Anda di halaman 1dari 15

BAGIAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN
JUNI 2016
UNIVERSITAS TADULAKO

AUDIT REKAM MEDIK

Oleh :
Emita Raya Katinda, S.Ked
N 111 14 021

Pembimbing :
dr. Annisa Anwar M., S.H., M.kes., Sp.F

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM ANUTAPURA
PALU
2016
RESUME (Ringkasan Keluar)
Nama : Ny. N No. RM : 38-63-58
Umur : 22 tahun Ruang : Kenari Bawah
Jenis Kelamin : Perempuan Tgl. Masuk : 02-10-2014
Alamat : Kel. Buluri Tgl. Keluar : 07-10-2014
Pangkat : - Dokter : dr. F Sp.OG

DOKUMEN PEMBERIAN INFORMASI


DOKTER PENANGGUNG JAWAB
PELAYANAN (DPJP)/TINDAKAN ---------
PEMBERI INFORMASI ---------
PENERIMA INFORMASI ----------
JENIS INFORMASI ISI INFORMASI TANDAI
PERDARAHAN 
1. DIAGNOSA MASUK
Abortus inkomplit 
2. DIAGNOSA KELUAR Anemia


3. OPERASI Kuratase


4. RINGKASAN RIWAYAT PENEMUAN FISIK PENTING:

Sakit perut tembus belakang 


 Riwayat (Anamnesa) disertai pengeluaran lendir
darah sejak kemarin, pusing
(+)
TD: 100/80 mmHg 
 Pemeriksaan Fisik N: 80x/menit
S: 36,7ᵒ

1
Darah rutin 
 Hasil-hasil Lab, RO dan Hb:8,4 g/dl
Konsultasi (yang penting): Urin
Hcg Test : Positif
Kimia Darah
HbaAg: Non Reaktif
Respon pengobatan membaik 
 Perkembangan Selama \
Perawatan/dengan
Komplikasi (jika ada)
Pengobatan yang diterima: 
 Keadaan Pasien,  Oksigen 4 LPM
Pengobatan, Kesimpulan  IVFD RL + oksitosin
pada saat keluar dari 1 Amp
Rumah Sakit dan  Inj. Transamin 1
Diagnosa Amp/IV/8 jam
 Transfusi 2 labu WB
 Cefadroxil 2x1 tab
 Meloxicam 2x1 tab
 Metilprednisolon 3x1
tab
Cara pulang: Diijinkan
pulang

2
Gambar a. dokumen pemberi informasi

3
Gambar 3. Inform Consent

4
Gambar 3. Resume medik

Pada rekam medis diatas dokumen pemberi informasi tidak diisi


Tidak terdapat lembar persetujuan tindakan medis untuk tindakan invasif
lainnya seperti:
o Pemasangan infuse
o Pemberian obat melalui suntikan
Maupun non-invasif berupa persetujuan rawat inap

5
PEMBAHASAN

Abortus adalah pengeluaran hasil pembuahan (konsepsi) dengan berat badan


janin < 500 gram atau kehamilan kurang dari 20 minggu. Insiden 15% dari semua
kehamilan yang diketahui.1

Terdapat dua jenis abortus, yaitu abortus spontan dan abortus provokatus.
Abortus spontan didefinisikan sebagai abortus yang terjadi tanpa tindakan
mekanis atau medis. Dengan kata lain yang luas digunakan adalah keguguran
(miscarriage). Sedangkan abortus yang terjadi dengan sengaja dilakukan
tindakan disebut sebagai abortus provokatus. 1

Abortus kriminalis adalah abortus yang terjadi karena tindakan-tindakan


yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis. 1

Abortus inkompletus adalah sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum
uteri dan masih ada yang tertinggal. Batasan ini juga masih terpancang pada
umur kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. 1

Perdarahan pada abortus inkomplit terjadi jika plasentam secara keseluruhan


atau sebagiam terlepas dari uterus. Pada abortus inkomplit, ostium internum
serviks membuka dan menjadi tempat lewatnya darah.2

Perdarahan akibat abortus inkomplit pada kehamilan tahap lenih lanjut


kadang parah tetapi jarang mematikan. Karena itu, pada waniya dengan
kehamilan tahap lanjut atau dengan perdarahan hebat, evakuasi segera dilakukan.
Jika terjadi demam maka pasien diberi antibiotic yang sesuai sebelum dilakukan
tindakan kuratase. 2

MCOD (Multiple Cause of Damage)


A-1 : Anemia (Hb:8,4 g/dl) (Seharusnya dicantumkan hasil pemeriksaan fisik
berupa palpasi akral (hangat/dingin); Capillary refill Time (memanjang
atau tidak); conjungtiva (anemis/tidak)
ICD 10 285.1 (Acute posthaemorhagic anemia)

6
A-2 : Perdarahan (Pusing, lemas, TD:100/70 mmHg, Nadi:80x/menit;
Perdarahan pervaginam)
ICD 10 O07.1 (Failed attempted abortion with delayed or excessive
hemorrhage; Incomplete induced abortion complicated by hemorrhage)
A-3 : Dilatasi servix (Perdarahan pervaginam; VT:Dilatasi servix 1cm)
ICD 10 O62.0 (Failure of cervical dilation due to primary uterine
inertia)
A-4 : Abortus Inkomplit (Perdarahan pervaginam; HPHT:07-07-2014; Plano
Test (+); VT: Dilatasi servix 1cm)
ICD 10 O03.4 (Retained products after spontaneous abortion Retained
tissue after pregnancy loss)
IIa : --

Berdasarkan data rekam medis pasien mengalami abortus inkomplit


yang mana pada perjalanannya terjadi dilatasi serviks internus sehingga memicu
perdarahan yang sulit berhenti sehingga terjadi anemia akut posthemoragik.
Pada rekam medis pasien ini tidak dilakukan pengisian pada lembaran
“pemberi informasi” (Gambar 1) yang merupakan bagian dari inform consent.
Selain itu pada lembar persetujuan tindakan medik untuk melakukan tindakan
kuratase, pengisian data tidak dilakukan secara lengkap (Gambar 2) dan pada data
rekam medik pasien tidak ditemukan adanya persetujuan rawat inap dan
persetujuan melakukan tindakan invasive berupa pemasangan infus dan
pemberian obat berupa injeksi intravena.
Sehingga berdasarkan audit yang dilakukan dari data rekam medik
pasien diatas, maka masalah terletak pada inform consent.
Informed consent adalah suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya
medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya, setelah pasien
mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan
untuk menolong dirinya, disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin
terjadi. Penandatanganan untuk tindakan medis yang dilakukan oleh pasien atau
keluarganya ini melalui prosedur penjelasan terlebih dahulu mengenai tindakan

7
apa saja yang akan diambil, tingkat keberhasilannya, kemungkinan risiko dan
biaya yang harus ditanggung. Proses penjelasan ini dilakukan secara lisan, karena
untuk teknis pelaksanaannya akan dilaporkan atau dicantumkan di dalam rekam
medik pasien. Setelah penjelasan diberikan oleh petugas medis, pasien atau
keluarganya harus menandatangani pernyataan yang berisi kesediaan untuk
melakukan tindakan medis, menyadari resikonya dan tidak akan menuntut dokter
yang merawatnya. Setelah pasien siap untuk melakukan tindakan yang berisiko
tersebut, dimana seorang dokter atau petugas kesehatanpun tidak berani menjamin
hasilnya, dengan alasan seorang dokter atau petugas medis bukan garantor
keberhasilan atau kesembuhan pasien. 3
Bentuk-bentuk informed consent:
1. Implied constructive consent (keadaan biasa)
Tindakan yang biasa dilakukan, telah diketahui, telah dimngerti
masyarakat umum sehingga tidak perlu lagi dibuat tertulis. Misalnya
pengambilan darah untuk laboratorium, suntikan atau jahit luka
terbuka.
2. Implied emergency (keadaan gawat darurat)
Bila pasien dalam kondisi gawat darurat, sedangkan dokter perlu
melakukan tindakan segera untuk menyelamatkan nyawa pasien
sementara pasien dan keluarganya tidak bisa membuat persetujuan
segera. Contohnya kasus henti napas/ henti jantung.
3. Expressed consent (bisa lisan atau tertulis bersifat khusus)
Persetujuan yang dinyatakan baik lisan ataupun tertulis, bila yang akan
dilakukan melebihi prosedur pemeriksaan atau tindakan biasa.
Ada 3 (tiga) peraturan perundang-undangan yang mengatur informed
consent di Indonesia yang merupakan landasan atau dasar hukum bagi praktik
pelayanan medis, yaitu3 :
1. UU No.29 Tahun 2004 tentang Paktik Kedokteran pasal 45 ayat (1)
sampai dengan (6);

8
2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik
Kedokteran;
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.585/
Menkes/Per/IX/1989 tentang persetujuan tindakan Medik

Menurut UU No.29 Tahun 2004 tentang Paktik Kedokteran pasal 45 ayat


(1) sampai dengan (6)6.
Pasal 45
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh
dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan secara lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
mencakup :
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara
tertulis maupun lisan.
(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko
tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh
yang berhak memberikan persetujuan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat
(4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

9
Adapun kewajiban dokter
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban :
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;

Hak dan Kewajiban Pasien


Pasal 52
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. menolak tindakan medis; dan
e. mendapatkan isi rekam medis.

Ketentuan persetujuan tindakan medik berdasarkan SK Dirjen Pelayanan


Medik No. HR.00.06.3.5.1866 tanggal 21 April 1999 isi informasi dan penjelasan
yang harus diberikan:
1. Tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang akan dilakukan
2. Tata cara tindakan medis yang akan dilakukan
3. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
4. Alternatif tindakan medis lain yang tersedia dan risiko-risikonya
5. Prognosis penyakit bila tindakan dilakukan
6. Diagnosis

Cara menyampaikan informasi bisa berupa lisan dan tulisan. Pihak yang
menyatakan persetujuan:
1. Pasien sendiri, umur 21 tahun lebih, atau telah menikah
2. Bagi pasien kurang dari 21 tahun dengan urutan hak: ayah atau ibu
kandung, saudara kandung

10
3. Bagi pasien kurang dari 21 tahun tidak punya orang tua atau
berhalangan, urutan hak: ayah atau ibu adopsi, saudara kandung, induk
semang
4. Bagi pasien dengan gangguan mental, urutan hak: ayah atau ibu
kandung, wali yang sah, saudara kandung
5. Bagi pasien dewasa yang telah menikah/ orang tua: suami/istri, ayah
atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara kandung

Pelaksanaan persetujuan tindakan medic dianggap benar jika memenuhi ketentuan


dibawah ini:
1. Persetujuan atau penolakan tindakan medik diberikan untuk tindakan
medis yang dinyatakan secara spesifik
2. Persetujaun atau penolakan tindakan medik diberikan tanpa paksaan
3. Persetujuan atau penolakan tindakan medik diberikan oleh seseorang yang
sehat mental dan yang berhak memberikannya dari segi hokum
4. Persetujuan atau penolakan tindakan medik diberikan setelah cukup
informasi dan penjelasan yang diperlukan.

Informed Consent sebagai Bukti Tertulis

Meskipun hanya selembar kertas tetapi Iembar Informed consent yang


telah ditandatangani dapat dijadikan bukti di pengadilan apabila terjadi tuntutan
hukum di kemudian hari. Sehubungan dengan itu, salah satu cara yang dilakukan
untuk melindungi kepentingan dokter terhadap tuntutan pasien, maka di dalam
bentuk informed consent secara tertulis dicantumkan syarat bahwa dokter tidak
akan dituntut di kemudian hari. Syarat yang dimaksud adalah pasien menyadari
sepenuhnya atas segala resiko tindakan medik yang akan dilakukan dokter, dan
jika dalam tindakan medik itu terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, maka pasien
tidak akan mengadakan tuntutan apapun ke pengadilan di kemudian hari.

Seiring dengan perkembangan informed consent, kelengkapan berkas


administrasi rumah sakit semakin disediakan seperti: Surat Pernyataan

11
Persetujuan Pengobatan, Surat Pernyataan Persetujuan Operasi dan Anastesi,
Surat Pernyataan Dirawat di Unit Khusus, dan sebagainya. Menurut Appelbaum
untuk menjadi doktrin hukum, maka Informed consent harus memenuhi syarat,
sebagai berikut: (1) Adanya kewajiban dari dokter untuk menjelaskan informasi
kepada pasien; (2) Adanya kewajiban dari dokter untuk mendapatkan izin atau
persetujuan dari pasien, sebelum dilaksanakan perawatan.

Informed consent termasuk bidang Hukum Kedokteran, sebagai cabang


Ilmu Hukum, sehingga Hukum Kedokteran pun harus mengikuti sistematik Ilmu
Hukum secara umum 10. Di dalam Ilmu Hukum dikenal tiga macam sanksi yaitu
sanksi Administratif, sanksi Perdata (ganti kerugian), dan sanksi Pidana (hukum
badan, denda). Dan masih ada sanksi di bidang Etik dan Disiplin yang termasuk
wewenang organisasi profesi secara intern yang tidak dicampuri oleh hukum.

Jika seorang dokter tidak memperoleh persetujuan tindakan kedokteran


yang sah, maka dampaknya adalah bahwa dokter tersebut akan dapat mengalami
masalah

1. Hukum Pidana
Menyentuh atau melakukan tindakan terhadap pasien tanpa persetujuan
dapat dikategorikan sebagai “penyerangan” (assault). Hal tersebut dapat menjadi
alasan pasien untuk mengadukan dokter ke penyidik polisi, meskipun kasus
semacam ini sangat jarang terjadi.

2. Hukum Perdata
Untuk mengajukan tuntutan atau klaim ganti rugi terhadap dokter, maka
pasien harus dapat menunjukkan bahwa dia tidak diperingatkan sebelumnya
mengenai hasil akhir tertentu dari tindakan dimaksud padahal apabila dia telah
diperingatkan sebelumnya maka dia tentu tidak akan mau menjalaninya, atau
menunjukkan bahwa dokter telah melakukan tindakan tanpa persetujuan
(perbuatan melanggar hukum).

12
3. Pendisiplinan oleh MKDKI.
Pendisiplinan oleh MKDKI Bila MKDKI menerima pengaduan tentang
seorang dokter atau dokter gigi yang melakukan hal tersebut, maka MKDKI akan
menyidangkannya dan dapat memberikan sanksi disiplin kedokteran, yang dapat
berupa teguran hingga rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi.

Informed consent atau Persetujuan Tindakan Medis sangat penting


sehingga para dokter harus selalu melaksanakan sebaikbaiknya agar tuntutan
hukum dari pihak pasien dapat dihindari. Jika seorang dokter tidak memperoleh
persetujuan tindakan kedokteran yang sah, maka dampaknya adalah bahwa dokter
tersebut akan dapat mengalami masalah, baik dari sisi hukum pidana, hukum
perdata, maupun pendisiplinan.

Daftar Pustaka

13
1. Prawirohadjo, S. dan Wiknjosastro, H. Ilmu kandungan. Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo : Jakarta. 1999.
2. Aborsi dalam Obstetric William Edisi 23. Jakarta;EGC
3. Adonara, Floranta. Aspek Hukum Informed Consent Dalam Pelaksanaan
Tindakan Operasi Medik
4. Jusuf Hanafiah. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC.
2008
5. Konsil Kedokteran Indonesia, Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran,
Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia, 2006
6. undang-undang republik indonesia nomor 29 tahun 2004 tentang praktik
kedokteran

14

Anda mungkin juga menyukai