Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH FARMASI FISIKA 2

DIFUSI OBAT

Disusun Oleh :

Shania Maharani Hilman

NIM : 3311171169

Farmasi D

Dosen Mata Kuliah :

Dr. Fikri Alatas M.Si., Apt.

Program Studi Farmasi – Fakultas Farmasi


Universitas Jenderal Achmad Yani
Cimahi
2019
Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan sehingga saya
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya saya
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas tengah semester dari mata kuliah Farmasi
Fisika 2 dengan judul “Difusi Obat”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat. Terima kasih.

Cimahi, 2 November 2019

Penyusun
Daftar Isi

Kata Pengantar.........................................................................................................................2

Daftar Isi.................................................................................................................................................3

BAB 1......................................................................................................................................................4

BAB 2......................................................................................................................................................5

BAB 3....................................................................................................................................................16

Daftar Pustaka......................................................................................................................................18
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dunia farmasi senantiasa memperbaharui sediaan obat supaya mampu menjadi suatu
produk yang berkualitas, baik dari segi kesetabilan obat maupun efek yang ditimbulkan.
Sudah sepantasnya, sebagai seorang farmasis kita harus selalu menggali informasi terkini
mengenai teknologi obat dari berbagai segi.

Diantara semua sifat dan reaksi yang penting untuk kita ketahui bersama yang paling
kami soroti disini yaitu mengenai difusi suatu zat. Dimana ini merupakan suatu tahapan yang
yang sangat berperan penting dalam menentukan hasil suatu efek obat dalam tubuh manusia.
Dalam mengambil zat-zat nutrisi yang penting dan mengeluarkan zat-zat yang tidak
diperlukan, sel melakukan berbagai jenis aktivitas, dan salah satunya adalah difusi, yakni
suatu proses perpindahan massa molekul suatu zat yang dibawa oleh gerakan molekular
secara acak dan berhubungan dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui
suatu batas. Difusi akan terus terjadi hingga seluruh partikel tersebar luas secara merata atau
mencapai keadaan kesetimbangan dimana perpindahan molekul tetap terjadi walaupun tidak
ada perbedaan konsentrasi. Lalu bagaimana jika kesetimbangan ini tidak tercapai?

Melihat pentingnya difusi dalam suatu sediaan maka dibuatah makalah ini sebagai suatu
manfaat dan pengetahuan bagi para farmasis.

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana mekanisme difusi dalam dunia farmasi?
1.3 Maksud dan Tujuan
a. Mengetahui dan memahami difusi dalam dunia farmasi.
BAB II
PENJELASAN DIFUSI OBAT

2.1 Sifat membran

Rintangan atau sawar yang dihadapi zat aktif sebelum mencapai titik-tangkap atau sebelum
mengalami perubahan atau peniadaan, tampaknya berbeda untuk setiap zat aktif. Sawar
tersebut dapat merupakan sejumlah lapisan sel (misalnya kulit), atau hanya satu sel basal
(epiterl usus halus), ataupun bahkan yang berukuran lebih kecil dari sel itu sendiri (membran
antar sel atau pembatas organ intraseluler seperti inti atau mitokondria). Namun
sesungguhnya perbedaan tersebut merupakan satu kesatuan struktur yang sama pada semua
membran baik pada manusia, hewan ataupun tanaman.

Konsep tentang sifat alami dan struktur membran telah berkembang seiring dengan kemajuan
teknik pengamatan. Misalnya adanya mikroskop elektron yang memungkinkan pemastian
hal-hal yang oleh mikroskop optik tidak jelas seperti perbedaan pewarnaan atau penampakan
antara dua obyek. Pada mikroskop elektron, membran sederhana tampak sebagai gambaran
tiga dimensi asimetrik, tebalnya beragam antara 70 dan 100 Angstrom, terdiri atas dua
lapisan yang samar dengan tebal berbeda dan ditutup oleh suatu lapisan bening.

Pengertian lipida protein alami suatu membran sebagai gabungan molekul penyusun
membran telah mengalami banyak perubahan sejak Overton (1902) menemukan adanya
membran lipida essensial. Penelitian Davson dan Danielli (1936-1943) serta Stein dan
Danielli lipida protein sebagai model membran. Model membran tersebut terdiri atas dua
basal lipida monomolekuler (terutama terdiri atas fosfolipida, tetapi juga kolesterol) yang
kutub hidrofobnya menghadap ke bagian dalam, dan kutub hidrofilnya merupakan basal
protein berada di fase berair. Telah diketahui pula bahwa bahwa susunan molekuler tersebut
adalah sekitar 75 Angstrom, membentuk gambaran tiga dimensi asimetrik yang diperoleh
dengan mikroskop elektron. Dua kutub hidrofil mengandung protein dan ujung fosfolipida
yang pilar (salah satu diantaranya yang berada pada permukaan luar mempunyai lapisan
protein globuler) mengelilingi daerah pusat hidrofob. Tetapi tampaknya susunan statis
tersebut bukan merupakan protein dan lipida dalam membran seluler yang hidup. Model
berlapis tersebut relatif dapat diterapkan lebih baik, dihasilkan dari penelitian baru
(Simposium 1972) dan merupakan konseo nidek “mosaik cair”.
Dalam konsep mosaik cair, matriks membran terdiri atas 2 lapisan lipida protein globuler
yang tidak berkesinambungan dan saling menyesuaikan, menurut susunan yang teratur atau
tidak teratur. Gugusan polarnya terletak pada permukaan membran yang kontak dengan
cairan intra atau ekstraseluler, sedangkan gugus non polar menghadap ke arah dalam. Pori-
pori yang tampak pada sumbu urtama protein globuler tebalnya ± 85 Angstrom.

Difusi zat terlarut dari suatu larutan ke dalam larutan yang lainnya dapat berlangsung
melalui suatu membran dengan permeabilitas tertentu yaitu permeabel untuk zat tersebut.
Permeabilitas dari membran tersebut ada tiga macam, yaitu:

1. Impermeabel (tidak permeabel), dimana air maupun zat yang terlarut di dalamnya
tidak dapat melaluinya. Misalnya membran dari karet.
2. Permeabel, yaitu membran yang dapat dilalui oleh air maupun zat-zat tertentu yang
terlarut di dalamnya.
3. Semipermeabel, yaitu membran yang hanya dapat dilalui oleh air, tetapi tidak dapat
dilalui oleh suatu zat terlarut. Misalnya membran dari sitoplasma.

2.2 Mekanisme lintasan membran

Mekanisme pasif dan aktif (termasuk pembentukan membran) bersaing dalam proses
perlintasan zat aktif melalui membran, yakni filtrasi, difusi pasif “pH partisi hipotesis”,
transpor aktif, difusi sederhana, transpor oleh pasangan ion. Namun, yang akan dibahas
dalam makalah ini hanya difusi dan jenis-jenisnya.

2.3 Pengertian Difusi

Difusi didefinisikan sebagai suatu proses perpindahan massa molekul suatu zat yang dibawa
oleh gerakan molekular secara acak dan berhubungan dengan adanya perbedaan konsentrasi
aliran molekul melalui suatu batas, misalnya suatu membran polimer, merupakan suatu cara
yang mudah untuk menyelidiki proses difusi. Perjalanan suatu zat melalui suatu batas bisa
terjadi oleh suatu permeasi molekul sederhana atau oleh gerakan melalui pori dan lubang
(saluran). Difusi molekular atau permeasi melalui media yang tidak berpori bergantung pada
disolusi dari molekul yang menembus dalam keseluruhan membran. Sedang proses difusi
perjalanan suatu zat melalui pori suatu membran yang berisi pelarut, serta dipengaruhi oleh
ukuran relatif molekul yang menembusnya serta diameter dari pori tersebut.
Perbedaan konsentrasi (suatu zat dalam pelarut dari bagian berkonsentrasi tinggi ke bagian
yang berkonsentrasi rendah) yang ada pada dua larutan disebut gradien konsentrasi. Difusi
akan terus terjadi hingga seluruh partikel tersebar luas secara merata atau mencapai
keadaan kesetimbangan dimana perpindahan molekul tetap terjadi walaupun tidak ada
perbedaan konsentrasi. Contoh yang sederhana adalah pemberian gula pada cairan teh tawar.
Lambat laun cairan menjadi manis. Contoh lain adalah uap air dari cerek yang berdifusi
dalam udara. Difusi yang paling sering terjadi adalah difusi molekuler. Difusi ini terjadi jika
terbentuk perpindahan dari sebuah lapisan (layer) molekul yang diam dari solid atau fluida.

Dalam mengambil zat-zat nutrisi yang penting dan mengeluarkan zat-zat yang tidak
diperlukan, sel melakukan berbagai jenis aktivitas, dan salah satunya adalah difusi. Ada dua
jenis difusi yang dilakukan, yaitu difusi biasa dan difusi khusus.

Difusi biasa terjadi ketika sel ingin mengambil nutrisi atau molekul yang hydrophobic atau
tidak berpolar / berkutub. Molekul dapat langsung berdifusi ke dalam membran plasma yang
terbuat dari phospholipids. Difusi seperti ini tidak memerlukan energi atau ATP (Adenosine
Tri-Phosphate).

Difusi khusus terjadi ketika sel ingin mengambil nutrisi atau molekul yang hydrophilic atau
berpolar dan ion. Difusi seperti ini memerlukan protein khusus yang memberikan jalur
kepada partikel-partikel tersebut ataupun membantu dalam perpindahan partikel. Hal ini
dilakukan karena partikel-partikel tersebut tidak dapat melewati membran plasma dengan
mudah. Protein-protein yang turut campur dalam difusi khusus ini biasanya berfungsi untuk
spesifik partikel.

Ada beberapa faktor yang memengaruhi kecepatan difusi, yaitu:

A. Ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel, semakin cepat partikel itu akan
bergerak, sehingga kecepatan difusi semakin tinggi.
B. Ketebalan membran. Semakin tebal membran, semakin lambat kecepatan difusi.
C. Luas suatu area. Semakin besar luas area, semakin cepat kecepatan difusinya.
D. Jarak. Semakin besar jarak antara dua konsentrasi, semakin lambat kecepatan
difusinya.
E. Suhu. Semakin tinggi suhu, partikel mendapatkan energi untuk bergerak dengan lebih
cepat. Maka, semakin cepat pula kecepatan difusinya.
Difusi obat berbanding lurus dengan konsentrasi obat, koefisien difusi, viskositas dan
ketebalan membran. Di samping itu difusi pasif dipengaruhi oleh koefisien partisi, yaitu
semakin besar koefisien partisi maka semakin cepat difusi obat.

2.4 Mekanisme absorpsi

Penetrasi senyawa melalui membran dapar terjadi sebagai:

Difusi (pasif murni)

Difusi terfasilitsi (melalui pembawa)

Transpor aktif atau

Pinositosis, fagositosis, dan persorpsi.

Difusi pasif “pH partisi hipotesis”

Difusi pasif menyangkut senyawa yang dapat larut dalam komponen penyususun membran.
Karena ini menyangkut difusi murni, maka difusi ini tidak dapat dihambat oleh senyawa
analog dan melalui blokade metabolisme. Dilihat secara kuantitatif, difusi pada pengambilan
bahan ke dalam organisme terjadi terutama melalui matriks lipid. Karena itu, kelarutan
senyawa yang diabsorpsi dalam lemak memegang peranan yang menonjol. Pori yang terdapat
dalam membran hanya memiliki arti tertentu untuk absopsi senyawa nonelektrolit yang sukar
larut dalam lemak serta senyawa yang terionisasi sempurna dengan bobot molekul rendah.

Penembusan terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi atau elektrokimia tanpa


memerlukan energi, sehingga mencapai keseimbangan dikedua sisi membran. Waktu yang
diperlukan untuk mencapai keseimbangan tersebut mengikuti hukum Fick:

V = P (Ce-Ci), P adalah tetapan permeabilitas, sedangkan Ce dan Ci adalah konsentrasi pada


kedua kompartemen.
Jadi konsentrasi (C) senyawa dikedua sisi membran berpengarug pada proses penembusan,
tetapi perlu ditekankan bahwa hanya fraksi bebas dari zat aktif yang diperhitungkan dalam
perbedaan konsentrasi. Sesungguhnya (masalah ini dibahas lagi pada studi penyebaran obat)
banyak molekul-molekul yang memberikan aktivitas terapetik, menunjukkan afinitas
terhadap bahan biologis khususnya protein yang terdapat dalam suatu kompartemen.
Kombinasi zat aktif-protein yang terbentuk tersebut tidak dapat berdifusi karena alasan bobot
molekulnya. Dalam hal ini hanya fraksi bebas yang dapat berdifusi: rantai protein merupakan
faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi laju difusi melalui membran.

Tetapan permeabilitas P tergantung pada membran dan molekul obat. Jadi persamaan
difusi transmembran yang berikut ini:

V = P (Ce-Ci), dapat ditulis V =

Catatan: D adalah koefesien difusi molekul

K adalah koefisien partisi

A dan ΔX adalah luas permukaan dan tebal membran

Jadi koefisien difusi molekul terkait dengan ukuran molekul: molekul yang ukurannya kecil
akan berdifusi lebih cepat dibandingkan dengan yang berukuran lebih besar dan sebaliknya.
Tetapi hal yang lebih penting berkaitan dengan tetapan permeabilitas adalah koefisien partisi
antara fase lipida dan fase air yang terletak di kedua sisi membran. Koefisien
partisi didefinisikan:

K=

Bila molekul semakin larut-lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi
transmembran terjadi lebih mudah. Tidak boleh dilupakan bahwa organisme terdiri dari fase
lemak dan air, sehingga bila koefisien partisi sangat tinggi ataupun sangat rendah maka hal
tersebut merupakan hambatan pada proses difusi zat aktif.

Kebanyakan zat aktif merupakan basa atau asam organik, maka dalam keadaan terlarut
sebagian molekul berada dalam bentuk terionkan dan sebagian dalam bentuk tak terionkan.
Jika ukuran molekul tidak dapat melalui kanal-kanal membran, maka polaritas yang kuat dari
bentuk terionkan akan menghambat proses difusi transmembran. Hanya fraksi zat aktif yang
tak terionkan dan larut dalam lemak yang dapat melalui membran dengan cara difusi pasif.
Pentingnya faktor-faktor yang berpengaruh pada difusi transmembran dari suatu molekul
(derajat ionisasi molekul, pH kompartemen) digarisbawahi dalam “TEORI DIFUSI NON
IONIK ATAU HIPOTESA pH PARTISI”.

Untuk obat yang zat aktifnya merupakan garam dari asam kuat atau basa kuat, derajat ionisasi
berperan pada hambatan difusi transmembran. Sebaliknya untuk elektrolit lemah berupa
garam yang berasal dari asam lemah atau basa lemah yang sedikit terionisasi, maka difusi
melintasi membran tergantung kelarutan bentuk tak terionkan di dalam lemak, jumlah bentuk
yang tak terionkan (satu-satunya yang berpengaruh pada konsentrasi), serta derajat ionisasi
molekul.

Derajat ionisasi tergantung pada dua faktor, (persamaan Henderson Hasselbach) yaitu:

– Tetapan disosiasi daru senyawa atau pKa (pH dimana bentuk terionkan dan bentuk tak
terionkan jumlahnya sama)

– pH cairan dimana teradpat molekul zat aktif; pH dikedua sisi dapat berbeda.

Untuk asam: pH = pKa + log

Untuk basa: pH = pKa + log

Pada setiap molekul tertentu, perjalan lintas-membran sangat berbeda oada setiap daerah
saluran perncernaan, karena pH saluran cerna beragam antara 1-3,5 untuk lambung, 5-6 untuk
duodenum dan ±8 pada ileum. Penyerapan efektif terutama terjadi pada bentuk yang tak
terionkan yaitu zat aktif bersifat asam lemah pada lambung, sedangkan difusi basa lemah di
lambung akan berkurang, namun penyerapannya didalam usus halus menjadi sangat berarti
karena bentuk tak terionkan yang larut-lemak terdapat dalam jumlah yang banyak.

pH = pKa + log

Teori ini secara nyata diterapkan dalam penyerapan zat aktif lainnya, yaitu pada
penetrasi zat aktif ke dalam tubuh, juga pada fase kinetik selanjutnya. Demikian pula pada
pengobatan dengan obat-obat yang berbahaya, yang dapat melepaskan zat aktif dari tempat
fiksasinya di jaringan dan peniadaannya.

Karakteristik fisiko-kimia sebagian besar molekul (polaritas, ukuran, molekul, dan


sebagainya) merupakan hambatan penumbusan transmembran oleh mekanisme pasif secara
filtrasi dan difusi. Pengikutsertaan proses aktif dapat menjelaskan perjalanan obat yang
kadang-kadang melintasi membran sel dengan sangat cepat.
Difusi terfasilitasi (difusi sederhana)

Difusi sederhana/terfasilitasi merupakan cara perlintasan membran yang memerlikan


suatu pembawa dengan karekteristik tertentu (kejenuhan, spesifik, dan kompetitif). Pembawa
tersebut bertanggung jawab terhadap transpor aktif, tetapi disini perlintasan terjadi akibat
gradien konsentrasi dan tanpa pembebasan energi. Difusi sederhana bertanggung jawab
terhadap penetrasi glukosa ke bagian dalam sel darah.

Maksudnya, pada difusi melalui pembawa (terfasilitasi), molekul hidrofil misalnya


fruktosa, berikatan dengan suatu pembawa (carrier = pembawa) yang merupakan protein
membran khusus. Pembawa dan kompleks pembawa-substrat dapat bergerak bebas dalam
membran, dengan demikian penetrasi zat yang ditransportasi zat yang ditranspor melalui
membran sel lipofil ke dalam bagian dalam sel dipermudah.

Apabila terjadi penetrasi melalui membran, senyawa dilepaskan lagi dari pembawa. Syarat
untuk transpor pembawa ialah afinitas tertentu dari zat yang ditranspor (S) terhadap pembawa
(C). pada sisi luar membran terdapat keseimbangan dinamik antara pembawa bebas, zat yang
ditranspor, yang disebut juga sebagai substrat dan kompleks substrat pembawa.

Menurut pembentukan kompleks tersebut suatu landaian konsentrasi antara sisi luar dan sisi
dalam dari membran, y ang merupakan gaya mendorong untuk transpor kompleks substrat-
pembawa melalui membran. Karena disini tak ada energi yang dibutuhkan, difusi yang
terfasilitasi serta difusi sederhana tidak dapat dihambat oleh racum metabolisme.

Sebaliknya pembawa dapat ditempati secara kompetitif oleh zat-zat yang biasanya sangat
mirip dengan zat yang ditranspor. Apabila kompleks substrat-pembawa berhasil mencapai
bagian dalam membran, terjadi pemisahan substrat dan pembawa. Hal ini disebabkan oleh
konsentrasi yang rendah dalam sitoplasma maka persamaan ikatan S+C=SC bergeser ke arah
sebaliknya.

2.5 Mekanisme kerja obat (nasib obat didalam tubuh)

2.5.1 Farmasetis

Untuk mendapatkan respon, obat harus dipecah terlebih dahulu menjadi molekul kecil.
Misalnya dengan disolusi dan disintegrasi. Dalam fase ini, yang penting adalah ketersediaan
farmasi dari zat aktifnya, yaitu obat siap untuk diabsorbsi.

2.5.2 Farmakokinetik
Absorbsi

Obat, untuk dapat menimbulkan aksi dan menghasilkan efek, terlebih dahulu harus
diabsorbsi. Proses absorbsi meliputi masuknya obat hingga sampai ke aliran darah.

Absobsi kebanyakan obat terjadi secara pasif melalui difusi. Kecepatan absorpsi dan kuosien
absorpsi (hubungan bagian yang diabsorbsi terhadap jumlah yang diberikan) bergantung
kepada banyak faktor. Di antaranya yang terpenting adalah:

Sifat fisikokimia bahan obat, terutama sifat stereokimia dan kelarutannya,

Besar partikel dan dengan demikian permukaan jenis,

Sediaan obat

Dosis

Rute pemberian dan tempat pemberian

Waktu kontak dengan permukaan absorpsi

Besarnya luas permukaan yang mengabsorpsi

Nilai pH dalam darah yang mengabsorpsi

Integritas membran

Aliran darah organ yang mengabsorpsi

Untuk dapat diabsorpsi, bahan obat harus dalam bentuk terlarut. Umumnya, kecepatan larut
bahan aktif (misalnya dalam saluran cerna atau dalam tempat intamuskular) menentukan laju
absorpsi. Ini ditentukan, selain oleh sifat-sifat senyawa (seperti misalnya bentuk kristal,
besarnya partikel, solvatasi), ditentukan juga oleh sifat sediaan obat (antara lain bahan
pembantu yang digunakan, bahan penyalut).

Pada senyawa yang sukar larut, kadang-kadang waktu yang disediakan untuk diabsorpsi tidak
cukup untuk melarutkan sempurna jumlah zat yang diberikan. Walaupun demikian melalui
pengecilan yang kuat (mikronisasi) dan dengan demikian memperbesar permukaan jenis,
dapat dicapai peningkatan kecepatan melarut. Senyawa yang sangat lipofil seperti vitamin A,
yang praktis tidak larut dalam air, mula-mula harus dilarutkan sebelum diabsorpsi dalam
organisme. Suatu pelarut demikian dapat terjadi dalam usus halus, khususnya dengan bantuan
garam-garam asam empedu. Senyawa yang sangat lipofil dapat diabsorpsi juga bersama
dengan lipid (seperti misalnya kolesterol) sebagai kilomikron-merupakan titik-titik lemak
yang terlihat secara mikroskopi dengan diameter sekitar 1 µm, titik lemak ini terbentuk pada
absorpsi lemak di dinding usus, melalui saluran limfe akan sampai di darah dan bertindak
sebagai pentranspor lemak yang masuk bersama makanan- kedalam sistem limfe. Disini
terlibat juga garam-garam asam empedu yang aktif pada permukaan.

Pada ion anorganik, kemampuan absorpsi menurun sebanding dengan naiknya jumlah muatan
dan besarnya ion. Jumlah bahan obat organik yang diabsorpsi bergantung kepada koefisien
distribusi (misalnya koefisien distribusi oktanol/air): kemampuan absorpsi mula-mula naik
setara dengan naiknya koefisien distribusi sampai suatu maksimum, untuk selanjutnya
menurun lagi. Hal ini disebabkan terutama oleh karena senyawa hidrofil sukar dapat
menembus memran lipid tidak larut dalam konsentrasi yang cukup dalam lingkungan berair,
yang mengelilingi permukaan yang mengabsorpsi. Dengan demikian senyawa yang
berkontak dengan permukaan absorpsi per satuan waktu tidak cukup.

Bahan obat organik asam dan basa diabsorpsi terutama dalam bentuk tak terionisasi dan
demikian dalam bentuk yang larut dalam lemak. Karena derajat disosiasi bergantung kepada
nilai pK senyawa dan angka pH lingkungan masing-masing, asam yang lemah diabsorpsi
lebih baik dalam lingkungan asam sampai netral, basa lemah diabsorpsi lebih baik pada harga
pH ≥ 7. Pengambilan senyawa amonium kuartener dan senyawa lain yang terionisasi
sempurna terjadi sangat lambat dan hanya dalam jumlah kecil. Perubahan buatan harga pH,
misalnya akibat antasida, dapat sangat mengubah jumlah absorpsi sebagian obat yang
terdisosiasi.

Pengaruh absorpsi

Sesuai dengan jenis kerja yang diinginkan, dapat dicoba untuk menaikkan, menurunkan,
mempercepat atu menunda absorpsi. Pada bahan aktif yang melibatkan kerja sistemik,
diinginkan absorpsi yang sedapat mungkin kuantitatif. Sebaliknya pencegahan absorpsi
ditujukan kepada senyawa yang setelah diabsorpsi dapat menyebabkan kerusakan organisme.
Apabila percepatan absorpsi, misalnya dengan pemberian hialuronidase secara bersamaan
pada penyuntikan subkutan atau intramuskular, jarang digunakan secara terapeutik, maka
penundaan absorpsi pada sediaan depot mempunyai arti khusus.

Pada larutan-larutan suntik dapat dicapai kerja depot misalnya dengan cara:
Melarutkan atau mensuspensi bahan obat dalam pembawa minyak

Penambahan makromolekul yang menaikkan viskositas, dengan demikian difusi bahan obat

Absorpsi bahan obat pada molekul yang menaikkan viskositas, dengan demikian difusi bahan
obat yang larut tertunda

Menggunakan suspensi kristal

Pada tablet atau tablet salut, pembebasan bahan berkhasiat dapat ditunda antara melalui:

a. Penyalutan bahan obat dengan bahan pembantu yang sukar larut


b. Pembenaman bahan obat dalam bentuk lemak dan malam
c. Mengikat bahan obat pada resin penukar ion.

Distribusi

Obat disampaikan ke reseptor melalui sistem sirkulasi dan mencapai target reseptor yang
dipengaruhi oleh aliran darah dan konsentrasi jumlah darah di reseptor tersebut. Konsentrasi
obat di suatu sel dipengaruhi oleh kemampuan obat berpenetrasi ke dalam kapiler endotelium
(tergantung ikatan obat dengan protein plasma) dan difusi melalui membran sel. Distribusi
obat di darah, organ dan sel tergantung dosis dan rute pemberian, lipid solubility obat,
kemampuan berikatan dari protein plasma dan jumlah aliran darah ke organ dan sel.

Biotransformasi (metabolisme)

Kebanyakan obat akan mengalami biotransformasi dan dulu agar dapat dikeluarkan dari
tubuh. Pada azasnya, tiap obat adalah zat asing yang tidak diinginkan tubuh, sehingga tubuh
berusaha merombak zat tersebut menjadi metabolit yang bersifat hidrofil agar lebih lancer
diekskresikan melalui ginjal, jadi reaksi biotransformasi merupakan peristiwa detoksikasi.
Biotransformasi berlangsung terutama di hati, saluran pencernaan, plasma dan mukosa
intestinal.

Perubahan yang terjadi disebabkan oleh reaksi enzim dan digolongkan menjadi 2 fase, yatiu
fase pertama merupakan reaksi perubahan yang asintetik (reasksi oksidasi, reduksi dan
hidroksi) dan fase kedua merupakan reaksi konjugasi.

Metabolisme dapat berpengaruh terhadap aktivitas biologi dari obat dengan bermacam-
macam cara. Kebanyakan aktivitas farmakologi dapat menurun atau hilang setelah
mengalami metabolisme. Hal tersebut dapat digunakan untuk menentukan lama maupun
intensitas aksi obat.

Ekskresi

Organ yang paling penting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresikan dalam
struktur tidak berubah atau sebagai metabolit. Jalan lain yang utama adalah elimiasi obat
melalui sistem empedu masuk ke dalam usus kecil, obat atau metabolitnya dapat mengalami
reabsorbsi (siklus enterohepatik) dan eliminasi dalam feses. Jalur ekresi dalam jumlah sedikit
adalah melalui air ludah dan air susu. Zat yang menguap seperti gas anestesi berjalan melalui
epitel paru-paru.

2.5.3 Farmakodinamik

Fase farmakodinamik merupakan terjadinya interaksi obat dengan tempat aslinya dalam
sistem biologi, aksi struktur khusus obat, potensinya berhubungan dengan interaksi yang
terjadi dengan struktur khusus letaknya.

Efek

Bentuk sediaan obat yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan efek terapi obat.
Bentuk sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik
diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedang efek lokal
adalah efek obat yang hanya bekerja setempat, misalnya salep.

Efek sistemik dapat diperoleh dengan cara :

Oral melalui saluran gastrointestinal atau rectal

Parenteral dengna cara intravena, intramuscular dan subkutan

Inhalasi langsung ke dalam paru-paru

Efek lokal dapat diperoleh dengan cara :

a. Intraikular, intranasal, aural, dengan cara diteteskan pada mata, hidung, telinga
b. Intrarespiratorial, berupa gas masuk paru-paru

Obat didalam tubuh

Jika senyawa makanan atau senyawa asing lainnya memasuki tubuh maka didalam tubuh
akan terjadi reaksi metabolisme yang mengikat senyawa tersebut dan selanjutnya ikatan
tersebut akan dilepas dengan berbagai proses alami. Prinsip yang sama juga berlaku untuk
senyawa obat.

Penolakan obat dengan cara peniadaan terjadi pada molekul dengan sifat fisiko-kimia yang
spesifik. Molekul yang akan dikeluarkan melalui paru harus berbentuk gas, sedangkan untuk
dibuang melalui air kemih, maka senyawa harus larut air.

Jika molekul tidak memiliki gugus yang sesuai untuk ditiadakan maka molekul tersebut akan
mengalami transformasi terlebih dahulu untuk selanjutnya dapat ditiadakan.

BAB III

KESIMPULAN

Nasib obat ditentukan oleh tiga mekanisme, yakni secara farmasetis, farmakokinetik, dan
farmakodinamik. Dalam farmasetis obat akan mengalami proses penyesuaian isi/bahan-bahan
yang sesuai dan akan membantu dalam proses pemecahan, pelarutan, penyerapan nantinya
ketika obat tersebut masuk ke dalam tubuh. Sedangkan fase farmokokinetik obat akan
mengalami proses ADME (Adsorpsi, Distribusi, Metabolisme, Ekskresi) dan fase difusi
terdapat dalam proses metabolime, bagaimana molekul zat (obat yang telah melarut kedalam
pelarut/telah mengalami disolusi) akan dibawa oleh gerakan molekular secara acak dan
berhubungan dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas
(membran polimer), sehingga mengalami perpindahan.
Perpindahan tersebut terjadi dalam dua cara, (a) difusi molekular atau permeasi melalui
media yang tidak berpori bergantung pada disolusi dari molekul yang menembus dalam
keseluruhan membran, contohnya transpor teofilin melalui membran polimer. (b) proses
difusi perjalanan suatu zat melalui pori suatu membran yang berisi pelarut, serta dipengaruhi
oleh ukuran relatif molekul yang menembusnya serta diameter dari pori tersebut.

Kedua cara tersebut menjadi faktor penentu dalam cepat-lambatnya molekul berdifusi, selain
itu kecepatan molekul berdifusi juga dipengaruhi oleh:

a. Ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel, semakin cepat partikel itu akan
bergerak, sehingga kecepatan difusi semakin tinggi.
b. Ketebalan membran. Semakin tebal membran, semakin lambat kecepatan difusi.
c. Luas suatu area. Semakin besar luas area, semakin cepat kecepatan difusinya.
d. Jarak. Semakin besar jarak antara dua konsentrasi, semakin lambat kecepatan
difusinya.
4. Suhu. Semakin tinggi suhu, partikel mendapatkan energi untuk bergerak dengan lebih
cepat. Maka, semakin cepat pula kecepatan difusinya.

Setelah molekul obat berhasil menembus membran barulah molekul tersebut mengalami fase
pengansorbsian dan akan disampaikan ke reseptor melalui sistem sirkulasi dan mencapai
target reseptor yang dipengaruhi oleh aliran darah dan konsentrasi jumlah darah di reseptor
tersebut. Distribusi obat di darah, organ, dan sel tergantung dosis dan rute pemberian,
lipid solubility obat, kemampuan berikatan dari protein plasma dan jumlah aliran darah ke
organ dan sel. Kebanyakan obat akan mengalami biotransformasi (metabolisme) dulu agar
dapat dikeluarkan dari tubuh (ekskresi). Pada azasnya, tiap obat adalah zat asing yang tidak
diinginkan tubuh, sehingga tubuh berusaha merombak zat tersebut menjadi metabolit yang
bersifat hidrofil agar lebih lancar diekskresikan melalui ginjal, jadi reaksi biotransformasi
merupakan peristiwa detoksikasi. Biotransformasi berlangsung terutama di hati, saluran
pencernaan, plasma dan mukosa intestinal.

Sedangkan fase farmakodinamik merupakan terjadinya interaksi obat dengan reseptornya,


sehingga dapat memberikan efek terapi yang diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA

– Mutschler, Ernst. 1991. Dinamika Obat. Bandung: Penerbit ITB

– Agoes, Goeswin. 2008. Seri Farmasi Industri 3: Sistem Penghantaran Obat Pelepasan
Terkendali. Bandung: Penerbit ITB

– Devissaguet J, Alache JM. 1993. Farmasetika 2. BIOFARMASI Edisi kedua.


Surabaya: Penerbit AirlanggaUniversity Press.
– Tranggono, Sppk., Dr. Retno Iswari dan Dra. Fatma Latifah, Apt. 2007. Buku
Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai