Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Posyandu Lansia

2.1.1 Pengertian Poyandu Lansia

Posyandu lansia adalah pos pelayanan terpadu untuk mayarakat yang sudah berusia

lanjut disuatu wilayah tertentu yang sudah disepakati dan digerakkan oleh mayarakat

dimana masyarakat yang berusia lanjut bisa mendapatkan pelayanan kesehatan (Khadijah et

al., 2014).

Posbindu adalah pos pembinaan terpadu untuk masyarakat usia lanjut di suatu

wilayah yang digerakkan oleh masyarakat, dari kebijakan pemerintah melalui pelayanan

kesehatan dan di selenggarakan melalui program Puskesmas dengan melibatkan peran serta

para lansia, keluarga, tokoh masyarakat dan organisasi sosial dalam penyelenggaraannya

(Sunartyasih & Linda, 2012).

Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Lanjut Usia adalah suatu wadah pelayanan

kepada lanjut usia di masyarakat, yang proses pembentukan dan pelaksanaannya dilakukan

oleh masyarakat bersama lembaga swadaya masyarakat (LSM), lintas sektor pemerintah dan

non-pemerintah, swasta, organisasi sosial dan lain-lain, dengan menitik beratkan pelayanan

kesehatan pada upaya promotif dan preventif. Disamping pelayanan kesehatan, di Posyandu

Lanjut Usia juga dapat diberikan pelayanan sosial, agama, pendidikan, ketrampilan, olah

raga dan seni budaya serta pelayanan lain yang dibutuhkan para lanjut usia dalam rangka

meningkatkan kualitas hidup melalui peningkatan kesehatan dan kesejahteraan mereka.

Selain itu mereka dapat beraktifitas dan mengembangkan potensi diri (Kemenkes RI, 2013).
2.1.2 Tujuan Posyandu Lansia

Tujuan dibentuknya posyandu lansia menurut Hidayah (2016) yaitu:

1. Memelihara kondisi kesehatan dengan aktifitas fisik sesuai kemampuan dan aktifitas

yang mendukung.

2. Memelihara kemandirian secara maksiamal.

3. Melaksanakan diagnose dini secara tepat dan memadai.

4. Melaksanakan pengobatan secara tepat.

5. Membina lansia dalam bidang kesehatan fisik.

6. Sarana untuk menyalurkan minat lansia.

7. Meningkatkan kebersamaan antar lansia.

8. Meningkatkan kemampuan lansia untuk mengembangkan kegiatan kesehatan dan

kegiatan lain yang sesuai kebutuhan lansia.

2.1.3 Sasaran Posyandu Lansia

Sasaran dari posyandu lansia adalah sasaran langsung yaitu kelompok prausia lanjut

(45-59 tahun), kelompok usia lanjut (60 tahun keatas). Kelompok usia lanjut yang memiliki

resiko tinggi (70 tahun keatas). Sasaran tidak langsung yaitu keluarga lansia, masyarakat

umum, organisasi social dalam bidang lansia (Hidayah, 2016).

2.1.4 Kegiatan Poyandu Lansia

Pelayanan dalam posyandu lansia pertama pemeriksaan kegiatan sehari-hari seperti:

makan, minum, mandi, berpakaian dan naik turun tempat tidur, dan buang air.

Pemeriksaan kedua memeriksa status gizi dengan menimbang berat badan dan tinggi badan
dengan dilakukan pencatatan dalam grafik indeks massa tubuh (IMT). Pemeriksaan status

mental dan tekanan darah menggunakan tensi meter dan stetoskop serta penghitungan

denyut nadi selama 1 menit (Deri, 2016).

Pemeriksaan hemoglobin, gula darah sebagai deteksi awal adanya penyakit diabetes

mellitus.Pemeriksaan kandungan zat putih telur (protein) dalam air seni sebagai deteksi

awal adanya penyakit ginjal dan pelaksanaan rujukan pukesmas bila ada rujukan.Kegiatan

penyuluhan dilakukan diluar atau didalam posyandu atau kelompok lansia. Kunjungan

rumah oleh kader dan didampingi tenaga kesehatan dari puskesmas bagian anggota lansia

yang tidak pernah hadir di posyandu (Hidayah, 2016).

2.1.5 Pemanfaatan Posyandu Lansia

Menurut Rosmery et al. (2015) menyatakan manfaat mengikuti Posyandu lansia

yaitu :

a. Kesehatan fisik usia lanjut dapat dipertahankan.

b. Kesehatan tetap terpelihatra.

c. Menyalurkan minat dan bakat untuk mengisi waktu luang.

d. Meningkatkan komunikasi antar lansia.

2.2 Pelayanan Kesehatan

2.2.1 Pengertian Pelayanan Kesehatan

Menurut pendapat Azwar (2010) dalam Wahyuni (2012) yang dimaksud dengan

pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara

bersama–sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,

mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perseorangan,

keluarga, kelompok dan atau pun masyarakat.


Pelayanan kesehatan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat harus

diselenggarakan secara bermutu, adil dan merata dengan memberikan pelayanan khusus

kepada penduduk miskin, anak-anak, dan para lanjut usia yang terlantar, baik diperkotaan

maupun dipedesaan. Prioritas diberikan pula kepada daerah terpencil, pemukiman baru,

wilayah perbatasan, dan pemukiman kumuh dan keluarga miskin. Pembangunan kesehatan

diselenggarakan dengan strategi pembangunan profesionalalisme, desentralisasi, serta

pemberian jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat dengan memperhatikan berbagai

tantanggan yang ada antara lain krisis ekonomi, perubahan ekologi dan lingkungan,

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, globalisasi, serta demokratisasi (Mubarak,

2012).

Menurut Azwar (2010) dalam Wahyuni (2012) Bentuk dan jenis pelayanan kesehatan

ditentukan oleh:

1. Pengorganisasian pelayanan, apakah dilaksanakan secara sendiri atau secara bersama-

sama dalam suatu organisasi.

2. Ruang lingkup kegiatan, apakah hanya mencakup kegiatan pemeliharaaan kesehatan,

peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, pemulihan

kesehatan atau kombinasi dari padanya.

3. Sasaran pelayanan kesehatan, apakah untuk perseorangan, keluarga, kelompok ataupun

untuk masyarakat secara keseluruhan.

2.2.2 Syarat pokok pelayanan kesehatan

Syarat–syarat pokok yang harus di miliki oleh pelayanan kesehatan yang baik

menurut Azwar (2010) dalam Wahyuni (2012) adalah:

1.Tersedia dan berkesinambungan


Semua jenis Pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat harus tersedia, tidak

sulit ditemukan dan sedia setiap saat masyarakat membutuhkannya.Prinsip ketersediaan

dan kesinambungan (available and continous) adalah mutlak di perlukan.

2. Dapat diterima dan wajar

Pelayanan kesehatan dapat diterima (acceptable) dan sifatnya wajar (appropriate)

sehingga tidak bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat yaitu adat

istiadat maupun kebudayaan setempat.

3. Mudah dicapai

Lokasi pelayanan kesehatan seharusnya mudah dicapai (accessible) sehingga dapat

mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik dan merata.

4. Mudah dijangkau

Pelayanan kesehatan sebaiknya mudah dijangkau (affordable) oleh masyarakat

Terutama dari segi biayanya.Sehingga sangat penting mengupayakan biaya pelayanan

kesehatan yang sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat.Biaya pelayanan

kesehatan yang tidak sesuai dengan standar ekonomi masyarakat tidak mampu memberikan

pelayanan yang merata dan hanya dapat dinikmati oleh sebagian masyarakat saja.

5. Bermutu

Mutu (quality) adalah yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan penyelenggaraan

pelayanan kesehatan, yang mana pelayanan kesehatan diharapkan dapat memuaskan para

pengguna jasa dan dari segi penyelenggaraannya harus sesuai dengan kode etik dan standar

yang telah ditetapkan.


2.2.3 Konsep Pelayanan Kesehatan

Menurut Anderson dan Newman (1973) dalam Notoatmodjo (2010) Pada prinsipnya

pelayanan kesehatan berdasarkan kepada dua kategori sasaran dan orientasinya, yakni:

1. Kategori yang berorientasi kepada publik/masyarakat orientasi pelayanan kesehatan

publik adalah pencegahan (preventif) dan peningkatan (promotif) Pelayanan kesehatan

ini terdiri dari sanitasi lingkungan, seperti air bersih, sarana pembuangan limbah,

perlindungan kualitas udara dan imunisasi. Intinya pelayanan yang lebih diarahkan

langsung ke publik daripada ke perorangan secara khusus.

2. Kategori yang berorientasi kepada individu/perorangan Orientasi pelayanan kesehatan

ini adalah penyembuhan dan pengobatan yang ditujukan langsung pada individu (kuratif

and rehabilitative for individual consumer) yang umumnya mengalami masalah

kesehatan atau penyakit.

2.2.4 Tujuan Penggunaan Pelayanan Kesehatan

Anderson dan Newman (1979) dalam Notoatmodjo (2010) Tujuan dari

penggunaan pelayanan kesehatan adalah :

1. Menggambarkan hubungan antara faktor penentu dari penggunaan pelayanan

kesehatan.

2. Perencanaan kebutuhan masa depan/target pelayanan kesehatan.

3. Menentukan adanya ketidakseimbangan pelayanan dari penggunaan pelayanan

kesehatan.

4. Menyarankan cara–cara manipulasi kebijakan yang berhubungan dengan variabel–

variabel untuk memberikan perubahan yang diinginkan.

5. Evaluasi program–program pemeliharaan dan perawatan kesehatan yang baru.


2.3 Faktor yang Berhubungan dengan Kunjungan Posyandu Lansia

Menurut Teori Behavioral Model and Access to Medical Care (Andersen, 1995) yang

dikembangkan sejak tahun 1960 untuk dapat mengetahui pemanfaatan pelayanan

kesehatan pelayanan kesehatan oleh individu atau tidak memanfaatkan. Teor ini sudah

ditinjau kembali pada tahun 1995 dan dikembangkan sehingga memiliki empat tahap. Dan

memiliki tiga karakteristik, yaitu (Manihuruk & Nadjib, 2018):

1. Faktor Pendukung (predisposing factor) yaitu karakteristik sosial budaya individu dibagi

menjadi tiga kelompok, yaitu :

a. Faktor demografi, yaitu : umur dan jenis kelamin

b. Faktor struktur sosial, yaitu : pendidikan, interaksi sosial, suku/ras dan budaya

c. Faktor Manfaat kesehatan, yaitu: sikap, pengetahuan, kepercayaan, persepsi terhadap

kesehatan/sakit dan keyakinan bahwa pelayanan kesehatan dapat menolong proses

penyembuhan penyakit.

2. Faktor pemungkin (enabling factor) yaitu kemampuan seseorang dalam mencari layanan

kesehatan, terdiri dari:

a. Sumber daya keluarga, yaitu kemampuan keluarga dalam mengakses pelayanan

kesehatan, asuransi kesehatan, pengetahuan tentang layanan kesehatan yang

dibutuhkan.

b. Sumber daya masyarakat yaitu tersedianya fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan di

wilayah tempat tinggal.

3. Faktor kebutuhan (need) yaitu faktor yang secara langsung berhubungan dengan

pemanfaatan layanan kesehatan. Faktor pendukung dan faktor pemungkin untuk

mencari pengobatan dapat terwujud di dalam tindakan apabila hal tersebut dirasakan
sebagai kebutuhan (need). Hal ini berarti kebutuhan merupakan dasar dan stimulus

langsung untuk memanfaatkan layanan kesehatan, komponennya terdiri dari :

a. Persepsi individu dalam melihat status kesehatan sendiri, gejala penyakit dan

kekuatiran yang dirasakan

b. Evaluasi mengenai beratnya penyakit setelah didiagnosa oleh petugas kesehatan.

2.3.1 Hubungan Pengetahuan Lansia Dengan Posyandu Lansia

Menurut Notoatmodjo (2012) dalam Kurniasari (2013) Pengetahuan merupakan

salah satu faktor instrinsik yang mempengaruhi motivasi.Tingkat pengetahuan seseorang

tidak selalu memotivasi perilaku logika, artinya pengetahuan yang baik (Lansia yang tahu

tentang pengertian Posyandu, tujuan Posyandu, bentuk pelayanan Posyandu, dan sasaran

Posyandu) tidak selalu memimpin perilaku yang benar dalam hal ini pengetahuan tentang

posyandu yang baik belum tentu mau berkunjung ke posyandu.

Menurut Notoatmodjo (2012) dalam Kurniasari (2013) Pengetahuan lansia yang

kurang tentang Posyandu Lansia mengakibatkan kurangnya pema-haman lansia dalam

pemanfaatan posyandu lansia. Keterbatasan pengetahuan ini akan mengakibatkan dampak

yang kurang baik dalam pemeliharaan kesehatannya. Ada beberapa faktor yang

mempengaruhi pengetahuan yaitu tingkat pendidikan, informasi yang diperoleh,

pengalaman dan sosial ekonomi. Pengetahuan Lansia akan manfaat Posyandu ini dapat

diperoleh dari pengalaman pribadi dalam kehidupan sehari-harinya. Lansia yang

mengpernah hadiri kegiatan Posyandu, maka Lansia akan mendapatkan penyuluhan tentang

cara hidup sehat dengan segala keterbatasan atau masalah kesehatan yang melekat pada

mereka. Pengalaman tersebut membuat pengetahuan Lansia menjadi meningkat, yang


menjadi dasar pembentukan sikap dan dapat mendorong minat atau motivasi mereka untuk

selalu mengikuti kegiatan posyandu lansia.

2.3.2 Hubungan Sikap Lansia Dengan Posyandu Lansia

Menurut Notoatmodjo (2012) dalam Kurniasari (2013) mendefinisikan sikap sebagai

kesiapan seseorang untuk bertindak tertentu pada situasi tertentu, dalam sikap positif.

Kecenderungan tindakan adalah mendeteksi menyenangi dan mengharapkan objek

tertentu, sedangkan dalam sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi,

menghindar, membenci, dan tidak sama dengan menyukai objek tertenu. Sebagai makhuluk

individu manusia mempunyai dorongan atau mood untuk mengadakan hubungan dengan

diri sendiri, sedangkan sebagai makhaluk sosial manusia mempunyai dorongan untuk

mengadakan hubungan.

Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu

stimulus atau objek. Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa sikap adalah tanggapan

atau persepsi seseorang terhadap apa yang diketahuinya. Jadi sikap tidak dapat langsung

dilihat secara nyata, tetapi hanya dapat ditafsirkan sebagai perilaku yang tertutup. Sikap

belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, tetapi merupakan predisposisi tindakan

(Azwar, 2010).

Menurut Eagledan Chaiken dalam Wawan (2010) mengemukakan bahwa sikap dapat

diposisikan sebagai hasil evaluasi terhadap obyek sikap yang diekspresikan kedalam proses

kognitif, afektif (emosi) dan perilaku. Dari definisi-definisi diatas menunjukkan bahwa secara

garis besar sikap terdiri dari komponen kognitif (ide yang umumnya berkaitan dengan

pembicaraan dan dipelajari), perilaku (cenderung mempengaruhi respon sesuai dan tidak

sesuai) dan emosi (menyebabkan respon-respon yang konsisten).


2.3.3 Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Posyandu Lansia

Dukungan keluarga merupakan salah satu bentuk dari terapi keluarga, melalui

keluarga berbagai masalah kesehatan bisa muncul sekaligus dapat diatasi. Menurut

(Notoatmodjo, 2012) disebutkan ada empat jenis dukungan keluarga yaitu: dukungan

instrumental, dukungan informasional, dukungan penilaian (appraisal) dan dukungan

emosional. Keluarga merupakan support system utama bagi lansia dalam mempertahankan

kesehatannya.mengatakan bahwa keluarga berfungsi sebagai sumber energi yang

menentukan kebahagiaan, keluarga sebagai tempat sosialisasi dalam pemberian informasi,

nasehat, saran, pemenuhan kebutuhan ekonomi dan keluarga sebagai perawatan serta

pemeliharaan kesehatan termasuk dalam menjalankan pemeriksaan hipertensi. Kurangnya

dukungan dari keluarga terhadap responden dapat dipengaruhi oleh faktor kesibukan

anggota keluarga sendiri dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti bekerja, lamanya

pasien menderita hipertensi. Menyatakan bahwa dukungan keluarga dapat semakin

menurun seiring dengan lama menderita dari pasien yang sulit untuk sembuh, yang

berdampak pada kemampuan ekonomi anggota keluarga selama perawatan pasien (PUTRI,

2017).

2.3.4 Hubungan Peran Kader Dengan Posyandu Lansia

Menurut Notoatmodjo (2012) Kader kesehatan bertanggung jawab terhadap

masyarakat setempat, mereka bekerja dan berperan sebagai seseorang pelaku dari sebuah

sistem kesehatan. Kader bertanggung jawab kepada kepala desa dan supervisor yang

ditunjuk oleh petugas/tenaga pelayanan pemerintah. Menurut WHO (1993) kader

masyarakat merupakan salah satu unsur yang memiliki peranan penting dalam pelayanan

kesehatan dimasyarakat (Deri, 2016).


Menurut Kemenkes RI (2010) kader Posyandu lansia adalah orang dewasa, baik laki–

laki atau perempuan yang mau bekerja secara sukarela melakukan kegiatan–kegiatan

kemasyarakatan terkait dengankesejahteraan lanjut usia. Kader desa merupakan tenaga

sukarela yang terdidik dan terlatih dalam bidang tertentu yang tumbuh ditengah-tengah

masyarakat dan merasa berkewajiban untuk melaksanakan, meningkatkan dan membina

kesejahteraan masyarakat dengan rasa iklas tanpa pamrih dan didasari panggilan untuk

melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan

2.3.5 Hubungan Petugas Kesehatan Dengan Posyandu Lansia

Menurut Notoatmodjo (2012) Kegiatan pelayanan kesehatan bertujuan untuk

meningkatkan derajat kesehatan dan mencegah penyakit dengan sasaran utama adalah

masyarakat. Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan diwilayah desa-desa terpencil,

pemerintah bekerjasama dengan dinas kesehatan dan puskesmas terkait untuk

menyelengarakan kegiatan pelayanan kesehatan poyandu lansia untuk masyarakat agar

mudah memperoleh informasi kesehatan, serta jaminan kesehatan dan pelayanan

kesehatan terutama bagi masyarakat lanjut usia yang membutuhkan pelayanan kesehatan

sesuai dengan kebutuhannya untuk upaya peningkatan status gizi masyarakat secara umum

(Dedi, 2012).

Effendi (2010) dalam (Palupi, 2011) menyatakan peran adalah tingkah laku yang

diharapkan oleh seseorang sesuai dengan kedudukan dalam sistem, dimana dapat

dipengaruhi oleh keadaan sosial yang konstan. Seorang petugas kesehatan mempunyai

peran sebagai seorang pendidik, peran ini dilakukan dengan membantu pasien dan keluarga

dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang

diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku pasien dalam keluarga setelah dilakukan
pendidikan kesehatan selain itu juga petugas kesehatan merupakan tempat konsultasi

terhadap masalah atau perilaku kesehatan yang didapat.

2.4 Kualitas Hidup Lansia

Kualitas hidup diartikan sebagai persepsi individu mengenai fungsi mereka didalam

bidang kehidupan.Lebih spesifiknya adalah penilaian individu terhadap posisi mereka di

dalam kehidupan, dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka hidup dalam

kaitannya dengan tujuan individu, harapan, standar serta apa yang menjadi perhatian

individu (Nofitri, 2009). Pada umumnya warga lanjut usia menghadapi kelemahan,

keterbatasan dan ketidak mampuan, sehingga kualitas hidup pada lanjut usia menjadi

menurun. Karena keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat, maka keluarga memiliki

peran yang sangat penting dalam perawatan lanjut usia untuk meningkatkan kualitas hidup

lanjut usia (Yuliati & Ririanty, 2014).

Perubahan fisik yang terjadi pada lansia erat kaitannya dengan perubahan

psikososialnya. Pengaruh yang muncul akibat berbagai perubahan pada lansia tersebut jika

tidak teratasi dengan baik, cenderung akan mempengaruhi kesehatan lansia secara

menyeluruh (Putri & Permana, 2016). Menurut WHO (1994) dalam Pradono et al. (2009)

kualitas hidup didefenisikan sebagai persepsi individu sebagai laki-laki atau wanita dalam

hidup,ditinjaudari konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal, dan

berhubungan dengan standar hidup, harapan, kesenangan, dan perhatian mereka. Hal ini

merupakan konsep tingkatan, terangkum secara kompleks mencakup kesehatan fisik, status

psikologis, tingkat kebebasan, hubungan social dan hubungan kepada karakteristik

lingkungan mereka.
Menurut (World Health Organization Quality of Life) WHOQOL group kualitas hidup

terdiri dari enam dimensi yaitu kesehatan fisik, kesejahteraan psikologis, tingkat

kemandirian, hubungan sosial, hubungan dengan lingkungan dan keadaan spiritual.

Kemudian WHOQOL dibuat lagi menjadi instrument WHOQOL–BREF dimana dimensi

tersebut diubah menjadi empat dimensi yaitu kesehatan fisik seperti aktivitas sehari-hari,

kelelahan dan tenaga, kapasitas kerja, kesejahteraan psikologis seperti kepercayaan diri,

memori dan knsentrasi, hubungansosial seperti dorongan dan semangat dari bantuan,

penghargaan dari keluarga dan hubungan dengan lingkungan mencakup sumber finansial,

keamanan dan informasi (Sekarwiri, 2008).

Meskipun ada banyak pernyataan tentang kualitas hidup, mereka cenderung

deskriptif daripada definitif. Sebagian besar energi di bidang ini dihabiskan untuk mengukur

kualitas hidup; oleh karena itu, definisi kualitas hidup, oleh keharusan, harus

dipertimbangkan bersama dengan pengukurannya. Ada tiga pendekatan untuk mengukur

kualitas hidup:

1. Normatif yaitu norma yang didiktekan oleh kepercayaan, prinsip, dan filosofi tentang

kehidupan yang baik; kepuasan preferensi, kualitas hidup tergantung pada ketersediaan

barang untuk dipilih dan kemampuan untuk mendapatkannya; dan

2. Evaluasi subyektif — kehidupan yang baik yang dialami seperti itu.

Sebagian besar ukuran kualitas hidup tidak dikembangkan di populasi lansia,

meskipun mereka mampu berpikir dan berbicara tentang kualitas hidup mereka. Dalam

sebuah survei terhadap individu yang berusia 65 tahun atau lebih, responden mengenal

istilah kualitas hidup dan membicarakannya baik secara positif maupun negatif(Xavier et al.,

2003).
Hampir dua pertiga dari seluruh sampel menggambarkan kualitas hidup mereka

sebagai positif atau sangat positif. Mereka mengevaluasi kualitas hidup mereka secara

positif berdasarkan perbandingan dengan orang lain, kontak sosial terutama dengan

keluarga dan anak-anak, kesehatan, keadaan material dan kegiatan. Dalam membuat

evaluasi negatif, mereka menekankan pada ketergantungan dan keterbatasan fungsional,

ketidakbahagiaan dan mengurangi kontak sosial melalui kematian teman dan anggota

keluarga. Keluarga, kegiatan, dan kontak sosial adalah faktor-faktor yang menurut mereka

memberikan kualitas hidup mereka. Berbagai jenis kerugian seperti kesehatan yang buruk

dan keterbatasan fungsional dipandang membuat kualitas hidup semakin buruk. Salah satu

temuan penting dari penelitian ini adalah penilaian kualitas hidup harus mencakup faktor-

faktor selain kesehatan(Netuveli & Blane, 2008).

Instrumen WHOQOL-BREF merupakan ringkasan dari WHOQOL-100 yang lebih

praktis terdiri dari 4 domain yaitu aspek kesehatan fisik, aspek kesehatan psikologis, aspek

hubungan sosial, dan aspek kondisi lingkungan. Dikemas kedalam 26 pertanyaan yang

mewakili keempat domain tersebut, sehingga menjadi ringkas dibandingakan dengan

WHOQOL-100 (Lara & Hidajah, 2017). Penelitian Latifah et al. (2013)menyimpulkan terdapat

perbedaan kualitas hidup antara lansia yang aktif dengan yang tidak aktif dalam mengikuti

posyandu lansia di Desa Sirnoboyo Kecamatan Pacitan.

2.5 Kerangka Teori

Kualitas hidup lansia menjadi relevan dengan Pergeseran demografis yang

menyebabkan populasi penduduk mulai menua. Ada indikasi bahwa konsep dan masalah

yang berkaitan dengan kualitas hidup di usia yang lebih tua berbeda dari populasi umum.

Kualitas hidup sering digambarkan dengan objektif dan subyektif. Mayoritas lansia

mengevaluasi kualitas hidup mereka positif berdasarkan kontak sosial, ketergantungan,


kesehatan, materi keadaan dan perbandingan sosial (Netuveli & Blane, 2008).Posyandu

lansia bertujuan untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan lansia sehingga dapat

mencapai kualitas hidup yang lebih baik.

Faktor Pendukung

1. Demografi (umur dan jenis


kelamin)
2. Faktor struktur sosial
(pendidikan, interaksi sosial,
suku/ras dan budaya)
3. Faktor Manfaat kesehatan
(sikap, pengetahuan,
kepercayaan, persepsi
terhadap kesehatan/sakit
dan keyakinan)

Faktor Pemungkin

1. Sumber daya keluarga


(kemampuan keluarga dalam
mengakses pelayanan
kesehatan, asuransi
Kunjungan Kualitas Hidup
kesehatan, pengetahuan
Posyandu Lansia
tentang layanan kesehatan
Lansia
yang dibutuhkan).
2. Sumber daya masyarakat
yaitu tersedianya fasilitas
kesehatan dan tenaga
kesehatan di wilayah tempat
tinggal

Faktor Kebutuhan

1. Persepsi terhadap gejala


penyakit dan kekuatiran yang
dirasakan
2. Penilaian terhadap beratnya
penyakit setelah didiagnosa
oleh petugas kesehatan.

Gambar 2.1 Kerangka Teoritis diadopsi dari Manihuruk & Nadjib (2018) dan dari Netuveli
& Blane (2008)

Anda mungkin juga menyukai