Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH PRAKTIKUM KEPERAWATAN PALIATIF DAN

MENJELANG AJAL
“Oral Care: Stomatitis, Halitosis dan Leokoplakia”

Anggota Kelompok:

Visca Dwi Febriati 1711312026


Siti Annisa Irdhani 1711312030
Irsa Nada Nadhifa 1711312034
Fatimah Hanum 1711312038
Hesti Novita 1711312042
Annisa Fauziah 1711312046
Aldia Yulam Tanjung 1711313006

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat
dan karunia-Nya, makalah yang berjudul “Oral Care: Stomatitis, Halitosis dan
Leokoplakia” selesai disusun. Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas
dalam bidang studi Pratikum Keperawatan Paliatif dan Menjelang Ajal.
Dalam penulisan makalah ini, berbagai hambatan telah penulis alami. Oleh karena
itu, terselesaikannya makalah ini tentu saja bukan karena kemampuan penulis semata.
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis mengucapkan terima kasih.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari pengetahuan dan pengalaman
penulis masih sangat terbatas. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan maaf jika ada
kesalahan dalam makalah ini.
Akhir kata penulis ucapkan semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meridhoi
tujuan makalah ini. Amin.

Padang, 12 November 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................................................i
Daftar Isi...................................................................................................................ii

Bab I Pendahuluan
1.1Latar Belakang.................................................................................................1
1.2Rumusan Masalah............................................................................................2

Bab II Pembahasan
2.1Stomatitis.........................................................................................................3
2.2Halitosis...........................................................................................................6
2.3Leukoplakia....................................................................................................14

Bab III Penutup


3.1 Kesimpulan..................................................................................................20
3.2 Saran............................................................................................................21

Daftar Pustaka........................................................................................................22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stomatitis merupakan bahasa awam untuk berbagai macam lesi/benjolan yang timbul
di rongga mulut. Namun biasanya jenis sariawan yang sering timbul sehari-hari pada
rongga mulut kita disebut (dalam istilah kedokteran gigi) adalah Stomatitis Aftosa
Rekuren. Sariawan atau stomatitis adalah radang yang terjadi pada mukosa mulut, biasanya
berupa bercak putih kekuningan. Bercak itu dapat berupa bercak tunggal maupun
berkelompok. Sariawan dapat menyerang selaput lendir pipi bagian dalam, bibir bagian
dalam, lidah, gusi, serta langit-langit dalam rongga mulut.
Halitosis merupakan suatu masalah yang telah menarik perhatian banyak kalangan
baik kalangan profesi kesehatan khususnya kesehatan gigi, para ilmuwan dan peneliti
maupun kalangan masyarakat awam dalam dekade terakhir ini. Masalah ini tidak hanya
dilihat dari sudut kesehatan tetapi juga dari sudut pergaulan sosial. Keberadaan halitosis
pada dasarnya berkaitan dengan berbagai faktor penyebab baik yang berasal dari rongga
mulut maupun organ-organ yang lain, baik yang bersifat lokal maupun sistemik.
Halitosis dapat terjadi pada semua golongan umur, jenis kelamin, ras maupun tingkat
sosial ekonomi. Halitosis yang berkaitan langsung dalam rongga mulut dipengaruhi oleh
aspek mikrobiologis berbagai deposit didalam rongga mulut. Akibat yang dapat
ditimbulkan oleh halitosis ditinjau dari penderita dalam kehidupan sosialnya, yaitu: malu
atau rendah diri, menghindari pergaulan sosial, bicara tidak bebas, tidak ada rasa percaya
diri dan lain-lain.
Halitosis merupakan suatu problema yang bagi sebagian orang sangat memalukan
sehingga penderitanya malas untuk mendatangi dokter gigi ataupun dokter umum, dan
bahkan dapat membuat penderitanya kehilangan semangat serta menghindari pergaulan.
Selain itu, banyak pula penderita halitosis yang tidak menyadari bahwa dirinya menderita
halitosis sampai ada seseorang yang memberitahu mereka. Halitosis merupakan suatu
masalah yang dapat dicegah dengan merawat kebersihan dalam rongga mulut dan dengan
melalui perawatan sumber-sumber penyebab di dalam rongga mulut yang dapat secara
efektif memecahkan masalah-masalah nafas tak sedap. Untuk dapat mengatasi halitosis
secara efektif, diperlukan pemeriksaan secara menyeluruh dan diagnosa yang tepat. Pada
makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai Halitosis.

1
Faktor-faktor yang berperan adalah iritasi kimia melalui tembakau atau faktor
mekanis melalui pemasangan gigi palsu yang tidak baik, alkohol dan infeksi CandidaY3
terkena iritan terus-menerus (penggemar pizza panas) dan Human Papiloma Virus sero tipe
16. Karena gambaran klinisnya berupa suatu plak putih pada permukaan membrana
mukosa dan leukoplakia oral lebih sering terjadi pada pria, maka penggolongannya sering
diabaikan.
Leukoplakia dalam perkembangannya sering menjadi ganas dan untuk
menyingkirkan diagnosis banding, maka sangat diperlukan biopsi dari leukoplakia
tersebut. Gambaran histologinya dapat bermacam-macam dan tergantung dari umur lesi
pada saat biopsi dilakukan. Kendala dalam menegakkan diagnosis leukoplakia masih
sering terjadi. Hal ini disebabkan oleh beberapa kemungkinan seperti etiologi leukoplakia
yang belum jelas serta perkembangan yang agresif dari leukoplakia yang mula-mula hanya
sebagai hiperkeratosis ringan tetapi pada akhirnya menjadi karsinoma sel skuamosa dengan
angka kematian yang tinggi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu Stomatitis?
2. Apa itu Halitosis?
3. Apa itu Leukoplakia?

2
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Stomatitits
1.1.1 Definisi
Stomatitis merupakan bahasa awam untuk berbagai macam lesi/benjolan yang
timbul di rongga mulut. Namun biasanya jenis sariawan yang sering timbul sehari-hari
pada rongga mulut kita disebut (dalam istilah kedokteran gigi) adalah Stomatitis Aftosa
Rekuren. Sariawan atau stomatitis adalah radang yang terjadi pada mukosa mulut, biasanya
berupa bercak putih kekuningan. Bercak itu dapat berupa bercak tunggal maupun
berkelompok. Sariawan dapat menyerang selaput lendir pipi bagian dalam, bibir bagian
dalam, lidah, gusi, serta langit-langit dalam rongga mulut. Meskipun tidak tergolong
berbahaya, namun sariawan sangat mengganggu. Ada pula yang mengatakan bahwa
sariawan merupakan reaksi imunologik abnormal pada rongga mulut.

1.1.2 Etiologi
Sampai saat ini penyebab utama dari Stomatitis belum diketahui. Namun para ahli
telah menduga banyak hal yang menjadi penyebab timbulnya stomatitis ini, diantaranya
adalah:
Penyebab yang berasal dari keadaan dalam mulut seperti :
1. Kebersihan mulut yang kurang
2. Letak susunan gigi/ kawat gigi

3. Makanan /minuman yang panas dan pedas

4. Rokok

5. Pasta gigi yang tidak cocok

6. Lipstik

7. Infeksi jamur

8. Overhang tambalan atau karies, protesa (gigi tiruan)

9. Luka pada bibir akibat tergigit/benturan.

Bagian dari penyakit sistemik antara lain :


a. Reaksi alergi : seriawan timbul setelah makan jenis makanan tertentu
b. Jenis makanan ini berbeda untuk tiap-tiap penderita
3
c. Hormonal imbalance

d. Stres mental

e. Kekurangan vitamin B12 dan mineral

f. Gangguan pencernaan

g. Radiasi

Infeksi virus dan bakteri juga diduga sebagai pencetus timbulnya sariawan
ini. Ada pula yang mengatakan bahwa sariawan merupakan reaksi imunologik
abnormal pada rongga mulut. Dan imunologik sangat erat hubungannya dengan
psikologis (stress). Faktor psikologis (stress) telah diselidiki berhubungan dengan
timbulnya stomatitis (sariawan) di sebagian besar masyarakat. Berikut adalah
klasifikasi stomatitis :
a. Stomatitis Primer, meliputi :

1. Recurrent Aphtouch Stomatitis (RAS)

Merupakan ulcer yang terjadi berulang. Bentuknya 2 – 5 mm, awal lesi kecil,
dan berwarna kemerahan. Akan sembuh ± 2 minggu tanpa luka parut.
2. Herpes Simplek Stomatitis
Stomatitis yang disebabkan oleh virus. Bentuknya menyerupai vesikel.
3. Vincent’s Stomatitis
Stomatitis yang terjadi pada jaringan normal ketika daya tahan tubuh menurun.
Etiologinya, bakteri normal yang ada pada mulut, yaitu B. Flora. Bentuk
stomatitis ini erythem, ulcer dan nekrosis pada ginggival.
4. Traumatik Ulcer
Stomatitis yang ditemukan karena trauma. Bentuknya lesi lebih jelas, dan nyeri
tidak hebat.
b. Stomatitis Sekunder, merupakan stomatitis yang secara umum terjadi akibat
infeksi oleh virus atau bakteri ketika host (inang) resisten baik lokal maupun
sistemik.

1.1.3 Penatalaksanaan Stomatitis


1. Hindari makanan yang semakin memperburuk kondisi seperti cabai.
2. Sembuhkan penyakit atau keadaan yang mendasarinya.
3. Pelihara kebersihan mulut dan gigi serta mengkonsumsi nutrisi yang cukup,
terutama makanan yang mengandung vitamin 12 dan zat besi.
4
4. Hindari stress

5. Pemberian Atibiotik

Harus disertai dengan terapi penyakit penyebabnya, selain diberikan


emolien topikal, seperti orabase, pada kasus yang ringan dengan 2 – 3 ulcersi
minor. Pada kasus yang lebih berat dapat diberikan kortikosteroid, seperti
triamsinolon atau fluosinolon topikal, sebanyak 3 atau 4 kali sehari setelah makan
dan menjelang tidur. Pemberian tetraciclin dapat diberikan untuk mengurangi rasa
nyeri dan jumlah ulcerasi. Bila tidak ada responsif terhadap kortikosteroid atau
tetrasiklin, dapat diberikan dakson dan bila gagal juga maka di berikan talidomid.
6. Terapi
Pengobatan stomatitis karena herpes adalah konservatif. Pada beberapa kasus
diperlukan antivirus. Untuk gejala lokal dengan kumur air hangat dicampur garam
(jangan menggunakan antiseptik karena menyebabkan iritasi) dan penghilang rasa
sakit topikal. Pengobatan stomatitis aphtosa terutama penghilang rasa sakit topikal.
Pengobatan jangka panjang yang efektif adalah menghindari faktor pencetus.
Digunakan satu dari dua terapi yang dianjurkan yaitu:
a. Injeksi vitamin B12 IM (1000 mcg per minggu untuk bulan pertama dan kemudian
1000 mcg per bulan) untuk pasien dengan level serum vitamin B12 dibawah 100
pg/ml, pasien dengan neuropathy peripheral atau anemia makrocytik, dan pasien
berasal dari golongan sosioekonomi bawah.
b. Tablet vitamin B12 sublingual (1000 mcg) per hari. Tidak ada perawatan lain yang
diberikan untuk penderita RAS selama perawatan dan pada waktu follow-up.
Periode follow-up mulai dari 3 bulan sampai 4 tahun.

1.1.4 Video Penatalaksanaan


https://youtu.be/CNabTsLS04A

5
1.2 Halitosis
1.2.1 Definisi
Halitosis berasal dari bahasa latin ‘halitus’ (nafas) dan Yunani ‘osis’ (keadaan).
Jadi, halitosis merupakan keadaan dari bau nafas. Umumnya istilah ini mengacu pada suatu
keadaan bau mulut yang berasal dari keadaan metabolik secara sistemik, termasuk saluran
pencernaan. Halitosis dapat berupa halitosis fisiologis maupun patologis. Halitosis
fisiologis adalah halitosis yang bersifat sementara dan terjadi bila substansi yang
menimbulkan bau tersebut secara hematologi menuju paru-paru dan biasanya berasal dari
makanan, seperti bawang dan lobak dan bisa juga berasal dari minuman, seperti teh, kopi,
serta minuman beralkohol. Halitosis Patologis adalah halitosis yang pada dasarnya terjadi
dalam suatu mekanisme yang sama dengan halitosis fisiologis, dalam hal ini bahan-bahan
yang secara hematologis menuju paru-paru. Penyebab utama keadaan ini karena adanya
kelainan yang bersifat local maupun sistemik seperti diabetes mellitus, uremia, gastritis,
tukak lambung dan hepatitis (Jurnal Kedokteran Gigi Mahasaraswati volume 2).
Halitosis adalah kondisi kesehatan mulut yang ditandai dengan napas yang berbau
konsisten. Meskipun rongga mulut tidak bermasalah, gigi dan gusi terawat, kebersihan
mulut terjaga, sudah menghindari makanan yang berbau, tidak ada penyakit sistemik, tapi
masih dapat mulut mengeluarkan bau tidak sedap (Warianto, 2009).
Aroma nafas tak sedap atau bau mulut umumnya disebabkan dua masalah utama,
yaitu kesehatan mulut dan makanan yang dicerna oleh usus. Dengan kata lain, bau napas
berasal tidak hanya dari dalam mulut, melainkan juga dari sistem pencernaan
(Setiawan,2009).
Selain istilah halitosis, bau mulut juga dikenal dengan istilah :

6
Oral Malodor Fetor Oris
Bad breath Dragon Breath
Fetor Ex Ore Jungle Mouth.
Ada suatu kondisi dimana seseorang yang selalu merasa mempunyai masalah
bau mulut, padahal sebenarnya tidak, dan kondisi ini disebut pseudohalitosis atau
halitophobia.

1.2.2 Etiologi
Bau nafas dari mulut pasien berbeda-beda tergantung kepada beberapa
faktor. Usaha untuk menghilangkan halitosis hendaklah dengan menentukan
etiologinya dan kemudian menghilangkan factor penyebab tersebut.
Penggunaan mouthwash hanyalah secara paliatif dan bersifat sementara
yang kebanyakannya tidak mampu menghilangkan bau nafas secara total.
Dibawah ini adalah penyebab bau nafas yang diklasifikasikan sebagai faktor lokal,
factor sistemik, dan hasil dari pencernaan.

Faktor Lokal
1. Pembusukan sisa makanan diantara gigi
2. Karies
3. Penyakit periodontal yang disertai poket
4. Mucus dari postnasal
5. Terlalu banyak merokok
6. Deposit/plak pada gigi
7. Restorasi gigi yang salah menyebabkan makanan terselip terutama dibawah
bridge dan crown
8. Aktivitas bakteri tanpa pembersihan yang cukup dari saliva
9. Protesa yang tidak bersih

Faktor Sistemik
1. Diabetes 5. Penyakit gastrointestinal
2. Hemmoragi internal 6. Gagal hati
3. Nekrosis 7. Patologi paru
4. Disfungsi ginjal

7
Hasil Dari Pencernaan
Hasil pencernaan sebagian dari beberapa makanan seperti bawang putih,
bawang merah atau papermint akan menyebabkan nafas berbau walaupun telah
melewati oral cavity beberapa jam sebelumnya. Pasien yang makan makanan
berlemak belebihan akan menyebabkan halitosis, hasil pada pencernaan lemak
yang tidak sempurna. Hal ini dikatakan benar apabila susu dan produk tenusu
dikonsumsi dalam jumlah yang besar.
Halitosis dapat timbul oleh karena beberapa faktor, antara lain (Jurnal
Kedokteran Gigi Mahasaraswati (Volume 2):
a. Makanan dan Minuman
Makanan-makanan tertentu yang dapat menimbulkan
halitosis antara lain bawang putih, bawang merah dan
lobak sedangkan minuman yang dapat menyebabkan
halitosis antara lain minuman beralkohol, produk susu
dan lain-lain. Pada keadaaan ini, permasalahannya
bukan diawali pada saat makanan atau minuman berada di dalam rongga mulut
tetapi terjadi setelah bahan makanan atau minuman ini diserap pada pembuluh
darah. Bau makanan atau minuman yang tersebut selanjutnya akan ditransmisikan
ke dalam paru-paru, yang kemudian keluar bersama dengan udara pernafasan
melalui mulut, dan semua keadaan ini bersifat sementara.

b. Oral Hygiene
Bila oral hygiene tidak dilakukan dengan baik,
sisa-sisa makanan akan mengumpul di antara gigi.
Cepat atau lambat makanan yang telah mengalami
pembusukan akan terbentuk, dan hampir
keseluruhan dari produk-produk yang disebabkan
oleh pembusukan akan mengeluarkan bau yang tidak sedap.

8
c. Penyakit Periodontal
Keadaan periodontal mungkin merupakan keadaan
patologi yang paling sering terlihat dan dapat
menimbulkan halitosis. Penyebab utama dari
keberadaan penyakit ini adalah plak. Pada
penyakit periodontal, infeksi bakteri terdapat pada
jaringan sekitar gigi. Bila lebih lanjut dapat
mengakibatkan destruksi tulang sekitarnya menyebabkan pembentukan
periodontal pocket yang sulit dibersihkan sehingga merupakan tempat ideal untuk
bakteri.
Selain itu, bakteri yang menimbulkan gingivitis dan periodontitis hampir
seluruhnya terdiri dari bakteri gram negative (Actinobacillus
Actinomycetemcomitans, prevotella intermedia dll) dan bakteri tersebut bisa
menghasilkan VCS. [Carranza 10th ed].

d. Xerostomia
Merupakan istilah untuk keadaan mulut yang
kering. Xerostomia atau kekeringan di dalam
rongga mulut dapat pula menyebabkan
terjadinya bau mulut atau halitosis. Mulut yang
kering akan meningkatkan lagi jumlah mikroba
dan produksi gas VCS sehingga menimbulkan
bau mulut. [Carranza 10th ed]

e. Kebiasaan
Halitosis juga dapat disebabkan oleh penggunaan
tembakau. Kebiasaan ini berkaitan dengan resiko
yang besar untuk terjadinya penyakit periodontal
dan kanker di dalam rongga mulut pada individu
yang memiliki kebiasaan ini. Bau mulut
disebabkan oleh kebiasaan merokok. Bau ini
disebabkan oleh tar, nikotin dan lainnya yang berasal dari rokok yang
berakumulasi di gigi dan jaringan lunak mulut (lidah, gusi, dsb). Juga merokok

9
akan mengeringkan jaringan mulut sehingga mengurangi efek pencucian dan
buffer oleh saliva terhadap bakteri dan kotoran yang dihasilkannya.

10
f. Penyakit Sistemik
Beberapa penyakit yang dapat
menyebabkan halitosis diantaranya: Infeksi
pada saluran nafas, diabetes, permasalahan
pada saluran pencernaan, infeksi pada sinus
dan kelainan hati serta ginjal.

h. Obat-obatan
Beberapa obat dapat menimbulkan halitosis. Obat-obat tertentu dapat juga
merubah rasa dan bau, obat-obat tertentu
tersebut dapat menimbulkan
berkurangnya produksi saliva yang
menyebabkan terjadinya halitosis.

1.2.3 Klasifikasi
Berdasarkan faktor etiologinya, halitosis dibedakan atasa halitosis sejati,
(genuine) pseudohalitosis dan halitophobia. Halitosis sejati dibedakan lagi atas
fisiologis dan patologis. Halitosis fisiologis merupakan bersifat sementara dan
tidak membutuhkan perawatan, sebaliknya halitosis patologis merupakan halitosis
bersifat permanen dan tidak dapat diatasi hanya dengan pemeliharaan oral hygiene
saja, tetapi membutuhkan suatu penanganan dan perawatan sesuai dengan sumber
penyebab halitosis. (http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/131087479.pdf)

1. Genuine Halitosis (halitosis sejati)


a. Halitosis Fisiologis
Halitosis fisiologis merupakan halitosis yang bersifat sementara
dan tidak membutuhkan perawatan. Pada halitosis tipe ini tidak ditemukan
adanya kondisi patologis yang menyebabkan halitosis. Contohnya adalah
morning breath, yaitu bau nafas pada waktu bangun pagi. Keadaan ini
disebabkan tidak aktifnya otot pipi dan lidah serta berkurangnya aliran
saliva selama tidur. Bau nafas ini dapat diatasi dengan merangsang aliran
saliva dan menyingkirkan sisa makanan di dalam mulut dengan
mengunyah, menyikat gigi atau berkumur.

11
b. Halitosis Patologis
Halitosis patologis merupakan halitosis yang bersifat permanen
dan tidak dapat diatasi hanya dengan pemeliharaan oral higiene saja,
tetapi membutuhkan suatu penanganan dan perawatan sesuai dengan
sumber penyebab halitosis. Adanya pertumbuhan bakteri yang dikaitkan
dengan kondisi oral higiene yang buruk merupakan penyebab halitosis
patologis intraoral yang paling sering dijumpai. Tongue coating, karies
dan penyakit periodontal merupakan penyebab utama halitosis berkaitan
dengan kondisi tersebut. Infeksi kronis pada rongga nasal dan sinus
paranasal, infeksi tonsil (tonsilhlith), gangguan pencernaan, tukak
lambung juga dapat menghasilkan gas berbau. Selain itu, penyakit
sistemik seperti diabetes ketoasidosir, gagal ginjal, dan gangguan hati
juga dapat menimbulkan bau nafas yang khas. Penderita diabetes
ketoasidosis mengeluartan nafas berbau aseton. Udara pernafasan pada
penderita kerusakan ginjal berbau amonia dan disertai dengan keluhan
dysgeusi, sedangkan pada penderita gangguan hati dan kantung empedu
seperti sirosis hepatis akan tercium bau nafas yang khas, dikenal dengan
istilah foetor hepaticus.

2. Pseudo Halitosis (Halitosis Semu)


Pada kondisi ini, pasien merasakan dirinya memilki bau nafas yang
buruk, namun hal ini tidak dirasakan oleh orang lain disekitarnya ataupun
tidak dapat terdeteksi dengan tes ilmiah. Oleh karena tidak ada masalah
pernapasan yang nyata, maka perawatan yang perlu diberikan pada
pasien berupa konseling untuk memperbaiki kesalahan konsep yang ada
(menggunakan dukungan literature, pendidikan dan penjelasan hasil
pemeriksaan) dan mengingatkan perawatan oral hygiene yang sederhana.

3. Halitophobia
Pada kondisi ini, walaupun telah berhasil mengikuti perawatan
genuine halitosis maupun telah mendapat konseling pada kasus pseudo

12
halitosis, pasien masih kuatir dan terganggu oleh adanya halitosis.
Padahal setelah dilakukan pemeriksaan yang teliti baik kesehatan gigi
dan mulut maupun kesehatan umumnya ternyata baik dan tidak
ditemukan suatu kelainan yang berhubungan dengan halitosis, begitu
pula dengan tes ilmiah yang ada tidak menunjukkan hasil bahwa orang
tersebut menderita halitosis. Pasien juga dapat menutup diri dari
pergaulan sosial, sangat sensitif terhadap komentar dan tingkah laku
orang lain. Maka dari itu, diperlukan pendekatan psikologis untuk
mengatasi masalah kejiwaan yang melatar belakangi keluhan ini yang
biasanya dapat dilakukan oleh seorang ahli seperti psikiater ataupun
psikolog

1.2.4 Gejala
Kita sering tidak menyadari bahwa diri kita mengidap halitosis. Kalaupun
tahu bau mulut sering membuat kita rendah diri. Karena itu, kita perlu mengenali
beberapa gejala tersebut :
1. Sering merasa tidak enak dalam mulut.
2. Orang lain berkomentar mengenai bau nafas anda kemudin menawarkan
sejenis permen atau obat penyedap bau nafas.
3. Tanpa sadar anda sering menggunakan produk penghilang bau mulut,
penyegar nafas.
4. Orang lain tidak mau berdekatan saat berbicara dengan anda.
5. Anda merasakan mulut kering atau kondisi air liur lebih kental daripada
biasanya. Kondisi ini tidak dapat diperbaiki walau dengan segala usaha
yang anda lakukan.

1.2.5 Video Penatalaksanaan


https://youtu.be/YAROr0AQCgk
https://youtu.be/LdXGIXEGd3o

13
1.3 Leukoplakia

1.3.1 Definisi
WHO (1978) medefinisikan leukoplakia sebagai lesi putih keratosis
berupa bercak atau plak pada mukosa mulut yang tidak dapat diangkat dari
mukosa mulut dengan cara usapan atau kikisan dan secara klinis maupun
histopatologis berbeda dengan penyakit lain di dalam mulut.
Pada seminar WHO 1983, leukoplakia didefinisikan sebagai plak atau
bercak putih yang tidak mempunyai ciri khas secara klinis atau patologis seperti
penyakit lain dan tidak dapat dihubungkan dengan suatu penyebab fisik atau
kimia kecuali penggunaan tembakau. 1
Secara histopatologis, leukoplakia didefinisikan sebagai bercak putih pada
mukosa dengan epitel mengalami hiperkeratosis dengan dasar yang terdiri dari sel
spinosum.

1.3.2 Komplikasi
Leukoplakia oral adalah lesi yang menyajikan sebagai 'patch yang putih' di
mukosa mulut. Dokter gigi mungkin menduga terjadinya leukoplakia pada
pemeriksaan; Namun, pada saat biopsi kemungkinan akan diambil untuk
menyingkirkan penyebab lain, seperti kanker mulut. Selama biopsi, sepotong kecil
jaringan dari lesi akan dihapus untuk diperiksa di laboratorium. Seorang agen mati
rasa akan digunakan sehingga pasien tidak akan merasa sakit. Leukoplakia
biasanya tidak berbahaya, dan lesi biasanya jelas dalam beberapa minggu atau
bulan setelah sumber iritasi dihapus.
Termasuk dari komplikasi leukoplakia ialah kanker mulut. Dimana
beberapa dari leukoplakia akan berujung ke kanker. Leukoplakia merupakan
gejala awal dimana gejala awal dari suatu kanker mulut. Sedangkan dampak dari
penyakit ini berupa rasa tidak nyaman dimulut terutama ketika sedang memakan
makanan yang asam.

14
1.3.3 Gejala
Leukoplakia adalah penyakit pada regio oral (mulut) yang telah dijelaskan
sebelumnya baik definisi maupun penyebabnya. Penyakit ini perlu diketahui ciri-
ciri apa saja yang menyertainya. Hal ini perlu diketahui agar masyarakat awam
mampu membedakan, apakah kondisi oralnya mengalami leukoplakia atau tidak.
Leukoplakia ini sering dialami oleh orang-orang yang sering
menggunakan rokok. Hal ini disebabkan oleh kehadiran rokok yang menjadi salah
satu penyebab penyakit leukoplakia. Leukoplakia bukanlah penyakit yang serius,
bukan kanker oral, akan tetapi dapat menjadi penyakit yang serius. Leukoplakia
sering menjadi tanda adanya kanker pada regio oral.4
Leukoplakia memiliki penampilan yang beragam, ada gejala yang
ditunjukkan pada bagian langit-langit mulut, mukosa pipi, bahkan lidah.
Leukoplakia ini sendiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Warna
Leukoplakia biasanya berupa perbedaan warna pada daerah yang terkena.
Perubahan warna tersebut berupa adanya sebidang wilayah kecil yang berwarna
putih atau keabuan. Tanda ini biasanya tidak dapat hilang walaupun digosok atau
dibersihkan. Terkadang, Leukoplakia dapat menunjukkan warna merah atau
warna gelap yang mengarah pada erithroplakia, di mana kondisi ini
menunjukkan gejala pada precancer (kanker)
b. Tekstur
Tekstur dari leukoplakia pada wilayah yang terkena biasanya tidak
beraturan dan rata. Tidak ada pembengkakan atau jorokan ke dalam di wilayah
Leukoplakia.
c. Struktur
Pada leukoplakia ini, biasanya area leukoplakia akan mengalami
penebalan dan pengerasan. Contohnya, adanya leukoplakia pada dinding pipi
bagian dalam, akan terasa lebih keras dan tebal.
d. Rasa Sakit
Leukoplakia ditandai dengan bidang putih atau keabuan yang dominan.
Biasanya tanda ini disertai dengan adanya rasa sakit pada daerah lesi. Rasa sakit
ini biasanya berlangsung sampai dengan 2 minggu tanpa adanya penyembuhan
sendiri. Bila hal ini terjadi, penderita akan lebih baik mengunjungi dokter gigi.

e. Jaringan

15
Secara mikroskopis, akan ada perubahan menetap dari jaringan yang
terkena leukoplakia. Sebagai contoh, perubahan struktur epitel pada leukoplakia.
Leukoplakia dengan klasifikasi yang disebut Hairy Leukoplakia dapat terjadi
pada orang-orang yang sistem imunya lemah atau mereka yang sedang dalam
pengobatan. Leukoplakia ini perlu diketahui ciri-cirinha karena sering di anggap
sariawan oleh orang awam.

Leukoplakia pada pipi Leukoplakia pada gusi

Leukoplakia pada lidah Leukoplakia pada bibir

Gejala Klinis
Leukoplakia ditandai dengan adanya lesi putih yang tidak dapat dihapus
yang sering ditemukan pada daerah alveolar, mukosa lidah, bibir, palatum, daerah
dasar mulut, gingival, mukosa lipatan bukal, serta mandibular alveolar ridge.
Ukuran lesi pada leukoplakia dapat bervariasi dari beberapa milimeter hingga
beberapa centimeter. Menurut tampilan klinis nya leukoplakia dapat dikategorikan
menjadi dua jenis, yaitu homogen dan non-homogen
1. Leukoplakia homogen secara umum seperti plak putih dengan permukaan
yang datar dan halus
2. Leukoplakia non-homogen berupa lesi putih yang disertai merah
(eritroplakia), permukaanya tidak rata dan keriput
Penampilan klinis dari leukoplakia dapat berubah dari waktu ke waktu.
Beberapa lesi pada leukoplakia homogen dapat membesar atau berubah menjadi

16
leukoplakia non-homogen. Sebagian besar dari leukoplakia akan tetap stabil atau
mengalami penyembuhan sementara beberapa leukoplakia dapat mengalami
transformasi menuju karsinomatosa.

1.3.4 Etiologi
Leukoplakia menunjukkan terdapatnya bercak berwarna putih dan
penebalan jaringan yang disebabkan oleh adanya penebalan lapisan keratin
permukaan (hiperkeratosis). Hal tersebut terjadi akibat pengaruh dari beberapa
faktor risiko. Faktor risiko ini dibedakan menjadi faktor lokal dan faktor sistemik.
Faktor lokal
1. Penggunaan tembakau
Penggunaan tembakau menempati urutan tertinggi sebagai faktor
yang mendorong terjadinya leukoplakia. Division of Oral Medicine and
Dentistry, Brigham and Women’s Hospital, menyebutkan bahwa lebih dari
80% pasien penderita leukoplakia memiliki catatan sebagai pengguna
tembakau. Dalam penggunaan tembakau, baik secara smokeless tobacco
maupun smoking tobacco, berbagai unsur kimia yang terdapat dalam
tembakau akan dilepaskan ke dalam rongga mulut pengguna. Di antara
unsur-unsur kimia tersebut ada yang bekerja sebagai iritan lokal yang
berkenaan dengan perubahan pada mukosa rongga mulut. Dalam
penggunaan tembakau secara smoking tobacco, panas yang dihasilkan juga
merupakan faktor risiko yang tak kalah penting. Paparan terhadap panas
dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada mukosa rongga mulut.

2. Konsumsi alcohol
Konsumsi alkohol dalam jangka waktu yang panjang dapat
menyebabkan iritasi mukosa rongga mulut.
3. Iritasi kronis
Iritasi berkelanjutan yang hebat juga dapat memicu terjadinya
leukoplakia apabila mampu menginduksi permukaan epithelium untuk
memproduksi keratin. Iritasi ini bisa disebabkan oleh adanya maloklusi,
permukaan gigi yang kasar, pemasangan gigi palsu yang salah,
penambalan gigi yang tidak tepat, makanan yang panas pedas, dan lain-
lain.

17
4. Oral hygiene
Kegagalan menjaga kebersihan rongga mulut berkaitan dengan
meningkatnya perkembangan leukoplakia.
Faktor sistemik
1. Penyakit sistemik
Penyakit sistemik yang berhubungan dengan leukoplakia antara
lain kandidiasis, sifilis, anemia sidrofenik, xerostomia.
2. Bahan-bahan yang memiliki sifat karsinogenik yang diberikan secara
sistemik. Bahan-bahan ini dapat berupa obat-obatan.
3. Defisiensi vitamin
Defisiensi vitamin A, B9, dan B12 meningkatkan risiko terjadinya
leukoplakia. Defisiensi vitamin A dapat meningkatkan metaplasia dan
keratinisasi dari susunan epitel. Pasien penderita leukoplakia menunjukkan
level vitamin A serum yang rendah. Adapun defisiensi vitamin B kompleks
menyebabkan kerentanan untuk teriritasi meningkat.

1.3.5 Pengobatan
Kasus Leukoplakia dapat diobati secara conservative treatment,
medical treatment, surgical treatment.
1. Conservative treatment dilakukan dengan pemberian vitamin A. Di
beberapa penelitian, kekurangan vitamin A terbukti dapat mengubah
daerah epithelium non-keratinization menjadi daerah epithelium
keratinization dan juga metaplasia dari secretory columnar epithelium
menjadi keratinizing squamous epithelium.
2. Medical treatment dapat dilakukan apabila leukoplakia berlangsung
bersamaan dengan adanya infeksi jamur, yang disebut candida. Pada kasus
ini, medical treatment dengan pemberian obat anti jamur dapat digunakan
untuk menghilangkan infeksi di dalam bercak putih.
3. Surgical treatment untuk pasien leukoplakia dapat menurunkan risiko
terjadinya kanker mulut dengan cara menghilangkan sel-sel abnormal.
Leukoplakia patch dapat dihilangkan dengan menggunakan beberapa
teknik seperti menggunakan scalpel, laser atau cryotheraphy.
Pengobatan - pengobatan diatas dapat berlangsung dengan baik apabila
faktor yang mendukung terjadinya kasus leukoplakia dihentikan, seperti
berhenti merokok, berhenti atau mengurangi konsumsi alkohol, dan menjaga
kebersihan rongga mulut pasien.

18
1.3.6 Video Penatalaksanaan
https://youtu.be/IU2XeDySTvA

19
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
 Stomatitis merupakan bahasa awam untuk berbagai macam lesi/benjolan yang
timbul di rongga mulut. Namun biasanya jenis sariawan yang sering timbul
sehari-hari pada rongga mulut kita disebut (dalam istilah kedokteran gigi)
adalah Stomatitis Aftosa Rekuren. Sariawan atau stomatitis adalah radang yang
terjadi pada mukosa mulut, biasanya berupa bercak putih kekuningan. Bercak
itu dapat berupa bercak tunggal maupun berkelompok. Sariawan dapat
menyerang selaput lendir pipi bagian dalam, bibir bagian dalam, lidah, gusi,
serta langit-langit dalam rongga mulut.
 Halitosis berasal dari bahasa latin ‘halitus’ (nafas) dan Yunani ‘osis’ (keadaan).
Jadi, halitosis merupakan keadaan dari bau nafas. Umumnya istilah ini
mengacu pada suatu keadaan bau mulut yang berasal dari keadaan metabolik
secara sistemik, termasuk saluran pencernaan. Halitosis dapat berupa halitosis
fisiologis maupun patologis. Halitosis fisiologis adalah halitosis yang bersifat
sementara dan terjadi bila substansi yang menimbulkan bau tersebut secara
hematologi menuju paru-paru dan biasanya berasal dari makanan, seperti
bawang dan lobak dan bisa juga berasal dari minuman, seperti teh, kopi, serta
minuman beralkohol. Halitosis Patologis adalah halitosis yang pada dasarnya
terjadi dalam suatu mekanisme yang sama dengan halitosis fisiologis, dalam
hal ini bahan-bahan yang secara hematologis menuju paru-paru. Penyebab
utama keadaan ini karena adanya kelainan yang bersifat local maupun sistemik
seperti diabetes mellitus, uremia, gastritis, tukak lambung dan hepatitis (Jurnal
Kedokteran Gigi Mahasaraswati volume 2).
 WHO (1978) medefinisikan leukoplakia sebagai lesi putih keratosis berupa
bercak atau plak pada mukosa mulut yang tidak dapat diangkat dari mukosa
mulut dengan cara usapan atau kikisan dan secara klinis maupun histopatologis
berbeda dengan penyakit lain di dalam mulut.

3.2 Saran

20
Dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami
penyakit-penyakit oral, yaitu stomatitis, halitosis dan leukoplakia. Serta setelah
memahami makalah ini pembaca dapat memperhatikan oral care agar terhindar
dari penyakit-penyakit diatas.

21
DAFTAR PUSTAKA

Sari, Yanti Puspita. 2019. Asuhan Keperawatan Maternitas Seri: Perinatal


Fisiologis. Padang: Andalas University Presss
Sari, Danita. 2016. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kehamilan.
Arkesmas Vol. 1, No. 1 Tangerang Selatan-Banteindonesia.
Kumalasari, Intan, dkk.2012. Kesehatan Reproduksi untuk Mahasiswa
Kebidanan dan Keperawatan. Jakrta: Salemba Medika.
Sari, Danita. 2014. Fakto-Faktor yang Berhubungan dengan Kehamilan pada
Usia Remaja Di Puskesmas Ciputat Kota Tanggerang Selatan Tahun 2014.
Tanggerang Selatan.
Najma. 2010. Resiko Secara Psikologis Ibu Hamil Remaja. Availeble from
(http://najma.com/2010/07/17/resik o-psikologis-hamil-remaja.

22

Anda mungkin juga menyukai