Anda di halaman 1dari 16

LESI-LESI VESIKULOBULOSA PADA JARINGAN LUNAK MULUT

Oleh:
Enny Marwati
Bagian Penyakit Mulut FKG Usakti

Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Trisakti

Dibawakan dalam “Pelatihan Teknis Bidang Oral Medicine” untuk dokter gigi PT Chevron Pacific Indonesia, 8-12 Juni 2009
LESI-LESI VESIKULOBULOSA PADA JARINGAN LUNAK MULUT

Oleh:
Enny Marwati
Bagian Penyakit Mulut FKG Usakti

Abstract
Many ulcerative or vesiculobullous disease of the mouth have a similar clinical appearance. The oral
mucosa is thin, causing vesicles and bullae to break rapidly into ulcers. Ulcers are easily traumatized
from teeth and food, and they become secondarily infected by the oral flora. Mucosal disorders may
occasionally be correctly diagnosed from a brief history and rapid clinical examination. Proper diagnosis
is also important in order to have the proper treatment for the lesions.
Keywords: vesicle, bulla, differential diagnosis

PENDAHULUAN
Di rongga mulut banyak ditemukan lesi berbentuk vesikel ataupun bula yang tampilan klinisnya
serupa. Mukosa mulut merupakan jaringan yang tipis, sehingga vesikel ataupun bula tersebut akan
mudah pecah dan membentuk ulserasi. Ulserasi yang terjadi mudah sekali terkena trauma akibat tergigit
atau teriritasi oleh makanan, sehingga pada lesi akan terjadi infeksi sekunder akibat aktivitas flora mulut.
Bila vesikel atau bula dalam mulut tersebut merupakan manifestasi oral dari penyakit kulit yang diderita
pasien, maka gambaran klinis intra oralnya tidak bersifat spesifik lagi akibat infeksi oleh mikroorganisme
di dalam mulut.
Kelainan yang terjadi pada mukosa mulut kadang dapat dengan tepat ditentukan diagnosisnya
berdasarkan riwayat lesi yang terjadi dan pemeriksaan klinis yang dilakukan. Namun cara ini seringkali
tidak cukup, sehingga terjadi kesalahan dalam penentuan diagnosisnya yang menyebabkan kesalahan
dalam menentukan perawatannya. Ada tiga informasi penting yang dapat digunakan agar bisa dengan
mudah menentukan diagnosis, yaitu: 1. Lamanya lesi berada dalam mulut (untuk menentukan lesi akut
atau kronis), 2. Riwayat lesi serupa di masa lalu (untuk menentukan lesi tersebut bersifat primer atau
sekunder/rekuren), 3. Jumlah lesi yang ada (soliter atau multipel). Informasi yang diperoleh akan
memudahkan dalam menentukan diagnosis (Sook Bin Woo dan Greenberg, 2008).
Bila riwayat lesi dapat diketahui dengan teliti, maka hasil yang didapat sudah bisa digunakan untuk
memperoleh informasi sebaik yang dilakukan pada pemeriksaan klinis. Oleh karena itu diperlukan
pengetahuan dasar tentang penyakit yang melibatkan kulit dan mukosa mulut, agar dapat menentukan
diagnosis kelainan dengan lebih tepat.

TINJAUAN PUSTAKA
Berbagai lesi berbentuk vesikel dan bula yang terjadi pada rongga mulut dapat dikelompokkan ke
dalam dua kategori, yaitu: 1. Penyakit yang disebabkan oleh virus, seperti primary herpetic
gingivostomatitis, recurrent herpetic gingivostomatitis, infeksi virus varicella-zoster, herpangina dan
hand-foot-and-mouth disease, 2. Penyakit yang berkaitan dengan faktor imunologi, seperti pemfigus
vulgaris, mucous membrane pemphigoid, lichen planus erosiva, erythema multiforme, sindroma Stevens-
Johnson (Regezi dkk., 2008, Cawson dan Odell, 2008; Laskaris, 2006).

1. Primary Herpetic Gingivostomatitis

Etiologi
Primary herpetic gingivostomatitis adalah infeksi primer pada mukosa mulut yang disebabkan oleh
virus herpes simpleks tipe 1. Pada orang yang belum memiliki zat anti, virus ini menyebabkan stomatitis
yang disertai terbentuknya vesikel dalam jumlah banyak. Namun demikian, sebagian besar infeksi
primer bersifat subklinis.
Penularan virus herpes terjadi karena kontak langsung. Hingga 90% pada penduduk miskin di suatu
daerah yang luas terjadi pembentukan antibodi terhadap virus ini semasa kanak-kanak. Sekitar 70%
penduduk berusia 20 tahun tidak memiliki zat anti terhadap virus tersebut karena memang belum
pernah terpapar terhadapnya. Di beberapa negara, insidens stomatitis herpetika menurun dan lebih
sering ditemukan pada remaja dan dewasa, tidak lagi pada anak-anak. Infeksi virus ini juga banyak
ditemukan pada orang dengan kondisi kompromis medis seperti infeksi HIV, dan bersifat persisten
ataupun rekuren.
Gambaran Klinis
Lesi timbul dengan cepat, didahului oleh demam, sakit kepala, malaise, anoreksia, rewel pada anak-
anak, limfadenopati, bersifat bilateral dan lesi di mulut terasa sakit. Gambaran klinis yang ditemukan
berupa vesikel berkelompok. Beberapa vesikel ada yang menyatu membentuk lesi yang lebih besar.
Vesikel tersebut cepat pecah, sehingga membentuk ulserasi kecil dan dangkal, tertutup fibrin berwarna
kekuningan.
Lesi baru akan terus muncul dalam 3 – 5 hari pertama. Ulserasi sembuh dalam 10 – 14 hari. Vesikel
dapat ditemukan di mukosa bergerak dan tidak bergerak. Di gusi hampir selalu dapat ditemukan
pembesaran gusi, udema, ulserasi yang sakit (Cawson dan Odell, 2008, Sook Bin Woo dan Greenberg,
2008, Regezi dkk, 2008).

Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang ditemukan. Diagnosis
banding untuk kelainan ini adalah: stomatitis aftosa herpetiformis, hand-foot-and-mouth disease,
herpangina dan acute necrotizing ukcerative gingivostomatitis.

Terapi
Perawatan untuk kelainan ini dilakukan secara suportif dan simptomatis, sesuai dengan gejala yang
timbul. Bila berat, dapat diberikan acyclovir atau valacyclovir.

2. Recurrent Herpetic Gingivostomatitis

Etiologi
Infeksi yang terjadi akibat reaktivasi virus herpes simpleks tipe 1 disebut recurrent herpetic
gingivostomatitis, disebut juga cold sores atau fever blister. Oleh karena terjadi di bibir atas dan bawah,
maka infeksi herpes seperti ini disebut herpes labialis.
Beberapa factor predisposisi yang berperan pada infeksi ini adalah: demam, trauma, panas, sinar
matahari berlebihan, stress, infeksi lainnya (Cawson dan Odell, 2008).
Gambaran Klinis Ekstra Oral
Gejala prodromal yang dikeluhkan penderita antara lain rasa kesemutan, terbakar, kemerahan di
lokasi lesi, limfadenopati dan nyeri pada lokasi dimana vesikel akan muncul (Cawson dan Odell, 2008;
Regezi dkk, 2008).
Dalam beberapa jam, timbul vesikel berkelompok yang bertahan hingga 2 – 3 jam sebelum pecah
bagian atapnya. Beberapa lesi bergabung menjadi satu membentuk lesi yang lebih besar. Dalam 1 – 2
minggu kemudian lesi sembuh tanpa membentuk jaringan parut, jarang yang mengalami infeksi
sekunder.
Untuk rekurensi lesi, ada yang terjadi satu kali dalam satu tahun, ada juga yang satu kali dalam
sebulan. Rekurensi ini menurun dengan bertambahnya usia. Lesi rekuren timbul di tempat yang sama
dengan lesi yang pernah terjadi sebelumnya, atau dekat dengan lokasi tersebut. Pada umumnya daerah
yang sering terlibat adalah daerah perbatasan vermilion dan kulit di sekitar bibir. Oleh karena terjadi di
bibir dan sekitarnya, maka disebut herpes labialis (Regezi dkk, 2008).
Selain ditemukan di rongga mulut, bibir dan sekiktarnya, lesi juga dapat ditemukan di jari tangan,
disebut herpetic whitlow. Herpetic whitlow dapat terjadi pada infeksi primer maupun rekuren. Sebelum
sarung tangan karet merupakan keharusan untuk digunakan, banyak operator yang tertular oleh virus ini
melalui jari tangan mereka akibat berkontak dengan orang yang terinfeksi. Pada jari tangan yang terlibat
timbul rasa nyeri, berwarna merah dan membengkak. Vesikel/pustule kemudian pecah dan membentuk
ulserasi dan krusta di jari tangan. Lesi dapat bertahan hingga 4 – 6 minggu (Regezi dkk, 2008).

Gambaran Klinis Intra Oral


Sebagian besar kasus yang ditemukan memiliki gambaran klinis yang sama dengan gambaran klinis
ekstra oral. Di bibir dan jaringan sekitarnya ditemukan vesikel berkelompok. Intra oral jaringan yang
banyak terlibat adalah palatum durum dan attached gingiva.
Lesi berupa vesikel kecil berkelompok, multiple, berdiameter 1 – 2 mm. Di dalam mulut, kelompok
vesikel tersebut hanya bertahan 2 – 3 hari, kemudian pecah, sehingga yang lebih sering ditemukan
adalah ulserasi yang berkelompok. Lesi akan sembuh dalam 6 – 10 hari.

Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis ekstra oral maupun intra oral.
Recurrent herpetic gingivostomatitis yang melibatkan bibir memiliki gambaran ekstra oral berupa vesikel
kecil yang berkelompok. Rasa gatal atau terbakar timbul sebelum vesikel muncul. Diagnosis bandingnya
adalah stomatitis aftosa herpetiformis, herpangina.

Terapi
Dilakukan secara simptomatis, sesuai dengan gejala yang timbul. Menurut Regezi dkk (2008) serta
Cawson dan Odell (2008), “timing” untuk pengobatan cukup penting diperhatikan. Supaya obat yang
digunakan efektif, maka obat tersebut harus secepatnya digunakan. Waktu yang paling ideal untuk
pengobatan adalah 48 jam pertama. Acyclovir atau derivatnya cukup efektif untuk terapi infeksi
mukokutan. Acyclovir 5% yang digunakan secara topikal 5 kali sehari saat gejala pertama muncul, dapat
mengurangi lamanya perjalanan lesi dan mengurangi timbulnya lesi baru. Namun demikian, obat
tersebut tidak dapat mencegah terjadinya rekurensi.

3. Infeksi Virus Varicella-Zoster

Etiologi
Penyakit herpes zoster terjadi akibat reaktivasi virus varicella-zoster yang sebelumnya di masa
kanak-kanak telah menyebabkan terjadinya varicella/cacar air/chicken pox. Reaktivasi virus ini
menimbulkan infeksi sekunder yang disebut herpes zoster atau shingles.
Struktur virus varicella-zoster serupa dengan virus herpes simpleks, yaitu memiliki inti DNA, juga
kapsid yang terbentuk dari protein dan diselubungi oleh lipid. Virus varicella-zoster juga dapat tinggal di
ganglion sensoris setelah infeksi primer. Lesi yang terjadi berupa vesikel berkelompok yang timbul di
kulit dan mukosa di regio yang dipersarafi oleh ganglion yang terlibat (Regezi dkk, 2008).

Gambaran Klinis Ekstra Oral


Varicella/chicken pox merupakan penyakit yang bersifat akut dan menular pada anak-anak. Infeksi
primer virus varicella-zoster ini biasanya terjadi pada dua dekade pertama. Fase klinis timbul sesudah 2
– 3 minggu masa inkubasi virus, diawali dengan demam ringan, malaise, pruritus, nyeri di leher dan
rhinitis. Kemudian timbul warna merah di kulit/bercak makulopapular yang diikuti oleh terbentuknya
vesikel. Sekelompok lesi menghilang, disusul oleh munculnya kelompok lesi berikutnya, mulai dari dada,
terus menyebar sampai ke wajah dan ekstremitas. Semua vesikel tersebut kemudian pecah dan
membentuk krusta, lalu sembuh dalam satu minggu. Di dalam mulut juga dapat terjadi vesikel yang
mendahului lesi kulit, menyebar dan terbentuk lesi yang menyerupau ulserasi pada aftosa minor (Sook
Bin Woo dan Greenberg, 2008; Cawson dan Odell, 2008; Neville dkk, 1999).

Gambaran Klinis Intra Oral


Infeksi virus herpes zoster lebih banyak ditemukan pada dewasa dan lansia. Sebelum lesi timbul ada
gejala prodromal yang mengawalinya, berupa sakit kepala, malaise, demam. Infeksi ini melibatkan
nervus trigeminus cabang 3 yang menyebabkan timbulnya lesi unilateral di dalam mulut, fasial maupun
okular. Setelah 2 – 4 hari, timbul sekelompok vesikel. Vesikel yang timbul bersifat unilateral dan
segmental. Dalam 2 – 3 hari lesi berubah menjadi pustula dan ulserasi, yang tertutup oleh krusta. Lesi ini
bertahan hingga 2 – 3 minggu. Komplikasi yang timbul dari penyakit ini adalah post herpetic neuralgia
(Sook Bin Woo dan Greenberg, 2008; Laskaris, 2006).

Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis ekstra oral dan intra oral.
Diagnosis bandingnya adalah dengan primary herpetic gingivostomatitis, erythema multiforme dan
stomatitis aftosa herpetiformis.

Terapi
Bersifat suportif dan simptomatis. Pemberian kortikosteroid merupakan kontra indikasi. Acyclovir
dosis tinggi dapat diberikan secara sistemik, berupa preparat 800 mg, 5 kali sehari selama 7 – 10 hari.
Pengobatan ini dapat memperpendek perjalanan penyakit dan mengurangi rasa nyeri post herpetik.
Capsaicin topikal dapat digunakan untuk mengurangi rasa nyeri post herpetik.

4. Herpangina

Etiologi
Herpangina adalah infeksi virus yang bersifat akut dan self-limiting yang disebabkan oleh kelompok
virus coxsackie tipe A1-6, A8, A10 dan A22. Virus menular melalui saliva atau feces yang terkontaminasi.
Gambaran Klinis
Penyakit ini timbul dengan cepat, bersifat endemik, disertai demam, nyeri tenggorok, sakit kepala,
malaise setelah masa inkubasi, diikuti munculnya warna kemerahan yang difus disertai sejumlah vesikel.
Vesikel tersebut kecil dan banyak, cepat pecah, meninggalkan ulserasi dan sembuh dalam 7 – 10 hari.
Lesinya mempunyai tempat predileksi di palatum molle dan uvula, pilar tonsil, dinding posterior faring.
Insidens penyakit: sering terjadi saat pergantian musim, lebih banyak menyerang penderita muda dan
anak-anak. Di dalam mulut timbul sekelompok vesikel di palatum molle, pilar tonsil dan tonsil (Laskaris,
2006; Regezi dkk, 2008; Neville dkk, 1999).

Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis ditentukan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis intra oral. Diagnosis bandingnya
adalah primary herpetic gingivostomatitis, stomatitis aftosa herpetiformis, erythema multiforme, hand-
foot-and-mouth disease.

Terapi
Dilakukan secara suportif dan simptomatik: antipiretik (ibuprofen, acetaminophen) dan anestetikum
topikal. Penyakit terjadi terutama pada anak-anak, bersifat self-limiting dan menimbulkan imunitas
seumur hidup terhadap infeksi virus yang sama.

5. Hand-Foot-and-Mouth Disease

Etiologi
Hand-foot-and-mouth disease merupakan penyakit yang bersifat akut, self-limiting, menular,
disebabkan oleh virus coxsackie A16 (Laskaris, 2006).

Gambaran Klinis
Hand-foot-and-mouth disease menimbulkan epidemic yang melibatkan anak-anak dan dewasa
muda. Sembila puluh persen di antaranya berusia di bawah 5 tahun. Masa inkubasi virus pendek, reda
dalam 1 – 2 minggu. Gejalanya ringan sampai sedang, meliputi demam ringan, malaise, limfadenopati,
rasa nyeri dalam mulut. Lesi di kulit tidak selalu ditemukan, timbul vesikel dikelilingi daerah kemerahan
di bagian dorsal jari tangan dan jari kaki. Lesi makulopapular ini bertahan hingga 5 – 8 hari, ditemukan di
kaki, jari kaki, tangan, jari tangan dan rongga mulut, yang muncul secara bersamaan. Manifestasi intra
oralnya hampir selalu ada, berupa vesikel kecil (5 – 30 vesikel), lesi mudah pecah, meninggalkan ulserasi
dangkal berdiameter 2 – 6 mm, dikelilingi daerah kemerahan. Tempat predileksinya di mukosa pipi,
mukosa bibir, lidah, palatum (Laskaris, 2006; Regezi dkk, 2008; Cawson dan Odell, 2008).

Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis. Diagnosis bandingnya adalah
dengan stomatitis aftosa herpetiformis, infeksi virus herpes simpleks, herpangina.

Terapi
Perawatan dilakukan secara suportif dan simptomatik (Laskaris, 2006; Regezi dkk, 2008). Terapi
dilakukan secara simptomatik kafrena durasinya yang pendek, sifatnya self-limiting, jadi tidak ada terapi
khusus untuk virus. Rasa nyeri yang terjadki membuat pasien mengalami kesulitan untuk makan,
sehingga mengalami dehidrasi dan harus dirawat di rumah sakit. Untuk mengurangi gangguan dalam
mulutnya dapat diberikan obat kumur sodium bikarbonat dalam air hangat (Regezi dkk, 2008).

6. Pemfigus vulgaris

Etiologi
Etiologi pemfigus vulgaris tidak diketahui, namun diperkirakan ada kaitannya dengan kondisi
autoimun berupa terbentuknya bula di kulit dan mukosa. Target antigen yang utama adalah desmoglein
1 dan 3. Biasanya penyakit ini bersifat fatal bila tidak dirawat. Lesi lebih banyak ditemukan pada laki-laki
berusia 40 – 60 tahun, lesi muncul pertama kali di kulit. Lebih dari 70% kasus pemfigus vulgaris
melibatkan mukosa mulut. Bula yang terbentuk sangat rapuh dan mudah pecah, menyebabkan
terjadinya erosi luas, ada kecenderungan bertambah luas di perifer. Tempat predileksinya adalah
mukosa pipi, mukosa bibir, palatum, lidah, dasar mulut dan gingiva (Laskaris, 2006; Cawson dan Odell,
2008).

Gambaran Klinis
Lesi yang ditemukan di kulit berupa bula yang mudah pecah dan membentuk erosi yang bersifat
persisten. Bila pada permukaan epitel yang terlibat dilakukan pengerokan dengan spatel lidah yang
lembab, maka akan terbentuk bula baru di bekas daerah yang dikerok tersebut. Fenomena ini disebut
sebagai tes Nikolsky positif, yang menunjukkan memang ada kelainan pada epitel yang mengakibatkan
terbentuknya bula. Lesi yang sama juga dapat ditemukan di mukosa konjungtiva, hidung, laring, faring,
genital, anus.
Bila dilakukan pemeriksaan histopatologi dapat ditemukan: akantolisis. Pada pemeriksaan
imunofluoresensi ditemukan immunoglobulin G di stratum spinosum.

Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis, pemeriksaan penunjang. Diagnosis
bandingnya adalah mucous membrane pemphigoid, erythema multiforme, lichen planus erosiva,
stomatitis aftosa mayor.

Terapi
Pengobatannya adalah dengan pemberian kortikosteroid sistemik (kombinasi cyclosporine,
azathioprine). Dalam dua dekade terakhir ini, prognosisnya membaik.

7. Mucous Membrane Pemphigoid

Etiologi
Mucous membrane pemphigoid merupakan penyakit kronis berupa bula yang terbentuk di
permukaan mukosa dan setelah pecah meninggalkan erosi/ulserasi yang sakit. Etiologi mucous
membrane pemphigoid tidak diketahui dengan pasti, tetapi ada kaitannya dengan faktor imunologi.
Pada bentuk pemphigoid ini, antigen yang berperan adalah antigen 180, laminin 5, integrin B4 dan
kolagen tipe VII (Regezi dkk, 2008).

Gambaran Klinis
Mucous membrane pemphigoid lebih banyak ditemukan pada wanita dibandingkan pria dengan
perbandingan 1,5 : 1. Penderitanya berusia sekitar 66 tahun, lesi kulit jarang terlibat, di dalam mulut
hampir selalu dapat ditemukan lesinya. Bentuk lesi adalah bula yang bersifat rekuren, mudah pecah
sehingga terbentuk erosi/ulserasi yang sangat sakit. Sifat lesi yang rekuren menyebabkan terjadinya
atrofi dan terbentuknya cicatrix, lesi yang terjadi disebut cicatricial pemphigoid. Lesi ditemukan di regio
tertentu, jarang menyebar. Di gingiva ditemukan pengelupasan pada gingiva, sehingga gingiva terlihat
berwarna merah, erosif dan sakit. Di mata ditemukan konjungtivitis disertai penyatuan antara kelopak
mata dan bola mata, lesinya disebut symblepharon. Kelainan ini membuat mata bertambah kering dan
lama-kelamaan menimbulkan kebutaan pada penderitanya.

Untuk membantu menegakkan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi, yang akan
menunjukkan adanya pemisahan stratum basalis dari jaringan ikat di bawahnya. Pemeriksaan penunjang
lainnya yang dapat digunakan adalah imunofluoresensi, yang akan menunjukkan adanya
immunoglobulin G di stratum basalis (Cawson dan Odell, 2008).

Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis bandingnya adalah dengan pemfigus vulgaris, lichen planus erosiva, stomatitis aftosa mayor.

Terapi
Pengobatannya adalah dengan pemberian kortikosteroid sistemik atau obat imunosupresan lainnya.

8. Lichen planus erosive tipe bullosa

Etiologi
Lichen planus merupakan penyakit yang melibatkan kulit dan mukosa, ditandai oleh terbentuknya
papula di pergelangan tangan , pergelangan kaki, dan permukaan fleksor, kadang disertai rasa gatal.
Etiologinya tidak diketahui, namun factor predisposisi yang berperan adalah factor psikosomatik,
misalnya stres (Laskaris, 2006).

Gambaran Klinis Ekstra Oral


Lesi ekstra oral lichen planus berupa papula yang timbul di pergelangan tangan, pergelangan kaki
dan permukaan fleksor. Di sekitar bula ditemukan garis-garis memberi gambaran seperti jala yang
disebut stria Wickham, lebih banyak ditemukan pada wanita dibandingkan pria dengan perbandingan
3 : 2.
Bila dilakukan pemeriksaan histopatologi akan ditemukan gambaran seperti gigi gergaji di rete pegs
epitel, yang disebut juga saw tooth appearance.

Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis lichen planus ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis ekstra oral dan intra
oral yang ditemukan. Bila perlu dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk melihat adanya saw tooth
appearance. Diagnosis bandingnya adalah dengan oral candidiasis, mucous membrane pemphigoid,
pemfigus vulgaris dan erythema multiforme.

Terapi
Pengobatan dilakukan dengan pemberian kortikosteroid topical. Bila kasusnya berat, dapat
diberikan kortikosteroid sistemik dosis rendah.

9. Erythema Multiforme

Etiologi
Erythema multiforme adalah reaksi hipersensitivitas yang bersifat self-limiting, ditandai oleh adanya
lesi target di kulit dan ulserasi luas pada mukosa mulut (Regezi dkk, 2008). Penyebab erythema
multiforme tidak diketahui, tetapi diduga ada reaksi hipersensitivitas yang berperan pada timbulnya lesi.
Faktor pemicunya dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu infeksi dan obat-obatan. Beberapa
factor lain yang dapat merupakan pemicu adalah keganasan, vaksinasi, penyakit autoimun dan
radioterapi. Infeksi yang seringkali berperan adalah infeksi virus herpes simpleks, tuberculosis dan
histoplasmosis. Sedangkan obat-obatan yang sering disebut sebagai pemicu adalah barbiturate,
sulfonamide, anti konvulsi (seperti carbamazepine dan phenytoin) (Laskaris, 2006; Regezi dkk, 2008).

Gambaran Klinis Ekstra Oral


Erythema multiforme biasanya ditemukan pada usia muda 20 – 30 tahun, bersifat akut dan self-
limiting. Sekitar 25% - 50% penderita erythema multiforme memiliki manifestasi di dalam mulutnya.
Gejala yang dikeluhkan pasien adalah sakit kepala, demam ringan, limfadenopati. Di kulit dapat
ditemukan lesi klasik yaitu target lesion/iris lesion. Lesi ini terdiri dari daerah
kemerahan/vesikel/bula/krusta di bagian tengah, dikelilingi oleh lingkaran konsentris yang lebih pucat,
dikelilingi lagi di bagian luarnya oleh lingkaran kemerahan yang lebih merah dari daerah sekitarnya.
Biasanya daerah ekstremitas yang terlibat dan simetris distribusinya (Laskaris, 2006; Regezi dkk, 2008).

Gambaran klinis Intra Oral


Lesi mulut erythema multiforme berupa ulserasi yang mirip dengan aftosa, bersifat multipel,
superfisial dan menyebar. Bentuk vesikel dan bula hanya bertahan beberapa jam saja, yang sering
ditemukan adalah erosi/ulserasi. Beberapa vesikel ada yang bergabung menjadi satu dan membentuk
lesi yang lebih besar, 2-3 hari kemudian pecah dan membentuk erosi/ulserasi yang luas dengan tepi
tidak beraturan, sakit, tertutup pseudomembran nekrotik. Lesi dapat ditemukan dimana saja terutama
di bibir, mukosa pipi, palatum dan lidah (Laskaris, 2006; Regezi, 2008).

Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis jenis infeksi yang terakhir dialami atau obat yang
terakhir diminum, gambaran klinis ekstra oral dan intra oral. Diagnosis bandingnya dengan stomatitis
aftosa mayor, lichen planus erosiva, pemfigus vulgaris, mucous membrane pemphigoid.

Terapi
Pengobatannya dilakukan dengan pemberian kortikosteroid topikal dan simptomatik. Dijaga agar
mulut selalu dalam keadaan bersih, dengan menggunakan obat kumur. Bila memang ada kaitannya
dengan infeksi virus sebagai pemicu, maka untuk virus diberikan acyclovir 400 – 600 mg sehari selama 5
hari.

10. Sindroma Stevens-Johnson


Sindroma Srevens-Johnson merupakan varian bentuk erythema multiforme yang lebih berat dan
parah, sehingga disebut juga erythema multiforme tipe mayor.

Etiologi
Sindroma Stevens-Johnson tidak diketahui etiologinya, tetapi lebih banyak dikaitkan dengan
penggunaan obat-obatan secara sistemik. Contohnya barbiturate, sulfonamide, anti konvulsi
(carbamazepin, phenytoin), jamu.

Gambaran Klinis
Pada sindroma Stevens-Johnson, lesi kulit klasiknya berupa target lesion/iris lesion, sama seperti
yang ditemukan pada erythema multiforme tipe minor. Di bibir juga ditemukan krusta yang luas pada
kedua bibir atas dan bawah, serta erosi yang luas di mukosa mulut. Pada tipe ini yang berbeda adalah
ditemukannya lesi di mata berupa konjungtivitis kataralis bilateral. Pada beberapa kasus ada yang
disertai lesi di genital.
Lesi intra oralnya hampir selalu ditemukan, berupa bula, erosi yang tertutup pseudomembran
berwarna putih keabuan, ada yang mengalami perdarahan. Lesi dapat meluas hingga ke faring, laring
dan esophagus (Regezi dkk, 2008).

Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis ekstra oral dan intra oral. Diagnosis
bandingnya adalah pemfigus vulgaris, mucous membrane pemphigoid.

Terapi
Pengobatan dilakukan secara simptomatis, dengan kortikosteroid topical, antibiotika, anti jamur.

RINGKASAN
 Anamnesis merupakan tindakan awal yang penting dalam mendapatkan informasi untuk keperluan
diagnosis
 Distribusi lesi di tubuh (gambaran klinis ekstra oral: kulit, mata, genital, rektal) perlu diketahui untuk
membantu kita dalam menentukan diagnosis yang tepat
 Perlu dilakukan anamnesis gejala penyakit yang berkaitan dengan lesi dalam mulut, misalnya: rasa
sakit di persendian, lemah pada otot, rasa sakit saat bernafas, kelainan mata, rasa sakit di toraks.
 Perlu pemeriksaan menyeluruh pada kulit yang terbuka
 Perlu pengetahuan dasar tentang dermatologi karena lesi dalam mulut yang terjadi juga berkaitan
erat dengan lesi yang ada di kulit.
DAFTAR PUSTAKA

Cawson, R.A. dan Odell, E.W. 2008. Cawson’s Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine. Ed. ke-7.
Curchill-Livingstone, Edinburgh. Hal. 206-210, 232-236.

Laskaris, G. 2006. Pocket Atlas of Oral Diseases. Ed ke-2. Thieme, Stuttgart. Hal. 101-111.

Neville, B.W., Damm, D.D. dan White, D.H. 1999. Color Atlas of Clinical Oral Pathology. Ed ke-2.
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. Hal. 138 – 147, 188 – 191.

Regezi, J.A., Sciubba, J.J. dan Jordan, R.C. 2008. Oral Pathology. Clinical Pathologic Correlations. Ed ke-5.
Saunders – Elsevier, St. Louis. Hal. 1-17.

Sook Bin Woo dan Greenberg, M.S. 2008. Ulcerative, Vesicular and Bullous Lesions. Dalam Burket’s Oral
Medicine. M.S. Greenberg, M. Glick dan J.A. Ship, editor. BC Decker, Hamilton. Hal. 41 – 69.

Anda mungkin juga menyukai