Anda di halaman 1dari 274

Prologue

Alexander berdiri di sudut ruangan kamarnya, memandang jauh keluar mansion yang ada di
kawasan Beverly Hills, California. Sesekali ia menenggak minuman beralkohol, mencoba
menyesap rasa pahit yang sedikit membakar tenggorokan. Ia mendapatkan protes keras dari
Ferdinand Dulce yang kini pindah ke kawasan Santa Barbara pasca bercerai dari Sandra yang
hanya menggerogoti harta tidak seberapa.

Perlahan ia mendengar hentakan sepatu sayup, mulai mendekat begitu cepat ke arahnya.

"Alexander apa yang kau katakan pada kedua orang tua ku?"tanyanya saat ia berada tepat di
depan pria tersebut.

"Hanya memperjelas kesalahpahaman!"balasnya datar kembali menyesap ujung gelas nya tanpa
melirik ke arah wanita tersebut.

"Apa karna wanita itu? Ini sudah lebih dari tiga tahun Alexander! Kau bahkan tidak tahu dia
hidup atau mati,"Reaksi wanita itu kini berhasil mengundang Alexander yang langsung
memicingkan pandangannya. Tepat sasaran.

"Bukan urusan mu Joana!"balasnya begitu dingin tanpa ada senyuman sedikitpun. Alexander
seakan lupa caranya tersenyum sejak kehilangan Lorna. Ia benar-benar hancur, hidupnya
semakin tidak karuan.

"Alexander! Aku ini kekasih mu dan—"

"Jangan berharap lebih! Kau hanya selingan, tidak lebih dari itu!"potong Alexander dengan nada
lebih tegas hingga Joana mendadak terdiam menatapnya dengan pandangan berkaca-kaca. Ia
jatuh cinta pada pria dingin itu dan memilih tinggal di dalam gelapnya kehidupan Alexander.

"Aku berharap bisa membantu mu melupakan wanita itu, aku cukup serius dengan ini
Alexander!"pria itu langsung menoleh, mengedarkan pandangan di mata hazen green itu tajam.

"Jangan mimpi di siang bolong!"balasnya sambil memiringkan sedikit bibirnya lalu melangkah
menjauhi wanita tersebut.

Joana meraih sesuatu yang terpajang di atas nakas, melemparnya begitu cepat ke arah Alexander.

Pranggg!!!

Vas bunga itu pecah, menciptakan suara begitu memancing saat mengenai bibir pintu. Ia
mengeratkan kedua tangan sambil mengigit bibirnya begitu kuat.
"Alexander aku hamil!"teriaknya datar membuat langkah pria tersebut berhenti, ia mengangkat
kepalanya sedikit mencoba menyaring kalimat barusan.

"Apapun yang terjadi, aku tidak ingin anak itu!"balas Alexander begitu tegas tetap melangkah
menjauhi kamar tersebut.

"Dasar brengsek!!"Joana menarik benda-benda yang ada di kamar, melemparnya sembarang


hingga ia merasa benar-benar puas setelah pria tersebut menghilang dari pandangannya.

Alexander melangkah pelan melewati lorong mansion megahnya menuju galeri mobil dua lantai
yang ia punya. Pria itu mengeluh, mengedarkan pandangannya sejenak memandangi apa yang
ada di ruang tersebut.

"Whoaa.. Kau tahu? Ini pengalaman terbaik ku, aku suka!"

"Alexander kau butuh dokter, kau bisa infeksi!"

"Kau menakuti ku,"

Alexander mendadak mengeratkan tangan, mencoba menahan kenangan yang terus terekam di
memori pikirannya. Semua begitu kosong.

"Apapun yang kau pilih, akan ku pakai!"Lagi penggalan kalimat Lorna semakin menghantuinya,
sungguh ia sudah menyiapkan gaun pengantin yang begitu cantik untuk wanita itu. Sekarang
benda itu hanya terpasang di sebuah patung lilin yang sengaja di buat Alexander. Setidaknya ia
bisa melihat bagaimana Lorna mengenakan gaun itu.

"Sir..."sapa seseorang membuat pria itu seakan kembali pada kenyataan pahitnya. Ia menoleh
lambat, mencoba memperbaiki perasaannya lebih dulu.

"Kita di serang oleh kelompok bersenjata saat kami nyaris sampai di markas,"

"Lantas bagaimana sekarang?"balas Alexander cepat menatap datar wajah wanita berwajah tegas
itu.

"Semua aman, aku dan Billy berhasil melawan kelompok itu."

"Siapa pelakunya?"

"Aku belum menemukan data yang valid. Kemungkinan besar ia memiliki riwayat dengan
keluarga Hall dan pernah menghapus data pribadinya untuk menghilangkan jejak,"

"Di mana Billy?"

"Bersama istrinya, di depan!"tukas wanita itu sambil melirik ke arah Joana yang melangkah ke
arah mereka dengan tampang berantakan.
"Apa yang kau lihat Michella?"tanya Joana membuat wanita itu tersenyum miring lalu memutar
bola matanya ke arah lain.

"Alexander aku—"ucapan Joana terputus saat pria itu melangkah menjauh tanpa perduli dengan
ucapan nya.

"Michella! Ambilkan aku minuman,"

"Sorry! Aku bukan pelayan mu,"balas wanita itu cepat dan segera meninggalkan Joana yang
merasa begitu frustasi.

______________

Lorna mengelap keringatnya, memijat keningnya sedikit lalu mengedarkan pandangan ke tengah
kota.

"Ini upah mu,"ucap seseorang memberikan wanita itu amplop atas jasanya.

"Terimakasih,"Lorna meraihnya, mencoba menyimpan benda itu di dalam tas lalu beranjak dari
tempatnya. Ia bekerja sebagai pelayan toko, mencoba menyambung hidupnya di Haggen.

Wanita itu melangkah pelan, tampak mengulas senyuman mencoba menyapa beberapa pemilik
toko yang ia kenal di tiap sudut kota.

"Lorna!"panggil seorang pria membuatnya langsung menoleh.

"Rowan,"

"Ayo aku antar kau pulang,"ucap pria itu sambil mengedarkan pandangan ke tiap tempat.

"Rowan itu tidak perlu, rumah ku tidak jauh dari sini,"

"Aku ingin bicara dengan mu, Ini penting!"balasnya cepat meraih jemari Lorna dan menariknya
pelan. Rowan pengusaha kelas menengah yang tengah meneliti Haggen, ia mencoba
mengembangkan usahanya di tempat itu, hubungan spesial mereka terjadi begitu saja dengan
pikiran Rowan bisa membuat Lorna melupakan Alexander.

Lorna terpaksa mengikuti pria itu, masuk ke dalam mobilnya yang jauh di bawah standart
Alexander.

"Kau sudah makan?"tanyanya pelan melirik ke arah Lorna yang hanya mengangguk pelan lalu
mengedarkan pandangan ke tengah kota makmur itu.

Mereka tampak canggung, tidak ada sepatah katapun keluar dari bibir keduanya hingga sampai
di rumah yang di sewa Lorna. Begitu sederhana dan tidak terlalu layak, wanita itu sedikit
kesusahan dengan masalah uang 3 tahun ini.
"Apa yang ingin kau bicarakan?"tanya Lorna menatap wajah Rowan yang begitu tegas.

Pria itu mengeluh sejenak, mendekat ke arah Lorna dan meraih sesuatu dari dalam jaketnya.

"Aku ingin kita menikah, kau tidak perlu bekerja lagi. Aku akan mengusahakan semuanya untuk
mu,"ucap Rowan mendadak membuat Lorna terdiam.

"Menikahlah .. denganku!"

Tiba-tiba Lorna menepis cincin itu dari tangan Rowan saat mengingat Alexander. Ia mundur
seketika membuat pria di hadapannya sedikit mengerutkan kening.

"Lorna! Apa yang terjadi?"

"Rowan lepaskan!"lagi Lorna menepisnya, wanita itu menelan Saliva kuat lalu menutup mata,
mencoba menahan diri di hadapan pria tersebut.

"Lorna,"panggilnya pelan mencoba mendekat, menyentuh pipi wanita itu dengan kedua
tangannya hingga mata hazel itu terbuka.

"Aku hanya terkejut, maaf."balasnya sambil menarik napas lambat, Rowan mengangguk lalu
mendekati wanita itu dan berusaha meraih wanita itu dengan ciumannya.

Ia menahan tubuh Lorna, memberikan kelembutan yang berbeda dari Alexander. Namun
perilaku itu tidak pernah bisa membuat Lorna terbuai, ia hanya menikmati tanpa merasakan
apapun.

"Ahhhh Rowann!"pekiknya sarkas mendadak saat pria itu menyentuh kulit dalam tubuhnya. Ia
berkali-kali mencoba melakukan hubungan di luar batas namun hal itu tidak pernah berhasil.

"Apa yang salah dengan mu Lorna! Kenapa kau tidak pernah bisa ku sentuh?"suara pria itu
melengking, ia menatap kilat ke arah Lorna yang hanya menunduk tanpa suara. Wanita itu benar-
benar menutup dirinya.

"Kau menghindar dari semua hal, apa yang sebenarnya sudah terjadi Lorna?"

"Rowan keluarlah, aku letih!"balas Lorna mengulum bibirnya sambil menahan napas yang begitu
berat.

"Lorna...."

"Please..."potong Lorna cepat penuh harapan, hingga akhirnya pria itu mengepal tangan lalu
segera keluar dalam keadaan marah dari ruangan itu.

________
"Alexander!"teriak Milla mendadak melengking, ia mendekati pria tersebut sambil mengusap
perutnya yang besar. Mencoba memasok oksigen pada kandungannya yang berusia 7 bulan.

"Ada apa?"tanya Alexander datar namun melirik tajam ke arah wanita itu.

"Lihat, aku tanpa sengaja menemukan sebuah akun media sosial dengan nama Rowan Emanuel
Ryvero, di dalamnya ada —"

Tap!!

Alexander merampas cepat ponsel wanita tersebut, tidak sabar menunggu pernyataannya lebih
lama. Seketika ia membulatkan mata dan mencoba membesarkan foto yang terpajang cantik di
salah satu feeds instagram tersebut.

"Lorna...."ucapnya pelan sambil menaikkan pandangannya ke arah Milla yang mengangguk


pelan ke arah nya.

Chapter 1 : Aggression

"Michella!! Mich-"Alexander berhenti bicara saat wanita yang ia panggil itu cepat berdiri di
depannya.

"Yes sir,"jawab wanita itu, mengedarkan pandangan ke arah Milla yang tampak membasahi
bibirnya, ia terlalu sering sesak napas sejak sekarang.

"Cari tahu tentang pria ini secepatnya,"tunjuk Alexander memberikan ponsel miliknya pada
Michella dengan cepat.

"Lakukan dengan cara apapun!"titahnya lagi membuat Michella mengangguk datar lalu segera
menjauh dari kawasan tersebut.

"Alexander, kau tidak bisa gegabah. Bagaimana jika Lorna sudah menikah?"Milla mencoba
menahan membuat mata pria tersebut langsung terpahat tajam, menusuk mendengar kalimat
barusan.

"Semua orang butuh dokument untuk menikah!"

"Baca caption-nya!"perintah Milla membuat pria itu kembali melirik ponselnya, memerhatikan
pesan sarkas padanya.

"My baby & LorN,"baca Alexander membatin.

"Tidak ada foto anak kecil di sini,"


"Bisa saja Lorna sedang hamil sekarang!"terang Milla mencoba bersikap realistis.

"Ini hampir empat tahun. Mungkin saja ia memilih kehidupan barunya Alexander. Tidak semua
orang hanya terpaku pada masa lalu,"

Alexander mengepal tangannya kuat, mencoba menahan diri lebih lama. Ia tidak ingin terpaku
pada pernyataan Milla yang belum jelas.

"Apapun yang terjadi, aku akan merebut kembali milikku!"

"Alexander..."

"Kau tahu bagaimana aku menderita karna kehilangan Lorna,"potongnya cepat membuat wanita
itu diam tanpa berani bicara apapun.

"Milla,"panggil seseorang membuat mata hijau wanita itu bergerak cepat.

"Kembali ke kamar mu dan tunggu aku di sana, ada hal yang perlu aku bicarakan padamu
sir,"ucap Billy melangkah pelan sambil mengedarkan pandangannya yang begitu tegang.

Milla menelan ludah, mengangguk pelan lalu melangkah cepat ke arah kamarnya sambil
mengusap perut yang terasa cukup membebani tubuhnya.

"Sir, seseorang mencoba menyerang gudang senjata. Mereka memutuskan listrik melalui
jaringan internet dalam 20 menit hingga semua akses mati. 18 orang bodyguard tewas tertembak
akibat insiden ini,"

"Jadi bagaimana persediaan senjata?"tanya Alexander sambil mengepal tangannya kuat.

"Kita kehilangan sekitar 20 senjata, tapi mereka tidak berhasil masuk ke ruang utama,"jelas Billy
cukup tegang membuat pria itu mengedarkan pandangan ke tiap ruangan.

"Siapa pelakunya?"tanya Alexander datar.

"Kelompok bersenjata yang menyerang ku dan Michelle pagi tadi,"Alexander langsung melirik
Billy kembali lebih tajam.

"Kapan jadwal pengiriman barang lagi?"tanya Alexander membicarakan bisnis ilegal yang ia
jalani sejak Lorna menghilang dari sisinya.

"Lusa sir,"jawab Billy cepat.

"Pancing dan dapatkan mereka! Aku akan ikut campur tangan di sini,"ucap Alexander begitu
tegas sambil menarik napasnya dalam.
"Baik sir, aku akan mengurusnya!"Billy mengulum bibir mencoba menahan diri, ia sedikit
sensitif akhir-akhir ini mengingat Milla yang tengah mengandung anaknya.

"Berikan tugas ini pada Michella! Kau urus Milla!"seketika sorot mata Billy membulat, pria itu
seakan bisa membaca pikirannya.

"Sir,"

"Anak itu sangat terlatih,"potong Alexander membuat Billy tersenyum tipis.

______________

Lorna baru saja keluar dari tempat latihan bela dirinya, ia menyukai olahraga Pankration dan
terus mencoba menguasai semua teknik dasarnya. Setidaknya ia bisa melindungi diri di tengah
kota padat ini.

Wanita itu melangkah pelan menyusuri jalan yang mulai sepi dan gelap, sesekali ia menelan
ludah memerhatikan keadaan sekitar lalu berhenti di dermaga yang tampak begitu besar,
mengingat bagaimana ia sampai di negara itu untuk pertama kalinya. Mencoba bertahan hidup
hingga sejauh ini.

"Banyak yang berubah selama 3tahun,"keluh Lorna sambil menunduk malas lalu menarik penuh
napasnya yang mendadak tersendat. Merasakan dinginnya malam di Haggen.

"Apa kabar mu daddy?"tanyanya membatin mencoba meminimalisir rasa rindunya yang


menumpuk bertahun-tahun.

Dor!!!
Dor!!

"Heidie!"Lorna mendelik mendengar suara teriakan yang begitu mengusiknya, begitu keras
mencoba memancing keingintahuan. Wanita itu berlari cepat mencari sumber suara yang
tampaknya tidak terlalu jauh.

"Your highness!"bisik nya memerhatikan putri mahkota Haggen, Miya Abellone Elizabeth
tengah di serang kawanan perampok bersenjata dan berhasil melukai salah satu pengikutnya,
hingga pertarungan itu tampak tidak seimbang.

Tiba-tiba Lorna berlari kencang, datang dari tempat yang tidak di prediksi oleh siapapun,
menangkap leher salah satu pria bertopeng itu dan menekan tubuh nya kebawah begitu cepat.
Pria itu nyaris melukai Miya yang begitu fokus memeriksa keadaan pengawalnya yang
mengalami luka tusuk.

Tidak sampai di situ, mendadak seorang lainnya mendekat. Menarik Lorna begitu cepat
menjauhi kawanan nya sambil melemparnya ke lantai tanpa ampun. Seketika wanita itu segera
bangkit tanpa membuang waktu mencoba menghindar namun kembali di tangkap. Stranger itu
mencengkeram leher Lorna dan langsung membenturkan tubuhnya ke tembok.

Lorna memukul-mukul tangan stranger itu berkali-kali, mencoba meloloskan diri hingga ia
menendangnya kuat dan berhasil membuat sosok itu menjauh dan terjatuh ke belakang. Ia
mengedarkan pandangan memerhatikan salah satu pengawal Miya mengatasi kawanan lainnya.

Seseorang mendekat kembali, tidak ingin kalah pada kekuatan Lorna yang terbilang seadanya.
Stranger itu menghunus wanita itu dengan sebilah pisau membuat Lorna cepat menghindar,
menangkap dan menaikkan tangan kuat itu ke atas hingga erangan terekam lebih keras, wanita
itu menaikkan lututnya menghantam perut pria itu begitu tangkas.

"Menyerah lah,"bisik nya masih melakukan aksinya begitu gigih.

Dorrr!!

Lorna terhenti mendengar suara tembakan, kepalanya seperti berputar kuat dan telinga wanita
tersebut mendadak berdenging kuat. Ia seakan melemah mengingat hal buruk pernah terjadi
dalam hidupnya.

Brakk!!

Salah satu perampok itu di tembak mati oleh pengawal Miya dan tubuhnya langsung tergeletak
lemah begitu saja.
Melihat itu, pria yang ada di dekat Lorna mencoba membalikkan serangan. Ia mendorong wanita
tersebut hingga jatuh dan mencoba kabur, ikut bersama yang lainnya. Tiba-tiba Miya datang dari
belakang memukul pria itu dengan bongkahan kayu yang ia temukan membuatnya langsung
terjerembab ke bawah.

Dor!!
Dor!!

Pria itu langsung di sambut tembakan yang di lepaskan dari pengawal Miya pada kedua kakinya,
hingga harapannya untuk kabur seketika musnah.

"Kau tidak apa-apa?"tanya Miya mencoba membantu wanita itu bangkit dari tempatnya.
Memerhatikan Lorna mengangguk dengan wajahnya yang pucat.

"Saya tidak apa-apa, your highness."

Miya mengangguk, "terimakasih,-" memutar tubuhnya menghadap salah satu pengawalnya,


"Mikel, Heidie!" hardiknya dengan wajah khawatir.

"Saya akan mencari bantuan your highness." ujar Mikel menginjak leher perampok sambil
merogoh ponselnya dan menelpon seseorang. Kawasan itu cukup sepi dan sulit untuk nya
meminta bantuan warga sekitar.
"Heidie..."gumam Miya pelan saat melihat wanita tersebut tidak bergerak. Seketika wanita itu
beranjak mendekat bersamaan Lorna yang mengikutinya.

"Izinkan saya akan memeriksanya, Your Highness." Lorna segera berjongkok di depan Heidie.
Memeriksa denyut nadi wanita tersebut dengan cepat, lalu melirik sejenak ke arah Mikel yang
menarik paksa stranger itu ke tiang lampu dan mengikatnya dengan borgol serta melepas
penutup wajahnya.

"Denyut nadi nya masih berdetak, masih ada harapan,"tukas Lorna melirik ke arah Miya yang
penuh kekhawatiran. Ia hanya mengangguk, bingung dalam situasi tak terduga itu.

Nyaris sepuluh menit kemudian, dermaga itu mulai penuh dengan polisi yang datang bersamaan
dengan ambulance. Orang kerajaan tampak sibuk, ikut panik di tengah kekacauan ini.

"Sebaiknya kau ikut dengan kami ke kantor,"ucap salah satu polisi yang mendekati Lorna. Ia
butuh keterangan dari wanita tersebut.

"Ya tentu saja,"jawabnya singkat kembali melirik ke arah Ambulance yang kini mulai bergerak
menjauh.

________________

Lorna memijat keningnya, mencoba membuka pintu rumah dengan cepat. Ia letih bukan main
hari ini.

"Lorna!"tegur seseorang dengan wajah ketir ke arahnya. Memandang tegas.

"Rowan .. Kenapa-?"

"Aku ingin bicara!"pria itu melangkah masuk ke dalam ruangan rumah Lorna tanpa permisi
membuat wanita itu kembali memijat keningnya yang terasa sakit.

"Kenapa kau ikut campur dalam urusan kerajaan?"tanyanya cepat saat melihat wanita itu
menutup pintu rumah dan berjalan ke arahnya.

"Rowan putri mahkota di serang! Ah bukan hanya karena dia putri mahkota tapi-"

"Jangan terlalu perduli Lorna. Kau tahu akan sulit untuk mu jika kau terlalu mempercayai
siapapun di sini,"

"Rowan aku-"kalimat wanita itu terhenti saat pria tersebut meraihnya dan memeluk erat begitu
hangat.

"Aku tidak ingin kau terluka,"bisik nya pelan dan lagi-lagi kalimat itu membuatnya mengingat
seseorang yang mulai menghantui pikirannya akhir-akhir ini.
"Istirahat lah. Aku akan menemanimu di sini, kau libur kerja kan besok?"tanya Rowan
tersenyum tipis melihat Lorna membalasnya hanya dengan anggukan kecil.

"Kalau begitu besok aku akan mengajak mu keliling kota, kita sudah lama tidak punya waktu
bersama!"sambungnya sambil memegang sudut wajah Lorna dan menatapnya tajam.

"Yahh kau benar, aku butuh liburan!"balasnya tersenyum sumringah. Rowan mengangguk lalu
mencoba mencium bibir tebal wanita itu.

"Ah... Aku harus mandi!"tolak Lorna langsung menepikan wajahnya ke arah lain dan
melepaskan pautan pria itu. Seketika Rowan langsung membasahi bibirnya, mengepal tangan
begitu kuat.

"Menghindar lah terus, hingga aku mendapatkan mu!"batin Rowan melihat Lorna kini beranjak
menjauh dari hadapannya begitu cepat.

Chapter 2 : Moving too Fast

Lorna menelan saliva, menarik sudut seprai dengan kuat sambil menutup mata rapat. Ia
merasakan sebuah bibir mencumbunya dekat, lekat begitu penuh gairah. Sesekali tangan pria itu
menyentuh pinggulnya, meremas kuat tubuhnya begitu lama. Sekali lagi ia merasa seakan begitu
sesak saat cumbuan itu semakin dalam hingga rasanya sulit untuk melepaskan begitu saja.

Namun sepersekian detik kemudian, sosok itu melepaskan ciumannya. Mempertemukan kedua
mata yang begitu saling membutuhkan.

"Kau merindukan ku, honey?"tanya sosok itu membuat Lorna langsung membuka mata.
Membulat besar dan segera menaikkan tubuhnya.

"Alexander!"tukas Lorna memegang kuat dadanya yang tengah berdetak kencang. Ia memegang
kuat rambutnya, mengedarkan pandangan ke tiap isi rumah lalu terhenti pada Rowan yang
tengah menatapnya penuh tanya.

"Siapa Alexander?"seketika pria itu penasaran, mencoba mencari tahu nama yang di sebutkan
Lorna saat ia bangun dari tidurnya pagi ini.

"Rowan apa kau di sini sejak tadi? Apa tidak ada seseorang yang masuk ke sini kan?"

"Lorna apa maksud mu?"potong Rowan cepat mencoba mendekat dan meraih jemari wanita
tersebut, meremasnya kuat.

"Aku—"Lorna mengeluh, menarik jemarinya dari sentuhan pria itu dan memegang kepalanya
begitu kuat.
"Kenapa dia kembali muncul di pikiranku?"batin Lorna mengingat mimpi nya yang tampak
begitu nyata. Hingga debaran jantungnya berpacu sangat cepat.

"Ceritakan padaku, apa kau punya masalah?"tanya Rowan kembali, menaikkan dagu wanita
tersebut hingga kedua mata mereka bertemu.

"Kau ingin mengajakku pergi hari ini kan?"Lorna menghindar mencoba mencari cara lain untuk
tidak mengungkit apapun soal masa lalunya.

Tringg!!

Percakapan itu terhenti sejenak, Rowan melirik ponsel yang ia pegang sejak tadi dan tersenyum
kecil. Jemari itu tampak menari cepat pada layar ponsel tanpa menghiraukan seseorang yang
tengah menatapnya cukup penasaran.

"Ada apa?"tanya Lorna datar.

"Tidak! Seseorang mengomentari postingan ku di Instagram,"balasnya sambil menatap layar


ponsel itu begitu lekat.

"Kau tampaknya aktif di media sosial,"sindir Lorna mengedarkan pandangannya lekat dan
beranjak bangun dari tempat tidur.

"Aku hanya ingin memperkenalkan mu!"

"Maksud mu?"Lorna mengerutkan kening, Ah- wanita itu menutup seluruh aksesnya. Tidak ada
satupun media sosial bahkan ia sengaja menggunakan ponsel biasa untuk menghilangkan jejak.
Ia tidak butuh camera atau fitur canggih apapun.

"Aku memposting fotomu! Foto kita!"

"Apa? Rowan aku sudah katakan jangan posting apapun tentang ku, sekalipun itu hanya ujung
kaki ku, kenapa kau—"

"Lorna kenapa kau begitu marah? Ini hanya sebuah foto! Aku tidak melakukan apapun terhadap
hal itu,"potongnya memasang wajah penuh tanya.

"Rowan kau tidak tahu apa yang pernah aku alami hingga sampai di sini! "Lorna membentak
dengan nada yang begitu kasar, terlihat tidak ingin kalah.

"Apapun yang ada di masa lalu, aku akan melindung mu!"

"Kau tidak paham!"wanita itu mencoba menjelaskan sesuatu yang seharusnya tidak ia ingat lagi.

"Kau pikir aku tidak cukup untuk melindungi mu?"


"Demi Tuhan! Kau tidak akan pernah bisa melakukan apapun untuk ku jika—"

"Lorna sudahlah! Aku tidak ingin bertengkar denganmu,"potong Rowan sambil mengeluh pelan
sambil menatapnya tajam.

"Aku mohon hapus fotoku!"pinta Lorna penuh harap mencoba membuat pria itu paham. Rowan
mengangguk menaikkan ponselnya kembali dan tampak mengutak-atik ponselnya. Ia hanya
mengarsipkan foto itu, tidak benar-benar menghapusnya.

"Sudah aku lakukan!"Rowan menunjukkan layar ponselnya pada Lorna membuat wanita itu
terdiam lalu mengangguk pelan.

"Aku harap kau tidak melakukan hal itu lagi!"Lorna memutar tubuhnya cepat, ingin menjauhkan
diri.

Tap!!

Langkah wanita itu berhenti, Rowan menariknya dan mendadak mendorong Lorna kembali ke
atas ranjang.

"Rowan apa yang kau lakukan?"Lorna membulatkan mata, melihat pria itu duduk di sudut
ranjang sambil menahannya dengan dua tangan.

"Kapan kita bisa melakukannya?"tanyanya datar membuat Lorna langsung merasa begitu ketir.
Perasaannya campur aduk! Bagaimanapun pria itu kekasihnya dan Rowan sudah menunjukkan
keseriusan.

"M-melakukan a-apa?"seketika Lorna bicara gagap, menahan diri untuk menjaga jarak. Selama
Rowan tidak terlewat batas, ia tidak akan bereaksi.

"Aku ingin memiliki mu, Lorna!"bisik nya sambil mengedarkan pandangan di wajah wanita
tersebut.

"Aku harus—"

"Lorna berhentilah menghindari ku! Apa kau benar-benar tidak yakin dengan ku?"potongnya
cepat kembali menahan tubuh Lorna lebih dekat. Mendadak pria itu menyentuh paha kanan
wanita tersebut.

"Rowan!!"

Lorna menepisnya cepat, menangkap pergelangan tangan pria tersebut dan spontan
mendorongnya menjauh. Hampir saja pria itu terjatuh ke lantai dan beruntung ia masih bisa
menautkan diri pada sudut lemari.
"Lorna apa yang salah dengan mu? Kau—"pria itu terdiam, mencoba menahan diri lalu
memalingkan pandangannya ke arah lain dan segera meraih ponsel miliknya kembali yang
sempat ia letakkan di atas ranjang tadi.

"Aku pergi!"ucapnya dengan nada kecewa lalu pergi begitu saja dari rumah itu. Rowan terhenti
saat ponselnya berbunyi kembali, ia melirik dan menarik napas begitu dalam membaca pesan
direct di salah satu media sosialnya.

"Ya aku pikir Haggen memang indah, terutama kotaku Danhag!"Rowan membalas cepat pesan
itu lalu membuka profil wanita cantik yang tampak mencoba menggodanya intens. Ia tertarik
dalam beberapa detik, lalu menoleh kembali ke belakang memastikan Lorna tidak di dekatnya
dan terus membalas pesan-pesan tersebut.

______________

Michella melangkah di tengah mansion mencoba mencari Alexander yang tengah meneliti galeri
mobilnya, lalu melangkah ke tengah memerhatikan patung lilin yang ia buat hingga
menghabiskan jutaan dollar agar benda itu jadi semaksimal mungkin, tampak begitu realistis
bersama gaun pengantinnya.

"Sir,"panggil Michella kembali membuat pria itu menjengah ke arahnya.

"Aku sudah dapatkan infonya!"sambung Michella sambil menelan saliva cukup kuat,
menyampaikan sesuatu yang ia temukan.

Alexander menaikkan salah satu alisnya, menatap begitu lekat dan melangkah pelan ke arah
Michella "maksud mu?"

"Rowan Emanuel Ryvero! Ia berada di negara Haggen, tepatnya di kota Danhag!"ucap Michella
membuat sorot mata Alexander kilat menatapnya seakan penuh harapan.

"Kau yakin?"

"Yes sir, aku akan mencari lebih detail. Kemungkinan besar nona Lorna bersamanya,"

"Cari tahu lebih banyak, jika ia memelihara semut pun kau tetap harus memberitahukan hal itu
padaku!"perintah Alexander begitu banyak ingin tahu. Sial- postingan yang di temukan Milla
berhasil membuatnya sangat frustasi. Ia bertanya-tanya bagaimana hubungan Lorna bersama pria
itu sekarang.

"Baik sir, aku akan mencari tahu lebih banyak,"tukas Michella begitu penurut.

"Sir, aku lupa. Nona Joana tadi datang mencari mu!"sambungnya datar meneliti Alexander yang
baru saja ingin kembali ke dalam ruangan.
"Aku akan urus itu. Sekarang kumpulkan semua orang! Setelah pengantaran barang besok kita
berangkat ke Haggen!"ucap Alexander membuat wanita itu menelan Saliva.

"Sir bagaimana jika kita di serang lagi?"

"Aku punya rencana!"jawabnya cepat lalu mendekati patung lilin Lorna kembali dan menatap
begitu tajam.

"Aku harus cepat menyusulnya!"Alexander meraih ujung pakaian pengantin itu tanpa
melepaskan pandangannya sedikitpun.

"Dia harus menepati janji untuk memakai apapun yang aku pilih!"sambungnya sambil
memiringkan bibirnya sedikit seakan tersenyum menang ke arah benda itu sambil bernapas
sedikit lega.

Chapter 3 : Marry Me

"Sir, semua sudah selesai!"ucap seseorang yang berdiri tegas tepat di belakang Alexander.

Pria itu melirik sedikit lalu meletakkan gelas sloki berisi alkohol di atas nakas yang ada di sudut
tempat tidur.

"Kau mau kemana?"tanya Joana yang melangkah ke arahnya, meraih tubuh pria itu dan
memeluknya erat.

Alexander segera menepisnya, mendorong kuat tubuh wanita itu ke atas ranjang hingga
pandangan Joana membulat lebar.

"Sudah ku peringatkan, jangan coba menyentuh tanpa izin ku!"bentaknya sarkas lalu
memalingkan pandangan ke arah lain.

"Sudah batalkan pengantaran nya?"tanya Alexander pada bodyguard yang masih berdiri di
dekatnya dengan pandangan datar.

"Sudah sir, tidak ada pengantaran apapun selama satu bulan ke depan!"balasnya cepat melirik ke
arah Joana yang tampak memasang wajah merah. Ia cukup menelan rasa malu akibat tingkah
Alexander.

"Panggil Michella dan tunggu aku satu jam lagi,"titahnya terdengar begitu arogan dengan
congkak yang ia tunjukkan.

"Baik sir,"pria itu memutar tubuhnya cepat, mematuhi perintah segera.


"Alexander. Kita perlu bicara!"sudut mata pria itu beralih tajam saat Joana berdiri di depan nya
dengan pandangan intens.

"Minggir!"

"Alex, apa kau tidak paham juga? Aku hamil dan kau harus bertanggung jawab,"pekiknya
lantang mencoba memukul pria itu dan di tangkap cepat oleh Alexander lalu kembali
melemparnya ke tempat tidur.

"Alex,"Joana menahan napas, merasakan pria itu memegang lehernya kuat.

"Sejak awal, kau hanya fantasi ku sebagai Lorna dan perlu kau ketahui, anakku tidak layak
berada di rahim pelacur seperti mu,"ucap Alexander penuh penekanan, begitu pedas.

"Sir,"potong Michella membuat pria itu akhirnya melepaskan cengkeramannya dan segera
menjauh dari Joana yang langsung memegang leher panjangnya.

"Kita berangkat satu jam lagi, kau ikut dengan ku. Billy harus menjaga Milla di mansion!"
Michella melirik ke arah Joana lalu mengangguk datar pada Alexander.

"Urus dia!"ucap Alexander melangkah menjauh dari kamar meninggalkan keduanya begitu saja.

"Aku dengar kau hamil?"tanya Michella memicingkan pandangan begitu lekat pada Joana.

"Kenapa? Kau iri karna sebentar lagi aku akan menjadi nyonya di mansion ini?"

Seketika Michella terkekeh kencang, tidak kuat menahan tawanya yang nyaris meledak.

"Kau tidak pernah berubah. Hobby mu pamer, tapi sungguh lelucon itu sangat menghibur.
Terimakasih Joana Roses!"

"Apa yang lucu menurut mu Michella. Aku sedang tidak bicara main-main,"

"Bagaimana kalau kita test?"potong nya cepat membuat wajah Joana berubah drastis.

"Aku sudah melihat hasil testpack!""

"Aku rasa hasil testpack itu tertukar dengan milik Leila."lagi Michella menyanggah, jarang ia
tersenyum begitu lebar karena sesuatu hal.

"Diam kau Michella, kau—"

"Kau tahu apa tugas Dr. Milla di sini?"potong Michella begitu tidak sabar.

"Ia memberiku pil anti kehamilan, dan aku memberikan itu padamu diam-diam."
"Michella!"

"Itu perintah tuan Alexander, kau meminumnya dengan lahap,"

"Kalian semua brengsek!"

Joana melangkah cepat ke arah Michella dan mendorong sudut tubuh wanita itu agar ia bisa
menjauh dan segera melangkah keluar.

"Hey ceritakan bagaimana wajah tuan Alexander saat mendengar kebohongan konyol itu!"teriak
Michella masih ingin menghinanya lebih lama. Sayangnya wanita tukang pamer itu memilih
pergi daripada meladeninya seperti biasa.

"Sial harusnya aku tidak mendengarkan mommy untuk membohongi Alexander agar ia menikahi
ku, ahhh sial! Aku benar-benar bodoh!"maki Joana memegang kepalanya begitu kuat
memikirkan banyak hal. Sungguh mungkin ia tidak punya muka lagi untuk berhadapan pada
Alexander sekarang.

____________

Lorna mengulum bibir, memegang mug berisi coffee latte tanpa menghirupnya sedikitpun. Entah
sejak kapan ia melamun, begitu jauh dan mulai tertekan akhir-akhir ini. Ia menjalin hubungan
bersama Rowan berharap Alexander semakin jauh dari pikirannya. Tapi kenapa bayangan itu
malah mengintainya setiap saat.

Ia berdebar merasakan sesuatu yang mungkin akan terjadi, takut sekaligus tidak siap dengan
sesuatu yang kini berputar di kepalanya.

"Kenapa kau melamun?"mendadak Lorna Kembali terkejut, Rowan memeluknya erat dari
belakang.

"Rowan, kau membuat ku terkejut!"Lorna melepas pelukan pria itu lalu memutar tubuhnya
menatap ke arah nya begitu lekat.

"Aku ingin bicara, masuklah ke dalam!"Rowan membuang napas pelan mengangguk dan
melangkah mengikuti Lorna.

"Ada apa?"Rowan menatap tajam mata hazel Lorna, begitu intens. Wanita itu masih berpikir
sejenak mencoba mengumpulkan kalimat yang padat di pikirannya.

"Apa kau benar-benar serius dengan hubungan ini?"tanya Lorna membalas tatapan kekasihnya
itu sambil melihat Rowan tersenyum tipis.

"Aku mencintai mu, Lorna."balasnya pelan mencoba meraih ujung rambut panjang wanita
tersebut.
"Kemarin kau meminta ku untuk menikah dengan mu kan?"tanyanya mencoba yakin akan
keputusan yang tengah menjadi dilema di otaknya.

"Apa itu masih berlaku? Jika iya aku akan membelikan mu cincin yang baru—"

"Tidak perlu! Aku tidak butuh cincin atau apapun itu. Aku hanya butuh kau!"Lorna menelan
ludah seakan begitu berharap. Mungkin dengan begini ia benar-benar bisa keluar dari bayang
masa lalu.

"Kau yakin dengan ini?"Rowan mendekat memegang pinggul wanita itu dan sedikit
meremasnya.

"Yah! Aku setuju untuk menikah dengan mu,"balasnya begitu pelan, sungguh Lorna masih
menyimpan ribuan keraguan tapi ia ingin memperbaiki kualitas hidupnya. Ingin seseorang
mencoba mengisi kekosongan hidupnya. Ia ingin hidup dengan baik, sangat baik.

"Thanks Lorna. Aku akan mengurus dokument, bisa serahkan berkas mu?"Lorna terdiam, ia
bahkan tidak membawa sehelai pakaian pun saat sampai di Haggen. Apalagi berkas penting
seperti itu.

"Aku kehilangan berkas. Apa kau punya solusi agar aku bisa mengurusnya cepat?"

"Bagaimana bisa kau bertahan di sini tanpa—"

"Rowan aku tidak ingin membahas hal itu, bagaimana caranya itu sama sekali tidak
penting!"Lorna memalingkan pandangannya ke arah lain lalu di tangkap kembali oleh pria
tersebut hingga pandangannya kembali bertemu.

"Aku akan mencoba mencarikan solusinya untuk mu,"balasnya lagi sambil mengeluh pelan dan
mengedarkan pandangan ke wajah Lorna yang begitu cantik.

Ia mendekat, mencoba menyatukan bibir mereka hingga tubuh Lorna langsung mematung.
Sungguh ciuman itu tidak ada rasanya, hambar dan begitu kosong. Ia hanya mencoba
menghormati Rowan sebagai kekasihnya sekarang, dan mungkin akan menjadi suaminya.
Mungkin!

Pria itu menaikkan tubuh Lorna di atas nakas, menyentuhnya pelan hingga wanita itu memegang
bahunya begitu kuat. Pria itu menenggelamkan ciumannya yang berbekas di leher Lorna,
mencoba menyingkap pakaian wanita itu sebisanya.

"Izinkan aku memiliki mu lebih dulu,"pintanya begitu terdesak, miliknya mengeras dalam
hitungan detik. Sungguh Lorna terlalu sulit untuk di lepaskan begitu saja, ia seakan bisa mencuri
hati siapapun lewat senyumannya.

Lorna hanya diam, ia menutup mata membiarkan pria itu menjelajahi tubuhnya.
"Kau milikku, hanya milikku Lorna. Ingat itu kau milikku!"

"Rowan lepas!!!"wanita itu mendorongnya kuat, lalu menutupi tubuhnya kembali dengan
pakaian yang nyaris terlepas. Masih saja suara Alexander terbenam jauh di kepalanya,
membutakan tiap keinginan Lorna untuk mencari kepuasannya, namun itu sulit. Rasanya seperti
ada kekuatan besar yang mencoba membuat semuanya begitu sulit.

Rowan mengepal tangan, lalu memukul malas dimana wanita itu duduk. Ia marah dan begitu
kecewa.

"Fuck!"keluhnya dalam hati lalu segera memutar tubuhnya keluar.

"Rowan!"pekik Lorna mencoba mencarikan suasana. Namun sedikitpun pria itu tidak menoleh
dan segera memasuki mobilnya. Pergi ke club malam dan menyalurkan hasratnya di sana, ia
benar-benar terdesak Akibar Lorna. Frustasi dan begitu penasaran ingin mencicipi rasanya
bercinta dengan wanita itu. Wanita yang selalu bisa membakar gairahnya dalam sekejap, ia
bahkan sulit membedakan mana cinta ataupun hanya gairah semata.

Sementara Alexander mulai bergerak, ia keluar dari mansion nya menuju bandara. Michella
sudah mengantongi banyak info tentang Rowan, mereka hanya tinggal menemukan Lorna
dengan benar. Milla memilih ikut, ini permintaan wanita hamil! Ia juga sama, merindukan Lorna
dalam jutaan detik. Mereka partner hebat di masanya.

"Aku harap kau bisa memperbaiki semuanya Alexander,"ucap Milla sambil menatap pria itu
sejenak.

"Aku punya rencana,"balasnya sambil menelan saliva.

"Jangan terlalu yakin, ini sudah sangat lama. Banyak yang berubah dalam 3 tahun!"ingat Milla
membuat Billy menarik lengannya segera. Berharap wanita itu tidak terlalu jauh untuk ikut
campur dalam urusan Alexander.

Chapter 4 : Moren House

"Lorna!"panggil seseorang saat melihat wanita itu baru saja beranjak keluar rumah. Ia harus
bekerja lebih pagi hari ini, wanita itu menelan saliva dan menunduk tanpa ingin mengatakan
apapun.

"Aku minta maaf,"sambungnya lagi membuat mata hazel itu bergerak ke arahnya.

"Aku hanya frustasi saat kau menolak ku, lebih tepatnya kau seperti bukan milikku."
"Rowan aku benci kalimat itu, kau harus paham!"jawab Lorna cepat sambil mengeratkan
jemarinya pada tali tas yang melingkar di bahunya.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi pada masa lalu mu, tapi sungguh aku hampir gila karna
memikirkannya! Tapi di sisi lain aku juga sama.. Aku tidak ingin kau mengingat masa lalu mu,
aku ingin hidup bersama mu. Sungguh—"

"Rowan aku bukan seperti wanita yang kau harapkan, aku hancur! Aku pernah memberikan
segalanya pada satu orang pria, sekarang aku tidak ingin salah langkah! Aku benar-benar ingin
hidup dengan baik,"Lorna menatap tajam, memerhatikan pria tersebut mengeluh pelan lalu
mendekat pelan.

"Apa kau belum yakin padaku?"balasnya tanpa melepaskan pandangan sedikitpun dari wanita
itu.

"Aku sudah memberimu jawaban. Yes!! Kita akan menikah, apa itu kurang?"Lorna membasahi
bibirnya, memalingkan pandangan sejenak lalu kembali pada pria tersebut.

"Maaf!"suara Rowan begitu penuh penyesalan. Ia mengusap wajahnya, mengeluh lalu menelan
saliva.

"Kau bisa urus semuanya. Lebih cepat lebih baik kan?"tanya Lorna membuat pria itu tersenyum
dan mengangguk sekaligus ke arahnya.

"Sedikit membutuhkan waktu karna kau tidak punya berkas apapun. Aku belum punya
solusinya,"

"Ah ya aku lupa memberitahu mu, ternyata aku pernah melakukan scan dan menyimpan itu di
draft email. Aku sudah melakukan forward ke email mu, kau bisa gunakan itu!"

"Kenapa kau tidak mengatakan itu sejak dulu?"

"Kau tahu aku benar-benar anti terhadap sesuatu yang bisa membuatku terlihat online."jelas
Lorna mempertegas hal yang begitu ia hindari.

"Baiklah, aku akan mengurusnya dengan cepat!"Rowan mendekat, memeluk wanita itu begitu
erat. Merasakan begitu nyaman ia berada di sisi Lorna.

"Hm cepatlah! Aku harus pergi ke toko!"Lorna melepas pelukan itu, sedikit tersenyum tipis ke
arah kekasihnya tersebut.

"Aku akan mengantar mu!"

"Tidak perlu! Aku bisa sendiri,"potongnya cepat.


"Ayolah, kali ini saja!"pinta Rowan sedikit mendesak. Lorna akhirnya mengangguk lalu
merasakan pria tersebut meraih jemarinya dan bergerak bersamaan menuju ke mobil.

"Pasang seatbelt mu!"Rowan membantu Lorna memasang benda itu pada tubuhnya. Lalu
berjalan cepat menuju jalan raya.

"Rowannn!!"pekik Lorna terdengar mendadak, mereka nyaris menabrak sebuah mobil mewah.

"Apa yang mereka lakukan? Berjalan beriringan di tengah kota!"maki Rowan membiarkan
beberapa mobil mewah itu lewat lebih dulu. Ia tidak akan bisa menyalip di tengahnya.

"Tenanglah."tegur Lorna datar ikut memerhatikan jalan yang seakan di rajai oleh satu orang
tersebut. Ia menelan saliva mendadak merasakan jantungnya berdegup begitu cepat, sungguh ini
perasaan tidak biasa. Ia ketakutan setengah mati tanpa alasan, semua terlihat kacau.

Deg!!

Lorna meremas ujung pakaiannya, merasakan dirinya bergetar saat melihat supercars
Lamborghini Aventador berwarna Gold ada di antara puluhan mobil mewah itu.

"Ada apa?"tanyanya Rowan melirik tajam ke arah Lorna yang tampak begitu pucat.

"Tidak. Aku hanya sedikit tidak enak badan,"balasnya tetap fokus ke arah jalan hingga iringan
mobil itu berakhir.

"Kau harusnya istirahat. Tidak perlu bekerja!"

"Hm kau tahu, bukan tipe ku membolos pekerjaan, Mrs. Willand akan kesusahan,"Lorna
tersenyum kecil melirik ke arah Rowan yang hanya mengangguk khawatir.

"Ah ya! Nanti malam kau ada waktu?"tanya Rowan mulai mengemudikan mobilnya dengan
pelan. Menaiki jalan aspal dan bergerak ke arah tempat di mana Lorna bekerja.

"Kenapa?"

"Aku ingin mengajak mu ke pesta di Adolphus hotel!"Lorna menelan saliva, ia melirik ke arah
pria itu sejenak.

"Jam berapa kau akan menjemput ku?"tanya Lorna datar, ia hanya takut mengecewakan pria itu.

"Acaranya di mulai pukul 8 malam. Aku akan sampai ke rumah mu setengah jam
sebelumnya,"Lorna langsung mengangguk, mencoba melempar senyuman kecil yang ia punya
ke arah Rowan.
Sementara Alexander tampak sampai di sebuah hotel yang sama di mana malam ini akan di
adakan pesta. Ia mengedarkan pandangan menunggu waktu yang paling tepat untuk menemui
Lorna.

______________

Malam harinya di kota Danhag,

Alexander melangkah pasti, memasuki salah satu rumah yang memiliki tipe klasik.
Pandangannya beredar pada kegiatan muda-mudi yang begitu menikmati tiap kegiatan tanpa
perduli dengan kehadirannya. Mereka begitu di kenal dengan nama Redblood.

"Sir,"tegur seseorang yang sejak tadi berada di depannya. Ia bertugas menunjukkan ruang
markas pada Alexander. Ia ingin menemui sahabat lamanya itu, sekaligus memanfaatkan untuk
mengorek banyak informasi soal Rowan yang diam-diam bekerja sebagai salah satu anggota
Redblood.

Alexander kembali melangkah pelan memasuki lorong bawah tanah yang tersembunyi di rumah
tersebut.

"Alexander!"tegur Moren saat mata pria itu menangkap jelas sosok yang tengah berdiri di bibir
pintu bersama beberapa bodyguard nya.

Ia tersenyum tipis lalu melirik ke satu sosok yang memakai pakaian tentara dengan atasan kaos
dan di tutupi dengan jacket kulit. Pria tersebut mendadak memutar tubuhnya malas ke arah
Alexander, memilih keluar.

Seketika kedua mata tajam mereka bertemu sepersekian detik tanpa interaksi apapun. Saling
melewati dan kembali mengarahkan pandangannya ke satu tujuan.

"Tunangan nya di rampok. Ia datang untuk menanyakan itu,"tukas Moren mendekat ke arah
Alexander dan memberi tanda pada salah satu pesuruhnya untuk menyiapkan minuman.

"Perangkat negara?"tanya Alexander datar.

"Ya! Letjen,"melempar senyuman yang begitu bersahabat sambil mempersilahkan pria itu duduk
di tempatnya.

"Kau tampaknya ingin bersiap pergi ke satu tempat,"sindir Alexander sambil memerhatikan gaya
yang lebih rapi dari biasanya.

"Ah ya! Aku rasa kita bisa pergi bersama-sama. Aku menggelar pesta di Ballroom Adolphus
hotel pukul 8 malam ini!"jawabnya sambil merentangkan satu tangan ke arah minuman,
mempersilahkan pria di depannya itu mencicip rasa Alkohol terbaik nya.

"Ini undangan resmi?"tanya Alexander tersenyum miring.


"Tentu saja! Kau harus datang. Lagipula baru kali ini kau menginjakkan kaki di Haggen! Kita
hanya berinteraksi lewat telpon setelah sekian lama,"balas Moren begitu ekspresif.

"Sepertinya tidak ada alasan ku menolak,"

"Tentu! Aku akan mengetuk kamar hotel mu jika kau tidak hadir di sana!"sindir Moren membuat
Alexander melebarkan bibirnya sejenak.

"Jadi mana senjataku?"potong Alexander mencoba menanyakan kepentingannya.

"Sebentar aku ingin tahu! Kenapa kau akhirnya ke sini? Biasanya kau hanya ingin aku yang
mengirimnya langsung!"

"Aku punya tujuan untuk menemui seseorang!"

"Seseorang?"selidik pria bersahaja itu masih mengulum senyumannya.

"Rowan Emanuel Ryvero. Kau kenal?"tanya Alexander membuat Moren diam sejenak. Ia
menyipitkan mata mencoba mencari tahu lewat wajah pria tersebut.

"Dia .. diam-diam bekerja untukku. Salah satu kaki tangan Redblood. Apa yang ingin kau
ketahui?"balas Moren cukup lambat sepersekian detik kemudian.

"Hanya ingin memastikan ia datang ke pesta bersama wanita yang berada di sampingnya itu!"

"Itu mudah asal kau membeli senjataku dengan harga dua kali lipat!"Alexander menaikkan
pandangannya lebih tajam lalu melebarkan senyuman smirk nya.

"Aku ku bayar sekarang!,"balasnya saling menatap penuh kemenangan. Ia maju satu langkah
dari Rowan. Mendekati pria itu dengan caranya, mencoba meraih kembali miliknya yang sudah
lama menghilang, memaksa begitu kuat agar ia tetap di dalam kuasa dengan cara-cara liciknya.

"Kita akan bertemu dengan cara yang romantis Lorna, di ranjang ku!"batin Alexander masih
melirik begitu tajam ke arah Moran.

Chapter 5 : Ballroom Party

Lorna menahan napasnya, menatap pantulan wajah di cermin besar yang tampak retak di
depannya. Ia menggigit bibir begitu kuat, menahan air matanya jatuh.

"Ini sudah sangat lama,"bisik nya sedikit tertahan, entah berapa lama ia tidak mengenakan riasan
wajah, memakai gaun panjang ataupun heels yang bisa membuatnya begitu cantik. Ia
meninggalkannya begitu saja. Semuanya. Seluruh hidup yang ia punya.
Lorna berkedip sekali tanpa sadar membuat air matanya langsung jatuh, menguasai pipi yang
begitu kecil. Ia bahkan tidak bisa makan dengan layak. Sungguh Lorna tidak ingin bergantung
pada Rowan walaupun pria itu menjanjikan sejuta impian.

"Aku tidak ingin mengingat apapun yang ada di masa lalu!"sambungnya sedikit terisak mencoba
menahan diri semakin kuat menggigit bibirnya yang merah.

Wanita itu menutup mulutnya, menahan tangisan yang bisa saja pecah begitu saja. Tidak! Ia
tidak ingin sesakit ini sekarang.

"Lorna!"panggil seseorang di luar rumah membuatnya langsung menoleh. Menepuk matanya


yang berair dan kembali menempelkan bedak agar tidak merusak riasannya.

"Yah! Sebentar,"teriak Lorna meraih parfum yang ada di sudut nakas dan menyemprotkan di
beberapa bagian kulitnya yang terekspose, lalu segera bergerak. Keluar dari kamar menuju pada
kekasihnya itu segera.

"Kau sangat cantik,"Rowan menelan saliva memerhatikan Lorna yang mengenakan Dress
Casual Chic hitam dengan V-neck velvet. Harness dress.

"Jangan berlebihan, aku sudah biasa mengenakan pakaian seperti ini dulu!"tukasnya tersenyum
manis.

"Beruntung seseorang yang bisa melihatmu berpakaian seperti ini. Sungguh kau sangat luar
biasa,"balas Rowan kembali memusatkan pandangan ke tubuh wanita itu. Lorna hanya
tersenyum miring, Ah ia benar-benar merindukan hal ini. Menampilkan bagian tubuhnya pada
publik dengan punggung terbuka. Terlihat sexy.

"Ayo,"Rowan meraihnya, membantu wanita itu melangkah menuju mobil. Mereka harus segera
sampai ke lokasi pesta.

_____________

"Kemari lah,"Lorna mencoba membenarkan suit yang di pakai Rowan sebelum mereka masuk ke
dalam lokasi pesta. Ia mencoba bersikap perhatian, lagipula pria itu akan menjadi suaminya
sebentar lagi, itu sama sekali tidak salah.

Rowan tersenyum, membiarkan jemari wanita itu begitu lentik di tubuhnya. Sejenak ia
mengedarkan pandangan saat mendengar suara sebuah supercars memasuki lokasi yang sama.
"Aku pikir pemilik nya akan menghadiri pesta,"tukas Rowan membuat Lorna ikut melirik.
Melepas tangannya dari tubuh pria itu. Ia merasa kembali berdebar tidak tentu arah layaknya
tinggal di sebuah ruang gelap yang begitu kosong dan mengguncang tubuhnya.

"Kira-kira siapa pemilik mobil itu? Aku penasaran!"gumam Lorna membuat Rowan
mengalihkan pandangan ke arahnya begitu tajam.

"Aku rasa ia salah satu kerabat Moren. Lihat saja! Mereka datang bersamaan,"balas Rowan datar
menunggu sosok yang ada di Lamborghini Gold itu keluar.

"Ya sudah ayo kita masuk!"ajak Lorna memutar cepat tubuhnya dan melangkah lebih dulu.

Tap!

Rowan terdiam sejenak masih memerhatikan seseorang yang bergerak keluar dari Lamborghini
tersebut. Ia menghela napas ketika pria itu menatapnya dari kejauhan, melempar senyuman tipis
seakan penuh ancaman.

"Rowan, ayo!"pekik Lorna di bibir pintu membuat pria tersebut menoleh ke arahnya. Ia
mengangguk lalu mengembalikan pandangan dan tidak menemukan sosok asing itu lagi.
Tertutup oleh kerumunan orang-orang yang tampak begitu antusias dengan pesta yang di
suguhkan Moren.

"Ada apa?"tanya Lorna ikut mengedarkan pandangan di seluruh tempat.

"Tidak. Aku hanya ingin melihat-lihat!"jawabnya datar lalu meraih jemari wanita tersebut dah
segera melangkah masuk ke ballroom.

"Lorna kau minum?"tanya Rowan saat melihat wanita itu meraih gelas yang di sodorkan
langsung oleh pelayan untuknya. Ia mengangguk lalu dengan mudah menenggak habis dalam
hitungan detik.

"Sepertinya aku tidak tahu apapun tentang mu!"sindir Rowan menarik salah satu kursi,
mempersilahkan wanita itu duduk lebih dulu.

"Nanti kau akan tahu, jika kita sudah menikah!"Rowan terdiam. Ia membuang napas begitu kasar
menatap wanita tersebut begitu jelas hingga tiba-tiba lampu ruangan yang padat manusia itu di
matikan. Menyisakan lampu temaram berwarna biru, seakan sengaja membatasi tiap pandangan
seseorang.

Empat puluh detik kemudian, sorot mata semua orang tampak bertumpu pada sosok yang
menaiki panggung. Tepuk tangan terdengar riuh, di ikuti langkah kaki yang tidak mengusik
siapapun yang ada di dalam ruangan.

Tap!!
Alexander mengedarkan pandangan, berhasil menangkap seseorang yang begitu ia kenal. Ingin
rasanya ia langsung meraih wanita itu, namun untuk sekarang ia tidak ingin gegabah dan
menghancurkan pesta milik Moren. Ia harus menghargai pria tersebut setidaknya.

Ia melirik ke arah Michella dan Billy yang meninggalkan Milla di kamarnya. Wanita malas itu
enggan menghadiri pesta dengan kondisi perut yang semakin membesar. Apalagi bayinya begitu
aktif, kerap menendang seakan ingin memberitahu kehadirannya yang begitu di nantikan.

Lorna mengusap lengannya, merasakan hawa dingin sekaligus mencium aroma wangi parfum
terkenal DKNY Golden Delicious Million Dollar Fragrance Bottle. Hasil kolaborasi desainer
terkenal DKNY dengan Martin Katz, perancang perhiasan populer. Lorna kenal wangi ini, jelas
masih melekat di hidungnya.
Ia memundurkan kursinya, mencoba mengingat aroma khas yang begitu dekat. Tepat di
belakangnya, perlahan ia menunduk mencoba untuk mencari tahu pemilik parfum itu. Sungguh
ia bisa mati penasaran jika duduk berdiam diri di tempatnya.

"Kenapa?"tegur Rowan meraih jemarinya. Menahan tubuh wanita itu hingga sulit bergerak
bebas.

"Tidak. Aku bosan!"sanggahnya asal melirik ke arah Moren yang tengah berdiri di panggung.
Bicara formal pada seluruh tamu yang ia punya.

"Sebentar lagi, hiburan akan di mulai. Sabarlah!"balas Rowan mengusap-usap jemari wanita itu.

Sementara Alexander masih berusaha menahan diri. Menatap tegas ke arah keduanya. Sial! Ia
benar-benar frustasi, ingin mati akibat menahan kecemburuan yang begitu luas di hatinya.

"Sebentar lagi, milikku akan kembali pada tempatnya. Aku harus mengembalikan posisinya!
Bersamaku,"batin Alexander menaikkan pandangan ke arah Moren yang tampak berhenti
sejenak saat menyambut kata sambutannya.

"Ah ya! Aku juga ingin berterimakasih pada sahabat lama ku yang ikut hadir di acara kecil ini.
Aku ingin memberikan sambutan hangat untuknya! Thanks Alexander Dalle Morgan!"Moren
bicara tegas menunjuk ke arah pria yang ia sebutkan itu dengan jelas.

Seketika mata Lorna membulat, ia menelan saliva bersama suara tepuk tangan yang berputar di
tengah keramaian. Ia melepas pegangan Rowan yang ada di tangannya, segera memutar tubuh ke
belakang mengikuti arah Moren yang membimbingnya dari kejauhan.

Tap!!

Seketika mata hazel itu bertemu dengan seseorang yang sangat ia kenal, berdiri tegap dengan
senyuman iblis nya. Sial! jantung Lorna ingin meledak saat tatapan pria itu akhirnya
menangkapnya, memasukkan ke dalam penjara yang sangat ia takuti.
"A-alexander,"bisik nya begitu pelan dengan wajah pucat. Ia memegang kepala, merasa pusing
seketika dan mual dalam hitungan detik. Sesuatu seakan sedang bekerja di tubuhnya, membuat
perut nya berputar hingga mengeluarkan keringat di tubuh yang terasa bergetar hebat itu.

Chapter 6 : Faster

"Lorna kau mau kemana?"tanya Rowan mendadak menatap wanita tersebut tampak memasang
wajah pucat.

"Aku harus pulang. Kau bisa tetap di sini dan jauhi aku sementara waktu!"bisik Lorna mencoba
menahan pria itu mendekat.

"Lorn-"pria itu mendadak berhenti di tempatnya, saat dua orang pria dengan tubuh besar
menghadang nya.

"Tuan Moren meminta anda untuk tunggu sebentar!"ucapnya datar sambil melirik ke arah Lorna
yang kini menghilang dari pandangannya. Ia tidak berkutik, melirik ke arah Alexander yang baru
saja bergerak dari tempatnya. Melangkah pelan mengikuti langkah Lorna.

"Nona Lorna! Aku harap kau bisa ikut dengan ku,"ucap Michella membuat wanita itu berhenti
sejenak di tempatnya.
Menatap tajam ke arah wanita tersebut.

"Siapa kau?"tanya Lorna menatapnya dengan pandangan kabur. Ia mengepal tangan merasakan
kepalanya seakan berputar.

"Nona ini tidak baik untuk mu, tenanglah dan ikutlah dengan ku. Obat itu bereaksi
cepat!"sambungnya lagi membuat Lorna semakin mengerutkan kening. Ia mengepal tangannya
mengingat saat seorang pelayan menyodorkan minuman untuknya, menyambut dengan ramah
seakan memastikan ia harus meminum itu hingga habis.

Lorna mengalihkan pandangan lalu mendadak menendang Michella dengan cepat. Wanita itu
menangkisnya dengan dua tangan hingga tubuhnya tampak seimbang. Sepersekian detik
kemudian Lorna kembali mengarahkan tendangannya membuat Michella langsung menunduk
dan menangkap kaki wanita tersebut hingga Lorna terjatuh ke lantai.

"Nona. Please!"rayu nya pelan menahan tubuh wanita itu agar tidak bergerak.

Brakk!!

Lorna mengantuk kan kepalanya di wajah Michella dan langsung merangkak maju, ia
meloloskan diri di saat wanita itu fokus pada rasa sakitnya. Melepas heels miliknya dan segera
berlari menuju pemberhentian taksi hotel.
Michella kembali menangkapnya, menarik lengan wanita itu kuat dan mengunci tubuh Lorna. Ia
tidak ingin kalah, wanita tersebut menekan sikutnya ke belakang mendorong paksa tubuh
Michella mundur.

"Okay baik lah,"Michella kali ini lebih gesit. Sungguh ia banyak menahan diri, bukan berarti
kalah terhadap serangan Lorna. Ia jauh lebih terlatih, sejak kecil wanita itu di didik keras berbeda
dengan Lorna yang hanya memahami dasar Pankration.

"Lepaaass!"Michella meraih lengan Lorna menahannya dan langsung memukul tepat punggung
wanita itu.

Brakk!!

Lorna pingsan! Langsung terjatuh di lantai tanpa aba-aba. Michella memegang sudut bibirnya
yang terluka, merasa asin dan perih sekaligus.

"Apa yang kau lakukan dengan Lorna?"tanya Billy datang dengan cepat ke arah wanita tersebut.

"Aku harus melakukannya. Nona Lorna berontak, aku tidak bisa membiarkannya di luar! Nona
Lorna dalam pengaruh obat!"tukas Michella meraih tubuh Lorna dan berusaha mengangkatnya.

"Obat?"

"Tuan Alexander hanya ingin nona Lorna berada di kamarnya dengan baik. Ia ingin bicara. Tapi
istri mu malah memberinya perangsang! Obat itu bereaksi dalam 2 jam!"

"Apa? Milla? Bagaimana bisa?"

"Sudahlah, jangan banyak bicara! Bantu aku membawa nona Lorna ke kamar tuan Alexander. Ini
berat!"Michella mengeluh kasar, mencoba bersikap hati-hati pada tubuh Lorna yang sangat
lemah.

"Apa tuan Alexander tahu ini?"tanya Billy sambil membantu wanita itu memegang bagian kaki
Lorna, membawanya masuk ke dalam hotel kembali lewat pintu belakang.

"Tidak! Nona Milla memberitahu ku ini setelah ingat bahwa ia salah memberikan pil,"Michella
menelan ludah, menaiki lift VVIP hotel menuju kamar Alexander.

"Milla,"keluh Billy sambil mengeluh cukup kasar. Mencoba bersikap tenang hingga mereka
sampai di depan kamar Alexander yang tampak masih berinteraksi bersama Moren.

"Aku keluar dulu,"Billy segera memutar tubuhnya setelah memastikan Lorna berbaring di
ranjang. Michella tersenyum tipis, menyelimuti wanita itu dengan kain tebal. Melindungi nya
dari suhu ruangan yang dingin.
"Ternyata dia lebih cantik dari patung lilin yang di buat tuan Alexander, bahkan lebih dari
Joana."batin Michella sambil mengulum bibirnya dan mengeluh kasar.

"Kenapa wajah mu?"tegur Alexander memerhatikan dengan pandangan tegas.

"Nona Lorna menyerang ku!"balas nya membuat Alexander langsung menaikkan satu alisnya.

"Lorna menyerang mu? Michella kau-"

"Dia tampak terlatih. Setidaknya nona Lorna paham dasar untuk melindungi dirinya!"potong
Michella sambil menggaruk kepalanya pelan. Memijatnya sedikit.

"Jadi wanita ku kini lebih tangguh?"tanya Alexander sambil melebarkan senyuman pertamanya
pada Michella setelah bekerja selama dua tahun. Ia menelan saliva merasa kagum pada kehadiran
Lorna yang berhasil membuat pria itu menunjukkan sisi lainnya.

"Aku rasa begitu. Rowan pernah menjadi pelatih Pankration, mungkin nona Lorna mempelajari
sedikit darinya,"Jelas Michella sambung membuang napasnya kasar.

"Hm! Kalau begitu aku keluar dulu sir,"wanita itu segera memutar tubuhnya. Lupa memberitahu
soal pil perangsang yang di berikan Milla pada pria tersebut. Menutup pintu yang otomatis
langsung terkunci itu.

Alexander diam, menatap dalam Lorna yang kini berbaring di ranjangnya. Sungguh ia
merindukan wanita itu setengah mati. Alexander menelan Saliva sejenak melangkah ke sudut
ruangan, melepas suit hitam yang terpasang di tubuhnya. Ia menunggu wanita itu bangun, ingin
bicara atas kesalahan yang terjadi di masa lalunya. Meminta wanita itu kembali dalam
pelukannya sekarang juga.

Setengah jam kemudian, Lorna membalikkan tubuhnya. Merasa begitu resah dalam tidurnya
yang belum puas akibat Michella tadi. Ia berkeringat menahan diri sambil meremas-remas sudut
seprai di mana ia menyinggahi tubuhnya.

"Lorna!"panggil Alexander pelan. Menyentuh wajah wanita tersebut begitu lembut hingga ia
langsung membuka mata cukup kecil.

Lorna menepis tangan pria itu, memiringkan tubuhnya merasa begitu lemah namun tidak bisa
larut dalam rasa ngantuk nya yang berlebihan.

"Ahh.. Apa yang terjadi,"gumam Lorna meremas sudut seprai, ia merapatkan kedua kakinya
mencoba menahan diri. Pil itu keras, Lorna butuh waktu bertahan dalam kondisi itu.

"Lorna aku perlu bicara dengan mu!"

"Aku tidak mau! Kauu ahh-"wanita itu mendesah, merasa begitu butuh dalam waktu yang sangat
singkat.
"Lorna-"Alexander terhenti mendengar ponselnya bergetar cukup dekat dari posisinya. Ia
meraihnya memerhatikan pesan yang baru saja masuk.

"Ahhh! Lorna meremas pakaiannya sendiri. Menahan rasa ingin yang semakin meningkat di tiap
detiknya.
Alexander tersenyum tipis, mengaitkan pesan yang masuk dari Milla sambil memerhatikan
kondisi Lorna saat ini.

Pria itu merentangkan tubuh Lorna menahan kedua tangannya di ranjang begitu sejajar. Menatap
tajam mata hazel yang ia rindukan setengah mati.

"Alexander .. Lepas .."Lorna mencoba menolak, merasa begitu munafik jika ia mengatakan
tidak. Matanya tampak sayu membalas tatapan tajam pria tersebut.

"Aku akan membantu mu,"Alexander menyeringai tajam. Ia melekatkan bibir, merasakan


dinginnya dan melahap lembut milik nya itu lagi.

Sepersekian detik Lorna memegang lengannya, membalas ciuman Alexander dengan napas
memburu. Ia butuh pelepasan! Tidak boleh tidak!. Lidah mereka berkait, Lorna bahkan
mengangkat kepalanya mencoba merasakan bibir pria itu lebih dekat tanpa jarak.

Ia menurunkan kepala mendongak ke atas merasakan pria itu menurunkan ciuman basahnya ke
leher. Lorna menelan saliva menerima serangan yang berada di tubuhnya saat ini. Otak dan
kemauannya tidak sinkron sama sekali, ia tidak perduli sekarang. Alexander menelanjanginya
lebih cepat, menyatukan kulit mereka yang berhasil membuat Lorna semakin panas.

Lorna menggigit bibir, merasakan pria itu mencubit intinya dengan lidah yang terasa begitu
lincah di dalamnya. Ia meremas dadanya sendiri, mencoba menggoda pria itu untuk segera
melakukan apa yang sangat ia butuhkan sekarang.

Alexander merasakan wanita itu meremas rambut panjang nya, mendesah berat dan melebarkan
kedua paha begitu pasrah.

"You' re beautiful, Hot!"bisik Alexander menatap wanita itu meliuk di ranjang nya. Ia sampai
menggigit lidahnya kuat memerhatikan wanita itu.

"Masuki aku, please!"mintanya begitu menderita di tengah gairah.

"Lorna kau-"

"Please. Faster!"pinta Lorna menghilangkan seluruh logikanya saat ini. Alexander tersenyum
tipis, ia menahan napas sejenak berdiri dari tempatnya.

Lorna memandangi nya tipis, membuka bangga miliknya yang tidak pernah terjamah oleh pria
lain. Ia hanya memainkan jarinya di sana untuk mendapatkan kepuasan.
Alexander menelan Saliva, mendadak begitu ingin mencicipi wanita itu. Sungguh sedikitpun ia
tidak bisa menolak. Pria itu melepas bawahannya, membiarkan dirinya naked dan mendekati
Lorna yang siap menyambutnya.

"Cepatlah,"pintanya lagi saat Alexander belum juga memasukinya. Ia malah menciumnya begitu
dalam, lembut dan penuh perhatian.

"You are fucking awesome,"ucap Alexander tiba-tiba menarik lebih dekat tubuh Lorna membuka
lebih lebar kedua paha itu. Menuntun miliknya masuk.

"Ahhhh"mereka mengerang bersama, merasakan benda padat itu mulai menyerang. Masuk dan
menekan ruang sempit milik wanita itu.

"Sial. Kau yang menggoda ku Lorna!"bisik pria itu menggerakkan miliknya kasar.
Menumpahkan seluruh kerinduannya ke dasar. Ia menggigit kuat lutut wanita itu, menciptakan
sensasi yang begitu panas hingga jeritan kuat terlahir dari bibir Lorna.

"Alexander, It's so deep .. Ahhh.."Lorna mengerang bebas membiarkan pria itu menyentuh nya
sangat dalam. Memuaskan hasrat yang sudah begitu lama ia tampung. Mereka mengerang hebat,
bersamaan memenuhi ruangan kamar besar itu tanpa ikatan apapun hingga beberapa jam
kedepannya. Melakukan berkali-kali hanya untuk saling memuaskan, saling mendapatkan tanpa
bicara bagaimana perasaan mereka selama tiga tahun ini.

Alexander benar-benar menguasai wanita itu, menumpahkan seluruh gairahnya tanpa keluar
setetes pun sejak awal. Wanita itu menerimanya, membiarkan ia jatuh sangat dalam hingga ia
merasa sangat puas oleh sentuhan pria tersebut. Ia bahkan tidak perduli entah berapa ratus kali
Rowan menelponnya, membiarkan benda itu tetap berdering di dalam tasnya.

Chapter 7 : Bastard

"Alexander, aku memberi Lorna perangsang. Bantu dia! Obat itu keras, ia tidak akan puas
hanya dalam sekali melakukan,"

Bunyi pesan dari Milla terngiang di pikiran pria tersebut. Ia rasa Milla melakukan itu sengaja,
wanita itu banyak mengalami perubahan di masa kehamilannya. Billy bahkan sering di buat
frustasi akibat tingkahnya, Milla dokter berbakat. Ia tidak mungkin salah.

Saat ini Alexander menatap Lorna dengan sangat tajam. Ia memegang pinggul wanita itu, masih
bergerak di atasnya dengan pelan. Lorna mulai letih dan bermandikan keringat. Rambutnya
tampak menyatu, basah.

"Ahh kemari lah, kita selesaikan!"Alexander memutar tubuh wanita itu. Menguasainya kembali
dan menyatukan kening mereka sejenak agar bisa menatapnya lebih dekat.
"Ahhhhh Alexander, aku letih. Aku tidak kuat lagi!"Lorna mengeluh namun masih merasakan
hujaman pria itu sangat nikmat di dalam tubuhnya.

"Akan ku selesaikan. Sebentar!"balas nya membuat Lorna menukik kan kedua kakinya di
pinggul pria itu sangat rapat. Ia menggigit bibir begitu kuat, tetap membalas pandangan pria itu
sangat tajam.

Akhirnya Alexander semakin mempercepat gerakan membuat tubuh wanita itu menegang.

"Uuuhhh!!! Cepat selesaikan. Aku mau pingsan,"Lorna melemas. Ia meremas dada nya sendiri
sangat kuat.

"Ahhh! Shit! Aku benar-benar merindukan milik mu Lorna, kau terbaik!"Puji nya begitu sarkas.
Ia menaikkan tubuhnya memegang pinggul wanita itu. Bergerak semakin cepat dalam seketika.
Ia mengerang kencang, mendapatkan pelepasannya untuk kesekian kali di dalam tubuh Lorna
yang sedang berguncang hebat itu.

Lorna memegang kepalanya yang terasa pusing, ia ngantuk lalu mendengar kembali ponselnya
berdering. Namun sungguh tidak ada sedikitpun niat untuknya meraih benda itu. Lorna bahkan
sulit untuk memindahkan tubuhnya. Lemas.

Alexander berbaring di sampingnya. Mengadu cepat napas mereka berkali-kali sambil menatap
langit kamar dan menelan puluhan kali saliva nya. Lorna tertidur, tidak kuat lagi untuk berjaga
akibat serangan yang seakan tidak ingin berhenti itu.

Brakkkk!!!

Rowan membanting ponselnya ke sembarang tempat. Ia meremas rambutnya kuat dan


mengedarkan pandangan di depan rumah Lorna. Ia khawatir, bercampur marah karna wanita itu
tidak juga muncul tanpa kabar.

"Ini sudah pukul 4 subuh. Kemana dia?"pikir Rowan sambil mengeluh kasar dan mengacak
pinggangnya. Masih ingin menunggu lebih lama di sana.

"Sebaiknya aku pulang dulu. Nanti aku akan menyusul Lorna ke tempat kerja,"Rowan menatap
rumah Lorna lagi. Ia menahan napas dan membuangnya kasar lalu melangkah cepat
meninggalkan tempat tersebut.

________________

Lorna mulai membuka mata, mengedarkan pandangan di tiap tempat. Tubuhnya serasa remuk.
Tapi ia sudah sangat terbiasa bangun pagi untuk pergi ke toko. Mrs. Willand akan kesusahan jika
ia tidak ke bekerja, tokonya sekarang ramai karna kedatangan Miya di sana kemarin.

Lorna memegang kepalanya sejenak, berpikir sesaat apa yang sudah ia lewati semalaman.
"Aku benar-benar gila. Bodoh!"batin nya sambil membuang napas kasar. Memerhatikan
pakaiannya berserakan di lantai.

"Kau mau ke mana?"tegur Alexander saat wanita itu mulai memasang underwear nya.

"Bukan urusan mu!"jawabnya ketus melengkapi tubuhnya dengan pakaian. Ia hampir terjatuh
namun tetap memaksakan diri untuk bergerak. Sementara Alexander memilih duduk di sudut
sofa, ia baru saja keluar dari kamar mandi dan merapikan dirinya.

"Kau luar biasa,"puji Alexander memerhatikan wanita itu.

"Diam! Kau menjebak ku!"

"Apa? Menjebak mu? Kau meminta ku, memanggil namaku ribuan kali, mengerang hebat dan
sekarang kau bilang aku menjebak mu?"

"Kau licik!"

"Lorna aku perlu bicara dengan mu,"

"Aku tidak ingin dengar apapun Alexander! Kau hanya masa lalu ku dan kita sudah berpisah
sangat lama. Aku dan kau sudah berakhir!"

Alexander terdiam, ia memerhatikan wanita itu sambil mengepal tangan cukup kuat. Mencoba
mendekat.

"Aku masih mencintai mu Lorna!"

"Cinta? Kau mengurung ku, menjauhkan ku dari semua orang, membuat ku hancur dan hanya
berada di bawah kuasa mu, mengikuti kemanapun aku pergi dan kau— berubah menjadi seorang
pembunuh Alexander! Sekarang kau mengatakan itu cinta?"

"Lorna aku—"

"Kau tidak perlu menjelaskan nya Alexander. Aku sudah menebak jawaban nya! Hubungan kita
tidak akan pernah bisa di perbaiki!"Lorna menahan napas lalu meraih tas yang ada di lantai
kamar itu dan beranjak ke arah bibir pintu. Meninggalkan Alexander yang tengah mengepal
tangan sangat kuat.

Lorna membuka pintu memerhatikan beberapa orang berdiri di depan sana, mencoba
menghadangnya.

"Michella!"ucap Alexander membuat wanita itu melirik ke arahnya lalu mundur dan memberi
jalan pada Lorna.

"Sir,"
"Biarkan!"potong Alexander cepat lalu menghela napasnya dalam. Melangkah ke arah balkon
kamar hotel memerhatikan Lorna dari sana.

"Dia perlu waktu,"batin Alexander mengedarkan pandangan dengan sangat tepat saat menangkap
Lorna yang bergerak menjauh dari tempatnya.

_________________

Tiga jam berlalu..

Lorna baru tiba di lokasi kerjanya, ia mengedarkan pandangan menatap toko yang tidak terlalu
ramai.

"Mrs. Willand maaf aku terlambat,"ucap Lorna dengan keadaan yang sudah bersih tentunya. Ia
tidak mungkin datang dengan keadaan kacau dan gaun pesta bodoh itu.

"Tidak masalah, kerabat mu sudah banyak membantu. Lagipula seseorang sudah memborong
barang di toko, stock sangat menipis, aku hanya menjual sisanya"terang Mrs. Willand membuat
Lorna mengerutkan kening.

"Kerabat? Siapa yang memborong barang pecah belah segitu banyaknya?"tanya Lorna
penasaran.

"Aku tidak—"

"Lorna,"potong seseorang membuat keduanya langsung menoleh ke arah sumber suara.

"Rowan aku sedang bekerja,"tukas wanita tersebut tampak canggung pada Mrs. Willand.

"Tidak masalah. Kau libur saja hari ini, aku akan tetep memberikan mu upah,"

"Mrs. Willand aku—"

"Selesaikan dulu masalah mu, dia sudah berkali-kali datang ke sini,"potong wanita paruh baya
itu lagi lalu segera memutar tubuhnya dan menjauh.

"Kau dari mana saja?"tanya Rowan memasang wajah datar. Tampak kecewa.
Lorna menelan saliva, mencoba mencari alasan tepat.

"Aku menginap di tempat seseorang,"

"Siapa?"Rowan menyelidik tampak tidak yakin dengan wanita tersebut.

"Hm ~ aku menginap di rumah Kristina,"jawab Lorna terbata saat melihat salah satu rekan
kerjanya.
"Jangan berbohong. Aku sudah mengeceknya!"tuding Rowan membuat wanita itu langsung
memalingkan pandangan.

"Rowan aku—"

"Lorna Chameron Dulce,"seseorang mendekat, tampak angkuh sambil melepas kacamata


hitamnya. Menatap tajam ke arah Lorna yang langsung terdiam seperti tersetrum.

"Alexander,"tukasnya datar membuat mata Rowan langsung menangkap sangat tajam.


Menyelidik lebih dalam.

"Kau bekerja di sini? Kebetulan aku baru saja memborong isi toko mu,"

"Untuk apa kau membeli piring brengsek?"batin Lorna sambil mengepal tangannya. Ia
merasakan jantung nya seakan meledak-ledak cepat sekarang.

"Kalian saling kenal?"tanya Rowan mengedarkan pandangannya. Ia ingat Alexander adalah


seseorang yang di sebut Moren semalam di acara pesta.

"Aku Alexander Dalle Morgan. Pemilik Exton Mobile, pengusaha online supercars terbesar di
Amerika, pengembang Real estate dan Real properti termuda di dunia, ah sebentar aku lupa apa
saja usahaku .. yang jelas aku adalah —"

"Mantan! Dia hanya mantan kekasih ku!"potong Lorna sangat cepat sambil menatap tajam ke
arah Alexander yang kini menaikkan satu alisnya.

"Mantan?"tukas Rowan memerhatikan wajah Alexander penuh perhatian. Ia mengingat Lorna


pernah menyebut jelas nama pria tersebut saat ia bangun dari tidurnya.

"Itu tidak penting, Alexander aku akan segera menikah dengan nya!"Lorna mendekati Rowan
membuat pria itu sedikit tersenyum tipis. Merasa menang atas pilihan Lorna.

"Wowww!! Menikah? Kalian berdua?"tanya Alexander melipat kedua tangannya sambil


mengedarkan pandangan.

"Yah!"celetuk Lorna tegas.

"Berarti aku semalam bercinta dengan calon istri mu, hmm aku sedikit terkejut!"

Deg!!

Lorna langsung menelan saliva, melirik ke arah Rowan yang mengernyitkan kening ke arahnya.

"Apa maksud mu?"Rowan mengepal tangan, mencoba mengorek informasi yang ia butuhkan.

"Alexander itu hanya kesalahan. Kau menjebak ku!"


"Jadi kau semalam menginap di tempat nya?"potong Rowan sangat peka.

"Ya, garis bawahi. Dia meminta ku untuk melakukannya berkali-kali,"Alexander tersenyum


tipis. Menaikkan alisnya semakin tinggi, mengedarkan pandangan pada keduanya yang tampak
canggung.

"Rowan!"teriak Lorna saat melihat pria tersebut memutar tubuhnya ke arah lain. Mencoba
menghindar.

"Brengsek!!!"maki Lorna memukul dada Alexander dengan sangat kuat hingga ia sedikit mundur
ke belakang. Lorna ikut melangkah, memutar tubuh untuk mencapai langkah Rowan dengan
cepat.

Chapter 8 : Fight

Lorna mengacak rambut basah nya, membiarkan tergerai begitu saja lalu meraih ponsel yang ada
di atas nakas. Rowan tidak menghubunginya sama sekali sejak tadi pagi, hubungan mereka
kacau.

"Ah .. sebaiknya aku memberinya waktu,"gumam Lorna menaruh ponselnya kembali lalu
memutar tubuhnya menuju dapur. Membuat coffee dan menemaninya untuk berjaga.

Lorna menyeruput bibir Mug nya pelan, merasakan panas dan menelannya sangat hati-hati.
Rasanya itu bagaikan obat untuk menghilangkan rasa penatnya, ia meletakkan kembali Mug nya
di atas meja setelah beberapa kali teguk lalu melangkah pelan menuju kamar.

Namun langkah kakinya mendadak mundur melihat tamu tidak di undang tampak mengedarkan
pandangan di tiap ruang kamarnya.

"Alexander, kenapa kau—"

"Ini buruk! Aku tidak tahu bagaimana bisa kau tinggal di sini,"cela Alexander datar sambil
mengeluh kasar.

"Kalau begitu keluar!"balas Lorna menatap penuh emosional.

"Tidak sopan! Kau mengusir tamu,"pria tersebut mengeluh sengaja. Menaikkan pandangan ke
arah Lorna dan tersenyum miring.

"Kau bukan tamu ku, cepat keluar!"teriak Lorna lebih lantang dari sebelumnya hingga pria itu
melangkah mendekat ke arahnya. Menyisakan jarak sekitar satu inci hingga ia bisa begitu dekat
menatap wanita itu sekarang.
Alexander mengangkat tangannya, mencoba menyentuh sudut bibir wanita tersebut. Namun
Lorna segera menangkap pangkal lengan pria tersebut, mengunci kuat dan menariknya ke bawah
lalu menjatuhkan ke lantai sangat cepat.

Brakk!! Alexander mengerang sedikit merasakan perlakuan kasar Lorna yang baru saja ia dapati.

"Woww! Kau banyak berubah!"tukas Alexander menahan napas kembali bangkit dari tempatnya
menatap Lorna tajam.

"Diam!"perintah Lorna sambil mengepal tangannya, siap untuk kembali menyerang. Alexander
tersenyum tipis lalu mendadak mendekat dan memutar tubuh wanita tersebut. Memeluknya erat
seakan menguncinya.

"Alex lepas!"pintanya mencoba lolos dari pelukan erat itu.

"Lepaskan sendiri kalau kau bisa!"tantangnya begitu sarkas sambil memegang sudut pinggul
Lorna.

Wanita itu berang lalu mendadak mengait salah satu kaki Alexander dan memajukannya ke
depan sangat cepat. Cengkeraman pria itu melemah membuat Lorna langsung menarik salah satu
tangannya, mengangkat tinggi lalu menyikut leher Alexander dengan sikutnya hingga pria
tersebut langsung mundur.

Tidak sampai di situ Alexander kembali mendekat mencoba meraih tubuh kecil wanita tersebut.
Lorna menghindar cepat, menurunkan tubuhnya lalu menjejali kaki pria tersebut hingga jatuh
kembali ke lantai.

"Arrghhh!! Fuck!"makinya sambil membalikkan tubuh ke arah Lorna. Menatap dari tempatnya
terbaring menetralkan napasnya sejenak.

"Aku akan membuat mu menyesal jika tertangkap Lorna,"gumamnya tidak membuat wanita itu
gentar sedikitpun.

"Keluar dari kamar ku Alexander,"pintanya dengan tangan terkepal tetap siaga saat melihat pria
tersebut kini kembali bangkit dan melempar senyuman smirk yang lebih sangar.

Alexander mendekat kembali, begitu terpancing untuk menangkap wanita tersebut. Lorna tidak
ingin mengalah ia menangkap lengan Alexander sangat cepat, namun kali ini ia tertangkap pria
itu menyilang kan kaki mereka dan menahan lengan Lorna.

"Lepas!"perintahnya mencoba menggerakkan tubuh yang malah semakin terkunci sangat rapat.

"Kemampuan mu masih sangat dasar honey,"sindirnya sambil mengedarkan pandangan. Lorna


mengepal tangan lalu mencoba menginjak kaki Alexander. Pria itu menghindar mampu
membaca situasi tersebut lalu mengunci tubuh itu kembali.
"Alexander,"tukasnya dengan wajah penuh emosi.

"Cium aku!"pinta pria tersebut membuat Lorna mengernyitkan kening ke arahnya. Ia masih
berpikir, mencoba untuk meloloskan diri di saat yang sangat genting.

Sepersekian detik kemudian, Lorna menelan Saliva lalu menggigit bibirnya dan menatap intens
ke arah Alexander. Mencoba menggodanya seakan tahu kelemahan pria itu.

"Jangan main-main dengan ku, Lorna!"sindir Alexander menajamkan pandangan ke arah bibir
yang tampak merah dan basah. Ia menelan ludah ingin mencicipi rasa manis pada wanita tersebut
sekarang.

Tiba-tiba Lorna menarik tangannya langsung memukul mundur pria tersebut saat mengetahui
Alexander lengah. Tapi ternyata hal itu tidak sebanding dengan apa yang ia pikirkan, Alexander
memegang kedua lengannya mengangkat ke atas lalu mendorong wanita itu keranjang, menindih
cepat dan menyelipkan tubuh di antara kedua paha Lorna.

"Alexander,"ucapnya saat merasakan pria tersebut menggenggam kedua tangannya.


Mensejajarkan dengan kepala hingga dadanya tampak begitu membusung tinggi.

"Posisi yang pas,"Alexander tersenyum merasa menang dan berpikir bahwa Lorna tidak akan
bisa melakukan apapun untuk melawannya.

"Yah! Posisi yang pas untuk bercinta dengan mulutmu, brengsek!"

Brakkkk!!

Lorna tiba-tiba membentur keningnya tepat di wajah Alexander sangat kuat. Seketika kedua
cengkeraman di tangan Lorna terlepas, pandangan pria tersebut gelap seketika. Ia merasakan
darah mengalir keluar dari hidungnya.

Tes tes tes!

Alexander menjatuhkan diri di ranjang menahan darah yang masih mengalir keluar. Ia sampai
sulit bernapas lega akibat benturan itu.

"Alex aku—"Lorna panik, menelan saliva cukup kuat dan menyesali perbuatannya sendiri. Ia
meraih kotak obat yang ada di atas nakas, mengeluarkan cotton bud dan mencoba menghentikan
pendarahan yang keluar dari hidung Alexander yang masih mencoba menerangkan kembali
pandangannya.

Lorna mengangkat kepala Alexander, meletakkan di pahanya dan terpaksa mengobati pria
tersebut sebisanya tanpa rasa canggung sedikitpun.

"Kau baik-baik saja selama ini Lorna?"tanya Alexander saat ia berhasil menatap wajah Lorna
begitu dekat. Melihat betapa khawatirnya wanita tersebut terhadapnya.
"Sangat sangat sangat baik,"

"Apa kau bahagia hidup dengan pacar bodoh mu itu?"

"Setidaknya dia buka tipe pemaksa seperti mu,"jawabnya cepat membandingkan keduanya.
Alexander tersenyum meraih jemari wanita itu dan mengecupnya pelan, membuat Lorna
langsung menatapnya lemah.

"Dia juga tidak lebih baik dari ku Lorna,"

"Jangan menudingnya! Selama ini ia cukup serius. Sebentar lagi kami akan menikah!"Alexander
langsung tersenyum miring, seakan menghina pernyataan tersebut dan meletakkan jemari wanita
itu di mulutnya, mencium dan meremasnya sesekali.

"Teruslah berpikir bahwa kau bisa menghindar dari ku. Aku ingin lihat sampai di mana
kekuatan pacar bodoh mu itu,"batin Alexander tersenyum tipis mencoba meraih wanita itu
kembali dalam pelukannya dengan cara berbeda. Ia ingin Lorna kembali masuk ke dalam
hidupnya, tetap mengurung dan memerangkap wanita itu hingga sulit bagi Lorna untuk
melepaskan diri.

"Seseorang akan menjemputmu besok pukul 9 pagi, siapkan diri mu,"

"Maksud mu? Aku harus bekerja,"

"Aku ingin jalan-jalan di negara ini, kau menjadi pemandunya,"balasnya cepat sambil menaikkan
tubuhnya dan segera berdiri dari tempat nya.

"Alexander, kau tidak bisa sesukamu!"

"Ayolah.. hibur aku selama di sini, kau ingin menikah kah?"tanya Alexander membuat wanita itu
memicingkan pandangan penuh kecurigaan. Ia tampak berbeda dari biasanya, Lorna patut
waspada.

"Bagaimana dengan toko—"

"Jangan khawatirkan itu, aku hanya meminta waktu mu sehari!"potong Alexander sambil melihat
wanita itu mengulum bibirnya.

Alexander melangkah keluar dari rumah tersebut, ia mengedarkan pandangan sejenak ke arah
para bodyguard nya yang berjaga di luar. Lorna mengikutinya dan menatap dengan pandangan
kecewa.

Tap!
Pria itu mendadak memutar tubuhnya, menangkap Lorna sangat cepat. Menahan dan
mendaratkan sebuah ciuman di bibir merah wanita itu. Ia melumatnya cukup kasar, menekan
lidahnya masuk ke dalam mulut wanita itu.

Lorna diam, tidak bereaksi namun seakan mempersilahkan pria tersebut melakukan apapun
terhadapnya. Diam-diam ia juga menikmati, mencoba menutup matanya dan ikut mengaitkan
lidahnya pada pria itu. Namun Alexander mendadak berhenti dan melepas ciumannya begitu
saja, ia bahkan langsung memalingkan pandangannya ke arah lain. Wajah Lorna mendadak
merah, ia menelan ludahnya begitu kuat lalu melihat Alexander memutar tubuhnya.

Tap!!

Alexander berhenti melangkah, menaikkan kepalanya begitu congkak. Ia melirik ke arah Lorna
sedikit memerhatikan mata wanita itu membulat besar. Menatap penuh perhatian ke arah
seseorang yang berdiri sekitar tiga meter di depannya.

"R-rowan .."tegur Lorna menatap jauh pria yang menatapnya penuh intimidasi dengan tangan
terkepal kuat. Ia baru saja datang, berniat memperbaiki hubungan. Mencoba berpikir realistis
atas apa yang di lakukan Lorna. Namun saat ini yang ia tangkap langsung kekasihnya berciuman
dengan pria lain dengan penuh harapan.

Alexander memiringkan senyumannya, lalu melangkah pelan sambil memasang kacamata


hitamnya bersama seluruh bodyguard yang ada di sana.

"Pelan-pelan, aku akan merebut mu kembali Lorna. Merebut apa yang seharusnya menjadi
milikku,"batin Alexander sambil melewati Rowan yang tengah menahan napasnya. Menatap
tegas ke arah Lorna, membiarkan pria itu menjauh menuju mobilnya dan segera menghilang dari
sisinya.

"Rowan ... Aku—"ucapan Lorna berhenti, pria tersebut memutar tubuh. Melangkah cepat
menuju mobilnya dan sengaja membanting pintu sangat kuat.

"Aku tidak bisa diam lagi,"gumam Rowan menatap luas jalan sekitarnya, ia meraih ponsel yang
tergeletak di kursi sebelahnya. Meraih cepat dan menelpon seseorang yang ia yakini bisa
membantu menuntaskan masalahnya.

Chapter 9 : You’re Mine, Tonight

Alexander meraih ponselnya, memeriksa benda tersebut sejenak. Ia menghela napas berat lalu
menekan layar ponsel secepatnya saat memerhatikan nama yang ada di sana. Joana Roses
mencoba menghubunginya kembali dan panggilan itu langsung di tolak, Alexander bahkan
memblokir nomor nya.
"Bitch!"maki nya sarkas lalu melirik ke arah spion supercars miliknya.

Tiba-tiba dua buah mobil bodyguardnya mendekat tampak melindungi. Mereka di ikuti belasan
motor jenis trail yang begitu lihai menembaki mobil mereka sangat berani.

"Shit!"Alexander mengerang menekan gas mobilnya kencang, mengaktifkan layar pada mobil
canggihnya itu.

"Sir kita di serang, aku belum tahu siapa pelakunya. Mereka mengenakan topeng,"ucap
seseorang tetap fokus pada kemudi mobilnya. Mencoba menghindar dari belasan peluru yang
tampak saling bersahutan.

"Jangan membunuh siapapun! Tahan tembakan dan berpencar lah!"perintah Alexander paham di
mana tempatnya saat ini. Ia harus memahami pola negara Haggen lebih dulu untuk mengambil
tindakan. Lagipula siapa yang ingin berniat jahat padanya di tempat ini.

"Baik sir,"balas pria itu sambil menekan rem mobilnya sangat cepat dan menerima tembakan di
arah mobilnya hingga ban nya meledak akibat tembakan peluru yang cukup sering berusaha
menembusnya. Sementara sebagian mobil lainnya berpencar dan menyisakan dua mobil yang
setia mengikuti Alexander kemanapun.

Tiba-tiba Alexander mengerutkan kening, melihat sebuah mobil supercars yang tidak ia kenal
menghadangnya dengan lampu yang sangat terang seakan ingin menghentikan pergerakannya.

Alexander menekan rem mobil, menyisakan beberapa meter jarak mereka dan melihat seseorang
keluar dari mobil tersebut. Ia meraih senjata api dan menyisipkan nya di punggung seperti biasa.
Sepersekian detik kemudian ia melihat kembali belasan motor trail berdatangan, mengepungnya
di tengah.

"Sir, kita di kepung,"ucap seseorang terdengar jelas di dalam mobil canggih itu. Ia diam tidak
menjawab apapun, lagipula Alexander cukup tahu bagaimana kondisi nya saat ini.

Ia menatap tajam satu sosok pria yang melangkah pelan di tengah cahaya silau itu, sementara
kawanan motor trail tampak mengancamnya dengan menekan gas motor sekuatnya. Ia tersenyum
tipis lalu membuka pintu mobil, keluar dengan berani dari sarangnya.

Alexander hanya punya beberapa orang bodyguard di belakangnya, mereka kalah jumlah.
Namun tidak ada kata mundur di kamus seorang Alexander Dalle Morgan meskipun ia pasti mati
di medan perang.

"Aku pikir kau punya banyak nyawa cadangan, kau tidak takut mati?"tanya seseorang menatap
tajam ke arah Alexander sambil melangkah mendekat di tengah suara riuh yang di hasilkan
pengendara motor.

Alexander tersenyum tipis, duduk di depan supercars dengan santai membalas tatapan pria yang
tengah mengancamnya itu. Rowan Emanuel Ryvero.
"Aku tidak mendengar mu, mereka berisik!"tunjuk Alexander mengedarkan pandangan ke tiap
pengendara motor yang masih setia menekan gas motor mereka. Menutup wajah dengan topeng
hitam.

"Aku peringati kau—"

"Wait! Aku ingin membakar rokok dulu,"potong Alexander membuat Rowan langsung mengepal
tangannya kuat. Emosinya mendadak terpancing, ia selalu menyembunyikan sisi buruknya di
hadapan semua orang. Manipulatif.

"Kau mau?"tawar Alexander setelah berhasil membakar sebuah rokoknya, melempar bungkus
benda itu tepat di hadapan Rowan.

"Ternyata kau tidak bisa di ajak bicara dengan lembut,"

Seketika wajah pria itu berubah, ia mengalihkan pandangan sejenak lalu mendadak mendekati
Alexander dan siap dengan pukulan yang kuat dari tinjunya.

Alexander mengelak, menangkap lengan pria itu dan menendang perutnya kuat hingga tubuh itu
menjauh dari hadapannya. Pria tersebut melangkah, memutari medan kecil di antara himpitan
kedua mobil mereka. Suasana semakin gaduh, pengendara motor semakin melengking kan
suaranya. Ikut terpacu melihat Rowan kalah.

Pria itu bangkit, mengepal tangannya dan mengeratkan gigi. Ia maju kembali, hendak memukul
pria tersebut, Alexander menangkapnya dan membanting tubuh kecil Rowan di depan mobilnya
dua kali.

Rowan sigap, ia memutar tubuhnya sedikit dan memukul perut Alexander sekuatnya, hingga pria
tersebut segera menurunkan sikutnya mengenai punggung Rowan dan menjatuhkannya ke tanah
dengan sekali hentakan.

Brakk!!

Pria itu berhenti mendadak, ia mengusap darah yang muncul dari bibirnya akibat beberapa
pukulan tidak teratur dari Alexander, mencoba mengaitkan diri untuk bangun.

Sepersekian detik kemudian pria itu mengeluarkan sebuah senjata dari punggungnya dan
langsung mengarahkan benda itu pada Alexander. Namun sayangnya ia tidak akan berani
menembak karena Alexander sempat melakukan hal yang sama— menarik senjata apinya dan
langsung mengarahkan benda itu di kepala Rowan.

Melihat kekalahan, para pengendara motor turun dari tempatnya. Mengarahkan senjata api ke
arah tengah siap menembak tepat sasaran. Rowan tersenyum membayangkan kemenangan yang
akan ia petik.
"Dengar! Harusnya ini tidak terjadi jika kau tidak mendekati Lorna kembali,"ucap Rowan sambil
membuang saliva nya yang bercampur darah.

Alexander menunjukkan wajah smirk lalu melirik ke arah Bodyguardnya yang ikut sigap
mengarahkan tembakan pada pengendara motor.

"Kau tidak akan menang,"ancam Rowan membuat pria itu kembali melirik ke arahnya.
Alexander paham saat membandingkan jumlah lawan.

Namun tiba-tiba dua motor trail dari lain arah datang, mendekat begitu lincah nyaris menabrak
para pengendara lainnya hingga mereka tampak memisahkan diri.

Kedua orang stranger itu turun, mereka tampak berpenampilan mirip dengan penyerang hingga
tidak ada satupun yang melepaskan tembakan. Lima detik kemudian mereka melepas penutup
wajah menampilkan sosok Michella dan Billy yang meraih cepat senjata api milik mereka.

Dor dor dor!!!

Mereka saling baku tembak, mencoba melukai lawannya masing-masing.

"Michella!"teriak Alexander saat melihat seseorang membidik tembakan ke arah wanita tersebut
dan menembak tepat kakinya hingga pria itu terjatuh ke tanah mengerang kesakitan.

Melihat itu, Rowan segera mencoba bangkit untuk mengarahkan senjata ke arah Alexander lebih
dekat. Namun pria tersebut lebih lincah, ia langsung mengembalikan arah tembakan tepat pada
Rowan dan melepas satu tembakan pada pria itu.

Dorrr!!

"Arrhhhh!"Rowan mengerang ketakutan lalu menelan saliva nya begitu kuat. Ia membuka mata
kembali saat tidak merasakan sakit pada tubuhnya. Alexander sengaja meleset kan tembakan ke
arah lain. Ia hanya mengancam.

"Kau tidak boleh gegabah, Lorna akan menuding mu yang melakukan itu semua,"ingat
Alexander pada ucapan Milla yang sempat ia ucapkan saat private jet mereka mendarat di
Haggen.

"Mundur!"teriak seseorang dari kejauhan mencoba meraih motor trail nya. Mencoba
menyelamatkan diri dari serangan yang bisa membunuh mereka dalam waktu cepat.

Rowan menoleh memerhatikan setengah kawanannya pergi, meninggalkan lokasi kejadian


sangat cepat. Menyisakan beberapa orang yang tertembak pada bagian paha atau kakinya. Tidak
ada satu orang pun yang terbunuh akibat insiden ini.

"Aku tidak akan memberitahu Lorna atas hal ini, tapi lihat saja! Aku akan merebut milikku
kembali,"ancam Alexander masih mengarahkan senjata api pada Rowan.
"Aku tidak akan mengalah untuk mu,"balas Rowan mengepal tangannya kuat membalas tatapan
Alexander.

"Coba saja kalau kau bisa!"Alexander menaikkan senjatanya, memalingkan pandangan ke arah
bodyguard yang berada di sekitar. Tetap waspada hingga akhirnya mereka kembali bergerak,
meninggalkan tempat itu secepat kilat.

Alexander memutar balik haluannya, tampak kembali ke satu tempat yang sedang ia pikirkan
setengah mati. Ia memegang kepalanya kuat, memerhatikan jalan sangat fokus melesat begitu
kencang di tengah jalan hingga sampai di satu tempat.

"Aku menginap di sini,"ucap Alexander saat melihat bodyguard yang mengikutinya berkumpul.

Pria itu melangkah, menggedor pintu rumah Lorna dengan tenaganya yang kuat. Secepat kilat
pintu itu terbuka menampilkan sosok yang sangat ingin ia temui sekarang.

"Alexander kenapa kau—"Lorna terdiam saat pria itu menangkap pinggulnya, mendorongnya
masuk ke dalam ruangan kembali sambil menciumnya kasar.

Brakk!!

Alexander menendang pintu rumah dengan punggung kakinya dan semakin mendorong Lorna
kedalam.

"Ahhh Alex apa—"

"Diam! Aku butuh kau!"pintanya sambil menjejalkan setiap saraf yang menjadi pusat
terlemahnya.

Lorna mencoba berontak, tetap pada nalarnya. Namun saat ini pria tersebut tidak ingin mengalah,
ia memegang pinggul Lorna sangat kuat menaikkan ke atas pinggangnya hingga wanita itu
terpaksa melingkarkan kaki di sana.

"Alex.."Lorna mengerang berat saat pria tersebut mengecup lehernya, membasahi dengan
lidahnya yang basah. Lorna meremas kuat bahu pria itu, mendadak sulit untuk bersikap munafik
hingga tubuhnya sampai di ranjang.

Alexander tetap menciumnya, membawa wanita itu masuk ke dalam keinginan yang seakan
mengharuskan untuk menerima tiap serangan darinya. Lorna menggigit bibir saat pria itu
kembali berkutat pada lehernya, remasan tangan Alexander di dadanya begitu keras dan cekatan
hingga tubuhnya menegang. Pria itu lihai memainkan perasaannya hingga sulit bagi Lorna untuk
berpikir panjang.

Sepersekian menit berlalu, Lorna akhirnya menaikkan kedua kaki di atas ranjang, sedikit
membukanya lebar dan menahan nya hanya dengan ujung ibu kaki. Sexy!
"Aku akan memasuki mu,"Alexander berbisik, menyelipkan tubuhnya di kedua paha wanita itu.
Ia menurunkan bawahannya dengan tangkas tanpa melepas ciuman yang sangat panas pada
wanita itu.

"Ahhh!! Lorna mengepal kedua tangannya merasakan jemari pria itu menyentuh inti gairah yang
tampak basah di balik gaun tidur pendeknya.

Alexander menurunkan ciuman ke arah dada, menggigit nipple yang kini mengacung tegak ke
arahnya sambil menarik underwear yang ada di dalam gaun tidur itu.

"Alexander .. Aku tidak tahan,"Lorna berbisik, sulit untuknya menolak. Ia merindukan seseorang
bisa menyentuhnya sejauh itu. Hanya Alexander, hanya pria tersebut yang bisa melakukan sejauh
keinginannya.

"Ahhhhhh Alexander, fuck me!"wanita itu mengerang saat pria tersebut memasukinya,
mengalirkan sengatan hebat di seluruh tubuhnya seketika.

Wanita itu memandang sayu, menatap pria itu memegang pinggulnya. Menggagahi dirinya tanpa
ragu, begitu kasar dan panas. Ia sudah mencobanya, memulai dengan pria lain untuk melakukan
hal yang sama. Namun semua sia-sia, tubuhnya begitu terdorong saat seseorang selain Alexander
mencoba menyentuh. Ia kelaparan selama ini.

"Aku benci kau Alexander! Sungguh aku membencimu,"erang Lorna sambil menggigit bibirnya
sangat kuat. Menikmati pria itu menyatu dalam dirinya.

"Nikmati ini hingga puas honey, aku milikmu. Kau milikku malam ini,"bisik Alexander sambil
memungut ciumannya, mendorong miliknya di dalam kenikmatan yang terlalu sulit ia lepaskan.

Mereka bercinta, menikmati malam panjang. Melepaskan kebutuhan yang tengah di balut
perasaan munafik dalam diri Lorna. Ia kembali berkhianat, mempersilahkan pria lain merenggut
kenikmatan yang ia punya.

Drrttt!!

Lorna mendengar pesan masuk pada ponselnya, ia melirik sedikit. Tapi hujaman Alexander yang
gila di atasnya membuat ia lupa, lebih memilih untuk tetap menikmati hal tersebut hingga benar-
benar selesai.

___________

Pagi tiba, mata hazel Lorna bergerak di tiap ruang. Memerhatikan seluruh tempat yang kini
kosong. Ia meremas kepalanya kuat mencari pria yang sudah memberinya makan yang sangat
banyak semalaman. Alexander bergerak menghilang begitu saja entah sejak kapan, ia pergi
meninggalkan tempat nya tanpa pamit.
"Lorna sadarlah, kau salah, kau berselingkuh!"batinnya sambil meremas rambut begitu kuat. Ia
menelan ludah berpikir sejenak lalu meraih ponselnya sangat cepat.

Satu pesan masuk tampil di layar ponsel tersebut, membuatnya penasaran setengah mati. Pesan
yang masuk di saat ia membiarkan pria lain menidurinya dengan gamblang.

"Berkas pernikahan kita selesai dan sudah di setujui pengadilan, besok malam aku akan ke
rumah mu. Kita bicara!"

Lorna melemas, ia memegang kepalanya kuat. Berpikir apa yang sudah ia lakukan pada Rowan
sangat tidak pantas. Ia bukan hanya berselingkuh, tapi tidur dengan pria lain. Faktanya ia ikut
menikmati hal itu, sangat menikmatinya.

Chapter 10 : Redblood Team

"Kau sudah urus semuanya?"tanya Alexander menyelidiki Billy yang baru saja kembali dari
suatu tempat.

"Sudah sir, mereka meminta sejumlah uang,"balasnya sedikit menelan ludah sambil memberikan
sebuah card yang bertuliskan nomor rekening seseorang.

"Berapa banyak yang mereka minta?"tanya Alexander datar tanpa menoleh sedikitpun ke arah
Billy. Sibuk dengan ponselnya.

"Pekerjaan ini sedikit berisiko. Tapi karna kita punya berkas lebih lengkap pengadilan meminta
biaya standar yang mereka pikir itu sesuai,"Terang Billy melirik ke arah Milla yang sibuk
dengan cemilannya sejak tadi. Alexander mengangguk lalu menekan layar ponselnya sejenak
tanpa menghiraukan siapapun.

"Katakan padanya, aku sudah mengirim uang itu!"

"Baik sir,"balas Billy sambil melihat pria itu menoleh ke arah Milla sejenak.

"Apa kau tidak letih mengemil Milla?"tanya Alexander mencoba menegurnya.

"Kau akan paham. Ini pekerjaan yang menyenangkan, Ah ya— kapan kau akan membawa
Lorna? Aku merindukan wanita itu,"

"Michella sedang menjemputnya, kalian pergilah lebih dulu. Aku akan ke markas Redblood!"

"Ada apa dengan mereka?"tanya Milla penasaran, bicara tidak terlalu jelas karna tumpukan
makanan di dalam mulutnya.
"Rowan memanfaatkan mereka untuk menyerang ku tadi malam,"

"Aku kira, Lorna sudah tepat mencari seorang pria. Ternyata sama saja! Brengsek seperti
mu,"tuding Milla membuat mata Billy menukik tajam padanya.

"Ayolah sayang, kau tidak perlu menatap ku seperti itu. Ini fakta!"Milla menggeser pandangan
pada suaminya itu. Tersenyum simpul sejenak sambil menawarkan makanan yang ada di
tangannya.

"Setidaknya aku bisa memberinya kehidupan layak,"celetuk Alexander mengedarkan pandangan


tampak angkuh. Merasa menang dengan point penuh.

"Ya tapi kau di tolak! Apa harus uang lagi yang berbicara agar kau bisa mengikatnya tuan
Alexander yang terhormat?"Milla terkekeh, mengejeknya dengan senang.

"Kau tahu, apapun akan aku lakukan untuknya!"

"Lantas, mana upah ku? Aku berperan penting di sini. Kau menidurinya semalam karna bantuan
ku kan?"

"Milla!"tegur Billy sambil mengerutkan kening. Alexander tersenyum tipis lalu mengeluh datar.

"Sebut saja, berapa yang kau inginkan!"balasnya membuat Milla langsung melebarkan
senyumannya.

"Sir, kau tidak—"

"Aku hanya ingin satu hal!"potong Milla memandangi pria itu serius lalu mengedarkan
pandangan ke arah Billy yang tampak gusar.

"Perlakukan Lorna dengan baik!"sambung nya membuat semua orang langsung diam seketika.

"Tidak semuanya bisa kau beli dengan uang! Lorna ataupun aku tidak butuh itu!"Milla menelan
saliva, merasakan cemilan yang ikut tersangkut di tenggorokannya. Manis. Ia melirik ke arah
Alexander yang memegang dagunya, berpikir sejenak dan menyaring seluruh kalimat wanita
tersebut.

"Milla.. Semua orang punya peruntungan yang berbeda, aku hanya memanfaatkan
keberuntungan yang sudah di takdir kan menjadi milikku!"balasnya cepat menatap tegas pada
kedua orang yang ada di depannya saat ini tidak bisa berkutik.

Tok tok tok!!

Seseorang mengetuk pintu, membuat mereka semua segera melirik ke arah sumber suara.
Seorang wanita muda berbakat di sana, mengedarkan pandangan dengan tenang. Michella
Rhodes. Keberuntungannya menjadi kaki tangan Alexander bersama Billy berhasil membuat
keluarganya berada di kehidupan yang cukup mapan sekarang.

"Sir, nona Lorna sudah sampai,"ucap Michella melirik tajam ke arah kamar hotel yang sengaja di
buka lebar itu. Lagipula tidak ada satupun tamu lainnya yang akan ke atas sana. Alexander sudah
menyewa khusus tempat itu.

"Kenapa dia tidak—"Milla terdiam sejenak, ia menatap ke arah bibir pintu sambil menurunkan
tubuhnya dari kursi menatap begitu lekat ke satu arah.

Ia menelan saliva melangkah pelan dan memandangi seseorang dengan pandangan berkaca-kaca.

"L-Lorna.."ucapnya bergetar. Ia menggigit bibir dalamnya lalu melihat wanita tersebut


mengangkat kepala dan memusatkan perhatian ke arahnya.

"Milla .. Bagaimana kabar mu?"tanya Lorna kembali menunduk, ia menyatukan kedua tangan
tampak begitu tidak layak berada di sana. Ia baru menyadari, berapa banyak orang yang sudah ia
tinggalkan selama bertahun-tahun.

"Aku .. Baik .."jawabnya sedikit terbata menatap Lorna yang cukup mengalami perbedaan
drastis. Mata bulat itu cekung dan menghitam tidak seperti dulu.

"Aku pergi dulu, ayo Billy!"sanggah Alexander membuat mata Lorna mengarah padanya. Ia
sudah berpikiran buruk terhadap Alexander, nyatanya pria itu hanya ingin mempertemukan nya
dengan Milla.

"Habiskan waktu mu dengan Milla hari ini, dia merindukan mu,"ucap Alexander saat melewati
wanita itu dan keluar dari ruangan kamar tersebut bersama yang lainnya.

Kedua mata itu bertemu sesaat, Lorna menurunkan pandangan ke arah perut yang membesar itu.
Menatapnya penuh rasa bahagia.

"Milla kau .."Lorna mendekati wanita tersebut, membuat Milla ikut melakukan hal yang sama
hingga bertemu dalam satu pelukan yang sangat erat.

"Kau kejam! Kenapa kau menghilang begitu saja. Aku kesepian Lorna,"ucapnya membuat
wanita itu tersenyum kecil.

"Kau tahu aku punya masalah dengan si brengsek itu,"jawabnya begitu bersemangat. Menekan
kuat pada kata yang di tujukan hanya pada Alexander.

"Dia seperti pria gila, tidak pernah tersenyum walaupun menonton serial komedi. Aku pikir saraf
nya putus,"hina Milla begitu bahagia.

"Setahuku pria gila sering tersenyum,"


"Oh ayolah, kau membelanya?"tukas Milla membuat wajah Lorna memerah seketika. Terasa
panas dalam hitungan detik.

"Hm .. Itu tidak penting. Ini sudah berapa bulan?"tanya Lorna melirik ke arah perut yang
membesar itu.

"Empat hari lagi pas 8 bulan,"jawab Milla mengusap perutnya lembut.

"Boleh aku menyentuhnya?"tanya Lorna melebarkan senyuman.

"Tentu! Aku harap ini segera menular padamu!"

Uhukkk!!!

Lorna langsung terbatuk-batuk, napasnya sesak seketika saat mendengar pernyataan Milla. Ia
memegang dadanya memutar tubuh untuk menjauhi wanita tersebut.

"Lorna ada apa? Kau sakit?"tanya Milla mencoba menepuk punggungnya pelan. Sungguh
ucapannya barusan spontan.

"Entahlah. Rasanya seperti sesuatu menekan tenggorokan ku mendadak,"balasnya sambil


mengambil napas sebanyak mungkin lalu kembali melirik ke arah Milla dan perutnya.

"Aku dengar dari Alexander kau akan menikah. Benarkah?"tanya Milla penasaran setengah mati
mendengar hal tersebut.

"Ya itu sudah menjadi rencana ku dan Rowan sejak kemarin,"balasnya sambil tersenyum tipis.

"Kau yakin? Bagaimana dengan Alexander?"tanyanya lagi membuat sorot mata Lorna berubah.

"

Milla hubungan ku dengan Alexander hanya sebatas teman sekarang. Tidak lebih,"balas Lorna
sambil menelan Saliva nya kuat.

"Lorna .."

"Milla aku terlalu takut untuk kembali, kau tahu seperti apa Alexander. Aku bahkan pernah
kehilangan anak karenanya,"

"Bukan berarti pacarmu sekarang lebih baik, apa kau sudah mengenalnya dengan benar?"

"Ya! Dia lebih baik. Rowan tidak pernah menyakiti ku, dia mencintai ku dengan benar,"
Milla terdiam sejenak, ia mengeluh dan mengedarkan pandangan ke arah lain. Ada banyak hal
yang ingin ia sampaikan. Tapi Milla sadar, ia tidak punya hak atas hal itu, biarkan Alexander
yang bekerja sesuai keinginannya.

Lorna memusatkan perhatiannya pada perut Milla, mengusapnya lembut dan tersenyum ramah
seakan bicara dengan seseorang yang ia kenal.

________________

"

Jadi anggota Redblood menyerang mu semalam?"tanya Moren mengedarkan pandangan ke arah


Alexander yang langsung menggerakkan ujung bibirnya.

"Aku datang ke sini bukan untuk mengadukan tindakan mereka. Tapi memastikan kau tahu
kenapa aku menembaki mereka,"ucapnya datar sambil melirik ke arah Billy yang berdiri di sudut
pintu, memerhatikan beberapa anggota Redblood tampak tidak peduli dengan keadaan
sekitarnya. Mereka menggunakan obat terlarang, Making out, mendengarkan music underground
sambil menenggak minuman beralkohol.

"Ya aku mengerti, mereka anak-anak muda yang haus kesenangan. Aku turut menyesal dengan
apa yang terjadi, aku minta maaf,"Moren mengeluh, merasa begitu canggung saat ini.

"Tidak masalah! Aku berharap berita ini tidak sampai ke manapun. Kita tutup rapat hal ini,"tukas
Alexander datar.

"Ya, itu tidak baik dengan keberadaan di Haggen dan posisiku sebagai ketua Redblood yang
bersifat rahasia."balas Moren sambil mengulum bibirnya pelan.

"Aku ingin memesan senjata lagi, kau bisa datang ke benda itu dalam dua hari?"

Moren langsung tersenyum lebar, menyatukan kedua tangannya. Sedikit membungkuk ke depan.

"Jangan remehkan aku! Aku akan mendatangkan nya hanya dalam sehari jika kau membayar dua
kali lipat!"

"Itu mudah! Hm~ senang berbisnis dengan mu langsung, Moren!"balas Alexander cepat
melempar senyuman bersahabat pada pria bersahaja yang ada di depannya itu.

_______________

"Lorna ada apa?"tanya Milla menatap wanita tersebut langsung memasang wajah khawatir saat
menerima sebuah pesan.

"Hm aku sepertinya harus pulang sekarang, Rowan di rumah ku,"ucap Lorna tampak bersikap
jujur pada Milla yang mengernyitkan keningnya.
"Tapi—"

"Milla maaf, aku harus membicarakan banyak hal padanya,"potong Lorna sangat cepat sambil
membuang napasnya kasar.

"Baiklah, aku harap kita bisa bicara lebih lama setelah ini,"Milla mengalah. Ia tidak ingin
memaksa wanita tersebut. Lorna mengangguk setuju kembali mengusap perut wanita itu lalu
melempar senyuman ke arah Milla.

"Jangan lupa simpan nomor ku,"ucap Lorna menghilangkan kecanggungan di antara keduanya.

"Tentu! Aku akan sering menghubungi mu, datanglah sebisa mungkin saat anakku lahir nanti.
Mungkin Alexander akan pulang dalam waktu dekat,"

Lorna menelan Saliva nya keras, mendengar pernyataan Milla barusan. Sesuatu terasa begitu
mendesak di jantungnya saat ini. Ia berharap keputusannya untuk memilih Rowan tepat.

"Aku pulang dulu,"balasnya sambil memutar tubuh lambat dan meraih tas kecil yang sempat ia
letakkan di atas ranjang.

Sepersekian menit kemudian, Lorna keluar dari tempat itu. Menatap bodyguard yang masih
berdiri di depan kamar, mengingat bagaimana Alexander bertingkah posessif terhadapnya dulu.

"Nona kau—"

"Aku mau pulang,"potong Lorna sangat cepat saat Michella menegurnya. Wanita itu diam
sejenak lalu melirik ke arah Milla yang ternyata berdiri di bibir pintu.

"Baiklah, aku akan mengantar mu,"Michella tersenyum tipis, melihat Lorna yang tampak setuju
dengan usulnya. Ia hanya ingin segera sampai di rumah sebelum Alexander mungkin membuat
kekacauan kembali.

Chapter 11 : Frustrasi

"Kau dari mana saja?"tanya Rowan saat melihat Lorna turun dari mobil yang cukup mewah. Ia
mencoba melirik ke pemilik mobil tersebut, namun Michella segera menutup aksesnya.

"Aku dari—"

"Ke tempat pria itu lagi?"potongnya tangkas membuat Lorna menatapnya begitu tajam.
"Rowan bisakah kita bicara di dalam?"pinta Lorna merasa canggung jika pertengkarannya di
perhatikan orang-orang sekitar rumah. Pria itu terdiam, memutar tubuhnya cepat dan melangkah
lebih dulu.

"Barusan, pihak pengadilan menghubungi ku. Mereka mendadak menolak berkas pernikahan
kita,"terang Rowan meremas rambutnya kuat tanpa ingin melirik ke arah Lorna sedikitpun.
Duduk di sudut ruang tamu wanita tersebut.

"Ada apa? Bukannya mereka sudah—"

"Butuh data asli karena kau bukan warga negara Haggen,"potong Rowan mengeluh kasar sambil
mengusap wajahnya. Frustasi.

"Lalu bagaimana selanjutnya?"tanya Lorna tampak datar. Namun ada rasa lega di dalam hatinya
yang sangat dalam.

"Kau senang kan dengan berita ini?"tukas pria itu sambil berdiri dari tempatnya.

"Apa maksud mu?"

Rowan langsung menunduk, mengepal tangan tanpa ingin menjawab pertanyaan mudah dari
Lorna. Ia menahan napas dalam lalu kembali melirik ke arah wanita tersebut.

"Aku harus bersikap baik, tenanglah,"batinnya sambil mengedarkan pandangan ke tiap tempat.

"Rowan, aku tahu apa yang aku lakukan salah. Tapi percayalah dia menjebak ku! Aku sama
sekali tidak berniat menyelingkuhi mu,"ucap Lorna mencoba menjelaskan walaupun ada
kebohongan yang sangat besar di dalam kalimat tersebut.

Pria tersebut menggigit bibirnya, menatap Lorna semakin lekat lalu mengangguk pelan dan
mendekati wanita tersebut kembali. Memeluknya cukup erat.

"Aku takut jika kehilangan mu, Lorna. Aku mencintai mu,"bisik nya begitu erat, merasakan
sesekali napas wanita tersebut berembus pelan di lehernya. Lorna mengangguk, melingkarkan
tangan di pinggul pria itu sekaligus merasakan dadanya yang seakan mati. Tidak berdebar
sekalipun.

"Aku mohon, jangan dekati pria itu lagi. Berbahaya untuk mu!"pinta Rowan sambil mengangkat
tinggi dagu wanita tersebut tampak memperingati. Lorna mengangguk pelan, mengeluhkan
perasaannya dan meletakkan kepalanya di dada pria itu begitu lekat.

"Aku rindu hubungan kita seperti kemarin Rowan,"tukasnya membuat pria itu tersenyum tipis.
Merasa lebih menang. Ia tidak perduli atas apa yang sudah terjadi. Rowan sangat serius
mencintai Lorna.

"Jadi apa dia masa lalu buruk mu?"tanyanya memastikan.


"Aku tidak ingin ingat itu semua, yang jelas jangan berurusan dengannya. Aku mohon!"Rowan
mengeluh memeluk wanita tersebut lebih erat dari sebelumnya.

"Sepertinya aku bisa memanfaatkan keadaan ini,"batin Rowan mengusap-usap wajah Lorna,
melempar senyuman smirk yang tidak pernah ia tujukan pada siapapun.

"Ah ya aku lupa, besok aku harus berangkat ke Los Angeles."

"Kenapa mendadak?"tanya Lorna melepas pelukannya, menatap tajam dengan wajah khawatir.

"Cabang di sana meminta ku untuk hadir di rapat tahunan,"balasnya datar sambil meraih dagu
wanita itu kembali.

"Ah Ya, kenapa wajah mu? Kau bertengkar?"tanya Lorna memeriksa tiap lebam dan beberapa
luka yang belum mengering.

"Tidak. Aku jatuh dari sepeda motor semalam,"balasnya cepat lalu mengusap wajah Lorna
dengan ujung jarinya, mencoba mendekati wanita tersebut agar tidak fokus terhadap wajah yang
kacau akibat pukulan Alexander semalam. Ia mendekat mencoba mencium bibir yang tampak
begitu merah, ia iri ingin memungutnya cepat.

"Ah Rowan aku—"

"Lorna.."panggilnya cepat saat wanita tersebut memalingkan wajah.

"Kau mencintai ku kan?"tanyanya menatap mata hazel yang begitu indah. Bulat dan perlahan
meredup.

"Ya,"jawabnya pelan sambil menelan ludah.

"Kau milikku kan?"tanyanya lagi terdengar sedikit memaksa. Lorna mengepal tangannya,
menarik napas dengan kasar mencoba menjawab.

"Ya,"

"Kau bohong,"tukas Rowan cepat hingga mata wanita tersebut bergerak ke arahnya sepersekian
detik.

"Aku sepertinya harus—"

"Lorna mau sampai kapan kau menghindar? Apa kau menjadikan pernikahan sebagai pelarian
dari masa lalu mu?"potong Rowan cepat.

"Rowan aku—"
"Aku kecewa. Aku berusaha menyentuh mu, tidak menyakiti mu dan berusaha untuk meraih mu
tapi kau .. begitu mudah tidur dengan pria lain, masa lalu mu. Menikmati ciuman nya. Sementara
aku—"

Tok tok tok!!

Seseorang mengetuk pintu, membuat keduanya tampak langsung kilat menoleh.

"M-Milla?"tanyanya cepat sambil membulatkan mata, mendorong tubuh Rowan sedikit.

"Maaf aku mengganggu mu, tapi sepertinya aku tidak bisa menolak keinginan bayi ku. Dia ingin
di sini, menginap di dekat mu,"ucap Milla mencari alasan paling tepat.

Lorna tersenyum tipis, merasa begitu di selamat kan dari perasaan yang membelenggu dirinya
sendiri. Ia belum siap untuk Rowan tapi tidak juga ingin kembali pada Alexander.

"Kenapa kau diam saja? Tidak senang kah?"celetuk Milla lagi begitu santai membuat Lorna
langsung mendorong Rowan menjauh, mendekati wanita tersebut lebih cepat.

"Ah maaf aku hanya sedikit terkejut. Kau datang bersama siapa?"

"Suami ku, dia langsung pergi. Ada urusan bersama tuannya,"sindir Milla sarkas melirik ke arah
Rowan yang tampak terdiam di sudut ruangan tanpa ingin mengusik.

"Hm.. Lihat! Dia calon suami mu?"Milla tersenyum ke arah Rowan membuat pria tersebut
langsung membalasnya dan mendekat pelan.

"Ya! Rowan Emanuel Ryvero. Dia calon suami ku,"ucap Lorna datar membuat pria itu
mengulurkan tangan ke arah Milla yang menunjukkan aura kebencian.

"Kau tahu? Mantannya pernah membelikan Lorna supercars. Kenapa kau membiarkannya
tinggal di tempat ini?"

"Milla .."tegur Lorna melihat perubahan pada wajah Rowan.

"Maaf, akhir-akhir ini mulut ku sedikit susah di rem. Aku rasa ini bawaan bayi ku yang tampan,"

"Ya.. Tidak masalah! Aku akan membawa Lorna pergi dari sini setelah kami menikah,"

"Ah ya, aku harap begitu. Mantannya baru saja membeli mobil baru. Dua sekaligus, satu
untukku!"

Rowan langsung mengepal tangannya kuat. Ia merapatkan gigi, merasa terhina. Namun ia pria
penuh sikap manipulatif, tidak mudah memancingnya.

"Milla Rowan—"
"Tenang lah, aku tahu dia hanya bercanda. Lagipula itu bukan kehendaknya,"potong Rowan
sambil tersenyum lebar. Ia seakan tidak perduli namun menahan semuanya cukup jauh.

"Yes! Kau ternyata pria yang pengertian,"balas Milla membalas senyuman pria tersebut.

"Aku pulang dulu, besok aku akan menelpon mu jika sudah berangkat,"Rowan mendekati Lorna
mencoba memeluknya.

"Ahhh Ya Lorna. Kau tidak mau membuatkan aku minuman? Aku haus!"potong Milla sangat
cepat sebelum Rowan menggapai wanita tersebut. Ia mengaitkan tangan pada lengan Lorna dan
menariknya ke arah dapur meninggalkan Rowan begitu saja.

"Sial,"batin Rowan sambil merapatkan tangan lebih kuat. Ia segera keluar dari tempatnya dengan
perasaan kecewa berat.

"Lihat saja, aku punya cara untuk menyingkirkan pria itu. Tunggu saja,"batin nya sambil
melangkah cepat menuju mobil dan meninggalkan kawasan tersebut.

"Aku tidak suka pria itu,"celetuk Milla sambil memerhatikan Lorna menyiapkan segelas
minuman untuk nya.

"Milla tenanglah. Dia cukup baik, dia tidak pernah menyakiti ku walaupun aku menyebalkan.
Kau lihat saja tadi kan?"bantah Lorna menyempatkan melempar senyuman ke arah wanita
tersebut.

"Aku tetap mendukung mu dengan Alexander,"Lorna menurunkan gelasnya, menatap dengan


penuh perhatian.

"Aku ingin tahu apa yang di berikan Alexander padamu hingga kau begitu
mendukungnya?"tanya Lorna ketus menatap lekat wanita itu.

"Lorna kau tidak akan bahagia dengan Rowan, dia—"

"Apa bersama Alexander aku bisa bahagia? Jika jawaban nya adalah iya maka aku akan berada
di sisinya hingga saat ini,"potong nya cepat membuat Milla menelan saliva kuat.

"Lorna aku paham kau—"

"Tidak! Kau tidak paham. Siapapun tidak paham Milla. Alexander membunuh Eric dan Mrs.
Holland dengan cara menakutkan, memainkan dramanya seakan Eric hidup. Dia mengurung ku,
membatasi ku dari siapapun bahkan dari keluarga ku, sahabat ku. Mengikuti ku kemanapun aku
pergi!"

"Lorna Alexander!"peringat Milla saat melihat bayangan pria itu dari kaca besar. Turut
mendengar semuanya.
"Ah ya kau lupa? Aku juga kehilangan anakku, dia cemburu dan meniduri ku dengan brutal! Aku
menderita Milla, benar-benar menderita karena nya. Aku bahkan belum sadar saat itu aku
hamil,"Lorna bicara sangat tegas, ia menoleh ke arah Alexander yang terdiam menatapnya
dengan perasaan campur aduk.

"Aku mencintai mu Lorna,"balasnya sangat pelan, serak nyaris tidak terdengar.

"Kau menjanjikan ending yang epic, tapi nyatanya semua bad ending Alexander. Realistis lah,
apa yang kau lakukan di masa lalu sangat membuat ku hancur. Tidak ada lagi tempat mu di sini,"

"Apa yang harus aku lakukan untuk memperbaiki semuanya?"tanya Alexander tanpa
mengalihkan pandangannya sedikitpun.

"Cintai aku dengan benar Alexander, dapatkan aku kembali, hidupkan hati ku kembali untuk
mu,"pintanya penuh harap dengan suara yang bergetar. Air matanya jatuh, menetes pelan di
aliran pipi yang cekung.

Alexander mendekat, menatap teduh wajah pucat itu dan mengusap pelan air mata yang masih
mengalir dengan tangan kasarnya. Lorna diam merasa begitu panas, tubuhnya lemah dan ingin
menopang kan tubuh hanya di dalam pelukan pria tersebut sangat lama. Tubuhnya yang seakan
tahu siapa pemilik sebenarnya.

"I love you Honey,"bisik nya pelan berusaha menyentuh hati wanita tersebut lebih awal, benar
saja! Lorna berdebar sangat kencang berbeda dari perasaannya terhadap Rowan selama ini.

Milla mengusap sudut matanya, ia tersentuh lalu menatap ke arah Billy sambil melangkah pelan
menuju ke arah pria tersebut. Mereka segera bergerak, meninggalkan keduanya.

Chapter 12 : Superhero

Lorna menggerakkan tubuhnya, melirik ke arah Milla yang tertidur pulas. Ia kelaparan dan
melirik ke arah jam yang lewat tengah malam. Ia mengeluh lalu turun dengan hati-hati dari
tempat tidurnya, segera keluar dari kamar sambil mengambil jacket dan dompet miliknya.

"Hm aku sangat lapar,"gumam Lorna memerhatikan Michella yang ikut tertidur meringkuk di
ruang tamunya.

"Nona kau mau ke mana?"tanya Michella mendadak terbangun dan segera bangkit.

"Kau tidur saja, aku hanya ingin ke supermarket. Perutku lapar,"jawab Lorna melempar
senyumannya.

"Nona ini sudah sangat malam, biar aku saja yang—"


"Jaraknya dekat, aku bisa pergi sendiri. Kau bisa menunggui Milla,"potong Lorna membuat
wanita itu terdiam sejenak.

"Tuan Alexander dan Billy pergi sejak tadi. Aku rasa mereka ada urusan mendadak, jadi lebih
baik biar aku saja yang pergi untuk membeli makanan mu,"

"Aku bisa sendiri, tenanglah .."Lorna langsung melangkah, tidak ingin mendengar Michella
menyela nya lagi.
Wanita itu mengeluh, terpaksa membiarkan Lorna yang tampak keras kepala.

Lorna mengedarkan pandangan, melihat jalanan sepi seakan tanpa penghuni. Hanya lampu jalan
yang tersisa di tiap langkahnya, ia terus berjalan santai tanpa memikirkan apapun sambil
memasukkan kedua tangannya di dalam saku jacket. Merasakan malam yang sangat dingin.

"I love you honey,"

Tap!!

Lorna berhenti melangkah saat mengingat bagaimana cara Alexander membisikkan kalimat cinta
itu. Ia tersenyum tipis sekaligus menarik napasnya kasar lalu membuka kakinya kembali
melangkah menuju supermarket.

Tiba-tiba ia mendengar suara mobil mengaum keras tepat di belakangnya. Ia menoleh seketika
dan mengerutkan kening saat sebuah supercars tersebut melewati dan berhenti di depannya.

"Siapa?"batin Lorna lalu melihat dua orang keluar dari mobil tersebut mengenakan penutup
wajah dan mendadak berlari ke arah Lorna.

Wanita tersebut mendadak mengepal tangannya, menyeimbangkan tubuh dan menendang salah
satu orang yang tampak mencoba menyerangnya. Lorna melirik ke arah satunya dan melangkah
mundur saat pria itu mencoba mendekat seakan ingin membalas tendangan tersebut.

Stranger itu menangkap lengan kirinya hingga ia langsung memutar tubuh sangat cekatan untuk
meninju wajah pria bertopeng itu dengan tangan kanan nya sangat kuat hingga cengkeramannya
terlepas. Pria satunya lagi mendekat kembali mencoba melawan namun Lorna mengelak hingga
pria itu terjatuh ke tanah. Lorna menarik kerah pakaiannya dan memukulnya dengan sikut
berkali-kali.

Srakkk!!

Pria yang satunya kembali bangkit menarik Jacket yang di pakai wanita itu, membuat ia segera
menjauh dari partner nya tersebut.

"Lepasss!!!teriak wanita itu mencoba menggerakkan tubuhnya kuat sambil merasakan tubuhnya
terseret di tanah.
"Masuk!!"perintah pria itu dengan suara garang saat mereka berada di sisi supercars. Lorna
melihat pria yang tadi ia sikut bangkit kembali dari tempatnya dan melangkah ke arahnya.

Lorna mulai khawatir namun tiba-tiba ia menurunkan tangannya ke bawah hingga stranger yang
memaksanya masuk ke dalam mobil itu sedikit berjongkok ke arahnya.

"Arrhhhhggg!!

Lorna menggigit tangan pria tersebut sekuatnya lalu merasakan cengkeramannya melemah.
Secepat kilat Lorna bangkit dari tempat tersebut dan mencoba berlari untuk mencari bantuan.
Namun salah satu pria menangkapnya kembali, ia menjejali kaki Lorna hingga wanita tersebut
jatuh. Kepalanya terbentur jalan hingga berdarah.

"Ahh!"Lorna meronta merasakan tubuhnya seakan remuk seketika. Ia memegang kepalanya yang
terasa pusing lalu merasakan seseorang kembali menariknya, memegang jacket nya sangat kuat
hingga ia di paksa untuk bangkit dari tempatnya.

"Bangun jalang,"perintah pria asing itu kasar menyeret wanita itu kembali. Lorna tidak ingin
kalah, ia mengaitkan kakinya di antara tulang kering pria tersebut dan menariknya ke depan
begitu kuat.

Pria itu terjatuh ke belakang, terguling di jalan. Lorna mencoba meloloskan diri hingga akhirnya
salah satu pria lagi nekat mengarahkan tembakan ke arahnya.

"Berhenti atau ku tembak!"Lorna menelan saliva nya begitu kuat, ia mengangkat tangan ke atas.
Takut dengan keadaan yang tampak mencekam. Sungguh Lorna tidak berkutik, tubuhnya
melemah seketika saat itu juga. Wanita itu memiliki trauma tinggi terhadap senjata api.

"Harusnya kau tidak melawan agar semuanya lebih mudah,"ucap pria itu penuh ancaman masih
mengarahkan benda tersebut ke arahnya.

"Putar badan mu dan masuk ke mobil,"perintah pria satunya lagi, telinga Lorna berdenging, ia
semakin pusing, napasnya memburu lebih cepat dari biasanya.

Dor dor !!

Lorna memutar tubuhnya menoleh ke arah dua orang penyerang itu tertembak.

"Alexander,"panggil wanita itu saat melihat pria tersebut mendekat dengan pandangan yang
semakin kabur. Ia menarik napas memerhatikan tiap ruas jalan. Bola matanya berputar dan ..

Brukk!!

Lorna pingsan, ia terjatuh ke tanah seketika sebelum Alexander meraihnya.

"Lorna!"pria itu panik, memeriksa denyut jantungnya yang masih berdetak lambat.
"Aku akan mengurus ini,"Billy mengedarkan pandangan pada dua orang yang tergeletak di jalan
itu. Entah nyawa mereka masih bisa tertolong atau tidak.

Alexander meraih tubuh Lorna membawanya masuk ke dalam mobil dan mencoba mencari
pertolongan untuk wanita tersebut.

________________

"Tidak masalah, Lorna akan sadar. Jangan khawatir,"ucap Milla melepas stetoskop dari
telinganya dan melirik ke tiap ruangan kamar.

"Kau yakin?"tanya Alexander meremas tangan wanita itu erat.

"Ya! Aku rasa ini berpengaruh erat dengan suara tembakan. Ia memasang Anchor pada dirinya
hingga saat mendengar suara mengejutkan maka ia pingsan,"terang Milla sambil mengeluh
pelan. Sugesti.

"Berbahaya?"

"Tidak terlalu, tapi kau harus waspada!"terangnya lagi sambil mengulum bibir lalu beranjak dari
tempatnya.

"Temani dia, panggil aku di kamar jika butuh sesuatu,"Milla bicara tegas, membuat Alexander
hanya diam dan mengangguk pelan.

"Sir,"

"Keluar! Aku ingin bersamanya. Berdua!"potong Alexander saat Michella mencoba meminta
maaf atas keteledorannya menjaga Lorna. Ia terdiam lalu segera keluar dari kamar hotel itu
bersama yang lainnya sambil menutup pintu ruangan tersebut.

"Hm~ siapa yang mencoba menyakiti mu?"pikir Alexander sambil meraih jemari lemah wanita
tersebut. Ia mengecupnya pelan lalu menatap kembali wajah yang tampak begitu pucat.

Tiba-tiba jari itu bergerak, meremas tangannya begitu kuat. Alexander langsung menatapnya
lebih dekat dan menunggu untuk melihat bagaimana mata hazel itu terbuka.

"Alex,"Lorna langsung meraihnya, memeluk pria itu erat merasa begitu aman di dekatnya.

"Tenanglah, kau aman di sini,"tukasnya sambil membalas pelukan Lorna yang sangat hangat
hingga kedua tangannya nyaris menyatu. Mengecup pelan sudut pipi kiri wanita itu begitu
lembut.

"Kau harus istirahat,"bisik nya tepat melepaskan pelukan itu. Menatapnya begitu intens wajah
yang memucat di depannya.
"Badan mu panas,"sambung Alexander sambil meremas jemari wanita itu cukup erat.

"Alexander apa aku salah jika membutuhkan mu saat ini?"tanya Lorna tanpa melepas pandangan
yang begitu lemah.

"Tergantung kau memilih,"balasnya sambil mengusap wajah Lorna begitu halus.

"Aku ingin memelukmu hingga pagi,"Lorna langsung mendekat memeluk lekuk pinggang pria
itu, menghirup aroma parfum mahal yang sangat ia kenal hingga tiba-tiba kedua pasang mata
bertemu.

Tap!!

Bibir mereka lekat, saling meraih satu sama lain. Lorna menutup matanya merasakan lidah
Alexander bermain di mulutnya, ia membalasnya lincah seakan tidak ingin kalah. Tidak perduli
berapa lama ia kehilangan oksigen.

Namun sepersekian detik kemudian, ciuman itu terlepas. Alexander melirik ke arah ponselnya
yang tampak bergetar, ia meraihnya dan menatap intens ke arah layar itu.

"Nomor tidak di kenal,"batin Alexander sambil melirik ke arah Lorna sesaat. Ia mengangkatnya
tanpa beralih dari sisi itu hingga suara seorang wanita terdengar menusuk di telinga Lorna.

"Sayang! Kau di mana? Aku mencari mu. Kenapa kau memblokir nomor ku Alexander?"tanya
Joana membuat mata keduanya kembali bertemu.

"Jangan ganggu aku,"balasnya cepat lalu mematikan ponselnya dalam hitungan detik. Lorna
menurunkan pandangan lalu menarik kembali selimut tebal yang ada di dekatnya. Ia marah!

Wanita itu langsung berbaring, menutup matanya yang bulat tanpa ingin bicara sepatah katapun
lagi pada Alexander.

______________

Rowan bersandar pada meja bar rumahnya, memegang gelas sloki sekaligus menatapnya datar.
Memikirkan banyak hal perkara Lorna.

"Kapan aku bisa menyentuh mu baby,"pikirnya sambil menenggak segelas minuman.

"Ahh Sial! Sedikit lagi, harusnya aku yang menyelamatkan Lorna tadi. Bukan pria brengsek
itu!"maki nya sambil mengepal kuat gelas yang ada di tangannya hingga pecah dan langsung
melukai tangannya. Ia tidak perduli seakan tidak merasakan sakit. Rencananya gagal malam ini
untuk menjadi superhero dan membuat Lorna terkesan.
"Aku harus menyusun rencana dengan baik,"batinnya lagi melihat pecahan kaca yang ada di
tangannya. Ia mencabutnya segera lalu mengepal kuat tangan.

Drrrttt!!

Ponselnya bergetar, pria itu lekas memeriksanya dan tersenyum begitu lebar, ia membalas satu
pesan dengan cepat lalu meraih sebuah kain untuk mengelap darahnya. Ia memutar tubuhnya dan
beranjak keluar sambil mengepal kuat kain untuk menjaga darahnya.

"Hey,"sapa seseorang berdiri tegap di hadapannya. Rowan mengedarkan pandangan, meneliti


wanita tersebut lalu membuang napas kasar.

"Masuklah honey,"ucapnya pada seorang wanita dengan rambut hitam pekat, tempat di mana ia
selalu menuntaskan hasratnya yang tertahan. Jalang yang menjadi simpanan nya di belakang
Lorna selama ini. Bukan hanya satu wanita, ada banyak lagi dan sering berganti di tiap
minggunya.

Chapter 13 : Falling to Pieces

Lorna memutar tubuhnya menatap ruang kamar hotel yang tampak luas namun terlihat kosong.
Tidak ada satu orangpun yang terlihat di sana, ia tertidur sangat pulas hingga sore hari.

"Ahh!!"Lorna mendesis tanpa sengaja menyentuh luka di kepalanya yang sudah di obati. Ia ingat
apa yang sudah menimpanya tadi malam.

Ceklek!!

Alexander keluar dari toilet yang ada di kamar hotel hanya mengenakan Short pants yang cukup
ketat seakan membentuk tubuhnya, ia menggosok tubuh dengan handuk lalu melempar benda itu
sembarangan.

"Sudah bangun honey?""tegur Alexander menarik tali yang ada di pinggang celana. Mengikatnya
cukup kencang tanpa perduli Lorna memerhatikan apa yang tengah ia lakukan.

"Kenapa tidak membangun kan ku?"tanya Lorna perlahan bangkit dari tempatnya.

"Kau sangat pulas, bahkan tidak sadar saat aku mengganti pakaian mu,"kening Lorna langsung
menukik tajam, mengerut. Ia langsung menoleh ke tubuhnya memerhatikan pakaian tidur
berbahan satin midnight blue menempel di tubuhnya.
"Di mana Bra ku!"tukas Lorna menatap tajam sambil menaikkan satu alis ke arah Alexander
yang tersenyum tipis.

"Aku tidak bisa melihat mantan ku sesak napas semalaman,"sindirnya sambil mengedarkan
pandangan pada tubuh yang ada di depannya itu.

"Alexander, aku harus pulang dan kembalikan Bra serta pakaian ku sekarang juga,"ucap Lorna
menegaskan rasa ingin nya cukup kuat.

"Kau membentak seseorang yang sudah kau peluk semalaman ini Lorna?"

"Aku tidak sadar!"

"Kau sempat mengatakan nya semalam Lorna, kau lupa? Apa luka kecil di kepala itu membuat
mu hilang ingatan?"

Deg!

Lorna menelan ludah sekaligus memegang dadanya yang mendadak terasa berdetak cepat. Ia
menatap Alexander dan memakinya dalam hati.

Tok tok tok!!

Keduanya menoleh cepat dan seketika pria itu bergerak untuk membukanya.

"Makanan nona Lorna sir,"ucap Michella pelan, ia melirik ke dalam ruang. Memastikan Lorna
tampak baik-baik saja, ia lega bukan main.

"Kebetulan, aku benar-benar lapar,"Lorna mendekat meraih tray berisi makanan itu dan menarik
pelan dari tangan Michella yang menatap tegas pada Alexander.

"Di mana Milla?"tanya Alexander datar.

"Dia akan segera ke sini sir, pagi ini nona Milla mual berat,"balas Michella melihat Lorna mulai
memakan makanannya. Seharian penuh perutnya tidak terisi dengan apapun sejak insiden tadi
malam.

"Michella kau tahu di mana pria brengsek ini membuang pakaian ku?"tanya Lorna santai tanpa
menoleh sedikitpun pada Alexander.

"Hm~"

"Jangan bertanya hal yang tidak penting!"potong Alexander sangat tegas lalu melirik Michella
yang langsung keluar dari ruangan tersebut. Sungguh ia tidak ingin menjadi saksi pertengkaran
mereka.
Lorna menahan napas, melanjutkan makannya yang tertunda tanpa ingin membalas Alexander.
Percuma!

"Bisakah kau berpakaian dengan benar?"tegur nya mendadak merasa tidak nyaman.

"Ini sudah benar,"balasnya sambil meraih kotak rokok dan melangkah ke arah balkon. Ia
mengedarkan pandangan lalu menghisap sebatang rokok begitu nikmat nya.

Beberapa menit kemudian, pria itu menoleh kembali saat sisa rokoknya tersisa sedikit. Ia
mengedarkan mata menatap Lorna melangkah ke arah kamar mandi. Ia tersenyum tipis sambil
menekan puntung rokoknya pada asbak kaca yang ada di atas meja rias balkon tersebut.

Wanita itu mengeluh kasar membuka pakaiannya dengan cepat dan meletakkan di gantungan
yang tersedia di dekatnya. Ia melangkah ke arah shower dan mengatur suhu air yang pas sebelum
mendekam di bawahnya.

"Siapa yang menelpon Alexander semalam, kenapa mereka terlihat dekat?"tanya Lorna
membatin. Ia melamun dan menatap ke arah tembok lalu melangkah pelan untuk memasukkan
tubuhnya ke dalam ribuan air yang lekas membasahi tubuh naked nya.

"Lorna,"

Alexander memanggilnya dengan suara serak, seketika wanita itu langsung memutar tubuhnya
menatap ke arah sumber suara.

"Alexander kau—"

Pria itu menangkap cepat tubuh Lorna dan menciumnya sangat lekat, ia menarik bibir bawah
wanita itu dan meloloskan bibirnya lebih dalam. Ia meremas dada wanita itu keras, mencubit
sesukanya.

"Ahh Alex!"celetuknya sedikit mendorong tubuh kekar pria itu lalu kembali terbungkam saat
lidahnya yang kini berselancar dalam.

"Alexander ini salah, aku dan Rowan akan menikah,"potong Lorna melepas ciumannya. Pria itu
tersenyum smirk menunjukkan aura layaknya Demon's.

"Pada akhirnya kau akan jatuh pada ku Lorna,"balasnya terdengar memaksa.

"Alexander,"

"Aku menantang mu, sampai di mana kau bisa bertahan,"suara Alexander serak, ia bicara dengan
nada yang cukup kaku sambil mengecup kembali bibir merah yang ada di hadapannya itu.

Wanita itu memegang pintu kaca yang mengurungnya, merasakan sentuhan yang semakin dalam
dan berusaha menjinakkan akal sehatnya.
"Ahhhh!"Lorna mulai mendesah serak saat pria itu menurunkan ciuman di lehernya dan memberi
tanda kepemilikan di sana. Kissmark.

Wanita itu mendongak tinggi saat merasakan nipple nya seakan di tarik keluar dalam hitungan
detik. Lorna memegang bahu Alexander masih mencoba bertahan di tengah sentuhan mematikan
itu.

"Menyerah lah,"bisik Alexander menggigit bahu wanita tersebut sambil meremas dada yang
tampak menggantung indah di depannya.

Plakkk!!

Lorna mendadak menampar wajah Alexander cukup kuat hingga aktifitas mereka langsung
terhenti, pria itu mengepal tangannya kuat lalu menaikkan pandangannya kembali begitu tajam
ke arah Lorna.

"Aku masih membenci mu Alexander!"wanita itu mengusap air matanya, ia mengelak


pandangan tegas itu dan segera melangkah keluar dari ruangan shower, meraih handuk dan
pakaian yang ia letakkan tadi lalu menghilang dari pandangan Alexander secepat kilat.

"Tunggu saja Lorna sampai waktunya tiba, kau akan tahu siapa musuh mu,"gumam Alexander
tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun.

__________________

Rowan mengedarkan pandangan sambil menekan ponselnya sesekali lalu meletakkan benda itu
di telinga. Keberangkatan nya ke Los Angeles di tunda hingga besok sore.

"Kenapa Lorna belum juga pulang, di mana dia?"keluh pria itu sarkas melirik arloji yang kini
sudah menunjukkan pukul 11 malam.

Ia mengeluh kembali lalu segera beranjak ke arah mobil miliknya untuk meninggalkan tempat.

Namun, ia menghentikan kegiatannya saat mendengar deru supercar yang sangat ia kenal masuk
di kawasan halaman rumah Lorna. Seketika Rowan langsung mengepal tangan, merapatkan
seluruh giginya begitu kuat.

"Aku harus tahan!"batinnya dengan napas tersengal sambil melangkah ke arah supercars itu.

Lorna keluar lebih dulu, ia lekas menghampiri Rowan tampak begitu khawatir.

"Kau tidak jadi berangkat?"tanya Lorna sambil membasahi bibirnya.

"Di tunda, kenapa kau masih—"Rowan menahan ucapannya sambil mengepal tangan begitu
kuat. Menatap luka yang tersisa di sudut kening wanita tersebut.
"Apa yang terjadi dengan mu? Kau terluka,"ucapnya sambil tersenyum tipis, mencoba
memeriksa kening Lorna sekaligus mengerling ke arah Alexander yang ikut keluar dari
mobilnya.

"Semalam aku di serang, maaf karna tidak bisa memberitahu mu. Ponsel ku tinggal di
dalam,"ucap Lorna sambil menunjuk ke dalam rumahnya yang tampak gelap.

"Malam Mr. Rowan!"sapa Alexander tersenyum tipis tanpa melepas kacamata hitamnya. Suara
pria itu berhasil membuat bulu kuduk Lorna meremang, ia bisa saja sembarang bicara pada
Rowan.

"Yah malam. Kau tahu siapa yang menyerang mu Lorna?"balas pria itu membuat Alexander
menaikkan bibirnya ke kanan sedikit sambil menatap jelas wajah Rowan di balik kacamata
hitamnya.

"Entahlah, aku tidak mengenal supercars nya, mereka juga mengenakan topeng,"

"Supercars? Berarti hanya orang kaya yang bisa membelinya. Hm mungkin kau bisa cek orang-
orang terdekat mu,"sindir Rowan tampak mengarahkan pada Alexander.

"Pacar mu benar, kadang orang-orang terdekat lah yang paling cepat menusuk mu honey,"balas
Alexander tanpa menghilangkan ciri khasnya saat memanggil wanita tersebut. Rowan terkekeh
geli mendengar panggilan itu.

"Tampaknya kau masih belum bisa menerima kalau hubungan mu dengan calon istri ku
berakhir,"Rowan tersenyum simpul sekaligus menghela napas, matanya mengedar memerhatikan
Alexander akhirnya melepaskan penghalang mata tersebut. Ia menantikan itu untuk menatap
angkuh mata hazelnut tersebut.

Alexander melipat kedua tangan di dada, membalas senyuman simpul yang terarah padanya
sejak tadi. "Aku ingat kalimat penting yang di tinggalkan Jhon lennon dalam lirik lagunya. A
dream you dream alone is only a dream, A dream you dream together is reality! Jadi apa kau
bermimpi hal yang sama dengannya honey?"

Degg!

Lorna terdiam, ia menunduk tanpa bisa menjawab apapun. Alexander begitu membuatnya
tersudut sekarang.

"Lorna,"panggilnya lagi membuat wanita itu akhirnya mengangkat kepala.

"Aku mau tidur. Pulanglah!"wanita itu segera memutar tubuhnya, menabrak bahu Alexander
dengan sangat keras tanpa sengaja.

Sementara Rowan memilih diam tanpa melangkah mencari jawaban dari kekasihnya itu. Ia
hanya lekat menatap ke arah Alexander yang memiringkan senyuman kemenangan. Itu
jawabannya, Lorna tidak memimpikan apapun untuk bersama Rowan. Ia hanya ingin melupakan
masa lalu buruknya yang sekarang menghantui sekaligus menjeratnya kuat.

"Ayolah Lorna.. Setidaknya Rowan tidak pernah menyakiti mu. Dia selalu baik, setidaknya .. Ya
setidaknya ia banyak berusaha untuk menjadi yang terbaik,"Lorna membatin melangkah hingga
masuk ke dalam rumahnya. Mengunci dan mengurung diri di dalam.

"Sial! Harusnya aku menahan diri untuk tidak mengulang semuanya. Harusnya aku tidak jatuh
dalam jebakan nya, He's a demon, aku hancur karenanya hingga berkeping-keping!"

Chapter 14 : California

Beberapa hari berlalu begitu cepat, saat ini Alexander duduk di sudut ruang kamar hotelnya.
Memegang sebuah majalah Forbes edisi terbaru yang merilis daftar orang terkaya dunia, ia
tersenyum tipis memerhatikan angka kekayaan yang berhasil menyentuh angka USD 305 juta.
Tipis dengan urutan pertama yang hanya berbeda dua digit belakang. Hingga saat ini Damon
Luther Stefano masih memimpin juaranya dengan kekayaan USD 308 juta.

"Tidak buruk,"ucapnya datar sambil meletakkan majalah bisnis itu di atas tumpukan berkas
pekerjaan yang ia selesaikan beberapa hari ini. Begitu menumpuk hingga Lorna cukup tenang
tanpa kehadiran Alexander.

"Sir, berkas mu datang,"celetuk Michella melangkah pelan ke arah pria tersebut. Ia meraihnya
cepat meneliti kop yang ada di sampul dokumen tersebut dan melempar senyum tipisnya.

"Kenapa lama sekali? Apa uang yang aku berikan kurang?"tanya Alexander membuka dokumen
tersebut dengan hati-hati.

"Bukannya Billy meminta agar mereka tetap mengikuti prosedur?"tanya Michella penasaran.

"Harusnya mereka memprioritaskan berkas ku,"Balas Alexander cepat lalu memeriksa begitu
teliti. Menatap begitu tajam.

"Mereka meminta tanda tangan mu dan nona Lorna, sir,"terang Michella ikut mengedarkan
pandangannya ke arah lembar berkas tersebut. Alexander mengangguk pelan lalu menyerahkan
benda itu kembali pada Michella.

"Simpan di laci!"perintahnya tanpa melirik sedikitpun ke arah wanita tersebut. Michella


melenggang cepat sambil memasukkan berkas itu kembali dalam sampulnya dengan benar.

"Bagaimana Rowan?"tanya Alexander bergerak dari tempatnya dan meraih minuman beralkohol
di sudut balkon kamar hotel.
"Ia kembali dari Los Angeles hari ini, aku pikir ia ke sana untuk mendapatkan berkas asli nona
Lorna, track record-nya menunjukkan ia sempat bergerak ke mansion lama keluarga Dulce,"

Alexander memiringkan senyuman, menajamkan pandangan ke arah luar dan kembali menyesap
minuman yang ada di tangannya.

"Terus awasi,"sambung Alexander membuat Michella diam dan mengangguk pelan lalu memutar
tubuhnya ke arah pintu. Ingin keluar dari ruangan.

"Ah ya! Milla masih di rumah Lorna?"tanyanya mendadak sekaligus memutar tubuhnya ke arah
Michella yang langsung menghentikan langkahnya.

"Dia baru saja sampai ke hotel, nona Lorna bekerja di tokonya,"

"Kerja? Bukannya stok di toko itu habis?"

"Hm Mrs. Willand baru saja mengeluarkan sisa stock. Tinggal sedikit,"terangnya singkat lalu
menghela napas.

"Ah ya, di mana aku harus membagikan barang-barang yang kau beli di toko Venezia sir?"tanya
Michella membuat Alexander berpikir sejenak.

"Terserah! Aku tidak ingin mengurus hal itu,"balasnya datar lalu memutar tubuhnya cepat.
Kembali ke arah balkon.

"Alexander,"panggil seseorang di depan pintu dan langsung masuk dalam ruangan.

"Aku perlu bicara,"Milla melirik ke arah Michella dan seketika wanita itu langsung bergerak
menjauh keluar ruangan.

"Ada apa?"pria itu menatapnya, menenggak kembali minuman yang masih tersisa.

"Rowan memalsukan data Lorna dan mendapatkan salinan nya, berkas itu bisa di terima
pengadilan untuk pernikahan."

"Lalu?"tanyanya santai membuat Milla terdiam sejenak dan mengerutkan kening.

"Alexander, kenapa kau tidak mengatakan semuanya pada Lorna bahwa pria itu penipu?"

"Kau pikir dia akan percaya jika aku yang mengatakannya?"

Milla langsung terdiam, berpikir sejenak kalimat Alexander barusan. Lorna akan semakin
mengungkit masa lalu mereka jika Alexander memperingatinya.

"Ya kau benar, karna kau sama saja brengseknya,"


"Jangan terlalu sering menghinaku, ingat perut mu Milla. Akan ku ajari dia untuk mempertahan
kan apa yang menjadi miliknya nanti,!"

Deg!!

Milla menelan ludah, ia menatap tajam ke arah Alexander yang melangkah menjauh dan
meletakkan gelas di sudut nakas.

"Tidak perlu, anak ku harus terlahir imut seperti daddy nya."tukas Milla tanpa lupa mengusap
perutnya yang terasa membuncit semakin berat. Sedikit lagi, ia akan menjadi ibu yang sempurna.

"Kapan kau pulang ke California? Ini sudah dua minggu sejak kau datang ke Haggen,"

"Sampai aku mendapatkan Lorna kembali,"jawab Alexander cepat sambil mengedarkan


pandangan nya . Milla mengangguk tampak beberapa kali menahan napas, ia sesak.

"Aku harus kembali ke kamar,"Milla segera memutar tubuhnya. Bergerak pelan sambil
memegang punggung yang terasa begitu terbebani.

__________

Lorna bersandar di sudut tembok, memejamkan mata sambil memijat kening. Ia mengantuk.
Untunglah sejak tadi tidak ada satu orang pun yang datang, ia merasa berdosa saat memiliki
pikiran agar toko sepi hari ini. Ia tampak lelah seakan pikirannya begitu menumpuk dengan
berbagai hal.

"Lorna, kau sakit?"tegur Kristina yang menjadi rekan kerjanya di toko Venezia itu sejak awal.

"Tidak, hanya sedikit letih. Aku tidak tidur semalaman,"Lorna menelan ludah, meraih sebuah air
putih praktis yang di kemas dalam satu wadah.

"Entah apa yang kau pikirkan hingga melakukan itu, semangat lah. Kita akan pulang dua jam
lagi,"ucap Kristina membuat Lorna mengangguk sambil tersenyum tanpa melepas pipet
minuman yang menempel di bibirnya. Lalu melihat Kristina masuk ke ruang gudang.

Sungguh Lorna bahkan tidak menyangka hidupnya akan berakhir di sini, ia putri kesayangan
keluarga Dulce. Pria berbakat yang menjadi ilmuan kepercayaan negara, hidupnya hanya keluar
masuk club malam dan toko mahal bersama Olivia yang bahkan tidak ia dengar lagi beritanya.
Sulit untuk nya menanyakan kabar wanita tersebut pada Alexander, mantan kekasih yang
membuatnya berada di atas angin. Apapun bisa ia raih bahkan hanya dalam satu jentik kan.

Di tengah lamunan panjang, tiba-tiba Lorna meletakkan minumannya, segera beranjak dari
tempatnya dan menyapa tamu yang datang.
"Selamat datang di toko Venezia,"sapa nya mencoba bersikap ramah. Ia membulatkan mata saat
menangkap sebuah senyuman bersahabat dari seseorang— Princess Miya Abellone Elizabeth, ia
datang bersama tunangan dan beberapa pengawalnya.

"Your highness, Ah aku tidak menyangka kau datang ke sini princess,"sambungnya tanpa
mengalihkan pandangan sedikitpun.

"Kau Lorna Chameron Dulce, right?"tanya Miya langsung membuatnya mengangguk pelan.

"Aku akan membuatkan mu minuman,"Lorna bergerak menjauh, menyiapkan janji yang harus ia
berikan pada putri mahkota itu. Tiga tahun hidup mandiri tampaknya berhasil membuat Lorna
terbiasa melakukan banyak hal.

"Maaf aku hanya bisa menyediakan ini your highness, kalian datang mendadak,"
Ucap Lorna menyajikan teh panas dengan hati-hati.

"Tidak masalah, Kami yang harusnya minta maaf karna mengganggu jam kerjamu Ms.
Dulce,"cela pria yang sejak tadi duduk di samping Miya memperhatikan intens ke arahnya.
Tunangan putri mahkota, Letnan Andres klaus poulsen.

"Kami datang untuk berterimakasih, jika kau tidak datang malam itu mungkin aku akan berada di
rumah sakit,"ucap Miya sambil meletakkan cangkir teh nya.

"Aku hanya kebetulan lewat jalan itu princess,"balas Lorna tersenyum tipis. Hingga beberapa
menit kemudian mereka tampak bicara formal, menelisik satu sama lain tanpa di sadari sepasang
mata coklat tampak menyelidik tajam menunggu waktu untuk bicara.

"Aku ingin ke toilet,"Akhirnya kesempatan itu datang saat Miya merasakan kantung kemih nya
terisi penuh. Lorna menawarkan bantuan untuk mengantarnya, namun Miya menolaknya pelan.
Ia juga terbiasa mandiri.

"Jadi kau berasal dari Amerika?"celetuk Anders yang sejak tadi menatapnya penuh tanya.

"Ya, sebelumya aku di California,"balas Lorna mulai merasa takut. Ia sensitif terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan masa lalu. Tidak ada satu orang pun yang tahu tentangnya sejak ia
menginjakkan kaki di Haggen secara ilegal.

Ander mengeluarkan gulungan kertas yang sudah ia persiapkan sebelumnya dan membuat wanita
itu sedikit mengerutkan kening saat memerhatikan salinan data pribadinya itu.

"Di sana tertera kalau kau kehilangan Pasport dan Visa, apa yang terjadi pada princess Miya
bukanlah hal yang main-main. Semua di curigai dan siapapun bisa berspekulasi, tugas aparat
adalah mengungkap nya,"Lorna menelan ludah merasa terpojokkan.

"Kau mencurigai ku?"


"Kami harus lebih hati-hati pada siapapun, termasuk padamu. Kau masuk ke Haggen secara
ilegal, kami bisa memenjarakan dan mengirim mu ke kedutaan besar di Amerika serikat,"

"Letjen, aku tidak berbohong. Aku sudah memberikan semua keterangan di kantor polisi selama
16jam. Aku di sini untuk menghindar seseorang,"ucap Lorna sedikit ketus mencoba
memberanikan diri. Jantungnya ingin lepas ketakutan saat Anders seakan mengancamnya.

"Apa kau melakukan kejahatan?"tanya Anders menyelidik mata Lorna yang langsung membulat.
Tersinggung karena tudingannya.

"Aku memiliki masalah besar di masa lalu dan terpaksa datang kesini untuk menghindarinya
waktu itu,"balas Lorna hati-hati memerhatikan Anders tampak ragu sambil menaikkan alisnya.

"Baiklah, aku menghindari seorang pria bernama Alexander Dalle Morgan. Dia cukup terkenal,
kau bisa mengeceknya Letjen,"ucap Lorna memerhatikan paras Anders yang mendiamkan diri
sejenak. Menyelidiki kebenaran di tiap ucapannya, Ia merasa Lorna bisa di percaya dengan sikap
arogan wanita itu sendiri.

"Aku tetap ingin meminta Pasport dan Visa untuk kevalidan data, itu prosedur menjadi bagian
prosedur Ms. Dulce. Kau melanggar aturan saat masuk ke Haggen, namun aku akan memberi mu
kelonggaran karna kau sudah menolong putri mahkota,"ucap Anders membuat wanita tersebut
menghembuskan napas lega.

"Berapa lama kau memberi ku waktu Letjen?"tanyanya penuh harap.

"3 hari,"Lorna membelalakkan mata mendengar nya.

"Bagaimana kalau satu bulan,"tawar Lorna bahkan tidak punya jaminan atas hal itu. Ia bahkan
tidak tahu bagaimana ia bisa mendapatkan semuanya dengan mudah.

"Satu minggu,"

"Tiga minggu,"jawabnya cepat sambil menelan ludah, ia menatap Anders dengan wajah
berharap, menurunkan mata seperti memelas. Hingga mendengar pria itu menghembuskan napas
kasar.

"Baiklah aku mengalah,"seketika Lorna melemas, ia merasa begitu lega. Setidaknya ia punya
waktu tiga minggu untuk mencari cara agar tetap berada di Haggen.

Tidak lama kemudian, Miya kembali dan melihat beberapa barang yang ada di toko Venezia itu.
Sesekali mereka terlihat obrollan yang menyenangkan hingga putri mahkota beranjak pergi
meninggalkan toko setelah membeli barang yang ada di sana.

Lorna menatap jauh ke depan toko, ia melipat kedua tangan dan memikirkan masalahnya yang
kian bertambah.
"Bagaimana caranya aku bisa mendapatkan Visa dan pasport,"batin nya terdengar begitu penuh
kebingungan.

"Ah aku mungkin bisa minta bantuan Rowan dia masih di Los Angeles,"Lorna meraih ponselnya
dan mencari nama kekasihnya itu.

"Tidak mungkin, daddy bahkan sudah tidak tinggal di sana lagi. Bagaimana aku
mendapatkannya dalam waktu tiga minggu?"tanyanya lagi sambil memasukkan kembali ponsel
kecil itu ke dalam saku celananya.

"Alexander, apa aku harus minta bantuannya?"Lorna berpikir sejenak sambil menggigit ujung
kuku ibu jarinya.

"Ah tidak— pria brengsek itu pasti akan memanfaatkan keadaan ini, entahlah. Aku tidak ingin
memikirkannya sekarang,"gumam Lorna membuyarkan semuanya seketika. Ia menahan
napasnya lalu kembali masuk ke dalam toko dan kembali bekerja.

Chapter 15 : Wedding Ring

"Kapan kau kembali ke Haggen, Rowan?"tanya Lorna saat melihat pria itu seakan memamerkan
wajah di hadapan rumahnya malam ini.

"Semalam sore! Maaf aku baru bisa datang hari ini, pekerjaan ku menumpuk."ucap pria itu
sambil mengulurkan sebuah paper bag berukuran sedang pada Lorna.

"Harusnya kau tidak perlu repot,"Lorna tersenyum tipis, meraih benda itu dan mengintip isinya.
Sebuah coklat khas Amerika serikat, Guylian Chocolate.

"Tidak masalah, aku tahu kau sangat menyukai chocolate itu!"Rowan tersenyum tipis mencoba
mencari perhatian.

"Masuklah!"perintah Lorna terdengar lembut, ia memutar tubuhnya dan langsung meletakkan


buah tangan itu di atas nakas yang ada di sudut dapur rumah.

"Aku merindukan mu!"Rowan memeluknya dari belakang, menghirup aroma yang menjadi
candunya. Mematikan dan berhasil membuat pria itu frustasi setiap saat.

"Ya aku juga,"balas Lorna datar, ia menelan ludah dan sungguh ia tidak nyaman. Seperti sesuatu
yang membatasinya saat ini.

"Duduklah, aku akan membuatkan mu minum!"


Lorna menggeser tubuhnya hingga pelukan pria itu terlepas, ia canggung namun tidak perduli
dengan reaksi Rowan.

Pria itu mengepal tangannya kuat, ia tahu persis Lorna sedang mencoba menghindarinya.
Baiklah, ia pria pengertian dan menjadi pacar paling baik di dunia. Rowan mundur dan
mengikuti arahan Lorna agar tidak menciptakan suasana yang membuatnya kesal.

"Apa yang kau lakukan selama satu minggu tanpa ku?"tanya Rowan saat duduk di kursi ruang
tamu yang tidak jauh dari sudut dapur di mana Lorna tengah membuatkannya minuman.

"Seperti biasa, bekerja dan tidur."jawabnya dengan terkekeh pelan.

"Kau tidak bertemu dengan mantan mu itu kan?"selidik Rowan menerka-nerka apa yang di
lakukan wanita itu de belakang nya selama ini.

"Jangan mulai lagi, kalaupun ia tidak ada hubungan khusus antara kami!"tegas Lorna sarkas
membuat pria itu mengeluh.

"Ya kau menjadi pelacurnya dua minggu lalu, apa itu bukan hubungan khusus? Bitch!" maki
Rowan dalam hati tanpa melepas pandangannya dari wanita itu sedetikpun.

"Ini minumlah. Aku tidak punya makanan apapun! Kau mendadak."

"Tidak masalah. Aku sudah makan sebelum ke sini,"balasnya sambil mencicipi minuman yang
ada di meja. Merasakan panasnya hot milk capuccino begitu nikmat.

"Ah ya aku ingin membicarakan sesuatu yang sempat kita bicarakan di telpon soal pernikahan.
Berkas itu akan aku ajukan besok pagi."

"Apa itu aman? Berkas nya palsu!"tanya Lorna khawatir.

"Aku pikir begitu, berkasnya mirip yang asli," Lorna mengeluh kasar lalu memegang kepalanya
yang begitu pusing.

"Kau ada masalah?"tanya Rowan mencoba mengorek informasi. Lorna mendelik ke arahnya lalu
memalingkan wajah ke tempat lain.

"Tidak!"jawabnya begitu pelan. Ia tidak yakin jika Rowan bisa membantunya. Pria itu pasti
hanya menyarankan surat kehilangan atas visa dan paspor nya. Masalahnya selama ia tinggal di
Haggen akan di pertanyakan, buruknya ia bisa di anggap mata-mata karena masuk secara ilegal.

"Aku punya sesuatu untuk mu!"Rowan mengeluarkan kotak cincin berwarna hitam dan
mendorong benda itu ke arahnya.

"Apa ini?"tanya Lorna dengan nada pelan sembari meraih benda itu dan membukanya.
"Itu untuk mu, pakailah di hari pernikahan kita,"

"Rowan! Aku .."

"Itu spesial untuk mu jadi ambillah,"potongnya cepat membuat wanita itu mengeluh.

"Tapi kau pernah memberiku cincin sebelumnya."

"Itu hilang kan saat kita bertengkar?"tanyanya membuat wanita itu diam dan mengangguk ke
arahnya.

"Karena itu aku membelikan mu ini, simpanlah!"Lorna menghembuskan napas lalu menutup
kembali kotak itu dengan penuh keraguan. Ia takut mengecewakan Rowan namun di sisi lain
sulit untuknya bertahan.

"Terimakasih, kau sudah banyak menghabiskan uang untukku,"keluh Lorna sambil menelan
ludah.

"Tidak masalah, kau layak mendapatkan itu."balasnya sambil tersenyum lebar.

"Tunggu sampai waktunya tiba, aku akan membuatmu tunduk di bawahku Lorna."Rowan
membatin, ia menatap tajam ke arah wanita tersebut begitu lekat hingga sepersekian detik.

Tok tok tok!!

Mereka menoleh segera ke arah sumber suara, mencoba mencari tahu sosok yang ada di bibir
pintu.

"Hey Milla,"sapa Rowan cukup ingat nama wanita yang sempat menghinanya kemarin.

"Hay! Kau sudah kembali dari Los Angeles? Kenapa cepat sekali?"Milla masuk sambil meremas
tangan Billy yang mengikutinya sejak tadi. Ia ingin menyenangkan wanita yang memaksanya
untuk di antar ke rumah Lorna sejak siang tadi.

"Ya aku baru saja—"

"Wah kau memberinya hadiah?"Milla mendekat meraih kotak cincin yang ada di atas meja dan
membukanya sembari melepas tangan suaminya itu.

"Ini sangat cute. Kau sangat baik Rowan,"puji Milla membuat pria itu langsung tersenyum tipis.

"Tidak aku hanya—"

"Tapi harusnya kau bisa membelikan Lorna lebih dari berlian ini, tidak elit untuknya. Kau tahu
persis mantannya sangat kaya."
"Milla hentikan,"potong Lorna tampak tersinggung dengan apa yang di katakan wanita itu.

"Tenanglah, aku tidak masalah dengan ucapannya,"balas Rowan melirik tajam ke arah Billy
yang tampak mendukung Milla dengan caranya.

"Pacar mu sangat baik. Dia benar-benar tahu menghadapi wanita hamil seperti ku. Ah ya apa
hanya ini hadiah mu?"tanya Milla sambil menaikkan alisnya. Ia mengedarkan pandangan di tiap
tempat dan mencoba mencarinya.

"Aku akan membelikannya lebih banyak jika Lorna sah menjadi istri ku,"balas Rowan tersenyum
tipis.

"Kau pelit! Lorna bahkan pernah di datangkan 10 barang branded termahal dunia ke mansion.
Dia tinggal pilih!"

"Milla!"tegur Lorna dengan nada sedikit keras. Ia tidak terima caranya wanita itu menghina.

"Aku pulang saja, kalian bersenang-senang lah,"Rowan tersenyum mencoba mencairkan


suasana. Ia tidak ingin terpancing sedikitpun.

"Tampaknya wanita ini perlu ku beri pelajaran,"batin Rowan sambil mengedarkan pandangan.

"Rowan .."

"Tidak masalah. Aku sudah biasa, aku harus paham pada tingkah wanita hamil kan?"tanyanya
membuat kelegaan di hati Lorna. Pria itu mengalihkan pandangan ke arah Milla yang masih setia
menudingnya.

"Tatapan mu tidak menunjukkan kau baik-baik saja, kawan!"tegur Billy mencoba membuka
suaranya. Ia tahu persis tatapan Rowan begitu penuh ancaman. Tajam dan menusuk.

"Terserah bagaimana kalian menilai ku, jujur saja aku hanya perduli tentang Lorna. Aku
permisi,"pria itu segera melenggang. Ia menjauh dan segera keluar dari ruangan itu, menyatukan
tubuhnya dengan pekat malam hingga sampai ke mobilnya.

"Milla kau keterlaluan,"

"Lorna aku hanya bercanda,"

"Tidak. Itu bukan sesuatu yang bisa menjadi bahan candaan mu,"tuding wanita tersebut membuat
Milla diam. Ia melirik ke arah Billy hingga pria itu memilih keluar dan membiarkan mereka
bicara.

"Kau tidak tahu siapa dia,"

"Jadi kau lebih tahu dari pada aku? Kau baru mengenali nya Milla."
"Lorna, buka matamu! Apa yang kau lihat itu tidak—"

"Kau datang ke sini untuk menghina kekasih ku? Aku tahu Alexander memiliki apapun tapi
Rowan tidak pernah menyakiti ku sama sekali. Jadi berhentilah membandingkan
keduanya!"Lorna membentak kasar, ia tegas sambil mengepal tangan sangat kuat dan menatap
begitu lekat.

Milla menghela napas, ia terisak dan pandangan mata wanita itu mendadak berubah. "Aku
kecewa padamu, Lorna."

Seketika wanita itu memutar tubuhnya sambil mengusap sudut matanya yang berair. Ia keluar
dari ruangan tersebut meninggalkan Lorna yang tampak frustasi. Ia meraih sesuatu dan
melemparnya sembarangan untuk meluapkan seluruh rasa emosinya.

____________

Beberapa jam kemudian, Lorna melirik ke arah jam dinding yang kini menunjukkan pukul 9
malam. Ia memegang perutnya terasa begitu lapar.

"Tidak ada makanan di freezer, sebaiknya aku keluar sekarang. Tapi—"Lorna memudarkan
keinginannya saat mengingat bagaimana ia pernah di serang. Wanita itu melamun panjang
sejenak memikirkan keputusan yang harus ia ambil.

"Kenapa kau melamun?"tanya seseorang begitu mendadak sambil memeluknya dari belakang
sangat erat. Bahkan berhasil mengecup pelan sudut lehernya.

"Alexander .. Lepas,"Lorna menelan ludah mencoba meloloskan diri.

"Aku merindukan mu,"pria itu semakin mengeratkan pelukan dan mendaratkan ciuman.

"Alexander aku lapar,"celetuknya begitu jujur seakan ingin mengambil kesempatan. Rasanya
begitu tidak tertahankan.

"Hm— apa yang ingin kau makan?"tanya Alexander memutar tubuh wanita itu begitu cepat
tanpa melepas pelukannya sedikitpun.

"Apapun!"balas Lorna sambil menyentuh kepalanya. Terasa pusing.

"Ikut aku!"

"Tidak! Aku ingin makan di sini. Aku tidak mau kemanapun!"sanggah Lorna membuat pria itu
mengerutkan kening.

"Baiklah,"Alexander melirik ke arah bibir pintu, memerhatikan dan memanggil salah satu
bodyguardnya untuk membelikan makanan layak untuk wanita tersebut. Alexander tahu selera
nya.
"Pacarmu sama sekali tidak peka, dia membiarkan mu kelaparan!"sindir Alexander membuat
wanita itu menatapnya tajam.

"Jika dia yang datang, aku akan minta padanya,"balas Lorna tidak kalah tajam.

"Akui saja, bahwa aku lebih paham apa yang kau butuhkan!"

"Kau terlalu percaya diri. Angkuh!"Lorna memutar tubuh dan segera membelakangi pria itu.
Alexander tidak tinggal diam, ia segera meraih pinggul wanita itu dan merapatkan diri.

"Aku hanya mempertahankan apa yang menjadi milikku, bedakan!"tegasnya sambil mengecup
pelan leher wanita itu kembali seakan memancingnya.

"Alex lepaskan aku, itu bisa berbekas,"Lorna menarik tubuhnya takut jika sengatan pria itu
membuat kissmark di tubuhnya.

"Akuilah kau suka dengan sentuhan ku!"bisik nya lagi sambil tersenyum tipis. Masih mencoba
mencium lebih jauh, ia diam-diam melepaskan kancing pakaian wanita itu.

"Alex aku mau—"

"Diam lah!"perintahnya sangat sarkas, Lorna semakin bergerak. Ia mencoba menutup mulutnya
namun mendadak pria itu menahan tangannya kembali dan langsung memutar kembali tubuh
wanita itu ke arahnya.

Tap!

Lorna memegang bahu pria itu sangat kuat, menatapnya sedikit hingga sepersekian detik.

"A-Alexander.. Sungguh aku mau UuEEKKK!!"Lorna muntah tepat di hadapan pria itu dan
mengenainya. Ia memegang kuat tubuh Alexander seakan sengaja agar pria itu tidak bergerak
sedikitpun.

"Ueekk!"sekali lagi Lorna mengeluarkan isi perutnya di hadapan pria itu tanpa perduli dengan
apa yang di rasakan Alexander. Ia berhasil memberi pria tersebut pelajaran yang setimpal.
Alexander mengangkat kepala, tampak frustrasi. Namun ikut memegang lengan Lorna, rapat.

Chapter 16 : Document

Lorna menahan napasnya, ia melirik tajam ke arah Alexander yang baru saja keluar dari kamar
mandi. Pria itu tidak protes sama sekali atas aksinya.

"Sudah habiskan makanan mu?"tanyanya sembari melirik wanita itu mengangguk pelan.
"Bagaimana pakaian mu?"Lorna mencoba membuka pembicaraan kembali, merasa begitu
canggung pada pria itu.

"Aku bisa atasi ini, hanya kau yang bisa melakukan nya padaku!"celetuk Alexander melempar
pakaiannya pada salah satu pengawal yang ada di dekatnya.

"Alexander, sejujurnya aku ingin bicara dengan mu."

Lorna menelan ludah, menunduk sejenak membuat pria itu tersenyum tipis dan mendekatinya.
"Kau punya masalah?"

"Hm!"balasnya singkat sambil mengulum bibir yang terasa dingin.

"Ikut aku!"perintah pria itu datar.

"Kemana?"

"Kita bicara di kamar hotel ku,"seketika mata hazel itu bergerak ke arahnya tajam seakan ingin
melempar sebuah bom ke arah Alexander.

"Tenang lah! Kita hanya akan bicara .. Kecuali jika kau mau, kita bisa sambil berpelukan dan
berciuman atau—"

"Brengsek! Pikiran mu begitu kotor!"maki Lorna sambil beranjak dari tempatnya, ia melewati
Alexander dan pria itu kembali menangkapnya, menahan begitu kuat.

Lorna mengelak mencoba menepis pautan itu dengan sebuah tinju yang sangat kuat. Namun
tampaknya Alexander mampu membaca situasi lebih cepat. Ia menangkap lengan Lorna
menahan kedua tangannya dan menjatuhkan tubuh wanita itu kembali di atas sofa.

Brakk!!

"Jangan terlalu keras mengelak dari ku Lorna, itu akan membuat mu semakin jatuh. Aku akan
menangkap mu dengan mudah!"

"Aku terima tantangan mu! Baiklah aku ikut, kau boleh memelukku, mencium ku dan ...."Lorna
menahan napas lalu menelan ludahnya begitu keras untuk melanjutkan kalimatnya. Sementara
sorot mata Alexander semakin tajam, menunggu detik-detik kalimat wanita itu.

"Apapun! Kau bisa melakukan apapun asalkan kau mau membantu ku,"Lorna bicara begitu
pasrah dengan suaranya yang lemah.

"Baiklah! Kau harus ingat. Ini permintaan mu, ingin mu!"

"Yah semua karna aku tidak punya pilihan lain." Alexander memalingkan pandangannya, ia
tersenyum smirk seakan menghina kalimat barusan.
"Kau punya pilihan Lorna, namun pada akhirnya kau hanya butuh aku honey, hanya aku!"

________••••••_______

"Masuklah!"perintah Alexander saat melihat Lorna hanya berdiri di bibir pintu kamar hotelnya
tanpa bergerak masuk selangkah pun.

"Aku akan meminta Milla datang untuk memeriksa keadaan mu."

"Keadaan ku? Memangnya aku kenapa?"tanya Lorna mulai melangkah masuk ke dalam ruangan.
Mendekati Alexander dan berdiri di depannya.

"Bukannya tadi kau muntah?"

"Jangan berlebihan, itu hanya muntah bukan hal fatal. Sekarang aku baik-baik saja,"tukasnya
dengan nada tegas.

"Kau yakin?"

"Ya! Aku sangat baik,"jawab Lorna begitu cepat.

"Aku tidak ingin menemui Milla sekarang, ia tidak akan senang karena aku membentak nya
tadi,"Lorna membatin. Ia tampak serius walaupun sejujurnya rasa pusing begitu penuh di
kepalanya saat ini. Ia merasa mual dan kram pada perutnya saat ini.

Alexander mengedarkan pandangan di wajah wanita itu, memegang kedua pipinya. Mengusap
begitu lembut dan penuh perhatian. "Katakan padaku jika kau sakit, jangan menyembunyikan
apapun dari ku!"kecam Alexander seakan bisa membaca pikiran wanita itu.

"Tidak. Aku hanya telat makan, tidak lebih!" jawabnya sambil melempar senyuman. Ia ingin
meyakinkan pria itu bahwa saat ini keadaan baik.

"Hm~"Alexander membasahi bibir merahnya, begitu setia menatap wajah cantik yang di miliki
Lorna. Wajah yang mengusiknya tiap malam.

"Apa masalah mu?"tanya Alexander mulai penasaran. Lorna menunduk sejenak lalu
memalingkan pandangan ke arah lain.

"Aku ketahuan masuk ke Haggen secara ilegal, dalam tiga minggu aku harus menyiapkan visa
dan paspor lalu menyerahkannya pada Letnan Anders. Jika aku tidak bisa menyiapkan semua
data itu, ia akan mengadukan ku pada kedutaan Amerika serikat dan aku akan di deportasi.
Mungkin negara akan menganggap ku mata-mata,"terang Lorna sambil tanpa melepas
pandangannya sedikitpun dari pria itu.

"Letnan Anders?"
"Ya! Dia putra perdana mentri, tunangan putri mahkota Haggen. Dia sudah memberiku
keringanan untuk menutup rapat rahasia ini hingga waktu yang di tentukan karna aku menolong
tunangannya dari perampokan,"

"Aku terkesan. Kau masih menjadi wanita yang berani, Lorna, sayangnya kau adalah wanita
yang naif."

"Alexander aku—"

"Tapi aku senang dengan sifat mu, kau pantang menyerah seperti ku. Jadi untuk membantu mu,
aku juga punya syarat,"potong Alexander tanpa memberi wanita itu bicara sedikitpun. Ia kembali
bangkit dari tempatnya, mendekati dan berdiri tepat di hadapan wanita tersebut.

"Alex .."Lorna merintih, merasakan remasan lembut yang ada di sudut pinggulnya. Ia benci jika
Alexander melakukan itu, sungguh tingkahnya membuat Lorna seakan terbakar dalam hitungan
detik.

"Kau bilang akan melakukan apapun agar aku mau membantu mu kan?"pertanyaannya langsung
membuat Lorna menelan ludah. Napasnya memburu sesaat hingga sepersekian detik, ia kalah
oleh tatapan tajam milik sang Demon's itu.

"Naik ke ranjang ku!"bisik Alexander membuat mata hazel di depannya itu pelan-pelan terbuka.
Lorna mengangguk patuh dan segera melangkah menuju ranjang dengan seprai kabut, merasakan
empuknya ranjang di mana ia pernah bercinta dengan mantan kekasihnya hingga letih.

Alexander yang sejak tadi bertelanjang dada tampak melangkah ke arah sebuah laci di mana
tempat tidur itu berada. Meraih sesuatu di dalamnya dan mendekati Lorna kembali.

"Tanda tangani berkasnya hanya dalam waktu tiga detik!"

"Alexander tapi—"

"Jika kau ingin mendapatkan visa dan paspor mu, lakukan perintah ku! Jujur saja, semua berkas
mu ada padaku. Kau meninggalkan nya di mansion ku."

"Tapi ini berkas apa? Aku tahu kau licik. Kau tidak—"

"Percayalah. Kau tidak akan menyesal karna sudah menandatangani ini,"Alexander mencoba
meyakinkan, ia menatap penuh peringatan membuat wanita itu semakin tersudut. Lorna tidak
punya jalan lain, hanya Alexander yang bisa membantunya.

"Aku tidak akan menolong mu jika Letnan itu memenjarakan mu, kau kabur dariku!"celetuknya
lagi membuat debaran jantung wanita itu bertambah kencang. Ia takut bukan main sekarang.

"Baiklah, tunjukkan bagian yang harus aku tanda tangani!"


"Keputusan mu tepat!"Alexander tersenyum licik, ia menyiapkan ballpoint dan memberikan
benda itu pada wanita yang tampak mempersiapkan diri.

"Alexander aku benar-benar berharap padamu,"wanita itu menatapnya, ia mengulum bibir begitu
ingin mengatakan apa yang tengah ia rasakan saat ini.

"Aku akan mewujudkan harapan mu!"balasnya membuat Lorna langsung mengangguk pelan
sambil menahan napasnya yang sedikit tersengal.

Alexander membuka berkas itu, mendekatkan kembali pada Lorna yang sudah siap dengan
keputusan besar tersebut. Ia menaikkan pandangan lalu melirik kembali pada arah jari Alexander
yang menunjuk tepat di mana ia butuh tanda tangan wanita itu.

Tok tok tok!!

Keduanya menoleh cepat ke arah sumber suara, dengan cepat Alexander kembali menutup
berkas itu dan membawa benda itu bersamanya ke arah pintu kamar. Ia segera membukanya,
seseorang mengetuk pintu itu berkali-kali.

"Michella,"wanita itu tampak terengah-engah. Ia pucat.

"Sir, seseorang mencoba menabrak nona Milla dan akibatnya ia mengalami pendarahan
hebat,"ucap Michella sambil menahan napas. Ia ikut syok, masalah nya kejadian itu begitu cepat
berlalu di depan matanya.

"Jadi di mana Milla sekarang?"tanya Alexander ikut merasakan kepanikan yang setimpal. Ia
menoleh sejenak ke arah Lorna yang berdiri di sampingnya sejak tadi.

"Di rumah sakit bersama Billy. Mungkin ia akan menjalani operasi untuk menyelamatkan
bayinya."

"Aku ke sana sekarang!"Alexander kembali masuk ke dalam ruang kamar, menaruh berkas nya
di tempat aman dan meraih pakaian yang tersusun rapi di lemari nya.

"Ayo Lorna,"ucapnya kilat sambil memakai pakaian di tubuhnya dan meraih kunci salah satu
supercars lalu beranjak pergi dari ruang hotel itu bersama Lorna dan para bodyguard nya.

Chapter 17 : Intimidation

"Kau tahu siapa yang melakukan ini?"tanya Alexander tanpa mengalihkan pandangannya dari
Michella. Wanita itu diam sambil melirik ke arah Lorna yang berada sekitar satu meter di
dekatnya.
"Aku tidak bisa memastikan,"jawabnya pelan, ia mengalihkan pandangan dan menelan saliva
cukup kuat. Ia ingat bagaimana pengendara misterius itu hampir menabrak Milla secara brutal,
namun entah kenapa di sepersekian detik ia menekan rem dan hanya menabrak dengan
kecepatan sedang, hal itu membuat Milla syok hingga pendarahan hebat terjadi. Mungkin akibat
benturan saat ia terjatuh ke aspal.

"Ingat plat mobilnya?"sanggah Billy datar namun tetap mengarahkan pada pintu ruang operasi.
Ia sudah dengar, bahwa Milla dan putranya selamat. Milla terpaksa menjalani operasi caesar
agar bayi dan ibunya selamat.

"Aku sudah memeriksa plat nya, tapi itu mobil sewa yang di curi. Pemilik aslinya sudah
melaporkan kejadian tersebut ke kepolisian setempat,"terang Michella dengan tegas. Jujur saja ia
merasa bersalah karna lalai menjaga Milla, harusnya ia tidak menerima panggilan telpon
sekalipun itu dari salah satu kerabatnya.

"Apa tempat sewa mobil itu tidak memiliki CCTV?"tanya Alexander tanpa melepas
pandangannya sedikitpun.

"Di rusak sir, karena itu aku mengatakan ini di lakukan secara sengaja. Pengendara misterius itu
ingin mengancam nona Milla."

"Istri ku tidak punya musuh,"potong Billy tidak ingin percaya dengan sesuatu hal yang belum
pasti.

"Billy tapi—"

"Uuekkk!!"semua orang mengalihkan pandangan pada Lorna, wanita itu bangkit dari tempatnya
sambil memegang mulut. Ia butuh tempat untuk mengeluarkan seluruh isi perutnya.

Alexander mengikutinya, membantu wanita tersebut bergerak menuju toilet. Ia berhasil menahan
rasa mual nya hingga sampai pada ruang kamar mandi yang ada di sana. Lorna muntah berkali-
kali hingga tubuhnya serasa cukup lemah.

"Kau tidak apa-apa?"tanya Alexander datar. Lorna melirik lalu mengangguk pelan dan sekarang
rasa mual nya cukup berkurang. Ia lega.

"Periksakan diri mu ke dokter!"

"Tidak! Ini hanya mual biasa. Efek maag karena telat makan kemarin,"sanggah Lorna sambil
mengelap mulutnya dengan tissue yang tersedia di toilet tersebut.

"Bagaimana pun kau harus memastikan kalau kau benar-benar sehat!"

"Aku sehat! Aku yakin, besok akan membaik,"balas Lorna sambil melewati pria itu dengan
cepat.
"Kau keras kepala,"celetuk Alexander pelan tetap mengikuti langkah wanita itu.

"Oh ayolah, aku hanya ke toilet. Jangan biarkan bodyguard mu mengikuti ku!"teriak Lorna
lantang, ia risih bukan main saat melihat para pria tegap itu selalu mengikuti kemanapun ia
berada sejak tadi.

"Mereka mengikuti ku, bukan kau,"jawab Alexander membuat wajah Lorna merah seketika. Ia
benar, sejak kapan Alexander memprioritaskan nya seperti dulu. Ia baru berpikir saat ini
Alexander tampak banyak berubah, ia banyak memberi kebebasan.

"Sial, harusnya aku tidak berpikir bodoh. Alexander punya kekasih sama seperti ku, kami hanya
berteman. Tidak lebih,"pikir Lorna sembari mengingat bagaimana reaksi Alexander saat
menerima telpon dari seorang wanita yang tidak ia kenal kemarin.

Lorna menghela napas, melangkah cepat meninggalkan Alexander yang baru saja meraih
ponselnya. Ia menerima telpon dari Billy yang mengabarkan bahwa saat ini Milla sudah di
pindahkan ke ruang VVIP untuk menunggu putranya di bersihkan oleh pihak rumah sakit.

"Di mana mereka?"batin Lorna sambil mengedarkan pandangan. Ia tidak melihat jejak Billy
ataupun Michella.

"Ikut aku!"Alexander meraih jemarinya, menggenggam kuat seakan tidak ingin melepasnya
sedikitpun. Namun anehnya Lorna hanya diam, menuruti perintah Alexander. Ia hanya menelan
ludah dan meneliti punggung pria tersebut dari belakang.

"Sejak kapan kita bisa sedekat ini lagi? Apa aku harus membatalkan rencana pernikahan ku
pada Rowan?"Lorna membatin, ia menggigit bibirnya begitu kuat seakan penuh pertimbangan.

"Jangan bodoh Lorna. Kau harus ingat apa yang sudah ia lakukan padamu dulu, itu bukan hal
mudah. Alexander berbahaya."

Lorna mengeluh pelan tanpa melepaskan pandangannya sedikitpun sejak tadi. Waktu hampir
pagi dan sungguh ia sangat mengantuk, tapi Milla lebih penting saat ini. Ia ingin melihat
mahkluk kecil itu sekarang juga.

"Kita mau ke mana?"tanya Lorna akhirnya bersuara. Alexander menoleh tanpa suara, mereka
saling bertatapan tanpa arti sejenak.

"Kau akan tahu nanti,"balasnya tidak ingin panjang lebar lalu melangkah pelan menuju satu
ruangan yang paling mahal di rumah sakit tersebut. Alexander menanggung segala perawatan itu.

"Alexander,"sapa Milla dengan nada lemah saat pria itu masuk ke dalam ruangan.

"Bagaimana keadaan mu?"tanya Alexander melangkah masuk tanpa melepas pegangannya pada
jemari Lorna.
"Baik. Dokter memberiku obat anti nyeri. Zaman sangat modern sekarang,"balas Milla sambil
tersenyum kecil. Milla masih syok mengingat bagaimana ia memeluk kandungannya sangat kuat
saat benturan itu terjadi, yang paling jelas saat darah keluar dari bagian intimnya dan membasahi
gaun pendek yang ia kenakan.

"Selamat untuk mu,"ucap Lorna pelan mencoba angkat bicara.

"Ini ulah kekasih mu!"tuding Milla sarkas hingga mata wanita itu membulat.

"Milla Rowan bukan pria seperti itu!"

"Lorna! Aku melihat nya, Rowan sengaja melakukan ini untuk mengancam ku. Karena itu ia
memilih menekan rem mobilnya, ia ingin aku tetap hidup dan membuktikan bahwa
keberadaannya membahayakan!"ucap Milla berusaha menjelaskan dengan kondisi nya yang
belum pulih. Ia sedikit terbata namun Milla yakin, Lorna atau siapapun paham maksud nya.

"Milla istirahatlah, kau bisa jelaskan itu padaku nanti. Jangan buang waktu mu untuk
mengatakan kebenaran pada orang yang buta,"sindir Alexander membuat mata hazel itu menoleh
padanya jelas.

"Aku tidak membicarakan mu, jadi tidak perlu menatap ku seperti itu,"sambungnya sambil
melempar senyuman tipis.

"Ah kau benar, biarkan saja dia membuka matanya sendiri. Aku pikir itu akan lebih membuatnya
terpukul. Aku harap dia tidak kabur saat tahu kebenaran nya,"balas Milla lebih tajam dari
sebelumnya dan hal itu berhasil membuat Lorna bungkam. Ia tidak ingin menyanggah saat ini,
Lorna perlu bukti.

"Permisi .. Ini putra mu. Dia sangat tampan,"puji seorang perawat mendadak masuk ke dalam
ruangan tanpa mengetuk pintu. Ia lupa akan privasi setiap pasien sangking semangatnya.

"Oh my God, kemari lah,"Milla mengusap sudut matanya yang mendadak mengeluarkan air,
menangkap bayi kecil itu di pelukannya. Ia menatap tegas dan melupakan seluruh rasa sakit yang
ada di tubuhnya. Semua seakan sembuh dalam satu detik.

"Ia tidur?"tanya Alexander ikut mendekat ingin memeriksa bagaimana keadaan malaikat kecil
itu. Jika bukan karna insiden ini, mungkin saat ini ia masih berada di tempatnya. Beruntung
kelahiran prematur itu tidak mengganggu kondisinya sama sekali. Bayi sudah cukup matang
untuk di lahir kan.

"Siapa namanya?"tanya Lorna sambil mengusap sudut wajah bayi kecil itu.

"Aku dan Billy belum memikirkan itu, kalian punya saran?"tanya Milla dengan suaranya yang
bergetar. Ia benar-benar terharu.

"Kau bisa memberikan namanya sama seperti ku!"


"Itu konyol! Aku tidak ingin anak ku seperti mu. Terlalu angkuh!"

"Aku punya segalanya!"

"Ayolah Alexander, kau bisa memberikan nama itu pada anak mu sendiri."

"Apa kau setuju Lorna?"

Degg!!

Semua orang mendadak diam mendengar pernyataan barusan, terutama Lorna.

"Kenapa kau menanyakan itu padaku?"wanita itu mengerutkan kening, menatap ke arah
Alexander begitu jelas.

"Hanya ingin memastikan, kau setuju atau tidak!"balasnya datar lalu melirik kembali ke arah
pintu. Billy baru kembali dari hotel dan membeli beberapa barang yang di butuhkan.

"Billy selamat,"ucap Lorna sambil tersenyum tipis.

"Ya aku harap kalian juga bisa segera—"ucapan nya mendadak terhenti, ia tidak sadar akan
ucapan nya barusan sangking bahagia nya saat ini.

"Kemari lah sayang .. Kita harus memutuskan nama untuk nya,"Milla mencoba mencairkan
suasana. Membuat pria itu segera mendekat dan ikut memeriksa putra pertamanya yang tampan.

__________________

Waktu menunjukkan pukul 4 subuh, saat ini Alexander memarkirkan mobilnya pada lahan parkir
utama yang ada di hotel yang ia sewa. Ia melirik ke arah Lorna dan wanita itu tertidur sangat
pulas.

"Hm .. Kau tampak sangat letih,"pria tersebut mengusap sudut bibir Lorna. Ia begitu nyenyak
dan terbang ke alam mimpi sangat jauh.

Beberapa detik kemudian, ia melihat bodyguard nya mendekat dan siap untuk membukakan
pintu untuknya. Ia menunggu seakan tangannya tidak di fungsikan untuk melakukan hal tersebut.

"Biar aku yang membawa Lorna ke atas!"celetuknya cepat saat keluar dari supercars miliknya
itu.

_____________________

Alexander meletakkan tubuh Lorna perlahan di atas ranjangnya, memastikan wanita itu aman di
sana. Ia mengeluh panjang lalu melangkah ke arah lain untuk melepaskan pakaian yang melekat
di tubuhnya. Membiarkan tubuh tegapnya begitu terekspose begitu saja.
"Alexander,"panggil Lorna mendadak sadar dari tidurnya. Pria itu menoleh cepat dan
memerhatikan Lorna menggulung rambutnya ke atas dan mengikat cukup ketat.

"Istirahatlah."

"Kenapa kau tidak membangunkan ku?"keluhnya datar masih menunjukkan ekspresi mengantuk
dan melihat Alexander melangkah ke arahnya perlahan.

"Aku tahu kau letih,"balasnya sambil meraih dagu wanita itu dan mengangkatnya tinggi hingga
pandangan mereka bertemu sesaat.

Degg!

Lorna merasakan dadanya berdetak tiap kali matanya beradu. Itu sangat kuat dan seakan menarik
Lorna kembali masuk dan jatuh ke pelukan yang sama.

"Kau ingin aku peluk?"tanya Alexander sembari duduk di sisi kanan wanita itu. Lorna tersenyum
lalu memalingkan pandangan ke arah lain.

"Kenapa kau terlalu percaya diri?"ucapnya saat mengembalikan pandangan mereka. Alexander
menatapnya dalam, penuh harapan besar di sana terhadap Lorna. Ia berambisi untuk
mengembalikan posisi wanita itu di tempatnya.

"Aku mencintai mu,"ucap Alexander dengan nada berbisik. Lorna diam dan langsung
meredupkan matanya. Ia rindu kalimat itu, sungguh.

Tiba-tiba Alexander memegang lehernya, mendekat dan kembali merenggut ciumannya tanpa
paksaan. Lorna mengalungkan tangan di leher pria itu dan membiarkan Alexander
menyentuhnya semakin dalam. Ia menikmati nya apapun yang mungkin akan di lakukan
Alexander selanjutnya.

Chapter 18 : Opaline Blue

Saat ini Lorna mengacungkan kakinya ke atas, ia menggigit bibir begitu kuat merasakan
Alexander di dalamnya. Ia tidak bisa berhenti saat merasakan sentuhan panas mendera di tiap
bagian kulitnya. Ini begitu panas, ia merindukan pria itu di aliran darahnya, berciuman mesra dan
menahan napas yang begitu berat.

"Alexander,"ia berbisik dan memanggil nama sosok yang begitu fokus memuja tubuhnya sangat
dalam.
"Aku .. Mencintai mu .."Lorna membatin, ia menggigit bibirnya kuat-kuat begitu ingin
melepasnya begitu saja. Ia menahan semuanya berharap beberapa jam kemudian hatinya akan
mantap tertuju pada pria itu.

"Sentuh aku lebih dalam!"Lorna meringis, ia memeluk tubuh pria itu sangat erat. Menerima
ciumannya yang begitu kasar dan penuh gairah.

"Sedang ku lakukan!"balas Alexander meremas kuat rambut coklat wanita itu, menekan dirinya
lebih dalam dan seakan menatapnya dengan sorot yang mematikan.

Beberapa menit kemudian, Lorna mengerang lebih keras bersama tubuhnya yang terguncang
hebat. Ia mendapatkan pelepasannya hingga kesekian kalinya.

Alexander menaikkan tubuhnya, sungguh Lorna harus menggigit bibir bawahnya sangat keras,
hingga ia merasakan darah bercampur di rongga mulutnya. Pria itu begitu tegap memesona saat
menguasai dirinya. Ia biarkan Alexander menjengkal seluruh tubuhnya hingga ke dasar.

Alexander merebahkan tubuhnya kembali, ia memeluk tubuh Lorna sangat kuat dan sekali lagi
membiarkan seluruh kehidupannya tumpah di dalam wanita tersebut. Sungguh dalam hati
seorang Alexander ia begitu ingin seseorang malaikat kecil hadir di hidupnya, terkhusus bersama
Lorna. Hanya di rahim wanita itu.

Terakhir ia memberikan sebuah kecupan lembut yang lama, membiarkan sisa percintaan nya di
ingat oleh Lorna selamanya. "Aku letih."

Lorna menelan Saliva, mulai memiringkan tubuhnya dan menarik selimut tebal yang ada di
dekatnya. Alexander tersenyum tipis bergeser sedikit dan meletakkan kepala wanita itu berada di
lengannya.

"Tidurlah, kau punya waktu yang banyak."

Cup! Sekali lagi pria itu mengecupnya, kali ini di kening dengan penuh kasih sayang. Ia
melingkarkan pelukannya di tubuh wanita itu dan membuat Lorna begitu asik menghirup aroma
parfum nya yang pekat. Aroma manis yang selalu di ingat, langka dan begitu berkelas.

Sekian detik kemudian mereka tertidur pulas, tidak perduli bahwa saat ini cahaya matahari mulai
menyengat di sekitar kota. Mungkin mereka akan kembali membuka mata saat langit kembali
gelap.

_________________

Enam jam berlalu, Alexander memasang sebuah arloji mewah yang begitu elegan berwarna
opaline blue dan salmon di pergelangan tangannya. Arloji limited edition khas Jenewa itu simbol
kesuksesan merk arloji bersejarah dan modern, Patek Philippe Grandmaster Chime.
Sekilas ia melirik ke arah Lorna yang masih tertidur pulas di ranjangnya. Ia tahu tabiatnya,
wanita itu akan tidur berjam-jam untuk mengisi tenaganya kembali.

Drrtttt!!!

Alexander meraih ponselnya, ia mengangkat panggilan telpon itu sangat cepat dan meletakkan
ponsel di telinganya begitu lekat.

"Alexander, aku di Haggen! Kita harus bicara siang ini!"pinta seorang wanita dengan nada suara
yang cukup di kenali oleh pria tersebut.

"Aku sibuk!"balasnya datar.

"Aku tahu kau menginap di mana. Aku akan ke hotel mu,"ucap wanita itu lagi terdengar
memaksa. Namun panggilan itu terputus saat Alexander mematikan panggilan nya.

"Dari mana Joana tahu aku di sini,"keluh Alexander sambil meremas tangannya kuat-kuat lalu
melirik ke arah Lorna kembali.

Pria itu melangkah ke arah pintu dan langsung membukanya cepat. "Jangan biarkan siapapun
masuk ke dalam selama Lorna tidur!"perintahnya pada siapapun yang ada di luar sana sembari
memerhatikan wajah seluruh bodyguard nya.

"Baik sir!"jawab salah satu pria berbadan tegap yang memimpin bodyguard secara keseluruhan.

Alexander melangkah tanpa suara, membiarkan Lorna menikmati tidurnya entah sampai kapan.

________________

Akhirnya Lorna tersadar, ia mengusap wajah pucat nya pelan sambil menarik napas. Pantulan
cahaya terang dari luar sana tampak mengilap mengenai tubuhnya.

"Dia pasti melakukan ini padaku,"keluh Lorna merasa selalu di tinggal setelah pria itu lelah
bercinta dengannya. Ia mengeluh pelan dan beranjak turun dari ranjang menuju toilet. Ia ingin
membersihkan diri dan pulang ke rumah nya.

"Mrs. Willand pasti marah dengan ku. Bagaimana keadaan toko,"keluh Lorna datar sambil
mengusap keningnya yang mengerut. Ia mengedarkan pandangan ke arah shower dan segera
memasukkan dirinya bersama air yang terasa hangat mulai membasahi tubuhnya.

Sekitar satu jam ke depan , Lorna tampak rapi dengan pakaian yang di siapkan Alexander
untuknya. Ia yakin, pria brengsek itu pasti sudah membuang pakaian nya semalam.
"Ah aku harus segera pulang, ponsel ku mati,"keluhnya sambil berjalan cepat. Ia terhenti saat
melihat beberapa bodyguard Alexander berdiri di depan kamar itu. Ia takut mengingat
bagaimana posessif nya sikap Alexander terhadap dirinya.

"Kau mau pulang nona?"tegur Michella sambil melempar senyuman manis.

"Ya apa Alexander—"

"Aku akan mengantar mu pulang,"potong Michella tampak senang bisa membantu Lorna.
Wanita itu cukup tenang karna Alexander ternyata tidak lagi mengurung nya seperti dulu.

Lorna mengangguk dan tersenyum tipis, ia menurut dari pada harus menunggu taksi berjam-jam
di kawasan hotel. Jika ia harus mengenakan jasa hotel, uangnya tidak akan cukup.

"Ayo nona,"ajak Michella membuat wanita itu mengangguk dan secepat mungkin keduanya
bergerak. Turun ke lantai dasar dari hotel tersebut.

"Astaga aku lupa mengambil kunci mobil, bisa tunggu aku sebentar nona?"tanya Michella saat
lift nya terbuka lebar.

"Ya, tidak masalah. Cepatlah,"Lorna tersenyum ramah lalu melihat wanita itu kembali menaiki
lift lalu menghilang di hadapannya.

"Sebaiknya aku tunggu di sana,"batinnya saat melihat sebuah sofa berwarna hijau di sudut
ruangan. Ia melirik ke arah satu wanita yang tampak menunggu seseorang, memegang ponselnya
dan memasang wajah cemas. Ah ia tidak perduli, wanita itu tetap melangkah mendekati barisan
sofa dan duduk di depannya.

Tap!!

Kedua mata mereka bertemu, keduanya saling bertatapan rancu hingga akhirnya Lorna
memalingkan pandangan ke tempat lain merasa tidak mengenali wanita itu. Berbeda dengan
lawannya yang tampak membulatkan mata ke arahnya, penasaran setengah mati saat wanita yang
sama dengan patung lilin di galeri mobil Alexander sama.

"Maaf kenapa kau melihat ku seperti itu?"tegur Lorna tampak begitu risih. Wanita itu menelan
ludah lalu menggelengkan kepala nya pelan.

"Tidak, aku hanya berpikir kau begitu mirip dengan seseorang,"balasnya masih menatap dengan
ketidakpercayaan nya.

"Aku Lorna, Lorna Chameron Dulce."

Deg!! Lagi, wanita itu kembali merasakan jantungnya berdetak cepat. Terkejut saat melihat
wanita yang di cari Alexander selama 40 bulan itu sekarang berada di depannya. Melempar
senyum yang cantik ke arahnya.
"Aku .. Joana Roses!"balasnya dengan nada yang cukup tegas tanpa melepaskan pandangannya
sedetik pun.

"Kau menunggu siapa?"tanya Lorna mencoba sekadar basa-basi untuk menghilangkan rasa
canggung.

"Kekasih ku, dia sulit di hubungi akhir-akhir ini."ucap Joana cukup menjelaskan dengan nada
sedikit terbata.

Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar kuat, melangkah ke arah pintu kaca hotel yang tampak
besar dan membuka pintu tersebut sangat cepat. Joana membulatkan matanya kembali saat
memerhatikan Alexander tengah melangkah masuk bersama puluhan bodyguard nya.

"Alexander,"ucap Joana spontan di hadapan Lorna. Ia berdiri tegap melempar senyuman yang
begitu manis dan melangkah ke arah pria tersebut.

Chapter 19 : Joana Roses

Seseorang membukakan pintu mobil untuk Alexander, pria itu menyentuh ponselnya
memerhatikan Joana terus menghubungi nya dengan beberapa nomor yang berbeda. "Baiklah,
Tunggu aku di Lobby!"

Akhirnya Alexander membalas, ia mengeluh kasar lalu mematikan ponselnya kembali. Mungkin
ia perlu bicara pada Joana."Keberadaannya akan mengusik ku,"batin Alexander sambil
mengedarkan pandangan saat ia turun dari mobil mewah nya.

"Sir, nona Joana sudah menunggu anda sejak tadi di Lobby!"tegur salah satu bodyguard sambil
menyatukan kedua tangannya. Bertingkah sopan saat melihat pria itu.

"Di mana Lorna?"tanyanya datar.

"Lima belas menit yang lalu, nona Lorna masih di kamar sir,"jawabnya datar tanpa tahu apapun
bahwasanya saat ini Lorna baru saja turun dari kamarnya bersama Michella.

Alexander tidak menjawab, ia mengedarkan pandangan nya sejenak. Tampak berpikir untuk
membawa Joana menjauh dari hotel sebelum Lorna menyadari hal itu. Ia harus mencari ruangan
tertutup.

Perlahan ia mulai melangkah, pikirnya lebih baik mereka bicara di mobil. Menjauhkan nya
segera dan mengirim Joana kembali ke negara nya. Itu adalah pikiran singkat pria tersebut saat
ini.
Pintu kaca hotel terbuka, ia masih melangkah bersama kacamata hitamnya. Namun belum
sempat ia melirik ke seluruh ruang Lobby seseorang memeluknya sangat cepat.

"Alexander,"Joana meletakkan kepalanya di dada pria itu, tersenyum girang dan terus
mengeratkan sebuah pelukan hangat. Alexander tidak membalas dan mencoba mendorong nya
pelan.

Tiba-tiba pintu lift terbuka, menampilkan sosok Michella yang keluar dari dalam sana dengan
ekspresi terkejut. Ia menelan ludah lalu melirik tajam ke arah Lorna yang masih berdiri di
tempatnya. Wanita tersebut menatap begitu tegas, ia mengepal tangannya kuat hingga beberapa
detik kemudian Alexander ikut menoleh ke arah yang di tunjukkan Michella lewat matanya.

Deg!!

Kedua pasang mata mereka bertemu tepat, Lorna menaikkan kepalanya menahan air mata yang
nyaris jatuh. Ia benar-benar cemburu pada wanita yang sedang berada di dalam pelukan
Alexander. Sedetik kemudian, Lorna menunduk, ia mengusap ujung pakaiannya dan menyadari
betapa bodohnya selama ini karena kembali jatuh dalam pelukan pria yang sama.

Lorna mendekat, membuat Alexander tidak bisa bicara sepatah katapun. "Jadi dia kekasih
mu?"tanya Lorna pada Joana yang perlahan melepas pelukannya. Ia tersenyum kecil lalu
mengangguk pelan.

"Lorna—"

"Ya. Kau mengenali nya? Kami menjalin hubungan cukup serius selama ini,"potong Joana
seakan tidak memberikan kesempatan pada Alexander untuk bicara sedikitpun.

"Hm selamat untuk mu, akhirnya kau bisa menemukan kekasih mu di sini. Katakan padanya
untuk tidak mengganggu ku lagi mulai sekarang!"tukasnya tampak angkuh sambil mengedarkan
pandangan ke arah Alexander.

"Lorna dengarkan aku—"

"Aku harap kau juga dengar apa yang baru aku katakan Alexander. Bersenang-senanglah,
kekasih mu sudah menunggu sejak tadi,"Lorna tersenyum lebar, ia tampak membohongi
perasaannya di hadapan semua orang sekarang.

"Lorna!"panggil Alexander saat wanita itu melangkah ingin meninggalkan nya. Lorna berhenti
sejenak, ia menoleh kembali dengan pandangan yang datar.

"Ah ya aku lupa. Tolong katakan juga pada kekasih mu untuk tidak mengatakan hal buruk
tentang kekasih ku dan jangan lupa datang di acara pernikahan ku!"

"Kau akan menikah?"tanya Joana sambil memiringkan bibirnya. Ia tersenyum seakan menang
karena nyatanya Alexander gagal untuk mendapatkan miliknya kembali.
Lorna menatapnya tegas lalu berpindah pada Alexander yang memicingkan pandangan ke
arahnya.

"Ya! Aku hampir saja membatalkannya karena seseorang. Tapi sekarang hati ku mantap untuk
tetap menjalani pernikahan itu."Lorna tersenyum lalu menunduk sejenak untuk menarik
napasnya. Mata wanita itu berkaca-kaca dalam hitungan detik, hingga akhirnya Lorna memilih
melangkah cepat menjauhi siapapun yang ada di sana.

"Lorna!!"

"Sir, aku akan atasi ini."potong Michella cukup kenal tabiat Alexander dari cerita yang ia dengar
dari Milla. Pria tersebut mengepal tangan begitu kuat dan merapatkan giginya lalu mengangguk
pelan. Ia mempercayakan ini pada Michella, Alexander tahu bahwa saat ini ia harus benar-benar
memperlakukan Lorna. Ia tidak ingin ada kesalahan sedikitpun.

Michella melangkah segera, mengikuti Lorna yang kini menghilang bersama taksi hotel. Tidak
masalah jika saat ini uang nya menipis, ia ingin segera pergi dari lokasi hotel itu.

"Alexander tunggu aku!"Joana mengikuti nya, mereka melangkah menuju lift dan naik ke lantai
atas.

"Kau tidak merindukan ku?"tanya Joana sambil memeluk tubuh tegap pria itu. Ia memerhatikan
ruang kamar Alexander yang begitu rapi. Petugas hotel baru saja membersihkannya setelah
Lorna pergi dari kamar tersebut.

"Alexander, bicaralah!"ucap Joana tampak tegas saat pria itu tidak peduli dan malah
membelakanginya.

"Alex!"peliknya lagi namun terpotong saat pria itu menatapnya tajam. Ia melempar senyuman
smirk dan perlahan mendekat.

"Merindukan mu?"tanya Alexander pelan membuat Joana tersenyum simpul. Ia merasakan


tangan pria itu menyentuh sudut lehernya, meremas rambut coklat mencolok nya lembut.

Joana mendadak mundur, ia melepaskan diri dari cengkeraman lembut itu lalu melangkah ke
arah ranjang kamar itu dan menaiki nya perlahan.

"Aku merindukan mu Alexander,"Joana tersenyum menggoda. Ia melepaskan kancing


pakaiannya satu-persatu, melepaskan helai pakaian yang membungkus tubuh mulusnya perlahan,
seakan ingin memberikan pria itu hadiah.

Alexander diam dan menatapnya tegas seakan menikmati pemandangan itu. Joana tampak
menggoda, ia bertingkah layaknya pelacur yang tengah memberikan tubuhnya pada seseorang.

Tap..
Joana melepas kata bra nya, melempar benda itu ke sembarang tempat dan menunjukkan asetnya
pada Alexander tanpa pikir panjang. Ia tersenyum kecil melihat reaksi pria itu, ia memiringkan
senyuman layaknya pria yang mendambakan pelayanan khusus dari seorang wanita.

"Ayolah Alexander lepas pakaian mu, kita bercinta."Joana menaikkan tubuhnya, memancing pria
itu untuk bergabung di atas ranjang. Beberapa detik kemudian Alexander melangkah mendekati
wanita itu dan meneliti tiap jejak tubuh Joana.

Wanita itu berbaring dan menarik sisa underwear yang ada di tubuhnya saat ini Joana menggigit
bibirnya dan benar-benar terlihat menggoda, ia sudah dalam kondisi naked.

Ia membuka lebar kedua pahanya, membiarkan Alexander menatap dirinya begitu jauh. Ia yakin
akan berhasil menggoda pria itu.

"Alexander .. Masuki aku .."pintanya terdengar sangat sarkas. Pelan dengan napasnya yang
tersengal-sengal.

Beberapa detik kemudian, Alexander menelan Saliva nya. Ia melepas belt yang melingkar di
pinggangnya menaiki tubuh Joana.

"Alexander,"wanita itu menggigit bibir saat kedua tangannya di angkat ke atas dan di satukan.
Alexander mengikat tangannya dengan belt itu begitu kuat lalu mengaitkannya di sudut ranjang
hingga ia tidak bisa bergerak sama sekali.

Alexander menurunkan tubuhnya setelah memastikan ikatan yang melingkar di kedua tangan
Joana. Senyum diwajah pria itu menyeringai, tampak mengancam, begitu berbeda. Kening Joana
berurat takut, menarik tangan. Ia menelan ludah, menyadari bahwa sesuatu terjadi. Alexander
tidak beres.

Chapter 20 : Ultrasonography

Alexander mencium Joana kasar, mengaitkan lidahnya dalam seakan mencari sesuatu yang ada
di dalam sana.
Ia meremas rambut wanita itu sangat kuat, mencoba menghabiskan sisa napas Joana.

"Ahhhhh!!"wanita itu tiba-tiba mendesis kuat, menggerakkan tubuhnya sangat lincah sambil
menendang kuat tubuh Alexander sebisanya. Namun pria itu malah semakin menekannya kuat
hingga Joana harus berteriak lewat kerongkongannya sambil membulatkan mata.

"Alex,"teriaknya lewat tenggorokan yang terasa tercekat. Ia menyatukan kedua tangan dan
meremas kuat belt yang mengikatnya. Alexander menggigit bibirnya begitu kuat dan beberapa
detik kemudian darah serasa menguasai mulutnya.
Alexander melepas gigitan nya, lalu menekan leher wanita itu dengan kedua tangan sebelum
Joana memohon ampunan darinya. Mata wanita itu berair, ia ketakutan setengah mati saat
napasnya semakin tipis. Ia hanya bisa pasrah sekaligus menggerakkan kakinya, itupun rasanya
mulai melemah.

Tap!!

Alexander mendadak melepaskannya, ia kalap dan hampir saja membunuh wanita itu dengan
tangan kosong. Tidak bisa! Jika ia melakukan ini Lorna tidak akan pernah kembali padanya.

"Aku mohon lepaskan aku,"pinta Joana membuat pria itu kembali fokus. Ia merapatkan gigi
mengingat bagaimana sikap angkuhnya di hadapan Lorna. Usahanya tinggal sedikit lagi dan
semua gagal karan kehadiran Joana yang tidak di sangka-sangka.

"Itu hukuman untuk pelacur seperti mu, aku sudah memberi mu kesempatan agar menghindar
Joana tapi kau mengabaikannya,"pria itu turun lalu mengedarkan pandangan ke tubuh naked
wanita itu.

"Kau sama sekali tidak membuat ku tegang!"tukasnya sarkas lalu melangkah ke arah bibir pintu,
ia mengedarkan pandangan melihat beberapa bodyguard menatap takut padanya. Pintu itu tidak
di tutup dan siapapun bisa mendengar rintihan Joana.

"Kau!"tunjuk Alexander pada salah satu bodyguard nya. Mata pria itu langsung melotot, takut
saat menerima tudingan tersebut.

"Yes sir,"jawabnya pelan sambil mengedarkan pandangan.

"Ikut aku!"pria itu kembali memutar tubuhnya dan pengawalnya sesegera mungkin melangkah
sebelum Alexander murka. Ia tahu siapa bos nya itu.

"Alexander apa yang kau lakukan?"tanya Joana saat melihat pria lain hadir di dalam ruangan itu.
Ia sedang dalam keadaan naked dan terikat kencang sekarang.

"Kau butuh seseorang untuk memasuki mu kan? Tenang lah aku hanya membantu mu!"pria itu
tersenyum, ia melirik ke arah bodyguard nya yang langsung membulatkan mata. Ia berpikir tidak
jernih sekarang, bingung dalam keadaan tapi sungguh baginya Joana adalah hadiah.

"Alexander tidak.. Aku mohon jangan lakukan ini padaku,"Joana meronta, ia menarik tangannya
kuat berharap ikatan itu lepas. Sungguh tidak mungkin tapi Joana patut mencobanya.

"Alexander aku mohon!"

"Terlambat Joana. Aku sudah memberi mu kesempatan!"Alexander menjawab cepat ia melirik


ke arah bodyguard nya, ia memberi isyarat agar pria itu mendekati Joana tanpa perintah.
"Lakukan apapun yang bisa kau lakukan padanya,"perintah Alexander membuat Joana semakin
berteriak ketakutan.

"Alexander!!!"teriaknya semakin kencang saat pria tersebut menjauh. Suara Joana semakin
menjadi seakan tidak bisa di kontrol.

"Baiklah, aku ingat sesuatu hal."Alexander menarik napas, pikirannya melayang entah kemana
saat ini, yang jelas sangat berkaitan erat terhadap masa depannya.

"Aku akan mentransfer uang ke rekening mu, pulang dan jangan pernah tunjukkan lagi wajah mu
di sekitar ku. Jika kau berani kembali muncul maka aku tidak akan segan membunuh mu Joana."

"Aku bersumpah, aku tidak akan muncul di hadapan mu ataupun Lorna. Sungguh!"wanita itu
tampak menurut, sungguh Joana benar-benar ketakutan jika Alexander nekat menjadikan
tubuhnya menjadi santapan pria yang tengah memperhatikannya di sudut lain.

Alexander memberi kode pada bodyguard tersebut, Joana akhirnya di lepaskan dari ikatan kuat
tersebut. Ia segera meraih pakaiannya dan menutup seluruh akses pada tubuh naked itu secepat
kilat sambil mengusap bibirnya yang terluka.

"Pastikan dia benar-benar pulang ke Los Angeles!"ucap Alexander begitu tegas lalu memutar
tubuhnya segera. Ia keluar dari kamar itu dan segera menjauh.

________________

"Nona aku mohon percayalah padaku, Joana bukan kekasih tuan Alexander. Hubungan mereka
sudah berakhir sebelum kami sampai ke Haggen!"

"Michella, aku tidak mengerti maksud mu. Kenapa kau begitu khawatir?"tanya Lorna tampak
santai sambil membuka pintu rumahnya yang kecil saat ini.

"Nona tuan Alexander benar-benar mencintai mu, dia—"

"Michella hentikan. Dari awal, aku tidak pernah mengenal mu, asal usul mu dan juga hidup mu.
Jadi sedikit rancu jika aku mendengar kalimat itu dari mulut mu. Apa Alexander membayar mu
Michella?"

"Nona Rowan bukan pria baik. Aku bisa membuktikannya, kekasih mu membalas—"

"Pulanglah! Aku letih,"Lorna memotong kembali. Ia muak mendengar kalimat itu. Sungguh,
rasanya seperti sesuatu yang terus-terus mempengaruhinya agar ia dan Rowan berpisah.

"Aku hanya ingin kau tidak salah memilih seseorang dalam hidup mu."

"Apapun yang terjadi pada hidup ku, itu adalah pilihan ku. Siapapun tidak berhak atas hidup ku,
jadi sekarang pulanglah atau aku akan memanggil polisi!"ancam Lorna sangat tegas membuat
Michella akhirnya diam. Ia mengeluh kasar tidak berhasil membuat Lorna paham akan maksud
nya.

"Baiklah, aku harap Rowan akan menunjukkan sikap aslinya padamu,"ucap Michella menatap
tegas ke arah wanita tersebut.

"Ya aku harap kalian juga tahu bagaimana Rowan memperlakukan ku, dia pria baik, berbeda dari
apa yang kalian lihat. Jauh lebih baik dari pada Alexander,"Lorna tersenyum tipis lalu memutar
tubuhnya sembari membuka pintu rumah tersebut dengan pelan. Ia ingin meninggalkan Michella.

Namun baru saja selangkah ia menjejakkan kakinya, wanita tersebut berhenti. Ia meringis dan
langsung memegang sudut kening yang terasa menyakitkan dan di sambut oleh perutnya yang
begitu kram. Ia mual bukan main.

"Nona.."tegur Michella saat memperhatikan pergerakan yang tampak tidak beres.

Brakk!!

Lorna mendadak terjatuh, oleng seketika tanpa sempat di sambut oleh Michella yang
memekikkan namanya. Seketika Michella panik dan segera membantu Lorna, ia membawa
wanita itu ke rumah sakit terdekat dan segera menghubungi Alexander.

_________________

Lorna menggigit ujung kukunya kuat-kuat, ia sudah sadar beberapa menit yang lalu dan
membiarkan seorang dokter memeriksa keadaan nya saat ini. Sementara Alexander tampak
khawatir, pria itu terus keluar masuk ruangan untuk mengetahui keadaan wanita itu.

Tak lama kemudian seorang perawat tampak mendekat sambil mendorong alat
Ultrasonography dan berhenti di sisi ranjang Lorna. Wanita itu mengerutkan kening saat melihat
alat itu begitu dekat dengannya.

"Nona maaf, bisa angkat sedikit pakaian mu?"tanya dokter tersebut membuat Lorna tampak tidak
nyaman.

"Kenapa?"tanyanya dengan nada takut sambil melirik ke arah Alexander yang memegang
bibirnya. Ia begitu frustasi.

"Kami harus memastikan sesuatu,"balas dokter itu kembali membuat Lorna mengalah dan
akhirnya menarik pakaiannya sedikit lalu melirik seorang perawat menaruh ultrasonic gel di
perutnya.

"Tenang lah,"ucap dokter itu sembari duduk di kursi yang ada di sudut tubuh Lorna. Alexander
mendekat dan ikut memerhatikan layar yang ada di depannya itu.
"Kenapa dengan perutnya?"tanya Alexander datar begitu tidak sabar menunggu dokter itu bicara.
Sungguh Alexander ingin sekali memukul kepala dokter wanita itu sekarang.

"Ini rahim mu nona dan di sini terlihat sebuah kantung yang terlihat bersama sebuah titik hitam,
kau hamil. Usianya masih sangat muda,"

Deg!!!

"Apa?"tanya Lorna begitu tegas. Ia menatap ke arah layar yang menunjukkan penampakan dalam
rahimnya. Sungguh ia tidak mengerti apapun, yang terlihat hanyalah gambar hitam dengan
keterangan yang begitu banyak.

"Kau yakin?"potong Alexander begitu sarkas. Ia penasaran dan langsung melipat kedua
tangannya di dada.

"Ini hasilnya jika aku perbesar, kau benar-benar hamil nona Lorna. Selamat,"ucap dokter itu
sambil melebarkan senyuman nya yang khas.

Lorna menepis cepat alat yang menempel di perutnya dan segera bangkit dari tempat tidur. Ia
menatap ke arah Alexander yang melempar senyuman penuh kemenangan ke arahnya.

Dengan langkah cepat, Lorna turun dari tempatnya dan segera melangkah ke arah pria tersebut,
ia memukul dada Alexander dengan kuat membuat pria itu berhasil menangkap pinggulnya agar
tubuh mereka begitu rapat. "Brengsek!! Kau menghamili ku Alexander. Brengsek!"Lorna
memaki, ia terus melancarkan aksinya. Namun sungguh rasa sakit itu ia redam sendiri, pria itu
hanya memikirkan satu hal.

"Lorna menjadi milikku seutuhnya. Mau tidak mau, kau harus kembali dalam pelukan ku,"

Chapter 21 : I’m Pregnant

"Makanlah!"tegur Alexander saat melihat Lorna sejak tadi hanya mengacak-acak makanan nya
dengan garpu. Wanita itu melirik lalu memutar bola matanya malas.

"Lorna!"lagi, pria itu mencoba bicara dengan nada yang sedikit menekan. Ia sedikit menjaga
perasaan wanita itu sekarang.

"Aku tidak suka semua makanan ini, membosankan!"balasnya sambil mengeluh kasar.

"Membosankan? Aku yakin sejak kau kabur, perut mu itu merindukan semua makanan
ini!"Alexander menatapnya tegas, lalu mendengar decak lidah yang begitu keras dari mulutnya.
"Kau terlalu menyepelekan ku."

"Isi freezer mu mengatakan hal itu Lorna, jangan membohongi ku!"Alexander mengeluh melihat
wanita itu diam tanpa ingin menjawabnya sedikitpun. Lorna meraih garpu lainnya lalu menekan
makanan nya sangat kuat berkali-kali, suara piring berdenting kuat dan berhasil membuat banyak
pasang mata menoleh ke arahnya.

"Lorna, apa perlu aku mengosongkan restaurant ini agar kau bisa makan dengan baik?"tegur nya
lagi membuata wanita itu kembali menoleh.

"Lakukan jika kau bisa!"balas Lorna sarkas dan malah semakin menciptakan suara yang begitu
keras.

"Aku akan membuat mu malu, lihat saja Alexander,"batin Lorna terdengar begitu menantang. Ia
tidak peduli jika sekarang begitu banyak pasang mata meneliti ke arahnya.

Alexander melirik ke arah bodyguard nya, membuat pria tegap itu datang dan segera menunduk.
Ia mendengar Alexander berbisik pelan begitu hati-hati lalu segera memutar tubuhnya ke arah
lain.

"Kau hanya mengandalkan kekuasaan. Aku tidak suka,"protes Lorna tanpa tahu apa yang akan
terjadi sebentar lagi.

"Bukan kekuasaan, tapi uang,"balas nya sambil meraih segelas jus dan meminumnya cepat.

"Ya! Aku tidak tahu kenapa Tuhan rela memberikan uang yang begitu banyak pada orang seperti
mu."Lorna menatap tajam lalu memasukkan sebuah potongan melon ke dalam mulutnya.

"Karena aku bekerja keras untuk ini semua."

"Benarkah? Aku tidak pernah melihat mu bekerja, kau hanya memerintah!"

"Mereka di bayar untuk melakukan sesuatu. Siklus manusia pada umumnya, kau juga tidak akan
tahu bagaimana semua orang bekerja. Manusia hanya bisa menuding, sama seperti mu,"celetuk
Alexander begitu tajam membuat mata hazel itu sekarang tampak begitu biru.

Tiba-tiba Lorna mengedarkan pandangan nya, ia melihat semua orang yang makan di sekitar
restaurant berdiri, mereka beralih menuju meja kasir, memesan makanan begitu banyak lalu
menunggu antrian di luar.

"Apa yang kau lakukan?"tanya Lorna penasaran.

"Tidak penting apa yang aku lakukan, makan lah dengan baik. Aku harus memastikan gizi
anakku tercukupi!"

Deg!!
Lorna meremas ujung pakaiannya. Ia mendadak pucat memikirkan itu semua, sekarang wanita
itu frustasi. Di sisi lain Rowan sudah melamar nya dan mungkin pernikahan akan di adakan
beberapa hari lagi, sementara sekarang ia mengandung anak Alexander. Bukan dari Rowan atau
pria manapun. Sial bukan main, bahkan masalahnya bersama Anders pun belum selesai.

"Apa yang harus aku katakan pada Rowan, dia pasti akan sangat kecewa."Lorna membatin, ia
terdiam sejenak memikirkan banyak hal. Sesekali suara sayup Alexander terdengar, tidak ia
hiraukan sangking pusingnya.

"Lorna!!"

Deg!!

Kali ini, suara itu sedikit lebih tinggi. Wanita itu mengangkat matanya tegas lalu menelan saliva
yang begitu kuat.

"Bagaimana Visa dan paspor ku?"tanyanya mendadak.

"Seperti perjanjian awal, kau harus menandatangani berkas ku dulu!"

"Brengsek! Kau sudah menghamili ku dan sekarang kau tetap meminta syarat untuk membantu
ku?"tanya Lorna dengan mata membulat.

"Habiskan makanan mu!"ucap Alexander memaksa. Lorna mengeratkan giginya begitu kuat,
masih menatap dengan pandangan monoton.

"Aku ingin hubungan kita tetap seperti ini walaupun aku mengandung anakmu."

"Kau keras kepala juga rupanya, baiklah! Aku hanya ingin lihat, bagaimana ekspresi pacar mu
saat tahu pacarnya sedang mengandung anak dari mantan—"

"Alexander! Aku yang akan mengatakan nya langsung pada Rowan. Kau tidak berhak!"potong
Lorna begitu tajam.

"Terserah. Ini permintaan terakhir ku, habiskan semua makanan mu!"

"Sialan! Aku tidak tahu akhirnya kau memanfaatkan kelemahan ku untuk tujuan mu. Itu
kesalahan! Kau tahu? Kesalahan terbesar ku saat bertemu dengan mu." kecam Lorna lalu
menekan kuat garpu nya kembali dengan penuh perasaan yang begitu emosional.

Sementara Alexander hanya menatapnya, membiarkan wanita itu melakukan apa yang ia
inginkan. Jujur saja Ia sedikit merasa gemas, wanita itu banyak berubah akhir-akhir ini.

_____________________

Keesokan harinya ..
Lorna menekan-nekan ponselnya sejak tadi. Ia mencoba menghubungi Rowan, sungguh wanita
itu tidak ingin membuang waktunya. Rowan harus tahu bagaimana keadaan mu saat ini.

"Ya Tuhan, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang!"gumamnya sambil melirik ke
arah chocolate pemberian kekasihnya itu. Tidak tersentuh sama sekali hingga saat ini.

Ia memukul-mukul kepalanya, menghadap ke arah lain dan membelakangi pintu. Lorna benar-
benar di buat frustasi oleh Alexander.

"Hey baby.. Kenapa kau melamun?"Rowan mendadak datang, ia mengendap-endap dan


langsung memeluk tubuh wanita itu erat dari belakang.

"Rowan .. Aku .."Lorna menyingkir, ia risih saat pria itu menyentuhnya. Sungguh seperti sesuatu
yang begitu kuat untuk mengharuskannya untuk menjauhi pria tersebut.

"Maaf karena aku mengejutkan mu."

"Rowan aku perlu bicara padamu, ini penting,"ucap Lorna sambil menelan Saliva nya begitu
kuat.

"Kebetulan, aku juga ingin membicarakan sesuatu padamu,"Rowan tersenyum tipis. Ia menarik
napas yang tampak begitu lega.

"Hah? Kalau begitu kau duluan,"ucap Lorna sedikit takut dengan apa yang akan ia katakan pada
kekasih nya itu.

"Ladies first!"

"Tidak aku ingin mendengarkan mu dulu,"tukasnya sambil menahan napas.

"Baiklah—"

"Rowan tunggu, aku sedang tidak enak badan. Tolong jangan terlalu dekat!"pinta Lorna saat pria
itu hampir saja memeluknya kembali. Rowan menurunkan pandangan, merasa begitu muak
dengan tingkah Lorna akhir-akhir ini. Ia menahannya begitu baik.

"Aku terlalu bersemangat! Hm~ sejujurnya aku sudah mendaftarkan pernikahan kita di Los
Angeles. Hari ini pengadilan tertinggi menghubungi ku untuk menentukan jadwal pernikahan
kita. Jadi aku sepakat untuk menjalani ini dua hari lagi!"

"Apa? Rowan bagaimana bisa aku pergi ke Los Angeles untuk—"

"Aku sudah atur semuanya. Kita bisa pergi hari ini untuk mempersiapkan semuanya Lorna."

"Rowan ini sangat mendadak!"wanita itu memegang kepalanya, semakin frustasi akibat tingkah
Rowan yang semaunya. Ia tidak pernah berpikir jika pria itu nyatanya cukup nekat.
"Lorna aku ingin kita segera menikah, aku sudah mendiskusikan semua itu padamu sejak
dulu!"tukasnya tampak tidak ingin kalah sedikitpun.

"Aku tahu, tapi kau tidak mengatakan padaku kapan kita bisa—"

"Kenapa kau begitu marah? Kau benar-benar berubah Lorna sejak mantan kekasih mu itu mulai
hadir di hubungan kita. Kau—"

"Rowan aku hamil!"

Deg!!!

Kedua pasang manik mata itu bertemu sejenak, sementara Lorna menarik napasnya yang begitu
cepat.

"Apa?"tanya Rowan langsung mengepal tangannya begitu kuat.

"Alexander menghamili ku!"ucap Lorna kembali sambil menatapnya dengan pandangan berkaca-
kaca.

"I’ m sorry,"Lorna bicara dengan nada berbisik dan tidak mendapatkan ekspresi apapun dari pria
tersebut. Ia menundukkan pandangan lalu menaikkannya begitu pelan. Sorot matanya begitu
tajam dan napasnya mulai tidak beraturan.

"Kau .. Beraninya kau ..."gumam Rowan tidak jelas sambil merapatkan giginya begitu kuat.

"Ahhh!! Rowan!"pria itu mendadak mencekik lehernya, menekan kuat dan mendorong tubuh
Lorna ke tembok sangat kuat. Lorna sedikit menahannya namun dorongan itu semakin kuat
hingga punggung nya seakan remuk.

"Kau mengkhianati ku setelah apa yang aku lakukan untuk mu selama ini, Lorna!"ucapnya
semakin kuat mencengkeram leher wanita itu hingga pasokan napasnya menipis.

Lorna berpikir sejenak, ia harus meloloskan diri. Beberapa detik kemudian wanita itu mendadak
menginjak kaki Rowan dan menaikkan lututnya tinggi hingga mengenai organ vital pria tersebut.

"Arrrrhgghh!"Rowan mengerang memegang miliknya yang serasa begitu sakit. Lorna


mendorong nya menjauh, ia segera melangkah dan berlari untuk keluar dari ruangan tersebut.

Namun, Rowan berhasil menangkap kakinya hingga tubuh Lorna terjatuh ke lantai. Pria itu
menatapnya penuh intimidasi, ia benar-benar tidak bisa memberi toleransi. Akhirnya Rowan
menunjukkan bagaimana sikap aslinya, wujud devil yang tersimpan sangat dalam pada tubuhnya.

"Rowan tolong .."ucap Lorna penuh nada memohon. Ia menangis ketakutan saat pria itu menaiki
tubuhnya lalu mengecup tiap lehernya dengan buas.
"Shut up , Bitches!"

Plakkk!!

Pria itu menampar kuat wajah Lorna hingga darah segar keluar dari sudut bibirnya.
"Rowaannn!!" teriaknya begitu kencang. Ia berusaha meloloskan diri hingga akhirnya berhasil
menendang tubuh pria itu kembali tepat mengenai perutnya.

Lorna memutar tubuhnya, mencoba segera bangkit agar bisa menjauhi pria tersebut. Ia segera
melangkah, namun lagi-lagi pria itu berhasil menangkapnya, Rowan meremas rambut Lorna
sangat kuat dan menahannya kuat.

"Rowan,"Lorna merintih kesakitan, mencoba melirik ke arah belakang. Pria itu mendekatkan
tubuhnya kembali dan mendekatkan bibirnya pada telinga Lorna. Ia berbisik.

"Jika aku tidak bisa mendapatkan mu, maka pria manapun juga tidak boleh memiliki mu!"

Brakk!!!

Brakk!!

Rowan menghantukkan kepala Lorna pada tembok yang ada di depannya dua kali dengan sangat
kuat hingga wanita itu langsung pingsan. Rowan melepas cengkeramannya dan melihat tubuh
wanita itu jatuh begitu saja di lantai. Tampak begitu lemas.

"Rasakan itu,"Rowan mengedarkan pandangannya nya lalu membenarkan pakaian yang tampak
kacau, ia tersenyum tipis dan segera bergerak meninggalkan rumah itu tanpa memikirkan
bagaimana keadaan Lorna selanjutnya.

Chapter 22 : Pasport Cover

Alexander mengedarkan pandangan nya datar, mata hazelnut yang tersimpan di balik kacamata
Luxurlator Style berwarna Canary itu tampak waspada. Ia bergerak saat salah satu bodyguard
nya mendekat memberitakan sesuatu yang cukup penting untuk nya.

"Ini benar apartemen nya sir, ia tinggal di lantai 29!"ucap pria tegap dengan pakaian serba hitam
lewat kaca mobil di mana Alexander masih di dalam nya.

Ia tidak menjawab lalu menoleh ke sisi kanan nya, meraih sebuah leather passport cover
berwarna cerah yang menampilkan monogram LV classic. Semua data pribadi Lorna di
dalamnya, ia menyimpan benda-benda itu dengan sangat baik.
"Kau pasti begitu menderita selama ini, hingga harus bekerja di toko itu,"gumam Alexander lalu
mengeluh kasar, ia memberi kode agar bodyguard nya membuka pintu dan segera keluar.

__________________

Beberapa detik berlalu, Alexander mengedarkan pandangannya ke sekitar lorong. Meneliti tiap
bentuk tempat tersebut, hingga akhirnya pintu apartemen terbuka dan menampilkan seorang pria
tegap dengan sorot mata yang begitu santai.

"Mr. Anders poulsen?"tanyanya langsung, melepas kacamata yang masih berada di tempatnya.
Menatap dengan sorot cukup masif.

"Mr. Alexander Morgan,"jawabnya datar sambil melebarkan pintu, mempersilahkan pria tersebut
masuk ke ruang apartemen nya.

Alexander segera melangkah masuk setelah memberi tanda agar bodyguard nya cukup
menunggu di luar. Ia mengedarkan pandangan mengelilingi ruangan dengan interior yang lebih
dominan dengan warna grey.

"Silahkan duduk!"tawar Anders tampak santai menunjuk ke arah sofa panjang yang berada di
tengah ruangan. Alexander mengangguk dan segera melekatkan diri pada sofa berbahan Linen,
tampak begitu menyatu bersama ruangan yang memiliki penataan berkelas.

"Langsung saja, kedatangan ku di sini untuk urusan Lorna. Aku dengar kau meminta paspor dan
visa nya."

"Ah iya, saya ingat. Itu adalah persyaratan wajib bagi warga negara Asing. Sementara Ms.
Dulce melanggar dengan masuk Haggen secara ilegal."

"Aku tahu,"Alexander meletakkan passport cover di atas meja, membiarkan pria di depannya itu
memeriksa langsung semua data penting mengenai Lorna.

Andres mencondongkan tubuhnya meraih passport cover dan memeriksa isinya. Lengkap
bahkan dengan green card yang yang baru saja di perpanjang. Ia mengangguk dan memberikan
benda itu kembali pada Alexander.

Jujur saja, ia datang secara khusus ke apartemen Anders karena tidak ingin Lorna berurusan
langsung dengan pria tersebut. Alexander mencoba membatasi geraknya, apalagi ia tahu Lorna
saat ini tengah mengandung anaknya.

"Ngomong-ngomong dari mana kau tahu kediaman ku?"tanya Anders mencoba basa-basi.

"Tidak sulit bagiku untuk menemukan alamat anak perdana mentri,"balasnya dengan nada tegas
lalu meraih ponselnya yang tampak mengusik obrolan mereka saat ini.
Alexander mengerutkan kening, memerhatikan nama Michella tertera di layar ponsel. Ia segera
mengangkatnya dan langsung memasang wajah penuh kekhawatiran saat mendengar kabar yang
tidak enak di telinganya saat ini. "Aku segera kesana!"

Alexander berdiri, ia menelan saliva nya yang mendadak berat. "Aku harus pergi sekarang!"
tukasnya begitu tegas sambil menyimpan kembali ponselnya.

Anders hanya mengangguk, memerhatikan pria tersebut segera memutar tubuhnya dengan
langkah yang terburu-buru. Sungguh Alexander tampak tidak bisa berpikir lagi sekarang.

_______________

"Lorna!"Alexander mendekat, ia meraih cepat jemari wanita itu dan meremasnya kuat, edaran
matanya penuh kekhawatiran.

"Sir,"tegur Michella membuat pria itu sedikit melirik dan mengalihkan pandangan pada dokter
yang masih berdiri di dekat wanita itu. Lorna masih belum sadar, ia terbaring lemas dengan alat
bantu pernapasan yang ada di bawah hidungnya, Nasal canulla.

"Bagaimana keadaannya?"tanya Alexander pelan tanpa melepas genggamannya sedikitpun.

"Keadaan nya akan membaik, hanya ada luka memar di kening dan—"

"Kandungannya?"telaah Alexander lebih tajam. Dokter itu mengulum bibir, ia mengangguk


pelan memberi tanda.

"Saat ini, tidak ada sesuatu hal riskan yang bisa terjadi pada kandungan pasien. Semuanya baik-
baik saja,"pria itu langsung menghela napas. Ia benar-benar tidak bisa berpikir sepanjang jalan,
seakan denyut nadi nya berhenti saat menerima kabar dari Michella.

"Baiklah kalau begitu aku permisi dulu, panggil saja jika kalian butuh sesuatu!"ucap dokter yang
tampak menunjukkan ekspresi ramah tersebut, Alexander hanya mengangguk dan kembali
menatap wajah pucat Lorna yang ada di hadapannya.

Perlahan pria itu mengusap sudut bibir Lorna yang terluka, ia benci saat melihat wanita itu dalam
keadaan seperti sekarang. "Kau tahu siapa pelakunya?"

"Tidak sir, saat aku sampai nona Lorna sudah jatuh pingsan dalam keadaan yang—"

"Aku sudah bilang jaga dia dengan baik. Kemana kau selama kejadian hahh?"teriak Alexander
mengepal tangannya begitu kuat tanpa ingin menoleh sedikitpun ke arah wanita tersebut.

"Sir aku—"

"Alexander,"Lorna memanggilnya begitu pelan dan terdengar menderita. Napasnya seakan


tertahan, mata hazel itu sayup penuh ketakutan.
Alexander meraih kembali genggaman tangan Lorna tanpa mengenai infus nya, ia melirik sekilas
ke arah Michella, memerintah wanita itu agar keluar dari ruangannya. "Alexander bagaimana
kandungan ku?"tanya Lorna dengan mata berair.

"Tenanglah, semua baik-baik saja."Alexander mengecup punggung tangan wanita itu,


menatapnya dengan sorot mata tajam. Sesuatu mengusik Alexander saat mendengar pertanyaan
Lorna barusan, ia akhirnya tahu bahwa wanita itu juga menginginkan kehamilannya, Lorna
menerima anaknya dengan baik.

"Aku takut,"bisik Lorna merasakan pria itu mengusap air matanya, terasa begitu hangat dan
sikap Alexander barusan berhasil membuatnya begitu luluh. Sederhana, berbeda dari biasanya,
sesuatu seperti hal yang memang ia butuhkan dari sosok Alexander sejak lama.

"Siapa yang melakukan ini padamu?"tanya pria tersebut secara spontan dan tegas. Lorna
mengalihkan pandangan yang begitu sayu, ia menelan ludahnya lagi dan merasa begitu takut.

"Aku .. Jatuh!"ucap Lorna tampak berbohong, ia mengalihkan pandangan matanya ke arah lain.

"Lorna! Kau tidak bisa membohongiku!"

"Aku tidak membohongi mu, sungguh aku hanya terpeleset saat—"

"Kenapa kau takut?"selidik Alexander penuh kecurigaan.

"Aku hanya khawatir pada kandungan ku, tidak lebih,"suara Lorna terbata-bata. Selang di hidung
nya terasa begitu mengganggu, namun tanpa alat itu pasokan oksigen ke dalam tubuhnya akan
berkurang.

Alexander memiringkan senyuman, ia menelaah dengan pandangan penuh intimidasi. "Baiklah


jika kau tidak mau jujur, aku akan mencari tahu sendiri kebenarannya!"

"Alexander kenapa kau tidak—"

"Ayolah Lorna! Kau tahu. Luka yang ada di bibir dan kening mu itu bekas pukulan. Aku tahu
bedanya,"tuding Alexander membuat wanita tersebut begitu khawatir dan ketakutan.

"Aku tidak membohongi mu,"balasnya lagi mencoba meyakinkan pria itu. Alexander hanya
tersenyum kecut lalu memalingkan pandangan ke arah lainnya.

"Aku tidak ingin sesuatu hal terjadi padamu Alexander, maaf,"Lorna membatin. Ia meremas
tangan pria itu sangat kuat sambil menutup matanya rapat. Sungguh Lorna bahkan tidak bisa
membayangkan apa yang akan di lakukan Alexander terhadap Rowan jika ia mengatakan hal
yang sebenarnya. Lorna hanya ingin melindungi Alexander, cukup hanya Eric dan Mrs. Holland
yang menjadi korbannya. Cukup!
Sementara Rowan tampak menghisap rokoknya, menatap kejauhan area rumahnya yang tampak
tinggi.

"Harusnya, kau langsung membunuhnya. Ini kesempatan kita,"ucap seseorang yang berada di
sudut pria tersebut. Rowan diam tidak menjawab apapun sambil membuang puntung rokoknya
sembarangan.

"Apa kau benar-benar jatuh cinta padanya?"tanya sosok itu lagi membuat mata Rowan bergerak
ke arahnya dengan pandangan nya begitu jelas.

"Aku sudah bilang, jangan libatkan perasaan dalam hal ini. Semua sudah di depan mata,
harusnya kau lebih cepat bertindak!"

"Diam! Jangan mengatur ku,"balas Rowan dan segera memutar tubuhnya menjauh. Ia tidak ingin
lagi dengar perkataan apapun dari orang itu. Rowan benar-benar jatuh cinta pada sosok Lorna
bahkan begitu ter-obsessi. Ia tidak bisa menahan keinginannya saat bersama Lorna, wanita
tersebut menjadi candunya setiap hari. Setiap detik.

Chapter 23 : Urgent

Dua hari kemudian ..

Lorna sedang mengedarkan mata hazel nya di tengah ruangan megah, Alexander membeli
mansion seluas 50 hektar di kawasan elit Danhag. Lorna mengulum bibir, memerhatikan corak
warna pearl di padukan begitu manis dengan material
marmer gold.

"Kau terlalu menghamburkan uang!"celetuk Lorna saat melihat pria tersebut baru saja melepas
ponselnya. Ia menyelesaikan transaksi terakhir untuk pembelian mansion tersebut.

"Aku harus memastikan anakku aman sampai waktunya! Tidak ada insiden seperti kemarin
lagi,"sindir Alexander sembari mendekati wanita itu, menatapnya dengan sorot yang sangat
tajam.

"Alasan!"balas Lorna sedikit lantang, tidak di pedulikan Alexander sedikitpun.

"Bagaimana kekasih mu? Apa dia tidak tahu soal insiden ini? Aku curiga—"

"Dia sedang tidak di Haggen!"potong Lorna dengan suara bergetar.

"Apa kau sudah menyampaikan kabar baik ini?"tanya Alexander terdengar membingungkan
Hingg wanita itu mengerutkan kening.
"Berita baik ini. Kau hamil, anakku!"

Deg!!

Lorna langsung mengalihkan pandangannya, ia membuang napas nya panjang tidak bisa
menjawab."Belum?" Alexander kembali mencecarnya dengan pertanyaan.

"Segera! Aku akan mengatakan ini pada Rowan segera,"Lorna memutar tubuhnya saat
menyadari Michella mendekat, ia menenteng sebuah berkas dan meletakkan benda itu di atas
meja.

"Ini berkas yang harus di tandatangani nona Lorna,"celetuk Michella sambil mengedarkan
pandangannya.

"Berkas?"

"Jangan bilang kau melupakan janji mu!"potong Alexander begitu tegas.

"Alexander tapi—"

"Paspor dan visa mu ada padaku, Lorna,"ingatnya dengan nada memaksa.

"Aku ingin membaca berkas itu dulu, bagaimana aku bisa menandatangani sesuatu hal yang
belum tentu aku setujui."

"Kau akan setuju! Ini tidak akan memberatkan mu sama sekali,"Alexander mengusap sudut
wajah wanita itu, menatapnya penuh harapan.

"Baiklah! Setelah itu tolong serahkan visa dan paspor ku,"seketika Alexander mengembangkan
senyumannya, ia mengangguk pelan dan berusaha meraih bibir Lorna yang merah.

"Satu hal lagi, walaupun saat ini aku mengandung anakmu. Hubungan kita masih sama, sebagai
mantan kekasih!"

"Terserah kau!"potong Alexander malas lalu mengarahkan matanya pada berkas yang ada pada
Michella. Lorna bergerak, ia duduk di kursi dan melirik ke arah wanita yang tampak begitu ketat
menjaga kerahasiaan dari berkas tersebut.

"Ini ballpoint mu!"tukas Michella sambil meletakkan benda tersebut di sisi kanan Lorna. Wanita
itu menarik napas tampak khawatir saat mencoba meraih ballpoint tersebut.

"Aku akan mencekik mu jika kau menjebak ku Alexander!"ancam Lorna begitu tegas sambil
menatap pria tersebut. Alexander hanya diam menatapnya serius.

Lorna menarik napas, ia melirik ke arah Michella yang tampak siap membuka map tersebut.
"Ada dua berkas, kau harus menandatangi nya dengan cepat!"

"Alexander tapi—"

"Tiga detik! Waktu mu hanya tiga detik,"potong Alexander terdengar sangat memaksa. Wanita
itu kembali mengeluh lalu menelan Saliva nya yang berat.

"Semoga keputusan ku tepat. Aku harus mengatasi masalah ku pada letnan Anders,"Lorna
membatin sejenak, lalu menaikkan tangannya ke atas. Ia siap melakukan perintah Alexander
sekarang.

Srakk!!

Map di buka dan seketika Michella langsung menunjuk pada tempat kosong yang membutuhkan
tandatangan Lorna. Wanita itu tidak sempat membacanya, ia pasrah dan menandatangi kedua
berkas itu.

Alexander tersenyum miring saat wanita itu selesai melakukan tugasnya. Ia diam-diam menghela
napas lalu melirik sejenak ke arah Michella, meminta wanita itu pergi dan menyimpan berkas
sebaik mungkin.

"Sudah! Mana paspor dan visa ku?"tagih Lorna sambil menengadahkan tangan ke arah
Alexander.

"Tenang lah .. Aku sudah mengatasi masalah mu."

"Maksudmu?"tanya Lorna tidak paham dengan apa yang baru saja di katakan Alexander.

"Aku sudah mengunjungi apartemen pria itu langsung dan menunjukkan semua berkas mu pada
—"

"Apa? Jadi kau? Alexander kau curang!"

"Curang? Harusnya kau berterimakasih karena aku sudah menyelesaikan masalah mu, aku lebih
dulu mengatasi nya bahkan sebelum kau menandatangani berkas itu."

"Aku mencurigai isi berkas mu,"tuding Lorna sarkas. Alexander hanya diam. Ia tersenyum penuh
kemenangan lalu memutar tubuhnya segera dan menjauhi wanita tersebut.

"Ahhh!! Aku frustasi! Ayolah nak, dukung mommy. Dia harus di beri pelajaran!"Lorna
membatin, ia mengusap perut berharap kandungannya itu akan segera besar dan membuat
Alexander kesusahan. Namun saat ini yang di rasakan wanita tersebut hanya satu, ia mual.
Semua seakan berbanding terbalik pada harapannya. parahnya, Lorna mulai merasakan sesuatu
keinginan besar untuk begitu dekat dengan Alexander. Ia bahkan tidak bisa menolak saat pria itu
kembali menyeret masuk ke dalam kehidupan nya. Lorna menuruti Alexander, sangat.
_________________

"Besok Milla akan keluar dari rumah sakit, dia pulih sangat cepat."ucap Alexander menatap
Lorna yang asik dengan makanannya.

"Benarkah? Apa dia akan bergabung di mansion?"tanya Lorna penasaran lalu melihat Alexander
hanya mengangguk pelan ke arahnya.

"Syukurlah. Setidaknya aku punya teman bicara."senyum Lorna sedikit mengembang, terarah
tepat pada Alexander yang begitu kaku. Ia tidak banyak bicara sejak mereka sampai di salah satu
restauran yang ada di salah satu pusat perbelanjaan yang ramai.

"Aku mau ke toilet,"Lorna berdiri dari tempatnya.

"Aku akan—"

"Tidak perlu, itu dekat. Tunggu saja di sini. Okay daddy!"celetuknya sambil tersenyum simpul
dan segera meraih tas yang ada di atas meja. Sungguh ucapan barusan berhasil membuat pria
seperti Alexander terusik. Daddy— sebutan yang membuatnya begitu menggebu.

Wanita itu segera bergerak, melewati bodyguard Alexander yang begitu santai. Ia ingin
berdandan lebih cantik dari biasanya, sungguh sangat tidak nyaman dengan bibir tanpa warna
setelah menghabisi banyak makanan. Lorna seakan kehilangan rasa percaya dirinya.

"Ini sudah cukup,"batin wanita tersebut, tampak memerhatikan tampilannya di cermin. Ia


tersenyum tipis lalu menambahkan aroma parfum pada pakaian nya.

Lorna keluar dari toilet dan melangkah ke ara meja di mana ia terakhir makan tadi.

Tap!

Ia berhenti melangkah saat tidak menemukan Alexander di manapun, bodyguard nya juga
demikian. Bahkan meja makan mereka sedang di bersihkan.

"Di mana dia?"keluh Lorna sambil mengedarkan pandangannya. Ia meraih ponsel yang ada di
dalam tas nya, berjalan keluar restauran sesegera mungkin, ia mencoba mencari jejak keberadaan
pria itu sekarang.

"Alexander angkatlah,"ucapnya begitu khawatir sambil merapatkan ponsel di telinganya. Ia terus


melangkah keluar mencoba memastikan pria itu tidak meninggalkan nya di pusat perbelanjaan.
Jarak mansion dan tempat ini cukup jauh, Lorna bahkan tidak memiliki uang sepeserpun. Ia
menolak pemberian Alexander yang seharusnya bisa ia gunakan pada saat mendesak.

"Aku tidak mungkin kembali kerumah, Rowan pasti akan mendatangi ku,"Lorna mulai panik. Ia
masuk kembali ke dalam ruangan luas itu, melewati puluhan orang dan mencoba mencari
bantuan. Namun harapannya ia bisa menemukan Alexander kembali.
"Aku harus kembali ke restauran tadi, mungkin Alexander sudah kembali ke sana,"Lorna terus
membatin dan kembali ke tempat yang ia sebutkan. Namun hasilnya sama, pria tersebut tidak
menampakkan batang hidungnya. Ia menghilang.

Lorna tidak tinggal diam, ia melangkah dan mengelilingi kawasan tersebut seaktif mungkin.
Hingga akhirnya ia mendadak berhenti melangkah, mata wanita itu tampak membulat lebar saat
memerhatikan seseorang yang memakai pakaian serba hitam dan topi di kepalanya. Mata itu
terangkat tepat ke arah Lorna yang begitu takut.

"R-rowan .. Kau .."ucapnya sambil memundurkan tubuhnya.

"Tampaknya kau begitu menikmati waktumu saat bersama mantan kekasih mu itu, Lorna. Jadi
begitu kah cara menjual tubuhmu padanya?"tanya Rowan bergerak maju. Ingin mendekati
wanita tersebut.

"Rowan kau tahu saat ini aku hamil. Tolong jangan mendekati ku lagi,"pinta Lorna dengan nada
memohon. Pelan dan bergetar, ia masih melangkah mundur lalu melirik ke bagian ruangan yang
tidak terlalu ramai. Jujur ia salah langkah sekarang. Ia ingin berteriak, mungkin hal itu bisa
membantunya sekarang.

Namun seluruh pikiran wanita itu mendadak buyar saat menyadari ada sekitar enam orang pria
lainnya, berdiri dan menutup akses Lorna untuk bisa kabur.

"Rowan tolong—"

"Jangan melakukan hal yang bisa membahayakan mu Lorna, diam dan ikutlah dengan ku jika
kau tidak ingin terbunuh sekarang!"ucap Rowan penuh perintah. Ia menatap begitu tegang,
berhasil membuat jantung Lorna melemah. Ia tidak kuat jika melakukan perlawanan, orang-
orang yang bersama Rowan saat ini tampak begitu berbahaya.

Chapter 24 : Sensitif

Rowan mengedarkan pandangan ke tiap tempat, fokus pada ponselnya yang masih menyala.
Seseorang menghubungi, membuat pria tersebut tampak menghentikan langkah gontai yang ia
pasang sejak tadi.

Pandangan dari mata hijau pekat itu tampak beredar, namun terlihat bersembunyi di balik topi
hitamnya. Ia menelan ludah seketika saat menangkap satu sosok yang begitu familiar, tersenyum
kecil tampak bahagia tanpanya. Terlebih lagi sosok itu bersama seseorang yang membuatnya
begitu frustasi.

"Harusnya aku mencari cara untuk melenyapkan nya,"pikir Rowan sambil mengepal tangan
begitu kuat.
"Memang benar, harusnya aku membunuh pelacur itu. Dia tidak layak hidup selayaknya,"batin
Rowan lagi tampak menggebu. Ia memerhatikan tingkah Lorna yang begitu lekat bersama
Alexander, semua begitu natural berbeda dengan sikap Lorna terhadapnya selama ini.

Rowan mengepal tangannya kuat saat melihat Lorna berdiri dari tempatnya, bicara begitu khusus
pada Alexander lalu bergerak melangkah menuju ke satu ruang private yang ada di restauran
tersebut.

Tap!!

Alexander tanpa sengaja menangkapnya dengan pandangan tajam. Rowan bergidik sedikit ngeri
mengingat bagaimana pria itu bisa menghancurkannya dalam satu malam. Ia tidak bisa
mengalahkan Alexander sekarang, pria itu bersama beberapa orang bodyguard nya.

"Dia tidak melihat ku?"tanya Rowan seakan tidak percaya, padahal ia yakin betul mata Hazelnut
Alexander tampak beralih ke arahnya. Hm~ mungkin pria tersebut tidak menyadari keberadaan
Rowan.

Pria itu tersenyum tipis, melihat Alexander tampak menerima telpon penting, entah dari siapapun
itu.

"Aku akan ke sana!"ucap Alexander begitu tegas.

"Ikut aku!"ucap Alexander bicara begitu sarkas, ia seakan lupa pada Lorna yang Lorna masih
sibuk dengan dandanannya yang belum maksimal. Mereka bergerak cepat, semuanya
meninggalkan ruangan hingga Rowan dapat menangkap sebuah kesempatan.

"Aku bisa mendekati Lorna, sekarang!"Rowan bersembunyi dan tampak mengutak-atik


ponselnya sejenak menghubungi teman-temannya ada di basement. Letaknya tidak terlalu jauh
pada lokasi restauran di mana Lorna berada saat ini.

"Siapkan mobil di depan, aku akan membawa Lorna padamu!"ucap Rowan di satu panggilan
yang ia arahkan pada seseorang.

"Kau mendapatkan nya?"tanya seseorang itu dengan nada renyah. Rowan tersenyum tipis
memerhatikan pergerakan Lorna yang mulai muncul di hadapannya. Tanpa di sadari oleh wanita
tersebut.

"Ya! Sedikit lagi,"balas Rowan lalu mematikan ponselnya, ia mengikuti Lorna. Menunggu
wanita itu masuk ke daerah yang cukup sepi sambil memberi arahan pada teman-temannya.

Lorna tampak berpikir, ia kebingungan. Pusat perbelanjaan itu cukup besar dan memiliki ruang
lingkup yang sedikit sulit di jangkau. Ia mengeluh lalu melihat satu sudut ruangan yang paling
jarang di kunjungi, ada namum tidak terlalu di perhatikan seperti stand lain yang ada di
bangunan tersebut.
"Mungkin Alexander di sana!"pikir Lorna melangkah cepat untuk mencari sosok yang ingin ia
temui sejak keluar dari toilet.

Tap!!

Namun sayangnya, apa yang ia harapkan hanyalah sia-sia. Bukan Alexander yang berhasil ia
temukan, melainkan sosok pria menakutkan yang terakhir kali membuatnya harus terbaring di
rumah sakit.

"R-rowan..."wanita itu bicara dengan nada yang terbata-bata. Ia takut dan seketika tubuhnya
bergetar saat melihat pria di depan nya itu menatapnya dengan pandangan yang penuh ancaman.

"Tampaknya.. Kau menikmati semua ini Lorna. Apa kau bersenang-senang dengan mantan
kekasih mu itu?"

"Rowan tolong! Jangan menyakiti ku, kau tahu aku sedang hamil!"

"Jadi begitu kah cara mu menjual diri pada pria kaya seperti Alexander?"tuding Rowan membuat
wanita itu langsung menelan Saliva. Merasa cukup terhina.

"Rowan apa yang kau katakan?"balasnya sambil melangkah mundur.

"Jadi dia orangnya?"ucap seseorang membuat wanita tersebut menoleh dan langsung
menghentikan langkahnya. Rowan bersama komplotannya, enam orang dan mereka tampak siap
untuk menghadang Lorna.

"Jangan melakukan hal gegabah jika kau tidak ingin terbunuh,"ancam Rowan menatapnya begitu
tegas.

"Tolong jangan menggangguku, aku tidak akan memberitahu Alexander soal penyerangan
kemarin—"

"Tahu atau tidaknya Alexander bukan urusan ku, ikut dengan ku atau aku akan menembak mu di
sini!"ancam Rowan begitu berani, ia menyentuh senjata api yang tersimpan di salah satu sudut
tubuhnya. Memastikan benda itu ada di tempatnya.

"Rowan please, aku tidak menyangka kau bisa menyakitiku seperti ini. Aku arus melindungi
kandunganku, tolong mengertilah!"ucap Lorna terdengar terisak, ia begitu sensitif saat ini.

"Aku tidak peduli, sekarang putar tubuh mu dan ikuti perintah ku atau aku—"

"Atau apa Rowan? Jadi, kau benar-benar orang yang mencelakai istri ku? Sudah ku duga."potong
seseorang dengan suara yang sangat sarkas, begitu familiar di telinga Lorna dan seketika
membuat semua pasang mata yang begitu terusik langsung mengalihkan pandangannya. Rowan
sigap meraih senjata api yang ada di punggung nya dan mengarahkan benda itu pada sosok
tersebut.
"Alexander,"ucap Lorna dengan nada pelan, ia bergetar ketakutan saat ini.

"Istri? Kau sedang bercanda padaku?"balas Rowan tersenyum simpul, mengejek dengan tepat
sasaran tanpa menurunkan senjata yang ia pegang.

"Apa menurut mu aku sedang bercanda? Perlu kau ketahui, hari ini Lorna sah menjadi istri ku.
Dia sudah menandatangani akte pernikahan secara sadar, pagi ini, di mansion ku!"

Deg!!

Seketika mata bulat wanita yang di sebut-sebut itu menoleh tegas. Merasa jantungnya berpacu
begitu cepat hingga sulit untuknya bernapas. "Alexander .. Apa .. Apaa kata-mu?"tanya Lorna
pelan dan begitu terbata. Ia bahkan sulit untuk bicara saat mendengar pernyataan barusan.

Alexander menoleh ke arahnya sedikit, mencoba mencari kepastian. Tolong Lorna butuh
penjelasan, ia tidak pernah merasa begitu sadar saat menandatangani surat tersebut.

"Brengsek, kau— bawa wanita itu dari sini!"perintah Rowan pada komplotannya yang berjarak
sekitar satu meter dari Lorna. Seketika keenam orang itu mendekat mencoba meraih wanita
tersebut.

"Tidak semudah itu, Rowan,"balas Alexander sangat tegas tanpa mengalihkan pandangannya
sedikitpun. Tiba-tiba puluhan bodyguard Alexander muncul, dari mana saja dengan penyamaran
yang tampak begitu siap. Rapi dan berkelas layaknya warga sipil kebanyakan.

"Shit!"gumam Rowan saat menyadari tidak ada tempat untuknya bisa keluar dari lingkaran setan
itu. Ia terkepung.

"Rowan kita, di jebak!"ucap salah satu komplotannya begitu sadar akan apa yang terjadi saat ini.
Alexander tersenyum tipis, menajamkan pandangan yang tidak bisa ia lepaskan ke arah lain.

"Sialan!!! Aku akan membunuh mu!"Rowan memegang senjata apinya dengan kedua tangan,
meletakkan salah satu jarinya pada pelatuk yang siap ia tekan.

"Matilah—"

Brakk!!!

Tiba-tiba Michella berlari kencang dari belakang, meloncat cepat dan menendang punggung
Rowan hingga pria tersebut langsung jatuh ke lantai dan terpental jauh. Ia mengerang dan
melirik ke arah senjata apinya yang terlepas, Alexander segera memungutnya dan mengarahkan
benda itu pada Rowan. Ia tampak mengancam.

"Perlu kau ketahui, senjata api tidak ada fungsinya jika kau tidak punya otak yang cepat untuk
berpikir,"sindir Alexander terdengar sarkas, ia melirik ke arah Lorna yang menutup kedua
telinga, seakan bersiap jika mendengar sebuah letusan tembakan. Ia tidak sanggup.
Namun, Michella mendekati pria itu. Menindihnya dengan lutut dan menarik kedua tangan
Rowan lalu menyatukan keduanya dengan borgol. Pria itu tidak berkutik sama sekali menyadari
Alexander bisa saja menembak kepalanya.

"Ikut aku!"perintah Michella menarik pakaian pria itu sangat lekat.

"Ahh! Sial—"Rowan memaki, mencoba meloloskan dirinya, ia terpaksa berhenti bergerak saat
merasakan ujung lingkar senjata api milik Michella ada di pinggulnya.

"Jalan!"Michella mendorongnya, menggiring pria itu untuk mengikuti setiap langkah yang sudah
di menjadi bagian rencana. Sama hal nya yang di lakukan bodyguard Alexander, mereka
menggiring komplotannya bersama hingga keluar dari tempat tersebut.

Alexander perlu ruangan khusus, ia tidak bisa melakukan hal apapun di hadapan Lorna. Lagipula
mereka sedang berada di tempat umum yang bisa memicu banyak hal.

"Alexander,"Lorna mendekati pria itu, memeluknya erat dengan tubuh bergetar hebat.

"Harusnya kau tidak membohongi ku, Lorna,"sindir Alexander membalas pelukan wanita
tersebut sangat erat dan memastikan keadaannya. Wanita itu tidak menjawab, ia hanya fokus
pada pelukannya dan mencoba meredakan seluruh ketakutan yang sedang ia rasakan.

"Ayo kita pulang,"Alexander mengecup pelan puncak kepala wanita itu. Mengusapnya dengan
perasaan lega, anggap saja ia pria brengsek yang memanfaatkan suatu keadaan untuk memancing
Rowan.

Chapter 25 : Comeback

"Tidak sah! Pernikahan ini sama sekali tidak sah Alexander,"tuding Lorna saat ia mulai ingat
dengan apa yang harusnya di jelaskan pria itu.

"Tidak sah menurut versi mu,"balas Alexander tegas sambil memiringkan senyumannya.

"Alexander kau mencurangi ku, ini cara kotor! Bagaimana bisa pernikahan tanpa pemberkatan
yang—"

"Kau hamil! Bukanlah itu satu alasan hebat?"tanya Alexander tanpa mengalihkan pandangannya.

"Brengsek! Brengsek! Brengsek! Kenapa kau melakukan ini Brengsek!"Lorna memukuli pria itu
berkali-kali sambil memaki sesukanya. Ia tidak menyangka Alexander memanfaatkan semua
situasi.
"Harusnya, Tuhan membuat mu bangkrut Alexander. Aku yakin kau menggunakan uang mu
untuk ini semua. Kau brengsek—"ucapan Lorna mendadak terhenti saat Alexander menahan
kedua tangannya dan mengarahkan pandangan yang begitu tajam ke arahnya.

"Terima kenyataan mu. Kau terlahir hanya untuk menjadi milikku, Lorna."

"Alexander kau menipuku!"

"Kau yang menipu dirimu sendiri Lorna. Berhentilah bertingkah seakan-akan kau tidak
mencintai ku. Jujurlah!"Alexander membentak cukup keras membuat wanita itu terdiam di
tempatnya. Lorna menunduk sejenak dan mencoba berpikir.

"Kau meninggalkan ku tepat 2 hari sebelum pernikahan kita. Kau tahu bagaimana rasanya?
Hancur! Aku benar-benar hancur karena kehilangan mu!"

"Alexander kau—"

"Jangan menyalahkan ku atas apa yang pernah aku lakukan di masa lalu. Bukankah aku sudah
menebusnya, Lorna? Kita sama-sama tahu bahwa aku juga pernah kehilangan calon anakku di
masa lalu. Jadi sekarang— tidak akan lagi cerita yang sama. Bagaimanapun caranya, aku akan
melindungi mu, melindungi kalian!"sungguh ucapan Alexander begitu tegas, ia memegang erat
bahu wanita tersebut dan terdengar sangat meyakinkan bersama napasnya yang tampak
menggebu.

"Please .. Kembalilah padaku Lorna, aku mencintai mu!"Lorna masih diam, ia menatap sangat
dalam sorot mata hazelnut yang penuh emosional itu. Ia masih menjadi pria pemaksa, namun
saat ini Lorna menyadari satu hal yang sangat pasti. Bahwa kenyataannya Alexander tidak
pernah meninggalkannya sedetikpun.

Wanita itu menelan Saliva, mulai menatap wajah pria itu dengan sorot mata berkaca-kaca. Ia
menggigit bibirnya sejenak untuk menahan tangisannya.

"Aku mencintai mu Alexander,"Lorna mendadak mendekat, memeluknya tubuh Alexander


sangat erat, melekat begitu hangat di tubuh pria tersebut.

Deg!!!

Seketika suara Lorna barusan terdengar seperti sesuatu yang membuatnya kembali hidup. Pria itu
diam mencoba mengingat kalimat Lorna barusan, itu sangat tidak jelas untuknya.

"Lorna ..."Alexander melepas pelukan mereka dan kembali menemukan kedua pandangan yang
begitu berbeda saat ini.

"Aku mencintai mu, aku mencintai mu, aku mencintai mu Alexander!"Lorna mengulang nya,
tiga kali sesuai detik saat ia menandatangani berkas pernikahan mereka. Sebuah kertas yang
akhirnya mengubah status sekaligus hidup mereka.
Alexander lega, ia tersenyum lebar untuk pertama kali nya setelah menghabiskan waktu 40 bulan
tanpa Lorna. Ia sendiri selama ini, hidup dalam kerinduan yang tidak bisa ia ungkapkan pada
siapapun.

"Aku sudah menyiapkan satu tempat, di pinggir danau dan jauh dari perkotaan. Kita akan hidup
dengan tenang, hanya kita Lorna. Aku, kau dan anak kita!"ucap Alexander tanpa melepas
pandangannya yang simpul. Lorna terkesan, ia mengangguk kecil tampak setuju dengan
keinginan Alexander yang begitu kuat. Hingga sepersekian detik setelahnya mereka saling
bertatapan, mengalirkan setiap perasaan yang ada di dalam diri mereka masing-masing. Lorna
begitu indah di mata Alexander, tidak ada wanita lain yang berhasil membuatnya sejatuh ini.

"Fuck!"maki pria itu dengan sangat tajam. Ia meraih pinggul wanita tersebut dan langsung
mengangkatnya tinggi lalu memindahkan tubuh Lorna ke atas meja bulat yang tidak jauh dari
posisi mereka.
Seketika seluruh bodyguard Alexander yang ada di ruangan tersebut langsung memutar tubuh
mereka dan keluar tanpa perintah.

Lorna merasakan Alexander mulai mencumbunya hingga underwear yang ada di balik rok
pendek itu lepas. "Alexander—"

"Diam!"celetuk Alexander sambil membenarkan posisi wanita itu, ia membuka kedua paha
Lorna dan menyelip di antara keduanya, pria itu bergerak cepat tampak menurunkan
bawahannya sembari meraih salah satu tangan Lorna agar wanita itu memeluknya.

"Alexander bagaimana jika ada yang datang... Ini ruangan—Ahhh Alex ...."ucapan Lorna
berubah saat merasakan pria itu memenuhi tubuhnya cepat dan dalam, hingga ia langsung
meremas kuat bahu tegap Alexander yang begitu berkuasa dalam waktu seadanya.

Alexander bergerak perlahan, merasakan wanita tersebut seutuhnya. Ia tenang karena akhirnya
berhasil mengembalikan Lorna pada tempatnya. Masih pada perasaan yang sama.

____________________

"Di mana Michella, kenapa dia belum kembali?"Alexander membentak sarkas sambil
mengedarkan pandangannya tegas.

"Ponselnya mati, aku tidak bisa melacaknya sir, "ucap Billy dengan nada yang ikut khawatir. Ia
melirik ke arah Alexander yang mencoba menghubungi nomor wanita tersebut.

"Lacak mobil ku!"ucap Alexander membuat Billy kembali meraih laptop yang ada di depannya.
Ia tampak teliti, mencoba mencari tahu di mana letak mobil Alexander.

"Aku juga tidak menemukannya, satupun tidak ada jejak!"Billy khawatir, ia menyatukan kedua
tangannya tampak berpikir. Mencoba menjangkau sesuatu yang bisa ia cari, sungguh wanita itu
mendadak hilang bagai di telan bumi.
"Kalian, cari Michella sekarang!"ucap Alexander dengan nada tegas. Pria tersebut mengerutkan
kening, berpikir sejenak dengan apa yang sedang terjadi sekarang. Harusnya wanita itu sudah
sampai dengan membawa Rowan, tapi dua jam lebih sudah berlalu dan sedikitpun tidak ada
tanda-tanda kehadiran wanita tersebut.

Beberapa bodyguard yang di perintahkan Alexander mulai bergerak, mereka melangkah cepat ke
arah pintu.

"Sir,"panggil seseorang dengan nada lemah saat menangkap satu sosok yang baru saja tiba.

Seketika semua orang menoleh, Alexander dan Billy yang tadinya duduk dengan santai segera
beranjak bangkit dari tempatnya.

"Michella .. Kenapa kau—"Alexander menggantung kalimatnya, ia memerhatikan wanita itu


seksama.

"Sir .. R-rowan .. Rowan!!"

Brakk!!

Wanita itu mendadak jatuh ke lantai sebelum menyelesaikan kalimat terakhirnya. Ia tidak
mampu lagi menopang tubuh yang mendadak begitu berat.

"Bawa dia ke kamar, cepat! Milla!!!!"Alexander berteriak kencang, tidak peduli dengan apapun
lagi. Ia khawatir melihat keadaan Michella yang memprihatinkan.

Wajahnya tampak rusak akibat luka pukul, rambut hitam Michella basah dan kotor, belum lagi
pakaiannya yang robek seakan menampakkan beberapa bagian tubuhnya yang ikut terluka.
Benar-benar kacau.

"Alexander apa yang terjadi?"tanya Milla saat melihat kondisi Michella yang memprihatinkan. Ia
ikut terbelalak saat melihatnya, ini bukan luka biasa.

"Sepertinya Rowan mencoba melukai Michella,"ucap Billy saat melihat wanita tersebut di
angkat oleh beberapa bodyguard yang ada.

"Sir,"tegur Billy saat melihat tidak ada reaksi apapun dari Alexander.

"Tidak mungkin. Michella cukup terlatih, dan Rowan tidak bisa kabur begitu saja saat
tangannya terborgol ke belakang,"batin Alexander tetap memilih diam tanpa mengatakan
apapun pada Billy.

"Kita tunggu penjelasan Michella nanti!"balas Alexander lalu melangkah menjauh dari tempat
itu. Ia ingin memastikan keadaan Lorna yang ada di kamarnya, pikirannya mulai kacau akhir-
akhir ini. Sesuatu hal cukup menghantuinya, sejujurnya ia sempat melihat seseorang di masa
lalunya. Seseorang yang benar-benar belum selesai dengan urusannya dulu.
"Apa mungkin kau.."Alexander bergumam, ia melangkah pelan menuju kamarnya sambil
berpikir keras.

"Sepertinya aku harus kembali ke Washington untuk memastikan sesuatu hal,"keluh Alexander
sembari menghela napasnya panjang lalu membuka pintu ruang kamar tersebut.

Chapter 26 : Eggs

"Bagaimana keadaannya?"tanya Alexander menatap datar wajah Michella yang terbaring lemah
tanpa ekspresi sejak tadi malam.

"Aku memberinya penenang, sekarang kita harus menunggu hasil sample darahnya, aku
curiga!"ucap Milla dengan wajah datar.

"Curiga?"Alexander melirik tajam memerhatikan penuh perhatian.

"Michella mengalami overdosis karena opioid, kukunya membiru dan terjadi masalah pada
pernapasannya. kemungkinan seseorang mencoba menyakitinya dan-"

"Michella pecandu?"potong Alexander terdengar sarkas.

"Ya! Jika aku benar mungkin ia menggunakan salah satu jenis Heroin."

"Itu tidak mungkin, Michella tidak pernah menggunakan obat-obatan. Lagipula apa
hubungannya dengan ini semua!"gumam Alexander mengeluh kasar. Ia berpikir dan meletakkan
kedua tangannya di pinggang lalu mengedarkan pandangan ke tiap ruangan.

"Kita akan tahu setelah hasil tes laboratorium nya keluar,"keluh Milla menatap begitu tegas ke
arah Michella.

"Mobil ku menghilang, tidak ada yang kembali selain Michella ke mansion ini. Semua
bodyguard mendadak lenyap, sama sekali tidak bisa di lacak. Sepertinya Rowan juga bukan
orang sembarangan, dia bukan hanya menjadi anggota Redblood. Dia sangat berbahaya,"
Alexander membatin, ia mencoba memikirkan semuanya secara terperinci, ia tidak ingin salah.

"Di mana Lorna?"tanya Milla sambil melirik tegas ke arah Alexander.

"Di kamarnya!"balas pria itu datar sambil mengulum bibirnya.

"Rahasiakan semua ini dari Lorna, ia harus fokus pada kandungannya!"


"Aku setuju. Lagipula hal ini tidak bisa dipikirkan olehnya. Apalagi, Rowan berkaitan erat
terhadap hal ini."Milla mengeluh lalu membenarkan rambut hitamnya tanpa melepaskan
pandangan yang begitu tegas dari Alexander.

"Milla apa kau butuh bantuan?"

"Maksud mu?"tanya Milla begitu mendengar pertanyaan tersirat itu.

"Luiz, anakmu. Apa kau bisa mengatasi semua ini?"Milla mengeluh kasar saat mendengar
pertanyaan Alexander.

"Sedikit. Tapi kau tenang saja, aku bisa atasi semuanya sekalian. Entah kenapa feeling ku buruk
jika kau ingin menyewa dokter lainnya,"balas Milla dengan nada yang lebih menonjol.

"Baiklah! Katakan padaku jika kau kesulitan,"Alexander melirik ke arah Michella sekali lagi,
wanita itu masih belum sadarkan diri. Obat penenang yang di berikan Milla cukup berefek di
tubuhnya mungkin sekitar empat atau lima jam lagi.

_______________

"Alexander, kau dari mana saja? Aku mencari mu!"Lorna langsung mendekat saat melihat pria
itu baru saja muncul di depan matanya.

"Ada apa?"balasnya ketus tanpa ingin menjawab pertanyaan Lorna. Lebih tepatnya menghindari
pertanyaan wanita tersebut.

"Aku lapar!"wanita itu mendekat, langsung memeluk tubuh kekar tersebut tanpa menunggu lebih
lama.

"Makanan mu sudah-"

"Aku tidak suka makanan itu, tidak enak!"potong Lorna sebelum Alexander menyelesaikan
kalimatnya.

"Lorna itu baik untuk kandungan mu."

"Bukan itu masalah nya, tapi-"Lorna menggantung kalimatnya, ia sedikit mendongak dan
menatap tegas ke arah pria tersebut.

"Tapi?"Alexander mengerutkan kening, ia memegang pinggul wanita itu sangat kuat. Menahan
tubuh Lorna tetap berada dalam pelukannya.

"Aku ingin kau yang memasaknya!"

"Apa?"suara Alexander melengking, ia mengerutkan kening seperti baru saja mendengar berita
heboh pagi ini.
"Kenapa kau begitu terkejut? Aku hanya-"

"Lorna kau tahu, aku anti mengerjakan sesuatu yang berurusan dengan pekerjaan rumah. Apalagi
itu..."

"Tapi aku tidak bisa makan jika bukan kau yang melakukannya,"Lorna mengerutkan bibir,
memandang dengan wajah penuh harapan. Sial- Alexander ingin mengumpat.

"Kau bisa minta apapun tapi tidak untuk-"Alexander menggantung kalimatnya saat Lorna
merekatkan kedua tangan di perutnya.

"Ya sudah. Biarkan kami lapar,"wanita itu segera memutar tubuhnya, tampak kecewa dengan
penolakan yang di lakukan Alexander.

"Lorna..."panggil Alexander ikut melangkah bersama wanita tersebut lalu memegang kuat lengan
kanannya.

"Dengar! Kau bisa pesan makanan dari restauran manapun jika kau ingin makan. Tapi-"

"Aku sudah bilang, aku hanya ingin makan apa yang kau buat!"tegas Lorna dengan matanya
yang begitu tersorot, Alexander menurunkan mata melirik tangan wanita itu malah mengusap
perut datarnya. Ia menarik napas, tampak sangat frustasi.

"Baiklah! Aku akan melakukannya. Tapi hanya untuk kali ini,"ucap Alexander lebih tegas
membuat wanita itu langsung mengembangkan senyuman dan kembali memeluknya erat.

"Aku akan membantu mu,"Lorna melangkah, seakan menarik kuat tubuh kekar itu. Alexander
merasa cukup berat saat harus melangkah ke dapur, ia tidak pernah berurusan dengan ruangan itu
selama ini. Ia menggunakan pisau untuk menusuk seseorang bukan memotong sayur atau
bawang.

__________________

"Ini apron mu, pakailah!"ucap Lorna sambil mengaitkan sebuah kain yang sudah di bentuk pada
tubuh Alexander.

"Aku tidak mau!"pria itu mengelak, melihat bentuk apron yang begitu aneh di matanya.

"Kenapa? Ini melindungi pakaian mu!"

"Motifnya? Kenapa harus Micky mouse dan warnanya .... Menjijikkan!"makinya sambil
mengedarkan pandangan ke arah apron tersebut.
"Ini bagus, imut! Tidak ada apron yang memiliki motif pesawat terbang Alexander, pakailah!"

"TIDAK!"balasnya begitu tegas sambil meraih sebuah pisau yang tersusun rapi pada tempatnya.

Lorna tersenyum tipis, berhasil membuat pria itu tampak sangat frustasi. Tapi syukurlah,
setidaknya Alexander bisa melakukan sesuatu hal yang tidak pernah ia lakukan seumur
hidupnya.

"Kemari lah, ajari aku!"Alexander mendadak meraih lengan wanita tersebut, memeluknya dari
belakang dan memegang pisau bersamaan. Saling menyatukan kedua tangan.

"Kau memalukan, kenapa tidak bisa melakukan pekerjaan mudah seperti ini,"ucap Lorna mulai
memotong seledri yang ada di depannya.

"Aku bukan ahlinya, cepatlah! Aku tidak ingin lama-lama di tempat ini."balas Alexander sambil
mengecup tipis puncak kepala wanita itu sesekali dan mengikuti alur tangan Lorna yang ada
dalam genggamannya.

______________________

"Bagaimana?"tanya Alexander sambil menatap wajah Lorna yang baru saja mencicipi makanan
yang ia sajikan. Hanya telur orak-arik yang di taburi garam. Sangat tidak layak!

"Alexander, boleh aku tanya satu hal padamu?"Lorna mengetuk-ngetuk ujung sendok di atas
piring hidangan tersebut. Ia menatap tajam wajah Alexander sambil menahan senyuman.

"Apa?"

"Berapa banyak kau letakkan garam di sini? Kau tahu? Ini sangat sangat sangat asin,"ucapnya
sambil mengulum bibir yang tampak begitu merah. Alexander gagal total.

"Benarkah?"pria itu menelan ludah, sedikit tidak percaya dengan apa yang di katakan Lorna.

"Ini.. Rasakan sendiri!"Lorna memberikan sendok, meminta agar Alexander tahu bagaimana rasa
telurnya itu. Dengan cekatan Alexander meraihnya dan mulai mencicipi makanan tersebut.

"Uekkk!"Alexander memegang mulutnya, ia melangkah cepat menuju wastafel dan kembali


memuntahkan makanan itu, sambil mencuci mulutnya yang bahkan masih melekat dengan rasa
asin.

"Kau payah! Kenapa memberiku makan dengan telur asin begini?"Lorna terkekeh memerhatikan
Alexander yang mulai melangkah mendekatinya.

"Aku bukan chef. Jika kau ingin makan enak, aku rasa kau harus menikahi chef!"
"Harusnya! Tapi pangeran tampan yang posessif ini menjebak ku!"balas Lorna begitu penuh
sindiran. Alexander menatapnya lalu tersenyum tipis sejenak. Ia memerhatikan telur itu kembali
dan mengeluh kasar. Ia sangat tidak becus.

Alexander meraih jemari wanita itu, memintanya segera berdiri dari tempat nya. Ia mengangkat
tubuh Lorna ke atas meja dan meletakkan kedua tangannya di sudut paha wanita tersebut, hingga
pandangan mereka begitu dekat.

"Jika aku tidak menjebak mu, mungkin saat ini kau masih tinggal dengan freezer kosong mu itu,
mau makan apa anakku? Heh?"tanya Alexander melihat wanita itu mengedarkan mata ke
arahnya.

"Isi freezer mu penuh, tapi sayangnya kau bahkan tidak bisa membuatkan ku makanan yang
layak, apa bedanya?"

"Kau mengerjai ku Lorna,"ucap Alexander lalu mencium bibir yang tampak mengilap di
depannya.

Tok tok tok!!

Seseorang menggangu, membuat keduanya langsung melepas ciuman lalu menoleh cepat ke arah
pintu ruangan yang terbuka lebar itu.

"Sir, maaf jika aku mengganggu mu. Ini penting,"ucap Billy tampak menyanggah membuat
Alexander langsung mendekat setelah menurunkan Lorna kembali.

"Ada apa?"tanya Alexander sambil mengelap sisa lipstik Lorna yang menempel pada bibirnya.

"Salah satu mansion mu Washinton di bom, berita itu masuk sorotan berita dunia."ucap Billy
membuat pria itu langsung mengerutkan keningnya tegas saat mendengar berita yang
mengejutkan itu.

"Bagaimana bisa? Pengamanan di semua Mansion ku ketat!"

"Kepolisian sedang menyelidiki semuanya dan seluruh bodyguard mu yang ada di sana tewas,
sir,"sambung Billy begitu tepat sasaran membuat Lorna langsung merubah wajahnya. Ia
mengerutkan tangan pada pakaiannya dan menahan napas yang begitu sesak.

Chapter 27 : Princess Disney

Alexander mengedarkan pandangan matanya, meneliti letak mansion megah yang ia beli hanya
karena alasan kecil. Sesekali pria itu menyesap aroma wangi coffee yang ada di Mug berwarna
Pink dengan motif princess Disney, ia terpaksa menggunakan gelas itu karena Lorna. Sungguh
itu adalah warna yang paling di benci Alexander. Ia pria manly, maskulin dan tegap dengan
pecinta warna Gold dan merah.

Di sela lamunannya, pria itu menoleh ke arah lain saat mendengar suara ketukan begitu sayup
pada pintu kamarnya. Ia melirik ke arah Lorna, wanita itu tidur pulas di tempatnya. Perlahan ia
melangkah ke atas ranjang dan menyelimuti dengan benar tubuh Lorna yang tampak terekspose,
lalu beranjak ke arah pintu dan membukanya sedikit.

"Sir, ada berita penting untukmu."Billy menahan napas mencoba mencondongkan tubuh agar
Alexander keluar dan menutup pintu kamarnya.

"Ada apa?"

"Soal mansion mu, orang yang mengebom Mansion itu menyerahkan diri ke pihak kepolisian
pagi ini,"Alexander langsung mengerutkan kening, menatap tangkas setelah mendengar
penjelasan Billy barusan.

"Apa alasannya melakukan itu?"tanya Alexander masih menyesap minumannya tanpa sadar.
Billy menelan Saliva sedikit bereaksi saat melihat warna Mug yang di pegang Alexander. Ia
ingin tertawa.

"Alasannya sedikit tidak masuk akal, ia mengatakan kalau sangat memuakkan jika harus melihat
wajah pria angkuh sepertimu,"ucap Billy sedikit lambat lalu menggigit bibirnya. Alexander
melakukannya lagi, ia kembali minum dan hal itu sangat membuat otot perut Billy kram
sekarang. Entah sampai kapan ia bisa menahan tawa.

"Begitukan? Apa kau punya fotonya?"tanya Alexander membuat pria itu langsung mengeluarkan
ponsel, ia mencari sesuatu dan memberikan benda tersebut pada Alexander.

"Pegang!"perintah pria itu sambil memberikan Mug nya pada Billy.

Deg!!

Alexander berhenti sejenak, ia melirik ke arah Billy bergantian pada Mug yang masih ada di
tangannya saat ini. Ia lupa menaruh benda itu terlebih dahulu.

"Lorna mengganti semua Mug yang ada di mansion ini,"Alexander mencoba menjelaskan, ia
mengeratkan gigi.

"Ya sir, aku juga menggunakannya,"balas Billy terdengar ragu. Ia tersenyum begitu tipis
mencoba menyatukan pikirannya dengan Alexander.

"Dia menggemaskan,"ucap Alexander memuji lalu menarik napasnya dalam. Ia menggenggam


Mug itu, mencoba lebih fokus pada apa yang harusnya ia bicarakan.

"Jadi bagaimana soal Mansion ku?"tanyanya mulai menunjukkan ekspresi lebih serius.
"Pihak kepolisian ingin anda yang mengambil tindakan. Bagaimanapun ini di anggap kasus
besar,"ucap Billy dengan begitu tegas lalu mengulum bibirnya kembali.

"Lepaskan saja dia,"

"Sir, tapi-"

"Lakukan perintahku!"balas Alexander begitu tegas. Billy terdiam sejenak, ia menghela


napasnya dalam lalu mengangguk dengan penuh keterpaksaan.

"Bagaimana Michella?"tanyanya lagi terdengar pelan.

"Keadaannya masih belum stabil. Sulit untuk memaksanya agar ia bicara,"balas Billy menghela
napasnya yang terasa berat.

"Aku akan menemuinya langsung nanti, berikan padaku hasil tes Laboratorium nya!"

"Baik sir,"Billy bicara tegas. Ia mengangguk pelan lalu segera memutar tubuhnya dan
meninggalkan Alexander dengan langkah cepat.

"Mansion ku di jaga ketat dengan ratusan CCTV dan puluhan Bodyguard. Jika seseorang
berhasil masuk di dalam nya, aku yakin dia bukan orang biasa. Tidak mudah bagi seseorang
untuk membuat bom rakitan, aku yakin seseorang pasti membayarnya. Aku punya rencana
lain,"Alexander membatin, ia mengeluh kasar lalu sigap membuka pintu kamar dan kembali
masuk ke ruangan tersebut.

"Alexander kau dari mana? Aku baru saja ingin mencarimu,"tegur Lorna saat ia baru saja ingin
turun dari tempat tidurnya.

"Hanya mencari udara segar, bagaimana keadaan mu? Masih mual?"tanyanya sambil mengecup
pelan kening wanita tersebut.

"Lebih baik dari pada sebelumnya,"Lorna tersenyum tipis lalu mengeratkan tangannya pada pria
itu. Memeluknya seperti bayi besar.

"Jangan meninggalkan ku begitu saja!"pintanya dengan suara yang pelan. Ia merasa begitu
sensitif terhadap kehadiran Alexander, sulit baginya untuk bisa lepas sebentar saja. Pria itu
seakan menjadi nyawanya.

"Aku hanya keluar sebentar, tenanglah,"Alexander tersenyum lebar, mengusap sudut wajah
wanita itu dan kembali menempelkan ciumannya di kening lalu merambah ke bibir dan
menyesapnya pelan. Begitu manis dan lembut.

"Aku mencintai mu, Lorna!"Alexander berbisik rendah, ia memegang kedua pipi yang tampak
membulat. Sungguh Lorna begitu menggemaskan.
"Aku juga. Aku juga mencintai mu."Lorna tersenyum manis, ia memautkan bibirnya kembali
pada pria itu hingga beberapa detik kemudian ciuman tersebut terasa begitu dalam.

"Hari ini aku akan sedikit sibuk. Kau bisa tinggal di mansion sampai aku kembali?"

"Tidak!"Lorna menjawab cepat, ia memasang wajah mengerut kesal saat mendengar pria itu
akan meninggalkannya.

"Lorna aku ada urusan di luar—"

"Aku ikut!"potong Lorna dengan cepat sambil mengaitkan menarik tubuh Alexander agar duduk
di sampingnya.

"Ini urusan bisnis, kau tidak bisa ikut,"

"Aku ikut! Jika tidak aku tidak akan beranjak dari sini,"Lorna menaiki tubuh pria itu, duduk di
atas pangkuannya sambil merebahkan diri.

"Lorna tolong. Kau tidak bisa—"

"Apa kau mau meninggalkan ku dan anakmu? Kau bilang aku bisa meminta apapun. Ini baru
permintaan kecil, Alexander."tukas Lorna mendongak ke arah pria tersebut. Seketika pria itu
mengeluh, ia memijat keningnya frustasi.

"Baiklah!"seketika Alexander mengalah dan Lorna langsung mengembangkan senyumannya


yang tampak begitu lebar.

____________________

"Alex .. Apa yang kau pakai?"Milla mengernyit, mata wanita itu menyipit saat melihat pria itu
keluar dari kamarnya bersama Lorna yang memegang lengan Alexander begitu kuat.

"Ini jacket keluaran terbaru, aku baru membelinya. Bagaimana? Bukankah itu sangat cocok
dengan Alexander. Sebentar aku harus mengabadikan moment ini."Lorna meraih ponsel pria
tersebut, ia membuka camera dan mengambil sebuah foto selfie.

"Alexander .. Kau sakit?"tanya Milla melihat pria diam tanpa ekspresi. Ia menggunakan hoodie
pink dengan telinga yang ada pada bagian penutupnya. Belum lagi sebuah gantungan berbulu
tampak begitu lucu, sama dengan apa yang di pakai Lorna. Couple.

"Billy .. Batalkan semua janji ku hari ini!"ucap Alexander membuat pria tersebut terpaksa
memutar pandangannya. Sialan! Ia sejak tadi menahan tawa, sungguh wajah pria itu perah
padam. Alexander sangat tidak menarik dengan pakaian itu. Terlalu menggemaskan.
"B-baik sir,"jawabnya tidak jelas sambil memegang mulutnya.

"Kenapa kau membatalkan nya?"tanya Lorna sambil memegang kuat lengan pria Alexander.

"Kau mau mempermalukan ku di hadapan orang-orang dengan pakaian ini, Lorna?"balasnya


sambil mengangkat kedua tangan ke atas seakan menirukan sebuah binatang.

Tiba-tiba suara aneh terdengar begitu keras. Namun bukan pada Alexander, tapi Billy. Semua
mata menuju ke arahnya begitu tajam.

"Sayang .. Kau buang angin?"tanya Milla seakan memperjelas. Pria itu diam menatap ke arah
Alexander dan kembali menahan tawanya hingga tenggorokannya terasa begitu berat.

"M-maaf. Aku tidak tahan lagi."balasnya lalu mengusap wajahnya dan menarik napas begitu
dalam. Ia segera memutar tubuh lalu bergerak sangat cepat untuk menjauh.

"Alexander kenapa kau melepas jacket nya?"tanya Lorna saat melihat pria itu melepaskan benda
sialan itu dari tubuhnya. Sungguh sangat menjijikkan.

"Aku lebih baik tidak memakai apapun dari pada harus memakai jacket itu, Lorna."

"Alex tapi—"

"Ini terakhir aku menuruti permintaan mu. Kau mengerjai ku!"Keluh Alexander lalu
mengedarkan pandangannya ke tiap tempat dan memerhatikan betapa merahnya wajah para
bodyguard yang ada di ruangan tersebut. Hilang sudah harga dirinya karena tindakan Lorna.

Chapter 28 : safeguard

"Hey.. Apa Luiz tidur?"Lorna melempar senyumannya, menatap secara keseluruhan ruang kamar
Milla.

"Masuklah .. Dia tidur sepanjang harinya,"ucap Milla tersenyum simpul sambil meletakkan
tubuh di sudut sofa tepat di sebelah baby box Luiz.

"Dia tampak begitu lucu, polos."Lorna mencoba mengintip. Memerhatikan bayi kecil terlelap
begitu pulas. Bibir nya begitu merah, kulit halus dan aroma khas yang menyengat membuat
Lorna begitu hanyut.

"Ya! Aku harap dia akan seperti itu, sepanjang waktu."balas Milla menepuk sofa dua kali agar
Lorna duduk di sampingnya.

"Bagaimana mual mu? Sudah berkurang?"


"Ya. Sedikit karena bantuan mu,"balas Lorna melangkah pelan dan duduk di sofa yang sama,
tepat di sisi kanan Milla.

"Aku tidak bisa memberi bantuan lebih banyak. Aku bukan dokter spesialis Obgyn."keluh Milla
sambil menyandarkan tubuh pada bantal yang tebal di sudut sofa.

"Tidak masalah. Aku menikmati masa-masa ini,"balas Lorna tersenyum tipis.

"Bagaimana rasanya?"Milla menatapnya tajam, masih mencari celah pada Lorna yang tampak
begitu sensitif.

"Entahlah.. Sulit bagiku untuk berjauhan dari Alexander. Aku bahkan tidak bisa tidur sebelum ia
berada di sampingku."Lorna mengeluh. Ia merasa begitu berbeda, seperti seseorang
merasukinya, menjelma menjadi orang lain yang begitu menuntut.

"Hm- aku malah membenci Billy saat masa-masa kehamilan. Ia harus tidur di luar karena hal itu.
Terdengar bodoh, tapi entahlah. Setiap melihat wajahnya tangan ku bergerak ingin meninjunya!"

"Apa luka di pelipisnya itu karena mu?"tanya Lorna sempat memerhatikan bekas luka yang
cukup membekas di wajah pria tersebut.

"Ya! Aku perang besar. Aku juga pernah memukul Alexander. Mereka berdua memuakkan,
sungguh!"Milla meremas kedua tangannya mencoba mengingat bagaimana masa kehamilan yang
sempat ia lewati. Hal itu terjadi naluriah, sulit di lawan.

"Semua begitu menyenangkan,"balas Lorna sambil mengeluh pelan. Merasakan sisa mual yang
begitu berkecamuk di perutnya.

"Ya. Syukurlah kau juga akhirnya membuka matamu dan kembali pada Alexander."

Lorna terdiam, ia menegakkan kepala sambil memutar bola matanya. Malas membahas sesuatu
yang tidak ingin ia ingat saat ini. Rowan menghilang begitu saja dari otaknya, tanpa bekas
sedikitpun.

"Aku tidak habis pikir kau bisa menjalin hubungan dengan pria itu Lorna,"

"Milla .. Aku tidak ingin membahas itu, hubungan ku sudah berakhir."

"Kau akhirnya tahu siapa Rowan sebenarnya, itu belum seberapa. Alexander tidak ingin
mengatakan apapun padamu soal pria itu, ia yakin bahwa kau tidak akan mempercayainya,"Milla
menyindir, ia melirik tajam membuat Lorna terdiam begitu kaku.

"Aku harus ke kamarku!"


"Lorna, Alexander sangat mencintai mu. Ia merawat daddy-mu!"balas Milla membuat wanita itu
kembali mengalihkan pandangan ke arahnya. Lorna menelan saliva, ia memasang penuh harapan
pada wanita tersebut.

"Kau tahu soal daddy ku? Bagaimana keadaannya?"Lorna tampak semangat. Ia membulatkan
mata mencoba mencari tahu.

"Daddy mu sangat membenci Alexander. Ia mengecamnya dengan tudingan kasar sejak kau
menghilang, lalu ia bercerai dan pindah ke Santa Barbara."

"Dari mana kau tahu semua itu?"tanya Lorna penasaran.

"Alexander membeli mansion keluarga Dulce dengan harga tiga kali lipat. Ia juga memberikan
sebuah rumah biasa untuk orang tua mu tinggal di Santa Barbara,"

"Kenapa daddy masih menerima pemberian Alexander?"

Milla mengeluh, ia mengulum bibirnya sejenak. "Alexander melakukannya diam-diam. Rumah


itu di berikan dengan alasan hadiah. Semua sudah di atur sebaik mungkin agar daddy mu tidak
curiga. Percayalah, berkat Alexander kehidupan keluarga Dulce sangat baik."

Lorna menelan ludah, ia menunduk lalu menyatukan kedua tangan dan meremasnya pelan. Ia
memasang pandangan yang berkaca-kaca.

"Bagaimana Olivia?"

"Jace menikahi wanita itu setelah mengundurkan diri dari CIA, pernikahan mereka di tentang
oleh daddy mu dan Alexander. Namun nyatanya suami mu itu tetap saja diam-diam memberikan
kemudahan pada keduanya. Jace bahkan di angkat menjadi CEO sebuah perusahaan di
Washington."

"Aku merasa bersalah karena pernah meminta pada Tuhan agar dia bangkrut."tukas Lorna sambil
mengeluh kasar. Milla tersenyum simpul lalu menyentuh tangan Lorna dengan lembut.

"Karena itu aku berdiri untuk Alexander. Aku tahu, ia melakukan kesalahan di masa lalu. Tapi
ada hal yang tidak kau ketahui kenapa Alexander harus melakukan itu, alasan kuat yang
membuat ia menjadi pembunuh. Ia ingin melindungi mu Lorna. Alexander benar-benar
mencintai mu,"seketika Lorna menelan Saliva, begitu banyak yang ia lewatkan selama ini.
Semua begitu penuh mystery.

___________________

"Sir, hasil tes Laboratorium Michella menunjukkan reaksi terhadap Heroin. Namun tidak ada
satu transaksipun yang menunjukkan kalau Michella pernah membeli benda tersebut,"terang
Billy dengan nada pelan sambil menerima tatapan tajam dari Alexander.
"Apa dia masih tidak mau bicara?"tanya Alexander datar.

"Dia mengaku tidak mengingat apapun, kecuali .... Saat sekelompok orang menyerangnya dan
mulai menembak ke arah seluruh bodyguard mu, sir."

"Hanya itu?"

"Ya sir, cukup sulit untuk mengumpulkan informasi darinya,"akui Billy sambil bernapas berat.

"Apa ada kemungkinan Michella di ancam?"tanya Alexander lagi mencoba mencari tahu apa
yang sedang ada di benaknya saat ini.

"Aku tidak bisa menilai hal seperti itu sir, ia tidak terlalu banyak bicara."balas Billy
memerhatikan sikap Alexander yang tampak mencurigai Michella.

"Baiklah. Urus penerbangan ku ke Washington besok!"

"Bagaimana dengan nona Lorna, sir?"tanya Billy memasang wajah penuh perhatian.

"Biarkan dia di sini sementara waktu!"

"Sir, tapi bagaimana-"

"Urus semuanya hari ini!"potong Alexander terdengar begitu memerintah. Ia menatap penuh
tujuan membuat Billy terpaksa mengangguk setuju.

___________________

"Di mana pria brengsek itu, kenapa dia belum kembali?"Lorna tampak frustasi, ia menekan-
nekan ponselnya mencoba menghubungi Alexander sejak tiga puluh menit yang lalu.

Tak lama setelah itu, pintu kamarnya terbuka lebar. Menampilkan sosok yang ia rindukan
muncul dengan pandangan tegas.

"Alexander,"Lorna meletakkan ponselnya, melangkah cepat dan mendekati pria itu dengan
langkah seribu.

"Dari mana saja kau. Kenapa tidak-"Lorna terdiam saat pria itu memeluknya erat dan mencium
bibirnya begitu dalam.

"Kau merindukan ku?"tanya Alexander tampak tersenyum simpul tanpa melepas pelukannya.

"Kau tahu, aku tidak bisa jauh darimu. Jadi jangan-"

"Tenanglah! Aku punya sesuatu untuk mu,"Alexander merogoh saku jacketnya, menunjukkan
sebuah kotak berwarna hitam dan membukanya pelan.
"Ini untuk mu!"Alexander menyematkan sebuah cincin berlian yang memiliki mata berwarna
blue safir di jari wanita tersebut. Tampak mewah dan mengkilap.

"Ini sangat indah,"Puji Lorna tampak mengusap pelan cincin tersebut lalu merasakan tangan
Alexander meraih pipinya dan mengangkatnya ke atas.

"Maaf, Aku belum bisa mengadakan pesta pernikahan untuk mu sekarang, Lorna. Di sini-"

"Tidak masalah. Yang terpenting bukan pestanya bukan?"potong wanita tersebut sambil
tersenyum tipis. Ia tampak santai, namun Alexander menyimpan rasa yang begitu dalam saat ini.
Suasana masih begitu sulit, ia tidak ingin seseorang mencoba mengambil kesempatan di acara
pestanya.

Alexander hanya mengeluh, tidak menjawab ucapan Lorna dan meraih tubuh wanita tersebut.
Memeluknya begitu erat dan enggan untuk melepasnya sedetikpun.

"Aku akan melindungi mu Lorna, apapun yang akan terjadi nanti. Aku akan melindungi
kalian,"Alexander membatin, ia mengusap sudut kepala wanita tersebut dan mengecup pelan
puncak kapalanya berkali-kali.

Sementara Lorna tampak menikmati sentuhan tersebut, ia mengeratkan pelukan. Mengambil


kesempatan sebanyak mungkin untuk mencium aroma tubuh Alexander yang sangat melekat di
hidungnya.

Chapter 29 : Retouch

Langit kota Danhag tampak mendung dan cukup menusuk dengan udara yang mulai dingin.
Lorna berada di atas paha Alexander menikmati ciuman pria tersebut sejak tadi, ia bergerak
cukup liar sambil menautkan jemarinya di sudut bahu pria tersebut.

Rambut coklatnya terurai, basah akibat peluh yang membasahi tubuhnya. Sementara Alexander
terus menggoda wanita itu dengan remasan lembut yang semakin menjadi.

"Ah.. Aku letih,"Lorna melepas ciumannya secara mendadak. Ia mendorong bahu Alexander
agar bisa segera turun dan menjauh.

"Lorna apa yang kau—"Alexander mengerutkan kening, ia menahan tubuh wanita itu. Mencoba
mencari jawaban, gairahnya sudah berada di ubun-ubun sekarang.

"Kita terlalu sering melakukannya!"balas Lorna sarkas. Ia mengeluh tetap mencoba menurunkan
tubuhnya dari pangkuan Alexander.

"Lalu kenapa kau menggodaku?"


"Menggoda? Kita hanya berciuman Alexander,"seketika mata pria tersebut kilat. Ia ingin
melepaskan gairahnya sekarang.

"Lorna aku—"

"Kau tidak kasihan pada anakmu?"potongnya dengan nada suara yang begitu pasti.

"Jadi kita tidak bisa melakukannya?"tanya Alexander sambil menggerakkan tubuhnya. Merasa
sesuatu seakan sangat sesak di dalam dirinya.

"Tidak! Aku juga sangat letih!"

"Apanya yang letih? Ayolah aku akan melakukannya pelan-pelan!"

"Tidak! Sulit memercayai mu, kau kasar!"balas Lorna akhirnya berhasil turun dari pangkuan
Alexander.

"Sial! Kau membuat ku tersiksa Lorna. Aku butuh!"

"Pakai tangan mu, aku mau istirahat."Lorna mengangkat sudut rok pendeknya, mencoba
mendekati ranjang kembali untuk merebahkan tubuhnya.

Namun, Alexander segera menangkapnya. Menjatuhkan tubuh kecil itu di atas ranjang lalu
menindihnya segera. "Alexander, Kau harus ingat kata dokter. Jangan terlalu sering di masa
seperti ini."

"Hanya sebentar, ayolah!"

"Aku benar-benar letih. Kau tidak mau membuat anakmu kesakitan kan?"balas Lorna dengan
wajah menyedihkan hingga akhirnya Alexander mengeluh dan terpaksa turun dari ranjang
tersebut.

"Sial! Dia benar-benar tahu caranya menggodaku. Aku harus menuntaskannya!"Alexander


membatin, ia melirik ke arah Lorna yang tampak sengaja melepas kancing pakaiannya. Pamer
akan tubuhnya yang begitu mulus.
Alexander segera memutar tubuhnya saat melihat Lorna melepas atasanya begitu saja lalu meraih
selimut dan menutupi tubuhnya.

_________________________

"Kau belum tidur?"tanya Alexander saat keluar dari toilet dan memerhatikan wanita itu malah
sibuk dengan masker wajahnya.

"Kemari lah, kau juga sesekali harus memakainya. Ini baik untuk kulit wajah!"ucap Lorna
menepuk pelan masker yang kini menyatu di wajahnya.
"Aku tidak perlu itu!"Alexander mengeluh berat lalu melangkah mendekati ranjang kamar
mereka yang sangat besar.

"Ayolah. Aku akan memakaikannya untuk mu. Kau bisa berbaring di sini!"pujuk Lorna sambil
menepuk pahanya yang tampak mulus. Alexander tersenyum, ia berpikir bisa menggoda Lorna
dengan cara tersebut.

"Baiklah,"pria itu mendekat, meletakkan kepalanya di paha Lorna sambil meremasnya pelan.
Mencoba memancing wanita tersebut kembali. Bagaimanapun Alexander tidak akan puas jika
belum melakukan hubungan intim dengan wanita tersebut.

"Alex sakit!! Kenapa kau meremas pahaku?"celetuk Lorna langsung menjambak Alexander
cukup keras hingga pria tersebut terkekeh pelan, menahan rasa sakit.

"Hanya gemas!"balasnya jujur sambil meraih satu tangan Lorna dan mengecupnya pelan.

"Kau menyakitiku, lihat bekas nya langsung merah."Lorna mengeluh, memasang wajah kesal
dan mulai meraih masker yang ada di sampingnya.

"Diam, jangan banyak bergerak!"pinta Lorna mulai mengusap lembut wajah pria tersebut.
Alexander memilih diam dan menutup matanya menikmati pijatan lembut dari Lorna.

"Ini baru pertama kali nya aku melakukan ini,"ucap Alexander membuat Lorna tersenyum tipis.
Ia suka bisa merawat Alexander, rasanya pria itu sedikit berubah. Jauh lebih lembut dari
sebelumnya.

Lorna tidak menjawab, ia meneliti wajah Alexander begitu dekat dan diam-diam mengagumi
pria tersebut. "Kau sangat tampan,"batin Lorna tampak bereaksi, ia merasa begitu beruntung
karena nyatanya Alexander adalah pria pertama yang menyentuh tubuhnya, menciumnya begitu
dalam dan menjadikannya ratu di setiap kesempatan. Ia menyukai Alexander dari segala sisi,
pemaksa, egois, angkuh, tidak bisa tersentuh adalah topeng yang membuatnya kuat di mata
semua orang, faktanya pria yang ada di depannya saat ini adalah Alexander yang peduli, lembut
dan begitu penuh perhatian.

"Aku mencintai mu, Alexander,"ucap Lorna sangat pelan sambil tersenyum tipis. Ia menyentuh
wajah pria itu sangat lembur dan menyadari bahwa Alexander tertidur di pangkuannya.

Tiba-tiba senyuman mengembang di wajah Lorna, ia melirik ke atas nakas dan langsung
mendapatkan sebuah ide yang menurutnya Brilliant.

"Sepertinya dia terlihat cantik dengan polesan makeup, aku sudah lama ingin mencoba merk itu.
Jika itu bagus di wajah Alexander ini juga akan bagus di kulitku!"entah Lorna mendapatkan
pendapat dari mana soal itu, yang jelas ia sangat ingin memakaikan makeup tebal di wajah
Alexander sekarang.
Lorna menurunkan kepala Alexander dan mengganti pahanya dengan bantal yang mudah ia raih.
Perlahan ia turun dari ranjang dan mengambil perkakas makeup yang baru saja ia beli, Alexander
memberinya Black card. Lorna bebas membeli apapun asal ia tetap tinggal di Mansion.

"Bersihkan dulu maskernya,"Lorna sedikit penasaran akan jadi apa wajah Alexander setelahnya.
Ia berharap pria itu pingsan saat ia mulai melakukan retouch pada wajah Alexander yang ia
kagumi.

Wanita itu memasang kan bedak tebal, lipstik ombre pink dan merah. Eyeshadow biru dan alis
yang begitu lancip. Sungguh sebuah mahakarya yang sangat indah untuk Lorna. Alexander tetap
tidur seakan menikmati tiap guratan yang ada di wajahnya sangat pulas.

"Ahh aku suka riasan ini, dia imut!"Lorna tersenyum girang, ingin mencubit pipi coklat yang ia
bubuhi blush-on.

"Bulu mata, akan lebih baik jika aku memasangknnya juga!"Lorna mengambil kotak lainnya,
melakukan hal sesuai petunjuk yang ada pada benda tersebut dan menempelkannya begitu hati-
hati. Kapan lagi ia bisa melihat wajah berbeda dari Alexander kalau bukan sekarang? Ia bosan
melihat wajah tegas penuh keangkuhan dari pria tersebut.

"Selesai. Aku harus menyimpan fotonya. Ini kenang-kenangan,"Lorna menyimpan perkakasnya,


segera bangkit dari tempat tidur lalu meraih ponsel yang baru saja di beli oleh Alexander. Pria itu
anti saat melihat orang-orang di sekitarnya menggunakan merk ponsel selain merk dari
perusahaan nya. Sementara ponsel rancangan perusahaannya adalah brand dengan kualitas
terbaik dunia sepanjang sejarah.

Lorna mengambil beberapa foto, mencoba menahan senyuman saat melihat hasil yang begitu
memukau. Duh- berapa imutnya Alexander saat ini, ia benar-benar menurut; pikir Lorna.

Tiba-tiba suara pintu kamar mereka terdengar gaduh, seseorang mengetuknya berulang membuat
Alexander sigap dan terbangun. Ia merasa kelopak matanya lengket, berat dan sulit untuk di
buka. Namun suara ketukan pintu tersebut membuatnya tidak terlalu fokus akan hal tersebut.

"Alexander .. Wajahmu!"tegur Lorna sambil menelan salivanya kuat.

"Tunggu sebentar,"Alexander meraih sebuah kaos yang ada di sudut ranjang, melangkah cepat
menuju pintu dan segera membukanya.

"Sir aku—"Billy mendadak terdiam saat melihat begitu tegas ke arah Alexander. Ia lemas
seketika, menutup mulutnya sangat rapat dan mengintip Lorn yang ada di belakang pria itu
dengan senyuman lebar.

"Ada apa?"tanya Alexander tegas. Tidak cocok dengan riasan wajah yang menempel padanya.

"Sayang bagaimana? Apa Alexander—"kini giliran Milla, ia menggendong Luiz dan langsung
membulatkan matanya begitu lebar. Ia tidak bisa berkata apapun sekarang, tidak ada satu
katapun terlintas di otaknya. Ia hanya memegang Luiz begitu erat takut jika anaknya menangis.
Mungkin ia bisa saja peka.

"Ada apa dengan kalian?"tanya Alexander dengan nada suara yang sangat tegas lalu melihat
Lorna menyelip di antara tubuhnya.

"Wajahmu .. Aku .. Hm.. Wajahmu!"ucap Lorna sangat tidak jelas membuat Alexander
mengerutkan kening, ia mulai menyadari sesuatu yang tidak beres terjadi.

Seketika ia bergerak masuk ke dalam ruangan dan memerhatikan dirinya di depan kaca besar
yang memantulkan tubuh kokohnya bersama riasan tebal dan merona. Ia mengerutkan gigi,
mengepal tangan sangat kuat.

"Lorna!!!!!!!"suaranya melengking, ia menoleh ke arah pintu dan wanita tersebut diam lalu
menutup pintu kamar di mana Billy dan Milla masih setia di luar sana tanpa bisa berekspresi
sedikutpun.

Chapter 30 : Shadow

"Apa yang kau lalukan pada wajahku Lorna?"celetuk Alexander sambil mengacak pinggangnya
tegas. Lorna menunduk merasa begitu serba salah, pria itu marah namun jika Lorna mengangkat
kepala ia ingin tertawa.

"A-aku .. Aku hanya ingin mencoba make up itu di wajahmu. Kulit wajahku sensitif!"Lorna
terbata, ia menelan ludahnya dan sedikit mengangkat kepala.

"Kau pikir wajahku bahan percobaan?"balas Alexander terdengar begitu tegas. Ia sedang tidak
main-main, Lorna menghancurkan harga dirinya.

"Aku pikir itu tidak masalah jika—"

"Jika apa Lorna? Apa kau—"Alexander menggantung kalimatnya lalu memegang kening sangat
kuat sambil menutup mata. Lorna memeluk erat tubuh pria tersebut, mencoba merayunya sebaik
mungkin.

"Aku tidak tahu jika Billy akan datang,"keluhnya terdengar menderita. Suara Lorna serak dan
cukup bergetar.

Alexander mengeluh kasar dan akhirnya membuka mata perlahan. Ia mengecup puncak kepala
wanita itu perlahan. "Maaf karena aku membentak mu,"suara Alexander berubah pelan, ia malah
merasa begitu bersalah karena menyakiti Lorna dengan suara tinggi yang sempat ia lontar kan.
Tidak seharusnya Lorna mendapatkan itu semua, Alexander susah payah untuk mendapatkan
wanita itu kembali.
"Alexander kau—"

"Cepat bersihkan semua makeup menjijikkan ini!"potong Alexander melepaskan pelukan dari
Lorna dan memutar tubuhnya segera. Ia meletakkan tubuhnya di atas ranjang, menunggu kapan
wanita itu datang dan mengahapus semua warna yang ada di wajahnya saat ini.

"Kau akan menjadi daddy yang baik."

"Jangan memujiku. Tidak mempan!"balas Alexander dengan nada sarkas dan mulai merasakan
sentuhan lembut jemari Lorna di wajahnya. Dingin akibat pembersih wajah yang di gunakan
wanita tersebut.

"Benarkah?"tanya Lorna masih begitu aktif menghapus seluruh makeup di wajah pria itu.
Alexander diam, sama sekali tidak bereaksi. Ia memikirkan sesuatu yang terisi satu hal, ekspresi
Milla dan Billy saat melihat wajahnya. Itu membuatnya marah.

"Ingin ku pukul wajah keduanya, tapi itu salah Lorna. Bukan mereka,"batin Alexander begitu
memuncak. Ia terus berpikir hingga beberapa menit kedepan tanpa peduli pada apa yang di
lakukan Lorna.

"Sudah,"ucap wanita itu begitu pelan membuatnya segera membuka mata. Lorna tersenyum
manis, sambil merapatkan pakaian tidurnya yang sesekali menonjolkan bagian dadanya. Tidak
ada pelindung di sana.

Alexander menarik napas, tersenyum tipis lalu mendadak menarik pergelangan tangan Lorna lalu
menjatuhkannya di ranjang. Wanita itu menjerit dan begitu terkejut akibat reaksi yang di
tonjolkan oleh Alexander.

"Sebagai hukumannya. Kau harus menuruti perintahku!"ucapnya sarkas sambil melempar


senyuman smirk di tubuh Lorna.

"Alexander tapi—"

"Aku ingin bercinta dengan mu, di kolam!"bisik Alexander sangat rendah lalu melirik ke arah
luar kamar mereka yang begitu luas, di mana sebuah kolam terbentang begitu artistik.

Sorot mata Alexander tajam, ia seakan membius wanita itu dengan lihai lalu menciumnya rendah
dan sangat dalam. Lorna menarik napas, sedikit mendongak ke atas merasakan remasan nakal di
dadanya yang bulat. Pakaiannya di lepas paksa Alexander.

Wanita itu merapatkan kedua kaki, merasakan sebuah sensasi yang berbeda dari biasanya.
Semasa kehamilannya, Lorna merasa lebih mudah begairah, ia mengidam-idamkan sentuhan
Alexander.

Pria itu kembali menciumnya, mengaitkan lidahnya kencang hingga Lorna mendesah.
"Alexander, take me!"
Seketika wajah pria itu berubah, ia tersenyum menang mendengar permintaan Lorna yang sudah
pasrah. "Please!"sambung wanita itu dengan napas menggebu.

"Baiklah Mrs. Morgan,"balas Alexander segera menggendong tubuh Lorna yang sudah naked ke
pinggir kolam.

"Alexander dingin!"

"Tahan sebentar!"Alexander sengaja memasukkan tubuh mereka di dalam air, duduk di pinggir
undakan tangga agar ia bisa menikmati tubuh Lorna yang kini di atasnya.

Mereka kembali berciuman, berpelukan sekadar saling memberi kehangatan. Alexander


mengusap pinggul wanita itu, meremasnya perlahan hingga sampai ke dada yang sedang ia
nikmati. Nipple itu segera menegang tampak ingin membalas lidah Alexander yang ada di
sekitarnya.

"Alexander,"panggil Lorna begitu berat. Ia mendongak membiarkan tubuhnya di kuasai.

"Ahh sial, aku tidak tahan lagi!"pria itu ikut mengerang dan segera menurunkan bawahannya
tanpa menyingkirkan Lorna yang masih di atasnya. Ia menuntun cepat miliknya dan masuk
begitu perlahan. Lorna mengeratkan tangan kuat-kuat pada bahu pria tersebut. Ini sensasi luar
biasa hingga akhirnya mereka mulai bergerak. Bersamaan melawan dinginnya air yang terus
menghatam tubuh mereka hingga akhirnya Alexander memutuskan pindah kembali ke atas
ranjang mereka.

Di sana lebih leluasa. Ia ingin menguasai Lorna sebaik mungkin tanpa melukai sedikitpun
kandungan yang ada di dalam rahim wanita agresif itu. Mereka mengulang nya dua kali di atas
ranjang kamar.

"Pagi ini aku harus berangkat ke Washington,"ucap Alexander sambil mengusap-usap puncak
kepala wanita tersebut. Lorna menaikkan pandangan dan segera bangkit dari tidurnya.

"Kita pulang?"tanya Lorna penuh pertanyaan.

"Bukan! Hanya aku."

"Alexander tapi aku tidak bisa—"

"Tiga hari, aku harus menyelesaikan sesuatu di sana lalu menjemput mu!"Alexander ikut
menaikkan tubuhnya, mengusap lembut pipi bulat wanita tersebut.

"Aku khawatir,"Lorna mengigit kukunya. Entah kenapa perasaannya mendadak berubah. Ia


ketakutan seperti akan ada sesuatu yang muncul di hidupnya.

"Tenanglah. Aku akan meminta seseorang menjaga mu di Mansion. Selama aku pergi jangan
menginjakkan kaki mu keluar sedikitpun!"
"Tapi Alexander. Aku tidak bisa jauh dari mu, aku frustasi!"tukas Lorna dengan nadanya
bergetar. Muncul ketakutan yang semakin besar di tiap detiknya.

"Aku akan langsung kembali jika semua selesai. Tolong mengertilah, semua ini demi kau dan
anakku,"balas Alexander mengusap pelan perut Lorna yang datar.

"Aku punya firasat buruk, bagaimana jika sesuatu terjadi?"

Deg!!

Alexander mendadak diam, ia tidak bisa mengabaikan perasaan wanita tersebut. Apapun bisa di
jadikan kesimpulan bagi Alexander. Ia harus hati-hati, sejujurnya mudah baginya untuk
menyingkirkan Rowan. Namun saat ini, ia menyakini satu hal bahwa kemungkinan besar bahwa
pria itu bekerja sama dengan seseorang.

"Jika aku gegabah, maka aku akan membahayakan Lorna. Semua harus terencana!"batin
Alexander, ia mengeluh kasar sambil menatap tajam ke arah wanita tersebut.

___________________

"Kau jadi berangkat ke Washington?"tegur Milla saat melihat Alexander di sekitar mansion. Asal
tahu saja semalaman Billy dan Milla terus membicarakan ya, tertawa terbahak-bahak hingga
Luiz merasa begitu terganggu.

"Ya."jawabnya datar dengan sepatah kata yang begitu dingin.

"Lorna ikut dengan mu?"

"Tidak!"lagi, Alexander membalasnya dingin. Seketika Milla tersenyum dan menarik napasnya
sangat dalam.

"Sabar!"batinnya sambil mengusap dada.

"Alexander kenapa lengan mu?"tanya Milla melihat bekas cakaran cukup jelas. Pria tersebut
diam lalu menoleh ke arah lain mencoba mengabaikan wanita tersebut.

"Billy cepat!"perintah Alexander cukup terpaksa bicara pada pria tersebut. Sungguh masih
teringat jelas bagaimana pandangan mata biru yang tampak begitu mengintimidasi ke arahnya
karena kelakuan Lorna. Sama halnya dengan Billy, tampak canggung dan mencoba menahan
tawa. Pikirannya masih melayang.

Tak lama dari itu, Alexander mendadak menghentikan langkahnya. Ia mendengar sesuatu dari
kamarnya. Lorna sedang melempari barang-barang ke pintu.

"Alexander apa yang terjadi?"tanya Milla membulatkan matanya tajam.


"Biarkan saja!"balasnya terdengar pelan lalu kembali melangkah ke keluar mansion tanpa peduli.

Ia dan Lorna terlibat perang besar, wanita tersebut memaksa untuk mengikutinya ke Washington.
Ia mencakar Alexander berkali-kali, bahkan memukulnya dengan begitu kuat.

"Alexander brengsek!"maki Lorna terus melempar apapun yang bisa ia angkat ke arah pintu.

"Brengsek!"terakhir Lorna melempar ponselnya sangat kuat hingga benda tersebut langsung
pecah saat menghantam tembok.

Chapter 31 : Black glow

Alexander mengeratkan tangannya kuat, sejak ia sampai di Washington satu jam yang lalu Lorna
sama sekali tidak bisa di hubungi. Itu membuatnya frustasi, sedangkan Milla sama saja. Kedua
wanita tersebut seakan menghilang.

"Sir, nona Lorna membuat keributan!"mendadak suara Billy terdengar berat, membuat pria
bermata hazelnut itu langsung mengarahkan pandangan tegas padanya.

"Nona Lorna membakar semua pakaian mu, ia marah besar. Tidak ada yang berani menenangkan
nya."sambung Billy sambil menelan ludahnya.

"Apa?"

"Dia juga tidak akan makan jika kita tidak pulang hari ini,"seketika Alexander memegang
kening, semua yang di katakan Billy menambah rasa frustasinya.

"Kau dapat info itu dari mana?"tanya Alexander seakan buntu.

"Milla menelpon ku dengan ponsel salah satu bodyguard mu, sir."

"Kenapa tidak gunakan ponselnya? Aku menelponnya puluhan kali!"balas Alexander terdengar
sarkas.

"Ponselnya rusak. Milla tanpa sengaja menjatuhkannya saat mencoba menelpon mu, sir!"Billy
mengeluh panjang dan melirik ke arah lain. Menatap ruang kantor Alexander yang cukup besar.

"Katakan pada Lorna, aku tidak akan kembali jika dia tetap melakukan hal itu."

"Sir,"
"Kau dengar perintahku?"balas Alexander begitu cepat tanpa mengalihkan pandangannya
sedikitpun. Billy mengeluh kasar, kembali menempelkan ponse di telinganya dan bicara sesuai
perintah pria tersebut.

Beberapa detik kemudian, Billy menurunkan ponselnya dan menyododorkan benda itu pada
Alexander. "Nona Lorna ingin bicara,"

Seketika pria itu langsung meraih benda tersebut dan meletakkannya di telinga. "Lorna."

"Dasar BRENGSEK! SIALAN!"ucap Lorna begitu lantang memakinya hingga Alexander harus
menjauhkan ponsel tersebut. Suara Lorna berhasil membuat telinganya berdenging seketika.

Panggilan putus...

Alexander mengeluh pelan mengembalikan benda tersebut pada Billy. "Semua wanita hamil
menyusahkan,"keluh Alexander sambil mengulum bibir.

"Karena itulah aku dan Milla sepakat untuk tidak menambah anak lagi,"celetuk Billy dengan
sarkasnya.

"Ya aku setuju. Lorna juga, cukup untuk kali ini. Aku tidak ingin ada insiden yang sama jika dia
hamil lagi,"Alexander tampak mengedarkan pandangan, mencoba meraih ponselnya kembali.
Memerhatikan dengan seksama foto Lorna yang ia pasang sejak lama.

"Kau menyebalkan honey,"batin Alexander lalu menutup layar ponsel itu kembali.

"Aku bersyukur alis mu bisa kembali normal, sir,"sindir Billy sambil melirik ke arah pria itu.

"Ya. Aku juga bersyukur kau menyadari kelakuan istri mu. Jika tidak aku bisa saja bangun tanpa
alis!"

"Milla hanya tidak suka melihatmu mabuk, sir."Billy mengingat bagaimana hancurnya
Alexander saat Lorna meninggalkannya begitu saja. Waktu yang pria itu pakai 80% hanya untuk
mabuk. Sisanya tidur dan memukul setiap orang yang ia anggap salah. Entah berapa ratus orang
bodyguard yang akhirnya berhenti dan mundur akibat hal tersebut.

"Tetap saja, itu bukan urusannya!"celetuk Alexander meraih sebuah kotak rokok yang ada di atas
meja dan segera membakarnya.

Ia mengeluh berat lalu menekan kembali rokok itu ke asbak kaca yang ada di depannya. "Anakku
tidak akan baik jika aku terus melakukan ini,"Alexander membatin, lalu melempar sisa rokok
yang ada ke dalam tong sampah yang terletak tidak jauh darinya.

"Sir, malam ini pertemuan mu akan di adakan di club Black Glow. Pukul 12 malam."

"Apa tidak ada tempat lain?"tanya Alexander sarkas.


"Kau tahu, Lucas tidak pernah bertemu seseorang di luar club nya. Lagipula ruangan khusus
mereka cukup tertutup."seketika suara keluhan langsung muncul dari mulut Alexander yang
tampak begitu malas.

"Kau sudah melihat keadaan mansion ku?"tanya Alexander dengan wajah datar membuat Billy
langsung mengangguk pelan.

"Tidak ada tanda-tanda orang luar yang masuk ke sana sebelumnya sir, dan pria yang mengebom
mansion mu menolak di bebaskan."

"Apa alasannya?"tanya Alexander penasaran.

"Aku tidak tahu sir, ia hanya mengatakan kalau hidup di luar hanya membuatnya kelaparan."

Alexander menyandarkan tubuhnya kebelakang, ia menyatukan kedua tangan dan tampak


berpikir. "Mencurigakan,"ia membatin kembali lalu menggigit bibirnya dengan hati-hati.

"Sejak kapan ia berhenti bekerja pada Lucas?"tanyanya lagi penuh siasat.

"Aku belum mendapatkan info tepatnya sir, mungkin Lucas lebih tahu."Billy menelan Saliva
tampak begitu kaku dan menghembuskan napasnya yang terasa tercekat. Ah sejujurnya ia
merindukan Luiz, sungguh wajah malaikat kecil itu membuatnya terpana. Entah akan jadi apa
dia nanti.

Drrttt!!

Ponsel Alexander mendadak bergetar, ia segera meraihnya dan melihat tegas ke layar ponsel
begitu serius. Lorna menghubunginya dengan nomor lain.

"Bawakan aku sesuatu yang enak, harus makanan manis,"Alexander tersenyum tipis.
Tampaknya mood wanita tersebut membaik, entah apa yang sedang terjadi.

"Baiklah honey. Kau mau apa?"balasnya dengan cepat.

"Kau harusnya paham. Jangan tanya lagi.


!"Lorna tidak kalah cepat. Ia memikirkan ribuan makanan di kepalanya namun tidak ada satupun
yang cocok.

"Chocolate?"

"Tidak itu terlalu membosankan. Aku ingin makanan inggris!"

"Aku di Amerika bukan di Inggris!"balas Alexander sarkas.


"Putar saja private jet mu ke Inggris."Alexander terdiam, ia memerhatikan pesan-pesan itu
seksama. Seketika senyuman yang tadinya cukup lebar kini berubah menjadi sebuah senyuman
penuh masalah.

"Baiklah,"jawabnya cepat sambil menghela napas yang begitu panjang.

______________________

Beberapa jam berlalu cepat, langit kota berubah gelap. Pekat dan mulai terasa dingin, Alexander
baru saja menginjakkan kakinya di salah satu club malam terbesar yang ada di Washington.
Tempat di mana para mafia, pejabat dan orang-orang dompet tebal mengejar kenikmatan dengan
privasi yang sangat ketat.

"Alexander,"tegur seorang wanita sambil melempar senyuman simpul ke arah pria tersebut.

"Di mana Lucas?"tanyanya sambil mengedarkan pandangan yang begitu tajam.

"Lucas? Aku pikir kau benar-benar melupakannya karena kejadian terakhir kali,"balas wanita
tersebut sambil menyodorkan minuman pada Alexander.

"Aku tidak punya banyak waktu Naomi, jadi—"

"Santai lah, kau selalu tegang. Renggangkan sedikit ototmu itu, sesekali berbaurlah dengan
teman lama mu,"usik wanita tersebut sambil meletakkan jarinya di dada bidang Alexander begitu
sensual.

"Kau semakin tampan."puji nya lagi mencoba melingkarkan kedua tangan di leher pria tersebut.

"Naomi aku tidak punya urusan dengan mu, minggir!"Alexander mendorongnya, membuat jarak
mereka cukup jauh. Naomi tersenyum simpul dan kembali mendekat.

"Ternyata kau juga tidak pernah berubah. Selalu kasar."

"Di mana Lucas?"tanya Alexander mengulang ucapannya dengan wajah tegas.

"Aku akan mengantarkan mu padanya, ayo ikut aku."Naomi memutar tubuhnya, ia melangkah
pelan melewati orang-orang yang menikmati malam dengan caranya tersendiri. Alexander
mengikutinya dan melihat beberapa pasangan melakukan hubungan intim secara terang-terangan.
Tampak bangga dengan apa yang sedang mereka lakukan.

"Kalian tunggu di luar saja!"perintah Alexander pada Billy dan beberapa bodyguard nya yang
sejak tadi diam tanpa ingin ikut campur.

"Sebelum masuk mau ku kenalkan kau dengan seseorang? Dia sangat cantik dan—"
Alexander mendorong pintu ruangan, tidak ingin mendengarkan seluruh kalimat wanita tersebut.
Namun sial— Alexander malah melihat Lucas tampak sedang melangsungkan hubungan intim
dengan jalangnya.

"Fuck!"maki nya dalam hati tetap melangkah masuk tanpa peduli.

"Ah sial. Apa kau tidak bisa menunggu Alexander?"tanya pria itu sambil menarik bawahannya
dan mendorong wanita jalang yang masih tampak begitu belum puas.

"Aku tidak punya banyak waktu,"celetuknya sambil menuangkan minuman beralkohol di dalam
sloki bersih. Ia menenggaknya menunggu kapan pria itu siap memasang pakaiannya kembali.

"Kau butuh sesuatu?"tawan Naomi tersenyum simpul penuh ciri khas.

"Tidak!"balas Alexander begitu tegas membuat Lucas langsung menatapnya intens.

"Bersenang-senanglah Alexander. Aku punya banyak wanita cantik di sini, lebih segar dari yang
dulu. Kau mungkin suka."Lucas melirik ke arah wanitanya yang kini pindah ke sisi kanan, ia
seakan tahu bagaimana caranya memanjakan seorang pria.

"Aku akan memanggil kan mereka, sebentar."Naomi melirik tajam ke arah Lucas, tampak seperti
mengirim signal yang begitu penting lalu memindahkan pandangan ke arah Alexander dan
segera memutar tubuhnya keluar dari ruangan tersebut.

"Sudah sangat lama kita tidak bertemu, terakhir kali kau di sini untuk menguntit Lorna. Apa kau
sudah mendapatkan wanita itu?"tanya Lucas tampak sangat santai.

"Dia tengah mengandung anakku sekarang!"balas Alexander sangat cepat membuat mulut pria
itu langsung terkunci rapat.

"Kau sangat beruntung. Harusnya aku lebih cepat dari—"

"Aku di sini bukan untuk membahas masa lalu ataupun Lorna, Lucas. Aku punya hal lain yang
lebih penting."potong Alexander sangat tegas membuat pria itu kembali terdiam sambil
tersenyum miring.

"Kau terlalu serius,"balasnya datar. Lucas memerhatikan Alexander mengeluarkan ponselnya


dan mengutak-atik benda itu sebentar.

"Kau kenal dia?"tanya Alexander menunjukkan foto seseorang. Pelaku pengeboman mansion
nya.

"Dia pernah bekerja padaku. Kenapa kau menanyakannya?"balas pria tersebut sambil menaikkan
tubuh agar ia bisa lebih jelas melihat sosok yang ada di layar ponsel Alexander.
"Aku yakin, kau sudah mendengar kalau salah satu mansion ku di Bom dan dia adalah
pelakunya."Alexander berhenti sejenak mencoba membaca pergerakan pria tersebut. Lucas
tampak diam sambil memiringkan bibir. Ia begitu ekspresif saat berhadapan dengan Alexander.

"Lalu .."

"Aku pikir, ini ada kaitannya dengan seseorang di masa lalu ku yang sudah begitu lama
menghilang,"Alexander kembali menenggak minumannya, lalu menarik napas yang sedikit
sesak.

"Maksud mu?"

"Maxton masih hidup!"sambungnya sangat tegas membuat Lucas kembali menaikkan tubuhnya
ke atas dan mencoba menyaring semua perkataan Alexander barusan.

"Dari mana kau mengetahui itu?"balasnya sambil mendorong sedikit wanita yang berada di
sisinya.

"Aku melihatnya, di Haggen."Alexander menyatukan kedua tangan. Ia begitu serius dan


menunggu sikap yang bisa di tunjukkan oleh pria tersebut.

Ceklek!!

Seseorang membuka pintu ruangan, Naomi kembali dengan seorang wanita berambut blonde, ia
tersenyum menggoda dan mencoba memamerkan tubuh nya yang begitu jenjang, cantik dan
proporsional dengan balutan mini crop berwarna seablue dan short denim jeans.

Alexander mendadak mengerutkan kening, ia pusing dan seakan semua ruangan seperti berputar.
Sial- ini tampak nya sangat tidak baik.

Pria itu melirik ke arah Lucas yang melempar senyuman penuh arti. Sepersekian detik kemudian,
ponsel yang ada di tangan Alexander jatuh ke lantai bersama dirinya yang hilang kesadaran.

Chapter 32 : Night Club

Billy melirik Naomi yang keluar dari ruangan di mana Alexander berada, ia memahat kan
pandangan yang sangat tajam dari mata birunya. Wanita tersebut meraih lengan seseorang,
tampak melakukan negoisasi sejenak lalu melangkah bersama hingga masuk ke dalam ruangan
yang sama.

Akhirnya, ia berdiri. Melangkah begitu perlahan sambil mengirim signal tertentu pada seseorang.
Matanya begitu liar melewati lorong yang kini mulai sepi.
Namun saat ia sampai di sebuah ruangan, beberapa orang menghadang nya. "Mau kemana
kau?"tegur seseorang sambil memegang kuat bahu kekarnya.

"Aku ingin ke toilet, apa ini salah?"balas pria itu tampak begitu santai sambil menggaruk
lehernya.

"Apa kau tidak lihat tulisan di depan?"balas pria satunya lagi, menatap dengan sorot mata yang
tegas.

Billy menggaruk tengkuknya, ia terkekeh tanpa beban lalu mendadak mengeluarkan sebilah
pisau kecil dan langsung menghunus benda tersebut tepat mengenai salah satu penjaga itu.

"Shit!"maki penjaga satunya lagi mencoba meraih Handy Talky yang ada di pinggang nya. Ia
ingin mengabari seseorang, namun Billy lebih sigap. Ia mengaitkan salah satu kaki pria tersebut
memegang nya kuat dan mendorong pria itu menjauh.

Secepat kilat penjaga itu melompat segera bangun dan memasang kuda-kuda hendak melawan
Billy yang cukup tangkas. "Kau rupanya penyusup,"ucap penjaga itu dengan mata yang sangat
awas.

"Buka pintunya atau nasib mu akan sama sepertinya!"ucap Billy datar tanpa ekspresi. Penjaga itu
tersenyum kecut lalu melirik ke salah satu temannya yang sudah terkapar, di pastikan ia tidak
akan selamat.

"Kau terlalu banyak bicara,"pria itu mendekat kembali, mengayunkan kakinya pada Billy dan
mengenai pelipisnya.

Brakk!!!

Ia langsung pusing seketika saat hentakan kuat tersebut mengenai kepalanya. Penjaga itu
langsung mengambil kesempatan, ia memukul perut Billy begitu kuat hingga tubuh kekar pria itu
terdorong cukup jauh dan menghantam tembok.

Pria itu tersenyum kembali meraih Handy Talky yang sempat terlepas. Ia menekan tombolnya
dan mencoba bicara pada penjaga lainnya. Ingin memberitahukan bahwa club mereka sedang di
masuki penyusup. Namun tidak ada satupun respon yang terdengar dari benda tersebut, hingga
akhirnya ia memutuskan kembali mendekati Billy untuk mengamankannya.

Seketika Billy langsung menangkap satu kakinya dan menaikkan ke atas hingga pria itu terjatuh
ke belakang. Ia berdiri tegap, menarik kerah pakaian pria itu dan membuatnya kembali berdiri
serta merampas Handy Talky yang ada di tangannya lalu menginjak benda tersebut hingga rusak.

Tubuh itu langsung di lempar ke arah pintu hingga begitu lemah. "Buka pintunya!"terdengar
perintah Billy yang sangat tegas, Namun tidak berhasil membuat pria itu ketakutan.

"Tidak akan!"
Brakk!!

Billy membenturkan kepala pria itu di pintu sangat kuat. Mencoba mengancamnya hingga suara
napas langsung terdengar cepat. "Aku tidak segan membunuhmu,"ancamnya membuat pria
tersebut akhirnya meraih akses card yang ada di sakunya.

Billy menangkapnya dan segera menggesek benda itu di pintu tersebut. Pria tersebut menarik
paksa tubuh penjaga itu ikut masuk ke dalam ruangan pribadi milik Lucas.

"Aku akan mengatasi Lucas. Bergerak setelah lima menit aku berada di dalam sana, ambil
semua dokumen yang mengarahkan pada Maxton, yang lain urus semua penjaganya!" Billy
mengingat ucapan terakhir Alexander. Mereka punya rencana yang begitu siap sebelum
menginjakkan kaki di club tersebut.
Seketika Billy segera membongkar isi ruangan dan mencari apapun yang di perlukan.

Sementara Alexander baru saja di letakkan di atas ranjang pada kamar khusus yang ada di
ruangan tersebut.

"Naomi maaf aku harus keluar, aku tidak ingin ikut campur dalam masalah ini."ucap wanita
berambut blonde itu dengan suara bergetar.

"Sofia! Aku akan membayar mu mahal. Ayolah!"

"Tidak. Aku tidak ingin terlibat hal yang berbahaya. Maaf, aku-"suara wanita itu mendadak
berhenti saat Lucas mencekik lehernya sangat kuat.

"Lakukan perintah ku atau lehermu yang indah ini akan aku patahkan!"ucap pria tersebut sambil
mencengkeram lebih kuat hingga Sofia mulai merasa pasokan napasnya begitu berkurang.

"Lucas. Hubungi Maxton lebih dulu. Aku akan urus Alexander,"ingat Naomi sambil melirik ke
arah pria tersebut seksama. Seketika cengkeraman itu lepas membuat Sofia langsung terjatuh ke
lantai untuk mengambil napasnya.

"Kau benar. Jejak Maxton sudah di ketahui Alexander. Semua usahaku kan hancur jika Maxton
tertangkap,"Lucas segera meraih ponselnya mencoba menelpon seseorang.

"Sial! Kenapa tidak ada jaringan!"pekik pria itu dengan lantang lalu menaikkan ponselnya.

"Apa bagaimana bisa?"Naomi mendekati pria tersebut, ikut mengecek ponsel miliknya. Hasilnya
sama, tidak ada satupun signal yang menyangkut di ponsel mereka.

"Aku dapat!"teriak Naomi mendadak dengan nada suara yang pelan. Ia segera menekan-nekan
ponselnya sangat serius lalu menelpon seseorang yang sudah jelas tertera di layar ponselnya.

"Biar aku yang bicara!"Lucas merampas ponsel wanita tersebut dan mendengar nada bip pada
benda yang kini ada di telinganya.
"Selamat siang, kami dari Pizza hut. Ada yang bisa kami bantu?"tiba-tiba Lucas mengerutkan
keningnya mendengar suara wanita yang malah menawarkan makanan.

"Kenapa?"tanya Naomi mencoba mencari tahu. Lucas mengembalikan ponselnya dan tampak
begitu frustasi sekarang. Ia merasa di permainkan.

Pria itu mengecek ponsel nya kembali, ia tersenyum saat melihat signal yang begitu membentang
luas di layar ponselnya. Ia segera menelpon Maxton untuk memberitahukan info mengenai
Alexander.

"Selamat siang. Kami dari layanan KFC delivery. Mau kami antar kan sesuatu?"

"Ahhh!! Sial!! Kenapa panggilannya tersambung tidak jelas!"

Brakk!!! Lucas membanting ponselnya ke sembarang tempat. Ia begitu emosional membuat


Naomi akhirnya menarik napasnya begitu dalam. Wanita tersebut mendadak memutar tubuhnya
hendak melihat posisi Alexander.

Brakk!!!

Ia tiba-tiba terpental, membuat Lucas ikut menoleh mencoba menatap sosok yang membuat
wanita itu terjatuh dan langsung tidak sadarkan diri. Namun sama yang ia dapatkan seperti
Naomi, pria itu di hantam sebuah tinju yang sangat kuat. Darah segar keluar dari bibirnya.

"Alexander, Bagaimana bisa kau-"ucapannya menggantung saat wajah tegas itu tersenyum tipis.

"Harusnya kau meletakkan bius di minumannya, bukan gelas yang kapanpun bisa aku tukar,
Lucas."Alexander mencoba mengajari. Membuat pria tersebut langsung melirik ke arah Sofia
yang ikut menaikkan kepala, tampak angkuh.

"Kau..."ucap Lucas pada Sofia yang tampak tidak merasa bersalah sedikitpun.

"Kau tahu kenapa aku melakukan ini Lucas? Ini semua karena kalian. Kalian menjeratku hingga
masuk begitu jauh dalam lubang hitam ini, aku langsung bersemangat saat mendengar tawaran
Naomi. Aku pikir ini saatnya, aku yang menjerat kalian ke lubang hitam."Sofia mengusap air
matanya, ia bergetar mengingat apa yang sudah ia lakukan. Wanita itu berusaha keras untuk
terhubung pada Alexander, ia mengorek banyak informasi dari Naomi yang dengan
gamblangnya menceritakan seluruh rencana yang akan mereka lakukan.

"Alexander! Aku tidak tahu apapun soal hubungan mu dengan Maxton. Aku hanya tahu ia hidup
dan memasok senjata padanya. Sisanya bukan urusan ku."

"Kau ingin menjebak ku demi mendapatkan Lorna! Kau tahu persis di mana wanita itu
berada!"suara Alexander melengking sarkas. Mata hazelnut pria itu tajam seakan tidak bisa
menerima semua kenyataannya. Ia dan Lucas memiliki hubungan yang cukup baik dahulunya,
namun semua berubah saat Lorna masuk ke tengah-tengah mereka. Bukan! Ini bukan salah
Lorna. Wanita itu hanya bersenang-senang di tiap club malam yang elit di banyak tempat
bersama adiknya, Oliviana. Jauh saat Alexander belum memahami perasaannya terhadap wanita
tersebut.

"Alexander, kau salah. Aku tidak tahu dimana Lorna. Maxton tidak pernah memberitahuku soal
itu. Aku hanya di janjikan!"

"Penipu!"teriak Alexander lebih keras membuat Lucas langsung terdiam di tempatnya. Suasana
tampak begitu tegang, namun saat ini Alexander masih mampu menahan diri untuk
mengeluarkan senjata api yang ada di punggungnya.

Ceklek...

Seseorang membuka pintu, membuat semua mata langsung tertuju pada pria tersebut.

"Sir, aku sudah mendapatkan semua file-nya."ucap Billy dengan nada lega. Ia mendekati
Alexander dan memberikan sebuah flashdisk pada pria tersebut.

"Aku akan membuktikan ucapan mu benar atau tidak."tukas Alexander membuat pria tersebut
menatapnya begitu serius.

Namun tiba-tiba beberapa orang polisi masuk sambil mengarahkan senjata ke arah
mereka."Alexander apa yang kau lalukan?"tanya Lucas penasaran.

"Aku tidak mempermasalahkan mansion ku yang kau bom Lucas. Tapi dengan cara ini, aku
yakin. Maxton akan keluar. Kita lihat sampai di mana ia akan membelamu,"terang Alexander
lalu memundurkan tubuhnya sedikit membuat polisi yang memakai pakaian lengkap itu segera
mendekat.

"Alexander. Aku hanya menjalankan perintah!"teriaknya mencoba membela diri.

"Patuhilah atau hukuman mu akan lebih berat."potongnya sambil menggenggam flashdisk yang
di berikan Billy tadi, lalu melihat Lucas dan Naomi di bawa oleh polisi-polisi tersebut dengan
perlawanan yang cukup kuat.

Alexander mengedarkan pandangan ke arah Sofia, ia mengeluh kasar lalu mendekati wanita
tersebut perlahan.

"Aku akan memberimu uang dan segera pergi tinggalkan tempat ini!"Sofia diam dan
mengangguk pelan. Ia setuju pada kesepakatannya saat ini, sungguh rasanya sulit untuk berpisah
dari Alexander. Sofia kagum, berkat pria tersebut akhir nya sebentar lagi ia akan segera meraih
kehidupan seperti selayaknya.

"Andai aku bisa lebih lama di dekatmu,"ucap Sofia dengan paras santai, ia tersenyum walaupun
tidak ada reaksi ketertarikan yang di tampakkan sedikitpun dari pria itu.
Alexander memutar tubuhnya segera, melangkah ke luar ruangan dan memungut kembali
ponselnya yang sempat ia jatuhkan di pinggir sofa. Masalahnya Lorna hanya tahu nomor
ponselnya yang itu, Alexander tidak bisa membiarkan ponselnya begitu saja.

Ia membulatkan mata, melihat puluhan kali panggilan tak terjawab pada ponselnya yang ia
yakini dari Lorna.

"Sial. Dia pasti marah padaku!"pikir Alexander terus melangkah keluar, diikuti Billy dan
beberapa bodyguardnya yang berhasil melakukan seluruh rencana mereka, termasuk
menyabotase panggilan telpon Naomi dan Lucas.

"Billy, kita harus ke Haggen malam ini juga."

"Sir, tapi-"

"Ah kita harus singgah di toko yang menjual makanan Inggris dulu,"potong Alexander
memikirkan permintaan Lorna yang terus berkecamuk di kepalanya saat ini.

"Ini sudah hampir pukul dua malam,"ucap Billy dengan suara yang sedikit memperingati.

"Lorna ingin sesuatu. Aku tidak bisa mengabaikannya, tapi baiklah kita akan berangkat besok
pagi,"ucap Alexander sedikit terdengar frustasi sambil menghela napasnya yang dalam.

"Aku akan mencari sesuatu yang di inginkan nona Lorna malam ini,"ucap Billy memberi
kepastian hingga pria itu mengangguk tanpa protes.

"Sir, sebentar!"tiba-tiba suara lembut dari Sofia terdengar begitu dekat di belakangnya, membuat
semuanya terhenti dan menoleh ke arahnya.

"Aku bisa minta tolong padamu sekali lagi?"tanya Sofia dengan napasnya yang tercekat. Ia
menatap dalam wajah malas Alexander.

"Bisakah aku ikut dengan kalian ke Haggen? Aku tidak punya tempat untuk melarikan diri,"ucap
Sofia membuat mata Billy langsung menyorot pada Alexander.

"Maaf aku tidak-"

"Sir, aku pikir itu baik. Nona Lorna mungkin butuh seseorang untuk membantunya,"potong Billy
membuat pria itu sedikit berpikir.

"Aku akan melakukan apapun. Akan sangat membantuku jika kau ingin memberiku
pekerjaan,"balas Sofia sambil menelan ludahnya.

Alexander berpikir sejenak, sejujurnya ia memang kekurangan maid di mansion yang ada di
Haggen. Billy benar dan ia cukup yakin dengan keputusannya saat ini. "Baiklah, kau bisa
ikut."Alexander mengeluh, ia menatap ke arah Billy sejenak lalu kembali melangkah untuk
meninggalkan club malam yang kini kosong.

Chapter 33 : Jealous

"Kau harus ingat, batasan mu hanya ada pada pakaian nya. Jangan mendekati istri ku kurang dari
satu meter!"ucap Alexander begitu sarkas pada Sofia yang ada di depannya, duduk pada satu
mobil Limousin nya.

"Jadi aku tidak mengurusi makanannya?"tanya Sofia sambil melirik ke arah Billy yang hanya
diam memerhatikan jalanan kota. Sebentar lagi mereka akan sampai, sekitar tiga puluh menit
dari sekarang.

"Tidak. Hal itu sudah di atur, Lorna hamil dan dia hanya makan apa yang di buatkan oleh chef
secara khusus."

"Aku tidak menyangka, Alexander sangat hangat dengan istrinya. Aku iri pada wanita beruntung
itu, seperti apa bentuknya?"Sofia membatin, ia diam hanya mengangguk tanpa membantah lalu
ikut menunggu kapan mobil yang ia tumpangi akan sampai. Ia sudah begitu letih selama 8 jam di
private jet Alexander.

Sementara Lorna hanya diam, ia memerhatikan jam dinding yang ada di kamarnya sambil
meminum air putih yang menjadi favorite nya akhir-akhir ini.
Sejenak, ia meraih ponsel yang di pinjamkan oleh salah satu bodyguard Alexander. Tidak ada
satupun panggilan sejak tadi malam.

"Si brengsek itu pasti sedang bersenang-senang. Dia tidak menghubungi ku sama sekali,"Lorna
mengeluh lalu membuang kembali ponsel tersebut ke atas ranjang.

"Lihat saja apa yang akan aku lalukan!"nada wanita itu penuh ancaman. Ia beranjak dari
tempatnya sekadar untuk meletakkan gelas ke sudut meja yang tidak jauh darinya. Sungguh
wanita itu tidak tertarik melakukan apapun, bahkan sulit untuknya beranjak ke kamar mandi.

"Ah aku harusnya mengembalikan ponsel ini,"Lorna mengeluh kasar sambil meraih ponsel yang
ia buang sembarangan tadi lalu melangkah keluar kamar perlahan. Ia begitu posessif dengan
kandungannya, Lorna merasa begitu takut jika sesuatu terjadi pada janin yang sedang bersarang
di rahimnya. Bahkan ia benar-benar menghindari makanan yang ia sukai.

Wanita itu mengitari ruangan mansion, mencoba mencari sosok sang pemilik ponsel tersebut.
Baru saja sebentar, ia sudah begitu letih. Tubuhnya seakan hilang fungsi.
"Ah ya. Aku sudah lama tidak mengunjungi toko. Mungkin dengan berjalan di luar aku bisa
mencari suasana baru,"pikir Lorna sambil tersenyum simpul. Ia memutar pandangannya
mencoba mencari seseorang.

"Ah ya, aku tidak tahu nama pemilik ponsel ini. Bisa bantu aku mengembalikannya?"tanya
Lorna memerhatikan salah satu bodyguard yang selalu standby di beberapa sudut.

"Baik nona. Serahkan padaku!"ucapnya sambil meraih ponsel tersebut dengan wajah tersenyum
simpul.

"Kau lihat Milla?"sambung Lorna sambil mengedarkan pandangan.

"Nona Milla di kamarnya bersama Luiz,"balas pria itu melirik ke arah lorong jalan di mana letak
kamar wanita yang tengah mereka bicarakan.

"Baiklah. Aku akan ke sana,"Lorna segera memutar arah tubuhnya, melangkah ke kamar Milla.
Ia harus memberitahu wanita itu terlebih dahulu sebelum pergi keluar Mansion.

"Ah tapi, Milla pasti sibuk mengurusi Luiz. Sebaiknya aku pergi saja!"Lorna kembali berbalik
arah, berjalan cepat menuju ke arah pintu mansion yang super besar. Namun mendadak
langkahnya terhenti begitu saja, empat orang bodyguard Alexander menghadangnya.

"Nona maaf, kami tidak bisa memberi akses mu keluar,"ucap salah satu pria yang paling tegas.
Mimik wajahnya datar, penuh peringatan.

"Aku tidak akan kabur, aku hanya ingin mencari udara segar."

"Kami tidak mengatakan anda akan kabur nona. Tapi ini perintah tuan Alexander sebelum dia
pergi. Anda di larang keluar selangkah pun dari mansion!"balas pria itu lagi dengan suara
baritone nya. Begitu sarkas di telinga Lorna.

"Apa? Aku tidak boleh keluar?"

"Kami harap anda mengerti, nona. Ini perintah."

Seketika Lorna terdiam, ia mengedarkan pandangan ke tiap wajah para pria yang ada di
depannya itu.

"Dengar! Aku bosan di rumah ini. Kenapa si brengsek itu tidak memperbolehkan ku keluar? Ini
Haggen, keamanan negara ini cukup layak!"tukas Lorna dengan nada yang meninggi.

"Aku harap, anda tidak mengabaikan perintah tuan Alexander nona,"balasnya sambil menatap
tanpa lepas dari wajah pucat wanita tersebut.

Lorna mengeluh, ia merapatkan kedua tangan lalu memicingkan matanya tajam."Dasar


botak!"teriaknya cukup lantang sambil memutar tubuhnya.
Tiba-tiba saat itu juga, beberapa mobil masuk ke pekarangan rumah secara beriringan. Lorna
menoleh ingin memastikan. Beberapa orang tampak sibuk membukakan pintu mobilnya.

"Alexander!"Lorna langsung melangkah cepat, mendorong pria yang menghadang nya dan
melangkah cepat menuruni tangga.

"Mereka sudah pulang?"akhirnya suara Milla melengking, ia baru saja menidurkan Luiz. Putra
tunggal bermata birunya. Wanita tersebut mengedarkan mata melihat Lorna sudah berada dalam
pelukan Alexander, begitu hangat.

"Mana pesanan ku?"tanya Lorna seketika lupa dengan amarah nya sejak tadi.

"Harusnya kau menanyakan kabar ku dulu, bukan-"

"Kau terlihat baik. Jadi pertanyaan itu tidak perlu,"celetuknya sambil mengedarkan pandangan.

Alexander menangkup kedua pipinya, lalu mencium lembut bibir Lorna tanpa peduli berapa
banyak orang menatapnya begitu intens. Mereka sudah biasa.

"Sofia, makanan nya!"ucap Alexander sedikit membuat wanita itu langsung mengerutkan
kening. Sangking asiknya ia tidak mengetahui kehadiran seorang wanita asing di antara mereka.

"Ini sir,"wanita itu mendekat, menyodorkan sebuah kotak berisi pesanan wanita tersebut.

"Siapa kau?"tuding Lorna sambil melepas pautannya dari dari Alexander. Ia tidak langsung
mengambil kotak itu.

"Lorna, Sofia nantinya akan membantu mu untuk-"

"Aku tidak butuh bantuan!"suara wanita tersebut lantang, pandangannya menukik begitu tajam.

"Nona Lorna aku-"

"Mrs. Morgan! Panggil aku Mrs. Morgan!"potong wanita itu saat melihat Sofia tampak
mengambil alih pembicaraan. Ia tidak suka wanita itu sungguh.

"Ada apa?"tanya Milla ikut mendekat dan merasakan Billy memegang lengannya.

"Lorna tenanglah. Sofia hanya-"

"Aku tidak butuh makanan ini!"tangannya langsung menepis kotak yang masih ada pada Sofia.
Seketika benda tersebut langsung jatuh ke lantai.

"Lorna apa yang kau lakukan?"Alexander membentaknya. Mata hazel wanita itu bergerak tajam
padanya, tampak berkaca-kaca. Seketika Lorna langsung memusingkan tubuh dan menaiki
undakan tangga, mencoba menjauhi Alexander.
"Lorna!"pria itu mengejarnya, mengikutinya ke dalam ruangan Mansion.

"Dia membentak istrinya, demi aku?"Sofia membatin, ia menelan saliva cukup kuat
memerhatikan apa yang baru saja terjadi. Sungguh hal itu membuatnya langsung berada di atas
angin.

"Apa yang terjadi?"tanya Milla sambil mengedarkan pandangan matanya yang begitu liar.

"Aku hanya memberi saran agar Sofia bisa membantu nona Lorna untuk—"

"Ah jadi kau memberinya saran sayang?"seketika Milla langsung memotong ucapan Billy yang
mencoba menjelaskan dengan begitu jujur. Sungguh sulit untuknya menyembunyikan sebuah
kenyataan dari Milla. Wanita itu tahu segalanya bagaikan peramal.

"Milla bukankah itu baik? Nona Lorna akan terbantu dengan kehadiran Sofia. Ya- menurut
ku,"Billy menelan ludah, mata wanita itu sama tegasnya. Milla cemburu bukan main hanya
karena alasan tidak jelas. Masalahnya Sofia masih terlihat begitu muda, cantik dan begitu
menarik. Ia bahkan berpenampilan luar biasa sexy, bukan seperti seseorang yang bisa di jadikan
seorang maid.

"Ya pria selalu menganggap wanita cantik itu baik. Tapi kau harus ingat Billy— kadang mereka
bisa saja mengancam. Ingat itu, jadi aku harap mulai malam ini jangan coba-coba tidur di kamar
bersamaku dan Luiz!"Milla melempar senyuman penuh keterpaksaan. Ia melirik ke arah Sofia
yang bahkan tidak berani membela diri lalu memutar tubuhnya dan segera meninggalkan Billy.
Pria itu hanya diam, ia mengeluh tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

Sementara Alexander berusaha menangkap lengan Lorna kembali, mereka di kamar tampak
begitu penuh emosional. "Lorna apa masalah mu?"

"Apa? Kau tanya apa masalah ku?"Lorna memegang keningnya, terasa sakit dan stress.

"Pertama kau meninggalkanku di mansion, pada saat aku benar-benar tidak bisa jauh dari mu.
Kedua, semalaman aku menelpon mu brengsek dan sama sekali kau tidak menjawabnya, lalu
terakhir kau pulang dengan membawa seorang wanita yang tidak jelas asal-usulnya. Apa alasan
mu ke Washington untuk menjemputnya, Alexander?"tanya Lorna sambil mengepal kedua
tangan. Ia geram dan ingin sekali mencakar wajah tampan suaminya itu.

"Lorna kau hanya cemburu, kau berlebihan!"

"Ya! Aku memang cemburu. Kau tidak senang?"tukasnya begitu cepat sambil memukul dada
Alexander begitu kuat.

"Lorna aku—"

"Keluar!"
"Lorna!"

"Keluar sekarang dan jangan tidur di sini malam ini!"teriaknya lebih lantang membuat Alexander
diam sejenak. Sial- ia benar-benar merindukan wanita itu, sekarang Lorna mengusirnya keluar
dari mansion nya sendiri.

"Baiklah jika itu akan membuat mu tenang,"Alexander mengalah, ia tidak ingin memperpanjang
masalah. Lorna butuh waktu untuk mengenali Sofia, ia paham.

_______________________

Malam harinya...

Alexander duduk di sudut taman, sendiri, gelap dan tampak memijat kepalanya yang terasa sakit.
Lorna mengunci diri di kamar, mungkin wanita itu sudah tidur nyenyak sekarang. Ia bisa saja
tidur di kamar lain tapi sungguh dua hari ini Lorna tidak di dekatnya, ia butuh wanita itu
sekarang. Alexander merindukan Lorna.

"Sir, apa kau tidak bisa tidur?"Billy menegurnya, pria itu duduk tepat di depan Alexander. Ia
juga sama, memasang wajah frustasi.

"Lorna marah padaku!"

"Milla juga sama."

Hanya itu kalimat yang keluar dari mulut masing-masing lalu hening seketika. Dua pria yang
nasibnya sama, memiliki istri yang kadang-kadang sulit untuk mereka kontrol.

"Sir, maaf aku mengganggu mu. Dari tadi aku melihat mu sendiri di sini, jadi aku membuatkan
coffee untuk mu,"ucap Sofia sambil meletakkan segelas minuman di sudut meja Alexander yang
hanya diam sambil mengangguk pelan.

"Maaf aku tidak tahu jika kau datang jadi aku hanya membuatkan ini untuk tuan
Alexander,"Sofia mengeratkan kedua tangan, ia memerhatikan kedua pria tersebut. Mereka
sama-sama tidak bicara sedikitpun.

"Kau minum saja!"Alexander berdiri dari tempatnya. Ia malas berhubungan dengan wanita
manapun, sekarang ia harus memikirkan bagaimana caranya agar Lorna bisa memberinya maaf.

Chapter 34 : Green Lime

Lorna mengibaskan rambut panjangnya yang terurai, ia tersenyum tipis lalu menyimpulkan
pakaian yang berwarna green lime nya begitu cepat membentuk sebuah pita. Alexander di rumah
dan ia ingin tampil sexy seperti biasanya, apalagi kehadiran Sofia membuat wanita itu semakin
cemburu buta. Di otaknya syarat akan semua pikiran negatif. Ah ia terpikir akan semua drama
mainstream asal Korea Selatan yang sedang tranding— The world of the married.

"Aku harus hati-hati terhadap piranha pirang itu,"Lorna membatin lalu menyemprotkan sedikit
parfum di lehernya. Ia tidak melihat Alexander sejak pria itu di usir keluar. Mungkin ia tidur di
kamar lainnya.

Lorna melangkah keluar, mencoba mencari udara segar sekaligus mencari tahu di mana
Alexander. Mata wanita itu liar di tengah ruangan yang begitu besar.

Tap!!

Mendadak seseorang menariknya begitu kuat dan menggesernya ke sudut ruangan. "Milla..
Kenapa kau—"

"Kau lihat Billy?"tanya wanita tersebut sangat cepat sambil mengedarkan pandangan dari
matanya yang hijau.

"Aku baru saja keluar dari kamar, memangnya kenapa?"balas Lorna menatapnya dengan tajam.

"Aku mengusirnya keluar.

"Kenapa kau melakukan itu? Apa yang terjadi?"tanya Lorna penasaran.

"Karenanya Alexander membawa wanita itu. Siapa namanya? Aku lupa... Sop sop..."

"Piranha... Ingat saja piranha pirang."potong nya sarkas. Sejujurnya Lorna juga lupa dengan
nama wanita tersebut.

"Aku setuju. Itu lebih cocok dengan gigi nya yang tajam,"

"Sialan. Kau memerhatikan gigi nya?"tanya Lorna sambil terkekeh pelan.

"Sedikit. Cukup bagus untuk memangsa ikan!"

"Suamiku bukan ikan!"tukas Lorna tidak terima dengan ucapan Milla yang penuh majas.

"Ya aku tahu, pria itu memelihara Anaconda!"

"Diam!! Jangan bahas itu sekarang. Kita harus membereskan masalah Piranha itu,"Lorna
mengeluh kasar lalu menggigit ujung jarinya yang tajam.
"Kau benar, dia terlihat rakus. Ingin ku congkel matanya saat ia melihat ke arah Billy! Sialan aku
benar-benar marah!"Ucap Milla sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang.

"Yaaa aku sepakat. Akan ku tarik rambutnya jika ia macam-macam,"celetuk Lorna sambil
mengedarkan pandangan ke tiap tempat.

Tap!!

Ia memicingkan mata, menangkap sosok yang baru saja ia bicarakan dengan penuh emosional.
Lorna mengipas tubuhnya dengan satu tangan kirinya saat melihat piranha itu melangkah entah
menuju kemana sambil membawa makanan dan jus di atas tray.

"Kau tidak memakai bra Lorna?"tanya Milla sesempatnya.

"Tidak! Itu membuat ku sesak."balasnya simpul lalu melangkah mendahului Milla yang sudah
pasti mengikuti pergerakannya, ia ingin mengetahui kemana wanita itu akan mengantar
makanan.

"Sir, aku membawakan mu makanan. Kau belum makan sejak semalam. Istri mu sama sekali
tidak keluar kamar,"tegur Sofia sambil meletakkan tray di atas meja, tanpa menunggu
persetujuan Alexander yang sedang memainkan game online lewat ponselnya.

"Biarkan saja dia!"balas Alexander datar tanpa melirik sedikitpun ke arah Sofia yang mengulas
senyuman tipis padanya.

"Aku tidak menyangka bisa sedekat ini padanya,"batin Sofia terus memerhatikan Alexander
begitu lekat.

"Alexander,"Lorna mendadak memeluk pria itu dari belakang. Membuatnya langsung menoleh
dan menangkap wajah wanita itu dekat. Ia membalas senyuman Lorna begitu tipis dan mengecup
pelan bibirnya yang tampak merah. Sungguh ia tidak mampu mengabaikan Lorna sedikitpun.

"Aku hanya emosi!"jelas Lorna sambil memindahkan tubuhnya, ia duduk di pangkuan Alexander
dan melingkarkan tangan di leher pria itu.

"Aku yang salah, aku membentak mu hanya karena hal kecil."

Deg!!

Sofia memegang Tray sangat kuat. Ia sepenuhnya iri melihat tingkah keduanya. Alexander
begitu lembut, ia bahkan mengakui kesalahannya di hadapan wanita itu tanpa ragu.

Lorna tersenyum menang, ia mendekat mencoba meraih bibir pria tersebut. Alexander lebih dulu
mendekat tanpa peduli siapapun yang tengah memperhatikannya begitu intens.
"Ahhhh Alexander!"Lorna mendadak berteriak kencang. Pria itu meremas dadanya yang tanpa
penghalang begitu kuat seakan mengancamnya.

"Kau tidak sopan. Dia melihat tingkah mu!"ucap Lorna melirik ketus ke arah Sofia yang
langsung salah tingkah.

"Itu salahnya karena masih berdiri di sana!"balas Alexander lebih pedas. Ia bahkan tidak
menoleh sedikitpun ke arah Sofia yang tampak semakin kuat memegang tray yang ada di
tangannya.

"Aku permisi dulu,"wanita itu segera memutar tubuhnya. Ingin menjauh dan malas untuk melihat
adegan Lorna yang tampak di sengaja.

"Kau mau kemana?"tanya Alexander menahan tubuh Lorna sangat kuat.

"Sebentar, aku perlu ke kamar mandi. Akhir-akhir ini aku rutin buang air kecil,"ucapnya sambil
mendorong tubuh pria itu sedikit menjauh dan segera turun dari pangkuan Alexander yang
langsung mengeluh kasar.

Lorna melirik ke arah Milla yang ada di belakangnya sejak tadi. Ia memberi kode lalu bergerak
bersamaan menjauh dari tempat itu dengan tingkah yang tampak penuh rencana.

"Kau!"tukas Lorna secara mendadak saat mereka berhasil mengejar Sofia di ruangan dapur.

"Nona Lorna..."

"Mrs. Morgan! Apa kau lupa yang di katakan nya semalam?"ingat Milla memasang wajah penuh
ancaman.

"Maaf aku lupa, ada yang bisa aku bantu?"

"Ya! Buatkan aku makanan sekarang,"ucap Lorna tegas.

"Tapi tuan Alexander—"

"Lima menit! Cepat, aku lapar!"potongnya sangat tegas lalu melihat Sofia mengangguk penuh
keterpaksaan.

"Sialan. Dia sepertinya ingin memperingati ku!"batin Sofia sambil mengeratkan gigi.

"Ah ya.. Milla. Beberapa hari ini aku tidak melihat Michella, kemana dia?"tanya Lorna sambil
mengeluh kasar.

"Dia mengambil cuti, jangan di pikirkan. Wanita itu baik-baik saja."Milla menelan Saliva,
untung saja ia sudah menyiapkan alasan tepat saat Lorna menanyakan Michella yang sedang
berada di tahap penyembuhan. Wanita itu mulai menunjukkan sikap walaupun sedikitpun belum
ada ucapannya yang menyenggol ke arah insiden hari itu. Sementara Rowan mendadak
menghilang.

Lorna mengangguk lalu tersenyum tipis ke arah Milla dan memainkan ujung jarinya. Ia seakan
ingin mengerjai Sofia, namun masih memikirkan cara yang paling cocok untuknya.

"Lorna, bagaimana jika seseorang mencoba mendekati suami mu?"cecar Milla dengan sebuah
pertanyaan.

"Aku tidak yakin Alexander akan berpaling dari ku,"jawabnya sangat angkuh.

"Kau benar, ia bahkan langsung membeli mansion saat mendengar kau ingin tinggal dengannya
kembali."

"Kau berlebihan. Billy juga membujuk mu mati-matian saat kalian bertengkar, dia membawakan
mu rose pink dan mengajak mu Dinner romantis, aku tidak menyangka dengan sifatnya yang
lebih mirip dengan isi freezer, dia begitu hangat."puji Lorna sambil tersenyum kecil.

"Karena itulah, aku akan membunuh wanita manapun yang mencoba mendekatinya."

"Ya! Billy milikmu, Alexander milikku. Tidak akan ada yang bisa merebutnya dari ku!"

Pranggg!!

Tiba-tiba sebuah piring kaca jatuh ke lantai, Sofia sengaja melepaskan benda itu agar percakapan
mereka terhenti. Ia merasa begitu muak.

"Apa yang kau lakukan?"bentak Lorna dengan nada tinggi yang begitu spontan. Benda itu nyaris
melukai kakinya.

"Ahh maaf.. Aku tidak sengaja Mrs. Morgan .. Kepala ku sedikit pusing!"Sofia berjongkok tidak
ingin melihat ke arah kedua wanita tersebut. Ia memungut pecahan piring itu dan sesekali melirik
tajam.

"Lorna ada apa?"mendadak suara Alexander terdengar. Ia mengedarkan pandangan dan


memusatkan pandangan pada Lorna.

"Sir, maaf aku tidak sengaja menjatuhkan piring."Sofia membalas cepat ingin menjelaskan lebih
dulu pada pria tersebut.

"Kau tidak apa-apa honey?"Alexander malah mendekati Lorna dan memeriksa keadaan wanita
itu sangat detail.

Lorna memutar pandangannya, ia melirik ke arah Sofia yang tampak menahan napas tanpa bicara
sedikitpun.
"Harusnya aku yang di tanya,"batin Sofia dengan wajah campur aduk.

"Ya aku tidak apa-apa. Aku hanya terkejut,"balasnya tanpa memalingkan pandangan dari Sofia.

"Apa kau bisa bekerja dengan benar?"tanya Alexander membuat Sofia mengangkat kepalanya.

"Alex aku ingin ke kamar,"potong Lorna dengan perasaan khawatir. Ia memeluk erat Alexander
dengan tubuh bergetar lalu menghirup aroma tubuh pria itu. Lorna merasakan sesuatu hal yang
cukup buruk. Entah itu karena Sofia atau bukan, ia belum bisa memastikan apapun.

"Aku ingin sesuatu, dari mu!"ucap Lorna memberi pesan membuat Alexander cukup paham. Ia
menoleh ke arah Milla yang tampak memandang Sofia penuh penilaian.

"Bereskan!"perintah Alexander pada Sofia yang diam tanpa menjawab apapun lalu menuntun
Lorna agar segera keluar dari tempat itu.

Milla juga sama, ikut melangkah keluar dan mendapati Billy yang entah dari mana. "Aku mau
bicara!" seketika pria itu menarik lengan Milla dan meninggalkan Sofia yang masih menatap
mereka hingga hilang dari pandangannya.

Sofia mengepal tangan, ini membuatnya begitu terluka. Jujur saja ia sedikit berambisi sekarang,
ingin mencoba mendekati Alexander dengan usahanya.

Chapter 35 : Misunderstand

"Kenapa kau begitu pucat?"Alexander menangkup kedua pipi Lorna yang tampak membulat. Ia
menatapnya lekat seperti tidak ada jarak di antara keduanya.

"Aku pusing,"balas wanita itu sambil memalingkan pandangan ke arah lain.

"Ada apa?"

"Entahlah, aku merasa sesuatu yang besar akan terjadi. Lagi, kita akan—"Lorna terdiam,
bibirnya di bungkam cepat oleh sebuah ciuman yang cukup buas.

"Jangan pikirkan hal buruk. Pikiran bisa mempengaruhi hidupmu!"balas Alexander tetap
melekatkan kening mereka dan meraih jemari wanita itu. Meremasnya cukup kuat.

"Alex .. Bukan masalah itu. Tapi ini feeling-ku. Sesuatu begitu mendesak di sini!"Lorna tampak
bergetar, ia memegang dadanya yang berdegup cepat.

"Apa yang kau rasakan?"


"Kau begitu jauh Alexander, kau meninggalkan ku. Kau— ya Tuhan aku tidak bisa mengatakan
semuanya padamu. Semua begitu mengerikan, aku takut!"wanita itu memandangi Alexander
dengan pandangan berkaca-kaca. Ia menggigit ujung kukunya dan begitu bergetar bersama napas
yang tidak berhenti mendesaknya sangat dalam.

"Aku tidak akan meninggalkan mu."

"Siapa yang tahu Alexander? Siapa?"Lorna bicara sarkas, emosional sudah menguasai dirinya
yang begitu sensitif.

"Kau hanya takut. Tenanglah! Aku bisa menjaga diriku!"

Lorna mendorong tubuh pria itu menjauh, ia memutar tubuhnya dan membelakangi Alexander
lalu memegang keningnya yang terasa begitu ketat. Sakit seperti sesuatu sedang memukul
kepalanya dengan martil.

"Lorna please. Kau hanya perlu percaya, percaya padaku!"seketika pria itu mendekapnya erat.
Memberi ketenangan yang begitu extra, ia luar biasa paham akan perasaan wanita tersebut.

"Aku merindukan daddy."bisik nya pelan sambil menelan ludah yang menampung di
tenggorokannya sejak tadi.

"Mau ke sana?"tanya Alexander membuat wanita itu memutar tubuhnya kembali, menatap lekat
pada pria tersebut.

"Tidak sekarang. Mungkin setelah anak kita lahir atau—"

"Baiklah, terserah kau. Keputusan di tanganmu!"Lorna diam. Ia menatap wajah pria itu begitu
tajam dan lekat tanpa mengeluarkan suaranya sedikitpun.

"I miss you, Alexander!"tukasnya pelan sambil melekatkan pandangan dari mata hazel nya cukup
tajam.

Seketika kedua tangan pria tersebut kembali naik, memegang kedua wajahnya sangat lembut.
"Karena itu, aku akan memaksamu kembali padaku. Kau milikku, hidupku. Hanya kau!"

Lorna tersenyum simpul, Ah ia tidak menyangka semua begitu baik sekarang. Haruskah ia
menyesal karena pernah meninggalkan pria itu selama bertahun-tahun. Ia tertangkap, seperti
biasa. Ini bukan hanya karena kerja keras Alexander, ini campur tangan Tuhan yang penuh
kuasa. Ia menghindari social media, kurang bergaul dan terpaksa bekerja di toko barang pecah
belah. Ayolah itu bukan kelasnya, Lorna tidak pernah berpikir ia akan hidup begitu sulit dengan
isi freezer yang kosong. Alih-alih bertemu dengan Rowan yang membantunya, mendekat begitu
cepat hanya dalam enam bulan. Ia menerima begitu saja pernyataan cinta pria itu, mencoba
melupakan Alexander seutuhnya. Tapi Tuhan malah mengacaukan semua rencananya, Alexander
kembali, Alexander menemukannya dan Alexander menangkapnya dengar berbagai cara yang
tidak bisa di sangka bersama kenyataan manis.
"Alexander. Boleh aku tanya satu hal padamu?"celetuk Lorna begitu tiba-tiba saat mengingat
satu hal penting. Pria tersebut diam, hanya menganggu dan menunggu pertanyaan wanita itu.
Lebih tepatnya mempersilahkan.

"Aku ingat dengan seseorang wanita yang mengaku sebagai kekasihmu, Joana—"

"Dia hanya selingan, tidak lebih dari kau."

"Apa kau tidur dengannya Alexander?"

Deg!!

Pria itu diam, ia menutup mulutnya sangat rapat lalu memalingkan pandangannya seakan
mencari alasan agar ia tidak menjawab pertanyaan itu sekarang. "Alexander, bagaimana kau
mengakhiri hubungan mu dengan—"

Lorna mendadak menggantung kalimatnya, ia mendadak memegang kepalanya yang mendadak


berputar. Sial! Pandangannya gelap seketika di Tenga pembicaraan serius yang ingin ia ketahui.

"Lorna....."suara Alexander menggema di tiap ruangan, wanita tersebut jatuh ke pelukan


Alexander dan mendadak pingsan.

"Milla!"ucap nya pelan sambil mengangkat kuat tubuh Lorna ke atas ranjang, lalu berlarian
sangat tangkas ke arah pintu kamar. Membuka pintu dan meneliti tiap wajah bodyguard nya ada
di sudut mansion nya.

"Panggil Milla!! Cepattt!!"suara Alexander yang begitu menggema membuat salah satu satu dari
mereka langsung mengambil langkah seribu.

_________________

"Apa yang terjadi dengannya?"tanya Alexander sangat tajam begitu melihat Milla selesai
memeriksa Lorna yang masih begitu rapat menutup matanya.

"Tekanan darahnya tidak stabil, ini hal biasa yang bisa terjadi pada wanita hamil. Tapi
menurutku ada faktor utama yang paling penting."

"Faktor utama?"Alexander mengerutkan kening memerhatikan Milla mulai mengemasi


Tensimeter Nya seperti semula.

"Aku harap kau tidak membuatnya stress Alexander. Ini bisa memengaruhi keadaan Lorna dan
kandungannya, hormon wanita hamil berubah."peringat Milla sambil melirik ke arah pria itu
sangat tajam.

"Maksudmu?"
"Ayolah kau tahu maksudku, Lorna tidak suka wanita itu."celetuk Milla membuat pria tersebut
melirik ke arah Sofia yang ikut berdiri di sudut pintu untuk mencari tahu keadaan Lorna.

"Jangan menyangkut pautkan masalah itu dengan keadaan Lorna, Sofia di sini untuk membantu
maid yang lainnya, bukan—"

"Kau tidak perlu menjelaskannya padaku. Sekarang aku di pihak Lorna. Dia benar! Lagipula ada
ribuan wanita menganggur di Haggen."

"Milla!"tegur Billy yang tampak memandang tajam padanya. Pria itu tampak menunjukkan
protes keras.

"Kenapa? Ingin membelanya? Ah- aku semakin yakin dengan pendapat Lorna. Kalian ke
Washington untuk menjemput wanita tersebut."

"Milla! Jaga ucapan mu!"suara Billy melengking hebat. Ia tidak suka dengan tuduhan tersebut,
Milla begitu terang-terangan dan ia sudah cukup mendiamkannya selama ini.

"Hebat! Kau sudah bisa membentak ku karena piranha itu!"Milla mengepal tangannya sangat
kuat, ia melirik ke arah Alexander yang hanya diam tanpa peduli. Ia tidak ingin ikut campur
dalam masalah orang lain.

"Milla,"lagi-lagi Billy terdengar menegurnya, namun dengan nada lebih pelan saat wanita itu
bergerak melewatinya dan sengaja menyenggol bahu Sofia begitu keras.

"Sir kau perlu bantuan?"tawar Sofia dengan suara yang lembut. Ia melihat semuanya, sejak
Alexander tampak membelanya berikut Billy yang bertengkar dengan Milla di depannya. Ia
merasa begitu menang secara mutlak.

"Tidak. Keluar!"balas Alexander tanpa menoleh sedikitpun. Ia hanya peduli pada Lorna dan
sikap itu berhasil membuat Sofia semakin iri, diam-diam ia mulai begitu cemburu dengan
perhatian yang di dapatkan Lorna.

"Apa dengan usaha keras aku bisa menjadi nyonya di tempat ini? Ahh— aku tidak bisa
membayangkan rasanya hidup bersama tuan Alexander. Billy juga sama, ia juga bukan pilihan
buruk,"Sofia menelan ludah memerhatikan tingkah Alexander yang tampak hangat. Semakin ia
memerhatikan kegiatan tersebut, rasa cemburunya ikut meningkat di tiap detiknya. Semasa
hidupnya, ia banyak menghabiskan waktu menjadi pelacur di club malam milik Lucas, selama
itu juga tidak ada satu pria pun yang berhasil membuatnya begitu tertarik.

Chapter 36 : Leopard

"Milla tunggu! Dengarkan aku!"


"Lepaskan! Kau bela saja jalang itu!"teriak Milla sambil menarik tangannya yang sempat di raih
oleh Billy.

"Milla aku tidak ingin kita bertengkar!"

"Itu salahmu. Selama ini, kau tidak pernah membentak ku, kau selalu mendukung apapun yang
aku lakukan, karena kau tahu, aku berada di pihak yang benar—"

"Aku tidak ingin kau ikut campur dalam urusan orang lain!"

"Lorna bukan orang lain untuk ku Billy! Aku sudah menganggapnya sebagai saudari perempuan
ku dan aku akan membelanya jika ia benar dan aku juga akan mengingatkan jika ia salah!"Milla
tampak penuh emosional, ia benci dengan sikap Billy yang membentaknya begitu kasar di depan
Sofia.

"Harusnya kau bersikap sewajarnya, Milla!"

"Sewajarnya? Berpura-pura mendukung kehadiran wanita lain di rumah ini dengan risiko?"

"Risiko apanya? Dia hanya menjadi maid. Sudah di putuskan! Alexander hanya menolongnya
keluar dari tempat pelacuran!"

"Ah! Jadi dia pelacur?"tanya Milla dengan tangan begitu kuat terkepal sambil menatap wajah
Billy yang sangat tajam.

"Hebat!! Kalian benar-benar partner yang sangat hebat. Pergi ke Washington tanpa peduli apa
yang di lewati Lorna di rumah ini, meninggalkan Luiz, aku dan Lorna bersama puluhan
Bodyguard. Lalu kalian pulang membawa pelacur dengan alasan untuk menjadikannya seorang
maid? Dengar! Apa pendapat orang jika tahu asal-usul Sofia? Simpanan? Atau persinggahan
kalian saat di Washington? Berapa tarifnya permalam atau berapa jam kalian bercinta dengannya
saat di Washington? Bagaimana? Puas dengan pelayanannya?"

"Milla!!"

PLAAAKK!!!"

Billy spontan menamparnya hingga wajah wanita tersebut langsung merah dan berpaling ke arah
lain. Ia memegang pipinya yang terasa panas, bersama tubuhnya yang mendadak terguncang
hebat. "Kau. Berani menamparku?"tanya Milla saat ia kembali mengarahkan pandangan pada
Billy dengan sorot mata yang berkaca-kaca.

"Milla aku—"

"Diam! Camkan kata-kataku, kau! Akan menyesal karena pernah melakukan ini padaku. Tunggu
sampai aku dan Lorna membuktikan bahwa firasat kami benar,"potong Milla dengan suara yang
penuh emosi. Ia menahan segalanya. Napasnya begitu mendesak dan tiba-tiba ia mengalihkan
pandangan ke arah Sofia yang ternyata memerhatikan semua itu dari kejauhan.

"Kau akan lihat, betapa salahnya kau karena pernah memberi saran agar ular bisa masuk ke
dalam lingkaran kita Billy! Ingat itu!"terang Milla kembali menatap ke arah pria tersebut dengan
sorot mata yang tajam lalu menelan Saliva nya yang sudah kental di tenggorokannya.

"Milla... Aku...."

"Aku membencimu!"potong wanita tersebut saat Billy mencoba kembali meraihnya dengan
ribuan penyesalan. Wanita itu berlalu, bergerak menjauh dan meninggalkan keduanya tanpa
peduli.

"Ah Billy... Aku minta maaf karena aku kalian—"

"Tidak! Kau tidak perlu minta maaf. Ini salahku karena sudah menamparnya, aku tahu kau tidak
melakukan apapun di sini!"

"Ya, aku tidak mungkin mencoba mendekati pria beristri. Berbeda dengan pekerjaanku
sebelumnya, aku terpaksa melayani mereka dan—"

"Aku harus pergi!"potong pria itu datar lalu memutar tubuhnya yang terasa cukup lemah. Ia
begitu marah dengan dirinya sendiri, kenapa ia begitu bodoh hingga melayangkan pukulan ke
wajah Milla. Ia begitu merendahkan perempuan, terlebih itu adalah istrinya.

_________________

Keesokan harinya,

Lorna langsung melangkah keluar kamar saat ia bangun dari tidurnya. Ia masih mual, namun
sekarang penting untuknya menemui Milla. Ia mendengar semua pertengkaran hebat wanita
tersebut dengan Billy.

"Nona.. Ada yang bisa ku bantu?"tegur Sofia sambil melayangkan senyuman tipisnya. Mencoba
bersikap sedikit ramah sambil melirik ke arah Alexander yang ikut mengikuti Lorna sejak tadi.
Lebih tepatnya mencari perhatian dan pujian.

"Harusnya aku harus memberimu kaset rekaman agar kau ingat bagaimana caranya
memanggilku!"tukasnya begitu angkuh.

"Mrs. Morgan. Maaf aku tidak biasa—"ucapannya terputus saat Lorna malah melewatinya tanpa
peduli. Wanita itu bersikap begitu tegas, apalagi mendengar Sofia adalah dalang pertengkaran
antara Milla dan Billy.

"Aku perlu bicara dengan mu!"ucap Alexander membuat wanita itu langsung mengangguk pelan.
"Ada apa, sir?"tanya Sofia sambil melirik ke arah Lorna yang kini menghilang dari
pandangannya.

"Aku tidak bisa membiarkan mu berada di sini lagi, ambil gaji mu dan cari tempat lain untuk
bekerja!"

"Sir, aku tidak mungkin bisa menemukan pekerjaan dengan mudah—"

"Itu urusanmu! Aku akan memberimu gaji tiga kali lipat, lalu keluar dari mansion ku hari ini!"

Deg!!

Jantung Sofia serasa meledak, ia menelan Saliva nya begitu berat. Bagaimana sekarang? Ia
bahkan belum sampai pada tujuannya.

"Tapi apa alasannya hingga aku di pecat, sir?"tanya Sofia mencoba mempertahankan argumen
nya.

"Istri ku hamil, dia tidak menyukai mu. Aku harus memprioritaskan nya sebaik
mungkin!"jujurnya begitu santai tampa peduli bagaimana perasaan wanita lain.

"Sialan, wanita itu mempengaruhi Alexander untuk mengusirku dari sini,"batin Sofia sambil
menyatukan kedua tangannya yang tampak ketat.

"Ambil gaji mu dengan—"

Brakk!!!

Belum sempat Alexander menyelesaikan ucapannya, Sofia malah menjatuhkan dirinya ke lantai.
Berpura-pura pingsan agar Alexander mengasihaninya.

"Aku harus melakukan ini agar tidak di usir,"batin Sofia lalu mendengar kepanikan dari orang-
orang yang ada di sekitarnya.

"Bawa dia ke kamarnya, panggil dokter dari luar untuk memeriksa keadaannya!"ucap Alexander
cukup santai. Tidak lebih panik saat melihat keadaan Lorna tadi malam, sungguh melihat reaksi
Alexander membuat Sofia kecewa. Ia tidak berhasil memancing empati yang ada dalam diri pria
tersebut. Rupanya hal itu sangat sulit ia jangkau.

"Laporkan padaku jika sudah mendapatkan kabarnya, ia harus keluar dari mansion ini,"terang
Alexander membuat Sofia yang berpura-pura pingsan harus memikirkan ulang semua
rencananya. Pria itu melangkah cepat, ia menyerahkan semua pekerjaan tersebut pada salah satu
bodyguard nya. Tidak peduli sama sekali.

_______________________
"Ada apa? Aku dengar kau bertengkar!"tanya Lorna menatap wajah Milla yang bahkan masih
cukup merah. Bekas pukulan dari pria sialan itu. Billy bahkan tidak berani masuk dan belum
berusaha membujuk Milla.

"Wanita itu pelacur, aku tidak tahu dari tong sampah mana mereka memungutnya, yang jelas aku
benci piranha itu,"celetuk Milla sambil mengepal tangan kuat.

"Apa? Kau tahu dari mana?"

"Billy yang mengatakannya padaku, kau tahu dia terlalu jujur!"balas Milla geram.

"Aku akan bicara pada Alexander untuk mengusirnya,"

"Percuma! Para pria sialan tersebut, memercayai piranha pirang itu. Salahku karena terlalu
bernafsu untuk mengusirnya keluar hingga jahitan luka caesar ku mau lepas rasanya!"ucap Milla
sambil menarik rambutnya ke atas dan terkekeh pelan.

"Sial, kau masih bisa bercanda di saat seperti ini,"balas Lorna ikut tertawa ke arahnya. Entah
akan jadi apa anaknya nanti jika melihat kondisi Lorna yang begitu brutal.

"Aku tahu, hingga saat ini piranha itu masih bersikap santai. Tipe ikan seperti ini jenis langka, ia
menunggu lalu akan memangsa lawannya diam-diam!"

"Aku bisa membaca semuanya dari raut wajah piranha itu,"balas Lorna cepat membuat kening
Milla mengerut.

"Ya. Wajahnya seperti buku Cinderella dengan apel beracun nya!"

"Itu snow white! Cinderella tidak makan apel bodoh, ia hanya sibuk dengan sepatu kacanya yang
tinggal di istana pangeran!"terang Lorna tidak terima dengan semua ucapan Milla.

"Brengsek! Kau membuat ku terlihat hina sebagai dokter! Urus dirimu sendiri jika kau
sakit,"Lorna langsung tersenyum mendengar jawaban Milla yang sarkas.

"Kau dan Alexander itu sama. Kalian tidak akan tega jika melihat ku sakit,"ucap Lorna sambil
mengulum senyuman. Ia mulai angkuh, mungkin tertular virus dari Alexander.

"Aku akan mengatakan iya jika kau setuju menjodohkan anakku dengan anakmu, nanti!"

"Astaga! Aku bahkan belum pernah melihat jempolnya. Bagaimana ia punya Anaconda seperti
Alexander?"tanya Lorna tertawa cukup lantang.

"Lorna! Kau, membuyarkan fantasi ku,"balas Milla sambil mengusap-usap perut Lorna yang
masih datar lalu tertawa bersama.

____________________
"Alexander,"goda Lorna sambil meletakkan tubuhnya di pangkuan pria tersebut. Membuat mata
hazelnut yang di bingkai oleh kacamata itu langsung mengarah padanya. Sialan! Ia tampak
memancing gairah Alexander dengan pakaian tipis bermotif Leopard.

"Damn! Kau mencoba merayuku?"tanya Alexander merasakan tangan wanita itu segera
menyentuh dada bidangnya tanpa menjawab apapun. Alexander melepas kacamatanya dan
meletakkan benda tersebut pada sudut meja yang ada di sampingnya.

"Kau tergoda? Begitu mudah?"balas Lorna sambil mengigit bibirnya yang tebal seakan meminta
pria tersebut segera melumatnya.

"Kau tahu aku selalu menyukai mu, Lorna."balas Alexander mulai menarik tali tipis yang
menggantung di bahu indah wanita tersebut.

"Lebih suka aku .. atau .. Sofia?"tanya Lorna dengan pandangan yang sangat tajam. Penuh
intimidasi.

Alexander tersenyum tipis, ia menggelengkan kepala lalu mengalihkan seluruh pandangan yang
begitu terpusat pada wanita tersebut. "Bandingkan dengan seseorang yang berada di kelas
mu,"bisik Alexander sambil menyusup masuk di dalam pakaian wanita tersebut.

"Ahhhh!"Lorna mendesah berat saat merasakan jemari pria itu bermain di tempat yang cukup
intim. Ia memegang kuat bahu Alexander yang tegap sambil membasahi bibirnya.

Alexander menciumnya buas, merapatkan tubuh mereka dan mengaitkan tiap gerakan lidah yang
sama cepatnya. Kepala mereka berputar saling bertukar arah dan merasakan lumatan kasar yang
semakin buas.

Sepersekian detik kemudian, Lorna merasakan tubuhnya terangkat ke atas. Alexander


menggendongnya tanpa melepas sedikitpun ciuman mereka.

Tap!!

Kini tubuh Lorna terpantul di atas ranjang, ia melihat Alexander melepas kaosnya dan kembali
mendekatinya begitu cepat. Pria itu tampak tidak sabar lalu menurunkan underwear dan hotpans
Leopard yang sepasang dengan atasan di tubuhnya.

"A—Alexander,"wanita itu mendadak menarik seprai dan mendongakkan kepalanya sangat


tinggi. Pria itu menikmatinya dengan lidah yang bermain di bagian inti begitu basah. Sementara
tangannya bergerak liar di dada wanita itu yang membusung tinggi.

Alexander meremasnya sangat kuat, namun anehnya Lorna bahkan tidak merasakan sakit. Ia
menikmatinya hingga berkali-kali desahan kasar memenuhi ruangan kamar tersebut.

Tak lama kemudian Alexander menaikkan tubuhnya kembali dan segera menaiki tubuh yang kini
sudah begitu pasrah. Ia sama sekali tidak menyentuh bagian perut, Alexander begitu hati-hati
pada tubuh wanita itu agar tidak menyakiti anaknya yang ada di dalam kandungan wanita
tersebut.

"Memohon lah! Aku suka mendengarnya Lorna,"ucapnya dengan suara serak, mata pria itu
sangat tajam, Lorna tidak tahan melihatnya.

"Please, masuklah. Aku ingin kau di dalam ku Alexander!"suara Lorna yang begitu penuh hasrat
memancing naik seluruh gairah yang di miliki pria tersebut.

"Lagi!!"

"Alexander please, aku tidak bisa tahan lebih lama brengsek!"ucap Lorna dengan kata
andalannya yang terdengar frustasi lalu melihat senyuman smirk begitu menonjol dari wajah pria
tersebut.

Seketika, Alexander membuka lebar kedua kaki wanita itu dan menurunkan bawahannya sendiri,
ia menuntun miliknya masuk secara perlahan. Lorna menelan ludah, merasakan penyatuan yang
begitu ia idamkan. Milik Alexander sangat penuh di dalamnya seperti biasa begitu gagahnya.

Sungguh Lorna tidak akan pernah bisa lepas dari cara pria itu memperlakukannya, sangat
istimewa hingga desahan atau jeritan keluar dari mulutnya sangat lancang dan berani. Wajar
Milla mengatakan kalau Alexander memelihara Anaconda, itu maksudnya. Ah- harusnya hal ini
tidak perlu di perjelas, semua orang tahu berapa leluasanya Alexander berkuasa.

Lorna mendesaknya, ia tidak ingin hal ini segera berakhir. Biarkan semua begitu indah hingga
mereka benar-benar meraih kepuasannya masing-masih. Sama hal nya dengan Alexander,
sedikitpun ia tidak mampu berpaling, Lorna adalah candunya yang begitu memabukkan, tidak
bisa di pungkiri sedikitpun. Lorna punya kuncinya, pria itu tidak akan berpaling, ya— mungkin.

Chapter 37 : Snare

Lorna menggigit ujung jarinya, ia menatap tegas mengingat pembicaraannya bersama Milla satu
jam yang lalu. Ada benarnya, jika ia membiarkan Sofia keluar dari mansion nya sekarang, ia
akan lebih bebas. Pelacur tetaplah pelacur. Ia punya banyak cara untuk bertahan hidup meskipun
harus mengorbankan kehidupan orang lain. Itu prinsip!

"Milla benar! Baik Alexander ataupun Billy mereka harus tahu lebih dulu, siapa sebenarnya
Sofia. Aku tidak boleh gegabah atau piranha itu malah mengambil kesempatan dari semuanya,
aku tidak ingin anakku lahir tanpa Alexander, tidak! Aku harus bisa mempertahankan hubungan
ini,"Lorna membatin, mendadak mengeluh kasar lalu melangkah ke arah pintu dan membukanya
cepat.
"Aku harus bicara pada Alexander!"gumam Lorna mencoba mengedarkan pandangan yang
cukup liar di tiap ruangan mansion.

Tap!! Mendadak ia berhenti bergerak. Seseorang menatapnya hampa dari kejauhan, ia seperti
begitu penuh dengan rasa sakit. "Billy .. Ada apa—"

Seketika wanita itu mendadak menghentikan ucapannya. Billy mendekat lalu memeluknya erat,
ia membulatkan mata. Tidak percaya dengan apa yang barusan terjadi.

"Billy aku—"

"Sebentar saja!"potong Billy datar dengan suaranya yang serak. Lorna menahan napas, ia
menelan ludahnya berkali-kali. Takut jika seseorang melihat keadaan mereka yang seperti ini,
Milla akan salah paham.

"M-maaf aku hanya butuh seseorang,"akhirnya Billy melonggarkan pelukannya, ia mundur


beberapa langkah mencoba menjaga jaraknya kembali.

"Apa yang terjadi?"tanya Lorna mencoba mencari tahu.

"Milla benar-benar marah padaku!"balasnya singkat sambil mengedarkan pandangan di wajah


Lorna.

"Aku akan bicara padanya jika kau mau,"Lorna menatap wajah Billy yang tampak kacau. Jujur
saja hingga saat ini ia masih belum tahu bagaimana pria tersebut sebenarnya. Billy jarang bicara,
terutama dengannya sejak dulu.

"Aku tidak yakin, tapi jika kau bisa, maka aku akan berterimakasih,"balasnya terdengar penuh
harap membuat Lorna langsung mengangguk pelan sambil mengulum bibirnya yang basah.

"Ya. Aku akan mencobanya,"wanita itu tersenyum tipis membuat Billy kembali menatapnya
intens.

"Hubungan ku dengan Milla hambar,"seketika mata hazel Lorna bergerak, ia mengerutkan


kening mencoba mencari tahu maksud dari kalimat tersebut.

"Maksudmu?"

"Dia selalu di atas ku, dia dokter hebat dengan penghasilan besar. Dia juga bisa mendapatkan
apapun tanpa bantuan dari ku, dia punya aset cukup banyak dan tabungan yang jauh lebih besar
dari milikku. Kadang, semua membuatku merasa begitu tidak berguna!"

"Billy.. Milla, mencintaimu!"


"Aku tahu, karena itulah aku merasa begitu sesak. Apa yang bisa aku lakukan untuknya? Ia
bahkan meminta mobil mahal dari Alexander,"terang Billy mencoba bicara sejujurnya, ia merasa
begitu takut selama ini. Semua terpendam sangat dalam.

"Kau cemburu pada Alexander?"tanya Lorna membuat pria itu diam lalu menelan Saliva nya.

"Aku iri. Lebih tepatnya, orang lain beruntung sedangkan aku tidak!"jawabnya sambil mengusap
wajah dengan pelan. Helaan napasnya terdengar seperti seseorang yang begitu letih berusaha.

"Billy ...."

"Aku ingin menjadi seseorang yang berguna untuk Milla, kau tahu— aku bahkan tidak bisa
memberikannya cincin pernikahan yang lebih layak untuknya. Aku merasa begitu kalah, I don't
know."tukasnya dengan suara bergetar. Ia tidak banyak bicara selama ini, tapi ternyata Billy
adalah pria dengan segala kerapuhannya. Dia sakit.

"Milla hanya perlu kau, bukan sesuatu hal yang memiliki nilai. Kau layak! Karena itulah kalian
punya Luiz."balas Lorna mencoba menenangkan.

"Ya! Kau benar. Akulah yang salah karena tidak bisa memahaminya."

"Aku pikir, ini hanya masalah komunikasi. Cobalah lebih terbuka. Milla istrimu, dia pasti
paham!"Lorna menyentuh lengan pria itu lembut. Mencoba menguatkan, Billy langsung diam
tanpa jawaban. Ia sedikit lega karena pada akhirnya bisa mengeluarkan seluruh hatinya, perasaan
yang sangat dalam di dirinya.

Billy menghela napas panjang lalu melirik ke arah senyuman tipis di wajah wanita tersebut. Itu
begitu menenangkan sekarang. "Aku harus pergi untuk menemui Alexander,"ucap Lorna sambil
memperhatikan pria tersebut langsung mengangguk pelan dan menggeser tubuhnya sedikit.
Lorna bergerak, ia melangkah pelan dan segera menjauhi Billy yang memutar tubuhnya,
memerhatikan Lorna hingga wanita tersebut hilang dari pandangannya.

_____________________

"Sir, aku mohon! Beri aku waktu beberapa hari lagi,"tukas Sofia dengan suara sedikit berharap.

"Aku sudah memberimu kemudahan. Uang yang akan aku berikan cukup untukmu bertahan
hidup di luar sana selama 3 bulan,"balas Alexander tanpa menoleh ke arah wanita tersebut.
Sungguh sulit untuknya berpaling, sedikit saja.

"Sir tapi aku benar-benar tidak tahu harus kemana, aku tidak tahu bagaimana kondisi negara ini."

"Bukan urusan ku!"balas Alexander sambil mengalihkan pandangan ke arah wanita tersebut.

"Sir,"
"Aku harap kau keluar secara terhormat, jangan menambah pekerjaan bodyguard ku. Mereka
akan melempar mu,"potong Alexander dengan nada yang begitu tegas. Ia menatap tajam,
membuat wanita itu diam-diam mengepal tangannya kuat.

"Alexander,"Lorna tampak mendekat, membuat kedua pasang mata tersebut langsung menoleh
ke arahnya.

"Sudah bangun rupanya,"sambut pria itu sambil menggeser sedikit kursinya dan memberi tanda
seakan meminta Lorna duduk di pangkuannya.

"Aku ingin bicara,"ucap Lorna sambil mengedarkan pandangan ke tiap arah.

"Aku permisi dulu—"

"Tidak kau tetap di sini!"potong Lorna saat mendengar Sofia yang tampak meminta izin untuk
bergerak menjauh.

"Sialan. Apa dia sengaja untuk pamer padaku?"batin Sofia sambil melihat Lorna sudah berada
di pangkuan Alexander dan mendapatkan satu kecupan manis. Rumor-nya mereka memang tidak
tahu tempat, semua isi mansion sering melihat interaksi keduanya yang terlampau vulgar.
Kadang-kadang.

"Aku dengar kau semalam pingsan!"ucap Lorna memicingkan mata yang tajam.

"Aku sedang tidak enak badan Mrs. Morgan."Sofia menelan ludah tampak waspada dengan
ucapannya.

"Ah- aku pikir kau syok karena suami ku mengusir mu,"sindir Lorna sarkas. Ia merasakan
Alexander meremas sudut pahanya. Malas saat Lorna lebih memerhatikan Sofia daripada
dirinya.

"Tidak nona aku—"

"Mrs. Morgan!"bentaknya sengaja dengan suara yang sedikit lantang.

"Sudahlah!Ambil uang mu dan pergi!"perintah Alexander sambil meraih sebuah gelas berisi
minuman di atas meja yang tidak jauh darinya.

"Nanti!"potong Lorna dengan nada tegas.

"Aku cukup tahu bagaimana Haggen. Mereka tidak sembarang orang untuk menerima seseorang
yang bisa bekerja di tempat mereka."Lorna menurunkan tubuhnya dari pangkuan Alexander
dengan angkuh dan melangkah mendekati Sofia.

"Jadi, aku akan memberimu kesempatan beberapa hari untuk berada di mansion ini."
"Lorna.."potong Alexander dengan nada penuh ketidaksetujuan.

"Dengan catatan kau berada di bawah perintah ku dan Milla."

"Lorna aku tidak bisa mempercayakan sembarang orang untuk mengurus mu,"tolak Alexander.

"Oh Ayolah Alexander. Kau yang membawanya ke sini! Aku ingin bersikap baik
sepertimu,"tukas Lorna mengarahkan pandangan ke arah pria tersebut.

"Dia benar-benar ingin memperingati ku, wanita ini sepertinya punya rencana."Sofia membatin,
ia mengedarkan pandangan ke arah dua insan manusia yang tampak berbeda pendapat itu. Tapi,
di sisi lain ia merasa beruntung karena Lorna tampak membelanya.

"Aku sangat berterimakasih karena kemurahan hati mu,"ucap Sofia dengan lembut, ia tersenyum
dan tampak memasang wajah yang seakan-akan tersentuh.

"Ya. Lihat saja apa yang akan aku lakukan padamu nanti,"Lorna membalas senyuman itu sambil
membatin. Melihat hal itu Alexander bangkit dari tempatnya, ia malas dan segera menjauhi
ruangan tersebut.

__________________

Lorna mengetuk pintu kamar Milla dengan cepat, ia tidak sabar ingin bicara pada wanita itu
setelah bicara pada Alexander dan Sofia.

"Ada apa? Apa sudah ada berita?"tanya Milla saat membuka pintu kamar dan melihat Lorna
yang ada di depannya saat ini.

"Aku berhasil."

"Masuk, cepat!"Milla menarik lengan wanita tersebut dan segera menutup pintu kamar.

"Tapi apa ini tidak terlalu berbahaya, kita malah membuatnya masuk. Padahal Alexander sudah
mengusirnya,"tukas Lorna melirik ke arah Luiz yang tertidur dengan speaker cukup keras di
sampingnya.

"Kau pilih yang mana? Dia keluar dan dua pria sialan itu mendapatinya di club tanpa
pengawasan kita atau—"

"Aku paham. Hanya saja, apakah dia tidak curiga dengan rencana ini? Aku takut jika akhirnya
malah berbanding terbalik dengan ekspektasi."

"Jangan pikirkan dia curiga atau tidak. Aku punya rencana,"tukas Milla seakan membungkam
mulut Lorna seketika.
"Baiklah."

"Aku pernah mendengar sebuah pepatah, dekati musuh mu jika kau ingin menang,"ucap Milla
begitu cepat membuat Lorna paham dan mengangguk setuju.

Chapter 38 : I Promise

"Jadi ini yang di lakukan daddy selama ini?"tanya Lorna membuat Alexander segera menatapnya
dengan intens dan mengangguk pelan.

"Jika kau merindukannya, kita bisa berangkat besok!"seketika Lorna langsung menoleh padanya,
ia melempar senyuman lalu menghela napas dalam-dalam.

"Apa kau ingin memberinya kabar kalau kau menghamili ku lagi, huh?"tukasnya sambil
memicingkan pandangan.

"Aku ingin kau yang melakukannya kali ini,"balas Alexander sambil mengusap rambut panjang
wanita tersebut.

"Tidak akan! Aku lebih baik berdiri dengan menunduk. Menerima penghakiman dari daddy. Itu
lucu!"

"Apanya yang lucu, kau ketakutan waktu itu. Wajahmu benar-benar bodoh!"

"Brengsek! Kau menghinaku? Kau yang membuat ku hamil, brengsek!"Maki Lorna sambil
memutar tubuhnya dan memukul keras dada bidang pria tersebut.

Tap!!

Alexander menangkap tangan Lorna, menariknya lebih dekat hingga kedua pandang mata
mereka bertemu dalam beberapa detik. "Berjanjilah, bahwa kau tidak akan pernah pergi lagi
dariku!"

Lorna terdiam sejenak, ia mengedarkan pandangannya yang teduh. Menyelami setiap bagian
wajah tampan pria tersebut sambil melingkarkan tangannya pada leher Alexander.

"Jika Tuhan memberiku kesempatan untuk hidup kedua kalinya, maka aku berharap bisa hidup
hanya denganmu, Alexander. Bukan hanya dua kali, tapi tiga, empat, lima dan seterusnya. Aku
hanya ingin hidup dengan mu. I promise."
Ucap Lorna begitu serius tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun. Ia menelan Saliva nya
yang berat lalu memerhatikan sebuah senyuman tipis terbentuk di bibir pria itu. Lembut dan
begitu tidak memaksa. Alexander tulus mencintainya.
"Matamu mengingatkan ku pada seseorang Alexander,"sambungnya membuat pria itu
mengerutkan kening.

"Seseorang pria yang pertama kalinya menciumiku, di rumah flat ku sendiri. Aku tidak bisa lihat
wajahnya, semua lampu mati saat itu. Ia juga mengancam ku, menyebut namaku dan hingga saat
ini aku tidak tahu siapa pria itu,"

"Dia di depanmu!"tukas Alexander sambil menyipitkan matanya yang garang. Tatapan itu
membuat Lorna ingin pingsan.

"Maksudmu?"

"Malam itu adalah hari di mana aku membunuh mantan kekasih mu, Eric. Aku masuk ke rumah
Flat mu karena sekelompok orang tampak mengejar ku, ternyata mereka saudari tiri mu, Jace dan
anggota CIA. Aku rasa dia mengawasi pergerakan ku!"ucap Alexander membuat mata Lorna
membulat.

"Jadi ... Kau ???"

"Ya! Aku yang mencium mu malam itu. Karena itu, aku tidak bisa melupakanmu, ciuman itu
terlalu manis. Bagaimana bisa kau menikmati ciuman dari orang asing?"tanya Alexander
menyesap bibirnya sendiri sambil meneliti bentuk wajah Lorna dan melekatkan pandangan ke
arah bibir yang selalu merah itu.

"Wah! Hebat. Kau mencium ku diam-diam tapi menghina ku dan mengatakan bahwa aku adalah
serangga yang tidak memiliki payudara. Brengsek, aku mati-matian berpikir agar memiliki
payudara yang cukup besar!"

"Tapi sekarang payudaramu lumayan, begitu pas di tanganku,"sontak, Alexander membahasnya


membuat wajah Lorna langsung merah.

"Brengsek!!!!"

Tok tok tok!!

Seseorang mengetuk pintu kamar mereka, tampak membuat Alexander terganggu. Ayolah ia
akhir-akhir ini begitu menikmati masa di dekat Lorna.

"Harusnya kita pergi ke mansion lain, tanpa ada siapapun yang bisa mengganggu,"ucap
Alexander malas. Ia mengeluh kasar lalu mengecup pelan bibir Lorna yang tampak
membalasnya.

Alexander melangkah menuju pintu dan segera membukanya, ia melihat Billy berdiri di depan
sana dengan sorot mata yang langsung liar ke dalam ruangan lalu terhenti saat melihat Lorna
yang langsung memutar tubuhnya, wanita tersebut masuk ke dalam toilet.
"Michella ingin menemui mu, sir,"ucapnya pelan.

"Tunggu sebentar,"Alexander memutar tubuhnya kembali, ia mengedarkan pandangannya dan


tidak melihat Lorna di manapun dan memahami bahwa wanita tersebut sedang berada di ruangan
lebih pribadi.

Ia mengeluh kasar, memasang pakaian di tubuh kekarnya lalu mendekati sebuah nakas dan
mengambil sebuah handgun untuk ia selipkan pada punggungnya. Seperti biasa.

___________________

"Michella ... Bagaimana keadaanmu?"tanya Alexander dengan nada yang cukup datar. Menatap
wanita itu tanpa berpaling sedikitpun.

"Sedikit lebih baik,"balasnya sambil menarik napas.

"Syukurlah,"Alexander mengangguk pelan saat pandangan wanita tersebut menyorot padanya


tegas.

"Sir, aku ingat sesuatu!"tukas Michella serius. Sambil menyisipkan rambutnya ke telinga.

"Soal kejadian hari itu?"tanya Alexander mulai menyipitkan mata.

"Ya! Ini rencana mereka. Rowan sengaja memancing mu datang ke Haggen melalui nona Lorna.
Mereka ingin membunuh nona Lorna setelah ini."

"Maksudmu?"

"Henry! Aku tidak tahu jelas siapa dia, tapi mereka—"Alexander mendadak menangkap jemari
wanita itu saat Michella kembali menyisipkan rambutnya yang mendadak jatuh dan memberi
kode agar Michella berhenti bicara.

"Wait!"bisik Alexander pelan menatap begitu tegas. Ia menarik sebuah cincin yang tampak
mengilap, sederhana tapi begitu pas di jari manis wanita itu.

"Penyadap!"bisik nya lagi membuat semua mata yang menatap ke arahnya langsung menoleh
cepat. Ada speaker kecil yang melekat di benda itu.

"Sir,"tegur Billy tampak ingin memeriksa benda tersebut. Alexander tampak berpikir, ia
mengeluh kasar dan tersenyum tipis.

"Lanjutkan ceritamu .. Apa yang kau tahu Michella?"terang Alexander membuat mata wanita itu
kembali menyorot padanya.

"Katakan!"perintahnya sambil mendekatkan cincin penyadap itu ke arah Michella sambil


meremas kuat benda itu. Wanita itu diam sejenak lalu mengangguk pelan.
"Mereka merencanakan pengeboman di pangkalan militer Rusia untuk memicu level kenaikan
radiasi nuklir, Pangkalan militer itu tercatat sebagai pusat utama untuk uji coba rudal balistik
yang digunakan dalam kapal selam dan kapal militer milik Angkatan Laut Rusia. Masalahnya
mereka tidak cukup untuk mendapatkan uranium sebagai bahan bakar Fossil. Jadi, mereka
mengincar mu— mereka curiga kau adalah pemimpin atau aktor pembuatan bom nuklir
berbahaya dan tercepat dunia selama 11 tahun terakhir," terang Michella tanpa melepaskan
pandangannya yang begitu tegas. Ia menangkap sorot mata pria itu, tanpa reaksi sedikitpun.
Alexander diam tanpa suara lalu mengedarkan pandangannya ke tiap ruangan.

"Karena itulah aku membunuh Eric, mantan kekasih Lorna. Dia salah satu mata-mata keluarga
Hall yang mencoba mengorek informasi khusus, lalu menjualnya ke Deep web. Ia juga memiliki
niat untuk membunuh Lorna tepat di malam ia ingin pergi ke Arkansas,"terang Alexander detail.

"Lalu kenapa mereka mengincar nona Lorna? Aku tidak yakin, dia memiliki kaitan erat dalam
proyek rahasia ini."tukas Michella penasaran.

"Karena dia kunci yang bisa melemahkan ku, mereka ingin membuatku mundur dan fokus pada
Lorna. Tapi nyatanya mereka tidak bisa melakukan itu, tidak ada satupun yang bisa membuatku
lemah. Aku pemimpinnya, tanpa ku semua nuklir itu tidak akan berfungsi dengan
baik,"Alexander tersenyum tipis, menatap Michella yang memicingkan matanya. Kedua pasang
mata tersebut begitu lekat, beradu dalam beberapa detik.

Namun pada menit berikutnya, Michella mendadak mengeluarkan sebuah senjata api dari balik
selimutnya dan mengarahkan benda itu pada Alexander. Pria itu melakukan hal yang sama, ia
meraih handgun dari balik punggungnya dan langsung menekan pelatuk senjata api tersebut.

Dorrr!! Dorrr!!!

Dua kali, suara letusan senjata api terdengar lantang memenuhi ruangan kedap suara yang sepi
itu. Alexander mengirim dua tembakan yang meleset ke arah Michella. Ia sengaja
melakukannya, untuk mengancam wanita tersebut lalu menendang senjata yang ada di tangan
Michella hingga benda tersebut langsung terlepas dan jatuh ke lantai.

"Sir,"tegur Billy saat melihat Alexander mengarahkan senjata apinya di kening wanita tersebut.

"Kill me!"ucap Michella dengan mata berair. Ia menelan Saliva sekaligus menelan rasa takut
yang ada di dalam dirinya.

Alexander membuka kepalan tangan kirinya, melihat penyadap yang masih ia pegang dan
mendekatkan benda tersebut di bibirnya. "Datanglah! Aku menantang mu Maxton!"ucap
Alexander begitu tangguh tanpa melepaskan sorot mata hazelnut nya dari Michella. Wanita itu
terdiam, suaranya seakan tersangkut, ia tidak bisa bergerak dan masih begitu ketakutan.

Dor!!!!
Alexander melepaskan kembali satu tembakan, itu meleset lagi hingga Michella menatapnya
begitu lugas tanpa mengerti apa yang sedang di lakukan Alexander sesungguhnya. Pria tersebut
memusnahkan penyadap yang ada di tangannya dan menurunkan handgun dari Michella.

"Sir, mereka mengancam ku,"akui Michella dengan suara yang begitu parau.

"I know, karena itulah mereka harus berpikir bahwa kau sudah mati."terang Alexander membuat
wanita itu tampak lega. Ia mengedarkan pandangan ke arah Billy lalu menarik napasnya dalam.

"Sir, apa benar kau adalah orang yang di curigai Rowan dan—"

"Yah! Kau benar. Aku orangnya, aku adalah pemimpin sekaligus fisikawan proyek Brooklyn
Engineering District. Proyek rahasia pengembang Nuklir yang bisa membuat seluruh dunia
tunduk! Aku juga orang yang berhasil mengekstrak 125 gram Protaktinium dengan kemurnian
99.9%," terang Alexander membicarakan sebuah rahasia besarnya, rahasia yang ia teruskan
untuk ayahnya. Impian Denise Morgan selama ia hidup. Alexander berhasil membuat
Protaktinium yang menjadi satu-satunya simpanan cadangan untuk kebutuhan dunia dalam
beberapa tahun yang akan datang.

________________

Info :

Protactinium adalah logam yang sangat langka, berkilau, sangat radioaktif yang memudar
perlahan di udara menjadi oksida. berbahaya karena radioaktivitasnya dan juga beracun.
Protaktinium adalah salah satu unsur alami yang paling langka dan paling mahal.

Chapter 39 : Carbon Dioxid

Alexander, yang benar saja!"tukas Lorna mendekati pria tersebut dengan wajah kesal.

"Apa?"balasnya sambil membalas pandangan Lorna yang tajam. Wanita itu berulah lagi, ia lapar
di tengah malam dan tidak ingin maid manapun membantunya.

"Kupas bawang nya dengan pisau, kenapa kau malah menggunakan gigimu?"Lorna menarik
benda tersebut dan melihat Alexander meraih bawang lainnya.

"Rasanya aneh,"Alexander bergenyit, merasakan aroma bawang yang membuat perutnya mual.

"Karena itu, gunakan pisau. Begini!"Lorna mengajari nya, ah salah. Lebih tepatnya ia malah
menyelesaikan aksi kupas bawang itu.
"Sial, bawang ini membuatku sedih,"batin Alexander sambil mengusap mata pelan-pelan dengan
punggung tangannya.

"Kau rebus saja pasta nya!"

"Rebus?"Alexander menelan Saliva. Ia menggaruk kepala malas meraih sebuah panci dan
meletakkan benda itu di atas kompor yang tidak jauh darinya.

"Ada apa lagi? Kenapa tidak nyalakan kompornya daddy!"ucap Lorna sambil mengelukan pria
tersebut dan menghidupkan kompor tanam tersebut agar Alexander bisa merebus pasta.

"Lorna, apa tidak ada hal lain yang bisa aku lakukan? Kita bisa memesan makanan di luar atau
—"

"Tidak! Makanan akan lebih dulu dingin sebelum sampai ke mansion ini."potong Lorna
meletakkan pisau nya sambil menatap tegas ke arah Alexander yang langsung mengeluh
panjang.

"Kalau begitu, kau blender saja bumbu nya, biar aku yang merebus—"

"Aku tidak mau melakukan semua pekerjaan ini, Lorna!"sanggah Alexander.

"Aku lapar. Ah- lebih tepatnya anakmu kelaparan,"balas wanita tersebut membuat Alexander
seakan mati kutu. Ia tidak bisa bicara lagi, jika Lorna mengatasnama kan anaknya. Itu menjadi
pekerjaan besar bagi Alexander.

Lorna memutar tubuhnya, meraih blender yang ada di sudut ruangan lalu mengisi beberapa
bumbu penting ke dalam wadah kaca. "Ini, tekan saja nomor tiga agar cepat halus!"perintah
Lorna menyerahkan benda itu pada Alexander yang menyambutnya tanpa sepatah katapun.
Mungkin ia memaki-maki Lorna dalam hati.

"Ah akhirnya aku bisa menggunakan alat ini,"batin Alexander tampak usahanya mulai berjalan
lancar. Ia tersenyum tipis, memerhatikan pisau blender itu memutar semua isi yang ada di
dalamnya hingga bumbu-bumbu itu tampak halus.

"Jangan sombong, aku harus memotong sayuran. Potong bawang ini lalu tumis,"lagi, perintah
Lorna begitu memaksa, pria itu mengeluh kasar lalu memegang kepalanya cukup kuat. Ia
frustasi. Ingin sekali Alexander memukul kepalanya sendiri dengan teflon yang baru saja di
letakkan Lorna di atas kompor dengan api kecil.

Alexander menurut, ia mengambil pisau lalu memotong bawang-bawang tersebut cukup lihai
membuat Lorna tersenyum kecil memerhatikan pria tersebut. Ia bisa melakukan hal sederhana
itu, akhirnya.
Pada menit selanjutnya, Alexander mengangkat potongan bawang itu lalu meletakkannya di
dalam teflon.

"Lorna!!!"Alexander mendadak mundur sambil memegang spatula. Bawangnya meledak-ledak


membuat percikan minyak panas yang ada di dalam benda itu mengenainya. Itu cukup panas.
Wajah pria itu tampak begitu histeris.

"Astaga! Alexander!!!"Lorna memegang keningnya, mendekati teflon yang sudah mengeluarkan


asap itu dengan cepat. Berharap bisa menyelamatkan para bawang.

"Hangus!"ucapnya sambil mematikan api lalu mengeluh kasar, Lorna memutar tubuhnya
menatap tegas ke arah Alexander.

"Ayolah, itu bukan salahku."Alexander melempar senyuman, memukul pelan puncak kepala
Lorna dengan spatula.

Tessss!!!

"Lorna!!"Mendadak pria itu kembali berteriak, ia melihat air rebusan pasta yang di tinggal Lorna
melimpah keluar. Api yang ada di kompor itu ikut menyambar, seakan ingin melawan rembesan
air tersebut.

Seketika Alexander berlari ke arah pintu mengambil alat pemadam kebakaran yang tergantung di
tembok ruangan tersebut, lalu kembali dalam waktu singkat.

Cresssssss!!!!

Alexander menyemprotkan semua benda yang ada di depannya dengan cepat, termasuk Lorna
yang langsung membelakanginya. Wanita itu terdiam, ia mengepal tangan begitu kuat, tampak
bergetar.

"A-Alexander!ucapnya sambil merapatkan semua gigi begitu erat.

________________

"Astaga! Kalian benar-benar. Sungguh aku tidak tahu lagi harus bilang apa. Ini masih subuh dan
kalian—"Milla memijat kepalanya, mengedarkan pandangan ke arah Lorna yang baru saja
selesai mandi. Ia menghabiskan waktu dua jam agar bau Carbon Dioxide hilang dari tubuhnya.

"Aku lapar Milla,"celetuknya sambil menyisir rambut basahnya yang panjang.

"Alexander bisa panggil siapapun untuk mengantar atau membuatkan makanan padamu,
sweety,"tukas Milla sambil melepaskan napasnya yang berat.

"Aku hanya ingin mencoba sesuatu yang lebih sehat."


"Ya! Sangking sehatnya itu bercampur dengan Carbon Dioxide, sempurna! Suami mu punya
cara hebat menaruh creame di atas makanan sehatmu!"ucap Milla sambil tersenyum datar.

"Itu lebih baik dari pada suamimu yang seperti freezer kosong ku."

"Brengsek! Kau menghina Billy-ku!"balas Milla begitu sarkas sambil memasang wajah kesal.

"Bagaimana dengan hubungan mu?"tanya Lorna tampak penasaran. Milla langsung mengeluh
kasar dan meremas rambutnya.

"Entahlah! Sejujurnya aku dan Billy memiliki masalah serius sejak tiga bulan terakhir. Ia terlihat
frustasi."

"Sudah coba bicara padanya?"tanya Lorna sedikit enggan.

"Kami tidak bicara sedikit pun sejak Billy menamparku,"terang Milla membuat Lorna terdiam
sejenak.

"Milla apa kau berpikir Billy merasa—"

Tok tok tok!

Ucapan Lorna terputus, seseorang menunggu mereka di depan pintu. Seketika Lorna berdiri dan
segera melangkah untuk mencari tahu sosok yang ada di sana.

"Mrs. Morgan, maaf aku mengganggu mu. Tuan Alexander meminta chef membuatkan makanan
ini untuk mu. Tapi—"

"Aku tidak mau makan!"celetuknya cepat sambil menatap kilat sosok yang ada di depannya saat
ini— Sofia smith.

"Mrs. Morgan aku tahu, kau tidak menyukaiku. Itu tidak masalah, tapi cobalah hargai usaha tuan
Alexander."

"Memangnya kau siapa mau mengaturku? Jika aku bilang tidak ya tidak!"kecam Lorna dengan
suara yang sedikit kencang.

"Mrs. Morgan—"

"Kau tidak dengar apa yang dia katakan?"kini Milla yang bereaksi. Ia tidak suka jika seseorang
tampak mengusik Lorna. Apalagi melihat wanita tersebut cukup terganggu.

"Nona Milla, sebaiknya kau juga tidak ikut campur. Ini perintah tuan—"

"Aku tidak peduli ini perintah dari siapapun. Jadi jangan coba memaksaku!"
"Wanita ini benar-benar menguji kesabaran ku! Harusnya ku berikan racun di dalam makanan
ini,"batin Sofia sambil melempar senyuman tipis.

"Nona aku—"

Pranggg!!!

Lorna menepis makanan yang ada di tangan wanita tersebut. sungguh wanita tersebut
membuatnya merasa begitu muak. Seketika seluruh isi tray tumpah berserakan di lantai.

"Lorna ada apa?"tanya Alexander muncul di hadapan semua orang, bersama Billy yang ada di
belakangnya.

"Istri mu menolak makanan yang sudah di siapkan chef. Ia mendadak ingin buang air dan aku
hanya ingin membantu mengantarkan makanan ini pada Mrs. Morgan. Tapi Ia malah mendadak
menepis tray yang ada di tanganku, sir!"ucap Sofia mencoba mengadukan bagaimana perilaku
Lorna yang begitu angkuh. Alexander menatap Lorna begitu tajam, membuat mata hazel itu
seketika membalasnya.

"Rasakan. Alexander pasti akan memarahi mu habis-habisan,"batin Sofia tersenyum tipis sambil
melihat Alexander Lorna begitu perlahan.

"Kita makan di luar saja, kau harus makan!"Seketika kening Sofia mengerut, Alexander malah
meraih jemari Lorna sangat lembut, lalu menarik pelan tubuh wanita itu agar keluar dari
kerumunan orang yang ada di sekitar.

"Sialan. What—"Sofia kembali membatin, ia mengerutkan kening dan menatap begitu tegas pada
Lorna yang melewatinya santai dengan ekspresi seperti sedang menghinanya. Ia tidak terima
perlakuan ini.

Tap!!

Lorna sedikit bergerak lambat saat menyadari sorot mata Billy yang begitu terarah padanya.
Lekat bagaikan sulit untuk berpaling. Ia menoleh pada Milla yang untungnya begitu sibuk
memerhatikan makanan yang berhamburan di lantai.

"Milla.. Aku pergi,"teriak Lorna mencoba memecah suasana. Seketika wanita tersebut menoleh
dan menaikkan rambut hitamnya.

"Yah! Bawakan aku sesuatu jika kau pulang nanti!"tukas Milla sambil melempar senyumannya
yang begitu lebar.

"Cepat!"perintah Alexander menarik Lorna dengan kuasanya.

Milla menghela napas kembali lalu mengalihkan pandangan pada Billy. Ia melangkah mendekati
pria tersebut lalu melewatinya dan menabrak keras Billy dengan bahunya.
Chapter 40 : Attack

Billy tampak mengisap rokoknya lambat, ia mengeluh kasar tampak begitu frustasi. Entah apa
yang sedang terjadi padanya saat ini, serius ia benar-benar belum sanggup berhadapan bersama
Milla. Begitu banyak beban menumpuk di kepalanya, orang berpikir ia begitu baik-baik saja.
Faktanya semua begitu jauh dari ekspektasi.

"Ayolah! Alexander. Kau—"suara Lorna terdengar sayup, melewati undakan tangga mansion.
Bersama Alexander, Billy langsung meneliti, sosok dari suara yang sedikit kembali
mengusiknya.

Pria itu meremas sisa rokoknya, tidak peduli rasa panas mencoba menghantam kulit telapak
tangannya yang kasar. Hatinya lirih, memerhatikan Lorna cukup bahagia bersama Alexander.
Sialan— harusnya tidak terjadi lagi. Hubungan rumah tangga yang retak menjadi alasan agar ia
bisa kembali mengingat Lorna.

"Ya Tuhan. Harusnya aku ingat Luiz. Ia tidak bisa di perlakukan seperti ini,"batinnya sambil
meremas kuat rambut yang tampak ikal, begitu berantakan.

"Aku harus bicara pada Milla."

Billy beranjak, ia tidak tahan lagi. Mungkin dengan bicara dengan wanita itu, perasaan nya
terhadap Lorna akan hilang. Ini salah besar.

"Billy—"tegur seseorang membuat pria tersebut berhenti melangkah, ia memicingkan pandangan


sarkas lalu menelan saliva.

"Kau terlihat sedang dalam masalah, perlu teman?"tawar wanita itu sambil melangkah mendekat
perlahan.

"Sofia aku—"

"Aku bisa mendengarkan apapun yang ingin kau ceritakan, aku di pihak mu!"balas wanita
tersebut cepat, ia melempar senyuman yang cukup ramah. Khas seperti wanita yang mencoba
menggoda seorang pria.

"Tidak perlu. Aku ingin menemui Milla, minggir!"balas pria itu sambil melangkah dan membuat
jarak yang cukup besar.

Tap!!

Sofia menyambut lengan pria itu, menghentikan sejenak langkah yang tampak gontai. Jujur saja,
Billy sedikit mabuk dan aroma alkohol cukup tercium dari mulutnya.
"Aku yakin, istrimu sudah tidur. Ia tampak begitu letih hati ini, mengurus Luiz dan sibuk dengan
ponselnya."adu Sofia membuat pria itu mengerutkan kening.

"Ia bahkan membiarkan Luiz menangis, ponsel lebih pentingkah?"sambung Sofia tampak
memprovokasi. Billy tidak suka itu, kecurigaannya mendadak muncul. Ia ingat bagaimana
hubungannya begitu renggang, itu akibatnya. Milla sibuk dengan ponselnya, ia mencoba meraih
benda tersebut, mencari tahu apa yang sedang terjadi.

"Ini privasi ku! Jangan usik apapun soal hidupku! Aku bekerja keras untuk semua ini."begitulah
ucapan yang di lontarkan wanita itu. Sepele, tapi begitu melukai hati Billy. Ia merasa begitu
tidak di anggap sebagai suami.

"Kau butuh teman,"tukas Sofia lagi dan tanpa sadar ia sudah melingkarkan kedua tangannya di
leher pria tersebut. Menatapnya penuh godaan.

"Sofia—"

"Ayolah. Kita bisa bersenang-senang."potong Sofia membuat pria itu terdiam sejenak. Ia
menatap dalam, sosok yang begitu menggodanya saat ini.

Pada detik kemudiannya, mereka berciuman. Billy mencoba merasakannya, menyesap bagian
lain dari seseorang yang tidak seharusnya. Ia melakukan kesalahan. Menjadikan dirinya semakin
tidak begitu pantas untuk bertahan di dekat Milla.

"Sofia!!"Billy melepas ciuman mereka, ia mendorong wanita tersebut sedikit menjauh lalu
memalingkan pandangan ke arah lain. Ia ketakutan sekarang, mungkin hidupnya akan di kelilingi
perasaan yang tidak tenang.

"Billy—"Sofia menggantung kalimatnya, pria tersebut meninggalkan tempat tersebut begitu saja.
Tidak bisa! Ia harus memastikan hatinya pada Milla sekarang.

Pria itu melangkah cepat, bergerak menuju kamarnya dan membuka pintu yang tidak pernah
terkunci. Milla menunggunya setiap hari, Milla menantinya bersama Luiz. Namun sayangnya
saat ini wanita itu sudah tertidur begitu lelap. Letih menunggu harapan yang belum ia dapatkan.

_____________________

Keesokan harinya ....

"Alexander ayolah, aku ingin menemui Mrs. Willand. Aku berhenti dari tokonya tanpa
kabar,"Lorna mengeluh kasar. Ia mencoba membujuk pria itu agar bisa keluar dari mansion.
Sendirian. Lorna tidak ingin menerima risiko jika Mrs. Willand tahu bahwa ia kini resmi menjadi
istri sah Alexander— pria yang memborong habis isi tokonya. Mrs. Willand tahu betul siapa
suaminya itu, wanita paruh baya tersebut cukup mengikuti perkembangan bisnis dunia.
"Tidak bisa! Jika kau ingin pergi. Aku dan bodyguard ku harus ikut!"balas Alexander tegas tanpa
melirik ke arah Lorna.

"Alex...."

"Jangan menggodaku. Kau yang akan rugi! Aku tidak akan mengizinkanmu pergi sendiri,"balas
Alexander saat melihat wanita itu duduk di pangkuannya sambil merekatkan bibir mereka.

"Alexander, please!"

"Tidak!"

Lorna mengeluh kasar. Ia menarik rambut pria itu cukup keras lalu menahannya ke belakang.
"Lorna,"keluh Alexander menahan rasa sakit.

"Rasakan itu brengsek!"amarahnya meledak-ledak. Ia mencoba dengan cara kasar sekarang


untuk membujuk Alexander. Kepala pria itu seperti berputar-putar akibat kelakuannya yang
semakin tangguh.

"Lorna hentikan!"Alexander menangkap kedua tangan wanita itu, menahannya erat hanya
dengan satu tangan.

"Sakit brengsek!"maki nya lagi sambil menaikkan tubuh. Mencoba meloloskan diri dari pria
tersebut.

"Berhentilah mengumpat! Aku tidak suka—".

"Brengsek! Brengsek! Brengsek! Kau—"seketika mulutnya terbungkam. Alexander


mendiamkannya, dengan ciuman yang cukup kasar hingga Lorna langsung meremas kedua
tangannya dalam genggaman pria itu.

"Ayo! Kita pergi,"ucap Alexander tidak kuasa membuat Lorna terkurung di mansion terus
menerus. Mungkin udara di luar bisa membuat wanita itu sedikit tenang.

"Tapi kau tidak boleh ikut!"tukas Lorna datar.

"Kau hanya bisa pergi dengan ku,"balasnya membuat wanita tersebut langsung terdiam. Baiklah,
ia ternyata tidak bisa mengalahkan Alexander soal izin keluar mansion.

"Tapi kau jangan turun jika aku bicara dengan Mrs. Willand."pujuk Lorna lagi, ia melempar
senyum dan melingkarkan tangan di leher pria itu.

"Dia melakukannya lagi, Lorna menggemaskan,"batin Alexander terpaksa memalingkan


pandangan ke arah lain.

"Baiklah."
"Kau terbaik! I Love you, Alexander."

______________________

Alexander mengedarkan pandangan yang cukup awas. Ia memerhatikan Lorna dari jarak tiga
meter. Ia tidak bisa diam sejak tadi, perasaannya begitu khawatir walaupun Lorna masih begitu
dalam pengawasan.

Drrrrtttt!!

Ponselnya mendadak bergetar, ia meraihnya cepat dan melihat nomor yang tertera di layar benda
mewah tersebut saat ini.

"Siapa?"batinnya begitu teliti. Mencoba mengingat susunan angka tersebut.

Ia mengangkatnya, mencoba mendengarkan lebih dulu suara dari lawannya tersebut.

"Hallo Alexander, tampaknya kau sama sekali tidak pernah mengganti nomor ponselmu,"ucap
seorang pria dengan nada suara yang begitu khas.

"Maxton!"

"Kapan kita bisa bertemu? Apa kau sudah siap?"tanya Maxton terdengar sedikit berbasa-basi.

"Aku sudah sangat siap sebelum kau bertanya Maxton!"balasnya dengan suara yang begitu tegas.

"Jangan terlalu percaya diri, Alexander. Aku punya kejutan untukmu!"tukas Maxton membuat
pria itu menoleh ke arah kaca, mencari sosok Lorna yang ia loloskan dari pengawasan.

Ia membulatkan mata, baru menyadari bahwa wanita tersebut sudah menghilang dari toko
tersebut. Ia mengerutkan kening lalu segera keluar dari mobil.

"Apa yang kalian lakukan?"suara Alexander melengking keras. Bodyguardnya malah tampak
sibuk menjelaskan sesuatu hal pada seorang wanita paruh baya yang tampak melempari
pertanyaan dengan bahasa Jerman.

Sementara Lorna baru saja keluar dari ruang pribadi yang ada di samping toko, ia mendadak
merasa kantung kemih nya begitu sesak.

Tap!!

Tubuh wanita tersebut berhenti, ia membulatkan mata begitu tajam memerhatikan satu sosok
yang sangat tidak asing berdiri di depannya. Memandang penuh senyuman jahat.

"R-Rowan."
"Bagaimana kabarmu, Lorna?"tanya pria itu sambil menaikkan pandangan lebih angkuh,
sungguh tatapan itu berhasil membuat Lorna langsung memundurkan tubuhnya kebelakang. Ia
ketakutan.

Chapter 41 : Offered

Lorna membasuh ujung jari lentiknya, meneliti bentuk wajah yang terpantul pada cermin begitu
seksama. Sejenak wanita tersebut memeriksa ponselnya lalu memasang lipstik cukup terang di
bibir tebalnya.

"Harusnya aku memanfaatkan hari ini untuk jalan-jalan."tukasnya sambil membenarkan rambut
yang sedikit bergelombang.

Sepersekian detik kemudian, ia meletakkan tali tas di bahunya. Melangkah keluar dari toilet
tersebut dengan langkah cepat, ah— ia tidak ingin membuat Alexander menunggunya.

Tap!!!

Mendadak langkah kaki Lorna terasa lemah, ia terhenti seketika saat menyadari seseorang berdiri
tegap di depan matanya. Ia menelan Saliva dan mencoba mengedarkan pandangan ke tiap tempat
yang cukup sepi itu. Jarang orang melewati area toilet khusus toko itu, jika ia bukan karyawan
atau pembeli yang benar-benar terdesak.

"R-Rowan...."ucapnya terbatas lalu melangkah mundur perlahan.

"Bagaimana kabarmu, Lorna?"tanya pria tersebut sambil mengangkat kepala cukup angkuh.

"Kenapa kau mundur, baby!"Rowan memasang wajah datar, melihat Lorna, wanita yang masih
menguasai hatinya itu mencoba menjauh. Memandangnya sebagai ancaman.

"Rowan please. Aku sudah menikah dengan Alexander,"perjelas nya dengan suara yang sedikit
bergetar.

"Aku cemburu, kau lebih memilih pria itu. Bukannya dia yang membuatmu harus pergi begitu
jauh sampai ke Haggen? Nyatanya kau kembali ke sisi pria itu,"Rowan melangkah maju, ia
mencoba mendekati Lorna yang masih melangkah mundur, ia sedikit memutar tubuhnya
berharap posisi mereka bertukar. Lorna harus kabur.

"Rowan tolong, menjauh lah!"perintahnya lagi dengan suara yang sedikit parau. Namun, pria itu
malah maju. Rowan mencoba meraih tubuh Lorna cukup rakus.

Wanita itu menepisnya, mencoba melawan tindakan pria tersebut.


"Sial!" maki Rowan menerima penolakan yang cukup besar, ia tampak murka lalu menarik kerah
pakaian Lorna sangat kuat dan membenturkan tubuh itu ke tembok hingga wanita itu harus
merasakan rasa sakit yang begitu menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Dasar jalang murahan!"maki pria itu sambil mendekat kembali dan menarik kuat rambut
panjang Lorna yang terurai. Wanita tersebut melawan, ia menahan kedua tangan Rowan dan
menendang tungkai kaki pria itu.

"Arrghht!"Rowan mengerang, ia langsung melepaskan cengkeramannya begitu saja membuat


Lorna melihat celah besar saat itu. Ia menelan Saliva lalu mencoba berlari dan menjauhi Rowan.

Kakinya mendadak di tangkap, tubuh Lorna langsung jatuh ke tanah. Rowan segera bangkit, ia
kembali menarik rambut wanita tersebut dan menggiringnya untuk bangun.

"Dengar! Aku bisa menyelamatkan mu dari kejaran Maxton, asal kau mau kembali
padaku!"pinta Rowan terdengar memaksa. Ia melihat napas Lorna yang cukup tersengal.

"Rowan aku hamil, anak Alexander. Aky juga—"

"Gugur kan! Aku memberimu kesempatan agar kau bisa selamat,"tawar Rowan sambil
menyelidiki seluruh wajah wanita itu dengan sangat tegas.

"Tidak akan!"balasnya sambil meludah ke wajah pria itu lalu membenturkan keningnya di wajah
pria tersebut.

"Brengsek!"Rowan menyerang, ia menghunuskan sebuah tinju ke arah wanita tersebut. Namun


Lorna berhasil menahannya dengan seluruh tenaga yang ia punya, wanita itu bahkan berhasil
memukul wajah Rowan dua kali dengan sikutnya. Hingga akhirnya pria tersebut memilih
menendang sekaligus memukul perut Lorna dengan satu tinju.

Lorna terjatuh kembali ke tanah dengan posisi telentang, memudahkan pria tersebut menangkap
lehernya dan mengangkat tubuh Lorna ke atas hingga kakinya tidak berhasil menjejaki tanah.

"R-rowan!!"napas Lorna tersengal, ia menggerakkan kakinya yang berada sekitar sepuluh centi
dari tanah, mencoba agar pria itu mengampuninya.

"Kau adalah pelacur bodoh, harusnya kau menerima tawaran ku agar aku bisa menyelamatkan
mu, Lorna. Sekarang matilah!"ucap Rowan sambil menekan lebih kuat leher wanita tersebut
hingga Lorna kehilangan pasokan udaranya. Ia begitu tercekik.

Namun pada detik kemudian, tubuh Lorna terjatuh kembali ke tanah saat Rowan merenggangkan
cengkeramannya. Ia menoleh ke belakang, memerhatikan Alexander yang berdiri dari jarak yang
cukup dekat.

Brakk!!
Rowan mendadak ambruk, nyaris mengenai Lorna yang menghindari pria itu sangat cepat. Ia
membulatkan mata dan melihat sebuah pisau menancap di punggungnya. Alexander terpaksa
melempar pisau bermerk Gerber Mark II yang sudah ia lumuri racun. Pria tersebut memilih
menggunakan benda tersebut, dari pada harus meletuskan satu tembakan yang bisa menimbulkan
kepanikan publik.

"Alex!"Lorna menelan Saliva, memerhatikan pria tersebut mendekatinya sangat cepat.

"Kau tidak apa-apa?huh?Alexander memeriksa secara keseluruhan tubuh wanita itu. Ia tampak
syok dan mengalami luka di beberapa bagian tubuhnya.

"Aku takut!"tukasnya Lorna sambil mengeratkan pelukannya pada pria itu.

"Tenanglah,"bisik pria tersebut mencoba menenangkan Lorna yang tampak begitu bergetar.

________________________

"Harusnya kau dengarkan suami mu, kenapa kau begitu keras kepala Lorna!"ucap Milla tampak
gemas dengan wanita tersebut, Ia mengepal tangan ingin memukul kepala Lorna agar ia sadar.

"Aku hanya ingin keluar mansion, suasana di sini membosankan!"

"Lorna. Mansion ini memiliki banyak fasilitas. 18 kolam renang, lapangan tenis, bioskop yang
online selama 24jam, perpustakaan, Ah- aku sampai lupa apa saja fasilitasnya."ucap Milla
mengeratkan gigi sambil menepuk pelan kening wanita tersebut.

"Aku tahu, tapi suasana di sini begitu mengurungku!"

"Kau pilih mana? Terkurung bersama Alexander atau Rowan? Untung Alexander lebih cepat
menemukan mu, jika tidak mungkin saat ini ia akan menangis karena menjadi duda,"tuding Milla
mengeluh kasar membuat Lorna tersenyum ke arahnya.

"Kau sahabat ku, Milla. Baiklah. Aku salah,"balas Lorna sambil memeluk leher wanita tersebut
begitu erat. Sungguh perhatian dari Milla membuatnya begitu merasa semakin hidup. Bukan
hanya Alexander yang menyayanginya, tapi ada Milla.

Tok tok tok...

"Nona Lorna, Milla."sapa seseorang membuat kedua pasang mata para wanita tersebut menoleh
cepat.

"Michella. Kau sudah kembali?"Lorna tersenyum simpul dan memanggil wanita tersebut agar ia
masuk ke dalam ruangan kamar.

"Bagaimana keadaan mu,"


"Sebentar kenapa wajah mu Michella?"potong Lorna mencoba mencari tahu membuat mata hijau
yang begitu kilat itu beralih pada Milla.

"Sesuatu terjadi. Aku tidak ingin membicarakannya sekarang."balas Michella sambil menelan
Saliva yang begitu berat. Milla ikut mengeluh kasar, lalu duduk di samping Lorna, di atas
ranjang kamarnya yang besar. Menunggu Alexander yang mengurus Rowan, pria itu masih hidup
dan sekarang ia berada dalam pengamanan yang sangat ketat.

"Ah ya! Aku ingin menanyakan satu hal. Apa tuan Alexander merekrut seorang maid baru? Tapi
ia tidak mengenakan seragam, penampilannya mencolok!"terang Michella membuat Milla
langsung menyipitkan mata.

"Piranha pirang?"tanya cepat.

"Piran— piranha?"Michella mengerutkan kening mencoba mencari tahu.

"Ya! Wanita pelacur itu di rekrut Alexander atas saran Billy. Mereka mengambilnya dari tong
sampah yang ada di Washington,"jelas Milla penuh emosional membuat Lorna terkekeh.

"Apa? Bagaimana bisa?"

"Sialan! Kau juga ingin tahu Michella?"balas Milla sambil mengepal tangannya kuat-kuat.

"Harusnya kita ikuti saran Alexander. Ia sudah mengusirnya, itu lebih baik!"

"Tidak Lorna. Aku ingin memberinya pelajaran."

"Tapi— aku merasa cukup buruk karena membiarkan wanita itu lebih lama di mansion ini,"jelas
Lorna tampak berdebat dengan Milla, dan Michella hanya diam dalam kebingungannya.

"Entahlah Lorna. Aku tidak tahu keputusan ini baik atau tidak tapi—"

"Kau harus mempercayai Billy, jika piranha itu ingin menggoda maka ia tidak akan tahu tempat.
Ayolah, kita bisa usir dia dengan kekuasaan Alexander."celetuk Lorna membuat Milla sedikit
berpikir.

"Lorna tapi—"

"Aku akan memastikan semuanya, aku akan bicara pada Alexander agar ia mengawasi Billy."

"Kau pikir siapa suami ku hingga Alexander yang harus mengawasinya. Ia tidak akan melakukan
hal serendah itu Lorna—"

"Nona Lorna benar. Kau tidak bisa memelihara jarum di dalam hubunganmu sendiri jika kau
merasa terancam."tukas Michella mencoba menyela.
"Anak kecil! Kau di larang menasehati ku!"

"Milla! Ini peringatan, sungguh, jangan menambah masalahmu sendiri. Biar mereka yang
membereskan masalah ini!"Lorna menjelaskan membuat Milla tampak diam, ia mengedarkan
pandangan ke wajah Lorna dan bergantian pada Michella yang begitu mendukungnya.

"Hm. Baiklah!"Milla mengalah, Lorna dan Michella benar. Ia bahkan tidak becus mengurusi
rumah tangga nya yang sedang retak, dan sekarang ia malah membiarkan seseorang yang
berpotensi merusak semakin jauh. Jika Billy tergoda itu salahnya, jika ia mendukung Alexander
maka hal seperti ini tidak akan terjadi berlarut-larut.

"Keluarlah! Aku harus bicara pada Lorna,"suara Alexander tampak memerintah, ia muncul
mendadak tampak memasang wajah serius.

"Mengganggu saja,"keluh Milla pelan sambil memutar bola matanya malas. Ia masih belum puas
bergosip ria bersama Lorna, bahkan tampaknya anggota mereka bertambah dengan kedatangan
Michella.

Chapter 42 : Coffee or Juice

"Ganti pakaian mu!"suara Alexander terdengar memerintah, membuat Lorna langsung


mengerutkan keningnya.

"Ada apa? Aku nyaman—"

"Aku memanggil dokter khusus kandungan, aku harus memastikan anakku!"balasnya begitu
tegas, wajahnya penuh kekhawatiran.

"Alex..."

"Mulai sekarang kau di larang keluar dari Mansion, aku akan semakin memperketat keamanan!
Kamar ini akan ku pasang kunci yang hanya bisa di buka dengan sidik jariku!"potongnya sambil
menatap jelas wajah Lorna yang berdiri sekitar satu meter di depannya.

"Hm kau—"

"Satu lagi, jangan pernah katakan kalau aku berlebihan! Aku ingin melindungi mu Lorna,
melindungi anakku!"lagi, Alexander memotong ucapan Lorna. Ia tidak ingin mendengar kalimat
biasa yang selalu di tuding oleh wanita tersebut padanya.

"Baiklah,"balasnya dengan sepatah kata sambil mendekati dan memeluk Alexander cukup erat.
Ia tidak protes sedikitpun.
Alexander lega, ia membalas pelukan Lorna dan mengecup puncak kepala wanita itu. Sungguh ia
masih membayangi apa yang di lakukan Rowan terhadap Lorna. Sangat tidak
berperikemanusiaan.

"Kenapa tangan mu?"tanya Lorna sambil meraih jemari pria itu. Ada beberapa luka kecil dan
darah yang bahkan masih belum mengering.

"Ingat! Aku akan mengorek isi perut Rowan jika sesuatu terjadi pada anakku!"kecamnya
membuat Lorna ngeri, namun entah kenapa tidak ada sedikitpun keinginannya untuk protes. Ia
bahkan berpikir, Rowan pantas mendapatkannya.

"Cepat ganti pakaian mu, tutupi dada mu! Aku tidak suka orang lain mengaksesnya,
Lorna,"Alexander menarik kedua kerah wanita itu menyatukan kainnya agar belahan yang begitu
menyita perhatian tersebut tertutup.

"Menyusahkan. Biasanya kau tidak pernah mempermasalahkan ini,"celetuknya malas sambil


melepas pelukan dari Alexander untuk pergi mengganti pakaiannya.

_____________________

"Sir, kau mau minum? Aku bisa membuatkan mu coffee atau juice,"tawar Sofia saat melihat
Alexander melangkah ke arah pintu mansion.

"Tidak!"balasnya datar sambil melewati wanita tersebut.

Tap!!

Alexander mendadak menghentikan langkahnya, ia memutar tubuh kembali dan menatap tegas
wajah Sofia. "Ah dia sepertinya ingin minta maaf padaku, karena sikap kasarnya barusan,"batin
Sofia sambil melempar senyuman yang begitu khas.

"Lorna hanya memberi mu waktu beberapa minggu di sini, tapi, aku lebih ingin kau bisa keluar
lebih cepat!"

Degg!!

Jantung Sofia mendadak berdetak cepat, rasanya mau meledak saat itu juga. Alexander terlalu
dingin untuk bisa ia raih. "Sir, aku bahkan tidak tahu—"

"Sudah ku katakan, apapun urusan mu bukan kepentingan ku. Jadi aku peringati dari sekarang
bahwa kau sedang berada di mansion milikku, jadi, semua aturan yang ada di sini harus sesuai
keinginanku!"potong Alexander seakan tahu apa yang akan di ungkapkan Sofia. Ia malas
berbasa-basi pada siapapun.

"Sir—"Sofia terdiam saat Alexander memutar tubuhnya kembali, melangkah cepat dan menjauhi
nya tanpa pamit. Ia mengepal tangan, merasa begitu di abaikan.
"Apa aku harus menjebaknya?"batin Sofia mencoba memikirkan hal yang biasa ia geluti. Jujur
saja, Billy tidak membuatnya begitu tertarik. Ia hanya ingin mengusik rumah tangga Milla untuk
membalas semua perkataan kasar wanita tersebut.

Tiba-tiba di tengah lamunan Sofia, seseorang melewatinya pelan lalu berdiri di depannya dengan
pandangan sedikit menyelidik. "Siapa kau?"tanyanya sarkas membuat sosok itu tersenyum tipis.

"Santai lah .. Kau tidak perlu mengenaliku,"balas wanita itu sambil melempar senyuman
mengejek.

"Lantas kenapa kau di sini? Apa kau juga salah satu maid di sini?"

"Maid? Ya- aku seorang maid. Khusus untuk menangani para ular yang ingin menyakiti
tuannya,"sindirnya dengan nada sedikit mengancam.

"Apa maksudmu?"

"Kau pikir aku tidak lihat bagaimana kau menggoda para pria yang ada di sini? Ternyata benar,
kau hanya pelacur murahan. Piranha yang rakus,"celetuk sosok itu sambil menatap tajam.

"Kau—"

"Michella apa yang kau lakukan di sini?"suara Sofia mendadak terpotong saat Billy tampak
menegur sosok wanita yang bicara begitu pedas dengannya.

"Memeringati seseorang!"celetuk wanita tersebut sambil melingkarkan kedua tangan di dada. Ia


memicingkan mata ke arah Billy lalu berpindah pada Sofia Smith, tampak menyimpan sesuatu.

"Aku tidak menyangka, kau mau berciuman dengan wanita serendah ini, jauh dari standartnya.
Milla lebih—"

"Michella hentikan!"bentak Billy terdengar kasar. Ia bahkan mendorong bahu Michella ke


belakang.

"Aku melihatnya tanpa sengaja, jika kau tidak bisa merubah sikapmu. Biar aku yang mengatakan
semuanya pada Milla!"kecam Michella sambil memutar tubuhnya, ia ingin menjauh.

"Michella tunggu! Aku dalam keadaan mabuk!"

"Kalau begitu jangan minum! Ingat, kau memiliki Luiz. Jika perilaku mu seperti ini maka aku
terpaksa membuat Milla tahu semuanya. Cepat atau lambat semuanya pasti—"

"Kau tidak berhak mencampuri hidupku,"

"Hidupmu kau bilang? Ini soal keluargamu. Kau yakin Milla akan diam jika tahu kelakuan
mu?"tanya Michella sambil melirik ke arah Sofia.
"Berbeda dengan seorang pelacur, mereka tidak memilih siapa korbannya. Mereka kadang
mendekati seseorang bukan hanya karena uang, ingat itu!"balas Michella dengan sarkas lalu
mendorong tubuh pria itu dan melewatinya dengan malas.

________________

Satu jam kemudian, Alexander tampak kedatangan tamu. Sorot mata pria itu mendadak kilat
menangkap seorang dokter pria menaiki undakan tangganya.

"Baiklah, ia hanya memeriksa Lorna. Tidak lebih."batin Alexander melihat senyuman ramah dari
sosok pria yang memiliki umur sekitar 39 tahun itu.

"Mr. Morgan, Ralph Bedenof. Maaf jika aku terlambat."ucap dokter pria tersebut sambil
memperkenalkan diri begitu santainya dengan kemeja berwarna grey. Tanpa seragam
kebangsaannya.

"Ya! Tidak masalah,"balas Alexander elegan sambil menatap mata biru terang yang mulai
mengedarkan pandangan ke arah mansion nya.

"Harusnya kau pergi ke rumah sakit, jadi aku tidak—"

"Berapapun akan aku keluarkan untuk membayar kalian, asal istriku tidak keluar dari mansion
ini. seseorang menyerangnya!"potong Alexander agar dokter tersebut mengerti kenapa ia harus
susah payah memanggil dokter spesialis kandungan. Bahkan, ia tidak segan menyewa alat
Ultrasonografi.

"Maaf aku tidak tahu, Menurutku Danhag kota yang paling aman di Haggen!"celetuk dokter itu
sambil tersenyum dan mengikuti Alexander yang melangkah masuk ke dalam mansion luasnya
tersebut. Sesekali ia menoleh ke belakang, memerhatikan delapan orang perawat yang
membantunya membawa peralatan medis.

__________________

"Lorna!"tegur Alexander saat wanita tersebut memandang wajah dokter spesialis kandungan
tersebut cukup lekat.
Bagaimana tidak? Pria itu terlihat matang, ia begitu tampan dari segala sisi. Mungkin Ralph lebih
cocok menjadi aktor dari pada Dokter. Ia bisa membuat banyak pasien salah fokus.

Ralph tersenyum tipis, ia banyak menerima tatapan cemburu dari banyak suami para wanita.
Tapi ini tugasnya, risikonya. "Maaf aku harus memeriksa istrimu,"ucap dokter tersebut saat
melihat semua alat sudah terpasang. Ia duduk di sudut ranjang, melempar senyuman ramah lalu
melirik ke arah Alexander sejenak.
"Bolehkah sir?"tanyanya sedikit mempermainkan pria tersebut. Alexander diam beberapa detik,
lalu mengangguk dengan wajah penuh keterpaksaan. Baiklah, ia harus tahu bagaimana keadaan
anaknya. Harus tahan.

"Aku akan membantumu,"ucap Lorna menarik sedikit pakaiannya ke atas memperlihatkan


perutnya yang masih begitu rata. Ia kadang tidak sabar untuk melihat bagaimana jika nanti
perutnya membengkak.

"Sialan, dia sepertinya ingin mengujiku,"Alexander membatin, ia melihat tingkah Lorna yang
tersenyum tipis ke arah Ralph, seakan rela dokter tampan itu melihat bagian tubuhnya.

"Sorry!"Ralph menempelkan alat pada perut Lorna setelah seorang perawat menaruh ultrasonic
gel cukup banyak. Ia mendeteksi, melihat keadaan rahim wanita tersebut dari layar alat yang ada
di depan matanya.

"Anak ke berapa?"tanya Ralph datar sambil melebarkan bibirnya tipis.

"Aku pernah keguguran, apa ini bisa di anggap anak kedua ku?tanya Lorna melekatkan
pandangan pada Alexander.

"Terserah bagaimana kau menganggapnya, usia kandungan mu 5minggu 3 hari. Semuanya


terlihat normal tapi aku akan memberikan mu obat penguat kandungan dan vitamin,"ucap Ralph
sambil mengeluh pelan.

"Dokter khusus ku pernah memberinya hCG, apa itu akan berpengaruh?"celetuk Alexander
membuat Lorna mengerutkan kening. Ia tidak paham.

"Tidak masalah, hCG hanya hormon percobaan yang bisa membantu kehamilan seseorang agar
lebih cepat,"terang Ralph kembali melirik ke arah Lorna yang mendadak menyimpan ribuan
pertanyaan di kepalanya.

"Untuk kedepannya, periksakan kandungan mu tiap bulan untuk menanggulangi beberapa


komplikasi yang mungkin terjadi. Kehamilan mu tampaknya tidak mudah dan aku sarankan
kurangi berhubungan intim sampai usia kandungan lebih dari enam bulan, gunakan pengaman
selama itu,"tukas pria itu lagi sambil mengedarkan pandangan.

"Pembicaraan seperti apa ini,"celetuk Alexander tidak nyaman jika ia di batasi.

"Aku hanya memberi saran sebagai dokter, sisanya kalian yang mau dengar atau tidak!"Ralph
tersenyum lalu mengeluh kasar. Ia memerhatikan Lorna membersihkan perutnya dari gel yang
terasa dingin dan kembali menutup tubuhnya rapat.

"Baiklah. Terimakasih atas saran mu. Aku akan menurutinya."Lorna menaikkan tubuhnya dan
bersandar di bantal tinggi yang ada di ranjang tersebut. Sementara Alexander tampak tidak
fokus, ia memendam kecemburuan yang berlebihan.
"Aku akan menunggu pembayaran mu, sir,"ucap Ralph sambil melangkah berdiri dan
menghadap tegas ke arah Alexander.

"Kirimkan nomor rekening mu,"balas Alexander tanpa ekspresi. Ia lega— karena nyatanya
kandungan wanita itu aman. Saat itu juga pegawai rumah sakit yang di bawa Ralph langsung
bergerak, melepaskan alat-alat itu kembali. Alexander membayar sekitar 2500$ untuk menyewa
benda tersebut hanya dalam beberapa menit. Belum termasuk dokter dan tips pegawai.

________________________

"Alexander, katakan apa itu hCG?"tanya Lorna saat Ralph keluar dari kamarnya. Ia langsung
mengirim pertanyaan pada ria tersebut.

"Sudah di jawab oleh dokter itu,"balasnya singkat.

"Aku tidak paham!"

"Singkatnya. Malam di saat kau pingsan di kamar hotel ku, Milla memberiku suntikan hCG
padaku. Ia bilang hormon itu bisa membuat mu mudah hamil,"jelas Alexander membuat mata
wanita itu membulat.

"Apa? Bagaimana bisa?"

"Karena itulah aku harus meniduri mu berkali-kali. Mencoba keberuntungan agar benda itu
bereaksi di tubuhmu."

"Brengsek! Kau benar-benar sudah menjebak ku dengan banyak hal Alexander,"tuding Lorna
bahkan tidak sempat berpikir akan jadi seperti ini semuanya.

"Aku tidak menjebak mu, tapi Milla. Berterimakasih lah padanya."Alexander mendekati Lorna,
menatap sorot mata hazel wanita itu rendah.

"Aku hanya berpikir untuk membawamu kembali, Lorna."sambungnya membuat wanita diam
tanpa sepatah katapun.

"Alexander, dokter tadi tampan!"celetuk Lorna mendadak membuat pria itu mengerutkan kening.

"Serius, aku ingin periksa kandungan dengannya tiap bulan,"sambungnya lagi membuat pria itu
mengepal tangannya kuat.

"Sialan. Aku cemburu Lorna!"balasnya begitu jujur membuat wanita itu ingin tersenyum.

"Kau berlebihan, aku tidak pernah melihat pria setampan itu. Ia begitu Mirip dengan Ian
somerhalder, idolaku!"
"Diam atau aku akan meniduri mu di depannya!"bentak Alexander cukup sarkas membuat Lorna
terkekeh puas menggodanya.

Chapter 43 : Breaking News

"Kau mau ke mana?"tahan Alexander saat Lorna tampak beranjak dari pelukannya.

"Aku haus."

"Kita bisa minta seseorang untuk mengantarnya,"balas pria itu datar.

"Tidak! Aku juga butuh ke kamar mandi. Kau tahu alasannya,"tukas Lorna tidak sabar sambil
melempar senyuman tipis. Memegang wajah Alexander yang bersih dari bulu halus.

"Hmm. Baiklah,"tukas pria itu dengan nada terpaksa. Ia mengeluh kasar lalu melihat Lorna
mulai beranjak dari tempat tidur dan melangkah menjauh.

Drrrttt!!

Dalam waktu bertepatan, Alexander mendengar ponselnya berbunyi. Ia meraih benda itu dan
meneliti tiap barisan kata dan huruf yang tersusun rapi pada layar ponsel.

Alexander menoleh ke arah toilet lalu beranjak bangkit dari tempatnya, menuju ke balkon untuk
menerima panggilan penting tersebut. "Bicaralah!"ucapnya datar lalu mendengarkan suara
seseorang yang bicara cukup serius.

Satu menit kemudian, Alexander mengeluh kasar lalu menutup panggilannya dan kembali
meneliti halaman rumahnya yang terbentang sangat luas, dari balkon itu ia bisa memerhatikan
banyak hal.

"Alexander,"panggil Lorna pelan sambil menenggak segelas air putih yang ada di tangannya dan
berhenti di depan televisi yang sejak tadi mereka nyalakan.

"Alex-"ucapan Lorna terputus, ia melihat sebuah breaking news yang mendadak menyoroti
seseorang di masa lalunya. Pria yang tewas di tangan Alexander dengan cara mengenaskan-
Erick Stanley Hugo.

"Di temukan, bukti jaringan mata-mata di dalam keluarga Hall selama 16 tahun. Bukti
menunjukkan kelompok rahasia ini akan meledakkan plutonium di China untuk menguasai
ekonomi dunia. Salah satu anggota yang tergabung dalam operasi rahasia ini adalah Eric
Stanley Hugo. Ia memiliki 20 orang daftar nama yang harus di bunuh dalam waktu 7 hari, di
antaranya adalah anak ilmuan terkenal- Ferdinand Dulce, dua anggota senat Amerika serikat,
perdana menteri Jhons bersaudara dan-"
Prankkkk!!!

Gelas yang ada di tangan Lorna jatuh, tangannya bergetar hebat. Eric, ingin membunuhnya. Ia
bahkan tidak menyangka bahwa pria itu bergabung di operasi rahasia, Eric penulis Best seller
politik sepanjang tahun. Apapun yang ciptakan pasti berhasil, laku terjual hingga puluhan jutaan
copy perbulannya. Ia bahkan bisa menjual ratusan ribu buku dalam semenit.

"Lorna,"panggil Alexander dengan nada datar membuat wanita itu menoleh begitu cepat.

"Alexander...."

"Itu benar, delapan tahun yang lalu. Daddy mu dan ayahku bekerja sama untuk mencoba
mengekstrak Protaktinium dengan proyek Brooklyn engineering district, daddy mu mencuri sisa
benda itu dari laboratorium negara dan menjadikan ayahku kambing hitamnya, karena itu,
ayahku harus masuk ke penjara."

"Lalu apa hubungannya dengan Eric?"tukas wanita itu mencari tahu lebih banyak.

"Eric mencuri informasi, menulisnya dalam buku sebagai pesan rahasia dan mengincar sebuah
flashdisk berisikan tata cara untuk mengekstrak protaktinium milikku. Aku pernah ketahuan
olehnya, saat sedang nengawasi mu,"jelas Alexander datar membuat wanita itu terdiam sejenak.

"Kenapa aku harus masuk dalam daftar orang yang harus di bunuh Alexander?"

"Ia ingin aku berada di pihaknya, dengan membunuhmu ia bisa membuatku lemah. Itu cara
klasik!"tukas Alexander kembali dengan suara lirih, ia mendekati Lorna mencoba meraih pipi
yang tampak membulat.

"Karena itu, aku terpaksa membunuhnya Lorna. Sebelum ia pamit ke Arkansas, Eric sudah
merencanakan sesuatu. Ia meletakkan sebuah racun gas modifikasi di dalam saku celana mu saat
kau memeluknya, Karena itu juga aku harus mencium mu, mengalihkan perhatian mu untuk
mengambil benda itu, Lorna!"

Deg!!

Jantung Lorna berdegup kencang, ia salah paham. Selama ini usahanya kabur bertahun-tahun
untuk menghindari Alexander adalah salah. Pria itu melindunginya mati-matian.

"Sama halnya dengan Mrs. Holland, ia di bayar Maxton untuk menghabisi mu, mereka
mengkhianati ku, Lorna."tukas Alexander dengan napasnya yang sedikit sesak. Ia tidak pernah
berpikir bisa menghabisi nyawa seorang wanita paruh baya selama ini, apalagi itu dengan
Kloroform yang di nilai mudah terdeteksi. Ia sengaja, membiarkan racun Kloroform agar
kematian tersebut di anggap bunuh diri.
Lorna terdiam sejenak, wanita itu menatapnya lirih lalu berjalan mendekati Alexander dan
memeluknya erat. "Aku benar-benar minta maaf karena sudah meninggalkan mu, Alex,"ucapnya
berat.

"Aku meninggalkan semuanya tanpa mendengarkan apapun dari mu,"sambung Lorna dengan
suara yang sedikit bergetar. Merasakan Alexander memeluknya, mengecupnya pelan.

"I miss you,"Alexander berbisik pelan. Ia tidak ingin membahas apapun sekarang. Semuanya
tidak penting, karena sekarang Lorna ada di dekatnya, di pelukannya.

"Kau bosan?"tanya Alexander sambil mengusap puncak kepala wanita tersebut. Melirik ke arah
televisi yang kini menayangkan berita seputar selebriti.

"Sejujurnya ia, tapi—"

"Ayo kita jalan-jalan,"potong Alexander dengan nada ajakan membuat wanita tersebut
membulatkan mata.

"Jalan-jalan?"tanya Lorna memastikan.

"Ya! Keliling mansion!"balasnya sambil terkekeh pelan.

"Brengsek!"Lorna langsung memukul dada pria itu, cukup keras lalu melihat Alexander tertawa
lebar. Berbeda dari biasanya.

____________________

Billy menyulut sebatang rokoknya, ia mengedarkan pandangan ke tiap tempat lalu menarik
napasnya dalam.

"Kau melamun lagi?"tanya Sofia mendadak hadir di dekat nya membuat pria itu langsung
melirik dan mengedarkan pandangan ke tiap tempat.

"Istri mu sudah tidur,"jelas Sofia mencoba menenangkan pria tersebut.

"Jangan mendekati ku!"celetuknya sambil menunjuk tegas ke arah wanita tersebut, lalu
membuang sisa rokok nya.

"Santai lah.. Kau terlalu tegang,"Sofia memeluk pria itu erat, seakan ingin meninggalkan aroma
parfum yang ia pakai pada Billy.

"Lepas!"bentak pria itu dengan kasar.

"Tidak mau, aku menyukaimu,"Sofia tersenyum. Ia memandangi rahang tegas Billy dan
mengusapnya pelan.
"Kau sudah lama kan tidak mendapatkan kebutuhanmu? Bagaimana jika aku yang
membantumu?"tanya Sofia mengeluarkan jurus andalannya sambil melihat pria yang minim
kosakata itu.

"Bukan urusanmu!"

"Wah! Kau begitu berbeda. Padahal kita sempat berciuman. Diam-diam!"

"Dengar! Saat itu aku hanya mabuk, ciuman itu tidak berarti apapun. Minggir!"Billy menyentak
wanita tersebut lalu melangkah menjauh.

Tap!!

Billy mendadak menghentikan langkahnya, ia membulatkan mata begitu tegas. Memerhatikan


seseorang yang menatapnya sangat tajam. Mata wanita itu panas, mendadak merah dan berkaca-
kaca.

"Milla—"tegurannya pelan menatap dalam.

"Jadi diam-diam kau mengkhianati ku, Billy?"tanya Milla dengan bibir yang bergetar. Ia
menyatukan kedua tangan, membiarkan air mata perlahan jatuh pelan.

"Milla... Aku benar-benar khilaf,"akui pria itu sontak. Baginya tidak ada lagi kebohongan yang
bisa ia tutupi sekarang.

Milla langsung menaikkan pandangan, mengedarkan sejenak pada Sofia yang menahan
senyuman tipis. Ia mengeluh kasar dan segera melangkah ke arah Billy dengan langkah cepat.

Plakkkk!!!!

Satu tamparan keras mengenai wajah pria tersebut hingga Billy harus memalingkan
pandangan."Aku tidak pernah menyangka, kau melakukan hal serendah ini. Billy!"bentak nya
kasar.

"Milla.. Aku!!"

"Diam!!! Aku tidak mau dengar alasan apapun."balasnya dengan suara bergetar, menahan tangis
yang nyaris meledak.

"Aku bahkan mengatakan pada Luiz yang belum tahu apapun. Kalau dia punya ayah yang hebat,
sekarang apa?— apa yang bisa aku katakan padanya nanti?"Milla merapatkan bibirnya, suaranya
nyaring bukan main.

"Milla—"
"Lepas!! Harusnya.. Aku sudah tahu... Kalau semuanya tidak akan pernah berhasil. Kau belum
seutuhnya mencintaiku."Milla memandang nya tegas hingga beberapa detik, ia biarkan
semuanya mengalir lalu menoleh kembali pada Sofia.

"Kau! Kau harusnya sadar diri, bahwa ini bukan kawasan mu, kau—"Milla mendadak mendekati
Sofia dengan tangan terkepal.

"Ahhh!?"wanita itu menjerit kesakitan saat Milla menarik rambutnya sangat kuat. Menggerakkan
tubuh wanita itu sesukanya sambil berteriak kencang.

"Milla hentikan,"Billy panik, ia melihat betapa sulitnya Sofia untuk melepaskan tangan Milla. Ia
takut jika istrinya melukai orang lain.

"Minggir!"Milla mendorongnya menjauh, lalu menyatukan kedua tangannya di rambut pirang


wanita tersebut dan menariknya ke sisi nakas yang tidak terlalu jauh.

"Biar ku ajari kau, bagaimana caranya menghargai diri. Pelacur!"teriaknya sambil menarik
semakin kencang rambut wanita tersebut. Sofia menangis kesakitan, mencoba melepaskan
cengkeraman yang bahkan semakin sakit.

"Milla apa yang kau lakukan!"tukas Lorna yang mendadak datang bersama Alexander.
Keduanya menatap lugas.

"Aku akan mengajari nya menjadi wanita semestinya, tanya suami mu! Apa dia juga berciuman
dengan pelacur ini? Suami ku melakukannya!"tukas Milla membuat suasana semakin panas,
mata Lorna kilat menatap ke arah Alexander yang bahkan tidak tahu apapun. Pria itu merasa di
tuding.

"Aku tidak melakukan apapun,"ucapnya sambil menelan saliva.

"Milla!!"lagi, Billy kembali membentaknya dengan suara yang kuat. Ia tidak peduli lagi bahwa
saat ini banyak pasang mata menyaksikannya. Harga dirinya hancur, saat Milla bahkan tidak bisa
menjaga privasi hubungan rumah tangganya.

"Membentak Ku?"tanya Milla lagi, mendekatkan gunting ke rambut Sofia yang masih menjerit
kesakitan sekaligus takut.

"Kau tidak tahu apa yang aku rasakan!"balas Billy sarkas.

"Jadi aku harus tahu perasaanmu agar aku bisa menerima perlakuan mu padaku? Kau
selingkuh!"tuding Milla dengan mata yang semakin panas.

"Milla aku tidak—"

Billy menghentikan lagi ucapannya saat wanita tersebut mendorong Sofia ke arah nya hingga
terjatuh ke lantai tepat di hadapan Billy.
"Aku ingin kita cerai!"ucap Milla membuat semua mata membulat.

"Milla jangan main-main,"sontak! Lorna mengambil kesempatan. Ia mencoba memperingati


wanita tersebut.

"Biarkan Lorna, aku ingin lihat sampai di mana pelacur itu memahaminya,"balas Milla lebih
tegas tanpa melepas pandangannya dari Billy yang menatapnya tidak percaya.

"Milla!!!"Suara Billy melengking keras saat melihat wanita itu memutar tubuhnya dan
melangkah meninggalkan ruangan tersebut.

"Aku akan bicara dengannya!"ucap Lorna mencoba menahan Billy yang ingin mengejar istrinya
tersebut. Percayalah, ini akan semakin panas jika Lorna membiarkannya.

"Sir,"Sofia bereaksi, ia melihat Alexander berdiri tegas di depannya saat Lorna sudah beranjak
menuju ke arah Milla yang begitu membutuhkan dukungan.

"Keluar dari mansion ku,"ucapnya tegas.

"Sir, aku mohon—"ucapan Sofia terputus, ia melihat Alexander memberi isyarat pada salah satu
bodyguard nya yang langsung mendekat.

"Keluar atau ku pecahkan kepalamu dengan ini,"ucap Alexander sambil meraih sebuah handgun
yang ada di pinggang bodyguard tersebut. Sungguh hal itu membuat Sofia ngeri.

"Keluarlah selagi kau bisa mencari pekerjaan, aku tidak main-main. Setidaknya salah satu
anggota tubuh mu akan ku buat cacat,"ancam Alexander lagi sambil mengarahkan handgun.

Sofia menelan Saliva, ia melirik ke arah Billy yang bahkan tidak bisa bicara apapun, ia hanya
menatap kosong ke arah Lorong di mata Milla menghilang terakhir kali.

"Sialan!"maki nya dalam hati saat mendengar Alexander menggerakkan handgun dengan
tangannya. Mencoba membuat wanita tersebut takut.

Sofia mengeluh kasar, ia bangkit dari tempatnya dan masih mengarahkan pandangan ke beberapa
sudut mansion.

"Lempar dia keluar!"perintah Alexander sambil menyerahkan handgun itu kembali pada
bodyguard.

"Tidak perlu, aku bisa sendiri!"

"Harusnya lebih cepat."balas Alexander sambil memutar pandangannya. Ia bahkan malas


menatap ke arah Billy yang mematung.
"Ah... Harusnya kau belajar banyak dari ku yang sempat kehilangan Lorna,"sindir Alexander
dengan nada suara yang cukup jelas. Billy menunduk, ia tidak bisa menjawab apapun sekarang.
Di otaknya hanya ucapan terakhir Milla, "cerai."

Chapter 44 : BabySitter

"Lorna, kau tidak perlu menjelaskan apapun padaku."celetuk Milla saat melihat wanita itu berdiri
di depan pintu kamarnya.

"Milla aku tidak ingin menjelaskan apapun. Aku hanya ingin menemanimu,"balasnya pelan
membuat wanita tersebut langsung menatapnya lirih lalu menundukkan pandangan sejenak. Ia
bergetar, mengingat apa yang sudah di dengar nya barusan. Hubungan antaranya dan Billy
semakin hancur.

"Aku akan merawat Luiz sementara waktu, kau bisa istirahat,"ucap Lorna sambil meraih
keranjang pakaian bayi itu dan mengambil beberapa helai perlengkapan yang di butuhkan.

"Lorna..."

"Tenangkan pikiranmu, jangan gegabah. Bicarakan semuanya baik-baik."

"Kau pandai sekali menasehati orang lain, aku yakin kau mungkin akan langsung kabur dari sini
jika Alexander yang melakukan itu,"sindir Milla kasar.

"Itu tugas dan peran manusia, mereka lebih peka untuk mengkritik dan menasehati dari pada
menjalani. Sama dengan ku,"balas Lorna tidak kalah sarkas. Ia mengeluh kasar sambil mengisi
peralatan Luiz ke dalam tas kecil.

"Lorna aku—"Milla melangkah cepat. Menangkap tubuh sahabatnya tersebut dan memeluknya
sangat erat. Ia bahkan menyandarkan matanya di bahu Lorna, hingga tetesan air mata terasa
hangat dan basah. Ia sedang jatuh sekarang.

"Aku tidak tahu harus apa sekarang,"keluh Milla dengan suara terisak. Ia tidak pernah begitu
merasa hancur seperti saat ini. Milla begitu terluka.

"Aku mendukungmu Milla, berpikir jernih lah, keputusan di tanganmu,"terang Lorna dengan
suara lambat. Ia mengusap pelan punggung wanita tersebut merasakan bagaimana kosongnya
hati Milla saat ini.

Hingga di detik selanjutnya, Luiz terdengar berteriak. Ia menangis seakan paham bagaimana
kondisi yang Tenga di rasakan kedua orang tuanya.
"Aku akan menjaganya dengan baik,"Lorna melepas pelukan, ia menatap Milla sejenak dan
berharap wanita itu paham maksud nya. Milla melirik ke arah Luiz, sungguh wanita itu tidak
sanggup berdiri di samping putranya itu. Rasanya begitu sulit untuk berbagi kesedihan di
hadapan Luiz.

Lorna melangkah mendekati Luiz, meraih dan meletakkan bayi kecil itu di pelukannya. Ia
tenang, tampak begitu paham. Syukurlah, Lorna begitu memperhatikannya.

"Istirahatlah, aku tidak akan mengganggumu,"ucap Lorna sambil meraih tas berisi perlengkapan
penting Luiz, Milla mengangguk pelan lalu mengusap sudut matanya yang masih tergenang
dengan air mata. Ia harus rela, berpisah sementara dari malaikat kecil tersebut, Luiz tidak boleh
menjadi korban dalam hal ini. Lagipula Milla tidak berhasil mengeluarkan Asi, ia terlalu stress
dan akhirnya Luiz terpaksa di berikan susu formula.

_________________

"Alexander bantu aku!"ucap Lorna saat memasuki ruang kamarnya yang tidak tertutup rapat.
Lagipula sekarang Lorna tidak akan mudah keluar masuk ruangan itu, pintunya di kunci khusus
dengan sidik jari dan pin. Sementara tiap jendela di pasang trellis.

"Kenapa kau membawa—"

"Tolong pegang Luiz dulu, aku harus ke kamar mandi. Cepat!"pinta Lorna sambil meletakkan
bayi kecil itu pada Alexander. Ia terjaga dan menggerakkan pandangan kabur ke tiap arah.
Matanya begitu biru, indah.

"Lorna tapi—"

"Pegang saja! Aku sudah tidak tahan,"Lorna memutar tubuhnya. Meninggalkan Alexander yang
begitu kaku, ia tidak pernah menggendong bayi. Seumur hidupnya.

Ruangan sepi dan Luiz mendadak menangis kencang.

"Lu uuuu iiii zzz zzz,"ucap Alexander melambat mencoba menghibur bayi tersebut. Ia menepuk
pelan sudut paha Luiz begitu kaku sambil mengelilingi ruangan kamar tersebut.

Pria itu menelan Saliva, mendengar Luiz malah semakin menjerit. Alexander mengedarkan
pandangan sejenak lalu menatap wajah bayi itu serius, ia mencoba menghibur dengan cara yang
mungkin bisa ia lakukan. Namun, hasilnya tetap nihil hingga akhirnya ia menggoyangkan tubuh
ke dua arah kiri dan kanan tanpa melepas pandangannya yang kaku, masih berusaha
menenangkan Luiz.

"Tenang lah kau aman,"ucapnya lirih. Ia mengusap sudut kepala Luiz dan diam-diam tersenyum
kecil. Ia tidak terganggu sedikitpun dengan suara tangisan Luiz yang perlahan mulai tenang.
Tiba-tiba Luiz tampak menggenggam tangannya, ia bergerak sedikit sambil mengedarkan
pandangan entah kemana.
Alexander mengerutkan kening, merasa telapak tangan yang ada di pinggul bayi itu mendadak
panas.

"Luiz kau kencing?"tanya nya dengan suara yang berat sambil menyatukan kedua alisnya. Bayi
itu hanya bergerak sedikit lalu kembali menangis sekencangnya.

___________________

"Sudah tidur?"tanya Alexander melangkah mendekat, mencoba mencari tahu. Ia baru saja selesai
mandi dan memesan ranjang bayi khusus untuk Luiz dan beberapa perlengkapan. Mereka
sepakat untuk tidak mengganggu Milla sementara waktu.

"Ya. Lihatlah. Dia begitu tenang,"ucap Lorna sambil melempar senyuman tipis bayi bayi berusia
lebih kurang satu bulan itu.

"Hm— jangan terlalu letih. Kau juga butuh istirahat,"ingat Alexander sambil mengusap sudut
lengan Lorna dan mengecup sudut kening wanita tersebut.

"Ini tidak repot, aku senang melakukan ini, Alexander, Kau juga harusnya belajar. Setidaknya
kau bisa mengganti popok anakmu sendiri."

"Kenapa harus aku?"tanyanya datar.

"Lantas? Kau ingin dia mengganti popok sendiri?"

"Ada babysitter." Alexander menjawab cepat, tampak tidak ingin kalah.

"Aku tidak mau, walaupun belum berpengalaman. Biarkan aku dan kau mengurusnya
sendiri!"celetuk Lorna.

"Aku tidak bisa melakukan itu, kita bisa—"Alexander mendadak diam saat suara tangisan Luiz
kembali menggema.

"Karena mu ia terbangun,"kecam Lorna.

"Apa yang aku lakukan?"tanya nya dengan kening mengerut.

"Karena suaramu ia terbangun. Sekarang urus sendiri, aku mau tidur!"balas Lorna membuat
Alexander langsung membulatkan matanya.

"Bagaimana jika ia mengencingi ku lagi?"


"Kau tinggal mengganti popoknya Alexander, itu tidak sulit."balas Lorna membuat pria itu
mengepal tangannya cukup kuat. Wanita itu benar-benar melatih kesabarannya.

____________________

"Kenapa kau kemari?"sontak, Milla langsung menuding dengan kalimat pedas saat Billy masuk
ke kamarnya.

"Kita perlu bicara!"

"Sudah tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan! Urus perceraian kita secepatnya dan jangan usik
aku ataupun Luiz lagi,"tukasnya dengan sarkas. Ia bahkan memalingkan pandangan ke arah lain.

"Milla, apa kau tidak bisa sekali saja mendengarkan ku? Apa artinya pernikahan jika aku hanya
bisa menuruti mu? Hah??"balas pria itu dengan nada yang masih tinggi. Ia mengeluh membuat
wanita tersebut akhirnya menoleh.

"Menuruti ku?"

"Ya! Kau membuat ku tidak berarti Milla. Kau bahkan tidak mau menerima uang dari ku! Apa
menurutmu itu kurang? Hah?"celetuk Billy sambil merasakan napasnya begitu cepat. Ia menatap
Milla dengan pandangan berkaca-kaca.

"Billy apa—"

"Pernikahan, tempat tinggal, cincin, mobil, tabungan dan semuanya yang kita punya milik
Alexander. Semua aset Alexander yang kau minta darinya, apa kau menganggap ku tidak bisa
memberimu sesuatu yang lebih baik?"

Milla diam, ia merasakan jantungnya yang berdetak hebat merasakan aliran air mata jatuh
kembali. "Kau cemburu pada Alexander?"tanya Milla parau.

Billy memalingkan pandangan, ia mengeratkan gigi mendengar pertanyaan Milla barusan lalu
sedikit terisak. "Ya! Aku cemburu padanya setengah mati, aku ingin hidup sepertinya,"balas pria
itu jujur. Ia membasahi bibir lalu menggigit bibirnya cukup kuat. Ia sudah begitu lama menahan.

"Dia mengambil semuanya dari ku,"sambung Billy terdengar lirih.

"Kau juga masih mencintai Lorna, Billy?"tanya Milla sambil menatapnya penuh perhatian
membuat pria tersebut langsung menoleh kembali.

"Aku hanya ingin kau, Milla. Aku ingin kau menganggap ku. Dengan begitu, aku bisa
mencintaimu lebih lagi."

"Kau yang membuat dirimu tidak di anggap, Billy. Kau yang menempatkan ku di posisi salah.
Kau yang tidak bisa berpikir positif."
"Milla—"

"Aku tidak ingin kau bekerja keras, aku tidak ingin menempatkan mu dalam bahaya lagi, karena
itulah— aku mencoba membuatmu berpikir agar kau bisa mengumpulkan uang-uang mu hanya
untuk Luiz. Aku tidak butuh apapun dari mu selain kesetiaan! Tidak yang lainnya!"

"Aku ingin membahagiakan mu, Milla. Aku suami mu, aku punya tanggung jawab. Kau hanya
memainkan ponselmu seharian!"

"Aku mencari sesuatu yang bisa aku hasilkan lewat bisnis online Billy, aku cukup tahu bahwa
akan ada saatnya kita tidak bisa lagi bergantung pada Alexander. Aku tidak ingin menjadi dokter
yang sibuk. Aku ingin menghabiskan waktu bersama Luiz sepanjang waktu. Apa yang kau
pikirkan dengan itu?"tukasnya datar tanpa melepas pandangan dari Billy.

"Aku mencoba membuatmu lebih baik, tidak sehari pun aku melewatkan untuk memuji mu di
hadapan semua orang. Tapi nyatanya kau malah membuatku kecewa, kau melukaiku Billy."Milla
kembali menurunkan pandangan. Ia menggigit bibir begitu kuat lalu mengepal tangannya.

Sementara Billy hanya diam. Membiarkan rasa bersalah semakin menumpuk di dalam dadanya.

"Aku, orang tua dan suami terburuk di dunia ini,"batinnya sambil menahan napas begitu dalam.
Ia menyadari bahwa kekurangan komunikasi adalah faktor nomor satu yang menyebabkan
keretakan hubungannya bersama Milla. Ia bodoh, karena hanyut dalam pelukan wanita lain.
Walaupun hanya sebatas ciuman, itu adalah awalnya. Mulanya sebuah hubungan yang mungkin
bisa berlanjut. Ia bahkan pernah diam-diam memeluk Lorna. Bagaimana jika Alexander atau
Milla mengetahui hal tersebut, akan ada dua keluarga yang ikut hancur sekaligus. Semua karena
keegoisannya. Kebodohannya.

"Milla aku minta maaf, aku—"

"Aku akan memaafkan mu Billy. Tentu saja karena aku mencintaimu. Tapi tolong, urus surat
cerai kita secepatnya. Aku tidak ingin memaksamu mencintaiku lebih lama."

"Milla aku mohon—"

"Maaf... Aku sudah mengambil keputusan. Ini yang paling tepat."potong Milla dengan nada
tegas membuat pria tersebut langsung mendiamkan diri tanpa sepatah katapun.

Chapter 45 : Brownies

"Bagaimana Rowan bisa tertangkap?"tanya Maxton pada beberapa bawahannya. Mereka


melakukan misi gagal, bahkan semakin sulit untuknya mendekati Lorna dan membunuh wanita
itu.
"Aku tidak tahu sir, saat ini Alexander masih menahannya!"balas satu pria dengan sorot mata
yang lugas. Ia menyorot pada salah satu pria Korea yang memegang laptopnya sejak tadi tanpa
bicara.

"Bodoh!"bentak Maxton sarkas lalu menggebrak meja dengan kuat, tepat di hadapan pria Korea
tadi— Henry.

"Kau, bisa menyadap CCTV mansion nya?"tanya Maxton membuat mata kecil itu menoleh
padanya.

"Mereka menggunakan Morse, keamanan CCTV yang ada di sana canggih. Aku bisa saja
melakukannya, namun Alexander pasti akan mengetahuinya,"tukas Henry datar.

"Sial!"keluh Maxton kembali.

"Tiga hari lagi, modifikasi rudal akan selesai. Kau bisa menggunakannya!"ucapan Henry
terdengar serius membuat mata Maxton mendadak pekat di depannya.

"Bagus. Aku akan meledakkan pangkalan militer itu untuk memancing kemarahan Rusia.
Dengan begitu presiden akan di gulingkan!"celetuknya dengan suara yang kokoh sambil
mengedarkan tangan begitu kuat.

"Nice,"balas Henry tersenyum miring. Ia bergabung pada Maxton satu tahun lalu, pria berdarah
Korea selatan itu merasa di khianat, ia dengar berita kematian Jasmin di tangan Alexander dan
Henry kesulitan mendapatkan identitas dirinya akibat penghapusan secara sepihak oleh
Alexander. Ia di anggap mati oleh keluarganya yang masih hidup. Tujuannya bergabung adalah
untuk menghancurkan keduanya, Maxton yang membunuh keluarganya dan Alexander yang
membuatnya ada di posisi terburuk seperti saat ini.

_________________________

Alexander mengulum bibir, menangkap satu artikel yang ia baca tadi malam. Sungguh Luiz
membuatnya terjaga seperempat malam sementara Lorna hanya mendengkur dengan pulas nya.
Wanita itu seperti pingsan.

"Ah aku harus melakukan sesuatu,"batin Alexander sambil menelan Saliva. Ia membaca sebuah
artikel tentang hubungan dan perselingkuhan yang ikut menyeret kehidupan Milla dan Billy.
Alexander benci perselingkuhan. Itu tidak gentle! Murahan.

"Mungkin aku bisa membuatkan Lorna sesuatu, ah ya, aku rasa kejutan manis akan membuat
Lorna senang,"pikirnya sambil tersenyum tipis. Ia mengeluh kasar, melangkah pelan ke dapur.

"Sir, kau butuh bantuan?"tanya seorang maid yang berpenampilan paruh baya.

"Tidak!"celetuknya datar sambil melangkah ke arah kulkas. Itu tidak biasa ia lakukan.
"Ah sebentar! Aku ingin membuat sebuah cake. Keluarkan semua bahannya dan tulis dengan
spidol namanya—"

"Kau ingin cake sir? Akan ku buatkan,"jawab maid itu lagi sambil menatap heran. Ia ingat
bagaimana semua maid harus membersihkan dapur yang hampir meledak itu.

"Lorna akan lebih senang jika aku yang membuatnya langsung,"batin Alexander lalu
menggeleng datar ke arah maid itu.

"Akan ku buat sendiri,"

"Tapi bagaimana jika dapurnya meledak?"tanya maid sarkas, ia khawatir.

"Aku bisa membuat dapur baru!"balas Alexander tidak ingin kalah. Sialan— ia tidak terima di
remehkan.

"B-baiklah sir,"maid itu bergerak ke lemari penyimpan bahan-bahan. Mengeluarkan semua yang
di mungkin di butuhkan Alexander, jantungnya berdebar. Sungguh ia takut jika sesuatu terjadi
pada dapur itu.

Alexander membuka ponselnya, mencari referensi pembuatan cake di youtubenya. Itu akan lebih
mudah, agar ia bisa memahami tata cara pembuatannya.

"Ternyata begitu mudah, simple,"batin Alexander sambil menunggu persiapan.

"Sir, semua sudah. Kau perlu bantuan?"

"Tidak! Kau keluar saja, urus yang lain!"balas Alexander cepat sambil mengedarkan pandangan
ke atas meja yang di penuh dengan bahan dan alat.

"Baiklah, kau bisa panggil aku jika membutuhkan sesuatu,"ucap maid itu sambil mengedarkan
pandangan ke arah maid lainnya. Mereka melangkah keluar perlahan, namun sungguh jantung
dan hati mereka tidak bisa di bohongi. Rasanya lebih baik melihat Alexander menembak
seseorang dari pada harus membuat cake yang bisa meledakkan isi rumah.

Alexander melangkah, meletakkan ponselnya di sudut tembok. Mulai memutar YouTube


kembali, ia akan mengikuti cara-cara yang di sajikan oleh chef tersebut.

"American Brownies,"sambut pria itu merasa akan menang merebut hati Lorna.

Alexander tampak mengikuti cara YouTube itu dengan benar, memotong chocolate,
mencampurkan butter dan whipe cream dalam satu wadah sambil memanaskannya hingga cair.

"Aku yakin ini akan sangat enak,"batinnya dengan wajah senang. Ia masih merasa begitu lihai.
Semua ia lakukan mudah berkat arahan YouTuber tersebut.
Setelahnya Alexander menaruh adonan tersebut ke pinggir, mengambil mangkuk lain untuk
menyiapkan adonan lain. Hingga akhirnya adonan itu siap. Ia meraih loyang yang tidak di lapisi
kertas roti. Hal itu tidak ada dalam tata cara yang di tunjukkan wanita YouTuber tersebut.

"Waktunya memanggang, 30 menit,"keluhnya sambil melangkah ke arah oven dan memasukkan


adonan itu di dalamnya. Ah ia terkesima, yakin jika brownies itu akan membuat Lorna
memujinya. Ayolah— kali ini ia tidak meledakkan dapur dan tidak memotong bawang dengan
giginya. Cake jauh lebih mudah, itu yang ada di pikiran Alexander saat ini.

Akhirnya, 30 menit berlalu. Alexander sudah mencium aroma wangi dari brownies nya tersebut.
Baunya menyengat harum, ia puas saat menyadari benda itu cukup baik di dalam loyang yang
kini ia keluarkan dari pemanggang. "Aku berhasil, sudah ku bilang tidak ada yang bisa
menyaingi ku,"batin Alexander dengan bangganya.

Ia memutar loyang tersebut, merapatkan tangannya yang terpasang kain agar tidak merasakan
panasnya benda tersebut. Namun brownies itu tidak mau jatuh ke piring yang sudah di siapkan
pria itu. Benda itu lengket di loyang.

"Sialan! Kenapa begitu sulit?"pikirnya dengan heran. Ia mengguncang benda itu sekuat nya dan
tetap saja. Hasilnya nihil.

"Ada apa?"tegur Milla saat masuk ke ruangan. Ia langsung datang saat mendengar berita dari
maid kalau Alexander sedang berada di dapur. Semua bodyguard dan maid menjauh dari
kawasan tersebut. Takut jika ledakan terjadi.

"Diam! Aku sedang konsentrasi,"ucapnya datar membuat Milla terkekeh.

"Biar ku bantu!"

"Tidak perlu, aku bisa!"balasnya dengan nada sarkas, masih mencoba mengeluarkan brownies
itu.

"Tenang saja, aku tidak akan memberitahu Lorna kalau aku—"

"Tidak perlu, aku bisa melakukan ini."

"Ayolah Alexander, biar lebih mudah!"Milla ikut memegang loyang tersebut setelah memasang
sarung tangan. Ia hanya ingin membantu.

"Milla lepas! Aku bisa—"

"Alexander!"

Keduanya saling tarik, memperebutkan loyang itu hingga akhirnya Alexander menarik benda itu
dengan tenaga extra.
Tap!!

Brownies itu lepas tidak sempurna menyisakan sedikit bagiannya, benda itu jatuh ke lantai dan
Milla yang tidak bisa menahan tubuhnya maju beberapa langkah lalu tanpa sengaja memijak
brownies yang ada di lantai itu.

"Milla! Apa yang kau!!!!"suara Alexander melengking, ia memerhatikan brownies itu berbekas
dengan cap sepatu Milla, bahkan ada merk LV yang menonjol di brownies tersebut. Wanita itu
diam, ia menelan saliva cukup kuat. Tubuhnya bergetar ketakutan.

"Alexander aku—"wanita itu mengedarkan pandangan, menatap sisa brownies yang tidak sampai
setengah loyang masih ada di tempatnya. Milla sedikit berjongkok mengambil brownies yang ia
pijak itu dan menaruh di atas piring.

"Maa--maaaf.."ucapnya dengan wajah takut. Alexander masih diam dan memerhatikan Milla
yang tampak salah tingkah.

"Keluarrrr!!!!"bentak Alexander dengan suara yang melengking kuat. Seketika Milla langsung
memutar tubuhnya dan menjauh dari hadapan pria itu.

_____________________

"Bagaimana? Enak?"tanya Alexander saat melihat Lorna mencicipi brownies nya. Ia


membohongi wanita itu sekarang. Sungguh setelah kuenya hancur, Alexander meminta maid
membuatkannya.

"Enak. Kau yang membuatnya?"tanya Lorna sedikit tidak yakin.

"Ya! Kau bisa tanya pelayan untuk memastikannya,"balas Alexander sambil menelan ludah.

"Kau manis sekali, aku tidak menyangka akhirnya ini bisa jadi seenak ini. Padahal kau bahkan
tidak tahu bagaimana cara menghidupkan kompor gas,"sindir Lorna sarkas kembali menyuap
makanan ke mulutnya.

"Aku belajar seharian sambil menjaga Luiz tadi malam."jawabnya spontan. Alexander hanya
tidur seperempat malam akibat tingkah Luiz. Sementara Lorna tidur pulas hingga mendengkur.
Itu pengalaman paling menakutkan bagi Alexander. Ia bahkan tidak tahu bahwa takaran susu
yang ia berikan benar atau tidak.

"Kau membuat kuenya lagi Alexander?"tanya Milla mendadak datang untuk ikut mencampuri
aksi romantis Alexander yang tidak ingin menjawab. Ia belum memperingati Milla untuk
menjaga rahasia bahwa nyatanya kue yang ia buat jatuh ke lantai.

"Kelihatannya lebih baik dari kue mu yang tadi,"lanjut, Milla seakan mencekal nya dengan
pertanyaan curiga.
"Memangnya ada apa?"tanya Lorna.

"Bukannya—"

"Diam dan pergilah!"potong Alexander geram.

"Harusnya kau memberitahu Lorna bahwa usahamu sangat keras,"tukas Milla masih belum
memahami pria tersebut.

"Benarkah? Ahh! Kau semakin manis,"balas Lorna sedikit melingkarkan tangan di leher
Alexander dan memberinya sedikit kecupan ringan.

"Ceritakan bagaimana bisa kau membuatkan ku brownies ini?"pinta Lorna masih pada posisi
sebelumnya.

"Kuenya hancur, jatuh ke lantai dan aku tanpa sengaja memijaknya sambil memberi logo LV di
sana,"jelas Milla begitu santai membuat Alexander langsung mengeluh panjang. Ia berharap
kebohongan ini tidak akan terbongkar.

"Kau kemana kan brownies itu Alexander?"tanya Milla lagi menyelidik.

"Buang ke mulutmu!"balasnya begitu kasar hingga Milla sedikit terkekeh. Ia sudah biasa
mendengar ucapan sejenis itu.

"Ah bagaimana kalau kau mengujinya lagi Lorna? Minta dia buatkan sesuatu yang—"

"Jangan mengada-ada Milla. Lebih baik kau urusi Billi yang tengah meratapi nasibnya,"celetuk
Alexander kembali.

"Aku menunggu dia menceraikan ku."

"Benarkah? Aku tidak yakin kau mengambil keputusan itu. Jika kau ingin, kau pasti
mendaftarkan nya sendiri ke pengadilan,"sindir pria itu lagi sambil mencari bahan obrolan lain.

"Aku akan mengurusnya!"

"Kau sedang di Haggen! Itu point pentingnya,"balas Alexander lagi sedikit mengingatkan.

"Aku akan meminjam private jet mu untuk terbang ke—"

"Bayar! setengah hari 900000$,"potong Alexander membuat Milla geram. Sementara Lorna
malah memilih diam, menertawakan dalam diam. Alexander punya caranya sendiri, ia kagum.

"Aku tidak menyangka kau perhitungan, sebagai teman harusnya—"


"Aku pebisnis, apapun akan ku jadikan uang. Jika bisa kue cap LV mu aku jual!"tukasnya tanpa
melirik ke arah Milla yang mengepal tangan cukup kuat. Ia tidak pernah menang melawan
Alexander.

"Ah bicara soal kue, menurutku ide Milla benar. Bagaimana jika kita—"

"Sir, maaf mengganggu mu,"seorang maid datang, membuat Lorna langsung menggantung
kalimatnya. Mereka menoleh cepat.

"Sir brownies kedua yang kau minta buatkan hangus. Aku kehabisan bahan dan—"

"Apa? Alexander......."Milla sigap mempertegas. Ia punya bahan sekarang untuk memancing pria
itu. Seketika kilat tajam keluar dari mata Alexander yang merasakan pelukan Lorna langsung
terlepas.

"Sir.. Ma..Maaf.. Aku—"

"Wah kau membohongi ku Alexander?"tanya Lorna dengan suara sedikit mendengus.

"Lorna aku sudah berusaha tapi—"

Tap!!

Lorna turun dari sofa dimana ia duduk dan langsung menjauhi pria tersebut tanpa sepatah
katapun. Seketika Milla dan maid yang merusak rencana Alexander itu langsung bergerak, ikut
menjauh. Sungguh maid itu tidak sengaja. Ia lupa dengan kesepakatan dan panik hingga
langsung membicarakan hal yang menurutnya penting itu.

Chapter 46 : My Son!

Seorang pria paruh baya tampak mendapat kunjungan dari seorang yang ada di masa lalunya. Ia
mengeluh pelan, tidak menyangka dengan kehadiran pria tersebut secara mendadak.
"Jace!"panggilnya datar, lalu melirik ke arah Olivia yang menggendong putrinya dengan erat.

"Aku ingin bicara,"ucap pria itu dengan nada pelan.

"Duduklah!"pinta pria tersebut mencoba bersikap seadanya, ia tidak ingin terlihat buruk di
hadapan gadis kecil yang berusia satu tahun itu.

Olivia mengangguk melihat foto Lorna dan ibunya terpajang di sudut nakas, sementara foto
Ferdinand Dulce terpisah di sampingnya. "Aku sudah dengar berita tentang Lorna, dia ada di
Haggen....."ucap Jace sedikit menggantung kalimat terakhirnya. Ia mendelik sejenak ke arah
Olivia yang takut untuk membuka mulut.
"Lorna?"tanya pria paruh baya itu cepat, ia langsung berdiri dan menatap keduanya dengan
pandangan berkaca-kaca.

"Yah! Dia bersama Alexander!"

"Apa? Bagaimana bisa bajingan itu—"

"Dad... Kali ini dia serius. Mereka sudah menikah dan Lorna mengandung anaknya
kembali,"terang Jace memotong ucapan ayah kandung dari Lorna, Ferdinand Dulce.

"Dari mana kau tahu berita ini? Huh? Aku tidak rela anakku bersama bajingan itu!"tanya
Ferdinand dengan wajah garang sambil menatap tegas pada Olivia yang langsung menelan
ludahnya.

"Satu minggu yang lalu, Alexander menghubungi ku. Dia memberitahu semua ini dan—"Olivia
menggantung kalimatnya lalu mengeluarkan ponsel miliknya dari tas kecil yang ia bawa.

"Alexander ingin aku menunjukkan ini padamu,"sambung Olivia mengarahkan benda itu pada
Ferdinand Dulce. Pria tersebut menangkap cepat, matanya langsung berair saat melihat sebuah
rekaman Lorna yang tampak begitu baik. Ia tersenyum lebar, membuat pria itu semakin
merindukan sosok putrinya tersebut.

"Ia ingin kau datang di pesta pernikahan mereka, tapi mungkin tidak sekarang!"tukas Jace
dengan nada rendah, masih memandang begitu tegas.

"Tidak! Bagaimanapun aku tidak ingi putriku bersama pria ini. Aku tidak merestuinya, apapun
alasannya!"balas Ferdinand lantang dan tegas.

"Dad, mereka bahagia. Lorna memilih Alexander kembali, Lorna tahu mana yang baik untuk
hidupnya,"terang Jace sambil melirik ke arah Olivia. Wanita yang kini ia cintai, pria itu
bersumpah tidak akan berpaling sedikitpun hingga Jace benar-benar berhasil menyingkirkan
perasaannya dari Lorna. Ia lebih nyaman, lebih di terima di sisi istrinya sekarang.

"Terbaik katamu? Aku tahu bagaimana Alexander memperlakukan Lorna dulu, aku berpisah
dengannya bertahun-tahun dan sekarang ia kembali pada bajingan itu?"

"Namanya Alexander. Alexander Dalle Morgan, putra sahabat terbaik mu sendiri,"tukas Jace
lagi.

"Aku tidak peduli, kenyataannya dia menghancurkan putriku. Kau tidak akan bisa
membayangkan bagaimana di posisiku Jace. Aku mempercayainya hingga ia datang dan
mengatakan bahwa, Lorna hamil, anaknya! Itu tamparan besar untukku. Bajingan itu malah
meniduri putri ku dan ingin memperalatnya."

"Dad...."
"Dimana mereka sekarang?"potong Ferdinand Dulce dengan nada serius.

"Mereka di ibukota Haggen, aku tidak tahu pasti mereka tinggal di mana. Yang jelas—"

"Akan ku cari tahu sendiri. Katakan pada Alexander, aku akan mengambil putriku kembali
dalam keadaan apapun!"terang pria itu membuat kedua nya tampak serba salah. Mereka saling
tatap, bingung dalam situasi yang sedang mereka hadapi. Ferdinand, terlalu terluka. Ia tidak akan
lagi mempercayai Alexander untuk putri tunggal nya itu.

____________________

"Alexander,"Lorna sedikit terkejut, pria tersebut mendadak mengapungkan sesuatu di lehernya.


Ia memberi hadiah kecil, lebih tepatnya menambah pelacak yang sudah terpasang sebelumnya di
cincin yang melingkar di jari Lorna.

"Kau sangat cantik!"pujinya membuat wanita itu memasang wajah merah. Ia langsung lupa
dengan kejadian brownies logo LV itu. Lorna tidak seharusnya marah, semua di luar kendali
Alexander. Pria tersebut sudah begitu berusaha sebaik mungkin.

"Ini sangat bagus,"balas Lorna memegang kalung tersebut dengan ujung jarinya. Sebuah kalung
yang memiliki mata berlian merah, mengilap dan terlihat berkelas. Lorna yakin harganya pasti
sangat mahal.

"Kau mau jalan-jalan?"tawar Alexander lagi membuat mata wanita itu menatap curiga.

"Keliling mansion?"

"Tidak!"

"Jadi? Keluar mansion?"tanya Lorna sedikit berharap.

"Bukan. Ke kolam yang ada di lantai bawah!"

"Brengsek! Itu bukan jalan-jalan!"ucap Lorna sambil memukul sudut bahu pria itu dengan keras.
Alexander tersenyum tipis lalu mendekati wanita itu kembali, menyentuh sudut pipinya lembut.

"Setelah anakku lahir, kita harus melakukan sesuatu agar kau tidak hamil lagi. Aku hanya ingin
satu anak!"pinta Alexander dengan nada tegas.

"Aku ingin dua!"balas Lorna tidak ingin kalah.

"Tidak! Itu merepotkan, aku tidak sanggup!"

"Harusnya aku yang mengatakan itu, Alexander. Kau rupanya mau enaknya saja,"tuding Lorna
sarkas membuat pria itu langsung terkekeh pelan.
"Jika kau ingin hamil, minta aku lalukan sesuatu yang lebih baik. Setidaknya minta apa yang
menjadi kebiasaan ku!"terang Alexander tampak protes secara terang-terangan.

"Kebiasaan mu? Contohnya? Ayolah, tidak ada hal baik yang bisa di ambil dari seorang pria
brengsek seperti mu, Alexander."

"Itu karena kau yang tidak melihatnya, Lorna!"bela Alexander sambil menaikkan satu alisnya.

"Terserah kau, yang jelas aku ingin menamai anakku!"

"Namanya harus sama dengan ku!"celetuk Alexander.

"Kau gila? Bagaimana caranya aku—"

"Aku tidak mau tahu, nama dan sifatnya harus sama seperti ku. Baik dia perempuan atau laki-
laki, mereka akan aku ajarkan untuk membela diri. Jika perlu mereka harus hapal jenis senjata
dan tahu caranya menggunakan alat itu,"

"Kau ingin mendidik anakmu menjadi anggota militer?"

"Tidak! Dia harus menjadi seperti ku! Semua yang aku punya, adalah miliknya!"

"Kau terlalu berambisi Alexander. Aku tidak akan setuju, anakku harus punya sikap lembut,
tidak melakukan pemaksaan dan—"

"Menjijikkan, jika anakku laki-laki dan memiliki sikap lembut seperti yang kau inginkan. Aku
tidak bisa membayangkan Ia akan memberi hadiah murahan pada seorang gadis dan menggoda
dengan cara kampungan!"

"Dasar Egois, semoga anakku perempuan dan aku akan menjodohkannya dengan Luiz"kecam
Lorna sambil memicingkan mata.

"Jangan mimpi, setidaknya anak-anak dari keluarga Stefano yang bisa menggodanya. Hanya dari
kalangan kelas atas yang bisa menikahinya,"protes Alexander cukup posesif terhadap anaknya.
Ia ingin anaknya hidup dengan baik, lebih tepat pria tersebut tidak ingin satu keluarga dengan
Milla yang memiliki emosi tidak stabil.

"Ah ya Alexander. Apa Milla dan Billy benar-benar akan bercerai?"tanya Lorna saat teringat
sesuatu.

"Memangnya kenapa? Kau tidak berhak ikut campur,"tuding pria itu datar.

"Jika mereka bercerai, mungkin salah satu darinya tidak akan bekerja lagi dengan mu. Luiz
bahkan belum tahu apapun, sekarang rumah tangga kedua orang tuanya berantakan. Aku tidak
bisa membayangkan jika semua itu terjadi,"peringat Lorna membuat Alexander sedikit berpikir.
"Kau mau menjebak mereka?"tanya Alexander menatap cukup tegas.

"Menjebak?"Alexander diam seakan memberi jawaban dari pertanyaan tersebut.

"Aku pikir aku setuju dengan mu,"jawab Lorna langsung melingkarkan tangannya di leher
Alexander sangat erat.

"Sekarang kau yang beri aku hadiah!"

"Aku tidak punya uang,"cela Lorna langsung.

"Aku tidak butuh uang, tapi—"Alexander menggantung kalimatnya, mengusap sudut bibir
wanita tersebut lembut.

"Kau lupa saran dokter Ralph?"tanya Lorna, tahu apa yang di kehendaki pria tersebut.

"Dia mengatakan jangan lakukan terlalu sering, bukan tidak sama sekali. Aku sudah beli
pengaman berkotak-kotak,"terang Alexander dengan nada merayu. Ia tersenyum tipis sambil
mengedarkan pandangan ke arah dada Lorna yang tampak terekspose.

"Aku...."ucapan Lorna menggantung saat Alexander sudah membungkam mulutnya dengan satu
ciuman panas. Ia yakin, pria itu akan benar-benar membuatnya mengatakan iya. Tidak mudah
bagi Lorna untuk menolak, Alexander selalu luar biasa. Pria itu terlalu maksimal untuk Lorna.

Chapter 47 : Stick Golf

Lorna masih merasakan hujaman lembut di tubuhnya. Sesekali Alexander meremas kedua
tangannya kuat, menenggelamkan diri sejauh mungkin. Pria itu perhatian, ia tampak tidak ingin
menyakiti bayi yang ada di kandungannya saat ini.

"Sakit?"tanya Alexander pelan saat melihat wanita itu meringis sedikit. Lorna menelan saliva
lalu menggelengkan kepalanya. Ini bukan sakit, tapi Alexander melakukannya dengan begitu
nikmat. Ia bahkan ingin berteriak sekencangnya.

"Katakan jika kau merasa tidak nyaman,"sambung Alexander lalu mengecup pelan kening Lorna
begitu pelan.

"Lebih cepat, ini sedikit lagi"bisik Lorna sambil menangkap leher Alexander dan mendekatkan
wajahnya. Ia ingin menyambut ciuman hangat dari bibir pria tersebut.

"Kau yakin?"
"Ya! Tolong, lebih cepat!"Pinta Lorna sambil melingkarkan kedua tangannya di leher Alexander
dengan punggung terangkat. Ia tampak menggoda hingga gairah Alexander langsung terbakar
dalam hitungan detik. Ia bergerak cepat, merasakan Lorna mengigit bahunya kuat. Wanita itu
mengerang, mengeluarkan suara dari tenggorokan.

"Uhh! Lagi! Lebih cepat!"pinta Lorna merasa begitu di atas angin. Hingga ia merasakan gerakan
Alexander yang mulai kasar seperti biasanya. Ia begitu suka, jika Alexander melakukannya
tangkas.

Alexander bergerak, sesuai permintaan wanita tersebut bahkan menarik rambut Lorna sedikit
mundur. Ia meraup bibir wanita itu begitu kasar, hingga Lorna kembali memegang kedua
bahunya kuat dan menancapkan ujung kuku di sana.

Beberapa detik kemudian, Alexander merasakan Lorna mulai bergetar hebat, ia semakin
memperdalam cakaran hingga bahu pria itu terluka. "Alexander!"keluhnya pada detik kemudian
lalu terjatuh ke ranjang kembali. Ia melepaskan pautan dan merasakan sensasi luar biasa di
bawah sana. Lorna tinggal menunggu kapan Alexander menyudahi permainan mereka.

Pria itu kembali memegang sudut pinggul Lorna dan sedikit mengangkatnya tinggi.

"Fuck!"maki Alexander sambil menggerakkan diri pada gerakan kasar, hingga di detik kemudian
ia berhenti bergerak, menarik miliknya dari tubuh Lorna dan menenggelamkan sebuah ciuman di
bibir merah milik wanita nya itu.

"Harusnya kita lakukan ini di kolam,"ucap Lorna saat Alexander melepaskan ciuman mereka.

"Tidak! Sulit untuk melakukannya di sana. Aku tidak ingin mengambil risiko!"balas Alexander
perlahan menjauhkan diri dari jangkauan wanita tersebut.

______________________

"Kau tidak mandi?"tanya Alexander saat baru saja keluar dari toilet. Tubuhnya masih tampak
basah, akibat tetesan air dari rambutnya yang tipis.

"Lorna...."panggilnya dengan pelan saat tidak mendengar suara apapun di kamar tersebut. Ia
berada di dalam toilet hampir satu jam.

"Lorna!!"suara Alexander mulai mengeras, ia mengedarkan pandangan ke tiap tempat tanpa


mengenakan atasan. Hanya sebuah celana Baggy berwarna merah terang yang bertuliskan Hugo
melingkar di pinggangnya.

"Di mana dia?"pikir pria itu berjalan melangkah menuju ke tiap ruangan kamar yang sangat luas.
Alexander menelan Saliva, memerhatikan ruangan balkon yang gelap, ia tidak pernah mematikan
lampu tempat tersebut sebelumnya. Alexander penasaran, ada sedikit kekhawatiran dalam
benaknya.

Pria itu mengambil handuk yang melingkar di lehernya. Ia memegang benda itu sangat kuat,
Alexander bersiap membalas siapapun yang mungkin menyerang nya. Bagaimanapun, ia harus
waspada terhadap Maxton.

Ia mendadak mengerutkan kening, memerhatikan bayangan hitam pekat tampak berjalan


melangkah ke arahnya.

Tap

Tap

Tap

Seketika Alexander langsung melempar handuk setengah basah itu ke arah sosok tersebut, ia
menangkapnya dan membawa tubuh yang tampak meronta itu ke tempat bercahaya.

"Alexander!"pekik seseorang yang ada di balik handuk tersebut, pria itu langsung menelan
ludah. Paham siapa yang ada di dalamnya, hampir saja ia memukul kepala Lorna dengan stick
golf yang tidak jauh darinya.

"Lorna apa yang kau-"Alexander memundurkan wajahnya, saat wanita itu mengangkat handuk
yang menutupi wajah putihnya. Ia menatap Alexander berang sambil mengepal tangan sangat
kuat.

"Masker... Masker ku retak brengsek!"Lorna berteriak kencang mengetahui masker kecantikan


yang ia pakai itu terasa berantakan di wajahnya akibat handuk yang di lemparkan oleh
Alexander.

Pria itu diam lalu melihat langkah Lorna sangat cepat menuju kembali ke dalam dan berdiri di
depan kaca besar yang memantulkan seluruh tubuhnya yang hanya berbalut pakaian mandi.

"Sialan. Masker 150000$ ku hancur,"umpat Lorna sambil mengepal tangannya kuat lalu
memutar tubuhnya dan melangkah pelan ke arah Alexander.

"Ganti masker ku!"tukas Lorna membuat wajah pria itu tersenyum tipis.

"Kau bisa pakai black card ku sepuasnya, jangan beli masker yang membuatmu malah terlihat
seperti vampir!"hina Alexander membuat wanita itu mengepal tangan.

"Ini masker mahal Alexander. Kau bahkan masih berhutang pada sebungkus masker ini."

"Berhutang?"tanya pria itu sambil mengerutkan kening.


"Aku memakai black card mu, artinya itu hutang,"tuding Lorna sarkas.

"Aku memakai black card, agar bisa mengatasi keuangan, bukan karena berhutang. Card itu
hanya untuk-"

"Sama saja, kau memakai uang mereka dulu baru membayar tagihannya di akhir bulan."balas
Lorna sambil memutar tubuhnya ke arah lain.

Tap!!

"Jangan bertengkar hanya karena masker itu, aku bisa beli pabriknya jika kau mau!"ucap
Alexander sambil memeluk tubuh wanita itu dari belakang.

"Tidak perlu, memangnya pekerjaan ku hanya untuk memasang masker wajah?"balas Lorna
masih teguh pada pendiriannya.

"Kau mau jalan? Kali ini serius!"

"Tidak! Kau pembohong!"kecam Lorna membuat Alexander terkekeh kecil.

"Aku sangat serius. Bersiaplah, kita makan di restauran mewah."

"Aku ingin makan steak!"seketika wanita itu memutar tubuhnya, mengeratkan pelukan hangat. Ia
mendadak lupa soal masker secepat itu, saat mendengar tawaran Alexander yang lebih
menggiurkan.

"Apapun!"balas pria tersebut sambil mengecup lembut puncak kepala wanita tersebut.

____________________

"Alexander, apa kau sengaja mengajakku dan Billy menaiki Limousin ini agar bisa menonton
kalian bermesraan?"protes Milla sambil menatap begitu tegas ke arah Alexander yang
memangku tubuh Lorna di atas pahanya. Mereka sesekali berciuman panas, bahkan menggoda
tanpa peduli.

"Tidak! Mobil ini luas. Kau bisa melakukannya hal yang sama. Billy pangku dia!"celetuk
Alexander sengaja membuat wanita itu mengeluh kasar.

"Aku mau pulang, Luiz tidak akan aman bersama maid-"

"Kau bisa memantaunya langsung, hidupkan saja camera-nya. Benda tersebut tersambung
dengan CCTV rumah,"balas Alexander tampak begitu matang.
"Ayolah Milla. Kapan lagi kita bisa keluar dari mansion. Jangan malu-malu di depan ku!"

"Brengsek! Jangan sampai suami mu menggantung ku di pohon karena aku menjambak rambut
mu, Lorna!"balas Milla sarkas. Lorna terkekeh lalu menyandarkan tubuhnya di dada Alexander
dan kembali memungut ciuman mesra dari pria itu.

"Lebih baik, kalian bercinta saja di depan ku. Akan ku anggap itu adalah virtual seks paling
hebat yang pernah aku tonton."

"Kau mau melihatnya?"tawar Alexander langsung merasakan cubitan kecil di pinggulnya.

"Sinting!"jawab Milla tampak marah. Ah- ingin sekali ia memecahkan kaca mobil Alexander
dengan kepala Billy sekarang. Milla penuh emosi, ia mengepal tangannya erat lalu
menyandarkan tubuhnya di kursi.

"Baiklah, aku akan tidur!"ucap Milla sambil melirik sedikit ke arah Billy yang hanya diam
memperhatikannya seksama.

"Jangan menatap ku!"tegur Milla membuat pria itu akhirnya memalingkan wajah ke arah lain.
Sementara Lorna masih dengan posisi sama, ia begitu menikmati ciuman Alexander yang begitu
panas hingga beberapa menit kemudian.

Tap!!!

Tiba-tiba kepala Milla roboh di pangkuan Billy, pria itu membulatkan mata menatap bentuk
wajah wanita yang ia rindukan itu. "Minta maaflah padanya dengan benar!"pinta Alexander
tanpa melepaskan pandangannya.

"Milla nekat. Ia ingin pernikahan ini berakhir, sir. Aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan
untuk nya dan Luiz!"

"Aku pikir kau seorang pria, tapi nyatanya tidak. Sekarang aku mulai berpikir bahwa keputusan
Milla benar!"

"Alexander apa katamu?"protes Lorna saat mendengar jawaban suaminya itu.

"Bersikaplah seperti pria!"celetuk Alexander begitu tegas. Ia menatap manik mata biru yang di
miliki pria itu. Billy diam lalu menatap sudut wajah Milla yang cantik. Ia yang menarik Milla ke
dalam hidupnya, namun di saat semua sudah sejauh ini Billy malah mencoba melepasnya.
Padahal awalnya tidak mudah.

"Kita pulang!"perintah Alexander yang langsung memaksa setelah pria itu mengaktifkan tombol
penghubung komunikasi nya dengan sopir.

_______________
Billy meletakkan tubuh Milla di atas ranjang, wanita itu tidak sadarkan diri sejak ia di pindahkan
dari mobil oleh pria itu.

"Aku keluar dulu!"ucap Lorna lembut sambil memutar tubuhnya.

"Maaf!"ucap Billy terdengar datar membuat Lorna kembali menatap ke arahnya begitu tegas.

"Maaf atas semuanya. Aku mencintai Milla. Tolong aku Lorna,"pinta Billy tanpa melirik
sedikitpun ke arah wanita tersebut. Fokusnya hanya pada Milla seorang.

"Hanya kau yang bisa menolong dirimu sendiri. Bersikap tegas lah!"balas Lorna penuh
peringatan lalu melangkah ke luar kamar.

Chapter 48 : Dosis

"Ah aku pikir kita bisa makan dengan nyaman,"tukas Lorna sambil menekan daging steak yang
ada di hadapannya.
Alexander mengeluh kasar, ia mengulum bibir lalu meraih garpu yang ada di tangan wanita
tersebut.

"Sabarlah sedikit,"balasnya datar membuat mata hazel Lorna bergerak ke arahnya. Ia


mengangguk lalu tersenyum tipis, membuat pria itu langsung menyuapi potongan steak ke dalam
mulut Lorna.

"Aku tidak bisa gegabah, Maxton sangat berbahaya."gumam Alexander kembali dengan suara
penuh keluhan.

"Hm... Aku harap kau bisa mengatasinya, jangan terluka!"

"Dengar! Jika sesuatu terjadi padaku nanti, pastikan kau ke Washington. Aku menyimpan
sesuatu di ruangan bawah tanah di mana kau pernah melihat ratusan serangga di sana, ambil
semua tabungan ku dan-"

"Alexander apa yang kau katakan?"

"Lorna ini bisa saja menjadi darurat. Berikan flashdisk yang ada di dalam kotak-"

"Alexander!"

"Lorna dengarkan!"suara pria itu mendadak menegaskan. Ia memegang erat kedua tangan wanita
itu dan menatapnya tanpa lepas.
"Ambil flashdisk di dalam kotak gold, berikan pada daddy mu, agar ia bisa menjaga benda
itu."ucap Alexander dengan suara parau. Ia mengeluh kasar lalu mengusap sudut wajah wanita
itu lembut.

"Alexander tapi-"

"Ingat baik-baik pesan ku, aku sudah mempersiapkan semuanya, untuk mu. Untuk anakku!"ucap
Alexander membuat Lorna langsung mengulum bibirnya yang terasa hangat, hingga pada detik
kemudian Lorna beranjak dari tempatnya dan memeluk erat tubuh Alexander.

"Jangan coba-coba kau meninggalkan ku, Alexander!"bisik nya pelan sambil mengeratkan
pelukan yang semakin hangat.

"Aku akan berusaha,"balas pria itu sambil menelan saliva nya begitu kuat.

"Aku akan menikah dengan pria lain jika kau melakukannya."ucapan Lorna begitu spontan,
membuat Alexander langsung terkekeh mendengarnya.

"Kenapa kau tertawa? Aku serius!"

"Kau menggemaskan! Aku mencintai mu, Lorna."balasnya sambil menatap sangat tegas ke arah
wanita tersebut. Lorna tersenyum lalu mengecup dengan berani bibir Alexander yang tampak
merah.

"Bagaimana Milla dan Billy, kira-kira?"tanya Lorna saat mengingat satu hal.

"Kau mau mencari tahu?"tawar Alexander.

"Tentu, wanita itu harus siap mendapatkan balas dendam dari ku,"Lorna melepas pelukannya dan
berdiri dari tempat semulanya. Tampak begitu semangat.

"Ah ya! Kau benar-benar mengikuti aturan dokter Ralph kan?"tanya Lorna mendadak mengingat
dokter tampan bermata biru terang itu.

"Hm! Aku sudah menelponnya, aman untuk Milla."balas Alexander datar. Jujur saja, ia sedikit
cemburu jika Lorna membicarakan pria tersebut.

"Syukurlah. Mereka tidak bicara hampir 3 minggu, menurutku itu tidak akan baik untuk Luiz
nantinya,"celetuk Lorna sambil mengulum bibir tanpa menerima jawaban apapun dari
Alexander.

"Aku juga tidak mau tahu, tiap bulan aku hanya ingin Dr. Ralph yang memeriksa kandunganku."

"Tidak! Akan ku cari dokter lain!"


"Tidak mau tahu, Alexander. Aku hanya mau di periksa Dr. Ralph. Jika tidak jangan harap aku
mau-"Lorna menggantung kalimatnya, saat pria itu memutar tubuh dan melangkah menjauh ke
bibir pintu.

"Alexander tunggu!"Lorna bergerak semangat, ikut melangkah mengikuti suaminya itu dan
mengusap pelan perutnya yang mulai menunjukkan baby bump.

Waktu, begitu berjalan cepat. Jarak kandungan Lorna dan Luiz hanya sekitar dua minggu. Saat
ini, usia kandungan wanita itu mulai masuk ke usia 8 minggu 4 hari, ah- Lorna kadang semakin
tidak sabar untuk melihat bagaimana anaknya nanti.

______________

"Kau mau kemana?"tegur Milla saat melihat Billy beranjak keluar dari kamarnya. Ia mendadak
bangun dan mengepal tangan kuat-kuat.

"Kau terbangun? Apa karena ku?"

"Bukan! Karena Alexander. Sialan! Dia pasti mengerjai ku,"geram milla sambil memalingkan
pandangan ke arah lain. Satu hal yang tidak ia sadari saat ini, Billy memerhatikan wajahnya
berubah sangat merah. Tampak sedang menahan sesuatu.

"Ada apa?"tanya Billy datar sambil melangkah mendekati wanita itu, hingga berada tepat di
hadapannya.

"Alexander pasti sengaja melakukan ini, berapa banyak dosis perangsang yang ia kasih. Ahh-
bagaimana caranya agar Billy mau membantu ku,"batin Milla tampak frustasi. Ia merasa
tubuhnya bergetar hebat. Beruntung, luka nyeri akibat operasinya saat ini sudah kembali stabil.
Obat yang di berikan dokter kemarin bereaksi sangat cepat di tubuhnya.

"Aku butuh bantuan mu,"tukas Milla sedikit sarkas. Ia begitu ingin langsung ke pokok bahasan.

"Katakan saja, asal bukan soal perceraian. Aku tidak akan menceraikan mu!"ucap Billy tampak
tegas. Ia menatap nyalang ke arah mata hijau Milla.

"Kita bicara sambil-"Milla mengepal tangan, ia menunduk sejenak lalu mengeluh kasar. Hatinya
begitu merutuk Alexander, ia sangat tahu, ini pasti ulahnya.

"Milla!"Billy seakan tahu, ia mendekati wanita itu dan mencium nya lembut. Seketika itu juga,
Milla langsung membalasnya tanpa menyela sedikitpun.

"Aku ingin!"tukas Milla sambil menarik sabuk yang ada di lingkaran pinggang celana pria itu
dan melepasnya.

Billy menarik jemari wanita itu, tanpa melepas pautannya. Biarkan ia melepasnya sendiri,
menurunkan bawahannya hingga ke dasar.
"Lukamu, apa itu tidak berbahaya?"tanya Billy sedikit khawatir sambil memerhatikan wajah
Milla yang terbaring menggoda di bawahnya.

"Tidak! Aku sudah terbiasa, cepatlah!"pintanya dengan nada yang semakin pelan. Hilang sudah
amarahnya dalam seketika, ia menautkan ciuman di pinggir bibir tebal pria itu dan melingkarkan
tangannya.

"Aku tidak ingin melakukan ini jika kau terpaksa Milla, sungguh, aku tidak ingin ada perceraian
ataupun-"

"Baiklah, tidak akan ada perceraian. Please!"Milla memotong, ia begitu tidak sabar. Obat yang
sampat di berikan Alexander sebelumnya menjalar cepat. Ini hukum karma untuknya.

"Aku mencintai mu, Milla. Maaf jika aku memperlakukan mu begitu buruk. Kedepannya, tidak
akan ada lagi hal seperti ini, I promise!"ucap Billy tampak begitu serius. Ia menatap tegas ke
arah wajah wanita itu tanpa henti, cantik dan begitu indah. Ia hanya kurang bersyukur selama ini,
Milla terbaik.

"Hm! Aku juga... Aku mencintai mu, tolong jangan pernah berburuk sangka padaku. Apapun
yang aku lakukan hanya demi kau, demi Luiz!"mata wanita itu sedikit berair. Ia menyentuh
wajah Billy dengan kedua tangannya dan melihat pria itu tersenyum tipis, lalu merasakan Billy
mulai menenggelamkan ciuman yang begitu dalam. Menelanjanginya hingga ke dasar.

"Jangan tutupi bekas lukamu, aku ingin melihatnya. Aku ingin ingat, bagaimana kau berjuang
untuk anakku!"ucap Billy sambil menarik tangan Milla yang ada di perutnya. Wanita itu
mengangguk lalu melingkarkan tangan ke leher pria itu.

Hingga pada waktunya, ia mulai mendesah berat merasakan pria itu memasukinya sangat lembut.
Mereka melakukannya, bicara begitu mudah dan langsung menuntaskan semua masalah yang
ada di benak mereka.

Seseorang mengetuk pintu kamar mereka, sungguh saat ini tidak ada satupun yang bisa
mengusik. Mereka butuh waktu.

"Sepertinya kau berhasil Alexander,"uuca Lorna sambil menempelkan telinga nya di pintu kamar
Milla.

"Kau yakin?"balas Alexander melakukan hal yang sama dengan Lorna. Ia mengetuk pelan pintu
kamar itu, mencoba mengusik keduanya.

"Ya! Tadi aku mendengar benda jatuh."

"Sebaiknya kita pergi dari sini."

"Sebentar lagi, aku masih penasaran Alexander,"tukas Lorna melihat pria itu mulai sadar dengan
apa yang ia lakukan. Begitu memalukan. Tidak harusnya ia menguping seseorang bercinta.
"Ayo!"Alexander menarik erat tangan Lorna dan segera menjauhi pintu itu. Ia akan menunggu
kabarnya besok, tidak perlu berlebihan menunggu seperti orang bodoh.

Sementara Ferdinand Dulce, daddy Lorna saat ini sedang dalam perjalanan menuju Haggen.
Kemungkinan besar, ia akan sampai ke tujuan besok pagi untuk waktu Eropa.

"Aku harus membawa Lorna kembali padaku, tidak peduli jika saat ini ia hamil, aku bisa
merawatnya."gumam pria itu dengan suara yang tegas. Ia melirik ke arah penumpang lain dan
mengeluh kasar.

"Pria itu sudah banyak menyulitkan Lorna, sekarang tidak akan lagi!"sambung Ferdinand
sambil mengepal tangannya kuat-kuat.

Chapter 49 : Visit

"Alexander!"suara Lorna mendadak meledak kencang, ia bergetar hebat. Langsung tersadar dari
tidur panjangnya.

"Ada apa?"tegur pria itu dengan wajah khawatir. Wanita itu menelan Saliva begitu kuat lalu
beranjak cepat menuju Alexander dan memeluknya erat.

"Lorna ada apa? Kau panas!"Alexander memegang lengan wanita tersebut. Menatap keningnya
yang penuh keringat.

"Aku... Aku takut!"bisik nya pelan sambil memeluk erat tubuh Alexander kembali. Ia menggigit
ujung kukunya ingat dengan apa yang baru saja ia mimpi kan.

"Kau mimpi buruk?"tebak Alexander dengan suara tegas. Wanita itu mengangguk lalu menghela
napas dalam.

"Begitu nyata. Seseorang menembak mu! Tepat di jantung!"terang Lorna lambat. Ia mengecap
bibirnya yang terasa asin akibat darah yang keluar dari kulit dalam mulutnya. Wanita itu
menggigit keras lapisan tersebut.

"Hanya mimpi, jangan di pikirkan!"

"Jangan terlalu sepele, kau membuatku takut dengan pesan kemarin!"bantah Lorna sarkas. Ia
melepas pelukan Alexander lalu mengusap rambutnya ke belakang.

"Tenanglah, itu hanya perasaan sensitif saat kau hamil!"

"Kenapa pintu kamar nya terbuka?"tanya Lorna sambil melirik tegas ke arah luar ruangan.
"Kau juga begitu rapi. Kau mau menemui seseorang Alexander?"tukas Lorna penuh selidik.

"Aku hanya ingin keluar sebentar, ada sedikit pekerjaan."

"Kau pakai parfum berbeda. Apa kau ingin menemui wanita?"tanya Lorna sambil menatapnya
begitu tegas.

"Ya! Wanita paruh baya yang berumur 42 tahun, puas?"balas Alexander membuat Lorna diam.

"42 tahun atau 24 tahun? Bisa saja kau membalik angkanya!"

"Astaga Lorna. Kau bisa mengawasinya, ia akan datang sebentar lagi,"cela Alexander membuat
wanita itu langsung menelan Saliva nya berat. Ia begitu cemburu, entah kenapa.

"Lagipula untuk apa kau menemui wanita berumur 42 tahun dengan pakaian begitu rapi?"Lorna
masih menyelidik membuat pria itu mengeluh begitu kasar.

"Dia dokter baru mu, spesialis kandungan!"

"Sungguh? Aku tidak mau!"Lorna mendelik kasar, ia mengulum bibir lalu memutar bola
matanya malas.

"Harus mau!"

"Tidak! Aku hanya ingin Dr. Ralph yang memeriksa tiap bulan!"

"Dia pensiun!"

"Sialan! Dia masih muda Alexander!"

"Aku pensiun kan, darimu!"

"Apa kau bilang? Kalau begitu dokter mu yang aku pensiun kan!"

"Tidak bisa! Kau harus menurut!"

"Aku tidak mau tahu, jika kau memaksa agar wanita itu memeriksa ku. Maka aku bersumpah
untuk tidak makan 7 hari!"

Seketika pertengkaran mereka berhenti, Alexander mengerutkan kening lalu mengeluh kasar. Ia
kalah sekarang. Apa kabar dengan kandungannya jika Lorna tidak mau makan selama itu;
Alexander tidak akan menanggung risikonya, mengingat bagaimana Lorna begitu nekat.

"Lebih baik kau telpon Dokter Ralph sekarang, ini waktunya untuk cek bulanan,"bisik Lorna
sambil menaikkan kedua alisnya. Ia melempar senyuman, membuat pria itu mendorong nya
sedikit dengan wajah kesal.
Alexander mengeluarkan ponsel, tampak menelpon seseorang yang bicara begitu formal
dengannya. "Kau ingin aku bergaya santai atau layaknya dokter?"tanya Dr. Ralph dengan suara
sedikit menggoda. Ia cukup tahu, betapa cemburunya Alexander berkat Lorna.

"Terserah kau saja! Asal gunakan pakaian dengan benar!"balasnya langsung menutup panggilan
telpon tersebut.

"Bagaimana?"tanya Lorna sambil melingkarkan tangan di pinggul pria tersebut.

"Dia akan datang, jangan mandi!"perintah Alexander begitu sarkas. Ia mengacak rambut Lorna
yang panjang, membuatnya begitu berantakan.

__________________

"Sir, Dr. Ralph bedenof sudah sampai!"ucap Michella dengan wajah tegas saat melihat
Alexander tengah sibuk dengan ponselnya. Ia menerima pesan berbahaya dari seseorang.

"Suruh dia masuk!"ucapnya sambil mengakhiri panggilan telpon dan melihat dokter itu tampak
tersenyum dengan kemeja putih yang di padukan bawahan blue denim. Sementara kancing
pakaian nya terbuka hingga dada agar ia bisa menyangkutkan kacamata di sana.

"Mr. Morgan!"sapa nya dengan senyuman miring. Ia mendekat membuat Alexander langsung
mengeluh kasar.

"Istri ku di kamar!"balas pria tersebut tanpa basa-basi sambil melangkah cepat menuju circular
elevator yang langsung melejit naik ke lantai atas setelah mereka menaikinya.

"Wah! Sepertinya kau menjaga istrimu dengan baik."puji Dr. Ralph sambil tersenyum tipis saat
melihat Alexander menekan finger scanner yang ada di sudut pintu kamar Lorna.

"Ya! Dia seperti kucing liar!"celetuk pria itu spontan sambil melihat pintu kamarnya terbuka
otomatis. Ia mengedarkan pandangan, memastikan istrinya dalam keadaan baik.

"Sudah datang?"tegur Lorna dengan wajah girang, ia berdandan dan mengenakan pakaian
bermerk.

"Lorna!"Alexander segera menarik pakaian wanita tersebut menutupi belahan dada nya yang
terekspose.
"Bukannya aku sudah memperingati mu?"pria itu berbisik membuat Lorna tersenyum tipis,
tampak sengaja menggoda Alexander.

"Bagaimana kabarmu dokter?"Lorna tersenyum, ia menggeser tubuhnya sedikit tampak begitu


bercahaya.

"Baik. Bagaimana dengan mu nona Lorna? Kau semakin cantik,"puji Dr. Ralph membuat mata
Alexander kilat menatapnya.

"Tidak bisa di percepat?"

"Santai lah, kau terlalu kaku,"balas Lorna sambil mengulum senyuman.

"Kemari lah,"ucap Dr. Ralph sambil melangkah dan duduk di sofa yang ada di sudut ruangan.
Pria itu mengeluarkan sesuatu dari tasnya, dan meraih lengan Lorna begitu tangkas.

"Apa kau tidak bisa pelan-pelan?"tanya Alexander sambil melingkarkan kedua tangannya di
dada.

"Aku harus memeriksa tekanan darahnya,"balas dokter itu santai sambil memasang alat di lengan
kiri Lorna tanpa melirik sedikitpun pada pria itu.

"120/70, normal,"ucap pria itu sambil tersenyum simpul.

"Saran ku periksakan kandungan mu di praktek. Kau bisa mengecek dengan alat Ultrasonografi,
agar mendapatkan detail penting tentang perkembangan bayi mu."

"Kau buka praktek di mana?"tanya Lorna begitu cepat.

"Aku akan memberikan kartu namaku nanti pada—"

"Padaku!"potong Alexander membuat pria di depannya itu kembali tersenyum.

"Aku harus memeriksa denyut jantung bayi mu, ia harus berbaring."Dr. Ralph terdengar
meminta, ia mengeluarkan sebuah doppler dan menunjukkan benda itu pada Alexander yang
tampak diam, tanpa ekspresi.

"Baiklah!"Lorna menurunkan tubuhnya, ia menyandarkan kepalanya di bantal sofa dan menarik


sedikit pakaian tipis yang ia gunakan ke atas.

"Kau ingin melahirkan normal atau Caesar?"tanya Dr. Ralph tampak memerhatikan alatnya. Ia
terbiasa bersikap ramah pada semua pasien nya.

"Caesar!"celetuk Alexander begitu cepat.


"Risiko Caesar lebih besar, walaupun sekarang sudah begitu banyak obat anti nyeri yang di
gunakan agar mereka tidak merasakan rasa sakit seperti dulu. Tapi itu terserah kalian, ada
milyaran wanita ingin melahirkan normal di dunia ini,"balas Dr. Ralph menjelaskan.

"Aku ingin normal,"celetuk Lorna mengingat beberapa penggalan cerita yang pernah di katakan
Milla.

"Tidak! Aku tidak ingin kau merasakan sakit!"

"Jangan memaksanya untuk masalah ini, sir. Pejuang Caesar sama dengan wanita normal
lainnya. Mereka memang tidak merasakan apapun saat melakukan operasi, tapi ribuan tahun
tubuh mereka menanggung rasa sakit. Percaya padaku!"

"Aku banyak membaca artikel, mereka kadang meremehkan wanita yang menjalani operasi
Caesar. Apa salahnya dengan itu? Menurut ku mereka tetap ibunya, mereka sudah berusaha
memberikan yang terbaik."

"Ya kadang-kadang pandangan seseorang yang ingin terlihat bangga akan dirinya, merusak
reputasi penting itu! Mereka tanpa sadar melukai seseorang karena bisa."Dr. Ralph menjelaskan.
Ia mengeluh pelan mengingat begitu banyak paradigma seseorang yang harus di rubah mengenai
hal ini. Sebuah pandangan yang mengatakan bahwa, kau belum menjadi seorang ibu seutuhnya
jika belum mampu melahirkan secara normal. Lantas, di anggap apa wanita yang berjuang mati-
matian demi kandungan yang ada di rahimnya itu selama ini. Ah— sudahlah, semua orang punya
pandangan. Tidak semua orang bisa memikirkan orang lain.

"Detak jantung nya masih belum terlalu kuat. Tiga minggu lagi datang ke praktek ku untuk
melakukan test keseluruhan!"

"Ya! Tentu saja!"balas Lorna melirik ke arah Alexander yang tidak ingin bersuara sedikitpun. Ia
malas, yang penting apapun yang akan terjadi kedepannya adalah hal terbaik untuk wanita
tersebut. Ia ingin yang terbaik.

"Hanya itu?"tanya Alexander datar.

"Aku tidak punya alat lengkap, tidak mungkin juga aku memasang alat setiap kunjungan,"balas
Dr. Ralph sambil mengedarkan pandangan ke arah Alexander.

"Apa aku bisa membeli alat-alatnya saja? Istriku tidak bisa keluar dari mansion ini."

"Bisa saja kalau kau mampu,"tantang Dr. Ralph membuat Alexander tersenyum miring.

"Aku bahkan bisa memindahkan praktek mu ke sini."

"Coba saja! Pasien ku banyak, kau akan menyesal jika melakukan itu. Rumah mu akan sangat
ramai."Dr. Ralph tersenyum, ia melirik sedikit ke arah Lorna kembali.
"Brengsek, dia cukup lihai!"batin Alexander sambil mengepal tangannya kuat.

"Sir, kau sudah selesai?"tanya Michella yang mendadak masuk ke ruangan kamar yang tidak
tertutup rapat itu.

"Ya, tentu saja!"balas Dr. Ralph membuat wanita itu langsung tersenyum kecil ke arahnya.

"Bukan kau dokter, tapi tuan Alexander. Seseorang ingin bertemu dengan mu, sir,"ucap Michella
sambil melebarkan semua pandangannya ke segala arah.

"Siapa?"tanya Lorna lebih cepat sebelum Alexander menanyakannya.

"Dia..... Daddy mu nona. Tuan Ferdinand Dulce!"celetuk Michella dengan nada lambat membuat
kening Alexander langsung mengerut.

"Daddy?"tukas Lorna mendadak merasa jantungnya berdetak cepat. Tidak karuan.

"Kalau begitu aku permisi dulu."

"Aku akan mengantarmu dokter!"celetuk Michella spontan sambil mengulum bibirnya.

"Alexander!"panggil Lorna dengan lantang.

"Tunggu di kamar!"ucap pria itu sambil mengedarkan pandangan pada Michella dan Dr. Ralph
agar mereka keluar mengikutinya.

"Alexander aku—"Lorna menggantung kalimatnya saat semua orang yang ada di ruangan itu
keluar. Ia memegang dadanya yang terasa sesak. Saat ini, daddy nya di sini, di mansion
Alexander. Ia begitu merindukan pria tersebut namun takut untuk berhadapan dengannya.
Rasanya ada ribuan semut menggerogoti kaki yang mendadak kelu.

____________________

"Luar biasa! Kau menyembunyikan putriku sejauh ini,"celetuk Ferdinand Dulce dengan wajah
datar. Ia menatap Alexander dari kepala hingga ujung kaki begitu congkaknya.

"Aku punya alasan!"balas Alexander sambil melangkah mendekat.

"Apapun itu, aku hanya percaya bahwa kau hanya ingin menghancurkan putri ku."tatapan pria
paruh baya itu semakin tegas. Ia mengedarkan pandangan ke tiap tempat, sangat mewah bersama
kumpulan bodyguard di tiap sudut ruangan.

"Aku mencintainya."
"Omong kosong! Kau merusak putri ku untuk ambisi mu, kau hanya ingin membalas bagaimana
cara kedua orang tua mu mati,"Ferdinand tampak serius, ucapannya barusan membuat Alexander
mengepal tangan begitu kuat.

"Lorna hamil, darah daging ku!"akui Alexander terdengar jantan. Tubuh kekarnya tampak tegap,
ia bahkan tidak ingin berkedip sedikitpun.

"Aku tidak peduli bagaimana kondisinya saat ini, yang jelas Lorna harus ikut denganku. Sampai
kapanpun, aku tidak akan menyerahkan putri ku padamu!"

"Kalau begitu aku akan memaksa mu,"balas Alexander cepat tanpa mengalihkan pandangan ke
arah pria itu.

"Kau tidak akan mendapatkan apapun!"

"Aku bahkan sudah menikahi Lorna, wanita itu milikku sekarang!"celetuknya tanpa peduli,
Ferdinand merasa begitu kalah. Artinya, Lorna setuju dengan hubungan mereka kembali.

"Apa kau belum puas merusak putri ku?"

"Sudah ku katakan, bahwa aku mencintai Lorna! Apa itu tidak cukup untuk mu?"Alexander
melihat kedua bola mata pria itu tegas. Ia menenggelamkan pengaruhnya, agar pria itu percaya
akan keseriusannya.

"Tidak! Kau bukan pria yang bisa di percaya! Aku hanya ingin Lorna kembali,"suara Ferdinand
terdengar pelan. Ia memohon bahkan sambil menunduk di hadapan Alexander.

"Lorna hanya bahagia jika hidup dengan ku! Itu sudah terbukti!"

"Itu hanya menurut mu Alexander!"balas Ferdinand dengan suara melengking.

"Kau memisahkan ku dari putri ku sendiri, kau membuatnya begitu menderita dan kau juga yang
membuat Lorna harus berada di tempat ini, aku bahkan tidak pernah meninggalkannya
sedetikpun!"

"Benarkah? Bukannya kau memilih istri baru mu dari pada Lorna hingga ia harus tinggal di flat
murahan!"Alexander ikut berkata kasar. Ia melengking membuat Ferdinand terdiam sejenak.

"Aku sudah bercerai!"

"Apa kau akan memungut putri mu lagi setelah membuangnya padaku? Kau yang menyerahkan
Lorna padaku. Kau!"

"Jaga ucapan mu Alexander. Aku tidak pernah minta kau menghamili nya, aku hanya ingin kau
melindungi nya!"
"Itu caraku, cara tepat untuk melindungi wanita yang aku cintai. Aku ingin menggenggamnya
sangat erat hingga sedetikpun ia tidak akan bisa lepas dari ku!"

"Bajingan! Kau—"Ferdinand semakin mendekat, ia mengangkat tangannya dan mengayunkan


tangan ke wajah Alexander.

Tap!!

Pukulan itu di tangkap Alexander, hingga pria paruh baya itu sulit untuk mengembalikan
tangannya semula.

"Maxton masih hidup!"terang Alexander begitu jelas saat kedua sorot mata mereka bertemu
dalam detik berikutnya.

"Apa katamu?"

"Aku sudah mendapatkan peringatan. Maxton merencanakan untuk melakukan pengeboman di


pangkalan militer Rusia dalam waktu dekat, aku harus bersiap dan mungkin tidak akan selamat
dari hal ini."Alexander langsung menelan ludah saat ia selesai bicara. Sorot mata hazelnut itu
melemah, ia penuh harapan tidak biasa sekarang.

"Karena itu, aku meminta Jace menghubungi mu. Semua sudah aku siapkan begitu matang untuk
Lorna. Jika sesuatu terjadi, tolong jaga dia untukku! Aku akan berjuang!"

"Alexander!"ucap pria paruh baya itu datar. Ia merasakan napasnya sedikit lebih cepat dari
biasanya, ia diam, merasakan sudut mata yang tampak mengerut, mendadak terasa basah.

Chapter 50 : Circular Elevator

Alexander melangkah pelan menuju sebuah ruangan yang ada di mansion tersebut. Ia melirik
sekilas ke arah Ferdinand Dulce lalu menekan sesuatu yang ada di sudut tembok, ia mundur lalu
memutar tubuhnya dan melihat lantai yang ada di hadapannya perlahan bergerak, menampilkan
sebuah circular evelator kaca dengan lapisan berwarna gold.

"Kau mau kemana?"tanya pria paruh baya itu dengan hati-hati.

"Kau akan tahu nanti, masuklah!"tukas Alexander sambil melangkah memasuki benda tersebut
dan menunggu hingga Ferdinand mengikutinya.
"Aku tidak menyangka, punya menantu seperti mu."Ferdinand menghela napas. Ia melirik
Alexander yang menekan tombol yang terpasang di sudut benda itu. Mereka siap menuju lantai
dasar dari Mansion tersebut.

"Kau sepertinya sudah mengakui ku,"balas Alexander mengalihkan pandangannya.

"Tidak akan!"hardik Ferdinand memalingkan pandangan ke arah lain.

"Baiklah, kau mengakuinya atau tidak itu bukan masalah,"tukas Alexander membuat mata elang
pria itu menatapnya kembali. Alexander bersikap sama saja, tidak peduli dengan siapa saat ini ia
sedang berhadapan.

"Kau sangat berbeda dengan Denise Morgan, sangat arogan!"sindir Ferdinand, namun hal
tersebut tidak berhasil membuat pria itu bereaksi hingga akhirnya evelator itu sampai.

"Sir,"sambut seseorang yang berjaga di ruangan yang sangat luas itu. Awalnya terlihat biasa,
hanya sebatas ruang tamu dengan gaya contemporary, hingga akhirnya Alexander membuka
sebuah pintu dari ruangan tersebut.

"Kau mengenalnya?"tukas Alexander menunjukkan seseorang yang tampak terikat kuat di


sebuah kursi dengan wajah penuh luka dan memar.

Seketika, suara baritone Alexander membuat pria itu mengangkat kepalanya ke atas dan menatap
dari balik mata yang tampak bengkak akibat pukulan benda keras. "Tidak. Siapa dia?"

Ferdinand Dulce mengerutkan kening, ia menatap tegas sosok pria yang kini tampak melempar
senyuman tipis ke arahnya itu. "Kau daddy Lorna? Kebetulan, aku kekasih putri mu, Rowan.
Namaku Rowan Emanuel Ryvero!"pria itu terkekeh rendah membuat Alexander langsung
mendapatkan tatapan penuh tanya dari Ferdinand.

"Dia salah satu bawahan Maxton, selama ini Lorna ada di tangannya dan menyiksa putri mu."

"Ya! Sama seperti mu,"celetuk Rowan tertawa lebar. Ia mengedarkan pandangan lemah ke tiap
ruangan lalu melihat Ferdinand melangkah ke arahnya.

"Bagaimana bisa Lorna ada padanya?"tanya Ferdinand tanpa menoleh ke arah Alexander
sedikitpun.

"Putri mu terlalu murahan, hanya saja aku tidak punya kesempatan untuk menidurinya dan—"

Brakkkk!!!

Pria itu terjatuh ke lantai bersama kursinya. Alexander meninju wajah pria itu dengan tangan
kosong hingga darah langsung mengental di dalam mulutnya.
"Jangan menghina istriku, brengsek!"ucap Alexander sambil menekan kakinya di kepala Rowan
cukup kuat hingga pria itu mendengus kesakitan.

"Lihat saja, Maxton pasti berhasil meledakkan rudal balistik itu. Kau akan di kecam sebagai
fisikawan paling gagal di dunia Alexander!"ucap Roman dengan suaranya yang mengerang
hebat.

"Apa? Rudal balistik?"tanya Ferdinand mencari tahu.

"Ya! Maxton sudah mendapatkan orang yang pas untuk membantunya, bersiaplah dalam
beberapa hari lagi. Kau dan wanita murahan itu akan mati, Alexander!"balas Rowan kembali
membuat pria itu geram. Ia mengepal tangan begitu kuat lalu menurunkan tubuhnya untuk
menarik kuat rambut pria yang mencoba memprovokasinya saat ini.

"Jangan mimpi!"

Brakkkk!! Brakk!!

Alexander membenturkan kepala Rowan ke lantai begitu keras dua kali, hingga pria itu langsung
pingsan dan tidak sadarkan diri.

"Alexander apa yang terjadi?"tanya pria paruh baya itu menatap tegas tanpa menyalahkan
perlakuan pria itu terhadap Rowan.

"Seperti kataku tadi, kita harus bersiap. Maxton tidak main-mai, ia sudah mempersiapkan semua
ini sejak jauh hari!"balas pria itu sambil menatap nyalang ke arah Ferdinand.

________________

"Dad...."suara Lorna mendadak parau. Ia menelan saliva begitu kuat memerhatikan seorang pria
yang begitu lama ia tinggalkan kini hadir, ada di depannya dengan pandangan tegas.

Ferdinand diam, ia menutup matanya sejenak lalu memegang pangkal hidung nya kuat.
"Lorna,"mendadak suaranya begitu bergetar. Ia melangkah ke depan bersamaan dengan wanita
tersebut hingga kedua tubuh mereka bertemu dan saling berpelukan hangat.

Suara isakan tangis terdengar nyaring memenuhi ruangan kamar. Lorna hanyut sangat begitu
dalam, ia benar-benar merindukan daddy nya itu. "Bagaimana keadaan mu nak?"tanya pria
tersebut dengan suara bergetar.

"Dia sangat baik karena dengan ku,"celetuk Alexander membuat kedua pasang mata yang ada di
depannya langsung bergerak.

"Harusnya kau tidak kembali bersama pria bajingan itu."


"Dad, dia suami ku, anakku nanti harus memilikinya!"bela Lorna merasa begitu keberatan
dengan pendapat Ferdinand.

"Jadi kau melepas nama keluarga kita untuk pria itu? Lorna kau—"

"Dad please, ini pilihan. Aku mencintai Alexander, sungguh kali ini apapun yang terjadi tidak
akan membuat ku mengulang kisah lama. Aku ingin di samping nya,"Lorna menatap lugas, mata
wanita itu berair hingga pria paruh baya itu tampak diam sejenak.

"Jadi, bagaimana keadaan cucuku?"seketika Lorna langsung tersenyum mendapati kalimat pria
itu seakan menerima janin yang kini tengah berkembang.

"Baik. Dia sangat kuat,"ucap Lorna sambil mengulum bibirnya yang terasa dingin.

"Aku keluar dulu!"Alexander memutar tubuhnya, ia yakin tidak akan terjadi apapun jika
Ferdinand mungkin akan mempengaruhi Lorna, wanita itu tampak berprinsip sekarang soal
hubungan mereka. Ia lega, walaupun tetap saja Alexander pasti memerintahkan bodyguard untuk
mengawasi keduanya.

Sementara Milla baru saja keluar dari kamarnya, ia begitu rapi dan mulai berdandan kembali.
Semua yang ia lakukan hanya untuk menarik perhatian Billy. Mereka berbaikan, cukup mudah
dan sialnya, malahan Milla yang begitu agresif hingga Billy kewalahan menghadapinya.

"Alexander!"suara wanita itu lantang saat melihat sosok tersebut.

"Aku sibuk!"

"Tunggu! Jangan menghindari ku. Kau memberikan sesuatu di minuman yang ada di Limousin
mu kan?"

"Memang nya kenapa? Kau tidak suka?"balas Alexander begit jujur dan langsung menerima
tatapan tajam yang begitu naif.

"Sialan, berapa dosis yang kau berikan hingga aku—"

"Kau lembur? Ah beruntung Billy mau melayani mu,"potong Alexander dengan suara parau.

"Jika aku hamil, akan ku cukur rambut mu hingga botak!"ucap Milla penuh ancaman lalu
memutar tubuhnya cepat.

"Jika kau hamil, itu bagus. Anakku punya teman yang bisa di pukul kepalanya nanti."

"Sialan apa katamu?"

"Ya setidaknya jika anakku bosan bermain dengan Luiz ia punya suasana baru!"
"Lihat saja, jika kau punya anak perempuan. Aku bersumpah akan menjebaknya dengan Luiz!"

"Jangan mimpi! Aku bukan pria bodoh yang akan membebaskan anakku begitu saja."balas
Alexander begitu tegas.

"Tetap saja, kau akan lengah."

"Kau berambisi sekali, ingin menjodohkan anakmu dengan anakku, kenapa?"tanya Alexander
membuat Milla diam. Sungguh ia bahkan tidak punya jawabannya, semua terjadi secara naluriah.

"Anggap saja itu karma mu!"celetuk Milla sambil kembali memutar tubuhnya dan menjauhi
Alexander sesegera mungkin.

"Aku tidak percaya pada karma!"tukas Alexander sebelum Milla melangkah jauh. Wanita itu
berhenti sejenak lalu menatap kilat ke arahnya lalu memalingkan kembali pandangan nya.

"Harusnya aku bisa jual mahal pada Billy, karenanya semua gagal, malah aku yang memintanya
kembali. Sialan! Alexander sialan!"maki Milla sambil mengepal tangannya kuat dan
menghentikan langkahnya saat ia melihat Billy berdiri tidak jauh darinya.

"Dia mendekat, aku harus bagaimana?"Milla kembali membatin, sungguh wanita itu tidak sadar
kalau sekarang wajahnya merah merona. Ah— dia seperti ABG yang baru merasakan jatuh cinta.

"Kau sudah sarapan?"tanya Billy sambil melempar senyuman santai. Milla menggeleng lalu
mengulum bibirnya pelan.

"Akan ku buatkan kau sesuatu,"pria itu meraih lembut jemari Milla, tanpa basa-basi ia hanya
menurut, ikut melangkah bersama.

__________________

"Jadi, kita berhasil?"Lorna merebahkan diri pada tubuh Alexander, melingkarkan tangan di
pinggul pria tersebut erat sambil menghirup aroma tubuhnya tanpa henti.

"Menurut ku begitu,"ucap Alexander sambil mengusap sudut wajah Lorna dan meletakkan
dagunya di puncak kepala wanita tersebut.

"Syukurlah, jika mereka akhirnya berbaikan!"

"Ya, dan aku ingin anak kita laki-laki!"seketika Lorna mendongak, ia tersenyum tipis ke arah
pria itu.

"Aku tidak ingin anakku di jodohkan dengan Luiz, apapun alasannya!"sambung pria itu tegas, ia
sangat paham siapa Milla. Wanita itu berambisi.

"Kau tidak bisa menentang kuasa Tuhan!"


"Jika tidak, aku akan berusaha menjauhkan anakku dari Luiz. Jika perlu akan ku berikan ribuan
bodyguard untuk nya!"

"Kau berlebihan, Alexander!"tukas Lorna sambil mengeluh kasar. Ia meraih jemari pria itu dan
meneliti tiap tatto yang ada di sana.

"Apa huruf L untuk inisial namaku?"tanya Lorna membuat pria itu melirik dan mengedarkan
pandangan di lengan nya yang penuh tatto.

"Hm, Aku bahkan membuat sebuah perusahaan konglomerasi di Omaha dengan namamu, LP
Company."

"Apa? Jadi itu milikmu? Kau serius?"tatap Lorna begitu tegas lalu menerima ciuman lembut di
kening nya.

"Lorn Pacific, aku hanya mengurangi huruf A nya!"

"Jadi LP untuk—"Lorna menggantung kalimatnya saat Alexander memberi jawaban dengan


anggukan pelan, Lorna terkesima, ia tahu betul perusahaan jenis apa yang baru saja di sebutkan
Alexander. Hanya LP company satu-satunya Asuransi dan yang berhasil menekan kapital besar
dengan hutang paling sedikit, itu berlaku di dunia. Semua orang yang mengasuransikan diri di
dalam nya sejahtera. Bukan hanya itu, LP company juga menjejali bisnis properti di 53 negara
yang ada di dunia. Mereka adalah perusahaan tersukses sepanjang sejarah, bahkan pekerjanya
terbilang eksklusif.

"Bagaimana daddy mu?"

"Dia masih ingin aku berpisah darimu!"Lorna menelan saliva berat. Ia memahami bagaimana
sikap daddy nya tersebut. Pria itu keras kepala, sama sepertinya.

Alexander hanya mengeluh, lalu mengusap sudut wajah Lorna dan sesekali mengecupnya pelan.
"Kau tidak keberatan?"tanya Lorna sambil mendongak ke arah pria tersebut.

"Keberatan atas?"

"Permintaan daddy."

"Biasa saja, lagipula ia tidak akan bisa memisahkan mu dariku!"jawab Alexander penuh rasa
percaya diri.

"Kau begitu santai, bagaimana jika—"

"Tenanglah, aku tidak butuh restu siapapun selama kau ingin bersamaku, Lorna!"

"Bagaimana jika tidak?"celetuk wanita itu membuat tatapan Alexander langsung kilat
menatapnya.
"Aku akan melakukan apapun agar kau kembali, kau tahu, video mu bertambah!"

"M-maksud.... Maksudmu?"suara Lorna terasa lambat, tubuhnya bergetar hebat mendengar


pernyataan Alexander barusan.

"Aku harus punya jaminan, kau liar!"tukas pria itu membuat Lorna langsung berdiri tanpa
melepas pandangannya dari Alexander.

"Liar katamu?"

"Ya! Kau berkali-kali melarikan diri, jadi aku tidak akan mempercayai mu lagi kali ini!"

"Jadi kau merekam aktivitas kita?"

"Kau benar! Ada sekitar 25 video sejak di dalam hotel—"

"Hapus videonya brengsek!"titah Lorna terdengar lantang.

"Tidak akan! Itu jaminan ku!"balasnya sambil merasakan Lorna kembali merebahkan diri di
pangkuan nya.

"Hapus!"

"Kau mau melakukannya lagi?"

"Aku bilang hapus, brengsek!!!!!"suara Lorna semakin terdengar jelas, ia memukul Alexander
dan menarik-narik rambutnya dengan kasar.

"Hapus atau aku samakan kau dengan bodyguard botak mu itu!"ucap Lorna semakin menjadi, ia
menarik rambut Alexander semakin keras sementara pria itu mencoba menahannya.

Brakk!!

Seketika tubuh Lorna berpindah, ia di bawah kuasa Alexander dan langsung terbaring dengan
rok tersingkap. "Alexander, lepas!!!!!"

"Salahmu, kau membuatnya bangun!"Pria itu tersenyum tipis, ia menarik bawahan wanita itu
secepat kilat. Perlawanan di tunjukkan Lorna, namun hal itu tidak membuatnya berhasil
sedikitpun.

"Diam lah Lorna!"tukas Alexander sarkas tampak semakin berhasil untuk membawa wanita itu
dalam kendali penuh. Ia menurunkan bawahannya dan memegang kuat kedua paha wanita itu.
Sialan! Perlawanan yang di lakukan Lorna malah semakin membuatnya begitu bergairah.
Menit berikutnya, Lorna sudah naked di bawahnya begitu cepat. "Alexander!!
Brengsekkk!!"teriaknya sambil meremas kuat lengan pria itu saat merasakan tubuhnya
mendadak penuh.

Ia menaikkan kepalanya sedikit ke atas hingga Alexander memanfaatkan itu untuk memungut
ciuman di bibir merahnya. Akhirnya, Lorna mengalah dan langsung berbalik menikmati apa
yang tengah di lakukan pria itu dengan agresif.

Chapter 51 : Backyard Party

Alexander menenggak segelas Champaign mahalnya, ia tersenyum tipis ke arah seseorang yang
sejak tadi menatap penuh tudingan. "Pesta apa ini?"tanya Ferdinand Dulce datar.

"Hanya pesta super kecil, setidaknya aku meresmikan pernikahan ku bersama Lorna!"balas pria
itu sambil melirik ke arah space cottage yang dominan dengan warna Wood black.

"Kau tampak serius menyatakan perang denganku!"

"Bukan aku, tapi kau!"balas Alexander membalas dengan santainya.

"Kau harus ingat, aku bagian dari keluarga Lorna. Aku—"

"Tidak perlu di ulang, aku tahu. Masalahnya, sekarang aku juga bagian dari Lorna."

Ferdinand diam, dia memalingkan pandangan dan mengedarkan matanya ke seluruh backyard
yang tengah di persiapkan untuk sebuah pesta santai malam ini. Semua di design sangat eksklusif
sesuai standar yang di idamkan semua orang.

"Kau adalah menantu paling kurang ajar di dunia ini."

"Dan kau baru saja mengakui sesuatu, apa kau malu karena akhirnya Lorna lebih
memilihku!"celetuk pria itu dingin, ia mendekati meja kecil yang di hiasi sebuah lampu Led
Latern bergaya kuno, lalu meraih sebuah minumal berakohol serta menuangkannya ke dalam
gelas.

"Ini untuk mertuaku yang terhormat, dari menantu mu yang bajingan, brengsek dan tidak tahu
aturan!"Alexander menyodorkan minuman ini pada Ferdinand, sekelebat harapan mendadak
muncul di hati pria itu saat mendengar kalimat yang begitu provokatif. Alexander tampak
menerima apapun kalimat yang di sematkan untuknya.
"Baiklah, Aku mengambil ini sebagai rasa penyesalan ku karena pernah mempercayakan putriku
denganmu,"celetuk Ferdinand sambil mengadu kedua gelas yang ada di tangan mereka masing-
masing.

"Yaman!"tukas Ferdinand melakukan cheers dengan gaya Yunani.

"Na zdorovie,"balas Alexander mengikuti corak Rusia dan langsung menenggak minuman nya
dengan cepat.

"Percayalah, jika bisa aku ingin Lorna mencari seseorang yang lebih baik darimu!"

"Tidak akan, putrimu tidak akan mendapatkan pria yang lebih baik dariku!"tukas Alexander
membalas tatapan pria paruh baya yang ada di depannya itu nyalang, lalu memutar tubuhnya
untuk segera menjauh dari sekitar tempat.

________________

"Apa yang sedang di lakukan pria itu, kenapa Alexander ingin aku memakai gaun ini,
panas!"keluh Lorna tampak tidak sabar sambil menatap datar ke arah Milla yang menaikkan satu
alis padanya.

"Jangan terlalu banyak mengeluh, ia hanya ingin mengambil sesi foto. Lagipula salah sendiri,
empat tahun lalu kau meninggalkannya begitu saja."

"Aku sedikit heran, sebenarnya kau di pihak siapa? Aku atau Alexander?"

"Tergantung kewarasan, aku berada di pihak yang waras."sindir Milla langsung mendekati
wanita itu dan mencoba membantu penata pakaian yang tengah memasangkan gaun di tubuh
Lorna.

"Apa gaun ini pilihan Alexander?"

"Ya! Pria gila itu membuat patung lilin yang sangat mirip denganmu! Aku tidak tahu bagaimana
caranya ia bisa melakukan itu, yang jelas pembuat patung itu harus mengulang ratusan kali
hingga bentuknya benar-benar terlihat hidup."

"Patung... Lilin?"tanya Lorna lambat.

"Dia menatap patung itu setiap hari! Aku sampai muak melihatnya,"ucap Milla sambil
membenarkan tatanan rambut light brown Lorna yang tergerai panjang.

"Sudah selesai,"tukas penata itu sambil mengedarkan pandangan ke tiap orang yang ada di ruang
kamar tersebut.

"Kau sangat ............."


"Sangat????"Lorna menunggu penilaian Milla, wanita itu mendadak menggantung kalimatnya.

"Jelek! Pakaian ini buruk untuk mu,"Milla mengeluh lalu melihat betapa kecewanya Lorna. Ia
diam dan menunduk sambil melirik ke perutnya, babybump begitu tercetak jelas. Pakaian itu
cukup ketat di tubuhnya.

"Aku becanda, kau sangat cantik Lorna. Sangat! Aku ingin mengambil fotomu,"Milla
mengembalikan mood wanita tersebut.

"Kau terbaik!"Lorna malah mendekati wanita itu dan memeluknya erat. Milla membalasnya
dengan tepukan ringan di bahu wanita itu lembut.

"Aku akan mendukungmu, sebagai sahabat. Kau luar biasa dengan gaun itu, Lorna!"ucapnya
pelan sambil mengeluh pelan hingga wanita itu akhirnya melepaskan pelukan untuk memberi
kesempatan agar Milla mengambil satu fotonya.

_________________

Lorna mengedarkan pandangan, memerhatikan backyard yang berubah total dari biasanya. Ia
melewati puluhan Led Latern yang mencoba menerangi pekat malam, sambil meremas kuat
pakaian Alexander yang ada di sampingnya.

"Alexander kau merayakan sesuatu?"tanya Lorna mulai mendengar suara gaduh di sekitarnya, ia
menelan Saliva namun tidak mendapat jawaban apapun dari pria itu.

"Alexander,"panggilnya lagi mencoba mencari tahu.

"Kau pastikan saja sendiri,"celetuknya seakan malas untuk menjelaskan. Mereka menuruni tujuh
undakan tangga yang melingkar menuju kolam utama dari mansion tersebut.

Tap!!!

Langkah kaki Lorna mendadak kelu, banyak mata menatapnya dalam. Mendadak, semua orang
yang ia rindukan hadir pada frame yang tengah ia nikmati lewat mata hazel nya.

"A-alexander..."bisik nya dengan suara parau. Ia melirik ke arah pria tersebut berharap hal ini
bukan mimpi. Ini nyata!

Daddy nya,

Olivia dan Jace yang menggendong putri mereka.

Billy & Milla yang menyiapkan kado super besar untuknya.


Mrs. Willand dan suaminya, yang melempar senyuman penuh aura.

Terakhir, Dr. Ralph yang sepertinya di siapkan Alexander jika sesuatu terjadi, ia tersenyum
miring namun sebuah pemandangan baru sedikit mengusik. Ia menggandeng tangan Michella,
entah bagaimana kisah mereka di mulai.

Alexander meraih jemari Lorna, ia ingin mengajak wanita itu bergabung pada keluarga yang
sudah hadir.

"Selamat untuk pernikahan mu! Maaf kami datang terlambat,"Sebuah suara yang terdengar
begitu ramah mendadak hadir di tengah kebingungan yang masih di rasakan Lorna. Mereka
menghentikan langkah dan menoleh cepat ke arah sumber suara.

"Princess Miya, Lenjen Anders....."

"Selamat,"potong gadis itu tersenyum sungging sambil memberikan sekotak hadiah yang
terbungkus begitu rapi. Lorna meraihnya lalu membalas senyuman tersebut sambil melirik ke
arah pria yang ada di samping Miya.

"Undangan ini terlalu mendadak,"celetuk Anders kembali membuat Alexander menatap kilat
padanya. Memerhatikan tingkah yang cukup intens.

Entah sampai kapan pria itu bersikap protektif atas kontak yang di lakukan Lorna. Alexander
bahkan hanya mengundang beberapa puluh orang untuk acara private nya, ia begitu waspada.
Hanya orang-orang khusus yang bisa memasuki mansion nya.

"Terimakasih, maaf aku jadi begitu merepotkan kalian,"ucap Lorna mengedarkan pandangan ke
arah Miya dan Anders yang hanya mengangguk pelan ke arahnya.

"Tidak masalah, kami senang hadir di acara pesta barbeque mu,"balas Anders melempar
senyuman yang cukup lebar ke arah Lorna dan Alexander.

"Semoga kalian menikmati pesta kecil ini,"ucap Alexander sambil melihat seorang pria dengan
pakaian kemeja putih mendekat. Ia mempersilahkan Miya dan Anders untuk menduduki tempat
yang sudah di siapkan pada beberapa sudut kolam.

"Daddy!!!"suara teriakan anak kecil yang begitu manja terdengar lantang. Ia menangkap tangan
Alexander begitu girang, membuat pria itu langsung melirik dengan mata membulat.

"Kau... Mengundang keluarga Stefano?"tanya Lorna saat melihat gadis kecil yang sangat tidak
asing itu.

"Lyra,"suara Ruth begitu terdengar pelan, ia sedikit kerepotan dengan anak perempuannya itu.
Melebihi Daven dan Drew.

"Maaf... Putri ku sangat—"


"Tidak masalah, aku menyukainya!"Alexander memotong ucapan Ruth, membuat wanita itu
langsung menyelipkan rambut terurainya di telinga.

"Bagaimana pestanya? Apa kami terlambat?"tanya wanita itu sambil melirik ke arah Lorna, ia
ikut memberikan sebuah hadiah pada wanita tersebut.

"Tidak, kalian tidak terlambat, terimakasih atas hadiahnya,"Lorna mengulum bibir dan melihat
Damon luther Stefano hadir. Pria itu matang, sangat tampan walaupun tengah menggendong
Drew yang selalu ingin di dekatnya. Sementara Daven yang paling besar mampu membawa
dirinya sendiri.

Kali ini, Lorna mendadak kagum kembali pada pria tersebut. "Akhirnya berita bahagia ini datang
setelah terakhir kali kita bertemu di Hvar Island,"Damon mengedarkan pandangan, ia tersenyum
membuat Lorna ingin pingsan. Ia tampan dengan wajah yang garang, begitu proporsional.

"Ya! Terimakasih karena pernah membantu ku,"tukas Alexander sambil tersenyum tipis. Seperti
Miya dan Anders, keluarga Stefano di sambut pekerjanya yang akan melayani secara khusus.
Satu orang satu meja. Full service.

Sungguh Alexander tidak terlalu suka dengan konsep ini, bukan kelasnya dan mungkin sedikit
memalukan. Tapi demi keamanan Lorna, ia terpaksa membuat sesuatu yang mungkin bisa
membekas di ingatan wanita itu.

"Aku mungkin tidak bisa bertahan, tapi aku ingin kau mengingat hari ini Lorna,"Alexander
membatin, ia meremas kuat jemari wanita itu dan meliriknya sedikit. Ia puas, karena akhirnya
Lorna menepati janji mereka, janji yang tertunda sebelumnya.

Seseorang memaikan music, suara biola yang keras memenuhi backyard dengan luas kolam yang
sangat besar itu. Gaduh, suara tawa yang mungkin nanti akan membekas di kepala masing-
masing membuat mereka begitu bahagia tanpa melewatkan satu hal pun. Alexander hanya
memperhatikan, mendengar Milla yang berkali-kali menyindirnya, dan sebuah pertanyaan tanpa
henti dari Olivia. Namun, di balik itu semua. Alexander hanya memerhatikan satu tujuan, satu
wanita dan satu hidupnya, Lorna Chameron Morgan.

"I Love you, Alexander,"suara wanita itu lirih tepat di tengah lamunannya. Pria itu mendadak
diam dan tersentak saat kedua jemari dingin wanita itu menyentuh wajahnya.

"I Love you,"lagi, wanita itu berbisik di tengah bising nya suara riuh yang ada di sana. Orang-
orang bersorak ramai, meminta mereka semakin rapat.

Alexander tersenyum lalu memegang sudut kiri wajah Lorna dan langsung menciumnya dalam.
Pria tersebut ingin menyentuh wanita itu, ingin membuktikan bahwa ia sangat mencintai Lorna,
tidak akan ada pria yang bisa sepertinya.

"Sialan!! Kalian menodai banyak mata anak kecil!"Milla berteriak menyadari beberapa anak-
anak yang hadir di tengah pesta. Biarkan! Alexander tetap mencumbu Lorna hingga akhirnya
Ferdinand yang mengambil alih. Ia menarik kerah pakaian pria itu dengan kuat, hingga suara
tawa mendadak meledak.

"Menurut lah, jika kau ingin restu ku!"ucap pria paruh baya itu lantang. Alexander mengeluh,
mengecap bibirnya yang terasa manis.

"Baiklah, kali ini aku mengalah agar tidak mempermalukan mu,"tukas Alexander membuat
Lorna terkekeh rendah.

"Kau tidak punya hadiah Alexander?"tanya Olivia dengan suara parau.

"Kakakmu miskin!"tukas Milla ikut bereaksi.

"Sir, aku harap Milla tidak benar. Aku masih butuh pekerjaan!"celetuk Michella lalu menerima
cubitan kecil di pinggul kirinya. Ralph melakukannya diam-diam.

"Sinting! Aku akan memberinya hadiah nanti, setelah acara ini selesai. Secara khusus!"balas
Alexander mencoba menghindar lalu menerima tatapan tajam dari Lorna. Ia seperti menangkap
satu sinyal, tolong jangan lagi ada video ke 27 kalinya. Lorna harus hati-hati kali ini.

"Aku tinggal sebentar,"Alexander berbisik di sudut telinga Lorna sambil meraih ponselnya. Ia
memerhatikan seseorang menelponnya hingga satu keharusan bagi Alexander untuk beranjak
sedikit dari pesta tersebut.

Ia menjauhi kebisingan dan meletakkan ponsel itu di telinganya. "Alexander, kau harus bergerak
besok! Seseorang mencuri duplikat superkomputer rudal balistik milik federasi, jika mereka bisa
memecahkan kodenya maka akan ada jutaan nyawa menjadi korbannya!"

Pria itu diam sejenak, ia melirik ke arah Lorna, seluruh keluarganya dan semua tamu pesta yang
di layani dengan baik. Ia mematikan sambungan telpon itu dan menelan Saliva yang mendadak
kental di tenggorokannya.

"Apa hari ini, adalah hari terakhir ku berada di sini?"pria itu merasakan jantungnya mendadak
berpacu cepat, hidungnya mulai panas. Ia mendapatkan satu pesan masuk yang tampak begitu
penting.

"Lihat, pembalasan akan lebih menyakitkan. Sampai jumpa."Maxton memberi emoticon senyum
dan devil di ujung pesan. Pria itu meleguh kasar lalu meremas ponsel sangat kuat. Tidak bisa,
Alexander tidak ingin lemah, apalagi terlihat lemah.

"Kau tidak akan mendapatkan apapun dengan melakukan ini,"Alexander membatin lalu
mematikan jaringan ponselnya dengan cepat. Ia menyimpan ponselnya kembali, lalu melangkah
dan bergabung kembali ke tengah pesta.
Chapter 52 : Poseidon

Alexander menarik napas, ia melirik sejenak ke arah Lorna yang masih lelap pada mimpi
panjang nya. Perlahan, usapan lembut mendarat di wajah wanita itu, berbarengan kecupan pelan
yang begitu manis. "Aku mencintai mu, Lorna."bisik suara yang begitu parau membuat suasana
mendadak dingin.

Alexander, semakin mendekat. Memeluk erat wanita itu sekadar menghirup aroma wangi yang
menjadi favorit nya.
"Daddy, juga menyayangi mu, nak!"lirih, suara Alexander masih menggantung di tengah
ruangan kamar tersebut. Ia begitu tidak bisa berhenti untuk mendaratkan diri di tubuh Lorna
yang terasa hangat.

Ini untuk pertama kali nya ia merasakan sebuah emosional yang begitu tinggi, berat rasanya ia
ingin meninggalkan mansion itu selangkah pun. Alexander merasakan dadanya sesak, seperti
sesuatu berada di dalamnya.

Drrrttt!!!

Ponsel Alexander bergetar, ia menyimpan benda itu di bawah bantal. Segera tangan kekar
tersebut meraih nya, ia memerhatikan jelas sebuah pesan penting masuk. Tampak seperti sebuah
nada peringatan.

Seketika, pria tersebut mengangkat tubuhnya membuat Lorna langsung terbangun. "Alexander,
ada apa?"tanyanya pelan. Lorna masih merasakan kantuk yang luar biasa.

"Lorna, dengar! Aku harus menemui seseorang. Jika sesuatu terjadi, segera pulang ke mansion
lama ku. Ambil flashdisk yang aku katakan kemarin, berikan benda itu pada daddy mu. Minta ia
memusnahkannya!"

"Alex. Apa maksud mu?"

"Lorna, please. Aku tidak punya waktu. Percayalah padaku!"Alexander mengulum bibir, ia
memegang kuat kedua jemari wanita tersebut yang mendadak begitu dingin.

"Alexander tapi—"suara Lorna mendadak menggantung, Alexander menciumnya dalam sambil


merapatkan tubuh mereka.

"Aku mencintai mu, Lorna!"suara Alexander terdengar datar, ia menatap lugas wajah wanita itu
sejenak sambil menelan ludahnya.

"Alexander!"Lorna memegang kuat lengan pria tersebut. Menatapnya begitu penuh perhatian.
"Aku menunggu mu di sini! Pulang dengan benar, jika tidak aku akan menyusul mu!"Lorna
mengancam, ia penuh emosi dan sungguh jantung nya saat ini ikut berdetak sangat cepat. Pria itu
memalingkan pandangan, merasa takut untuk memberi harapan.

"Jangan terluka sedikitpun! Aku akan membunuh mu jika kau terluka!"Alexander langsung
menelan Saliva, ia mengedipkan matanya sejenak lalu meremas kembali tangan dingin Lorna
dan menciumnya.

"I promise!"ucap pria itu penuh harapan. Alexander menarik napas, ia melepas pegangan yang
teramat erat itu dan langsung memutar tubuh nya menuju ke area walk in closet untuk Memasang
pakaian di tubuhnya dan mengambil sesuatu benda yang menjadi incaran Maxton.

"Ini yang kau inginkan, Maxton?"batin Alexander mengingat pesan terakhir penjahat itu. "Aku
akan mengakhirinya hari ini,"sambung Alexander sambil memasukkan benda mirip flashdisk itu
ke dalam saku jaket tebal yang menutupi tubuh kekarnya.

Tap!!

"Gunakan ini untuk melindungi dirimu, hanya untuk melindungi diri!"Alexander kembali
mendekati Lorna, ia memberikan wanita itu sebuah handgun tipe Raging Bull.

"Alex— tapi!"

"Billy sudah memodifikasi senjata ini, kau tinggal mengarahkan dan menarik pelatuknya,
lindungi diri mu, lindungi ... Anakku!"tukas Alexander menatapnya begitu serius lalu
menggenggam tangan Lorna yang kini memegang senjata itu. Alexander mencoba menyatukan
kekuatannya, Lorna sebagai sumber yang membuatnya begitu bersemangat.

"Alexander!"suara Lorna lantang, mendadak begitu parau. Ia bergetar bukan main saat pria itu
memilih memutar tubuh dan meninggalkannya di kamar tersebut.

"Aku sudah menonaktifkan lock door ini, ingat! Hanya lakukan sesuatu jika terjadi sesuatu
dengan ku!"Alexander kembali memperingati, ia menelan ludah lalu mengedarkan pandangan ke
semua bodyguard nya.

"Maju sendiri, jika kau berani Alexander!"lagi, sebuah pesan menohok membuat pria itu terdiam
sejenak.

"Sir, sesuatu—"

"Kalian semua tetap di mansion, lindungi Lorna!"potong Alexander saat melihat Billy mencoba
mengusiknya. Pria itu cukup tahu apa yang sedang terjadi, Alexander memberi peringatan tegas
pada pria itu.

"Sir!!"Billy berteriak mencoba menghentikan Alexander. Ia tidak menghiraukan semua itu, pria
tersebut malah melangkah cepat menuju elevator dan segera menghilang dari ruangan tersebut.
Alexander nekat, ia tidak butuh siapapun saat ini. Tidak peduli jika harus mati, ini bukan sebuah
pengorbanan tapi sebuah akhir. Ending yang harus Alexander selesaikan sendiri tanpa
melibatkan nyawa orang lain. Billy memiliki Milla, Luiz. Michella masih begitu muda, ia tidak
harusnya melepaskan tembakan untuk membunuh seseorang. Tangan wanita itu kotor akibat
darah. Sekarang, tidak lagi, mereka harus hidup lebih baik. Hidup dengan tenang.

______________________

Alexander menekan pedal rem nya, memusatkan perhatian penuh pada jalan yang mulai sepi, ia
memasuki teritori khusus untuk sampai lebih cepat ke wilayah laut utara. Hulu ledak yang di curi
Maxton adalah sebuah senjata kiamat dengan Drone di bawah laut, Poseidon.

Nuklir ini memiliki reaktor kecil yang memiliki jangkauan 10.000 kilometer untuk mengarungi
dunia. Poseidon mampu menciptakan Tsunami lebih dari puluhan meter di samping kerusakan
nuklir itu sendiri. Ini adalah hasil mahakarya Alexander selama ini bersama federasi Ilmuan
dunia, di samping Protaktinium.

Alexander menelan ludah, memikirkan sesuatu hal yang tampaknya mungkin akan terjadi. Ia
memijat keningnya sambil mendengar suara pemandu jalan yang mengarahkannya menuju
markas Maxton. Pria itu mengirim GPS agar Alexander datang, menemuinya.

Brakkkkkkk!!!!!

Tiba-tiba mobil yang tengah di kendalikan Alexander terpental, terseret ke pinggir jalan hingga
menabarak tiang tinggi yang ada di pinggir jalan, di pastikan mobilnya rusak parah.

Kabut asap langsung mengepul di udara, hasil pergeseran kedua Supercar yang di hantaman
secara sengaja. Alexander merintih merasakan tangannya yang mendadak kebas. Tidak ada
rasanya sama sekali.

"Shit!"pria itu memaki, ia mengedarkan pandangan dan menghiraukan rasa sakit sekaligus
pusing akibat benturan yang mengenai kepalanya, ia berdarah.

Pria itu menendang pintu mobil lengket akibat pergeseran bentuk, ia tidak tahu lagi seperti apa
mobilnya saat ini. Pria itu mengerang kembali, berusaha keluar dari tempat yang mulai terasa
sesak. Ia sulit bernapas.

"Brengsek!"seketika satu tendangan sangat kuat darinya berhasil membuat pintu itu terbuka. Ia
keluar dan melihat seseorang di samping nya ikut melakukan hal yang sama.

"Kau lama sekali, Alexander,"ucap pria yang tampak tersenyum dengan sambutan layaknya
psycopath. Maxton Theodore Hall. Ia benar-benar terlihat gila seutuhnya.
Pada menit berikutnya, Alexander melihat sektiar sepuluh orang keluar dari mobil lain dan
mengepungnya di tengah jalan tersebut. Pria itu diam, mengedarkan pandangan ke tiap arah.
"Pengecut,"tuding nya sambil menatap tegas ke arah Maxton.

"Aku tersanjung atas pujian mu, Alexander. Kau juga begitu berani,"balas Maxton terkekeh
pelan lalu membuang ludahnya ke sembarang tempat.

"Kau tidak akan mendapatkan apapun dariku."

"Jangan terlalu percaya diri Alexander. Aku sudah menyiapkan semuanya, seluruh dunia repot
karena ku hari ini. Aha— mungkin Lorna sedang menonton mu lewat jaringan CCTV itu,"

"Apa maksud mu,!"bentak pria itu tegas, membuat pria itu mendadak tertawa lepas hingga
Alexander harus berpikir keras untuk menerjemahkan tingkahnya. Dia gila, 100% gila.

"Maxton!"teriak Alexander kembali sambil melangkah cepat ke arahnya, Ia tidak terima di


permainkan. Apalagi, nama Lorna di sebut-sebut atas kepentingan ini.

"Santai lah, aku hanya membayar stasiun televisi swasta untuk menyiarkan ini langsung,
Live!"ucap Maxton membuat Alexander geram. Ia menarik kerah pakaian pria itu dan
meninjunya hingga Maxton langsung jatuh ke tanah dengan hidung berdarah.

"Brengsek, kau—"

"Serahkan flashdisk itu padaku, Henry sudah menguasai superkomputer Poseidon. Jika kau
menolak, salahmu jika aku mengirim rudal—"

"Jangan mimpi!"potong Alexander sambil mengeratkan tangannya kembali pada kerah Maxton
dan menghantam kepalanya di tanah.

"Jangan keras kepala, separuh bawahan ku sudah mengepung mansion mu."Maxton berucap
lemah hingga Alexander langsung melepaskan cengkeraman. Ia menelan Saliva memikirkan dua
cabang yang merusak fokusnya.

"Bagaimana Alexander? Berikan flashdisk itu padaku!"suara Maxton penuh provokasi, hingga
mendadak pandangan pria itu bergerak ke atas. Seseorang mendekat, pria tidak asing yang
menatapnya tegas. Henry, ilmuan korea selatan yang pernah bekerja sama dengan nya.

"Memalukan, ketika dua orang pengkhianat membentuk anggota idiot!"hina Alexander sambil
mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Berikan Flashdisk nya,"ucap Henry membuat pria itu langsung berdiri, mensejajarkan kedua
pandangan mereka.

Alexander meraih sesuatu di balik jaket nya dan menunjukkan benda yang di incar-incar Maxton.
"Berikan padaku,"ucap Maxton kembali berdiri dan berusaha merebut benda kecil bermerk
Corsair itu.

"Ambil dan mundur dari mansion ku!"ucap Alexander tampak ingin semuanya mudah. Maxton
melirik ke arah Henry dan mencoba merebut paksa benda iti dari tangan kekar Alexander.

Tap!!

Pria itu menghindar, kembali menggenggam benda itu dalam tangannya. "Menjauh dari mansion
ku!"perintah Alexander memaksa. Maxton mengepal tangan lalu meraih ponsel yang ada di
dalam sakunya. Ia menelpon seseorang.

"Kalian bisa mundur dari mansion itu,"ucap Maxton membuat mata Alexander terpaku padanya
tegas hingga pria itu menutup panggilannya.

"Sudah! Tepati janji mu!"ucap Maxton langsung mengarahkan pandangan yang sangat berharap.

"Kau terlalu berambisi,"ucap Alexander sambil menyerahkan benda kecil itu pada Maxton yang
langsung melangkah mundur secepat kilat.

"Kau terlalu bodoh!"balas Maxton sambil mengeluarkan sebuah handgun secara mendadak dari
balik punggung nya dan mengarahkan benda itu ke depan.

Dorrr!!!

Seketika, peluru tajam keluar dari sarangnya sangat cepat dan mengenai langsung dada kanan
Alexander. Pria itu mengerutkan kening, rasa sakitnya merobek-robek tubuh nya yang terasa
begitu lemas hingga ia harus ambruk ke tanah dalam hitungan detik. Alexander menelan Saliva
yang begitu berat, mata pria itu mendadak berkaca-kaca. Ia membalikkan badan, melawan
cahaya matahari yang menusuk kornea mata hazelnutnya. Wajah Lorna seakan terpajang jelas,
membentuk bingkai yang sangat rapi. "Aku mencintaimu, benar-benar mencintai mu, Lorna!"

Alexander mulai tidak mampu mendengar apapun, kecuali suara perintah yang begitu memaksa
dari musuhnya. Sesuatu yang tidak pernah ia harapkan. Ia begitu lemah sekarang, peluru yang
ada di tubuhnya membungkus rapi keberanian yang ia miliki. Ini menyakitkan.

"Ledakkan Poseidon itu!"Maxton menodongkan senjata ke arah Henry hingga ilmuan Korsel itu
menatapnya lugas.

"Cepat! Atau aku akan membunuhmu!"tukas Maxton sekali lagi, hingga akhirnya Henry
melangkah ke arah superkomputer yang terpasang rapi di salah satu mobil mereka.
"Pastikan isi flashdisk ini,"Maxton memberikan benda itu pada Henry, ia tidak sabar untuk
menunjukkan pada dunia bahwa saat ini keluarga Hall akan kembali bersinar, seperti
sebelumnya.

"Ya! Benda ini asli,"tukas Henry memastikan membuat Maxton langsung tersenyum menang. Ia
kembali menaikkan handgun mengarahkan benda itu pada ilmuan Korea selatan itu.

"Sekarang waktunya, waktu semua dunia berperang! Cepat, luncurkan!"perintah Maxton


membuat Henry segera meliriknya dan akhirnya terpaksa melakukan seluruh ambisi pria itu.

Tap!!!

Seketika ujung jemari kecil pria itu menekan tombol terakhir untuk menggerakkan Poseidon.
Federasi yang bertanggung jawab atas itu semua tidak mampu menghentikannya, sistem mereka
terkunci. Sungguh, ini adalah ancaman yang sangat nyata bagi negara yang di tujukan Poseidon.

"Poseidon, akan meledak 47 menit lagi,"ucap Henry membuat wajah Maxton berubah tenang, itu
adalah waktu paling cepat untuk peluncuran nuklir. Sesuai keinginannya. Harapannya yang kini
me jadi nyata.

Chapter 53 : Cyberterrorist

Perairan lepas pantai Amerika serikat di jaga ketat, mereka menjadi target utama peluru kendali
ini, akibatnya, Amerika serikat menurunkan ribuan kapal bersenjata turun mengelilingi lautan.
Drone bawah air Poseidon yang meluncur lewat kapal selam tanpa awak bernama Belgorot di
lock total, tidak ada cara untuk menghentikan rudal balistik yang memiliki kemampuan luar biasa
itu termasuk peluru kendali anti balistik , ia berjalan cepat di tengah laut menyebabkan
gelombang tinggi bermeter-meter.

Lima puluh detik kemudian, secara mendadak rudal Poseidon meluncur tinggi, menaiki atmosfer
dengan kekuatan super cepat.

"Woho!! Akhirnya!! Aku bisa melihat sebuah sejarah hebat ini,"teriak Maxton sambil menaikkan
tangannya ke atas begitu tinggi. Ia menunggu, menyaksikan menit demi menit hingga peluru
kendali itu kembali masuk ke atmosfer bumi dengan tekanan hebat.

"Ini adalah kebangkitan keluarga Hall,"tukasnya lagi lalu kembali memicingkan pandangan
matanya ke superkomputer yang ada di depannya. Menyaksikan titik koordinat sasaran yang
sudah terarah.
"Kita harus kabur dari sini,"Maxton memutar tubuhnya, ia mendorong superkomputer itu lebih
dalam. Masuk seutuhnya ke mobil.

"Henry cepat!"panggilnya membuat ilmuan korea selatan itu menoleh. Ia memerhatikan


Alexander yang masih berada di atas tanah, masih seperti posisi sebelumnya.

"Henry!"bentak Maxton dengan suara garang saat pria itu kembali menoleh tegas ke arah
seseorang yang menjadi titik fokusnya.

"Aku tidak ikut dengan mu, ini sudah selesai kan?"tanyanya dengan suara pelan membuat
Maxton mengerutkan kening.

"Kerja sama kita berhenti sampai di sini, rudal balistik itu tidak bisa di hentikan. Kau
menang!"ucapnya penuh penjelasan membuat pria itu diam lalu melirik ke alat-alatnya. Ia
bahkan punya rahasia Alexander yang di incar-incar keluarganya selama ini, bukan hanya
keluarga Hall, tapi nyaris seluruh dunia yang mengklaim kepemilikan nuklir.

"Terimakasih karena sudah memberiku tempat untuk membalaskan dendam ini, sesuai perjanjian
awal, kita selesai hari ini. Sesuai harapan saat kau menawari semua ini,"Henry menunduk lalu
menoleh ke belakang. Tidak ada satupun orang ataupun pertolongan yang bisa di dapatkan
Alexander sekarang.

"Baiklah,"akhirnya suara penuh persetujuan keluar dari mulut pria itu. Ia ikut melirik ke arah
Alexander dan memalingkan pandangan ke arah Henry kembali.

"Game over!"Maxton mengeluh, ia mendekati pintu mobil dan segera menutupnya cepat, lalu
memberi tanda pada semua bawahannya untuk segera meninggalkan lokasi super sepi itu. Hanya
orang-orang yang memiliki kepentingan khusus bisa memasuki teritorial tersebut. Menimbang di
mana pusat pangkalan militer yang tengah di amankan akibat isu nuklir.

Maxton tersenyum pelan, memerhatikan layar komputernya dan merasakan kembali mobil yang
di kuasai sopir itu mulai bergerak menjauh.

"Aku... Menang.. Alexander!"ia memiringkan senyuman begitu lebar, lalu memperhatikan


ponselnya. Menunggu sebuah berita hebat masuk.

"Sir, kita sama sekali tidak memiliki harapan!"ucap salah satu anggota federasi yang merasa
gagal menghentikan Poseidon yang sebentar lagi akan masuk di tahap Re- entry phase. Mereka
berkumpul pasrah, menatap layar besar yang menampilkan arah rudal itu bergerak bebas. Ia akan
siap kembali jatuh ke bumi dalam waktu singkat. Tekanan benda itu akan lebih besar saat ia
menjatuhkan diri kembali.

"Dimana Alexander!"pekik salah satu pemimpin federasi sambil mengedarkan pandangan ke tiap
tempat.
"Semua jaringan televisi dan ponsel putus. Kami belum berhasil menemukannya di
manapun!"balas salah satu pria yang membalas begitu pasrah, hingga tidak ada satupun yang
mampu berharap.

Semua orang diam, hening dalam beberapa saat yang menegangkan. Mereka hanya menunggu
kapan waktunya benda itu meluluhlantakkan sebagian dunia. Akan ada ratusan juta orang yang
meninggal akibat ledakan hebat ini, sejarah Nagasaki dan Hirosima akan terulang, beberapa
orang mulai menangis, ketakutan memikirkan kemungkinan besar itu.

"Sir!!! Sesuatu terjadi!"suara wanita yang ada di sudut ruangan mendadak terdengar lantang, ia
menekan laptopnya dan membiarkan arahan camera hanya terarah pada sesuatu yang sedang
berlangsung saat ini.

"Apa yang terjadi?"tanya salah satu pria paruh baya menatap dalam layar besar yang ada di
depannya. Ia mendekat agar bisa memerhatikan benda itu lebih nyata.

"Rudal berbalik arah, menuju ke laut putih! Perangkat lunak Poseidon mendadak mati dan
mengalami freeze. Ia gagal mendarat dan jatuh tanpa ledakan,"terang wanita itu membesarkan
layar agar semua orang bisa melihat sebuah peristiwa bersejarah ini.

"Seseorang memperbarui softwarenya satu hari yang lalu, pengendali rudal balistik akan
langsung rusak jika benda itu di kendalikan dari jarak 3 kilometer dari—"wanita itu diam, ia
menelan ludah sejenak saat melihat dua titik merah berbentuk koordinat muncul di layar
laptopnya. Sebuah signal ponsel yang kembali hidup.

"Aku menemukan Alexander. CCTV kembali hidup,"wanita itu berdiri dan memundurkan
tubuhnya agar semua orang hanya fokus pada layar kecil laptopnya. Sialan— benda kecil itu
tampak lebih menarik untuk di lihat. Semua mata tertuju pada benda padat tersebut.

"Arghh!! Benda sialan ini tidak bisa di harapkan!" sebuah suara yang terdengar menderita
mendadak mencuat. Sosok kekar itu masih menarik napasnya dalam lalu mengedarkan
pandangan yang mulai berwarna.

"Bangunlah,"satu suara lagi hadir, cukup terdengar dekat dan ia mencoba menghalangi sinar
matahari yang menyerang langsung kulit pria yang tengah berusaha bangkit itu.

"Ini memalukan! Aku pingsan hanya karena tekanan senjata api murah itu. Bagaimana?
Lancar?"tanyanya dengan napas yang masih tersengal.

"Apa gunanya aku beralih kembali di pihak mu jika gagal, Alexander?"tanya Henry parau sambil
menurunkan tubuhnya, lalu duduk di sebelah Alexander yang memegang dadanya kuat-kuat
sambil melepas seluruh atasannya, hingga Henry bisa melihat bagaimana luka memar di dada
pria tersebut.

"Kenapa kau duduk di sebelah ku?"tanya Alexander menatapnya tegas. Tidak senang dengan
tatapan penuh intimidasi tersebut.
"Aku hanya ingin memastikan, bom yang ada di mobil Maxton meledak dengan benar!"balas nya
sambil menarik napas dalam mencoba mengalihkan perhatian.

"Berapa lama benda itu meledak?"tanya Alexander membuat mata pekat ilmuan korea selatan itu
langsung terarah ke jalan di mana arah Maxton bergerak.

"Dua puluh menit, sama dengan jatuhnya Poseidon saat mendadak mati akibat ulah mu!"balas
Henry kembali menatap Alexander begitu tegas dan hanya menerima anggukan kecil sebagai
balasan.

Sementara Maxton, yang tengah mendengarkan lagu kesayangannya lewat earphone tampak asik
dan mengabaikan superkomputer yang ada di hadapan matanya saat ini. Ia sibuk bersenang-
senang, mengikuti irama lagu Fake Love yang di nyanyikan begitu epik oleh boyband korea
BTS.

"Woo I just know, I just know why...."


"Cuz it's all fake love .. Fake love.. Fake..."

Boooommmm!!!

Seketika suara ledakan kencang terdengar dari dalam mobil itu, membakar hangus tubuh Maxton
yang masih ada di dalamnya. Ia langsung tewas seketika tanpa basa-basi, terkubur jauh dalam
ambisinya yang sangat buruk. Semua orang akan mengenang kejahatannya, kebodohan yang
begitu memalukan dan membuat keluarga Hall semakin terpuruk dalam satu kenyataan tingkat
internasional.

Alexander dan Henry tersenyum kecil, memastikan bahwa akhirnya semua rencana mereka
berhasil. Maxton terjebak dalam drama yang mereka susun, salahnya mencuri Michella, wanita
itu menjadi tali sambungnya bersama Henry hingga sebuah pertemuan rahasia bisa di wujudkan.
Pria Korsel itu jugalah yang membeberkan seluruh rencana Maxton, hingga Akexander mampu
menggagalkan semua kebusukan Maxton.

Sejujurnya, ilmuan Korsel itu bergabung bersama Maxton hanya untuk menemu kan Alexander
yang berdiam diri di Los Angeles pasca kehilangan Lorna. Henry kesusahan, hidup tanpa
identitas jelas. Ia hidup tanpa data lengkap hingga atasan besar membuat nya begitu menderita,
sampai akhirnya menemukan signal Maxton dari Lucas yang masih mendekam di penjara. Ia
bergabung, menawarkan dirinya, berdalih untuk mendukung semua ambisi Maxton.

"Alexander, apa kau puas sekarang?"tanya Henry membuat pria itu mengeluh kasar dan mulai
beranjak bangkit dari tempatnya.

"Tidak! Aku belum puas!"balas pria itu sambil mendengar suara ambulance dan mobil NYPD
mulai memadati area tersebut. Bersamaan dengan hal itu juga, jalan kacau itu kembali menjadi
hak umum saat isu nuklir mereda.
"Apa yang ingin kau lakukan sekarang?"tanya Henry ikut mengedarkan matanya ke tiap tempat.
Memerhatikan orang-orang mulai bergabung dan melangkah ke arah mereka.

"Aku hanya ingin pulang, menemui istri dan calon anakku!"balas Alexander sambil memegang
dadanya yang masih sakit akibat tekanan peluru tajam tadi.

"Baiklah, aku yang akan bicara pada mereka!"balas Henry sambil melempar senyuman miring.

"Tentu!"

"Ah ya, kau juga memiliki ahli IT luar biasa. Aku tidak menyangka wanita muda seperti
Michella mampu melumpuhkan jaringan ponsel dan CCTV sekaligus, wanita itu bahkan menipu
Maxton yang merasa bahwa siaran swasta yang ia bayar itu menyiarkan semua tindakan
idiotnya!"

"Semua manusia memiliki porsinya, tergantung pada totalitas yang ia lakukan. Ia menjadi luar
biasa di antara orang-orang lamban."

"Aku mulai tertarik dengan dunia hacking,"tukas Henry membuat wajah Alexander berubah
drastis.

"Fisikawan lebih membanggakan untuk di akui. Hacking hanya di huni dua jenis kehidupan,
penipu atau korban penipuan."Alexander mengeluh malas saat beberapa anggota kepolisian
sudah berada di dekatnya dengan wajah penuh pertanyaan. Ah— bukan karena kekacauan ini,
tapi karena terbunuhnya buron international yang melakukan kejahatan berat. Maxton Theodore
Hall.

_________________

"Alexander!"Lorna mengeratkan pelukannya di tubuh pria itu sambil melirik nyalang ke arah
seseorang yang tengah di giring polisi keluar dari mansion.

"Tenanglah,"bisik pria tersebut sambil mengecup pelan berkali-kali puncak kepala wanita itu. Ia
ikut memerhatikan Rowan yang bahkan tidak mampu mengangkat kepalanya lagi. Ia pasrah,
setelah mendengar Maxton gagal dalam rencana besarnya. Rowan di anggap jaringan
cyberterrorist dan akan di hukum mati sesuai aturan negara yang berlaku.

"Jadi, Alexander kau memusnahkan flashdisk itu bersama Maxton?"tanya Ferdinand Dulce
penasaran.

"Ah... Kau sepertinya terlalu banyak ingin tahu, daddy!"ucapnya dengan suara sedikit mengejek
hingga wajah pria itu berubah merah.

"Apa? Apa katamu?"tanya Ferdinand sambil mendekati pria itu dan menatapnya lebih dekat.
"Kau akan menyesal jika tidak menerima ku sebagai menantu,"tukas Alexander membuat Lorna
mengulum senyuman nya.

"Hentikan Alexander, mertua mu sejak tadi mendoakan mu. Kau itu terlalu kurang ajar!"tegur
Milla ambil pusing dengan sikap pria itu. Sungguh, hanya Alexander dan Ferdinand dulce yang
bertingkah layaknya teman.

"Ya! Dia benar, aku terus berdoa agar rudal balistik itu berbalik arah ke kepalamu!"ucap
Ferdinand tanpa mengalihkan pandangan dari Alexander yang langsung terkekeh.

"Daddy, sudahlah!"ucap Lorna datar tanpa melepas pelukannya sedikitpun.

"Jika itu terjadi, harta kekayaan ku akan sia-sia. Sampai saat ini, semuanya belum di wariskan
pada siapapun,"celetuknya santai.

"Siapa yang peduli dengan warisan mu,"balas pria paruh baya itu sarkas.

"Aku harap kau memberikan hadiah mahal untuk anakku nanti, jadi menabung lah mulai dari
sekarang!"

"Bajingan! Harusnya kau benar-benar mati Alexander!"suara Ferdinand melengking, ia


mengepal tangan kuat-kuat lalu melihat Lorna memutar tubuh mereka dengan cepat sambil
menarik tubuh Alexander agar segera menjauh. Membiarkan suara tawa yang terdengar keras
dari orang-orang yang ada di ruangan tersebut begitu lepas.

Chapter 54 : Blue Boat

Lorna tersenyum tipis, menatap wajah Alexander tanpa berhenti. Sungguh, pria itu sempurna
untuk nya. Mungkin, ia adalah satu-satunya wanita beruntung yang bisa memiliki Alexander, ia
yakin begitu banyak wanita yang iri.

"Milla! Apa yang kau lakukan!"sontak suara pria itu mendadak keras, membuyarkan seluruh
lamunan Lorna saat ini.

"Diam saja!"balasnya sambil memutar-mutar kain kasa di kepala pria itu sangat tebal, bahkan
perban itu hampir menutupi matanya.

"Kau apakan suami ku? Lukanya tidak separah itu kan?"tanya Lorna protes membuat mata Milla
langsung menatapnya.

"Siapa bilang? Alexander luka dalam! Otaknya cedera!"tukas Milla sarkas.


"Milla!"Alexander akhirnya mundur, wanita itu menarik kuat perban yang bahkan masih belum
juga ia gunting. Sungguh, ia hampir saja menghabiskan dua gulungan.

"Astaga! Alexander, kau merusak perbannya!"tukas Milla sambil menangkap kembali kepala
Alexander dengan kedua tangan dan memegang nya erat. Ia yakin kepala pria itu panas, kasa
yang terkumpul di kepalanya sangat banyak.

"Milla henti—kan!"Alexander menekan kening wanita itu dengan tangannya, mencoba


menjauhkannya sebisa mungkin. Wanita itu tampak berambisi menjadikannya percobaan.

"Alexander, percaya padaku. Kau cedera otak!"

"Aku tidak percaya dokter dingin sepertimu!"balas Alexander sambil menekan kuat tangannya
hingga wanita itu akhirnya menjauh. Ia mendekati Lorna dan duduk di depannya, sambil menarik
tangan wanita tersebut dan meletakkan tangan Lorna di kepalanya.

"Kau saja! Perbaiki perbannya!"ucap Alexander memegang pinggul wanita itu. Ah— pandangan
matanya sangat dekat dengan perut Lorna.

"Dasar payah!"Milla memalingkan pandangan dan memutar tubuhnya segera lalu keluar dari
kamar tersebut.

"Harusnya kau lebih mempercayai Milla!"ucap Lorna lalu terdiam sejenak saat Alexander
meletakkan kepala di perutnya. Selama ini, pria itu tidak pernah melakukannya. Ia tampak terlalu
santai, bahkan nyaris tidak terlalu peduli.

"Kau saja!"ucap Alexander sambil mengeratkan pelukan dan mengecup pelan baby bump milik
wanita itu.

"Aku harap kau seorang laki-laki yang kuat!"bisik Alexander penuh harap. Sungguh kalimat
Milla soal Luiz membuatnya begitu takut. Milla benar-benar berhasil mengusiknya dengan
ancaman bodoh.

"Alexander,"Lorna mengusap wajah pria itu dan mengangkatnya ke atas hingga mata mereka
bertemu.

"Aku mencintaimu,"ucap Lorna sengaja ingin menggoda pria itu. Alexander tersenyum, berdiri
dari tempatnya dan menatap sangat dekat.

"Aku mencintai mu, mencintai kalian!"ucapnya dengan suara yang tegas lalu mengecup begitu
lembut area bibirnya yang semakin merah, Lorna mengangguk pelan lalu memeluknya dengan
erat dan merasakan hangatnya tubuh pria itu.

"Cepat perbaiki perbannya, aku ingin mengajak mu ke satu tempat."

"Kemana?"tanya Lorna begitu cepat.


"Pantai! Kau bebas sekarang!"

"Benarkah?"tanya nya lagi sambil tersenyum lebar.

"Tidak juga! Kau hanya boleh keluar dengan ku, hanya dengan ku!"balas Alexander masih
bersikap posessif.

"Tidak masalah! Kemari lah, lepaskan saja ini!"Lorna menurunkan tubuh pria itu kembali dan
segera melepaskan perbannya secepat mungkin. Milla benar-benar menyusahkan.

___________________

Hentaman dari sebuah blue boat di lautan tampak pecah, benda itu terkendali penuh dan
pasangan yang ada di dalamnya berhasil membuat beberapa orang iri melihatnya.

"Lihat menantu kurang ajar itu, mereka bersantai di sana dan aku yang menjaga barang-barang
ini!"protes Ferdinand datar sambil menenggak sekaleng minuman beralkohol nya. Menatap
begitu tegas ke arah Lorna dan Alexander yang ada di depannya beberapa meter. Ia masih
mampu menangkap jelas pemandangan itu.

"Harusnya kau bergabung, sir!"celetuk Michella mendengar aksi pria paruh baya itu.

"Aku tidak akan menggunakan uang nya! Dia pasti akan menghina ku!"balas Ferdinand masih
memerhatikan Lorna yang sesekali tertawa lebar. Alexander mempercayainya untuk
mengemudikan boat itu.

"Tenanglah sir, nona Lorna akan aman bersama Tuan Alexander. Mereka saling mencintai."

"Tidak! Bajingan itu menjebak putriku. Aku sangat tahu, bagaimana liciknya pria itu! Alexander
pernah datang ke rumahku dan menenteng Lorna setelah ia mengatakan bahwa saat itu putriku
hamil, kau tahu apa yang ia katakan saat itu?"tanya Ferdinand membuat Michella ingin
menebaknya.

"Mengatakan kalau ia mencintai putrimu?"

"Bukan! Dia bilang Lorna miliknya dan selama itu juga, ia akan membayar pajak perusahaan
ku! Kau tahu apa yang aku pikirkan saat itu?"tanya Ferdinand lagi sambil mengepal tangannya
kuat.

"Kau pikir, Alexander sangat serius!"

"Bukan! Aku senang karena Alexander benar-benar membayar pajak perusahaan ku, walau
akhirnya aku bangkrut!"balas pria itu sambil mengeluh kasar.
"Kau sangat menderita, sir!"

"Ya! Aku sangat menderita! Karena itulah, aku tidak ingin bajingan itu menikahi
putriku!"balasnya penuh emosional. Michella diam, ia melirik ke semua arah dan tidak
menemukan Milla dan Billy di manapun sejak keduanya menitipkan Luiz.

"Sungguh nasib kita sangat sama sir,"tukas Michella memasang wajah kecewa.

"Di mana kekasih mu? Bukannya kau baru saja—"

"Dia marah, aku ketahuan keluar bersama Henry tadi malam. Kami hanya makan, tidak lebih dan
dia bersikap tidak dewasa!"curhatnya dengan wajah kecewa memikirkan itu semua.

"Aku rasa kau harusnya berkencan dengan pria yang lebih dewasa,"celetuk Ferdinand sambil
memamerkan kacamata hitam bermerk nya ke arah wanita itu.

"Maaf, aku harus permisi dulu. Tolong jaga Luiz dan barang-barang nya sebentar,"ucap Michella
sambil berdiri dan segera melangkah menjauh tanpa membiarkan Ferdinand bicara.

"Sialan! Aku di perlakukan bukan seperti mertua di sini,"keluhnya sambil mengepal tangan kuat-
kuat lalu membulatkan mata saat mendengar Luiz menangis begitu kencang di dalam stroller
nya.

"Alexander, kenapa daddy yang mengurus Luiz?"tanya Lorna menatap jauh ke arah pantai
membuat mata hazelnut Alexander ikut menangkap hal tersebut.

"Entahlah, mungkin ia ingin belajar menjadi seorang babysitter anakku nanti,"balasnya singkat.

"Apa? Kau gila? Daddy tidak mungkin bisa melakukan itu."

"Bisa saja jika ia ingin, lagipula lebih terpercaya kan? Aku bisa membelikannya seragam
khusus!"

"Aku akan mengecam mu jika kau melakukan itu,"balas Lorna tidak terima dengan apa yang di
katakan pria itu.

"Sudahlah, biarkan boat nya! Kemarilah!"Alexander melirik ke satu orang pria yang harusnya
membawa boat itu, satu kode saja, pria asing itu langsung tahu bahwa ia harus melakukan
tugasnya.

Alexander menarik tubuh Lorna, membawanya ke belakang boat. Ia mengeluarkan sesuatu dari
saku celana pendeknya. Sungguh Lorna menyadari itu sejak tadi, hanya saja wanita itu memilih
diam dan menunggu, sampai Alexander memberikan benda tersebut padanya.
"Ini untukmu, cincin pernikahan kita!"Alexander memasukkan sebuah cincin berlabel Harry
Winston yang memiliki kemurnian bias cahaya hingga hampir 80%. The Graff Pink Diamond
Ring.

"Alexander,"Lorna menelan Saliva, mengusap kilat berlian yang memiliki harga hampir 9juta
dollar itu.

"Kau suka?"tanya Alexander tampak penasaran. Lorna mengangguk pelan lalu meunduk sejenak,
masih memerhatikan keindahan benda tersebut.

"Aku membeli benda itu di Hongkong, sejujurnya aku ingin memasang benda itu di jarimu
empat tahun lalu, tapi— semua itu gagal, setelah kau menghilang. Aku menyimpannya dan
berharap bisa memasangnya di jarimu!"

"Alexander aku—"

"Kau tidak perlu minta maaf. Aku menyukainya, kau membuatku begitu sadar bahwa sampai
kapanpun aku, tidak akan bisa berpaling darimu. Aku benar-benar mencintai mu!"Alexander
mengusap lembut wajah Lorna, menatapnya dalam dan memeluknya erat hingga akhirnya
ciuman pun mendarat sangat dalam.

"Ah! Ingin sekali aku menabrak boat itu agar bajingan itu jatuh ke laut!"ucap Ferdinand melihat
tingkah keduanya lewat kacamata hitamnya. Beruntung Milla datang lebih cepat, hingga ia bisa
mengatasi Luiz.

"Sir!!!"mendadak pria yang mengendalikan boat itu berteriak. Seseorang lainnya nyaris
menabrak boat milik mereka hingga akhirnya benda itu terguncang hebat.

Byurrr!!

Alexander jatuh ke laut saat Lorna tanpa sengaja mendorongnya, wanita itu berusaha
menyelamatkan diri sendiri dan berpegangan kuat pada pinggir boat.

"Wohoo!! Rasakan itu, akhirnya Tuhan mengabulkan doaku! Semoga kau hilang
Alexander!"Ferdinand berteriak kencang, ia melihat aksi panik Lorna yang ada di atasnya hingga
boat tersebut akhirnya berhasil terkendalikan.

"Alexander!"suara Lorna melengking keras mencoba mencari di mana pria itu hingga akhirnya
Alexander menampakkan tubuhnya. Sialan! Ia masih baik-baik saja, tidak terjadi apapun. Ia
begitu santai dan menikmati apa yang baru saja terjadi tanpa rasa takut. Ia lihai mempertahankan
diri.
Chapter 55 : Giveaway

Empat hari kemudian,

Gedung putih yang ada di ibukota negara Federal padat, ribuan penjaga berkumpul dan semakin
memperketat keamanan. Pertemuan besar di adakan, terkait penyerangan cyberterrorist yang di
pimpin langsung oleh Maxton Theodore Hall, ia di nyatakan meninggal dan Rowan akan di
hukum mati hari ini. Sementara, sisa bawahannya di kenakan hukuman penjara seumur hidup.

Ribuan orang berdiri di depan gedung tampak mengapresiasi langsung atas selamatnya negara
mereka dari pengeboman besar sepanjang sejarah. Hingga hari ini, berita yang di putar selalu
berkaitan dengan hal tersebut.

Di menit berikutnya, seseorang datang. Ia baru saja sampai di Washington, pagi ini. Alexander,
di undang khusus untuk hadir di pertemuan tersebut. "Morning sir,"sambut seorang pria berjas
lengkap sambil membukakan pintunya. Ia hanya tersenyum tipis, lalu melangkah turun dari
mobil miliknya.

Jujur saja, ia malas untuk datang ke acara tersebut dan meninggalkan Lorna di Haggen. Hingga
akhirnya, wanita itu terpaksa ikut hanya untuk menemani Alexander. Tidak akan lengkap
rasanya jika dunia belum tahu siapa sosok yang mendampinginya selama ini. Alexander cukup
tertutup soal kehidupan percintaannya, ia bersih dari segala rumor murahan yang di blow up
media.

"Alexander pelan-pelan!"pintanya sambil meremas sudut suit hitam pekat yang di gunakan pria
tersebut. Seketika pria itu berhenti dan memperhatikan langkah Lorna saat ia menaiki undakan
tangga.

"Harusnya kau memakai sepatu santai!"protes Alexander memperhatikan kaki jenjang wanita
tersebut, tanpa menerima jawaban apapun dari Lorna.

"Bagaimana gadis yang hampir menabrak boat kita kemarin, kau tidak membawanya ke polisi
kan?"tanya Lorna ingin memastikan.

"Billy yang mengurusnya, ia mencuri boat pantai untuk bersenang-senang. Harusnya, ini masuk
kategori kriminal,"balas Alexander datar sambil melangkah masuk ke dalam gedung megah dan
berhenti saat dua orang penjaga memeriksa keadaan mereka.

"Kau tidak bisa melakukan itu, bagaimanapun ia tidak sengaja."

"Sama saja, beruntung aku yang jatuh ke laut. Jika kau? Bagaimana?"tanya Alexander kembali
melangkah masuk setelah menjalani pemeriksaan dan langsung menyambut kembali jemari
Lorna dan merasakan remasan nya dan melenggang di atas karpet merah, mengabaikan
panggilan jurnalis dan membiarkan orang-orang tersebut mengambil puluhan fotonya.

"Alexander,"sambut seseorang saat mereka sampai di ruang rapat yang tampak sudah cukup siap.

Pria itu membalas sambutan cukup ramah, menunjukkan sisi lainnya. Alexander lihai
menempatkan dirinya sebaik mungkin. Ia dan Lorna di arahkan untuk duduk dan mengambil
tempat nyaman sesukanya. Mereka harus menunggu sejenak hingga pertemuan live itu di mulai.

______________________

"Alexander, apa yang kau katakan?"tanya salah satu anggota federasi saat mendengar kalimat
pengunduran diri darinya.

Pria itu mengulum bibirnya, ia mengeluarkan sesuatu dari balik suit dan menaikkan benda
tersebut ke atas agar semua orang melihat nya. "Aku akan menyerahkan benda ini pada negara,
memberi izin, kesepakatan serta copy sesuai kebutuhan, dan, aku ingin mundur dari apapun yang
berkaitan dengan pemerintahan."

"Aku hanya minta, keamanan ketat untuk keluargaku sampai kapanpun!"sambungnya sambil
menatap jelas ke arah Lorna dari kejauhan.

"Alexander tapi, kau tidak bisa sesukanya, kami membutuhkan—"salah satu anggota senat
mencoba mengambil alih namun suaranya terputus saat Alexander melangkah turun, mendekati
satu meja khusus yang ada di sekitar ruangan. Ia meletakkan Flashdisk nya di meja presiden
George, pria yang pernah bekerja sama dengannya untuk menurunkan titah keluarga Hall di
masa lalu.

"Aku harap kau menepati janjimu,"ucapnya sambil menatap begitu tegas membuat orang nomor
satu yang ada di Amerika serikat itu diam menatapnya, ia berdiri dan mensejajarkan tubuh
mereka.

"Permintaan mu di terima seutuhnya Alexander,"ucapnya sambil melempar senyum a tipis


membuat suara tepuk tangan cukup riuh tanpa alasan.

Alexander mengangguk sekali, ia memasukkan tangannya di dalam saku celana lalu memutar
tubuhnya segera, ia menghela napas lalu melonggarkan dasi yang menyesakkan lehernya,
melepaskan jas hitam yang terasa berat di bahunya, sambil melepas beberapa kancing kemeja
nya.

Semua mata tertuju pada tingkahnya hingga pria itu sampai kembali pada Lorna yang seakan
menyambutnya. Pria itu menarik lengan wanita tersebut dan tersenyum lebar. "Kita akan hidup
bebas, sesuai janji ku, kau ingat kan?"tanya nya sambil melebarkan pandangan tajam ke arah
Lorna yang memandang nya penuh haru. Pria itu benar-benar membuatnya begitu spesial di
sepanjang hidupnya.
"Hm! Aku ingat, rumah di pinggir danau yang hanya di tinggali kita bertiga. Aku, kau dan anak
kita!"ucap Lorna dengan suara bergetar. Alexander membasahi bibirnya lembut lalu mendadak
memegang sudut wajah wanita tersebut dan menciumnya dalam.

Seketika, suara tepuk tangan semakin terdengar keras. Beberapa orang di antaranya bahkan
berdiri untuk menyaksikan momentum langka tersebut. Hanya Alexander yang berani
melakukannya di hadapan semua orang, di hadapan puluhan camera yang tengah begitu
menyorot ke arahnya.

_____________________

"Kau yakin ini untukku?"tanya Lorna menatap Supercar koenigsegg ccxr trevita berwarna silver,
benda itu terparkir di mansion sejak beberapa hari lalu.

"Kalau kau tidak mau, Aku dengan senang hati memintanya,"ucap Milla membuat mata wanita
itu bergerak ke arahnya.

"Ini lebih cocok untuk pria seperti ku,"sambung Ferdinand sambil melirik ke arah Michella.

"Kau bahkan tidak tahu bagaimana cara membuka pintunya, jadi mobil ini tidak cocok untuk
mu!"celetuk Alexander membuat mata Ferdiand langsung membulat ke arahnya.

"Apa kau bilang? Harusnya kau memberiku sesuatu, kau mengambil putri ku."

"Jadi, kau mau menukar mobil murah ini dengan putri mu? Sungguh mertua tidak tahu diri, cih!"

"Bajingan, jangan sampai aku melindas mu, Alexander!"jawabnya sambil mendekati pria
tersebut lebih cepat.

"Dad, hentikan. Ini untukku, Alexander memberikan ini padaku, padaku!"tekan Lorna berkali-
kali.

"Ya, untuk anak pembangkang sepertimu, kalian serasi! Pembangkang bertemu pria angkuh,
entah apa jadinya anak kalian nanti, semoga cucuku tidak sepeti kalian nanti."

"Dan semoga anakku tidak mengakui mu sebagai kakeknya,"balas Alexander sambil memutar
haluan tubuhnya.

"Ah ya aku lupa, besok aku akan mengadakan giveaway. Seseorang harus memberiku ide untuk
nama anak yang bagus, hadiahnya tiga buah supercars dan kau, daddy! Siapa tahu, kau bisa
menikah untuk ketiga kalinya!"ucap Alexander dengan suara mengejek.

"Apa? Giveaway?"tanyanya seakan ingin memperjelas hingga akhirnya menantu bajingan


tersebut melambaikan tangan dan melangkah kembali ke mansion.
Seketika Ferdinand mengepal tangannya, geram. Ia merebut kunci mobil yang ada di tangan
Lorna dan melempar benda itu ke arah Alexander.

Takkk!!!

"Headshot!"teriak Milla sambil menepuk kedua tanganya, benda tersebut tepat mengenai kepala
Alexander bahkan lukanya yang masih belum terlalu mengering total. Pria itu meringis,
mendadak memegang kepalanya begitu kuat.

"Aku sudah katakan! Perban kepalamu Alexander,"ucap Milla lalu merasakan Billy mencoba
membungkam mulutnya. Ia tidak ingin Milla dalam masalah serius akibat hal tersebut.

"Daddy! Apa yang kau lakukan!"Lorna langsung mengajukan aksi protes, ia mendekati
Alexander dan memeluknya lalu memilih meninggalkan area tersebut.

"Lihat! Pengangguran itu, dia sangat tahu bagaimana caranya mengambil putriku!"keluhnya
dengan suara parau. Ia melirik ke arah Michella yang terkekeh tipis. Memerhatikan semua
kejadian.

"Apa kau tidak mau berkencan denganku?"tawar nya membuat Milla langsung menaikkan
alisnya begitu tinggi.

"Apa? Kau ingin di racun Ralph? Ayolah kau lebih baik menerima tawaran Alexander, sir!"balas
Milla sambil memukul punggung Michella sekerasnya. Ia berharap wanita tersebut tidak
terkecoh dengan rayuan maut Ferdinand Dulce.

Chapter 56 : Six Months

Milla menggigit ujung kukunya pelan. Ia menatap lugas wajah Billy yang tampak begitu datar.
Entah, ia ingin mengatakan apa pada wanita tersebut, yang jelas sejak tadi ia hanya menahan
Milla untuk tetap berada di depan nya.

"Apa kau butuh sesuatu?"tanya Milla sambil menyipitkan mata. Tuhan! Tolong, mereka sudah
lebih dari sejam dalam posisi seperti itu.

Billy menggeleng, ia tampak ragu. "Lantas? Kau lapar? Atau— kau sakit perut? Butuh
obat?"tanya Milla membuat pria itu sedikit tersenyum tipis.

"Ayolah, Alexander pasti sedang mengutukku karena menitipkan Luiz terlalu lama."sambung
Milla sambil meletakkan tangannya di dagu, tanpa melepaskan pandangan matanya sejak tadi.
"Aku membelikan mu sesuatu,"ucapnya pelan tampak cukup takut. Mentalnya langsung hancur
saat melihat Alexander mampu membelikan Lorna sebuah mobil langka yang hanya di produksi
3 buah di dunia, sedangkan ia tidak.

"Lantas? Tidak kau berikan padaku?"tanya Milla penasaran.

"Hadiah ku tidak seberapa, aku mengumpulkan ini dari sisa gaji—"Billy terdiam saat wanita itu
memeluknya erat.

"Aku mencintaimu,"Milla mengeratkan pelukan hangat. Ia ingin membuat pria itu berarti
untuknya.

"Milla, maaf— karena aku benar-benar tidak sebanding dengan Alexander!"

"Dasar bodoh! Kau tidak perlu membandingkan dirimu dengan si brengsek itu, kau milikku!
Harusnya kau mengangkat dagumu untuk ku, bukan malah membandingkan diri, kau tidak akan
mampu jika membandingkan diri mu terus-terusan!"wanita itu bicara sarkas, menjelaskan apa
yang harusnya ia katakan. Cukup sudah, kesalahpahaman mereka dulu.

"Milla tapi aku—"

"Sudahlah, berikan hadiahnya!"potongnya cepat sambil mengangkat kembali kepalanya. Ia


mengedarkan pandangan di wajah Billy yang masih begitu kaku.

"Sesekali, tersenyumlah sayang. Kau itu tampan!"Milla mencebik pipi pria itu, menariknya ke
samping membuat Billy langsung mengikutinya, hingga suara tawa keduanya mendadak pecah.

"Aku mencintaimu, Milla!"balasnya sambil mendekatkan diri dan mengecup pelan area bibir
wanita itu.

"Kurang lama!"protes Milla saat Billy begitu cepat menjauh darinya.

"Baiklah,"Billy langsung kembali mendekat, ia mengulum lembut bibir tebal milik wanita itu.
Menekannya sedikit turun dan menyisipkan lidahnya dalam. Milla terdiam, ia meremas lengan
pria itu kuat-kuat dan merasakan jantungnya berdebar.

Billy diam-diam meraih sesuatu dari jacketnya, menarik ujung jari wanita itu dan menyisipkan
sebuah berlian blue safir pada wanita tersebut.

Seketika, Milla langsung mendorong pria tersebut berharap agar ciuman mereka menjeda
sejenak. Namun, Billy malah menekan tengkuknya kuat dan mendorong wanita itu kebelakang
hingga terbaring. "Billy.. Aku..."
"Diamlah.."tekan pria itu sambil meremas kuat jemari lentik Milla. Wanita garang itu tampak
lemah di bawah kuasa Billy yang semakin lancar menjalankan aksinya.

Hingga akhirnya Milla merasakan dirinya penuh akibat gerakan pelan pria tersebut dalam
beberapa menit yang begitu panas.

_________________

Bulan demi bulan berlalu cepat tanpa kompromi, begitu banyak perubahan dalam enam bulan
terakhir ini. Diantaranya, Henry yang memilih pulang ke negara asalnya setelah mendapatkan
identitasnya kembali, ia mendapatkan tawaran besar untuk memimpin federasi nuklir dunia
menggantikan Alexander.

Michella yang baru saja mengakhiri hubungannya bersama Dr. Ralph, sudah menjadi konsumsi
publik. Keduanya sering tidak akur, mungkin karena perbedaan umur yang sangat jauh. Michella
masih sibuk dengan kehidupannya dan Ralph terlalu keras untuk menarik wanita itu kedalam
ikatan pernikahan. Michella bukan wanita sembarangan, ia sulit di sentuh!

Ferdinand Dulce, masih sama. Ia hanya sibuk menggoda Michella, berharap wanita muda itu
mau menikah dengannya. Gila saja! Michella jelas menolak. Aksi itu bahkan di protes keras oleh
Alexander, pria yang ia cap sebagai bajingan sialan yang mencuri putrinya. Ayolah, Lorna
bahkan sudah hamil lebih dari delapan bulan dan mereka masih bersikap kekanakan.

Contohnya, seperti hari ini. Ferdinand menyiram sisa air cucian mobil ke arah Alexander karena
masalah sepele yang mereka ributkan. Alhasil, Ferdinand terusir. Ia tidur di luar kamar karena
Alexander membuang kuncinya ke dalam danau.

Sementara Milla, ia tengah menangis di dalam kamarnya sejak pagi setelah melihat hasil
tespacknya. Ia hamil, bahkan sekarang sudah berjalan nyaris dua bulan, ia ketakutan karena
kehamilannya saat ini belum melewati waktu interval interpregnancy, walau demikian team
dokter tidak mengatakan ia mengalami kompilasi karena hal tersebut.

Billy, manusia kulkas yang baru sama membeli sebuah penthouse yang berada di sekitar mansion
Alexander saat ini tengah berdiam diri, ia memperhatikan Luiz yang sedang mengemut
makananya sambil berpikir dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kehamilan kedua Milla
yang benar-benar di luar dugaan. Ya Tuhan, entah mata sebelah mana lagi yang akan di tinju
Milla nanti.

Terakhir manusia nomor satu yang ada di sini, Alexander Dalle Morgan. Pria yang baru saja
memastikan bahwa jenis kelamin anaknya yang ada di kandungan Lorna, laki-laki. Ia langsung
menyatakan kemenangan, menjamin Milla kalah telak. Ah ya— Alexander juga sudah
memutuskan untuk keluar dari Haggen dan menetap di Naples, Florida. Ia membeli
megamansion seharga fantastis dengan danau untuk menyandarkan dua yacht kecilnya dan
helipad khusus. Kekayaannya bertambah berkali-kali lipat bahkan mampu meninggalkan delapan
digit kekayaan keluarga Stefano
dan menguasai 52% pasar Amerika serikat. Enam perusahaan besar Alexander sukses besar di
antara yang lainnya sejak Presiden memberinya rekor dan penghargaan besar.

"Alexander!"Lorna mengeratkan pelukannya di leher pria tersebut dan mengecupnya pelan.

"Jangan memintaku untuk memberikan kunci cadangan kamar daddy mu! Sudah aku
buang!"celetuknya sarkas membuat Lorna semakin mengeratkan pelukan.

"Alexander, daddy butuh—"

"Biarkan saja dia tidur di gazebo!"potong Alexander tegas. Ia marah besar kali ini. Tidak peduli
siapa yang menyerangnya.

"Alexander, di sana banyak nyamuk!"

"Bukan urusan ku!"balasnya lagi dengan nada suara yang tidak ingin terbantahkan. Lorna
menalan ludah lalu mengusap perutnya yang terasa begitu berat dan melangkah pelan ke hadapan
pria itu.

"Perutku sakit,"ucap Lorna sambil memegang pinggulnya yang terasa remuk.

"Jangan banyak bergerak, kemari lah!"Alexander menariknya dan membiarkan wanita itu duduk
di pangkuannya. Ia langsung memeluk Lorna dan mengecupnya pelan perut yang terasa keras
itu. Ah Alexander suka melakukan hal tersebut, kadang ia menunggu hingga sesekali janin itu
bergerak sekaligus menendangnya.

Deg!

"Alexander. Dia bergerak saat di dekat mu!"ucap Lorna tampak tersenyum simpul, dan tentunya
ia melupakan Ferdinand Dulce. Jika bisa, ia harusnya tidur di kamu lain. Ayolah— mansion itu
punya 13 kamar tidur, namun semua kunci kamar kosong di simpan Alexander dalam lemari baja
nya. Hanya ia yang bisa membuka kode tersebut.

"Ayolah, kau caesar saja! Aku tidak sabar melihatnya,"rayu Alexander dengan suara parau.
Entah lah, ia merasa begitu sempurna jika anaknya itu lahir. Alexander tidak sabar.

"Tidak mau, jika bisa aku ingin normal! Titik!"balas Lorna tidak ingin di bantah. Kali ini,
Alexander yang mengalah. Ia tidak ingin mengambil risiko besar untuk Lorna dan bayinya nanti.

Chapter 57 : Maxent Wesley Morgan


"Alexander!"Lorna memegang kuat sudut kaos pria tersebut, mencoba memeluknya sebisa
mungkin. Ia kesakitan, mengalami kontraksi hebat secara mendadak. Wanita tersebut, di bawa
cepat ke salah satu rumah sakit besar yang ada di Naples.

"Tenang lah!"Alexander berbisik, ia memalingkan pandangan ke tempat lain sebisanya.


Sungguh, ia benar-benar tidak tahan melihat bagaimana Lorna mengerang.

"Istrimu siap melahirkan sir," tegur salah satu perawat wanita sambil memepersipakan alat-alat
yang mereka butuhkan.

"Alex, aku takut!"Lorna berbisik lambat, mmebuay pria tersebut semakin memeluknya lebih
erat.

"Aku tidak akan melepasmu,"suara Alexander parau, ia mengecup pelan kening Lorna yang
penuh keringat tanpa henti. Sekadar menguatkan sebisa mungkin.

"Nona ayolah, kau kuat!"tukas perawat tersebut ikut menghibur hingga Lorna mengangguk
pelan.

"Alexander apa Dokter Ralph yang—"

"Tidak, dokter lain. Seorang wanita, Dr. Ralph masih di Haggen!"celetuknya dengan suara tegas
membuat wajah Lorna mengerut. Wanita itu, masih saja sempat mengingat dokter tampan itu.

"Alex tapi—"

"Selamat siang, aku Dr. Daniella Flint yang akan membantu proses kelahiran mu Mrs.
Morgan,"wanita berdarah Inggris itu tersenyum simpul, ia melihat Alexander melepaskan
pelukannya dan tampak menatap dengan penuh pandangan harapan tinggi.

"Cepatlah, lakukan sesuatu. Ini sangat sakit!"sentak Lorna sambil memegang kuat kedua sudut
ranjang dan meremasnya kuat.

Dokter itu maklum, ia tersenyum kembali lalu mengedarkan pandangan ke arah dua
pendampingnya untuk berkomunikasi. Lorna merasakan Alexander kembali memeluknya erat
dengan posisi menyamping.

Tap!

Lorna menangkap rambut tebal pria tersebut dan meremas nya begitu kuat. Alexander langsung
menarik kepalanya kuat, namun usahanya tersebut gagal. Lorna malah semakin menarik kuat
bahkan dengan kedua tangannya.

"Alexander, sakit!"rintihnya sekali dan mulai merasakan sesuatu bergerak di sisi bagian
intimnya. Sungguh, rasanya semakin menakutkan saat itu, Lorna bahkan tidak mampu membuka
matanya. Ia pasrah hingga suara Dokter Daniella terdengar menuntunnya.
"Lorna!"

"Diamlah brengsek, aku pinjam rambutmu!"racau Lorna saat pria itu mencoba melepas
cengkeramannya. Sungguh, itu menyakitkan. Alexander merasakan seakan rambutnya ingin
lepas.

"Lebih keras! Ayolah kau bisa!"suara Dokter Daniella membuat Lorna semakin mengeratkan
cekalan, ia menekan perutnya dengan satu napas, lalu berteriak tegas tepat di telinga Alexander
yang langsung menutup telinga nya.

Seketika, Lorna seakan merasakan sesuatu lepas dari dirinya, kosong seketika bersama napas
yang masih terasa cepat. Ia melirik ke bawah dan merasakan Alexander mulai melepas
pelukannya.

"Dia laki-laki, sangat tampan!"ucap dokter tersebut cukup tegang mencoba mengalahkan suara
tangisan bayi yang baru saja menyambut dunia.

"Kau bisa memeluknya,"dokter itu meletakkan sang bayi di dadanya, membuat Lorna langsung
menyambutnya dengan rasa haru.

Ya Tuhan, mata binar yang tengah bergerak kesana-kemari itu seakan mencari sosok yang ingin
ia lihat untuk pertama kalinya, hingga Alexander yang terdiam tanpa ekspresi akhirnya
menyentuh helai rambut Lorna dan mengecup kening wanita tersebut. Ia memeluk keduanya,
memeluk dengan hati yang begitu hangat. Hidupnya serasa sempurna, begitu membuatnya
tersentuh. Pria itu bahkan tidak mampu bicara sepatah katapun untuk mengekspresikan dirinya.

"Aku mencintai mu, Lorna. Mencintai kalian,"bisik pria itu parau sambil mengeratkan pelukan
paling hangat hingga suara bayi kecil itu terdengar pelan. Ia hanya mengedarkan pandangan
kabur entah kemana, seakan paham bahwa ia adalah bayi beruntung yang hadir di garis keluarga
Morgans.

Lorna membalas pelukan pria itu, menyatukan nya lebih rapat. "Aku juga, aku juga mencintai
mu. Alexander."

____________________

Beberapa jam kemudian, terjadi pertengkaran hebat di salah satu kamar VVIP yang ada di rumah
sakit tersebut. Alexander nekat, ingin memberikan nama yang sama dengannya pada bayi kecil
yang tampak tidur terlelap. Ia terlihat tidak peduli sedikitpun.

"Tidak bisa! Aku sudah menyiapkan nama untuknya. Jangan egois Alexander!"terang Lorna
dengan suara yang ikut melengking.

Sungguh, Milla, Billy, Ferdinand Dulce dan Michella memilih keluar dari pada harus
mendengarkan pertengkaran mereka. "Aku tidak mau tahu, nama anakku—"
"Baiklah, kita bagi dua. Aku memberi nama depan, kau nama belakang nya!"

"Lorna! Nama Morgan sudah pasti untuknya!"celetuk Alexander kesal.

"Kalau begitu jangan rakus. Ingatlah, aku yang berjuang sampai anakmu lahir,"

"Tanpa ku, kau juga tidak bisa apa-apa Lorna."balas Alexander tetap menunjukkan sikap protes.

"Lantas. Bagaimana bisa kau memberi nama yang sama dengan mu, di saat aku memanggil salah
satu dari kalian, akan sangat lama hanya untuk menjelaskan siapa yang harusnya aku
panggil!"terang Lorna.

"Mudah saja, kau bisa tambah kan sebutan mini di depannya!"ucap Alexander spontan.

"Apa? Mini? Arghh! Kau pikir anakku kucing?"

"Dia anakku!"

"Alexander sudahlah, terserah kau saja. Aku ingin nama Maxent dan kau tinggal tambah Morgan
di belakangnya."

"Aku—"

"Tidak mau tahu, atau akan ku ganti namamu dengan Alexandra!"

Tap!!

Pria itu diam, ia berpikir sejenak sambil mengepal tangan kuat. Ia mengeratkan giginya lalu
melepas napasnya kasar. "Baiklah, terserah kau saja!"

Lorna langsung tersenyum, yah! Ia menang, setelah pertengkaran hebat barusan. "Harusnya kau
mengalah sejak tadi, honey!"

Wanita itu menatap licik, ia mengayuh tangannya seakan memanggil pria tersebut untuk
mendekat. "Kau boleh menang sekarang, Lorna."celetuknya sambil melangkah ke arah wanita
tersebut dan memeluknya. Ia bahkan mencium kening Lorna berkali-kali sangat dalam, sambil
memerhatikan bayi kecil itu mulai bergerak.

"Aku suka nama nya, Maxent Wesley....."

"Morgan! Cukup tiga kata!"sambung Alexander dengan suara yang begitu tegas.

"Ya! Maxent Wesley Morgan!"

_________________
"Baiklah, gen mu menang Alexander. Kalian berdua sangat mirip!"tukas Milla sambil menatap
tanpa henti wajah Maxent sambil menggendong Luiz yang tidak banyak bicara. Anak itu hanya
bicara seperlunya, sisanya ia hanya menyakiti orang lain dengan kalimat yang terlontar dari
mulut kecilnya.

"Tentu saja, aku juga menang dari mu Milla!"sambut Alexander sambil melebarkan senyuman
datar.

"Tunggu dulu, kau lupa? Saat ini aku sedang mengandung,"Milla menaikkan kedua alisnya
cepat. Tersenyum penuh ancaman membuat mulut Alexander kram seketika.

"Kalau anakmu perempuan, keluar dari mansion ku!"

"Kenapa? Billy bekerja dengan mu!"

"Dia dibebastugaskan! Karena itu berdoalah agar anakmu sama sepertu Luiz!"

"Kau licik Alexander!"

"Apa bedanya dengan mu? Kau ingin memanfaatkan Luiz yang bahkan belum tahu
apapun!"tukas Alexander sambil menatap tajam ke arah wanita tersebut. Luiz melirik saat
namanya di sebut, ia menaikkan bibir ke atas sedikit bergenyit. Ia ingin menyampaikan sesuatu,
namun semua itu di urungkannya kembali. Sungguh, anak itu sangat sulit bicara. Kata-katanya
mahal!

"Alexander! Di mana daddy?" celetuk Lorna saat ia baru saja keluar dari toilet.

"Daddy mu mengajak Michella dan Billy makan di restaurant,"balas Milla datar.

"Kenapa kau tidak ikut?"ucap Lorna sambil mendekati Maxent dan memeriksanya.

"Aku bertengkar dengan daddy mu."

"Apa? Kenapa?"Lorna bergenyit penasaran, ia menggendong Maxent dan memeluknya erat-erat.

"Aku tidak mau ingat! Yang jelas daddy mu itu keterlaluan."

"Aku setuju,"sambung Alexander menguatkan.

"Kalian bekerjasama untuk menyingkirkan daddu ku?"tanya Lorna sambil mengedarkan matanya
ke tiap arah.

"Jika bisa, akan ku suntik mati daddy mu itu!"balas Milla dengan suara tegas.

Plakk!!
Luiz geram, ia memukul mulut Milla cukup keras. Sialan, Luiz berada di pihak Ferdinand garis
keras. Pria tua itu selalu menurutinya dan membelikan apapun yang ia inginkan dengan uang
Alexander.

"Luiz apa yang kau lakukan!"ucap Milla sambil menurunkan anak itu ke bawah.

"Dia tahu, mana yang benar dan tidak Milla,"sindir Lorna sambil terkekeh pelan, lalu melirik ke
arah Alexander. Pria terebut sudah berada di sampingnya, menatap erat ke arah Maxent yang
tengah menyusui.

Chapter 58 : Playhouse

Hari ini, tepat dua tahun usia Maxent. Luar biasa, waktu berjalan sangat cepat di sekitar
Alexander. Sangat sempurna sesuai dengan harapan yang sangat di idamkan pria tersebut. Ah-
tapi, tunggu, hal buruk menurut Alexander adalah saat mengetahui bahwa anak dari Milla dan
Billy, perempuan. Sangat cantik lebih dominan dengan Milla, sesungguhnya Milla sudah tahu
sejak awal, namun ia sengaja menyembunyikannya untuk memberi kejutan pada Alexander saat
anak mereka benar-benar lahir. Malaikat kecil cantik tersebut di beri nama Megan Axtar
Hodgue.

Alexander mengeluh kasar, meneliti play house milik Maxent yang di buat khusus agar ia
nyaman berada di ruangan tersebut.

"Daddy!"panggil Maxent sambil menodongkan sebuah senjata air ke arah Alexander. Pria itu
tersenyum tipis, ayo la ia letih seharian mengikuti kemauan Maxent. Mereka baru saja pulang
untuk memborong ratusan mainan, lihat saja, Maxent bahkan sudah menyusun semua senjata
mainan nya dengan rapi.

"Dimana Luiz?"tanya pria itu sambil mengedarkan pandangan.

"I don't know dad,"balasnya santai sambil meletakkan mainan nya dan mengganti dengan jenis
tembakan lainnya. Ia begitu kegirangan.

"Maxent, apa kau memukul Luiz lagi?"selidik Alexander membuat anak itu langsung diam dan
memasukkan tangannya ke dalam mulut.

"Maxent, ayolah!"pujuk Alexander lembut, hingga akhirnya anak itu mengangguk pelan.

"Kemarilah,"pinta Alexander dengan suara pelan, meminta Maxent untuk duduk di


pangkuannya. Sungguh, anaknya satu ini sangat luar biasa. Sudah jadi makanan sehari-hari jika
Luiz menangis karena tingkahnya, Maxent benci di abaikan, sementara Luiz malas bicara.
Mereka sangat tidak cocok untuk berada di satu ruangan.
Terakhir kali, Alexander mendapati keduanya memainkan tong sampah. Maxent meminta Luiz
berdiri di belakangnya sementara anaknya itu menekan pedal hingga penutup nya tepat mengenai
wajah Luiz sangat keras. Luiz menangis lantang, sementara Maxent melenggang santai nya.
Percayalah, itu hanya hal kecil, Maxent bahkan pernah melekatkan lem keras di tubuh Luiz
hingga anak tersebut melekat di tembok selama 13 jam. Maxent memaksa bodyguard
membantunya. Terpaksa.

"Superman!"begitulah teriakan lantang Maxent saat melihat Luiz menangis meminta pertolongan
agar ia bisa terlepas dari perekat tersebut.

Sekarang, Alexander tampak memberi pengertian pada Maxent. Ia menepuk punggung anak itu
pelan hingga Maxent mengangguk paham. "Okay daddy!"sungutnya pelan sambil memeluk erat
Alexander.

"Sekarang istirahatlah,"perintah Alexander sambil menggendong putra tunggalnya tersebut.


Maxent sangat dekat dengannya, apapun yang anak itu minta sudah pasti masuk dalam prioritas
Alexander. Ia bahkan memiliki enam play house berbeda di tiap ruangan. Mainan nya ribuan
bentuk, mulai yang manual maupun otomatis.

"Maxent,"tegur Ferdinand dengan wajah kesal. Anak tersebut menoleh, namun, Alexander tidak
berhenti melangkah. Pagi ini, mereka bertengkar hebat, Ferdinand patah hati karena akhirnya
Michella menerima lamaran Dr. Ralph, mereka akan menikah satu bulan lagi. Hasil dari semua
itu, beberapa mobil Alexander jadi sasarannya, Ferdinand mengajak Maxent dan Luiz untuk
melukis di badan mobil Alexander dengan spidol permanen. Bagaimana tidak? Alexander
merupakan tersangka utama yang nekat mendorong Michella agar menerima lamaran tersebut.

"Anak dan daddy nya sama saja,"celetuk Ferdinand saat melihat Maxent menjulurkan lidah ke
arahnya sampai Alexander menaiki elevator menuju tingkat tertinggi dari mansion tersebut.

"Maxent, kau ingat apa yang aku katakan tadi?"tanya Alexander sambil menatap bulat mata
putranya tersebut. Maxent menoleh, menjawabnya dengan anggukan pelan.

"Good, kau boleh sombong dengan apa yang kau punya, tapi kau tidak bisa melakukanya pada
apa yang sudah kau berikan pada orang lain, semua bukan menjadi milikmu lagi,"terang
Alexander mengingatkan, hingga Maxent memeluk lehernya sebagai tanda mengerti. Alexander
selalu luar biasa, Lorna kadang kagum pada pria tersebut. Maxent masuk dalam kategori
beruntung untuk hadir di keluarga Morgans.

"Mommy!!!!"teriak Maxent saat pintu elevator terbuka dan menampilkan wanita tersebut.

"Maxent, Mommy baru saja ingin mencari kalian."tukas Lorna sambil mengusap mengecup
pelan pipi kanan anak tersebut.

"Bagaimana keadaan mu?"


"Sudah lebih baik, aku tidur lebih dari dua jam,"Lorna mengaitkan tubuhnya pada Alexander,
menempatkan diri di celah keduanya. Akhir-akhir ini, wanita tersebut sering lemas, apapun yang
ia lakukan akan berefek banyak di tubuhnya.

"Apa kau senang hari ini, Maxent?"tanya Lorna sambil meraih tubuh gempal anaknya tersebut
lalu mengecup keningnya berkali-kali.

"Hm... Daddy membelikanku banyak mainan,"balasnya bangga.

"Benarkah, sudah habiskan semua uang nya?"Lorna tersenyum melirik ke arah Alexander yang
ikut mengecup tengkuk Maxent.

"Mom..."Maxent memeluknya erat, ia membalas ciuman wanita tersebut dan membisikkan


sesuatu hal di telinga Lorna. Seketika mata wanita itu membulat besar sambil menatap tegas ke
arah Alexander.

"Ah.. Jadi daddy mu bertemu dengan mantan pacarnya hari ini?"

Deg!

Alexander menelan ludah, ia ingin mengumpat sekejinya. Maxent ternyata tidak bisa di ajak
kerjasama, ayolah, ia hanya bertemu Joana dan wanita tersebut bahkan sudah menikah.

"Ahmm.. Daddy mau-"

"Alexander, apa kau bicara banyak hal dengan mantan pacar mu itu? Mantan yang
mana?"potong Lorna penasaran dengan sorot matanya yang begitu liar. Maxent tersenyum, ia
seakan senang memerhatikan Alexander terpuruk.

"Lorna ayolah, aku tidak mungkin melirik wanita lain."

"Katamu, nyatanya kau memiliki kekasih saat aku pergi ke Haggen!"

"Kau juga sama, bahkan kekasih mu itu-"

"Alexander,"tegur Lorna tidak ingin mengingat masa lalunya, apalagi, mereka tengah bicara di
hadapan Maxent.

"Ah ya! Milla mengadakan pesta kecil di belakang mansion mu, harusnya kita bergabung."

"Apa? Belakang mansion mu?"tanya Alexander memperjelas.

"Ya! Memang kenapa? Bukannya Milla sudah memberitahumu?"

"Sialan. Pembohong itu semakin ulung."batin Alexander memperkuat permusuhan nya antara
Milla.
"Kalian pergilah dulu, aku harus memeriksa sesuatu."

"Apa yang kau periksa?"tukas pria tersebut membuat Lorna berdiam diri sejenak.

"Aku akan memberitahu mu nanti,"Lorna langsung memutar tubuhnya setelah memberikan


Maxent kembali pada pria tersebut dan segera masuk serta mengunci pintu kamar tersebut.

______________________

"Alexander,"ucap Milla saat melihat pria tersebut bergabung di acara kecil yang ia buat untuk
Megan yang saat ini berada pada Billy. Seketika, ia menurunkan Maxent, mendorong nya agar
anak itu menjauh.

"Kau ingin tahu apa yang di lakukan anak mu hari ini?"tanya Milla sambil melipat kedua
tangannya di dada.

"Maxent menjadikan kening anakku sasaran peluru karetnya!"tandas Milla sambil melirik ke
arah dua bocah yang tampak kembali berbaikan itu.

"Aku rasa, anakku sedang menguji ketahanan kepalanya, santai saja!"balas Alexander.

"Apa katamu?"

"Milla ayolah, kau lihat mereka sudah tidak mengalami masalah apapun. Sekarang, gantian,
Maxent yang menjadi tumbalnya!"tunjuk Alexander saat melihat putranya menaikkan rambut ke
atas agar Luiz menembak keningnya, membalas apa yang ia lakukan sebelumnya.

"Caramu salah, Alexander. Ini salah,"terang Milla.

"Benarkah? Setiap orang punya didikan masing-masing, kau bukan orang tua yang paling baik di
dunia ini. Aku tahu anakku,"Alexander memicingkan mata, mengedarkan ke seluruh tempat saat
Ferdinand dulce mendekati dua bocah tersebut. Pria paruh baya itu menyayangi keduanya sama
rata, tidak peduli jika kenyataannya Maxent begitu membuatnya frustasi.

"Milla sudahlah,"tegur Billy saat ia ikut mendekat agar pertengkaran atau perselisihan tidak
terjadi di antara keluarga tersebut.

Seketika Milla langsung mengulum bibirnya dan mencoba mengalah, baiklah, kali ini ia akan
menerima apapun konsekuensinya.

"Alexander!"mendadak, suara Lorna terdengar sangat lantang membuat semua mata langsung
menoleh ke arahnya.

"Alexander gawat!"Wanita itu menggenggam sesuatu, ia mengedarkan pandangan hingga semua


orang yang ada di sekitar berkumpul. Bahkan, Michella dan Dr. Ralph yang baru sampai di
sekitar tempat tersebut pun langsung datang untuk bergabung.
"Ada apa, Lorna? Kenapa wajahmu pucat?"Alexander mengusap wajah wanita tersebut,
menangkap banyak pertanyaan dari sana.

"Aku hamil,"seketika Lorna menelan ludahnya dengan sangat kuat membuat mata pria tersebut
langsung membulat besar.

"Apa?"Lorna langsung memberikan bukti tespack nya pada Alexander, lalu di rebut Milla
sebelum pria tersebut memastikannya.

"Sudah tiga bulan aku berhenti menstruasi, aku pikir hal itu biasa, rupanya-"Lorna terdiam,
Alexander memeluk hangat tubuhnya dengan rasa tidak percaya. Entah, apa yang begitu
membuat pria tersebut berubah pikiran, yang jelas saat ini Alexander sangat bahagia.

"Alexander, apa kau tidak keberatan?"tanya Lorna dengan wajah penasaran.

"Lantas, apa kau ingin membuang darah daging mu sendiri? Aku bukan tipe pria brengsek
seperti yang kau pikirkan, Lorna!"balas pria itu sambil menekan kening Lorna dengan ujung jari
telunjuknya.

"Akhirnya! Dengar, buat daddy mu lebih menderita, aku mendukungmu!"ucap Milla sambil
mengusap perut Lorna dengan lembut.

"Tidak! Aku tidak akan masak, tidak akan menjadi percobaan makeup nya dan tidak-"

"Alexander aku lapar,"potong Lorna dengan manja, ia mengaitkan diri di perut pria tersebut
secara sengaja, tanpa melepaskan sedikitpun pandangannya.

Alexander melirik ke arah Maxent yang hanya sibuk bermain bersama Luiz. Mereka memiliki
dunianya sendiri, hingga Lorna mengalihkan pandangan ke arahnya kembali.

"Alex....."

"Sialan. Aku tidak bisa mengabaikan mu, Lorna,"balasnya sambil memalingkan pandangan ke
arah lain.

"Hmmm.. Sebenarnya, aku juga sedang hamil,"ucap Michella dengan suara parau, membuat
semua mata berpaling padanya.

"Apa?"balas Ferdinand Dulce lebih cepat. Ia melirik ke arah Dr. Ralph tajam lebih dari biasanya.

"Ya, karena itulah Ralph memilih untuk pindah ke Florida, mengikuti ku di sini."

"Ini berita besar, kita harusnya berpesta,"Sekarang suara Billy yang bersambut, ia bertingkah
tidak seperti biasanya.
"Sayang, kau demam?"tegur Milla membuat wajah pria tersebut mendadak merah merona.
Brengsek, kenapa jadi serba salah.

"Lorna!"Alexander memeluk wanita tersebut, mengecup puncak kepalanya berkali-kali dan


membiarkan rasa hangat terus menjalar dari tubuhnya. Ya tuhan, ending ini tampak biasa,
namun, semuanya begitu bahagia dengan berita yang hebat.

Anak-anak mereka akan berkumpul bersama, membentuk sikap unik dari tiap gen yang paling
kuat. Sungguh, ini adalah hadiah istimewa di ujung cerita.

"Kalian melupakan ku?"teriak Olivia lantang, ia baru saja sampai di Florida pagi ini bersama
Jace dan anaknya Selena Dannince Ferdinand.

"Ya Tuhan, kau juga datang?"Lorna mendekati wanita tersebut dan langsung memeluknya sangat
erat. Lengkap sudah harinya saat ini, semua ada di taman belakang mansion Alexander.

"Tampaknya hanya kau yang tidak punya pasangan di sini,"sindir Alexander sambil
memerhatikan sorot mata Ferdinand melenting ke arahnya.

"Diam, atau aku akan membawa Lorna dan cucuku kabur!"ancamnya sarkas.

"Coba saja kalau kau bisa, Lorna mengandung anak kedua ku, ingat itu!""Alexander melangkah,
menjauhkan diri dari pria paruh baya tersebut.

Tap!!

Kaki Alexander mendadak di jejal oleh Ferdinand, hingga akhirnya pria tersebut langsung
kehilangan kendali pada tubuhnya.

Brakk!!

Alexander terjatuh, berguling di tanah membuat semua mata menyorot padanya. Seketika,
Maxent mendekati Ferdinand dulce dan menembak sebuah peluru karet ke arah pria tersebut
cukup brutal.

Tak

Tak

Byurrrr!!!

Seketika pria paruh baya tersebut ikut oleng, ia tercebur ke dalam kolam besar yang ada di
sekitar taman. Alexander bangkit, ingin menghina pria tersebut sedemikian rupa. Sungguh,
kekacauan ini membuat gaduh semua orang yang ada di tempat tersebut.
Tidak sampai di situ, Luiz ikut bergabung, ia mendorong Alexander yang berdiri pada pinggir
kolam hingga pria tersebut ikut tenggelam di dalamnya.

Milla, Billy, Ralph dan Jace memasang taruhan, siapa yang akan menang dalam pertarungan
antara Alexander si brengsek, melawat mertua laknat tersbeut. Sementara Michella, Lorna dan
Olivia lebih memilih untuk menahan Maxent dan Luiz agar tidak bertengkar satu sama lain.

Sungguh, semua ini akhirnya berakhir, bersama beberapa rahasia kecil Alexander yang tidak
pernah terungkap, terbungkus sangat rapi, seperti hubungan yang pernah ia jalin bersama Joana,
campur tangannya dalam pembelian mansion keluarga Dulce dan terlibatnya terhadap pangkat
yang di dapatkan Jace sebagai CEO pada perusahaan kecilnya yang sedang berjalan maju.
Alexander mengetur semuanya, membuat seluruh orang-orang di sekitarnya ikut merasakan
kebahagiaan. Termasuk, Milla dan Billy, Alexander diam-diam mendepositokan dana atas nama
Luiz, tidak ketinggalan Michella, Alexander masih memikirkan hadiah pas untuk ia berikan pada
wanita tersebut.

----------------------------------------------TAMAT---------------------------------------

Anda mungkin juga menyukai