07 Etika Antikorupsi Menjadi Profesional Berintegritas
07 Etika Antikorupsi Menjadi Profesional Berintegritas
ANTIKORUPSI
Menjadi Profesional Berintegritas
ETIKA ANTIKORUPSI:
“MENJADI PROFESIONAL
BERINTEGRITAS”
Diterbitkan oleh:
Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK
Gedung Merah Putih KPK
Jl. Kuningan Persada Kav. 4, Jakarta Selatan 12920
http://www.kpk.go.id
ISBN: 978-602-52387-7-2
Pengarah:
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Deputi Bidang Pencegahan KPK
Koordinator:
Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK
Tim Penulis:
Mikhael Dua
Andre Ata Ujan
T. Sintak Gunawan
R. Ristyantoro
Kontributor:
Rimawan Pradiptyo, PhD
Gandjar Laksmana Bonaprapta
Desiantien S Pringgopoetro
Indira Dewi
Yulia Sari
Alois Agus Nugroho
Waluyo
Tim Supervisi:
Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK
PENGANTAR
Komisi Pemberantasan Korupsi
P uji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat-Nya, sehingga
penyusunan buku Etika Antikorupsi : Menjadi Profesional Berintegritas
dapat terselesaikan. Buku ini merupakan panduan bagi dosen atau tenaga
pendidik dalam menerapkan Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi
melalui insersi dalam mata kuliah Etika Profesi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki tugas untuk melakukan
upaya pemberantasan korupsi, salah satunya melakukan Pendidikan
Antikorupsi pada setiap jejaring pendididikan. Penyusunan buku panduan
ini merupakan salah satu upaya KPK untuk menyediakan bahan ajar bagi
para dosen pengampu Pendidikan Antikorupsi. Selain dalam bentuk buku
panduan, KPK juga melakukan inovasi dan pengembangan bahan ajar sebagai
konsekuensi dari Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi
(Permenristekdikti) No 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pendidikan
Antikorupsi di Perguruan Tinggi. Media ajar tersebut antara lain komik, buku
saku, film dan juga permainan sehingga dosen dapat mengembangkan
metode belajar yang lebih menarik. Adapun buku panduan ini bersifat umum
dan memberikan gambaran untuk pelaksanaan pembelajaran di kelas yang
mengondisikan mahasiswa mendapatkan pengetahuan tentang antikorupsi
dan internalisasi nilai-nilai antikorupsi dalam kehidupan mereka.
Mata kuliah Etika Profesi memiliki irisan yang cukup banyak dengan nilai-
nilai antikorupsi sehingga insersi atau sisipan muatan antikorupsi ke dalam
mata kuliah Etika Profesi menjadi bekal penting dibalik keahlian yang dimiliki
profesional.
Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh
pihak yang turut terlibat dalam penyusunan buku ini, baik kepada Tim Penulis
dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Mikhael Dua, Andre Ata Ujan,
T.Sintak Gunawan, R. Ristyantoro, Kontributor dan Tim Supervisi yang telah
mendedikasikan gagasan dan waktunya sehingga buku ini dapat tersajikan.
Memberantas Korupsi membutuhkan upaya yang berkelanjutan dan
kerjasama dari semua elemen bangsa demi mewujudkan indonesia yang maju
dan sejahtera.
Salam Antikorupsi!
01
KATA PENGANTAR PENULIS
02
KATA PENGANTAR PENULIS
03
KATA PENGANTAR PENULIS
04
KATA PENGANTAR PENULIS
05
DAFTAR ISI
Etika
Rp
Antikorupsi ?
KORUPSI
07 27 73
BAB I BAB II BAB III
Korupsi: Gratifikasi, Suap, Apa Itu Etika Antikorupsi Etika Profesi Melawan
dan Konflik Kepentingan Korupsi
Integritas
109 149
BAB IV BAB V
Integritas, Fondasi Moral Metode Pembelajaran
Antikorupsi Etika Antikorupsi dan
Kasus-Kasus
Daftar Isi
07
Rp
KORUPSI
BAB I:
kORUPSI:
GRATIFIKASI, SUAP, DAN
KONFLIK KEPENTINGAN
BAB I
5,6T
Pemerintahan
Propinsii Rp
17
93
TOTAL KERUGIAN NEGARA
Pemerintahan
Kementrian/ Total Tindak Pidana Korupsi
Lembagaa 13
yang Ditangani KPK
(Data Hingga Akhir November 2018)
61 Kabupaten/Perkotaan
2
KASUS-KASUS
DPR/DPRD
Perkara Penyuapan 78
Pengadaan Barang/Jasa 9
Dari data tersebut terlihat dengan jelas bahwa korupsi di Indonesia tidak
hanya terdapat di tingkat pusat, tetapi sudah menyebar ke tingkat daerah
yang akibat-akibatnya semakin menyentuh kehidupan masyarakat lokal/
daerah. Selain itu, praktik penyuapan dan pengadaan barang dan jasa menjadi
modus-modus korupsi. Kedua modus ini memiliki hubungan dengan praktik
gratifikasi yang melekat dengan kebiasaan saling memberikan hadiah dan
barang pada peristiwa-peristiwa budaya di masyarakat Indonesia. Praktik
gratifikasi semacam ini tidak hanya menjadi permulaan dari praktik suap tetapi
juga mendorong terjadinya konflik kepentingan karena mereka yang terlibat
dalam praktik tersebut mengutamakan kepentingan diri dan keluarga lebih
dari kepentingan-kepentingan negara dan bangsa.
11
BAB I
A. Arti Korupsi
Istilah korupsi diturunkan dari bahasa Latin corruptio yang berarti
hal merusak, godaan, bujukan, atau kemerosotan. Kata kerjanya adalah
corrumpere (corrumpo, saya menghancurkan) yang berarti menimbulkan
kehancuran, kebusukan, kerusakan, kemerosotan. Bahasa Latin juga
menamai pelaku korupsi dengan corruptor. Bahasa Indonesia pun
menamai pelaku korupsi dengan koruptor. (Priyono, 2018: 22).
Istilah korupsi juga memiliki konteks penggunaan yang berbeda-
beda. Oxford English Dictionary mencoba mengungkapkan keluasan
penggunaan istilah tersebut. Secara fisik, korupsi berarti kerusakan atau
kebusukan segala sesuatu, terutama melalui penghancuran keutuhan dan
penghancuran bentuk dengan akibat yang menyertainya yaitu kehilangan
keutuhan, kerusakan; secara moral, korupsi berarti penyelewengan atau
penghancuran integritas dalam pelaksanaan kewajiban publik melalui
suap dan gratifikasi; dan secara sosial, korupsi berarti penjungkirbalikan
segala sesuatu dari kondisi asli kemurnian misalnya penyelewengan
lembaga dan adat istiadat. (Priyono, 2018: 23).
Dalam sejarah hukum di Indonesia, istilah ini sudah dikenal dalam
Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/013/1958 terkait
usaha pemberantasan korupsi, yang kemudian dituangkan dalam UU No.
24 Tahun 1960 tentang pemberantasan korupsi, yang akhirnya digunakan
dalam UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi.
Saat ini, korupsi telah mendapat perhatian dunia sehingga semua negara
berkepentingan untuk memberantasnya. Pada tanggal 9-11 Desember
2003 Konferensi Tingkat Tinggi PBB di Merida, Meksiko mengeluarkan
Konvensi PBB Antikorupsi. Konferensi ini melibatkan 141 negara. Konvensi
tersebut bertujuan untuk meningkatkan dan memperjuangkan tindakan
pencegahan dan pemberantasan korupsi secara lebih efektif dan efisien;
juga untuk meningkatkan dan memudahkan serta mendukung kerjasama
internasional dan bantuan teknis dalam upaya mencegah korupsi.
Indonesia sudah meratifikasikan Konvensi Antikorupsi tersebut pada 18
April 2006 melalui UU No. 7 Tahun 2006.
Namun demikian, Konvensi PBB tersebut tidak mengajukan kepada
kita sebuah pengertian mengenai korupsi tetapi menyebutkan beberapa
contoh korupsi seperti penyuapan kepada pejabat publik negara,
penggelapan, pencurian atau pengalihan kepemilikan oleh pejabat publik,
jual beli pengaruh, penyalahgunaan fungsi, memperkaya diri secara
melawan aturan.
Terlepas dari luasnya pengertian korupsi sebagaimana diungkapkan
secara leksikal dan contoh-contoh yang dapat dikategorikan sebagai
12
BAB I
13
BAB I
14
BAB I
B. Modus Korupsi
15
BAB I
16
BAB I
17
BAB I
18
BAB I
19
BAB I
C. Sebab-Sebab Korupsi
SEBAB-SEBAB KORUPSI
FAKTOR EKONOMI
FAKTOR SOSIAL
FAKTOR BUDAYA
20
BAB I
21
BAB I
22
BAB I
23
BAB I
atau bukan. Gratifikasi dalam hal ini membuat seseorang dalam jabatan
tertentu tidak obyektif, tidak adil, dan tidak profesional dalam memberikan
penilaian terhadap pemberi gratifikasi. Ketika ini terjadi gratifikasi dapat
menjadi suap.
Sebagaimana sudah dikemukakan sebelumnya, dengan alasan
budaya, gratifikasi seakan-akan menjadi hal yang sulit ditolak. Setiap
orang yang memberikan gratifikasi akan merasa dirinya dipermalukan
jika pemberiannya ditolak. Namun demikian, justru di sinilah terletak ironi
gratifikasi. Pejabat yang kerap menerima gratifikasi lebih mudah terjerumus
ke dalam tindak pidana korupsi dari pada mereka yang tidak menerima
gratifikasi. Kebiasaan untuk menerima gratifikasi membuat seseorang
tidak menahan diri terhadap godaan suap, pemerasan dan tindak pidana
korupsi lainnya. Dengan perkataan lain, gratifikasi merupakan suap yang
tertunda.
Dengan alasan ini Pasal 12 B dan 12 C UU No. 20 Tahun 2001
menasehati setiap pegawai negeri sipil dan penyelenggara negara untuk
menolak gratifikasi, karena gratifikasi berpotensi menjadi satu jenis tindak
pidana korupsi. Seandainya terpaksa diterima dengan segala alasan, setiap
penerima gratifikasi wajib melaporkannya ke KPK dalam waktu kurang dari
30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
Pasal 12 B berbunyi:
Pasal 12 C berbunyi:
24
BAB I
E. Penutup
Diskusi mengenai korupsi memiliki jangkauan yang luas. Sebagai
fenomena sosial, korupsi memiliki akar pada praktek politik, bisnis, struktur
masyarakat, dan kebudayaan. Terutama dalam hal kebudayaan, korupsi
memiliki akarnya pada praktik gratifikasi.
Untuk mengatasi korupsi, langkah hukum dapat diambil. Dengan
alasan ini, KPK sebagai sebuah lembaga yang bertanggungjawab atas
usaha pemberantasan korupsi di Indonesia berusaha mengambil langkah-
langkah penegakan hukum. Di Indonesia berlaku UU No. 20/2001 tentang
Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Tipikor). Undang-undang tersebut menjadi landasan bagi
semua usaha legal atas tindak pidana korupsi. Dengan asumsi bahwa
korupsi dapat berawal dari praktik-praktik gratifikasi, KPK mencoba
mengambil tindakan penegakan hukum berkenaan dengan praktik
gratifikasi yang berpotensi suap tersebut.
Apa pun usaha yang dilakukan untuk melawan korupsi dari segi
hukum, efektifitasnya harus dipikirkan lebih lanjut. Sebagai sebuah
upaya hukum, perlawanan terhadap korupsi mengikuti langkah-langkah
seperti: mengawasi, menyelidiki, dan menghukum yang melawan. Padahal
perlawanan terhadap korupsi harus menyentuh kerangka berpikir,
perubahan pada pandangan, nilai, dan standar etis. Berjaga-jaga,
transparansi, keterbukaan, perlengkapan institusi merupakan sarana yang
perlu untuk membongkar keburukan korupsi serta akibat negatifnya bagi
manusia dan masyarakat. Dengan alasan ini, korupsi lebih dari sekedar
masalah legalitas, ia menjadi masalah moral.
Tentang hal ini, Laura Underkuffler (lihat Priyono, 2018: 545) membuat
pembedaan yang tegas antara pelanggaran hukum dan pelanggaran
moral dalam 2 proposisi berikut:
Proposisi pertama: A melanggar hukum
Proposisi kedua: A itu korup
Dalam proposisi pertama, kita mencela perbuatan, karena hukum tidak
25
BAB I
26
Etika
Antikorupsi ?
BAB II:
APA ITU ETIKA
ANTIKORUPSI?
BAB II
Dalam bab sebelumnya kita sudah mengatakan bahwa korupsi tidak hanya
merupakan masalah hukum, tetapi juga merupakan sebuah masalah moral.
Sebagai masalah hukum, korupsi merupakan sebuah perbuatan melawan
hukum positif negara tertentu, karena itu perlu ditangani dengan prosedur
hukum. Tetapi, korupsi memiliki pengertian yang jauh lebih substansial dari
yang dapat dipahami oleh pendekatan legal. Hukum memang membantu kita
untuk memahami korupsi sebagai perbuatan yang tidak pantas dillakukan.
Modus-modus korupsi seperti gratifikasi dan suap yang disertai dengan
pemerasan benar-benar merupakan pelanggaran hukum yang pantas
dihukum dan dikenai sanksi. Tetapi jantung pengertian korupsi bukanlah
persoalan hukum. Ini berarti sebuah tindakan dipahami sebagai korupsi bukan
pertama-tama karena alasan ilegalitas, melainkan karena ciri immoral korupsi
itu sendiri. Dengan perkataan lain, korupsi merupakan sebuah masalah moral
karena menunjuk pada perbuatan yang seharusnya (kebaikan) terjadi tetapi
tidak terjadi. Disebut melawan moral karena melawan kebaikan perbuatan
manusia yang seharusnya ada, ternyata tidak ada.
Bagaimana kita harus menjelaskan hal ini? Apabila moral menyangkut
pedoman baik dan buruk, bagaimana kita bisa memastikan bahwa korupsi
merupakan sesuatu yang melawan kebaikan?
Bab ini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan
menjelaskan bagaimana etika dan teori-teorinya menjelaskan dimensi moral
antikorupsi. Secara konkrit, bab ini akan menjelaskan beberapa hal, yaitu
pengertian etika dan etika antikorupsi, penalaran etis dan argumentasi etis
melawan korupsi, dan dimensi institusional etika antikorupsi.
Tujuan yang hendak dicapai dengan mempelajari bab ini adalah agar
mahasiswa:
1. Membedakan antara pertanyaan etika dan pertanyaan-pertanyaan
lainnya dalam area ilmu pengetahuan.
2. Memahami cara kerja etika sebagai refleksi rasional dan mampu
membedakannya dari etiket.
3. Mampu membangun sendiri penalaran etika antikorupsi.
31
BAB II
32
BAB II
tindakan manusia dalam relasinya dengan orang lain dalam masyarakat. Dan
dengan berbicara tentang apa yang seharus dilakukan, Kant ingin menegaskan
bahwa etika bersifat normatif, sama seperti hukum tetapi dengan alasan-
alasan dan penalaran yang berbeda.
Tentu harus dikatakan bahwa istilah etika sendiri memiliki makna leksikal
yang jauh lebih luas dari yang dipikiran Kant. Kamus Besar Bahasa Indonesia
edisi I tahun 1988 mengungkapkan 3 makna etika. Pertama, etika berarti nilai-
nilai atau norma-norma moral yang dipegang oleh seseorang atau suatu
masyarakat untuk mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika kerap disamakan
dengan kode etik. Ketiga, etika berarti ilmu tentang yang baik dan yang buruk
secara moral atau studi tentang moralitas manusia. Dalam arti ketiga inilah,
etika sama dengan filsafat moral. Makna ini sebenarnya sudah tergambarkan
dalam istilah Latin ethice, ethica, yang berarti filsafat moral.
Ketika Kant merumuskan gagasannya tentang etika, yang ia maksudkan
sebenarnya adalah sebuah cabang filsafat yang memiliki tugas mencari
alasan-alasan rasional dan kritis mengapa seseorang harus tunduk pada
aturan-aturan moral. Yang dimaksudkan oleh Kant dengan ‘rasional-kritis’
memiliki pengertian yang luas. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk
berpikir sendiri dan harus dapat berpikir sendiri. Otonomi berpikir di sini
menjadi penting, karena bagi Kant, ini adalah kemampuan alamiah yang
dimiliki manusia untuk mempertanyakan banyak hal termasuk aturan-aturan
moral. Martin Heidegger bahkan lebih tegas menjelaskan bahwa berpikir
sendiri sambil mempersoalkan banyak hal merupakan kesucian hidup sebagai
manusia, karena hanya dengan bertanya, manusia dapat membuka relasi yang
bebas dengan dunia sekitar.
Dengan mempertanyakan secara kritis ajaran moral tidaklah berarti bahwa
ajaran moral tidaklah penting bagi hidup manusia. Harus dikatakan di sini
bahwa ajaran moral yang disajikan melalui wejangan-wejangan, khotbah-
khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan, entah lisan
atau tertulis dapat membantu kita untuk berbuat baik. Ada keyakinan bahwa
ajaran moral dapat diibaratkan dengan buku petunjuk tentang bagaimana kita
harus hidup. Namun demikian, masih diperlukan sebuah refleksi rasional atas
ajaran moral agar kita dapat mempertanggungjawabkan sendiri perbuatan
dan tindakan kita yang tunduk pada ajaran moral tersebut. Bahkan refleksi
rasional kritis atas ajaran moral dibutuhkan agar kita dapat melihat dengan
jelas alasan-alasan rasional di balik ajaran-ajaran moral itu. Dengan demikian
membuat refleksi atas aturan-aturan moral berarti menerima aturan-aturan
moral tersebut sebagai sesuatu yang masuk akal dan logis.
Karena pada intinya etika merupakan sebuah refleksi rasional kritis atas
moralitas manusia ini, etika berbeda dengan tegas dari etiket. Kedua istilah
tersebut kadang dipahami sebagai sama. K. Bertens dalam bukunya yang
berjudul Etika, menyebut sekurang-kurangnya 4 perbedaan. Pertama, etiket
33
BAB II
berkaitan dengan cara suatu perbuatan atau tata karma, sedangkan etika
memberi nilai pada cara. Artinya, etika memberi norma dan menilai suatu
perbuatan boleh dilakukan atau tidak. Kedua, etiket lebih menekankan fungsi
sosial–relasional, sedangkan etika menekankan fungsi eksistensial. Etiket
hanya berfungsi dihadapan orang lain. Misalnya, jika kita berjalan dan di
sana terdapat banyak orang kita wajib mengucapkan salam ‘permisi’. Hal itu
tidak berlaku apabila Anda berjalan di jalanan yang sepi dan tidak ada orang
lain. Etika juga diperlukan dalam relasi sosial, namun keberlakuannya tidak
tergantung pada kondisi tertentu. Etika berkaitan dengan kesadaran dan
komitmen pribadi. Misalnya, menghargai hidup manusia itu tidak tergantung
pada ada tidaknya orang. Ketiga, etiket bersifat relatif, sedangkan etika bersifat
universal dan absolut. Etiket pada umumnya berlaku pada satu tempat, namun
belum tentu berlaku di tempat lain. Etika bersifat universal dan absolut karena
etika berlaku bagi siapa saja, di mana saja, serta kapan saja. Bersifat absolut
karena etika wajib menjadi pegangan dalam berperilaku. Keempat, etiket
diukur dari sisi lahiriah, sedangkan etika melebihi sisi lahiriah. Dalam etiket,
penilaian diletakkan pada penampilan, seperti cara berpakaian, cara duduk,
dan perbuatan lahiriah lainnya. Sementara etika meletakkan penilaian pada
maksud, kehendak, motivasi, dan suara hati. (Bertens, 1987)
Dengan karakter sebagai refleksi rasional kritis, bukan mustahil etika dapat
membangun dirinya secara lebih mendalam mendiskusikan prinsip-prinsip
atau norma-norma etis umum, seperti kebebasan, tanggung jawab, otonomi,
keadillan. Pada tingkat ini etika menjadi sebuah orientasi rasional dan kritis
agar manusia tidak hidup dengan cara ikut-ikutan saja terhadap pelbagai
pihak yang mau menetapkan bagaimana kita harus hidup, melainkan agar
ia dapat mengerti sendiri mengapa ia harus bersikap. Etika membantu agar
ia lebih mampu untuk mempertanggungjawabkan kehidupannya dengan
menggunakan seluruh pikiran dan nalarnya. Atau dalam rumusan Franz
Magnis-Suseno dalam buku Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Filsafat
Moral, etika merupakan ilmu yang mencari orientasi. Orientasi rasional tersebut
perlu agar kita tahu di mana kita berada dan ke arah mana kita bergerak untuk
mencapai tujuan kita yang sebenarnya. (Magnis-Suseno, 1987: 5)
Dengan fungsi seperti ini, etika tidak hanya membantu kita untuk
mengarahkan hidup individual kita, tetapi juga memberi orientasi moral
dalam menata kehidupan profesional seperti hukum, politik, bisnis, rekayasa
teknik, kedokteran, dan masih banyak yang lain. Ketika etika digunakan dalam
menelaah masalah-masalah profesi, maka terbentuklah apa yang disebut
dengan etika profesi. Karena itu, kita dapat mengatakan secara umum, yang
dimaksud dengan etika profesi adalah sebuah refleksi rasional mengenai
fondasi dan prinsip-prinsip moral yang dibangun oleh profesi.
34
BAB II
35
BAB II
36
BAB II
Efisiensi yang lebih tinggi menjadi tolok ukur manfaat yang lebih besar.
Pemahaman utilitarianisme ini bisa misleading. Salah satu kritik terhadap
pertimbangan ini tersebut tidak adil terhadap kepentingan-kepentingan yang
tidak menjadi kepentingan mayoritas.
Dengan pertimbangan ini, korupsi memang dapat dinilai buruk dari segi
moral, karena dampak yang diakibatkan oleh tindakan tersebut merusak
kemaslahatan bersama. Tindakan tersebut juga dapat membawa akibat yang
buruk bagi masyarakat dan menimbulkan penderitaan bagi banyak orang.
Kita bisa membayangkan lebih jauh akibat korupsi. Secara mendasar korupsi
dapat menghancurkan tatanan kehidupan sosial yang mengikatkan manusia
satu sama lain. Kita juga dapat membayangkan bahwa korupsi dapat merusak
kehidupan manusia dalam masyarakat dan cita-cita untuk membangun
kehidupan bersama di atas dasar common good. Tindakan tersebut dapat
dilihat sebagai sebuah sabotase melawan manusia, kepentingan semua
orang baik laki maupun perempuan, dewasa dan anak-anak yang seharusnya
memiliki hak dasar untuk menikmati kesejahteraan bersama dengan cara-cara
yang wajar.
Kritik utilitarianisme terhadap korupsi tersebut pantas diperhatikan. J.J.
Rousseau pernah menjelaskan bahwa dalam keadaan normal, setiap orang
selalu membutuhkan kehadiran orang lain. Penghargaan satu sama lain
tersebut terjadi karena setiap orang menghargai properti pribadi dan bersama.
Namun, sebagaimana Rousseau meramalkan, manusia dapat menjadi serigala
untuk manusia yang lain (Hobbes) ketika ia ingin mengambil untuk dirinya apa
yang menjadi properti orang lain dan properti bersama. Ini adalah akibat fatal
perbuatan korupsi.
Namun, dengan kriteria manfaat dari pemikiran utilitarianisme tidak
seluruhnya tepat dan bahkan dapat menimbulkan masalah bagi etika
antikorupsi itu sendiri. Manfaat kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin
orang sulit diukur jika kita melihat dampak jangka panjang. Banyak perbuatan
suap dibenarkan karena membawa manfaat bagi perusahaan dan organisasi.
Namun, sikap toleran terhadap korupsi tersebut justru terjadi karena jebakan
ini. Kita tidak pernah membayangkan bahwa praktik tersebut sudah merusak
seluruh tatanan institusional yang menghargai hak dan keadilan. Dengan
alasan ini, etika antikorupsi membutuhkan pertimbangan etis lain yaitu
pertimbangan motif sebuah tindakan.
Pertimbangan lain yang dimaksud adalah kewajiban terhadap hukum moral
itu sendiri. Ini adalah kriteria kedua etika antikorupsi. Menurut pertimbangan
ini, setiap orang seharusnya bertanggungjawab secara moral atas perbuatan-
perbuatannya dan bertanggungjawab atas tindakan-tindakannya. Setiap
orang adalah pelaku moral yang menghidupi norma-norma moral, dan
karena itu terikat pada rasionalitas moral. Bertolak dari pengertian mengenai
37
BAB II
moralitas tersebut, korupsi merupakan tindakan yang secara moral buruk dan
bertentangan dengan hukum moral.
Argumentasi ini dibangun oleh teori deontologi (deon berarti kewajiban)
yang secara khusus dikembangkan oleh Kant. Menurut Kant aturan moral
harus ditaati tanpa pengecualian. Untuk memahami apa yang ia maksudkan,
Kant membuat sebuah pembedaan antara imperatif (perintah) kategoris dan
imperatif hipotetis. Dalam pemikirannya, imperatif kategoris berarti imperatif
yang mewajibkan sementara imperatif hipotetis, artinya imperatif yang tidak
wajib dilaksanakan kecuali jika kita menyetujui syaratnya. Bunyi imperatif
hipotetis misalnya seperti berikut: (Rachels, 2004, 223)
“Kalau Anda ingin menjadi pemain catur yang baik, Anda wajib
mempelajari permainan Garry Kasparov”, atau
“Kalau Anda ingin masuk sekolah hukum, Anda wajib mendaftarkan diri
untuk mengikuti ujian masuk.”
38
BAB II
39
BAB II
40
BAB II
41
BAB II
42
BAB II
43
BAB II
D. Penutup
Etika antikorupsi adalah sebuah usaha rasional kritis atas korupsi. Karena
korupsi memiliki latar belakang empiris yang luas maka etika antikorupsi
memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
Pertama, etika antikorupsi bersifat normatif dalam arti mendiskusikan gejala
korupsi dari perspektif etika normatif. Perspektif ini berangkat dari asumsi
yang sederhana, yaitu bahwa korupsi itu buruk dari segi dampaknya, dari
segi tujuannya, dan dari segi tindakannya itu sendiri. Dengan mendiskusikan
prinsip-prinsip manfaat, prinsip kewajiban kategoris pada aturan-aturan moral
yang universal, dan keutamaan-keutamaan etis, etika antikorupsi melihat
dengan jelas apa yang dilanggar oleh praktik korupsi. Dengan mendiskusikan
korupsi dari perspektif teori-teori etika normatif, etika antikorupsi termasuk
etika terapan, sebuah usaha untuk menggunakan prinsip-prinsip dasar etika
normatif untuk menjawab masalah-masalah praktis sehari-hari.
Kedua, etika antikorupsi bersifat deskriptif dalam arti melibatkan
pengetahuan empiris tentang praktik-praktik korupsi. Dalam hal ini harus
disadari bahwa korupsi itu memiliki kecerdasan tersendiri. Machiavelli pernah
menasehati para etikawan dalam bidang politik bahwa politik itu adalah
kecerdasan menggunakan segala cara untuk meraih kekuasaan. Itu adalah
esensi politik. Karena itu, pengetahuan tentang kecerdasan politik itu sendiri
penting. Begitu juga dengan fenomena korupsi. Korupsi itu adalah sebuah
kecerdasan untuk meraih kekuasaan, kekayaan, dan bahkan status sosial.
Karena itu pengetahuan deskriptif dengan akar-akar korupsi sebagaimana
dijelaskan bab sebelumnya harus menjadi bagian tak terpisahkan dari etika
antikorupsi. Kant pernah memberi nasehat sederhana: seorang yang mengerti
etika harus cerdik seperti ular, dan jinak seperti merpati. Artinya, untuk dapat
44
BAB II
memberikan pertimbangan etis yang baik, perlu mengenal seluk beluk praktik
korupsi.
Ini berarti persoalan metode menelusuri akar-akar korupsi menjadi penting.
Meskipun secara populer kita meyakini bahwa korupsi lebih dari sekedar
masalah hukum, dan akar utama adalah moralitas, dibutuhkan sebuah strategi
metodologis untuk memahami akar-akar tersebut.
Ketiga etika antikorupsi bersifat sosial politik/publik. Segi ini menjadi hal
yang sulit diperhatikan, karena banyak yang melihat korupsi sebagai persoalan
individual, dalam arti korupsi hanyalah sebuah kesalahan individu tertentu.
Yang harus dipahami lebih jauh adalah bahwa korupsi selalu berkaitan
dengan institusi di mana seseorang hidup dan bekerja. Sebagaimana sudah
dijelaskan sebelumnya, hampir sulit seseorang membebaskan diri dari praktik
korupsi dalam sebuah sistem yang korup. Dengan alasan ini, etika antikorupsi
perlu menyelidiki akar-akar institusional dari praktik korupsi dan mencari
langkah-langkah etika institusional untuk mengatasi korupsi itu sendiri. Selain
aspek institusi, etika antikorupsi perlu berbicara tentang tujuan membangun
komunitas moral dan integritas. Kedua tema ini akan dibicarakan pada bab-
bab berikut.
45
BAB III:
ETIKA PROFESI MELAWAN
KORUPSI
BAB III
Tujuan yang hendak dicapai dengan mempelajari bab ini adalah agar
mahasiswa:
1. Memahami pengertian profesi sebagai kegiatan intelektual dan
kegiatan yang terhormat.
49
BAB III
A. Etika Profesi
Etika profesi merupakan cabang etika yang secara kritis dan sistematis
merefleksikan permasalahan moral yang melekat pada suatu profesi. Kerap
kali etika ini dilihat sebagai etika terapan, karena merupakan refleksi etika
normatif pada masalah-masalah profesi. (Bertens, 2013)
Karena cabang etika ini menaruh perhatian pada masalah-masalah moral
yang melekat pada profesi, etika profesi tidak akan melakukan refleksi tentang
kewajiban umum manusia terhadap manusia, tetapi pada kewajiban khusus
berkaitan dengan tuntutan fungsional untuk melaksanakan suatu jenis
pelayanan tertentu. Dengan perkataan lain, etika profesi akan melakukan
penilaian rasional kritis atas praktik-praktik profesional dalam masyarakat
modern dewasa ini berdasarkan nilai-nilai dan asas-asas moral universal yang
dituntut pelaksanaannya pada profesi tertentu. Tentu dalam hal ini asas moral
universal tersebut benar-benar melekat atau fungsional pada pelaksanaan
profesional tertentu.
Pentingnya pembicaraan tentang etika profesi dewasa ini menjadi nyata
berkenaan dengan semakin pentingnya peran profesi dalam kehidupan
masyarakat. Ada harapan terselubung di balik etika profesi. Dengan
menemukan landasan-landasan normatif yang mengikat para profesional
ketika melakukan tindakan-tindakan profesional, etika profesi bertujuan
agar profesi dapat membangun dirinya sebagai sebuah komunitas moral.
(Sudarminta, 1992: 114-133)
Secara metodologis, landasan-landasan normatif yang dimaksud
dapat diketahui melalui 2 cara. Yang pertama, dengan cara menemukan
aspirasi moral sebagaimana terkandung dalam kode etik dan praktik-praktik
profesional. Pada langkah pertama ini kita dapat menemukan kesadaran moral
profesional. Namun, langkah ini tidak cukup jika tidak disertai dengan refleksi
normatif atas kesadaran moral tersebut. Karena itu dibutuhkan langkah kedua,
yaitu sebuah refleksi etika atas kesadaran moral sebagaimana diungkapkan
secara implisit atau eksplisit dalam kode etik dan praktik-praktik profesional.
Pada langkah kedua ini kita dapat menemukan landasan etis atau norma dan
orientasi etis yang dibangun bersama oleh komunitasnya. Dengan demikian,
pengembangan kode etik profesi dan refleksi etika atas profesi atas landasan-
landasan etis dapat mendorong setiap anggota komunitas profesi untuk
menjaga secara bersama-sama agar komunitas mereka dipercaya oleh klien
50
BAB III
dan masyarakat.
Kita mengenal misalnya, etika publik yang seharusnya dimiliki oleh para
pejabat publik. Etika ini dapat dilihat sebagai refleksi tentang standar/norma
yang menentukan baik/buruk, benar/salah perilaku, tindakan dan keputusan
untuk mengarahkan kebijakan publik dalam rangka menjalankan tanggung
jawab pelayanan publik. Refleksi etika atas profesi sebagai pejabat publik
tersebut mendorong para pejabat publik untuk membangun komunitas moral
pejabat publik. Karena itu jika ada pejabat publik yang melakukan malpraktik
dan korupsi, pejabat publik sebagai komunitas profesi dipertanyakan
moralitasnya. (Haryatmoko, 2015: 11-20)
Kita juga mengenal etika medis yang harus dilmiliki oleh setiap dokter.
Etika ini merupakan refleksi tentang norma yang menentukan baik buruk,
benar salah perilaku, tindakan dan keputusan yang mengarahkan pelayanan
kesehatan menjadi pelayanan yang dapat dipercaya klien. Jika seandainya
adalah seorang dokter yang melakukan malpraktik, komunitas medis sebagai
keseluruhan dapat diragukan integritas moralnya. (K. Bertens,2011: 35-42)
Kedua contoh ini ingin mengatakan beberapa hal berkaitan dengan etika
profesi. Pertama, etika profesi merupakan sebuah refleksi atas landasan moral
komunitas profesional yang dapat ditemukan dalam kode etik dan praktik-
praktik profesional. Kedua, etika profesi dapat memberikan penilaian atas
mutu moralitas komunitas profesional. Dalam hal ini etika profesi dapat melihat
orientasi moral masing-masing profesi. Profesi kepolisian memiliki orientasi
moral yang berbeda dengan profesi medis. Yang pertama menekankan
disiplin berdasarkan semangat korps dalam rangka perlindungan keamanan
masyarakat, yang kedua menekankan perlindungan terhadap martabat klien
dalam rangka mengembangkan kesehatan jiwa dan badan manusia tersebut.
Karena individu profesional tidak dapat menjalankan fungsi profesinya di luar
ketiga, karena setiap profesional hanya hidup dalam komunitas profesi, maka
integritas pribadi profesional menjadi hal yang tak dapat dihindarkan dalam
refleksi etika profesi. (Chadwick, 1994: 5-15)
51
BAB III
52
BAB III
53
BAB III
alasan yang pantas diperhatikan. Menurut Koehn, ada beberapa aspek yang
tidak diperhatikan oleh kedua teori tersebut di atas, antara lain fakta bahwa
(1) kaum profesional adalah orang yang mendapat izin dari negara untuk
melakukan tindakan tertentu; bahwa (2) mereka adalah anggota sebuah
organisasi yang memiliki standar dan cita-cita perilaku, dan karena itu
tunduk pada aturan disiplin organisasi tersebut; bahwa (3) mereka memiliki
pengetahuan dan ketrampilan yang khusus; bahwa (4) mereka memiliki
otonomi dalam melaksanakan pekerjaan mereka dan pekerjaan itu tidak dapat
dimengerti oleh masyarakkat awam; bahwa (5) mereka mengucapkan janji
publik untuk memberi bantuan kepada mereka yang membutuhkan mereka.
Mereka pun bertanggungjawab atas tugas-tugas khusus yang dipercayakan
kepada mereka. (Koehn, 2000: 72-74)
Di antara kriteria-kriteria tersebut, Daryl Koehn menaruh perhatian
pada janji publik. Bagi Koehn, janji publik merupakan kriteria yang paling
banyak dibela dan dipertahankan sepanjang sejarah perkembangan profesi.
Profesional adalah orang yang dengan bebas membuat janji di hadapan
masyarakat untuk melayani orang untuk kebaikan orang itu. Apa yang
dikemukakan Daryl Koehn ini tersirat dari istilah profesi itu sendiri. Kata profesi
berasal dari kata Yunani prophaino yang berarti ‘menyatakan secara publik.’
Dari kata prophaino muncul kata professio dalam bahasa Latin yang sering
diartikan sebagai pengumuman terbuka, janji. Menurut Daryl Koehn, janji
publik merupakan landasan bagi kepercayaan masyarakat dan klien bahwa
profesional dapat mengembangkan kebaikan klien. Atau dengan cara lain
ingin dikatakan bahwa janji memberi jaminan moral bagi profesi sehingga ia
dapat dipercaya. Daryl Koehn memberikan alasan. (Koehn, 2000: 78-80)
1. Janji menciptakan kompetensi profesional; mendorong profesional
dapat memperdalam pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat
melayani masyarakat dengan baik.
2. Janji membuat masyarakat dan klien percaya bahwa profesional dapat
secara konsisten memberikan bantuan profesional.
3. Janji mendorong para profesional menghormati kerentanan klien
4. Janji membuat kaum profesional menjalankan kebijakan dengan
menggunakan penalaran atau penilaian terbaik untuk kepentingan
klien.
5. Janji memberi kuasa kepada kaum profesional untuk membuat klien
bertanggungjawab melakukan apa yang harus dilakukan.
Dengan catatan-catatan ini, Daryl Koehn yakin bahwa janji publik merupakan
landasan etis utama sehingga profesi pantas dipercaya.
54
BAB III
Apa yang dimaksud dengan landasan moral profesi dapat dikatakan sebagai
prinsip fundamental bagi moralitas profesional. Janji publik yang diucapkan
oleh para profesional merupakan prinsip dasar yang dimiliki oleh profesional
sehingga ia dapat dipercaya masyarakat dan kliennya. Memang harus diakui
bahwa tidak semua profesi memiliki janji publik secara eksplisit. Dewasa ini kita
mengenal banyak profesi yang dibangun di atas janji publik seperti advokat,
dokter, psikolog, hakim, jaksa. Para pejabat negara pun memiliki janji atau
sumpah jabatan. Sementara itu, kita masih mengenal banyak profesi yang
tidak memiliki janji profesional secara eksplisit seperti rekayasawan teknik,
guru, profesi, dan bahkan peneliti. Pada kelompok profesi ini terdapat prinsip-
prinsip etis umum yang berfungsi menata pengembangan dan pelaksanaan
profesi berdasarkan tujuan layanan profesional masing-masing.
Dari segi etika, entah eksplisit atau implisit, janji publik itu sendiri
mengandung imperatif-imperatif moral seperti tanggung jawab, keadilan,
otonomi, dan kepercayaan. Sebagai sebuah contoh mari kita membaca
sumpah dokter dan sumpah jabatan hakim, jaksa, panitera di bawah ini:
Sumpah Dokter:
55
BAB III
Ada hal yang menarik dari sumpah dokter dan hakim dan jaksa ini.
Dengan fokus pada kebaikan kesehatan dan keadilan, sumpah ini berusaha
secara eksplisit dan implisit melihat tanggung jawab, keadilan, otonomi, dan
kepercayaan menjadi prinsip-prinsip etisnya. Berikut kami menjelaskan apa
yang dimaksud dengan prinsip-prinsip dimaksud. (Sihotang, 2016: 146-278)
1. Tanggung jawab. Semua pengemban profesi dituntut untuk
56
BAB III
57
BAB III
58
BAB III
59
BAB III
1. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (2009) 2.2. (1) berbunyi: “Hakim
tidak boleh meminta/menerima dan harus mencegah suami atau isteri
Hakim, orangtua, anak atau anggota keluarga Hakim lainnya, untuk
meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian,
penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari advokat, penuntut, orang
yang sedang diadili, pihak lain yang kemungkinan kuat akan diadili,
dan pihak yang memiliki kepentingan terhadap suatu perkara.”
2. Kode Etik dan Perilaku Jaksa (2007) Pasal 4 berbunyi: Jaksa dilarang
“meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan serta
melarang keluarganya meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau
keuntungan sehubungan dengan jabatannya.”
Apa yang dikemukakan oleh kode etik ini juga ditegaskan lagi oleh
Pasal 6 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2001 Tentang dunia peradilan. Di
sini ditegaskan bahwa setiap orang sudah melakukan korupsi jika ia
memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud
untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya
untuk diadili; dan kepada advokat untuk mempengaruhi nasehat
atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
Juga Pasal 6 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2001 menegaskan bahwa hakim
dan advokat sudah melakukan korupsi ketika ia menerima pemberian
atau janji. Bertolak dari janji publik profesi, hakim dan advokat sudah
memanfaatkan profesi demi keuntungannya sendiri dan mengabaikan
janji publik yang ia ucapkan demi kepentingan klien. Begitu juga klien
jika melanggar janji publik profesional yang menuntutnya untuk disiplin
mengembangkan kebaikan profesional. Keadilan sebagai kebaikan
tidak dapat dipelihara dengan baik justru karena ia sendiri melangkahi
prosedur peradilan.
Dalam perspektif undang-undang ini, gratifikasi dan suap melanggar
janji publik profesi hakim dan advokat dan bahkan menghancurkan
sistem hukum yang menjunjung tinggi keadilan. Keadilan sebagai
kebaikan klien hanya bisa dipertahankan dengan keadilan sebagai
prinsip kerja peradilan. Jika kita melihat lebih jauh lagi, gratifikasi
dan suap menggagalkan otonomi yang seharusnya menjadi basis
penilaian hakim dan advokat. Mereka tidak lagi menjalankan fungsi
mereka secara otonom, tetapi sudah dipengaruhi oleh suap dan
gratifikasi. Dan dapat diramalkan juga karena mereka tidak otonom lagi,
keputusan dan penilaian apa pun yang mereka berikan tidak dapat
dipertanggungjawabkan dengan baik.
3. Kaidah Umum Tata Laku HPJI No.3.3. (6) “Anggota HPJI tidak boleh
menerima imbalan atau honorarium di luar ketentuan yang berlaku.”
60
BAB III
61
BAB III
62
BAB III
63
BAB III
F. Penutup
Etika profesi merupakan sebuah refleksi yang dilakukan oleh profesional
untuk menunjukkan kepada publik bahwa para profesional benar-benar
dipercaya oleh masyarakat. Dengan hadirnya kode etik dan kode perilaku,
masyarakat menjadi paham bahwa kaum profesional tidak hanya bertindak
sendiri tetapi bertindak secara kolektif dalam mengembangkan obyek layanan
sebagai kebaikan-kebaikan yang dinikmati masyarakat. Kedokteran dengan
kesehatan, advokat dengan keadilan, rekayasawan teknik dengan keselamatan
teknik dan publik, guru dengan pendidikan.
Namun demikian, Gratifikasi, suap dan korupsi kerap kali mengalihkan
perhatian profesional dari kebaikan layanan mereka kepada kepentingan
pribadi. Suap dan gratifikasi merupakan praktik yang mengindikasikan konflik
kepentingan yang seharusnya dihindari oleh setiap profesional. Karena
itu, kode etik profesi menganjurkan agar berhati-hati dengan kemungkinan
tersebut. Banyak profesional terjebak dengan hal-hal tersebut. Kesalahan
seperti ini pada akhirnya menghancurkan seluruh reputasi profesi dan diri
sendiri.
Dengan catatan ini, janji publik untuk tidak menerima gratifikasi dan suap
harus dimengerti sebagai sebuah imperatif kategoris, sebuah perintah tanpa
syarat. Artinya mau tidak mau harus dilaksanakan. Imperatif ini memang kaku,
sebagaimana dikatakan oleh Immanuel Kant, “ketika nilai moral dipertaruhkan,
apa yang menentukan bukanlah tindakan yang terlihat, melainkan prinsip
kedalaman yang tak terlihat.” Itu adalah kewajiban pada dirinya sendiri.
Namun, kewajiban itu sendiri menjadi dasar-dasar bagi kepercayaan publik.
Tanpa itu, dokter, advokat, guru, pebisnis, polisi, hakim tidak dapat dipercaya,
baik sebagai individu maupun sebagai institusi.
64
Integritas
BAB IV:
INTEGRITAS, FONDASI
MORAL ANTIKORUPSI
BAB IV
A. Pengantar
Korupsi masih menjadi kanker yang menggerogoti sendi kehidupan publik
banyak negara terutama negara-negara berkembang. Korupsi bisa dilakukan
secara individual maupun bersama-sama bahkan bisa melibatkan organisasi
atau lembaga secara keseluruhan. Banyak energi, pikiran, waktu, dan biaya
yang telah dihabiskan dalam upaya untuk memberantasnya. Entah sudah
berapa banyak kasus korupsi yang ditangani lembaga penegak hukum.
Kenyataannya, korupsi tetap saja hadir, bahkan semakin berkembang seakan
tak akan pernah mampu disingkirkan. Penyakit sosial berupa suap yang
berujung pada mislokasi berbagai dana bantuan pembangunan, gratifikasi,
kick back yang menyasar pejabat publik, serta berbagai perilaku koruptif
lainnya masih terus menjadi headline media cetak dan audio-visual. Predikat
“kejahatan luar biasa” (extraordinary crime) yang disematkan pada penyakit
sosial yang satu ini dengan sendirinya menjelaskan betapa berbahayanya
korupsi bagi bangsa dan negara.
Tanpa bermaksud mengecilkan upaya hukum yang telah dilakukan
sejauh ini, harus diakui bahwa hukum ternyata tidak cukup efektif menekan
apalagi menyingkirkan korupsi. Banyaknya pejabat publik dan privat yang
tertangkap Operasi Tangkap Tangan KPK dengan rentang jeda yang relatif
singkat menunjukkan bahwa korupsi bukan sembarang kanker. Korupsi telah
berkembang menjadi kanker ganas yang menggerogoti hampir semua sektor
vital tubuh bernama negara dan bangsa dan karenanya sulit diberantas.
Pertanyaannya, mengapa korupsi begitu sulit diberantas? Apakah benar
ketimpangan ekonomi atau ketidakadilan sosial menjadi alasan utama
terjadinya korupsi? Dimana sesungguhnya korupsi secara mendasar berakar?
Dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, kami mencoba menunjukkan
bahwa akar persoalan korupsi bukan sekedar alasan yang bersifat “eksternal”
melainkan “internal” dan bahkan bersifat inheren pada kepribadian manusia.
69
BAB IV
70
BAB IV
71
BAB IV
dan nama baik perusahaan, di satu pihak, serta loyalitas dan kepercayaan
konsumen atau publik terhadap perusahaan, di lain pihak, sangat tergantung
pada kualitas kepribadian para pengelolanya ketika berhadapan dengan
tantangan pemenuhan hak-hak stakeholders. Lalu, apa itu “integritas”
dan mengapa integritas penting baik pada lingkup publik maupun privat?
Bagaimana merawat dan mengembangkannya? Apakah integritas mencukupi
untuk membangun sebuah bisnis, organisasi, lembaga, atau bahkan
mengembangkan diri sendiri sebagai pribadi yang kredibel? Inilah beberapa
pertanyaan mendasar yang coba dijawab dalam kaitannya dengan korupsi.
Sebelum memasuki diskusi substansial mengenai “integritas”, perlu sejak
awal diberikan dua catatan kecil untuk menghindari salah-pengertian terhadap
istilah “integritas”. Pertama, sebagian orang cenderung memaknai “integritas”
tak lebih dari sikap “keras kepala” (stubbornness). Pemaknaan seperti itu
sebetulnya keliru walaupun bisa dipahami. Secara literer “integritas” atau
integrity dalam bahasa Inggris sejatinya diambil dari khazanah bahasa Latin
integer, yang berarti kuat, kokoh, tidak goyah, atau tidak mudah terombang-
ambing. Dengan makna positif seperti itu, “integritas” sejatinya merefleksikan
kepribadian positif yang layak dimiliki setiap makhluk moral. Integritas
bahkan seharusnya menimbulkan rasa terhormat dalam diri mereka yang
memiliki keberanian (courage) untuk secara konsisten merawatnya (Robert C,
Solomon, 1992: 168-174). Betapa berharganya “integritas” bagi manusia, telah
membuat Solomon menegaskan bahwa mengabaikan integritas tidak hanya
mengakibatkan subyek kehilangan kemampuan berwawasan jauh kedepan
(short-sighted) melainkan dapat menghancurkan diri sendiri (self-destructive).
Kedua, integritas juga sering disamakan begitu saja dengan “kejujuran”
(honesty). Integritas memang mengandaikan kejujuran sebagai nilai, akan
tetapi tidak semua kejujuran pantas disebut merefleksikan integritas.
Sebagaimana ditegaskan oleh Robert Solomon, kejujuran terlalu terbatas
untuk merangkul seluruh kekayaan makna integritas. Alasannya, dalam
prakteknya integritas malah bisa saja menuntut subyek untuk bertindak
kurang jujur atau bahkan berbohong. Dalam kasus tertentu pasti tidak sulit
untuk sepakat dengan Solomon. Misalnya saja, apakah seorang pejabat
publik harus mengatakan dengan jujur semua kebijakan atau semua informasi
negara, bahkan yang bersifat rahasia sekalipun, kepada pejabat publik negara
lain? Kejujuran tentu saja sebuah keutamaan yang ikut menentukan kualitas
kepribadian manusia. Akan tetapi kejujuran di dalam contoh rahasia negara ini
tentu saja problematis dari sisi etika politik. Menjadi kewajiban moral setiap
warga negara apalagi pejabat publik untuk menjaga kedaulatan dan keamanan
negaranya. Karena itu mengatakan secara jujur informasi-informasi yang
berkaitan dengan rahasia negara merupakan pengkianatan dan karenanya
harus ditolak dari segi etika sosial-politik. Dalam konteks seperti ini integritas
dalam arti kejujuran tidak relevan diterapkan.
72
BAB IV
73
BAB IV
74
BAB IV
75
BAB IV
“to practice what he preaches”. Apa yang ia katakan tidak sesuai dengan apa
yang ia lakukan. Terjadi fragmentasi kepribadian.
Distingsi antara “rules in form” dan “rules in use” yang dikemukakan oleh
Elinor Ostrom (lihat Bob Ornsthstein, 2017), bisa membantu untuk lebih
memahami fragmentasi kepribadian. Dengan distingsi itu Ostrom ingin
menegaskan bahwa sesungguhnya tersedia norma-norma sosial dalam
masyarakat dan anggota masyarakat memang mengetahuinya dan bahkan
mengakuinya meskipun tidak diformalisasi, tidak ditetapkan secara resmi.
Meskipun mengetahui dengan baik, dalam prakteknya norma-norma sosial
tidak digunakan sebagai panduan untuk hidup dan bertindak sebagaimana
seharusnya sesuai dengan pengertian dan pengetahuan yang dimiliki. Tanpa
ketetapan formal sekalipun, semua orang, termasuk para pejabat baik publik
maupun privat, mengerti dan menyadari bahwa korupsi secara moral buruk
dan harus dihindari (rules in form). Akan tetapi dengan alasannya masing-
masing, korupsi tetap saja dilakukan. Dengan kata lain, norma sosial hanya
dimengerti tetapi tidak dipraktekkan (rules in use) karena tidak terinternalisasi
menjadi bagian integral identitas diri.
Bagi R. Solomon, di dalam pribadi hipokrit juga melekat berbagai
kekurangan moral lainnya khususunya sifat suka menipu atau berbohong
yang memang secara sadar dilakukan untuk menutupi kekurangan atau
ketimpangan kualitas moral. Mereka menjadi manusia hipokrit dengan
berbohong tidak hanya kepada orang lain tetapi juga kepada dirinya sendiri.
Mereka bahkan harus berbohong pertama-tama kepada dirinya sendiri untuk
kemudian berbohong kepada orang lain. Dan sekali ia berbohong, ia akan terus
memproduksi kebohongan lain untuk menutupi kebohongan sebelumnya.
Ada berbagai cara yang digunakan seorang yang tidak berintegritas untuk
menutupi perilaku buruknya. Cara yang paling sederhana adalah menyangkal
perbuatannya. Ketika seorang hipokrit melakukan sebuah pelanggaran, ia
akan dengan segala macam cara berusaha untuk menutupinya. Tak jarang
penyangkalan dilakukan dengan strategi yang sophisticated dan berbelit-
belit untuk mempersulit upaya pelacakannya. Mempermainkan bahasa untuk
menciptakan nuansa berbeda atas kejahatan yang dilakukannya juga menjadi
cara lain yang digunakan pribadi hipokrit untuk menutupi perbuatan buruknya.
Ketika dituduh dan bahkan sesungguhnya terbukti mencuri motor, misalnya,
seorang hipokrit bisa dengan enteng mengatakan “Saya tidak bermaksud
mencuri; saya hanya ingin meminjamnya untuk sementara waktu”. Pribadi
hipokrit juga bisa menutupi perilaku buruknya dengan apa yang disebut
self-effacing humor. Ia, misalnya, bisa dengan enteng mengatakan: “Jangan
melakukan apa yang saya lakukan, tetapi lakukan apa yang saya katakan”. Ia
lupa bahwa humor seperti itu sejatinya hanya mengalihkan perhatian dan
tidak sungguh-sungguh menghilangkan perbuatan buruknya.
76
BAB IV
77
BAB IV
78
BAB IV
79
BAB IV
80
BAB IV
internalisasi menjadi penting. Dari mana kita harus mulai untuk membangun
integritas untuk memerangi korupsi? Adalah kenyataan bahwa korupsi selalu
dilakukan dalam konteks yang tidak terlepas dari kedudukan struktural
kelembagaan. Dan karena itu isu good governance architecture lembaga
relevan dikemukakan dalam konteks memerangi korupsi.
6 Pilar Integritas
Political Will
Transparansi
Akuntabilitas
Pertisipasi Publik
Peraturan Hukum
Ruang Demokrasi
81
BAB IV
82
BAB IV
83
BAB IV
6. Ruang demokrasi
Pilar ini penting untuk dirawat karena kita hidup dalam sebuah era
dimana masyarakat semakin sadar akan hak-haknya yang harus
dilindungi dan bahkan harus difasilitasi realisasinya oleh negara. Hak
atas hidup yang layak, hak atas pekerjaan, hak untuk mendapatkan
layanan pendidikan dan kesehatan yang baik, hak politik untuk
berpatisipasi aktif dalam menentukan masa depan negara melalui
pemilihan anggota legislatif serta pemilihan presiden dan wakil
presiden, adalah beberapa hak mendasar masyarakat yang harus
dipenuhi oleh negara. Tuntutan pemenuhan hak-hak ini menjadi
bentuk kontrol publik dan sekaligus indikator kinerja pejabat publik
sebagai refleksi perwujudan kepercayaan publik atas kekuasaan yang
telah diperoleh pejabat publik dari masyarakat. Demokrasi dengan
demikian merupakan manisfestasi dari integritas di dalam ruang publik.
Inkonsistensi dalam menjaga dan merawat integritas demi memerangi
korupsi bisa berakibat negatif serius pada mentalitas dan moralitas bangsa
secara keseluruhan. Korupsi akan terus tumbuh subur akibat tidak ada upaya
serius membangun integritas melalui perilaku kongkrit pemangku kekuasaan
baik publik maupun privat. Sadar akan terus menularnya penyakit sosial itu,
Lee Butler menyarankan beberapa hal berikut di bawah ini.
1. Hal yang pertama dan utama adalah mengembangkan pengertian
tentang apa yang akan terjadi jika integritas dibiarkan tak terawat?
Masyarakat dan pemegang kekuasaan harus terus menerus disadarkan
akan dampak negatif yang berpotensi semakin merusak bangsa dan
negara akibat hilangnya kemampuan dan keberanian moral untuk
senantiasa “bertindak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan”.
Mempelajari etika sebagai sistem pemikiran moral akan membantu
mengembangkan sense of responsibility dan accountability
melampaui kepentingan diri sendiri dan sekaligus mendorong
pemahaman mendalam tentang implikasi negatif dari pengabaian
terhadap integritas. Pendidikan etika sedini mungkin akan membantu
pengembangan sikap altruis—sikap yang senantiasa mengutamakan
kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri. Apa yang
ditegaskan diatas patut mendapat perhatian serius. Daftar panjang
koruptor yang ada di tangan KPK dengan sendirinya membenarkan
pandangan Butler ini. Terlalu banyak orang terlibat korupsi bukan
karena alasan ketimpangan apalagi ketidakadilan ekonomi tetapi
semata-mata karena penyakit sosial bernama kerakusan (greediness).
Dalam dunia bisnis, misalnya, skandal Enron pada tahun 2002—
manipulasi laporan keuangan untuk mengelabui publik tentang kinerja
perusahaan dan sekaligus menarik minat investor—menjadi contoh
84
BAB IV
85
BAB IV
86
BAB IV
87
BAB IV
hanya karena dia terbukti bersalah tanpa harus dihubungkan dengan efek
jera. Memasukkan efek jera sebagai tujuan hukuman berpotensi mendorong
seorang hakim menjatuhkan hukuman lebih berat daripada yang seharusnya;
disini, integritas dikorbankan demi alasan-alasan pragmatis yang belum tentu
juga efektif.
Kelima, dalam merespon tindakan yang tidak etis, terapkan teknik ethical
displacement.
Menghadapi dilema moral, yakni situasi dimana tak satupun dari alternatif
solusi yang tersedia dapat digunakan untuk mengatasi persoalan, limpahkan
solusi atas dilema ke tingkat lebih tinggi, yakni ke level organisasi atau lembaga
karena bisa saja disana tersedia jalan keluar yang tepat, misalnya, perlu
restrukturisasi organisasi untuk mengatasi dilema moral. Atau, barangkali
kasusnya perlu diangkat ke tingkat lebih tinggi, misalnya ke tingkat negara/
departemen terkait, karena hanya melalui kebijakan pada tingkat paling tinggi,
dilema moral dapat diatasi secara mendasar.
Dalam bisnis, misalnya, di tengah persaingan usaha yang sangat ketat,
pebisnis bisa saja dihadapkan pada dilema moral serius ketika harus memilih,
misalnya, apakah harus menyuap untuk mendapatkan proyek atau mengikuti
prosedur tender yang seharusnya dengan potensi kehilangan peluang dan
dengan demikian menempatkan bisnisnya dalam ancaman gulung tikar.
Tentu saja individu yang diberi tanggung jawab untuk kegiatan tender tidak
bisa mengambil keputusan sendiri; ia harus berkonsultasi dengan pimpinan
tertinggi. Akan tetapi apabila pada level perusahaan pun dilema moral tidak
bisa diatasi, akan lebih baik apabila kasus seperti itu diteruskan ke tingkat lebih
tinggi (negara, khususnya departemen terkait) untuk membenahi tatacara dan
prosedur tender agar kelompok yang lemah tidak tersingkir secara tidak fair
oleh kelompok yang kuat.
Keenam, dalam merespon lawan yang tidak etis, gunakan publisitas untuk
mempertegas tindakan tidak etis.
Penggunaan sarana publisitas (humas) akan membuka ruang bagi
partisipasi publik untuk menilai dan dengan demikian memobilisasi tekanan
publik untuk melawan tindakan yang tidak etis. Dengan melibatkan publik,
reaksi dan tekanan terhadap tindakan tidak etis diharapkan menjadi lebih
efektif ketimbang membiarkan tindakan tidak etis dihadapi sendiri secara
diam-diam oleh individu yang bersangkutan. Seseorang yang mengalami
pelecehan seksual oleh pejabat “berkuasa dan terhormat”, misalnya, barangkali
akan ketakutan menghadapi sendiri kasusnya. Upaya membawa kasusnya
ke ruang publik akan membuka peluang munculnya dukungan publik dan
dengan demikian membuat upaya memperoleh keadilan menjadi lebih efektif.
Ketujuh, dalam merespon lawan yang tidak etis, upayakan kerja sama
88
BAB IV
dengan pihak lain, atau ciptakan lembaga sosial, legal, atau populer yang baru.
Integritas individual atau personal tidak akan cukup efektif melawan
perilaku tidak etis ketika struktur lembaga tidak mendorong tetapi bahkan
menghambat tindakan etis dan karenanya semakin menguatkan dilema
moral dalam lembaga. Sebagai contoh, ketika seorang pegawai rendahan
mendapatkan adanya kecurangan dalam laporan keuangan yang dengan
sengaja dilakukan demi menekan kewajiban pajak misalnya, ia ditempatkan
dalam dilema moral apakah harus melaporkan kepada pihak berwajib atau
harus mendiamkannya. Kedua sikap itu masing-masing mempunyai implikasi
negatif, juga dari sisi moral. Ia sendiri tahu bahwa tindakan membuka kasus
ke ruang publik (whistle blowing) akan berdampak negatif serius bagi dirinya;
akan tetapi mendiamkannya justru menimbulkan kerugian bagi negara. Dalam
kasus seperti ini, pilihan melakukan whistle blowing pasti merupakan tindakan
moral yang layak diapresiasi tetapi perlu dipastikan bahwa keamanan diri
juga tidak terancam. Kerja sama dengan pihak aparatur keamanan negara
diperlukan di sini. Akan tetapi apabila yang bersangkutan mengalami bahwa
iklim lembaga secara keseluruhan tidak kondusif untuk berkembang, juga
dari segi moral, di satu pihak, dan keamanan pribadi pun tidak terjamin, di
lain pihak, sebaiknya memilih meninggalkan lembaga dan mengupayakan
menciptakan peluang baru.
Kedelapan, dalam merespon tindakan tidak etis, bersiaplah untuk bertindak
dengan keberanian moral.
Keberanian moral menuntut bahwa seseorang tidak hanya mampu
menentukan apa yang sesuai dengan nilai-nilai yang dimilikinya, melainkan
terutama bahwa ia mampu bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya.
Seringkali lebih mudah memilih mendiamkans perilaku tidak etis daripada
mengambil tindakan kongkrit untuk mengatasinya. Dalam kasus tertentu bisa
dibenarkan. Ketika tindakan yang diambil sangat potensial mengancam nyawa
pribadi, misalnya, bersikap diam tentu saja tindakan yang bijak. Akan tetapi
dalam kasus lain, diperlukan keberanian untuk menghadapinya dan berusaha
memecahkan persoalan agar tidak menimbulkan efek negatif lebih jauh atau
lebih besar. Ketika didapatkan bahwa hak karyawan terhadap upah yang
adil secara sistematis tidak terpenuhi, misalnya, individu sudah seharusnya
mengambil tindakan kongkrit untuk mengatasinya meskipun dengan risiko
dipecat, misalnya. Untuk meminimalisasi akibat negatif, upaya menggalang
kekuatan bersama karyawan lain penting dilakukan. Lebih dari itu, tekanan
kolektif pasti lebih efektif ketimbang upaya perorangan. Perlu keberanian
mengambil inisiatif untuk memobilisasi gerakan kolektif.
Kesembilan, dalam merespon tindakan tidak etis, bersiaplah membayar
“harga” dari keberanian moral Anda yang kadang-kadang bisa sangat mahal.
Tindakan tidak etis barangkali kecil di mata pelaku, akan tetapi selalu
89
BAB IV
sangat mahal bagi korban. Dan respon etika terhadap perilaku tidak etis bisa
jauh lebih mahal. Menjual narkoba dan meracuni orang lain dengan barang
haram ini barangkali tidak menjadi masalah atau masalahnya kecil saja bagi
penjualnya. Akan tetapi “biaya” bagi korban narkoba pasti tidak kecil. Ia
kehilangan berbagai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang menjadi
pribadi yang sukses akibat kontaminasi narkoba. Akan tetapi bagi pihak yang
tahu kasusnya dan berusaha membongkarnya, taruhannya bisa jauh lebih
mahal. Nyawa bisa melayang karena keberanian membongkar kasus narkoba.
Kesepuluh, dalam merespon tindakan tidak etis, terapkan prinsip
akuntabilitas.
Prinsip akuntabilitas menekankan bahwa mereka yang meciptakan
bahaya, melakukan kerusakan, atau merugikan orang lain harus bersedia
bertanggungjawab atas perbuatannya. Dengan demikian, harus disadari dari
awal bahwa perilaku tidak etis selalu punya implikasi tidak menguntungkan
bagi pelaku dan karenanya seharusnya mampu menahan diri untuk tidak
terjebak dalam perilaku tidak etis. Dengan kata lain, seharusnya setiap orang
mampu mencegah diri dari upaya mengutungkan diri melalui perilaku tidak
etis. Dalam etika bisnis dikenal apa yang disebut “the iron rule of resposibility”.
Maksudnya, ketika seseorang mengabaikan tanggung jawab dalam melakukan
sesuatu, maka ia akan dihukum keras oleh tanggung jawab itu sendiri.
Pengusaha yang tidak memenuhi tanggung jawabnya untuk menawarkan
produk yang berkualitas sesuai dengan yang dijanjikan, ia akan dihukum
dengan ditinggalkan oleh konsumen. Pejabat publik yang menyalahgunakan
jabatannya untuk memperkaya diri sendiri, akan kehilangan jabatannya dan
bahkan harus berurusan dengan penegak hukum dengan kemungkinan harus
menerima kenyataan bahwa ia harus menghabiskan sisa hidupnya di dalam
hotel pro deo.
E. Penutup
Sebagai rangkuman dan kesimpulan, dalam upaya memerangi korupsi,
beberapa poin pokok berikut ini kiranya penting untuk ditegaskan kembali.
Pertama, pasti tidak mudah membangun dan mengembangkan pribadi yang
berintegritas, pribadi yang memiliki kemampuan dan keberanian moral untuk
senantiasa bertindak sesuai dengan kesadaran akan apa yang seharusnya
dilakukan. Untuk itu, konsistensi menjaga keselarasan antara ucapan dan
tindakan menjadi penting karena kualitas integritas tidak tergantung pertama-
tama pada pengetahuan tentang apa yang baik dan benar, melainkan pada
keberanian untuk secara konsisten “melakukan apa yang baik dan benar”.
Kualitas integritas terbentuk lewat proses habituasi, yakni konsistensi
untuk selalu bertindak sesuai dengan kesadaran akan apa yang seharusnya
dilakukan. Disini, sikap kritis serta keberanian bertindak otonom independen
krusial untuk dikembangkan oleh setiap individu. Dengan sikap kritis, otonomi,
90
BAB IV
91
BAB IV
92
BAB V:
METODE PEMBELAJARAN
ETIKA ANTIKORUPSI
DAN KASUS
BAB V
Contoh:
Contoh:
97
BAB V
98
BAB V
99
BAB V
Sumber: https://venngage.com/templates/mind-maps
100
BAB V
101
BAB V
jurubicara. (3 menit);
c. Setiap kelompok mendapat giliran maksimum 10 menit menjelaskan
hasil diskusi berupa mind map, diagnosis kasus korupsi dan
penatalaksanaan komprehensif. Kelompok bergantian presentasi
tanpa tanya jawab (6x10 menit = 60 menit);
d. Moderator mempersilahkan narasumber untuk menjelaskan kasus,
memberikan komentar/tanggapan terhadap kasus dan presentasi
kelompok. (10 menit);
e. Moderator mempersilahkan tanya jawab dan diskusi (10 menit);
f. Moderator menutup pertemuan dengan menyampaikan simpulan
pleno kali ini (5 menit);
103
BAB V
104
BAB V
1. Perbuatan Budi
2. Perbuatan calo
3. Perbuatan yang salah
4. Perbuatan yang seharusnya
5. Proses pembuatan SIM A yang seharusnya
Skenario 2:
“Ada tiga kontraktor ikut serta dalam tender pembuatan jembatan
layang di Jakarta. Salah seorang kontraktor memasukkan nilai tender
agak jauh di bawah yang lain dan akhirnya menang tender. Dia
melakukan hal tersebut karena butuh uang untuk membayar ratusan
karyawannya. Untung sedikit lebih baik daripada perusahaan bankrut.
Tetapi dalam pelaksanaannya dia menggunakan spesifikasi besi yang
sedikit lebih kecil. Supaya tidak ketahuan dia menyuap pengawas.”
G. Diskusi mengenai dimensi sosial budaya korupsi
Tujuan:
Mahasiswa dapat melihat dan memahami kaitan aspek sosial budaya
dan korupsi.
Prosedur:
Diskusi 40 menit dan presentasi 20 menit.
Skenario:
Amir, Susi, Joko, dan Kasih berdiskusi tentang korupsi dan pendapat
masyarakat
Amir: Korupsi adalah bagian dari kehidupan. Kita harus menerima
bahwa tidak ada yang bisa kita lakukan tentang itu. Orang kaya akan
selalu korup dan orang miskin akan selalu berusaha meniru mereka.
Bagaimanapun, penyuapan adalah cara untuk menyelesaikan sesuatu
dengan lebih cepat dan memungkinkan bisnis untuk bergerak maju
lebih cepat.
Susi: Korupsi adalah bagian dari mentalitas kita. Sudah puluhan tahun
dicoba diberantas tapi hasilnya apa ada? Melawan korupsi adalah
buang-buang waktu. Mari bersikap realistis, kita tidak bisa hidup jika
kita menolak untuk menjadi bagian darinya. Mudah-mudahan, yang
kaya akan menjadi cukup kaya dan sebagian kekayaannya dibagikan
kepada kita. Saya juga berpikir tidak apa-apa mengambil sedikit,
cuman sedikit, seperti semua orang lain melakukannya.
Joko: Yang Amir dan Susi katakan adalah apa yang dimaui oleh
koruptor. Jika semua berpendapat korupsi adalah wajar, semua juga
105
BAB V
B S TM
1 Waktu ujian , menyontek, karena penjaga sedang pergi.
Orang tua membantu mengerjakan sebagian pekerjaan
2
sekolah anaknya
3 Alumni memberi hadiah sepeda kepada dosen
Kotak Sumbangan sukarela untuk pengurusan KTP di
4
kelurahan
Memakai mobil kantor untuk mudik ke kampung bersama
5
keluarga
Menerima uang dari peserta Pilihan Kepala Daerah, tetapi
6
tidak terpengaruh ketika memilih
Dosen menambah nilai siswa tersebut karena diancam
7
oleh atasannya
Karena waktu studi hampir habis, dia meminta temannya
8
ikut membuat disertasinya.
106
BAB V
B S TM
Buru buru naik kereta api karena mau ujian, lupa beli
1 karcis. Kondektur menawarkan bayar denda langsung
50% kepadanya, dan saya bayar.
Anggota DPRD mau rapat paripurna, melanggar lampu
2 merah. Tertangkap dan diberi peringatan supaya lain kali
lebih hati-hati.
Camat yang baru terpilih mengadakan pesta besar
3 mengundang seluruh pendukungnya yang berjumlah
1000 orang
Razia surat kendaraan sepeda motor. Anak SMP
tertangkap tidak bawa SIM. Anak menangis, minta maaf,
4
dan berjanji tidak akan mengulangi lagi. Petugas kasihan,
memberi nasehat, dan melepaskannya.
Dosen meminta mahasiswa mengerjakan pekerjaan
5
kantornya sebagai bagian dari cari pengalaman
Pemilihan ketua kelas. Karena jumlah murid perempuan
6 jauh lebih banyak maka suara perempuan dinilai
setengah, laki-laki satu
Restoran menulis tanda “Dilarang memberi tips pada
7
petugas parkir”
Saya tetap beri tips waktu pulang karena gaji mereka
8
kecil
Karena pekerjaan kantor sudah selesai maka saya pulang
9
lebih cepat
Aparat mengijinkan nelayan memakai bom ikan karena
10
lebih murah dan mudah dapat ikan.
Saya melihat tetangga mencuri, lalu melaporkannya. Dia
11
dipecat.
Barang yang jatuh di jalan dari mobil yang bertabrakaan
12
boleh diambil
Saya terima uang Rp. 10.000 setelah membantu
13
mendorong mobil mogok
107
BAB V
I. Evaluasi Diri
Tujuan:
Siswa melakukan evaluasi diri sendiri.
Prosedur:
Baca dan jawab sendiri 30 menit.
108
Fair
Saya perlakukan orang lain sebagaimana saya
1
ingin diperlakukan
2 Saya perlakukan orang lain setara
3 Saya taat aturan
4 Saya tidak melakukan stigmatisasi
Akuntabilitas
Saya siap menjawab sejujurnya atas apa yang
1
telah dilakukan
Saya siap menerima kritik dan risiko dari
2
perbuatan saya
Transparansi
Saya tidak menyembunyikan sesuatu yang
1 merupakan tanggungjawab saya kepada orang
lain
2 Saya terbuka
Integritas
Saya berusaha melakukan yang benar meskipun
1
berdampak buruk pada saya
2 Saya memegang teguh nilai-nilai saya
3 Saya berusaha berperilaku terbaik
4 Saya tidak mudah tergoda
Saya melakukan yang benar meskipun tidak ada
5
orang yang melihatnya
109
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Pustaka
Gildenhuys, J.S.H. 2004. Ethics and Professionalism, The Battle Against Public
Corruption. Stellebosch: Sun Press
Ochulor, Chinenye Leo and Bassey, Edet Patrick. 2010. “Analysis of Corruption from
Ethical and Moral Perspectives,” dalam European Journal of Scientific Research,
Vol 44 No. 3 (2010): hlm. 466-476
Priyono, Herry B. 2018. Korupsi, Melacak Arti, Menyimak Implikasi. Jakarta: PT. Gramedia
The Hong Kong Institute of Engineers, 2000. Ethics in Practice, A Practical Guide for
Professional Engineers. Hong Kong: Independent Commission Against
Corruption
Haryatmoko. 2015. Etika Publik. Untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi. Yogyakarta:
Penerbit PT. Kanisius
Riyanto, Armada et.al. 2015. Kearifan Lokal, Pancasila, Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan.
Yogyakarta: Penerbit PT. Kanisius
Hartman, Laura dan DesJardis, Joe. 2011. Etika Bisnis. Jakarta: Penerbit Erlangga
DAFTAR PUSTAKA
Sudarminta, J. 1992. “Etika Profesi Bagi Dosen” dalam Moedjanto, G. et.al. Tantangan
Kemanusiaan Universal, Antologi Filsafat, Budaya, Sejarah-Politik & Sastra.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Boatright, John R., 2003, Ethics and the Conducts of Business, Fourth Edition, Pearson
Education Inc., New Jersey.
De George, Richard T., “When Integrity Is Not Enough Guidelines for Responding to
Unethical Adversaries”, dalam J.C. Ficarrotta, The leader’s imperative: Ethics,
Integrity, and Responsibility, Purdue e-Pubs, Purdue University Press e-books
OLD - Purdue University Press, (2001: 214 – 228).
Ferrell O.C. & Gardiner, Gareth, 1999, In Purusit of Ethics, Though Choices in the World
of Work, Smith Collins Company.
Lee Butler, George, “Some Personal Reflection on Integrity”, dalam J.C. Ficarrotta,
The leader’s imperative: Ethics, Integrity, and Responsibility, Purdue e-Pubs,
Purdue University Press e-books OLD - Purdue University Press, (2001: 73 - 83).
Solomon, Robert C, “The Meaning of Integrity” dalam bukunya Ethics and Excellence,
Cooperation and Integrity in Business, New York, Oxford, Oxford University
Press,1992: 168-174
OECD, 2018, Education for Integrity: Teaching on Anti-Corruption, Values and the Rule
of Law. www.oecd.org/gov/ethics/integrity-education.htm
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, 2016, Buku Panduan Dosen
Pembelajaran Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi. Website : http://
ristekdikti.go.id/
GLOSARIUM
GLOSARIUM
GLOSARIUM
GLOSARIUM
GLOSARIUM
GLOSARIUM
GLOSARIUM
GLOSARIUM
INDEKS
INDEKS
INDEKS
INDEKS
PENULIS
BIOGRAFI Penulis
Mikhael Dua
Adalah dosen mata kuliah Filsafat dan Etika di
Universitas Katolik Atma Jaya sejak tahun 1997.
Lahir di Worolowa, Nusa Tenggara Timur pada
10 September 1958, menyelesaikan pendidikan
sebagai sarjana Filsafat di STFT Ledalero, Flores
yang kemudian melanjutkan master di Ateneo
de Manila University, Philippines dan S3 di
Hochschule fuer Philosophie, Munich, Jerman.
Di luar kegiatannya sebagai Dosen, telah banyak
judul buku yang sudah ditulis, buku terbaru
adalah Pengantar Filsafat diterbitkan tahun
2018. Penulis juga aktif untuk menuangkan ilmu
dan pemikirannya melalui jurnal-jurnal nasional
maupun internasional.
E-mail: michael.dua@atmajaya.ac.id
Sintak Gunawan
Adalah seorang dokter yang menyelesaikan
pendidikan sarjana Kedokteran di FK Atma Jaya
Jakarta. Melanjutkan pendidikan ke Leuven
Catholic University, Belgia untuk meraih gelar
BA in Philosophy dan MA in Applied Ethics.
Berhasil meraih gelar Doktor (S3) Filsafat dari
STF Driyarkara, Jakarta. Aktif menjadi staf Pusat
Pengembangan Etika Atma Jaya sejak tahun
1992, Penulis juga menjabat sebagai anggota
Komisi Etik di RS Atma Jaya (sejak tahun 1996)
dan Mochtar Riady Institute for Nanotechnology
(sejak tahun 2009). Jabatan baru yang
diamanahkan untuk penulis adalah wakil ketua
Komisi Tetap Kamar Dagang dan Industri (KADIN)
pusat bidang pengembangan sarana pelayanan
kesehatan (sejak tahun 2016).
E-mail: sintak.gunawan@atmajaya.ac.id
PENULIS
Rodemeus Ristyantoro
Adalah seorang dosen yang menyelesaikan
pendidikan S1 (Bachelor of Arts in Philosophy)
dan S2 (Master of Arts in Philosophy) di STF
Driyarkara, Jakarta. Di luar kegiatannya sebagai
dosen, Penulis juga aktif menuangkan ilmu dan
pemikirannya melalui banyak jurnal, diantaranya
adalah Editorial yang terbit pada tahun 2010,
Postmodernisme, Filsafat dan Universitasi terbit
tahun 2008, Teledemokrasi: Bagaimana Televisi
Merusak Demokrasi terbit tahun 2006. Selain
itu, penulis juga aktif berorganisasi dengan
menjadi Secretary of Intellectual Property
Rights Commisson di Universitas Katolik Atma
Jaya sejak tahun 2010, Councellor for Ikatan
Karyawan Atma Jaya sejak tahun 2009 dan
Editor of Respons (Journal of Social Ethics) di
Universitas Katolik Atma Jaya sejak tahun 2008.
E-mail: supriyadi902@yahoo.co.id
Biografi
Penulis
ISBN: 978-602-52387-7-2
9 786025 238772