Oleh
JUDUL ................................................................................................................. i
BAB I PENDAHULUAN
1. Permasalahan ........................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah .................................................................... 3
1.2. Rumusan Masalah .............................................................................. 3
1.3. Ruang Lingkup Masalah .................................................................... 3
2. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 3
2.1. Tujuan Umum .................................................................................... 3
2.1. Tujuan Khusus ................................................................................... 3
3. Orisinalitas Penelitian ............................................................................... 4
ii
Judul : Pembatalan Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Dalam Persidangan
Perdata Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
BAB I
PENDAHULUAN
1. Permasalahan
1.1. Latar Belakang Masalah
Setiap penyelesaian suatu perkara melalui pengadilan khususnya
perkara perdata di perlukan alat-alat bukti yang telah ditentukan dan diakui
oleh undang-undang sebagai alat bukti yang sah. Alat-alat bukti tersebut akan
dipergunakan didalam proses pembuktian yang merupakan bagian dari
beracara di Pengadilan, dari proses pembuktian tersebut hakim akan
mengambil suatu keputusan berdasarkan alat bukti yang diakui oleh undang-
undang dan fakta-fakta yang terbukti didalam persidangan oleh karena kita
menganut sistem pembuktian positif (Positief wettelijk bewijsleer) dalam
hukum acara perdata dan yang dicari adalah kebenaran formal. Didalam
pembuktian tidak jarang juga hakim salah menilai pembuktian sehingga orang
yang harusnya bersalah diputuskan tidak bersalah, demikian juga karena tidak
cukup kuatnya alat bukti yang ada sehingga pihak yang seharusnya berhak
diputuskan tidak berhak. Dengan demikian alat-alat bukti memegang peranan
yang vital didalam proses pembuktian.
Karena begitu kompleksnya kehidupan manusia maka hubungan
manusia juga menjadi begitu luas, hubungan awal manusia dengan manusia
lainnya biasanya baik-baik saja namun ditengah perjalanan bisa saja hubungan
baik tersebut berubah oleh karena suatu hal atau keadaan, maupun peristiwa
atau kejadian, ditambah lagi diantara mereka sudah tidak dapat menyelesaikan
masalah sendiri secara baik-baik seperti awal hubungan mereka dan akhirnya
mengambil penyelesaian masalah melalui pengadilan. Maka diantara mereka
diperlukan alat bukti yang menentukan dengan jelas apa yang menjadi hak
iii
dan kewajiban mereka yang akan dipergunakan sewaktu-waktu bila
dikemudian hari diantara mereka terjadi sengketa.
Salah satu jenis alat bukti yaitu alat bukti tertulis yang bersifat autentik
isinya mengenai keadaan peritiwa atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh
tiap-tiap individu. Alat bukti tertulis yang autentik lazim disebut akta autentik.
Ada yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan, namun ada juga
yang dikehendaki oleh para pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak
dan kewajiban mereka untuk mengantisipasi hal-hal yang mungkin terjadi
dikemudian hari.
Notaris sebagai pejabat pembuat akta autentik berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang mengatur jabatan notaris yang berlaku sebagian
besar masih didasarkan pada peraturan perundang-undangan zaman kolonial
belanda dan sebagian lagi peraturan perundang-undangan nasional. Namun
berbagai peraturan diatas sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan
kebutuhan hukum masyarakat indonesia. Oleh karena itu diadakan
pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam suatu
undang-undang yang mengatur jabatan notaris sehingga tercipta suatu
unifikasi hukum yang berlaku untuk semua penduduk di seluruh wilayah
Negara republik Indonesia maka dibentuklah Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Oleh karena itu maka akta yang dibuat oleh/dihadapan Notaris
merupakan akta otentik. Sebagai akta otentik merupakan alat bukti yang sah
dan kuat. Namun tidak jarang juga akta yang dibuat oleh/dihadapan Notaris
menjadi batal demi hukum. Dari beberapa kasus yang terjadi, banyak putusan
mahkamah agung yang menyatakan bahwa akta yang dibuat oleh/dihadapan
notaris tersebut adalah batal demi hukum. Melihat Putusan-putusan
Mahkamah Agung ini Penulis menyimpulkan bahwa Akta Notaris sebagai
Akta Otentik yang apabila digunakan sebagai alat bukti adalah merupakan alat
bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh menjadi tidak memberikan fungsi
yang sebagaimana seharusnya. Dengan demikian Penulis tertarik untuk
membahas mengenai Akta Notaris sebagai alat bukti yang otentik, faktor
iv
apakah yang dapat menyebabkan Akta Notaris menjadi batal, serta
mengetahui Bagaimana Pertanggung-Jawaban Para Pihak yang terkait dengan
Akta notaris yang batal.
2. Tujuan Penelitian
2.1. Tujuan Umum
1. Untuk melatih diri dalam usaha pikiiran ilmiah secara tertulis.
2. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan hukum.
3. Untuk mengembangkan diri pribadi ke dalam kehidupan masyarakat.
4. Untuk pembulat studi dibidang ilmu hukum.
v
3. Orisinalitas Penelitian
vi
Tarumanagara kelengkapan identitas saksi penelitiannya adalah
(2021). sebagai alat bukti di bagaimana kekuatan akta
pengadilan ? notaris yang tidak
Analisis Kekuatan 2. bagaimana tindakan mencantumkan
Akta Notaris Yang hukum yang dapat kelengkapan identitas saksi
Tidak Dicantumkan dikenakan pada notaris sebagai alat bukti di
Kelengkapan yang lalai mencantumkan pengadilan. Saudara Grace
Identitas Saksi identitas saksi pada akta mencantumkan definisi dan
Sebagai Alat Bukti di yang dibuatnya ? perbedaan akta, akta
Pengadilan autentikdan akta dibawah
tangan, selain itu
bagaimana kekuatan akta
autentik sebagai alat bukti
di muka pengadilan dan
juga alat bukti akta
dibawah tangan.
vii
Bagaimana Teori
Kewenangan, Teori
Tanggungjawab dan
Tindakan Hukum yang
dapat dikenakan pada
notaris berdasarkan pasal
16 ayat (11) UUJN.
viii
BAB II
A. TINJAUAN PUSTAKA
1
Munir Fuandy, 2006, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), Cet.1, Citra Aditya Bakti,
Bandung, (selanjutnya disingkat Munir Fuandy I), h.1.
2
Teguh Samudera, 1992, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Cet.1, Alumni, Bandung, h.2.
3
Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet.VII, Citra Aditya Bakti,
Bandung, h.115.
4
Munir Fuandy, op.cit, h.4.
ix
3. Necessity, yakni alat bukti tersebut memang diperlukan untuk
membuktikan suatu fakta.
4. Relevance, yaitu alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta
yang akan dibuktikan.
Suatu tulisan dibawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan
itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut undang-undang dianggap
sebagai diakui, memberikan terhadap orang orang yang menandatangani serta
para ahli warisannya dan orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, bukti
yang sempurna seperti suatu akta otentik menurut padal 1875 Kitab Undang-
unang Hukum Perdata.
Menurut sistem HIR dan RBg, hakim terikat dengan alat-alat bukti yang sah
yang diatur dengan undang-undang. Ini berati hakim hanya boleh menjatuhkan
putusan berdasarkan alat-alat bukti yang telah diatur undnag-undang. Menurut
ketentuan pasal 164 HIR, 284 RBg ada lima jenis alat bukti dalam perkara
perdata:
1. Surat
2. Saksi
3. Persangkaan
4. Pengakuan
x
5. Sumpah
Menurut Ali Afandi, surat ialah :sesuatu yang memuat tanda yang dapat
dibaca dan yang menyatakan sesuatu buah pikiran”. 5 Surat merupakan alat bukti
tertulis yang memuat tulisan untuk menyatakan pikiran seorang sebagai alat
bukti.6 Menurut bentuknya , alat bukti tertulis diklasifikasikan menjadi 2 jenis :
1. Surat akta
2. Surat bukan akta
Surat akta adalah surat yang dibuat dan dimaksudkan untuk membuktikan
suatu peristiwa. Oleh karena yang dimaksudkan untuk membuktikan suatu
peristiwa maka akta harus ditandatangani oleh orang yang membuatna, syarat
penandatanganan itu dasar hukumnya terdapat pada pasal 1869 kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Surat akta diklasifikasikan lagi menjadi 2 jenis yaitu:
Suatu akta otentik ialah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undnag, dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu
ditempat dimana ata itu dibuat, menurut pasal 1868 kitab Undang-Undnag Hukum
Perdata. Akta dibawah tangan adalah akta yang segaja dibuat untuk pembuktian
oleh para pihak tanpa bantuan pejabat berwenang seperti notaris. Misalnya
kuitansi, perjanjian sewa menyewa, dan sebagainya. 7 Pembuatan akta dibawah
tangan cukup ditandatangani oleh si pembuat.
xi
2004 pasal 1 ayat (1) disebutkan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang
untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana yang dimaksud
dalam undang-undnag ini. Segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkan (konstatir)
adalah dianggap benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses
hukum.9 Dengan demikian apabila tidak ada dasar hukumnya berupa peraturan
umum yang memberi kewenangan kepada pejabat atau orang lain selain Notaris,
maka kewenangan untuk memperoleh akta otentik dari perbuatan hukum apapun
termasuk hak atas tanah yang objeknya perjanjian atau perbuatan hukum itu,
secara umum (Regel) paasti itu adalah menjadi kewenangan notaris selaku pejabat
umum.
Akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris
menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini, didala
pasal 1 ayat (7) Undang-Udnang Nomor 30 Tahun 2004. Akta otentik
memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya bagi para
pihak, ahli waris dan orang-orang yang mendapat hak dari merekaa.
Namun akta otentik juga tidak memberikan bukti yang sempurna tentang
apa yang termuat didalamnya hanya dianggap penuturan belaka kecuali penuturan
itu ada hubungannya langsung dengan pokok isi akta maka penuturan itu tidak
9
Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat(Buku1), Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, h.157.
10
Komar Andasasmitha, 1983, Notaris Selayang Pandang, Alumni, Bandung, h.11.
xii
dianggap sebagai penuturan belaka maka memberikan bukti yang sempurtna
tentang apa yang dimuat didalamnya. Sebagai penuturan belaka yang tidak ada
hubungannya langsung dengan pokok isi akta maka hanya berguna sebagai
permulaan pembuktian dengan tulisan.
11
Abdulkadir Muhammad, op.cit, h.124
xiii
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Pendekatan Masalah
2. Sumber Data
Pendekatan masalah untuk penelitian ini dilakukan secara yuridis normatif
sehingga penyusunan penelitian ini didasarkan pada data sekunder yaitu data yang
telah dikumpulkan oleh pihak lain untuk maksud tertentu. Sumbernya dari
penelitian kepustakaan (Library Research) atau data yang diperoleh dari referensi
literatur dan peraturan perundang-undangan yang ada relevansinya dengan
permasalahan yang diangkat.
xiv
pendapat pakar hukum.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap ahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia.14
14
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h.31.
xv
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h.31.
Gatot Supramono, 1996, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis,
Djambatan, Jakarta, h.65.
Krisna Harahap, 2008, Hukum Acara Perdata, Mediasi, Class Action, Arbitrase &
Alternatif, Grafitri Budi Utami, Bandung,h.76.
Munir Fuandy, 2006, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), Cet.1,
Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Munir Fuandy I),
h.1.
Peter Mahud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Cet.III, Prenada Media Group,
Jakarta, h.141.
Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat(Buku1), Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
h.157.
xvi