Anda di halaman 1dari 14

BAGIAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL TUGAS LAPORAN SIMULASI

FAKULTAS KEDOKTERAN
MEI 2016
UNIVERSITAS TADULAKO

LAPORAN SIMULASI
PENANGGULANGAN PECANDU NARKOBA

OLEH :
REZA ADITYA ( N 111 14 033 )
FAUZYAH FAHMA ( N 111 14 027 )

PEMBIMBING :

dr. ANNISA ANWAR MUTHAHER, S.H, M.Kes, Sp.F

DALAM RANGKA MENYELESAIKAN TUGAS PADA


BAGIAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2016
PENANGGULANGAN PECANDU NARKOBA

Tim Asesmen Terpadu terdiri dari Tim Dokter dan Tim Hukum. Tim Dokter
terdiri dari dokter umum atau dokter spesialis kedokteran kesehatan jiwa atau dokter
spesialis forensic dan/atau psikolog, beranggotakan minimal 2 (dua) orang dari
Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang sudah tersertifikasi oleh Kemenkes atas
rekomendasi dari Kementerian Kesehatan untuk Tim Asesmen tingkat Pusat, Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota untuk Tim Asesmen ditingkat
Provinsi/Kab/Kota. Sedangkan Tim hukum beranggotakan masing-masing 1 (satu)
orang terdiri dari unsur POLRI (ditunjukoleh Dir IV Narkoba, DirNarkoba Polda,
atau Kasat Narkoba Polres), unsur BNN (Penyidik lain yang ditunjuk oleh Deputi
Pemberantasan/Kepala BNNP/BNNK), unsure Kejaksaan (jaksa yang ditunjuk), dan
Kemenkumham (BAPAS) apabila tersangka adalah anak-anak.

Asesmen merupakan suatu tindakan penilaian untuk mengetahui kondisi residen


akibat penyalah gunaan narkoba yang meliputi aspek medis dan aspek sosial.
Asesmen dilakukan dengan cara wawancara, observasi, serta pemeriksaan fisik dan
psikis residen. Wawancara menggunakan format asesmen yang berlaku/standar yang
terdapat dalam PP 25 tahun 2011 tentang wajib lapor dan sesuai dengan format
Adiction Severity Index (ASI). Sedangkan observasi meliputi atas perilaku, proses
berfikir dan emosi pecandu narkoba. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik
diakhiri dengan penyusunan rencana terapi. Di bawah ini adalah tahapan pelaksanaan
asesmen terhadap penyalah guna narkoba :

1. Pemeriksaan urin atau rambut untuk mengetahui jenis narkoba dan riwayat
penyalah gunaan narkoba.
2. Wawancara menggunakan format asesmen yang berlaku / standar dalam PP
25 tahun 2011 tentang wajib lapor dan sesuai dengan format Adiction
Severity Index (ASI) yang meliputi riwayat kesehatan, riwayat pekerjaan /
dukungan hidup, riwayat penggunaan narkoba, riwayat keterlibatan pada
tindak kriminalitas, riwayat keluarga dan sosial, serta riwayat psikiatris
pecandu narkoba.
3. Pemeriksaan fisik.
4. Pemberian terapi simptomatik jika diperlukan. Pemberian terapi simptomatik
tidak harus didahului oleh asesmen, jika kondisi fisik tidak memungkinkan
asesmen dapat ditunda dengan mendahulukan penanganan kegawatdaruratan
dan terapi simptomatik.
5. Rencana terapi.

Setelah melakukan asesmen, beberapa hal yang harus dilakukan oleh petugas /
asesor berdasarkan diagnosis kerja yang ditentukan dan berdasarkan hasil asesmen,
petugas / asesor harus menyusun rencana terapi dan kemungkinan melakukan kasus
rujukan terkait kondisi fisik, psikis, dan sosial residen. Asesor dapat menentukan
lebih dari satu tindakan yang tertera :

 Asesmen lanjutan / mendalam.


 Evaluasi psikologis.
 Program detoksifikasi.
 Wawancara motivasional.
 Intervensi singkat.
 Terapi rumatan (tidak dilakukan di lingkungan BNN).
 Rehabilitasi rawat inap.
 Konseling.
 Dan lain-lain.

Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fungsi-fungsi organ tubuh dan


pemeriksaan penunjang jika diperlukan. Asesmen dapat dilakukan pada tahap awal,
proses, dan setelah rehabilitasi yang dilakukan sekurang-kurangnya 6 bulan sekali.
Asesmen bersifat rahasia dan dilakukan oleh tim dengan dokter sebagai
penanggungjawab.

1. PEMERIKSAAN NARKOBA

A. Tes Rambut
Tes rambut memotong sedikit rambut Anda untuk sampel (biasanya 1-3
gumpal, sekitar 50 helai setiap gumpalnya). Kebanyakan sampel potongan
rambut diambil dari rambut pada bagian belakang kepala sehingga tidak merusak
gaya rambut Anda.

 Periode waktu deteksi standar untuk tes rambut adalah 90 hari. Karena
rambut tumbuh sekitar 3,8 cm dalam 90 hari, rambut dengan panjang sekitar
3,8 cm lah yang ditargetkan untuk dipotong. Rambut yang lebih panjang
akan menyediakan periode waktu deteksi yang lebih lama. Contohnya,
sehelai rambut sepanjang 15 cm dapat berpotensi mengungkapkan
penggunaan narkoba setahun yang lalu. Namun, 90 hari adalah periode
waktu deteksi yang paling umum, jadi, biasanya rambut panjang dipotong
menjadi 3,8 cm sebelum dites.
 Tergantung pada jenis narkoba dan proses tes tertentu, tes rambut dapat atau
tidak dapat mendeteksi apakah penggunaan narkoba telah berhenti.
Contohnya, opiat terikat kuat pada batang rambut, sedangkan kokain dapat
berpindah sepanjang batang rambut. Dalam kasus ini, tes-tes tertentu dapat
mendeteksi perkiraan waktu penggunaan opiat berdasarkan posisinya pada
batang rambut, sedangkan ini mustahil untuk kokain
 Jika tidak ada rambut yang tersedia di kepala Anda (Anda botak atau kepala
Anda dicukur gundul), rambut dari bagian lain tubuh dapat digunakan untuk
tes.

Jenis Narkoba Tes Rambut


Amphetamin Hingga 90 hari
Methamphetamin Hingga 90 hari
Ekstasi (MDMA) Hingga 90 hari
Cannabis Hingga 90 hari
Kokain Hingga 90 hari
Morfin Hingga 90 hari
Metadon Hingga 90 hari
PCP Hingga 90 hari
Tabel 1. Waktu yang di butuhkan untuk memeriksa
zat narkotika di rambut

B. Tes Urin
Urin merupakan spesimen yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan
narkoba rutin karena ketersediaannya dalam jumlah besar dan memiliki kadar
obat dalam jumlah besar sehingga lebih mudah mendeteksi obat dibandingkan
pada spesimen lain. Obat-obatan dalam urin biasanya dapat dideteksi sesudah 1-
3hari. Kelemahan pemeriksaan urin adalah mudahnya dilakukan pemalsuan
dengan cara substitusi dengan bahan lain maupun diencerkan sehingga
mengacaukan hasil pemeriksaan.
Obat Durasi Deteksi dalam Urin
Amfetamin dan metamfetamin 1-2 hari
Barbiturat 1-3 hari
Benzodiazepin Sampai 21 hari
Kanabinoid Sampai 60 hari
Kokain 1-3 hari
Methadon 1-3 hari
Opiat 1-3 hari
Tabel 1. Waktu yang di butuhkan untuk memeriksa
zat narkotika pada urin

Dibandingkan berbagai spesimen yang digunakan untuk pemeriksaan


narkoba, urin merupakan spesimen yang paling mudah dimanipulasi. Manipulasi
yang dilakukan bertujuan mengubah hasil pemeriksaan. Secara umum, terdapat
tiga jenis manipulasi pada urin yang akan dilakukan pemeriksaan narkoba:
1. Menurunkan konsentrasi obat dengan cara mengkonsumsi obat untuk
detoksifikasi ataupun meminum air dalam jumlah besar
2. Menurunkan kadar obat dalam urin dengan cara menambahkan air pada urin
yang telah ditampung
3. Merusak obat atau mengubah pH sehingga mengganggu pemeriksaan
dengan cara menambahkan berbagai substansi seperti bahan kimia maupun
produk detoksifikasi.
Untuk mengatasi pemalsuan urin, dapat dilakukan beberapa hal terutama
dengan pengawasan saat pengambilan urin dan melakukan mendeteksi
penambahan zat-zat manipulatif dalam sampel urin. Berbagai produk rumah
tangga digunakan untuk memalsukan spesimen urin seperti garam dapur, cuka
rumah tangga, pemutih pakaian, konsentrat jus jeruk, tetes mata dan sebagainya.
Berikut beberapa prosedur yang dapat dilakukan untuk mengurangi
kemungkinan pemalsun pada skrining narkoba pada urin.
1. Melepaskan pakaian luar yang tidak begitu berguna (jaket, syal dll)
2. Memindahkan benda/ substansi pada area pengambilan sampel yang dapat
digunakan untuk memalsukan urin (air, sabun cuci tangan)
3. Menaruh disinfektan berwarna biru pada air pembilas yang terdapat dalam
area pengambilan sampel
4. Meminta untuk mengeluarkan dan menyimpan barang-barang yang terdapat
di saku pasien
5. Menyimpan barang-barang pribadi dengan pakaian luar (tas, ransel)
6. Menginstruksikan pasien untuk mencuci tangan dan mengeringkannya (lebih
baik dengan sabun cuci tangan cair) dengan pengawasan dan tidak mencuci
tangan sampai pasien menyerahkan spesimen.
Terdapat pemeriksaan sederhana untuk mendeteksi adanya manipulasi
ataupun penambahan zat-zat yang mengganggu pemeriksaan. Kondisi urin
berikut ini merupakan keadaan normal, dan keadaan urin di luar kondisi berikut
patut dicurigai terjadinya manipulasi maupun substitusi urin:
1. Suhu urin harus dicatat dalam waktu 4 menit sesudah pengambilan sampel
dengan suhu di antara 32-380C dan tetap di atas 330C dalam waktu 15
menit.
2. pH urin normal berkisar antara 4,5-8
3. Berat jenis urin berkisar antara 1,002-1,020
4. Konsentrasi kreatinin lebih dari 20mg/dL
5. Tampilan urin normal (tidak berbusa, keruh, berwarna gelap atau sangat
jernih dan kuning muda)

C. Tes darah

Selain dilakukan pemeriksaan urin dan rapid test seperti Strip/Stick dan Card
Test, dapat dilakukan tes darah. Pada pengguna narkoba, akan didapat hasil
SGOT dan SGPT yang meningkat karena biasanya pemakaian narkoba dalam
jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya hepatomegali.

2. TERAPI MEDIS
Terapi ini antara lain ditujukan untuk :
a. TERAPI TERHADAP KEADAAN INTOKSIKASI
 Intoksikasi opioida :
Beri Naloxone HC 1 0,4 mg IV, IM atau SC dapat pula diulang setelah 2-
3 menit sampai 2-3 kali
 Intoksikasi kanabis (ganja):
Ajaklah bicara yang menenangkan pasien.
Bila perlu beri : Diazepam 10-30 mg oral atau parenteral, Clobazam 3x10
mg.
 Intoksikasi kokain dan amfetamin
Beri Diazepam 10-30 mg oral atau pareteral,atau Klordiazepoksid 10-25
mg oral atau Clobazam 3x10 mg. Dapat diulang setelah 30 menit sampai
60 menit. Untuk mengatasi palpitasi beri propanolol 3x10-40 mg oral
 Intoksikasi alkohol :
Mandi air dingin bergantian air hangat, Minum kopi kental, Aktivitas
fisik (sit-up,push-up), Bila belum lama diminum bisa disuruh muntahkan
 Intoksikasi sedatif-hipnotif (Misal : Valium,pil BK, MG,Lexo,Rohip):
Melonggarkan pakaian Membarsihkan lender pada saluran napas Bila
oksigen dan infus garam fisiologis
b. TERAPI TERHADAP KEADAAN OVER DOSIS
 Usahakan agar pernapasan berjalan lancar, yaitu :
- Lurus dan tengadahkan (ekstenikan) leher kepada pasien (jika
diperlukan dapat memberikan bantalan dibawah bahu)
- Kendurkan pakaian yang terlalu ketat
- Hilangkan obstruksi pada saluran napas
- Bila perlu berikan oksigen
 Usahakan agar peredaran darah berjalan lancar
- Bila jantung berhenti, lakukan masase jantung eksternal,injeksi
- adrenalin 0.1-0.2 cc I.M
- Bila timbul asidosis (misalnya bibir dan ujung jari
biru,hiperventilasi) karena sirkulasi darah yang tidak memadai, beri
infus 50 ml sodium bikarbonas
 Pasang infus dan berikan cairan (misalnya : RL atau NaC1 0.9 %) dengan
kecepatan rendah (10-12 tetes permenit) terlebih dahulu sampai ada
indikasi untuk memberikan cairan. Tambahkan kecepatan sesuai
kebutuhan,jika didapatkan tanda-tanda kemungkinan dehidrasi.
 Lakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat kemungkinan adanya
perdarahan atau trauma yang membahayakan
 Observasi terhadap kemungkinan kejang. Bila timbul kejang berikan
diazepam 10 mg melalui IV atau perinfus dan dapat diulang sesudah 20
menit jika kejang belum teratasi.
 Bila ada hipoglikemi, beri 50 ml glukosa 50% IV
c. TERAPI PADA SINDROM PUTUS ZAT
 Terapi putus zat opioida
Terapi ini sering dikenal dengan istilah detoksifikasi. Terapi detoksifikasi
dapat dilakukan dengan cara berobat jalan maupun rawat inap. Lama
program terapi detoksifikasi berbeda-beda :
- 1-2 minggu untuk detoksifikasi konvensional
- 24-48 jam untuk detoksifikasi opioid dalam anestesi cepat (Rapid
Opiate Detoxification Treatment)

Detoksifikasi hanyalah merupakan langkah awal dalam proses


penyembuhan dari penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA

Beberapa jenis cara mengatasi putus opioida :


- Tanpa diberi terapi apapun,putus obat seketika (abrupt withdrawal
atau cold turkey). Terapi hanya simptomatik saja :
 Untuk nyeri diberi analgetika kuat seperti :
Tramadol, Analgrtik non-narkotik,asam mefenamat dan
sebagainya
 Untuk rhinore beri dekongestan,misalnya fenilpropanolamin
 Untuk mual beri metopropamid
 Untuk kolik beri spasmolitik
 Untuk gelisah beri antiansietas
 Untuk insomnia beri hipnotika,misalnya golongan benzodiazepin
- Terapi putus opioida bertahap (gradual withdrawal)
 Dapat diberi morfin,petidin,metadon atau kodein dengan dosis
dikurangi sedikit demi sedikit. Misalnya yang digunakan di RS
Ketergantungan Obat Jakarta, diberi kodein 3 x 60 mg – 80 mg
selanjutnya dikurangi 10 mg setiap hari dan seterusnya.
 Disamping itu diberi terapi simptomatik
- Terapi putus opioida dengan substitusi non opioda
 Dipakai Clonidine dimulai dengan 17 mikrogram/kg BB perhari
dibagi dalam 3-4 kali pemberian. Dosis diturunkan bertahap dan
selesai dalam 10 hari
 Sebaiknya dirawat inap (bila sistole < 100 mmHg atau diastole <
70 mmHg), terapi harus dihentikan.
- Terapi putus opioida dengan metode Detoksifikasi cepat dalam
anestesi (Rapid Opioid Detoxification).
Prinsip terapi ini hanya untuk kasus single drug opiat saja,di lakukan
di RS dengan fasilitas rawat intensif oleh Tim Anestesiolog dan
Psikiater, dilanjutkan dengan terapi menggunakan anatagonist opiat
(naltrekson) lebih kurang 1 tahun.
 Terapi putus zat sedative/hipnotika dan alkohol
Harus secara bertahap dan dapat diberikan Diazepam. Tentukan dahulu
test toleransi dengan cara :
Memberikan benzodiazepin mulai dari 10 mg yang dinaikan bertahap
sampai terjadi gejala intoksikasi. Selanjutnya diturunkan kembali secara
bertahap 10 mg perhari sampai gejala putus zat hilang.
 Terapi putus Kokain atau Amfetamin
Rawat inap perlu dipertimbangkan karena kemungkinan melakukan
percobaan bunuh diri. Untuk mengatasi gejala depresi berikan anti
depresi.
 Terapi untuk waham dan delirium pada putus NAPZA
- Pada gangguan waham karena amfetamin atau kokain berikan Inj.
Haloperidol 2.5-5 mg IM dan dilanjutkan peroral 3x2,5-5 mg/hari.
- Pada gangguan waham karena ganja beri Diazepam 20-40 mg IM
- Pada delirium putus sedativa/hipnotika atau alkohol beri Diazepam
seperti pada terapi intoksikasi sedative/hipnotika atau alkohol
 Terapi putus opioida pada neonatus
Gejala putus opioida pada bayi yang dilahirkan dari seorang ibu yang
mengalami ketergantungan opioida, timbul dalam waktu sebelum 48-72
jam setelah lahir. Gejalanya antara lain : menangis terus(melengking),
gelisah,sulit tidur,diare,tidak mau minum, muntah, dehidrasi, hidung
tersumbat, demam, berkeringat. Berikan infus dan perawatan bayi yang
memadai. Selanjutnya berikan Diazepam 1-2 mg tiap 8 jam setiap hari
diturunkan bertahap,selesai dalam 10 hari
d. TERAPI TERHADAP KOMORBIDITAS
Setelah keadaan intoksikasi dan sindroma putus NAPZA dapat
teratasi, maka perlu dilanjutkan dengan terapi terhadap gangguan jiwa lain
yang terdapat bersama-sama dengan gangguan mental dan perilaku akibat
penggunaan zat psikoaktif (co-morbid psychopathology), sebagai berikut :
 Psikofarmakologis yang sesuai dengan diagnosis
 Psikoterapi individual
- Konseling : bila dijumpai masalah dalam komonikasi
interpersonal
- Psikoterapi asertif : bila pasien mudah terpengaruh dan mengalami
kesulitan dalam mengambil keputusan yang bijaksana
- Psikoterapi kognitif : bila dijumpai depresi psikogen
 Psikoterapi kelompok
 Terapi keluarga bila dijumpai keluarga yang patologik
 Terapi marital bila dijumpai masalah marital
 Terapi relaksasi untuk mengatasi ketegangan
 Dirujuk atau konsultasi ke RS Umum atau RS Jiwa

e. TERAPI TERHADAP KOMPLIKASI MEDIK


Terapi disesuaikan dengan besaran masalah dan dilaksanakan secara terpadu
melibatkan berbagai disiplin ilmu kedokteran.
Misalnya :
- Komplikasi Paru dirujuk ke Bagian Penyakit Paru
- Komplikasi Jantung di rujuk ke Bagian Penyakit Jantung atau
Interna/Penyakit Dalam
- Komplikasi Hepatitis di rujuk ke Bagian Interna/Penyakit Dalam
- HIV/AIDS dirujuk ke Bagian Interna atau Pokdisus AIDS
- Dan lain-lain.
f. TERAPI MAINTENANCE (RUMATAN)
Terapi maintenance/rumatan ini dijalankan pasca detoksifikasi dengan tujuan
untuk mencegah terjadinya komplikasi medis serta tidak kriminal.
Secara medis terapi ini dijalankan dengan menggunakan :
 Terapi psikofarmaka,menggunakan Naltrekson (Opiat antagonis), atau
Metadon
 Terapi perilaku, diselenggarakan berdasarkan pemberian hadiah dan
hukum

3. REHABILITASI
Setelah selesai detoksifikasi, penyalahguna NAPZA perlu menjalani Rehabilitasi.
Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani
detoksifikasi sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA,
oleh karena rasa rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi.
Dengan Rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat :
 Mempunyai motivasi untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi ;
 Mampu menolak tawaran penyalahgunakan NAPZA;
 Pulih kepercayaan dirinya,hilang rasa rendah dirinya;
 Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik;
 Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja;
 Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan di
lingkungannya.
Sasaran program rehabilitasi yaitu seorang pecandu narkoba. Tanda dari seorang
pecandu narkoba yaitu :
 Fisik
- Jalan sempoyongan, bicara pelo, apatis, mengantuk.
- Kebersihan dan kesehatan tidak terawatt
- Banyak bekas suntikan/sayatan
- Ditemukan alat bantu penggunaan (jarum suntik, bong, pipet, aluminium
foil, botol minuman dll).
 Tingkah Laku
- Pola tidur berubah
- Suka berbohong dan mencuri
- Sering mengurung diri dikamar, menghindar bertemu keluarga
- Sering bepergian, menerima telepon atau didatangi orang tidak dikenal
- Membelanjakan uang secara tidak wajar
 Emosi
- Emosional/lebih agresif
- Sering curiga tanpa sebab yang jelas
- Sulit konsentrasi, prestasi disekolah menurun
- Hilang minat pada hobi/kegiatan yang disenangi.

Beberapa Bentuk Program/Pendekatan Rehabilitasi yang ada,antara lain :


 Program Antagonis Opiat (Naltrexon)
Setelah detoksifikasi (dilepaskan dari ketergantungan fisik) terhadap opioid
(heroin/putauw/PT) penderita sering mengalami keadaan rindu yang sangat
kuat (craving, kangen,sugesti) terhadap efek heroin. Antagonis opiat
(Naltrexon HCI,) dapat mengurangi kuatnya dan frekuensi datangnya
perasaan rindu itu. Apabila pasien menggunakan opieat lagi,ia tidak
merasakan efek euforiknya sehingga dapat terjadi overdosis. Oleh karena itu
perlu seleksi dan psikoterapi untuk membangun motivasi pasien yang kuat
sebelum memutuskan pemberian antagonis. Antagonis opiate diberikan dalam
dosis tunggal 50 mg sekali sehari secara oral, selama 3- 6 bulan. Karena
hepatotoksik, perlu tes fungsi hati secara berkala.

 Program Metadon
Metadon adalah opiat sintetik yang bisa dipakai untuk menggantikan heroin
yang dapat diberikan secara oral sehingga mengurangi komplikasi medik.
Program ini masih kontroversial, di Indonesia program ini masih berupa uji
coba di RSKO
 Program yang berorientasi psikososial
Program ini menitik beratkan berbagai kegiatannya pada terapi psikologik
(kognitif, perilaku, suportif, asertif, dinamika kelompok, psikoterapi individu,
desensitisasi dan lain-lain) dan keterampilan sosial yang bertujuan
mengembangkan keperibadian dan sikap mental yang dewasa, serta
meningkatkan mutu dan kemampuan komunikasi interpersonal
Berbagai variasi psikoterapi sering digunakan dalam setting rehabilitasi.
Tergantung pada sasaran terapi yang digunakan.
 Psikoterapi yang berorientasi analitik mengambil keberhasilan
mendatangkan insight sebagai parameter keberhasilan.
 Psikoterapi yang menggunakan sasaran pencegahan relaps seperti :
Cognitivi Behaviour Therapy dan Relaps Prevention Training
 Supportive Expressive Psychotherapy
 Psychodrama,art-therapy adalah psikoterapi yang dijalankan secara
individual
 Therapeutic Community berupa program terstruktur yang diikutu oleh mereka
yang tinggal dalam sutu tempet. Dipimpin oleh bekas penyalahguna yang
dinyatakan memenuhi syarat sebagai konselor,setelah melalui pendidikan dan
latihan. Tenaga profesional hanya sebagai konsultan saja.Disini penderita
dilatih keterampilan mengelola waktu dan perilakunya secara efektif serta
kehidupannya sehari-hari, sehingga dapat mengatasi keinginan memakai
NAPZA atau sugesti (craving) dan mencegah relap. Dalam komonitas ini
semua ikut aktif dalam proses terapi. Ciri perbedaan anggota dihilangkan.
Mereka bebas menyatakan perasaan dan perilaku sejauh tidak membahayakan
orang lain. Tiap anggota bertanggung jawab terhadap perbuatannya,ganjaran
bagi yang berbuat positif dan hukuman bagi yang berperilaku negatif diatur
oleh mereka sendiri.
 Program yang berorientasi Sosial
Program ini memusatkan kegiatan pada keterampilan sosial, sehingga mereka
dapat kembali kedalam kehidupan masyarakat yang normal,termasuk mampu
bekerja.
- Program yang berorientasi kedisiplinan
Program ini menerapkan modifikasi behavioral atau perilaku dengan cara
melatih hidup menurut aturan disiplin yang telah ditetapkan.
- Program dengan Pendekatan Religi atau Spiritual
Pesantren dan beberapa pendekatan agama lain melakukan trial and error
untuk menyelenggarakan rehabilitasi ketergantungan NAPZA

Berbagai kegiatan yang dilakukan bagi pecandu narkoba yang menjalani


program rehabilitasi yaitu :
 05.00 - 06.00 Ibadah
 06.00 - 07.00 Mandi
 07.00 - 08.00 Sarapan pagi
 08.00 - 10.00 Bersih kamar dan lingkungan
 10.00 - 12.00 Kelas (belajar)
 12.00 - 13.00 Ibadah
 13.00 - 14.00 Makan siang
 14.00 - 15.00 Istirahat siang
 15.00 - 16.00 Konseling
 16.00 - 17.00 Waktu bebas/olahraga
 17.00 - 18.00 Mandi
 18.00 - 19.00 Ibadah
 19.00 - 20.00 Makan malam
 20.00 - 21.00 Curah pendapat/sharing
 21.00 - 22.00 Renungan
 22.00 - 05.00 Tidur

4. PASCA REHABILITASI
 Bertujuan untuk membantu mantan pecandu mampu hidup normal, berfungsi
sosial dan diterima oleh masyarakat (hidup mandiri serta tidak mengulangi
perbuatannya menyalahgunakan narkoba). Program berlangsung selama
minimal 6 bulan.
 Diawali oleh asesmen untuk mengetahui minat bakat dan menentukan
penempatan program pasca rehabilitasi sesuai kriteria yang terdiri dari:
a. Fase Awal/Live in-work in (lamanya 2 bulan).
- Tinggal dan bekerja di tempat yang sama dengan pengawasan
penuh.
- Melaksanakan kegiatan produktif sesuai fasilitas yang tersedia,
- Pembekalan tentang cara mengenali diri, cara mengatasi
masalah dan cara menghindari godaan penggunaan narkoba.
- Menyiapkan keluarga agar dapat menerima kembali dalam
lingkungannya.
b. Fase Menengah/Live in-work out (lamanya 2 bulan).
- Mantan pecandu tinggal di rumah tertentu (Rumah Dampingan),
yang diawasi oleh konselor adiksi dan berkesempatan bekerja di
luar.
- Melaksanakan kegiatan produktif yang dipilih (a.l. peternakan,
pertanian, perbengkelan, seni, teknologi informasi, dll).
c. Fase Lanjut/Live out-work out (lamanya 2-4 bulan).
- Mantan pecandu berkumpul di rumah tertentu (Rumah Mandiri),
yang masih diawasi secara berkala untuk pembinaan lanjut.
- Tetap melanjutkan pekerjaan di luar sesuai kemampuan dan
keterampilan.
- Tahap akhir proses pasca rehabilitasi.
 Sebagai penyakit menahun dan kambuhan (chronic relapsing), kemungkinan
dapat terjadi kekambuhan/relaps akibat berbagai pengaruh/pemicu (trigger).
Bila terjadi kekambuhan, maka pecandu mengikuti program rehabilitasi
ulang, baik rawat jalan maupun rawat inap sesuai tingkat kekambuhannya.

Anda mungkin juga menyukai