DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 8
Al Fauzan
Devi Zamila
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat allah SWT atas rahmat dan bimbingannya sehingga
kami dapat menyusun makalah ini dengan baik.makalah ini merupakan panduan bagi para
mahasiswa dan guru yang kami sajikan secara praktis dan sistematik.serta di rancang sedemikian
rupa sehingga dapat menghasilkan pembahasan yang baik.
Makalah ini tentu jauh dari kesempurnaan untuk itu,kami mohon kritik dan saran dari
pembaca.Atas saran dan bantuan dari semua pihak kami mengucapkan terima kasih.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
Stomatitis adalah kondisi peradangan pada mulut karena kontak dengan pengiritasi
seperti tembakau;defisiensi vitamin; infeksi oleh bakteri, virus atau jamur;atau penggunaan obat
kemoterapi (Potter & Perry,2005).
Stomatitis adalah imflamasi mukosa oral, yang dapat meliputi mukosa bukal (pipi) dan
labial (bibir), lidah, gusi,l angit-langit dan dasar mulut. (Donna L.Wong dkk).
Stomatitis merupakan infeksi umum yang bisa meluas ke mukosa bukal, bibir dan
palatum (William dan wilkins, 2008).
Stomatitis ialah istilah umum yang mengacu pada reaksi inflamasi dan lesi ulseratif
dangkal yang terjadi pada permukaan mukosa mulut atau orofaring 7 sampai 14 hari setelah
pemberian agens kemoterapi tertentu dan setelah terapi radiasi pada kepala dan leher (Otto,
2003).
Stomatitis aftosa rekuren (SAR) adalah suatu peradangan yang terjadi pada mukosa
mulut, biasanya berupa ulser putih kekuningan. Ulser ini dapat berupa ulser tunggal maupun
lebih dari satu. SAR dapat menyerang mukosa mulut yang tidak berkeratin yaitu mukosa bukal,
labial, lateral dan ventral lidah, dasar mulut, palatum lunak dan mukosa orofaring.
SAR merupakan ulser oval rekuren pada mukosa mulut tanpa tanda-tanda adanya
penyakit lain dan salah satu kondisi ulseratif mukosa mulut yang paling menyakitkan terutama
sewaktu makan, menelan dan berbicara. Penyakit ini ringan karena tidak bersifat membahayakan
jiwa dan tidak menular. Tetapi bagi orang -orang yang menderita SAR dengan frekuensi yang
sangat tinggi akan merasa sangat terganggu. Beberapa ahli menyatakan bahwa SAR bukan
merupakan penyakit yang berdiri sendiri, tetapi lebih merupakan gambaran beberapa keadaan
patologis dengan gejala klinis yang sama. SAR dapat membuat frustasi pasien dan perawat
dalam merawatnya, karena kadang-kadang sebelum ulser yang lama sembuh ulser baru dapat
timbul dalam jumlah yang lebih banyak.
Prevalensi SAR bervariasi tergantung pada daerah populasi yang diteliti. Angka
prevalensi SAR berkisar 15-25% dari populasi penduduk di seluruh dunia. Penelitian telah
menemukan terjadinya SAR pada dewasa sekitar 2% di Swedia (1985), 1,9% di Spanyol (2002)
dan 0,5% di Malaysia (2000). SAR tampaknya jarang terjadi di Bedouins Kuwaiti yaitu sekitar
5% dan ditemukan 0,1% pada masyarakat India di Malaysia. Namun, SAR sangat sering terjadi
di Amerika Utara. Di Indonesia belum diketahui berapa prevalensi SAR di masyarakat, tetapi
dari data klinik penyakit mulut di rumah sakit Ciptomangun Kusumo tahun 1988 sampai dengan
1990 dijumpai kasus SAR sebanyak 26,6%, periode 2003-2004 didapatkan prevalensi SAR dari
101 pasien terdapat kasus SAR 17,3%.
SAR lebih sering dijumpai pada wanita daripada pria, pada orang dibawah 40 tahun,
orang kulit putih, tidak merokok, dan pada anak-anak.9 Menurut Smith dan Wray (1999), SAR
dapat terjadi pada semua kelompok umur tetapi lebih sering ditemukan pada masa dewasa muda.
SAR paling sering dimulai selama dekade kedua dari kehidupan seseorang. Pada sebagian besar
keadaan, ulser akan makin jarang terjadi pada pasien yang memasuki dekade keempat dan tidak
pernah terjadi pada pasien yang memasuki dekade kelima dan keenam.
Epidemiologi stomatitis aftosa rekuren terjadi hampir pada 2%-6% pada populasi orang
dewasa yang terinfeksi HIV dan lebih sering terjadi pada anak-anak yang terinfeksi HIV,
khususnya disebabkan obat-obatan seperti didanosine (ddI) yang dapat menginduksi terjadinya
lesi. (Sufiawati: 2009).
2.2 Klasifikasi Stomatitis
a. Mycotic stomatitis
Mycotic stomatitis adalah stomatitis yang disebabkan oleh adanya infeksi mulut atau
rongga mulut oleh jamur Candida. Mycotic stomatitis, disebabkan oleh pertumbuhan Candida
albicans , yang merupakan penyebab stomatitis yang luar biasa pada anjing dan kucing. Hal ini
ditandai dengan adanya bercak putih kekuningan pada lidah atau membran mukosa. Mycotic
stomatitis biasanya dihubungkan dengan penyakit mulut yang lain, penggunaan terapi antibiotik
yang lama, atau pemberian immunosuppression. Pada mycotic stomatitis sering kali pada
jaringan terjadi kemerahan dan timbul ulsor di bagian rongga mulut.
b. Gingivostomatitis
Gingivostomatitis merupakan infeksi virus pada gusi dan bagian mulut lainnya, yang
menimbulkan nyeri. Gusi tampak berwarna merah terang dan terdapat banyak luka terbuka yang
berwarna putih atau kuning di dalam mulut.
Denture stomatitis adalah suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan perubahan-
perubahan patologik pada mukosa penyangga gigi tiruan di dalam rongga mulut. Perubahan-
perubahan tersebut ditandai dengan adanya eritema di bawah gigi tiruan lengkap atau sebagian
baik di rahang atas maupun di rahang bawah. Budtz-Jorgensenl mengemukakan bahwa denture
stomatitis dapat disebabkan oleh bermacam- macam faktor yaitu: trauma, infeksi, pemakaian gigi
tiruan yang terus-menerus, oral hygiene jelek, alergi, dan gangguan faktor sistemik. Oleh karena
itu, gambaran klinis maupun gambaran histopatologis juga bervariasi, sehingga
perawatannyapun perlu dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan kemungkinan
penyebabnya.
d. Aphthous stomatitis
Apthous stomatitis (sariawan) adalah stomatitis yang paling umum sering terjadi.
Sariawan ini adalah jenis ulkus yang sangat nyeri pada jaringan lunak mulut, bibir, lidah, pipi
bagian dalam, pharing, dan langit-langit mulut halus. Tipe sariawan ini tidak menular. Stomatitis
aphtosa ini mempunyai 2 jenis tipe penyakit, diantaranya:
1. Sariawan akut bisa disebabkan oleh trauma sikat gigi, tergigit, dan sebagainya. Pada
sariawan akut ini bila dibiarkan saja akan sembuh dengan sendirinya dalam beberapa
hari.
2. Sariawan kronis akan sulit sembuh jika dibiarkan tanpa diberi tindakan apa-apa.
Sariawan jenis ini disebabkan oleh xerostomia (mulut kering). Pada keadaan mulut
kering, kuantitas saliva atau air ludah berkurang. Akibatnya kualitasnya pun juga
akan berkurang. Penyebab dari xerostomia ini bisa disebabkan gangguan psikologis
(stress), perubahan hormonal, gangguan pencernaan, sensitif terhadap makanan
tertantu dan terlalu banyak mengonsumsi antihistamin atau sedatif.
Adapun secara klinis stomatitis aphtosa ini dapat dibagi menjadi 3 subtipe, diantaranya:
Sebagian besar pasien menderita stomatitis aphtosa bentuk minor ini. Yang ditandai oleh
luka (ulser) bulat atau oval, dangkal, dengan diameter kurang dari 5mm, dan dikelilingi oleh
pinggiran yang eritematus. Ulserasi pada MiRAS cenderung mengenai daerah-daerah non-
keratin, seperti mukosa labial, mukosa bukal dan dasar mulut. Ulserasi bisa tunggal atau
merupakan kelompok yang terdiri atas empat atau lima dan akan sembuh dalam jangka waktu
10-14 hari tanpa meninggal bekas.
Hanya sebagian kecil dari pasien yang terjangkit stomatitis aphtosa jenis ini. Namun jenis
stomatitis aphtosa pada jenis ini lebih hebat daripada stomatitis jenis minor (MiRAS). Secara
klasik, ulser ini berdiameter kira-kira 1-3 cm, dan berlangsung selama 4minggu atau lebih dan
dapat terjadi pada bagian mana saja dari mukosa mulut, termasuk daerah-daerah berkeratin.
Stomatitis aphtosa major ini meninggalkan bekas, bekas pernah adanya ulser seringkali dapat
dilihat penderita MaRAS; jaringan parut terjadi karena keseriusan dan lamanya lesi.
3. Ulserasi herpetiformis (HU)
Istilah ’herpetiformis’ digunakan karena bentuk klinis dari HU (yang dapat terdiri atas
100 ulser kecil-kecil pada satu waktu) mirip dengan gingivostomatitis herpetik primer, tetapi
virus-virus herpes initidak mempunyai peran etiologi pada HU atau dalam setiap bentuk ulserasi
aphtosa.
Kebersihan mulut berhubungan dengan keadaan gigi pasien. Apabila higiene gigi pasien
buruk, sering dapat menjadi penyebab timbulnya sariawan yang berulang.
Makanan atau minuman yang pedas atau panas dapat berpengaruh terhadap mukosa yang
ada didalam mulut yang berfungsi sebagai alat pertahanan dalam melawan infrksi. Selain itu,
juga bserpengaruh terhadap bermacam-macam kuman yang merupakan bagian daripada “flora
mulut” dan tidak menimbulkan gangguan apapun dan disebut apatogen. Daya tahan mulut dapat
menurun karena termik. Jika daya tahan mulut atau tubuh menurun, maka kuman-kuman yang
apatogen itu menjadi patogen dan menimbulkan gangguan atau menyebabkan berbagai
penyakit/infeksi.
bisa terjadi karena bekas dari tergigit itu bisa menimbulkan ulsersehingga dapat
mengakibatkan stomatitis aphtosa.
d. Infeksi jamur
namun biasanya hal ini dihubungkan dengan penurunan sistem pertahanan tubuh
(imuno). Berasal dari kadar imunoglobin abnormal.
e. Infeksi virus
Stomatitis karena herpes simplex stomatitis (HSV) terjadi sebagai utama atau infeksi
tambahan; infeksi tambahan ini adalah sering banyak terjadi. dua tipe HSV dapat
diidentifikasikan : HSV tipe 2 dengan penyebab lesi genital dan HSV tipe 1 dengan respon dari
lesi nongenital. awal terjadinya virus merupakan hasil utama dari infeksi HSV biasa disebut
stomatitis Herpes Akut.
keseragaman ukuran gelembung frekuensinya lebih banyak terjadi dilidah, palatum dan
mukosa bucal dan labial. gelembung burut terjadi setelah nyeri luka meninggalkan areanya yang
mengelilingi sekitar garis tepi erythematous. lesi ditingkat ini biasa terjadi di luka aphathous.
area yang terkena luka 10 sampai 14 hari.
Gelembung mukosa umumnya disertai dengan inflamasi akut gingiva, saat dengan lesi
herpes. Karakteristik lidah dengan keputih-putihan dan klien mengatakan adanya bau busuk di
pernafasannya. infeksi HSV utama dikarakteristikkan dari gejala yang timbul dari infeksi
termasuk kelemasan, panas dan pembesaran dalam limpa.
Letak dan susunan gigi yang tidak teratur akan sanagt berpengaruh terhadap kebersihan
gigi. Dimana terjadi kesulitan dalam proses membersihkan kotoran yang tersangkut atau melekat
pada baian yang sulit dijangkau oleh sikat gigi.
a. Rokok
Asap rokok banyak mengandung zat-zat berbahaya yang dapat menyebabkan berbagai
macam penyakit terutama pada stomatitis. Pada penyakit ini, asap rokok yang mengandung zat-
zat yang berbahaya masuk ke dalam tubuh melalui mulut yang banyak terdapat mukosa sebagai
alat perlindungan tubuh terhadap infeksi. Zat-zat adiktif tersebut yang berasal dari asap rokok
menyebabkan kerusakan pada mukosa-mukosa didalam mulut. Sehingga terjadi penurunan imun
terutama pada bagian mulut yang menyebabkan mulut rentan terhadap penyakit.
b. Pada penggunaan obat kumur
c. Reaksi alergi
Sariawan timbul setelah makan jenis makanan tertentu. Jenis makanan ini berbeda untuk
tiap-tiap penderita.
d. Alergi
bisa terjadi karena kenaikan kadar IgE dan keterkaitan antara beberapa jenis makanan dan
timbulnya ulser. Gejala timbul biasanya segera setelah penderita mengkonsumsi makanan
tersebut
Kortison merupakan salah satu hormon utama yang dikeluarkan oleh tubuh sebagai reaksi
terhadap stres. Hormon ini menigngkatkan tekanan darah dan mempersiapkan tubuh untuk
respon melawan. Akan tetapi apabila stres berlebih akan menyebabkan hormon ini juga
dihasilkan berlebih sehingga respon tubuh dalam melawan bakteri berlebih (ada tidaknya bakteri
akan bekerja sehingga akan merusak sel-sel yang sehat).
Terbentuknya stomatitis aphtosa ini pada fase luteal dari siklus haid pada beberapa
penderita wanita.
g. Kekurangan vitamin C
mengakibatkan jaringan dimukosa mulut dan jaringan penghubung antara gusi dan gigi
mudah robek yang akhirnya mengakibatkan sariawan.
h. Kekurangan vitamin B dan zat besi juga dapat menimbulkan sariawan..
Seperti Chorn disease, kolitis ulserativ, dan celiac disease sering disertai timbulnya
stomatitis apthosa.
Hingga saat kini, penyebab dari stomatitis atau sariawan belum dapat dipastikan, tetapi
ada faktor-faktor yang diduga kuat menjadi pemicu atau pencetus terjadinya stomatitis. Beberapa
diantaranya adalah:
1. Trauma
Ulser dapat terbentuk pada daerah bekas terjadinya luka penetrasi akibat trauma.
Pendapat ini didukung oleh hasil pemeriksaan klinis, bahwa sekelompok ulser terjadi setelah
adanya trauma ringan pada mukosa mulut. Umumnya ulser terjadi karena tergigit saat berbicara,
kebiasaan buruk, atau saat mengunyah, akibat perawatan gigi, makanan atau minuman terlalu
panas, dan sikat gigi. Trauma bukan merupakan faktor yang berhubungan dengan
berkembangnya SAR pada semua penderita tetapi trauma dapat dipertimbangkan sebagai faktor
pendukung.
2. Defesiensi Nutrisi
Wray (1975) meneliti pada 330 pasien SAR dengan hasil 47 pasien menderita defisiensi
nutrisi yaitu terdiri dari 57% defisiensi zat besi, 15% defisiensi asam folat, 13% defisiensi
vitamin B12, 21% mengalami defisiensi kombinasi terutama asam folat dan zat besi dan 2%
defisiensi ketiganya. Penderita SAR dengan defisiensi zat besi, vitamin B12 dan asam folat
diberikan terapi subtitusi vitamin tersebut hasilnya 90% dari pasien tersebut mengalami
perbaikan.
Faktor nutrisi lain yang berpengaruh pada timbulnya SAR adalah vitamin B1, B2 dan B6.
Dari 60 pasien SAR yang diteliti, ditemukan 28,2% mengalami penurunan kadar vitamin-vitamin
tersebut. Penurunan vitamin B1 terdapat 8,3%, B2 6,7%, B6 10% dan 33% kombinasi
ketiganya.Terapi dengan pemberian vitamin tersebut selama 3 bulan memberikan hasil yang
cukup baik, yaitu ulserasi sembuh dan rekuren berkurang.
Dilaporkan adanya defisiensi Zink pada penderita SAR, pasien tersebut diterapi dengan
50 mg Zink Sulfat peroral tiga kali sehari selama tiga bulan. Lesi SAR yang persisten sembuh
dan tidak pernah kambuh dalam waktu satu tahun. Beberapa peneliti lain juga mengatakan
adanya kemungkinan defisiensi Zink pada pasien SAR karena pemberian preparat Zink pada
pasien SAR menunjukkan adanya perbaikan, walaupun kadar serum Zink pada pasien SAR pada
umumnya normal.
Alergi adalah suatu respon imun spesifik yang tidak diinginkan (hipersensitifitas)
terhadap alergen tertentu. Alergi merupakan suatu reaksi antigen dan antibodi. Antigen ini
dinamakan alergen, merupakan substansi protein yang dapat bereaksi dengan antibodi, tetapi
tidak dapat membentuk antibodinya sendiri.
SAR dapat terjadi karena sensitifitas jaringan mulut terhadap beberapa bahan pokok yang
ada dalam pasta gigi, obat kumur, lipstik atau permen karet dan bahan gigi palsu atau bahan
tambalan serta bahan makanan.29,30 Setelah berkontak dengan beberapa bahan yang sensitif,
mukosa akan meradang dan edematous. Gejala ini disertai rasa panas, kadang-kadang timbul
gatal-gatal, dapat juga berbentuk vesikel kecil, tetapi sifatnya sementara dan akan pecah
membentuk daerah erosi kecil dan ulser yang kemudian berkembang menjadi SAR.
4. Obat-obatan
5. Penyakit Sistemik
Beberapa kondisi medis yang berbeda dapat dikaitkan dengan kehadiran SAR. Bagi
pasien yang sering mengalami kesulitan terus-menerus dengan SAR harus dipertimbangkan
adanya penyakit sistemik yang diderita dan perlu dilakukan evaluasi serta pengujian oleh
dokter.Beberapa kondisi medis yang dikaitkan dengan keberadaan ulser di rongga mulut adalah
penyakit Behcet’s, penyakit disfungsi neutrofil, penyakit gastrointestinal, HIV-AIDS, dan
sindroma Sweet’s.
6. Merokok
Adanya hubungan terbalik antara perkembangan SAR dengan merokok. Pasien yang
menderita SAR biasanya adalah bukan perokok, dan terdapat prevalensi dan keparahan yang
lebih rendah dari SAR diantara perokok berat berlawanan dengan yang bukan perokok. Beberapa
pasien melaporkan mengalami SAR setelah berhenti merokok. Kekurangan nutrisi, terutama
vitamin B12, asam folat dan zat besi. Sariawan juga identik dengan kekurangan vitamin C.
Kekurangan vitamin itu memang mengakibatkan jaringan di dalam rongga mulut dan jaringan
penghubung antara gusi dan gigi mudah robek yang akhirnya menyebabkan sariawan. Namun,
kondisi tersebut dapat diatasi jika kita sering mengonsumsi buah dan sayuran.
7. Stress
Stres merupakan respon tubuh dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan
yang terjadi terus menerus yang berpengaruh terhadap fisik dan emosi. Stres dinyatakan
merupakan salah satu faktor yang berperan secara tidak langsung terhadap ulser stomatitis
rekuren ini.11 Faktor stres ini akan dibahas dengan lebih rinci pada subbab selanjutnya.
8. Gangguan Hormonal
Pada wanita, sering terjadinya SAR di masa pra menstruasi bahkan banyak yang
mengalaminya berulang kali. Keadaan ini diduga berhubungan dengan faktor hormonal. Hormon
yang dianggap berperan penting adalah estrogen dan progesteron.
Dua hari sebelum menstruasi akan terjadi penurunan estrogen dan progesteron secara
mendadak. Penurunan estrogen mengakibatkan terjadinya penurunan aliran darah sehingga
suplai darah utama ke perifer menurun dan terjadinya gangguan keseimbangan sel-sel termasuk
rongga mulut, memperlambat proses keratinisasi sehingga menimbulkan reaksi yang berlebihan
terhadap jaringan mulut dan rentan terhadap iritasi lokal sehingga mudah terjadi SAR.
Progesteron dianggap berperan dalam mengatur pergantian epitel mukosa mulut
9. Gangguan Imunologi
Tidak ada teori yang seragam tentang adanya imunopatogenesis dari SAR, adanya
disregulasi imun dapat memegang peranan terjadinya SAR. Salah satu penelitian
mungungkapkan bahwa adanya respon imun yang berlebihan pada pasien SAR sehingga
menyebabkan ulserasi lokal pada mukosa. Respon imun itu berupa aksi sitotoksin dari limfosit
dan monosit pada mukosa mulut dimana pemicunya tidak diketahui.16 Menurut Bazrafshani
dkk, terdapat pengaruh dari IL-1B dan IL-6 terhadap resiko terjadinya SAR. Menurut Martinez
dkk, pada SAR terdapat adanya hubungan dengan pengeluaran IgA, total protein, dan aliran
saliva. Sedangkan menurut Albanidou-Farmaki dkk, terdapat karakteristik sel T tipe 1 dan tipe 2
pada penderita SAR.
10. Penggunaan gigi tiruan yang tidak pas atau ada bagian dari gigi tiruan yang mengiritasi
jaringan lunak.
11. Genetik
Faktor ini dianggap mempunyai peranan yang sangat besar pada pasien yang menderita
SAR. Faktor genetik SAR diduga berhubungan dengan peningkatan
jumlah human leucocyte antigen (HLA), namun beberapa ahli masih menolak hal tersebut.
HLA menyerang sel-sel melalui mekanisme sitotoksik dengan jalan mengaktifkan sel
mononukleus ke epitelium.9,16,26 Sicrus (1957) berpendapat bahwa bila kedua orangtua
menderita SAR maka besar kemungkinan timbul SAR pada anak-anaknya. Pasien dengan
riwayat keluarga SAR akan menderita SAR sejak usia muda dan lebih berat dibandingkan pasien
tanpa riwayat keluarga SAR.
2.4 Patofisiologi
Tubuh manusia memiliki pertahanan tubuh alamiah yaitu sistem laktoperoksidase (LP-
system) yang mampu mempertahankan tubuh terhadap serangan infeksi mikroorganisme. Sistem
laktoperoksidase (LP-system) terdapat pada saliva atau ludah manusia. LP system
mempertahankan tubuh dengan cara berfungsi sebagai bakteriostatis terhadap bakteri mulut dan
bakteriosid terhadap bakteri (Rensburg:1995).
Bakteri di dalam mulut dapat berkembang biak tidak terkontrol karena sistem
laktoperoksidase yang merupakan pertahanan alami dalam saliva umumnya rusak. Hal ini
dikarenakan seringnya mengonsumsi makanan yang mengandung zat-zat kimia (perasa,
pewarna, pengawet) bahkan yang memakai zat pembasmi hama/antiseptik dan makanan panas
atau pedas. Pemakaian antiseptik pada obat kumur atau pasta gigi juga dapat merusakkan LP
system, sebab antiseptik ini bersifat bakteriosid sehingga dapat membunuh semua bakteri yang
berada di dalam rongga mulut, yang dapat mengakibatkan sekitar mukosa mulut menjadi
rusak kemudian menghasilkan ulserasi local.
Awalnya timbul rasa sedikit gatal atau seperti terbakar pada 1 sampai 2 hari di daerah
yang akan menjadi sariawan. Rasa ini timbul sebelum luka dapat terlihat di rongga mulut.
Sariawan dimulai dengan adanya luka seperti melepuh di jaringan mulut yang terkena berbentuk
bulat atau oval. Setelah beberapa hari, luka seperti melepuh tersebut pecah dan menjadi berwarna
putih ditengahnya, dibatasi dengan daerah kemerahan. Bila berkontak dengan makanan dengan
rasa yang tajam seperti pedas atau asam, daerah ini akan terasa sakit dan perih, dan aliran saliva
(air liur) menjadi meningkat.
Berdasarkan ciri khasnya secara klinis, SAR dapat digolongkan menjadi ulser minor, ulser
mayor, dan ulser hepetiform.
1. Ulser minor
adalah yang paling sering dijumpai, dan biasanya berdiameter kurang dari 1 cm dan
sembuh tanpa menimbulkan jaringan parut. Bentuknya bulat, berbatas jelas, dan biasanya
dikelilingi oleh daerah yang sedikit kemerahan. Lesi biasanya hilang setelah 7-10 hari.
2. Ulser mayor
biasanya berdiameter lebih dari 1 cm, bulat dan juga berbatas jelas. Tipe ini
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk sembuh, dan dapat menimbulkan jaringan
parut setelah sembuh.
3. Ulser herpetiform
adalah yang paling jarang terjadi dan biasanya merupakan lesi berkelompok dan terdiri
dari ulser berukuran kecil dengan jumlah banyak.
Menurut Williams dan Wilkins pada tahun 2008 membagi stomatitis berdasarkan
tanda dangejalanya, yaitu:
2. Stomatitis aftosis
a. Selaput lendir terasa terbakar, kesemutan, dan sedikit membengkak
b. Ulser tunggal ataupun multipel, berbentuk kecil dengan pusat berwarna keputihan dan
berbatas merah
c. Nyeri berlangsung 7 samapi 10 hari, dan sembuh total dalam 1 sampai 3 minggu.
2.6 Komplikasi
Stomatitis jarang menyebabkan komplikasi yang serius namun dapat terjadi infeksi luas
di daerah bibir dan rongga mulut seperti abses dan radang. Dampak gangguan pada kebutuhan
dasar manusia, yaitu:
1. Pola nutrisi
nafsu makan menjadi berkurang, pola makan menjadi tidak teratur
2. Pola aktivitas
kemampuan untuk berkomunikasi menjadi sulit
3. Pola Hygiene
kurang menjaga kebersihan mulut
4. Terganggunya rasa nyaman
biasanya yang sering dijumpai adalah perih.
Komplikasi yang dapat timbula akibat penatalaksanaan medis diantaranya sebagai berikut:
1. Dilakukan pengolesan lesi dengan toluidin biru 1% topikal dengan swab atau kumur
sedangkan diagnosis pasti dengan menggunakan biopsi.
2. Pemeriksaan laboratorium :
a. WBC menurun pada stomatitis sekunder
b. Pemeriksaan kultur virus: cairan vesikel dari herpes simplek stomatitis
c. Pemeriksaan cultur bakteri: eksudat untuk membentuk vincent’s stomatitis
2.9 Pencegahan
Cara mencegah penyakit ini dengan mengetahui penyebabnya, apabila kita mengetahui
penyebabnya diharapkan kepada kita untuk menghindari timbulnya sariawan ini diantaranya
dengan :
Zat
trauma Defisiensi Alergi dan Obat- berbahaya stress Gangguan Gangguan genetik
nutrisi sensitifitas obatan dalam rokok hormonal imunologi
ulser p Respon
Allergen Mukosa Resiko
Penurunan Penggunaan tubuh Pra
mulut terjadi
kadar obat menstru imun
Kerusakan Kerusakan rusak SAR
vitamin nonsteroidal asi
pada mukosa jaringan Imun
mulut kulit Penuru Adanya
Lebih nan Penurunan ulser pada
beresiko imun Berpenga estrogen mukosa
Mukosa meradang pada ruh pada dan
dan edematosis bagian fisik dan progestero Peningkatan
mulut emosi n jumlah HLA
Penurunan system
System lakto
imun
peroksidase rusak
Kekurangan vitamin
saliva
hipersentifitas
Peninggian 1-3
Terjadi nekrosis
hari pada ulser
di tengah ulser
rasa terbakar
MK: resiko
kekambuhan tidak
adekuat
BAB III
Kasus
Dilaporkan kasus anak perempuan 5 tahun yang datang berobat ke klinik Penyakit Mulut
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga pada 4 Desember 2008 dengan keluhan gusi
belakang bawah kanan sakit dan terdapat sariawan multipel pada lidah. Rasa sakit dan sariawan
timbul sejak 3 hari yang lalu. Pasien juga menderita demam dan malaise, kemudian berobat ke
dokter umum. Pasien mendapat terapi paracetamol syrup dan multivitamin berbentuk puyer.
Keadaan umum pasien tersebut baik. Pasien dan keluarganya tidak mempunyai riwayat penyakit
yang mengganggu kesehatannya. Kunjungan pertama (4 Desember 2008), dari anamnesis pasien
merasa sakit pada gusi belakang bawah kanan dan pada lidah. Pada pemeriksaan ekstra oral
pasien menderita demam tiga hari yang lalu. Kelenjar submandibular terdapat pembengkakan.
Pada pemeriksaan intraoral di gingiva rahang bawah kanan terdapat oedem dengan ulser
berdiameter lebih kurang 3 mm, tepi irreguler dikelilingi daerah eritematous dan terasa
sakit.Pada lidah terdapat ulser bulat, multipel 3 buah, diameter lebih kurang 1 mm, dikelilingi
daerah eritematous. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis diagnosis sementara dari
kasus ini yaitu gingivostomatitis herpetika primer. Diagnosis banding pada kasus ini hand foot
and mouth disease dan stomatitis aftosa. Di klinik lesi diulasi dengan povidone iodine 10%
setelah itu diulasi dengan triamsinolone acetonid 0,1%. Pasien diberi resep Chlorhexidine obat
kumur 3X sehari, multivitamin syrup 1X1 sendok teh dan dianjurkan minum susu yang
mengandung tinggi protein dan tinggi kalori. Pasien disarankan untuk kontrol 5 hari lagi.
Kunjungan kedua (9 Desember 2008), lima hari kemudian pasien datang untuk kontrol. Dari
hasil anamnesis diketahui pasien sudah tidak merasa sakit lagi tapi gusi belakang bawah kanan
masih terasa mengganjal. Pasien mematuhi anjuran terapi tetapi untuk susu yang tinggi protein
tinggi kalori tidak dibeli, pasien tetap minum susu yang diminum sehari-hari. Nafsu makan
pasien normal. Pada pemeriksaan ekstraoral tidak terdapat kelainan, demam sudah tidak ada lagi.
Pada pemeriksaan intraoral terlihat pada gingiva bawah kanan regio gigi molar satu permanen
terdapat ulser dengan diameter lebih kurang 3 mm, dikelilingi daerah eritematous dan oedem
pada lokasi yang sama dengan kunjungan pertama. Pada gingiva rahang atas regio gigi molar
satu susu terdapat ulser baru diameter lebih kurang 1 mm, dikelilingi daerah eritematous. Pada
lidah sudah tidak terlihat adanya ulser. Kemudian lesi pada rongga mulut dibersihkan dengan
povidone iodine 10% dan diulasi dengan triamsinolone acetonid 0,1%. Terapi Chlorhexidine
obat kumur 3X sehari, multivitamin syrup 1X1 sendok teh tetap dilanjutkan. Pasien disarankan
4.1 Pengkajian
a. Identitas (Data Biografi)
Stomatitis dapat menyerang semua umur, mayoritas antara 20-40 tahun lebih
cenderung pada wanita, kelompok sosial ekonomi tinggi, penderita stres, atau
mempunyai riwayat sariawan pada keluarga.
b. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
Keluhan utama yang muncul pada klien stomatitis adalah nyeri Karen
mukosaoral mengalami peradangan, bibir pecah-pecah
2. Riwayat kesehatan sekarang
Stomatitis bisa terjadi pada seseorang karena kebersihan mulut yang buruk,
intoleransi dengan pasta gigi, penyakit yang beresiko menimbulkan stomatitis,
misalnya faringitis, panas dalam, mengkonsumsi makanan yang berlemak ,
kurang vitamin C, vitamin B12 dan mineral.
3. Riwayat penyakit dahulu
Pernah menderita penyakit infeksi yang menyebabkan sistem imun menurun
sehingga lebih mudah terkena stomatitis, atau memang pernah menderita
penyakit yang sama atau penyakit oral lainnya
4. Riwayat penyakit keluarga.
Kaji apakah ada riwayat penyakit keluarga yang bisa menyebabkan terjadinya
stomatitis. Karena ada juga teori yang menyebutkan bahwa penyebab utama
dari SAR (Stomatitis Aftosa Rekuren) atau sariawan adalah keturunan. Dan
berdasarkan hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang
orang tuanya menderita SAR lebih rentan untuk mengalami SAR juga.
5. Pengkajian Psikososial
Kaji apakah keluarga tidak memperhatikan kebersihan mulut dan tempat
bermain anak di lingkungan kumuh atau tidak. Kaji juga stres, gaya hidup
(alkohol, perokok) serta kaji fungsi dan penampilan dari rongga mulut
terhadap body image dan sex.
6. Pengkajian lingkungan rumah dan komunitas
Kaji lingkungan yang panas, dan sanitasi yang buruk.
7. Riwayat nutrisi
Kurang mengkonsumsi makanan yang mengandung vitamin C, vitamin B12,
mineral, dan zat besi serta pola makan yang buruk, misalnya hanya
mengkonsumsi karbohidrat dan protein saja.
8. Riwayat pertumbuhan perkembangan
a. Pasien yang menderita stomatitis akan lebih lama sembuhnya dikarenakan
kondisi fisik yang lemah sebagai akibat intake nutrisi yang kurang
(energi/kalori yang diperlukan tidak mencukupi dalam proses
penyembuhan).
b. Penurunan berat badan, biasanya pasien yang menderita stomatitis
mengalami penurunan berat badan karena intake nutrisi yang kurang.
c. Pengkajian Berdasarkan Pola Gordon
1. Persepsi kesehatan dan Pola manajemen
orang tua pasien mengetahui bahwa anaknya terkena sariawan yang tidak kunjung
sembuh, namun keluarga psien tidak mengetahui bagaimana cara mengatasinya.
2. Pola nutrisi dan metabolism
Kurang mengkonsumsi makanan yang mengandung vitamin C, vitamin B12, mineral, dan
zat besi serta pola makan yang buruk
3. Pola eliminasi
pasien tidak mengalami gangguan eliminasi miksi dan defekasi.
4. Pola aktivitas dan latihan
dalam melakukan aktivitas, pasien biasanya mengalami gangguan akibat nyeri yang di
rasa sehingga pasien akan rewel.
5. Pola istirahat dan tidur
pasien mengalami gangguan tidur akibat nyeri yang dirasakan.
6. Pola persepsi dan kognitif
pasien merasa lebih tengan apabila berada ditengah keluarga terutama ibu yang peduli
pada kondisi pasien, dan pasien sedih apabila ditinggal keluarga.
7. Pola konsep diri
pasien merasa ragu-ragu untuk berkomunikasi karena tidak dapat berbicara dengan jelas
akibat adanya ulserasi lokal.
8. Pola peran dan hubungan
hubungan sosial pasien dengan orang disekitarnya tidak kooperatif, pasien lebih banyak
menangis dan rewel.
9. Pola seksualitas dan reproduksi
pasien tidak mengalami kelainan apapun.
10. Pola keyakinan dan nilai
keluarga pasien selalu berdoa untuk kesembuhan pasien.
d. Pemeriksaan fisik
1. TTV (tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu, skala nyeri)
2. Bibir
Dimulai dengan inspeksi terhadap bibir untuk kelembapan, hidrasi, warna,tekstur,
simetrisitas dan adanya ulserasi atau fisura
3. Gusi
Gusi diinspeksi terhadap inflamasi, perdarahan, retraksi, dan perubahanwarna.
4. Lidah
Dorsal (punggung) di inspeksi untuk tekstur, warna dan lesi.
5. Rongga Mulut
Inspeksi bagian mutut terhadap adanya lesi, bercak putih terutama pada bagian
mukosa pipi bagian dalam, bibir bagian dalam, lidah serta di langit-langit.
4.2 Diagnosis Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan serabut saraf sekunder dari respons inflamasi local.
b. Perubahan mukosa oral berhubungan dengan tidak efektif higienis oral sekunder nyeri.
c. Resiko kekambungan berhubungan tidak adekuat cara penangannya ketidaktahuan
predisposisi penyebab
Perubahan membrane mukosa oral berhubungan dengan tidak efektifnya higiensi oral
sekunder nyeri.
- Tujuan: Pasien mampu menjelaskan kembali pendidikan kesehatan yang diberikan.
- kriteria hasil: Pasien mampu mendemonstrasikan cara atau teknik dalam meningkatkan
kondisi membrane mukosa.
Intervensi Rasional
Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang cara Tingkat pengetahan dipengaruhi oleh kondisi
dan teknik peningkatan kondisi membrane sosial ekonomi pasien. Perwat menggunakan
mukosa. pendekatan yang sesuai dengan kondisi
individu pasien. Dengan mengetahui tingkat
pengetahuan tersebut, peraat dapat lebih
terarah dalam memberikan pendidikan yang
sesuai0 dengan pengetahuan pasien secara
efisien dan efektif.
Anjurkan untuk melakukan kunjungan secara Kontrol setiap 5 bulan sekali untuk kontrol
teratur ke dokter gigi. rutin dan pembersihan dapat meningkatkan
kebersihan mukosa.
Intervensi kolaboratif Antibiotik biasanya diberikan untuk
Pemberian antibiotic menghentikan infeksi pada gusi dan jaringan
dibawahnya.
Nyeri berhubungan dengan sensivitas saraf gigi sekunder dari inflmasi local, kerusakan
jaringan saraf gigi.
Tujuan: dalam waktu 1 x 24 jam terjadi penurunan tingkat nyeri atau nyeri teradaptis.
Kriteria evaluasi:
pasien menyatakan nyeri berkurang atau teradaptasi.
Secara umum pasien terlihat rileks dan tanda ketidaknyamanan pada gigi dan gusi tidak
direfleksikan.
4.4 Evaluasi
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Sariawan atau stomatitis adalah radang yang terjadi pada mukosa mulut,biasanya
berupa bercak putih kekuningan.Bercak itu dapat berupa bercak tunggal maupun
berkelompok.Sariawan juga dapat menyerang selaput lender pipi bagian dalam,bibir
bagian dalam,lidah,gusi,serta langit-langit dalam rongga mulut.meskipun tidak tergolong
berbahaya ternyata sariawan sangat mengganggu.
Asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit Stomatitis dilakukan dengan ujuan
membantu mengembalikan fungsi mukosa pada mulut dalam keadaan normal.Selain itu
perhatian terhadap kebutuhan nutrisi juga tetap dibutuhkan untuk mencegah
berkembangnya penyakit lain akibat intake nutrisi yang tidak adekuat.
5.2 Saran
Inayah, Lin. 2004. Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah, Edisi 1. Salemba Medika : Jakarta
http://www.fkuii.org
http://www.geocities.com
http://www.kosmojaya.com
http://www.republika.co.id