HALAMAN JUDUL........................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................ii
1. PENDAHULUAN.....................................................................................................1
1.1.Latar Belakang Penelitian...................................................................................1
1.2.Rumusan Masalah...............................................................................................2
1.3.Pertanyaan Penelitian..........................................................................................3
1.4.Hipotesis..............................................................................................................3
1.5.Tujuan Penelitian.................................................................................................3
1.6.Manfaat Penelitian...............................................................................................3
2. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................5
2.1. Mekanisme kontraksi otot ............................................................................5
2.2. Regulasi Glukosa...........................................................................................7
2.3. Obat Pelumpuh Otot......................................................................................9
2.3.1. Pelumpuh otot depolarisasi.........................................................................11
2.3.2. Pelumpuh otot nondepolarisasi...................................................................11
2.3.2.1 Rocuronium.................................................................................................12
2.3.2.2 Atracurium..................................................................................................13
2.4. Pelumpuh otot dapat memicu perubahan glukosa darah melalui pelepasan
histamine................................................................................................... 14
2.5. Kerangka Teori...........................................................................................17
2.6. Kerangka Konsep.......................................................................................18
3. METODOLOGI PENELITIAN............................................................................19
3.1.Desain Penelitian...............................................................................................19
3.2.Waktu dan Tempat Penelitian...........................................................................19
3.3.Populasi Penelitian............................................................................................19
3.4.Sampel Penelitian..............................................................................................19
3.5.Kriteria Penerimaan, Penolakan, dan Pengeluaran...........................................19
3.6.Metode Pengambilan Sampel............................................................................20
3.7.Prosedur Kerja...................................................................................................21
3.8.Batasan Operasional..........................................................................................23
3.9.Pengolahan Data dan Penyajian Data................................................................24
3.10.Analisis Data...................................................................................................24
3.11.Etika Penelitian...............................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................34
BAB I
PENDAHULUAN
ii Universitas Indonesia
Dalam praktek anestesia sehari-hari, relaksasi otot seringkali dibutuhkan untuk
mencapai kondisi pembedahan yang optimal. Kondisi ini dapat dicapai dengan obat-
obatan pelumpuh otot, obat ini awalnya diperkenalkan oleh Griffith dan Johnson pada
tahun 1942, yang kemudian merubah praktek anestesia sehari-hari. 1 Penggunaan klinis
dari obat pelumpuh otot ini untuk melumpuhkan otot rangka agar memfasilitasi intubasi
trakea dan membantu dalam menciptakan kondisi pembedahan yang optimal. Selain itu,
pelumpuh otot juga digunakan dalam resusitasi jantung paru dan pada pasien yang
memerlukan ventilasi mekanik.2,3 Berdasarkan perbedaan elektrofisiologinya dalam
mekanisme aksi durasinya, obat pelumpuh otot ini dapat diklasifikasikan menjadi
pelumpuh otot depolarisasi, yang bekerja meniru kerja asetilkolin dan pelumpuh otot
nondepolarisasi, yang mengintervensi kerja asetilkolin. 1,4 Pelumpuh otot nondepolarisasi
dibagi atas dua kelompok berdasarkan perbedaan struktur molekularnya yaitu senyawa
benzilisoquinoline, seperti cisatracurium, atracurium, tubocurarine), dan senyawa
aminosteroid, seperti vecuronium, rocuronium. Salah satu komplikasi agen ini yang
ditakutkan adalah reaksi alergi anafilaktik sebagai efek pelepasan histamin. Atracurium
menjadi agen yang paling banyak melepaskan histamin dibandingkan rocuronium. Ada
banyak laporan yang menjelaskan efek samping anafilaksi atracurium. Naguib dkk
melaporkan bahwa atracurium mampu melepaskan histamin hingga 370% serta
mempengaruhi hemodinamik pada awal pemberian dibandingkan rocuronium.5
Histamin yang dilepaskan selain dapat mempengaruhi hemodinamik, diperkirakan juga
dapat memicu peningkatan kadar glukosa selama anestesi umum. Korelasi hubungan
antara histamin dan metabolisme glukosa dijelaskan melalui adanya kondisi
hiperglikemia bersamaan dengan pelepasan histamin. Adanya peningkatan kadar
histamin juga sering dilaporkan pada penderita diabetes. 6 Selain itu juga terdapat
beberapa penelitian invivo dimana adanya korelasi pengaruh insulin terhadap plasma
histamin. Azevedo dkk juga melaporkan peningkatan glukosa danHistamin pada model
tikus diabetes yang dirusak pankreasnya melalui diinduksi streptozotocin (STZ). 7 Oleh
Nakamura dkk juga juga melaporkan bahwa peningkatan reseptor Histamine 3 (H3R)
pada pankreas mampu memicu penurunan insulin disertai peningakatan glukosa darah.8
Adanya peningkatan kadar glukosa darah selama prosedur anestesi dan pembedahan
akan memberikan hasil yang buruk terhadap pasien seperti pada kondisi diabetes dan
hiperglikemia. Selama pemberian anestesi umum dan pembedahan, stres yang terjadi
Seperti yang telah diketahui, salah satu faktor yang dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pasca pembedahan adalah hiperglikemia perioperatif. Saat ini, mayoritas
penelitian lebih difokuskan pada pasien diabetes yang menjalani pembedahan kardiak.
Namun, kadar glukosa darah jarang diperiksa secara rutin pada pasien nondiabetik
selama perioperatif.10 Penelitian yang dilakukan oleh Frisch dkk menyatakan adanya
hubungan yang signifikan antara hiperglikemia perioperatif pada pasien tanpa adanya
riwayat diabetes sebelum admisi dengan angka mortalitas perioperatif dibandingkan
dengan pasien yang telah diketahui menderita diabetes. 11 Selain itu, Kwon dkk juga
menyatakan adanya resiko infeksi yang tinggi dan keluaran yang lebih buruk pada
pasien tanpa diabetes yang mengalami hiperglikemi dibandingkan dengan pasien yang
memiliki riwayat diabetes.12
Penelitian mengenai peningkatan kadar glukosa darah sebagai efek dari pemberian obat
pelumpuh otot sampai saat ini belum banyak dilaporkan. Dalam hal ini peneliti tertarik
untuk melakukan perbandingan pengaruh dari obat atracurium dan recuronium dalam
terjadinya peningkatan kadar glukosa darah selama prosedur anestesi umum.
1.4 Hipotesis
Terdapat perbedaan perubahan terhadap kadar glukosa darah pada pemberian
rocuronium dibandingkan atracurium pada pasien nondiabetik dengan anestesia umum
v Universitas Indonesia
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan atau pedoman untuk penelitian
selanjutnya terutama penelitian tentang perbandingan penggunaan rocuronium dan
atracurium pada pasien non-diabetik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
vi Universitas Indonesia
2.1 Mekanisme kontraksi otot
Hubungan antara neuron motorik dan sel otot rangka terjadi pada sambungan
neuromuskular. Sambungan neuromuskular ini terdiri dari beberapa bagian yaitu: akson
terminal saraf (presinaps), celah sinaps dan ujung lempeng motorik (pascasinaps)
seperti yang diilustrasikan di gambar 2.1. Transmisi dari neuromuskuler dimulai dari
adanya rangsangan pada saraf motorik terminal yang dihubungkan dengan influks ion
kalsium dan menghasilkan pelepasan asetilkolin. Asetilkolin ini berikatan dengan
AChRs (kanal dengan ligand-gate) pada membran setelah sambungan dan oleh karena
itu ada perubahan di membran permeabilias terhadap ion, yaitu Natrium dan Kalium.
Perubahan permeabilitas dan pergerakan dari ion menyebabkan penurunan potensial
transmembrane dari -90 menjadi -45 mV (ambang batas potensial), yang pada suatu
waktu akan menyebarkan potensial aksi ke seluruh serabut otot rangka sehingga
terjadinya kontraksi otot. Asetilkolin dihidrolisa secara cepat (dalam waktu 15 detik)
oleh enzim asetilkolinesterasi, sehingga mengembalikan permeabilitas membran
(repolarisasi) dan mencegah depolarisasi yang terus-menerus. Asetilkolinesterase
terutama terletak di area lipatan pada ujung lempeng, yang tempatnya berdekatan
dengan kerja asetilkolin.13,2
Akson terminal saraf atau presinaps berfungsi dalam sintesis, ambilan dan penyimpanan
neurotransmiter, yaitu asetilkolin. Sintesis Asetilkolin (Ach), terjadi di saraf terminal
dimana ACh disintesis dari kolin (berasal dari diit atau oleh sintesa hepatik) dan asetil
CoA (diproduksi oleh akson mitokondria). Selanjutnya ACh disimpan dalam dikemas
menjadi vesikel. Setiap vesikel ini mengandung sekitar 5000 molekul yang dikenal
dengan “kuantum”. Beberapa Ach kemudian dilepaskan dan sisanya disimpan sebagai
cadangan, yang kemudian akan diperlukan saat adanya rangsangan. Reseptor di
pascasinap (reseptor Ach) memiliki struktur sangat beragam pada jaringan dan waktu
yang berbeda. Setiap reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuscular secara normal
terdiri dari 5 subunit protein: dua subunit , dan subunit tunggal , dan . Hanya dua
subunit yang identik yang dapat berikatan dengan molekul asetilkolin. Saluran tidak
adak akan terbuka apabila hanya berikatan dengan satu unit.2,14,15
Kalsium terbuka, sehingga Ca2+ berdifusi dari cairan ekstraseluler kedalam aksoplasma
sel saraf. Adanya peningkatan Ca2+ ini memacu pelepasan vesikel, biasanya ketika 50-
100 vesikel dilepaskan lebih dari 250000 molekul ACh yang dilepaskan ke celah sinaps.
Jumlah kuanta yang dilepaskan oleh setiap serabut saraf yang terdepolarisasi, biasanya
setidaknya 200, sangat sensitif terhadap konsentrasi kalsium terionisasi di ekstraseluler;
peningkatan konsentrasi kalsium meningkatkan jumlah kuanta yang dilepaskan. Ketika
reseptor ini cukup ditempati oleh ACh, potensial ujung lempeng akan cukup kuat untuk
mendepolarisasi membran perijunctional. Saluran natrium yang terjaga tegangannya
dalam bagian membran otot ini terbuka ketika tegangan melebihi tegangan ambang,
seperti halnya untuk saluran natrium yang terjaga tegangannya di saraf atau jantung.
Area perijunctional membran otot memiliki kepadatan lebih tinggi dari saluran natrium
ini daripada bagian lain dari membran. Potensi aksi yang dihasilkan merambat di
sepanjang membran otot dan sistem tubulus, membuka saluran natrium dan melepaskan
kalsium dari retikulum sarkoplasma. Kalsium intraseluler ini memungkinkan protein
kontraktil aktin dan miosin berinteraksi, menyebabkan kontraksi otot.,2,14
ACh secara cepat didegradasi dari celah sinaps menjadi asam asetat dan kolin oleh
enzim asetilkolinesterase (AChE). Produk dari pemecahan ini akan dibawa secara aktif
viii Universitas Indonesia
kedalam membran presinaps sebagai bahan untuk resintesis ACh. Enzim AChE ini
terdapat di lempeng ujung motorik yang berbatasan langsung dengan reseptor ACh.
Setelah melepaskan ikatan ACh, kanal ion reseptor menutup, memungkinkan ujung
lempeng saraf motorik untuk melakukan repolarisasi. Kalsium diambil kembali dalam
retikulum sarkoplasma dan sel otot menjadi relaksasi.2,15
Didalam tubuh manusia terdapat berbagai macam sel. Sel-sel ini bekerja terus menerus
agar kehidupan manusia bisa berlangsung. Pada sel ini terjadi berbagai macam proses
antara lain memelihara komposisi selular, menjaga intregritas struktur sel juga
mensintesis dan memecah makromolekul dan organel.16 Untuk melakukan tugasnya, sel
membutuhkan bahan bakar, bahan bakar ini berupa energi kimiawi potensial dalam
bentuk adenosine triphosphate (ATP). Sel dapat mengubah energi ATP menjadi energi
kimia dan mekanik.16,17 glukosa merupakan zat utama untuk produksi ATP. Glukosa ini
diabsorbsi dari usus halus dan masuk ke vena portal hepatik dan dibawa secara langsung
ke hati, dimana akan dimetabolisme 30% dari keseluruhan glukosa yang dicerna.
Sedangkan sisanya 70% akan terus berdistribusi di aliran darah untuk dibawa ke otak,
otot dan organ lain serta jaringan.18
Hormon insulin dan glukagon bekerja secara berlawanan untuk menjaga kadar glukosa
dalam kadar yang normal.16,17 Kedua hormon ini ada dalam darah hampir setiap waktu,
sehingga rasionya akan menentukan hormon mana yang lebih mendominasi. Pada saat
tubuh mengabsorbi nutrisi, insulin lebih mendominasi sehingga tubuh menjalani proses
anabolisme. Glukosa yang dicerna akan digunakan untuk produksi energi, dan sisanya
akan disimpan sebagai glikogen atau lemak.16 Sedangkan saat glukagon mendominasi,
hati akan menggunakan glikogen dan bahan nonglukosa lain untuk mensintesis glukosa
yang akan dilepaskan kedalam darah sehingga akan meningkatkan kadar glukosa
darah.16,19 Secara ringkas, mekanisme kerja insulin dan glukagon untuk mengatur kadar
glukosa darah dapat dilihat pada gambar 2.2
Insulin adalah hormon peptide yang dilepaskan oleh sel beta pankreas ketika kadar gula
darah melebihi normal (70-110 mg/dl). Peningkatan kadar asam amino, termasuk
arginin dan leusin, juga dapat merangsang sekresi insulin.20 mekanisme sekresi insulin
diawali dengan reseptor Glut 2 di sel beta pankreas yang berikatan dengan glukosa.
ix Universitas Indonesia
Didalam sel beta ini, glukosa dioksidasi menjadi ATP, yang menutup kanal K + di
membran sel dan menyebabkan depolarisasi sel beta. Depolarisasi ini akan membuka
kanal Ca2+, yang akan menyebabkan peningkatan konsentrasi Ca2- intraselular dan akan
memicu terjadinya sekresi insulin.19
x Universitas Indonesia
Hormon glukagon akan dilepaskan dari sel alfa pancreas untuk mengeluarkan cadangan
energi ketika konsentrasi glukosa darah turun dibawah normal. Saat glukagon berikatan
dengan reseptor di membran plasma sel target, akan mengaktifkan adenylate cyclase.20
Glukagon bekerja di hati dan jaringan adiposa, dimanasecond messenger glukagon
adalah cAMP.19 Glukagon akan meningkatkan glukosa darah dengan cara glikogenesis
dan glukoneogenesis.17,19,20
Sel alfa dan beta pankareas akan memelihara konsentrasi glukosa darah, dimana sel-sel
ini kan mensekresi glukagon dan insulin tanpa instruksi endokrin ataupun nervus.
Karena sel alfa dan beta sangat sensitif terhadap perubahan kadar glukosa darah, setiap
hormon yang mempengaruhi konsentrasi glukosa darah secara tidak langsung akan
mempengaruhi produksi insulin dan glukagon.20 Aktivitas otonom juga mempengaruhi
produksi insulin, dimana stimulasi parasimpatis akan memacu pelepasan insulin, dan
stimulasi simpatis akan menghambat pelepasannya. 21
Semua obat pelumpuh otot yang ada memiliki kemiripan struktur dengan asetilkolin.
Selain itu juga ciri umum pada obat pelumpuh otot yang saat ini digunakan adalah
adanya satu atau dua nitrogen kuartener, sehingga menjadikan obat ini tidak mudah
larut dalam lipid dan membatasi masuknya obat ini kedalam sistem saraf pusat.
Pelumpuh otot depolarisasi mirip dengan ACh cepat untuk berikatan dengan reseptor
ACh, yang akan mencetuskan potensial aksi otot rangka. Obat ini tidak seperti ACh,
yang dapat dimetabolisme oleh AChE dan konsentrasinya di celah sinaps tidak turun
secara cepat, yang akan memanjangkan waktu depolarisasi di ujung lempeng otot.2
Depolarisasi yang kontinyu di ujung lempeng menyebabkan relaksasi dari otot karena
adanya pembukaan kanal natrium perijunctional yang terbatas oleh waktu. Setelah
eksitasi inisial dan pembukaan kanal ini, kanal natrium terinaktivasi dan tidak bisa
terbuka sampai terjadi repolarisasi di ujung lempeng. Ujung lempeng tidak dapat
repolarisasi selama pelumpuh otot depolarisasi berikatan dengan reseptor ACH, yang
disebut dengan fase blok I. depolarisasi ujung lempeng yang lebih lama bisa
menyebabkan perubahan yang buruk terhadap reseptor yang menyebabkan blok fase II,
yang secara klinis mirip dengan pelumpuh otot nondepolarisasi.2
xi Universitas Indonesia
Pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan reseptor ACh tetapi tidak mampu
merubah pembukaan kanal ion. Karena ACh dihambat untuk berikatan dengan
reseptornya, tidak ada potensial aksi yang terjadi. blokade neuromuskular ini bahkan
dapat terjadi apabila salah satu subunit alpha yang diblok. Sehingga, pelumpuh otot
depolarisasi bekerja sebagai agonis reseptor ACh, sedangkan pelumpuh otot
nondepolarisasi berfungsi sebagai antagonis kompetitif ACh.2
Gambar 2.3 Ilustrasi mekanisme kerja pelumpuh otot pada ujung lempeng (struktur
bersifat simbolis). Atas: Tindakan agonis normal asetilkolin (merah) dalam pembukaan
kanal. Bawah, kiri: Pelumpuh otot nondepolarisasi, misalnya, rocuronium (kuning),
tampak penghambatan pembukaan saluran ketika berikatan dengan reseptornya. Bawah,
kanan: Pelumpuh otot depolarisasi, misalnya, suksinilkolin (biru), keduanya menempati
reseptor dan menghalangi saluran
Gambar diambil dari Kruidering-Hall M, Campbell L. Skeletal Muscle Relaxants. In: Katzung BG,
editor. Basic & Clinical Pharmacology, 14e [Internet]. New York, NY: McGraw-Hill Education; 2017
[cited 2019 Feb 7]. Available from: accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?aid=1148436757
Berdasarkan kerjanya pelumpuh otot dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu
pelumpuh otot depolarisasi yang membuat relaksasi otot secara langsung dengan
mendepolarisasi reseptor ACh. Hal ini karena obat ini bekerja sebagai transmiter palsu
yang menyerupai ACh. Jenis kedua adalah pelumpuh otot nondepolarisasi yang
berkompetisi dengan ACh untuk dua subunit alpha, sehingga mencegah fungsi normal
reseptor ACh. Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dapat diklasifikasikan berdasarkan
Pelumpuh otot depolarisasi sangat mirip ACh dan mudah mengikat reseptor ACh,
menghasilkan potensi aksi otot. Tidak seperti ACh, obat ini tidak dimetabolisme oleh
asetilkolinesterase, dan konsentrasinya dalam celah sinaptik tidak turun dengan cepat,
menghasilkan depolarisasi yang berkepanjangan dari endplate. Depolarisasi ujung
lempeng motorik berkelanjutan menyebabkan relaksasi otot karena pembatasan waktu
pembukaan saluran natrium (saluran natrium dengan cepat "tidak aktif" dengan
depolarisasi berkelanjutan). Setelah eksitasi dan pembukaan awal saluran natrium ini
tidak aktif dan tidak dapat dibuka kembali sampai repolarisasi atau relaksan otot
depolarisasi terus berikatan dengan reseptor Ach (blok fase I). Depolarisasi end-plate
yang lebih lama dapat menyebabkan perubahan yang kurang dipahami dalam reseptor
ACh yang menghasilkan blok fase II, yang secara klinis menyerupai relaksan otot yang
tidak mempolarisasi.2,23
Selain kelebihannya berupa onset yang cepat dan durasi yang singkat, suksinilkolin juga
memiliki beberapa efek samping antara lain dapat mencetuskan bradiaritmia akibat
stimulasi reseptor muskarinik di nodus SA, mencetuskan hipertemia maligna, myalgia,
peningkatan tekanan intrakranial, dan tekanan intraokular, serta hiperkalemia. 24
Pemakaian obat pelumpuh otot nondepolarisasi dalam praktik klinis memiliki dampak
yang baik dalam kemajuan anestesia dan pembedahan. Beberapa obat pelumpuh otot
ini bahkan telah hampir menggantikan suksinilkolin sebagai obat pilihan dengan onset
dan durasi kerja yang singkat.25 Pelumpuh otot nondepolarisasi dapat diklasifikasikan
menjadi kerja panjang, intermediit dan pendek. Obat ini bekerja dengan berkompetisi
dengan ACh untuk berikatan dengan subunit alpha pada reseptor nikotinik
postjunctional dan mencegah perubahan permeabilitas ion. Sehingga tidak dapat
terjadinya depolarisasi dan akan membuat paralisis otot-otot skeletal.2,4
Durasi aksi obat pelumpuh otot nondepolarisasi berhubungan dengan eliminasi waktu
paruhnya. Obat-obat yang dieksresikan di ginjal memiliki waktu paruh yang lebih
panjang, sehingga durasi aksi obat juga lebih panjang (>35 menit). Sedangkan obat-obat
yang dieliminasi di hati cenderung memiliki waktu paruh dan durasi aksi yang lebih
singkat.23
Obat pelumpuh otot ini dapat dibalik dengan inhitor kolinesterase, dan obat ini juga
dapat bekerja secara langsung untuk menutup kanal ion yang dioperasikan oleh reseptor
ACh nikotinik. Otot-otot yang lebih besar, seperti abdomen dan diafragman lebih tahan
terhadap blokade neuromuscular, tetapi otot ini lebih cepat pulih dibandingkan otot-otot
yang lebih kecil (seperti otot wajah dan tangan).26
2.3.2.1. Rocuronium
Dengan dosis 3,5-4 x ED95 (1-1,2 mg/kgBB), onset kerjanya hampir mendekati
suksinilkolin dengan kondisi intubasi yang sama. Rocuronium juga tidak mempengaruhi
hemodinamik, tidak melepaskan histamine, dan dapat menyebabkan reaksi alergi yang
langka (hampir sama dengan pelumpuh otot nondepolarisasi aminosteroid). Oleh karena
onsetnya yang cepat, rocuronium dengan dosis tinggi (1,2 mg/kgBB) dapat digunakan
pada kondisi Rapid Sequence Induction, khususnya pada pasien dengan kontraindikasi
digunakan suksinilkolin.22
Rocuronium kurang kuat daripada kebanyakan relaksan otot steroid lainnya (potensi
tampaknya berbanding terbalik dengan kecepatan onset). Dibutuhkan 0,45 hingga 0,9
mg/kgbb intravena untuk intubasi dan 0,15 mg/kg bolus untuk pemeliharaan.
Rocuronium intramuskuler (1 mg/kgbb untuk bayi; 2 mg/kgbb untuk anak-anak) akan
xiv Universitas Indonesia
menyebabkan paralisis pita suara dan kelumpuhan diafragma yang cukup untuk
intubasi, tetapi onsetnya 3-6 menit. Pada pasien geriatri durasi kerja rocuronium dapat
memanjang.2
2.3.2.2. Atracurium
Atracurium jika diberikan dengan ED95 0,2 mg/kg dapat menghasilkan aksi onset 3-5
menit dengan durasi aksi 20-30 menit. Dengan dosis infus kontinyu 5-10 mcg/kg/min
dapat secara efektif dosis bolus intermiten. 2,4 Di samping metabolisme hepatik,
atracurium diinaktivasi oleh pemecahan spontan yang dikenal sebagai eliminasi
Hofmann. Produk pemecahan utama adalah laudanosine dan asam kuaterner terkait,
yang tidak memiliki sifat memblokir neuromuskuler. Laudanosine secara perlahan
dimetabolisme oleh hati dan memiliki waktu paruh eliminasi yang lebih lama (yaitu 150
menit). Laudanosine ini mudah melintasi sawar darah-otak, dan konsentrasi darah yang
tinggi dapat menyebabkan kejang dan peningkatan kebutuhan obat anestesi inhalasi.
Selama pembedahan, kadar laudanosine dalam darah biasanya berkisar antara 0,2
hingga 1 mcg/mL. Namun, dengan infus atracurium yang berkepanjangan di ICU, kadar
darah laudanosine dapat melebihi 5 mcg/mL.23,26
Pada dosis lebih dari 0,5 mg/kg atracurium dapat mencetuskan pelepasan histamin yang
dapat menyebabkan hipotensi dan takikardia, bronkospasme dan reaksi anafilaksis, hal
tersebut berhubungan dengan respon imunogenisitas langsung dan aktivasi imun yang
dimediasi akrilat. Reaksi antibodi juga dimediasi imunoglobulin E yang diarahkan
terhadap senyawa amonium tersubstitusi.2
xv Universitas Indonesia
2.4 Pelumpuh otot dapat memicu perubahan glukosa darah melalui pelepasan
histamin
Obat pelumpuh otot adalah satu kelompok obat yang digunakan secara rutin oleh ahli
anestesi. Obat ini memiliki efek samping merangsang pelepasan histamin yang dapat
memicu reaksi kulit dan anafilaksis. Pelepasan histamin tersebut dapat memberikan
masalah selama prosedur anestesi umum dan pembedahan.1 Obat pelumpuh otot
diperkirakan bergabung dengan imunoglobulin spesifik IgE yang melekat pada
permukaan sel mast kemudian merangsang pelepasan zat endogen vasoaktif sehingga
menghasilkan respon cepat dan lambat pada kardiovaskular yang dikenal sebagai syok
anafilaksis, hal tersebut ditandai dengan depresi miokardium, vasodilatasi perifer, secara
nyata meningkatkan permeabilitas kapiler yang pada akhirnya dapat menyebabkan
hipotensi berat dan bahkan henti jantung.27,28
Korelasi hubungan antara histamin dan metabolisme glukosa secara pararel di sajikan
dalam beberapa penelitian hewan coba terkait diabetes melitus. Diabetes adalah
penyakit metabolisme yang ditandai dengan peningkatan jumlah glukosa dalam darah
yang disebabkan oleh kerusakan sel beta di pankreas yang sehingga terjadi penurunan
insulin, terjadinya resistensi terhadap efek insulin atau campuran kedunya. Diantara
mediator-mediator yang dianggap berpengaruh pada patofisiologi diabetes, pengaruh
histamin selalu dianggap kontroversial. Adanya kondisi hiperglikemia dan pengaruhnya
dengan histamin secara langsung dijelaskan melalui beberapa laporan penelitian pada
hewan coba. Peningkatan histamin ditemukan pada plasma, ginjal, otak, paru jantung,
pankreas dan usus dari tikus yang diabetik.6
Azevedo dkk juga melaporkan peningkatan histamin pada model tikus diabetes yang
dirusak pankreasnya melalui diinduksi streptozotocin (STZ).7 Oleh Nakamura dkk juga
menjelaskan bahwa bukti pertama untuk efek diabetogenik potensial pada reseptor
Histamine 3 (H3R) pada pankreas hewan coba. Aktivasi dari H 3R akan menghambat
Glucose Induce Insulin Secretion (GIIS) yang memiliki fungsi penting pada sel beta
pankreas untuk memelihara homeostasis glukosa. Pada penelitian itu juga didapatkan
29
pemberian H3R inverse agonist (JNJ-5207852) dapat meningkatkan sekresi insulin.
H3R telah diketahui memainkan peran penting dalam regulasi homeostasis fungsi
control asupan makanan dan pemeliharaan berat badan.30,31
Meskipun beberapa penelitian hewan coba mampu menjelaskan interkoneksi antara
histamin, insulin dan glukosa, sampai saat ini efek langsung gangguan metabolisme
Pelumpuh otot
Pelepasan kortisol,
Pembedahan
epinefrin, glukagon
Atracurium Rocuronium
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
xx Universitas Indonesia
3.1 Desain Penelitian
Desain penelitian yang dipilih adalah uji klinis acak paralel untuk membandingkan
pengaruh pemberian rocuronium dan atracurium terhadap perubahan kadar glukosa
darah pada pasien nondiabetik
( )
2
( Zα + Zβ ) S
n 1=n2=2
x 1−x 2
( )
2
( 1 ,96 +0 , 84 ) 6 , 4
n 1=n2=2
( 79 , 3−75 ,1 )
n 1=n2=36 , 40
Atracurium Rocuronium
0,5mg/KgBB 0,6mg/KgBB
DAFTAR PUSTAKA
11. Frisch A, Chandra P, Smiley D, Peng L, Rizzo M, Gatcliffe C, et al. Prevalence and
Clinical Outcome of Hyperglycemia in the Perioperative Period in Noncardiac
Surgery. Diabetes Care. 2010 Aug;33(8):1783–8.
12. Kwon S, Thompson R, Dellinger P, Yanez D, Farrohki E, Flum D. Importance of
Perioperative Glycemic Control in General Surgery. Ann Surg. 2013 Jan;257(1):8–
14.
13. Ronald D Miller. Neuromuscular Blocking Drugs. In: Basics of anesthesia. 7th ed.
Philadelphia, PA: Elsevier; 2018. p. 156–76.
14. Chambers D, Huang CL-H, Matthews G. Basic physiology for anaesthetists.
Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press; 2015. 447 p.
15. J. A. J. Martyn, M. Jonsson Fagerlund, L. I. Eriksson. Basic principles of
neuromuscular transmission. Anaesthesia. 2009;64(s1):1–9.
16. Koeppen BM, Stanton BA, editors. Berne & Levy physiology. Seventh edition.
Philadelphia, PA: Elsevier; 2018.
17. Hall JE. Guyton and Hall textbook of medical physiology. 13th edition.
Philadelphia, PA: Elsevier; 2016. 1145 p.
18. Silverthorn DU, Johnson BR, Ober WC, Ober CE, Silverthorn AC. Human
physiology: an integrated approach. Seventh edition. San Francisco: Pearson; 2016.
838 p.
19. LInda S. Costanzo. Board Review Series: Physiology. 7th ed. Philadelphia: Wolters
Kluwer; 2019.
20. Frederic Martini, Judi Lindsley Nath, Edwin F. Bartholomew. Fundamentals of
anatomy & physiology. Tenth edition. Boston: Pearson; 2015. 1 p.
21. Thorens B. Brain glucose sensing and neural regulation of insulin and glucagon
secretion. Diabetes, Obesity and Metabolism. 2011;13(s1):82–8.
22. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, Cahalan MK, Stock MC, Ortega R, et al.
Clinical Anesthesia Fundamentals. United States: Wolters Kluwer; 2015.
23. Kruidering-Hall M, Campbell L. Skeletal Muscle Relaxants. In: Katzung BG,
editor. Basic & Clinical Pharmacology, 14e [Internet]. New York, NY: McGraw-
Hill Education; 2017 [cited 2019 Feb 7]. Available from:
accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?aid=1148436757
30
24. James C. Duke. Relaxant and Monitoring of Relaxant Activity. In: James C. Duke,
Brian M. Keech, editors. Anesthesia Secrets. 5th ed. Philadelphia: Elsevier,
Saunders; 2016. p. 87–95.
25. Mark T. Keegan. Nondepolarizing neuromuscular blocking agents. In: Murray MJ,
Rose SH, Wedel DJ, Wass CT, Harrison BA, Mueller JT, editors. Faust’s
anesthesiology review. 4th ed. Philadelphia, PA: Elsevier/Saunders; 2015. p. 173–5.
26. Katzung BG, Kruidering-Hall M, Trevor AJ. Skeletal Muscle Relaxants. In:
Katzung & Trevor’s Pharmacology: Examination & Board Review, 12e [Internet].
New York, NY: McGraw-Hill Education; 2019 [cited 2019 Feb 20]. Available
from: accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?aid=1156528943
27. Spoerl D, Nigolian H, Czarnetzki C, Harr T. Reclassifying Anaphylaxis to
Neuromuscular Blocking Agents Based on the Presumed Patho-Mechanism: IgE-
Mediated, Pharmacological Adverse Reaction or “Innate Hypersensitivity”?
International Journal of Molecular Sciences. 2017 Jun 7;18(6):1223.
28. Dippenaar JM, Naidoo S. Allergic reactions and anaphylaxis during anaesthesia.
Current allergy & clinical immunology. 2015;28(1):18–22.
29. Nakamura T, Yoshikawa T, Noguchi N, Sugawara A, Kasajima A, Sasano H, et al.
The expression and function of histamine H3 receptors in pancreatic beta cells. Br J
Pharmacol. 2014 Jan;171(1):171–85.
30. Tabarean IV. Histamine receptor signaling in energy homeostasis.
Neuropharmacology. 2016;106:13–9.
31. Provensi G, Blandina P, Passani MB. The histaminergic system as a target for the
prevention of obesity and metabolic syndrome. Neuropharmacology. 2016;106:3–
12.
32. Kreutziger J, Schlaepfer J, Wenzel V, Constantinescu MA. The Role of Admission
Blood Glucose in Outcome Prediction of Surviving Patients With Multiple Injuries:
The Journal of Trauma: Injury, Infection, and Critical Care. 2009 Oct;67(4):704–8.
33. Butterworth Iv JF, Mackey DC, Wasnick JD. Neuromuscular Blocking Agents.
Morgan & Mikhail's Clinical Anesthesiology, 6e. New York, NY: McGraw-
Hill Education; 2018.
34. Módolo NSP, Nascimento Júnior Pd, Croitor LBdJ, Vianna PTG, Castiglia YMM,
Ganem EM, et al. Tempo de latência e duração do efeito do rocurônio, atracúrio e
31