Anda di halaman 1dari 3

Artikel 2.

3
BATAS DEMOKRASI DALAM DEMOKRASI PANCASILA

Oleh
SYAFIQ HASYIM
https://www.kompas.id/baca/opini/2017/07/18/batas-demokrasi-dalam-demokrasi-
pancasila

Presiden Joko Widodo secara resmi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti


Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Begitu perppu ini ditandatangani pada 10 Juli 2017, komentar publik langsung terpecah
menjadi dua. Kelompok pertama adalah mereka yang mendukung penerbitan perppu, dan
kelompok kedua adalah mereka yang menolaknya. Salah satu argumen yang dibangun oleh
pihak kontra adalah perppu ini secara substantif akan menghalangi proses demokrasi di
negara kita karena salah satu hak dasar manusia, yakni hak berserikat dan berpendapat,
terhalangi untuk dilaksanakan. Namun, bagi mereka yang mendukung, penerbitan perppu
dianggap sebagai jalan demokrasi karena demokrasi intinya adalah ketaatan pada aturan
hukum (rule of law) negara.

Dalam bahasa Muhammadiyah, Indonesia adalah dar al-ahdi wa al-syahadah (negara


perjanjian dan kesaksian). Karena itu, jika ada kelompok masyarakat yang perjuangannya
tidak hanya melawan hukum, tetapi juga melawan ideologi dan konstitusi negara, organisasi
tersebut bisa dinyatakan terlarang oleh pemerintah karena melanggar perjanjian dan
kesaksian. Pertanyaannya adalah ”mungkinkah sebuah rezim demokratis seperti Indonesia
membubarkan atau melarang beroperasinya kelompok yang antidemokrasi?”

Tipe demokrasi

Pertanyaan tersebut mengingatkan pada perdebatan di kalangan filosof dan ilmuwan sosial
yang belum tuntas, bahkan tak akan tuntas sampai kapan pun, tentang konsep political
tolerance (toleransi politik). Sebelum menuju jawaban atas pertanyaan itu, mari kita tilik
varian demokrasi terlebih dulu. Jorgen Moller dan Svend-Erik Skaaning dalam
bukunya , Requisites of Democracy: Conceptualization, Measurement, and
Explanation (2011), membagi demokrasi dalam empat tipe.

Pertama, demokrasi minimalis, di mana sistem kompetisi untuk kepemimpinan politik melalui
pemilu yang reguler sudah dilaksanakan. Dalam sistem minimalis ini, yang terpenting adalah
penyelenggaraan pemilu lebih pada aspek proseduralnya.

Kedua, demokrasi elektoral, di mana kompetisi untuk kepemimpinan politik melalui pemilu
yang terbuka, jujur, dan adil. Pada tahap ini, keterbukaan, kejujuran, dan keadilan sebagai
kualifikasi yang membedakan tipe kedua dengan tipe pertama.

Ketiga, demokrasi poliarkhi (polyarchy), yakni demokrasi yang melaksanakan pemilu yang
rutin, terbuka, jujur, serta menaruh hormat atas sebagian kebebasan sipil, seperti hak
berbicara dan berkumpul.

Keempat, demokrasi liberal, yakni demokrasi yang memiliki karakter dalam demokrasi
poliarkhi, tetapi ditambahkan dengan penghargaan terhadap aturan hukum. Dalam tipe
ketiga dan keempat, rezim demokrasi biasa menoleransi beroperasinya kelompok yang
memiliki agenda yang mengancam dan bahkan akan merusak sistem demokrasi itu sendiri.
Selama masih sebatas ide, negara tak boleh melarang.

1
Di negara kita, sistem yang sudah disepakati adalah pelaksanaan demokrasi berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 (demokrasi Pancasila). Di dalam demokrasi Pancasila disepakati
adanya batasan-batasan yang ditentukan oleh sila-sila Pancasila dan pasal-pasal di dalam
UUD untuk berdemokrasi. Kebebasan berkeyakinan, berbicara, dan berkumpul diakomodasi
dan dijamin dalam demokrasi Pancasila, tetapi tidak seluas yang diakomodasi dan dijamin
oleh negara yang menganut sistem demokrasi poliarkhi dan liberal.

Demokrasi Pancasila tak bisa menoleransi hal-hal yang merusak Pancasila dan UUD,
seperti penistaan agama dan kebebasan kaum Islamis yang ingin mewacanakan negara
yang tak berdasarkan Pancasila. Di dalam demokrasi liberal, hal-hal itu bisa ditoleransi.
Dalam kenyataan yang kita hadapi, banyak dari kita yang berpikir secara paradoks dalam
memaknai demokrasi Pancasila. Pada satu sisi, kita menghendaki pelarangan kelompok
non-mainstream, seperti Ahmadiyah dan Syiah, meskipun mereka tidak mengancam negara
Pancasila, tetapi pada sisi lain kita menuntut satu paham radikal politik Islam yang jelas-
jelas ingin mengganti Pancasila agar ditoleransi keberadaannya.

Toleransi politik

Di dalam sistem rezim demokrasi liberal, organisasi seperti Hizbut Tahrir boleh hidup
meskipun setiap hari organisasi ini menyerang sistem negara di mana mereka dibolehkan
hidup sebagai perwujudan dari doktrin toleransi politik. Di dalam teori ini, segala bentuk
kebebasan diperbolehkan untuk hadir dan diperjuangkan oleh pengikutnya, seperti
komunisme, LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transjender), kesukuan, organisasi
keagamaan, dan rasisme, kecuali hal yang menyangkut kekerasan (violence).

Prinsip dasarnya adalah demokrasi liberal sebagai pasar untuk menjajakan ide yang berakar
pada pemikiran filosof John Stuart Mills dalam esainya bertajuk ”On Liberty”. Dalam
pemikirannya, kebebasan berbicara itu bukan hal bagus dalam demokrasi, melainkan ini
cara mencari kebenaran (discovery of truth), sehingga harus dilindungi.

Di Amerika Serikat, pada masanya, kebencian terhadap komunisme sangat tinggi di


kalangan orang AS, tetapi ideologi komunisme tetap boleh hidup. John Sullivan dan teman-
teman mengatakan, ”Tolerance is putting up with that with which one disagrees.” Seorang
yang memiliki toleransi yang tinggi membolehkan lawan atau pihak yang menentangnya
untuk turut berkompetisi dalam arena politik. Negara yang toleran adalah negara yang
mengizinkan semua pihak untuk menjual aspirasinya, meskipun merusak, kepada warga
negara.

Batas demokrasi

Kembali menjawab pertanyaan soal rezim demokrasi liberal, manakah di dunia yang
melarang kelompok radikal? Pemerintah Jerman melarang Hizbut Tahrir sejak 2003 karena
berlawanan dengan UU Anti-semitisme dan mempropagandakan kekerasan. Rusia pada
tahun yang sama juga melarang Hizbut Tahrir. Tidak hanya Pemerintah Jerman dan Rusia,
Belanda juga melarang organisasi ini beroperasi.

Denmark juga merencanakan pengusulan pelarangan Hizbut Tahrir sejak 2005. Tahun
2005, Perdana Menteri Inggris Tony Blair ingin membubarkan Hizbut Tahrir, tetapi tidak jadi
karena para politisi di negara tersebut menolak. David Cameron pada tahun 2010 juga
mengusulkan pembubaran Hizbut Tahrir meskipun sampai saat ini belum terwujud. Dari
contoh ini, meskipun beberapa negara yang diklaim sebagai penerap demokrasi liberal
berbeda sikap soal eksistensi, mereka sama-sama menganggap Hizbut Tahrir dan
sejenisnya bisa menjadi ancaman bagi demokrasi di negara masing-masing.

2
Jika kita ingin melihat ormas seperti Hizbut Tahrir hidup dan berkembang, tidak ada pilihan
lain bagi kita kecuali demokrasi liberal sebagai jalannya. Demokrasi liberal sampai saat ini
merupakan satu-satunya tipe demokrasi yang tidak boleh pilih-pilih. Segala ide, baik yang
bersumber dari agama maupun nilai-nilai sekuler dan bahkan mungkin anti-agama seperti
kaum komunis dan ateis yang dianggap menantang dan mengancam negara, tidak boleh
dilarang sebagaimana di AS, Inggris, Australia, dan lainnya.

Mampukah kita memilih itu sebagai jalan kita? Ketika kita sudah sepakat bahwa demokrasi
Pancasila sebagai bentuk demokrasi kita, kita sesungguhnya sudah membuat batas. Karena
itu, jika kita tak setuju adanya perppu ormas ini, batas tersebut harus dilampaui melalui
proses amendemen. Masalahnya adalah maukah kita melewati batas itu?

Tentang Penulis
Syafiq Hasyim
Mengajar pada FISIP UIN Jakarta dan mendapatkan gelar Dr Phil dari Freie Universitaet
Berlin, Jerman

Anda mungkin juga menyukai