Anda di halaman 1dari 2

Kehujjahan Al-Qur'an

Dalam pembahasan ini ulama' ushul fiqh telah sepakat bahwasanya al-Qur'an merupakan sumber
pertama dan utama yang dipakai dalam permasalahanhukum islam, para mujtahid juga dilarang
menggunakan dalil atau rujukan lain selama belum meneliti ayat al-qur'an. Akan tetapi apabila tidak
ditemukan dalam al-Qur'an maka diperbolehkan menggunakan dalil lain seperti as-Sunnah dan lain
sebagainya.

Karena al-Qur'an merupakan sumber utama dan hukum-hukumnya juga wajib dipatuhi maka
argumentasi/alasan yang menunjukkan bahwa al-Qur'an adalah hujjah (bukti) bagi umat manusia
adalah bahwa al-Qur'an diturunkan dari Allah dengan jalan qath'i yang kebenarannya tidak dapat
diragukan. Kemudian alasan yang menunjukkan bahwasanya al-Qur'an datang atau diturunkan dari
Allah adalah mukjizat al-Qur'an (tidak mungkin manusia mampu membuat atau meniru dengan
redaksi/gaya penyusunan seperti al-Qur'an atau pemberitaan gaib yang dipaparkan dalam al-qur'an
dan juga isyarat-isyarat ilmiah yang dikandung dalam al-Qur'an) dan lain sebagainya.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa al-qur'an merupakan sumber utama dalam masalah penetapan
hukum islam, akan tetapi disini terdapat perbedaan pandangan menurut imam madzhab tentang
kehujjahan al-Qur'an yaitu:

Pandangan Imam Abu Hanifah

Beliau juga sependapat dengan jumhur ulama' bahwasanya al-Qur'an adalah sumber hukum islam.
Tetapi sebagian ulama' juga ada yang mengatakan bahwa Abu Hanifah berbeda dengan jumhur
ulama' yakni mengenai al-Qur'an itu mencakup lafadaz dan maknanya saja.

Bukti yang menunjukkan pendapat beliau tersebut adalah diperbolehkannya membaca al-Qur'an
didalam sholat dalam bahasa selain Arab. Contohnya sholat dengan memakai bahasa Persia, padahal
kalau menurut Imam Syafi'i sekalipun orang tersebut bodoh tetap tidak boleh sholat dengan bahasa
selain Arab. Dalam hal ini bukan berarti Imam Abu Hanifah mengatakan bahwasanya "terjemahan
adalah al-Qur'an dan hukum-hukum al-Qur'an tidak berlaku terhadap beliau". Akan tetapi,
sesungguhnya Abu Hanifah memperbolehkan sholat dalam bahasa Persia hanyalah bagi orang yang
tidak mengetahui bahasa Arab dan tidak dapat membacanya maka dari itu kewajiban membaca al-
Qur'an adalah gugur baginya.

Pandangan Imam Malik

Menurut Imam Malik, al-Qur'an merupakan kalam Allah yang lafadz dan maknanya dari Allah. Al-
Qur'an bukanlah makhluk, karena kalam Allah termasuk sifat Allah. Dengan pandangan yang seperti
itu jika ada seseorang berkata bahwasanya "al-Qur'an itu makhluk" maka menurut beliau, orang
tersebut adalah kafir zindik.

Pandangan Imam Syafii

Seperti para ulama' lainnya, Imam Syafi'i menetapkan bahwasanya al-Qur'an adalah sumber hukum
islam yang paling pokok. Bahkan beliau berpendapat, "Tidak ada yang diturunkan kepada penganut
agama manapun, kecuali petunjuknya terdapat dalam al-Qur'an. Namun beliau mengatakan
bahwasanya al-Qur'an tidak bisa dilepaskan dari sunnah karena keduanya sangat berkaitan, dalam
hal ini seakan-akan al-Qur'an dan as-Sunnah berada dalam satu martabat. Akan tetapi pengertiannya
tidaklah seperti itu, yang sesungguhnya adalah bahwa kedudukan as-Sunnah berada setelah al-
Qur'an.
Imam Syafii juga berpendapat bahwasanya al-Qur'an adalah seluruhnya berbahasa Arab, dan beliau
menentang dengan adanya anggapan bahwa dalam al-Qur'an terdapat bahasa 'Ajam (luar Arab),
pendapat beliau didasarkan dengan firman Allah SWT:

‫ك َأ ْن َز ْل َناهُ قُرْ آ ًنا َع َر ِب ًّيا‬


َ ِ‫َو َك َذل‬

"Dan begitulah kami turunkan al-Qur'an berbahasa Arab". (QS.Thoha/20:113)


Dengan pendapat beliau yang seperti itu, tak heran jika Imam Syafii tidak memperbolehkan sholat
dengan bahasa selain Arab. Dan beliaupun mengharuskan penguasaan bahasa Arab bagi mereka
yang ingin memahami dan meng-istinbath/menciptakan hukum dari al-Qur'an.

Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambal

Tidak berbeda dengan yang lainnya, Imam Ahmad pun berpendapat bahwasanya al-Qur'an
merupakan sumber pokok islam, yang kemudian disusul oleh as-Sunnah yakni sama seperti halnya
pendapat Imam Syafii. Dalam penafsiran terhadap al-Qur'an, Imam Ahmad betul-betul
mementingkan penafsiran yang datangnya dari as-Sunnah, dan sikapnya dapat diklasifikasikan
menjadi tiga:

a.    Sesungguhnya dzohir al-Qur'an tidak mendahulukan as-Sunnah


b.    Tidak ada seseorangpun yang berhak menafsirkan al-Qur'an, karena yang boleh menafsirkan al-
Qur'an hanyalah Nabi Muhammad saw yakni sunnah sudahlah cukup menafsirkannya
c.    Apabila tidak menemukan penafsiran yang asalnya dari Nabi Muhammad maka yang dipakai
adalah penafsiran dari para sahabat, karena yang mengetahui turunnya al-Qur'an dan
mendengarkan takwil adalah para sahabat.

Anda mungkin juga menyukai