Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Landasan Teori

1. Anatomi Fisiologi Faring dan Adenoid

Faring (saluran napas atas) adalah struktur atau lorong yang penting

bagi sistem pernapasan karena udara harus melewatinya sebelum

memasuki sistem pernapasan, yang dimulai dengan laring, atau kotak

suara. Faring, juga disebut sebagai saluran napas bagian atas atau saluran

pernapasan atas, adalah area posterior antara hidung dan mulut di atas dan

laring dan kerongkongan di bawah. Area ini berfungsi sebagai jalan masuk

untuk makanan dan cairan serta udara, membuatnya menjadi umum untuk

sistem pencernaan dan pernapasan. Karena alasan ini, faring tidak

dianggap sebagai bagian dari sistem pernapasan. Faring memiliki tiga

divisi, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1 : nasofaring, orofaring,

dan laringofaring. Bagian dalam faring berkomunikasi posterior dengan

rongga tertentu, hidung di atas (nasofaring), mulut (orofaring), dan laring

di bawah (laringofaring), serta kerongkongan.

Langit-langit keras dan langit-langit lunak membentuk atap rongga

mulut. Aspek posterior bawah langit-langit lunak disebut uvula, ini

menandai batas antara nasofaring dan orofaring. Laringofaring terletak di

atas dan posterior ke laring dan memanjang dari batas atas epiglotis ke

tempat laringofaring menyempit untuk bergabung dengan kerongkongan.

Bagian atas epiglotis menonjol ke atas di belakang lidah dan bertindak

9
10

sebagai penutup untuk pembukaan miring laring. Selama tindakan

menelan, epiglotis membalik ke bawah dan menutupi pembukaan laring,

dan ini mencegah makanan dan cairan memasuki laring dan bronkus

(Bontrager & Lampignano, 2014).

Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan,

resonansi suara dan untuk artikulasi.

Keterangan :
1. Langit-langit lunak
2. Amandel / Adenoid
3. Nasofaring
4. Uvula
5. Orofaring
6. Epiglotis
7. Pita Suara
8. Laring
9. Langit – langit keras
10. Tulang hyoid
11. Laringofaring
12. Trachea
13. Tulang rawan tiroid
14. Esophagus atau
kerongkongan

Gambar 2.1 Potongan Sagital untuk wajah dan leher


(Long, Rollins, & Smith, 2016).

Daerah faring dibagi atas tiga bagian yaitu : (Long, Rollins, & Smith, 2016)

a. Nasofaring

Nasofaring terletak di posterior di atas langit-langit lunak dan

keras (Gambar 1). Bagian atas palatum keras membentuk lantai

nasofaring. Di bagian anterior, nasofaring berkomunikasi dengan

lubang posterior hidung. Tergantung dari aspek posterior langit-

langit lunak adalah proses kerucut kecil, uvula. Di atap dan


11

dinding posterior nasofaring, di antara lubang-lubang tabung

pendengaran, mukosa mengandung massa jaringan lymphoid atau

soft tissue dikenal sebagai tonsil / amandel pada faring ( kelenjar

gondok / adenoid) (Long, Rollins, & Smith, 2016).

Bagian lateral dinding nasofaring terdapat dua lubang :

1) Osteum faring, terletak anatara nasofaring dengan orofaring

dibatasi oleh istmus faringitis, suatu penyempitan faring yang

dibentuk oleh permukaan cranial, palatum mole, arkus

faringeopalatinus, dinding belakang nasofaring kebawah

dengan orofaring. Dalam nasofaring dan orofaring dilapisi

oleh mukosa sehingga permukaannya akan dapat dilihat

tonjolan oleh otot dan tulang. Palatum mode dapat mencegah

makanan dan minuman masuk ke rongga hidung waktu

menelan (Syaifuddin, 2010).

2) Lubang medial, (tuba faringeotimpanika eustachii) terletak

pada dinding lateral yang terdapat penonjolan, yang terlihat

seperti lipatan ke dalam lumen faring otot (Gambar 2).

Pembesaran tonsil faring akan memperkecil konka,

menyebabkan gangguan bernafas melalui hidung atau keluhan

tuli (Syaifuddin, 2010).

Fungsi Nasofaring :

1) Sebagai jalan udara pada respirasi

2) Jalan udara ke tuba eustachii


12

3) Resonator

4) Sebagai drainase sinus paranasal kavum timpani dan hidung

Sekret dari nasofaring dapat bergerak ke bawah, hal ini

dikarenakan gaya gravitasi, gerakan menelan, gerakan silia

(kinosilia) dan gerakan usapan palatum mole. Pada nasofaring

sendiri terdapat adenoid atau tonsila faringeal. Fungsi adenoid

sendiri adalah bagian imunitas tubuh. Adenoid merupakan

jaringan limfoid bersama dengan struktur lain dalam cincin

waldeyer. Adenoid memproduksi IgA sebagai bagian penting

sistem pertahanan tubuh garis depan dalam memproteksi tubuh

dari invasi kuman mikroorganisme dan molekul asing.

Adenoid atau tonsila faringeal adalah jaringan limfoepitelial

berbentuk triangular yang terletak pada dinding posterior

nasofaring (Gambar 2), termasuk dalam rangkaian cincin

Waldeyer. Secara fisiologik adenoid ini membesar pada anak usia

3 tahun dan kemudian akan mengecil dan menghilang sama sekali

pada usis 14 tahun. Secara fisiologi ukuran adenoid dapat berubah

sesuai dengan perkembangan usia. Bila terjadi hipertropi adenoid

maka nasofaring sebagai penghubung udara inspirasi dan sekresi

sinonasal yang mengalir dari cavum nasi ke orofaring akan

mengalami penyempitan (ruang mengecil). Juga akan mengalami

resonansi saat berbicara karena nasofaring merupakan ruang


13

resonansi saat berbicara dan disekitarnya terdapat tuba Eustachius

(Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2015).

b. Orofaring

Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya

adalah palatum mole, batas bawah adalah tepi atas epiglotis, ke

depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah

vetebra servikal (Gambar 2). Struktur yang terdapat di rongga

orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatina, fosa

tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil

lingual dan foramen sekum (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, &

Restuti, 2015).

Orofaring mempunyai dua hubungan, yaitu

1) Ventral dengan kavun oris, melalui batas istmus fausium.

Terdiri dari palatum mole, arkus glosopalatinus dextra, arkus

glosopalatinus sinistra, dan dorsun lingua. Di antara kedua

arkus ini terdapat jaringan limfoid yaitu tonsil palatina atau

amandel yang terdapat di dalam suatu lekuk, disebut fossa

tonsilaris. Fossa ini ditempati seluruhnya oleh tonsil. Tonsil

palatina ini penting untuk mencegah masuknya kuman

melalui rongga mulut ke faring. Radiks lingua merupakan

lanjutan dari dorsum lingua, merupakan dinding ventral

orofaring. Kauda radiks lingua terletak pada tulang rawan,


14

dihubungkan dengan epiglotis oleh tiga lipatan yaitu dua plika

glosoepiglotika lateralis dan satu plika glosoepiglotika

mediana. Di antara kedua lipatan ini terletak bagian yang

cekung, disebut valekula epiglotika (Syaifuddin, 2010).

2) Kaudal terhadap radiks lingua, terdapat lubang yang

merupakan batas antara laring dan faring. Terdapat lubang

yang merupakan batas antara faring dan epiglotis yang

merupakan batas antara oral dan faring (Gambar 2)

(Syaifuddin, 2010).

c. Laringofaring

Laringofaring mempunyai hubungan dengan laring melalui

mulut laring, yaitu aditus laringues. Dinding depan laringofaring

terdapat plika laringiepiglotika. Lekuk ini mempunyai dinding

medial dan lateral. Kedua dinding ini bersatu di daerah ventral,

dapat dilihat penonjolan yang disebut plika nervus laringisi.

Spasium parafaringeal mempunyai hubungan ke ventral spatium

sublingualis dan submaksilaris. Batas lateral ruangan ini dibentuk

oleh pembuluh saraf. Antara arkus glosopalatinus dan arkus

faringopalatinus terdapat tonsil palatina (Gambar 2). Pada atap

nasofaring berhadapan dengan tonsil faringeal atau adenoid. Pada

radiks lingua terdapat bangunan seperti lingkaran. Bila tonsil

palatina atau adenoid membesar akan memperkesil istmus

fausium (Syaifuddin, 2010).


15

Keterangan :
1. Sinus sphenoidal 11. Kelenjar Palatine
2. Amandel / Adenoid 12. Uvula
3. Torus tubarius 13. lipatan semilunar
4. Tuberkulum faring 14. Fossa supratonsillar
(bagian basilar dari tulang 15. Palatine tonsil
oksipital) 16. Lengkungan Palatopharyngeal
5. Raphe faring 17. Lengkungan Palatoglossal
6. Pembukaan faring tabung 18. Orofaring
pharyngotympanic 19. Lipatan segitiga
(auditory, eustachian) 20. Lidah (ditarik ke anterior dan
7. Langit-langit keras inferior
8. Reses faring 21. Tonsil Lingual
9. Lipatan salpingofaringeal 22. Epiglottis
10. Langit-langit lunak 23. Vallecula

Gambar 2.2 Faring Tampilan Medial Potongan Sagital (Netter, 2014).

2. Patofisiologi Adenoid

Pada balita jaringan limfoid dalam cincin waldeyer sangat kecil. Pada

anak berumur 4 tahun bertambah besar karena aktivitas imun, karena tonsil

dan adenoid merupakan organ limfoid pertama di dalam tubuh yang

menfagosit kuman - kuman pathogen. Jaringan tonsil dan adenoid

mempunyai peranan penting sebagai organ yang khusus dalam respon

imun humoral maupun selular, seperti pada bagian epithelium kripte,


16

folikel limfoid dan bagian ekstrafolikuler. Oleh karena itu, hipertrofi dari

jaringan merupakan respons terhadap kolonisasi dari flora normal itu

sendiri dan mikroorganisme pathogen. Bila sering terjadi infeksi saluran

nafas bagian atas maka dapat terjadi hipertrofi adenoid. Akibat dari

hipertrofi ini akan timbul sumbatan koana dan sumbatan tuba eustachius

(Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2015).

Sumbatan koana akan membuat pasien bernafas melalui mulut

sehingga terjadi :

1) Fasies adenoid, yaitu tampak hidung kecil, gigi insisivus ke depan,

arkus faring tinggi yang menyebabkan kesan wajah pasien tampak

seperti orang bodoh.

2) Faringitis dan bronkitis

3) Gangguan fentilasi dan dreinase sinus paranasal sehingga

menimbulkan sinusitis kronik.

Akibat sumbatan tuba eustachius akan terjadi otitis media akut

berulang, otitis media kronik dan akhirnya dapat terjadi otitis media

supuratif kronik (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2015).

a. Gejala Klinis (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2015)

Hipertrofi adenoid menimbulkan beberapa gangguan :

1) Sumbatan hidung yang menyebabkan bernafas melalui mulut

2) Sleep apnea (tidur ngorok)

3) Gangguan menelan

4) Gangguan berbicara
17

5) Kelainan bentuk wajah muka dan gigi

Jaringan adenoid dapat terinfeksi saat terjadi infeksi saluran nafas

atas. Infeksi pada adenoid menyebabkan panas, hidung tersumbat,

rhinorea, posterior nasal drip, dan batuk. Pembesaran adenoid dapat

menyumbat parsial atau total respirasi sehingga terjadi ngorok,

percakapan hiponasal dan membuat anak akan terus bernapas melalui

mulut. Sleep apnea pada anak berupa adanya episode apnea saat tidur

dan hipersomnolen pada siang hari. Episode apnea dapat terjadi akibat

adanya obsruksi sentral ataupun campuran. Secara umum telah

diketahui bahwa anak dengan pembesaran adenoid mempunyai tampak

wajah yang karakteristik. Meliputi mulut yang terbuka, gigi atas yang

prominen dan bibir atas yang pendek. Hidung yang kecil, maksila tidak

berkembang, sudut alveolar atas lebih sempit fan arkus palatum yang

lebih tinggi.Hubungan pembesaran adenoid yang rekuren dengan

terjadinya dengan otitis media efusi dimana merupakan keadaan

dimana terdapat efusi cairan ditelinga tengah dengan membran timpani

yang utuh tanpa tanda-tanda radang (Dewi, Saputra, Putra, & Suardana,

2015).

b. Diagnosa Hipertrofi Adenoid (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, &

Restuti, 2015)

Diagnosis ditegakkan berdasarkan:

1) Tanda dan gejala klinik.


18

2) Pemeriksaan rinoskopi anterior dengan melihat tertahannya gerakan

velum palatum mole pada waktu fonasi.

3) Pemeriksaan rinoskopi posterior (pada anak biasanya sulit).

4) Pemeriksaan nasoendoskopi dapat membantu untuk melihat ukuran

adenoid secara langsung.

5) Pemeriksaan radiologi dengan membuat foto polos lateral nasofaring

dapat melihat pembesaran adenoid.Rasio adenoid nasofaring diperoleh

dengan membagi ukuran adenoid dengan ukuran ruang nasofaring,

yaitu Rasio AN = A/N dengan kriteria rasio adenoid nasofaring sebagai

berikut : (Dewi, Saputra, Putra, & Suardana, 2015)

a) Rasio Adenoid – Nasofaring 0 – 0,52 : tidak ada pembesaran.

b) Rasio Adenoid – Nasofaring 0,52 – 0,72 : pembesaran sedang – non

obstruksi.

c) Rasio Adenoid – Nasofaring > 0,72 : pembesaran dengan obstruksi.

3. Prosedur Pemeriksaan Radiografi Cranium dan Nasofaring

a. Prosedur Radiografi Cranium (Bontrager & Lampignano, 2014)

1) Proyeksi Lateral

Tujuan dilakukannya proyeksi lateral adalah untuk

menampakkan patologi fraktur, neoplasma dan osteitis, trauma

rutine untuk menampakan tengkorak kanan dan kiri, untuk

mengambarkan udara pada sinus spenoid. Pada pemeriksaan

cranium laterat tidak ada persiapan khusus sebelum melakukan

pemeriksaan, hanya lepaskan semua logam, plastik, atau benda yang


19

dapat dilepas lainnya dari kepala pasien. Untuk persiapan alat selain

pesawat sinar–x, computer radiografi dan print pada pemeriksaan ini

juga membutuhkan kaset dan grid ukuran 24 x 30 cm. Teknik

pemeriksaan cranium proyeksi lateral adalah sebagai berikut :

a) Posisi pasien:

Atur pasien dalam keadaan erect atau recumbent semiprone

b) Posisi objek:

1) Luruskan MSP sejajar dengan meja pemeriksaan

2) Kepala dalam posisi lateral yang benar, tidak ada rotasi atau

kemiringan, bidang di tengah-tengah sejajar dengan IR

3) Luruskan Interpupillary Line (IPL) tegak lurus dengan meja

pemeriksaan

4) Fleksikan leher hingga IOML tegak lurus terhadap tepi depan

meja pemeriksaan

c) Sinar pusat

1) Arahkan sinar pusat tegak lurus kaset

2) Titik bidik 2 inci (5 cm) superior meatus akustik eksternal

(MAE)

3) Minimum SID 40 inci (102 cm)

d) Kolimasi

Kolimasi hingga bagian luar tengkorak


20

Gambar 2.3 Proyeksi Cranium Lateral (Bontrager & Lampignano, 2014)

Keterangan :
1. Sayap sphenoid yang lebih kecil 7. Tulang temporal
2. Tulang frontal 8. Dorsum sellae
3. Atap orbital (pelat) 9. Occipital
4. Sayap sphenoid yang lebih besar 10. Parietal
5. Clivus 11. Posterior clinoid processes
6. Rami mandibula 12. Anterior clinoid processes

Gambar 2.4 Radiograf Cranium Proyeksi Lateral (Bontrager & Lampignano,


2014)
e) Kriteria radiograf :

1) Kriteria Evaluasi Anatomi:

(1)Seluruh tempurung kepala divisualisasikan dan dilapis

tulang parietal dari tempurung kepala.

(2)Seluruh sella turcica, termasuk proses clinoid anterior dan

posterior dan dorsum sellae, juga ditunjukkan.

(3)Sella turcica dan clivus diperlihatkan dalam profil.


21

2) Kriteria Posisi :

(1)Tidak ada rotasi atau kemiringan tempurung kepala yang

terlihat jelas.

(2)Rotasi terbukti dengan pemisahan anterior dan posterior

dari struktur bilateral vertikal simetris seperti EAM, rami

mandibula, dan sayap sphenoid yang lebih besar.

(3)Kemiringan terbukti dengan pemisahan superior dan

inferior dari struktur horizontal simetris seperti atap orbital

(pelat) dan sayap sphenoid yang lebih besar.

(4)Kolaborasi dengan bidang yang diminati.

3) Kriteria Paparan atau Exposi:

(1)Kepadatan (kecerahan) dan kontras cukup untuk

memvisualisasikan detail tulang dari struktur tulang dan

tengkorak di sekitarnya.

(2)Margin tulang yang tajam menunjukkan tidak ada gerakan.

b. Prosedur Pemeriksaan Nasofaring (Ballinger & Frank, 2003)

1) Proyeksi Lateral

Hipertrofi adenoid jaringan ini mengganggu pernafasan hidung

dan sering terjadi pada anak-anak. Kondisi ini terdemostrasi dengan

baik dalam radiografi lateral nasofaring. Tujuan dilakukannya

proyeksi lateral adalah untuk melihat bayangan adenoid atau rasio

adenoid didalam nasofaring tersebut. Pada pemeriksaan nasofaring

laterat tidak ada persiapan khusus sebelum melakukan pemeriksaan,


22

hanya lepaskan semua logam, plastik, atau benda yang dapat dilepas

lainnya dari kepala pasien. Untuk persiapan alat selain pesawat

sinar–x, computer radiografi dan print pada pemeriksaan ini juga

membutuhkan kaset dan grid ukuran 24 x 30 cm atau 18 x 24 cm.

Teknik pemeriksaan nasofaring proyeksi lateral adalah sebagai

berikut :

a) Posisi pasien:

Atur pasien dalam keadaan erect menyamping

b) Posisi objek:

1) Luruskan MSP sejajar dengan bucky stand

2) Kepala dalam posisi lateral yang benar, tidak ada rotasi atau

kemiringan, bidang di tengah-tengah sejajar dengan IR

3) Luruskan Interpupillary Line (IPL) tegak lurus dengan bucky

stand. Pandangan mata lurus kedepan.

c) Sinar pusat

1) Arahkan sinar horisontal pusat lurus ke kaset

2) Titik bidik pada 0,75 inci (1,9 cm) anterior meatus akustik

eksternal (MAE)

d) Kolimasi

Tidak selebar kolimasi cranium lateral, secukupnya.

e) Exposi

Diexpos selama pengambilan napas dalam-dalam melalui hidung

untuk memastikan pengisian nasofaring dengan udara serta tutup


23

mulut atau diexpos dengan instruksi pasien tarik nafas dalam

sehingga membuat gambaran jaringan adenoid dan nasofaring

berbeda pada hasil radiograf yang dihasilkan.

Gambar 2.5 Radiograf Nasofaring Proyeksi Lateral (Ballinger & Frank, 2003)

f) Kriteria radiograf :

Tampak nasofaring secara lateral, tampak adanya tonsil paringeal

atau biasa juga disebut dengan adenoid pada rongga nasofaring,

serta tampak adanya perbedaan kontras antara jaringan adenoid

dan rongga pada nasofaring.

2) Proyeksi Submentovertical (SMV)

Menurut Ballinger (2003), untuk melihat adanya massa atau

tumor pada nasofaring dapat di lakukan pemeriksaan radiologi

nasofaring dengan menggunakan media kontras dan proyeksi

submentovertical (SMV). Pada pemeriksaan nasofaring

subentovertikal tidak ada persiapan khusus sebelum melakukan


24

pemeriksaan, hanya lepaskan semua logam, plastik, atau benda yang

dapat dilepas lainnya dari kepala pasien. Untuk persiapan alat selain

pesawat sinar–x, computer radiografi dan print pada pemeriksaan ini

juga membutuhkan kaset dan grid ukuran 24 x 30 cm. Teknik

pememeriksaan nasofaring proyeksi submentovertical (SMV)

adalah sebagai berikut :

a) Posisi pasien:

Pasien duduk didepan bucky stand atau tidur terlentang di atas

meja pemeriksaan

b) Posisi objek:

1) Luruskan MSP sejajar dengan meja pemeriksaan

2) Berikan alat fiksasi spons atau bantal yang dapat diletakkan di

bawah bahu

3) Sesuaikan IR dan leher hyperextend untuk menempatkan

IOML sejajar dengan IR

4) Pastikan tidak ada rotasi atau kemiringan

c) Sinar pusat

1) Arahkan sinar tegal lurus ke kaset

2) Titik bidik berpusat ke 0,75 inci (2 cm) anterior meatus akustik

eksternal (titik tengah antara sudut mandibula) atau

pertengahan angulus mandibula

Catatan: CR sesuaikan untuk tetap tegak lurus terhadap IOML.

3) Minimum SID 40 inci (102 cm)


25

d) Kolimasi

Selebar objek atau kaset pemeriksaan.

Gambar 2.6 Radiograf Nasofaring Proyeksi submentovertical (SMV)


(Ballinger & Frank, 2003)

e) Kriteria radiograf :

Tampak massa pada nasofaring secara submentovertical.

4. Metode Pengukuran Adenoid (Feres, de Sousa, Francisco, & Pignatari,

2012).

Metode pengukuran adenoid bertujuan untuk mengetahui berberapa

hal antara lain yaitu, mengukur ketebalan adenoid, mengukur rasio jalan

napas dan palatum molle, mengukur rasio adenoid nasofaring dan

mengukur faring superior. Semua tujuan tersebut sama halnya untuk

mengevaluasi jalan nafas pada nasofaring. Metode untuk melakukan

pengukurannya sendiri terdapat berbagai cara yang telah di teliti oleh para

peneliti, antara lain sebagai berikut :


26

Tabel 2.1 Metode Pengukuran Rasio Adenoid Nasofaring

Studi
Metode Penelitian
Referensi
Johannesson Ketebalan faring tonsil (PT) (mm): jarak yang diukur sepanjang garis
tegak lurus sampai perbatasan tulang superior dari nasofaring dari
faring tuberkulum ke konveksitas dari faring tonsil ( Gambar 7A ).
Fujioka et al Adenoid / rasio Nasofaring (A / N): rasio antara ketebalan dari
adenoid (A) dan nasofaring (N), menjadi A jarak sepanjang garis
tegak lurus ke bagian lurus perbatasan anterior dari tulang
basioccipital dan titik konveksitas terbesar di tonsil faring; dan N
sebagai jarak antara posterior dan bagian superior dari langit-langit
keras dan perbatasan anterior dari spheno-oksipital synchondrosis (
Gambar 7B ). Kategori faring tonsil (C-Fujioka): "Normal" (A / N ≤
0,8), "membesar" (A / N> 0,8).
Crepeau et al Adenoid antral (AA) (mm): jarak terpendek antara bagian yang
paling anterior dari perbatasan faring dan dinding posterior antrum
maksilaris terletak pada bidang yang sama dengan choana ( Gambar
7C ).
Maw et al Perjalanan udara (PA) (mm): jarak terpendek antara konveksitas
faring tonsil dan langit-langit lunak ( Gambar 1C ).
Kolom udara (AC) (mm): jarak antara batas posterior langit-langit
lunak 10 mm dari tulang belakang posterior hidung dan lengkungan
anterior dari perbatasan faring tonsil ( Gambar 7D ).
Cohen & Air kolom / rasio langit-langit lunak (AC / SFP): rasio antara AC
Konak (lihat uraian di atas) dan SFP, yang terakhir menjadi ketebalan langit-
langit lunak diukur 10 mm dari tulang hidung posterior ( Gambar 1D
). kategori faring tonsil (C-Cohen): "Kecil" (AC / SFP ≥ 1.0),
"Medium" (0,5 ≤ AC / SFP <1.0), "Besar" (AC / SFP <0,5).
Elwany Kategori faring tonsil (C-Elwany): "Normal" (A / N ≤ 0,7),
"membesar" (A / N> 0,73).
Mlynarek et Airway oklusi (AWO) (%): Hubungan persen antara PT (lihat uraian
al di atas) dan NF, yang terakhir merupakan jarak yang diukur
sepanjang garis tegak lurus ke perbatasan tulang superior dari
nasofaring dari
faring tuberkulum ke langit-langit lunak.
( Gambar 7A ).
Kurien et al Kategorisasi faring tonsil hipertrofi (C-Kurien): "Grade 1" (PA ≥ 6,0
mm), "Grade 2" (3,0 mm ≤ PA <6,0 mm), "Grade 3" (PA <3,0 mm).
Ysunza et al Kategorisasi subjektif dari faring tonsil hipertrofi (C-Ysunza):
"Grade 1", " Grade 2", " Grade 3", "Grade 4".
27

Gambar 2.7 Ilustrasi parameter kuantitatif. (A) NpT, tonsil nasofaring ; Np,
nasofaring. (B) A, adenoid; N, ruang nasofaring. (C) AA, antroadenoid ; PA, jalan
napas. (D) AC, jalan napas ; SP, langit-langit lunak (Feres, de Sousa, Francisco, &
Pignatari, 2012)

B. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana komunikasi yang diberikan kepada orang tua pasien pada saat

pemeriksaan radiografi kasus hipertrofi adenoid?

2. Bagaimana persiapan pasien yang dilakukan pada pemeriksaan radiografi

kasus hipertropi adenoid?

3. Mengapa titik bidik tidak pada 0,75 inci (1,9 cm) anterior meatus akustik

eksternal (MAE) untuk pemeriksaan adenoid pada nasofaring?


28

4. Mengapa menggunakan kolimasi selebar objek cranium untuk

pemeriksaan adenoid pada nasofaring ?

5. Bagaimana hasil pemeriksaan radiografi cranium proyeksi lateral, apakah

dapat menegakkan kasus hipertropi adenoid?

6. Bagaimana informasi anatomi yang didapatkan dari radiograf pemeriksaan

cranium lateral di Instalasi Radiologi RSUD Tidar Magelang untuk

melihat hipertropi adenoid?

7. Bagaimana metode pengukuran yang digunakan untuk mengukur rasio

adenoid nasofaring pada kasus hipertropi adenoid dengan hasil radiograf

pemeriksaan cranium lateral di Instalasi Radiologi RSUD Tidar

Magelang?

8. Bagaimana kriteria pengukuran rasio adenoid nasofaring pada kasus

hipertropi adenoid dengan hasil radiograf pemeriksaan cranium lateral di

Instalasi Radiologi RSUD Tidar Magelang?

9. Bagaimana tingkat ketepatan hasil pengukuran rasio adenoid nasofaring

pada kasus hipertropi adenoid dengan hasil radiograf pemeriksaan cranium

lateral di Instalasi Radiologi RSUD Tidar Magelang?

10. Bagaimana instruksi pernafasan yang diberikan kepada pasien dengan

pemeriksaan cranium lateral pada kasus hipertrofi adenoid?

11. Mengapa pada pemeriksaan adenoid di Instalasi Radiologi RSUD Tidar

Magelang tidak ada instruksi kepada pasien untuk mengambil nafas dalam

dari hidung selama eksposi?


29

12. Mengapa dibuat pemeriksaan radiografi cranium dengan proyeksi lateral

pada kasus hipertrofi adenoid di Instalasi Radiologi RSUD Tidar

Magelang?

13. Bagaimana post processing yang dilakukan dalam pemeriksaan radiografi

cranium dengan proyeksi lateral pada kasus hipertropi adenoid di Instalasi

Radiologi RSUD Tidar Magelang?

Anda mungkin juga menyukai