Tugas Makalah Kelompok 2 MK CS
Tugas Makalah Kelompok 2 MK CS
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT. Dzat yang selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya.
Penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa
terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabatnya serta kepada
para umatnya yang senantiasa patuh dan taat kepada ajarannya.
Makalah yang berjudul “ Islamisasi Cirebon ” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
memenuhi tugas mata kuliah Cirebon Studies yang diampu oleh Yunita Dwi Jayanti,M.Pd.
Selain itu, dengan adanya makalah ini diharapkan dapat menambah pemahaman kami
mahasiswa dalam permasalahan yang berkaitan dengan wawasan dan pengembangan dalam
pembelajaran mata kuliah Cirebon studies.
Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak
kesalahan dan ketidak sempurnaan yang disebabkan oleh wawasan dan pengetahuan
Penulis yang masih dalam proses belajar. Oleh karena itu Penulis berharap adanya kritik dan
saran dari pembaca sekalian, khususnya dari dosen mata kuliah Cirebon studies agara dapat
meningkatkan mutu dalam penyajian berikutnya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PENDAHULUAN
Sebelum Islam sampai ke Indonesia, pengaruh Hindu sangat kuat terhadap masyarakat
Indonesia dimana terdapat perbedaan kasta di kalangan masyarakat. Ketika Islam datang
dengan menawarkan toleransi dan persamaan derajat diantara sesama manusia, maka
masyarakat Indonesia merasa tertarik. Sehingga Islam dengan mudah dianut oleh masyarakat
Indonesia.
Islam adalah agama dakwah yaitu agama yang harus disiapkan, disebar luaskan dan
dikembangkan oleh penganut-penganutnya dalam situasi dan kondisi yang apapun.
Demikian pula halnya dengan apa yang dilakukan para pedagang muslim yang juga berperan
sebagai dai dengan berbagai metode yang digunakan untuk berusaha
mengembangkan sayap Islam seluas-luasnya sehingga sampai penjuru Nusantara. Semenjak
Islam masuk ke Indonesia hingga Indonesia merdeka penganutnya semakin bertambah.
Sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara nomor satu di dunia yang jumlah ummat
Islamnya paling banyak.
Termasuk kota Cirebon yang mana merupakan salah satu wilayah pesisir utara pulau
Jawa, kota ini tercatat sebagai salah satu pusat Islamisasi Nusantara awal, terutama di wilayah
bagian Barat Pulau Jawa. Wilayah Cirebon memiliki daya tarik di sektor perairan laut, kalangan
sejarawan local yang menyebutnya sebagai jalur sutera sehingga menjadi magnet bagi para
penjelajah dari berbagai wilayah penjuru dunia untuk singgah. Dari para pedagang, mubaligh,
atau bahkan para wisatawan manca negara yang sekedar untuk berwisata seperti penjelajah
Tome Pires. Disamping wilayah perairan laut Cirebon juga memiliki wilayah perairan darat
sebagai jalur lalu lintas perdagangan di wilayah pedalaman. Banyak keuntungan yang dimiliki
oleh Cirebon karena didukung oleh kondisi alam yang dekat dengan garis pantai dan dilalui
sungai-sungai penghubung dengan pedalaman, dan mempermudah akses lalulintas dagang
serta memperluas jangkauan dakwah Islam. Dakwah Islam pada masa awal tidak lepas dari
pengaruh para rombongan pedagang dengan membawa kapal-kapal besar yang singgah di
pantai muara jati, mereka membawa misi untuk memperluas dakwah Islam.
1
1.2. Rumusan Masalah
Metode sejarah yang terdiri dari empat tahapan, yaitu: Heuristis atau pengumpulan
data, verifikasi atau kritik sejarah, keabsahan sumber, interpretasi atau analisis dan (approach)
merupakan metodologi dalam ilmu sejarah, bahwa penggambaran mengenai suatu peristiwa
sangat tergantung pada pendekatan, ialah dari sudut pandang mana penulis akan memandang,
dimensi mana yang harus diperhatikan, unsur-unsur mana yang diungkapkan.
2
BAB 11
PEMBAHASAN
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Islamisasi adalah proses masuk dan
berkembangnya agama dan budaya Islam di Indonesia.
Secara kronologis, sosialisasi para pedagang Islam mulai dari kontak hingga terjadi
Islamisasi adalah melalui tiga tahapan sebagai berikut :
1) Awal abad Masehi s/d abad IX M. Fase awal-awal kontak komunitas-komunitas Nusantara
dengan para pedagang dan musafir dari Arab, Persia, Turki, Syiria, India,Pegu, Cina, Dll.
2) Antara abad IX-XI M, adanya kontak dari para pedagang Islam dengan pribumi Nusantara.
Selanjutnya sekitar abad XI-XII M berdiri kantong-kantong pemukiman Islam di Nusantara
baik di pesisir maupun dipedalaman dengan bukti yang tersebar di Nusantara, antara lain di
Pesisir Sumatra, Jawa Timur, Ternate, dan Tidore.
3
Perkembangan Cirebon sebenarnya melalui tahap yang panjang hingga memasuki
eraIslam. Sejak awal masehi, mulai berkembang perdagangan internasional. Perdagangan
internasional yang terjadi diberbagai belahan dunia berdampak pula bagi daratan Nusantara.
Pengaruh Hindu-Budha lebih dahulu masuk dan memengaruhi masyarakat Nusantara. Hingga
pada abad ke XV Cirebon berubah menjadi sebuah Kerajaan Islam yang berdaulat di Nusantara.
Menurut sumber dari manuskrip pendiri Kerajaan Cirebon adalah Sunan Gunung Jati, seorang
tokoh Islam yang dikenal menjadi salah satu anggota dari Walisongo. Dalam buku Cirebon
Dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial dijelaskan adanya pembukaan lahan untuk pemukiman
para pedagang muslim sebelum era Sunan Gunung Jati.
Menurut sumber di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebelum Kerajaan Cirebon
berdiri di bawah Kekuasaan Sunan Gunung Jati pada 1479 M, sudah ada pemukiman Islam di
Cirebon. Kuwu Cerbon yang diberi kuasa oleh Raja Pajajaran menggambarkan bahwa tetap
ada toleransi kepada para pedagang Muslim yang menetap di Cirebon hingga akhirnya
membaur dengan masyarakat pribumi. Perkembangan selanjutnya adalah berdirinya Kerajaan
Cirebon di bawah Sunan Gunung Jati di Cirebon yang menyatukan wilayah Pesambangan dan
Lemah Wungkuk di bawah kedaulatan Kerajaan Cirebon.
4
Menurut pendapat Niemann dan deHolander, Islam masuk ke Nusantara dibawa oleh
para pedagang dari Timur Tengah. Para pedagang Islam ini kemudian menetap dan mulai
mengenalkan Islam pada penduduk Cirebon. Selain jalur perdagangan, perkawinan antara
orang muslim dengan masyarakat Cirebon juga menjadi salah satu cara efektif dalam
memperkuat fondasi Islam di Cirebon.
1.Pangeran Walasungsang
5
Demikian hal tersebut merupakan wujud persepsi masyarakat dalam memahami Islam
sekaligus bentuk penghormatan atas upaya Walangsungsang dalam menyebarkan Islam dan
pembuka daerah Cirebon, kemudian pada perkembangannya dijuluki sebagai kota wali,
dikarenakan penyebaran Islam yang massif.
6
Saat itu wilayahnya banyak didatangi oleh para pendatang dari berbagai suku bangsa.
Semakin banyak juga penduduk Cirebon yang beralih agama dari Hindu (pengaruh Pajajaran
di pantai utara Jawa khususnya di Cirebon dan sekitarnya) ke agama Islam. Untuk lebih
menggiatkan penyebaran Islam kemudian Walangsungsang mendirikan Masjid Jalagrahan
(masjid tertua di Cirebon) pada tahun 1456 M.
Cirebon Larang beberapa tahun kemudian, sepak terjang yang dilakukan oleh Raden
Walangsungsang mengenai penyebaran Islam diketahui oleh sang ayah yaitu Prabu Jayadewata
(yang telah menjabat sebagai raja Pajajaran dengan gelar Sri Baduga Maharaja). Namun,
tindakan penyebaran Islam itu tidak dipermasalahkan oleh Prabu Jayadewata. Ki Gedeng Tapa
(Kerajaan Singhapura) meninggal dunia, Raden Walangsungsang kemudian meneruskan tugas
untuk mengatur Pelabuhan Muara Jati dan menyatukan wilayah Kerajaan Singhpura dengan
wilayah pakuwuan Cirebon Larang dalam satu kekuasaan. Untuk mengamankan dan
mempertahankan Pelabuhan Muara Jati yang semakin ramai, Raden Walangsungsang
membentuk satuan keamanan dan ketertiban. Pengelolaan secara otonomi, makin membuat
situasi pelabuhan makin ramai, dan pemasukan pendapatan ke Kerajaan Pajajaran pun semakin
besar. Harta warisan yang berlimpah dari Ki Gedeng Tapa kemudian digunakannya untuk
membuat sebuah keraton yang bernama Keraton Pakungwati (diambil dari nama puterinya) di
tepian Kali Kriyan, serta membentuk satuan prajurit. Keraton Pakungwati dibuat sebagai
kompleks keraton yang sangat indah, di mana didalamnya terdapat taman sari dan kolam
pemandian tempat para puteri keraton membersihkan diri.
Wilayah Cirebon Larang telah lengkap untuk membentuk kerajaan, maka Prabu
Jayadewata segera mengirimkan utusannya yang bernama Jagabaya (Perwira Angkatan Perang
Pajajaran) serta Rajasengara (Kian Santang), adik bungsu Walangsungsang untuk menobatkan
Raden Walangsungsang sebagai raja daerah dengan gelar Tumenggung Sri Mangana
Cakrabuana. Dengan demikian, maka mulai saat itu, status Pakuwuan Cirebon Larang berubah
menjadi Kerajaan di bawah kekuasaan Pajajaran. Setelah acara penobatan dilangsungkan, Raja
sengara (Kian Santang) tidak pulang ke Pakuan tetapi memilih tinggal bersama kakaknya di
Kerajaan Cirebon Larang. Disinilah beliau bertemu dengan seorang gadis dari Campa yang
bernama Nyi Halimah atau Nyi Gedeng Kalisapu. Meski saat itu Cirebon Kerajaan Larang
merupakan bagian dari wilayah besar Kerajaan Pajajaran yang berfaham Hindu, Raden
Walangsungsang tetap terus mengembangkan agama Islam.
7
Apa yang dilakukan Raden Walangsungsang tidak mendapat hambatan dari Pajajaran, karena
dalam bekerja di pemerintahan dia tidak pernah mengecewakan kerajaan Pajajaran tersebut.
Kejayaan Cirebon saat dipimpin oleh Syarif Hidayatullah atau dikenal sebagai Sunan
Gunung Jati. Sosok Sunan Gunung Jati yang rendah hati, tidak sombong, sopan, santun dalam
berkata-kata, cerdas, agamis, dan mumpuni di bidangnya. Beliau adalah seorang perwira yang
tangkas dan banyak memiliki pengikut baik dari kalangan raja, pembesar, maupun panglima.
Beliau pun orang yang tegas dan memiliki strategi perang dan siasat tempur yang luar biasa.
Beliau juga memiliki konsep yang visioner dan berwawasan internasional berkat
pengalamannya berkeliling negara. Dengan demikian, wajar jika beliau bisa memerankan
dirinya sebagai seorang pemimpin politik, pendakwah dan lain sebagainya secara bersamaan
dengan sangat baik. Adapun peran lainnya yang tidak kalah menarik adalah bagaimana beliau
bisa memainkan proses maupun hasil dari Islamisasi secara massif dan damai. Proses tersebut
bisa terlihat dari:
1. Bidang Politik
Pada saat Syarif Hidayatullah datang ke Cirebon, sebagian tandha keprabon berupa
kotak berisi pedang dan surat pun diberikan kepadanya. Penyerahan kekuasaan secara simbolik
ini diberikan oleh pamannya yaitu Pangeran Walasungsang Cakrabuana. Tepatnya, pada
tanggal 12 bagian terang bulan Carita 1404 Saka (4 Maret/April 1482 M), Pangeran
Cakrabuana menobatkan Syekh Syarif Hidayatullah sebagai Raja Islam pertama Cirebon. Di
saat yang bersamaan dengan dukungan Dewan Walisongo (Nawakamasthu atau Kamasthu
Kang Sangan) yang dipimpin oleh Sunan Ampel Denta melantik Syekh Syarif Hidayatullah
sebagai Sunan Carbon Sinarat Sundha. Penobatan tersebut ditandai dengan gelar yang
diberikan kepada Syekh Syarif Hidayatullah sebagai “Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan
Jati Purwabawisesa Panetep Aulia Allahu Ta’ala Kutubil Jaman, Kholifatul Rosulillahi
Sholollahu Alaihi Wassalam”. Dengan gelar tersebut, Syarif Hidayatullah yang kemudian
dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati memiliki otoritas penuh sebagai pemimpin negara
dan pemimpin agama di wilayah tatar sundha (Raja Ingkang Pinandhita Sinarat Sundha).
Pada masa islamisasi bentuk dukungan mengalir untuk Sunan Gunung Jati. Pangeran
Panjunan dan para pengikutnya mendukung dengan cara membangun pagar-pagarnya,
membuat pintu-pintu kerajaan, merancang pedaleman serta menyediakan tukang batu. 8
Ki Gedheng Kagok Garenjeng, Pangeran Reken turut membantu Susuhunan. Setelah
naik tahta, Sunan Gunung Jati pun melakukan upaya Islamisasi yang tidak serta merta diterima
oleh masyarakat, karena pada dasarnya Cirebon merupakan bekas daerah kekuasaan Kerajaan
Sunda Pajajaran, kerajaan bercorak Hindu-Budha. Proses Islamisasi di Cirebon sangat
berkaitan dengan kehidupan masyarakat dengan kepercayaan-kepercayaan lama bercampur
dengan agama-agama yang pernah masuk, hingga sekarang agama Islam masuk pun ciri
percampuran budayanya masih terasa. Setelah Sunan Gunung Jati mendirikan dan memimpin
Kesultanan Cirebon, proses Islamisasi menjadi lebih nyata terjadi. Hal itu terlihat dari semakin
meluasnya wilayah kekuasaan Kesultanan Cirebon, antara lain Luragung, Kuningan, Banten,
Sunda Kelapa, Galuh, Sumedang, Japura Talaga, Losari dan Pasir Luhur.
Meski tidak melakukan pergerakan yang revolusioner, tapi Sunan Gunung Jati berhasil
memainkan kekuasaannya sebagai penguasa Kasultanan Cirebon ini dengan sangat baik. Sunan
Gunung Jati kemudian memutuskan untuk mengadopsi sistem pemerintahan yang telah
dilaksanakan oleh pemerintahan sebelumnya. Demi membuka peluang bagi Kasultanan
Cirebon untuk mengambil langkah-langkah yang menguntungkan bagi suksesi dakwah Islam
di Cirebon yang semakin luas. Beberapa kebijakan yang dihasilkan oleh Sunan Gunung Jati
sebagai bentuk Islamisasi melalui bidang politik tidak dilakukannya secara revolusioner atau
melalui peperangan. Melainkan melalui pendekatan-pendekatan strategis yang berimplikasi
pada perbaikan, perubahan dan penyempurnaan sistem pemerintahan yang lebih mendukung
Islamisasi di Cirebon. Beberapa implikasi dari peran yang dimainkan oleh Sunan Gunung Jati
antara lain:
a. Memunculkan kekuatan Kerajaan Islam dengan cara melepaskan diri dari kekuasaan
Kerajaan Pajajaran.
b. Pendirian Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan menjadikannya sebagai pusat kegiatan
pemerintahan. 9
c. Memprakarsai pola pembangunan keraton-masjid-alun-alun dan pasar sebagai bagian yang
masing-masing saling berintegrasi yang membentuk nti kota kuno dari Kerajaan Islam
(Kasultanan) di Nusantara dan Kasultanan Cirebon pada masa lalu. d. Pembentukan sistem
jabatan dengan menyeragamkan gelar jabatannya dan menetapkan pimpinan Cirebon
selanjutnya diberi gelar Sultan atau Penembahan Ratu.
Islamisasi yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati dilakukan dengan meniru gaya
Walisongo lainnya yang cenderung menggunakan pendekatan kesenian dan budaya. Hal ini
perlu dilakukan dalam rangka melakukan pendekatan dakwah, agar ajaran Islam bisa dengan
mudah diterima oleh masyarakat Cirebon. Selain itu, pendekatan sosial budaya yang
dilakukannya itu juga menjadi bentuk transformasi Islam melalui tradisi-tradisi yang ada di
tengah masyarakat Cirebon.
Ajaran Islam yang dibawa oleh Sunan Gunung Jati pun sama seperti para wali lainnya
yang mengajarkan ajaran Islam berdasarkan empat tingkatan yaitu syariat, tarekat, hakekat, dan
ma’rifat. Dalam tingkatan pertama yaitu syariat, biasanya disimbolkan dalam bentuk wayang.
Wayang inilah yang merupakan perwujudan dari manusia. Sedangkan dalangnya adalah Allah.
Tingkatan kedua adalah tarekat yang disimbolkan dengan barong. Tingkatan ketiga adalah
hakekat yang disimbolkan dengan topeng. Tingkatan keempat adalah ma’rifat yang
disimbolkan dengan ronggeng. Keempat bentuk kesenian ini, wayang, barong, topeng, dan
ronggeng kemudian dijadikan jenis-jenis pertunjukan kesenian rakyat Jawa Cirebon. Selain
berdakwah dalam bentuk kesenian, Sunan Gunung Jati juga mengadakan berbagai acara
sedekah (slametan) yang kemudian dijadikan tradisi pada bulan-bulan tertentu terutama saat
perayaan hari besar Islam. Selain itu, Sunan Gunung Jati juga berperan penting dalam bidang
seni sastra dan tembang. Melalui kedua hal ini, beliau berhasil mengemas kesenian sebagai
media informasi dan sosialisasi ajaran Islam. Beliau menjadikan seni sebagai sesuatu yang
bermartabat dan terhormat, tidak lagi menjadi konsumsi orang-orang bejat dan para pemabuk.
10
3. Bidang Agama
Dalam usia 20 tahun Syarif Hidayatullah telah mempunyai kualifikasi sebagai guru
agama Islam karena latar belakang pendidikannya yang telah belajar di Mekkah dan Madinah.
Pada tahun 1479, beliau dinobatkan oleh pamannya, Pangeran Cakrabuwana, sebagai Kepala
Nagari dan digelari Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban. Dengan demikian,
namanya pun berubah menjadi Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan
Muhammad Syarif Abdullah yang disambut oleh para wali tanah Jawa dengan memberikan
gelar Panetep Panatagama Rasul di Tanah Sunda18 ataung Ingkang Sinuhun Kangjeng
Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awliya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Panetep berarti yang menetapkan, panata artinya yang menata, gama singkatan dari agama, dan
rasul yang berarti utusan (untuk menyebarkan agama) yang bertempat di tanah Sunda. Sejak
itulah Caruban Larang dari sebuah negeri mulai dikembangkan menjadi sebuh kesultanan
dengan nama Kesultanan Cirebon. Melalui penobatan ini, secara tidak langsung Walisongo
telah mengumumkan kepada para ulama dan muballigh sepulau Jawa, khususnya yang berada
di Jawa Barat, untuk mengikuti segala petunjuk Syarif Hidayat dalam melaksanakan syi’ar
Islam.
Dalam Kerajaan Islam Cirebon, gelar Susuhunan Jati hanya boleh dipakai oleh Sunan
gunung Jati. Gelar Sunan, Tumenggung, Panetep Panata Sama Rasul juga hanya boleh dipakai
oleh Sunan gunung Jati. Kemudian, Sunan Gunung Jati pun mengembangkan ajaran Islam ke
daerah lain di Jawa Barat secara lebih luas, seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh),
Sunda Kelapa, dan Banten. Beliau mengembangkan Islam dan kegiatan perdagangan orang-
orang Islam di Banten pada tahun 1525 atau 1526. Ketika kembali ke Cirebon, Banten
diserahkan kepada anaknya, Sultan Maulana Hasanuddin, yang kemudian menurunkan raja-
raja Banten. Agama Islam kemudian dianut oleh masyarakat perkotaan, pedesaan, dan
pegunungan. Aktifitas Sunan Gunung Jati yang tampil sebagai kepala negara sekaligus sebagai
salah seorang anggota Walisongo membuatnya lebih memprioritaskan pada pengembangan
agama Islam melalui dakwah. Salah satu hal yang dilakukannya adalah dengan mengeluarkan
kebijakan untuk menyediakan sarana ibadat keagamaan dengan mempelopori pembangunan
masjid agung dan masjid-masjid jami’ di wilayah-wilayah bawahan Cirebon.
11
Adapun peran yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati dalam Islamisasi terutama
melalui bidang agama Islam dilakukan melalui:
a. Pendirian Masjid Agung Cipta Rasa dan masjid-masjid jami’ di wilayah bawahan Cirebon.
c. Mengajarkan petatah petitih sebagai bentuk transformasi budaya Islam ke dalam unsur
budaya lokal.
Pemaknaan Islamisasi melalui pernikahan yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati memang
tidak hanya berarti secara pribadi. Karena peran beliau sebagai seorang pemimpin di tengah
masyarakat Cirebon pada waktu itu telah menempatkannya sebagai pihak yang selalu harus
memperhatikan banyak hal termasuk masalah pernikahannya. Konteks pernikahan yang
dijalankan oleh beliau dengan berbagai macam latar belakang etnis, kedudukan sosial dan
budaya yang pada akhirnya ditafsirkan memiliki keterkaitan antara niat, konsep, metode dan
strategi dakwahnya. Berikut ini beberapa gambaran tentang peran Sunan Gunung Jati yang
beliau lakukan melalui proses pernikahan, antara lain:
a. Nyi Babadan
Menurut Prof. H.C. Askandi Sastra Suganda,38 Nyi Babadan bukanlah anak dari Ki Gede
Babadan seperti yang disebutkan dalam Naskah Kuningan, melainkan putri Aceh yang hendak
mencari Sunan Gunung Jati untuk berguru. Namun, kapal yang ditumpanginya justru melewati
daerah Cirebon dan justru terdampar di perairan Jawa Timur. Sunan Kalijaga yang
mengantarkannya ke Babadan dan menyerahkannya kepada tokoh Babadan untuk diangkat
sebagai anak. Di sisi lain, Sunan Kalijaga memberitahukan kepada Sunan Gunung Jati bahwa
di daerah Babadan terdapat dara cantik dan terhormat yang pantas untuk dijadikan sebagai
seorang istri. Hingga akhirnya pernikahan antara Sunan Gunung Jati dan Nyi Babadan ini
terjadi. Pernikahan pertama beliau yang dilaksanakan pada usia yang masih muda ini telah
membuat beliau memahami tentang hakikat sebuah pernikahan, tentang rasa cinta sampai Nyi
Babadan meninggal. Karenanya, beliau jadi memahami tentang kepada siapakah cinta sejati itu
harus diberikan.
12
b. Nyi Kawunganten
Sebelum pernikahan ini terjadi, Sunan Gunung Jati datang ke Kota Banten dengan tujuan untuk
memberikan pelajaran agama Islam di sana.
Hal ini pun terjadi atas permintaan dari beberapa orang utusan Banten yang mendatangi beliau
di Pasambangan.
Kedatangan Sunan Gunung Jati ke sana pun dilakukan untuk melanjutkan dakwah Sunan
Ampel sebelumnya. Dan di sanalah Sunan Gunung Jati bertemu dengan Ratu Kawunganten
yang merupakan adik dari Adipati Banten. Singkat cerita, Ratu Kawunganten ini kemudian
menjadi salah satu muridnya Sunan Gunung Jati yang kemudian dipersuntingnya untuk
memperluas gerakan Islamisasi di sana.
c. Nyi Pakungwati
Setelah kembali dari Banten, Sunan Gunung Jati melangsungkan pernikahan dengan Dewi
Pakungwati yang merupakan putri dari Pangeran Cakrabuwana pada tahun 1478 M, yang juga
merupakan sepupu beliau. Pernikahan ini dilaksanakan dibantu oleh Syekh Amrullah sebagai
penghulunya. Sedangkan saksinya adalah Syekh Ora, Pangeran Giri dan Syekh Mayang.
Kemudian, Sunan Gunung Jati pun pindah dari Amparan Jati atau Pasambangan dan tinggal di
Kawedarahan, tempat yang dibuat para wali. Pernikahan ini dilatarbelakangi oleh pandangan
tentang masa depan Cirebon ke depannya. Karena Nyi Pakungwati ini merupakan anak
Tumenggung Cakrabuana dan sekaligus juga cucu dari Raja Prabu Siliwangi.
Putri Ong Tin Nio adalah putri dari seorang Raja Cina. Saat bertemu di Cina, putri Ong Tin
Nio jatuh hati pada kepandaian Sunan Gunung Jati. Hingga ketika Sunan Gunung Jati kembali
ke tanah Jawa, Putri Ong Tin Nio pun turut serta menyusulnya ke tanah Jawa dengan
memberikan tiga buah kapal dengan 150 orang awak kapal, lengkap dengan cinderamata
berupa peralatan rumah tangga, piring, cangkir, guci, sutera dan lain sebagainya. Pernikahan
ini tidak hanya memperluas Islamisasi di dalam negeri tapi juga hingga ke Negeri Cina.
Pernikahan ini berdampak sangat luas pada akulturasi budaya, sosial, politik dan ekonomi yang
sangat luar biasa di antara kedua negara ini. Sehingga bisa kita temukan hingga saat ini
beberapa bentuk peninggalan sejarah yang menjelaskan akulturasi di antara dua negara ini.
13
e. Nyi Rara Baghdad
Sepeninggal Putri Ong Tin Nio, Syekh Dzatul Kahfi menyerahkan Nyi Rara Baghdad, anaknya
sekaligus adik dari Syarif Abdurrahman al-Baghdadi yang mendapatkan gelar Pangeran
Panjunan untuk dinikahi oleh Sunan Gunung Jati menikah pada tahun 1485 M.
Setelah dilakukannya percepatan dan pengembangan untuk penguatan posisi Cirebon dengan
cara menjalin hubungan yang lebih erat dengan Kerajaan Islam di Pesisir Utara Jawa Tengah
yaitu Demak. Sunan Gunung Jati pun menikahi Nyi Mas Tepasari yang merupakan putri dari
Ki Gedeng Tepasan dari Majapahit pada tahun 1490 M. Dari pernikahan ini, Islamisasi semakin
meluas ke wilayah-wilayah Demak.
BAB 111
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Menurut sumber di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebelum Kerajaan Cirebon
berdiri di bawah Kekuasaan Sunan Gunung Jati pada 1479 M, sudah ada pemukiman Islam di
Cirebon. Kuwu Cerbon yang diberi kuasa oleh Raja Pajajaran menggambarkan bahwa tetap
ada toleransi kepada para pedagang Muslim yang menetap di Cirebon hingga akhirnya
membaur dengan masyarakat pribumi.
Pada masuknya pengaruh Islam pun tidak jauh berbeda dengan masuknya agama Hindu
yaitu melalui jalur yang beragam, antara lain dari perdagangan, pendidikan, pernikahan, dan
lain-lain. Hal ini terjadi karena pada sekitaran abad ke XIII M terjadi degradasi di pusat- pusat
peradaban Islam di Timur Tengah dan Asia Tengah akibat serangan dari bangsa Mongol
(Tartar), sehingga terjadi pengembaraan para ulama hingga ke Nusantara.
14
Keberhasilan penyebaran Islam di Cirebon tidak lepas dari kiprah Walangsungsang,
beliau dilahirkan di tanah Sunda (Pasundan) yaitu diGaluh (Kawali), Priangan Timur pada
tahun 1423 M.
Demikian hal tersebut merupakan wujud persepsi masyarakat dalam memahami Islam
sekaligus bentuk penghormatan atas upaya Walangsungsang dalam menyebarkan Islam dan
pembuka daerah Cirebon, kemudian pada perkembangannya dijuluki sebagai kota wali,
dikarenakan penyebaran Islam yang massif.
Setelah Wilayah Cirebon Larang telah lengkap untuk membentuk kerajaan, maka Prabu
Jayadewata segera mengirimkan utusannya yang bernama Jagabaya (Perwira Angkatan Perang
Pajajaran) serta Rajasengara (Kian Santang), adik bungsu Walangsungsang untuk menobatkan
Raden Walangsungsang sebagai raja daerah dengan gelar Tumenggung Sri Mangana
Cakrabuana.
Dengan demikian, maka mulai saat itu, status Pakuwuan Cirebon Larang berubah
menjadi Kerajaan di bawah kekuasaan Pajajaran. Meski saat itu Cirebon Kerajaan Larang
merupakan bagian dari wilayah besar Kerajaan Pajajaran yang berfaham Hindu, Raden
Walangsungsang tetap terus mengembangkan agama Islam.
Raden Walangsungsang, waktu itu menjadi satu-satunya pejabat tinggi (setingkat raja)
dari Kerajaan Pajajaran yang beragama Islam yang selanjutnya menuju kejayaan Cirebon saat
dipimpin oleh Syarif Hidayatullah atau dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.
Pada masa islamisasi bentuk dukungan mengalir untuk Sunan Gunung Jati dan
melakukan upaya Islamisasi yang tidak serta merta diterima oleh masyarakat, karena pada
dasarnya Cirebon merupakan bekas daerah kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran, kerajaan
bercorak Hindu-Budha.
15
3.2 Saran
Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan menambah
pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam penulisan
kata dan kalimat yang kurang jelas, dimengerti, dan lugas.Karena kami hanyalah manusia biasa
yang tak luput dari kesalahan Dan kami juga sangat mengharapkan saran dan kritik dari para
pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Sekian penutup dari kami semoga dapat diterima di
hati dan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
BAB 1V
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/11819111/MAKALAH_ISLAMISASI_DI_INDONESIA
https://www.academia.edu/35167956/Islamisasi_Cirebon
https://eprints.uny.ac.id/18597/6/Skripsi%20BAB%20IV%2010406241005.pdf
16