Anda di halaman 1dari 32

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan Psikologi Peserta Didik Dari Tiap Tingkatan
2.1.1 Pengertian Perkembangan Psikologi
Manusia adalah wujud kesatuan yang terdiri dari fisik dan psikis. Pola-pola
perilaku manusia hanya dapat dipahami apabila dilihat dari aspek keduanya, karena
perkembangan kehidupan manusia terdiri dari fisik dan psikis.
Dalam memahami perkembangan psikologi, ada baiknya diketahui apa yang
dimaksud dengan perkembangan, dimana psikologi yang dibahas adalah
perkembangan rohani sejak ma nusia lahir sampai ia dewasa yang perubahannya
secara terus menurus dan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipishakan.
Perkembangan tersebut tidak terlepas dari dua faktor, yaitu pengaruh keturunan
dan pengaruh lingkungan, dimana seorang hidup dan dibesarkan pada ruang lingkup
keduanya. Menurut Abu Ahmadi dalam bukunya Psikologi Perkembangan
mengungkapkan bahwa : “Perkembangan menunjukan suautu proses tertentu yaitu
suautu proses yang menuju kedepan dan tidak dapat diulang kembali. Dalam
perkembangan manusia terjadi perubahan-perubahan yang sedikit banyak yang
bersifat tetap dan tidak dapat diulang. Perkembangan menujukan pada perubahan-
perubahan dalam suautu arah yang bersifat tetap dan maju.
Dari pengertian diatas dapat diambil pengertian bahwa perkembangan merupakan
suatu proses atau tahapan pertumbuhan yang harus dilalui oleh individu dalam setiap
periode perkembangannya yang diharapkan membawa perubahan kearah yang lebih
maju. Hal ini dipertegas oleh pendapat Chaplin (2002) sebagaimana yang dikutip
oleh Samsunuwiyati Mar’at dalam bukunya Psikologi perkembangan, berliau
mengartikan perkembangan sebagai perubahan yang berkesinambungan dan progesif
dalam organisme, dari lahir samapai mati.
Pernyataan di atas identik dengan apa yang diungkapkan oleh Oemar Hamalik
bahwa : perkembangan menuju pada perubahan yang progresif dalam organisme
namum perubahan ini tidak mengacu pada perubahan dari segi fisik saja (jasmaniah)
melainkan perubahan dapat terjadi dari segi fungsinya, misalnya kekuatan dan
koordinasi.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa perkembangan
berkaitan erat dengan proses belajar, karena pada intinya baik perkembangan atau
belajar mengacu kepada perubahan dari apa yang telah dipelajarinya, baik dari segi
jasmani maupun rohani yang diaktualisasikan melalui tingkah laku (behaviorisme)
tanpa membedakan organisme yang ada.
Berdasarkan definisi di atas dapat dikemukakan bahwa perkembangan psikologis
adalah suatu perubahan yang terjadi pada diri individu sebagai hasil dari proses
belajar dan disesuaikan dengan kondisi perkembangan psikologis siswa.
2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Perkembangan Psikologi Peserta Didik
Pola perkembangan setiap indvidu berbeda, kuantitatif dan dinamisnya
perkembangan setiap fase-fase yang dilalui. Seperti halnya pola perkembangan
ruhani yang tidak sama cepat, bisa saja pola perkembangan jasmaniah dan pola
perkembangan ruhani berbeda dan tidak sama ceptanya, namun belum tentu dari segi
ruhaniya berkembang cepat pula, akan tetapi bisa saja berkembang sangat lambat.
Dengan demikian, faktor yang mempengaruhi perkembangan psikologi menurut
para ahli yaitu dilihat dari sudut pandang dan eksistensi siswa yang tidak sama.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan psikologi adalah sebagai
berikut :
a. Faktor nativisme
Aliran atau teori nativisme dengan tokoh utamanya schopenhover dan
tokoh lainnya yang masih termasuk aliran ini adalah Plato, Descartes, Lombroso.
Menurut pendapat aliran ini secara ekstrim menyatakan bahwa “perkembangan
manusia itu sepenuhnya ditentukan oleh faktor pembawaan atau faktor-faktor
yang dibawa sejak lahir.
Sejak terjadinya konsepsi yakni proses pembuahan sel telur oleh sel
jantan, anak memperoleh warisan-warisan pembawaan dari kedua orang tuanya
yang merupakan potensi tertentu.
Dari beberapa pernyataan di atas penulis menyimpulkan bahwa aliran
nativisme menyatakan baik buruknya, berhasil atau tidaknya perkembangan
individu sepenuhnya bergantung pada pembawaan individu yang dibawanya
sejak lahir.
Para ahli dalam teori ini mempertahankan kebenaran konsepsi ini dengan
menunjukan berbagai kesamaan atau kemiripan antara orang tua dengan anak-
anaknya. Kemiripan atau kesamaan antara orang tua dengan anak-anaknya
memang benar banyak terjadi, akan tetapi yang perlu diragukan apakah benar
kesamaan atau kemiripan yang ada pada orang tua dan anak-nakanya itu benar
semata-mata berdasarkan pembawaan yang dibawa sejak lahir ? atau mungkin
juga terjadi karena dorongan rangsangan atau pengaruh dan fasilitas di luar faktor
pembawaan ?. Bagi kaum nativisme akan tetap pada pendiriannya, karena
menurut mereka perkembangan hanyalah mewujudkan unsur pembawaan
semata-mata.
Dengan demikian, faktor lingkungan atau pendidikan menurut aliran ini
tidak bisa berbuat apa-apa dalam mempengaruhi perkembangan seseorang.
Dalam ilmu pendidikan aliran ini dikenal sebagai aliran “Pedagogik
Pessimisme” yaitu pendidikan tidak dapat mempengaruhi perkembangan anak
kearah kedewasaan yang dikehendaki oleh pendidikan.
b. Faktor empirisme
Paham empirisme ini tokoh utamanya ialah Jhon Locke, “teori ini secara
ekstrim menekankan kepada pengaruh lingkungan, teori ini berpendapat bahwa
lingkunganlah yang menjadi penentu perkembangan seseorang, baik buruknya
perkembangan pribadi seseorang sepenuhnya ditentukan oleh lingkungan atau
pndidikan.”
Dari pendapat di atas dapat difahami bahwa teori ini menomor satukan
pengaruh lingkungan atau pendidikan dalam perkembangan manusia. Jadi, teori
ini menganggap faktor pembawaan tidak berperan sama sekali dalam proses
perkembangan manusia. Menurut pendapat kaum empiris, lingkunganlah yang
maha kuasa dalam menentukan perkembangan pribadi seseorang. Oleh karena
itu dalam ilmu pendidikan teori ini disebut dengan aliran pendidikan “Pedagogik
Optimisme” artinya pendidikan maha kuasa untuk membentuk atau
mengembangkan kepribadian seseorang.
Pendidikan merupakan sarana untuk individu melakukan proses belajar,
dari proses belajar tersebut manusia akan mengalami perubahan-perubahan
(perkembangan) baik jasmani maupun rohaninya, yang dalam ilmu pendidikan
perkembangan tersebut mencakup ranah kognitif, afektif dan Psikomotorik.
Permasalahannya apakah benar lingkungan atau pendidikan menjadi
penentu bagi perkembangan seseorang, hal ini sangat ironis sekali karena ada
orang yang memiliki lingkungan atau pendidikan yang baik bahkan ia disebut
seorang yang terpelajar, fasilitas yang mencukupi tetapi ia tidakk mampu
mengalami perkembangan yang baik dan tidak mencerminkan sikap dan
perbuatan sebagai orang yang terpelajar, bahkan sebaliknya ada orang yang
berpendidikan rendah dan tidak memiliki fasilitas lengkap dan bisa disebut
miskin ia mampu mengalami perkembangan yang baik dan memiliki akhlak
karimah.
Dari analisa di atas, penulis berkesimpulan bahwa aliran empirisme adalah
aliran yang mengungkapkan bahwa lingkungnan adalah faktor utama yang
mempengaruhi perkembangan psikologi dan kepribadian seseorang.
c. Faktor konvergensi
Teori konvergensi yaitu teori yang menjebatani atau menangani kedua
teori atau faham sebelumnya yang bersifat ekstrim yaitu teori nativisme dan teori
empirisme. Dari pengertian di dapat difahami bahwa teori konvergensi adalah
teori yang mengambil jalan tengah, artinya baik faktor pembawaan atau
lingkungan (pendidikan) sama-sama berperan penting dalam proses
perkembangan manusia.
Sesuai dengan namanya konvergensi yang artinya perpaduan, maka berarti
teori ini tidak memihak pada salah satu teori yang mempengaruhi perkembangan
seseorang, bahkan memadukan pengaruh kedua unsur pembawaan dan
lingkungan tersebut dalam proses perkembangan, menurut teori ini baik unsur
pembawaan maupun unsur lingkungan sama-sama merupakan faktor yang
dominan pengaruhnya bagi perkembangan seseorang. Misalya seseorang yang
berbakat musik tidak akan berkembang menjadi seorang ahli musik apabila tidak
ditunjang oleh lingkungan atau pendidikan yang memadai.
Berdasarkan uraian di atas mengenai aliran-aliran doktrin filosofis yang
berhubungan dengan perkembangan seseorang, maka penulis berkesimpulan
bahwa faktor yang mempangaruhi tinggi rendahnya mutu hasil perkembangan
siswa pada dasarnya terdiri:
1) Faktor intern, yaitu faktor yang ada dalam diri siswa itu sendiri yang meliputi
pembawaan dan potensi psikologis tertentu yang turut mengembangkan diri
sendiri.
2) Faktor eksternal, yaitu faktor yang datang dari luar diri siswa yang meliputi
lingkungan dan pengalaman, khususnya lingkungan pendidikan.
2.1.3 Tahapan Perkembangan Psikologi Peserta Didik
a. Perkembangan pra sekolah
Dalam dunia pendidikan tingkat keberhasilan belajar siswa tidak hanya
didukung atau ditentukan oleh fase pada masa sekolah saja, melainkan didukung
oleh fase sebelumnya yaitu fase pra sekolah, bahkan ketika anak masih ada dalam
kandungan dapat mempengaruhinya. Oleh karena itu pengendalian dari pada
orang tua harus dapat terwujud, agar perkembangan anak berjalan secara baik.
Menurut Syamsu Yusuf dalam bukunya psikologi perkembangan anak dan
remaja menyatakan bahwa pada masa usia pra sekolah ini dapat dibedakan
menjadi dua masa, yaitu masa vital dan Masa estetik.
1) Masa Vital
Masa bayi disebut juga sebagai periode vital, karena kondisi fisik dan
mental bayi menjadi fundasi kokoh bagi perkembangan dan pertumbuhan
selanjutnya. Pada masa ini individu menggunakan fungsi-fungsi biologis
untuk menemukan berbagai hal dalam dunianya, untuk masa belajar freud
menamakan tahun pertama dalam kehidupan individu itu sebagai masa oral
(mulut), karena mulut dipandang sebagai sumber kenikmatan dan ketidak
nikmatan. Anak memasukan apa saja yang dijumpai kedalam mulutnya itu,
tidaklah karena mulut merupakan sumber utama, tetapi karena waktu itu
mulut merupakan alat untuk melakukan eksplorasi (penelitian) dan belajar.
Pada tahun kedua anak telah belajar berjalan secara bertahap. Pada tahun
ini umumnya terjadi pembiasaan terhadap keberhasilan (kesehatan) melalui
latihan keberhasilan ini, anak belajar mengendalikan impuls-impuls atau
dorongan-dorongan yang datang dari dalam dirinya (umpamanya buang air
kecil dan buang air besar).
2) Masa estetik
Pada masa ini dianggap sebagai masa perkembangan keindahan, kata
estetik disini dalam arti bahwa pada masa ini, perkembangan anak yang utama
adalah fungsi panca inderanya. Kegiatan eksploitasi dan belajar anak juga
terutama menggunakan Panca Inderanya.
Pada periode perkembangan pra Sekolah ini Comenius lebih menitik
beratkan aspek pengajaran dari proses pendidikan dan perkembangan anak,
tahun-tahun pertama 0 – 6 tahun disebut periode sekolah Ibu.
Dari pendapat di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa seorang ibu
memiliki peranan penting pada masa perkembangan pra sekolah, karena
hampir semua usaha bimbingan pendidikan (ditambah perawatan dan
pemeliharaan) berlangsung di tengah-tengah atau lingkungan keluarga,
terutama sekali aktivitas ibu sangat menentukan kelancaran proses
pertumbuhan dan perkembangan anak.
b. Perkembangan usia sekolah
Fase ini anak berada pada usia SD disebut juga Masa Sekolah rendah.
Usia 7 – 12 tahun sistem kognitif yang terpadu dalam pengorganisasian mulai
berkembang. Proses berfikir tidak lagi bersifat statis, semua yang digunakan
secara sadar sebagai alat pengembang fikiran.
Para pendidik menyebut masa ini dengan usia sekolah dasar karena pada
masa ini anak masanya untuk masuk atau mengikuti pendidikan di sekolah dasar
dengan harapan memperoleh dasar pengetahuan dan keterampilan yang penting,
artinya untuk keberhasilan penyesuaian hidup dimasa dewasa nanti.
Alisuf Sabri menyatakan bahwa periode ini disebut juga “periode kritis
dalam dorongan berprestasi.” Karena pada masa inilah kebiasaan untuk mencapai
sukses, tidak sukses dan sangat sukses dibentuk. Sekali kebiasaan prestasi ini
terbentuk akan cenderung menetap selamanya.
Sifat khas usia SD adalah : a) ingin mengetahui yang ada dalam dunia
nyata, b) tidak tergantung pada orang lain, c) adanya kbutuhan persahabatan, d)
berkompetisi dengan sehat, e) mempunyai sifat kepemimpinan dan, f) memiliki
kemampuan dan kekuatan.
c. Tingkat operasional formal (12 tahun s/d ke atas)
Masa usia ini bertepatan dengan masa remaja yang selamanya hangat dan
menarik, karena periode remaja adalah masa transisi dalam periode anak-anak ke
periode dewasa. Periode ini dianggap sebagai masa-masa yang amat peting dalam
kehidupan seseorang khususnya dalam pembentukan kepribadian individu.
Pada fase ini anak mengenal dunia malalui logika dan praduga secara
sistematis, anak mampu merumuskan hipotesis tentang dunia sekitar, sehingga
permasalahan dapat diatasi dengan berbagai cara yang berbeda. Hal ini
dikemukakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak membutuhkan orang
dewasa, yaitu melalui guru yang mampu berupaya memahami prinsip-prinsip
perkembangan dan karakteristik anak sesuai dengan tingkat usianya.
Dengan demikian guru diharapkan lebih mampu menciptakan suasana
kegiatan belajar mengajar yang kondusif sesuai kebutuhan anak. Dipandang dari
segi pendidikan masa ini merupakan masa yang sukar, karena anak mengalami
goncangan, dalam menghadapi pertumbuhan dan perkembangan pada masa ini
sikap yang paling bijaksana adalah dengan mengambil jalan tengah, yaitu
menghadapi dengan sikap yang tidak ekstrim, baik-baik menekan maupun
memanjakan.
2.2 Perkembangan kognitif Peserta Didik.
2.2.1 Pengertian perkembangan kognitif
Serupa dengan aspek-aspek perkembangan yang lainnya, kemampuan kognitif
anak juga mengalami perkembangan tahap demi tahap. Secara sederhana, pada buku
karangan (Desmita, 2009) dijelaskan kemampuan kognitif dapat dipahami sebagai
kemampuan anak untuk berpikir lebih kompleks serta kemampuan melakukan
penalaran dan pemecahan masalah. Dengan berkembangnya kemampuan kognitif ini
akan memudahkan peserta didik menguasai pengetahuan umum yang lebih luas,
sehingga anak mampu melanjutkan fungsinya dengan wajar dalam interaksinya
dengan masyarakat dan lingkungan.
Sehingga dapat dipahami bahwa perkembangan kognitif adalah salah satu aspek
perkembangan peserta didik yang berkaitan dengan pengetahuan, yaitu semua proses
psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari dan memikirkan
lingkungannya, sesuai buku karangan (Desmita, 2009).
Menurut Mayers (1996), “cognition refers to all the mental activities associated
with thinking, and remembering.” Pengertian yang hampir serupa dengan
pengertian yang diberikan oleh Margaret W. Matlin (1994), yaitu: “cognition, or
mental activity, involves the acquisition, storage, retrieval, and use of knowledge.”
Dalam Dictionary of Psychology karya Drever, dijelaskan bahwa “kognisi adalah
istilah umum yang mencakup segenap mode pemahaman, yaitu persepsi, imajinasi,
penangkapan makna, penilaian dan penalaran” (Kuper & Kuper, 2000). Pengertian
ini pun hampir senada dengan pengertian pada Dictionary of Psychology karya
Chaplin (2002), dijelaskan bahwa “kognisi adalah konsep umum yang mencakup
semua bentuk pengenalan, termasuk didalamnya mengamati, melihat,
memperhatikan, memberikan, menyangka, membayangkan, memperkirakan,
menduga, dan menilai. Secara tradisional, kognisi ini dipertentangkan dengan konasi
(kemauan) dan dengan afeksi (perasaan).”
Sejumlah ahli psikologi juga menggunakan istilah thinking atau fikiran ini untuk
menunjukkan pengertian yang sama dengan cognition, yang mencakup berbagai
aktifitas mental, seperti: penalaran, pemecahan masalah, pembentukan konsep-
konsep, dan lain-lain. Sehingga dalam hal ini, Myers (1996) menjelaskan bahwa,
“thinking, or cognition, is the mental activity associated with processing,
understanding, and communicating information…these mental activities, including
the logical and sometimes illogical ways in which we create concepts, solve
problems, make decisions, and from judgments.” Atkinson, dkk, (1991) mengartikan
berfikir sebagai “kemampuan membayangkan dan menggambarkan benda atau
peristiwa dalam ingatan dan bertindak berdasarkan penggambaran ini. Pemecahan
masalah yang berdasarkan pikiran dibedakan dengan pemecahan masalah melalui
manipulasi yang nyata.”
Perkembangan kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi
aktif anak dengan lingkungan. Pengetahuan datang dari tindakan. Piaget meyakini
bahwa pengalaman-pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan penting bagi
terjadinya perubahan perkembangan. Sementara itu bahwa interaksi sosial dengan
teman sebaya, khususnya berargumentasi dan berdiskusi membantu memperjelas
pemikiran yang pada akhirnya memuat pemikiran itu menjadi lebih logis (Nur,
1998), dalam posting (Anwar Holil, 2008).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan dan dapat dipahami bahwa
kognitif atau pemikiran adalah istilah yang digunakan oleh ahli psikologi untuk
menjelaskan semua aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran,
ingatan dan pengolahan informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh
pengetahuan, memecahkan masalah, dan merencanakan masa depan, atau semua
proses psikologis yang berkaitan bagaimana individu mempelajari, memperhatikan,
mengamati, membayangkan, memperkirakan, menilai dan memikirkan
lingkungannya. (Desmita, 2009).
1) Ide-ide dasar Teori Piaget dalam Perkembangan Kognitif.
Beberapa konsep dan prinsip tentang sifat-sifat perkembangan kognitif anak
menurut piaget, antara lain :
a. Anak adalah pembelajar yang aktif.
Menurut Piaget, anak itu tidak hanya mengobservasi dan mengingat semua
yang mereka lihat dan mereka dengar secara pasif. Padahal secara natural
mereka memiliki rasa ingin tahu tentang dunia mereka dan secara aktif
berusaha mencari informasi untuk membantu pemahaman dan kesadarannya
tentang realitas dunia yang mereka hadapi itu.
Dalam memehami dunia mereka sacara aktif, anak menggunakan
“schema”(skema) seperti yang disebutkan oleh Piaget, yaitu konsep-konsep
atau kerangka yang ada dalam pikiran anak yang digunakan untuk
mengorganisasikan dan menginterpretasikan informasi.
b. Anak mengorganisasi apa yang mereka pelajari dari pengalamannya.
Anak-anak itu tidak hanya mengumpulkan semua yang mereka pelajari
dari fakta-fakta yang terpisah menjadi suatu kesatuan. Sebaliknya anak
memberikan gambaran khusus untuk membangun suatu pandangan
menyeluruh tentang dunia dan kehidupan sehari-hari.
c. Anak menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui proses asimilasi dan
akomodasi.
Ketika anak menggunakan dan beradaptasi terhadap skema yang
mereka buat, ada dua proses yang bertanggung jawab yaitu assimilation dan
akomodasi. Asimilasi terjadi apabila seorang anak memasukan pengetahuan
baru ke dalam pengetahuan yang sudah ada, yaitu anak mengasimilasikan
lingkungan kedalam suatu skema. Akomodasi terjadi ketika anak
menyesuaikan diri pada informasi baru, yaitu anak menyesuaikan skema yang
dimilikinya dengan lingkungannya.
d. Proses ekuilibrasi menunjukkan adanya peningkatan ke arah bentuk-bentuk
pemikiran yang lebih komplek.
Menurut Piaget, ketika anak melalui proses penyesuaian asimilasi dan
akomodasi system kognisi anak berkembang dari satu tahap ke tahap yang
selanjutnya, sehingga kadang-kadang mencapai keadaan equilibrium, yaitu
keadaan seimbang antara struktur kognisinya dan pengalamannya
dilingkungan.
Menurut Piaget, pikiran anak kecil berbeda secara kualitatif
dibandingkan dengan anak yang lebih besar. Maka dia menolak tentang
definisi intelegensi yang didasarkan pada jumlah jawaban yang benar dalam
suatu tes intelegensi.
2.2.2 Proses Perkembangan Kognitif
Dalam pembahasan proses perkembangan kognitif, ada dua alternative proses
perkembangan kognitif yaitu pada teori dan tahap-tahap perkembangan yang
dikemukakan oleh Piaget dan proses perkembangan kognitif oleh para pakar
psikologi pemprosesan informasi.
a. Teori Perkembangan Kognitif Piaget.
Piaget meyakini bahwa pemikiran seorang anak berkembang dari bayi sampai
dia dewasa. Menurut teori Piaget, setiap individu pada saat tumbuh mulai dari
bayi yang baru di lahirkan sampai mengijak usia dewasa mengalami empat
tingkat perkembangan kognitif, yaitu tahap sensori-motorik (dari lahir sampai 2
tahun), tahap pra-operasional (usia 2 sampai 7 tahun), tahap konkret-operasional
(usia 7 sampai 11 tahun), dan tahap operasional formal (usia 11 tahun ke atas),
dalam buku karangan Desmita (2009:101) dan (Anwar Holil,2008).
b. Tahap Sensori-Motorik (usia 0 sampai 2 tahun)
Desmita (2009:101) Dikatakan bahwa bayi bergerak dari tindakan reflex
instinktif pada saat lahir sampai permulaan pemikiran simbolis. Bayi membangun
suatu pemahaman tentang dunia melalui pengkoordinasian pengalaman-
pengalaman sensor dengan tindakan fisik. Dalam postingnya, (Arya, 2010)
”Piaget berpendapat bahwa dalam perkembangan kognitif selama stadium sensori
motorik ini, inteligensi anak baru nampak dalam bentuk aktivitas motorik sebagai
reaksi simulasi sensorik. Dalam stadium ini yang penting adalah tindakan konkrit
dan bukan tindakan imaginer atau hanya dibayangan saja.” Pada proses ini Piaget
menamakan proses desentrasi, artinya anak dapat memandang dirinya sendiri dan
lingkungan sebagai dua entitas yang berbeda.
c. Tahap Pra-Operasional (usia 2 sampai 7 tahun)
Pada tahap ini anak mulai merepresentasikan dunia dengan kata-kata dari
berbagai gambar. Kata dan gambar-gambar ini menunjukkan adanya peningkatan
pemikiran simbolis dan melampaui hubungan informasi indrawi dan tindakan
fisik (Desmita, 2009). Begitu juga dari sumber posting (Joesafira,2010) pada
tahapan pra-operasional menurut piaget ada beberapa cirri antara lain :
1) Berpikir pra-operasional masih sangat egosentris. Anak belum mampu (secara
perseptual, emosional-motivational, dan konsepsual) untuk mengambil
perspektif orang lain.
2) Cara berpikir pra-operasional sangat memusat (centralized). Bila anak
dikonfrontasi dengan situasi yang multi-dimensional, maka ia akan
memusatkan perhatiannya hanya pada satu dimensi saja dan mengabaikan
dimensi-dimensi yang lain dan akhirnya juga mengabaikan hubungannya
antara dimensi-dimensi ini.
3) Berpikir pra-operasional adalah tidak dapat dibalik (irreversable). Anak belum
mampu untuk meniadakan suatu tindakan dengan memikirkan tindakan
tersebut dalam arah yang sebaliknya.
4) Berpikir pra-operasional adalah transductive (pemikiran yang meloncat-
loncat). Tidak dapat melakukan pekerjaan secara berurutan.
5) Berpikir pra-operasional adalah imaginatif, yaitu menempatkan suatu objek
tidak berdasarkan realitas tetapi hanya yang ada dalam pikirannya saja.
d. Tahap Konkret-operasional (usia 7 sampai 11 tahun)
Ditahap ini anak dapat berpikir secara logis mengenai peristiwa-peristiwa
yang konkret dan mengklasifikasikan benda-benda ke dalam bentuk-bentuk yang
berbeda (Desmita, 2009). Tetapi dalam tahapan konkret-operasional masih
mempunyai kekurangan yaitu, anak mampu untuk melakukan aktivitas logis
tertentu tetapi hanya dalam situasi yang konkrit. Dengan kata lain, bila anak
dihadapkan dengan suatu masalah secara verbal, yaitu tanpa adanya bahan yang
konkrit, maka ia belum mampu untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik.
e. Tahap Operasional Formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
Ditahap ini remaja berfikir dengan cara yang lebih abstrak, logis, dan lebih
idealistik. Dalam blog (Joesafira, 2010) tahap operasional formal mencakup dua
hal, yaitu :
1) Sifat deduktif-hipotesis
Ketika anak mendapatkan masalah, maka mereka akan membentuk
strategi-strategi penyelesaian berdasarkan hipotesis permasalahan tersebut.
Maka dari itulah berpikir operasional formal juga disebut berpikir
proporsional.
2) Berpikir operasional formal juga berfikir kombinatoris.
Berpikir operasional formal memungkinkan orang untuk mempunyai
tingkah laku problem solving yang betul-betul ilmiah. Dengan menggunakan
hasil pengukuran tes inteligensi yang mencakup General Information and
Verbal Analogies, Jones dan Conrad ( Loree dalam Abin Syamsuddin M,
2001 ) menunjukkan bahwa laju perkembangan inteligensi berlangsung sangat
pesat sampai masa remaja, setelah itu kepesatannya berangsur menurun.
2.2.3 Karakteristik perkembangan kognitif
Dalam buku karangan (Desmita, 2009) karakteristik perkembangan kognitif
peserta didik dibagi dalam dua tahap yaitu tahap usia sekolah (SD) dan Remaja (SMP
dan SMA).
1) Usia Sekolah (Sekolah Dasar)
Berdasarkan pada teori kognitif piaget, pemikiran anak-anak usia sekolah
dasar masuk dalam tahap pemikiran kongkret-operasional, yaitu masa dimana
aktivitas mental anak terfokus pada objek-objek yang nyata atau pada berbagai
kejadian yang pernah dialaminya. Menurut pieget, operasi adalah hubungan-
hubungan logis di antara konsep-konsep atau skema-skema. Sedangkan opersi
kongkret adalahaktifitas mental yang difokuskan pada objek-objek dan peristiwa-
peristiwa nyata atau kongkreat dapat di ukur. Desmita (2009:104).
Artinya anak usia sekolah dasar sudah memiliki kemampuan untuk berpikir
melalui urutan sebab akibat dan mulai mengenali berbagai cara pemecahan
permasalahan yang dihadapinya. Anak usia ini juga dapat mempertimbangkan
secara logis hasil dari sebuah kondisi atau situasi serta tahu beberapa aturan atau
strategi berpikir, seperti penjumlahan, pengurangan penggandaan, mengurutkan
sesuatu secara berseri dan mampu memahami operasi dalam sejumlah konsep,
seperti 5 x 6 = 30 dan 30 : 6 = 5 (Jhonson & Medinnus, 1974).
Dalam buku psikologi perkembangan peserta didik karangan Desmita
(2009:104) menurut pieget, anak-anak pada masa kongkret operasional (masa
sekolah SD) ini telah mampu menyadari konservasi, yakni kemampuan anak
untuk berhubungan dengan sejumlah aspek yang berbeda secara serempak
(Jhonson & Medinnus, 1974). Hal ini adalah karena pada masa ini anak telah
mengembangkan tiga macam proses yang disebut dengan operasi-operasi: negasi,
resiprokasi dan identitas.
a. Negasi (negation)
Pada masa pra-opersional anak hanya melihat keadaan permulaan dan
akhir dari deretan benda, dengan kata lain mereka hanya mengetahui
permulaan dan akhirnya saja tetapi belum memahami alur tengahnya. Tetapi
pada masa kongkret opersional, anak memahami proses apa yang terjadi
diantara kegiatan itu dan memahami hubungan-hubungan antara keduanya.
b. Hubungan timbal balik (resiprokasi)
Ketika anak melihat bagaimana deretan dari benda-benda itu diubah,
anak mengetahui bahwa deretan benda-benda bertambah panjang, tetapi tidak
rapat lagi dibandingkan dengan deretan lain. Karena anak mengetahui
hubungan timbale balik antara panjang dan kurang rapat atau sebaliknya
kurang panjang tetapi lebih rapat, maka anak tahu pula bahwa jumlah benda-
benda yang ada pada kedua deretan itu sama. Desmita (2009:105). Sehingga
dalam masa ini anah mulai mengerti tentang hubungan timbal balik.
c. Identitas
Pada usia sekolah (SD) anak sudah mengetahui berbagai benda yang
berada dalam suatu deretan, bisa menghitung, sehingga meskipun susunan
dalam deret di pindah, anak tetap mengetahui jumlahnya sama. (Gunaris,
1990) dalam (Desmita,2009). Jadi, anak pada usia sekolah (masa Konkrit
operasional) dapat mengetahui identitas berbagai benda dan mulai memahami
akan susunan dan urutan tertentu.
2) Remaja (SMP dan SMA)
Pada masa remaja, kemampuan anak sudah semakin berkembang hingga
memasuki tahap pemikiran operasional formal. Yaitu suatu tahap perkembangan
kognitif yang dimulai pada usia kira-kira 11 dan 12 tahun dan terus berlanjut
sampai usia remaja sampai masa dewasa (Lerner & Hustlsch, 1983) dalam
(Desmita, 2009). Pada masa remaja, anak sudah mampu berfikir secara abstrak,
menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang sudah tersedia.
Pada masa remaja, anak sudah mampu berfikir secara abstrak dan hipotesis,
sehingga ia mampu berfikir apa yang terjadi atau apa yang akan terjadi. Mereka
sudah mampu berfikir masa akan datang dan mampu menggunakan symbol untuk
sesuatu benda yang belum diketahui.
2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kognitif.
Perkembangan kognitif merupakan salah satu topik yang sering dibicarakan
dan diperdebatkan banyak orang. Berbagai cara dilakukan supaya perkembangan
kognitif seorang anak menjadi optimal. Perkembangan kognitif meliputi
perkembangan dalam hal pemikiran, intelegensi, dan bahasa.
Berdasarkan posting dari (Wiriana, 2008), kemampuan kognitif seseorang
dipengaruhi oleh dua hal yaitu, faktor herediter atau keturunan dan faktor non
herediter. Faktor herediter merupakan faktor yang bersifat statis, lebih sulit untuk
berubah. Sebaliknya, faktor non herediter merupakan faktor yang lebih plastis, lebih
memungkinkan untuk diutak-atik oleh lingkungan. Pengaruh non herediter antara
lain peranan gizi, peran keluarga, dalam hal ini lebih mengarah pada pengasuhan,
dan peran masyarakat atau lingkungan termasuk pengalaman dalam menjalani
kehidupan.
Perkembangan kognitif sendiri sudah dapat dipersiapkan sejak dalam
kandungan sampai dewasa. Asupan gizi yang sehat dan seimbang menjadi fondasi
bagi perkembangan kognitif. Calon bayi juga dapat dirangsang dengan cara
memberikan stimulus atau rangsangan seperti, mengajak bercakap-cakap, mendengar
musik, melakukan relaksasi, menjaga stabilitas emosi pada ibu. Setelah lahir,
rangsangan yang diberikan juga tetap diberikan.
Salah satu perkembangan fisik yang mempengaruhi perkembangan kognitif
adalah perkembangan otak (Wiriana, 2008). Otak berkembang paling pesat pada
masa bayi. Pada masa kanak-kanak otak tidak bertumbuh dan berkembang sepesat
masa bayi. Pada masa awal kanak-kanak, perkembangan otak dan sistem syaraf
berkelanjutan. Otak dan kepala bertumbuh lebih pesat daripada bagian tubuh
lainnya. Bertambah matangnya otak, dikombinasikan dengan kesempatan untuk
mengalami suatu pengalaman melalui rangsangan dari lingkungan menjadi
sumbangan terbesar bagi lahirnya kemampuan-kemampuan kognitif pada anak.
Artinya, perkembangan kognitif menjadi optimal jika ada kematangan dalam
pertumbuhan otak serta ada rangsangan dari lingkungannya.
Kasih sayang merupakan suatu aspek penting dari relasi keluarga pada masa
bayi yang dapat mempengaruhi perkembangan kognitif pada anak ke depannya
(Wiriana, 2008). Penting diperhatikan bahwa kasih sayang pengasuh pada tahun-
tahun pertama kehidupan anak menjadi kunci pada perkembangan selanjutnya.
Seorang pakar psikologi perkembangan, Diana Baumrind meyakini bahwa orang tua
hendaknya tidak menghukum atau mengucilkan anak namun sebagai gantinya orang
tua harus mengembangkan aturan-aturan dan mencurahkan kasih sayang pada anak.
Dalam posting (Wiriana, 2008) pun dijelaskan tentang faktor yang
mempengaruhi perkembangan kognitif adalah:
1) Gaya pengasuhan.
Baumrind menekankan tiga tipe gaya pengasuhan yang dapat
mempengaruhi perkembangan kognitif, pada anak (Wiriana, 2008), yaitu :
a. Gaya pengasuhan Otoriter (authoritarian parenting)
Gaya pengasuhan otoriter adalah suatu gaya yang membatasi dan
menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orangtua
dan menghormati pekerjaan dan usaha. Orangtua yang otoriter menetapkan
batasan-batasan yang tegas dan tidak memberikan peluang pada anak untuk
berbicara atau bermusyawarah. Perkembangan kognitif anak juga menjadi
kurang optimal karena kurang ada kesempatan untuk mengekspresikan rasa
ingin tahu, mengembangkan kreativitas serta menyelesaikan masalah secara
mandiri.
b. Gaya pengasuhan Otoritatif (authoritative parenting)
Gaya pengasuhan Otoritatif adalah merupakan pengasuhan yang
mendorong anak untuk tetap mandiri tapi masih menetapkan batas-batas dan
pengendalian atas tindakan-tindakan mereka. Orangtua mampu menunjukkan
kehangatan dan kasih sayang sekaligus memungkinkan untuk melakukan
musyawarah dalam menghadapi persoalan.
Pengasuhan otoritatif diasosiasikan dengan kompetensi sosial yang
baik pada anak. Perkembangan kognitif diprediksikan menjadi lebih optimal
karena anak memiliki kesempatan untuk mengembangkan kreativitas,
kemampuan untuk menyelesaikan masalah (problem solving) namun tetap
mengetahui norma atau aturan yang berlaku, maupun mengembangkan rasa
ingin tahu tanpa mengalami ketakutan.
c. Gaya pengasuhan Permisi (permissive parenting)
Gaya pengasuhan permisi dibagi menjadi dua yaitu :
a) Pengasuhan permissive indulgent
Pengasuhan permissive indulgent merupakan suatu gaya pengasuhan
dimana orangtua menjadi sangat terlibat dalam kehidupan anak tetapi
menetapkan sedikit batasan atau kendali terhadap perilaku mereka.
Perkembangan kognitif ini menjadi kurang optimal karena tidak
mengetahui mana hal yang benar dan kurang benar. Biasanya mereka
jarang menaruh hormat pada orang lain, cenderung egois (selfistype), dan
mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilaku mereka.
b) Pengasuhan permissive indifferent
Pengasuhan permissive indifferent adalah gaya pengasuhan dimana
orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Mereka
berkembang menjadi pribadi yang cenderung liar, kurang mampu
mengenal aturan serta menjadi kurang mampu membangun kemandirian
dengan baik.
2) Pengaruh lingkungan.
Pengaruh lingkungan juga memberikan andil yang cukup besar terhadap
perkembangan kognitif anak. Lingkungan dalam konteks ini adalah lingkungan di
luar rumah atau keluarga. Lingkungan pertama yang berpengaruh adalah sekolah,
pengaruh teman sebaya (peers), status sosial ekonomi, peran gender dalam
keluarga, dan media masa.
Lingkungan yang kondusif bagi perkembangan kognitif anak adalah
lingkungan yang mampu merangsang rasa ingin tahu, kemampuan untuk
mengamati serta menyelesaikan masalah serta mengembangkan alternative
penyelesaian masalah.
Beberapa tips untuk mengembangkan kemampuan kognitif pada anak
(Wiriana, 2008), antara lain :
a) Asupan gizi yang memadai dan disesuaikan dengan kebutuhan anak.
b) Melakukan beberapa latihan fisik dan relaksasi seperti, brain gym.
c) Keluarga sebagai fondasi bagi perkembangan anak ke depan hendaknya
mampu menciptakan suasana yang harmonis, hangat dan penuh kasih
sayang.
2.3 Masalah-masalah Perkembangan Piskologi Peserta Didik
Dalam kajian teori ini akan dibahas, problem dalam perkembangan anak yang
berhadapan dengan hukum (ABH) baik secara kognitif, moral, sosial, maupun kepribadian.
Berikutnya akan dibahas permasalahan anak dan orang tua, pengaruh lingkungan sekolah,
teman sebaya, sosial dan budaya terhadap tumbuh kembang dan perlindungan Anak. Sasaran
anak yang rentan terhadap tindak kriminalitas yang meliputi usia dan jenis kelamin,
kekerasan terhadap anak dan kriminalitas, anak dan penyalahgunaan narkoba serta anak
dengan geng motor. Selanjutnya juga dibahas analisis dari faktor internal dan eksternal,
kesimpulan serta rekomendasi.
2.3.1 Problem dalam Perkembangan Anak
Dalam perspektif hukum, sesuai dengan Undang – Undang No. 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Anak yang Berkonflik dengan Hukum
yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berusia 12 tahun, tetapi belum
berumur 18 tahun. Pada rentang umur ini dalam perspektif psikologis, yaitu anak
yang berumur 10 sampai dengan 22 tahun berada dalam tahap perkembangan remaja.
Santrock (2003) membagi tugas perkembangan remaja menjadi remaja awal (10-13
tahun) dan remaja akhir (18-22 tahun), serta masa pubertas (14 sd 17 tahun).
Sedangkan untuk kepentingan telaah ini, maka istilah yang digunakan adalah
Anak/Remaja, atau akan digunakan kedua istilah itu secara bergantian.
Tahap perkembangan remaja ini memiliki tugas perkembangan yang harus
diselesaikan agar Anak dapat masuk pada tahap dewasa. Masa remaja merupakan
masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa, yang mencakup
aspek kognitif, sosial/emosional dan moral. Sebagian besar remaja berhasil melewati
masa transisi dari masa anak/remaja ke masa dewasa (Offer dan Church, dalam
Sandrock, 2003), namun banyak juga remaja yang tidak memperoleh cukup
kesempatan dan dukungan untuk menjadi orang dewasa yang kompeten (Takanishi,
dalam sandrock, 2003). Keberhasilan dan kegagalan remaja dalam melewati masa
transisi ini tidak lepas dari masalah-masalah dalam perkembangan yang dihadapi
oleh anak/remaja. Dalam bagian ini akan dijelaskan problem dalam perkembangan
anak secara kognitif, moral, sosial, dan kepribadian.
2.3.2 Problem dalam Perkembangan Kognitif Anak
Menurut perkembangan kognitif Piaget (dalam Santrock, 2003), Anak/remaja
mencapai tahap pemikiran operasional formal yakni suatu tahap perkembangan
kognitif yang berlangsung pada usia 11-15 tahun. Pada tahap pemikiran operasional
formal, seorang Anak/remaja mampu berfikir lebih abstrak, idealis dan lebih logis
daripada pemikiran seorang anak-anak. Selain abstrak, Anak/remaja mulai berfikir
ciri ideal bagi mereka sendiri dan orang lain dengan cara membandingkan diri
mereka dan orang lain dengan standar idealnya. Selain itu, remaja juga mulai berpikir
lebih logis (Kuhn dalam Santrock, 2003) seperti ilmuwan, yang menyusun rencana
untuk menyelesaikan masalah dan menguji pemecahan masalah secara sistematis
(trial and error). Sehingga pada masa ini, seorang Anak/remaja suka mencoba-coba
sesuatu atau situasi yang baru.
Seiring dengan perkembangan kognitifnya, maka kemampuan Anak/Remaja
dalam pengambilan keputusan semakin meningkat, misalnya kemampuan mengambil
keputusan tentang masa depan, memilih teman, apakah harus sekolah atau bekerja
dan seterusnya. Transisi dalam pengambilan keputusan muncul sekitar usia 11-12
tahun dan pada 15-16 tahun. Salah satu strategi meningkatkan kemampuan
pengambilan keputusan Anak/Remaja tentang pilihan dunia nyata dengan melibatkan
remaja untuk menyelesaikan permasalahan di sekitarnya seperti masalah seks, obat-
obatan dan kebut-kebutan pada Anak/Remaja. Kemampuan mengambil keputusan
tidak menjamin kemampuan itu akan diterapkan karena dalam dunia nyata
pengalaman merupakan hal yang penting.
Bila Anak/Remaja kurang mendapatkan pengalaman dalam pengambilan
keputusan, maka kemampuannya dalam mengambil keputusan tidak akan
berkembang. Untuk itu, Anak/Remaja perlu memiliki lebih banyak peluang untuk
mempraktekkan dan mendiskusikan pengambilan keputusan yang realistis. Pada
anak-anak yang delinkuen/nakal, kemampuan dalam pengambilan keputusan ini
tergolong rendah, karena kurangnya pengalaman yang didapatkan.
Berbeda dengan pandangan di atas, menurut Keating (dalam Sandrock, 2003),
pengambilan keputusan Anak/Remaja yang keliru bukan karena ketidakmampuan
Anak/Remaja dalam pengambilan keputusan melainkan karena kegagalan
masyarakat dalam menyediakan pilihan-pilihan. Misalnya keputusan Anak/Remaja
untuk ikut geng motor karena tidak adanya pilihan lain yang menarik bagi remaja
untuk bergabung. Sehingga bila kita tidak suka dengan pilihan yang diambil oleh
Anak/Remaja, maka masyarakat perlu menyediakan pilihan-pilihan yang lebih baik
bagi mereka. Misalnya mendorong remaja untuk ikut aktif dalam setiap kegiatan di
lingkungan rumah, sekolah, organisasi soasial remaja yang lain atau berbagai event
yang diselenggarakan di Mall dan pusat perbelanjaan baik kesenian atau olah raga.
Masalah dalam perkembangan kognitif Anak/Remaja lainnya adalah munculnya
egosentrisme remaja, yang menggambarkan meningkatnya kesadaran diri dan
keyakinan Anak/Remaja bahwa orang lain memiliki perhatian amat besar sebesar
perhatian mereka sendiri terhadap perasaan dan keunikan pribadi mereka (Tracy,
Margaret dan Adam dalam Sandrock, 2003). Egosentrisme remaja ini menyebabkan
Anak/Remaja berani mengambil resiko tinggi, karena mereka memandang diri
mereka tak terkalahkan, kebal fisik dan kebal terhadap sanksi hukum (Sandrock,
2003). Hal inilah yang membuat para Anak/Remaja ini sering melanggar hukum,
seperti tidak pakai helm saat bermotor, melanggar lampu merah dan lainnya.
2.3.3 Problem dalam Perkembangan Moral Anak
Perkembangan moral berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai
mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain
(Sandrock, 2003), yang meliputi bagaimana Anak/Remaja mempertimbangkan
peraturan untuk melakukan perilaku yang sesuai dengan etika; bagaimana
Anak/remaja bertingkah laku dalam situasi sebenarnya dan bagaimana perasaan
Anak/remaja tenang masalah moral. Penalaran moral Anak/Remaja menjadi salah
satu kebutuhan penting sebagai pedoman menemukan identitas dirinya,
mengembangkan hubungan pribadi yang harmonis dan menghindari konflik peran
yang terjadi dalam masa transisi (Kohlberg, dalam Desmita, 2013). Orang yang
bertindak sesuai dengan moral adalah orang yang mendasarkan tindakannya atas
penilaian baik buruknya sesuatu.
Pada masa perkembangan moral, Anak/Remaja memiliki dorongan untuk
melakukan perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang lain. Anak/Remaja
berperilaku bukan hanya untuk memenuhi kepuasan fisiknya saja tetapi juga
psikologis seperti rasa puas dengan adanya penerimaan dan penilaian positif dari
orang lain mengenai tindakannya. Dalam tahapan perkembangan moral Kohlberg
(dalam Desmita, 2013), tingkat penalaran moral remaja pada tahap konvensional
dimana suatu perbuatan dinilai baik oleh remaja apabila mematuhi harapan otoritas
atau kelompok teman sebayanya.
Teori belajar sosial (Bandura dalam Sandrock, 2003) menjelaskan mengapa
dan bagaimana proses penguatan, hukuman dan imitasi mempengaruhi perilaku
moral Anak/Remaja. Ketika Anak/Remaja melakukan tindakan yang sesuai dengan
hukum mereka mendapat penguatan, maka mereka akan cenderung untuk mengulang
perilaku tersebut, dan sebaliknya ketika Anak/Remaja berperilaku yang melanggar
hukum kemudian mendapat sanksi/hukuman maka mereka cenderung tidak
mengulanginya dan tingkah laku itu dapat dihilangkan (Sandrock, 2003).
Oleh karena itu konsistensi dalam menegakkan aturan/hukum, nilai dan
norma yang diterima oleh masyarakat harus dilakukan agar Anak/Remaja taat
hukum. Masalahnya, dalam kehidupan riil di Indonesia, seringkali terjadi pembiaran
terhadap perilaku Anak/Remaja yang melanggar hukum dan tidak ada penguatan
terhadap perilaku yang taat hukum/aturan, nilai dan norma masyarakat. Akibatnya
Anak/Remaja tidak memiliki pengetahuan yang akurat tentang perilaku yang
sesuai/tidak sesuai dengan peraturan, nilai dan norma masyarakat. Anak/Remaja
terus melakukan perilaku melanggar norma dan nilai masyarakat karena perilaku
yang dilakukan tidak mendapat konsekuensi,sehingga hal itu dianggap sebagai
perilaku yang benar dan diterima secara sosial.
Dalam teori ini, juga penting adanya model moral untuk membentuk perilaku
Anak/Remaja agar sesuai denga nilai-nilai moral yang dianut oleh masyarakat.
Ketika Anak/Remaja dihadapkan pada model yang bertingkah laku secara moral,
maka dia cenderung meniru tingkah laku model tersebut (Sandrock, 2003). Namun
kondisi saat ini sulit untuk mendapatkan model moral yang berperilaku sesuai
dengan nilai moral, sehingga Anak/Remaja tidak memiliki acuan yang tepat agar
dapat berperilaku yang dapat diterima secara moral dan norma sosial.
2.3.4 Problem dalam Perkembangan Sosial Anak
Tugas perkembangan sosial remaja dapat ditunjukkan melalui
kemampuannya untuk memahami orang lain (Yusuf, 2012). Remaja memahami
orang lain sebagai individu yang unik, baik dari sifat pribadi maupun perasaannya.
Pemahaman ini mendorong remaja menjalin hubungan sosial yang akrab dengan
teman sebaya. Santrock (dalam Desmita, 2013) melakukan investigasi dan
menemukan bahwa anak yang berhubungan dengan teman sebaya 10% dari
waktunya setiap hari pada usia 2 tahun, 20% pada usia 4 tahun, dan lebih dari 40%
pada usia antara 7-11 tahun.
Masalah dalam perkembangan sosial Anak/Remaja adalah adanya
pengetahuan tentang strategi yang tepat atau tidak tepat dalam mencari teman yang
berhubungan dengan penerimaan dari teman sebaya dan perilaku prososial (Wentzel
dan Erdley dalam Sandrock, 2003). Strategi dalam pertemanan yang tidak tepat, akan
menyebabkan Anak/Remaja mendapatkan penolakan dari teman sebaya dan
sebaliknya. Penolakan dari teman sebaya, dalam keadaan yang ekstrim dapat
menyebabkan remaja itu melakukan bunuh diri.
Hal ini terjadi karena dalam perkembangan sosial remaja, Anak/Remaja
melakukan dua macam gerak yaitu gerakan untuk memisahkan diri dari orang tua di
satu sisi dan bergerak menuju kearah teman sebaya di sisi lain, sehingga ketika Anak
sudah bergerak memisahkan diri dari orang tua tapi mengalami penolakan dari teman
sebayanya maka Anak/Remaja akan mengalami alienasi yang selanjutnya bisa stress,
depresi dan pada ujungnya memilih untuk mengakhiri hidupnya.
Masalah lain yang dihadapi Anak/Remaja ketiga bergerak untuk mandiri dari
rasa ketergantungan terhadap orang tuanya adalah adanya tuntutan dari orang tua
untuk terus mengikuti kemauannya (Sarwono, 2013). Penelitian Kagitcibasi (dalam
Sarwono, 2013), menunjukkan bahwa lebih dari 80% ibu-ibu Jawa dan Sunda
mengharapkan anak mereka menuruti keinginan orang tuanya, sehingga
Anak/Remaja menghadapi konflik di dalam dirinya, yaitu antara keinginannya untuk
mandiri dan kehendak orang tua, karena pada masa ini mereka berada pada tahapan
usia sekolah dan masih tergantung secara ekonomi dari orang tuanya.
Dalam hubungan persahabatan, remaja memilih teman yang memiliki kualitas
psikologis yang relatif sama dengan dirinya dalam ketertarikan, sikap, nilai dan
kepribadiannya. Pada masa ini berkembang sikap konformitas yang merupakan
kecenderungan untuk mengikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran atau
keinginan teman sebayanya (Desmita, 2013). Sesungguhnya konformitas kelompok
juga bersifat positif karena dapat membantu Anak/Remaja dalam menemukan
identitas diriinya.
Sejalan dengan yang dikemukakan Erikson (Desmita, 2013) yang melihat
trend perkembangan dari perspektif normative-life-crisis, dimana teman memberikan
umpan balik dan informasi yang konstruktif tentang definisi diri dan penerimaan
komitmen. Namun, konformitas dapat juga memberikan efek negative bila nilai dan
norma kelompok teman sebaya bertentangan dengan nilai dan norma orang tua atau
masyarakat.
Dalam usaha untuk melepaskan diri dari pengaruh orang dewasa,
Anak/Remaja membentuk kelompok. Kecenderungan kohesi meningkat seiring
dengan meningkatnya frekuensi interaksi anggota Anak/Remaja dengan
kelompoknya. Dalam kelompok dengan kohesi yang kuat, berkembanglah iklim dan
norma kelompok yang sangat ditentukan oleh pemimpin dalam kelompok.
Anak/Remaja akan lebih mementingkan norma dan moral kelompok dibandingkan
norma dan moral yang dia terima dari orang tuanya sehingga dia sulit untuk dapat
mengembangkan norma dan moralnya sendiri.
2.3.5 Problem Problem dalam Perkembangan Kepribadian Anak
Sedangkan perkembangan psikososial remaja menurut Erikson (dalam
Santrock, 2003) bahwa seorang remaja berada pada tahap perkembangan identitas
versus kekacauan identitas. Tahap perkembangan ini individu dihadapkan pada
kemampuan mempersiapkan diri untuk masa depan, mampu menjawab pertanyaan
siapa mereka dan apa tujuan hidupnya. Bila remaja mampu mengekplorasi tahap ini
dengan cara yang sehat dan positif maka akan terbentuk identitas diri yang positif.
Remaja akan menyadari ciri-ciri khas kepribadiannya seperti kesukaan atau
ketidaksukaan, aspirasi dan tujuan masa depan.
Identitas ang dipaksakan dan remaja yang kurang mengeksplorasi peran yang
berbeda maka akan terjadi kekacauan identitas yang berdampak pada pengembangan
perilaku menyimpang, tindak kriminal, atau menutup diri dari masyarakat.
Perkembangan identitas pada masa remaja menjadi penting karena memberikan suatu
landasan bagi perkembangan psikososial dan relasi interpersonal pada masa dewasa
(Jones & Hartmann dalam Desmita, 2013).
Selanjutnya Desmita (2013) menyebutkan empat sub tahap perkembangan
identitas seperti; a) diferensiasi yaitu remaja menyadari bahwa ia berbeda secara
psikologis dari orang tuanya; b) praktis yaitu remaja percaya bahwa ia mengetahui
segala-galanya dan dapat melakukan sesuatu tanpa salah; c) rapprochement yaitu
kesedihan dan kekhawatiran yang dialami remaja mendorong mereka untuk
menerima kembali sebagian otoritas orang tuanya tetapi dengan syarat; dan d)
konsolidasi yaitu remaja mengembangkan kesadaran akan identitas personal yang
menjadi dasar bagi pemahaman dirinya dan orang lain.
2.3.6 Problem Anak dengan Orang Tua
Rumah merupakan lingkungan primer anak, sejak lahir sampai dengan datangnya
waktu untuk meninggalkan rumah karena pernikahan (Sarwono, 2013). Sebelum
anak mengenal lingkungan yang lebih luas maka dia mengenal lebih dahulu
lingkungan keluarganya. Oleh karena itu, keluarga dan orang tua memiliki pengaruh
yang luar biasa terhadap anak dan lingkungan keluarga juga menjadi awal dari faktor
resiko dalam perilaku kenakalan dan tindakan kriminal oleh anak. Hal itu karena
lingkungan keluarga lah yang menjadi awal terbentuknya nilai yang diterima oleh
anak melalui pola pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua. Kondisi lingkungan
keluarga pada masa perkembangan anak dan remaja telah lama dianggap memiliki
hubungan dengan munculnya perilaku antisosial dan kejahatan yang dilakukan oleh
remaja.
Remaja pelaku kejahatan dan kekerasan di Amerika Serikat adalah remaja yang
berasal dari lingkungan rumah atau keluarga yang tidak harmonis dan anak-anak dari
latar belakang sosio-eknomi rendah. Pada umumnya keluarga terdiri dari ayah, ibu,
dan anak-anak. Ayah dan ibu berperan sebagai orang tua bagi anak-anaknya, namun
dalam konteks anak-anak ABH di LPKA Blitar, hasil wawancara menunjukkan
beberapa ABH ini salah satu orang tuanya tidak ada, mereka hidup dengan orang tua
tunggal baik karena perceraian, meninggal atau karena bekerja sebagai TKW atau
hidup bersama kakek/nenek maupun saudara lainnya.
Walsh (2003), menjelaskan munculnya beberapa masalah pada keluarga dengan
orang tunggal baik wanita maupun pria yakni orang tua tunggal merasa kesepian,
perasaan terjebak dengan tanggung jawab mengasuh anak dan mencari sumber
pendapatan, kekurangan waktu untuk mengurus diri dan kehidupan seksualnya,
kelelahan menanggung tanggung jawab untuk mendukung dan membesarkan anak
sendirian, mengatasi hilangnya hubungan dengan partner spesial, memiliki jam kerja
yang lebih panjang, lebih banyak masalah ekonomi yang muncul, menghadapi
perubahan hidup yang lebih menekan, lebih rentan terkena depresi, kurangnya
dukungan sosial dalam melakukan perannya sebagai orang tua, dan memiliki fisik
yang rentan terhadap penyakit. Masalah yang dihadapi oleh orang tua tunggal yang
disebutkan di atas mempengaruhi pola asuh dan kualitas komunikasi orang tua
dengan anak, sehingga dapat menjadi penyebab anak merasa tidak bahagia/tidak
nyaman di rumah dan mendorong mereka untuk mencarinya di luar rumah.
Selain kondisi di atas, pola asuh yaitu bagaimana orang tua mengasuh dan
mendidik anaknya di rumah, juga sangat berperan dalam mendidik anak. Pola asuh
dibagi menjadi pola asuh otoriter, permisif dan univolved. Pola asuh otoriter
dicirikan dengan orang tua yang selalu menuntut anak tanpa memberi kesempatan
pada anak untuk mengemukakan pendapatnya, tanpa disertai dengan komunikasi
terbuka antara orang tua dan anak tanpa kehangatan dari orang tua. Pendidikan
disiplin dengan penerapan yang keras dengan memberikan hukuman fisik dapat
menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja (Sukadji dalam A. Budi,
2009).
Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut,
tidak ramah dengan orang lain, dan membenci orang yang memberi hukuman,
kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan amarahnya
dalam bentuk agresi kepada orang lain. Pola pendisiplinan tersebut dapat pula
menimbulkan pemberontakan, terutama bila larangan-larangan yang bersangsi
hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain yang dapat memenuhi
kebutuhannya, misalnya anak dilarang untuk bermain di luar, tetapi kedua orang tua
tidak memberi perhatian karena kesibukan mereka.
Pola asuh permisif dicirikan dengan orang tua yang terlalu membebaskan anak
dalam segala hal tanpa adanya tuntutan ataupun kontrol, anak dibolehkan untuk
melakukan apa saja yang diinginkannya. Hurlock (1998) menjelaskan bahwa pola
asuh permisif dicirikan dengan tidak ada bimbingan untuk anak dan orang tua
menyetujui semua tingkah laku anak termasuk keinginan-keinginan yang sifatnya
segera dan tidak menggunakan hukuman. Pola asuh ini juga ditandai dengan adanya
kebebasan tanpa batas pada anaknya untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya
sendiri dan orang tua tidak pernah memberi aturan dan pengarahan kepada anak.
Semua keputusan diserahkan kepada anak tanpa pertimbangan dari orang tua. Anak
tidak tahu apakah perilakunya benar atau salah karena orang tua tidak pernah
membenarkan atau menyalahkan anak, sehingga anak akan berperilaku sesuai dengan
keinginannya sendiri, tidak peduli apakah hal itu sesuai dengan norma masyarakat
atau tidak.
Pola asuh permisif membuat hubungan anak-anak dengan orang tua penuh dengan
kasih sayang, tapi menjadikan anak agresif dan suka menuruti kata hatinya. Secara
lebih luas, kelemahan orang tua dan tidak konsistennya disiplin yang diterapkan
membuat anak-anak tidak terkendali, tidak patuh, dan akan bertingkah laku agresif di
luar lingkungan keluarga. Kurangnya kendali orang tua dan pemberian hukuman
pada anak dapat mendorong seorang anak untuk terlibat dan melanjutkan perilaku
tertentu, seperti kriminalitas.
Pola asuh uninvolved dicirikan dengan menjelaskan bahwa pada pola asuh
uninvolved orangtua yang tidak terlibat dalam aktivitas anak, tidak ada tuntutan dan
kontrol serta tidak tertarik pada pendapat, pandangan anak dan juga kegiatan anak
(Baumrind dalam Santrock, 2003). Chormelianti (2015) menemukan bahwa
penelantaran orang tua terhadap perkembangan anak menyebabkan terbentuknya
karakter yang berpotensi besar melakukan tindak pidana karena anak tidak
mendapatkan kasih sayang, pengakuan, figure orang tua dan tidak terpenuhinya
kebutuhan anak sebagaimana mestinya. Pola asuh ini menjadikan anak kekurangan
ikatan dengan orang tua, dan secara kognitif, emosi, keterampilan sosial dan perilaku
kurang berkembang, kontrol diri lemah, self-esteem rendah dan merasa
terasing/diabaikan dalam keluarga.
2.4 Perkembangan Psikologi Peserta Didik dalam Tinjauan ke-Islaman.
Psikologi perkembangan adalah suatu rangkaian kejadian pada diri manusia, yang
mempengaruhi dan pasti dirasakan oleh manusia. Perkembangan ini adalah hal yang bisa
diteliti sehingga membuahkan sebuah hasil secara umum. Tetapi kemunculan dari psikologi
perkembangan juga bisa dilihat dari sudut pandang berbeda yaitu dari perspektif Islam. Hal
ini dapat dilihat dari perspektif Islam, artinya mempelajari dari ayat-ayat Al-Qur’an yang
memaparkan tentang psikologi perkembangan.
Psikologi perkembangan adalah salah satu cabang dari ilmu psikologi. Dalam hal ini, kita
belajar tentang perkembangan manusia dari mulai awal sebelum lahir sampai dewasa.
Banyak hal yang dapat kita pelajari dalam psikologi perkembangan ini. Beberapa ahli terlahir
sebagia maestro dalam bidang psikologi perkembangan. Mereka melakukan penelitian
tentang apa saja yang terjadi pada manusia. Berdasarkan penelitian dan penemuan tersebut,
mereka lalu membuat sebuah kesimpulan tentang teori-teori yang mereka usung. Banyak
dari kita merasakan kebenaran dari teori ini, tetapi ada beberapa juga yang merasa ada
sesuatu yang perlu dilihat dari sudut pandang berbeda. Hal ini juga tidak dapat dipungkiri
apabila kita mencoba melihat dari sudut pandang islam mengenai psikologi perkembangan.
Islam juga menjelaskan bagaimana perkembangan manusia dari mulai tanah sampai menjadi
sebuah bentuk sempurna. Seperti tercantum dalam QS. Al-Mu’minun: 12-14 :
Artinya: Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah (12). Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan)
dalam tempat yang kokoh (rahim) (13). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal
darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu
kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging.
Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah,
Pencipta yang paling baik (14).”
Al-Quran juga menjelaskan mengenai perkembangan manusia. Hal ini terdapat dalam
surat ar-Rum ayat 54 yang artinya adalah “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari
keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat,
kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia
menciptakan apa yang dikehendakiNya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha
Kuasa. (QS. Ar-Rum: 54).

Ayat diatas menjelaskan secara tersirat bahwa ada hal-hal yang membuat manusia
menjadi lemah, kemudian menjadi kuat. Lalu setelah itu manusia menjadi lemah kembali.
Faktor-faktor inilah yang akhirnya bisa diteliti dan menjadi sebuah bagian dari psikologi
perkembangan. Tapi apakah hanya seperti itu saja? Pada makalah ini akan dibahas tentang
bagaimana psikologi perkembangan peserta didik dari perspektif islam. Beberapa ahli
psikologi perkembangan telah melakukan penelitian tentang bagaimana psikologi
perkembangan ini dalam perspektif islam. Tetapi dalam makalah ini lebih difokuskan pada
bagaimana psikologi perkembangan pada peserta didik dalam perspektif Islam.

Peserta didik dapat diartikan sebagai seorang yang mengikuti proses perkembangan
kecakapan dalam bentuk sikap dan prilaku yang berlaku dalam masyarakat, (Novitawati Dkk,
2022) dipengaruhi oleh proses sosial dalam suatu lingkungan yang terpimpin (misalnya
sekolah) sehingga ia dapat mencapai kecakapan social dan mengembangkan pribadinya.

2.4.1 Periodisasi dan Tugas-tugas Perkembangan


Periodisasi psikologi perkembangan manusia menurut perspektif Islam, yaitu
(Mohamad Samsudin, 2016):
1. Pra konsepsi Dalam perspektif Islam, kehadiran manusia di alam dunia akan
dipengaruhi juga oleh proses yang dilakukan kedua orang tua sebelum ia menjadi
janin.
2. Periode Pra natal Periode ini dibagi menjadi empat fase (sesuai dengan sabda
Rosulullah), yaitu:
a. fase nutfah (zigot) yang dimulai sejak pembuahan sampai usia 40 hari dalam
kandungan
b. fase ’alaqot(embrio) selama 40 hari
c. fase mudghah (janin) selama 40 hari
d. fase peniupan ruh ke dalam janin setelah genap empat bulan
Sesungguhnya salah seorang diantara kalian dipadukan bentuk ciptaannya
dalam perut ibunya selama empat puluh hari (dalam bentuk mani) lalu
menjadi segumpal darah selama itu pula (selama 40 hari), lalu menjadi
segumpal daging selama itu pula, kemudian Allah mengutus malaikat untuk
meniupkan ruh pada janin tersebut, lalu ditetapkan baginya empat hal:
rizkinya, ajalnya, perbuatannya, serta kesengsaraannya dan
kebahagiaannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam Al Quran juga diterangkan perkembangan manusia di alam rahim.


“(12) Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah. (13) Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). (14) Kemudian air mani itu kami
jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging,
dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu
kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.” (QS. Al-
Mu’minun: 12-14).

3. Periode kelahiran sampai meninggal dunia


a. Fase wiladah = dari lahir - minggu keempat.
Pada fase ini orang tua mengumandangkan azan di telinga kanan dan
iqomah di telinga kiri ketika anak baru dilahirkan, memotong aqiqah dan
memberi nama yang baik
b. Fase kanak-kanak (al-tifl) = 1 bulan – 7 Tahun
Tugas-tugas perkembangannya adalah = Pertumbuhan potensi-potensi
indera dan psikologis, seperti pendengaran, penglihatan, dan hati nurani Di
bagian lain al-Quran menerangkan tentang pengetahuan atau kognisi
manusia, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 78).
c. Fase tamyiz = 7 – 13 tahun
Tugas-tugas perkembangannya adalah = Perubahan persepsi kongkret
menuju pada persepsi yang abstrak, misalnya persepsi ide-ide ketuhanan dan
alam akhirat, Pengembangan ajaran-ajaran normatif agama melalui institusi
sekolah, baik yang berkaitan dengan aspek kognitif, afektif, maupun
psikomotorik “Perintahkanlah anak-anak kalian melakukan shalat ketika ia
berusia 7 tahun, dan pukullah ia jika meninggalkan shalat apabila berusia
sepuluh tahun, dan pisahkanlah ranjangnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan
al-Hakim dari Abdullah bin Amar).
Artinya pada fase ini, anak berkewajiban belajar dan orang tua berusaha
mendidik anak-anaknya agar siap menjalankan disiplin agama.
d. Fase baligh= 12-15 tahun
Tugas-tugas perkembangannya adalah= Memahami segala perintah dan
larangan Allah SWT dengan memperdalam ilmu pengetahuan, menerapkan
keimanan dan pengetahuan dalam tingkah laku nyata.
“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari
kubur), Maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari
tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian
dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna,
agar Kami jelaskan kepada kamu dan kami tetapkan dalam rahim, apa yang
Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami
keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu
sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan
(adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya
dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya.
Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di
atasnya, hiduplah tumbuhan yang indah (QS. Al-Hajj: 5).
e. Fase kearifan dan kebijaksanaan = dimulai di usia 40 tahun
Tugas-tugas perkembangan adalah = menerapkan sifat-sifat Rasulllah
SAW dan meningkatkan ketakwaan dan kedekatan pada Allah SWT.
Artinya: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada
dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan
melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai
menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa
dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah
aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku
dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang
Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan)
kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan
sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" (QS AL Ahqof
ayat 15)
f. Fase kematian
Tugas-tugas perkembangannya adalah Memberikan wasiat, mendengar
talqin dan membaca dzikir
g. Fase setelah kematian
Artinya: Dan setiap yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin
Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa
menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala (dunia)
itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula)
kepadanya pahala (akhirat) itu, dan Kami akan memberi balasan kepada
orang-orang yang bersyukur. (QS. Ali Imran: 145)

Psikologi Islam mengacu pada beberapa hal pokok, 3 hal diantaranya adalah
(Khanza Savitra, 2022) Sumber rujukannya adalah Alquran dan hadist,
mengandung wawasan islami, dan memperbaiki kualitas diri. (Masganti Sit, 2015)
Persamaan antara Psikologi Perkembangan secara umum dan menurut Islam yaitu
pertama, kesamaan objek study yaitu proses pertumbuhan dan perubahan
manusia. Kedua, Pertumbuhan dan perkembangan manusia terjadi melalui
tahapan dan tidak terjadi dalam satu waktu. Ketiga, setiap perkembangan baru
yang dicapai merupakan penambahan dari perkembangan sebelumnya. Sedangkan
perbedaan antara psikologi perkembangan secara umum dan menurut Islam
(Radief Wisnu, 2010) yaitu: pertama, psikologi perkembangan membatasi sampai
kematian, sedangkan menurut islam sampai kehidupan setelah mati. Kedua,
psikologi perkembangan menurut islam menjadikan alquran dan hadist sebagai
landasan pikir. Ketiga, psikologi perkembangan secara umum mencakup
kehidupan duniawi yang sementara sedangkan psikologi perkembangan menurut
perspektif islam mencakup dasar kehidupan yang lebih permanen. Dan keempat,
psikologi perkembangan secara umum pada awalnya tidak mencatat pra konsepsi
sebagai bagian dari periodisasi perkembangan.
DAFTAR PUSTAKA

Desmita. (2013). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.


Hurlock, E. (1998). Psikologi Perkembangan: pendekatan sepanjang rentang kehidupan.
Jakarta: Erlangga.
LN Yusuf. S. 2012. Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Santrock, J.W. (2003). Life- Span Development. Perkembangan Masa Hidup. Edisi Kelima.
Jilid 2. Alih Bahasa: Damanik, J., dan Chusairi, A. Jakarta: Erlangga.
Sarwono, S.W. (2013). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali.
Wals, F. (2003). Family resilience. A Framework for Clinical Practice. Family Process.
Vol. 42, Issue 1, pages 1–18, March 2003.

Anda mungkin juga menyukai