Pendidik
dan Peneliti Sejarah, 4(2), 159-172.
Bisri, B. (2017). Hukum-hukum Determinisme dalam Filsafat Sejarah Ibnu
Khaldun (Dialektika antara Sains dan Teknologi). Jurnal Yaqzhan, 3(1),
1-15.
Depdikbud. (1995). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Ekadjati, E.S. (2009). Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan Sejarah Jilid 1.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Erkelens, J. (2001). Java-Instituut Dalam Foto. Jakarta: KITLV.
Gandhi, L. (1998). Postcolonial Theory A Critical Introduction. Australia: Allen
& Unwin.
Gottschalk, L. (2008). Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press.
Hasse, Helle S. (2006). Madelon Djajadiningrat: Voos tussen twee werelden. Den
Haag: Uitgeverij Conserve.
Ismaun., Winarti, M., & Darmawan, W. (2016). Pengantar Ilmu Sejarah.
Bandung: Asosiasi Pendidik dan Peneliti Sejarah.
Koentjaraningrat. (2004). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan.
Kusumasumantri, I. (1965). Sejarah Revolusi Indonesia (Jilid Pertama). Jakarta.
Moriyama, H. (2013). Semangat Baru Kolonialisme Budaya Cetak dan
Kesastraan Sunda Bad Ke-19. Depok: Komunitas Bambu.
Pringgodigdo, A.K. (1980). Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: PT
Dian Rakyat.
Rosidi, A., dkk. (ed). (2006). Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda.
Bandung: Yayasan Kebudayaan Rancage - PT Dunia Pustaka Jaya.
17

Sjamsuddin, H. (2012). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.


Suhardi, dkk. (ed). (2001). Tiga Puluh Tahun Studi Belanda di Indonesia. Depok:
Universitas Indonesia.
Supardi, N. (2013). Bianglala Budaya, Rekam Jejak 95 Tahun Kongres
Kebudayaan 1918-2013. Jakarta: Dirjen Kebudayaan Kemendikbud.
Supardi, N. (2017). Kongres Kebudayaan (1918-2003). Yogyakarta: Ombak.
Wijayanto, C.W. (2006). Sejarah Java Instituut Dalam Perspektif Discourse
Orientalis (1919-1941). (Skripsi). Program Studi Ilmu Sejarah,
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai