PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagaimana kita ketahui, di era yang semakin moderen dan maju ini, ilmu pengetahuan dari
hari ke hari semakin berkembang dengan pesat. Tuntutan masyarakat dan bangsa terhadap
pendidikan di dunia akan senantiasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Hal ini membawa
dampak terhadap eksitensi kurikulum di setiap negara yang akan mengalami perubahan sejalan
dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dan bangsanya. Begitu pula dengan ilmu pengatahuan
sosial, Ilmu yang mempelajari masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat ini, sudah tidak
terbantahkan lagi mngenai kelahirannya di Indonesia, karena adanya kebutuhan masyarakat yang
telah berkembang menuju masyarakat maju yang beradab, adil, makmur, dan sejahtera. Arah
perkembangan pendidikan ini sejalan dengan cita-cita dan tujuan nasional Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
IPS tentu tidak muncul dengan begitu saja, IPS muncul melalui sebuah perjalanan yang
panjang menghadapi tantangan-tantangan antara perlu atau tidaknya IPS untuk pembelajaran di
sekolah. IPS bersumber dari ilmu-ilmu sosial yang berkembang di masyarakat yang disederhanakan.
sehingga para Ilmuwan dan ahli-ahli bidang sosial terus mencari inovasi konsep dan kurikulum yang
paling pas untuk menjadikan IPS sebagai ilmu yang penting bagi siswa untuk menghadapi kehidupan
dalam masyarkat.
Oleh karena itu, kita perlu mengetahui bagaimana sebenarnya sejarah perkembangan IPS
secara umum dan di Indonesia?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut akan dibahas lebih lanjut
dalam bagian pembahasan.
RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PEMBAHASAN
BAB II
PEMBAHASAN
Pada tahun 1937, Edgar Bruce Wisley mengemukakan bahwa social studies adalah ilmu-ilmu
sosial yang disederhanakan untuk tujuan pendidikan. Dari pengertian ini terkandung hal-hal sebagai
berikut :
3. Aspek-aspek dari masing-masing disiplin ilmu sosial seperti contohnya aspek ilmu Sejarah perlu di
seleksi dan di sesuaikan dengan tujuan pendidikan/pembelajaran tersebut.
Antara tahun 1940-1950 NCSS mendapat serangan pertanyaan yaitu penting atau tidaknya
Social Studies menanamkan nilai dan sikap demokratis kepada para pemuda. Hal itu terjadi karena
adanya tuntutan bagi sekolah untuk mengajarkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang
diperlukan untuk berpartisipasi dalam masyarakat yang demokratis.
Pada tahun 1960-an muncul suatu gerakan akademis yang mendasar dalam pendidikan, yang
dapat dipandang sebagai revolusi dalam social studies, yang dipelopori oleh para sejarawan dan ahli-
ahli ilmu sosial. Gerakan akademis tersebut dikenal sebagai gerakan the new social studies (social
studies gaya baru). Namun demikian hingga tahun 1970-an ternyata gagasan untuk
mendapatkan the new social studies ini belum bisa menjadi kenyataan.
Pada tahun 1940-1960 terjadi tarik menarik antara dua visi social studies yaitu disatu pihak
adanya gerakan untuk mengintergrasikan berabagai disiplin ilmu sosial untuk tujuan citizhenship
education dan dilain pihak, terus bergulirnya gerakan pemisahan berbagai disiplin ilmu sosial yang
cenderung memperlemah konsepsi social studies education. Hal ini juga dipengaruhi oleh Perang
Dunia ke II.
Pada tahun 1955 terjadi terobosan besar, diungkapkan oleh Barr. dkk. (1977:37) berupa
inovasi dari Maurice Hunt dan Lawrence Metcalf yang mencoba cara baru untuk menyatukan
pengetahuan dan keterampilan ilmu sosial untuk tujuan citizhenship education. Mengubah
program social studies yang dahulunya Closed Area ( hal-hal yang tabu dalam masyarakat ) menjadi
hal-hal yang bersifat refleksi rasional dalam tujuan mengupayakan siswa untuk dapat mengam-bil
keputusan mengenai masalah-masalah yang terjadi dimasyarakat.
Pada dasarwasa 1970-an, demikian dicatat Barr. dkk. (1877:46) terjadi pertumbuhan social
studies yang serupa dengan hasilnya hampir semua proyek menitik beratkan pada inquiry process ,
desicion making, value question, and student problem oriented (Proses penelitian, pengambilan
keputusan, nilai masalah, dan orientasi permasalahan mahasiswa).
Jika dilihat dari visi dan misi dari social studies menurut Barr (1978:1917), social studies di
kembangkan menjadi tiga tradisi yaitu :
1. Social Studies Taught as Citizenship Transmission (Ilmu Sosial yang terintegrasi sebagai ilmu
Kewarganegaraan)
2. Social Studies Taught as Social Science (Ilmu Sosial sebagai disiplin ilmu yang terpisah)
3. Social Studies Taught as Revlective Inquiry (Ilmu Sosial sebagai ladang ilmu pengetahuan yang
bersifat melatih kepekaan terhadap gejala sosial yang terjadi di sekitar)
Jika dilihat dari definisi dan tujuan dari social studies ada beberapa hal, yaitu :
2. Yang merupakan tujuan utama dari mata pelajaran ini ialah mengembangkan siswa untuk menjadi
warga Negara yang memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan untuk berperan serta dalam
kehidupan berdemokrasi
3. Konten pelajaran diambil dan diseleksi dari sejarah dan ilmu-ilmu sosial yang ada dalam masyarakat
Pada NCSS tahun 1994 mewujudkan visi, misi, dan strategi baru social studies yang digariskan
dalam hal-hal sebagai berikut
Kedua, program social studies dalam dunia pendidikan persekolahan mulai dari taman kanak-
kanak hingga pendidikan menengah.
Istilah IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), untuk pertama kalinya muncul dalam Seminar
Nasional Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo menurut laporan seminar tersebut
(Panitia Seminar Nasional Civic Education, 1972:2, dalam Winaputra, 1978:42) ada 3 istilah yang
muncul dan digunakan secara bertukar pakai (interchangeably), yakni:
1. pengetahuan sosial,
Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam dunia persekolahan terjadi pada tahun
1972-1973, yakni dalam kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung.
Kurikulum PPSP dianggap sebagai pilar kedua dalam perkembangan pemikiran IPS. Pendidikan IPS
diwujudkan dalam 3 bentuk , yakni:
2) pendidikan IPS terpisah, dimana istilah IPS hanya digunakan sebagai konsep untuk mata pelajaran
geografi, sejarah, dan ekonomi
3) pendidikan Kewargaan Negara sebagai suatu bentuk IPS
Konsep pendidikan IPS PPSP kemudian menginspirasi kurikulum 1975, didalam kurikulum ini
pendidikan IPS menampilkan empat profil, yakni :
Dengan berlakunya undang-undang No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Awalnya
muncul dua kajian kurikuler, pendidikan pancasila dan pendidikan kewarganegaraan. Kemudian
tahun 1984 kedua kajian tersebut dilembagakan menjadi satu mata pelajaran, yakni Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).
Dalam kurikulum 1994 mata pelajaran PPKn merupakan mata pelajaran sosial khusus yang
wajib diikuti semua jenjang pendidikan, yang diwujudkan dalam:
2. Pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup materi Geografi, Sejarah, dan Ekonomi
Koperasi.
Disimak dari perkembangan pemikiran IPS yang terwujudkan dalam Kurikulum sampai dengan
dasawarsa 1990-an , pendidikan IPS di Indonesia mempunyai dua konsep pendidikan, yakni: pertama
pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi citizhenship transsmision dalam bentuk mata pelajaran
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Sejarah Nasional; kedua, pendidikan IPS yang
diajarkan dalam tradisi social science dalam bentuk pendidikan IPS terpisah di SMU, yang
terkonfederasi di SLTP, dan yang terintergrasi di SD.
Perkembangan IPS di Indonesia juga bisa dilihat dari kajian konseptual dari para pakar
Indonesia. Dalam pembahasannya tentang “Perspektif Pendidikan Ilmu (Pengetahuan ) Sosial.
Achmad Sanusi (1998) dalam konteks pembahasannya yang sangat mendasar mengenai pendidikan
IPS di IKIP, menyinggung sedikit tentang pengajaran IPS di sekolah.
Menurut Sanusi (1998:222-227);
7. Rendahnya rasa percaya diri siswa sebagai akibat dari; amat lunaknya isi dari pembelajaran,
kontradiksi materi dengan kenyataan, dominannya latihan berfikir taraf rendah, guru yang tidak
tangguh,persepsi negatif dan prasangka buruk dari masyarakat terhadap kedudukan dan peran ilmu
sosial dalam pembangunan masyarakat.
Oleh karena itu, Sanusi (1998) merekomendasikan perlunya reorientasi pengembangan yang
mencakup peningkatan mutu SDM dalam hal ini guru agar lebih mampu
mengembangkan kecerdasan siswa lebih optimal melalui variasi interaksi dan pemanfaatan media
dan sumber belajar yang lebih menantang.
Sanusi (1998):24-247) menyarankan upaya konseptual yang diperlukan yaitu perlunya batasan
yang jelas mengenai tujuan dan konten pendidikan ilmu sosial untuk berbagai jenjang pendidikan,
termasuk di dalamnya pola pemilihan dan pengorganisasian tema-tema pembelajaran yang dinilai
lebih esensial dan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan perubahan dalam masyarakat.
Tentang kedudukan PIPS/ PDIPS dalam konteks orang lebih luas tampaknya cukup prospektif.
Misalnya, Dahlan (1997) melihat PIPS sebagai upaya strategis pembangunan manusia seutuhnya
untuk menghadapi era globalisasi. Sementara itu Tsauri (1997:1) yang menguntip pemikiran Alfian
ketika mengenang tokoh LIPI Profesor Sarwono Prawirohardjo, melihat peranan PIPS dalam
perspektif perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia, yang seyogianya
memusatkan perhatian pada upaya pengembangan disiplin yang kuat, ketekunan yang luar biasa,
intergritas diri yang kokoh wibawa yang mantab, rasa tanggung jawab yang tinggi, dan pengertian
yang dalam.
Bertitik tolak dari pemikiran mengenai kedudukan konseptual PDIPS tersebut, dapatlah
diidentifikasi sekolah objek telaah dari sistem pengetahuan PDIPS tersebut sebagai berikut:
1. Karakteristik potensi dan perilaku belajar siswa SD, SLTP, dan SMU
6. Masalah-masalah sosial, dan masalah ilmu dan teknologi yang berdampak sosial.
Hal yang dimaksud dengan paradigma adalah accepted pattern or model: (Kuhn 1970).
Secara operasional paradigma pembangunan pengetahuan dalam bidang PDIPS siartikan sebagai
pola pikir, pola sikap, dan pola tindak yang tertata secara utuh yang seyogianya digunakan oleh para
pakar atau ilmuwan PDIPS dalam melakukan kegiatan “konstruksi, interpretasi, transformasi, dan
rekonstruksi (KITR)” pengetahuan sampai pada akhirnya ditemukan teori (Sanusi, 1998:19).
Teori inilah yang pada gilirannya membangun suatu sistem pengetahuan atau disiplin ilmu.
Namun demikian disiplin ilmu itu sendiri tidak bisa dipandang hanya sebagai akumulasi
informasi,fakta, teori paradigma. Melainkan merupakan sistem berpikir (Wilardjo, 1987; Pranarka,
1987 dalam Supriadi, 1998: 19).
Dengan menggunakan visi dinamis dari perkembangan ilmu tersebut, maka tumbuhnya
sistem pengetahuan yang baru yang kemudian berkembang menjadi disiplin baru, bukanlah sesuatu
yang aneh,tetapi justru merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Hal ini juga merupakan ciri-
ciri dari perkembangan ilmu paca-positivisme, yang oleh Khun (1970) dilukiskan bahwa ilmu
berkembang melalui alur perjalanan historis epistemologis yang dimulai dari tahap pra-paradigmatik.
Diterimanya paradigma secara meluas yang melahikan ilmu normal; ditemukannya anomali atau
penyimpangan melalui proses falsifikasi; dan pada akhirnya ditemukannya paradigma baru yang lebih
handal. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa kemudian ilmu itu berhenti, tetapi sebagaimana
dikemukakan oleh Goldstein bahwa proses ilmu itu akan berlangsung terus secara dinamis mengkuti
dinamikanya pemikiran manusia dalam menghadapi fenomena tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa social studies pada dunia persekolahan telah
mendasari sistem pengetahuan terpadu yang mengarungi waktu 60 tahun lebih yang diwadahi oleh
NCSS sejak tahun 1935 dan tercatat banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran di negara lain.
Termasuk mengenai PIPS di Indonesia.
Pendidikan IPS di Indonesia berkembang sejak tahun 1967 dengan munculnya gagasan
pengajaran IPS, kemudian muncul pengajaran IPS menurut Kurikulum SD 1963, lalu berubah menjadi
pengajaran IPS dalam kurikulum PPSP 1973, trus berubah menjadi pengajaran IPS dan PMP dalam
Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, dan akhirnya muncul mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn) dan pengajaran IPS terpadu di SD, yang terkonfederasi di SUP dan yang
terpisah di SMU atas dasar kurikulum sebagai konsekuensi logis dari munculnya PIPS dalam dunia
persekolahandi IKIP atau STKIP dikembangkan program guru IPS yang di dalam kurikulumnya
memuat konsep pendidikan disiplin IPS (PDIPS) pada tingkat sarjana, magister, dan doktor
pendidikan. Untuk mengembangkan PDIPS sebagai suatu sistem terpadu perlu diupayakan
pengembangan sinergi akademis dan pedagogis dari seluruh komponen edukatif PIPS dan PDIPS
pada FPIPS dan JPIPS serta PPS IKIP / dan penelitian semua komponen PIPS san PDIPS.
B. SARAN
Sudah saatnya guru di Indonesia tidak hanya peduli terhadap materi yang akan disampaikan
di kelas, namun juga peduli akan sejarah dari materi yang disampaikannya tersebut. Semoga uraian
di atas dapat membantu memahami dan mengerti tentang sejarah dari Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS).
DAFTAR PUSTAKA
Myers, C. B. et.al. 2000. National Standards for Social Studies Teacher 1. Washington DC: National Council
for the Social Studies.
Myers, C. B. et.al. 2000. National Standards for Social Studies Teacher 2. Program Standarts for the Initial
Preparation of Social Studies Teacher. Washington DC: National Council for the Social Studies.