Bahasa Asing Dalam Al
Bahasa Asing Dalam Al
Salah satu persoalan yang sampai sekarang masih diperdebatkan oleh para ahli
bahasa dan sastra Arab serta mufasir Al-Qur’an adalah apakah kosakata serapan
Arab dari bahasa asing dipakai dalam Al-Qur’an atau tidak? Dengan kata lain,
apakah semua kata yang digunakan dalam Al-Qur’an adalah Arab asli atau ada
juga kata-kata yang telah melalui proses pengaraban?
Misalnya:
(Al-Anbiya:104)
Ada berbagai pendapat tentang asal-usul kata ِس ِج ّلsebagian mengatakan kata itu
berasal dari Abyssinia dan berarti ( رجلlelaki), Ibnu Jinni mengartikannya
dengan surat dan menurutnya kata ini berasal dari bahasa Parsi, Khaffaji sepakat
dengan pendapat yang mengatakan kata ini berasal dari Abyssinia dan berarti
surat.
Sedang Arthur Geoffrey menolak dua pendapat tersebut dan menyatakan bahwa
kata ini bukan berasal dari Abyssinia dan juga bukan dari Parsi, melainkan dari
bahasa Yunani yang sepadan dengan kata Latin “sigillum”.
2. ِقرَطاسdalam ayat:
Menurut sebagian ahli, kata ( قرطاسkertas) bukan Arab asli. Penulis al-Kalimat
al-Aromiyyah fil Lughotil Arobiyyah berpendapat sama bahwa kata ini bukan
bahasa Arab asli dan berasal dari kata “charta” dalam bahasa Yunani sedang
dalam bahasa Abyssinia adalah kartas.
َو َلو َجَع لَناُه ُقرآًنا َاعَجِم ًّیا َلَقاُلوا َلو اَل ُفِّص َلت آَیاُتُه أأعَجِمٌّي َو َع َر بٌّي
Dan sekiranya Kami jadikan al-Qur’an itu bacaan yang bukan bahasa Arab,
niscaya mereka berkata “mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya? Apakah
patut (Al-Qur’an) itu dalam bahasa ‘Ajam (bukan bahasa Arab) sedang rasul
orang arab”. (QS. 41: 44).
Pertanyaan diatas adalah pertanyaan yang cukup berat, meski tetap penting.
Karena seperti ini seringkali terjadi tusukan tajam tak terduga dari kalangan
orientalis jahat untuk mengucilkan Islam, khususnya kitab suci Al-Qur’an. Kita
sebagai muslim, harus sedikit lebih cerdas dari para orientalis itu, biar kita tidak
dijadikan bahan olok-olokan mereka.
Serapan dari bahasa lain adalah hal yang sangat lumrah dan pasti terjadi pada
semua bahasa. Karena toh sebenarnya menurut para ahli bahasa, antara satu
bahasa dengan bahasa lain saling terkait secara historis. Bahkan sebenarnya,
menurut mereka, tiap-tiap bahasa punya induk dan tiap-tiap induk sebenarnya
berasal dari satu sumber. Maka bila dalam bahasa yang digunakan oleh orang
Arab, ada terdapat satu dua kosa kata yang merupakan serapan dari bahasa lain,
sangat logis dan masuk akal.
Malah, boleh dibilang tidak ada satu pun bahasa di dunia ini yang tidak punya
unsur serapan dari bahasa lain. Di dalam bahasa arab, ada beberapa unsur
serapan dari bahasa lain termasuk bahasa Inggris. Dan sebaliknya, di dalam
bahasa Inggris pasti terdapat begitu banyak serapan dari bahasa Arab.
Adanya fenomena unusr serapan dari bahasa lain, sebenanya sama sekali tidak
mengganggu identitas suatu bahasa. Al-Qur’an tetap saja dikatakan berbahasa
Arab, meski ada beberapa istilah yang oleh para ahli sejarah bahasa dikatakan
bukan sebagai asli dari bahasa Arab. Orang-orang Arab saat di mana Al-Qur’an
diturunkan memang sudah menganggapnya bagian dari bahasa Arab. Walau
para ahli sejarah bahasa bilang bahwa kata tersebut berasal dari unsur serapan
dari bahasa lain.
Kata Qirthas seperti yang disebutkan boleh saja oleh para ahli bahasa dianggap
sebagai unsur serapan dari bahasa lain. Tapi masalahnya, apakah orang Arab
pada saat Al-Qur’an diturunkan tidak tahu maknanya? Analisa yang sederhana,
mereka tahu maknanya, sehingga Al-Qur’an pun menggunakan istilah itu,
walau dituduh bukan asli dari bahasa Arab.
Dan sejak dahulu para ulama ternyata sudah banyak mendiskusikan hal ini. Kita
menangkap setidaknya ada tiga pendapat yang berkembang, pendapat pertama
dan kedua saling berbeda dan pendapat ketiga agaknya ingin menyatukannya.
قل هو للذين آمنوا هدًى وشفاء، أأعجمي وعربي،ولو جعلناه قرآنًا أعجميًا لقالوا لوال فِّص لت آياته
Dan jikalau Kami jadikan Al-Qur’an itu suatu bacaan dalam bahasa selain
Arab, tentulah mereka mengatakan, “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?”
Apakah dalam bahasa asing sedang Arab? Katakanlah, “Al-Qur’an itu adalah
petunjuk dan penawar bagi orang-orang mu’min.(QS. Fushshilat: 44)
Di antara mereka yang berpendapat seperti ini adalah Imam As-Suyuthi, Ibnu
Jarir At-Thabari, Abu Ubaidah, Al-Qadhi Abu Bakar, Ibnu Faris dan juga Imam
Asy-Syafi’i rahimahumullah
Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Di antara point penting dalam ilmu Al-Qur’an
adalah bahwa seluruh kitabullah ini diturunkan dalam bahasa arab. Memang ada
sementara kalangan yang berpendapat bahwa ada serapan bahasa lain selain
bahasa arab di dalam Al-Qur’an, namun hal itu bertentangan dengan keterangan
di dalam Al-Qur’an sendiri.”
Asy-syafi’i menambahkan kalau ada ahli bahasa yang mengatakan bahwa di
dalam Al-Qur’an ada lafadz selain arab, sebenarnya bukan demikian
kejadiannya. Yang benar adalah bahwa ada sebagian orang Arab yang tidak
tahu kalau ada lafadz bahasa arab yang demikian, lantas dia beranggapan lafadz
itu bukan arab.
Padahal bahasa arab sangat banyak kosa katanya dan teramat luas cakupannya,
dan tidak berarti kalau ada orang arab yang tidak mengenal satu istilah arab di
dalam Al-Qur’an, boleh dianggap sebagai bukan dari bahasa Arab. Yang bisa
menguasai dan mengenal bahasa arab secara keseluruhannya hanyalah Nabi
SAW.
Atau apa yang dianggap oleh ahli bahasa sebagai lafadz bukan arab, sebenarnya
secara kebetulan memang ada di dalam bahasa lain. Namun lafadz itu tetap ada
dalam bahasa arab. Dan kesamaa lafadz pada dua bahasa yang berbeda bukan
hal yang aneh atau mustahil.
Jadi kalau ahli bahasa mengatakan bahwa ada lafadz non arab di dalam Al-
Qur’an, sebenarnya yang terjadi adalah kebetulan ada lafadz dalam Al-Qur’an
yang ada juga di dalam bahasa lain. Padahal lafadz itu dikenal dan ada dalam
bahasa Arab.
Kalau ada yang mengatakan bahwa boleh Al-Qur’an mengandung bahasa lain
karena memang diturunkan bukan hanya untuk orang arab, Asy-Syafi’i
menjawab sebaliknya. Justru diturunkannya Al-Qur’an dalam bahasa arab
meski untuk semua manusia, tujuannya agar semua umat manusia belajar
bahasa Arab. Bukan Al-Qur’an yang harus berisi berbagai bahasa, tetapi
berbagai bangsa itulah yang harus belajar bahasa arab sebagai bahasa yang
digunakan oleh Al-Qur’an.
وكذلك أوحينا إليك قرآنًا عربيًا لتنذر أَّم القرى ومن حولها
Al-Quraan dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan supaya mereka
bertakwa.(QS. Az-Zumar: 28)
Imam Asy-Syafi’i mengatakan bahwa Allah menegaskan bahwa kitab-Nya itu
berbahasa arab, di semua ayat yang dibacakannya. Bahkan Allah menafikan
semua bahasa yang bukan arab di dalam kitab suci-Nya itu dalam 2 ayat yang
lain:
وهذا لساٌن عربٌّي مبين، لساُن الذين ُيلحدون إليه أعجمٌي،ولقد نعلم أنهم يقولون إنما ُيعِّلمه بشٌر
Dan jikalau Kami jadikan Al-Qur’an itu suatu bacaan dalam bahasa selain
Arab, tentulah mereka mengatakan, “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?”
Apakah dalam bahasa asing sedang Arab? Katakanlah, “Al-Qur’an itu adalah
petunjuk dan penawar bagi orang-orang mu’min.(QS. Fushshilat: 44)
Ibnu Faris mengatakan tidak ada di dalam kitabullah lafadz selain bahasa arab.
Sebab seandainya ada, pastilah akan ada tuduhan bahwa bahasa arab terlalu
lemah dan tidak mampu menampung pesan yang banyak, sampai harus
menggunakan bahasa lain untuk membantunya.
Dan tuduhan itu ternyata sudah dilemparkan oleh para orientalis, serta sudah
dijadikan jenjang untuk sampai kepada tuduhan kelemahan Al-Quran.
Ulama Kontemporer
Ulama di zaman sekarang yang berpendapat seperti ini antara lain adalah As-
Syeikh Ahmad Syakir, muhaqqiq kitab Al-Mu’arrab minal Kalamil A’jami yang
ditulis oleh Al-Jawaliqi. Al-Jawaliqi dalam kitabnya itu cenderung mengatakan
keberadaan serapan bahasa non arab dalam Al-Quran, namun dibantah oleh
Ahmad Syakir.
Ahmad Syakir mengatakan bahwa anggapan adanya lafadz selain arab dalam
Al-Quran sebenarnya hanyalah perkiraan saja. Yang sebenarnya terjadi adalah
bahwa para ahli bahasa itu pun tidak tahu asal muasal kata-kata itu.
Padahal harus diketahui bahwa bangsa arab adalah bangsa yang sudah ada sejak
zaman dahulu sebelum sejarah ditulis. Jauh sebelum zaman Ibrahim dan Ismail.
Sudah ada sebelum masa keberadaan bahasa Kaldaniyah, bahasa Ibrani, bahasa
Suryaniyah dan bahasa Persia. Jadi tidak ada istilah bahasa-bahasa yang lebih
muda diserap ke dalam bahasa arab.
Yang ada sebenarnya lafadz-lafadz itu asli dari bahasa arab sejak dahulu,
kemudian diserap oleh bahasa lain yang lebih muda, lalu datanglah orang-orang
kemudian dan beranggapan bahwa lafadz itu serapan dari bahasa lain ke bahasa
arab.
Sependapat dengan logika ini Dr. Hasan Dhiyauddin ‘Ithr, di mana beliau
menulis dalam makalah yang berjudul “Kesucian Al-Qur’an dari bahasa ajam
(non arab).”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, Ibnu Ikrimah, Atha’ dan lainnya dari
ahli ilmu bahwa mereka telah menyatakan terdapat banyak bahasa ajam (non-
arab) di dalam Al-Quran.
Para ahli Nahwu (nuhat) telah bersepakat bahwa di dalam Al-Qur’an ada begitu
banyak lafadz yang mamnu’ minas-sharf, baik karena merupakan
al-‘alam (nama) atau karena kenon-araban (‘ajam), seperti lafadz Ibrahim.
Dan kalau disepakati adanya begitu banyak nama asing non arab dalam Al-
Qur’an, maka tidak ada alasan untuk menolak adanya lafafz nijsi yang juga
bukan arab.
Di antara ulama zaman sekarang yang berpendapat seperti ini adalah Dr.
Ramadhan Abduttawwab dan Muhammad As-Sayyid Ali Al-Balasi.
Sehingga biar bagaimana pun tidak ada perbedaan di antara para ulama itu
untuk menggunakan kalimat yang diarabkan. Dan dengan demikian juga tidak
ada masalah bila kalimat yang asalnya bukan arab di terdapat di dalam Al-
Qur’an.
Misalnya, mereka katakan bahwa meski suatu lafadz awalnya dianggap bukan
dari bahasa arab, namun kemudian berubah menjadi bahasa arab. Sehingga
ketika Al-Qur’an turun, lafadz itu sudah dikenal oleh bangsa arab dan sudah
dianggap menjadi bagian dari bahasa arab. Maka kedua pendapat itu tidak salah
dan tidak bertentangan secara hakikatnya.
Yang mengatakan bahwa lafadz itu bukan bahasa arab, tidak bisa disalahkan
karena mereka bisa dari asal muasal sejarah lafadz itu yang memang bukan
arab. Tapi yang mengatakan bahwa lafadz itu adalah lafadz bahasa arab juga
benar, sebab pada saat Al-Qur’an diturunkan lafadz itu sudah menjadi bagian
dari bahasa arab. Yang termasuk berpendapat seperti ini dari kalangan ulama
masa kini antara lain Dr. Thahir Hamudah.
Penutup dan Kesimpulan
Memang tidak mudah untuk memilih salah satu dari ketiga pendapat itu. Tapi
rasanya yang paling mudah dan moderat sekaligus bisa menyatukan semua
pendapat adalah pendapa yang ketiga. Kalau boleh memilih, barangkali
termasuk yang agak cenderung kepada pendapat ketiga.
Pendapat ketiga ini prinsipnya tidak menyalahkan pendapat pertama atau kedua,
tetapi menggabungkan semua hujjah untuk menjadi kesimpulan yang bisa
disepakati bersama.