Anda di halaman 1dari 7

PENDALAMAN MATERI

(Lembar Kerja Resume Modul)

A. Judul Modul : FIQIH


B. Kegiatan Belajar : PERNIKAHAN MONOGAMI, POLIGAMI DAN NIKAH MUT’AH (KB 2)

C. Refleksi

NO BUTIR REFLEKSI RESPON/JAWABAN


A. Konsep Nikah dalam Islam
1. Syariat Pernikahan
Kedudukan nikah dalam Islam merupakan syariat yang
terkandung didalamnya nilai-nilai ibadah. Kelayakan manusia
untuk menerima syariat tersebut paling tidak diperkuat oleh
tiga argumen.
Pertama, manusia adalah makhluk berakal dan dengan
akalnya tersebut manusia mampu menerima dan menjalankan
syariat dengan baik.
Kedua, manusia diciptakan oleh Allah berpasangan, yaitu
laki-laki dan perempuan sebagaimana dijelaskan oleh Allah swt:
Artinya: “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-
pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi
dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka
ketahui.” (QS. Yasin: 36).
Dari kehidupan berpasangan, manusia disyariatkan untuk
Konsep (Beberapa menjalin hubungan yang mulia, mengembangkan keturunan,
1 istilah dan definisi) menegaskan hak dan kewajiban antara keduanya. Untuk itu
di KB Allah menurunkan syariat yang bertujuan menjaga harkat dan
martabat serta kehormatan manusia yang disebut dengan nikah.
Ketiga, pernikahan dalam Islam disebut sebagai perilaku
para Nabi dan memasukkannya sebagai salah satu fitrah yang
dimiliki oleh manusia. Rasulullah saw bersabda “empat fitrah
yang dimiliki oleh manusia, yaitu memakai pacar, wangi-
wangian, bersiwak (gosok gigi), dan nikah”.
Pada zaman Jahiliyah telah dikenal beberapa praktek
perkawinan yang merupakan warisan turun temurun dari
perkawinan Romawi dan Persia.
a. Perkawinan pacaran (khidn), yaitu berupa pergaulan bebas
pria dan wanita sebelum perkawinan yang resmi
dilangsungkan yang tujuannya untuk mengetahui
kepribadian masing-masing pasangan.
b. Nikah badl, yaitu seorang suami minta kepada laki-laki lain
untuk saling menukar istrinya.
c. Nikah istibdha, yaitu seorang suami minta kepada laki-laki
kaya, bangsawan atau orang pandai agar bersedia
mengumpuli istrinya yang dalam keadaan suci sampai ia
hamil. Setelah itu baru si suami mengumpulinya.
d. Nikah Raht (urunan), seorang wanita dikumpuli oleh
beberapa pria sampai hamil. Ketika anaknya lahir, lalu wanita
itu menunjuk salah satu pria yang telah mengumpulinya
untuk mengakui bayi yang telah dilahirkannya sebagai
anaknya. Nikah ini sama dengan nikah baghaaya (nikah
pelacur).
Kehadiran Islam menghapus semua bentuk pernikahan di
atas karena dipandang tidak sejalan dengan naluriah dan
kehormatan manusia serta dapat dikatakan cara binatang yang
tidak mengenal aturan. Nikah dalam syariat Islam diartikan
sebagai sebuah akad yang menghalalkan pergaulan dan
membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara
laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya dengan rukun
dan syarat yang telah ditentukan. Al-Qur’an menyebut nikah
sebagai mitsaq (perjanjian) antara suami dan isteri sejak
terjadinya akad.
Sepasang calon suami istri yang ingin melangsungkan
ikatan pernikahan diharuskan untuk memenuhi syarat dan
rukun nikah. Terkait dengan rukun nikah, para ulama sepakat,
terdapat lima hal yang menjadi rukun nikah. calon suami istri,
Wali dari calon isteri, dua orang saksi, Mahar (mas kawin), dan
Ijab-qabul.
2. Hikmah atau Tujuan Nikah
Pendapat Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah
berkaitan dengan hikmah dari sebuah pernikahan, yaitu:
a. Nafsu seks termasuk tuntutan terkuat dan selalu meliputi
kehidupan manusia.
b. Pernikahan jalan terbaik untuk melahirkan anak,
memperbanyak kelahiran dan melestarikan kehidupan
dengan selalu menjaga keturunan.
c. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh dan
berkembang dalam menaungi anak masa kanak-kanak serta
tumbuhnya rasa kasih-sayang.
d. Rasa tanggung jawab dari pernikahan serta mengurus anak
dapat membangkitkan semangat dan mencurahkan segala
kemampuan dalam memperkuat potensi diri.
e. Membagi-bagi pekerjaan dan membatasi tanggung jawab
pekerjaan kepada suami dan isteri.
3. Hukum Pernikahan
Memperhatikan berbagai macam illat nikah maka hukum nikah
dapat ditetapkan sebagai berikut:
a. Wajib, hukum ini layak dibebankan kepada orang yang telah
mampu memberi nafkah, jiwanya terpanggil untuk nikah dan
jika tidak nikah khawatir terjerumus ke lembah perzinahan.
b. Sunah, hukum ini pantas bagi orang yang merindukan
pernikahan dan mampu memberi nafkah tapi sebenarnya ia
masih mampu menahan dirinya dari perbuatan zina.
c. Haram, hukum ini layak bagi orang yang tidak mampu
memberikan nafkah dan jika ia memaksakan diri untuk
menikah akan mengkhianati isterinya atau suaminya, baik
dalam pemberian nafkah lahiriyah maupun batiniyah,
sehingga dengan perkawinan itu hak-hak istri/suami tidak
terpenuhi.
B. Pernikahan Monogami dalam Ajaran Islam
1. Pengertian Monogami
Dalam kamus bahasa Indonesia, monogami berarti sistem
yang hanya memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai
satu isteri pada jangka waktu tertentu. Dari ta’rif atau definisi
tersebut dapat dipahami bahwa seorang suami yang
beristerikan satu isteri saja tidak dua atau tiga maka suami itu
menganut monogami.
Asas monogami telah ditetapkan oleh Islam sejak lima
belas abad yang lalu sebagai salah satu asas perkawinan dalam
Islam. Tujuannya untuk memberikan landasan dan modal
utama dalam pembinaan kehidupan rumah tangga yang
harmonis, sejahtera dan bahagia. Oleh karena itu hukum asal
perkawinan dalam Islam adalah monogami.
2. Dalil dan Hukum Asal Pernikahan Monogami
Pada asalnya hukum Islam menetapkan kepada laki-laki
untuk beristeri satu saja. Isyarat al-Qur’an untuk
bermonogami bagi laki-laki dapat kita pahami dari berbagai
ayat alQur’an yang memerintahkan kepada laki-laki untuk
menikah jika sudah mampu, sikap membujang
berkepanjangan tanpa alasan adalah sikap yang tidak
dibenarkan karena dalam nikah banyak terdapat kebaikan. Hal
ini dapat dilihat dalam al-Qur’an antara lain:
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di
antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha
Luas (pemberian-Nya) Lagi Maha Mengetahui”. (QS. An-Nur
32).
C. Poligami dalam Ajaran Islam
1. Pengertian dan Hukum Poligami
Secara kebahasaan yang lebih tepat adalah poligami yang
dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai “Sistem
perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki
beberapa wanita sebagai isterinya di waktu yang bersamaan”.
Namun dalam tulisan ini, selanjutnya penulis cenderung untuk
menggunakan istilah poligami untuk pembahasan dimaksud,
yaitu poligami yang bermakna pologini (suami beristeri lebih
dari satu) karena selain bisa dibenarkan secara kebahasaan
juga istilah tersebut sudah populer penyebutannya di
masyarakat untuk laki-laki yang beristeri lebih dari satu.
Yusuf Qardhawi menjelaskan kondisi darurat yang
dengannya seorang laki-laki dibolehkan berpoligami adalah
sebagai berikut:
a. Ditemukan seorang suami yang menginginkan keturunan,
akan tetapi ternyata isterinya tidak dapat melahirkan anak
disebabkan karena mandul atau penyakit.
b. Di antara suami ada yang memiliki overseks, akan tetapi
isterinya memiliki kelemahan seks, memiliki penyakit atau
masa haidhnya terlalu panjang sedangkan suaminya tidak
sabar menghadapi kelemahan isterinya tersebut.
c. Jumlah wanita lebih banyak dibanding jumlah laki-laki,
khususnya setelah terjadi peperangan. Di situ terdapat
kemaslahatan yang harus didapat oleh sebuah masyarakat
dan para wanita yang tidak menginginkan hidup tanpa suami
dan keinginan hidup tenang, cinta dan terlindungi serta
menikmati sifat keibuan.
Nafkah itu ada yang bersifat lahiriyah, yaitu nafkah yang
bersifat materi dan immateri (batiniyah). Sehubungan dengan
pembagian nafkah tersebut maka keadilan pun terbagi menjadi
dua yaitu keadilan dalam memberikan nafkah lahiriyah dan
keadilan dalam memberikan nafkah batiniyah. Pada keadilan
bentuk pertama, seorang suami dituntut untuk berlaku adil
terhadap isteri-isterinya dalam memberikan makan, minum,
pakaian, rumah, serta waktu giliran. Pemenuhan rasa keadilan
bentuk pertama ini sangat mungkin dapat dilakukan oleh
seorang suami terhadap isteri-isterinya. Maka jika seorang
suami tidak dapat berlaku adil dalam nafkah lahir ini yang
mengakibatkan isteri-isteri terzalimi, maka haram bagi laki-
laki untuk berpoligami. Allah swt berfirman dalam al-Qur’an
surat al-Nisa ayat 3:
Artinya: “Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi:
dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-
budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya”.
2. Hikmah dari Poligami
Rasyid Ridha mengemukakan empat hikmah.
a. Untuk mendapatkan anak bagi suami yang subur dan isteri
yang mandul.
b. Menjaga keutuhan keluarga tanpa harus mencerai isteri
pertama meski ia tidak berfungsi semestinya sebagai isteri
karena cacat fisik dan sebagainya.
c. Untuk menyelamatkan suami yang hiperseks dari perbuatan
free sex. Tercatat di beberapa negara Barat yang melarang
poligami mengakibatkan merajalelanya praktek prostitusi
dan free sex (kumpul kebo) dan lahirnya anak-zina yang
mencapai jumlah cukup tinggi.
d. Menyelamatkan harkat dan martabat wanita dari krisis
akhlak (melacur), terutama bagi mereka yang tinggal di
negara yang jumlah wanitanya lebih banyak dibanding laki-
laki akibat peperangan misalnya.
D. Konsep Nikah Mut’ah
1. Pengertian dan Dasar Nikah Mut’ah
Kata mut’ah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai
arti antara lain bekal yang sedikit dan barang yang
menyenangkan. Pengertian ini sejalan dengan kata mut’ah
yang terdapat dalam al-Quran yang berarti bercampur
(bersenang-senang bersama istri dengan bersenggama) dan
pemberian yang menyenangkan oleh suami kepada isterinya
yang dicerai.
Yusuf Qardhawi memberikan pengertian nikah mut’ah
secara terminologi, yaitu seorang laki-laki mengikat
(menikahi) seorang perempuan untuk waktu yang ditentukan
dengan imbalan uang yang tertentu pula. Di Indonesia, kawin
mut’ah ini popular dengan sebutan kawin kontrak.
2. Hukum Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah pada zaman Nabi diperbolehkan namun
tidak berlaku untuk semua orang hanya untuk orang tertentu
dikarenakan terdapat suatu kondisi yang sangat mendesak.
Kebolehan hukum nikah mut’ah pada zaman Nabi itu
memiliki alasan sebagai berikut:
a. Merupakan keringanan hukum (rukhsah) untuk
memberikan jalan keluar dari problematika yang dihadapi
oleh dua kelompok orang yang imannya kuat dan imannya
lemah.
b. Sebagai langkah perjalanan hukum Islam menuju
ditetapkannya kehidupan rumah tangga yang sempurna
untuk mewujudkan semua tujuan pernikahan yaitu
melestarikan keturunan, cinta kasih sayang dan
memperluas pergaulan melalui perbesanan.
Terkait dengan hukumnya, dilihat dari prosesnya
nampaknya langkah pengharaman nikah mut’ah yang
ditempuh oleh Islam dilakukan secara periodik seperti proses
pengharaman khamar. Rasulullah SAW memperbolehkan nikah
mut’ah dalam kondisi tertentu (darurat), kemudian Rasulullah
SAW mengharamkan nikah mut’ah sebagai bentuk pernikahan.
Menurut jumhur sahabat dan ulama bahwa keharaman
nikah mut’ah adalah mutlak tanpa ada pengecualian meski
dalam kondisi darurat. Pendapat ini diperkuat oleh fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang secara tegas memutuskan
bahwa hukum nikah itu haram karena selain didasari oleh dalil
yang kuat, selain nikah ini juga bertentangan dengan tujuan
pensyariatan pernikahan.
3. Nikah Mut’ah Masa Kini
Di masa sekarang ini praktek nikah mut’ah ini terjadi lagi
dan bahkan ada yang melegalkan kembali seperti yang
ditetapkan oleh kelompok syiah.
Nampaknya alasan yang dikemukakan oleh orang yang
membolehkan nikah mut’ah di atas sangatlah lemah dan sama
sekali tidak mempertimbangkan aspek tujuan dari sebuah
pernikahan yang sesungguhnya. Dengan demikian penghalalan
nikah mut’ah pada masa sekarang ini dapat dikatakan bathil
dan sangat mudah untuk ditolak baik secara aqli maupun
naqli:
a. Pertama, Islam menetapkan pernikahan sebagai ikatan
perjanjian yang kuat. Yang dibangun atas landasan motivasi
untuk hubungan yang kekal yang akan menumbuhkan cinta,
kasih sayang dan ketentraman batin serta menciptakan
keturunan yang langgeng. Sedangkan dalam nikah mut’ah
(kontrak) perkawinan tidak bersifat kekal, tapi dibatasi oleh
waktu yang telah disepakati. Dan perceraian kedua
pasangan itu secara otomatis dikarenakan habisnya masa
kontrak. Jelas nikah mut’ah ini bertentangan dengan prinsip
dan tujuan nikah dalam Islam.
b. Kedua, menghalalkan kembali nikah mut’ah berarti langkah
mundur dari sesuatu yang telah ditetapkan secara
sempurna oleh Islam.
c. Ketiga, alasan darurat untuk menghalalkan kembali nikah
mut’ah merupakan alasan yang terlalu dibuat-buat. Sebab
alasan darurat diperbolehkannya nikah mut’ah pada zaman
Nabi itu dalam keadaan berperang di mana isteri mereka
tinggal berjauhan, sulit mereka untuk bertemu.
d. Keempat, dampak negatif yang diakibatkan dari nikah
mut’ah sangat merusak dimensi sosial.
Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa nikah mut’ah yang dibolehkan dalam Islam
sudah berakhir, yaitu hanya boleh ketika zaman Nabi dengan
alasan darurat dan ada hikmah tasyri’ di dalamnya. Maka tidak
ada alasan yang dapat dibenarkan untuk kembali
menghalalkan nikah mut’ah sekarang ini. Hukum nikah mut’ah
ini telah tegas keharamannya baik dilihat secara akal dan
wahyu. “Yang haram telah jelas dan yang halal pun telah jelas”.
Daftar materi pada
2 KB yang sulit 1. Pembahasan Konsep nikah Mut’ah
dipahami

Daftar materi yang


sering mengalami
3
miskonsepsi dalam 1. Nikah Mut’ah Masa Kini
pembelajaran

Anda mungkin juga menyukai