Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

GAGAL GINJAL

DISUSUN OLEH:

1. Elnita Moya Putri (202201031)


2. Eva Tri Nur Fadila (202201032)
3. Fachri Tama Yusuf (202201033)
4. Farhan Adi Saputra (202201034)
5. Fino Alfandy (202201035)
6. Fitriya Ayu Permata (202201036)
7. Friska Cahyati Putri (202201037)
8. Hanifan Zaki Fauzi (202201038)

PROGRAM STUDI DIPLOMA TIGA KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GOMBONG
TAHUN AJARAN 2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat allah swt yang telah melimpahkan rahmat, taufik,
hidayah, dan inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “GAGAL
GINJAL” guna memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah.

Kami mengucapkan terimakasih kepada bapak Bambang Utoyo, selaku pembimbing mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan kami tentang GAGAL GINJAL. Kami juga mengucapkan terimakasih
kepada teman teman yang membantu kami dalam menyelesaikan tugas makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan demi kesempurnaan
karya ini. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi banyak orang dari berbagau
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Penyakit gagal ginjal termasuk salah satu penyakit ginjal yang paling berbahaya.
Penyakit ginjal tidak menular, namun menyebabkan kematian. Penyakit gagal ginjal
dibedakan menjadi dua, yaitu gagal ginjal akut (GGA) dan gagal ginjal kronik (GGK)
(Muhammad, 2012). Penyakit GGK pada stadium akhir disebut dengan End Stage Renal
Disease (ESDR). Penyakit GGK merupakan masalah kesehatan masyarakat global dengan
prevalensi dan insidensi gagal ginjal yang meningkat, prognosis yang buruk dan biaya yang
tinggi (Word Kidney Day n.d., diakses 7 September 2018). Perawatan penyakit ginjal di
Indonesia merupakan ranking kedua pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan setelah
penyakit jantung (Infodatin, 2017). Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2013 prevalensi GGK di Indonesia sekitar 0,2%. Prevalensi kelompok umur ≥ 75
tahun dengan 0,6% lebih tinggi daripada kelompok umur yang lain. Salah satu penanganan
yang tepat untuk pasien GGK adalah terapi pengganti ginjal (Widyastuti, et al., 2014).
Tindakan medis pemberian pelayanan terapi pengganti fungsi ginjal sebagai bagian dari
pengobatan pasien gagal ginjal dalam upaya mempertahankan kualitas hidup yang optimal
terdiri dari dialisis peritoneal dan hemodialisis (HD).
Berdasarkan IRR (Indonesian Renal Registry) tahun 2014 mayoritas layanan yang
diberikan pada fasilitas pelayanan dialisisadalah hemodialisis 82%, layanan CAPD 12,8%,
transplantasi 2,6% dan CRRT 2,3% (Infodatin, 2017). Penyakit hati merupakan penyakit
yang umum terjadi pada pasien GGK dan pemeriksaan fungsi hati terutama enzim
memainkan peran penting dalam mendiagnosis dan memantau kondisi pasien (Ray et al.,
2015). Pada pasien gagal ginjal kronik, tindakan hemodialisis merupakan suatu tindakan
invasif yang mempunyai risiko untuk terjadinya infeksi (Pusparini, 2000). Infeksi
merupakan risiko utama pada pasien hemodialisis kronik (telah menjalani hemodialisis lebih
dari 3 bulan) (Bhattacharyaa, dkk., 2009). Oleh karena itu, serum enzim seperti Alanine
aminotransferase (ALT), Aspartat aminotransferase (AST) dan Alkalin fosfatase (ALP)
biasanya digunakan untuk menilai dan memantau penyakit hati (Fabrizi, dkk., 2001).
Tingkat ALT (Alanine Aminotransferase) pada pasien GGK yang menjalani terapi
hemodialisa dapat lebih rendah dikarenakan kekurangan vitamin B6, yang merupakan
koenzim ALT (Alanine Amino Transferase), atau hemodilusi, yang terjadi karena retensi air
pada pasien dengan GGK sebelum sesi hemodialisa (Ramos et al., 2012).
Hasil pemeriksaan laboratorium yang benar dan akurat merupakan modal dari tim
laboratorium mencakup flebotomis dalam menunjang diagnosis dan pemantauan penyakit
(Putra, 2014). Proses pengendalian mutu pelayanan flebotomi di laboratorium kesehatan
memiliki tiga tahapan penting, yaitu tahap pra-analitik, analitik dan pasca-analitik (Indyanty
et al., 2015). Tahap pra analitik merupakan tahapan penentuan kualitas sampel yang akan
digunakan pada tahaptahap selanjutnya. Kesalahan pada proses pra-analitik dapat
memberikan 3 kontribusi 61% dari total kesalahan. Sementara kesalahan analitik
memberikan kontribusi 25% dari total kesalahan, dan pada pasca-analitik sebesar 14%
(Depkes RI, 2013). Pelaksanaan pengambilan spesimen (flebotomi) yang tidak tepat,
kurangnya pengetahuan dan ketidakpatuhan dari petugas flebotomi dilaporkan sebagai
penyebab kesalahan pra-analitik yang berhubungan dengan kualitas spesimen. Beberapa hal
yang termasuk dalam kesalahan pra-analitik antara lain hemolisis (53.2%), volume spesimen
yang kurang (7.5%), tulisan tangan yang tidak bisa dibaca (7.2%), salah spesimen, spesimen
ada bekuan, kesalahan vacuum container atau jenis antikoagulan, rasio volume spesimen
dan spesimen darah diambil dari jalur infus (Indyanti et al., 2015).
Pemeriksaan laboratorium klinik umumnya dapat dilakukan dengan sampel serum
maupun plasma. Penggunaan plasma lebih disukai karena menghemat waktu yaitu sampel
dapat disentrifus langsung tanpa menunggu sampel menggumpal, tidak seperti serum perlu
menunggu sampai koagulasi selesai dan membutuhkan volume minimal darah lebih sedikit
yang diperlukan untuk pembuatan plasma (Chandrasoma, 2005). Sampel serum dapat
memberikan kesulitan tersendiri ketika sampel darah diperoleh dari pasien ESDR yang
mendapatkan terapi dialisis. Salah satu alasannya karena pemberian antikoagulan pada
pasien yang diterapi. Sampel dari pasien ESDR membutuhkan waktu yang lama untuk
membeku sempurna (clot). Jika sampel didiamkan agar clot dengan waktu lebih dari yang
dianjurkan yaitu sekitar 30-60 menit, maka akan mempengaruhi analit seperti kalium dan
fosfor. Sampel yang langsung disentrifus meskipun sampel belum sepenuhnya clot
menyebabkan serum mengandung 4 fibrinogen dan faktor pembekuan yang lain sehingga
memungkinkan terjadinya trombogenesis setelah dilakukan pemisahan. Ketika sampel yang
belum sepenuhnya membeku diperiksa tanpa pengolahan lebih lanjut hal ini dapat
menyebabkan adanya serum yang masih clot dan perlu disenrifus ulang serta dapat
mengandung gumpalan kecil yang dapat menyumbat fluidics pada instrument laboratorium,
kecuali alat tersebut memiliki kemampuan untuk mendeteksi clot. Clot tersebut dapat
menyebabakan hasil yang salah pada sampel yang sudah dipersiapkan dengan baik
sebelumnya (Carey, et al., 2016). Tabung pemisah (separator tube) baik untuk plasma atau
serum telah diperkenalkan hampir 40 tahun yang lalu dan sekarang digunakan di
laboratorium diagnostik, karena perangkat ini membawa sejumlah keunggulan teknis yang
lebih praktis dibandingkan tabung polos (plain tube) (Lippi, et al., 2014).

B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan gagal ginjal ?
2. Bagaimana proses terjadinya penyakit gagal ginjal ?
3. Apa saja tanda gejala penyakit gagal ginjal ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui maksud dari penyakit gagal ginjal
2. Untuk mengetahui bagaimana proses terjadinya penyakit gagal ginjal
3. Untuk mengetahui apa saja tanda gejala penyakit gagal ginjal
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gagal Ginjal
Gagal ginjal ditandai dengan gagalnya ginjal dalam menjalankan fungsinya secara
sempurna yaitu menyaring darah dari limbah metabolisme. Salah satu upaya untuk
mempertahankan hidup pasien gagal ginjal yaitu mengganti fungsi ginjal sementara dengan
suatu alat ginjal buatan, proses ini dinamakan hemodialisa atau cuci darah. Pada umumnya
orang yang menderita penyakit kronis seperti gagal ginjal dan diharuskan cuci darah akan
mengalami gangguan psikologis (kecemasan).
Gagal ginjal merupakan gangguan sebagian atau total dari fungsi ginjal yang
mengakibatkan ketidakmampuan ginjal untuk mengekresikan hasil sampah metabolisme dan
air. Gagal ginjal dapat diklasifikasikan menjadi gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik.
Gagal ginjal akut memiliki waktu yang cepat, sedangkan gagal ginjal kronis berhubungan
dengan perkembangan penyakit kardiovaskular. Gagal ginjal akut memiliki karakteristik
kehilangan fungsi ginjal yang sangat cepat. Kehilangan fungsi ginjal ini disertai dengan
peningkatan kreatinin serum dan/atau penurunan haluaran urine. Keparahan fungsi ginjal
dapat berkisar dari peningkatan serum kreatinin yang kecil atau penurunan haluaran urine
sampai dengan perkembangan azotemia (akumulasi sisa metabolisme nitrogen [nitrogen
urea, kreatinin] dalam darah). Gagal ginjal akut dapat berkembang lebih dari beberapa jam
atau hari dengan peningkatan blood urea nitrogen (BUN), kreatinin,dan kalium dengan atau
tanpa penurunan haluaran urine.
Tidak seperti gagal ginjal akut, kehilangan fungsi nefron pada gagal ginjal kronik
(GGK) bersifat progresif dan ireversibel. Menurunnya jumlah nefron yang berfungsi
mengakibatkan nefron yang tersisa melakukan kompensasi dengan meningkatkan
penyaringan dan reabsorpsi zat terlarut. Hal ini justru merusak nefron yang tersisa dan
mempercepat kehilangan nefron.
B. Proses terjadinya penyakit gagal ginjal akut
Gagal ginjal akut terjadi pada manusia ketika gangguan perfusi oksigen dan nutrisi
dari nefron baik karena pasokan yang menurun maupun permintaan yang meningkat.
Penyebab munculnya gagal ginjal akut sangat beragam salah satunya yaitu gangguan aliran
darah (prerenal). Saat aliran darah ke ginjal terganggu maka aliran darah ke ginjal juga
akan berkurang dan memicu adanya gagal ginjal. Ada berbagai penyakit yang dapat
menyebabkan aliran darah ke ginjal berkurang yaitu: penyakit jantung, infeksi, gagal hati,
dehidrasi berat, dan pendarahan berat. Selain itu yang dapat menyebabkan gagal ginjal akut
yaitu rusaknya ginjal itu sendiri dan penyumbatan saluran kemih. Kondisi medis yang
dapat menyumbat saluran kemih yaitu kanker prostat, kanker serviks, kanker usus besar,
dan berbagai penyakit lainnya.
Berdasarkan etiologinya gagal ginjal akut dapat terjadi saat :
1) Prerenal
Hipoperfusi ke ginjal menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), seperti yang
terjadi pada hipovolemia, gangguan fungsi jantung, vasodilatasi sistemik dan peningkatan
resistensi vaskular. Hal ini menyebabkan terjadinya gangguan dalam mempertahankan
tekanan filtrasi intraglomerulus sehingga ginjal hanya bisa menerima 25% dari curah
jantung (cardiac output). Sistem pembuluh darah di ginjal dapat mempertahankan perfusi
hingga tekanan darah sistemik dengan mean arterial pressure (MAP) 65 mmHg. Dalam
sebuah penelitian, MAP 72 – 82 mmHg diperlukan untuk menghindari gagal ginjal akut
pada pasien syok sepsis dan bila terdapat gangguan pada ginjal.

2) Renal
Gangguan yang terjadi di dalam ginjal seperti tubulus, glomerulus, interstisial dan
pembuluh darah intrarenal. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis / ATN)
merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan gagal ginjal akut. Kerusakan dan
kematian sel tubulus dapat disebabkan karena iskemik maupun toksik. “Sampah” hancuran
sel akibat ATN ini kemudian dapat menumpuk dan menyebabkan obstruksi yang
memperparah gagal ginjal akut. Pada gagal ginjal akut akibat gangguan renal, dapat terjadi
isothenuria (kegagalan mengatur osmolalitas urin), osmolalitas urin dapat kurang dari 300
mOsm/kgBB.

3) Pasca Renal
Adanya obstruksi pada traktus urinarius dimulai dari tubulus ginjal hingga uretra dimana
terjadi peningkatan tekanan intratubular. Obstruksi ini juga dapat memicu adanya
gangguan tekanan darah pada ginjal dan reaksi inflamasi yang mengakibatkan LFG
menurun.
Saat seseorang mengalami gagal ginjal akut akan ada banyak gejala yang muncul
salah satunya penurunan produksi urine. Penurunan produksi urine menadi gejala awal
adanya gagal ginjal akut. Pada beberapa kasus yang terjadi urine dapat berkurang secara
signifikan atau bahkan tidak ada sama sekali. Gagal ginjal akut dapat menyebabkan retensi
cairan di dalam tubuh yang dapat menyebabkan pembengkakan pada bagian tangan, kaki,
pergelangan kaki, atau wajah. Selain itu gejala yang mungkin terjadi yaitu penderita akan
merasakan nyeri dan ketidaknyamanan di daerah punggung bagian bawah di sekitar ginjal,
penderita juga akan mengalami mual muntah, kelelahan, perubahan pola makan, dan
berbagai tanda gejala lainnya.
C. Proses terjadinya penyakit gagal ginjal kronik
Gagal ginjal kronis terjadi pada manusia karena menurunnya fungsi ginjal.
Penurunan fungsi ginjal ini dapat terjadi karena banyak faktor. Salah satu faktor yang
paling umum terjadi yaitu hipertensi dan juga diabetes melitus. Seseorang yang menderita
hipertensi dan diabetes melitus akan lebih mudah terkena resiko gagal ginjal kronis. Selain
itu hal lain yang mempengaruhi terjadinya gagal ginjal kronis yaitu adanya asam urat yang
tinggi, konsumsi obat jenis NSAID jangka panjang, senyawa racun pada tembakau,
glomerulonephritis, infeksi ginjal yang berulang, dan faktor-faktor lainnya.
Seperti yang di jelaskan sebelumnya penyakit gagal ginjal kronis bisa dengan mudah
terjadi pada seseorang yang menderita penyakut hipertensi. Pada orang yang menerita
hipertensi dinding arteri renalis akan mengalami penebalan dinding arteri karena efek dari
hipertensi sehingga lumen/tempat darah mengalir akan menyepit/mengecil. Hal ini dapat
menyebabkan suplai darah ke ginjal akan berkurang demikian juga suplai nutrisi dan
oksigen juga akan berkurang. Keadaan ini dapat menyebabkan cedera iskemik pada
glomelurus nefron. Rusaknya glomelurus akan aktif (makrofag, seb busa) dan nantinya
akan berfiltrasi ke glomelurus yang rusak, kemudian akan mengeluarkan faktor-faktor
pertumbuhan seperti TGF-B1. Faktor pertumbuhan ini nantinya akan menyebabkan sel
mesangial kembali ke bentuk mesangioblast (matriks ekstraseluler). Apabila matriks
ekstraseluler berlebihan maka akan mengakibatkan terbentuknya
glomelurusklerosis/jaringan parut. Apabila suatu jaringan menjadi jaringan parut maka
akan mengurasi kemampuan nefron untuk menyaring darah dan lama kelamaan akan
menyebabkan penyakit gagal ginjal kronis.
Penyakit gagal ginjal kronis juga dapat dengan mudah terjadi pada pasien Diabetes
Melitus. Pada pasien DM, kadar glukosa yang tinggi/ berlebihan akan mencetuskan proses
glikasi non enzimatik (proses glikasi tanpa enzim) yang terjadi di arteriol eferen sehingga
nantinya arteriol eferen akan kaku dan sempit. Saat arteriol eferen menyempit maka
tekanan glomelurus akan meningkat dan menyebabkan hiperfiltrasi yang berlebihan. Selain
itu respon terhadap tekanan yang tinggi di glomelurus akan ditanggapi oleh sel-sel
mesanglia. Sehingga nanti akan ada lebih banyak matriks structural yang akan dikeluarkan,
lama kelamaan keadaan ini akan mengurangi kemampuan nefron untuk menyaring darah
dan menyebabkan penyakit gagal ginjal kronis.
Saat seseorang telah menderita gagal ginjal kronis akan ada banyak tanda gejala yang
bermunculan. Tanda gejala gagal ginjal kronis akan berkembang dari waktu ke waktu.
Gejala umum yang muncul berupa mual muntah, kehilangan selera makan, kelelahan dan
kelemasan, tekanan darah tinggi, kram otot, kulit merasa gatal, penurunan berat badan, dan
berbagai gejala lainnya. Dari sekian banyak gejala yang terjadi ada gejala yang paling
umum terjadi pada penderita gagal ginjal kronis yaitu penurunan frekuensi buang air kecil.
Gejala gagal ginjal kronis tergantung pada kondisi dan tingkat keparahan penyakit, gejala
yang muncul akan berbeda pada masing-masing pengidap. Gejala bisa saja merupakan
akumulasi dari penyakit lain yang dialami. Pada beberapa pengidap, mereka tidak
mengembangkan gejala sampai terjadi kerusakan ginjal permanen.
D. Tanda dan gejala penyakit gagal ginjal
Penyakit ginjal pada awalnya tidak menunjukkan gejala bahkan mirip dengan gejala
penyakit lain. Hanya saja seiring berjalannya waktu penyakit ginjal akan disertai dengan
beragam gejala seperti di bawah ini untuk stadium awal.
 Warna urine berubah menjadi lebih keruh
 Nyeri saat buang air kecil
 Ada bercak darah yang keluar dengan urine (hematuria)
 Kencing berbusa karena urine mengandung protein (proteinuria)
 Sakit pinggang belakang
 Mudah lelah
 Lengan dan kaki bengkak
 Mengalami gangguan tidur pada penderita gagal ginjal kronis
 Kulit kering dan gatal
 Kerap merasa mual hingga muntah
 Ada rasa besi pada mulut
 Kram otot
 Sulit konsentrasi dan pusing
 Tekanan darah tinggi
 Penurunan sel darah merah atau anemia
 Gairah seks menurun
 Sering buang air kecil terutama malam hari.
E. Diagnosa keperawatan

1. Nyeri Akut b.d. Agen Pencedera Fisiologis (ms. Inflamasi, Iskemia, Neoplasma)
2. Gangguan Eliminasi Urin b.d. Iritasi kandung kemih
F. Intervensi Keperawatan
1. Manajemen Nyeri (I.08238)
Tindakan:
Observasi
 Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
 Identifikasi skala nyeri
 Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
Terapeutik

 Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri


Edukasi

 Jelaskan strategi meredakan nyeri


Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian analgetik,


jika perlu
2. Manajemen Eliminasi Urine (I.04152)
Observasi
 Identifikasi tanda dan gejala inkontinensia urine
 Identifikasi faktor yang menyebabkan retensi atau inkontinensia urine
Terapeutik

 Batasi asupan cairan, jika perlu


Edukasi

 Anjurkan minum yang cukup, jika tidak ada kontraindikasi


 Anjurkan mengurangi minum menjelang tidur
Kolaborasi

Kolaborasi pemberian obat supositoria uretra, jika perlu

Anda mungkin juga menyukai