Anda di halaman 1dari 22

Kerangka Konsep Promosi Kesehatan

 Visi / Yang diharapkan : berkembangnya perilaku dan gerakan sehat di masyarakat,


menuju Indonesia Sehat 2010.
 Dasar/acuan penyelenggaraan Promosi Kesehatan, yaitu : Paradigma Sehat atau
Pembangunan Nasional yang berwawasan Kesehatan;
 Ruang lingkup Promosi Kesehatan, yaitu : Perilaku proaktif memelihara dan
meningkatkan kesehatan (contoh : olahraga/aktivitas fisik yang teratur), mencegah resiko
terjadinya penyakit (contoh : tidak merokok atau menjaga kawasan tanpa asap rokok),
melindungi diri dari ancaman penyakit (contoh : memakai helm/sabuk pengaman waktu
berkendaraan), dan berperan aktif dalam upaya kesehatan (misalnya di Posyandu).
 Area atau program yang diprioritaskan dalam promosi kesehatan, yaitu : KIA, Gizi,
Kesling, Gaya Hidup dan JPKM.
 Tatanan utama, yang menjadi sasaran promosi kesehatan, yaitu : Rumah tangga
(sasaran ibu, bayi dan balita), Sekolah (sasaran : anak sekolah), tempat-kerja (saaran : usia
produktif), tempat umum (remaja/anak muda), sarana pelayanan kesehatan (pengunjung).
 Strategi pokok : Dikenal dengan singkatan ABG, yaitu : Advokasi (upaya untuk
mempengaruhi kebijakan), Bina suasana (upaya pembentukan opini publik), dan
Gerakan/pemberdayaan masyarakat (upaya untuk menggerakan dan/atau memberdayakan
senua komponen masyarakat).
 Mitra utama : para pembuat kebijakan, lintas sektor, kalangan swasta, media massa,
Perguruan Tinggi, dan semua komponen masyarakat : tokoh agama, tokoh masyarakat, LSM,
organisasi profesi, artis, dll.

http://aselhudangmanagement.blogspot.com/2013/04/promosi-kesehatan.html
Aselmus Hudang at 6:06 AM
Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan
1.1 Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan

1.1.1. Perilaku Masyarakat Sehubungan dengan pencarian Pelayanan Kesehatan

Menurut Notoatmodjo, (2007:205-207) masyarakat atau anggota masyarakat yang

mendapat penyakit, dan tidak merasakan sakit (disease but no illness) tidak akan bertindak

apa-apa terhadap penyakitnya tersebut. Tetapi bila mereka diserang penyakit dan juga

merasakan sakit, maka baru akan timbul berbagai macam perilaku dan usaha. Respons

seseorang apabila sakit adalah sebagai berikut:

1. Tidak bertindak/kegiatan apa-apa (no action).

Alasannya antara lain bahwa kondisi yang demikian tidak mengganggu kegiatan atau kerja

mereka sehari-hari. anggapan bahwa tanpa bertindak gejala yang dideritanya akan lenyap

dengan sendirinya, fasilitas kesehatan yang diperlukan sangat jauh letaknya, para petugas

kesehatan tidak simpatik, judes, tidak responsive, dan sebagainya, akhirnya alasan takut

dokter, takut pergi ke rumah sakit, takut biaya, dan sebagainya.

2. Tindakan mengobati sendiri (self treatment)

Alasan orang atau masyarakat percaya kepada diri sendiri, dan karena pengalaman yang

lalu usaha-usaha pengobatan sendiri sudah dapat mendatangkan kesembuhan. Hal ini

mengakibatkan pencarian pengobatan keluar tidak diperlukan.

3. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional (traditional remedy).

Masyarakat pedesaan khususnya, pengobatan tradisional ini masih menduduki tempat

teratas dibanding masih menduduki tempat teratas disbanding dengan pengobatan-

pengobatan yang lain. Pada masyarakat yang masih sederhana, masalah sehat-sakit

adalah lebih bersifat budaya dari pada gangguan-gangguan fisik. Identik dengan

pencarian pengobatan pun lebih berorientasi kepada sosial-budaya masyarakat dari pada

hal-hal yang dianggapnya masih asing.

Dukun yang melakukan pengobatan tradisional merupakan bagian masyarakat,

berada ditengah-tengah masyarakat, dekat dengan masyarakat, dan pengobatan yang

dihasilkan adalah kebudayaan masyarakat, lebih diterima oleh masyarakat dari pada

dokter, mantri, bidan, dan sebagainya yang masih asing bagi mereka seperti juga

pengobatan yang dilakukan dan obatnya juga merupakan kebudayaan mereka.

4. Mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat (chemist shop)

dan sejenisnya, termasuk ketukang-tukang jamu. Obat-obat yang mereka dapatkan pada

umumnya adalah obat yang tidak memakai resep sehingga sukar untuk dikontrol.
5. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang diadakan oleh

pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta, yang dikategorikan kedalam balai

pengobatan, Puskesmas, dan Rumah Sakit.

6. Mencari pengobatan kefasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan oleh dokter

praktek (private medicine).

Dari uraian-uraian di atas tampak jelas bahwa persepsi masyarakat terhadap sehat-

sakit sangat berbeda pada setiap individu, kelompok dan masyarakat. Persepsi masyarakat

terhadap sehat-sakit erat hubungannya dengan perilaku pencarian pengobatan, berdasarkan

perbedan persepsi mempengaruhi atas dipakai atau tidak dipakainya fasilitas kesehatan yang

disediakan. Apabila persepsi sehat-sakit masyarakat belum sama dengan konsep sehat-sakit

kita, maka jelas masyarakat belum tentu atau tidak mau menggunakan fasilitas yang

diberikan, Notoatmodjo (2007:206)

1.1.2. Konsep Kerangka Kerja Pelayanan Kesehatan

1. Kategori yang berorientasi pada publik (masyarakat)

Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kategori publik terdiri dari sanitasi,

Imunisasi, kebersihan air, dan perlindungan kualitas udara. Notoatmodjo (2007:210)

2 Kategori yang berorientasi pada individu (pribadi) pelayanan kesehatan ditunjukkan

langsung kepada pemakai pribadi (individual consumer).

1.1.3. Tipe Umum dari Model Penggunaan Pelayanan Kesehatan

Faktor-faktor penentu (determinan) penggunaan pelayanan kesehatan. dan model-

model penggunaan pelayanan kesehatan dikembangkan antara lain Notoatmodjo

(2007:210-214)

a. Model Demografi (kependudukan)

Model demografi yang dipakai adalah umur, seks, perkawinan, besarnya keluarga.

Variabel ini digunakan sebagai ukuran mutlak atau indikator yang berbeda, dengan

asumsi perbedaan derajad kesehatan dan kesakitan dalam penggunan pelayanan

kesehatan dipengaruhi variabel demografi.

b. Model Struktur Sosial (Sosial Struktur models)

Dalam model ini variabel yang dipakai adalah pendidikan, pekerjaan,dan kebangsaan.

Variabel ini mencerminkan keadaan sosial dari individu atau keluarga dimasyarakat.

Penggunaan pelayanan kesehatan adalah salah satu dari aspek gaya hidup, yang

ditentukan lingkungan sosial, fisik,psikologis. Dengan kata lain pendekatan sruktur sosial

dIdasarkan pada asumsi orang dengan latar belakang struktur sosial yang bertentangan

akan mengunakan pelayanan kesehatan dengan cara yang tertentu.

c. Model Psikologis ( Psycological models)


Model yang dipakai adalah ukuran dari sikap dan keyakinan individu, variabel psikologs

meliputi kerentanan terhadap penyakit, keseluruhan penyakit, keuntungan yang

diharapkan, pengambilan tindakan.

d. Model sumber keluarga ( family Resousce models)

alam model ini va Variabel yang dipakai adalah pendapatan keluarga, cakupan

asuransi keluarga, model ini adalah kesanggupan individu untuk memperoleh pelayanan

kesehatan bagi anggotanya berdasarkan model ekonomis.

e. Model Sumber daya masyarakat ( Comunity Resousce models)

Penyediaan pelayanan kesehatan dan sumber yang ada didalam masyarakat

memindahkan pelayanan dari tingkat individu ke tingkat masyarakat

f. Model Organisasi (Organization models)

Model ini adalah perncerminan perbedaan bentuk sistem pelayanan kesehatan meliputi

gaya praktik pengobatan, sifat pelayanan (membayar langsung atau tidak) letak

pelayanan ( tempat pribadi, klinik, RS) Petugas kesehatan.

g. Model Sistem Kesehatan

Model yang menggabungkan atau atau mengintegrasikan keenam model terdahulu

kedalam model yang lebih sempurna.

h. Model Kepercayaan Kesehatan (Health belief model)

Model yang menjabarkan dari model sosio psikokogis

i. Model Sistem Kesehatan ( health sistem model) Anderson (1974)

Model kepercayaan kesehatan terbagi dalam 3 kategori

1. Predisposisi bahwa tiap individu mempunyai kecenderungan

untuk menggunakan pelayanan kesehatan yang berbeda 1) ciri demografi (jenis

kelamin, dan umur 2) struktur sosial (pendidikan, pekerjaan ras suku) 3) Manfaat

kesehatan, keyakinan bahwa pelayanan kesehatan dapat menolong proses

penyembuhan.

2. Karakteristik pendukung (enabling charakteristics) kemampuan konsumen untuk

membayar

3. Karakteristik kebutuhan ( need charakterstics) dirasakan sebagai satu kebutuhan untuk

mencari pengobatan

1.2. Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri dan meningkatkan

kesehtan, mencegah, menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan,

keluarga, kelompok ataupun masyarakat (Azwar, 1996)

1.2.1 Syarat Pokok Pelayanan Kesehatan


Untuk dapat disebut pelayanan kesehatan yang baik harus memenuhi persyaratan antara lain

(Azwar, 1996)

1. Tersedia dan berkesinambungan. Pelayanan kesehatan harus tersedia dimasyarakat serta

berkesinambungan artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh

masyrakat tidak sulit ditemukan serta keberadannya dalam masyarakat pada setiap saat

dibutuhkan.

2. Dapat diterima secara wajar. Pelayanan kesehatan tidak bertentangan dengan keyakinan,

kepercayaan masyarakat, adat istiadat, kebudayan dan keyakinan serta kepercayan

masyarakat bersifat wajar.

3. Mudah dicapai, ditinjau dari sudut lokasi, pelayanan kesehatan yang baik pengaturan

distribusi sarana kesehatan menjadi penting disetiap desa harus merata.

4. Mudah dijangkau oleh masyarakat khususnya ditinjau dari segi biaya, ekonomi masyarakat

5. Bermutu, ditinjau dari tingkat kelayanan sesuai dengan kesempurnaan, memberikan

kepuasan para pemakai jasa sesuai kode etik standar yang ditetapkan.

1.2.2 Pemberi Pelayanan Kesehatan

Menurut Depkes RI, (2009) dalam undang – undang Kesehatan menyatakan bahwa

setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal

dan memiliki kewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat

kesehatan perorangan, keluarga dan lingkungannya. Oleh karena itu semua orang termasuk

tenaga kesehatan mempunyai kewajiban untuk melaksakan pemeliharaan dan peningkatan

pelayanan kesehatan yang bermutu, dan merata terjangkau oleh masyarakat mewujudkan

derajat kesehatan diselenggarakan melalui pendekatan pemeliharaan, peningkatan

kesehatan (promotif), pencegahan (preventif), penyembuhan (kuratif) dan pemeliharan

kesehatan (rehabilitatif) upaya tersebut diatas dilaksakan secara menyeluruh terpadu, dan

berkesinambungan.

Jenis pemberi pelayanan kesehatan terbagi dalam beberapa jenis antara lain :

1. Dokter Umum

Menurut Syafrudin (2009:216) dokter umum adalah seseorang mempunyai

pengetahuan yang lebih luas dalam obstetri, bekerja di puskesmas lebih banyak dalam

kegiatan obstetri yang mencakup seluruh proses reproduksi, pengaturan, kesuburan, baik

berupa penerangan, maupun pelayanan.

Menurut Syafrudin, (2009:217) dokter Ahli yaitu orang yang dapat menangulangi

semua kasus, tetapi sebagian masyarakat dapat menikmatinya (biaya mahal) jumlah

sedikit tidak menyebar dari segi pelayanan tenaga sangat terbatas kegunaannya.
2. Bidan

Menurut PP IBI (2006:1,2) bidan seseorang (wanita) yang telah mengikuti dan

menyelesaikan program pendidikan kebidanan yang telah diakui pemerintah setempat, dan

lulus ujian sesuai dengan ketentuan yang berlaku, telah memperoleh Ijazah dan terdaftar

sebagai persyaratan utama untuk melakukan praktek kebidanan. Bidan harus mampu

memberikan supervisi asuhan dan memberikan nasehat yang dibutuhkan kepada wanita

selama masa hamil, persalinan dan masa pasca persalinan (post partum period), memimpin

persalinan atas tanggungjawabnya sendiri serta asuhan pada bayi baru lahir dan anak.

Asuhan ini termasuk tindakan preventif, pendeteksian kondisi abnormal pada ibu

dan bayi, dan mengupayakan bantuan medis serta melakukan tindakan pertolongan gawat

darurat pada saat tidak hadirnya tenaga medik lainnya. Bidan mempunyai tugas penting

dalam konsultasi dan pendidikan kesehatan, tidak hanya untuk wanita tersebut, tetapi juga

termasuk keluarga dan komunitasnya. Pekerjaan itu termasuk antenatal, dan persiapan

untuk menjadi orang tua, dan meluas daerah tertentu dari ginekologi, keluarga berencana

dan asuhan anak. Bidan bisa berpraktek di rumah sakit, klinik, unit kesehatan, rumah

perawatan atau tempat-tempat pelayanan lainnya ( PP IBI, 2006: 72).

Menurut Syafrudin, (2009:54) bidan adalah suatu profesi yang dinamis. Perobahan

yang terjadi begitu cepat, mengharuskan bidan secara terus menerus untuk memperbaharui

ketrampilannya dan meningkatkan kemampuannya, berfokus pelayanan kesehatan

reproduksi, sebagai pengelola, pendidik, dan peneliti.

3. Perawat Kesehatan

Menurut Depkes, RI (2001:4) menyatakan bahwa perawat kesehatan adalah

seseorang yang memiliki kualifikasi sehingga dibenarkan mempunyai kedudukan dalam

suatu sistem pelayanan kesehatan. Kedudukan perawat dalam sistem ini sebagai anggota

tim kesehatan yang memiliki wewenang dalam pelaksanaan perawatan.

Depkes, RI (2001:16,17) secara rasional tenaga keperawatan yang mencakup tugas,

wewenang dan tanggung jawab dengan kompentensi yang dipersyaratkan diperlukan untuk

mencapai tujuan pelayanan keperwatan dan kebidanan yang efektif dan efisien.

Sesuai dengan tugas perawat, tenaga perawat dapat bekerja sama baik di

Puskesmas maupun di Rumah Sakit. Salah satu tugas perawat dimasyarakat dalam

melaksanakaan program KIA adalah memberikan asuhan keperawatan kepada Ibu hamil,

Ibu bersalin, Ibu nifas, bayi baru lahir serta keluarga berencana dalam melaksanakan

tugasnya perawat bekerja secara tim dengan petugas kesehatan lain.

4. Dukun (Tenaga Non Kesehatan).


Menurut Syafrudin,dkk (2009:165) dukun bayi adalah orang yang trampil dan

dipercaya oleh masyarakat untuk menolong persalinan dan perawatan ibu dan anak sesuai

kebutuhan masyarakat, kepercayaan masyarakat terhadap ketrampilan dukun bayi berkaitan

dengan sistim nilai budaya masyarakat, dukun bayi diperlakukan sebagai tokoh masyarakat

sehingga memiliki potensi dalam pelayanan kesehatan.

Menurut Depkes R I (2003:2-3) dukun bayi adalah orang yang dianggap trampil

dan dipercaya oleh masyarakat untuk menolong persalinan, perawatan ibu dan anak sesuai

kebutuhan masyarakat. Ketrampilan dukun bayi pada umumnya didapat melalui ”magang”.

angapan dan kepercayaan masyarakat berkaitan dengan sistem budaya.

Dukun bayi adalah seorang anggota masyarakat, pada umumnya seorang wanita

yang mendapat kepercayaan serta memiliki keterampilan menolong persalinan secara

tradisional, dan memperoleh keterampilan tersebut dengan cara turun temurun, belajar

secara praktis, atau cara yang menjurus kearah peningkatan keterampilan melalui petugas

kesehatan (Depkes RI, 1993:5).

Dukun (bermacam-macam dukun) yang melakukan pengobatan tradisional merupakan

bagian dari masyarakat, berada ditengah-tengah masyrakat, dekat dengan masyarakat, dan

pengobatan yang dihasilkan adalah kebudayaan masyarakat, dukun terkadang lebih diterima

oleh masyarakat jika dibandingkan dengan tanaga dokter,bidan,mantri dan sebagainya yang

masih asing bagi mereka dan obat-obatan yang digunakanpun merupakan hasil kebudayaan

yang berkembang dimasyarakat tersebut (Notoatmodjo, 2007:206).

Dipedesaan dukun biasanya mempunyai penghasilan tetap sebagai petani atau

pedagang kecil, pertolongan persalinan yang diberikan rata-rata 2-3 kali sebulan.

Pengetahuan tentang fisiologis dan patologi dalam kehamilan, persalinan serta nifas sangat

terbatas, sehingga bila timbul komplikasi ibu tidak mampu mengatasi, bahkan tidak menyadari

arti dan akibatnya. Walaupun demikian, dukun bayi dalam masyarakat mempunyai pengaruh

besar, dukun menghadiri persalinan tidak hanya memberikan pertolongan teknis, melainkan

juga memberikan “emotional security” kepada wanita yang sedang bersalin serta keluarganya,

karena dengan doa-doanya dianggap dapat membantu melancarkan jalannya persalinan

(Depkes RI, 1993)

Keberadaan dukun masih sangat kuat pengaruhnya bagi masyarakat pedesaan. Ini

terjadi karena usia dukun yang relatif tua sehingga dianggap mempunyai pengalaman yang

lebih serta dianggap sesepuh di daerahnya. Selain itu biasanya dukun bayi/beranak

melakukan pemijatan ibu hamil yang kehamilannya semakin tua. Masalah sosio kultural inilah

yang masih sulit untuk dihapuskan dari anggapan masyarakat dalam waktu yang relatif

singkat (Depkes RI, 1993).


Tugas dukun bukan hanya menolong persalinan, ia juga biasanya memberikan

pengobatan tradisional kepada ibu yang memerlukan. Pendekatan yang dilakukan oleh dukun

terhadap ibu yang ditolongnya adalah secara kekeluargaan, sehingga upah yang diterima

tidak hanya dalam bentuk uang tapi ia juga menerima rasa terima kasih dari orang yang

ditolongnya dalam bentuk barang. Pelayanan yang diberikan oleh dukun cukup lengkap, mulai

dari perawatan semasa hamil, persalinan dan nifas, termasuk berbagai cara yang dilakukan

terhadap ibu dan bayinya (Depkes RI, 1993).

1.3 Persalinan
1.3.1 Definisi
Persalinan dapat diartikan sebagai suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yang
telah cukup bulan dan dapat hidup diluar kandungan tanpa bantuan atau dengan kekuatan
ibu sendiri atau dapat pula diartikan sebagai suatu proses pengeluaran janin dan plasenta
secara alamiah tanpa ada bantuan tenaga atau kekuatan lainnya (Manuaba, 2001:157).
Selanjutnya persalinan normal adalah: persalinan yang dimulai secara spontan,
beresiko rendah pada awal persalinan dan tetap demikian selama proses persalinan. Bayi
dilahirkan secara spontan dalam presentasi belakang kepala pada usia kehamilan antara 37
hingga 42 minggu lengkap setelah persalinan ibu dan bayi berada dalam kondisi sehat
(Manuaba, 2001: 157)

1.3.2 Pertolongan Persalinan


Pertolongan persalinan dilakukan dengan adanya kemitraan antara Bidan-Dukun
(pendamping persalinan) dan persalinan yang ditolong/ didampingi oleh tenaga kesehatan
dianggap memenuhi persyaratan sterilitas dan aman, karena bila ibu mengalami komplikasi
persalinan maka penanganan atau pertolongan pertama pada rujukan dapat segera
dilakukan. Upaya percepatan penurunan AKI menekankan pada penyediaan pelayanan
kebidanan dan bayi baru lahir berkualitas kepada masyarakat antara lain (Depkes RI, 2001)
a. Pelayanan persalinan yang aman oleh tenaga kesehatan
b. Deteksi dini tanda bahaya/resiko tinggi kehamilan/persalinan
c. Pelayanan obstetri dan neonatal emergensi dasar (PONED)
d. Pelayanan obstetri dan neonatal emergensi komprehensif (PONEK) kepada setiap ibu
hamil dan didukung partisipasi aktif dari masyarakat
Beberapa penyebab masih rendahnya cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan yaitu masih cukup banyak ibu/ masyarakat yang masih mempercayai dukun bayi
dibandingkan dengan bidan, dengan alasan yaitu (Depkes RI, 2001)
a. Pelayanan dukun lebih komperehensif dan kekeluargaan.
b. Jasa pelayanan relatif lebih murah dan mudah sehingga keluarga cenderung memilih
dukun bayi.
c. Jarak antara rumah bidan dan ibu jauh sehingga keluarga cenderung memilih dukun bayi.
d. Tidak semua ibu mampu membayar jasa pelayanan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan
e. Belum dilaksanakan secara optimal kantong persalinan.
Adanya beberapa masalah disekitar kualitas pertolongan persalinan antara lain belum
semua bidan yang mengisi serta menggunakan partograf sebagai alat pengamatan
persalinan dengan benar dan belum semua bidan dapat menolong persalinan dengan
benar (Depkes RI, 2002:28-29).

1.3.3 Jenis – Jenis Persalinan


a. Persalinan Spontan (Normal)
Adalah proses lahirnya bayi pada letak belakang kepala dengan tenaga ibu sendiri,
tanpa bantuan alat-alat serta tidak melukai ibu dan bayi yang umumnya berlangsung
kurang dari 24 jam.
b. Persalinan Buatan
Persalinan dilakukan dengan cara menimbulkan suatu rangsangan terlebih dahulu atau
proses persalinan dengan bantuan dari tenaga luar
c. Tindakan: Operasi SC (Secsio Caesaria ), alat-alat: forcep, vacum ekstraksi
d. Persalinan Anjuran
Adalah bila kekuatan yang diperlukan untuk persalinan ditim-bulkan dari luar dengan
jalan rangsangan (Asrinah,2010:2-3).
1.3.4 Tempat-tempat pertolongan persalinan yaitu:
a. Rumah sakit atau Puskesmas
b. Puskesmas yang tersedia untuk ruang bersalin
c. Pondok bersalin
d. Rumah sakit bersalin atau BPS
e. Rumah ibu sendiri

di April 26, 2013

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

http://ekoratuperwira.blogspot.com/2013/04/perilaku-pencarian-pelayanan-kesehatan.html

Selasa, 15 Oktober 2013


PERILAKU MENCARI PELAYANAN
KESEHATAN
Dr. Suparyanto, M.Kes

PERILAKU MENCARI PELAYANAN KESEHATAN

1.3. Perilaku mencari pelayanan kesehatan


Masyarakat atau anggota masyarakat pada umumnya mempunyai
perilaku yang berbeda-beda terkait dengan sakit dan penyakit. Perilaku
tersebut tercermin dalam respons yang dilakukan apabila mereka
diserang penyakit dan merasakan sakit mulai dari tidak bertindak atau
hingga tidak melakukan apa-apa. Berikut adalah perilaku masyarakat
dalam mencari yankes untuk mengobati sakit yang dideritanya :
a. Tidak bertindak/kegiatan apa-apa (no action).
Alasannya antara lain bahwa kondisi yang demikian tidak
mengganggu kegiatan atau kerja mereka sehari-hari. Anggapan
bahwa tanpa bertindak gejala yang dideritanya akan lenyap
dengan sendirinya, fasilitas kesehatan yang diperlukan sangat jauh
letaknya, para petugas kesehatan tidak simpatik, judes,
tidak responsive, dan sebagainya, akhirnya alasan takut dokter,
takut pergi ke rumah sakit, takut biaya, dan sebagainya.

b. Tindakan mengobati sendiri (self treatment)


Alasan orang atau masyarakat percaya kepada diri sendiri,
dan karena pengalaman yang lalu usaha-usaha pengobatan
sendiri sudah dapat mendatangkan kesembuhan. Hal ini
mengakibatkan pencarian pengobatan keluar tidak diperlukan.
c. Mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan tradisional (traditional
remedy).
Masyarakat pedesaan khususnya, pengobatan tradisional ini
masih menduduki tempat teratas dibandingdengan pengobatan-
pengobatan yang lain. Pada masyarakat yang masih sederhana,
masalah sehat-sakit adalah lebih bersifat budaya dari pada
gangguan-gangguan fisik. Identik dengan pencarian pengobatan
pun lebih berorientasi kepada sosial-budaya masyarakat dari pada
hal-hal yang dianggapnya masih asing.
Dukun yang melakukan pengobatan tradisional merupakan
bagian masyarakat, berada ditengah-tengah masyarakat, dekat
dengan masyarakat, dan pengobatan yang dihasilkan adalah
kebudayaan masyarakat, lebih diterima oleh masyarakat dari pada
dokter, mantri, bidan, dan sebagainya yang masih asing bagi
mereka seperti juga pengobatan yang dilakukan dan obatnya juga
merupakan kebudayaan mereka.
d. Mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung
obat (chemist shop) dan sejenisnya, termasuk ketukang-tukang
jamu.
Obat-obat yang mereka dapatkan pada umumnya adalah
obat yang tidak memakai resep sehingga sukar untuk dikontrol.
e. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang
diadakan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan
swasta, yang dikategorikan kedalam balai pengobatan,
Puskesmas, dan Rumah Sakit.
f. Mencari pengobatan kefasilitas pengobatan modern yang
diselenggarakan oleh dokter praktek (private medicine).

Dari uraian-uraian di atas tampak jelas bahwa persepsi masyarakat


terhadap sehat-sakit sangat berbeda pada setiap individu, kelompok
dan masyarakat. Persepsi masyarakat terhadap sehat-sakit erat
hubungannya dengan perilaku pencarian pengobatan, berdasarkan
perbedaan persepsi mempengaruhi atas dipakai atau tidak dipakainya
fasilitas kesehatan yang disediakan. Apabila persepsi sehat-sakit
masyarakat belum sama dengan konsep sehat-sakit, maka jelas
masyarakat belum tentu atau tidak mau menggunakan fasilitas yang
diberikan, Notoatmodjo (2007:206)

Tahap Penundaan Pencarian Bantuan


Appraisal delay : waktu yang dibutuhkan seseorang untuk
mengetahui bahwa gejala tersebut serius.
Illness delay : jarak waktu yang dibutuhkan untuk mengetahui
bahwa gejala tersebut merupakan gejala penyakit dan keputusan
untuk mencari pengobatan.
Utilization delay : waktu antara keputusan untuk mencari
pengobatan dan pelaksanaannya.

Alasan untuk Berbagai Tahap Penundaan


Tidak adanya rasa sakit.
Tidak mengetahui bahwa gejala itu serius.
Biaya pengobatan.
Kesibukan kerja.

DAFTAR PUSTAKA

1. Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. “Ilmu Perilaku Kesehatan”. Jakarta.


Rineka Cipta.
2. Effendy, Nasrul. 1998. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: EGC.
3. Ekasari, Mia Fatma, dkk. 2008. Keperawatan Komunitas Upaya
Memandirikan Masyarakat untuk Hidup Sehat. Jakarta: Trans Info
Media.
4. Go Nursing. 2008. Keperawatan Keluarga Sebuah Pengantar.
http://ilmukeperawatan.wordpress.com/2008/04/07/keperawatan-
keluarga-sebuah-pengantar/.
5. Slamet, Juli Soemirat. 2002. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
6. Friedman, M. M. (1998). Keperawatan Keluarga Teori dan
Praktek.(Family nursing teori and practice). Edisi 3. Alih bahasa Ina
debora R. L. Jakarta: EGC
7. Tri Kurniawati, Irma. 2008. “ Gambaran Pemanfaatan-Literatur”.
www.lontar.ui.ac.id.
8. http://andhablog.blogspot.com/2009/04/perilaku-sakit.html
9. (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3747/1/fkm-
juanita5.pdf)
10. http://www.scribd.com/doc/75657031/DINAMIKA-KELUARGA
11. http://hikmatpembaharuan.wordpress.com/
12. http://rizkipkip.blogspot.com/2013/05/perilaku-pencarian-
pelayanan-kesehatan.html
13. http://g00dlucky.blogspot.com/2013/04/perilaku-pencarian-
pelayanan-kesehatan.html

Diposting oleh dr. Suparyanto, M.Kes di 09.31

http://dr-suparyanto.blogspot.com/2013/10/perilaku-mencari-pelayanan-kesehatan.html
KAMIS, 11 SEPTEMBER 2014

TEORI PRECEDE AND PROCEED

Lawrence Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan
seseorang atau masyrakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior
causes) dan faktor di luar perilaku (non-behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri
ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor :

1. Faktor-faktor predisposisi (Predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap,


kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.

2. Faktor-faktor pendukung (Enabling factors), yang terwujud dalam fasilitas-fasilitas atau sarana-
sarana, alat-alat kontrasepsi, jamban, dan sebagainya.
3. Faktor-faktor pendorong (Renforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan Perilaku petugas
kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

Teori Lawrence W Green merupakan salah satu teori modifikasi perubahan perilaku yang
dapat digunakan dalam mendiagnosis masalah kesehatan ataupun sebagai alat untuk merencanakan
suatu kegiatan perencanaan kesehatan atau mengembangkan suatu model pendekatan yang dapat
digunakan untuk membuat perencanaan kesehatan yang dikenal dengan kerangka kerja Precede
dan Proceed. Kerangka kerja precede mempertimbangkan beberapa faktor yang membentuk status
kesehatan dan membantu perencana terfokus pada faktor tersebut sebagai target untuk intervensi.

Menurut Green (1980) penggunaan kerangka kerja PRECEDE and PROCEED adalah
sebagai berikut:

PRECEDE terdiri dari:

1. Predisposing;

2. Reinforcing;

3. Enabling cause in educational diagnosis and evaluation

Akan memberikan wawasan spesifik menyangkut evaluasi. Kerangka kerja ini menunjukkan
sasaran yang sangat terarah untuk intervensi. PRECEDE digunakan pada fase diagnosis masalah,
penetapan prioritas dan tujuan program.

PROCEED terdiri dari:

1. Policy

2. Regulation

3. Organizational and environmental development

Menampilkan kriteria tahapan kebijakan dan implementasi serta evaluasi.

Precede mengarahkan perhatian awal pendidik kesehatan terhadap keluaran dan bukan
terhadap masukan dan memaksanya memulai proses perencanaan pendidikan kesehatan dari ujung
“Keluaran”. Ini mendorong munculnya pertanyaan “mengapa” sebelum pertanyaan “bagaimana”.
Dari sudut perencanaan, apa yang terlihat sebagai ujung yang salah sebagai tempat untuk memulai,
kenyataannya adalah sesuatu yang benar. Orang mulai dengan keluaran akhir, kemudian bertanya
tentang apa yang harus mendahului keluaran itu, yakni dengan cara menentukan sebab-sebab
keluaran itu. Dinyatakan dalam cara lain, semua faktor yang penting untuk suatu keluaran harus
didiagnosis sebelum intervensi dirancang; jika tidak, intervensi akan didasarkan atas dasar tebakan
(kira-kira) dan mempunyai resiko salah arah.

Bekerja menggunakan precede dan proceed, mengajak orang berpikir deduktif, untuk
memulai dengan akibat akhir dan bekerja ke belakang ke arah sebab-sebab yang asli.

Adapun penjelasan dari tiap fase dalam kerangka Precede Proceed Theory adalah sebagai
berikut:

1. Fase 1 (diagnosa sosial)

Adalah proses penentuan persepsi seseorang terhadap kebutuhan dan kualitas hidupnya dan
aspirasi untuk lebih baik lagi, dengan penerapan berbagai informasi yang didesain sebelumnya.
Partisipasi masyarakat adalah sebuah konsep pondasi dalam diagnosis sosial dan telah lama
menjadi prinsip dasar bagi kesehatan dan pengembangan komunitas. Hubungan sehat dengan
kualitas hidup merupakan hubungan sebab akibat. Input pendidikan kesehatan, kebijakan,
regulasi dan organisasi menyebabkan perubahan out come, yaitu kualitas hidup. Fase ini
membantu masyarakat (community) menilai kualitas hidupnya tidak hanya pada kesehatan.
Adapun untuk melakukan diagnosa sosial dilaksanakan dengan mengidentifikasi masalah
kesehatan melalui review literature (hasil-hasil penelitian), data (misalnya BPS, Media massa),
group method.

Hubungan sebab akibat dapat terjadi secara langsung melalui kebijakan sosial, intervensi
pelayanan sosial, kebijakan kesehatan dan program kesehatan.

a. Bagian atas yaitu kebijakan sosial atau keadaan sosial, mengindikasikan masalah kesehatan
mempengaruhi kualitas hidup, sehingga kualitas hidup dapat memotivasi dan mampu
mengatasi berbagai masalah kesehatan.

Kualitas hidup sulit diukur dan sulit didefinisikan; ukuran obyektif (indikator sosial), yaitu
angka pengangguran, kepadatan hunian, kualitas air. Ukuran subyektif (informasi dari
anggota masyarakat tentang kepuasan hidup, kejadian hidup yang membuat stress, individu
dan sumber daya sosial.

b. Bagian bawah yaitu intervensi kesehatan, mengindikasikan kondisi sosial dan kualitas
hidup dipengaruhi oleh masalah kesehatan.

2. Fase 2 (diagnosa epidemiologi)

Masalah kesehatan merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup seseorang,
baik langsung maupun tidak langsung. Yaitu penelusuran masalah-masalah kesehatan yang
dapat menjadi penyebab dari diagnosa sosial yang telah diprioritaskan. Ini perlu dilihat data
kesehatan yang ada dimasyarakat berdasarkan indikator kesehatan yang bersifat negatif yaitu
morbiditas dan mortalitas, serta yang bersifat positif yaitu angka harapan hidup, cakupan air
bersih, cakupan rumah sehat.

Untuk menentukan prioritas masalah kesehatan, dilakukan dengan beberapa tahapan,


diantaranya:

a. Masalah yang mempunyai dampak terbesar pada kematian, kesakitan, lama hari kehilangan
kerja, biaya rehabilitasi, dan lain-lain.

b. Apakah kelompok ibu dan anak-anak yang mempunyai resiko.

c. Masalah kesehatan yang paling rentan untuk intervensi.

d. Masalah yang merupakan daya ungkit tinggi dalam meningkatkan status


kesehatan,economic savings.

e. Masalah yang belum pernah disentuh atau di intervensi.

f. Apakah merupakan prioritas daerah/ nasional.

3. Fase 3 (diagnosa perilaku dan lingkungan)

Pada fase ini terdiri dari 5 tahapan, antara lain:

a. Memisahkan penyebab perilaku dan non perilaku dari masalah kesehatan.

b. Mengembangkan penyebab perilaku

1) Preventive behaviour (primary, secondary, tertiary)

2) Treatment behaviour

c. Melihat important perilaku

1) Frekuensi terjadinya perilaku

2) Terlihat hubungan yang nyata dengan masalah kesehatan

d. Melihat changebility perilaku

e. Memilih target perilaku


Untuk mengidentifikasi masalah perilaku yang mempengaruhi status kesehatan,
digunakan indikator perilaku seperti: pemanfaatan pelayanan kesehatan (utilisasi), upaya
pencegahan (prevention action), pola konsumsi makanan (consumtion pattern), kepatuhan
(compliance), upaya pemeliharaan sendiri (self care).

Untuk mendiagnosa lingkungan diperlukan lima tahap, yaitu: membedakan penyebab


perilaku dan non perilaku; menghilangkan penyebab non perilaku yang tidak bisa diubah;
melihat important faktor lingkungan, melihat changeability faktor lingkungan, memilih target
lingkungan.

4. Fase 4 (diagnosa pendidikan dan organisasi )

Mengidentifikasi kondisi-kondisi perilaku dan lingkungan yang status kesehatan atau


kualitas hidup dengan memperhatikan faktor-faktor penyebabnya. Mengidentifikasi faktor-
faktor yang harus diubah untuk kelangsungan perubahan perilaku dan lingkungan. Merupakan
target antara atau tujuan dari program.

Ada 3 kelompok masalah yang berpengaruh terhadap perilaku, yaitu:

a. Faktor predisposisi (predisposing factor): pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan,


nilai, dan lain-lain.

b. Faktor penguat (reinforcing factor): perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, dan lain-
lain.

c. Faktor pemungkin (enabling factor): lingkungan fisik tersedia atau tidak tersedianya
fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, dan lain-lain.

Tahap proses menyeleksi faktor dan mengatur program:

a. Identifikasi dan menetapkan faktor-faktor menjadi 3 kategori

Mengidentifikasi penyebab-penyebab perilaku dan dipilah-pilah sesuai dengan 3 kategori


yang ada: predisposing, enabling, reinforcing factors.

Metode:

1) Formal

a) Literatur

b) Checklist dan kuesioner


2) Informal

a) Brainstorming

b) Normal group process (NGP)

b. Menetapkan prioritas antara kategori

Menetapkan faktor mana yang menjadi obyek intervensi, dan seberapa penting dari ke-3
faktor yang ada.

c. Menetapkan prioritas dalam kategori

Berdasarkan pertimbangan:

1) Important: prevalensi, penting dan segera di atasi menurut logis, pengalaman, data dan
teori

2) Immediacy: seberapa penting

3) Necessity: mungkin prevalensi rendah, tapi masih harus dimunculkan perubahan


lingkungan dan perilaku yang terjadi

4) Changeability: mudah untuk diubah

5. Fase 5 (diagnosa administrasi dan kebijakan)

Pada fase ini dilakukan analisis kebijakan, sumber daya dan kejadian-kejadian dalam organisasi
yang mendukung atau menghambat perkembangan promosi kesehatan.

a. Administrative diagnosis

1) Memperkirakan atau menilai resorces/ sumber daya yang dibutuhkan program

2) Menilai resorces yang ada didalam organisasi atau masyarakat

3) Mengidentifikasi faktor penghambat dalam mengimplementasi program

Tahap diagnosa administrasi, antara lain:

1) Menilai kebutuhan sumber daya


a) Time

b) Personnel

c) Budget

2) Menilai ketersediaan sumber daya

a) Personnel

b) Budgetary contraints (keterbatasan budget)

3) Menilai penghambat implementasi

a) Staff commitment and attitude

b) Goal conflict

c) Rate of change

d) Familiarity

e) Complexity

f) Space

g) Community barriers

b. Policy diagnosis

1) Menilai dukungan politik

2) Dukungan regulasi atau peraturan

3) Dukungan sistem didalam organisasi

4) Hambatan yang ada dalam pelaksanaan program

5) Dukungan yang memudahkan pelaksanaan program

Tahapan diagnosa kebijakan, antara lain:


1) Menilai kebijakan, regulasi dan organisasi

a) Issue of loyality

b) Consistency

c) Flexibility

d) Administrative of professional direction

2) Menilai kekuatan politik

a) Level of analysis

b) The zero-sum game

c) System approach

d) Exchange theory

e) Power equalization approach

f) Power educative approach

g) Conflict approach

h) Advocacy and education and community development

Implementasi:

Kunci keberhasilan implementasi:

1. Pengalaman

2. Sensitif terhadap kebutuhan

3. Fleksibel dalm situasi kondisi

4. Fokus pada tujuan

5. Sense of humor
Evaluasi dan accountability:

Evaluasi: membandingkan tujuan dengan standar object of interest:

1. Mengukur quality of life

2. Indikator status kesehatan

3. Faktor perilaku dan lingkungan

4. Faktor predisposing, enabling, reinforcing

5. Aktivitas intervensi

6. Metode

7. Perubahan kebijakan, regulasi atau organisasi

8. Tingkat keahlian staf

9. Kualitas penampilan dan pendidikan

Object of interest:

1. Input

2. Intermediate effects

3. Outcome

Tingkatan Objective:

1. Ultimate objectives : sosial dan kesehatan

2. Intermediate objectives: perilaku dan lingkungan


3. Immediate objective: educational, regulatory, policy

Tingkat Evaluasi:

1. Evaluasi proses

Evaluasi dari program promosi kesehatan yang dilaksanakan

2. Evaluasi impact

Menilai efek langsung dari program pada target perilaku (predisposing, enabling,
reinforcing factors) dan lingkungan

3. Evaluasi outcome

Evaluasi terhadap masalah pokok yang pada proses awal perencanaan akan diperbaiki: satus
kesehatan dan quality of life.

DAFTAR PUSTAKA

Ariani. 2011. Analisis Hubungan Pengetahuan, Sikap dengan Tindakan Berdasarkan


Indikator Surveylands Perilaku HIV AIDS pada Wanita Pekerja Seksual.
Surabaya.Departemen Epidemiologi FKM Unair

Green. 1991. Health Promotion Planning An Aducational and Environmental Approach


Second Edition. London.Mayfield publishing company.

Notoatmodjo. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta.

Diposting oleh eko budi di 18.57


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Demikian yang bisa kami sampaikan mengenai materi yang menjadi uraian makalah ini, tentu
`banyak kekurangan dan kelemahan karena keterbatasan pengetahuan dan rujukan atau referensi
yang kami peroleh. Penulis berharap kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada kami demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis pada umumnya dan pembaca pada khususnya. Aamiin

alam melakukan promosi kesehatan perawat harus menjaga hubungan


dengan klien, agar isi dari promosi kesehatan yang disampaikan dapat diterima
dan diterapkan oleh klien.
2. Klien
Dalam menerima promosi kesehatan klien harus berperan dalam menentukan
keputusan untuk dirinya sendir

Anda mungkin juga menyukai