Anda di halaman 1dari 14

Machine Translated by Google

©2020 Jurnal Transaksi Internasional Teknik, Manajemen, & Sains & Teknologi Terapan

Jurnal Transaksi Internasional Teknik,


Manajemen, & Sains & Teknologi Terapan
http://TuEngr.com

ID KERTAS: 11A13F

WARISAN BUDAYA BATIK PERANAKAN


RUMAH KIDANG MAS LASEM JAWA TENGAH,
INDONESIA

1,2* 1
Tessa Eka Darmayanti , dan Azizi Bahauddin

1
Sekolah Perumahan, Bangunan & Perencanaan, Universiti Sains Malaysia, MALAYSIA.
2
Jurusan Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Universitas Kristen Maranatha, INDONESIA.

INFO PASAL ABSTRAK


Sejarah artikel: Rumah peranakan semakin terpinggirkan akibat perubahan zaman di
Diterima pada 09 Juli 2019
Diterima dalam bentuk revisi 19 Lasem dan berbagai krisis identitas mengenai rumah yang muncul di kalangan
Juni 2019 masyarakat setempat. Padahal rumah merupakan warisan artefak berwujud
Diterima 28 Juni 2019 dan atribut tak berwujud masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun;
Tersedia online 02 Juli 2020
mereka harus dipertahankan pada masa kini dan dilestarikan demi kepentingan
Kata kunci:
generasi mendatang demi pemahaman budaya yang mendalam. Penelitian
Rumah Peranakan;
Warisan Budaya
kualitatif ini menggunakan pendekatan fenomenologi dan naratif untuk
Berwujud (TCH); mencari unsur-unsur warisan budaya pada Rumah Peranakan di kawasan
Warisan Budaya Pecinan, Lasem. Temuan penelitian menunjukkan bahwa perwujudan unsur
Takbenda (TCH); Identitas warisan budaya dalam rumah sudah menjadi suatu hal yang penting
warisan budaya;
Penelitian naratif; berperan dalam mengkonstruksi dan mengidentifikasi bangunan identitas yang merupakan
Rumah Cina Lasem; bagian dari pelestarian budaya.
Fenomenologi;
rumah jawa. Disiplin: Arsitektur, Desain Interior (Fenomenologi), Sejarah Asia Tenggara,
Studi Keagamaan dan Kepercayaan.
INT TRANS J ENG MANAG SCI TECH 2020.

1. PERKENALAN
Tulisan ini membahas tentang nilai warisan budaya dalam salah satu rumah Peranakan di China Town
di Lasem, yang disebut desa Babagan. Situs cagar budaya merupakan warisan yang harus dilestarikan
(Febro, 2020). Penelitian ini mencoba menggali peninggalan warisan budaya berwujud dan tak berwujud
dari rumah yang telah dihuni selama tujuh generasi. Rumah ini dikenal dengan nama Rumah Batik Kidang
Mas. Warisan budaya merupakan strategi untuk melestarikan sense of place yang dalam hal ini berarti
melindungi sense of history Lasem. Beberapa peneliti akademis dan nonakademik menjadikan Lasem
sebagai ide penelitiannya, baik yang menyangkut sejarah maupun kebudayaan. Lasem menyimpan banyak
cerita seru yang tidak cukup untuk disaksikan saja, namun perlu ditelusuri dari berbagai sudut pandang agar lebih menar

*Penulis koresponden (Tessa E. Darmayanti). Email: tessaeka82@gmail.com ©2020 Jurnal Transaksi Internasional Teknik,
Manajemen, & Sains & Teknologi Terapan. Volume 11 No.13 ISSN 2228-9860 eISSN 1906-9642 KODE: ITJEA8 ID Kertas:11A13H 1
http://TUENGR.COM/V11A/11A13H.pdf DOI: 10.14456/ITJEMAST.2020.252
Machine Translated by Google

agar mereka dapat dipahami dengan lebih baik. Mengapa penting untuk membahas hal ini? Pertama, saat ini, di mana
“dunia modern” penuh dengan teknologi dan komunikasi massa untuk menciptakan budaya “internasional-global”, identifikasi
warisan budaya “nasional-lokal” adalah hal yang sangat penting untuk menghindari hilangnya identitas. Kedua, keberadaan
rumah Peranakan sudah terbengkalai dan hancur atau biasanya “tidak terlihat” karena pemiliknya memilih menjadi seorang
introvert.

Penyebab lainnya adalah adanya perubahan pada rumah (Kidang Mas) sistem zonasi yang terjadi di dalam rumah
berdasarkan perubahan cara pandang warga yang dapat menjadi sudut pandang baru dalam melihat warisan budaya. Pada
kompleks perumahan ini, sistem zonasinya dibagi menjadi empat area, yaitu publik, semi publik, dan semi privat, privat. Area
publik artinya semua orang boleh masuk, sedangkan area semi publik bisa diakses jika diundang, dan siapa pun yang ada
di dalam rumah boleh datang ke area semi privat, sedangkan pemilik tunggal boleh masuk ke area privat, misalnya. kamar
tidur. Artikel ini bertujuan untuk menunjukkan perwujudan unsur warisan budaya Rumah Peranakan – Kidang Mas yang
mampu memperkuat bahasa arsitektur sebagai identitas Indonesia.

2. KOTA LASEM DAN CINA


Saat ini Lassem atau Lasem merupakan sebuah wilayah kecil dalam wilayah administratif Kabupaten (Kabupaten)
Rembang, di sisi utara Jawa Tengah (Gambar 1). Selain itu, Lasem terkenal dengan budaya Tionghoa yang paling
berpengaruh, terutama dalam Batik Tulis (batik yang digambar tangan ).

Gambar 1: Lokasi Lasem dari Peta Tahun 1695 (6.6986° LS, 111.4445° BT)
(Sumber: Dimodifikasi dari Arsip KITLV Leiden, 2018)

Berdasarkan wawancara dengan Njo Tjoen Hian atau Sigit Wicaksono pada tahun 2017, salah satu masyarakat Lasem

2 Tessa Eka Darmayanti, dan Azizi Bahauddin


Machine Translated by Google

Tokoh sekaligus pengusaha batik ini menyatakan, Batik Lasem bahkan dikirim ke luar negeri seperti Singapura,
Malaysia, dan Thailand. Industri batik di Lasem merupakan salah satu industri batik tertua
pusat produksi di Pulau Jawa. Pendiriannya dikaitkan dengan masa Kerajaan Majapahit mulai tahun 1293 hingga
1478. Ciri khas Lasem lainnya adalah perwujudan arsitektur gaya Peranakan .

Meskipun Lasem merupakan wilayah kecil namun pada abad ke-16, Lasem merupakan salah satu kota penting
dan terkenal serta pelabuhan dinamis di bawah Kerajaan Majapahit. Menurut sejarah, Laksamana Cheng Ho dari
Dinasti Ming di Tiongkok rutin mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di Utara Jawa, dan ia banyak menemukan
komunitas Tionghoa di Lao Sam atau Lasem. Ia kemudian dikenal sebagai tempat pendatang Tionghoa paling
menonjol di Pulau Jawa yang terjadi pada abad 14 hingga 15. Hal itu menyebabkan kuatnya pengaruh budaya
Tionghoa ke dalam budaya lokal Jawa (Darmayanti, 2017). Pada masa Kolonialisme Belanda, perdagangan melalui
pelabuhan Lasem sempat ramai karena kehadiran para pedagang Tionghoa yang akhirnya menetap di Lasem. Saat
itu, orang-orang Tionghoa di Lasem dipimpin oleh seorang Kapten dan dua orang Letnan Tiongkok untuk
menunjukkan eksistensinya di daerah tersebut. Bukti kedatangan orang Tionghoa di Lasem dapat dilihat pada situs
sejarah Punjulharjo, Rembang,
di mana sekoci dengan dua kerangka ditemukan.

Berdasarkan radiokarbon yang ditemukan pada perahu tersebut, berasal dari abad tujuh hingga delapan dan
temuan satu-satunya perahu di Asia Tenggara yang paling lengkap dan utuh (Pusat Arkeologi Yogyakarta). Latar
belakang penting lainnya dari Lasem sekitar tahun 1860, Lasem pernah menjadi kawasan penting untuk
perdagangan opium di Indonesia bahkan Asia. Mereka yang tinggal di Lasem pada tanggal 19 ini
abad menjadi sangat kaya sebagai pedagang opium. Mereka memiliki rumah besar dan perahu yang memungkinkan
mereka melakukan aktivitas perdagangan (Suroyo et al., 1994; Pratiwo, 2002).

Saat ini Lasem merupakan bagian dari kawasan lalu lintas utama dari barat hingga timur Pulau Jawa. Jalan
lalu lintas utama dikenal dengan nama Jalan Raya Pos atau De Groote Postweg yang dibangun pada masa Belanda
zaman kolonial di bawah komando Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels dari tahun 1808 sampai

1811. Setelah De Groote Postweg dibangun, gagasan kosmologis tentang tempat tersebut diubah. Misalnya, orang
Tionghoa Indonesia tidak lagi membangun kelenteng baru di tepi sungai. Candi Lasem “baru” yang dibangun pada
abad ke-20 tidak menghadap ke Sungai Lasem seperti halnya candi lama, melainkan menghadap ke Groote
Postweg (Nas & Pratiwo, 2002). Lokasi Lasem dapat dicapai melalui jalan darat, kurang lebih tiga puluh menit dari
Rembang dan tiga jam dari Semarang, ibu kota Jawa Tengah. Bagi yang baru pertama kali berkunjung ke Lasem
mungkin akan kesulitan menemukan kawasan tersebut, karena tidak ada tanda tertulis yang menunjukkan sudah
memasuki kawasan Lasem. Namun Lasem bisa dikenali dengan perwujudan Masjid Jami atau Masjid Agung Lasem
dengan kubah berwarna hijau di sisi kanan De Groote Postweg - jalan utama (dari Semarang). Di seberang masjid
terdapat kawasan pasar yang sering disebut alun-alun bernama Alun-Alun Lasem, dan di seberang alun-alun
tersebut terdapat pintu masuk utama ke salah satu kawasan Pecinan yang dikenal dengan nama Soditan-Dasun
(Gambar 2).

Berdirinya Pecinan atau dikenal dengan Pecinan pada umumnya didasari oleh dua faktor, yaitu sosial dan
politik. Faktor sosial terbentuk karena adanya kebutuhan masyarakat Tionghoa dalam menjalankan berbagai
aktivitas sehari-hari dan segala aktivitas budaya tradisional.
*Penulis koresponden (Tessa E. Darmayanti). Email: tessaeka82@gmail.com ©2020 Jurnal Transaksi Internasional Teknik,
Manajemen, & Sains & Teknologi Terapan. Volume 11 No.13 ISSN 2228-9860 eISSN 1906-9642 KODE: ITJEA8 ID Kertas:11A13H 3
http://TUENGR.COM/V11A/11A13H.pdf DOI: 10.14456/ITJEMAST.2020.252
Machine Translated by Google

Gambar 2: Lokasi Lasem Jawa Tengah.

Selain itu kawasan ini juga berfungsi sebagai pusat perekonomian melalui kegiatan perdagangannya.
Di sisi lain, faktor politik diberlakukan pada era penjajahan Belanda Wijkenstelsel
peraturan sekitar abad ke-18 ke seluruh kota besar di Hindia Belanda (Indonesia).
Umumnya kawasan Pecinan terdiri dari pemukiman, pasar atau pasar, dan pura atau kelenteng
daerah. Selanjutnya Pecinan di Lasem terbagi menjadi tiga wilayah berdasarkan sejarah terbentuknya,
yaitu Desa Soditan, Karangturi, dan Babagan. Berdasarkan wawancara dengan Danang
Swastika, Sejarawan Lasem, dan Gandor Sugiharto, Tokoh masyarakat setempat pada tahun 2017 di
Lasem, mengatakan bahwa Soditan merupakan Pecinan pertama di Lasem. Desa ini paling dekat dengan
pelabuhan dan terbentuk sekitar tahun 1470. Pernyataan tersebut didukung berdasarkan fakta yang
terdapat dalam peta yang dibuat pada tahun 1477, menggambarkan candi tertua di Lasem, Cu An Kiong.
Kemudian Desa Karangturi berdiri kira-kira pada tahun 1740-an. Orang-orang tersebut datang melalui
migrasi besar-besaran orang Tionghoa dari Jakarta yang lolos dari genosida orang Tionghoa di Jakarta.
Kawasan Pecinan kemudian diperluas ke arah barat yaitu hingga Babagan yang berdiri kurang lebih pada
tahun 1800 (Darmayanti & Bahauddin, 2019).

Sebelumnya, mayoritas masyarakat Lasem menganut agama Hindu - Syiwa , pernyataan tersebut
berdasarkan artefak - lingga yang ditemukan di Desa Kajar. Pada umumnya jika lingga ditemukan, yoni
juga ada disekitarnya. Namun di desa ini, satu-satunya lingga yang ditemukan. Yoni dan lingga dikenal
sebagai simbol seksualitas perempuan dan laki-laki dalam tradisi Hindu, yang berkaitan dengan kekuatan
kosmis yang menghasilkan kebajikan, bukan sekadar representasi duniawi dari tubuh manusia.

4 Tessa Eka Darmayanti, dan Azizi Bahauddin


Machine Translated by Google

(Magioglou, 2014). Saat ini, mayoritas masyarakat Lasem menganut Islam sebagai agamanya; sisanya menganut
agama Hindu, Budha, Kristen, dan Katolik. Sejak Lasem menjadi pusat penyebaran agama Islam dan termasuk
dalam salah satu kota kuno di Pulau Jawa, banyak Pesantren atau Pesantren yang tersebar di Lasem. Meskipun
masyarakatnya mempunyai kepercayaan terhadap suatu agama tertentu, namun sebagian masyarakatnya
mempercayai adanya kekuatan gaib (Animisme) dan ditandai dengan beberapa upacara adat yang bertujuan untuk
keselamatan dan kesejahteraan pemeluknya (Suroyo, et.al, 1994). Keberagaman tersebut turut mempengaruhi
kekayaan budaya yang dimiliki oleh Lasem.

3. METODOLOGI
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang melibatkan pengalaman individu peneliti selama kerja
lapangan di rumah Peranakan Kidang Mas. Wawancara dan percakapan dirancang agar tidak terlalu terstruktur dan
lebih terbuka untuk mendorong partisipan berbagi rincian mengenai pengalaman mereka (Moustakas, 1994).
Kegiatan dimulai pada bulan September-November
Tahun 2017 dan dilanjutkan pada bulan September 2018. Peneliti dapat menginap dan berbincang dengan pemilik
rumah, dan pemilik Kidang Mas mengajak peneliti untuk merasakan berbagai kegiatan yang telah berlangsung.
Berdasarkan pengalaman tersebut diperoleh informasi yang lebih detail dan otentik. Melalui pendekatan
fenomenologi dan naratif, penelitian ini mendokumentasikan pengalaman, berupa menceritakan kembali
pengalaman yang dijalani melalui tulisan komprehensif dan deskriptif.

Istilah warisan budaya mempunyai konsep yang luas. Tidak ada definisi pasti mengenai gagasan warisan
budaya. Terminologi yang dianut mencerminkan ciri khas budaya tertentu, menurut Deklarasi UNESCO Mengenai
Penghancuran Warisan Budaya yang Disengaja pada tahun 2003 menyatakan bahwa warisan budaya merupakan
komponen penting dari identitas budaya masyarakat, kelompok dan individu, dan atau kohesi sosial. Warisan
budaya adalah warisan artefak fisik dan atribut tak berwujud dari suatu kelompok atau masyarakat yang diwariskan
dari generasi ke generasi, termasuk adat istiadat, praktik, tempat, objek, ekspresi artistik, dan nilai-nilai (Icomos,
2002). Ada dua ekspresi warisan budaya yang dikenal sebagai warisan budaya nyata (TCH) yang berhubungan
dengan
objek. Sebaliknya, warisan budaya takbenda (ICH) sangat erat kaitannya dengan pertunjukan, representasi,
ekspresi, keterampilan, dan pengetahuan.

4. RUMAH PERANAKAN
Masyarakat Tionghoa di Indonesia terbagi menjadi dua; Totok (totok) Tionghoa dan Peranakan (keturunan
campuran) Tionghoa (di Malaysia disebut Baba Nyonya). Menurut Onghokham (1990) pada abad ke-17 dan ke-18,
istilah Peranakan sering digunakan oleh orang Jawa untuk menyebut orang Tionghoa yang lahir di pulau Jawa dan
menetap secara turun-temurun. Keberadaan komunitas Tionghoa menyebabkan terjadinya akulturasi budaya di
Lasem; salah satu artefak yang masih ada hingga saat ini adalah sebuah rumah tinggal bernama Rumah Peranakan.
Rumah Peranakan termasuk dalam arsitektur Tionghoa Selat yang secara umum terbagi menjadi dua tipe, yaitu
ruko atau ruko dan bungalow.

Orang Tionghoa tidak pernah membangun tembok yang memisahkan pemukiman mereka dari komunitas lain
demi alasan keamanan. Namun, dalam kasus Lasem, sebagian besar rumah Peranakan dilengkapi dengan bungalo

*Penulis koresponden (Tessa E. Darmayanti). Email: tessaeka82@gmail.com ©2020 Jurnal Transaksi Internasional Teknik,
Manajemen, & Sains & Teknologi Terapan. Volume 11 No.13 ISSN 2228-9860 eISSN 1906-9642 KODE: ITJEA8 ID Kertas:11A13H 5
http://TUENGR.COM/V11A/11A13H.pdf DOI: 10.14456/ITJEMAST.2020.252
Machine Translated by Google

Tipe ini dikelilingi tembok tinggi dan gerbang besar sebagai pintu masuk utama. Dilihat dari cara
pembangunannya, Peter Nas (2002) menyatakan bahwa ada dua metode pembangunan yang
dilaksanakan di Rumah Peranakan di Lasem ini. Pertama dengan membangun tembok keliling
kompleks, kemudian membangun bangunan di dalam kompleks dan akhirnya membangun gerbang.
Cara kedua adalah dengan terlebih dahulu membentuk dinding keliling kompleks, gerbang, dan
terakhir membentuk bangunan di dalam kompleks. Rumah induk dibangun di tengah kompleks dan
dikelilingi bangunan samping dan belakang. Ruang di antara bangunan-bangunan tersebut membentuk
halaman depan dan tengah (halaman) dan jika ada halaman belakang biasanya merupakan ruang
sampah betapapun luasnya dan dianggap sebagai taman yang banyak ditumbuhi tanaman dan pepohonan (Gamb

Rumah belakang

Rumah utama

Rumah samping

Gerbang rumah

Gambar 3: Komponen Rumah Peranakan di Lasem (Dimodifikasi dari Pratiwo (1990)).

Rumah - rumah Peranakan di Lasem umumnya dihuni oleh keluarga besar yang terdiri dari orang
tua dan anak-anaknya. Setiap keluarga memiliki kamarnya sendiri, tetapi dapur, kamar mandi, dan
ruang keluarga bersifat komunal. Ketika orang tua meninggal, rumah dibagi di antara anak-anak, dan
ketika kota mengalami kemunduran, keluarga memilih untuk pindah dan meninggalkan rumah. Selain
penjelasan di atas, menurut penelitian Pratiwo tahun 1990, rumah peranakan di Lasem juga dapat
ditandai dengan jenis perluasan atap yang merupakan perpaduan budaya Tionghoa dan Jawa
(Gambar 4).

Rumah Peranakan Kidang Mas bukanlah home industri batik pertama di kawasan Lasem,
khususnya di Desa Babagan. Namanya memang tak setenar Sekar Kencana milik Njo Tjoen Hian
atau dikenal Sigit Wicaksono. Mereka tinggal di sana satu generasi, namun Sigit sudah membuka
rumahnya untuk umum lebih awal. Hal tersebut disadari dan diakui oleh pemilik Kidang Mas.
Meski demikian, rumah Peranakan Kidang Mas tetap memiliki keunikan karena telah dihuni selama
beberapa generasi. Usaha batik pun sudah dilakukan secara turun temurun.

6 Tessa Eka Darmayanti, dan Azizi Bahauddin


Machine Translated by Google

Rumah Cina Rumah Jawa Rumah Cina Lasem

Gambar 4: Tipe Atap Rumah Peranakan di Lasem (Dimodifikasi dari Pratiwo (1990)).

5. RUMAH PERANAKAN - KIDANG MAS DESA BABAGAN

Gambar 5: Rumah Peranakan - Kidang Mas, Lasem (Sumber: Diambil oleh Penulis, 2017 - 2019).

Rumah yang terletak di Jalan Babagan, gang (gang) 5, nomor 1, Desa Babagan, Lasem ini dipilih sebagai studi
kasus karena beberapa alasan (Gambar 5). Pertama, sebagian besar generasi keluarga telah tinggal di rumah tersebut.
Generasi pertama bernama Mak Klepon (Mak artinya nenek), dan Engkong Tay Tjian langsung berasal dari Tiongkok
Selatan. Tay Tjian kembali ke daratan Tiongkok dan tidak kembali, sedangkan istri dan putrinya bernama Mak Lian
menetap di Lasem. Mak Lian sebagai generasi kedua pindah dari rumah tersebut mengikuti suaminya – Lie Je Siu yang
memiliki rumah Peranakan kolonial di jalan utama Lasem. Mereka dikaruniai delapan orang anak, dan salah satu pewaris
rumah Peranakan adalah Lie Hie Nio. Tjan Liong Khoen generasi keempat lahir sebagai anak dari ibu Lie Hie Nio yang
menikah dengan Tjan Liang Thay. Nama Tjan Liong Khoen menjadi warisan keluarga dan cap merek dagang pada
setiap batik Kidang Mas. Ia menikah dengan sepupunya Lie Ing Nio atau dipanggil Mak Ing. Ia meninggal dunia pada
usia 74 tahun pada tahun 1976 ketika putri bungsunya - Tjan Djoen Nio sedang mengandung anak pertama. Rudi, putra
bungsu Tjan Djoen Nio sebagai generasi keenam yang tinggal di rumah tersebut, merupakan generasi modern, telah

pindah dari Lasem ke Jakarta dan kembali ke Lasem bersama istrinya bernama Vina dan istrinya

putri pada tahun 2014 dan sampai sekarang.

Kedua, pemiliknya ramah dan mau berbagi informasi terkait budaya, tradisi, bahkan bisnis batik . Terakhir, rumah
tidak hanya mewakili aktivitas sehari-hari anggota keluarga tetapi juga aktivitas publik di dalam rumah (Darmayanti et
al., 2019). Rumah Peranakan -
Kidang Mas juga termasuk dalam tipe bungalow, terdiri dari pintu gerbang utama, taman (A) di depan *Penulis
Koresponden (Tessa E. Darmayanti). Email: tessaeka82@gmail.com ©2020 Jurnal Transaksi Internasional
Teknik, Manajemen, & Sains & Teknologi Terapan. Volume 11 No.13 ISSN 2228-9860 eISSN 1906-9642 KODE:
ITJEA8 ID Kertas:11A13H http://TUENGR.COM/V11A/11A13H.pdf DOI: 10.14456/ITJEMAST.2020.252
7
Machine Translated by Google

beranda (B), rumah induk sebagai area pribadi - musala (C), kamar tidur (D), ruang keluarga (E) dan teras (F) di belakang rumah

menghadap halaman (H). Kamar mandi luar (J), dapur dan ruang makan (I) ditempatkan di belakang halaman. Kamar mandi lain di

gedung utama (G) masih baru, diminta oleh istri Rudi sebelum pindah kembali dari Jakarta ke Lasem (Gambar 6). Material yang

digunakan dalam membangun rumah ini menggunakan kombinasi batu bata dan kayu jati untuk dinding, lantai, dan pilar. Namun

seiring berjalannya waktu, beberapa elemen telah digantikan dengan material yang lebih baru seperti lantai kayu di dalam rumah

dan ubin klasik di beranda diganti dengan ubin keramik pecah-pecah (Gambar 7).

Gambar 6: Sketsa Tata Letak Rumah Peranakan - Kidang Mas.

Gambar 7: Perubahan Material Lantai pada Rumah. Kiri: Di dalam Rumah; Kanan: Beranda.

Melalui observasi, peneliti menemukan bahwa rumah memiliki daya tarik tersendiri yang dapat “dibaca” melalui aktivitas dan

tradisi yang ada di sekitarnya. Pesonanya ibarat misteri yang membuat peneliti memikirkan solusinya. Pernyataan tersebut

mengingatkan kita pada kutipan seorang arsitek terkenal di zaman modern –


Zaha Hadid adalah sebagai berikut:

“Saya tidak berpikir bahwa arsitektur hanya tentang tempat berlindung, hanya tentang sebuah bangunan yang sangat sederhana. Dia

seharusnya bisa membuatmu bergairah, menenangkanmu, membuatmu berpikir.”

Rumah ini seperti merangkum berbagai pengalaman dengan cerita seru dari lintas generasi.

Tapi, agak sulit menelusuri aktivitas generasi pertama di rumah ini karena minimnya cerita dari generasi sebelumnya. Cerita bermula

ketika Rudi sebagai generasi keenam dan istrinya menceritakan tentang generasi kedua – Mak Lian. Pada generasi ini pembuatan

batik sudah

8 Tessa Eka Darmayanti, dan Azizi Bahauddin


Machine Translated by Google

dimulai, tetapi hanya untuk penggunaan pribadi, dan berlanjut hingga generasi ketiga. Pembuatan batik untuk
tujuan komersial dimulai pada generasi keempat – Mak Ing karena banyak orang yang mengagumi keindahan
motif yang dibuatnya dan berlanjut hingga saat ini.

Usaha batik memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perubahan zonasi (privat dan publik) di
dalam rumah. Pada awalnya komplek perumahan hanya sebatas area dapur (Gambar 6).
Kemudian diperluas dengan membeli rumah lain yang terletak di belakang kompleks dan dijadikan bengkel
batik (K, Gambar 6) hingga saat ini (Gambar 8). Beruntung peneliti mendapatkan pengalaman berkali-kali
melihat proses pembuatan batik di bengkel tersebut. Mulai dari melapisi motif batik dengan lilin khusus,
merebus kain hingga melarutkan lilin, mencuci kain setelah direbus dan mewarnai kain yang telah dicat. Dari
beberapa rumah Peranakan yang dikunjungi peneliti, ditemukan keunikan pada rumah ini dari aroma proses
pembatikannya. Dari pengalaman langsung dan kesadaran penuh, peneliti tidak hanya dapat mendeteksi bau
tetapi juga suara atau suara khas dan bahkan warna yang dihasilkan oleh rumah ini. Berdasarkan pengalaman
peneliti mengungkapkannya melalui kutipan berikut – “Suara hentakan kaki pekerja pada kain batik yang
sedang dicuci. Suara gemericik air pada saat kain batik dicelupkan ke dalam periuk batu bata raksasa.. suara
para pekerja yang saling berbincang dan bercanda (guyon) tentang kehidupan dan suara kepakan kain batik
pada saat akan dijemur” dan sebagainya . uraian tersebut berada dalam satu baris dengan perkataan Merleau
– Ponty (1964), “Kita melihat kedalaman, kecepatan, kelembutan dan kekerasan suatu benda. Kami bahkan
melihat baunya”.

Melalui penggunaan multisensori yang melibatkan mata, telinga, hidung, kulit, lidah, kerangka, dan otot,
yang memungkinkan untuk menyaring seluruh indera untuk menemukan sesuatu yang tidak dimiliki oleh
tempat lain (Steven Holl et al., 1994) . Mata untuk melihat aktivitas sehari-hari yang khas; telinga untuk
mendengar dari berbagai kegiatan seperti proses membatik , memasak, bermain, berbicara; hidung untuk
mencium bau kain batik , malam (lilin) dan bahan pewarna dari bengkel, serta dupa (dupa) dari musala; kulit
untuk meraba permukaan batik , meraba dinding, lantai, bahkan menelusuri suhu ruangan; lidah untuk
mencicipi makanan tradisional yang dimasak oleh pemiliknya, dan rangka-otot untuk merasakan energi yang
mengelilingi rumah. Itu disebut identitas rumah.

Gambar 8: Area Bengkel - Kidang Mas.

*Penulis koresponden (Tessa E. Darmayanti). Email: tessaeka82@gmail.com ©2020 Jurnal Transaksi Internasional Teknik,
Manajemen, & Sains & Teknologi Terapan. Volume 11 No.13 ISSN 2228-9860 eISSN 1906-9642 KODE: ITJEA8 ID Kertas:11A13H
http://TUENGR.COM/V11A/11A13H.pdf DOI: 10.14456/ITJEMAST.2020.252
9
Machine Translated by Google

Darmayanti dan Bahauddin (2020) menyatakan bahwa awalnya pemilik Kidang Mas – Tjian Djoen Nio atau dikenal
dengan Bu Kian generasi kelima tidak memperbolehkan tamu masuk ke dalam kompleks perumahan dan baru pada
tahun 1980 para pekerja obeng atau batik diperbolehkan masuk. bekerja di dalam rumah. Baginya, aturan itu untuk
menjaga tradisi keluarga turun temurun dan menjaga keutuhan keluarga. Apalagi pada zaman Mak Lian dan Mak Ing,
obeng sudah tidak berfungsi lagi di dalam rumah. Pembuatan batik
Motif dikerjakan di rumah Obeng dan diantar kembali untuk proses pewarnaan. Proses pewarnaannya dilakukan sendiri
karena menggunakan formula rahasia. Namun generasi penerusnya, putra bungsu Bu Kian – Rudi Siswanto menghampiri
orangtuanya agar memperbolehkan tamu masuk ke area rumah, khususnya bagi yang berminat dengan batik. Meski
demikian, bukan berarti generasi ini tidak menghormati tradisi sebelumnya, namun dari pengaruh lingkungan dan
pengetahuannya selama tinggal di kota besar (Jakarta) telah membuka wawasannya untuk melihat sesuatu dari sudut
pandang yang berbeda. Dan alasan lainnya adalah mengenai kondisi politik terkait diskriminasi terhadap masyarakat
Tionghoa sudah lebih baik dibandingkan zaman orang tuanya. Oleh karena itu, tidak ada alasan rumah ditutup bagi orang
luar yang ingin melihat pembuatan batik .

Rumah ini bersifat pribadi, hanya untuk keluarga dan kerabat dekat. Taman rumah dan beranda depan bersifat
semi privat, dimana orang luar dapat melihat ke dalam melalui pintu gerbang atau kisi-kisi lapisan gerbang yang disebut
Hek (Gambar 9). Teras digunakan untuk berkumpul keluarga sekaligus sebagai area resepsi, sedangkan kamar tidur di
dalam bangunan utama dan area lain di belakang rumah bersifat pribadi. Berdasarkan penjelasan tersebut, beberapa
perubahan terjadi dan dapat dilihat secara visual, seperti aktivitas dan zonasi ruang. Sebaliknya, nilai-nilai intangible
dapat dilihat dari perubahan pemikiran yang mempengaruhi tradisi (tabel 1 & Gambar 11). Meski ada beberapa
perubahan, namun prinsip dasar yang berkaitan dengan nilai-nilai spiritual tidak berubah, seperti menghormati leluhur
dan Tuhan di altar di musala atau di dapur ( altar pawon) tetap dijalankan. Sejak keluarganya masuk Kristen dari Kong
Hu Cu (Konfusianisme) kecuali Mak Lian, beberapa ritual hanya dilakukan olehnya. Ritualnya, seperti sembahyang coki
untuk memperingati hari kematian orang tuanya -

engkong Liong Khoen dan Mak Ing, sembahyang ronde, sembahyang rebutan, ceng beng dan imlek
yang juga dikenal dengan perayaan Tahun Baru Imlek. Mak Lian masih memegang keyakinan tersebut karena

dia harus menjaga tradisi dan perlu “tetap berhubungan” dengan orang tuanya.

Gambar 9: Penasaran mengamati jaringan gerbang.

10 Tessa Eka Darmayanti, dan Azizi Bahauddin


Machine Translated by Google

Perubahan zona tersebut perlahan terjadi setelah tahun 1980, dimana pemiliknya mulai memproduksi batik
untuk umum. Taman menjadi area publik, sedangkan beranda diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar
tertarik membatik dan juga para pekerja batik yang membuat motif pada kain. Pemilik rumah, Rudi, dan
keluarganya kerap memanfaatkan beranda depan sebagai tempat bersantai, seperti makan bakso bersama keluarga atau tamu
(Darmayanti & Bahauddin, 2020: 8) dan area ini juga dimaknai sebagai area bermain atau bersantai bagi anak-
anak Rudi. Biasanya digunakan untuk bermain sepeda atau sekedar menikmati video online, sedangkan untuk
putri kedua digunakan sebagai arena belajar berjalan (Gambar 10) (Darmayanti et al., 2020: 270). Area salat
sedikit berubah karena selain keluarga bisa masuk. Perubahan signifikan terjadi pada bagian belakang rumah
karena banyak tamu yang ingin melihat proses pembuatan batik di bengkel dan halaman rumah. Dalam hal ini
nilai warisan budaya dilihat dari segi nyata dan tidak nyata mengalami sedikit pergeseran, namun hal ini terlihat
pada apa yang menjadi ciri khas konstruksi identitas rumah peranakan di Lasem.

Gambar 10: Kegiatan di Beranda Depan - Kidang Mas.

Tabel 1: Perubahan Zonasi Kawasan Rumah Peranakan Kidang Mas.


Luas Rumah 1. Sebelum tahun 1980 Setelah tahun 1980 - Sekarang
Taman 2. Setengah swasta Publik
Serambi Depan 3. Setengah swasta Semi-Publik
Ruang Sholat Pribadi Setengah swasta
4. Kamar Tidur Pribadi Pribadi
5. Ruang Keluarga Pribadi Pribadi
6. Serambi Pribadi Setengah swasta
Belakang 7. - Pribadi
Kamar Mandi 8. Kamar Mandi (luar) Pribadi Publik
9. Halaman Pribadi Publik
10. Dapur & Ruang Makan 11. Pribadi Setengah swasta
Workshop Batik Pribadi Publik

*Penulis koresponden (Tessa E. Darmayanti). Email: tessaeka82@gmail.com ©2020 Jurnal Transaksi Internasional Teknik,
Manajemen, & Sains & Teknologi Terapan. Volume 11 No.13 ISSN 2228-9860 eISSN 1906-9642 KODE: ITJEA8 ID Kertas:11A13H
http://TUENGR.COM/V11A/11A13H.pdf DOI: 10.14456/ITJEMAST.2020.252
11
Machine Translated by Google

Gambar 11: Perubahan Zonasi Rumah Peranakan - Kidang Mas

6. KESIMPULAN
Keberadaan rumah peranakan di Lasem sebagai bagian dari warisan budaya memberikan rasa identitas dan
keberlangsungan budaya serta mampu menyampaikan kekayaan sejarah untuk masa depan. Rumah Peranakan
ini hanyalah sebuah sarana untuk lebih memahami nilai-nilai warisan budaya yang dimiliki Indonesia pada
umumnya dan Lasem pada khususnya melalui berbagai sudut pandang. Rumah Peranakan di Lasem tidak hanya
sekedar tempat berteduh, sebuah objek visual atau nyata, namun juga mengeksplorasi dan mengalami indera,
tidak hanya memediasi informasi, tetapi juga sarana mengartikulasikan pemikiran indrawi. Penelitian ini bertujuan
untuk menunjukkan bahwa rumah peranakan di Lasem merupakan warisan Lasem yang sungguh-sungguh perlu
dilestarikan baik nilai material maupun non materialnya. Nilai-nilai yang ditemukan diadaptasi di tempat lain
menjadikan warisan budaya semakin kuat.

Secara umum, tempat tinggal Peranakan bersifat pribadi. Hal ini terlihat secara fisik melalui tembok tinggi
yang mengelilingi kompleks perumahan, serta penggunaan pintu “dua lapis” pada gerbang utama.
Keduanya mencantumkan identitas rumah masyarakat Peranakan terkait asal usulnya. Namun dalam temuannya
terjadi perubahan zona dari privat menjadi publik yang berkaitan dengan aspek ekonomi. Dalam hal ini adalah
usaha batik . Kekuatan tradisi keluarga dan situasi keuangan membuat bangunan tersebut sebagian dikomersialkan.
Namun selain itu ada juga sejarah dan budayanya

12 Tessa Eka Darmayanti, dan Azizi Bahauddin


Machine Translated by Google

kekuatan Lasem yang menimbulkan banyak keingintahuan di kalangan peneliti atau bahkan wisatawan yang menjadi
penikmat warisan budaya atau budaya sehingga menyebabkan dibukanya rumah ini sebagai tempat untuk melakukan
wawancara, pengumpulan data mengamati proses pembatikan .

Menurut UNESCO, arsitektur rumah Peranakan di Lasem seharusnya termasuk dalam kategori
kelompok warisan budaya. Berdasarkan pernyataan tersebut dan melalui penelitian ini, terdapat
saran bagi pemerintah untuk memberikan perhatian lebih dan memberikan perlindungan properti.
Rumah Peranakan di Lasem merupakan cagar budaya. Harus diingat, harus bersifat dinamis,
digunakan dan diperlihatkan, bukan bersifat statis dan ditinggalkan.

7. KETERSEDIAAN DATA DAN MATERI


Data dapat disediakan dengan menghubungi penulis terkait.

8. UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis menghargai dukungan finansial dari Universiti Sains Malaysia.

9. REFERENSI
Darmayanti, TE (2017). Ruang Ketiga di dalam Gerbang Rumah Peranakan di Kawasan Pecinan, Lasem, Jawa
Tengah, Indonesia. Konferensi Internasional Seni dan Sains PSU-USM ke-5, Phuket, Thailand, 73-82 . http://
www.researchgate.net/publication/319311604_Third_Space_within_the_Gates_of_Rumah_Pe

ranakan_at_Chinatown_Area_Lasem_Central_Java_Indonesia

Darmayanti, TE, & Bahauddin, A. (2020a). Pengaruh perubahan sirkulasi terhadap fungsi ruang di rumah Peranakan,
Kampung Babagan, Lasem. ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur, 5(2), 265-276. DOI: 10.30822/arteks.v5i2.403

Darmayanti, TE, dan Bahauddin, A. (2019). Membangun Kembali Ruang Di Rumah Peranakan Di Lasem, Indonesia:
Konsep Ruang yang Dirasakan. DOI: 10.15405/epms.2019.12.65

Darmayanti, TE, dan Bahauddin, A. (2020b). Pemahaman Vernakularitas melalui Pengalaman Spasial di Rumah
Peranakan Kidang Mas, Pecinan, Lasem, Indonesia. Jurnal Masyarakat Internasional untuk Studi Permukiman
Vernakular, 7(3), 1-13. http://isvshome.com/pdf/ISVS_7-
3/ISVS_ej_7.3.1_Tessa_Eka_Damayanti_Final.pdf

Febro, JD (2020). Dokumentasi 3D Situs Warisan Budaya Menggunakan Drone dan Fotogrametri: Studi Kasus Gereja
Barok Filipina yang Diakui UNESCO. Jurnal Transaksi Internasional Teknik, Manajemen, & Sains & Teknologi
Terapan, 11(8), 11A8M, 1-14.

Halo, S.; Pallasmaa, J., & Alberto. (1994). Pertanyaan Persepsi: Fenomenologi Arsitektur.

Icomos. (2002). Piagam Pariwisata Budaya Internasional. Prinsip dan Pedoman Pengelolaan Pariwisata di Tempat
Penting Budaya dan Warisan. Komite Pariwisata Budaya Internasional ICOMOS.

Magioglou, T. (2014). Psikologi Budaya dan Politik: Perspektif Masyarakat. Charlotte, NC: Penerbitan Era Informasi,
Inc.

Merleau-Ponty, M. (1964). Keutamaan Persepsi: Dan Esai lain tentang Psikologi Fenomenologis.
Filsafat Seni, Sejarah dan Politik, ed. JM Edie. Evanston: Pers Universitas Northwestern.

Moustaka, C. (1994). Metode Penelitian Fenomenologis. London: Bijaksana.

*Penulis koresponden (Tessa E. Darmayanti). Email: tessaeka82@gmail.com ©2020 Jurnal Transaksi Internasional Teknik,
Manajemen, & Sains & Teknologi Terapan. Volume 11 No.13 ISSN 2228-9860 eISSN 1906-9642 KODE: ITJEA8 ID Kertas:11A13H 13
http://TUENGR.COM/V11A/11A13H.pdf DOI: 10.14456/ITJEMAST.2020.252
Machine Translated by Google

Nas, PJM & Pratiwo. (2002). Java dan De Groote Postweg, La Grande Route, Jalan Raya Surat, Jalan Raya
Pos. Dalam: Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, On the road Dampak sosial jalan baru di
Asia Tenggara 158 (2002), 4, Leiden, 707-725.

Nas, PJM (2002). Kota di Indonesia Ditinjau Kembali. Singapura: Institut Studi Asia Tenggara.

Onghokham. (1990). Pertumbuhan Kapitalisme Cina Perantauan di Indonesia. Prisma, 4, 21.

Pratiwo. (1990). Arsitektur Lasem: Pendekatan Typo-Morfologi untuk Mendefinisikan Ulang Arsitektur di
Lasem. Tesis Magister, Volume II, Leuven: Katholieke Universiteit Leuven.

Suroyo, AM Djuliati; Jahmin; Supriyono, Agustus; Sugiyarto; Sulistiyono, Singgih Tri; Os, Indriyanto; Indrahti,
Sri. (1994). Laporan Penelitian: sejarah dan Budaya Maritim Di Lasem. Semarang: Universitas
Diponegoro.

Tessa Eka Darmayanti adalah kandidat PhD (Desain Interior) School of Housing, Building and Planning di Universiti
Sains Malaysia (USM), Penang, Malaysia, dan juga Akademisi di Fakultas Seni dan Desain di Universitas Kristen
Maranatha, Bandung, Indonesia. Beliau memperoleh gelar Bachelor of Art dari Universitas Kristen Maranatha dengan
predikat Cum Laude, dan meraih gelar Master of Science bidang Desain Interior dari USM. Minat penelitiannya
meliputi Desain dengan Pengaruh Budaya, khususnya pada isu Ruang Ketiga dan Fenomenologi.

Profesor Dr.Azizi Bahauddin adalah Profesor Desain Interior di Sekolah Perumahan, Bangunan dan Perencanaan,
Universiti Sains Malaysia, Penang, Malaysia. Beliau memperoleh gelar Bachelor of Architecture dari Texas Tech
University, Texas, USA, memperoleh gelar MA in Interior Design dari De Montfort University, Leicester, United
Kingdom dan gelar Doctor of Philosophy (PhD) dari Sheffield Hallam University, Sheffield, United Kingdom . Bidang
penelitian utamanya fokus pada Seni dan Desain, khususnya pada isu-isu Kebudayaan tentang Etnografi dan
Fenomenologi serta Warisan Arsitektur dan Budaya.

Catatan: Artikel asli ini telah ditinjau, diterima, dan dipresentasikan pada konferensi International Conference-
Workshop on Sustainable Architecture and Urban Design (ICWSAUD2019) ke-4 yang diadakan di
Penang, Malaysia pada 24-26 Juni 2019.

14 Tessa Eka Darmayanti, dan Azizi Bahauddin

Anda mungkin juga menyukai