Anda di halaman 1dari 4

Paruh kedua semester pertama sudah berjalan hampir seminggu.

Kehidupan sekolah mulai terasa


normal bagi Kiandra. Ia sedikit demi sedikit sudah melupakan kejadian-kejadian kurang
menyenangkan yang terjadi di sekelilingnya, di lingkungan pertemanan maupun asmaranya. Tunggu
dulu.... Asmara? Ia bahkan belum memutuskan perasaan apa yang dimilikinya saat meluapkan
amarah pada Esa, maupun ketika merajuk pada Vano. Entahlah.... Setidaknya bagi Kiandra, sekarang
ia tidak ingin terlalu mengambil pusing akan hal tersebut.

Ki....!!

Sebuah tepukan keras di pundak mengagetkan Kiandra yang sedang menyeruput segelas cokelat
panas di kantin sekolah.

"Puput.... ngagetin aja lo", ucap Kiandra setengah berteriak. Puput cengengesan lalu mengucap maaf
dengan gerakan bibirnya yang tanpa suara, tidak lupa diikuti dengan kerlingan mata genitnya.

*******

Vano saat ini sedang duduk sendirian di ruang tunggu keberangkatan internasional bandara Juanda
Surabaya. Matanya tertuju pada layar informasi penerbangan yang tergantung di langit langit ruang
tunggu, sambil sesekali melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
Penampilan Vano hari ini cukup sederhana, tidak tampak seperti orang yang akan pergi untuk waktu
yang lama. Vano terlihat rapi dengan setelan kemeja hitam polos lengan pendek yang dipadukan
celana jins berwarna abu-abu, serta sepasang sepatu kets yang biasa digunakannya. Tidak banyak
barang yang dibawa Vano pergi, hanya sebuah ransel ukuran sedang yang diletakan dipangkuannya.

Mungkin karena bukan musim liburan, tidak terlalu banyak penumpang yang memadati terminal
keberangkatan internasional. Tidak seperti momen saat liburan sekolah seperti yang biasa Vano
rasakan ketika pergi berlibur bersama teman-temannya. Sejak ia tiba, hanya ada puluhan orang
berlalu lalang di sekitar tempatnya duduk.

Di genggaman tangan Vano tampak selembar boarding pass dengan tujuan bandar udara
internasional Los Angeles. Kedua mata Vano tertuju pada lembaran tiket tersebut. Ayahnya lah yang
mempersiapkan semuanya untuk keberangkatan hari ini. Ayah Vano begitu antusias saat mendengar
Vano akhirnya mau melanjutkan sekolah di luar negeri sesuai harapannya. Suara dering notifikasi
dari ponselnya berhasil membuyarkan lamunan Vano. Ia pun merogoh saku celananya dan
mengeluarkan ponsel yang menjadi sumber suara tersebut.

Vano menatap layar ponselnya. Sebuah pesan masuk dari Esa muncul di notifikasi mengambang
ponselnya. Sebuah pesan suara.
Ragu-ragu Vano terdiam sejenak sebelum akhirnya memutuskan membuka pesan tersebut dan
mendekatkan ponselnya ke telinga. Terdengar suara Esa, orang yang sudah jadi sahabatnya selama
beberapa tahun terakhir. Teman melewati suka duka. Vano tersenyum masam saat pesan suara itu
berhenti.

Melalui pesan suara itu Esa meminta maaf atas kebodohannya dan meminta agar Vano menunda
kepergiannya untuk beberapa hari. Tujuannya agar mereka bisa berkumpul bersama sekali lagi dan
mengucapkan salam perpisahan dengan cara yang benar.

Vano mengetikkan beberapa kata pesan singkat untuk membalas pesan dari Esa, ia terdiam sejenak
lalu menekan tombol kirim. Tanpa menunggu balasan pesan tersebut Vano mematikan ponselnya
dan mencabut kartu sim dari tempatnya. Tidak lama kemudian suara pengumuman dari petugas
bandara keras terdengar, yang berarti sudah waktunya bagi ia untuk masuk ke dalam kabin pesawat
dan bersiap pergi dari kehidupannya saat ini.

Vano beranjak dari tempat duduknya dan bergegas masuk ke lorong keberangkatan. Ia
menghentikan langkahnya saat melewati tempat sampah dan membuang kartu sim serta tiket
pesawat yang sudah dipersiapkan oleh ayahnya. Pemuda itu menghela napas panjang dan
tersenyum lega. Vano mengeluarkan selembar boarding pass lain dari dalam ransel, kemudian
melanjutkan langkahnya menuju pesawat. Tidak ada tempat untuk kembali bagi Vano, setidaknya
tidak untuk saat ini.

*******

"Ckiitttt..."

Mobil SUV hitam milik Sigit mengerem tepat didepan pintu terminal kedatangan bandara. Kiandra
membuka pintu bagian tengah mobil lalu bergegas turun dan berlari menuju pintu masuk. Puput
bersiap turun menyusul sahabatnya itu namun dihentikan oleh Sigit yang menggenggam
pergelangan tangannya. Puput pun menoleh pada Sigit yang duduk di bangku pengemudi.

"Lo temenin Kiandra. Gue parkirin mobilnya dulu. Oke", pesan Sigit yang dibalas dengan anggukan
oleh Puput. Ia pun segera turun dan berlari menyusul Kiandra sementara Sigit bergegas menuju
tempat parkir terdekat untuk memarkirkan mobilnya.

Kiandra berlari sambil melihat ke sekeliling, membuat bingung beberapa pengunjung bandara saat
itu. Sesekali langkah kakinya terhenti karena melihat sosok yang berperawakan mirip seperti Vano,
lalu berlari kembali ketika menyadari bahwa yang ia lihat bukanlah orang yang dicarinya. Puput
mengikuti dibelakang dengan rasa cemas. Gadis itu bisa merasakan bahwa sahabatnya itu sedang
tidak baik-baik saja. Bahkan sepanjang perjalanan dari Malang, Kiandra hanya duduk berdiam diri
sambil menatap jalan yang dilewati dari kaca samping mobil. Puput dan Sigit tidak berniat untuk
mengajak Kiandra berbicara, sehingga sepanjang perjalanan mereka dilalui dalam keheningan. Baik
Puput maupun Sigit tahu dengan sangat jelas bahwa meskipun Kiandra ada bersama mereka, namun
pikiran gadis itu berada di tempat lain yang jauh dari raganya. "Semoga kak Vano belum berangkat",
batin Puput.

Kiandra berhenti di depan papan pengumuman keberangkatan sejumlah maskapai internasional.


Matanya dengan teliti mencari jadwal penerbangan menuju Amerika yang terpampang di papan
elektronik tersebut. Satu penerbangan sudah berstatus on boarding, sementara satu lagi berstatus
waiting room. Kiandra menoleh ke arah Puput, kemudian bergegas berlari ke arah ruang tunggu
penumpang.

Seorang petugas bandara menghentikannya ketika akan melewati area pemeriksaan.

"Mau kemana mbak?", tanya petugas berperawakan gempal tersebut.

Kiandra yang tampak kebingungan tidak bisa menjawab pertanyaan petugas. Matanya sibuk melihat
ke belakang petugas itu, mencoba menangkap sosok Vano yang mungkin masih ada di ruang tunggu
keberangkatan dari jauh.

"Maaf pak, kami mencari teman kami. Kami belum sempat berpamitan. Tolong ijinkan kami masuk
untuk melihat-lihat sebentar saja", jawab Puput menggantikan Kiandra yang mungkin bahkan tidak
mendengar ucapan petugas itu. Konsentrasi Kiandra benar-benar hanya tertuju pada keberadaan
Vano.

"Maaf kalian tidak bisa masuk tanpa boarding pass. Silahkan hubungi teman kalian lewat pesan
singkat atau telepon saja", tegas petugas tersebut.

Puput berdecak kesal. "Tolong kami pak. Sebentar saja, please", pinta Puput memelas pada petugas
bandara tersebut, namun ia tetap tidak bergeming. Sigit pun datang menghampiri mereka.

"Kenapa?", tanya Sigit pada Puput.

"Kata bapak petugas ini kita cuma boleh sampai disini, tidak boleh masuk", jawab Puput sambil
melirik ke arah petugas itu, yang tampak memandangi mereka dengan heran.
"Maaf pak, apa penerbangan ini sudah berangkat?", tanya Sigit seraya menunjukkan foto e-tiket
penerbangan yang ada di ponselnya kepada petugas tersebut. Puput melongo, Sigit yang menyadari
ekspresi aneh Puput itu langsung menjawab.

"Gue dapet dari bokapnya Vano".

Puput pun mengangguk-angguk tanda mengerti. "Ohhhh".

Petugas bandara bernama Hamid itu melihat dengan teliti e-tiket yang ditunjukkan Sigit. Sambil
mengetukkan pelan jari telunjuknya di bibir, seperti sedang berpikir keras.

Setelah beberapa detik berpikir ia pun teringat. "Ohhh kalo penerbangan yang ini sudah berangkat
sekitar lima belas menit yang lalu", jawab petugas itu dengan yakin.

Sigit menelan ludah. "Coba lihat baik-baik sekali lagi pak, apa bapak yakin penerbangan ini sudah
berangkat?", Sigit berusaha memastikan kembali, berharap petugas itu salah mengenali
penerbangan yang dimaksud.

Petugas itu kembali melihat e-tiket yang ditunjukkan Sigit kemudian mengangguk. "Iya benar,
penerbangan ini sudah berangkat. Saya tahu karena hari ini cuma ada beberapa jadwal menuju
kesana", jawab petugas itu lagi.

Air mata mengalir di pipi Kiandra, kakinya tiba-tiba terasa lemas. Hampir saja gadis itu terjatuh jika
saja Puput tidak dengan sigap menahan tubuh sahabatnya itu. Sigit mengepalkan kedua tangannya.
Seandainya ia bisa melajukan mobilnya sedikit lebih cepat, mungkin mereka masih sempat bertemu,
Begitu pikirnya.

Sigit pun berbalik dan mencoba menenangkan Kiandra. Puput memeluk sahabatnya itu, tangis
Kiandra yang tertahan sejak keberangkatan mereka dari Malang akhirnya pecah saat itu. Memang
benar kata sebagian orang, bahwa bandara adalah salah satu tempat dimana kesedihan dan tangisan
manusia yang pada hakikatnya membenci perpisahan terjadi. Mereka pun melangkahkan kaki
perlahan meninggalkan tempat itu. Kiandra berjalan dengan langkah gontai bersama kedua
temannya itu sambil sesekali menoleh ke belakang, berharap Vano muncul secara mengejutkan,
berdiri disana dan memanggil namanya. Tapi sayangnya keinginan itu tidak pernah terwujud.

Anda mungkin juga menyukai