Anda di halaman 1dari 12

Teologi Salib | Seruan Hati https://seruanhati.

id/artikel/teologi-salib/

Teologi Salib | Seruan Hati

Mei 05, 2021 Oleh: Michael Reeves Topik: Salib Yesus Kristus Seri: Mengapa Reformasi Masih
Berarti?
Artikel ini adalah bab dari buku Michael Reeves, Mengapa Reformasi Masih Berarti?

Saat mulai menyebar, berita tentang protes Martin Luther terhadap Gereja Katolik menimbulkan
kegemparan besar. Paus Leo X ingin supaya Luther didisiplinkan. Ordo Augustinian ditugaskan
melakukannya karena pada waktu itu Luther masih termasuk biarawan Augustinian. Tugas itu
jatuh pada Johann von Staupitz, senior Luther dalam ordo tersebut. Namun, alih-alih mendisiplin
Luther, Staupitz malah mengajaknya untuk mengemukakan gagasannya di hadapan kaum
Augustinian sebagai bahan diskusi.

Pertemuannya diadakan pada tanggal 26 April 1518 di Heidelberg. Luther menyusun 42 tesis
untuk momen tersebut— yang kemudian disebut Heidelberg Disputation. Ada 28 pokok tentang
teologi. Karena Luther pada dasarnya membantah teologi abad pertengahan, maka ia juga
menambahkan 14 tesis yang menyerang tafsiran terhadap Aristoteles. Di samping 42 tesis
tersebut, ada pula catatan berisi penjelasan Luther. Jadi, setiap tesis disertai dengan serangkaian
penjabaran:[1]

19. Barangsiapa yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah yang tidak kelihatan adalah hal-hal yang
bisa disaksikan dalam peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi, ia tidak layak disebut teolog.

Hal itu jelas dengan teolog-teolog itu yang disebut orang bodoh oleh Rasul Paulus dalam Roma
1:22, “Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh.”

20. Namun, barangsiapa yang memahami sifat-sifat Allah yang kelihatan dan yang dinyatakan
melalui penderitaan di kaya salib [istilah ini mengacu pada Kel.33:23], ia layak disebut teolog.

Allah berkehendak supaya Diri-Nya dikenal melalui penderitaan. Ia menghukum kebijaksanaan


tentang hal-hal yang tidak kelihatan melalui hikmat mengenai hal-hal yang bisa dilihat. Dengan
demikian, orang yang tidak menghormati Allah yang dinyatakan melalui ciptaan itu bisa
menghormati Dia seperti yang tersembunyi dalam penderitaannya. Itulah yang dikatakan dalam 1
Korintus 1:21, “Oleh karena dunia, dalam hikmat Allah, tidak mengenal Allah oleh hikmatnya,
maka Allah berkenan menyelamatkan mereka yang percaya oleh kebodohan pemberitaan Injil.”
Sejak saat ini, tidak akan cukup bagi seseorang jika Ia mengenal Allah dalam kemuliaan dan
semarak-Nya — dan itu tidak akan menjadi berkat baginya — kecuali ia juga mengenal Allah
dalam kerendahan dan aibnya kayu salib. Dengan cara ini, Ia menghancurkan hikmat orang-orang
bijak dan meniadakan pengertian orang-orang arif. Seperti kata Yesaya, “Sungguh, Engkau Allah
yang menyembunyikan diri” (Yes. 45:15).

Dalam Yohanes 14:8, di mana Filipus berbicara menurut teologi kemuliaan, “Tunjukkanlah Bapa

1 dari 12 06/04/2023, 18:16


Teologi Salib | Seruan Hati https://seruanhati.id/artikel/teologi-salib/

itu kepada kami,” Kristus segera menjawabnya dengan tegas. Filipus, yang berangan-angan tinggi
ingin melihat Allah di tempat lain, dituntun-Nya kembali kepada diri Yesus sendiri, kata-Nya,
“Filipus, barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa.” Karena itu, dalam Kristus yang
tersalib ada teologi sejati dan pengenalan yang benar akan Allah. Dalam ayat lain, Yesus juga
berkata, “Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh.14:6).

21. Teolog yang berorientasi pada kemuliaan mengatakan yang buruk itu baik dan yang baik itu
buruk. Teolog yang berorientasi pada salib mengatakan apa yang tepat.

Hal ini sangat jelas, sebab selama seseorang tidak mengenal Kristus, ia tidak mengenal Allah yang
tersembunyi dalam penderitaan. Karenanya, orang seperti itu lebih memilih usaha (perbuatan
baik) daripada penderitaan, dan lebih suka kemuliaan daripada salib. Ia lebih memilih kuasa
daripada kelemahan, kepandaian daripada kebodohan. Mereka inilah yang disebut Rasul Paulus
sebagai musuh salib Kristus. Sangat jelas, sebab mereka membenci salib dan penderitaan,
sebaliknya mencintai perbuatan baik dan kemuliaan (kebanggaan) yang mengiringinya. Karena
itu, mereka memandang kebaikan pada salib sebagai sesuatu yang buruk, dan menyebut usaha
yang buruk sebagai sesuatu yang baik. Namun, Allah tak bisa ditemukan selain dalam penderitaan
dan salib, seperti yang telah dinyatakan dengan jelas. Mustahil seorang manusia tidak
membanggakan diri karena perbuatan baiknya, kecuali ia telah mengalami penderitaan, telah
patah semangat dan hancur hati, telah belajar bahwa dirinya bukan siapa-siapa dan perbuatan
baiknya bukan dari dirinya sendiri, melainkan milik Allah.

22. Kebijaksanaan semacam itu, yang menilai hal-hal tentang Allah yang tidak kelihatan dalam
perbuatan baik yang kelihatan, hanya membuat manusia sombong dan menjadikannya buta serta
keras.

Ini telah dikatakan sebelumnya. Karena sudah jelas bahwa mereka tidak tahu apa pun tentang
salib, bahkan membencinya, maka mereka pasti mengasihi yang sebaliknya, yaitu kepandaian,
kemuliaan, kuasa, dan sejenisnya. Barangsiapa ingin menjadi pandai, ia tak boleh langsung
mengejar kebijaksanaan begitu saja, tetapi harus merendahkan diri menjadi orang bodoh,
melangkah mundur dan mencari kebodohan. Demikian juga, barangsiapa ingin berkuasa dan
terkenal, memiliki hidup yang sejahtera dan menikmati semua yang baik, baiklah ia menjauhi
kuasa, ketenaran, kenikmatan, serta kecukupan, dan jangan mengejar semuanya itu. Inilah hikmat
yang kami bicarakan, hikmat yang dianggap kebodohan oleh dunia.

Pertanyaan yang dibahas Luther adalah: Bagaimana kita bisa mengenal Allah? Ada hal-hal yang
tampak, yang bisa dilihat oleh manusia, misalnya ciptaan, pengalaman rohani, mukjizat. Namun,
menurut Luther, semua itu tidak menyingkapkan Allah. Hal-hal tersebut menyingkapkan sesuatu
tentang Allah, tetapi pengetahuan semacam itu menjadikan orang sombong. Alhasil, mereka tidak
pernah mengenal Allah yang benar karena terhalang kesombongannya itu. Pengetahuan semacam
itu “tidak pernah cukup bagi manusia, tidak pernah dapat menjadi berkat baginya” (20). Orang-
orang seperti mereka merasa berpengetahuan, tetapi sesungguhnya tidak — mereka bodoh.

2 dari 12 06/04/2023, 18:16


Teologi Salib | Seruan Hati https://seruanhati.id/artikel/teologi-salib/

Lantas, apakah Allah tidak bisa dikenal? Jika Ia tidak bisa dikenal melalui hal-hal yang kelihatan,
bisakah kita mengenal-Nya? Haruskah kita berusaha mengenal Allah melalui hal-hal yang tidak
terlihat? Itu mustahil, sebab kita tidak bisa melihatnya! Jawaban Luther sebagai berikut: Allah
dikenal melalui kebalikannya. Ia bisa dikenal dengan cara tersembunyi. Atribut Allah yang tidak
terlihat disingkapkan melalui penderitaan dan salib: kemuliaan dalam aib, hikmat dalam
kebodohan, kuasa dalam kelemahan, kemenangan dalam kekalahan. Allah bisa dikenal melalui
berita salib.

Jadi, arti dari teologia crucis, “teologi salib”, bukanlah pemahaman tentang bagaimana salib
menyelamatkan kita (meski tentu ini penting bagi Luther). Namun, lebih dari itu, teologi salib
adalah pendekatan untuk mengenal Allah. Menurutnya, pengenalan akan Allah dimulai dengan
salib. Titik awal ini mengubah seluruh konsep kita tentang Allah dan bagaimana Ia bisa dikenal
dengan cara terbalik.

Teologi salib berasal dari pemahaman Luther tentang kebenaran dan pembenaran. Luther
mendapat pencerahan bahwa Allah membenarkan orang berdosa. Orang yang tidak benar
dinyatakan benar oleh Allah. Luther menyadari bahwa kalau demikian halnya, maka pengertian
manusia tentang keadilan/kebenaran tak pernah membuat kita memahami sifat benar dari Allah.
Sifat benar dari Allah dinyatakan melalui sesuatu yang berlawanan dengan keadilan: yaitu
membenarkan orang yang tidak benar. Alister McGrath berkata:

Penemuan Luther tentang “definisi baru dan indah tentang sifat benar dari Allah” pada dasarnya
adalah sifat inti yang bisa diterapkan pada atribut ilahi lainnya…yang pada akhirnya mengarah
pada teologia crucis, “teologi tentang salib”…Bagi Luther, “sifat benar dari Allah” itu dinyatakan
secara khusus hanya melalui salib, bertentangan dengan pemahaman naluriah manusia dan
bentuk pewahyuan yang mereka bayangkan.[2]

Seandainya pengenalan akan Allah bisa diperoleh melalui sesuatu yang tampak (ciptaan,
pengalaman rohani, mukjizat), itu akan mendatangkan kesombongan. Bayangkan jika Allah
dikenal melalui ciptaan, maka orang yang paling mengenal Dia adalah mereka yang cerdas dalam
ilmu pengetahuan tentang alam semesta. Atau, seandainya Allah dikenal melalui pengalaman
rohani, maka orang yang bisa mengenal Allah adalah mereka yang tidak perlu bekerja sehingga
punya banyak waktu untuk merenung. Kalau demikian, orang-orang bisa berkata, “Aku mengenal
Allah karena kecerdasanku, atau kerohanianku, atau moralitasku, atau kekuatanku.” Hal tersebut
membuat kita sombong, dan kesombongan menjadi penghalang untuk mengenal kemuliaan dan
anugerah Allah.

Namun, Allah berkehendak supaya Diri-Nya dikenal melalui penderitaan, sehingga Ia tersembunyi
dari semua orang yang meninggikan diri. Luther mengutip ucapan Yesus dalam Matius 11:25-26:
“Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau
sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya
Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu.”

3 dari 12 06/04/2023, 18:16


Teologi Salib | Seruan Hati https://seruanhati.id/artikel/teologi-salib/

Lawan dari teologi salib adalah teologi kemuliaan. Para teolog kemuliaan mengejar kepandaian,
pengalaman, dan mukjizat. Bagi mereka, penderitaan itu buruk. Sebaliknya, teolog salib
menghargai penderitaan sebagai jalan yang dipakai Allah untuk menyatakan Diri-Nya. Pengenalan
akan Allah tidak diperoleh melalui kepandaian, kekuatan, maupun pencapaian manusia,
melainkan melalui kebodohan/kehinaan salib.

Di harapan salib Kristus, para pemuka agama Yahudi ibarat teolog-teolog kemuliaan. Mereka pikir
Allah akan menyatakan Diri-Nya melalui tindakan dahsyat yang dibuktikan kalau Yesus turun dari
kayu salib (Mrk. 15:29-32). Namun, dengan iman, kepala prajurit melihat Allah terwujud nyata
dalam Yesus yang menderita dan ditinggalkan (Mrk. 15:39).

Luther berbicara tentang “pekerjaan yang asing” dari Allah, opus alienum, tindakan Allah yang
asing atau tampaknya bertentangan dengan natur-Nya, tetapi melalui tindakan itu Ia menggenapi
“pekerjaan yang tepat,” opus proprium. Ada kalanya, Allah menghajar kita untuk meremukkan
(manusia lama) kita. Dengan pengertian ini, penderitaan dapat dipandang sebagai anugerah ilahi
yang indah.

Hanya orang yang sudah “dipatahkan dan diremukkan hatinya” yang bisa mengenal Allah.
Perkataan Luther ini sering diartikan bahwa “kerendahan” hati adalah syarat untuk mengenal
Allah. Namun, sesungguhnya yang lebih tepat adalah “direndahkan” atau “dihinakan.” Hanya
orang yang telah direndahkan dan dihinakan di hadapan Allah-lah yang dapat benar-benar
mengenal Dia. Dengan kata lain, Luther tidak menganjurkan kesalehan tertentu supaya kita lebih
mengenal Allah. Ia mengajarkan bahwa kita harus mematikan diri sendiri sebelum menerima
pewahyuan Allah. Dalam konteks lainnya, Luther juga memberikan nasihat serupa kepada mereka
yang bercita-cita menekuni studi teologi:

Saya ingin memberitahukan cara belajar teologi yang benar kepada kalian. Cara ini sudah saya
praktikkan sendiri…Caranya adalah yang diajarkan Raja Daud dalam Mazmur 119…Di sini, kalian
akan mendapat tiga pedoman. Semuanya ini berulang kali disebutkan sepanjang mazmur: oratio,
meditatio, tentatio [doa, perenungan, ujian].[3]

Ujian adalah kunci dalam mempelajari kebenaran tentang Allah. Yang Luther maksud dengan
ujian ialah seperti dalam ayat-ayat berikut ini:

Sebelum aku tertindas, aku menyimpang, tetapi sekarang aku berpegang pada janji-Mu. (Mzm.
119:67)

Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu. (Mzm. 119:71)

Aku tahu, ya TUHAN, bahwa hukum-hukum-Mu adil, dan bahwa Engkau telah menindas aku
dalam kesetiaan.(Mzm. 119:75)

Sering kali ujian atau pencobaan yang bisa menanamkan pengetahuan dari otak ke dalam hati kita.
Luther bersikap skeptis tentang nilai filsafat dalam teologi. “Teologi itu surga, ya, bahkan kerajaan
surga. Namun, manusia itu duniawi dan pemikiran-pemikirannya bagaikan asap.”[4] Luther

4 dari 12 06/04/2023, 18:16


Teologi Salib | Seruan Hati https://seruanhati.id/artikel/teologi-salib/

mendeskripsikan “nalar” sebagai budak Iblis, binatang buas, dan musuh Allah.[5] Sebenarnya,
Luther menghargai akal budi dalam hal-hal kemasyarakatan. Ia juga menghargai nalar sebagai alat
untuk menyusun materi Alkitab. Namun, kita tak bisa menemukan kebenaran tentang Allah
melalui nalar manusia. Nalar justru menyesatkan kita, sebab Allah yang diwahyukan dalam salib
berlawanan dengan pikiran manusia.

Sebaliknya, untuk mengenal Allah melalui ketidakhadiran Allah, mengenal kemenangan melalui
kekalahan, mengenal kemuliaan melalui kehinaan, dibutuhkan iman. Allah hanya bisa dikenal
melalui iman. Karena pengenalan akan Dia memerlukan iman, berarti itu adalah anugerah.

Jadi, Allah hanya bisa dikenal oleh orang-orang yang diberi-Nya iman. Keselamatan itu semata-
mata anugerah. Kita sudah akrab dengan prinsip tersebut. Hal yang sama juga berlaku dalam hal
pengenalan akan Allah. Bukan keselamatan saja yang diperoleh hanya melalui iman dan anugerah,
tetapi juga pengenalan akan Allah. Kita tidak memiliki andil apapun di dalamnya (pengenalan kita
akan Allah sama sekali bukan usaha kita). Tuhanlah yang mengerjakannya demi kita. Pengenalan
kita akan Allah adalah anugerah semata. Kita tidak mengenal Allah karena lebih pandai daripada
orang lain, atau karena memiliki wawasan rohani lebih banyak, atau lebih sering merenung. Kita
mengenal Allah karena Dia sendiri yang bermurah hati menyatakan diri-Nya kepda kita lewat
berita salib. Itu merupakan tindakan anugerah. Allah menyingkapkan diri dengan cara
tersembunyi untuk menjaga nilai anugerah dalam pewahyuan ilahi.

Salib menggulingkan segala konsep manusia tentang kemuliaan. Pesan yang kita beritakan — yaitu
tentang Kristus yang tersalib — adalah kebodohan dan kelemahan di mata dunia. Inilah yang
dikatakan Paulus dalam surat 1 Korintus. Dalam banyak hal, memang teologi Luther terasa seperti
hasil perenungan atau pengembangan dari 1 Korintus 1. Pada ayat 23-25 tertulis:

Kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan
dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik
orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat
Allah. Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari
Allah lebih kuat dari pada manusia.

Dan dengan berita salib yang lemah dan bodoh ini, tumbuhlah komunitas salib yang lemah dan
bodoh.

Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat,
dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak
terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah
untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan
diri di hadapan Allah. (1:27-29)

Jadi, salib tidak memberi ruang kepada manusia untuk memegahkan diri. Sebaliknya, satu-
satunya yang kita megahkan adalah Kristus Yesus, “yang oleh Allah telah menjadi hikmat bagi
kita. Ia membenarkan dan menguduskan dan menebus kita.” Oleh karena itu, “barangsiapa yang

5 dari 12 06/04/2023, 18:16


Teologi Salib | Seruan Hati https://seruanhati.id/artikel/teologi-salib/

bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan” (1:30-31).

Mari kita rangkumkan poin-poin kunci dalam teologi salib dari Luther:[6]

Teologi salib adalah teologi tentang pewahyuan. Ini bertentangan dengan spekulasi/dugaan
manusia. Apapun pemikiran tentang Allah yang kita dapatkan melalui spekulasi mengenai ciptaan
atau pengalaman akan digugurkan oleh pewahyuan Allah dalam salib.

Pewahyuan Allah dalam salib adalah wahyu yang tersembunyi. Sifatnya tidak langsung. Itu adalah
wahyu Allah, tetapi tidak bisa serta-merta dikenali sebagai wahyu Allah.

Wahyu Allah yang terdapat dalam salib adalah Kristus. Wahyu ini tidak ditemukan
melalui perbuatan maupun akal budi manusia. Pewahyuan melalui penderitaan menghancurkan
seluruh klaim manusia untuk bisa mengenal Allah melalui akal maupun moralitas manusiawi.

Dengan demikian, Allah bisa dikenali hanya dengan iman. Ia bisa diketahui hanya dengan iman.

Secara khusus, Allah dikenal melalui penderitaan. Artinya, bukan hanya bahwa Dia bisa dikenal
melalui penderitaan, tetapi juga bahwa Dia memakai penderitaan untuk menyatakan diri-Nya.
Menurut Luther, ini meliputi penderitaan Kristus sekaligus penderitaan yang kita alami masing-
masing. Allah merendahkan kita, mengizinkan kita menderita, supaya kita bisa mengenal Dia.

Mengapa Teologi Salib Masih Berarti?


Dengan landasan tersebut, banyak teologi Protestan berubah haluan pada abad ke-18 dan 19.
Mereka beralih pada pandangan yang kemudian dikenal dengan sebutan “teologi liberal.” Katolik
pun tidak kebal terhadap pergeseran ini. Akibatnya, sejumlah besar denominasi Protestan yang
menonjol dan Katolik dunia Barat memilih teologi kemuliaan.

Liberalisme merupakan pandangan teologis yang seiring dengan Pencerahan — gerakan


intelektual yang membentuk dunia barat. Ciri utamanya adalah mengedepankan nalar manusia.
Nalar dipandang sebagai solusi bagi ketidaktahuan manusia (secara epistemologi) dan solusi bagi
masalah manusia (soteriologi). Berkenaan dengan wahyu ilahi, nalar bukan lagi alat untuk
membantu kita memahami Alkitab, melainkan dianggap sumber kebenaran tertinggi. Dalam
bukunya yang berjudul Christianity as Old as Creation (1730), Matthew Tindal berusaha
mengajarkan pengenalan akan Allah atas dasar memandang dunia dengan nalar. Hasilnya
bukanlah Allah yang dinyatakan dalam Alkitab, tetapi allah deisme — yakni figur allah yang tidak
terlibat dalam dunia yang telah dijadikannya. Wahyu tidak lagi menilai nalar manusia, justru nalar
yang menilai wahyu. Dari sini, lahirlah studi biblika yang disebut “kritik tinggi”, dan perlahan-
lahan, kajian ini mempertanyakan kesatuan Alkitab, sejarahnya, ketidakbersalahannya, serta
menyangkal otoritasnya.

Dengan liberalisme, harapan seluruh manusia bisa sepakat tentang apa yang benar dengan
menggunakan nalar yang sama. Melalui proses penyelidikan rasional, kita bisa menemukan satu
dasar bagi kehidupan umat manusia. Post-modernisme menentang harapan palsu tersebut. Nalar
manusia telah dibengkokkan oleh dosa. Dalam istilah post-modernisme, kebenaran merupakan

6 dari 12 06/04/2023, 18:16


Teologi Salib | Seruan Hati https://seruanhati.id/artikel/teologi-salib/

alat kekuasaan. Klaim kebenaran mutlak sering kali dipakai oleh pihak-pihak penguasa untuk
mempertahankan kekuasaan mereka.

Namun, post-modernisme masih merupakan bagian dari Pencerahan, barangkali inilah bentuk
paham romantisisme yang terbaru. Romantisisme adalah tanggapan terhadap logika nalar yang
menekankan pengalaman spiritual dan estetika. Pengetahuan diperoleh dari dalamnya. Yang lebih
ditekankan dalam paham romantisisme bukanlah nalar, melainkan pengalaman manusia. Namun,
pengetahuan tetap merupakan usaha manusia. Menurut paham ini, manusia punya kemampuan
untuk menentukan kebenaran bagi dirinya sendiri. Jadi, romantisisme dan post-modernisme lebih
tepat disebut bagian dari paham Pencerahan, bukan reaksi terhadapnya.

Persamaan dalam paham nalar, romantisisme, modernisme, post-modernisme adalah kedaulatan


diri sendiri. Rasionalisme dalam paham Pencerahan menjunjung kedaulatan nalar
manusia. Romantisisme menjunjung kedaulatan pengalaman manusia. Post-modernisme
menjunjung kedaulatan pribadi untuk menentukan kebenaran bagi dirinya sendiri. Sebaliknya,
tradisi tidak mengedepankan kedaulatan pribadi, melainkan komunitas atau kelompok manusia.
Dalam semua paham tersebut ada satu kesamaan, yaitu berusaha mencapai pengetahuan dengan
pendekatan yang berpusat pada manusia. Pengetahuan didasarkan pada manusia — entah itu
tradisi, nalar, pengalaman, maupun kehendak (atau bahkan keinginan).

Namun, menurut Luther, teologi salib mematahkan seluruh klaim yang lancang itu. Salib
menyingkapkan dosa kita. Dalam pemikiran Katolik, natur manusia dan anugerah bekerja sama,
di mana anugerah melengkapi natur manusia. Dengan kata lain, pengetahuan alamiah kita
dilengkapi oleh anugerah. Dalam pemikiran modern, anugerah tidak dibutuhkan, nalar alamiah
manusia saja sudah cukup. Akan tetapi, teologi salib memandang dosa sangat serius. Dosa telah
menyelewengkan nalar kita. Kita tetap makhluk yang mampu bernalar. Kita mampu menemukan
dan mencipta. Namun, nalar kita terperangkap dalam kehendak yang berdosa. Secara naluriah,
kita membengkokkan nalar untuk membenarkan tindakan kita (Rm.1:18-25).

Saat berhadapan dengan salib, kita direndahkan. Bias keberdosaan kita disingkapkan. Karunia
iman membuka mata kita untuk melihat kemuliaan dalam aib, kekuatan dalam kelemahan,
kemenangan dalam kekalahan. Kita belajar untuk mempercayai wahyu ilahi lebih daripada nalar
manusia.

Keyakinan pada wahyu Allah dalam Alkitab merupakan salah satu ciri pokok kepercayaan
Injili. Bukan kebetulan bahwa ciri penting lainnya ialah penal substitution, keyakinan bahwa
Yesus berkorban menggantikan kita menanggung hukuman atas dosa. Keduanya menegaskan
bahwa kemampuan manusia ada batasnya dan mengagungkan kemuliaan anugerah ilahi. Salib
menjadi aspek pokok bagi kita untuk memahami wahyu dan keselamatan.

Murid-Murid Salib
Teologi salib menantang kita secara pribadi, sebab salib tak hanya menentukan cara kita berpikir,
tetapi juga cara menjalani hidup. Luther mengembangkan “teologi tentang salib” sebagai prinsip

7 dari 12 06/04/2023, 18:16


Teologi Salib | Seruan Hati https://seruanhati.id/artikel/teologi-salib/

dasar metode teologis. Menurutnya, teologi salib merupakan jawaban atas pertanyaan bagaimana
kita dapat mengenal Allah. Kita mengenal Dia terutama bukan melalui ilham mistis atau
pemahaman teologis atau penglihatan gaib atau kata-kata pengetahuan maupun keindahan
ciptaan. Kita mengenal Allah melalui berita salib.

Jawaban yang sama juga dapat diterapkan pada pertanyaan bagaimana kita dapat
mengetahui kuasa atau kekuatan Allah. Kita dapat mengetahui kekuatan Allah lewat berita salib—
yang terutama bukan lewat mukjizat kesembuhan, atau pengaruh politis, atau disiplin rohani, atau
ketenaran, atau keahlian mengelola, atau gereja-gereja besar, atau tokoh inspiratif maupun teori
sosiologis. Kita harus menyingkirkan pemikiran tentang sukses yang duniawi. Kita harus
membuang pola pikir bahwa keberhasilan diukur lewat angka. Teologi salib masih berarti, dan
berlaku tak hanya dalam dunia teologi. Seluruh kehidupan Kristiani di dunia ini harus serupa
dengan bentuk salib.

Tujuan dari Amanat Agung ialah menjadikan semua bangsa murid Yesus, membaptis mereka
dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, serta mengajar mereka melakukan segala sesuatu
yang telah Yesus perintahkan (Mat.28:19-20). Namun, dalam Injil Matius, Yesus sudah
menunjukkan apa artinya menjadi seorang murid. “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus
menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat.16:24). Pernyataan ini merupakan
tanggapan terhadap teguran Petrus. Sebelumnya, Yesus memberitahukan perihal kematian-Nya,
lalu Petrus menarik Dia dan berkata, “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali
takkan menimpa Engkau” (Mat.16:22). Petrus menghendaki kemuliaan kerajaan tanpa harus
melalui salib. Jawab Yesus dengan lugas, “Enyahlah, Iblis,” seperti perkataan-Nya di padang
gurun, “Enyahlah, Iblis,” ketika si Iblis menawarkan-Nya kerajaan dunia tanpa mengalami salib
(Mat.4:8-10).

Pola pemuridan dalam Perjanjian Baru merupakan pola penderitaan yang disusul dengan
kemuliaan. Ini mencerminkan pola salib dan kebangkitan. Petrus sudah belajar dari kesalahannya.
Belakangan, ia mengatakan bahwa Roh Kudus “memberi kesaksian” dalam Perjanjian Lama
tentang “segala penderitaan yang akan menimpa Kristus dan tentang segala kemuliaan yang
menyusul sesudah itu” (1Pet.1:11). Dalam 1 Petrus 2-3, ia menjabarkan bagaimana orang Kristen
seharusnya menjalani hidup yang baik di tengah dunia yang sesat—hidup dengan pesan misi,
karena hal itu akan membawa orang banyak untuk memuliakan Allah (2:11-12). Ia menyebutkan
tanggung jawab orang Kristen terhadap negara/penguasa (2:13-17), di dunia kerja (2:18-20), dan
dalam pernikahan (3:1-7). Petrus berbicara tentang bagaimana seharusnya respons kita saat
mengalami penderitaan karena berbuat baik (3:8-22). Pusat seluruh pengajarannya itu ialah
teladan salib (2:21-25). Pemuridan Kristen harus dibentuk oleh salib dan meneladani kasih yang
berkorban. Salib mewujudkan panggilan seorang hamba (2:21), dan suami istri harus bersikap
“demikian juga” (3:1,7), yaitu meneladani cara salib. Salib adalah pola teladan kita. Yesus tidak
membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi dengan kebaikan (2:23; 3:9). Ia mati, orang benar
mati demi orang jahat—dan kitalah orang jahat itu. Yesus menanggapi penolakan kita dengan

8 dari 12 06/04/2023, 18:16


Teologi Salib | Seruan Hati https://seruanhati.id/artikel/teologi-salib/

tindakan yang membawa kita kepada Allah (3:18), maka kita sekarang harus menanggapi
penolakan dengan berbuat baik (3:13-17).

Akan tetapi, pola salib barulah setengah dari keseluruhannya. Kita mengikuti jalan salib dengan
pengharapan akan kebangkitan yang mulia. Petrus menasihatkan kita, “Bersukacitalah, sesuai
dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus, supaya kamu juga boleh bergembira
dan bersukacita pada waktu Ia menyatakan kemuliaan-Nya” (1Pet.4:13). Pada akhir suratnya,
Petrus mengatakan bahwa ia menulis untuk memberi kesaksian tentang “kasih karunia yang
benar-benar dari Allah” (5:12). Apa itu kasih karunia/anugerah yang benar-benar dari Allah?
Itulah yang Petrus tunjukkan dalam ayat-ayat sebelumnya: “Dan Allah, sumber segala kasih
karunia, yang telah memanggil kamu dalam Kristus kepada kemuliaan-Nya yang kekal, akan
melengkapi, meneguhkan, menguatkan dan mengokohkan kamu, sesudah kamu menderita
seketika lamanya. Ialah yang empunya kuasa sampai selama-lamanya! Amin” (5:10-11). Anugerah
yang sejati adalah kesanggupan untuk menderita seketika lamanya sembari berharap akan
kemuliaan dan pemulihan kekal.

Yang melengkapi keseluruhannya adalah Roh Kudus. Melalui Roh Kudus, kita memiliki
kebangkitan dan kekuatan saat ini. Namun, kuasa kebangkitan diberikan kepada kita agar kita
hidup seturut jalan salib. Kuasa kebangkitan adalah kekuatan untuk menjadi lemah (2Kor.4:7-12;
Fil.3:10-11). Hidup kebangkitan kita adalah hidup yang tersembunyi, dinyatakan lewat keserupaan
dengan Kristus dan salib-Nya (Kol.3:1-4). Kehidupan Kristen bukanlah hidup yang penuh
kejayaan dan kuasa, tetapi kehidupan yang lemah. Kehidupan yang bercirikan kekuatan dalam
kelemahan, kehidupan yang dijalani dengan bergantung penuh pada kuasa Allah yang diberikan
lewat perantaraan Roh Kudus.

Ada banyak teologi kemuliaan yang berbahaya, demikian pula banyak eskatologi kemuliaan yang
berbahaya. Eskatologi adalah doktrin tentang pengharapan Kristiani dan akhir zaman. Akhir
zaman dimulai dengan kedatangan pertama Yesus ke dunia dan akan berakhir pada kedatangan-
Nya yang kedua. Jadi, eskatologi bukan hanya soal masa depan, tetapi juga bagaimana kita
memahami hidup saat ini.

Eskatologi kemuliaan mengedepankan kemuliaan dan kejayaan pada saat kebangkitan tanpa
menerima realita salib (penderitaan) pada masa kini. Inilah kesalahan Yakobus dan Yohanes
ketika mereka meminta posisi kehormatan di sisi Yesus dalam kerajaan-Nya. Mereka
menginginkan kemuliaan tanpa penderitaan. Namun, Yesus menjawab bahwa mereka harus
terlebih dahulu menderita bersama-Nya (Mrk.10:35-45).

Kita semestinya tidak berpegang pada eskatologi kemuliaan, tetapi eskatologi salib, yang
menantikan kemuliaan dan kemenangan sembari memandangnya tersembunyi dalam cela dan
kelemahan saat ini. Salib menghakimi eskatologi yang berlebihan (pandangan yang meyakini
bahwa kejayaan sudah terjadi saat ini), di mana setiap orang pasti menang dan berhasil, seperti
pengajaran dari injil kemakmuran. “Untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah kita harus mengalami
banyak sengsara” (Kis.14:22). Di sisi lain, salib juga menghakimi eskatologi yang berlebihan dari

9 dari 12 06/04/2023, 18:16


Teologi Salib | Seruan Hati https://seruanhati.id/artikel/teologi-salib/

kaum utopia sosial dan revolusioner. Pengharapan harus dibarengi dengan kesabaran
menanggung derita.

Paulus berkata, “Aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan
dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita” (Rm.8:18). Ayat ini berada di tengah Roma
8—pasal yang berbicara tentang bagaimana kita mempercayai janji Injil di tengah realita dosa,
penderitaan, dan kematian. Salah satu jawabannya ialah karena kita belum sepenuhnya mencapai
keadaan yang sempurna. Seperti juga seluruh ciptaan lainnya, kita menantikan penebusan. Kita
memiliki pengharapan, tetapi “pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab
bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya? Tetapi jika kita mengharapkan apa
yang tidak kita lihat, kita menantikannya dengan tekun” (Rm.8:24-25). Berkali-kali Perjanjian
Baru menegaskan bahwa pengharapan pasti dibarengi dengan kesabaran dan ketekunan
menanggung penderitaan panjang.

Sayangnya, kesabaran dan ketekunan bukanlah karakter yang umum di antara orang Kristen
dunia Barat. Manusia modern beranggapan bahwa kesehatan yang baik adalah
stándar/keharusan. Kita mendirikan lembaga-lembaga kemasyarakatan untuk menghindari
musibah. Orang Kristen pun tak jauh berbeda. Kita berharap Tuhan selalu menjaga kita tetap
sehat dan aman. Jadi, ketika masalah datang—sesuai janji Yesus (Yoh.16:33)—kita bukan hanya
berjuang mengatasinya, tetapi juga sulit menerima perbuatan Allah. Mengapa Dia tidak menjawab
doa saya? Apakah iman saya terlalu kecil? Alhasil, orang bergumul dengan kebisingan dalam
situasi hidup mereka sekaligus mengalami krisis kepercayaan pada Allah. Tak heran bila Paulus
berdoa agar orang Kristen “mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilan-Nya”
(Ef.1:18).

Pola penderitaan yang disusul dengan kemuliaan ini juga tampak jelas dalam teologi John Calvin,
khususnya pemahamannya tentang “kesatuan dengan Kristus”. Kesatuan dengan Kristus
merupakan salah tema utama dalam pemikiran Calvin; kesatuan dengan Kristus berarti kita ini
satu dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitan-Nya. “Kebangkitan bukan menjauhkan kita
dari salib.”[7] Penebusan kita tetap tersembunyi hingga Kristus datang kembali, itulah hari
“penyingkapan.” Meskipun sudah diangkat anak oleh Allah, dibenarkan, diampuni, dan dibaharui
oleh Roh Kudus, orang Kristen belum kelihatan lebih diberkati daripada orang lain. Yang
kelihatan hanyalah pengharapan mereka yang tersembunyi itu tampak nyata dalam sukacita dan
kepercayaan pada Allah. Sesungguhnya, sering kali orang Kristen justru kelihatan lebih sengsara
oleh karena komitmen mereka pada jalan salib.

Keikutsertaan kita dalam kebangkitan dan kehidupan Kristus, serta hidup batiniah kita dalam Roh
Kudus tidak bisa terlihat secara jasmani (lewat kemakmuran, kesehatan, dll.). Sebaliknya,
keduanya tampak secara lahiriah dalam komitmen kita pada jalan salib (menanggung derita).

Emil Brunner, teolog asal Swiss, berkata:

Seluruh sejarah kekristenan dan sejarah dunia seutuhnya pasti akan sangat berbeda seandainya

10 dari 12 06/04/2023, 18:16


Teologi Salib | Seruan Hati https://seruanhati.id/artikel/teologi-salib/

bukan karena theologia crucis [teologi salib] menjadi theologia gloriae [teologi kemuliaan],
dan ecclesia crucis [jemaat salib] menjadi ecclesia gloriae [jemaat kemuliaan].[8]

Kita mungkin tergoda untuk berpikir bahwa yang paling dibutuhkan adalah gerakan penginjilan
nasional, atau gereja super besar dengan iklan hebat, atau akses ke media berjangkauan luas, atau
kepribadian yang berkarisma, atau memiliki pengaruh di kalangan pejabat. Godaan ini bukan hal
yang baru. Sejak dahulu, gereja senantiasa menghadapi cobaan untuk berusaha memiliki
kekuasaan dan pengaruh di tengah dunia.

Namun, teologi salib mengajak kita untuk menaruh keyakinan pada “kawanan kecil”, demikian
istilah Tuhan Yesus (Luk.12:32). Gambaran Yesus tentang masa depan bukanlah struktur gereja
yang mendunia—baik magisterium Katolik maupun jejaring kaum Injili. Sebaliknya, masa depan
adalah milik jemaat-jemaat kecil yang tulus—kawanan kecil Kristus. Kepada kawanan kecil milik
Kristus inilah kerajaan Allah diberikan—pemerintahan Allah yang maha kuasa dan memberi
hidup.

Jadi, yang kita butuhkan bukan hanya teologi salib, tetapi juga gereja salib. Pengertian tentang
gereja yang sesuai dengan Injil Kristus adalah jemaat salib. Artinya, kekuatan dalam kelemahan,
hikmat dalam kebodohan, dan kemuliaan dalam cela. Dengan demikian, kita harus menaruh
kepercayaan kita pada Allah, bukan pada diri sendiri. Kristus sedang membangun gereja-Nya,
sebagian besar tak terlihat, dalam bentuk ribuan jemaat kecil. Di dalamnya terletak pengharapan:
pemerintahan Kristus yang bangkit, dan “kawanan kecil” milik-Nya.

[1] Luther, Early Theological Works, ed. James Atkinson (London: SCM, 1962), 290–92.

[2] Alister McGrath, Iustitia Dei: A History of the Christian Doctrine of Justification: From 1500

to the Present Day (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 7–8.

[3] Brian G. Hedges, Christ Formed in You: The Power of the Gospel for Personal
Change (Wapwallopen, PA: Shepherd, 2010), 223.

[4] D. Martin Luthers Werke: Kritische Gesamtausgabe (Weimar: Böhlau, 1833–), 9:65, dikutip

dalam Timothy George, Theology of the Reformers (Nashville: Broadman; Leicester: Apollos,
1988), 57.

[5] Ibid., 58.

[6] Following Alister McGrath, Luther’s Theology of the Cross (Oxford: Blackwell, 1985), 148–52,
who in turn follows W. von Loewenich, Luthers Theologia Crucis (Munich: Luther-Verlag, 1954).

[7] Calvin, Commentary, on Gal. 6:14.

[8] Emil Brunner, The Mediator (London: Lutterworth, 1934), 435.

Michael Reeves adalah presiden dan dosen teologi di Union School of Theology. Ia mengajarkan

11 dari 12 06/04/2023, 18:16


Teologi Salib | Seruan Hati https://seruanhati.id/artikel/teologi-salib/

teologi sistematika dan teologi historis serta homiletika (bagaimana berkhotbah) dan
pembentukan rohani. Ia adalah hamba Tuhan di gereja lokal, direktur European Theologians
Network (Jaringan Teolog di Eropa), dan ia berbicara dan mengajar dengan rutin di tempat yang
berbeda di dunia. Ia menikah dengan Bethan, dan mereka punya dua anak perempuan, Lucy dan
Mia.

12 dari 12 06/04/2023, 18:16

Anda mungkin juga menyukai