Anda di halaman 1dari 19

Tugas Kelompok Cirebon Studies

Makalah Islamisasi Cirebon


Dosen Pengampu : Yunita Dwi Jayanti,M.Pd

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2

Ahmad faiq haidar 2281131874


Hendro adi sutanto 2281131852
Musa zainuddin 2281131876
Rahmi narulita 2281131896
Ika resmiati 2281131857

PRODI PJJ PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIAH DAN ILMU KEGURUAN
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT. Dzat yang selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya.
Penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa
terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabatnya serta kepada
para umatnya yang senantiasa patuh dan taat kepada ajarannya.

Makalah yang berjudul “ Islamisasi Cirebon ” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
memenuhi tugas mata kuliah Cirebon Studies yang diampu oleh Yunita Dwi Jayanti,M.Pd.
Selain itu, dengan adanya makalah ini diharapkan dapat menambah pemahaman kami
mahasiswa dalam permasalahan yang berkaitan dengan wawasan dan pengembangan dalam
pembelajaran mata kuliah Cirebon studies.

Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak
kesalahan dan ketidak sempurnaan yang disebabkan oleh wawasan dan pengetahuan
Penulis yang masih dalam proses belajar. Oleh karena itu Penulis berharap adanya kritik dan
saran dari pembaca sekalian, khususnya dari dosen mata kuliah Cirebon studies agara dapat
meningkatkan mutu dalam penyajian berikutnya.

Brebes, 28 September 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR …………………………………………………………. ........... i

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………….. ii

BAB 1 PENDAHULUAN ……………………………………………………………. 1

1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………............... 1

1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………………………... 2

1.3 Tujuan ………………………………………………………………………............. 2

1.4 Kajian Pustaka………………………………………………………………………. 2

BAB 11 PEMBAHASAN ………………………………………………………………. 3

2.1 Pengertian Islamisasi ………………………………………………………............... 3

2.2 Proses Islamisasi di Cirebon ………………………………………………………… 3

2.3 Peran dan Pengaruh Islamisasi Cirebon ….…………………………………………. 5

1. Pangeran Walasungsang ………………………………………………………. 5

2. Sunan Gunung Jati …………………………………………………………….. 8

BAB 111 PENUTUP

3.1 Kesimpulan ………………………………………………………………………. 14

3.2 Saran ………………………………………………………………………………. 16

BAB 1V DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………16


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebelum Islam sampai ke Indonesia, pengaruh Hindu sangat kuat terhadap masyarakat
Indonesia dimana terdapat perbedaan kasta di kalangan masyarakat. Ketika Islam datang
dengan menawarkan toleransi dan persamaan derajat diantara sesama manusia, maka
masyarakat Indonesia merasa tertarik. Sehingga Islam dengan mudah dianut oleh masyarakat
Indonesia.

Islam adalah agama dakwah yaitu agama yang harus disiapkan, disebar luaskan dan
dikembangkan oleh penganut-penganutnya dalam situasi dan kondisi yang apapun.
Demikian pula halnya dengan apa yang dilakukan para pedagang muslim yang juga berperan
sebagai dai dengan berbagai metode yang digunakan untuk berusaha
mengembangkan sayap Islam seluas-luasnya sehingga sampai penjuru Nusantara. Semenjak
Islam masuk ke Indonesia hingga Indonesia merdeka penganutnya semakin bertambah.
Sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara nomor satu di dunia yang jumlah ummat
Islamnya paling banyak.

Termasuk kota Cirebon yang mana merupakan salah satu wilayah pesisir utara pulau
Jawa, kota ini tercatat sebagai salah satu pusat Islamisasi Nusantara awal, terutama di wilayah
bagian Barat Pulau Jawa. Wilayah Cirebon memiliki daya tarik di sektor perairan laut, kalangan
sejarawan local yang menyebutnya sebagai jalur sutera sehingga menjadi magnet bagi para
penjelajah dari berbagai wilayah penjuru dunia untuk singgah. Dari para pedagang, mubaligh,
atau bahkan para wisatawan manca negara yang sekedar untuk berwisata seperti penjelajah
Tome Pires. Disamping wilayah perairan laut Cirebon juga memiliki wilayah perairan darat
sebagai jalur lalu lintas perdagangan di wilayah pedalaman. Banyak keuntungan yang dimiliki
oleh Cirebon karena didukung oleh kondisi alam yang dekat dengan garis pantai dan dilalui
sungai-sungai penghubung dengan pedalaman, dan mempermudah akses lalulintas dagang
serta memperluas jangkauan dakwah Islam. Dakwah Islam pada masa awal tidak lepas dari
pengaruh para rombongan pedagang dengan membawa kapal-kapal besar yang singgah di
pantai muara jati, mereka membawa misi untuk memperluas dakwah Islam.

1
1.2. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Islamisasi?

2. Bagaimana Peroses Islamisasi di Cirebon?

3. Bagaimana peran Raden Walangsungsang dalam Islamisasi Cirebon?

4. Bagaimana peran Sunan Gunung Jati dalam islamisasi Cirebon?

1.3 Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui pengertian Islamisasi

2. Untuk mengetahui Peroses Islamisasi di Cirebon

3. Untuk mengetahui peranan Raden Walangsungsang

4. Untuk mengetahui peranan Sunan Gunung Jati

1.4 Kajian Pustaka

Dalam pembuatan makalah ini penulis menggunakan metode pendekatan sejarah


(Historis) sebagai sebuah pendekatan. Pendekatan sejarah yang merupakan pandangan yang
mampu mengungkapkan fakta bahwa situasi masa kini adalah produk perkembangan masa
lampau. Dalam pendekatan sejarah ini penulis melihat dimensi waktu (kronologis), periodisasi
(pembabakan waktu) yang merupakan salah satu proses strukturasi waktu dengan pembagian
zaman atau periode.

Metode sejarah yang terdiri dari empat tahapan, yaitu: Heuristis atau pengumpulan
data, verifikasi atau kritik sejarah, keabsahan sumber, interpretasi atau analisis dan (approach)
merupakan metodologi dalam ilmu sejarah, bahwa penggambaran mengenai suatu peristiwa
sangat tergantung pada pendekatan, ialah dari sudut pandang mana penulis akan memandang,
dimensi mana yang harus diperhatikan, unsur-unsur mana yang diungkapkan.

Kemudian menginterpretasikan secara kronologis sehingga menghasilkan fakta sejarah


berdasarkan data yang dianalisa. Terkait tugas makalah ini objek penelitian mengenai
Islamisasi Cirebon bahwa sumber primer yang se-zaman belum kami temukan.

2
BAB 11

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Islamisasi

Islamisasi adalah proses konversi masyarakat menjadi islam. Dalam penggunaan


kontemporer, mungkin mengacu pada pengenaan dirasakandari sistim sosial dan politik islam
di masyarakat dengan latar belakangsosial dan politik pribumi yang berbeda. Pengertian
islamisasi menurut para ahli:

1. Menurut Al Faruqi, islamisasi adalah menuangkan kembali pengetahuan sebagaimana yang


dikehendaki oleh Islam, yaitu denganmemberikan definisi baru, mengatur data, mengevaluasi
kembalikesimpulan-kesimpulan dan memproyeksikan kembali tujuan-tujuannya.

2. Al Attas memberi pengertian bahwa islamisasi sebagai proses pembebasanatau


pemerdekaan. Sebab ia melibatkan pembebasan roh manusia yangmempunyai pengaruh atas
jasmaninya dan proses ini menimbulkankeharmonisan dan kedamaian dalam dirinya, sebagai
fitranya.

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Islamisasi adalah proses masuk dan
berkembangnya agama dan budaya Islam di Indonesia.

2.2 Proses Islamisasi di Cirebon

Secara kronologis, sosialisasi para pedagang Islam mulai dari kontak hingga terjadi
Islamisasi adalah melalui tiga tahapan sebagai berikut :

1) Awal abad Masehi s/d abad IX M. Fase awal-awal kontak komunitas-komunitas Nusantara
dengan para pedagang dan musafir dari Arab, Persia, Turki, Syiria, India,Pegu, Cina, Dll.

2) Antara abad IX-XI M, adanya kontak dari para pedagang Islam dengan pribumi Nusantara.
Selanjutnya sekitar abad XI-XII M berdiri kantong-kantong pemukiman Islam di Nusantara
baik di pesisir maupun dipedalaman dengan bukti yang tersebar di Nusantara, antara lain di
Pesisir Sumatra, Jawa Timur, Ternate, dan Tidore.

3) Abad XIII-XVI M mulai berkembang kekuatan politik dan kerajaan-kerajaan Islam di


Nusantara. Kerajaan yang berkembang di Nuantara mulai mengadakan hubungan dengan
Eropa dalam bidang perdagangan terutama rempah-rempah.

3
Perkembangan Cirebon sebenarnya melalui tahap yang panjang hingga memasuki
eraIslam. Sejak awal masehi, mulai berkembang perdagangan internasional. Perdagangan
internasional yang terjadi diberbagai belahan dunia berdampak pula bagi daratan Nusantara.
Pengaruh Hindu-Budha lebih dahulu masuk dan memengaruhi masyarakat Nusantara. Hingga
pada abad ke XV Cirebon berubah menjadi sebuah Kerajaan Islam yang berdaulat di Nusantara.
Menurut sumber dari manuskrip pendiri Kerajaan Cirebon adalah Sunan Gunung Jati, seorang
tokoh Islam yang dikenal menjadi salah satu anggota dari Walisongo. Dalam buku Cirebon
Dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial dijelaskan adanya pembukaan lahan untuk pemukiman
para pedagang muslim sebelum era Sunan Gunung Jati.

Menurut sumber di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebelum Kerajaan Cirebon
berdiri di bawah Kekuasaan Sunan Gunung Jati pada 1479 M, sudah ada pemukiman Islam di
Cirebon. Kuwu Cerbon yang diberi kuasa oleh Raja Pajajaran menggambarkan bahwa tetap
ada toleransi kepada para pedagang Muslim yang menetap di Cirebon hingga akhirnya
membaur dengan masyarakat pribumi. Perkembangan selanjutnya adalah berdirinya Kerajaan
Cirebon di bawah Sunan Gunung Jati di Cirebon yang menyatukan wilayah Pesambangan dan
Lemah Wungkuk di bawah kedaulatan Kerajaan Cirebon.

Perkembangan Nusantara menurut data prasejarah setelah masa Hindu-Budha adalah


masa Islam. Pada masa Hindu-Budha kehidupan masyarakat Nusantara menjadi faktor
perkembangan agama Hindu-Budha. Masuknya agama baru memengaruhi berbagai bidang
kehidupan, misalnya saja dalam bidang politik, kesenian, dan sudah barang tentu dalam bidang
kepercayaan. Pada masuknya pengaruh Islam pun tidak jauh berbeda dengan masuknya agama
Hindu yaitu melalui jalur yang beragam, antara lain dari perdagangan, pendidikan, pernikahan,
dan lain-lain.

Abad ke XIII-XVI M merupakan bentangan waktu terjadinya proses sosialisasi dan


institusionali Islam di Nusantara. Pelabuhan Muara Jati menjadi pintu masuk Islam di Cirebon,
dimana menjadi pelabuhan yang strategis bagi perdagangan internasional. Dalam buku Sejarah
Umat Manusia, Hal ini terjadi karena pada sekitaran abad ke XIII M terjadi degradasi di pusat-
pusat peradaban Islam di Timur Tengah dan Asia Tengah akibat serangan dari bangsa Mongol
(Tartar), sehingga terjadi pengembaraan para ulama hingga ke Nusantara. Proses pengislaman
yang terjadi di Nusantara kebanyakan bersifat terbuka, terutama dari jalur perdagangan antara
pribumi dan pedagang Islam.

4
Menurut pendapat Niemann dan deHolander, Islam masuk ke Nusantara dibawa oleh
para pedagang dari Timur Tengah. Para pedagang Islam ini kemudian menetap dan mulai
mengenalkan Islam pada penduduk Cirebon. Selain jalur perdagangan, perkawinan antara
orang muslim dengan masyarakat Cirebon juga menjadi salah satu cara efektif dalam
memperkuat fondasi Islam di Cirebon.

2.3 Peran dan Pengaruh Islamisasi Cirebon

1.Pangeran Walasungsang

Keberhasilan penyebaran Islam di Cirebon tidak lepas dari kiprah Walangsungsang,


belia dilahirkan di tanah Sunda (Pasundan) yaitu diGaluh (Kawali), Priangan Timur pada tahun
1423 M. Ia memiliki dua saudara masing-masing bernama Rara Santang (1427 M) dan Sangara
(Kian Santang) lahir pada tahun 1429 M. Mereka putra hasil pernikahan antara Pemanah Raja
Jaya dewata (Prabu Siliwangi) dengan Nyi Subang Laran putra Nagari singapura di pesisir
Pantai Utara Jawa Barat.

Perjalanan pengembaraan Walangsungsang dalam mencari guru agama, ia bertemu


petapa di tiga tempat, ialah di Gunung Ciangkup, Gunung Kumbing dan Gunung Amparan Jati.
Di Gunung Ciangkup Walangsungsang bersama istrinya, Indhang Geulis dan Rara Santang
adiknya, menemuin Resi Danuwarsih, ketiganya disarankan untuk berguru di Padepokan
Shang Hyang Nanggo untuk menambah bekal ilmu. Setelah ketiganya menemui Resi Ki
Danuwarsih, mereka melanjutkan pengembaraannya ke Gunung Ciangkup, disana ketiganya
bertemu dengan Shang Hyang Nanggo.

Walangsungsang berserta Istri dan adik perempuannya mendapatkan pelajaran dari


Shang Hyang berupa ilmu aji kewibawan, dengan senjatanya Golok Cabang, Bareng dan
Topong (Baca: Peci) Waring Ketiganya terdapat tulisan yang mengandung makna, yakni makna
tulisan di Golok Cabang yakni “jadilah untuk tujuh perkara” manfaatnya yang disebutkan
dalam Q.S. al-A’raf: 97. Kemudian Bareng, manfaatnya “jika ingin menjadi orang Islam yang
sejati maka mengamalkan zimat yang empat yakni ilmu syari’ah, tarekat, hakikat dan ma’rifat.
Selanjutnya makna dari Topong Waring, manfaatnya untuk mengajak kebaikan dan mencegah
kemungkaran. Beberapa zimat ini yang telah dijelaskan oleh guru Walangsungsang yakni
Syekh Nur Jati.

5
Demikian hal tersebut merupakan wujud persepsi masyarakat dalam memahami Islam
sekaligus bentuk penghormatan atas upaya Walangsungsang dalam menyebarkan Islam dan
pembuka daerah Cirebon, kemudian pada perkembangannya dijuluki sebagai kota wali,
dikarenakan penyebaran Islam yang massif.

Walangsungsang oleh masyarakat Cirebon dikenal dengan sebutan Mbah Kuwu


Cirebon Girang, Sebelum Walangsungsang mendirikan pemukiman di Cirebon Larang,
sebenarnya di sekitar wilayah tersebut telah berdiri pakuwuan (di bawah wilayah Kerajaan
Singhapura) yang dipimpin oleh Ki Danusela. Tetapi dengan ilmu dan kecakapan dari
Walangsungsang, pakuwuan tersebut semakin berkembang dan tertata rapi. Penunjukan Ki
Danusela sebagai kuwu pertama di Cirebon Larang, karena jabatan tersebut telah disandangnya
sebelum Walangsungsang datang dan mendirikan pemukiman baru. Ketokohan Ki Danusela
rupanya masih diperhitungkan dan dihormati oleh penduduk setempat maupun
Walangsungsang sendiri. Ki Danusela adalah adik dari Ki Gedeng Danuwarsih (mertua dari
Walangsungsang). Istri Ki Danusela bernama Nyi Arum Sari dari Cirebon Girang. Dari
pernikahannya itu, mereka dikaruniai seorang putri yang bernama Nyi Retna Riris. Selain
diperintahkan untuk membuka lahan baru, pada tahun 1448 M, setelah selesai membangun
tempat pemukiman baru yang semakin maju, Raden Walangsungsang pergi ke Tanah Suci
Mekkah bersama adiknya, Nyai Larasantang. Tetapi istrinya Walangsungsang yang bernama
Nyai Indang Geulis tidak diikut sertakan karena sedang mengandung. Usai menunaikan ibadah
haji, Walangsungsang sangat berbahagia karena Indang Geulis (istrinya) telah melahirkan
seorang puteri yang kemudian diberi nama Nyai Pakungwati. Sedangkan anak dari
pernikahannya dengan Nyi Rasa Jati antara lain: • Nyi Lara Konda • Nyi Lara Sejati • Nyi Jati
Merta • Nyi Mertasinga • Nyi Campa • Nyi Rasa Melasih.

Setelah Ki Danusela wafat, Walangsungsang akhirnya diangkat menjadi kuwu Cirebon


Larang yang ke-2. Selanjutnya, untuk mengislamkan keluarga Ki Danusela, Walangsungsang
menikah lagi dengan puteri dari Ki Danusela yang bernama Retna Riris (kemudian berganti

nama menjadi Kancana Larang). Dari pernikahannya kali ini, Walangsungsang


dikaruniai seorang putra yang bernama Pangeran Cerbon. (kemudian setelah dewasa menjadi
kuwu di Cirebon Girang). Pada saat menjabat sebagai kuwu, Raden Walangsungsang
menunjukkan kecakapannya. Ia mampu memajukan wilayah itu, Cirebon Larang semakin
berkembang melebihi ukuran sebuah desa.

6
Saat itu wilayahnya banyak didatangi oleh para pendatang dari berbagai suku bangsa.
Semakin banyak juga penduduk Cirebon yang beralih agama dari Hindu (pengaruh Pajajaran
di pantai utara Jawa khususnya di Cirebon dan sekitarnya) ke agama Islam. Untuk lebih
menggiatkan penyebaran Islam kemudian Walangsungsang mendirikan Masjid Jalagrahan
(masjid tertua di Cirebon) pada tahun 1456 M.

Cirebon Larang beberapa tahun kemudian, sepak terjang yang dilakukan oleh Raden
Walangsungsang mengenai penyebaran Islam diketahui oleh sang ayah yaitu Prabu Jayadewata
(yang telah menjabat sebagai raja Pajajaran dengan gelar Sri Baduga Maharaja). Namun,
tindakan penyebaran Islam itu tidak dipermasalahkan oleh Prabu Jayadewata. Ki Gedeng Tapa
(Kerajaan Singhapura) meninggal dunia, Raden Walangsungsang kemudian meneruskan tugas
untuk mengatur Pelabuhan Muara Jati dan menyatukan wilayah Kerajaan Singhpura dengan
wilayah pakuwuan Cirebon Larang dalam satu kekuasaan. Untuk mengamankan dan
mempertahankan Pelabuhan Muara Jati yang semakin ramai, Raden Walangsungsang
membentuk satuan keamanan dan ketertiban. Pengelolaan secara otonomi, makin membuat
situasi pelabuhan makin ramai, dan pemasukan pendapatan ke Kerajaan Pajajaran pun semakin
besar. Harta warisan yang berlimpah dari Ki Gedeng Tapa kemudian digunakannya untuk
membuat sebuah keraton yang bernama Keraton Pakungwati (diambil dari nama puterinya) di
tepian Kali Kriyan, serta membentuk satuan prajurit. Keraton Pakungwati dibuat sebagai
kompleks keraton yang sangat indah, di mana didalamnya terdapat taman sari dan kolam
pemandian tempat para puteri keraton membersihkan diri.

Wilayah Cirebon Larang telah lengkap untuk membentuk kerajaan, maka Prabu
Jayadewata segera mengirimkan utusannya yang bernama Jagabaya (Perwira Angkatan Perang
Pajajaran) serta Rajasengara (Kian Santang), adik bungsu Walangsungsang untuk menobatkan
Raden Walangsungsang sebagai raja daerah dengan gelar Tumenggung Sri Mangana
Cakrabuana. Dengan demikian, maka mulai saat itu, status Pakuwuan Cirebon Larang berubah
menjadi Kerajaan di bawah kekuasaan Pajajaran. Setelah acara penobatan dilangsungkan, Raja
sengara (Kian Santang) tidak pulang ke Pakuan tetapi memilih tinggal bersama kakaknya di

Kerajaan Cirebon Larang. Disinilah beliau bertemu dengan seorang gadis dari Campa yang
bernama Nyi Halimah atau Nyi Gedeng Kalisapu. Meski saat itu Cirebon Kerajaan Larang
merupakan bagian dari wilayah besar Kerajaan Pajajaran yang berfaham Hindu, Raden
Walangsungsang tetap terus mengembangkan agama Islam.

7
Apa yang dilakukan Raden Walangsungsang tidak mendapat hambatan dari Pajajaran, karena
dalam bekerja di pemerintahan dia tidak pernah mengecewakan kerajaan Pajajaran tersebut.

2. Sunan Gunung Jati

Kejayaan Cirebon saat dipimpin oleh Syarif Hidayatullah atau dikenal sebagai Sunan
Gunung Jati. Sosok Sunan Gunung Jati yang rendah hati, tidak sombong, sopan, santun dalam
berkata-kata, cerdas, agamis, dan mumpuni di bidangnya. Beliau adalah seorang perwira yang
tangkas dan banyak memiliki pengikut baik dari kalangan raja, pembesar, maupun panglima.
Beliau pun orang yang tegas dan memiliki strategi perang dan siasat tempur yang luar biasa.
Beliau juga memiliki konsep yang visioner dan berwawasan internasional berkat
pengalamannya berkeliling negara. Dengan demikian, wajar jika beliau bisa memerankan
dirinya sebagai seorang pemimpin politik, pendakwah dan lain sebagainya secara bersamaan
dengan sangat baik. Adapun peran lainnya yang tidak kalah menarik adalah bagaimana beliau
bisa memainkan proses maupun hasil dari Islamisasi secara massif dan damai. Proses tersebut
bisa terlihat dari:

1. Bidang Politik

Pada saat Syarif Hidayatullah datang ke Cirebon, sebagian tandha keprabon berupa
kotak berisi pedang dan surat pun diberikan kepadanya. Penyerahan kekuasaan secara simbolik
ini diberikan oleh pamannya yaitu Pangeran Walasungsang Cakrabuana. Tepatnya, pada
tanggal 12 bagian terang bulan Carita 1404 Saka (4 Maret/April 1482 M), Pangeran
Cakrabuana menobatkan Syekh Syarif Hidayatullah sebagai Raja Islam pertama Cirebon. Di
saat yang bersamaan dengan dukungan Dewan Walisongo (Nawakamasthu atau Kamasthu
Kang Sangan) yang dipimpin oleh Sunan Ampel Denta melantik Syekh Syarif Hidayatullah
sebagai Sunan Carbon Sinarat Sundha. Penobatan tersebut ditandai dengan gelar yang
diberikan kepada Syekh Syarif Hidayatullah sebagai “Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan
Jati Purwabawisesa Panetep Aulia Allahu Ta’ala Kutubil Jaman, Kholifatul Rosulillahi
Sholollahu Alaihi Wassalam”. Dengan gelar tersebut, Syarif Hidayatullah yang kemudian
dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati memiliki otoritas penuh sebagai pemimpin negara
dan pemimpin agama di wilayah tatar sundha (Raja Ingkang Pinandhita Sinarat Sundha).

Pada masa islamisasi bentuk dukungan mengalir untuk Sunan Gunung Jati. Pangeran
Panjunan dan para pengikutnya mendukung dengan cara membangun pagar-pagarnya,
membuat pintu-pintu kerajaan, merancang pedaleman serta menyediakan tukang batu. 8
Ki Gedheng Kagok Garenjeng, Pangeran Reken turut membantu Susuhunan. Setelah
naik tahta, Sunan Gunung Jati pun melakukan upaya Islamisasi yang tidak serta merta diterima
oleh masyarakat, karena pada dasarnya Cirebon merupakan bekas daerah kekuasaan Kerajaan
Sunda Pajajaran, kerajaan bercorak Hindu-Budha. Proses Islamisasi di Cirebon sangat
berkaitan dengan kehidupan masyarakat dengan kepercayaan-kepercayaan lama bercampur
dengan agama-agama yang pernah masuk, hingga sekarang agama Islam masuk pun ciri
percampuran budayanya masih terasa. Setelah Sunan Gunung Jati mendirikan dan memimpin
Kesultanan Cirebon, proses Islamisasi menjadi lebih nyata terjadi. Hal itu terlihat dari semakin
meluasnya wilayah kekuasaan Kesultanan Cirebon, antara lain Luragung, Kuningan, Banten,
Sunda Kelapa, Galuh, Sumedang, Japura Talaga, Losari dan Pasir Luhur.

Sebagaimana kemunculan Walisongo yang dianggap sebagai kemunculan hidup


beragama disertai kemunculan peranan yang cukup kuat dalam bidang politik. Khususnya
ketika kerajaan Demak sebagai penguasa Islam pertama di Jawa berhasil menyerang ibu kota
Majapahit, para wali ini pun dengan bantuan kerajaan Demak, kemudian Pajang dan Mataram
dapat meluaskan pengembangan Islam tidak saja ke seluruh daerah-daerah penting di Jawa,
tetapi juga di luar Jawa. Hal inilah yang kemudian melatar belakangi pemikiran Sunan Gunung
Jati akan pentingnya kekuatan politik demi keberhasilan Islamisasi.

Meski tidak melakukan pergerakan yang revolusioner, tapi Sunan Gunung Jati berhasil
memainkan kekuasaannya sebagai penguasa Kasultanan Cirebon ini dengan sangat baik. Sunan
Gunung Jati kemudian memutuskan untuk mengadopsi sistem pemerintahan yang telah
dilaksanakan oleh pemerintahan sebelumnya. Demi membuka peluang bagi Kasultanan
Cirebon untuk mengambil langkah-langkah yang menguntungkan bagi suksesi dakwah Islam
di Cirebon yang semakin luas. Beberapa kebijakan yang dihasilkan oleh Sunan Gunung Jati
sebagai bentuk Islamisasi melalui bidang politik tidak dilakukannya secara revolusioner atau
melalui peperangan. Melainkan melalui pendekatan-pendekatan strategis yang berimplikasi
pada perbaikan, perubahan dan penyempurnaan sistem pemerintahan yang lebih mendukung
Islamisasi di Cirebon. Beberapa implikasi dari peran yang dimainkan oleh Sunan Gunung Jati
antara lain:

a. Memunculkan kekuatan Kerajaan Islam dengan cara melepaskan diri dari kekuasaan
Kerajaan Pajajaran.

b. Pendirian Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan menjadikannya sebagai pusat kegiatan
pemerintahan. 9
c. Memprakarsai pola pembangunan keraton-masjid-alun-alun dan pasar sebagai bagian yang
masing-masing saling berintegrasi yang membentuk nti kota kuno dari Kerajaan Islam
(Kasultanan) di Nusantara dan Kasultanan Cirebon pada masa lalu. d. Pembentukan sistem
jabatan dengan menyeragamkan gelar jabatannya dan menetapkan pimpinan Cirebon
selanjutnya diberi gelar Sultan atau Penembahan Ratu.

2. Bidang Sosial Budaya

Islamisasi yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati dilakukan dengan meniru gaya
Walisongo lainnya yang cenderung menggunakan pendekatan kesenian dan budaya. Hal ini
perlu dilakukan dalam rangka melakukan pendekatan dakwah, agar ajaran Islam bisa dengan
mudah diterima oleh masyarakat Cirebon. Selain itu, pendekatan sosial budaya yang
dilakukannya itu juga menjadi bentuk transformasi Islam melalui tradisi-tradisi yang ada di
tengah masyarakat Cirebon.

Ajaran Islam yang dibawa oleh Sunan Gunung Jati pun sama seperti para wali lainnya
yang mengajarkan ajaran Islam berdasarkan empat tingkatan yaitu syariat, tarekat, hakekat, dan
ma’rifat. Dalam tingkatan pertama yaitu syariat, biasanya disimbolkan dalam bentuk wayang.
Wayang inilah yang merupakan perwujudan dari manusia. Sedangkan dalangnya adalah Allah.
Tingkatan kedua adalah tarekat yang disimbolkan dengan barong. Tingkatan ketiga adalah
hakekat yang disimbolkan dengan topeng. Tingkatan keempat adalah ma’rifat yang
disimbolkan dengan ronggeng. Keempat bentuk kesenian ini, wayang, barong, topeng, dan
ronggeng kemudian dijadikan jenis-jenis pertunjukan kesenian rakyat Jawa Cirebon. Selain
berdakwah dalam bentuk kesenian, Sunan Gunung Jati juga mengadakan berbagai acara
sedekah (slametan) yang kemudian dijadikan tradisi pada bulan-bulan tertentu terutama saat
perayaan hari besar Islam. Selain itu, Sunan Gunung Jati juga berperan penting dalam bidang
seni sastra dan tembang. Melalui kedua hal ini, beliau berhasil mengemas kesenian sebagai
media informasi dan sosialisasi ajaran Islam. Beliau menjadikan seni sebagai sesuatu yang
bermartabat dan terhormat, tidak lagi menjadi konsumsi orang-orang bejat dan para pemabuk.

10
3. Bidang Agama

Dalam usia 20 tahun Syarif Hidayatullah telah mempunyai kualifikasi sebagai guru
agama Islam karena latar belakang pendidikannya yang telah belajar di Mekkah dan Madinah.
Pada tahun 1479, beliau dinobatkan oleh pamannya, Pangeran Cakrabuwana, sebagai Kepala
Nagari dan digelari Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban. Dengan demikian,
namanya pun berubah menjadi Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan
Muhammad Syarif Abdullah yang disambut oleh para wali tanah Jawa dengan memberikan
gelar Panetep Panatagama Rasul di Tanah Sunda18 ataung Ingkang Sinuhun Kangjeng
Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awliya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Panetep berarti yang menetapkan, panata artinya yang menata, gama singkatan dari agama, dan
rasul yang berarti utusan (untuk menyebarkan agama) yang bertempat di tanah Sunda. Sejak
itulah Caruban Larang dari sebuah negeri mulai dikembangkan menjadi sebuh kesultanan
dengan nama Kesultanan Cirebon. Melalui penobatan ini, secara tidak langsung Walisongo
telah mengumumkan kepada para ulama dan muballigh sepulau Jawa, khususnya yang berada
di Jawa Barat, untuk mengikuti segala petunjuk Syarif Hidayat dalam melaksanakan syi’ar
Islam.

Dalam Kerajaan Islam Cirebon, gelar Susuhunan Jati hanya boleh dipakai oleh Sunan
gunung Jati. Gelar Sunan, Tumenggung, Panetep Panata Sama Rasul juga hanya boleh dipakai
oleh Sunan gunung Jati. Kemudian, Sunan Gunung Jati pun mengembangkan ajaran Islam ke
daerah lain di Jawa Barat secara lebih luas, seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh),
Sunda Kelapa, dan Banten. Beliau mengembangkan Islam dan kegiatan perdagangan orang-
orang Islam di Banten pada tahun 1525 atau 1526. Ketika kembali ke Cirebon, Banten
diserahkan kepada anaknya, Sultan Maulana Hasanuddin, yang kemudian menurunkan raja-
raja Banten. Agama Islam kemudian dianut oleh masyarakat perkotaan, pedesaan, dan
pegunungan. Aktifitas Sunan Gunung Jati yang tampil sebagai kepala negara sekaligus sebagai
salah seorang anggota Walisongo membuatnya lebih memprioritaskan pada pengembangan
agama Islam melalui dakwah. Salah satu hal yang dilakukannya adalah dengan mengeluarkan
kebijakan untuk menyediakan sarana ibadat keagamaan dengan mempelopori pembangunan
masjid agung dan masjid-masjid jami’ di wilayah-wilayah bawahan Cirebon.

11
Adapun peran yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati dalam Islamisasi terutama
melalui bidang agama Islam dilakukan melalui:

a. Pendirian Masjid Agung Cipta Rasa dan masjid-masjid jami’ di wilayah bawahan Cirebon.

b. Mendirikan pondok pesantren dan menjadi guru agama.

c. Mengajarkan petatah petitih sebagai bentuk transformasi budaya Islam ke dalam unsur
budaya lokal.

4. Islamisasi Melalui Pernikahan

Pemaknaan Islamisasi melalui pernikahan yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati memang
tidak hanya berarti secara pribadi. Karena peran beliau sebagai seorang pemimpin di tengah
masyarakat Cirebon pada waktu itu telah menempatkannya sebagai pihak yang selalu harus
memperhatikan banyak hal termasuk masalah pernikahannya. Konteks pernikahan yang
dijalankan oleh beliau dengan berbagai macam latar belakang etnis, kedudukan sosial dan
budaya yang pada akhirnya ditafsirkan memiliki keterkaitan antara niat, konsep, metode dan
strategi dakwahnya. Berikut ini beberapa gambaran tentang peran Sunan Gunung Jati yang
beliau lakukan melalui proses pernikahan, antara lain:

a. Nyi Babadan

Menurut Prof. H.C. Askandi Sastra Suganda,38 Nyi Babadan bukanlah anak dari Ki Gede
Babadan seperti yang disebutkan dalam Naskah Kuningan, melainkan putri Aceh yang hendak
mencari Sunan Gunung Jati untuk berguru. Namun, kapal yang ditumpanginya justru melewati
daerah Cirebon dan justru terdampar di perairan Jawa Timur. Sunan Kalijaga yang
mengantarkannya ke Babadan dan menyerahkannya kepada tokoh Babadan untuk diangkat
sebagai anak. Di sisi lain, Sunan Kalijaga memberitahukan kepada Sunan Gunung Jati bahwa
di daerah Babadan terdapat dara cantik dan terhormat yang pantas untuk dijadikan sebagai
seorang istri. Hingga akhirnya pernikahan antara Sunan Gunung Jati dan Nyi Babadan ini
terjadi. Pernikahan pertama beliau yang dilaksanakan pada usia yang masih muda ini telah
membuat beliau memahami tentang hakikat sebuah pernikahan, tentang rasa cinta sampai Nyi
Babadan meninggal. Karenanya, beliau jadi memahami tentang kepada siapakah cinta sejati itu
harus diberikan.

12
b. Nyi Kawunganten

Sebelum pernikahan ini terjadi, Sunan Gunung Jati datang ke Kota Banten dengan tujuan untuk
memberikan pelajaran agama Islam di sana.

Hal ini pun terjadi atas permintaan dari beberapa orang utusan Banten yang mendatangi beliau
di Pasambangan.

Kedatangan Sunan Gunung Jati ke sana pun dilakukan untuk melanjutkan dakwah Sunan
Ampel sebelumnya. Dan di sanalah Sunan Gunung Jati bertemu dengan Ratu Kawunganten
yang merupakan adik dari Adipati Banten. Singkat cerita, Ratu Kawunganten ini kemudian
menjadi salah satu muridnya Sunan Gunung Jati yang kemudian dipersuntingnya untuk
memperluas gerakan Islamisasi di sana.

c. Nyi Pakungwati

Setelah kembali dari Banten, Sunan Gunung Jati melangsungkan pernikahan dengan Dewi
Pakungwati yang merupakan putri dari Pangeran Cakrabuwana pada tahun 1478 M, yang juga
merupakan sepupu beliau. Pernikahan ini dilaksanakan dibantu oleh Syekh Amrullah sebagai
penghulunya. Sedangkan saksinya adalah Syekh Ora, Pangeran Giri dan Syekh Mayang.
Kemudian, Sunan Gunung Jati pun pindah dari Amparan Jati atau Pasambangan dan tinggal di
Kawedarahan, tempat yang dibuat para wali. Pernikahan ini dilatarbelakangi oleh pandangan
tentang masa depan Cirebon ke depannya. Karena Nyi Pakungwati ini merupakan anak
Tumenggung Cakrabuana dan sekaligus juga cucu dari Raja Prabu Siliwangi.

d. Putri Ong Tin Nio

Putri Ong Tin Nio adalah putri dari seorang Raja Cina. Saat bertemu di Cina, putri Ong Tin
Nio jatuh hati pada kepandaian Sunan Gunung Jati. Hingga ketika Sunan Gunung Jati kembali
ke tanah Jawa, Putri Ong Tin Nio pun turut serta menyusulnya ke tanah Jawa dengan
memberikan tiga buah kapal dengan 150 orang awak kapal, lengkap dengan cinderamata
berupa peralatan rumah tangga, piring, cangkir, guci, sutera dan lain sebagainya. Pernikahan
ini tidak hanya memperluas Islamisasi di dalam negeri tapi juga hingga ke Negeri Cina.
Pernikahan ini berdampak sangat luas pada akulturasi budaya, sosial, politik dan ekonomi yang
sangat luar biasa di antara kedua negara ini. Sehingga bisa kita temukan hingga saat ini
beberapa bentuk peninggalan sejarah yang menjelaskan akulturasi di antara dua negara ini.

13
e. Nyi Rara Baghdad

Sepeninggal Putri Ong Tin Nio, Syekh Dzatul Kahfi menyerahkan Nyi Rara Baghdad, anaknya
sekaligus adik dari Syarif Abdurrahman al-Baghdadi yang mendapatkan gelar Pangeran
Panjunan untuk dinikahi oleh Sunan Gunung Jati menikah pada tahun 1485 M.

f. Nyi Mas Tepasari

Setelah dilakukannya percepatan dan pengembangan untuk penguatan posisi Cirebon dengan
cara menjalin hubungan yang lebih erat dengan Kerajaan Islam di Pesisir Utara Jawa Tengah
yaitu Demak. Sunan Gunung Jati pun menikahi Nyi Mas Tepasari yang merupakan putri dari
Ki Gedeng Tepasan dari Majapahit pada tahun 1490 M. Dari pernikahan ini, Islamisasi semakin
meluas ke wilayah-wilayah Demak.

BAB 111

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Menurut sumber di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebelum Kerajaan Cirebon
berdiri di bawah Kekuasaan Sunan Gunung Jati pada 1479 M, sudah ada pemukiman Islam di
Cirebon. Kuwu Cerbon yang diberi kuasa oleh Raja Pajajaran menggambarkan bahwa tetap
ada toleransi kepada para pedagang Muslim yang menetap di Cirebon hingga akhirnya
membaur dengan masyarakat pribumi.

Perkembangan selanjutnya adalah berdirinya Kerajaan Cirebon di bawah Sunan


Gunung Jati di Cirebon yang menyatukan wilayah Pesambangan dan Lemah Wungkuk di
bawah kedaulatan Kerajaan Cirebon.

Pada masuknya pengaruh Islam pun tidak jauh berbeda dengan masuknya agama Hindu
yaitu melalui jalur yang beragam, antara lain dari perdagangan, pendidikan, pernikahan, dan
lain-lain. Hal ini terjadi karena pada sekitaran abad ke XIII M terjadi degradasi di pusat- pusat
peradaban Islam di Timur Tengah dan Asia Tengah akibat serangan dari bangsa Mongol
(Tartar), sehingga terjadi pengembaraan para ulama hingga ke Nusantara.

14
Keberhasilan penyebaran Islam di Cirebon tidak lepas dari kiprah Walangsungsang,
beliau dilahirkan di tanah Sunda (Pasundan) yaitu diGaluh (Kawali), Priangan Timur pada
tahun 1423 M.

Demikian hal tersebut merupakan wujud persepsi masyarakat dalam memahami Islam
sekaligus bentuk penghormatan atas upaya Walangsungsang dalam menyebarkan Islam dan
pembuka daerah Cirebon, kemudian pada perkembangannya dijuluki sebagai kota wali,
dikarenakan penyebaran Islam yang massif.

Setelah Wilayah Cirebon Larang telah lengkap untuk membentuk kerajaan, maka Prabu
Jayadewata segera mengirimkan utusannya yang bernama Jagabaya (Perwira Angkatan Perang
Pajajaran) serta Rajasengara (Kian Santang), adik bungsu Walangsungsang untuk menobatkan
Raden Walangsungsang sebagai raja daerah dengan gelar Tumenggung Sri Mangana
Cakrabuana.

Dengan demikian, maka mulai saat itu, status Pakuwuan Cirebon Larang berubah
menjadi Kerajaan di bawah kekuasaan Pajajaran. Meski saat itu Cirebon Kerajaan Larang
merupakan bagian dari wilayah besar Kerajaan Pajajaran yang berfaham Hindu, Raden
Walangsungsang tetap terus mengembangkan agama Islam.

Raden Walangsungsang, waktu itu menjadi satu-satunya pejabat tinggi (setingkat raja)
dari Kerajaan Pajajaran yang beragama Islam yang selanjutnya menuju kejayaan Cirebon saat
dipimpin oleh Syarif Hidayatullah atau dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.

Pada masa islamisasi bentuk dukungan mengalir untuk Sunan Gunung Jati dan
melakukan upaya Islamisasi yang tidak serta merta diterima oleh masyarakat, karena pada
dasarnya Cirebon merupakan bekas daerah kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran, kerajaan
bercorak Hindu-Budha.

Proses Islamisasi di Cirebon sangat berkaitan dengan kehidupan masyarakat dengan


kepercayaan-kepercayaan lama bercampur dengan agama-agama yang pernah masuk, hingga
sekarang agama Islam masuk pun ciri percampuran budayanya masih terasa. Selain itu,
pendekatan sosial budaya yang dilakukannya itu juga menjadi bentuk transformasi Islam
melalui tradisi-tradisi yang ada di tengah masyarakat Cirebon.

15
3.2 Saran

Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan menambah
pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam penulisan
kata dan kalimat yang kurang jelas, dimengerti, dan lugas.Karena kami hanyalah manusia biasa
yang tak luput dari kesalahan Dan kami juga sangat mengharapkan saran dan kritik dari para
pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Sekian penutup dari kami semoga dapat diterima di
hati dan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

BAB 1V

DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/11819111/MAKALAH_ISLAMISASI_DI_INDONESIA

https://www.academia.edu/35167956/Islamisasi_Cirebon

ISLAMISASI DI CIREBON: PERAN DAN PENGARUH WALANGSUNGSANG


PERSPEKTIF NASKAH CARIOS WALANGSUNGSANG Siti Zulfah UIN Sunan Kalijaga
(zulfah.azra.91@gmail.com)

Suteja, CIREBON STUDIES PENDIDIKAN KARAKTER RELIGIUS-PLURALIS-TOLERAN,


CV. Aksara Satu, 2022

https://eprints.uny.ac.id/18597/6/Skripsi%20BAB%20IV%2010406241005.pdf

16

Anda mungkin juga menyukai