Anda di halaman 1dari 16

HANS-THIES LEHMAN POST-DRAMATIC THEATRE

PENDAHULUAN

Apa itu post ?


Peningkatan jumlah terbitan buku teater dalam bahasa Inggris berhubungan langsung dengan
meningkatnya konsep pembelajaran produksi dan teks teater baru1. Mengingat keterlambatan
penerjemahan buku ini dari Bahasa Jerman ke berbagai bahasa di dunia (buku ini di terbitkan
pertama kali di Jerman tahun 1999)2, kita menghadapi situasi dimana teater post-dramatik sudah
menjadi bagian pembahasan yang penting di wajah diskusi teater kontemporer dunia.

Penelitian yang dilakukan Hans-Thies Lehman secara jelas telah menjawab kebutuhan dari perlunya
bahan teori yang komprehensif untuk menjelaskan hubungan antara drama dan bentuk
ketidakadaa u su d a atik da i teate a g u ul sejak dekade 1970-an. Hubungan ini
seringkali tidak mendapatkan perhatian yang cukup, atau bisa dikatakan tidak tersentuh oleh
pe dekata a g iasa kita se ut se agai e tuk teate a u post ode atau le ih dike al
sebagai teater eksperimental kontemporer atau juga teater alternatif kontemporer.

Salah satu studi penting yang harus kita perhatikan adalah The Death of Caracther (1996) yang ditulis
oleh Elinor Fuchs; tulisannya ini difokuskan pada bentuk dekonstruksi karakter/tokoh di dalam teater
kontemporer Amerika, yang berhubungan dengan teori postmodern tentang subjektivitas. Yang
dalam konteks ini pula Fuchs menunjukan bentuk kerja baru dari keterhubungan The death of
Caracther sampai hilangnya konvensi dramatik. Seperti Fuchs juga kritikus lain yang menghubungkan
pertunjukan teater dengan postmodernisme, Lehmann berusaha untuk menemukan cara untuk
menjelaskan bentuk teater baru dengan cara yang sistematis; mengingat bahwa hal tersebut
memiliki hubungan dengan teori-teori dramatik dan sejarah teater, termasuk keterikatanya dengan
sejarah teater garda depan/ Avant Garde.

Tidak seperti Fuchs, Lehman menyadari secara sistematis estetika teater baru tersebut memiliki
keterikatan dengan bentuk estetika lain, yaitu ruang, waktu, dan tubuh—dan tentu saja dengan
bagaimana teater baru ini menggunakan teks. Melalui hal tersebut Lehman juga menemukan
bagaimana hubungan teater dengan bentuk perubahan media di abad 20, khususnya pergantian
media yang tadinya hanya berupa teks, kemudian berubah menjadi gambar dan suara. Pendekatan
yang ia lakukan ini menyajikan analisa media dengan cakupan yang luas dan teori-teori estetika dari
Benjamin dan Andorno sampai Barthes, Kittler dan McLuhan, sampai-sampai teoris-teoris yang lebih
spesifik seperti Vivian Sobchak; seorang peneliti/teoris film, dan Teoris peneliti grafis Gottfrieb
Boehm.

Bagia te gah a g e judul Pa o a a da i Postd a atik Teate , Pe tu juka , da Aspek: teks


– ruang – waktu – tubuh – edia , mengembangkan kategori analitis untuk penjelasan estetika baru
teater. Fokus dari keterhubungan antara drama, teater baru, dan pertunjukan membawa Lehman
1
Contoh-contoh terbitan Bahasa Inggris, [*Fn : hal ini mengakibatkan peningkatan tingkat pembelajaran dan
pencarian teater-teater baru—Avant Gardism.
2
Buku ini juga sudah diterjemahkan ke Bahasa Perancis, Jepang (2002), Slovenia, Kroasia (2003), Polandia
(2004), dan Persia (2005).
untuk memperhitungkan luasnya cakupan dari contoh heterogenik internasional dan genre
pertunjukan yang seringkali diperlakukan berbeda dibawah sistem kerja pertunjukan ekperimental,
teater fisik dan tari, teate ulti edia, pe fo a e a t da e iti g , yang sama inovatifnya
dengan bentuk pemanggungan drama klasik yang juga membuat drama tersebut menjadi post-
dramatic ( yang disutradara oleh seniman macam Einar Schleef, Robert Wilson dan Klaus-Michael
Gruber).

Selain itu, saya (Penerjemah) juga ingin menunjukan beberapa poin kritis, artistik, serta konteks
institusional yang memperkaya buku ini. Saya harus menjelaskah penelitian Lehman secara
kontekstual dengan cara mengeksplor kompleksitas dari prefiks post di dalam teater post-dramatik.
Dala p olog a, Leh a e jelaska sedikit ke agua a te hadap p efi post te se ut, de ga
mengutip sebuah lelucon murahan dari Heiner Muller bahwa ia hanya mengenal satu penulis
postmodern bernama August Stramm, beliau adalah seorang penyair yang bekerja di kantor pos. (
Saya harus secepatnya menjawab dikarenakan dulu sebagai mahasiswa saya juga bekerja di kantor
pos—post—dengan begitu saya tentu saja memiliki kemampuan untuk membicarakan berbagai
macam hal yang berbau pos—post – August Stramm).

Catata pe ti g sela jut a adalah agai a a se e a a kata post dalam post-dramatik


se i gkali disa aka da disalaha tika sepe ti post´dalam postmodernisme, dan hal tersebut bisa
dimengerti sebagai fungsi analogis seperti yang dijelaskan oleh Lyotard3. Pun begitu semoga hal
te se ut e jadi jelas da te a g, ah a p efiks post disini bisa dimengerti baik sebagai kategori
epo hal a g tidak ha a se agai k o ologi setelah d a a, atau elupaka e tuk d a atik
asa lalu , tetapi se agai ledaka a g e kesi a u ga da dapat dike a gka e sa a
de ga d a a da juga isa e di i e sa a dala e agai e tuk a alisis da a a esis da i
d a a. “e uta post-d a atik teate sesu gguh a e kaita de ga hu ungan tradisional dari
teater ke drama lalu ke dekonstruksi, dan hal tersebut memiliki berbagai bentuk dikarenakan
hubungan tersebut telah berkali-kali dibentuk di praktek-praktek kontemporer sejak dekade 1970an.

Membaca buku ini secara intim sesungguhnya mempengaruhi pandangan saya terhadap
pertunjukan-pertunjukan yang sudah saya saksikan selama ini. Dikarenakan tulisan Lehmann ini
menyajikan sebuah perjalanan teater yang personal, hal ini tersaji lewat contoh-contoh yang akan
saya angkat di bagian pendahuluan ini. Sebagai contoh Forced Entertaiment, sebuah kelompok yang
sudah saya amati sejak awal 1990an. Contoh ini kebanyakan adalah teater-teater Inggris dan
Amerika, bagaimanapun saya tidak menyelesaikan pengamatan saya tersebut, yang saya harapkan
sebetulnya adalah pandangan Lehmann ini kedepan bisa berfungsi sebagai landmark dari berbagai
pandangan post-dramatik dalam belantika teater dunia.

Teori Post dra atik post setelah Szo di da Hegel


Teori teater post-dramatik Lehmann sebenarnya adalah bagian dari jawabannya kepada pemikiran
Peter Szondi dalam seminalnya Theory of Modern Drama, yang melihat bentuk-bentuk lakon Ibsen

3
Post dari Postmodernisme tidak ditandai dengan bentuk-bentuk comeback, flashback, atau feedback. Lihat J.-
F Lyotard The Postmodern Explained: Correspondence 1982 – 1985.
da “t i d e g hi gga O Neil da A thu Mille s dala sajia Drama krisis4. Berdasarkan Szondi
K isis disi i e upaka a ifestasi dirinya sendiri (drama) dari peningkatan tensi antara kebutuhan
fo al e tuk A istotelia d a a da ke utuha epi ode a g e ajika te a-tema sosial,
yang seringkali tidak memiliki bentuk di dalam kandunganya.

teori dramatik Aristotelian yang tradisional dan normatif a g e tuk a isa dikataka a adi, juga
e ga du g seja ah keki ia , “zo di se di i e teo i ah a seja ah d a a e iliki atu a
dialektik da i e tuk da ko te . D a a se di i e iliki ko sep ikata aktu a g e pe an
untuk peristiwa sejarah yang spesifik dan bernama, contohnya saja drama yang muncul saat jaman
Elizabeth di Inggris (Elizabethan Drama), selain itu ada juga drama Perancis khusus di abad 17, yang
kemudian diteruskan dengan periode drama klasik Jerman.5

Pandangan estetika drama spesifik itu tumbuh dari kesadaran baru yang muncul setelah runtuhnya
medieval world (Abad pertengahan di Eropa dari tahun 600 – 1500 ), pencarian untuk menciptakan
realitas artistik yang bisa diperbaiki untuk mencitrakan kembali peristiwa-peristiwa yang dilihat
hanya dari hubungan interpersonal.6 Hasilnya adalah sebuah bentuk yang Szondi sebut sebagai
D a a A solut , a g dapat dika akte isasika a ta a lai de ga ; do i asi dialog da ko u ikasi
interpersonal; sistem tertutup yang menutup drama dari berbagai hal eksternal (Dimana penonton
diberikan ruang interaksi hanya sebagai observator—ia tidak terikat dengan pertunjukan);
penggunaan waktu yang linear, segala sesuatu yang terjadi adalah apa yang terjadi saat itu (present);
dan ikatan kepada pelaku (aktor) yang harus berlaku sesuai waktu, tempat, dan aksi (action).

Menurut Szondi idealisme seperti ini muncul akibat tekanan yang ada di akhir abad sembilan belas,
hal ini dipengaruhi oleh karya-karya Ibsen, Checkhov, Strindberg, Maeterlinck, dan Hauptmann. Saat
D a a k isis e a ifestasika di i a se agai hal a g sama tetapi berbeda antara drama Absolut
dengan empasis interpersonalnya dan pandangan baru sosial, politik-ekonomi, serta filsafat
mengenai kepentingan subjektivitas.

U tuk e espo k isis a g te jadi “zo di te us elakuka pe elitia de ga elihat drama-


drama abad dua puluh. Karya-karya dari para naturalis, ekspresionis, dan eksistensialis kemudian
dia alis se agai a ia a g e usaha e ela atka , adapu hal te se ut dikatego ika se agai
d a a a g elu e iliki ketepata dala hal e usaha e ela atka tadi, a g ke udia
Szondi menemukan karya-ka a da i Pis ato , B e ht, B u k e , Pi a dello, O Neill, Wilde da Mille
se agai solusi te tatif te hadap k isis te se ut, hal i ilah a g ke udia e pe ke alka kita
pada apa yang Szondi se ut se agai Epi I di dala d a a.

Markus Wessendorf menyatakan bahwa apa yang dikerjakan Lehmann dalam Teater post-dramatik
dalam banyak hal bisa dikatakan adalah terusan dari penelitian Szondi tadi, akan tetapi terusan dari
penelitian Szondi yang berasal dari revisi besar dan analisis ulang sebagian besar tersaji dalam model
Hegelian Szondi.7 Lehmann mengklaim bahwa pengertian-pengertian yang dikeluarhakn Szondi

4
P. Zsondi Theory of Modern Drama, ed. Lihat juga Wessendorf The Postd a ati Theat e of ‘i ha d
Ma ell .
5
Szondi, Theory of Modern Drama, halaman 4 – 5.
6
Ibid, halaman 7.
7
Wessendorf The Postd a ati Theat e of ‘i ha d Ma ell .
Hegelian dalam perkembangan teater abad dua puluh berasal/berakar dari bentuk oposisi antara
drama Aristotelian dan tendensi epic merupakan hal yang membatasi konsep.

Pendekatan tersebut kemudian membuat Teater Epic Brechtian menjadi tumbukan besar dengan
tradisi—dari perspektif Teater post-dramatik, inovasi yang dilakukan Brecht tidak lain adalah bagian
dari tradisi dramatik itu sendiri. Konsekuensinya kemudian adalah Szondi tetap tidak dapat melihat
perkembangan bentuk teatrikal dan kritikal yang ada selain struktur yang telah berkembang di dalam
dialektika teater Aristotelian/Epic. Lehman berpendapat bahwa model penelitian ini tidak bisa
membuat Szondi untuk mengimajinasikan teater tanpa drama, contohnya adalah saat pertunjukan
fable mimetik tidak direpresentasikan dengan dunia fiksi. Dengan memperhatikan dengan sistematik
kepada teater sebagai pertunjukan (tidak seperti Szondi yang hanya berpendapat drama sebagai
sastra8), Lehmann dapat menunjukan bahwa teater dan drama sudah terpisah sejak medio akhir
abad dua puluh.

Lewat analisis teori drama Hegel yang mendekati dekonstruksi, Lehmann melacak bahwa ide dalam
drama tidak hanya kuat dalam sejarah, tetapi juga bagaimana drama menjadi bibit akan timbulnya
krisis dalam teater dramatik sekaligus menyembunyikannya sebagai tensi dan kontradiksi dari
rekonsiliasi keindahan dan etika. Penguncian realitas adalah prinsip penting dalam drama, dan
pertunjukannya dengan menggunakan individu-individu asli telah lama disadari menjadi ancaman
yang laten terhadap konten etika yang seringkali bersifat abstrak. Jika kita membaca keluar dari
pandangan Estetika Hegel seperti yang didemonstrasikan oleh Lehmann, kita tidak akan menemukan
solusi dari konsep dramatik teater tanpa drama itu sendiri.

Berubah ke Performance

Teori post-dramatik yang diungkapkan oleh Lehman adalah bukti dari empasis baru yang terjadi di
wajah pertunjukan Eropa dan Amerika khususnya seni teater dimulai sejak dekade 1960an, yang
konsekuensinya adalah berubahnya paradigma dalam pembahasan ilmu teater dan memunculkan
Studi pertunjukan sebagai disiplin ilmu.9 Kemunculan bentuk pertunjukan seni neo-avant-garde
seperti happening, enviromental, fluxus event dan performance art atau bisa juga disebut live art
semuanya menghasilkan perhatian baru dalam anggapan pentingnya performance di dalam cakupan
teater dan ini memperbaharui tantangan dari dominasi teks, tantangan yang sebelumnya pernah
ditaklukan oleh seorang avant-garde yaitu Antonin Artaud. Teks tadinya hanya menjadi satu elemen
pendukung dalam skenografi dan general performance writting dalam teater.

Teater yang diidentifikasikan oleh Lehmann sebagai post-dramatic seringkali berfokus pada panic
tanpa sebab, tekanan, kenikmatan, paradoks, dan kecenderungan seksual yang seringkali hidup di
dalam lingkungan performance. Oleh karena itu satu contoh yang bisa saya jelaskan adalah ketika
salah satu grup teater dari Australia bernama Sidney Front membawakan The Pornography
Performance tur ke Eropa, yang dalam pertunjukannya mengkonfrontasikan penonton dengan nafsu

8
Dalam pendahuluannya di edisi bahasa Inggris, J. Shulte-Sasse mengemukakan kritik yang sama seperti
Szondi.
9
Jurusan pertama yang mengajarkan Studi Performance muncul di tahun 1980, tepatnya di Tisch School of the
Art New York.
aseksual mereka. Penonton dibimbing masuk ke dalam ruang pertunjukan yang agak gelap, dan
diminta untuk memasukan tangan ke dalam sebuah tabung, di balik tabung tersebut adalah para
performer. Penonton yang meraba dalam gelap tubuh para performer itu kemudian seolah-olah
te ta gkap asah ketika la pu di alaka . “aat itu juga pa a pe fo e a g lai data g de ga
menggenakan topeng serta pakaian hitam, menatap penonton seolah-olah menghakimi apa yang
telah mereka lakukan. Aksi lain yang dipertunjukan adalah ketika seorang yang nampaknya seperti
Ibu dan anak perempuannya melakukan curhat, pertunjukan drama naturalis tersebut kemudian
berubah menjadi sebuah kontes meludah antara para performer (Yang dimainkan oleh Andrea
Aloise dan Elise Ahamnos); kemudian ada satu performer yang membawakan salah satu monolog
dari Oscar Wilde sambil memakan makanan anjing langsung dari kalengnya, performer tersebut
(Chris Ryan) kemudian menyanyika lagu You make me feel like a natural woman” sambil memakai
shepherdess yang bagian depannya hilang (mengekpose kelaminnya); dan performer yang lain (Nigel
Kellaway) mencoba memasukan cake ke dalam anusnya.10

Apa yang dirasakan performer kemudian jatuh kepada apa yang dirasakan penonton, demam
panggung, tekanan, rasa malu, pemaksaan terhadap pertunjukan jender dan tekanan pertunjukan
semuanya telah disajikan atas nama kelompok yang berbasis di Sheffield dan menyajikan force
entertaiment ini – yang kemudian menimbulkan pertanyaan tentang siapa yang dipaksa (force)
untuk mempertunjukan atau dipertunjukan (to entertain or to be entertained). Karya lain seperti
First Night (2001), yang kemudian bisa dilihat sebagai pembaharuan kontemporer dari karya
postdramatik Peter Handke Publikumsbeschimpfung ( Offending the Audience, 1966), menyajikan
pertunjukan yang mengeksplorasi kepentingan mempertunjukan dengan latar belakang teater
Vaudeville. Para pelaku mengenakan pakaian glamor yang tidak nyaman, dengan berbalut tata rias
khas grotesque, dan sebuah senyum paksaan yang menyakitkan, para pelaku (performer) kemudian
menyambut penonton dengan sikap acuh tak acuh dan berusaha mempertunjukan aksi yang terlihat
seolah-olah gagal. Selain itu, para penonton –yang biasanya diharapkan melupakan tubuhnya sendiri
saat menonton pertunjukan— selalu diingatkan secara verbal untuk menahan keinginan mereka
untuk berkedip, minum, menelan ludah, ataupun pergi ke toilet, sedangkan para pelaku melakukan
hal itu semua setelah itu mereka pergi dan beristirahat. Di dala adega poig a t lai o a e ,
penonton diingatkan tentang kepastian bahwa sesungguhnya manusia akan mati, saat itu performer
Cathy Naden menunjuk ke salah satu penonton kemudian seolah membuat ramalan bagaimana
orang yang ditunjuk itu akan mati. Berubah/perubahan ke Performance sebenarnya adalah cara
untuk melibatkan langsung penonton dalam pertunjukan.

Dari berbagai studi, seperti Teori Feminist sampai Studi detail tentang Teater Post-kolonial,
Performance memiliki kemampuan untuk menanyakan dan mengganggu konstruksi identitas yang
dimiliki penonton dan te tu saja a g lai –melebihi kemampuan drama realis mimetik, yang tetap
terlihat dalam representasinya dan seringkali direproduksi untuk memunculkan idealogi.11 Sebagai
contoh ada pertunjukan terbaru Ursula Martinez yang berjudul O.A.P, pertunjukan ini diangkat dari
hasil wawancaranya kepada manula, ia juga menyelidiki ketakutan menjadi tua yang ia miliki serta
menyajikan ekplorasi jender sebagai pertunjukan.

10
Terima kasih kepada Anggota Sydney Front yang sudah melengkapi detail pertunjukan ini.
11
Contoh dapat dilihat di Unmaking Mimesis: Essay on Feminism and the Theatre, Routledge New York &
London 1997;Petra Kuppers Disability and Performance: Bodies on the Edge. Routledge New York & London,
2003. Lihat juga Staging Feminities: Performance and Performanivity, Manchester University Press, 1999.
Ada satu bagian di pertunjukan ini dimana Ursula yang kala itu setengah baya muncul dari bawah
meja (Dimana dia mengakui ketakutanya tersebut kepad penonton via video link) yang kemudian
berubah menjadi Ursula tua (dimainkan oleh rekan kerja seniornya yang memakai pakaian seksi yang
sama). Bagian yang paling berkesan adalah saat Ursula Tua memakai sepatu hak dan merias dirinya,
kemudian ia berpaling ke penonton sembari bertanya, adakah dari penonton yang ingin memberinya
ciuman? Sunyi yang memalukan kemudian muncul tak ada satupun yang bergemin, disini penonton
diberikan pilihan apakah ketidakinginan mereka untuk mencium Ursula tua dikarenakan jarak
kecanggungan antara penonton dan pelaku, atau memang citraan orang tua yang dihadirkan pelaku
membuat penonton enggan untuk menciumnya.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Graeae Teathre Company, kelompok teater ternama Inggris yang
dikenal karena anggotanya adalah kaum difabel, akan tetapi kelompok ini menggunakan hal tersebut
untuk melawan bentuk marjinalisasi—terhadap kaum difabel—dalam dunia pertunjukan, dan
e uat e eka e iptaka a asa estetika a g khas. Dala ka a Kaite O ‘eill a g
berjudul Peeling, tiga aktris (Lisa Hammond, Caroline Parker, dan Sophie Partridge) terjebak di dalam
pakaian besar yang lebih mirip seperti tenda, ternyata mereka adalah e tras (*Fn - bagian yang
tidak ditampilkan dalam satu cerita—biasanya disebut sebagai spin-off, akrab dalam Cultural Studies
sebagai micro naration ) dalam pertunjukan The Trojan Women.

Pertunjukan disajikan lewat bagian-bagian yang mengisi saling bergantian antara dialog yang ada di
dala pe tu juka dalam pertunjukan ini , dan obrolan serta perdebatan yang keluar ketika mereka
tidak e ada di dala te da te se ut; sei i g adega -adegan tadi tersaji, mereka pelan-pelan mulai
melepaskan lapisan-lapisan tenda yang membungkus mereka, hal ini mereka lakukan sembari
e ajika e ita piliha -piliha ep oduksi e eka a g sa gat e akitka a g ke udia
menghubungkan mereka dengan tokoh-tokoh di dalam lakon The Trojan Women.

Pada pertunjukan ini para aktris menggunakan bahasa isyarat, mereka juga membicarakan satu
sama lain serta tindakan mereka dari sudut pandang orang ketiga, adapun teks yang mereka sajikan
ditayangkan dalam video. Pertunjukan ini memang masih memiliki struktur dramatik, akan tetapi
saya tambahkan bahwa unsur dramatik ini disajikan lewat bentuk-bentuk dramaturgi alternatif yang
secara langsung berhubungan ( tidak hanya menambahkan ) penggunaan bahasa isyarat dan
deskripsi audio dalam penulisan pertunjukan (*Fn Penulisan lakon)—yang secara efektif
menggabungkan inklusifitas/aksepabilitas dan defamilirasi gestic. Hal tersebut juga mengangkat
ketidakjelasan antara karakter yang dimainkan oleh para aktris dan para pemain difabel yang secara
tersirat membalas perlakuan masyarakat yangs seringkali menatap mereka dengan keanehan.

Dari contoh tersebut ide tentang teater post-dramatik dan penaikan harga (Valorization) di dalam
dimensi pertunjukan tidak menyatakan bahwa dalam konteks ini teks yang tertulis di dalam teater
tidak lagi relevan atau hal yang perlu diperhatikan. Selain itu di dalam penulisan baru untuk teater
e u ah ke pe tu tu juka performance) adalah hal yang dapat diobservasi lebih jauh. Berikut ini
adalah kutipan dari pernyataan Malgorzata Sugiera:

Saat ini seringkali stuktur dasar aturan atas teks yang tertulis untuk teater berubah menjadi
teaterikalitas tetap, yang bagaimanapun tidak lagi dimengerti sebagai refleksi dari teater
sebagai tempat aktifitas artistik atau sebagai metafora dari kehidupan manusia, akan tetapi
sebagai makna yang menghadirkan penonton untuk menyaksikan diri mereka sendiri sebagai
subjek yang mempercayai bahwa dalam menyaksikan diri mereka sendiri diperlukan
pengetahuan serta mengambil bagian untuk menciptakan objek dari kesadaran mereka.12

Dalam teater berbahasa Jerman, contoh besar dari penulisan sejenis bisa ditemukan dalam karya
Heiner Muller (Hamletmaschine) dan juga penulis drama Austria Elfriede Jalinek. Penulis drama
Inggris dan Amerika yang juga bisa dikategorikan sebagai penulis post-dramatik didalamnya
termasuk Sarah Kane (Terutama untuk karyanya 4:48 Psychosis dan Crave), Martin Crimp (Attempts
on Her Life, Face to The Wall, Fewer Emergencies), dan juga Sozan Lori-Parks ( The America Play,
Imperceptible Mutabilities in the Third Kingdom). 13

Penulis-pe ulis te se ut e ghasilka apa a g isa dise ut se agai teks te uka atau ite l
te t , dala keadaa ah a e eka e utuhka o a g lai / pe o to u tuk e jadi pe ulis
sampingan teks (pertunjukan) yang aktif. Penonton tidak lagi berguna untuk mengisi jarak di dalam
narasi dramatik akan tetapi ditawarkan untuk menjadi saksi yang aktif, yang merefleksikan
pengolahan makna yang mereka lakukan sendiri, dan menjadi seseorang yang mampu mentolerir
jarak serta menghentikan proses pengolahan makna tersebut.

Dalam bagian akhir buku ini, Lehmann menyadari politik dari teater post-dramatik, ia berpendapat
bahwa bukanlah nilai politik langsung atau tema politik yang terkandung di dalamnya yang membuat
teate i i e ilai politis, aka tetapi hal a g dita a ka se a a tidak la gsu g da i isi a g e jadi
ode ep ese tasi . Be u ah ke Pe tu jukan tentu saja bukan seperti perubahan ke bentuk
perfomanitas yang dinyatakan Austin dalam speech act theory14. Pertunjukan juga dapat mengarah,
e pe tu juka , e iptaka dista ilitas se ta e gga ggu pe fo a itas da i asio alis,
rasisme, sexisme atau ageisme, hal ini tidak langsung menunjukan kebisaanya atau benar-benar
melakukan hal tersebut, serta menghasilkan makna politis, melainkan lewat sesuatu yang Lehmann
se uat se agai Affor a ce art . Lewat istilah ini Lehman menempatkan nilai politik di dalam
pe sepsi ilai itu se di i, dala se i se agai i te upsi puitis da i huku , da itu adalah politik.

Konteks Institusi paska 1960an, memori, sejarah, dan palimpsest

Bersamaan dengan berubah ke pertunjukan/performance dalam praktis dan teori, pengembangan


teater berbasis laboraturium merupakan konteks penting dalam pengembangan teater post-
dramatik. Di Jerman Sepanjang tahun 1982 hingga 1988 di Institut fur Angewandte
Theaterwissenschaft Universitas Gissen, Hans-Thies Lehmann bersama Andrej Wirth berusaha
menciptakan pembelajaran teater yang lebih praktikal. Pengembangan bersejarah ini jauh dari
Jurusan Teater (Teaterwissenschaft) yang merupakan cabang langsung dari Sastra atau akar sejarah

12
Malgorzata Sugeira, Beyond Drama; Writing for postdramatic Theatre, dalam Theatre Research
International, Vol. 29, No. 1, Hal 26. Maret 2004.
13
Malgorzata Sugeira, Beyond Drama; Writing for postdramatic Theatre, dalam Theatre Research
International, Vol. 29, No. 1, Hal 26. Maret 2004.
14
Ko sepd Pe fo atif dapat dilihat dala How To Do Things with Words karya J. L. Austin yang diterbitkan
oleh Cambridge pada tahun 1962.
paling murni dari studi teater sekarang sebagai disiplin ilmu independen yang memiliki sistem teori
dan praktek yang terintegrasi sebagai bahan pendidikan/pelatiha bagi pegiat teater, tari, serta
performance. Hal ini muncul pertama kali di Inggris dan Amerika dua puluh tahun lebih dulu
ketimbang di Jerman.15 Banyak sutradara, penulis, dan kelompok teater (Contohnya René Pollesch,
She She Pop, Showcase, Beat Le Mot, Rimini-Protocol) yang muncul dan lulus dari Universitas
Giessen dan program yang lebih baru ( Di University of Hildesheim), banyak juga lulusan yang
kemudian bekerja atau berkarya di Amerika dan Inggris, kebanyakan dari mereka malahan adalah
lulusan dari program yang baru muncul di bidang Drama, Studi Teater, dan Performance Studies.
Ketika Centre for Performance Research di Wales baru saja merayakan hari jadinya yang
ketigapuluh, kelompok seperti Forced Entertaiment yang kebanyakan anggotanya adalah lulusan
dari jurusan Drama di Universita Exeter (Jurusan tersebut dibentuk tahun 1968, kemudian
dipisahkan menjadi Jurusan sendiri di tahun 1976), baru saja merayakan hari jadi mereka yang
keduapuluh.

Lalu apa hubungannya sejarah institusi ini dengan karya yang dihasilkan kelompok-kelompok
tersebut? Diluar permaianan yang dihasilkan mereka, kabanyakan praktisi yang terlibat dalam teater
eksperimental tahu benar seluk beluk kesejarahan estetika avant garde, baik yang neo-avant garde
ataupun post-avant garde—yang kemudian lazim kita sebut sebagai drama modern. Hal ini termasuk
keakraban mereka dalam mengenal penulisan lakon (Playwriting) sebagai cakupan dari post-
dramatik; seperti karya-karya Sanuel Beckett ataupun Peter Handke, Contoh refrensinya sendiri
dapat dilihat dari pertunjukan yang dipresentasikan oleh Forced Entertaiment. Pun hal ini bisa
menjadi hal yang tidak be a ti agi ko teks da pe jelasa da i ka a a g te saji Ka e a a ak
pula praktisi yang datang dari seni rupa), ini jelas menjelaskan bahwa karya tersebut lebih sering
e jadi post-d a atik ahka da i sudut pa da g iog afi.

Selanjutnya, konteks institusional ini juga berarti terciptanya jejaring, kolaborasi, dan refrensi
intertekstual yang sering kali muncul pada tiap karya. Karya-karya khususnya dari kelompk The
Wooster Group, Forced Entertaiment, dan Goat Island, saat ini memiliki sejarahnya sendiri dan
menjadi landasan kuat bagi pengembangan kurikulum studi teater. Adapun kelompok yang lebih
muda telah mempelajari karya-karya dari pionir kelompok eksperimental ini, atau diajari oleh orang-
orang yang terlibat dalam kelompok tersebut. Sebagai contoh Wooster Group yang disutradarai oleh
Elizabeth LeCompte; ia seringkali memberi dukungan bagi banyak artist lewat program magang,
asosiasi, Seri kunjungan tahunan artis, dan yang baru adalah The Emerging Artist Series yang
dilakukan di The Performing Garage.Hal ini kemudian sangat memperngaruhi karya kelompok lain
yang juga berasal dari New York, seperti Elevator Repair Service, The New York City Player (Sutradara
Richard Maxwell), The Builders Association (Sutradara Marianne Weems), dan Cannon Company
(dengan sutradara Richard Kimmel)16. Kelompok yang lebih muda seringkali menggunakan refrensi
dari kelompok pionir dalam penyajian karyanya dengan sangat hati-hati. Contoh ekstreem yang
dilakuka oleh “ta s Cafe pada tahu ia mementaskan The Carrier Frequency yang pernah
dipe taska pada tahu 4 di dala Bi i gha s To a ds the Mille iu s Festi al, e eka

15
Untuk lebih jauhnya silahkan baca S. Sheperd dan M. Wallis; Drama/ Theatre/ Performance. Diterbitkan oleh
Routledge tahun 2004. Halaman 7-14. Juga bisa dilihat dalam Professing Performance karangan S. Jackson.
16
Untuk melihat lebih jauh tentang The Wooster Group, silahkan baca Essay karya J. Bleha, E. Fordyce, J.
Callens, dan D. Mufson, dalam The Wooster Group and Its Tradition, Brusels: P.I.E—Peter Lang, 2004. J. Callens
(Ed.)
e pe dapat Pe tu juka te se ut adalah agia pe ti g da i pe ke a ga teate fisik/tu uh
akan tetapi itu hanya terjadi di tahun 1984, di a a tak satupu da i ka i “ta s Cafe pe ah
menontonnya karena saat itu kami masih berusia 15 tahun dan tentu saja belum sekeren
seka a g. 17

Dala p oses pe iptaa pe tu juka te se ut “ta s Cafe (yang merupakan lulusan dari Universitas
Lenchester) mengundang banyak seniman tamu untuk membantu mereka. Penciptaan yang berasal
dari video dukumentasi, menggunakan soundtrack dan teks original, The Carrier Frequency kembali
siap dipentaskan 15 tahun kemudian semenjak pertunjukan pertamanya.18 Pertunjukan kembali ini
bisa dikatakan sangat pantas, seperti pertunjukan yang diadakan pada tahun 1984— e lata
belakang di dunia paska nuklir, dimana struktur baja dan beton secara brutal muncul dari kolam
aksasa da ada e a sosok a g te sesat dala se uah itual yang melelahkan, mereka seolah
e o a e aha i pe ada a di a a e eka e ada –sama seperti problema menyambut
ile iu a u pada tahu . Kesa aa isa dilihat da i sosok a g dipe tu juka dala The
Carrier Frequency yang juga muncul dalam Ark (1999-2000) dimainkan oleh Imitating the Dog,
kelompok yang juga muncul dari Universitas Lanchester. Dalam Ark ada sekelo pok o a g te sesat
dan mencoba mengerti keadaan disekitar mereka, dibimbing oleh radio mereka yang secara acak
mengeluarkan berbagai informasi—sua a o a g asi g, lagu, i gata , da efe e si. 19

Sebuah intertekstualitas palimpsest dan intertekstualitas adalah kualitas yang signifikan dalam
teater pots-dramatik. Kualitas dari palimpsest yang kembali menuliskan/menyajikan sesuatu dalam
ranah yang sama, dalam pandangan lain merupakan bentuk dari rencana dan proses persiapan
menuju kematangan, sama seperti kelompok yang menggunakan (mengimprovisasi) barang yang
tertinggal di panggung, menggunakan sesuatu yang ditemukan di tempat latihan, atau mengubah
materi dari pertunjukan sebelumnya ke konteks yang baru. Seperti yang diungkapkan Robin Arthur
dalam A Decade of Forced Entertaiment:

Banyak sekali hal yang digunakan lalu kembali digunakan, hal ini berhubungan dengan
bagaimana banyak hal keluar masuk di dalam proses penciptaan. Banyak pertunjukan yang
memiliki sejarah kompleks perihal interior (set/prop), dimana satu dialog yang diucapkan pada
pertunjukan hari ini bisa menjadi judul pertunjukan atau karakter di tahun-tahun kemudian.20

Tentu saja bukan sejarah interior sebuah kelompok yang menciptakaan kualitas Palimpsestous
dalam karyanya. Hal ini juga banyak berhubungan dengan banyaknya karya yang mencoba
e etaka seja ah I gg is, aik dala seja ah-mikro yang sifatnya personal dan sejarah-makro
a g e sifat le ih ke pu lik, sa a g a a ak da i hal te se ut e gko e ke ali a ea a g
sama.21

17
Baca lebih lengkapnya di http://www.stanscafe.co.uk/helpfulthings/faq.html#impact_a
18
http://www.stanscafe.co.uk/thecarrierfrequency/index.html
19
http://wwwimitatingthedog.co.uk/project/ark.asp
20
A De ade of Fo ed E te tai e t dala Certain Fragment: Contemporary Performance and Forced
Entertaiment, T. Etchells (ed.) London & New York Routledge 1999. Halaman 40.
21
Dalam Forced Entertainment s exploration of mapping strategies lihat juga A. Schleper, Off the Route
Strategies and Approaches to the Appropriation of Space , dalam J. Helmer and F. Malzacher (eds), Not Even a
Ga e A ore : The Theatre of Forced Entertainment, Berlin: Alexander Verlag: 2004, pp. 185–202.
Claire: Mereka memetakan negara ini dan menandakan even yang terjadi 10 tahun terakhir—
seperti situs konflik industri dan politik, bencana alam, serta pernikahan dan perceraian antar
selebritis. Di peta yang sama mereka juga menandakan kejadian yang terjadi pada hidup
mereka sendiri—Pertunjukan yang mereka buta, kota dimana mereka tinggal selama
pertunjukan, serta kejadian seperti jatuh atau putus cinta.
Mereka kembali memetakan negara ini dan menandakan hal-hal yang terjadi sekitar 300,
400, lalu 500 tahun yang lalu. Mereka terus melakukan hal tersebut sampai memasuki era
awal mula kehidupan. Sampai peta tersebut dipenuhi oleh tulisan hingga tak ada tempat yang
tersisa.22

Tulisan self-reflective performance seperti A Decade of Forced Entertaiment, atau tulisan dan
presentasi dari Tim Etchell e ge ai Performance Writting tak lai da tak uka adalah latiha
untuk memuaskan diri sendiri. Mereka adalah bagian kecil dari keinginan pedagogik yang bertunjuan
untuk:

Membuka pintu untuk wawasan yang lebih luas, berpetualang untuk mencari apa sebenarnya
deskripsi yang tepat bagi menulis untuk performance (Performance Writting) itu
sesungguhnya—melewati arti menulis drama (Playwrighting) yang sudah dianggap padu di UK
(Inggris) tanpa menyadari bahwa sesungguhnya sepanjang sejarah banyak orang yang
berusaha melakukan hal yang berbeda dari sekedar menuliskan. Mengambil bagian dalam
e i a aka aksi fisik da set ko st uksi setti g adalah agia da i e tuk pe ulisa , hal
te se ut e i a aka e uliska kata uka se agai hal a g diu apka elainkan untuk
dilihat dan dipertunjukan di atas panggung. Hal tersebut juga membicarakan tentang
improvisasi, tentang membaca, berbisik, dan kolase sebagai bentuk—dalam setiap kasus yang
sudah disebutkan tadi masing-masing mengandung dialog kritis dengan lebih banyak memiliki
ide tradisional dari teater ataupun performance writting.23

Seperti halnya Etchells, banyak praktisi teater eksperimental kontemporer dan post-dramatik
mengajarkan Estetika performance, skenografi, dan tehnik menulis dalam studi teater di tingkat
Universitas—Dengan segala kesulitan dalam aplikasi latihannya, refleksi dari teori dan kandungan
pedagogik sudah termasuk di dalamnya.24 Selain itu di banyak yang menciptakan karyanya dari
pengembangan tata kerja akademik tersebut, dimana di Inggris hal itu kerap kali disebut sebagai
Latiha se agai pe elitia . Walaupung Latihan sebagai penelitian sering kali dianggap mengancam
isa e ga il se agia da i ka du ga e ai da spo ta itas dala se uah ka a, hal i i
dianggap juga sebagai jalan yang cukup menjanjikan untuk menerangkan informasi guna
mendekatkan integrasi dari teori dan praktek dari teater post-dramatik. Seperti halnya buku ini, hal
tersebut juga berkontribusi dalam mengeksplorasi legitimasi budaya dan kekayaan intelectual post-
dramatik yang lama tidak tersentuh.

22
Etchells, Certain Fragments. Halaman 30.
23
Etchells, On Performance Writting. Ibid. Halaman 98.
24
Lihat A. Furse, Those Who Can Do Teach , in M. M. Delgado and C. Svich (eds.), Theatre in Crisis?
Performance Manifestos for a New Century, Manchester and New York: Manchester University Press, 2002,
Halaman 64–73.
Teater dan Dunia pada Era Media: Apakah kita ada di post-postdrama?

Teo i da i Leh a e gide tifikasika ah a Caesura of Media Society e upaka hal a g


sangat penting bagi konteks teater post-dramatik. Hal ini dengan cepat dapat dimengerti, sebagai
contoh Estetika Intermedia yang canggih dari The Wooster Groups yang membuat penggunaan
video, film, efek suara elektronik, microphones, dan program komputer menjadi hal yang
melengkapi, memotong, bahkan mendobrak teks d a atis da tu uh ka akte . Di tahu pada
produksi To You, the Birdie ( Phédre)—yang disadur dari Phédre karya Racine, representasi dari
tubuh seringkali dibagi antara bagian atas yang dimainkan secara langsung (oleh aktor) dan bagian
bawah tubuh aktor yang direkam dan ditayangkan di sebuah layar, Phédre (dimainkan oleh Kate
Valk s solilo ui dialih sua aka oleh akto “ ott “hepa d, a g seolah e iptaka ha tu da i
aktris lewat tope g sua a elekt o ik te se ut,25 dan gerakan aktor diisi dengan efek suara yang film
kartun. Efek-efek tadi isa dise ut se agai posthu a . . . e eko titusika kehadi a alte atif di
dalam era media, seperti yang dijelaskan oleh Jenifer Parker-Starbuck26

Pengaruh media di dalam menifesto performance tidak hanya muncul di dalam penggunaan
ulti edia a g a ggih di atas pa ggu g, elai ka u ul juga di agia a g e la a a :
Teater dengan estetika panggung yang minimalis, adalah hal yang dapat langsung berhubungan
de ga keadaa as a akat a g sudah di ediaka . sepe ti a g dikataka Et hells Teh ologi
aka e i a a kepada kita, suka atau tidak, se aik a ja ga kita dia ka . 27 Baik tehnologi
edia i i digu akan di atas panggung atau tidak. Pun begitu Forced Entertaiment mengatakan
ah a kelo pok e eka e uat pe tu juka a g dapat di e ge ti oleh siapa saja a g
di u ah a selalu e alaka Tele isi. Hal a g sa a juga di ataka oleh kelo pok da i
Jerman/Inggris dengan naman Uninvited Guests yang mengatakan bahwa mereka memproduksi
pe tu juka u tuk ke uda aa a g telah dipe ga uhi edia. 28 Contohnya karya mereka yang
berjudul Offline, teks a se di i e gga a ka agai a a e sela a di e se agai isata
ele t o ik , aka tetapi di ulai de ga teks off-line di dalam lingkungan yang low-te h , pa ggu g
sendiri dilapisi karpet dengan beberapa mikrophone dan peralatan suara analog. Para pemainnya
e jel aka sua a i tual de ga e ghadi ka di i a dala ko u ikasi la gsu g, da
membacakan teks anonim yang muncul di internet.29

Bentuk teater baru seperti ini lebih mengarah kepada praktik kultural ketimbang drama tradisional
(dari visual art ke live art, ke film, ke loncatan-loncatan di chanel televisi, musik pop, dan Internet),
hal yang mungkin dipertanyakan adalah Apakah masih perlu atau pantas untuk menghubungkan
teater baru dan performance work ke drama? Walupun seringkali karya The Wooster Group ataupun
The Builders Association menggunakan teks drama klasik ( Contoh Three Sister yang oleh The
Wooster Group digubah menjadi Brace Up! Atau seperti apa yang dilakukan oleh The Builders
Asso iatio s de ga d a atisasi da i Faust sepe ti Imperial Motel (Faust) dan Jump Cut (Faust)), hal

25
Lihat G. “ieg u d, Voi e Mask: “u je ti it , A e i a, a d the Voi e i Theat e of the Wooste G oup , da
Callens The Wooster Group.
26
J Parker-“ta u k F a i g the F ag e t: The Wooste G oup s Use of Te h olog I id hal -28(?),
Halaman 219.
27
T. Et hell O Pe fo a e a d Te h olog dala Et hells Certain Fragment. Halaman 95.
28
website kelompok http://www.uninvited-guests.net/etour/tour_about.htm
29
http://www.uninvited-guests.net/promo/default.htm
ini tidak berpengaruh terhadap bentuk teater baru yang ingin Lehmann sampaikan. Point apakah
yang kita dapatkan dari mendiskusikan hal seperti tadi dan keterhubungannya dengan drama? Ada
beberapa jawaban yang provisional yang ditawarkan: Pertama, kita dihadapkan pada struktur yang
sudah mengakar pada ekspektasi mayoritas penonton saat mereka datang ke pertunjukan atau
sekedar membicarakannya. Seperti yang diargumentasikan oleh Lehmann, Drama dan teater
diperlakukan sebagai hal yang tidak terpisahkan atau bisa dikatakan sebagai sinonim dari imajinasi
populer yang tentu saja di dalamnya terdapat nilai suspen dan cerita yang menarik. Para penonton
yang hadir dalam pertunjukan Offline (dan kita asumsikan bahwa mereka tidak membaca keterangan
pertunjukan) mereka secara naluriah akan mencari tokoh yang paling berperan dan mereka akan
mencoba menyatukan plot dari apa yang diucapkan oleh pelaku. Kelompok ekperimental
kontemporer secara kontuiniti melawan ekspektasi tersebut yang menyamakan teater dengan
drama, baik itu dari reaksi penonton ataupun aplikasi untuk (mendapatkan) pendanaan. Tim Etchells
menggambarkan pertunjukan Speak Bitterness dari Forced Entertaiment yang menolak pendanaan
yang diberikan oleh Drama Department of the Arts Council of England:

Dala akupa kepedulia di a ah estetika, p oduksi de ga kualitas u uk , e dah a


ilai p oduksi , ke il a pe ge a ga , da pe ta aa off-the-record mengenai status
se agai d a a atau sesuatu a g lai , pe olaka le ih e a ti keti a g kehilangan
proyek—di dalam ekonomi ini adalah pukulan dan di dalam wawasan kritis ini adalah rekognisi
(dan juga inskripsi) dari bias budaya yang semakin melebar selama ini. 30

Di banyak tempat, Studi yang dilakukan Lehmann mencoba untuk mengartikan dan membantu
menjembatani bias budaya tersebut yang masih ada hingga sekarang ini.

Yang kedua dan masih memiliki hubungan erat dengan yang pertama adalah,
performance/pertunjukan itu sendiri—baik sadar ataupun tidak—seringkali memberikan gambaran
yang tidak jelas pada ekpektasi tentang struktur drama yang sudah akrab dan konvensi teatrikal,
serta memberikan kejutan yang membingunkan. Mendekati pertunjukan seperti ini lewat perspektif
teori teater post-dramatik bisa menghasilkan sesuatu yang dapat lebih mudah dimengerti dan
memberikan kita akses untuk mengartikan implikasi filosofis yang lebih luas.

Sebagai contoh, dalam pertunjukan Dirty Work yang dibesut oleh Forced Entertaiment, dua
performers diatas panggung kecil dengan gorden panggung yang lusuh dengan tenang dan bergiliran
e jelaska se uah pe tu juka a g ustahil de ga adega a g di ulai da i kejadia seha i
hari hingga adegan dari lakon Shakespear, dari adegan perang bersejarah dan ledakan nuklir hingga
uti a de u . Mendengarkan ucapan dari para performer, secara langsung saya mengerti bahwa
e eka e o a e itptaka teate dikepala kita a g te tu saja tidak isa di ep ese tasika
langsung diatas panggung ( Akan tetapi di waktu yang bersamaan hal tersebut menjadi
overrepresented sebagai bagian dari media).

Memikirkan hal tersebut lewat wawasan yang saya miliki dan diskusi dari Lehmann yang
membicarakan gagasan poetic Aristoteles, saya bisa melihat bagaimana pertunjukan membagi
st uktu e jadi e pat a ak, e olak gagasa A istotelia a g e u tut ada a agia

30
Etchells, Certain Fragments. Halaman 22.
pe ti g da i t agedi. I i e e itahuka ah a teate tidak isa dilakuka sekaligus , tidak isa
de ga udah dikata dapat diteleti de ga udah, dan juga teater tidak membuat dunia bisa
diatu u tuk kita—karena pada dasarnya tempat kita hidup ini sebenarnya sudah di masuki nilai-
nilai globalisasi serta di mediasikan.
Forced Entertaiment menyatakan bahwa mereka masih mencari bentuk teater yang bisa
membicarakan seperti apa kehidupan saat ini. 31 Di luar estetika non drama mereka, bentuk
kelompok teater yang mereka kembangkan seperti memenuhi statement misi ini – dari
pertunjukan yang berdurasi panjang( Seperti And on the Thousandth Night, Speak Bitternes,
Quizzola, dan Who can Sing a Song to Unfrighten me), sampai karya meta-teatrikal (First night, Dirty
Work, dan Bloody Mess), secara tidak langsung ada sedikit bagian dari teater Shakespear, seperti apa
yang diteliti oleh Lehmann dalam essaynya:

Impresi dari dunia yang terbuka dan tanpa batas . . . adalah apa yang selalu hadir dalam
bentuk teater Shakespear. Gagasan dan substansi dari Kerajaan –luas dan tidak terbatas,
tanpa memiliki akhir dalam berbagai aspek, memasuki dunia yang paling banal—adalah apa
yang berjalan bersama teater ini di dalam nafas Welt-Zeit (Waktu dunia), pergi dan kembali
antara dongeng (fairy tales) dan realitas, mimpi dan ketidakpentingan (triviality), cosmos dan
hotel, antara Lear dan Falstaff, keindahan dan yang memabukan, tragis dan komik. . . . Ini
adalah rasa yang muncul ketika menyaksikan Forced Entertaiment, dan disini juga teater
mencoba menggapai area yang paling imajitif, penyatuan yang lebih besar, humor gelap,
ketakutan, dan kesedihan. 32

Teater Post-dramatik seperti ini memberikan representasi bahwa dunia bukanlah kesatuan yang
dapat diteliti: Disini dunia bukanlah berarti yang secara fiksi diberikan pembatas, melainkan dunia
yang terbuka untuk para penonton, dunia yang penuh dengan kemungkinan, yang mengandung
potensinya.33

Contoh lainnya adalah kelompok yang berdomisili di Chicago yang juga menawarkan penonton
menjadi partisipan aktif yaitu kelompok Goat Island, dengan karyanya When will the September
roses bloom? Last Night was only a comedy (2005). Diawal para performer menghentikan
pertunjukan dan secara langsung meminta maaf kepada penonton karena bagian awal pertunjukan
tersebut tidak menarik, kemudian di bagian tengah pertunjukan salah satu performer muncul dan
menjelaskan bahwa ada kekosongan dalam pertunjukan tersebut —setelah itu semua performer
masuk ke dalam bulatan karton kardus lalu muncul kembali dalam tayangan proyektor yang disorot
ke bulatan kardus tadi. Dan ketika mendekati akhir pertunjukan kelompok tersebut memberitahu
kepada penonton bahwa adegan akhir belum di buat (Tolong lihat website kami, begitu yang mereka
katakan). Kemudian secara ajaib mereka menemukan adegan awal yang tadi dihentikan, sebuah
perbincangan penyemangat yang ditujukan kepada para penari yang muncul di awal setelah proses
latihan panjang, hal ini diucapkan oleh salah satu performer menggunakan michropone berulang-
ulang (Kalimatnya sendiri adalah teks yang diambil dari lakon musikal 42nd Street). Terlebih lagi versi

31
Catatan Program dari Simposium Forced Entertaiment yang diadakan di Universitas Lanchaster, Oktober
2004.
32
H-T Lehmanss Shakespeare s Grin. Remarks on World Theatre with Forced Entertainment , dalam Helmer
& Malzacher, Not Eve a Ga e A ore , Halaman 104.
33
Ibid, halaman 105.
kedua dari pertunjukan ini menukar beberapa bagian sebelumnya. Latihan yang dilakukan oleh Goat
Island diawali dengan pertanyaan Bagaimana kamu memperbaiki? dan dalam pengkaryaan ini,
struktur, serta teks yang dibacakan berasal dari buku petunjuk perbaikan, puisi dari Paul Gelan,
Diskripsi siksaan penjara yang diterima Jean Amery, Gravity and Grace karya Simone Weil, serta fim
bisu Lilian Gish berjudul The Wind, hal ini adalah beberapa dari banyak hal yang mereka ambil dan
sisipkan.34 Struktur pertunjukan yang mereka tawarkan sama mudah rusaknya dengan barang-
barang yang mereka gunakan dan keduanya jelas membutuhkan perbaikan. Pertunjukan mereka
tidak menggunakan bangunan dramatik Aristotelian secara keseluruhan, melainkan penuh dengan
kekosongan/lubang, yang kemudian penonton diharapkan bisa memperbaiki hal tersebut mungkin
dengan cara menyusun semua informasi yang diberikan dalam 2 kali pertunjukan atau lebih
tepatnya merasakan trauma kehidupan di dunia yang telah rusak ini.

Station House Opera dengan karyanya yang bejudul Mare s Nest menolak tuntutan Aristotelian
dengan menghadirkan setting yang kompleks dengan dua layar video yang saling membelakangi,
lengkap dengan tangga dan pintu yang saling menghubungkan keduanya. Pertunjukannya sendiri
campuran antara tayangan video dan lakuan langsung, ada empat orang –yang dihadirkan sangat
mirip dari tokoh-tokoh di film Hitchcock— dan diri mereka sendiri dalam ukuran video, hidup di
dalam ruang imajinasi dan realitas, setengah ada secara fisik dan setengah lagi berada dalam ruang
virtual, dan seringkali mereka berlaku di dua ruang sekaligus.35 Sebagai tambahan ruang virtual
tersebut diisi oleh sosok-sosok fantasi (Lelaki telanjang dengan menggunakan topeng dan riasan
kepala yang aneh) yang difilmkan berdekatan dengan lokasi pertunjukan. Para penonton dibebaskan
untuk melihat sajian tersebut dan diberikan kebebasan untuk menyaksikan bagian manapun (*Fn
Baik pertunjukan langsung oleh aktor di atas panggung, film yang ditayangkan, atau pergi ke tempat
dimana film sedang di shoot). Dengan begitu penonton diberikan kebebasan untuk menciptakan
narasi yang sesuai dengan diri mereka, walaupun tidak ada yang bisa menyaksikan keseluruhan tiga
bagian pertunjukan.

Contoh pertunjukan diatas dan bagaimana pertunjukan tersebut menggunakan film/tayangan,


sebagaimana penggunaan media film dan televisi yang digunakan oleh The Wooster Group, The
Builder Association, Plane Performance (Terutama pertunjukan SET), Imitating the Dog (Pada
pertunjukan Five Miles and Falling, Hotel Methuselah) dan banyak yang lainnya, adalah hal yang
menunjukan kepada kita jawaban lain mengenai pertanyaan tentang relevansi karya-karya tersebut
dengan tradisi dramatis yang selama ini kita kenal. Dimana Philip Auslander berpendapat bahwa saat
film dan televisi telah memasuki teater, mereka akan menjadikan diri mereka teater dan struktur
dramatik sendiri. Padahal film pada mulanya memakai struktur dramatik tradisional dari melodrama
abad sembilan belas, sebagai tambahan televisi kemudian meremediasi teater hingga pada tingkatan
logis yang kemudian menciptakan keterhubungannya sendiri.36 Bagaimanapun struktur dramati yang
penting dan ekspektasi masih menjadi bangunan penting bagi film dan televisi. Saat pertunjukan
ekperimental kontemporer sekarang menggunakan media secara langsung atau sekedar referensi,
hal ini secara tidak langsung meremediasikan film dan televisi, akan tetapi tidak bertujuan untuk
merusak ataupun menggantikan legitimasi mereka (Seperti yang dikatakan Auslander tentang respek

34
Lihat artikel dalam majalah Frakcija Performing Arts Magazine, special issue 32, Zagreb, 2004.
35
http://www.stationhouseopera.com/PastProjects/maresnest.html
36
P. Auslander, Liveness: Performance in a Mediatized Culture, London and New York: Routledge, 1999.
yang diberikan kepada konser rock dan produksi teater Broadway37) melainkan untuk menemukan
status dan implikasi hal tersebut kepada kita, sebagai bentuk kesadaran—termasuk di dalamnya
peran film dan televisi dalam meremediasi teater.

Teori Postmodern dan Post-dramatik.

Terlepas dari fakta bahwa Lehmann lebih memilih sebutan Post-dramatik ketimbang postmodern
untuk menjelaskan teater baru ini, teorinya mengenai teater post-dramatik tentu saja banyak
bersinggungan dengan aspek-aspek pemikiran yang dimiliki oleh postmodern dan poststrutural.
Terlebih lagi analisis postmodern dari Lyotard yang mengemukakan bahwa kondisi postmodern
sebagai ketidakinginan mengakui posisinya di dalam narasi besar (Grand Narratives)38, hal ini terjadi
semanjak diketahui adanya hubungan mendalam antara dominasi sejarah drama dan nilai filsafat
teleologi (*Fn Teleologi berarti kepercayaan bahwa sesuatu pasti memiliki kegunaan) dari sejarah.

Seperti yang dijelaskan oleh Lehmann dalam Drama dan Dialektik bahwa kandungan konflik dan
resolusi dalam struktur klasik drama telah menjadi model bagi keinginan, imajinasi, dan tujuan
pengembangan dari sejarah. Kejadian seperti Perang Dunia ke-II, Holocaust, dan Hiroshima,
bagimanapun telah membentuk dasar dari pegangan terhadap model sejarah, ini menjelaskan
bagaimana praktisi paska-perang (postwar) seperti Samuel Beckett, Tadeusz Kantor, dan Heiner
Muller menghindari bentuk dramatiknya dari kejadian-kejadian tersebut.

Aplikasi dari diskursus postmodern dan terlebih lagi poststruktural kepada teater kontemporer dan
performance memberikan kekayaan kajian dan percobaan-percobaan yang seringkali tidak dapat
dipisahkan. Terpisah dari probelmatika peningkatan nilai dan superficial penggunaan istilah teater
postmodern atau lebih parahnya drama postmodern , dan terpisah dari kesulitan yang menyelimuti
frase postmodern dalam istilah tersebut39 (Artinya sendiri tergantung dari pendekatan yang dipakai,
semisal memakai pendekatan Lyotard, Baudillard, atau Jameson) para akademisi seringkali
menyatakan kesulitannya mengenai diskursus yang berasal dari luar dunia teater dan performance
ini. Pun begitu Johanes Birringer menyatakan:

Apa yang menjadi kekurangan dari representasi visual dan tekstual (dan subjek penonton yang
di hasilkan dari teori film) dalam teori postmodern lebih mengacu kepada bangunan
pengertian sejarah yang kompleks serta adanya konflik di dalam hubungan antara teks dan
bahasa dalam performance serta ruang dalam teater. Yang lebih penting adalah bahwa
sedikitnya pengetahuan dasar teater baik tentang resepsi serta revisi mengenai banyaknya
pendekatan dalam akting baik diatas panggung ataupun diluar panggung, juga kurangnya
perhatian dalam aspek tekstual dan kontekstual (Skenografi, koreografi, dan musikal) yang
telah dihasilkan oleh seniman avant garde dalam beberapa generasi di abad ini. 40

37
Ibid Halaman 23 - 38
38
Lihat J.-F. Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. by G. Bennington &
B. Massumi, pendahuluan oleh F. Jameson, Minneapolis: University ofMinnesota Press, 1984.
39
Lihat N. Kaye, Postmodernism and Performance, London: Macmillan, 1994.
40
J. Birringer, Theatre, Theory, Postmodernism, Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1991,
Halaman 43.
Studi terbaru, termasuk dari Birringer sendiri, sebagian mengoreksi situasi ini. Teori dari Nick Kaye
yang menjelaskan hubungan antara postmodernisme dan performance memperdebatkan model dari
gaya postmodern dan memberikan penjelasan bahwa performance mungkin bagian penting dari
era postmodern. 41 Studi yang dilakukan oleh Lehmann dapat berperan sebagai bagian dari koreksi
serta memberikan pelacakan terhadap jaringan yang hilang dari estetika teater. Seperti yang
dikemukakan oleh Wessendorf:

Walaupun konsep teater post-dramatik banyak bersinggungan dengan ide dari teater
postmodern, hal tersebut tidak berdasarkan pada aplikasi dari konsep budaya umum hingga
bagian spesifik dalam teater, akan tetapi menghadirkan sesuatu yang lain dan membuka
diskursus yang telah lama ada di dalam estetika teater itu sendiri, juga sebagai dekontruksi
dari premis mayor tersebut.42

Bagi para praktisi istilah teater post-dramatik akhirnya hanya akan menjadi frasa yang
menjelaskan , seperti yang dikemukakan oleh anggota Forced Entertaiment, Claire Marshall dalam
satu wawancara tentang istilah postmodernisme: Anda tidak bisa secara sengaja membuat sebuah
pertunjukan yang memiliki nilai postmodernis (post-dramatik) 43 Pun begitu bagi para akademisi,
praktisi, mahasiswa, atau sekedar penggemar dari teater kontemporer, analisis yang hadir di dalam
buku ini bisa menjadi teori yang berharga untuk menghadapi dan merefleksikan karya-karya, dan
tentu saja untuk menerangkan nilai estetik dan politik di dalam teater itu sendiri.

Yogyakarta, 23 April 2014


Ferdi Firdaus.

41
Kaye, Postmodernism and Performance, especially the chapter From Postmodern Style to Performance .
42
Wessendorf, The Postdramatic Theatre of Richard Maxwell .
43
M. McGuire, Forced Entertainment on Politics and Pleasure , Variant, vol. 5, ada di daring
http://www.variant.randomstate.org/5texts/Michelle-McGuire.html

Anda mungkin juga menyukai