Anda di halaman 1dari 11

GHARIBUL QUR’AN

Makalah Ini Ditulis Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Al Qur`an

Dosen Pengampu: Ustadz Hafid Nur Muhammad M. Ag

Oleh : Muhammad Mutawali Sya`rawi

Bima Noorsyam

Kelas : Tadris Bahasa Inggris (TBI) 3

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI


(IAIN)
SAMARINDA2020
I. PENDAHULUAN

Al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad dan kaumnya


dengan menggunakan bahasa Arab, umat Islam diwajibkan untuk
membacanya, mempelajarinya, sekaligus mengamalkannya. Al-Qur’an
diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Akan tetapi, ternyata ada sebagian kata atau lafal di dalam al-Qur’an
yang sulit dipahami, bahkan oleh orang arab sekalipun. Lafal-lafal seperti
inilah yang dipelajari dalam ilmu gharibul qur’an. Gharibul qur’an bukanlah
ayat yang biasa digunakan dalam al-Qur’an, bukan lafalnya melainkan makna
yang terkandung dalam sebuah ayat tersebut.
Rasa penasaran dan kehausan ilmu ini digunakan senjata yang ampuh
oleh al-Qur’an (mu’jizat), sebab tabi’at manusia menyukai hal yang baru dan
unik. Sifat ini dimanfaatkan dalam penyebaran agama Islam dengan
menampilkan sebuah ayat yang sulit dipahami dan unik agar lebih seksama
dalam memahami al-Qur’an. Mengkaji al-Qur’an secara ilmiah dan mendalam
sangatlah perlu dan penting dengan tujuan agar terhindar dari pemahaman
yang salah dan keliru. Disinilah penulis memilih tema gharibul qur’an karena
tertarik dengan makna dari judul tersebut sehingga ingin mempelajari ilmu
tersebut.
II. PEMBAHASAN

1. DEFINISI GHARIBUL QUR’AN


a. Secara Etimologi
Lafal gharib berasal dari kata bahasa Arab yaitu ‫ غرب‬sama dengan makna
‫د‬4‫ بع‬artinya jauh atau asing.1 Gharib memiliki makna yang berfaedah jauh
dari tempatnya dan samar dalam perkataannya.
b. Secara Terminologi
Gharib adalah sesuatu yang samar dari perkataan dan kalimatnya asing
atau laki-laki yang jauh dari keluarganya. Sedangkan ilmu gharibul qur’an
yaitu ilmu yang khusus mempelajari penafsiran lafal-lafal yang samar di
dalam al-Qur’anul karim dan penjelasan makna-makna yang terdapat di
dalam bahasa Arab dan percakapan mereka sehari-hari.

2. OBYEK KAJIAN ILMU GHARIBUL QUR’AN


Obyek pembahasannya yaitu kalimat-kalimat yang terdapat dalam al-
Qur’an yang membutuhkan penafsiran dan penjelasan.

3. URGENSI ILMU GHARIBUL QUR’AN


Bagi para mufassir mengetahui ilmu ini sangatlah penting, tanpa
terkecuali bahkan tidak dibolehkan baginya menafsirkan al-Qur’an jika belum tau
ilmu tersebut. Sebagaimana perkataan Anas bin Malik r.a. : “Tidaklah
didatangkan seorang laki-laki yang bisa menafsirkan kitabulloh selain orang yang
mengetahui ilmu balaghoh kecuali dijadikannya sebagai contoh.” Mujahid
rahimahullah juga berkata : “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada
Allah dan hari akhir berbicara tentang kitabulloh jika ia belum tau tentang
balaghoh arobiyah.” dan Ikrimah juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. berkata
: “Jika kalian bertanya kepadaku tentang gharibul qur’an maka carilah di dalam
syair karena sesungguhnya syair itu diwanul arob.”

1
Ibnu Mandhur, Lisanul Arob, Lebanon : Darul Kutub Ilmiah, hal. 748
Di antara contoh dari ayat gharibul qur’an yaitu diriwayatkan bahwa
Sayyidina Abu Bakar r.a. ditanyai tentang makna lafal ‫ اّبا‬dalam firman Alloh : ((
‫))َو َفاِكَهًة َو َأًّبا‬, lalu beliau menjawab : “Langit mana tempat aku berlindung, dan
bumi mana tempat aku berpijak, kalau aku berbicara yang berkaitan tentang
kitabulloh sedangkan aku tidak mengetahuinya.” Umar bin khattab juga berkata
seperti itu di saat beliau membaca ayat tersebut. Beliau berkata : “Semua ini
telah kita ketahui, tetapi apakah abban itu ?” Kemudian beliau mengangkat
tongkat yang dipegangnya dan berkata : “Inilah yang disebut pemaksaan. Tidak
ada celaan bagimu, wahai putra Ibu Umar, jika tidak mengetahui apakah abban
itu ?” Kemudian beliau menghadap kepada siapa saja yang di sekelilingnya
seraya berkata : “Ikutilah apa yang dijelaskan kepadamu dari sesuatu yang
tercantum dalam kitabulloh ini dan amalkanlah, sedangkan yang tidak kalian
ketahui serahkan kepada Allah.”
Padahal Umar adalah orang Arab yang ahli dalam bidang sastra Arab dan
memiliki bahasa yang paling fasih serta al-Qur’an diturunkan menggunakan
bahasa Arab. Dari peristiwa tersebut dapat kita ketahui bahwa gharibul qur’an
bukanlah hal yang baru, dan memang suatu hal yang sulit untuk dipahami secara
langsung bahkan ulama’ terdahulu tidak mau memberi makna apalagi menafsiri
ayat yang gharib. Mereka lebih memilih untuk me-mauqufkan-nya dan tidak
berpendapat sedikitpun karena kehati-hatiannya.

Ibnu Abbas r.a. berkata : “Tidaklah aku tahu firman Allah Ta’ala :
(( ‫)) َر َّبَن ا اْفَتْح َبْيَنَن ا َو َبْيَن َقْو ِم َن ا ِب اْلَح ِّق َو َأْنَت َخْي ُر اْلَف اِتِح يَن‬2 sehingga aku mendengar anak
perempuannya Dzi Yazin al-Hamiri berkata : “ufatihuka ya’ni uqodhika.” Ibnu
Abbas juga berkata tidaklah aku tau firman (( ‫))َف اِط ِر الَّس َم اَو اِت َو اَأْلْر ِض‬3 sehingga dua
orang Arab yang sedang bertengkar perihal masalah sumur mendatangiku, maka
berkatalah salah satu di antara mereka : “‫ انافطرتها‬ya’ni ‫” ابتدأتها‬

2
Surat al-A’rof : 89
3
Surat Fathir : 1
Datanglah seorang laki-laki dari Hudail kemudian berkatalah Ibnu Abbas
kepadanya : “Apa yang telah fulan lakukan ?” dia menjawab : “ Ia mati dan
meninggalkan 4 anak serta 3 cucu.” Ibnu Abbas berkata : (( ‫َفَبَّش ْر َناَها ِبِإْس َح اَق َوِم ْن َو َر اِء‬
‫))ِإْس َح اَق َيْع ُقوَب‬4

Mengetahui bahasa dan juga gharibul lughoh itu penting untuk


mengetahui tafsir, oleh karena itu al-Khitobi rahimahullah menegaskan di dalam
kitabnya “gharibul hadits” pada bab : “ ‫القول فيما يجب على من طلب الحديث من تعلم كالم‬
‫”العرب وتعريف مذاهبها و مصارف وجوهها‬. Ia juga berkata dalam kitabnya : “sendinya
perkara itu di dalamnya mengandung kebutuhan diantaranya 3 bab yaitu
amsilatul asma`, abniyatul af’al dan jihatul i’rob.”

Sesungguhnya barang siapa yang tidak berhukum atas dasar pondasi ini
maka tidaklah sempurna, karena sesungguhnya ia adalah muatan bagi ilmu atau
periwayatan untuk ilmu dan barang siapa yang berhukum dengan bebas, maka
sesungguhnya hal tersebut menjadikan sesuatu yang merusaknya lebih banyak
daripada sesuatu yang memperbaikinya. Contoh seperti ini sebagaimana yang
dikatakan di dalam ma’rifah gharibul qur’an, sesungguhnya kesalahan yang
terjadi yaitu kesalahan dalam menafsirkan dan jauhnya dari kebenaran sehingga
menjadi masalah besar. Maka sungguh ketika Abu al-Aliyah ar-Riyahii ditanyai
tentang makna firman Allah Ta’ala : (( ‫))اَّلِذ يَن ُهْم َع ْن َص اَل ِتِهْم َس اُهوَن‬5 maka ia menjawab
: “Dialah orang yang mengingkari sholat dan ia tidak mengetahui tentang syafa’at
atau balasannya, berkatalah al-Hasan : “Diamlah,, wahai Abu al-Aliyah ! bukan
seperti itu, akan tetapi orang-orang yang lalai waktu sholat sehingga mereka
melewatkannya begitu saja, ingatlah !! kamu lihat firman-Nya : “ ‫”َع ْن َص اَل ِتِهْم‬.
Maka tatkala Abul Aliyah tidak mentadabburi antara huruf ‫ فى‬dengan ‫ عن‬maka al-
Hasan mengingatkannya yang dimaksud Abu Aliyah itu ‫ فى صالتهم‬seandainya ia
mengatakan ‫ عن صالتهم‬itu menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah menyia-
nyiakan waktu.
4
Surat Hud : 71
5
Surat al-Maun : 5
Oleh karena itu Ibnu Qutaibah berkata pada firman Allah Ta’ala : (( ‫َو َم ْن َيْعُش‬

‫ ))َع ْن ِذ ْك ِر الَّرْح َٰم ِن‬sesungguhnya orang yang memperhatikan : apabila ia melihat.


6

Kesalahan dalam hal tersebut yaitu maknanya berpaling bukan memperhatikan,


sungguh itu keliru karena ia tidak membedakan antara berpaling pada sesuatu
dengan berpaling dari sesuatu.

Abu Ubaidah berkata pada firman-Nya : (( ‫))َو َأْص َبَح ُفَؤ اُد ُأِّم ُم وَس ٰى َفاِرًغ ا‬7, ia
berkata kosongnya kesedihan karena ia mengetahuinya bahwa sesungguhnya
Musa tidak tenggelam dan darinya ( ‫ )دم فراغ‬yakni tidak ada tebusan dan juga tidak
ada diyat. Sebagian sastrawan Arab berkata : Abu Ubaidah melakukan kesalahan
dalam memberi makna, seandainya memang tanpa bersedih, ada firman Allah : “
‫ ”َلْو اَل َأْن َرَبْطَنا َع َلٰى َقْلِبَها‬karena hampir-hampir ia menampakkan rahasia Musa.

Imam az-Zarkasyi rahimahulloh berkata setelah mengetahui kabar ini :


“Bab ini sangatlah penting dan dari sinilah banyak di antara para salaf
memuliakan tafsir qur’an dan mereka lebih memilih diam atau meninggalkannya
ketika ditanya tentang gharibul qur’an karena khawatir akan tergelincir terhadap
kesalahan dari yang ia maksud, padahal para ulama’ itu faqih dalam ilmu diin.

4. PERKEMBANGAN DAN PERIODESASI GHARIBUL QUR’AN


Nabi Muhammad adalah manusia yang paling fasih lisannya, dan beliau
menjelaskan dengan jelas, beliau berkhutbah dengan sesuatu yang bisa
dipahami oleh para shahabat, beliau berbicara dengan sesuatu yang dimengerti
oleh mereka dan inilah metode al-Qur’an dalam menyampaikan risalah.

Para shahabat r.a. adalah para ahli bahasa Arab, mereka mengetahui
firman-Nya dan paham maknanya, dan meneruskan perintah atas dasar keadaan
tersebut dan sungguh telah ditaklukan beberapa negara begitu juga perluasan
kawasan negara islam sehingga bercampur antara Arab dengan Romawi, Persia,
Habasyi, Uqbath, Barbara dan lain-lain dari berbagai suku. Hal tersebut

6
Surat az-Zukhruf : 36
7
Surat al-Qoshosh : 10
menjadikan tercampurnya tabi’at-tabi’at mereka dan tercampurnya sebagian
lafal, sehingga pada sebagian makna menjadi samar-samar. Para umat
menghadap kepada ulama’ untuk menafsirkan sesuatu yang butuh penjelasan
dari lafal al-Qur’an dan hadits. Inilah yang disebut dengan ilmu gharibul qur’an
dan gharibul hadits.

Ilmu gharibul qur’an sudah muncul sejak awal sejarah Islam yaitu abad
ke-2 H. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas berupa jawaban-jawaban mengenai persoalan yang ditanyakan kepadanya
oleh Nafi’ bin al-Azroq. Pada periode kedua dan ketiga hijriah bermunculan
karangan-karangan mengenai gharibul qur’an. Di antaranya karya yang ditulis
oleh Abul Hasan Ali bin Hamzah al-Kisa’i, Abu Faid as-Sadusy, Abu Ubaidah dan
Abi Said al-Ashma’iy. Kemudian pada abad ke-4 H Abu Bakar as-Sijistani menulis
kitab yang berjudul ‫نز هة القلوب ف تفسير عالم الغيوب‬.

Sebelum ada penamaan dalam ilmu gharibul qur’an, ada beberapa nama :

1. Ma’anil qur’an

Ibnu Sholah berkata : “ Dimana saya melihat kitab tafsir, ahlu ma’ani
berkata : yang dimaksud darinya adalah mereka yang menulis kitab makna al-
Qur’an seperti az-Zujaj, al-Farro’, al-Akhfasy dan Ibnu al-Anbari.

2. I’robul qur’an

Telah disebutkan di dalam hadits : ( ‫)أعربوا القران والتمسوا غرائبه‬, Imam as-Suyuthi
berkata : “Yang dimaksud dengan i’robul qur’an adalah mengetahui makna
lafal-lafalnya dan yang dimaksud i’rob bukanlah istilah yang terdapat pada
kalangan ahli nahwu.

3. Majazul qur’an
Yang dimaksud al-majaz bukanlah yang terdapat pada kalangan ahli
balaghoh akan tetapi yang dimaksud adalah makna dari lafal-lafalnya. Oleh
karena itu Abu Ubaidah di dalam kitabnya majazul qur’an beliau memakai
kalimat (‫ )مجازه كذا‬atau (‫ )تفسيره كذا‬atau (‫ )معناه كذا‬atau (‫ )غريبه‬atau (‫ )تقديره‬atau (
‫ )تأويله‬di saat menafsirkan ayat, makna dari kalimat itu semua sama atau
hampir mirip dan makna ini pada kata al-majaz adalah sebuah ungkapan
tentang metode yang digunakan al-Qur’an pada ungkapan-ungkapannya.
Makna ini lebih umum dari keadaan aslinya yaitu dari makna yang dibatasi
oleh para ahli balaghoh.

Terdapat perbedaan pendapat dalam hal menentukan orang yang


pertama kali menulis ilmu ini :

1. Ada yang berkata Ibnu Abbas yang dibuktikan dengan jawaban-jawaban


atas pertanyaan Nafi’ bin al-Azroq yaitu ada 189 pertanyaan. Imam as-
Suyuti mengumpulkannya di kitab al-Ithqon.

2. Ada juga yang berkata Ubban bin Taghlib al- Bikri di kitabnya
gharibul qur’an.

3. Ada juga yang berkata Abu Ubaidah, Muammar bin Mutsanna di


kitabnya majazul qur’an.

Karangan dalam kitab ini dibagi berdasarkan sistematika penulisan, ada


2 yaitu :

1. Jenisnya diawali dengan mengurutkan lafal dahulu , mengurutkan surat-


suratnya dengan menyebutkan nama suratnya kemudian menyebutkan
kalimat-kalimat yang gharib. Penulis yang menggunakan sistematika
seperti ini diantaranya : majazul qur’an (Abu Ubaidah), tafsir gharibul
qur’an (Ibnu Qutaibah), ma’anil qur’an (az-Zujaj).
2. Jenisnya dengan cara mengurutkan huruf hijaiyahnya , contohnya : kitab
tanwirul qulub (as-Sijistanii), mufrodat gharibul qur’an (al-Asfahanii),
tuhfatul ariib (Abi Hayyan).

5. MACAM-MACAM GHARIBUL QIRO’AT


1. Saktah
Yaitu berhenti sebentar, tanpa bernafas dengan niat melanjutkan bacaan.
Di dalam al-Qur’an ada 4, yaitu : surat al-Kahfi : 1-2, surat Yasiin : 52,
surat al-Qiyamah : 27, surat al-Muthoffifin : 14.
2. Imalah
Yaitu bacaannya condong miring dari harakat fathah ke kasrah, dan dari
huruf alif ke ya’ (cenderung ke fathah daripada kasroh sehingga seolah-
olah dibaca re). Imalah hanya terdapat satu di dalam al-Qur’an yaitu surat
Hud : 41.
3. Isymam
Yaitu setelah mendengungkan nun kemudian bibirnya maju (monyong)
dan ditahan satu harakat. Di dalam al-Qur’an hanya ada satu yaitu surat
Yusuf : 11.
4. Shod dibaca sin
Yaitu huruf shod dalam sebuah kata dibaca sin biasa. Oleh karena itu
sebagian mushaf ada tulisan sin kecil diatasnya. Bacaan ini terdapat di
dalam surat al-Baqoroh : 245, dan surat al-A’rof : 69.
5. Ba’ diidghomkan ke mim
Yaitu ketika huruf ba’ sukun bertemu dengan mim maka diidghomkan ke
huruf mim tersebut. Di dalam al-Qur’an hanya ada satu yaitu surat Hud :
42.
6. Sukun diganti lam
Yaitu lam alif (‫ )ال‬dibaca kasrah pada huruf lam-nya sedangkan ismun ( ‫)ِاْس ٌم‬
hamzah-nya tidak dibaca. Di dalam al-Qur’an hanya ada satu yaitu surat
al-Hujurat : 11.
7. Tiga macam bacaan
Yaitu tiga macam bacaan yang terjadi karena washol dan waqof. Ketiga
hukum tersebut adalah :
a. bila washol, ra’-nya dibaca pendek keduanya.
b. bila waqof pada kalimat pertama, ra’ dibaca panjang 1 alif/ 2 harakat.
c. bila waqof pada kalimat kedua, ra’ kalimat pertama dibaca qashr
(pendek) dan ra’ kalimat kedua dibaca sukun (mati).
Tiga macam bacaan diatas hanya terdapat di surah al-Insan : 15-16.
8. Tashiil
Yaitu hamzah pertama dibaca tahqiq (jelas) dan pendek, sedangkan
hamzah kedua dibaca tashiil, yaitu meringankan bacaan antara hamzah
dan alif. Di dalam al-Qur’an hanya ada satu yaitu surat Fushilat : 44.

III. PENUTUP
Dari penjelasan diatas kita bisa mengetahui betapa pentingnya
mempelajari ilmu gharibul qur’an karena al-Qur’an adalah kalamulloh. Ilmu
gharibul qur’an menumbuhkan cara berpikir ilmiyah, artinya memahami ayat
gharib akan melahirkan berbagai usaha untuk memecahkannya dengan cara
memperhatikan pemakaiannya dalam bahasa Arab.
Para sahabat setelah wafatnya Rosululloh tidak berani menafsirkan suatu
ayat yang tidak diketahuinya karena khawatir salah dan sebagai bentuk kehati-
hatiannya terhadap al-Qur’an. Akan tetapi para ulama’ memberanikan diri untuk
menafsirkannya sehingga beberapa karangannya dapat kita lihat sampai
sekarang.

Anda mungkin juga menyukai