Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Masyarakat Mandailing Natal menganut sistem kekerabatan patrilineal, yang
berarti keturunan dan garis keturunan yang diikuti melalui garis ayah. Keluarga besar
(marga) memainkan peran penting dalam kehidupan mereka. Masyarakat Mandailing
Natal memiliki struktur sosial yang terorganisir dengan ciri-ciri khas.

Masyarakat Mandailing Natal memiliki sistem adat yang kuat yang mengatur
berbagai aspek kehidupan mereka, termasuk perkawinan, upacara kematian, dan
konflik antar individu atau keluarga. Adat ini dijalankan oleh seorang kepala adat
yang dihormati.

Mayoritas masyarakat Mandailing Natal menganut agama Islam, dan unsur-


unsur Islam mempengaruhi budaya dan adat istiadat mereka. Namun, beberapa juga
masih mempertahankan unsur-unsur kepercayaan tradisional dalam praktik-praktik
keagamaan mereka.

Masyarakat Mandailing menyelenggarakan sebuah Horja untuk menghormati


keluarga dari orang yang meninggal. Horja tersebut berisikan bapak-bapak, ibu-ibu,
para remaja, bahkan orang tua yang sudah tua. Dalam hal ini, Horja tersebut juga
dibuat untuk lebih mengingat tentang kematian.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana Horja Pabuat Boru?
2. Bagaimana Horja Haroan Boru ?
3. Bagaimana Mata Ni Horja ?
4. Bagaimana Horja Siluluton?

C. Tujuan penulisan
1. Mengetahui tentang Horja Pabuat Boru.
2. Mengetahui tentang Horja Haroan Boru.
3. Mengetahui tentang Mata Ni Horja.
4. Mengetahui tentang Horja Siluluton.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Horja Pabuat Boru


Perkawinan di Mandailing merupakan Perkawinan Manjujur, yaitu dimana
pihak laki-laki berkewajiban memberikan sesuatu yang cukup berharga berupa uang
ataupun barang kepada pihak perempuan. Menurut hukum adat, jika terjadi suatu
kehilangan, maka harus ada penyeimbang agar tetap terjadi keseimbangan. Ter Haar
mengatakan ada dua sifat uang jujur, yaitu:1
1. Hal tersebut dilihat dari sisi pertukaran barang antara dua clan, yaitu perempuan
dan barang.
2. Karena perempuan pindah ke tempat lain sehingga terjadi storing Van evenwicht
untuk menyeimbangkan kembali Hal-hal yang perlu diadakan pemberian itu.
Akibat dari Manjujur tersebut, maka perempuan menjadi tetap didalam
lingkungan keluarga dari suaminya, demikian juga dengan anak-anaknya. Hubungan
dengan keluarganya menjadi putus. Jika suami-nya meninggal, dia akan tetap tinggal
di wilayah keluarga suami-nya. Jika dia ingin kawin kembali, dia harus minta
persetujuan keluarga suami-nya. ada tiga cara jika ingin kawin lagi, yaitu:
1. Kawin dengan pewaris suaminya.
2. Tetap tinggal di wilayah keluarga suaminya sebagai janda dan berhak atas Anak-
anaknya.
3. Kawin dengan orang lain (memutuskan hubungan hukum dengan keluarga suami
tanpa seizin keluarga suaminya).
Pada waktu dan hari yang sudah disepakati pihak Bayo pangoli sudah siap
untuk Mangalap (menjemput) Boru. Sebelum acara mangkobar, terlebih dahulu
diadakan acara manortor, yang manortor ini secara berurutan atau bersusun terdiri
dari beberapa orang-orang tertentu, yaitu:
1. Suhut, kahanggi, dan anak boru.
2. Raja-raja adat Torbing Balok.
3. Raja-raja Desa Na Walu.
4. Raja Panusunan.

1
Anggiat Siregar, Adat budaya Mandailing dan nilai-nilainya, (Medan: Mitra Grup, 2013), h. 91.

2
Pada waktu Pasahat mara membawa barang bawaan Boru na ni oli
sebagaimana yang telah disebutkan di atas, ditaruh di tengah pantar paradotan agar
bisa disaksikan semua yang hadir. Barang bawaan tersebut harus disediakan, adapun
barang bawaan tersebut adalah:
1. Tikar adat (amak lampisan/ amak sampistuk).
2. Kain adat.
3. Barang Boru (Bulang). Bagi Boru na ni oli, turunan beradat 1, 2, dan 3 ini
merupakan suatu keharusan.
4. Bantal yang digulung/ dibungkus dengan tikar adat yang dilengkapi dengan
sarung bantalnya.
5. Tempat tidur pengantin, serta perlengkapannya (tilam, bantal, dan sprei).
6. Piring, mangkuk, dan perlengkapan dapur lainnya (pinggan santopik).
7. Pakaian Boru na ni oli (abit sahulindan Bonang).
8. Telur dan beras beserta sonduk (sonduk untuk mengaron nasi yang biasanya
terbuat dari tempurung kelapa dan tangkai kayu), dimasukkan pada bakul kecil.
9. Haronduk dan garigit (haronduk adalah karung kecil yang dianyam terbuat dari
pandan yang besarnya muat kira-kira sepuluh kaleng susu beras, sedangkan
garigit adalah tempat menampung dan mengambil air yang dahulu airnya diambil
dari sungai, sekarang sudah tidak berlaku lagi dan hampir tidak ada lagi garigit).
10. Silua (nasi serta lauk pauknya ditambah dengan itak poul. Itak poul adalah kue
yang terbuat dari tepung, kelapa, garam, dan gula dikepal-kepal dan dikukus).
Perlu dijelaskan bahwa didalam mangambat boru oleh anak namborunya
terhadap Boru tulangnya (Boru na ni oli), harus juga dilakukan menurut istiadat
yang berlaku di Mandailing untuk terlaksananya Horja Pabuat Boru, namborunya
harus menyediakan:
1. Tikar atau kursi untuk tempat duduk. 2
2. Sirih untuk disuruh kepada kedua mempelai.
3. Air kelapa muda yang masih berada pada kelapanya.
4. Keris untuk alat menghambat, yang berarti jika bayo pangoli tidak permisi, keris
merupakan tantangannya.

2
Askolani Nasution, Sejarah dan kebudayaan Mandailing, (Aceh: Balai Pelestarian Nilai budaya,
2009), h. 81.

3
B. Horja Haroan Boru
Apabila dari pihak Boru na ni oli acaranya disebut Pabuat Boru, maka dirumah
keluarga bayo pangoli disebut Haroan Boru. Pada saat yang telah direncanakan niat
untuk patobang anak (mengawinkan anak laki-laki), maka sebelum hari yang
ditetapkan untuk penyelenggaraan Horja Godang (Pesta adat) tersebut, pihak
keluarga laki-laki (Suhut) mengundang sanak famili untuk marpokat (mufakat).
Marpokat didahului marpokat sabagas, lalu marpokat saripe, lalu marpokat sahuta.
Marpokat sahuta itulah Suhut yang diterangkan bahwa dia bermaksud
melakukan Horja Godang dan mengharapkan bantuan dari seluruh pihak agar Horja
dapat berlangsung dengan baik. dalam mufakat inilah diperinci siapa yang bersedia
ikut rombongan Mangalap Boru, siapa yang menerima, siapa yang bertanggungjawab
terhadap masalah konsumsi, kesenian, undangan, dan lain-lain yang berpartisipasi
dalam pelaksanaan Horja. Haroan Boru adalah kedatangan pengantin.
Setelah Bayo pangoli dan Boru na ni oli sampai di kampung Bayo pangoli di
Mandailing Godang, orang-orang itu disambut dengan suatu acara yang disebut
mangalo-alo Boru. Pengantin yang tiba dari perjalanan jauh tidak langsung
diturunkan di depan rumah. Penyambutan prosesinya terdiri dari gendang, pencak
silat, payung kuning, tombak, pedang, serta barisan keluarga pengantin laki-laki
sampai ke depan pintu.
Meraka yang dipayungi dengan payung kuning, di depan dua orang anak muda
membuka jalan dengan mengayun-ayunkan serta menarikkan pedang sebagai
pembuka jalan disusul dengan barisan anak gadis yang memakai kain adat
dibelakangnya ada pula anak muda pembawa tombak sebagai pengawal, barulah
menyusul pengantin ditogu-togu anak boru. Budaya tersebut cukup memberikan
kesan yang indah.3
Bayo pangoli (pengantin laki-laki) ditogu-togu oleh amang borunya kiri kanan
dan Boru na ni oli (pengantin perempuan) ditogu-togu oleh namboru dari Bayo
pangoli kiri kanan pula. Dibelakangnya mengikut rombongan penabuh gendang,
susunannya diatur sedemikian rupa sehingga menjadi suatu proses yang indah. Di
depan pintu rumah telah menunggu kedua orang tuanya, Uda, dan inanguda-nya
menerima pengantin laki-laki dan perempuan.

3
Parmonangan Nasution, Adat budaya Mandailing, (Medan: Mitra Grup, 2005), h. 69.

4
Haroan Boru dengan acara Horja yang dilakukan di rumah Bayo pangoli
biasanya tidak dilakukan dihari yang sama. Biasanya diantarai 2 atau 3 hari untuk
merampungkan persiapan. Horja Godang dilakukan selama 3 hari, yaitu satu hari
acara penyambutan, satu hari manortor, dan satu hari mata ni horja. Pada saat ini
dimana banyak kerabat yang ikut Horja yang harus bekerja mencari nafkah, maka
bisa pada antara haroan boru dengan horja godang (Mata Ni Horja) selang 1 minggu.
Jauh hari sebelum Mata Ni Horja pihak suhut telah mengundang Raja-raja adat
dan seluruh keluarga (pataon tondi dohot badan) dengan cara manyurdu
(mempersembahkan) sirih (burangir) sebagai tanda bahwa undangan ini adalah
undangan adat yang akan diselenggarakan pada Horja ini. Undangan ini disebut taon
Sebagas yang bermaksud untuk satu keluarga.
Pataon Raja-raja adat (undangan kepada raja-raja adat) dibawa oleh dua orang
anak muda dengan membawa sirih dan perlengkapannya. Kedua anak muda itu harus
memakai pakaian yang sopan, yaitu: memakai peci dan kain sisamping (kain yang
dilipat dalam bentuk segitiga dan dililitkan di pinggang).4
Acara Haroan Boru sampai Mata Ni Horja dapat berlangsung selama 3 hari
sebelum hari H-nya (dengan acara margordang). Di Mandailing, Gondang yang
dibunyikan bukan saja Gondang tortor tetapi juga termasuk Gordang Sambilan.
Apabila Gordang sembilan digunakan untuk memeriahkan pesta maka Gordang tortor
khusus dipergunakan untuk acara manyambut Boru dan manortor.
Menurut adat sebelum gendang ini ditabuh haruslah disantan terlebih dahulu,
dan juga pemasangan paraget adat lainnya, seperti bendera-bendera, tombak, payung
bulang, pedang, hampu, abid godang dan sebagainya, terlebih dahulu dikumpulkan di
pantar paradaton, dihadapan Raja sebelum dipasang. Hadirin panaek gordang yaitu:
1. Suhud dan kahangginya.
2. Anak Boru, laki-laki dan perempuan.
3. Naposo bulung dan nauli bulung.
4. Penabuh gendang.
5. Namora Natoras.
6. Raja adat (cukup Raja Ni Huta).

4
Pandapotan Nasution, Adat, budaya, dan sistem kehidupan Mandailing Natal, (Medan: Twigora,
2000), h. 51.

5
C. Mata Ni Horja
Pagi hari sesudah tamu-tamu mulai berdatangan, uning-uningan (gendang)
sudah dibunyikan dan dipukul Untuk menyambut tamu dibunyikan gong. Raja-raja
yang tiba secara bergiliran diundang untuk manortor. Sesudah selesai acara manortor
Raja-raja, semua tamu-tamu harajaon di diundang ke pantar bolak paradaton untuk
mangkobar adat (sidang adat). Perlu digarisbawahi bahwa biasanya acara manortor
sudah dimulai pukul 09.00 pagi.
Pada acara manortor pagi hari, saat mata ni horja secara berturut-turut akan
dipartortor oleh: Suhut, kahanggi, Anak Boru, Raja-raja Mandailing, dan Raja
Panusunan. Dalam acara manortor, biasanya diatur oleh 3 orang sekali manortor (3
orang anggaran) dan di ayapi oleh anak borunya. Setelah acara manortor barulah raja-
raja yang diundang dipersilahkan duduk di Pantar paradaton yang sudah disediakan
oleh orang lain.
Setelah semua raja-raja adat hadir di pantai paradaton, acara markobar dimulai
dengan diawali menghidangkan sipulut lengkap dengan inti dan minumannya. Makan
pulut sebagaimana disebut sebelumnya memiliki makna sebagai sifat ketan yang
artinya bahwa apa yang dibicarakan nantinya akan melekat dan menyatu di hati setiap
yang hadir.5
Setelah selesai makan pulut, maka disurdu Burangir pertanda markobar sudah
dapat dimulai setelah permisi kepada raja Panusunan. Gong dibunyikan 9 kali
pertanda gelanggang telah dibuka, seterusnya alok-alok mempersilahkan suhut
mengawali pembicaraan dengan menyampaikan jamita (pemberitahuan kepada
semua peserta acara hal-hal yang sudah terjadi sebelumnya), mulai dari manyapai
Boru sampai kepada mangalap Boru dan haruan Boru serta diadakan acara.
Landasannya kerbau “anak ni manuk na langka-langka indalu, pahan-pahanan
ni raja na martua, na marjampal di Padang na bolak” Suhut juga memohon agar
Bayo pangoli dan Boru na ni oli agar mendapat restu dari raja-raja adat untuk
membawa ke Tapian Raja bangunan, diberikan gelar, di upa serta diberi nasihat
perkawinan. Acara ini oleh Suhut diserahkan sepenuhnya kepada seluruh peserta
upacara dengan ikhlas dan acara berjalan dengan lancar.

5
Parlagutan Harahap, Sistem kekerabatan dan sosial budaya Mandailing, (Medan: Twigora, 2003),
h. 78.

6
Permohonan Suhut ini, didukung oleh kahanggi dan anak boru-nya. Selanjutnya
Namora Natoras memperkenalkan permohonan Suhut itu dan menegaskan sepanjang
pengetahuannya syarat-syarat adat yang telah terpenuhi. Setelah itu raja-raja adat
menyambut dengan berbagai pendapat, saran, maupun kritikan dan akhirnya Raja
Panusunan mengambil keputusan bahwa semua permohonan Suhut dapat dilakukan.
Parpokatan (parkobaran sidang) selesai dengan dipukulnya gong 9 kali.
Setelah selesai acara markobar adat, sebelum pengantin diupah-upah dan diberi
gelar, diberikan acara marudur (arak-arakan) menuju tapian raya bangunan untuk
melakukan acara marpangir kedua mempelai. Pengantin diarak ke Tapian Raja
bangunan yang artinya membawa pengantin ke tepian mandi. Mandi dan berlangir
secara simbolis tujuannya untuk menghanyutkan habujingan (masa gadis) dan
haposoan (masa anak muda).
Walaupun disebut dengan tapian raya bangunan (tepian mandi), namun sesuai
dengan kondisi dan situasi terutama di kota yang mana tidak mungkin ditemui sungai,
maka acaranya hanya di jalanan. Jarak antara rumah dan tempat acara marpangir
tersebut biasanya kira-kira berjarak 300 m dari rumahnya.
Setelah itu memberikan gelar adat (mangalehen gorar) adalah memberi gelar
untuk menandakan bahwa kedua pengantin telah melepaskan masa mudanya dan
menjalani adat matobang (masa berkeluarga/ berumah tangga). Nama inilah yang
nantinya yang dipakai untuk memanggil yang bersangkutan.
Mangupa adalah merupakan acara puncak dari segala acara dari upacara
perkawinan. Jika mangupa telah selesai dilakukan maka selesailah sudah seluruh
rangkaian upacara perkawinan menurut adat, dan jika masih ada acara-acara
berikutnya itu hanya pelengkap saja.6
Ajar poda adalah memberi nasehat kepada pasangan kedua pengantin baru.
Acara ini dilaksanakan setelah acara mangupa. Struktur hukum adat Mandailing
didasarkan pada dalihan na tolu yang artinya tiga kelompok masyarakat yang
mempunyai peranan penting dan menjadi tumpuan masyarakat adat. Kelompok ini
terdiri dari Kahanggi, Mora, dan Anak Boru. Kedudukan kelompok ini berganti-ganti
sesuai dengan kondisi dan situasi yang selaras dan seimbang.

6
Pandapotan Nasution, Mengenal tentang budaya Mandailing, (Medan: Penerbit Mediatama,
2000), h. 209.

7
D. Horja Siluluton
Masyarakat Mandailing memiliki beberapa peristiwa yang diikuti dengan
upacara, antara lain: kelahiran, perkawinan, dan kematian. Acara-acara tersebut
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: upacara yang bersifat kegembiraan disebut
dengan Siriaon dan upacara yang bersifat kemalangan disebut dengan Siluluton.
Upacara kematian adalah suatu upacara adat yang dilaksanakan jika seseorang
meninggal dunia yang disebut juga dengan Horja Siluluton.
Sebelum agama Islam masuk ke Mandailing, penyelenggaraan upacara kematian
menurut adat nenek moyang adalah sesuatu yang sangat rumit. Pada waktu itu, jika
seorang raja meninggal dan untuk mengusungnya ke pemakaman harus memakai
keranda yang dibuat sedemikian rupa dengan bentuk bangunan yang memiliki tingkat
dan disebut dengan Roto. Pelaksanaan prosesinya juga memerlukan waktu yang lama.
Di samping itu untuk memperlihatkan kesedihan yang sangat harus ditunjukkan
dengan cara meratapi yang meninggal itu seraya mengeluarkan ‘isi hatinya’, Betapa
sedihnya dengan kematiannya tersebut. Meratap tetap dengan kata-kata tersebut
disebut dengan istilah Mangandung (menangis sambil berkata-kata). Hata andung
adalah kata-kata yang lebih halus dari kata-kata biasa.
Setelah masuknya ajaran Islam ke Mandailing, upacara tersebut lama-kelamaan
hilang, karena meratap dan berkata-kata terhadap yang meninggal itu dilarang
menurut agama Islam. Prinsip “hombar do adat dohot ibadat” dipegang teguh. Adat
yang bertentangan dengan agama harus ditinggalkan. 7
Di dalam adat Mandailing, seseorang yang pada waktu pernikahannya
diselenggarakan dengan upacara adat, maka ketika meninggalnya juga harus
dilakukan dengan upacara adat. Upacara tersebut sampai dengan sekarang masih
diselenggarakan dengan tetap oleh para penyelenggara yang ada, tetapi
menyesuaikannya dengan agama Islam, sehingga upacara tersebut disebut juga
dengan kenduri, bukan Horja.
Istilah horja lebih diasosiasikan dengan upacara kegembiraan. Jika dalam horja
Siriaon memiliki bendera-bendera adat yang dipasang di halaman yang menghadap
keluar, maka pada horja Siluluton bendera-bendera itu di balik menghadap ke rumah
sebagai tanda orang-orang yang berduka cita.

7
Nanaban Lubis, Adat budaya Mandailing, (Medan: Penerbit Widyantara, 2002), h. 298.

8
Di samping itu di dekat tangga sebelah kiri dibuat tempat untuk menyusun
tongkat yang dibuat dari batang tiolu na di jujar (sejenis tanaman yang tidak begitu
kuat dan ujungnya sudah hancur). Tiolu itu disusun dengan sedemikian rupa bersama
peralatan lainnya, seperti pedang, tombak, dan payung.
Dahulu acara adat kematian ini memiliki peran yang penting terutama bagi
keturunan raja-raja, seorang anak dari raja yang apabila ayahnya meninggal, hal itu
wajib mengadatinya (mengadakan upacara adat). Jika belum diadakan acara adat
kematian ayahnya maka dianggap yang meninggal itu belum ditanam atau dikubur,
dan juga ketika sudah dikuburkan dan selama itu pula si anak mempunyai hutang adat
dan dia tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi raja pengganti ayahnya.
Dengan tidak adanya lagi sekarang yang disebut raja, maka kepentingannya
menjadi berubah. Upacara adat kematian itu tetap menjadi kewajiban seorang anak
dan menjadi hutang. Adanya prinsip yang dianut bahwa jika seorang anak atau suatu
keluarga yang kepala keluarganya sudah meninggal dan belum dihadapi dan jika salah
satu anggota keluarganya akan menikah tidak dibenarkan mengadakan pesta adat atau
horja Siriaon.
Apabila upacara itu belum dapat dilakukan pada hari penguburan, maka pada
waktu acara pemberangkatan mayitnya tersebut harus diumumkan bahwa acara belum
dapat dilaksanakan hari itu juga dan bersepakat bersama untuk diselenggarakannya
pada hari yang lain. hal ini menjadi utang adat bagi keluarga yang disebut dengan
mandali di paradaton.8
Waktu-waktu pelaksanaan upacara kematian tersebut disepakati bersama oleh
orang-orang yang bersangkutan, dalam hal ini orang-orang tersebut tidak boleh
sembarangan dalam menyelenggarakannya, adapun waktu-waktu penyelenggaraan
upacara adat kematian, yaitu:
1. Pada hari penguburan.
2. Pada hari lain yang akan ditentukan dan disepakati, kemudian sesuai dengan
kesempatan dan kemampuan keluarganya. Waktu yang ditunda tersebut
diumumkan pada waktu memberangkatkan jenazah ke pemakaman. Dikatakan
bahwa adatnya masih berutang.

8
Parulian Harahap, Adat Mandailing serta tata kehidupannya, (Jakarta: Widya Press, 2009),
h. 116.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Budaya Mandailing membuat penerapan Perkawinan Manjujur, yaitu ketika
pihak laki-laki berkewajiban memberikan suatu yang memiliki harga, baik berupa
uang ataupun barang kepada pihak perempuan. Menurut hukum adat, jika terjadi
kejujuran, Budaya Mandailing menerapkan adat pernikahan yang diselenggarakan
oleh sanak saudara.
pihak Boru na ni oli mempunyai acara disebut Pabuat Boru, maka dirumah
keluarga bayo pangoli disebut Haroan Boru. Pada waktu yang telah ditetapkan niat
untuk patobang anak (mengawinkan anak laki-laki), maka sebelum hari yang
ditetapkan untuk mengadakan Horja Godang (Pesta adat) tersebut, pihak keluarga
laki-laki (Suhut) mengundang sanak famili untuk musyawarah ataupun bermufakat
bersama.
Pagi hari sesudah hadirin mulai tiba, uning-uningan (gendang) sudah dimainkan
dan dipukul menyambut para tamu dimainkan gong. Raja-raja yang tiba secara
bergiliran diundang. Sesudah selesai acara manortor Raja-raja, semua tamu-tamu
harajaon di diundang ke pantar bolak paradaton untuk mangkobar adat (sidang adat).
Perlu digarisbawahi bahwa biasanya acara manortor.
Masyarakat Mandailing memiliki beberapa peristiwa yang diikuti dengan
upacara, antara lain: kelahiran, perkawinan, dan kematian. Acara-acara tersebut
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: upacara yang bersifat kegembiraan disebut
dengan Siriaon dan upacara yang bersifat kemalangan disebut dengan Siluluton.
Kematian datang tanpa Kita kira-kira dan akan tiba jika sudah saatnya.

B. Saran
Kami sangat berharap kepada teman-teman semua, dengan adanya makalah yang
telah kami buat ini dapat menjadi penunjang proses pembelajaran. Kami juga sangat
berharap kepada teman-teman untuk memberikan tanggapan, saran, masukan dan
kritik terhadap makalah yang telah kami buat ini supaya kami bisa mengetahui
kesalahan kami dalam membuat makalah ini dan berusaha akan membuat makalah
menjadi lebih baik.

10
DAFTAR PUSTAKA

Siregar, Anggiat. 2013. Adat budaya Mandailing dan nilai-nilainya. Medan: Mitra
Grup.

Nasution, Askolani. 2009. Sejarah dan kebudayaan Mandailing. Aceh: Balai Pelestarian
Nilai Budaya.

Nasution, Parmonangan. 2005. Adat budaya Mandailing. Medan: Mitra Grup.

Nasution, Pandapotan. 2000. Adat, budaya, dan sistem kehidupan Mandailing Natal.
Medan: Twigora.

Harahap, Parlagutan. 2003. Sistem kekerabatan dan sosial budaya Mandailing. Medan:
Twigora.

Nasution, Pandapotan. 2000. Mengenal tentang budaya Mandailing. Medan: Penerbit


Mediatama.

Lubis, Nanaban. 2002. Adat budaya Mandailing. Medan: Penerbit Widyantara.

Harahap, Parulian. 2009. Adat Mandailing serta tata kehidupannya. Jakarta: Widya
Press.

11

Anda mungkin juga menyukai