Anda di halaman 1dari 15

Islamic Online University Tafsir 101

Modul 25
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Selamat datang pada pertemuan ke 25, kuliah terakhir pada mata pelajaran Usulul
Tafsir. Hari ini kita akan membahas permasalahan pada penerjemahan Al Qur’an. Topik ini
adalah persoalan yang penting karena berkaitan dengan universalitas ajaran Islam.
Sejumlah pernyataan di dalam Al Qur'an menunjukkan bahwa Al Qur'an dibacakan
dalam bahasa Arab. Ada juga pernyataan dalam Surat Ibrahim ayat 4,

‫ان قَو ِم ِه ِليُ َبيِِّنَ لَ ُهم‬


ِ ‫س‬َ ‫سو ٍل ِإ اَّل ِب ِل‬ َ ‫َو َما أَر‬
ُ ‫سلنَا ِمن َر‬
Artinya, “Kami tidak mengutus seorang Rasulpun melainkan dengan bahasa
kaumnya Supaya ia dapat menjelaskan dengan terang pada mereka.” Tentunya, jika
kaumnya adalah bangsa Arab kemudian diberikan wahyu dalam bahasa lain yang tidak
mereka pahami, maka ini sangat konyol.
Akan tetapi, kita juga memiliki beberapa pernyataan yang mengindikasikan bahwa
Islam adalah ajaran yang universal. Dan Al Qur'an bukan hanya untuk bangsa Arab saja,
misalnya pada Surat Al-A'raf ayat 158. “Katakanlah (Muhammad), "Wahai manusia,
sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu semua.”
Supaya ajaran agama ini dapat dipahami bangsa selain Arab dalam bahasa yang dapat
mereka pahami, maka hanya ada dua kemungkinan logis, yaitu bangsa selain Arab belajar
bahasa Arab. Akan tetapi mereka tidak akan memiliki motivasi untuk melakukan itu, kecuali
mereka sudah Muslim. Atau kemungkinan kedua, risalah Islam di dalam Al Qur'an harus
diterjemahkan ke dalam bahasa lain yang dapat mereka pahami. Hal itu supaya mereka dapat
memahami kandungan Al Qur’an.
Tentu saja hal itu tidak membatasi adanya kemungkinan ketiga, yaitu tidak berarti
kalian harus memiliki terjemahan setiap ayat, karena lagi-lagi ini tidak akan menarik bagi
orang non-muslim untuk membacanya. Mereka tidak akan tertarik mendengarkan semua
terjemahan qur'an. Maka jika ada seseorang yang meringkas kandungan qur'an untuk mereka.
Dan itu disampaikan dalam bahasa mereka, maka inilah kemungkinan ketiga.
Akan tetapi ada tahapan bagi seorang yang bukan penutur Bahasa Arab. Yakni pada
awalnya dia mulai mendengar ajarannya, kemudian dia ingin mempelajarinya lebih lanjut.
Jadi sekarang ia ingin mengetahui apakah rincian dari ajaran agama ini. Pada kondisi
tersebut, maka tersedianya terjemahan Al Qur’an dalam bahasa yang dipahami orang itu akan
menjadi alat bantu bagi orang tersebut untuk memeluk Islam atau setidaknya mengevaluasi
ajaran agamanya.
Ketika para ulama mulai membahas keabsahan menerjemahkan qur'an, mereka
sampai pada konteks membaca bagian Al Qur'an (terjemahannya) saat shalat. Sebagian besar
ulama tidak memperbolehkan hal itu. Shalat menjadi tidak sah apabila kalian membaca
terjemahan qur'an di dalamnya.
Sebuah pengecualian terkenal diriwayatkan sebagai pendapat Imam Abu Hanifah.
Beliau berpendapat sampai pada tingkat diperbolehkan tanpa ada persyaratan apa pun,
diperbolehkan sepenuhnya. Koleganya dan pengikutnya, Abu Yusuf dan Muhammad bin

1
Islamic Online University Tafsir 101

Hasan tidak sependapat dengan itu. Mereka berpendapat diperbolehkan bagi yang tidak bisa
melafalkan dalam Bahasa Arab. Dan itu adalah pendapat mayoritas yang dianut mazhab
Hanafi.
Para ulama yang lainnya sepenuhnya menolak pendapat tersebut. Dalam membahas
persoalan ini, Imam Nawawi juga menghadirkan permasalahan tentang menerjemahkan Al
Qur’an secara umum. Jadi di dalam Al-majmu' dia menyatakan, “Mazhab kami tidak
mengizinkan membaca qur'an menggunakan bahasa selain Arab, baik dia bisa atau tidak bisa
berbahasa Arab, baik di dalam atau di luar shalat.”
Kemudian Imam An Nawawi lanjut menjelaskan pendapat tersebut terutama berkaitan
dengan shalat. Beliau membahas pendapat beberapa ulama yang sepakat dengan pendapat
Imam Syafi'i dan menyebutkan pendapat Imam Abu Hanifah. Setelah itu beliau mulai
membahas dalil yang mendukung pendapat Imam Abu Hanifah. Tentu saja beliau
menghadirkan dalil-dalil Al Qur'an. Salah satunya adalah terjemahan Surat Al-An'am ayat 19,

‫آن ألنذ َِر ُكم ِب ِه َو َمن َبلَ َغ‬ ‫ي ِإلَ ا‬


ُ ‫ي َهذَا القُر‬ ِ ُ ‫َوأ‬
َ ‫وح‬
Yang artinya, “Dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku
memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran
(kepadanya).”
Jadi penalaran berdasarkan ayat tersebut yaitu, bangsa non Arab tidak dapat diberi
peringatan dengan Al Qur’an yang berbahasa Arab. Karena mereka tidak akan paham itu,
kecuali Al Qur'an diterjemahkan ke dalam bahasa mereka.
Sedangkan berdasarkan sunnah/hadist, mereka merujuk pada hadist yang dikutip an-
Nawawi. Yakni hadist riwayat Bukhori-Muslim yang menyatakan bahwa Qur'an diturunkan
dalam tujuh ahruf. Kemudian dia menjelaskan "ay'" yaitu lughoh. Lughoh dapat berarti
bahasa, tetapi pada konteks hadist tersebut, salah satu penjelasan ahruf adalah dialek. Jadi
yang dimaksud adalah dialek dalam bahasa Arab.
Kemudian dia melanjutkan membahas pendapat para sahabat. Ada satu riwayat yang
menyatakan bahwa beberapa orang Persia meminta agar Salman menuliskan beberapa ayat
Al Qur'an ke dalam bahasa mereka. Jadi dia menuliskan terjemahan Surat Fatihah untuk
mereka.
Sekarang dia beralih membahasa dalil rasional atau qiyas. Imam An Nawawi
menyatakan, “Al Qur’an adalah bentuk mengingat Allah, dzikir. Jadi terjemahan memenuhi
tujuan tersebut, seperti halnya pernyataan keyakinan.” Maka jika seorang yang bukan penutur
asli Bahasa Arab menyatakan kesaksian sebagai seorang muslim (mengucapkan kalimat
syahadat) pada dua orang saksi, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah
selain Allah, Tuhan Yang Esa. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan dari
Tuhan Yang Esa.” Apakah kesaksian itu cukup menjadikan dia sebagai Muslim?
Jika kalian berpendapat iya, artinya kalian membuka peluang bahwa diperbolehkan
untuk menerjemahkan Al Qur'an. Kemudian ada analogi yang sedikit berbeda, mereka
menyatakan bahwa diperbolehkan untuk menerjemahkan hadist Rasulullah. Jika itu
diperbolehkan, maka artinya boleh juga untuk menerjemahkan Al Qur'an.
Setelah menyebutkan dalil tersebut, kemudian An-Nawawi menyebutkan dalil-dalil
yang bertentangan dengan mazhabnya. Dia menyatakan, “Sahabat kami, ashabuna, tidak

2
Islamic Online University Tafsir 101

sepakat berdasarkan hadist riwayat Umar ibn Khattab. Ia mendengar Hakim bin Hisyam
membaca surat al-Furqan ketika Hakim sedang melaksanakan shalat. Hal itu membuat Umar
menahan diri dari Hakim. Saat Hakim selesai shalat, Umar mencengkeram bagian atas
pakaiannya dan berkata, "Darimana engkau belajar itu?" Hakim berkata, “Rasulullah
mengajariku.” Umar berkata, “Engkau berbohong, karena beliau tidak mengajariku seperti
itu.” Maka Umar lalu membawa Hakim menghadap Rasulullah. Kemudian Rasulullah
meminta Hakim membacakannya, dan menilai itu benar seperti saat diturunkan. Dan
meminta Umar membacakannya dan menilai itu juga benar. Jadi seperti itulah ayat itu
diturunkan. Kemudian beliau menyebutkan tentang tujuh ahruf.
Jadi logika atau penalaran dari riwayat tersebut adalah Rasulullah tidak keberatan
dengan keberatannya Umar. Jika terjemahan itu diperbolehkan, tentu Rasulullah
menunjukkan pertidaksetujuan terhadap keberatan Umar akan sesuatu yang diperbolehkan.
Kemudian poin utama dari keberatan mereka adalah bahwa salah satu dari tujuan
diturunkannya Al Qur'an adalah untuk menyampaikan aturan dan syariat. Tapi selain it juga
sebagai perwujudan dari keajaibannya. Untuk menunjukkan keajaiban. Dan sifat alami dari
keajaibannya itu ada pada bahasa yang digunakan. Jika kalian menerjemahkannya, maka sifat
keajaibannya itu akan hilang. Oleh karenanya, terjemahan tidak sah.
Kemudian beliau memberikan jawaban pada keberatan Hanafi. Beliau berkata,
“Tanggapan kami terhadap penggunaan ayat sebagai peringatan itu bisa diketahui dengan
adanya ayat tersebut. Dan ini bisa terwujud ketika artinya diajarkan kepada mereka.”
Sejujurnya saya tidak memahami kalimat tersebut. Saya menduga maksud dari kalimat itu
adalah, saya hanya menebak di bagian ini, penalaran yang dia gunakan adalah bahwa,
ringkasan dari makna kandungan Al Qur'an dapat diterjemahkan ke dalam bahasa mereka
sendiri. Sehingga Al Qur’an bisa menjadi peringatan bagi mereka. Dan kandungan ini di
dalam Al Qur'an merupakan hal yang terus-menerus muncul. Jelas bahwa yang
diterjemahkan adalah penjelasan dari Al Qur’an.
Terjemahan itu tidak dipahami sebagai Al Qur’an atau dengan kata lain terjemahan Al
Qur’an tidak bisa diklaim sebagai Al Qur'an. Maka tidak ada keberatan untuk penerjemahan
itu. Terkait dengan hadist yang merujuk adanya tujuh dialek dalam bahasa Arab. Hal itu
menunjukkan bahwa qur'an tidak lebih dari tujuh dialek tersebut. Karena telah diketahui
bahwa ada lebih dari tujuh dialek Arab pada masa itu. Terkait dengan tindakan Salman
menerjemahkan surat Al-fatihah, maka terjemah itu bukanlah inti dari surat Al-Fatihah. Ini
sesuai dengan poin tadi.
Terkait dengan ucapan syahadat, ada dua pendapat dari Syafi'i sehubungan dengan
itu. Jika kami menerima pendapat bahwa tidak sah untuk menyatakan kesaksian, syahadat,
menggunakan bahasa selain Arab. Maka jawaban terhadap argumen mereka sudah jelas. Jika
kami menerima keabsahannya, karena dia menggunakan bahasanya untuk mengungkapkan
keyakinannya, dan apapun bahasanya diperbolehkan. Jadi dia tidak terlalu menjawab
permasalahannya, hanya menyinggung singkat.
Adapun analogi mereka dengan hadist Nabi dan kata-kata pujian. Tujuan Alquran
adalah [untuk menyampaikan] peraturan dan susunan keajaibannya, yang menjadikannya
berbeda. Ini dari hadist nabi dan kata-kata pujian. Jadi beliau kembali pada argumen tentang
keajaiban Al Qur’an.

3
Islamic Online University Tafsir 101

Beberapa orang telah mengajukan alasan untuk memperbolehkan terjemaha. Salah


satu buktinya adalah, ketika Rasulullah menulis surat kepada raja-raja non Arab. Surat-surat
beliau mengandung beberapa ayat Al Qur’an. Beliau pasti sudah mengetahui saat
mengirimkan surat itu bahwa raja-raja non Arab tidak akan dapat memahami tulisan
Arabnya. Oleh karena itu para raja itu pasti akan memanggil penerjemah. Sehingga
penerjemah akan menerjemahkan ayat qur'an tersebut saat membacakan suratnya. Itulah yang
kita ketahui dari riwayat Ibn Abbas yang mendapatkan ceritanya dari Abu Sufyan.
Berikut ini disebutkan di dalam Al-Bukhari. Ketika surat dari Rasulullah diterima
oleh Heraklius, Raja Romawi. Dia saat itu berada atau mengunjungi Yerusalem. Setelah
menerima surat itu, dia bertanya apakah ada dari kalangan bangsa Arab di kota tersebut. Lalu
dihadirkanlah rombongan karavan dari Mekkah. Abu Sufyan adalah pemimpin kafilah
(dagang) dan juga kerabat terdekat Rasulullah.”
Kisah ini sangat terkenal. Maka Abu Sufyan duduk di depan semua orang dan orang-
orang dari kafilah duduk di belakang. Lalu Heraklius bertanya beberapa pertanyaan padanya.
Sangat jelas dari riwayat tersebut bahwa Raja memanggil penerjemah. Dan penerjemah itu
membacakan suratnya. Dan di dalam surat itu ada ayat dari surat al-Imron. Katakanlah
(Muhammad) "Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat
(pegangan) yang sama antara kami dan kamu bahwa kita tidak menyembah selain
Allah. Itu adalah ayat 64 surat Al-Imron.
Jadi jelas bahwa penerjemah itu menerjemahkan ayat qur'an dan ketika Rasulullah
mengirimkan surat itu, beliau pasti sudah mengetahui hal itu akan terjadi. Dan itu adalah
argumen yang sangat kuat dan langsung terkait.
Ada alasan kedua yang cenderung alasan tidak langsung. Orang Yahudi
menerjemahkan Taurat ke dalam bahasa Arab dan membacakannya pada orang Muslim.
Rasulullah tidak keberatan terhadap hal tersebut, dalam arti melarang umat Islam
mendengarkan itu. Justru beliau memerintahkan mereka untuk tidak menyepakati ataupun
menolak ajaran yang telah kalian dengar. Hadist yang menyatakan itu ada di dalam Al-
Bukhari.
Juga ketika seorang Yahudi membawa pria dan wanita yang berzina ke hadapan
Rasulullah dan meminta keputusan beliau. Beliau menyarankan mereka melihat ke dalam
Taurat, bagaimana tindakan itu menurut Taurat. Dan beliau minta mereka membacanya
dengan keras. Orang itu pasti menerjemahkan bagian dari Taurat, karena tidak akan berguna
membacakan dengan keras pada Rasulullah jika tidak diterjemahkan.
Ada pula riwayat yang menyatakan beliau meminta Zaid bin Tsabit untuk
mempelajari bahasa orang-orang Yahudi, yakni Ibrani. Karena beliau curiga pada kebenaran
terjemahan Taurat yang dikerjakan oleh orang Yahudi. Jadi jelas bahwa beliau tidak mengerti
bahasa Ibrani, Allah tidak memberikan beliau kemampuan untuk berbahasa Ibrani. Riwayat
tersebut menjelaskan bahwa Rasulullah tidak mengerti bahasa Ibrani.
Jika diperbolehkan untuk menerjemahkan Taurat ke dalam bahasa Arab, sedangkan
Taurat adalah kitab suci wahyu Ilahi. Maka, tentunya diperbolehkan juga untuk
menerjemahkan kitab suci dalam bahasa Arab ke bahasa lainnya.
Salah satu argumen yang menanggapi itu adalah dari Ibnu Arabi dalam Maliki
Ahkamul qur'an. Dari ayat 44 surat Fussilat. Dia menggunakan itu sebagai penolakan
pendapat Abu Hanifah. Bunyi terjemahannya, “Dan sekiranya Kami jadikan Qur'an

4
Islamic Online University Tafsir 101

sebagai bacaan dalam bahasa selain bahasa Arab niscaya mereka mengatakan,
‘Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya agar kami bisa mengerti.’” Frase 'supaya kami
bisa mengerti' ditambahkan oleh penerjemahnya, bahasa asing sedang (rasul adalah orang)
Arab? Ibnu Arabi menganggap ayat tersebut adalah dasar untuk pendapatnya bahwa qur'an
tidak boleh diterjemahkan.
Menurut saya, ayat tersebut tidak berhubungan dengan alasannya. Karena itu akan
kembali pada apa yang telah kami nyatakan bahwa pada awalnya target pendengarnya adalah
bangsa Arab jadi tidak masuk akal bila menggunakan bahasa asing.
Jadi ayat itu justru dapat dipergunakan untuk menolak pendapat yang menolak adanya
terjemahan, seperti pendapat Arabi. Seperti halnya orang Arab, sangat konyol bagi mereka
jika mendapatkan ajaran dalam bahasa yang tidak mereka pahami. Sama halnya bagi mereka
yang tidak mengerti bahasa Arab, maka masuk akal bagi mereka untuk mendapatkan
terjemahan Al Qur'an dalam bahasa yang dapat mereka pahami.
Sekarang terkait pendapat Hanafi berkaitan dengan terjemahan tertulis. Mereka
mengijinkan terjemahan Al Qur'an tertulis hanya jika teks bahasa Arabnya juga ditulis
sebagai pembanding. Hal itu menyebabkan adanya genre atau ragam penerjemahan Al
Qur’an dimana ada baris teks dalam bahasa Arab kemudian di samping atau di bawahnya
dalam bahasa lain. Jadi baris-baris teks Al Qur'an dalam tulisan Arab, dan di selang-selingnya
adalah terjemahannya.
Alasan dari persyaratan itu adalah sebagai perlindungan. Ada kekhawatiran bila hanya
dituliskan versi terjemahannya, maka bangsa non Arab akan lupa teks aslinya. Ada
kemungkinan bahwa mereka dapat lupa bahwa qur'an diturunkan dalam bahasa Arab, itulah
yang disebut Al Qur'an. Sedangkan terjemahannya bukanlah Al Qur'an. Dan jika teks bahasa
Arabnya tidak ada, maka manusia bisa saja memiliki pemahaman yang salah akan terjemahan
sebagai Al Qur'an. Untuk mencegah itu, maka teks berbahasa Arabnya harus ditulis dalam
terjemahan Al Qur'an.
Permasalahan tentang terjemahan Al Qur’an kembali memanas pada tahun 1920.
Terjemahan Al Qur'an tidak pernah menjadi lazim di dunia Islam. Hal itu menjadi isu yang
memanas pada tahun 1920 pada saat Kemal At-Taturk menghapuskan kekhilafahan. Dia
melakukan upaya tradisional untuk menghilangkan jejak bahasa Arab dari bahasa Turki dan
keseharian bangsa Turki.
Jadi dia menerapkan beberapa saran yang diberikan oleh penganut sekulerisme
nasionalis Turki kepada sang diktator. Untuk beberapa saat, adzan dikumandangkan dalam
bahasa Turki. Saya tidak tahu sampai seberapa jauh mereka menggantikan bahasa Arab
dengan Turki, kaitannya dengan ritual ibadah. Tetapi sangat terkenal bahwa mereka melarang
teks-teks berbahasa Arab. Dengan demikian, mereka memutus rantai generasi Turki
selanjutnya untuk dapat membaca literatur yang diproduksi pada manuskrip Turki Utsmani.
Naskah harus diterjemahkan ke dalam alfabet romawi atau ditulis ulang dalam huruf
romawi untuk pendidikan bangsa Turki setelah tahun 1930, supaya dapat dipahami.
Tujuannya sangat jelas yaitu mereka ingin menjauhkan bangsa Turki dari semua warisan
intelektual tersebut. Supaya mereka beralih bercermin pada peradaban Eropa dan menjadi
bagian dari itu.

5
Islamic Online University Tafsir 101

Sebagai tanggapan langkah-langkah itu maka para ulama di Mesir dan Syiria
mengeluarkan fatwa yang keras yaitu bahwa orang-orang yang terlibat dengan terjemahan Al
Qur'an ke dalam bahasa Turki, Inggris, atau lainnya, maka mereka termasuk sesat.
Akan tetapi fatwa tersebut harus dipahami dalam konteks sejarah, berkaitan dengan
sejarah pada saat itu. Saya berpikir bahwa ini adalah persoalan yang tadinya muncul dan
kemudian tidak menjadi persoalan lagi.
Tapi sekitar sebulan lalu saya membaca sebuah artikel. Artikel itu memberitakan
beberapa orang yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan di Afganistan. Karena
menerbitkan terjemahan Al Qur'an tanpa teks Arabnya, tapi dalam bahasa lokal daerahnya.
Artikel yang ditulis oleh Associate Press tidak menyebutkan bahasa lokal apa yang digunakan
pada terjemahan itu. Saya hanya menebak mungkin ke dalam bahasa Kasfu.
Yang terjadi adalah seseorang meletakkan sebuah kotak dengan beberapa buku di
salah satu masjid di Kabul. Di kotak itu ada pesan tertulis kepada imam, bahwa salah satu
buku itu adalah terjemahan Al Qur’an dan meminta bantuannya. “Dapatkah Anda melakukan
proyek ini yaitu menerbitkannya dan menyebarkannya. Hal ini akan membantu banyak warga
Afganistan. Mereka dapat melafalkan Al Qur’an tapi tidak memahami artinya.” Maka Imam
itu mengajak beberapa orang dan mereka bekerja bersama mengerjakan terjemahan itu dan
menerbitkannya sampai 1000 buku.
Beberapa ulama konservatif menyadari hal itu dan mengajukan keberatan dengan
menyatakan imam itu telah kafir dan menjadi musuh Islam. Ketika kontroversi itu memanas,
dia mencoba untuk meninggalkan negaranya tapi dia ditahan. Dia dan koleganya
mendapatkan hukuman mati, dan empat orang lainnya dijatuhi hukuman lebih ringan. Dan
kasus itu mengundang banyak protes.
Berdasarkan artikel tersebut, saya tidak yakin apakah disebutkan adanya keberatan
terhadap isi dari terjemahan itu. Akan tetapi yang pasti keberatannya adalah karena dicetak
tanpa teks Arabnya.
Logika para ulama yang mengambil posisi bahwa teks Arab harus ada pada
terjemahan Al Qur'an, hal ini dapat diterima. Akan tetapi untuk memberikan hukuman mati
kepada orang yang menerbitkan terjemah Al Qur'an tanpa teks Arab adalah berlebihan
menurut pendapat saya.
Menurut saya hal itu juga memberi kesan pada orang yang percaya bahwa jika hukum
Islam diterapkan bearti hukum Islam itu diterapkan selalu berdasarkan penafsiran. Lalu siapa
yang menafsirkan? Tentu para ulama. Oleh karena itulah, ada banyak orang yang takut
dengan diterapkannya hukum Islam karena penafsiran semacam itu. Allah Maha Mengetahui.
Mari kita beralih pada topik yang berkaitan dengan teknis penerjemahan secara
umum. Poin pertama, terjemahan teks apapun dari satu bahasa ke bahasa lainnya akan
menyebabkan hilangnya sesuatu yang ada pada bahasa asli teks itu. Tanpa diragukan lagi ini
menyebabkan akan ada informasi yang hilang. Tidak tergantung pada teks apapun, dan
bahasa apa pun, akan selalu ada informasi yang hilang pada proses penerjemahan. Hal ini
seperti yang terjadi pada sains bila kalian mengubah energi dari satu bentuk ke bentuk
lainnya. Selalu ada beberapa energi yang hilang dalam proses tersebut.
Ketika membahas terjemahan, beberapa fitur yang tidak akan dapat dijumpai pada
versi terjemahannya. Ada suara yang tertulis, khususnya pada puisi dan prosa; tidak satupun

6
Islamic Online University Tafsir 101

fitur itu dapat dipindahkan dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Misalnya dalam bentuk kata
kerja.
Saya pernah membaca artikel yang ditulis seorang nasrani yang terlibat dalam proses
penerjemahan Injil ke dalam bahasa dunia minor. Terutama bahasa yang digunakan hanya
oleh sebagian kecil orang di dunia. Dia membahas bahasa suku Indian di Meksiko. Bentuk
normal dari kata di dalam bahasa tersebut adalah dalam bentuk pasif. Mereka hanya
menggunakan bentuk aktifnya bila ada kebutuhan khusus, untuk menarik perhatian. Untuk
menarik perhatian bila ada penekanan lebih atau gagasan yang ingin ditekankan oleh penutur.
Penulis artikel itu menyatakan bahwa jika seseorang hanya menerjemahkan teks
secara harfiah saja. Semuanya diterjemahkan ke dalam bentuk aktif. Kemudian penutur asli
bahasa itu akan sangat kebingungan. Mengapa mereka ingin menarik perhatian? Hal apa yang
ingin ditekankan pada setiap kalimat di kitab tersebut? Jadi bahkan hal semacam itu dapat
berdampak besar.
Jika kita melihat jenis-jenis teori penerjemahan, teori-teori itu menyebutkan ada
empat jenis terjemahan.
Pertama, terjemah harfiah kata demi kata. Penerjemah seperti ini, biasanya tidak
terlalu memahami bahasa terjemahannya. Ada bahasa asal dan bahasa terjemahan. Bahasa
terjemahan adalah bahasa yang menjadi tujuan akhir penerjemahan teks asli. Jadi ketika
seseorang tidak mengetahui bahasa terjemahannya dengan baik, maka dia akan merujuk pada
kamus. Mereka akan mencari arti kata, kadang mereka menemukan 6 arti dan kemudian
memilih satu diantaranya.
Sayangnya cara ini kemungkinan besar adalah metodologi yang digunakan Darul fikr.
Apapun yang saya lihat dari Darul fikr, akar kata dalam terjemahan Arab ke Inggris
menunjukkan adanya masalah tersebut.
Ketika saya menjadi pelajar bahasa Arab di Madinah, Suatu saat saya pergi ke sebuah
pojok toko, Maqala, untuk membeli batere. Saya membuka kamus bahasa Inggris-Arab untuk
mencari kata batere, dan dalam bahasa Arab disebut midfah. Jadi saya meminta kepada
pelayan toko untuk midfah. Midfah adalah perapian, karena salah satu arti dari kata batere
adalah perapian. Kata itu adalah satu-satunya arti yang ada di kamus. Dan penjual itu melihat
ke arah saya seolah-olah saya gila. Jadi jika ada seseorang dengan kemampuan pada tingkat
seperti itu mengerjakan terjemahan, tentunya hasil yang didapatkan tidak dapat dipahami.
Jenis selanjutnya yang sedikit lebih baik dari itu adalah terjemahan harfiah yang
mengupayakan agar hasil terjemahan tetap sesuai dengan struktur asal dalam bahasa asli.
Struktur dalam bahasa asli sebanyak mungkin dipertahankan dalam bahasa terjemahan. Itulah
yang saya temukan pada terjemahan Al Qur'an versi sahih internasional. Meskipun Al Qur'an
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris modern, dalam hal ini masih lebih baik daripada versi
Pickthall atau Yusuf Ali, menurut pendapat saya. Karena ada upaya mempertahankan bentuk
dalam bahasa Arabnya sampai-sampai strukturnya menjadi janggal. Terkadang, terlintas di
pikiran saya mengapa mereka memilih kata itu di dalam susunan kalimat itu.
Kemudian jenis selanjutnya adalah seperti kebalikan dari jenis kedua. Jadi jenis ketiga
adalah adanya penekanan yang besar dalam mempertahankan gagasan dalam teks asli. Tetapi
juga ada penekanan dalam mengungkapkan dalam bentuk yang berbeda (parafrase) sebanyak
mungkin. Ketika ada perbedaan antara teks dalam bahasa asli dan bahasa terjemahan dalam
hal struktur atau yang lainnya, maka susunan atau struktur dalam bahasa terjemahan menjadi

7
Islamic Online University Tafsir 101

prioritas. Sehingga kalimat yang diterjemahkan tetap akan mengalir dengan baik di dalam
bahasa terjemahan.
Kemudian pada jenis tertinggi adalah terjemahan yang memiliki kebebasan dalam hal
mengungkapkan frase-frasenya. Sampai-sampai sejumlah besar bagian dari makna aslinya
menjadi hilang atau berubah.
Jadi dari empat jenis terjemahan ini, maka jenis yang ketiga adalah yang seharunya
menjadi tujuan penerjemah.
Beberapa masalah yang berkaitan dengan penerjemahan dari bahasa Arab secara
umum, dan khususya Al Qur’an di antaranya sebagai berikut. Bahasa Arab memiliki bentuk
mudhari’, atau bentuk tidak sempurna. Tindakan belum selesai pada saat disebutkan, jadi
dapat mengindikasikan sekarang atau kalimat untuk perbuatan di masa yang akan datang.
Jadi bentuk tersebut bisa berarti bentuk present dan future. Jika kalian menerjemahkannya
dalam bahasa seperti bahasa Inggris, kalian harus memilih salah satunya. Dengan demikian
kalian akan menghilangkan kemungkinan yang satunya.
Al Qur'an secara khusus memiliki fitur ltifaat, peralihan kata ganti. Hal itu sangat
membingungkan jika kalian menerjemahkannya. Al Qur'an juga memiliki tanda pengganti,
yaitu ketika beberapa hal tidak disebutkan karena itulah gaya bahasa arab pada masa itu. Jadi
langsung pada pokok masalah, sehingga menghilangkan bagian apa pun yang sudah diketahui
maksudnya dengan sendirinya.
Mereka (para penutur asli Bahasa Arab) dapat memahami apa yang tidak disebutkan
dari susunan kata yang ada. Jadi tidak disebutkan kata-kata yang tidak penting. Itulah ciri
yang mencolok dari bahasa Arab dan akan terdengar aneh ketika diterjemahkan ke bahasa
lain, yang dapat dikenali dengan adanya kata-kata di dalam kurung.
Sekarang kita meninjau sejarah terjemahan Qur'an dalam bahasa Inggris. Terkait
dengan penerjemahan qur'an ke dalam bahasa-bahasa Eropa, pertama kali Al Qur'an
diterjemahkan adalah ke dalam bahasa latin. Hal itu sangat jelas jika menilik dari kapan
pertama kali dilakukan penerjemahan itu.
Abbot Clooney adalah yang mendapatkan tugas menerjemahkan, ia merupakan
seorang pendeta dari Perancis.
Jika kalian mengingat dan pernah membaca tentang perang salib. Kalian akan tahu
bahwa Perang Salib itu dimulai dari Perancis. Perang salib ini dikenal sebagai pergerakan
popular atau pergolakan yang menghasut, “mari kita mengusir mereka dari tanah yang
dijanjikan atau tanah yang suci.”
Pergolakan itu dimulai dari Perancis. Sebagian besar pasukan berasal negara ini. Dan
pada akhirnya kaum bangsawan Perancislah yang menjadi penguasa Yerusalem dan kota-kota
di bawah kekuasaannya. Hal itu dalam rangka menguasai atau menduduki Palestina (Baitul
Maqdis).
Jadi Abbot Clooney mendapatkan tugas untuk menerjemahkan Al Qur'an ke dalam
bahasa Latin. Tujuan penerjemahan ini adalah untuk mengenal musuh lebih baik dan supaya
dapat mengalahkan perdebatan dengan mereka. Ini merupakan salah satu strategi psikologis
yang bertujuan untuk menyebarkan propaganda perang melawan Islam, dan sejenisnya.
Penerjemah utama yang menerjemahkan Al Qur'an adalah seorang berkebangsaan
Inggris, bernama Robert Ketton. Ternyata dia mendapatkan bantuan dari penutur bahasa Arab
bernama Muhammad. Sayangnya dari apa yang saya baca, tidak ada informasi apapun

8
Islamic Online University Tafsir 101

tentang pria itu kecuali namanya. Seandainya saja ada orang yang menuliskan tentang pria itu
siapa dan apa yang dia pikirkan saat melakukan proyek itu.
Alasan mereka memilih bahasa Latin, karena itu adalah bahasa universal yang
digunakan oleh kalangan berpendidikan Eropa pada masa itu.
Penerjemahan itu diselesaikan pada tahun 1143, tentu saja penugasannya telah
diberikan sebelum tahun tersebut. Pada saat itu belum ada perusahaan penerbitan. Dan pada
akhirnya terjemahan Latin itu dicetak pada tahun 1543 dan disebarkan. Jadi pencetakan itu
termasuk awal dalam sejarah percetakan, karena termasuk dicetak pada masa awal
ditemukannya printer.
Setelah itu ada terjemahan Latin lagi pada tahun 1698 oleh seorang nasrani bernama
Marraci. Sekali lagi, tujuan dari penerjemahan ini masih sama dengan yang sebelumnya,
yaitu digunakan untuk perang propaganda melawan muslim.
Terjemahan bahasa Inggris pertama dikerjakan oleh Alexander Rose terbit tahun
1649. Terjemahan ini merupakan terjemahan dari Bahasa Perancis. Dalam terjemahan ini dia
mencoba menanamkan ketakutan atau kecurigaan. Siapa yang membaca bukunya akan
berpikir apa yang sedang dia lakukan.
Jadi dia mengatakan supaya tidak ada seorang pun yang akan terperangkap pada hal
yang menurut dia racun. Siapapun akan membaca ini karena telah ada banyak terjemahan Al
Qur'an yang diterbitkan. Tidak ada orang Eropa yang menjadi Muslim jadi tidak perlu takut.
Kutipannya mensifati Al Qur'an sebagai racun di mana isinya mempengaruhi sebagian besar
belahan dunia.
Jadi dia ingin orang-orang mengerti mengapa, apa yang terjadi dengan orang-orang
tersebut. Bagaimana mereka menemukan, apa yang mereka temukan dalam pengaruh itu.
Itulah alasan yang ia gunakan untuk membela dirinya terhadap perdebatan yang mungkin
muncul dalam motif ini.
Pada abad berikutnya ada George Sale, berkebangsaan Inggris. Dia merasa tidak puas
dengan terjemahan Al Qur'an yang telah ada di dalam bahasa-bahasa Eropa. Semua orang
setuju bahwa terjemahan Alexander Rose buruk sekali. George Sale mengerjakan terjemahan
tapi dia sendiri tidak menguasai bahasa Arab, jadi hasilnya sangat buruk. Sale sebenarnya
mengalami kendala dalam belajar bahasa Arab. Dia mengkritisi terjemahan-terjemahan yang
ada dan menurutnya terjemahan itu tidak adil. Mengapa tidak adil? Karena terjemahan yang
ada hanya menuruti pendapat yang paling diinginkan dibandingkan dari aslinya. Jadi kurang
lebih sama (kualitas terjemahannya dengan yang sudah ada).
Kemudian berabad-abad kemudian, bermunculan terjemahan demi terjemahan yang
dikerjakan orientalis. Salah satu hal yang mulai dilihat pada tahun 1800an adalah terjemahan
yang menyusun ulang teksnya. Seorang orientalis Jerman, Noldeke, perkiraan saya 1860.
Bahkan mungkin jauh sebelum itu. Dia mencoba mengidentifikasi susunan kronologis dari
surat-surat. Jadi J. M. Rodwell, seingat saya dia merujuk pada hal itu atau semacamnya. Pada
tahun 1861 dia menuliskan terjemahan yang disusun secara kronologis.
Pada tahun 1950 ada N.J. Dawood seorang Yahudi Irak datang ke Inggris untuk
kuliah dan menjadi penerjemah sekaligus menjadi guru atau professor. Dia menerbitkan versi
terjemahannya dengan penerbit Penguin. Versinya adalah terjemahan Al Qur'an pertama
dalam bahasa Inggris modern.

9
Islamic Online University Tafsir 101

Kembali lagi, terjemahannya disusun dengan beberapa upaya untuk menyusun


kronologis melalui pengaturan ulang. Tetapi para pemberi ulasan memberi catatan bahwa
terjemahan itu tidak seperti susunan kronologis terjemahan yang dibuat orang lain.
Susunannya cenderung sewenang-wenang dan tidak beraturan.
Kemudian penghinaan yang paling parah terhadap susunan Al Qur'an adalah yang
dilakukan oleh Richard Bell pada tahun 1937. Dia sepenuhnya menyusun ulang tidak hanya
surat tapi juga ayat. Tidak hanya itu, dia juga memisahkan ayat-ayat. Dan memindahkan ayat
satu ke ayat lainnya. Jadi jika kalian ingin mengetahui gagasan aslinya, tidak akan kalian
dapatkan dari versi Richard Bell. Komentar terbaik yang dapat kalian katakan tentang
terjemahannya adalah ini adalah tebakan susunan kronologisnya Richard Bell.
Kemungkinan terjemahan terbaik dari versi orientalis adalah karya A.J. Arberry.
Terjemahan itu diterbitkan tahun 1955. Tentu saja ada polemik dari terjemahannya. Saya
mengikutinya satu atau dua kali. Tapi saya tidak melihat alasan untuk sepenuhnya
mengabaikan terjemahan yang dikerjakan oleh orang muslim sendiri. Dia adalah professor
bahasa Arab di University Cambridge.
Jika kita meninjau terjemahan karya Muslim, Qadiyani (Ahmadiyah) sangat aktif
dalam menerjemahkan. Muhammad Ali, pada tahun 1916, dia adalah salah satu pemimpin
dari dua kelompok Qadiyani yang terpecah. Mereka adalah pengikut dari Ghulam Ahmad
yang sepenuhnya sesat karena dia mengklaim sebagai nabi. Dia adalah antek Inggris di India.
Setelah kematiannya, sektenya terpecah menjadi dua kelompok. Satu diantaranya
mengakui bahwa dia adalah nabi dan mengklaim sebagai nabi. Sedangkan kelompok lainnya
mengatakan bahwa dia tidak benar-benar seorang nabi, kelompok ini lebih lunak.
Pada intinya Muhammad Ali adalah pemimpin dari kelompok Lahore. Terjemahannya
memuat banyak catatan kaki dimana dia menjelaskan semua hal yang bersifat mukjizat.
Semua itu berkaitan dengan gagasan Inggris abad 19 tentang sains dan rasionalitas. Sangat
menarik bahwa bangsa Islam sangat tergantung pada terjemahan Muhammad Ali selama
beberapa waktu.
Seorang penutur asli muslim yang pertama menerjemahkan Al Qur'an ke dalam
bahasa Inggris adalah Muhammad Marmaduke Pickthall. Dia memeluk Islam pada tahun
1914. Dia menghabiskan beberapa tahun hidupnya di Levak, antara Syiria dan Lebanon dan
sekitarnya. Dia juga tinggal di Mesir beberapa lama. Jadi dia belajar bahasa Arab disana dan
kembali ke Inggris.
Dia berjalan ke masjid dan bertemu dengan seorang India yang merupakan imam
masjid. Ketika imam India itu kembali ke negaranya pada tahun 1919. Dia meminta
Muhammad Pickthall untuk menjadi imam di masjidnya.
Jadi ketika dia memberikan khutbah atau ceramah dan dia ingin mengutip ayat Al
Qur'an, Mungkin dia membaca lafadz Arabnya dan lalu membacakan terjemahannya. Dia
menyebutkan bahwa saat membaca terjemahan yang telah ada, dia mendapati semuanya
bermasalah. Sehingga dia terpaksa menerjemahkannya sendiri.
Orang-orang mulai mendatanginya setelah khutbah dan bertanya dimana mereka bisa
mendapatkan terjemahan itu. “Darimana Anda dapat terjemahan itu, bisakah saya mendapat
salinannya?” Dia menjawab, “Maaf tidak ada salinannya.”
Dari situ dia mulai berpikir dengan serius untuk mengerjakan terjemahan versinya.
Lalu, dia mendapatkan pekerjaan sebagai editor sebuah koran di Mumbai. Di sana ia bertahan

10
Islamic Online University Tafsir 101

beberapa tahun, setelah itu ia masih di India dan berbincang dengan manajer dari penerbit
Associate Press. Dia berada di India dan menurut saya manajer itu adalah seorang muslim
India.
Jadi Pickthall mengatakan padanya bahwa dia sedang mempertimbangkan untuk
menerjemahkan Al Qur'an ke dalam bahasa Inggris. Di hari berikutnya, cerita itu tersebar
luas menjadi berita di surat kabar India. Kemudian seorang Nizam (semacam gelar untuk
penguasa) dari Hyderabad tertarik padanya, dan mempekerjakan Pickthall sebagai kepala
sekolah menengah. Itu adalah sekolah swasta milik Nizam.
Setelah melihat bukti terjemahannya, kemudia dia memberikan Pickthall cuti selama
2 tahun untuk menyelesaikan terjemahannya. Dia menyelesaikannya pada tahun 1930.
Ia terlibat dalam negosiasi dengan penerbit dari Inggris yaitu untuk menerbitkannya
harus menuliskan teks Arabnya di samping versi terjemahannya. Dan hal itu menyebabkan
dibutuhkannya biaya pengeluaran ekstra sehingga negosiasi itu akhirnya batal. Pada akhirnya
terjemahan itu diterbitkan di India. Tapi sayang sekali Pickthall meninggal sebelum dia dapat
melihat terjemahannya diterbitkan dalam bentuk buku. Dia meninggal dan cetakan pertama
bukunya terbit tahun 1938.
Sekalipun demikian terjemahan Yusuf Ali lebih banyak digunakan daripada
terjemahan Pickthall. Yusuf Ali adalah seorang Muslim yang berkebangsaan India dengan
kemampuan bahasa Inggris yang cukup fasih. Dia kuliah di Universitas Bombay, lalu
melanjutkan ke Inggris dan kembali ke India untuk bekerja sebagai pegawai negeri sipil
selama 20 tahun.
Setelah pensiun dia kembali ke Inggris untuk mengajar di sekolah orientalis di
London. Hal itu berjalan beberapa tahun dan sampai akhirnya dia bekerja untuk posisi
semacam menteri keuangan di Nizam Hyderabad. Dia bekerja disitu selama beberapa tahun
lalu pada akhirnya dia menjadi rektor di sekolah ilmu-ilmu Islam di Lahore.
Ketika di Lahore, dia berbicara dengan beberapa orang dari penerbitan. Dan dia
mengungkapkan ketertarikannya untuk membuat terjemahan Al Qur'an dalam bahasa Inggris.
Ada orang yang tertarik dan mengatakan, “Mari kita mulai.”
Jadi dia menerjemahkan satu juz setiap tiga bulan. Dan mereka segera
menerbitkannya. Jadi dia menerbitkannya per juz pada saat itu. Meskipun dia mulai
mengerjakan terjemahan setelah Pickthall menyelesaikan terjemahannya. Tapi terjemahan
Yusuf Ali terbit lebih dulu daripada terjemahan Pickthall. Terjemahannya diselesaikan pada
tahun 1937 lalu mereka menggabungkan semuanya sebagai satu buku.
Meski tampaknya dia tidak pernah belajar bahasa Arab secara formal. Maksud saya,
dia tidak belajar di Madrasah. Tapi dia menyebutkan bahwa ayahnya mengajarkan bahasa
Arab saat dia berumur 4-5 tahun. Dan dia cukup fasih. Maksud saya baik Pickthall ataupun
Yusuf Ali, keduanya menggunakan bahasa Inggris kuno sehingga sulit untuk dibaca. Ada
banyak z dan vokal.
Saya memiliki terjemahan versi Pickthall yang saya download dari internet.
Terjemahan itu harus saya ubah sebanyak mungkin terutama pada kata-kata kuno. Kalian
harus mengganti kata-kata itu. Jadi sekarang lebih dapat dipergunakan tapi masih kuno dalam
susunan kata-katanya.
Dan saya yakin Yusuf Ali memiliki banyak penambahan, karena dia menambahkan
banyak catatan kaki. Ada banyak kritik terhadap catatan kakinya. Beberapa gagasan

11
Islamic Online University Tafsir 101

alturisme, penjelasan dari mukjizat, aspek fisik dari surga. Ada beberapa ulama yang
merupakan penutur asli Inggris di Afrika Selatan, menuliskan daftar keberatan terhadap
catatan kakinya. Beberapa edisi terbarunya telah direvisi. Selain itu harus juga disebutkan ada
cetakan terjemahan Pickthall dan Yusuf Ali yang kata-kata kunonya sudah dihilangkan.
Terjemahan Al Qur'an yang mulai tersebar luas pada tahun 1980an disukai oleh
masyarakat karena menggunakan bahasa Inggris modern. Dan juga karena terjemahan itu
memiliki catatan kaki yang diambil langsung dari shahih al-Bukhari. Semua yang disebutkan
Bukhari sebagai penafsiran ayat tertentu dimasukkan ke dalam catatan kaki. Ini merupakan
sesuatu yang positif dan inilah terjemahan Muhammad Hilali dari Maroko dan Muhsin Khan.
Muhsin Khan, sepengetahuan saya dari Afganistan atau Pastun, seorang yang berasal
dari Pakistan. Dan dia masih hidup dan tinggal di Madinah. Seumur hidupnya dia tinggal
disana.
Terjemahan tersebut terbit pada tahun 1974 diterbitkan di Turki. Setelah itu telah
dicetak ulang berkali-kali. Versi aslinya hampir tidak dapat dibaca. Karena setiap kali ada
istilah misalnya seperti taqwa, iqomatish sholah. Istilah yang berulang-ulang. Setiap kali
istilah itu muncul pada terjemahan, akan ada penjelasan yang sama panjangnya dituliskan di
dalam kurung di dalam teks tersebut. Jadi jika kalian sedang membaca lalu menemukan
penjelasan tanda kurung itu, akan mengalihkan konsentrasi kalian dari apa yang ada di teks
asli.
Sementara itu terjemahan Yusuf Ali dan Pickthall juga diberikan penafsiran, tapi
mereka menjaga pendapatnya terpisah dari bagian terjemahannya. Jadi akses kalian terhadap
teks aslinya lebih langsung pada terjemahan Pickthall dan Yusuf Ali.
Sedangkan pada terjemahan Muhsin Khan dan Hilali, penafsiran mereka tercampur
baur dengan teks terjemahan. Jika kalian tidak memiliki kemampuan bahasa Arab, kalian
harus menebak kapan harus berhenti atau mulai. Ini terkait beberapa masalah pengulangan
tersebut.
Ada pula masalah lain yaitu ada banyak sekali informasi yang membuat kalian sulit
memahami ada dasar logika mereka. Beberapa masalah itu sudah dijawab pada edisi yang
terbaru. Tetapi terjemahanya masih dengan format yang sama.
Muhammad Asad pada tahun 1980an menerbitkan yang disebut "Message of
Qur'an". Yaitu terjemahan Al Qur'an yang dilengkapi catatan kaki. Pada awalnya dia adalah
Yahudi Austria yang bekerja sebagai penulis surat kabar paruh waktu. Saat itu di masa
Perang Dunia I, dan ia akhirnya memeluk Islam pada akhir 1920an.
Dia menuliskan buku tentang puasa dan buku The Road to Mecca. Buku tersebut
mewakili titik awal perkembangan intelektualnya. Pada suatu ketika dia pernah mewakili
Pakistan di PBB, perjalanan karirnya sangat menarik. Di akhir hidupnya dia tinggal di area
terisolir yaitu Gibraltar. Hal ini merupakan pilihan menarik karena itu merupakan posisi
ujung daerah Islam tetapi antara Eropa dan Maroko.
Hal menarik tentangnya adalah dia merupakan seorang penganut rasionalis, Neo-
Mu’tazilah. Sehingga secara umum dia tidak mempercayai mukjizat. Tetapi dia bahkan
melangkah lebih jauh dari itu dan berpendapat misalnya tentang kisah Nabi Sulaiman bahwa
beliau berbicara dengan semut dan burung hud-hud. Semua hal berkaitan dengan kisah Nabi
Sulaiman, menurutnya adalah cerita rekaan yang tujuannya adalah sarana pembelajaran. Jadi

12
Islamic Online University Tafsir 101

menurutnya kisah itu dibuat dalam rangka untuk menarik perhatian audience yang ada pada
masa itu dengan simbol yang dapat mereka akses.
Ini merupakan takwil dan tahrif yang cukup berat. Yang jelas pendapat itu
bertentangan dengan Al Qur'an dan Sunnah karena Al Qur'an mengatakan bahwa kisah-kisah
ini bukan rekaan melainkan bukti sejarah. Mempertimbangkan akibat yang mungkin timbul
dari mempelajari karya-karyanya. Saya harus mengatakan bahwa beberapa pilihan katanya,
frase yang dia gunakan sangat ekslusif, karya sastra tingkat tinggi.
Dan lagi-lagi sangat menakjubkan bahwa terjemahan itu dikerjakan oleh seseorang
yang bukan penutur asli bahasa Inggris. Terjemahan Bahasa Inggrisnya sangat bagus dan
penggunaan bahasanya sangat ahli. Meski dia mengerjakan terjemahan ke dalam bahasa yang
bukan bahasa aslinya, tapi dia menghasilkan karya yang lebih baik dari terjemahan penutur
asli.
Beberapa contoh aneh tentang pemikiran rasionalisnya, yaitu misalnya pada surat Qaf.
Menurut versi Pickthall pada ayat 17 yaitu, ketika dua penerima mencatat amal perbuatannya,
satu duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di kiri. Secara umum dipahami bahwa ayat
tersebut merujuk pada malaikat yang bertugas mencatat amal. Asad berpendapat dua
penerima adalah "dua tuntutan sifatnya". Lalu Hamim di dalam surat Al-Waqiah ayat 93
diterjemahkan sebagai 'keputus-asa-an yang membakar' dan bukannya air yang mendidih. Itu
adalah makna harfiahnya.
Salah satu alasan mengapa terjemahan terbaru lebih dikenal karena terjemahan Al
Qur'an ke dalam bahasa Inggris baru membumi beberapa tahun terakhir.
Salah satu penerjemah yang tampak menunjukkan kualifikasi luar biasa dalam
menerjemahkan adalah MAS Abdul Halim. Saya menduga dia berasal dari Mesir. Dia
menerjemahkan karya Muhammad Drazz, Introduction to the Qur'an, ke dalam bahasa
Inggris. Dia telah menulis sejumlah artikel tentang Al Qur’an dan penggunaan bahasanya.
Saya juga menduga bahwa bukunya diterbitkan di Inggris dan dia adalah seorang
professor dalam ilmu keislaman atau tafsir atau sejenisnya di institusi pendidikan Inggris.
Terjemahannya berjudul "Al Qur’an." Tidak ada kata-kata yang menyebutkan makna Al
Qur’an atau sejenisnya, hanya berjudul “Al Qur’an.” Jadi seseorang dapat salah menafsirkan
itu. Kemudian dia menuliskan di bawahnya revisi dari terjemahan-terjemahan terdahulu.
Terjemahan ini diterbitkan pada tahun 2004 dan memiliki banyak fitur positif,
menggunakan bahasa Inggris modern. Dia menyusun ayat ke dalam paragraf sehingga
pembaca dapat menghargai pembentukan pemikiran, alur pemikiran. Seringkali setiap ayat
ditampilkan terpisah sehingga kalian mendapat kesan tidak berhubungan. Kalian tidak
mendapatkan kesan alur cerita saat membacanya.
Jadi dia menyusun ayat-ayat ke dalam paragraf, tetapi tidak seperti susunan orang
lain. Dia memberikan nomer pada setiap ayat berupa angka kecil seperti yang digunakan pada
catatan kaki, supercript, untuk menunjukkan nomer di setiap awal ayat. Ini dimaksudkan
sebagai referensi sehingga kalian bisa tahu nomer ayatnya. Tetapi tidak mengganggu
sehingga tidak memutuskan konsentrasi kalian pada alur cerita antar ayat-ayat.
Dia juga menekankan bahwa ada beberapa istilah yang berulang-ulang digunakan Al
Qur’an tetapi tidak bermakna sama. Jadi, dia memberikan perhatian pada makna konstektual
dari istilah-istilah yang berulang. Pada setiap konteks tertentu dijelaskan maknanya sesuai
konteks tersebut. Dia memperhatikan dengan jeli pada penggunaan kata ganti.

13
Islamic Online University Tafsir 101

Kita tahu bahwa Rasulullah kadang dipanggil dengan seruan 'engkau'. Dalam bahasa
arabnya 'anta' atau kadang kita juga bisa melihat dari kata kerjanya bahwa panggilan itu
untuk satu orang. Panggilan 'engkau' itu berganti 'engkau' dalam bentuk jamak. Tapi 'engkau'
untuk jamak tidak ada pada bahasa Inggris.
Contoh bagaimana dia menerjemahkan seperti itu misalnya pada Surat Yunus ayat 61.
In whatever matter you [Prophet] may be engaged and whatever part of the Qur’an you are
reciting, whatever work you [people] are doing, We witness you when you are engaged in it.
Terjemahannya, “Kamu (nabi) tidak berada dalam suatu keadaan—ditambahkan penjelasan
“nabi” dalam tanda kurung—Dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu
(manusia) tidak mengerjakan suatu pekerjaan—dalam tanda kurung manusia—melakukan
suatu pekerjaan, melainkan kami menjadi saksi atas kamu.”
Dia mencoba menunjukkan Iltifaat, yaitu ketika kata ganti berubah di dalam kalimat.
Hal itu kadang dilakukan dengan memberikan garis pemisah diantara kata-kata dari
keseluruhan kata dalam kalimat. Dia juga terkadang memberikan koma, dan memisahkan
kalimatnya menjadi beberapa frase yang lebih kecil.
Hal lain yang dia perhatikan adalah makna asli, harfiah. Dia menerjemahkan hal-hal
ke dalam makna aslinya dan bukan dalam makna bahasa Arab modern. Istilah seperti walad
menurut makna aslinya adalah anak, dan menurut bahasa Arab modern adalah putra, atau
bocah laki-laki.
Misalnya ayat 160 surat Al-Baqarah diterjemahkan Pickthall, “Dan mereka berkata:
"Allah mempunyai anak laki-laki (putra).” Dia mungkin memilih kata tersebut
berdasarkan fakta bahwa itulah makna dari walad saat dia belajar bahasa Arab. Atau mungkin
karena dia berlatar belakang nasrani. Namun, orang Arab mengidentifikasi malaikat sebagai
putri Allah.
Kemudian pada terjemahan Abdul Halim, dia menyatakan, “Mereka telah
menafsirkan bahwa Tuhan memiliki anak. Kemudian dia juga membahas tentang tajri min
tahtihaa al-anhaar. Deskripsi taman surga yang memiliki sungai-sungai di bawahnya, jadi
kalian mendapatkan kesan sungai bawah tanah. Dia menerjemahkannya dengan berbeda,
yaitu sebagai taman yang dihias dengan aliran airnya. Dan saya telah menuliskan hal itu pada
bahan bacaan kuliah kalian sehingga kalian dapat membaca penjelasannya. Dia
mencantumkan sedikit catatan kaki dan menyebutkan bahwa dia banyak merujuk pada karya
Fakhru Razi dan Abu Hayyam. Abu Hayyam adalah ulama Andalusia (Spanyol) yang fokus
pada bahasa Al Qur’an. Selain itu juga karya Al-Badawi. Jadi mereka adalah para ulama yang
menjadi rujukan untuk catatan kakinya.
Jika kita meninjau Tafsir dalam terjemahan bahasa Inggris, tentunya ada Tafsir Ibnu
Katsir yang dihasilkan oleh Dar Salam. Mereka membuat tafsirnya mudah dibaca, karya yang
bagus sehingga tafsirnya dapat dibaca dengan mudah dalam bahasa Inggris. Mereka
menghilangkan banyak pengulangan.
Saya memikirkan beberapa pertanyaan terkait dengan apakah itu satu-satunya kriteria
mereka untuk menghilangkan beberapa hal. Shahih atau tidaknya riwayat juga menjadi
kriteria mereka. Mereka mungkin juga telah menghilangkan beberapa hal terkait alasan
ideologis. Karena hal tersebut tentu dapat menjadi bahan perdebatan.
Tapi pada dasarnya Tafsir Ibnu Katsir adalah tafsir yang sangat direkomendasikan.
Lama sebelum hal itu ada seorang ulama India, ‘Abdul Majid Daryaabaadi. Dia

14
Islamic Online University Tafsir 101

menerjemahkan, sepertinya, penjelasan Al Qur'an ke dalam bahasa Urdu. Saya yakin pada
tahun 1940 -lah dia kemudian membuat terjemahan bahasa Inggrisnya.
Lagi-lagi bahasanya cukup kuno dan rumit, tulisan Arabnya ditampilkan dalam kotak
di bagian atas halaman Setiap terjemahan ayat dalam bahasa Inggris diberi petunjuk awal
kata ayat dalam bahasa Arabnya untuk menunjukkan ayatnya. Dia membuatnya satu per satu.
Dan dia juga mencantumkan catatan kaki dan memberikan penjelasan. Seseorang akan
mendapatkan kesan seperti kepekaannya Abdullah Yusuf Ali. Dia juga menyebutkan banyak
merujuk pada catatan-catatan pada terjemahan George Sales. Dia seringkali mengutip penulis
lain berbahasa Inggris. Hal itu dilakukan untuk membuat konsep Al Qur'an-nya dapat
diterima pembaca berbahasa Inggris pada masanya. Dia sering menampilkan penjelasan
dengan mengutip banyak kisah dari Injil.
Kemudian masih ada satu lagi yang saya lupa siapa nama penulisnya, yaitu tafsir
Ishraaq al-Ma‘aani. Disusun oleh seorang ulama dari India, saya yakin pada sekitar awal
tahun 1980 atau 1990an. Ketika saya mengkaji beberapa ayat pada tafsir ini, misalnya surat
At-Taubah.
Tafsir ini cukup konservatif dan penulisnya sebagian besar merujuk pada lebih dari 30
tafsir klasik dan modern seperti Al-bayan. Dia juga banyak merujuk pada tafsir Al-manar,
Rasyid Ridho. Ketika saya membaca pada tulisannya pada Surat At-taubah, saya tidak
menemukan keberatan apapun.
Tafsirnya mengikuti metodologi dengan mulai dari bil ma'tsur lalu memperkenalkan
isu-isu fiqih. Tafsirnya sangat tersusun rapi dan sistematis. Allah Maha Mengetahui.
Jadi inilah akhir kelas pada mata kuliah ini. Pada sesi selanjutnya langsung kita
membahas beberapa kesimpulan. Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

15

Anda mungkin juga menyukai