Anda di halaman 1dari 31

PROPOSAL PENELITIAN

PERBANDINGAN ROCURONIUM DENGAN ATRACURIUM


TERHADAP PERUBAHAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA
PASIEN NONDIABETIK

dr.Muhammad Arif Siddiq


NPM 2307601080007
Prodi Anestesiologi dan Terapi Intensif

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA


BANDA ACEH 2023
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................ii

1. PENDAHULUAN.....................................................................................................1
1.1.Latar Belakang Penelitian...................................................................................1
1.2.Rumusan Masalah...............................................................................................2
1.3.Pertanyaan Penelitian..........................................................................................3
1.4.Hipotesis..............................................................................................................3
1.5.Tujuan Penelitian.................................................................................................3
1.6.Manfaat Penelitian...............................................................................................3

2. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................5
2.1. Mekanisme kontraksi otot ............................................................................5
2.2. Regulasi Glukosa...........................................................................................7
2.3. Obat Pelumpuh Otot......................................................................................9
2.3.1. Pelumpuh otot depolarisasi.........................................................................11
2.3.2. Pelumpuh otot nondepolarisasi...................................................................11
2.3.2.1 Rocuronium.................................................................................................12
2.3.2.2 Atracurium..................................................................................................13
2.4. Pelumpuh otot dapat memicu perubahan glukosa darah melalui pelepasan
histamine................................................................................................... 14
2.5. Kerangka Teori...........................................................................................17
2.6. Kerangka Konsep.......................................................................................18

3. METODOLOGI PENELITIAN............................................................................19
3.1.Desain Penelitian...............................................................................................19
3.2.Waktu dan Tempat Penelitian...........................................................................19
3.3.Populasi Penelitian............................................................................................19
3.4.Sampel Penelitian..............................................................................................19
3.5.Kriteria Penerimaan, Penolakan, dan Pengeluaran...........................................19
3.6.Metode Pengambilan Sampel............................................................................20
3.7.Prosedur Kerja...................................................................................................21
3.8.Batasan Operasional..........................................................................................23
3.9.Pengolahan Data dan Penyajian Data................................................................24
3.10.Analisis Data...................................................................................................24
3.11.Etika Penelitian...............................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................34

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

ii Universitas Indonesia
Dalam praktek anestesia sehari-hari, relaksasi otot seringkali dibutuhkan untuk
mencapai kondisi pembedahan yang optimal. Kondisi ini dapat dicapai dengan obat-
obatan pelumpuh otot, obat ini awalnya diperkenalkan oleh Griffith dan Johnson pada
tahun 1942, yang kemudian merubah praktek anestesia sehari-hari. 1 Penggunaan klinis
dari obat pelumpuh otot ini untuk melumpuhkan otot rangka agar memfasilitasi intubasi
trakea dan membantu dalam menciptakan kondisi pembedahan yang optimal. Selain itu,
pelumpuh otot juga digunakan dalam resusitasi jantung paru dan pada pasien yang
memerlukan ventilasi mekanik.2,3 Berdasarkan perbedaan elektrofisiologinya dalam
mekanisme aksi durasinya, obat pelumpuh otot ini dapat diklasifikasikan menjadi
pelumpuh otot depolarisasi, yang bekerja meniru kerja asetilkolin dan pelumpuh otot
nondepolarisasi, yang mengintervensi kerja asetilkolin. 1,4 Pelumpuh otot nondepolarisasi
dibagi atas dua kelompok berdasarkan perbedaan struktur molekularnya yaitu senyawa
benzilisoquinoline, seperti cisatracurium, atracurium, tubocurarine), dan senyawa
aminosteroid, seperti vecuronium, rocuronium. Salah satu komplikasi agen ini yang
ditakutkan adalah reaksi alergi anafilaktik sebagai efek pelepasan histamin. Atracurium
menjadi agen yang paling banyak melepaskan histamin dibandingkan rocuronium. Ada
banyak laporan yang menjelaskan efek samping anafilaksi atracurium. Naguib dkk
melaporkan bahwa atracurium mampu melepaskan histamin hingga 370% serta
mempengaruhi hemodinamik pada awal pemberian dibandingkan rocuronium.5
Histamin yang dilepaskan selain dapat mempengaruhi hemodinamik, diperkirakan juga
dapat memicu peningkatan kadar glukosa selama anestesi umum. Korelasi hubungan
antara histamin dan metabolisme glukosa dijelaskan melalui adanya kondisi
hiperglikemia bersamaan dengan pelepasan histamin. Adanya peningkatan kadar
histamin juga sering dilaporkan pada penderita diabetes. 6 Selain itu juga terdapat
beberapa penelitian invivo dimana adanya korelasi pengaruh insulin terhadap plasma
histamin. Azevedo dkk juga melaporkan peningkatan glukosa danHistamin pada model
tikus diabetes yang dirusak pankreasnya melalui diinduksi streptozotocin (STZ). 7 Oleh
Nakamura dkk juga juga melaporkan bahwa peningkatan reseptor Histamine 3 (H3R)
pada pankreas mampu memicu penurunan insulin disertai peningakatan glukosa darah.8

Adanya peningkatan kadar glukosa darah selama prosedur anestesi dan pembedahan
akan memberikan hasil yang buruk terhadap pasien seperti pada kondisi diabetes dan
hiperglikemia. Selama pemberian anestesi umum dan pembedahan, stres yang terjadi

iii Universitas Indonesia


dapat memicu respons neuroendokrin, glukagon, epinefrin, dan kortisol. Hormon-
hormon ini menyebabkan keadaan katabolik, yang berkontribusi terhadap hiperglikemia
perioperatif. Selain itu obat yang digunakan selama agen anestesi dan obat penenang
dapat mempengaruhi homeostasis glukosa melalui modulasi nada simpatik yang
mempengaruhi kadar glukosa darah.9

Seperti yang telah diketahui, salah satu faktor yang dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pasca pembedahan adalah hiperglikemia perioperatif. Saat ini, mayoritas
penelitian lebih difokuskan pada pasien diabetes yang menjalani pembedahan kardiak.
Namun, kadar glukosa darah jarang diperiksa secara rutin pada pasien nondiabetik
selama perioperatif.10 Penelitian yang dilakukan oleh Frisch dkk menyatakan adanya
hubungan yang signifikan antara hiperglikemia perioperatif pada pasien tanpa adanya
riwayat diabetes sebelum admisi dengan angka mortalitas perioperatif dibandingkan
dengan pasien yang telah diketahui menderita diabetes. 11 Selain itu, Kwon dkk juga
menyatakan adanya resiko infeksi yang tinggi dan keluaran yang lebih buruk pada
pasien tanpa diabetes yang mengalami hiperglikemi dibandingkan dengan pasien yang
memiliki riwayat diabetes.12

Penelitian mengenai peningkatan kadar glukosa darah sebagai efek dari pemberian obat
pelumpuh otot sampai saat ini belum banyak dilaporkan. Dalam hal ini peneliti tertarik
untuk melakukan perbandingan pengaruh dari obat atracurium dan recuronium dalam
terjadinya peningkatan kadar glukosa darah selama prosedur anestesi umum.

1.2 Rumusan Penelitian


Pelepasan histamin dapat dihubungkan dengan pemberian pelumpuh otot. Pemberian
atracurium sering memicu pelepasan histamin ini dibandingkan dengan rocuronium. 5
Pelepasan histamin ini juga berhubungan dengan peningkatan glukosa yang telah diteliti
pada hewan coba.7 Kondisi hiperglikemia perioperatif pada pasien nondiabetik dapat
menyebabkan peningkatan mortalitas dibandingkan dengan pasien diabetik. 11 Sehingga
peneliti ingin membandingkan pengaruh perbedaan rocuronium dan atracurium terhadap
perubahan kadar glukosa darah pada pasien nondiabetik yang akan menjalani anestesi
umum.

1.3 Pertanyaan Penelitian


iv Universitas Indonesia
Apakah terdapat perbedaan efek pemberian rocuronium dibandingkan atracurium
terhadap perubahan kadar glukosa darah pada pasien nondiabetik yang menjalani
anestesia umum.

1.4 Hipotesis
Terdapat perbedaan perubahan terhadap kadar glukosa darah pada pemberian
rocuronium dibandingkan atracurium pada pasien nondiabetik dengan anestesia umum

1.5 Tujuan Penelitian

1.5.1 Tujuan Umum

Membandingkan pengaruh pemberian rocuronium dengan atracurium terhadap


perubahan kadar glukosa darah pada pasien nondiabetik.

1.5.2 Tujuan khusus

1. Membandingkan pengaruh rocuronium dengan atracurium terhadap laju jantung


pada pasien non diabetik.
2. Membandingkan pengaruh rocuronium dengan atracurium terhadap mean arterial
pressure pada pasien non diabetik.
3. Membandingkan pengaruh rocuronium dengan atracaurium terhadap perubahan
kadar glukosa darah pada pasien non-diabetik.

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Dalam bidang akademis


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan mengenai perubahan
kadar glukosa darah akibat pemberian rocuronium dan atracurium.
1.6.2 Dalam bidang profesi
Penelitian ini diharapkan dapat membantu dokter atau ahli anestesiologi dalam
menentukan pelumpuh otot yang ideal untuk penggunaan anestesia sehari-hari.

1.6.3 Dalam bidang penelitian

v Universitas Indonesia
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan atau pedoman untuk penelitian
selanjutnya terutama penelitian tentang perbandingan penggunaan rocuronium dan
atracurium pada pasien non-diabetik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

vi Universitas Indonesia
2.1 Mekanisme kontraksi otot

Hubungan antara neuron motorik dan sel otot rangka terjadi pada sambungan
neuromuskular. Sambungan neuromuskular ini terdiri dari beberapa bagian yaitu: akson
terminal saraf (presinaps), celah sinaps dan ujung lempeng motorik (pascasinaps)
seperti yang diilustrasikan di gambar 2.1. Transmisi dari neuromuskuler dimulai dari
adanya rangsangan pada saraf motorik terminal yang dihubungkan dengan influks ion
kalsium dan menghasilkan pelepasan asetilkolin. Asetilkolin ini berikatan dengan
AChRs (kanal dengan ligand-gate) pada membran setelah sambungan dan oleh karena
itu ada perubahan di membran permeabilias terhadap ion, yaitu Natrium dan Kalium.
Perubahan permeabilitas dan pergerakan dari ion menyebabkan penurunan potensial
transmembrane dari -90 menjadi -45 mV (ambang batas potensial), yang pada suatu
waktu akan menyebarkan potensial aksi ke seluruh serabut otot rangka sehingga
terjadinya kontraksi otot. Asetilkolin dihidrolisa secara cepat (dalam waktu 15 detik)
oleh enzim asetilkolinesterasi, sehingga mengembalikan permeabilitas membran
(repolarisasi) dan mencegah depolarisasi yang terus-menerus. Asetilkolinesterase
terutama terletak di area lipatan pada ujung lempeng, yang tempatnya berdekatan
dengan kerja asetilkolin.13,2

Akson terminal saraf atau presinaps berfungsi dalam sintesis, ambilan dan penyimpanan
neurotransmiter, yaitu asetilkolin. Sintesis Asetilkolin (Ach), terjadi di saraf terminal
dimana ACh disintesis dari kolin (berasal dari diit atau oleh sintesa hepatik) dan asetil
CoA (diproduksi oleh akson mitokondria). Selanjutnya ACh disimpan dalam dikemas
menjadi vesikel. Setiap vesikel ini mengandung sekitar 5000 molekul yang dikenal
dengan “kuantum”. Beberapa Ach kemudian dilepaskan dan sisanya disimpan sebagai
cadangan, yang kemudian akan diperlukan saat adanya rangsangan. Reseptor di
pascasinap (reseptor Ach) memiliki struktur sangat beragam pada jaringan dan waktu
yang berbeda. Setiap reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuscular secara normal
terdiri dari 5 subunit protein: dua subunit , dan subunit tunggal ,  dan . Hanya dua
subunit  yang identik yang dapat berikatan dengan molekul asetilkolin. Saluran tidak
adak akan terbuka apabila hanya berikatan dengan satu unit.2,14,15

vii Universitas Indonesia


Ketika potensial aksi tiba di akson terminal sel saraf, menyebabkan kanal voltage-gate

Gambar 2.1 Anatomi sambungan neuromuskuler pada dewasa


Gambar diambil dari Ronald D. Miller, editor. Miller’s anesthesia. Eighth edition.
Philadelphia, PA: Elsevier/Saunders; 2015.

Kalsium terbuka, sehingga Ca2+ berdifusi dari cairan ekstraseluler kedalam aksoplasma
sel saraf. Adanya peningkatan Ca2+ ini memacu pelepasan vesikel, biasanya ketika 50-
100 vesikel dilepaskan lebih dari 250000 molekul ACh yang dilepaskan ke celah sinaps.
Jumlah kuanta yang dilepaskan oleh setiap serabut saraf yang terdepolarisasi, biasanya
setidaknya 200, sangat sensitif terhadap konsentrasi kalsium terionisasi di ekstraseluler;
peningkatan konsentrasi kalsium meningkatkan jumlah kuanta yang dilepaskan. Ketika
reseptor ini cukup ditempati oleh ACh, potensial ujung lempeng akan cukup kuat untuk
mendepolarisasi membran perijunctional. Saluran natrium yang terjaga tegangannya
dalam bagian membran otot ini terbuka ketika tegangan melebihi tegangan ambang,
seperti halnya untuk saluran natrium yang terjaga tegangannya di saraf atau jantung.
Area perijunctional membran otot memiliki kepadatan lebih tinggi dari saluran natrium
ini daripada bagian lain dari membran. Potensi aksi yang dihasilkan merambat di
sepanjang membran otot dan sistem tubulus, membuka saluran natrium dan melepaskan
kalsium dari retikulum sarkoplasma. Kalsium intraseluler ini memungkinkan protein
kontraktil aktin dan miosin berinteraksi, menyebabkan kontraksi otot.,2,14
ACh secara cepat didegradasi dari celah sinaps menjadi asam asetat dan kolin oleh
enzim asetilkolinesterase (AChE). Produk dari pemecahan ini akan dibawa secara aktif
viii Universitas Indonesia
kedalam membran presinaps sebagai bahan untuk resintesis ACh. Enzim AChE ini
terdapat di lempeng ujung motorik yang berbatasan langsung dengan reseptor ACh.
Setelah melepaskan ikatan ACh, kanal ion reseptor menutup, memungkinkan ujung
lempeng saraf motorik untuk melakukan repolarisasi. Kalsium diambil kembali dalam
retikulum sarkoplasma dan sel otot menjadi relaksasi.2,15

2.2 Regulasi glukosa

Didalam tubuh manusia terdapat berbagai macam sel. Sel-sel ini bekerja terus menerus
agar kehidupan manusia bisa berlangsung. Pada sel ini terjadi berbagai macam proses
antara lain memelihara komposisi selular, menjaga intregritas struktur sel juga
mensintesis dan memecah makromolekul dan organel.16 Untuk melakukan tugasnya, sel
membutuhkan bahan bakar, bahan bakar ini berupa energi kimiawi potensial dalam
bentuk adenosine triphosphate (ATP). Sel dapat mengubah energi ATP menjadi energi
kimia dan mekanik.16,17 glukosa merupakan zat utama untuk produksi ATP. Glukosa ini
diabsorbsi dari usus halus dan masuk ke vena portal hepatik dan dibawa secara langsung
ke hati, dimana akan dimetabolisme 30% dari keseluruhan glukosa yang dicerna.
Sedangkan sisanya 70% akan terus berdistribusi di aliran darah untuk dibawa ke otak,
otot dan organ lain serta jaringan.18

Hormon insulin dan glukagon bekerja secara berlawanan untuk menjaga kadar glukosa
dalam kadar yang normal.16,17 Kedua hormon ini ada dalam darah hampir setiap waktu,
sehingga rasionya akan menentukan hormon mana yang lebih mendominasi. Pada saat
tubuh mengabsorbi nutrisi, insulin lebih mendominasi sehingga tubuh menjalani proses
anabolisme. Glukosa yang dicerna akan digunakan untuk produksi energi, dan sisanya
akan disimpan sebagai glikogen atau lemak.16 Sedangkan saat glukagon mendominasi,
hati akan menggunakan glikogen dan bahan nonglukosa lain untuk mensintesis glukosa
yang akan dilepaskan kedalam darah sehingga akan meningkatkan kadar glukosa
darah.16,19 Secara ringkas, mekanisme kerja insulin dan glukagon untuk mengatur kadar
glukosa darah dapat dilihat pada gambar 2.2

Insulin adalah hormon peptide yang dilepaskan oleh sel beta pankreas ketika kadar gula
darah melebihi normal (70-110 mg/dl). Peningkatan kadar asam amino, termasuk
arginin dan leusin, juga dapat merangsang sekresi insulin.20 mekanisme sekresi insulin
diawali dengan reseptor Glut 2 di sel beta pankreas yang berikatan dengan glukosa.

ix Universitas Indonesia
Didalam sel beta ini, glukosa dioksidasi menjadi ATP, yang menutup kanal K + di
membran sel dan menyebabkan depolarisasi sel beta. Depolarisasi ini akan membuka
kanal Ca2+, yang akan menyebabkan peningkatan konsentrasi Ca2- intraselular dan akan
memicu terjadinya sekresi insulin.19

x Universitas Indonesia
Hormon glukagon akan dilepaskan dari sel alfa pancreas untuk mengeluarkan cadangan
energi ketika konsentrasi glukosa darah turun dibawah normal. Saat glukagon berikatan
dengan reseptor di membran plasma sel target, akan mengaktifkan adenylate cyclase.20
Glukagon bekerja di hati dan jaringan adiposa, dimanasecond messenger glukagon
adalah cAMP.19 Glukagon akan meningkatkan glukosa darah dengan cara glikogenesis
dan glukoneogenesis.17,19,20

Sel alfa dan beta pankareas akan memelihara konsentrasi glukosa darah, dimana sel-sel
ini kan mensekresi glukagon dan insulin tanpa instruksi endokrin ataupun nervus.
Karena sel alfa dan beta sangat sensitif terhadap perubahan kadar glukosa darah, setiap
hormon yang mempengaruhi konsentrasi glukosa darah secara tidak langsung akan
mempengaruhi produksi insulin dan glukagon.20 Aktivitas otonom juga mempengaruhi
produksi insulin, dimana stimulasi parasimpatis akan memacu pelepasan insulin, dan
stimulasi simpatis akan menghambat pelepasannya. 21

2.3 Obat pelumpuh otot

Semua obat pelumpuh otot yang ada memiliki kemiripan struktur dengan asetilkolin.
Selain itu juga ciri umum pada obat pelumpuh otot yang saat ini digunakan adalah
adanya satu atau dua nitrogen kuartener, sehingga menjadikan obat ini tidak mudah
larut dalam lipid dan membatasi masuknya obat ini kedalam sistem saraf pusat.
Pelumpuh otot depolarisasi mirip dengan ACh cepat untuk berikatan dengan reseptor
ACh, yang akan mencetuskan potensial aksi otot rangka. Obat ini tidak seperti ACh,
yang dapat dimetabolisme oleh AChE dan konsentrasinya di celah sinaps tidak turun
secara cepat, yang akan memanjangkan waktu depolarisasi di ujung lempeng otot.2

Depolarisasi yang kontinyu di ujung lempeng menyebabkan relaksasi dari otot karena
adanya pembukaan kanal natrium perijunctional yang terbatas oleh waktu. Setelah
eksitasi inisial dan pembukaan kanal ini, kanal natrium terinaktivasi dan tidak bisa
terbuka sampai terjadi repolarisasi di ujung lempeng. Ujung lempeng tidak dapat
repolarisasi selama pelumpuh otot depolarisasi berikatan dengan reseptor ACH, yang
disebut dengan fase blok I. depolarisasi ujung lempeng yang lebih lama bisa
menyebabkan perubahan yang buruk terhadap reseptor yang menyebabkan blok fase II,
yang secara klinis mirip dengan pelumpuh otot nondepolarisasi.2

xi Universitas Indonesia
Pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan reseptor ACh tetapi tidak mampu
merubah pembukaan kanal ion. Karena ACh dihambat untuk berikatan dengan
reseptornya, tidak ada potensial aksi yang terjadi. blokade neuromuskular ini bahkan
dapat terjadi apabila salah satu subunit alpha yang diblok. Sehingga, pelumpuh otot
depolarisasi bekerja sebagai agonis reseptor ACh, sedangkan pelumpuh otot
nondepolarisasi berfungsi sebagai antagonis kompetitif ACh.2

Gambar 2.3 Ilustrasi mekanisme kerja pelumpuh otot pada ujung lempeng (struktur
bersifat simbolis). Atas: Tindakan agonis normal asetilkolin (merah) dalam pembukaan
kanal. Bawah, kiri: Pelumpuh otot nondepolarisasi, misalnya, rocuronium (kuning),
tampak penghambatan pembukaan saluran ketika berikatan dengan reseptornya. Bawah,
kanan: Pelumpuh otot depolarisasi, misalnya, suksinilkolin (biru), keduanya menempati
reseptor dan menghalangi saluran
Gambar diambil dari Kruidering-Hall M, Campbell L. Skeletal Muscle Relaxants. In: Katzung BG,
editor. Basic & Clinical Pharmacology, 14e [Internet]. New York, NY: McGraw-Hill Education; 2017
[cited 2019 Feb 7]. Available from: accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?aid=1148436757

Berdasarkan kerjanya pelumpuh otot dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu
pelumpuh otot depolarisasi yang membuat relaksasi otot secara langsung dengan
mendepolarisasi reseptor ACh. Hal ini karena obat ini bekerja sebagai transmiter palsu
yang menyerupai ACh. Jenis kedua adalah pelumpuh otot nondepolarisasi yang
berkompetisi dengan ACh untuk dua subunit alpha, sehingga mencegah fungsi normal
reseptor ACh. Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dapat diklasifikasikan berdasarkan

xii Universitas Indonesia


struktur kimiawinya (benzilisoquinolinium atau steroidal) atau berdasarkan durasi
kerjanya. (durasi pendek, sedang dan panjang).22

2.3.1 Pelumpuh otot depolarisasi

Pelumpuh otot depolarisasi sangat mirip ACh dan mudah mengikat reseptor ACh,
menghasilkan potensi aksi otot. Tidak seperti ACh, obat ini tidak dimetabolisme oleh
asetilkolinesterase, dan konsentrasinya dalam celah sinaptik tidak turun dengan cepat,
menghasilkan depolarisasi yang berkepanjangan dari endplate. Depolarisasi ujung
lempeng motorik berkelanjutan menyebabkan relaksasi otot karena pembatasan waktu
pembukaan saluran natrium (saluran natrium dengan cepat "tidak aktif" dengan
depolarisasi berkelanjutan). Setelah eksitasi dan pembukaan awal saluran natrium ini
tidak aktif dan tidak dapat dibuka kembali sampai repolarisasi atau relaksan otot
depolarisasi terus berikatan dengan reseptor Ach (blok fase I). Depolarisasi end-plate
yang lebih lama dapat menyebabkan perubahan yang kurang dipahami dalam reseptor
ACh yang menghasilkan blok fase II, yang secara klinis menyerupai relaksan otot yang
tidak mempolarisasi.2,23

Selain kelebihannya berupa onset yang cepat dan durasi yang singkat, suksinilkolin juga
memiliki beberapa efek samping antara lain dapat mencetuskan bradiaritmia akibat
stimulasi reseptor muskarinik di nodus SA, mencetuskan hipertemia maligna, myalgia,
peningkatan tekanan intrakranial, dan tekanan intraokular, serta hiperkalemia. 24

2.3.2 Pelumpuh otot nondepolarisasi

Pemakaian obat pelumpuh otot nondepolarisasi dalam praktik klinis memiliki dampak
yang baik dalam kemajuan anestesia dan pembedahan. Beberapa obat pelumpuh otot
ini bahkan telah hampir menggantikan suksinilkolin sebagai obat pilihan dengan onset
dan durasi kerja yang singkat.25 Pelumpuh otot nondepolarisasi dapat diklasifikasikan
menjadi kerja panjang, intermediit dan pendek. Obat ini bekerja dengan berkompetisi
dengan ACh untuk berikatan dengan subunit alpha pada reseptor nikotinik
postjunctional dan mencegah perubahan permeabilitas ion. Sehingga tidak dapat
terjadinya depolarisasi dan akan membuat paralisis otot-otot skeletal.2,4

Pelumpuh otot nondepolarisasi dapat juga diklasifikasikan berdasarkan struktur


kimianya yaitu senyawa benzilisoquinolinium (atracurium, cisatracurium, mivacurium)
dan aminosteroid (pancuronium, rocuronium, vecuronium). Semua obat ini diberikan
xiii Universitas Indonesia
secara intravena, dimana pemberian intramuskuler menyebabkan onset kerja yang
lambat dan berbeda-beda. Obat-obat ini juga bermuatan positif sehingga sebagian besar
berdistribusi di cairan ekstraseluler.22

Durasi aksi obat pelumpuh otot nondepolarisasi berhubungan dengan eliminasi waktu
paruhnya. Obat-obat yang dieksresikan di ginjal memiliki waktu paruh yang lebih
panjang, sehingga durasi aksi obat juga lebih panjang (>35 menit). Sedangkan obat-obat
yang dieliminasi di hati cenderung memiliki waktu paruh dan durasi aksi yang lebih
singkat.23

Obat pelumpuh otot ini dapat dibalik dengan inhitor kolinesterase, dan obat ini juga
dapat bekerja secara langsung untuk menutup kanal ion yang dioperasikan oleh reseptor
ACh nikotinik. Otot-otot yang lebih besar, seperti abdomen dan diafragman lebih tahan
terhadap blokade neuromuscular, tetapi otot ini lebih cepat pulih dibandingkan otot-otot
yang lebih kecil (seperti otot wajah dan tangan).26

2.3.2.1. Rocuronium

Rocuronium adalah analog steroid vecuronium monoquaternary ini dirancang untuk


memberikan onset aksi yang cepat. Obat tidak mengalami metabolisme dan dieliminasi
terutama di hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi aksi tidak secara signifikan dipengaruhi
oleh penyakit ginjal, tetapi durasi akan memanjang apabila pasien menderita gagal
ginjal dan kehamilan. Rocuronium tidak memiliki metabolit aktif, sehingga dapat
digunakan pada unit rawat intensif dibandingkan dengan vecuronium.2

Dengan dosis 3,5-4 x ED95 (1-1,2 mg/kgBB), onset kerjanya hampir mendekati
suksinilkolin dengan kondisi intubasi yang sama. Rocuronium juga tidak mempengaruhi
hemodinamik, tidak melepaskan histamine, dan dapat menyebabkan reaksi alergi yang
langka (hampir sama dengan pelumpuh otot nondepolarisasi aminosteroid). Oleh karena
onsetnya yang cepat, rocuronium dengan dosis tinggi (1,2 mg/kgBB) dapat digunakan
pada kondisi Rapid Sequence Induction, khususnya pada pasien dengan kontraindikasi
digunakan suksinilkolin.22
Rocuronium kurang kuat daripada kebanyakan relaksan otot steroid lainnya (potensi
tampaknya berbanding terbalik dengan kecepatan onset). Dibutuhkan 0,45 hingga 0,9
mg/kgbb intravena untuk intubasi dan 0,15 mg/kg bolus untuk pemeliharaan.
Rocuronium intramuskuler (1 mg/kgbb untuk bayi; 2 mg/kgbb untuk anak-anak) akan
xiv Universitas Indonesia
menyebabkan paralisis pita suara dan kelumpuhan diafragma yang cukup untuk
intubasi, tetapi onsetnya 3-6 menit. Pada pasien geriatri durasi kerja rocuronium dapat
memanjang.2

2.3.2.2. Atracurium

Atracurium merupakana pelumpuh otot nondepolarisasi dengan kuaterner struktur


benzylisoquinoline. Obat ini adalah campuran dari sepuluh stereoisomer. Obat ini
menghambat transmisi mioneural ke otot rangka melalui kompetisi dengan asetilkolin
untuk menempati reseptor kolinergik di sambungan neuromuskuler otot rangka. Dengan
menempati reseptor, atracurium memblokir kerja ACh dan menyebabkan kelumpuhan
total pada serat otot yang berlangsung selama obat tetap terikat pada lempeng ujung
motorik. Blok kompetitif ini dapat dibalikkan oleh agen antikolinesterase seperti
neostigmin.2,4

Atracurium jika diberikan dengan ED95 0,2 mg/kg dapat menghasilkan aksi onset 3-5
menit dengan durasi aksi 20-30 menit. Dengan dosis infus kontinyu 5-10 mcg/kg/min
dapat secara efektif dosis bolus intermiten. 2,4 Di samping metabolisme hepatik,
atracurium diinaktivasi oleh pemecahan spontan yang dikenal sebagai eliminasi
Hofmann. Produk pemecahan utama adalah laudanosine dan asam kuaterner terkait,
yang tidak memiliki sifat memblokir neuromuskuler. Laudanosine secara perlahan
dimetabolisme oleh hati dan memiliki waktu paruh eliminasi yang lebih lama (yaitu 150
menit). Laudanosine ini mudah melintasi sawar darah-otak, dan konsentrasi darah yang
tinggi dapat menyebabkan kejang dan peningkatan kebutuhan obat anestesi inhalasi.
Selama pembedahan, kadar laudanosine dalam darah biasanya berkisar antara 0,2
hingga 1 mcg/mL. Namun, dengan infus atracurium yang berkepanjangan di ICU, kadar
darah laudanosine dapat melebihi 5 mcg/mL.23,26

Pada dosis lebih dari 0,5 mg/kg atracurium dapat mencetuskan pelepasan histamin yang
dapat menyebabkan hipotensi dan takikardia, bronkospasme dan reaksi anafilaksis, hal
tersebut berhubungan dengan respon imunogenisitas langsung dan aktivasi imun yang
dimediasi akrilat. Reaksi antibodi juga dimediasi imunoglobulin E yang diarahkan
terhadap senyawa amonium tersubstitusi.2

xv Universitas Indonesia
2.4 Pelumpuh otot dapat memicu perubahan glukosa darah melalui pelepasan
histamin

Obat pelumpuh otot adalah satu kelompok obat yang digunakan secara rutin oleh ahli
anestesi. Obat ini memiliki efek samping merangsang pelepasan histamin yang dapat
memicu reaksi kulit dan anafilaksis. Pelepasan histamin tersebut dapat memberikan
masalah selama prosedur anestesi umum dan pembedahan.1 Obat pelumpuh otot
diperkirakan bergabung dengan imunoglobulin spesifik IgE yang melekat pada
permukaan sel mast kemudian merangsang pelepasan zat endogen vasoaktif sehingga
menghasilkan respon cepat dan lambat pada kardiovaskular yang dikenal sebagai syok
anafilaksis, hal tersebut ditandai dengan depresi miokardium, vasodilatasi perifer, secara
nyata meningkatkan permeabilitas kapiler yang pada akhirnya dapat menyebabkan
hipotensi berat dan bahkan henti jantung.27,28

Gambar 2.4 konsentrasi plasma histamine, setelahnya administrasi mivacurium (M),


atracurium (A), tubocurarine (T), vecuronium (V) dan rocuronium (R). Menurunkan
dan batas atas kotak persentil ke 25 sampai 75; garis horizontal dalam median kotak,
menandai ke-50 persentil; simbol persegi panjang dalam kotak artinya; rentang bar.
Kontrol C, ini thiopentone. <P 0,01 dibandingkan dengan nilai kontrol.5
Gambar diambil dari Naguib M, Samarkandi AH, Bakhamees HS, Magboul MA, El-Bakry AK.
Histamine-release haemodynamic changes produced by rocuronium, vecuronium, mivacurium,
atracurium and tubocurarine. British journal of anaesthesia. 1995;75(5):588–592

Pelepasan histamin pada penggunaan pelumpuh otot nondepolarisasi juga terjadi


sebagai hasil dari mekanisme antara bahan kimia langsung aksi obat pada sel mast,
yang tidak melibatkan imunoglobulin pada permukaan sel. Efek kimia langsung ini

xvi Universitas Indonesia


tidak memerlukan sensitisasi sebelumnya. Suksinilkolin merupakan pelumpuh otot yang
telah lama diperkirakan dapat menghasilkan insiden pelepasan histamin yang paling
tinggi dari jenis kimianya. Selain itu benzylisoquinolinium adalah struktur yang
terdapat pada pelumpuh otot nondepolarisasi yang memicu pelepasan histamin. Pada
pelumpuh otot nondepolarisasi l reaksi histamin kulit paling banyak ditandai dengan
tubocurarine dan atracurium.5

Naguib dkk melaporkan bahwa pemberian mivacurium, atracurium dan tubocurarine


meningkatkan secara signifikan kadar histamine sampai 234-370% pada awal
pemberian pelumpuh otot dalam waktu 1 menit dan 3 menit setelahnya, sementara itu
pemberian vecuronium dan rocuronium tidak mengalami peningkatan kadar histamin.5

Korelasi hubungan antara histamin dan metabolisme glukosa secara pararel di sajikan
dalam beberapa penelitian hewan coba terkait diabetes melitus. Diabetes adalah
penyakit metabolisme yang ditandai dengan peningkatan jumlah glukosa dalam darah
yang disebabkan oleh kerusakan sel beta di pankreas yang sehingga terjadi penurunan
insulin, terjadinya resistensi terhadap efek insulin atau campuran kedunya. Diantara
mediator-mediator yang dianggap berpengaruh pada patofisiologi diabetes, pengaruh
histamin selalu dianggap kontroversial. Adanya kondisi hiperglikemia dan pengaruhnya
dengan histamin secara langsung dijelaskan melalui beberapa laporan penelitian pada
hewan coba. Peningkatan histamin ditemukan pada plasma, ginjal, otak, paru jantung,
pankreas dan usus dari tikus yang diabetik.6

Azevedo dkk juga melaporkan peningkatan histamin pada model tikus diabetes yang
dirusak pankreasnya melalui diinduksi streptozotocin (STZ).7 Oleh Nakamura dkk juga
menjelaskan bahwa bukti pertama untuk efek diabetogenik potensial pada reseptor
Histamine 3 (H3R) pada pankreas hewan coba. Aktivasi dari H 3R akan menghambat
Glucose Induce Insulin Secretion (GIIS) yang memiliki fungsi penting pada sel beta
pankreas untuk memelihara homeostasis glukosa. Pada penelitian itu juga didapatkan
29
pemberian H3R inverse agonist (JNJ-5207852) dapat meningkatkan sekresi insulin.
H3R telah diketahui memainkan peran penting dalam regulasi homeostasis fungsi
control asupan makanan dan pemeliharaan berat badan.30,31
Meskipun beberapa penelitian hewan coba mampu menjelaskan interkoneksi antara
histamin, insulin dan glukosa, sampai saat ini efek langsung gangguan metabolisme

xvii Universitas Indonesia


glukosa melalui stimulus histamin masih belum dipahami. Serta korelasi pasti
peningkatan kadar glukosa melaui pemberian obat pelumpuh otot yang dapat
melepaskan stimulus histamin hingga terjadinya hiperglikemia juga masih belum jelas
dan butuh banyak penelitian lebih lanjut. Namun adanya hiperglikemia dan kontrol
glukosa darah yang tidak normal pada pasien yang menjalani anestesi umum telah
dilaporkan meningkatkan hasil luaran yang buruk pada pasien, khususnya pada pasien
nondiabetik. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa kontrol glikemik yang
buruk tercermin melalui kadar glukosa darah perioperatif yang tinggi dan HbA1c
dikaitkan dengan hasil bedah yang lebih buruk. Hasil ini ditemukan di kedua operasi
elektif dan darurat termasuk tulang belakang, ortopedi dan bedah thoraks.11,12,32

xviii Universitas Indonesia


2.5 Kerangka Teori

Pelumpuh otot

Pelepasan Inhibisi sekresi


Histamin (HR3) Insulin (GIIS)

Perubahan KGD Puasa Preoperatif

Pelepasan kortisol,
Pembedahan
epinefrin, glukagon

xix Universitas Indonesia


2.6 Kerangka Konsep

Induksi anestesia umum

Penggunaan pelumpuh otot


nondepolarisasi

Atracurium Rocuronium

KGD MAP HR KGD MAP HR

BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
xx Universitas Indonesia
3.1 Desain Penelitian
Desain penelitian yang dipilih adalah uji klinis acak paralel untuk membandingkan
pengaruh pemberian rocuronium dan atracurium terhadap perubahan kadar glukosa
darah pada pasien nondiabetik

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan di kamar operasi Unit Instalasi Bedah Sentral (IBS) Rumah
Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh pada bulan Maret-Mei 2018.

3.3 Populasi Penelitian


Populasi target penelitian adalah semua pasien yang menjalani operasi elektif dengan
anestesia umum dengan intubasi menggunakan fasilitasi pelumpuh otot. Populasi
terjangkau adalah pasien nondiabetik yang menjalani operasi elektif dengan anestesia
umum dengan intubasi menggunakan fasilitasi pelumpuh otot di Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

3.4 Sampel Penelitian


Sampel adalah pasien di dalam populasi yang memenuhi kriteria penerimaan dan tidak
terkena kriteria penolakan maupun kriteria pengeluaran.

3.5 Kriteria Penerimaan, Penolakan, dan Pengeluaran


3.5.1 Kriteria Penerimaan
1. Laki-laki atau perempuan yang menjalani operasi elektif
2. Usia 18-65 tahun
3. Lama prosedur kurang dari 2 jam
4. Pasien menjalani anestesia umum dengan intubasi dengan pipa endotrakeal
5. Pasien / keluarga pasien setuju pasien menjadi peserta penelitian, kooperatif dan
memenuhi aturan-aturan penelitian
6. Tidak memiliki salah satu dari kriteria penolakan di bawah ini.
3.5.2 Kriteria Penolakan
1. Pasien dengan riwayat hiperglikemia atau penyakit diabetes mellitus

xxi Universitas Indonesia


2. Sedang dalam terapi kortikosteroid
3. Pasien dengan masalah saluran pernapasan (infeksi saluran napas atas, asma)
4. Sedang dalam terapi insulin karena kondisi lain seperti hiperkalemia
5. Pasien dengan permasalahan muskuloskeletal

3.5.2 Kriteria Pengeluaran


1. Pasien yang terdeteksi hiperglikemia sebelum dilakukan induksi.
2. Pasien dengan kesulitan intubasi dan pemberian obat induksi berulang
3. Pasien yang mengalami komplikasi kardiorespirasi saat induksi.

3.6 Metode Pengambilan Sampel


Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode consecutive sampling
dengan random allocation tersamar dari seluruh pasien nondiabetik yang menjalani
pembedahan elektif dengan anestesia umum intubasi di Rumah Sakit Umum Daerah dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh.
Perkiraan besar sampel mempergunakan rumus analitik komparatif numerik tidak
berpasangan 2 kelompok, yaitu:

( )
2
( Zα + Zβ ) S
n 1=n2=2
x 1−x 2

Dari kasus penelitian kami diketahui bahwa:


n = besar sampel untuk tiap kelompok.
Kesalahan tipe I sebesar 5% (0.05), maka Zα=1.96 (ditetapkan).
Kesalahan tipe II sebesar 20% (0.2), maka Zβ= 0.84 (ditetapkan).
S= standar deviasi
x1-x2 = selisih yang di anggap bermakna
Dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Naguib dkk didapatkan bahwa nilai S
= 6,4 dan x1-x2= 79,3-75,1,5 sehingga besar sampel didapatkan

( )
2
( 1 ,96 +0 , 84 ) 6 , 4
n 1=n2=2
( 79 , 3−75 ,1 )
n 1=n2=36 , 40

xxii Universitas Indonesia


Berdasarkan rumus didapatkan n= 36,40 dengan perhitungan pengeluaran sampel
sebesar 10% sehingga perkiraan besar sampel adalah 40,04 dibulatkan menjadi 40,
sehingga besar sampel n1 adalah 40 subjek dan n2 adalah 40 subjek.

3.7 Prosedur Kerja


3.7.1 Alur penelitian

Pasien yang memenuhi kriteria


penerimaan

Pemasangan monitor EKG, tekanan darah


non invasif, dan pulse Oxymetry

Pencatatan tekanan denyut jantung, MAP


dan GDS

 Premedikasi: midazolam 0,03 mg/kgBB


 fentanyl 2 mcg/kgBB
 induksi propofol 1% dosis 1,5 mg/kgBB

Atracurium Rocuronium
0,5mg/KgBB 0,6mg/KgBB

Setelah 5 menit dilakukan pencatatan


tekanan denyut jantung, MAP dan GDS

Laringoskopi dan intubasi

Diilakukan pencatatan tekanan denyut jantung,


MAP dan GDS 30 menit setelah diberikan
pelumpuh otot

Gambar 3.1. Alur penelitian

xxiii Universitas Indonesia


3.7.2 Alat dan Bahan Kerja
1. Monitor tekanan darah non invasif, rekam jantung, monitor suhu, dan oksimetri
denyut
2. Cairan infus, selang infus, kanul vena nomor 18 G dan 20 G
3. Sarung tangan tidak steril
4. Set intubasi standar untuk pasien dewasa, digunakan ETT nomor 7,5 untuk pasien
laki-laki dan ETT nomor 7.0 untuk pasien perempuan.
5. Spuit untuk mengembangkan balon ETT
6. Mesin anestesia beserta sirkuit
7. Sungkup wajah
8. Stetoskop
9. Obat premedikasi, induksi dan pelumpuh otot (midazolam, fentanil,propofol dan
rokuronium)
10. Plester fiksasi pipa endotrakeal
11. Stopwatch
12. Alat tulis dan formulir penelitian
13. Glukosameter
14. Strip glukosameter
15. kapas alkohol
16. Jarum lancet

3.7.3 Cara Kerja


1. Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari komite etik penelitian kedokteran
2. Pasien yang memenuhi kriteria penerimaan disiapkan untuk mengikuti alur
penelitian serta sebelumnya telah mendapat informed consent tertulis
3. Dilakukan pencatatan identitas pasien sesuai dengan rekam medis dan hasil
pemeriksaan fisik
4. Pamasangan kanulasi vena nomor 18 atau 20 G
5. Pemasangan monitor tekanan darah non invasif, EKG, dan pulse oxymetri
6. Pencatatan tekanan darah, laju nadi, dan saturasi oksigen sebagai data dasar
7. Pasien dilakukan pengukuran denyut jantung, MAP dan kadar glukosa darah
sebelum premedikasi

xxiv Universitas Indonesia


8. Pasien diberikan premedikasi midazolam 0.03 mg/kgBB dan fentanyl 2
mcg/kgBB
9. Setelah 2 menit premedikasi dilakukan induksi dengan menggunakan propofol
dengan dosis 1,5 mg/kgBB.
10. Setelah dipastikan ventilasi pasien dapat dilakukan, dilakukan pemberian
pelumpuh otot menggunakan rocuronium 0,6 mg/kgBB atau atracurium 0,5
mg/kgBB
11. Dilakukan oksigenasi dengan oksigen 6L/menit dan pemberian gas sevofluran 2
MAC melalui sungkup muka dan ditunggu selama 5 menit untuk mendapatkan
efek obat yang maksimal.
12. Setelah 5 menit dari pemberian pelumpuh otot, dilakukan observasi dan
pengukuran denyut jantung, MAP dan GDS
13. Pasien kemudian diintubasi dengan ETT yang sesuai ukurannya, balon ETT
dikembangkan. ETT dan disambungkan dengan ventilator. Diberikan rumatan
O2 1 L/menit dan udara 1 L/menit dengan rumatan gas sevofluran 2 MAC.
14. Pada menit ke-30 dari pemberian pelumpuh otot diobservasi dan dilakukan
pencatatan denyut jantung, MAP dan GDS

3.8 Batasan Operasional


1. Sampel penelitian adalah subjek pasien yang akan menjalani anestesi umum sesuai
kriteria penerimaan dan menyetujui untuk berpartisipasi dan menandatangani
inform concent.
2. Rocurorium merupakan obat pelumpuh otot nondepolarisasi atau pelumpuh otot
dengan struktur steroid mirip analog vecuronium. Agen ini dirancang untuk
memberikan onset aksi yang cepat menhambat asetilkolin dari pengikatan ke
reseptor pada motor endplate sehingga menghambat depolarisasi otot. Indikasi obat
ini untuk induksi blokade neuromuskular dalam memfasilitasi intubasi endotrakeal
dan anestesi umum, memberikan relaksasi otot rangka selama operasi atau ventilasi
mekanik. Dosis yang digunakan untuk memfasilitasi intubasi adalah
0,6-1,2mg/kgBB secara intravena.
3. Atracurium merupakan agen blokade neuromuskular nondepolarisasi atau relaxan
otot dengan struktur benzylisoquinoline, bekerja dengan mengikat secara kompetitif

xxv Universitas Indonesia


dengan situs reseptor kolinergik pada motor endplate, dengan demikian,
menghambat aksi neurotransmitter asetilkolin. Indikasi obat ini untuk induksi
blokade neuromuskuler dalam memfasilitasi intubasi endotrakeal dan anestesi
umum, memberikan relaksasi otot rangka selama operasi atau ventilasi
4. Glukosa darah merupakan kadar konsentrasi glukosa yang didapat dari darah
kapiler. Konsentrasi glukosa darah normal setelah puasa semalam (> 8 jam)
berkisar 70-99 mg/dL. Pasien dengan konsentrasi glukosa darah puasa dalam
kisaran 100-125 mg/dL mengalami gangguan glukosa puasa, yang mungkin
mencerminkan kondisi prediabetes. Konsentrasi glukosa puasa yang dapat
direproduksi ≥ 126 mg/dL merupakan diagnostik untuk diabetes mellitus. Cara ukur
pemeriksaan darah kapiler menggunakan alat glukosameter. Skala ukur numerik.
5. Intubasi endotrakea adalah proses insersi endotrakea tube (ETT).
6. Anestesi umum adalah keadaan yang dihasilkan ketika seorang pasien menerima
obat yang menyebabkan amnesia dan analgesia dengan atau tanpa kelumpuhan otot
dan bersifat reversibel.
7. Denyut jantung merupakan laju jantung yang direkam oleh monitor anestesia.
Denyut jantung normal pada orang dewasa adalah 60-100 kali per menit. denyut
jantung lebih dari 100 kali per menit disebut takikardia, sedangkan kurang dari 60
kali per menit disebut bradikardia.
8. Mean Arterial Pressure (MAP) adalah hasil dari dua kali nilai diastolik yang
ditambahkan dengan sistolik dibagi dengan tiga. Nilai MAP dapat langsung diukur
oleh monitor anestesia. Nilai MAP normal adalah 65-110 mmHg.

3.9 Pengolahan dan Penyajian Data


3.9.1 Pengolahan Data
Setelah seluruh data terkumpul, data diverifikasi dan diolah menggunakan
program SPSS for Windows version 21.0
3.9.2 Penyajian Data
Hasil dari pengolahan data akan disajikan dalam bentuk grafik atau tabel agar
lebih ringkas dan mudah dimengerti.

xxvi Universitas Indonesia


3.10 Analisis Data
Data yang terkumpul dalam penelitian dimasukkan ke dalam tabel induk kemudian
diolah secara statistik dengan uji hipotesis. Untuk membandingkan perbedaaan
antara rocuronium dan atracurium terhadap peningkatan kadar glukosa darah
sebelum dan sesudah maka dilakukan analisis t test tidak berpasangan, dengan nilai
signifikan bermakna jika P<0,05.

3.11 Etika Penelitian


Peneliti akan mengajukan proposal kepada Komisi Etik Rumah Sakit Umum Daerah
dr. Zainoel Abidin Banda Aceh untuk mendapatkan persetujuan etik penelitian agar
peneliti mendapatkan legitimasi etik sehingga penelitian dapat
dipertanggungjawabkan secara etika. Pasien yang menjadi subjek penelitian akan
mendapatkan penjelasan mengenai tujuan, manfaat, prosedur penelitian dan risiko
hingga komplikasi tindakan, dan akan menandatangani lembaran informed consent.
Penelitian ini bersifat sukarela tanpa ada unsur paksaan dan tidak mengubah standar
pelayanan yang berlaku. Kerahasiaan data subjek dijamin oleh peneliti.

xxvii Universitas Indonesia


28

DAFTAR PUSTAKA

1. Ronald D. Miller, editor. Miller’s anesthesia. Eighth edition. Philadelphia, PA:


Elsevier/Saunders; 2015.
2. Butterworth IV JF, Mackey DC, Wasnick JD. Neuromuscular Blocking Agents. In:
Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology, 6e [Internet]. New York, NY:
McGraw-Hill Education; 2018 [cited 2019 Feb 6]. Available from:
accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?aid=1154657219
3. Tsai-Nguyen G, Modrykamien AM. Use of neuromuscular blocking agents in acute
respiratory distress syndrome. Baylor University Medical Center Proceedings. 2018
Apr 3;31(2):177–9.
4. Pardo M, Miller RD, Miller RD. Basics of anesthesia [Internet]. 2018 [cited 2019
Feb 6]. Available from: https://www.clinicalkey.com/dura/browse/bookChapter/3-
s2.0-C20140048964
5. Naguib M, Samarkandi AH, Bakhamees HS, Magboul MA, El-Bakry AK.
Histamine-release haemodynamic changes produced by rocuronium, vecuronium,
mivacurium, atracurium and tubocurarine. British journal of anaesthesia.
1995;75(5):588–592.
6. Pini A, Obara I, Battell E, Chazot PL, Rosa AC. Histamine in diabetes: Is it time to
reconsider? Pharmacological Research. 2016 Sep;111:316–24.
7. Azevedo MS, Silva IJ, Raposo JF, Neto IF, Falcao JG, Manso CF. Early increase in
histamine concentration in the islets of Langerhans isolated from rats made diabetic
with streptozotocin. Diabetes research and clinical practice. 1990;10(1):59–63.
8. Veglia E, Grange C, Pini A, Moggio A, Lanzi C, Camussi G, et al. Histamine
receptor expression in human renal tubules: a comparative pharmacological
evaluation. Inflammation Research. 2015 Apr;64(3–4):261–70.
9. Pontes JPJ, Mendes FF, Vasconcelos MM, Batista NR. Evaluation and perioperative
management of patients with diabetes mellitus. A challenge for the anesthesiologist.
Brazilian Journal of Anesthesiology (English Edition). 2018 Jan;68(1):75–86.
10. Tilak V, Schoenberg C, Castro III AF, Sant M. Factors Associated with Increases in
Glucose Levels in the Perioperative Period in Non-Diabetic Patients. Open Journal
of Anesthesiology. 2013;3(3):176–85.
29

11. Frisch A, Chandra P, Smiley D, Peng L, Rizzo M, Gatcliffe C, et al. Prevalence and
Clinical Outcome of Hyperglycemia in the Perioperative Period in Noncardiac
Surgery. Diabetes Care. 2010 Aug;33(8):1783–8.
12. Kwon S, Thompson R, Dellinger P, Yanez D, Farrohki E, Flum D. Importance of
Perioperative Glycemic Control in General Surgery. Ann Surg. 2013 Jan;257(1):8–
14.
13. Ronald D Miller. Neuromuscular Blocking Drugs. In: Basics of anesthesia. 7th ed.
Philadelphia, PA: Elsevier; 2018. p. 156–76.
14. Chambers D, Huang CL-H, Matthews G. Basic physiology for anaesthetists.
Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press; 2015. 447 p.
15. J. A. J. Martyn, M. Jonsson Fagerlund, L. I. Eriksson. Basic principles of
neuromuscular transmission. Anaesthesia. 2009;64(s1):1–9.
16. Koeppen BM, Stanton BA, editors. Berne & Levy physiology. Seventh edition.
Philadelphia, PA: Elsevier; 2018.
17. Hall JE. Guyton and Hall textbook of medical physiology. 13th edition.
Philadelphia, PA: Elsevier; 2016. 1145 p.
18. Silverthorn DU, Johnson BR, Ober WC, Ober CE, Silverthorn AC. Human
physiology: an integrated approach. Seventh edition. San Francisco: Pearson; 2016.
838 p.
19. LInda S. Costanzo. Board Review Series: Physiology. 7th ed. Philadelphia: Wolters
Kluwer; 2019.
20. Frederic Martini, Judi Lindsley Nath, Edwin F. Bartholomew. Fundamentals of
anatomy & physiology. Tenth edition. Boston: Pearson; 2015. 1 p.
21. Thorens B. Brain glucose sensing and neural regulation of insulin and glucagon
secretion. Diabetes, Obesity and Metabolism. 2011;13(s1):82–8.
22. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, Cahalan MK, Stock MC, Ortega R, et al.
Clinical Anesthesia Fundamentals. United States: Wolters Kluwer; 2015.
23. Kruidering-Hall M, Campbell L. Skeletal Muscle Relaxants. In: Katzung BG,
editor. Basic & Clinical Pharmacology, 14e [Internet]. New York, NY: McGraw-
Hill Education; 2017 [cited 2019 Feb 7]. Available from:
accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?aid=1148436757
30

24. James C. Duke. Relaxant and Monitoring of Relaxant Activity. In: James C. Duke,
Brian M. Keech, editors. Anesthesia Secrets. 5th ed. Philadelphia: Elsevier,
Saunders; 2016. p. 87–95.
25. Mark T. Keegan. Nondepolarizing neuromuscular blocking agents. In: Murray MJ,
Rose SH, Wedel DJ, Wass CT, Harrison BA, Mueller JT, editors. Faust’s
anesthesiology review. 4th ed. Philadelphia, PA: Elsevier/Saunders; 2015. p. 173–5.
26. Katzung BG, Kruidering-Hall M, Trevor AJ. Skeletal Muscle Relaxants. In:
Katzung & Trevor’s Pharmacology: Examination & Board Review, 12e [Internet].
New York, NY: McGraw-Hill Education; 2019 [cited 2019 Feb 20]. Available
from: accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?aid=1156528943
27. Spoerl D, Nigolian H, Czarnetzki C, Harr T. Reclassifying Anaphylaxis to
Neuromuscular Blocking Agents Based on the Presumed Patho-Mechanism: IgE-
Mediated, Pharmacological Adverse Reaction or “Innate Hypersensitivity”?
International Journal of Molecular Sciences. 2017 Jun 7;18(6):1223.
28. Dippenaar JM, Naidoo S. Allergic reactions and anaphylaxis during anaesthesia.
Current allergy & clinical immunology. 2015;28(1):18–22.
29. Nakamura T, Yoshikawa T, Noguchi N, Sugawara A, Kasajima A, Sasano H, et al.
The expression and function of histamine H3 receptors in pancreatic beta cells. Br J
Pharmacol. 2014 Jan;171(1):171–85.
30. Tabarean IV. Histamine receptor signaling in energy homeostasis.
Neuropharmacology. 2016;106:13–9.
31. Provensi G, Blandina P, Passani MB. The histaminergic system as a target for the
prevention of obesity and metabolic syndrome. Neuropharmacology. 2016;106:3–
12.
32. Kreutziger J, Schlaepfer J, Wenzel V, Constantinescu MA. The Role of Admission
Blood Glucose in Outcome Prediction of Surviving Patients With Multiple Injuries:
The Journal of Trauma: Injury, Infection, and Critical Care. 2009 Oct;67(4):704–8.
33. Butterworth Iv JF, Mackey DC, Wasnick JD. Neuromuscular Blocking Agents.
Morgan &amp; Mikhail's Clinical Anesthesiology, 6e. New York, NY: McGraw-
Hill Education; 2018.
34. Módolo NSP, Nascimento Júnior Pd, Croitor LBdJ, Vianna PTG, Castiglia YMM,
Ganem EM, et al. Tempo de latência e duração do efeito do rocurônio, atracúrio e
31

mivacúrio em pacientes pediátricos. Revista Brasileira de Anestesiologia.


2002;52:185-96.
35. An TH. The Onset of Neuromuscular Blockade and Hemodynamic Effects after
Atracurium, Vecuronium, or Rocuronium in Children. Korean J Anesthesiol.
2003;44(2):163-8.
36. Krinsley JS. Glycemic Control, Diabetic Status, and Mortality in a Heterogeneous
Population of Critically Ill Patients Before and During the Era of Intensive
Glycemic Management: Six and One-Half Years Experience at a University-
Affiliated Community Hospital. Seminars in Thoracic and Cardiovascular Surgery.
2006;18(4):317-25.
37. Kotagal M, Symons RG, Hirsch IB, Umpierrez GE, Dellinger EP, Farrokhi ET, et
al. Perioperative hyperglycemia and risk of adverse events among patients with and
without diabetes. Ann Surg. 2015;261(1):97-103.
38 Palermo NE, Gianchandani RY, McDonnell ME, Alexanian SM. Stress
hyperglycemia during surgery and anesthesia: pathogenesis and clinical
implications. Current diabetes reports. 2016;16(3):33.

Anda mungkin juga menyukai