Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH TERJEMAH TAITSIR FII USHULI TAFSIR

PEMBAHASAN KE 17 DAN 18
Ditulis untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ushul Tafsir

Disusun oleh :
Ari Durohman (202201018)
MA’HAD ALY AL-ASMA PD. PERSIS SUMEDANG
1444 H / 2023 M
PEMBAHASAN KE-17
AL-GHARIB DAN MUARRAB DIDALAM AL-QUR’ANUR KARIM
Dintara kaida-kaidah yang wajib diketahui keduanya oleh Mufasir juga ketika menafsirkan:
pengetahuan tentang lafadz-lafadz gharib dan muarrab yang digunakan dalam bahasa selain bahasa
arab, kemudian dengan kata-kata itu digunakan dan menjadi bahasa arab yang memiliki arti yang
sama.

Pertama, Gharib:

Gharib: Menurut Ibnu Mundziri, gharib asal dari kata ‫( الغامض‬yang samar, yang tidak jelas)

Dan secara istilah: Gharibul qur’an adalah lafadz-lafadz yang disembunyikan maknanya dan
disamarkan keumuman tanpa kekhususan, dan berada dilingkungan tertentu karena delegsi dari
lingkungan yang asing, atau karena disebabkan penggunaannya dalam sesuatu makna selain yang
ditetapkan untuknya.

 Bedasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwasanya gharib bukan lafadz yang
terasingkan, melainkan makna bisa saja asing maknanya jika digunakan selain dari
yang telah ditetapkan untuknya.
 Contoh: (Ibnu Abbas pernah berkata,“sungguh aku tidak tahu makna firman Allah
Ta’ala”. (‫)ربَّنَ ا ٱ ْفتَ ْح َبْيَننَ ا َوَبنْي َ َق ْوِمنَ ا بِ ٱحْلَ ِّق‬,
َ sampai aku mendengar putri Dhi Yazan Al-
Humairi berkata kepada suaminya: “Ayo, aku akan menaklukanmu”, yakni aku akan
menuntutmu), dan pernah berkata juga: (sungguh aku tidak memberitahukan
mengenai pecipta langit dan bumi, sampai dua orang arab badui berdebat tentang
sumur, dan ketika salah satu diantara mereka berdua berkata: “Aku telah
membuatanya”, yakni aku telah memulainya).

Sebagaian Lafadz-lafadz yang Gharib dalam Al-Qur’an

‫ أي ال يثقله‬: ‫ يؤوده‬،)mengeluarkan mereka( ‫ أخرجكم‬: ‫ ألعنتكم‬،)berdosa( ً‫ إثما‬: ً‫)جنفا‬

: ‫ كاللة‬،)mahir atau pintar( ً‫ أي مهرا‬: ‫ نحلة‬،)berdosa( ً‫ أي إثما‬: ً‫ حوبا‬،)tidak membebaninya(


‫ تمنعوهن‬: ‫ وال تعضلوهن‬،)dia tidak meninggalkan ayah dan anak( ً‫أي لم يترك والداً وال ولدا‬

،)maha raja( ً‫ا‬4 4 ‫ مهراق‬: ً‫فوحا‬44 4‫ مس‬،)menjatuhkan mereka( ‫ أوقعهم‬: ‫هم‬44 4‫ أركس‬،)mereka menolak(

( ‫ع‬44‫ أي نب‬: ‫ور‬44‫ار التن‬44‫ وف‬،)mengalahkannya( ‫ا‬44‫ أي غلبه‬: ‫غفها‬44‫ ش‬،)menolak( ‫رض‬44‫ أي أع‬: ‫دف‬44‫ص‬
( ‫ون‬44 4‫ يقبل‬: ‫لون‬44 4‫ ينس‬،)arah/sisi( ‫وب‬44 4‫ ص‬: ‫دب‬44 4‫ ح‬،)masyarakat( ‫ع‬44 4‫ مجتم‬:‫نوان‬44 4‫ ص‬،)meluapkan
( ‫بة‬44‫ معش‬: ‫يم‬44‫ هض‬،)baik( ‫ن‬44‫ حس‬: ‫ بهيج‬، )suara yang pelan(‫وت الخفي‬44‫ الص‬: ً‫ا‬4 ‫ همس‬،)menuju
،)pohon arok( ‫ األراك‬: ‫ط‬44 4 4 4 4 4 4 4‫ خم‬،)tangkas( ‫اذقين‬44 4 4 4 4 4 4 4‫ ح‬: ‫ارهين‬44 4 4 4 4 4 4 4‫ف‬ ،)tanah berumput

)batang yang usang( (  ‫القديم‬ ‫الجذع‬ : ‫العرجون‬


Pentingnya Mengetahui Gharibul Qur’an:
Menurut Imam Suyuthi Rahimahullah:
(Dan pengetahuan seperti yang ini diperlukan bagi Mufasir..dan membutuhkan orang yang
menyingkap tentang hal itu, terhadap pengetahuan Ilmu bahasa: Isim, Fiil dan Huruf, karena hurufnya
sangat sedikit sehingga ahli tata bahasa berbicara, sehingga diambil arti huruf-huruf dari buku-buku
mereka, dan adapun Isim dan fiil diambil dari buku-buku ilmu bahasa)

Dan menurut Imam Az-Zarkasyi: “Tidak diperbolehkan bagi seseorang yang beriman kepada Allah
dan hari akhir jika ia berkata tentang kitab Allah, sedangkan ia tidak mengetahui bahasa arab).

(Dan atas itu, konfirmasi dan referensi ke buku-buku yang ahli dibidang tersebut dan bukan
menganalisi dengan dugaan, maka bagi para sahabat, mereka adalah orang-orang asli Arab yang fasih
berbahasa Arab, dan ketika telah turunnya Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa mereka, mereka
berhenti pada lafadz-lafadz yang tidak mereka ketahui artinya, maka mereka tidak mengatakan
sesuatu tentn lafadz-lafadz yng tidak dipahami. Sebagai Ibnu Abbas menyembutkan bahwasanya ia
mengetahui semua lafadz Al-Qur’an kecuali empat: (‫غسلني – وحنانا – وأواه – والرقيم‬

Dan sangat pentingnya ilmu ini, sehingga banyak ulama yang membahasnya dengan
klasifikasi, dan dikatakan bahwa orang yang pertama menyusunnya, adalah Aban bin Tabligh bin
Rabah Al-Bakri (141 H.), dan dikatakan pula bahwa orang yang pertama mengumpulkan pada bidang
ini, adalah Abu Ubaidah bin Ma’mur bin Mutsana Al-Tamimi (210 H.), hingga berturut-turut
penyusunannya. Mengenai hal ini, sampai As Syuthi berkata: “Memisahkannya dengan klasifikasi
mahluk yang tidak terhitung jumlahnya”.

Dan yang dimaksud dengan Muarrab adalah lafadz-lafadz yang terletak didalam Al-
Qur’anur karim yaitu bukan berasal dari bahasa Arab, bahwa dalam masalah ini
terdapat perbedaan pendapat antara Ulama, maka atas itu ada tiga pendapat.
Pertama: Bahwasanya tidak ada didalam Al-Qur’an lafadz-lafadz selain bahasa Arab, dan
mereka menyimpulkan dengan firmannya Allah Ta’ala, (‫) ُقْرٰءَنً ا َعَربِيًّا‬, Surat Yusuf ayat:2, ( ٍّ ‫ان َع َرىِب‬ ٍ ‫بِلِس‬
َ
ٍ ِ‫)مب‬
‫ني‬ ُّ , Surat Asy-Syu’ara ayat: 190, ٌّ ۗ ‫ت ءَايَٰتُ ۖهۥُٓ ۬ءاَ ْع َج ِم ٌّى َو َع َرىِب‬
(‫ى‬ ْ َ‫ص ل‬ ِّ ُ‫َأع َج ِميًّا لََّق الُ ۟وا لَ ْواَل ف‬
ْ ‫ ) َولَ ْو َج َع ْل ٰنَ هُ ُق ْرءَانً ا‬Surat
Fushilat ayat: 44.

Dan para ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Asy-Syafi’i, Abu Ubaidah Ma’mur
bin Al-Mutsana, dan Ibnu Faris.

Abu Ubaidah berpendapat: “Sesungguhnya diturunkannya Al-Qur’an dengan bahasa Arab


yang jelas, maka siapa saja yang mengeklaim bahwa ada sesuatu didalam Al-Quran selain bahasa
Arab, maka ini sungguh perkataan yang sangat besar, dan siapa saja yang mengeklaim bahwa
(berdusta) dalam bahasa Nabataean yang berarti perkataan besar”.
Ibnu Faris berpendapat: “Kalaulah ada sesuatu didalam Al-Qur’an yang menggunakan bahasa
selain bahasa Arab mereka akan menjadi delusi, bahwa orang-orang Arab tidak dapat menemukan
sesuatu seperti itu karenanya datang menggunakan bahasa yang tidak mereka ketahui”.

Kedua: Yang lain telah berpendapat tentang terletaknya lafadz-lafadz selain bahasa Arab
didalam Al-Qur’an yang mulia, dan mereka menanggapi dari firman Allah Ta’ala (‫) ُقْرٰءَنًا َعَربِيًّا‬, bahwa
dengan beberapa kata selain bahasa Arab tidak mengecualikannya dari keberadaanya orang Arab, dan
dari firman Allah Ta’ala (ٌّ ‫)ءَ ۬ا ْع َج ِم ٌّى َو َع َرىِب‬, dan bahwa arti yang konteksnya dari perkataan-perkataan
bahasa non-Arab dan yang diajak bicara adalah orang Arab, mereka menyimpulkan dengan
kesepakatan para ahli tata bahasa bahwa larangan (Ibrahim) untuk ilmiah dan ujmah.

Ketiga: Kelompok lain menengahi dengan berpendapat: sungguh lafadz-lafadz yang selain
dari bahasa Arab didalam Al-Qur’an bukan murni bahasa asing melainkan non-Arab, kemudian
disepakati bahwa ada bahasa yang berbicara dengan itu Arab, Persia, Abyssinia dan Romawi..dengan
menggunakan satu lafadz. Atau keadaan asalnya asing namun ketika diletakan dalam bahasa Arab dan
mereka menggunakan bahasa asing tersebut maka menjadi bahasa Arab, kemudian turunnya Al-
Qur’an didalamnya, maka siapa saja berkata bahwa itu bahasa Arab maka ia benar, dan siapa saja
yang berkata itu bahasa Asing maka ia juga benar, dan yang berpendapat seperti ini yaitu Asy Suyuthi,
Abu Ubaid Al Qasim, Al Jawaliqi, Ibnu Jauzi dll.

Dan mungkin yang paling benar adalah pendapat yang terakhir untuk menengahinya. Wallahu a’lam.

Contoh-contoh untuk sebagian lafadz-lafadz Muarrab didalam Al-Qur’an:

BAHASA LAFADZ

)dengan bahasa Rumiy: maksud( ً‫قصدا‬ ‫بالرومية ـ أي‬ ‫طفقا‬


)dengan bahasa Arab: berpegang( ‫بالعبرية ـ أي ركن‬ ‫أخلد‬
)dengan bahasa Habsyi: dipan( ‫ أي السرر‬- ‫بالحبشية‬ ‫األرائك‬
)dengan bahasa Suryani: kitab-kitab( ‫بالسريانية – أي الكتب‬ ‫أسفار‬
)dengan bahasa Nabet: janjiku( ‫ أي عهدى‬- ‫بالنبطية‬ ‫إصرى‬
) dengan bahasa Nabet: tongkol jagung( ‫بالنبطية – أي األكواز‬ ‫أكواب‬
)dengan bahasa Zanib: rasa sakit( ‫بالزنجية ـ أي الموجع‬ ‫أليم‬
)dengan bahasa Barbar: bingung( ‫ أي حار‬- ‫بالبربرية‬ ‫إناه‬
)dengan bahasa Habsyi: saya yakin( ‫بالحبشية ـ أي موقن‬ ‫أواه‬
)dengan bahasa Habsyi: pantai( ‫بالحبشية ـ أي مسبح‬ ‫أواب‬
)dengan bahasa Rumiy: batu tulis( ‫اللوح‬ ‫أي‬ ‫ـ‬ ‫بالرومية‬ ‫الرقيم‬
)dengan bahasa Habsyi: dosa( ً‫إثما‬ ‫بالحبشية ـ أي‬ ً‫حوبا‬
dengan bahasa Habsyi: yang terserang( ‫بالحبشية ـ أي المضئ‬ ‫دری‬
)penyakit
)dengan bahasa Persia: brokat halus( ‫ رقيق الديباج‬- ‫بالفارسية‬ ‫سندس‬
‫بالقبطية ـ أي قليلة كاسدة‬ ‫مزجاة‬
dengan bahasa Qibthi: sedikit barang yang(
)tidak laku
dengan lisan orang barat:( ‫بلسان أهل المغرب أي ينضج‬ ‫يصهر‬
)masak/matang
)dengan bahasa Surniy: pemeriksaan( ‫بالسريانية ـ أى البحر‬ ‫اليم‬
) dengan bahasa Persia: cekungan( ‫بالفارسية ـ أي غُورت‬ ‫كورت‬
)dengan bahasa Habsyi: berkurang( ‫نقص‬ ‫أي‬ ‫ـ‬ ‫بالحبشية‬ ‫غيض‬

Dan sungguh Asy suyuthi telah menyusun buku prihal mu’arrab (kata-kata asing yang
dimasukan kedalam bahasa arab) ini dari lafadz-lafadz didalam Al-Qur’an yang dinamainya (Al-
Muhadhab fiimaa waqa’a filqur’an minal mu’arrab) ringkasanya didalam Al-Itqan dan dia
menyebutkan didalamnya sekitar dari 120 lafadz.

PEMBAHASAN KE-18
ASBABUN NUZUL SEBAGAI POKOK DARI KAIDAH-KAIDAH TAFSIR
Sababun Nuzul: adalah hal-hal yang diturunya Al-Qu’an tentang hal itu pada saat terjadinya
seperti ada suatu peristiwa atau suatu pertanyaan.

Dan contoh dari apa yang disebabkan oleh peristiwa: ketika Allah Ta’ala menurunkan
ِ
َ ِ‫ٱَأْلق َْرب‬
firmannya: (‫ني‬ َ َ‫ ) َوَأنذ ْر َع ِش َريت‬Surat Asy-Syu’ara ayat: 214, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
‫ك‬
mengumpulkan Hasyim, dan berkata: “kalaulah aku mengabarkan kepada kalian bahwa ada seekor
kuda yang menyerang kalian dari belakang lembah ini apakah kalian akan mempercayaiku?, mereka
berkata: “Tidaklah kami menguji atas kamu berbohong”, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
berkata: “maka sungguh aku ini adalah Rasul Allah yang diutus kepada kalian, dan diantara tanganku
ada azab yang pedih”, maka pamannya Abu Lahab berkata: “Celakalah kamu, apakah karena ini kamu
mengumpulkan kami?”, maka Allah Ta’ala menurunkan firmannya: ( ‫ب‬
َّ َ‫َوت‬ ٍ َ‫ت يَ َدٓا َأىِب هَل‬
‫ب‬ ْ َّ‫)َتب‬, Surat Al-
Lahab ayat: 1.

Dan contoh dari apa yang disebabkan oleh pertanyaan: sebagaimana hadits
menyembutkan bahwasannya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam melewati sekumpulan sebagian
orang Yahudi mereka berkata: “kalaulah kamu menanyainya”, mereka berkata: “Ceritakan kepada
kami tentag ruh”, maka Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam terdiam sejenak dan mengangkat
kepalanya, kemudian turunlah ayat kepada mereka: ( ‫ِّم َن‬ ‫وح ِم ْن َأمْ ِر َرىِّب َوَم ٓا ُأوتِيتُم‬ ِ ۖ ‫ك َع ِن ٱل ُّرو‬
ُ ‫ح قُ ِل ٱل ُّر‬ َ َ‫َويَ ْسَٔـلُون‬
‫)ٱلْعِْل ِم ِإاَّل قَلِياًل‬, Surat Al-Isra ayat: 85.
Dan berhati-hati didalam asbabun nuzul dengan menjadikan sebab-sebab waktu
penurunannya Al-Qur’an, bukan sebelumnya dan bukan setelahnya, maka ayat-ayat yang telah datang
yang memberi tahu dengan kabar yang telah lewat sebagaimana peristiwa Al-Fiil (persitiwa
penyerangan ka’bah oleh pasukan bergajah), atau kabar-kabar yang akan datang seperti kemenangan
Romawi atas Persia, dan tidak dibenarkan jika dikatakan bahwa peristiwa-peristiwa tersebut dijadikan
sebab bagi turunnya ayat-ayat, dan karena ini Asy Suyuthi menemukan kesalahan atas dijadikannya
satu kisah yang sampai kepada bangsa Habsyi untuk meruntuhkan Ka’bah yang dijadikan sebab
tentang turunnya surat Al-Fiil

Cara mengetahui Asbabun Nuzul:

Ulama bersepakat atas cara mengetahui Asbabun Nuzul adalah Tauqif, yaitu penukilan atas
keshahihan dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, dan dari para sahabat mulia yang hidup
sezaman dengan penurunannya wahyu, maka jika mereka dikabarkan tentang hal ini, maka hukumnya
menjadi marfu, apabila dikatakan sesuatu tentang Asbabun Nuzul dari tabi’in maka sesungguhnya
tidak diterima kecuali apabila dibantu oleh hadits mursal lainya dan keadaan itu dari tabi’in yang
senior seperti Mujahid, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Sa’id bin Al-Musayyib, Hasan Al-Basri, dan
selainya.

Pentingnya mengetahui Asbabun Nuzul sebagai dasar dari Kaidah Tafsir:

Sungguh para Imam telah menyebutkan tentang sangat pentinnya Sababun Nuzul didalam
tafsir ayat Al-Qur’an, Ibnu Taimiyah berkata: “Pengetahuan Asbabun Nuzul membantu atas
memahami ayat, maka sungguh ilmu dengan sebab mewariskan ilmu yang disebabkan”, dan Ibnu
Daqiq Al-‘Aid berkata: “Penjelasan tentang Sababun Nuzul adala cara yang kuat dalam memahami
arti-arti Al-Qur’an”, dan Al-Wahidi berkata: “Tidak mungkin mengetahui tafsir suatu ayat, tanpa
mengetahui hal atas kisahnya dan penjelasan penurunan suatu ayat”.

Maka pengetahuan tentang Sababun Nuzul Mufasir memanfaatkannya dalam penjelasan


kebijakan yang diberlakukanya perundang-undangan hukum dari hukum-hukum dengan tujuan
ketaatan Syariat untuk kemashahatan masyarakat umum dalam perbaikan peristiwa-peristiwa, dan
sebagaimana bahwasannya dimanfaatkan dalam menghidari masalah tentang ayat-ayat, maka contoh
ketika seorang Qari sedang membaca (‫اح َعلَي ِْه َأن‬
َ َ‫ٱعتَ َمَر فَاَل ُجن‬
‫ِئ‬ ِ َّ ‫ِإ َّن‬
َ ‫ٱلص َفا َوٱلْ َم ْرَوةَ من َش َعٓا ِر ٱللَّ ۖ ِه فَ َم ْن َح َّج ٱلَْبْي‬
ْ ‫ت َأ ِو‬
ِ ِ ‫ِإ‬ ۚ ِ‫)يطََّّو َ هِب‬, Surat Al-Baqarah ayat: 158, (maka sungguh ia
ٌ ‫ْرا فَ َّن ٱللَّهَ َش اكٌر َعل‬
‫يم‬ ً ‫ع َخي‬
َ ‫ف َما َوَمن تَطَ َّو‬ َ
memahaminya bahwasannya dari ayat tersebut, menghilangkan kewajiban sa’i antara Shafa dan
Marwah), sebagaimana Urwah bin zabir memahami ini, maka ketika ia bertanya kepada bibinya
Aisyah, ia bibinya Aisyah berkata kepadanya: “jika kedaan perkara itu sebagaimana untuk dikatakan:
“Tidak adanya dosa baginya jika tidak mengelilingi dengan keduanya, kemudian aku menjelaskan
kepadanya Sababun Nuzul, dan bahwasannya turunnya mengenai orang-orang Anshar, ketika bahwa
mereka dalam keadaan sebelum mereka masuk islam, mereka tampak malu untuk lari, karena takut
akan mirip apa yang mereka lakukan pada masa jahiliyah, maka mereka bertanya kepada Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam kemudian turunlah ayat ini, jadi tidak ada salah seorang dari mereka yang
meninggalkan thawaf diantara keduanya”.

Jikalau seorang Musfasir tidak mengetahui Asbabun Nuzul akan bercampur penafsirannya
seperti ayat-ayat ini, oleh karena itu harus dikumpulkan dasar-dasar ini sebelum penafsiran.

Sebagaimana seharusya Mufasir mengetahui tentang keadaan lafadz dengan keumuman dan bukan
kekhususan sebab atas keutamaan dari perkataan ahli ilmu, para sahabat dan yang lainya tidak
keberatan dalam kejadian dengan keumuman ayat-ayat yang turunya dalam sebab yang khusus: dan
ini sesuai untuk kesinambungan hukum-hukum Al-Qur’an.
Selanjutnya:

Maka dari itu kaidah-kaidah ini sangat penting yang harus diketahui oleh Mufasir jika
menggunakan atas kaidah dalam penafsiran kitab Allah Azza wa jalla, sehingga ia terhindar dari
kesalahan dan hal yang melampaui batas, dan dari keseluruhan kaidah-kaidah tafsir tentang
pengetahuan kurikulum para Mufasir, maka sungguh Syeikh Dr. Lutfi Al-Sabbagh semoga Allah
Ta’ala memberkatinya, dia berkata: “Maka jika seseorang mengetahui segala sesuatu, dari ia untuk
menentang penafsiran atas arah yang yang berbeda, dan disisi lain ia mengetahui aspek positif
didalamnya, dan ia mampu memanfaatkanya darinya dalam pekerjaannya (yaitu dalam penafsiran)”.

Dan dalam pembahasan berikutnya kami akan menyajikan – dengan izin Allah – yaitu kurikulum para
Mufasir dengan cara meringkas dan ringkasan untuk melengkapi kaidah-kaidah dan memberi
gambaran yang lebih sempurna bagi mereka yang ingin membahas tentang penafsiran”.

Anda mungkin juga menyukai