NIM : 02011282328167
No. DPNA : 75
Pendahuluan
Perkembangan dan pertumbuhan gerakan ekstremis pasca Orde Baru tidak lepas dari
perubahan rezim yang semakin terbuka. Laskar Jundulloh, FPI, MMI, HTI dan lainnya
merupakan konsekuensi dari semakin terbukanya lingkungan politik dan demokrasi pasca
jatuhnya Orde Baru. Tanpa kehadiran Gerakan Reformasi, hampir dapat dipastikan
kelompok-kelompok ekstremis ini tidak akan berani muncul akibat represi politik yang
dilakukan rezim berkuasa. Keterbukaan politik yang diusung oleh Presiden Habibie, penerus
Presiden Soeharto, terbukti membangkitkan semangat baru di kalangan kelompok
masyarakat untuk mengekspresikan berbagai aspirasi dan kepentingan politiknya secara
terpadu dan leluasa. Pada masa ini, kelompok budaya dan politik yang tidak berafiliasi
dengan sekte agama tertentu pun ikut meramaikan ruang publik. Faktanya, keterbukaan
politik membuka peluang tidak hanya bagi sekte atau ideologi agama tetapi juga bagi
gerakan-gerakan yang menentangnya. Misalnya di Solo, muncul kelompok masyarakat
bernama PANGUNCI, kependekan dari Paguyuban Ngjuk Ciu (Perkumpulan Peminum Arak
Lokal). Kelompok ini jelas tidak mewakili aliran agama manapun. Padahal, kemunculan
kelompok tersebut bisa dimaknai sebagai antitesis dari gerakan keagamaan yang sedang
marak di kota budaya ini. Sebagaimana diketahui, kota ini menjadi tempat lahirnya banyak
gerakan keagamaan ekstremis seperti JI, Pondok Ngruki yang dipimpin Abu Bakar Ba'asyir,
Jamaah Ansorut Tauhid (JAT) yang dipimpin Abu Bakar Ba'asyir, Majlis Tafsir Al-Quran.
(MTA) didirikan oleh Abdullah Tufail dan FPIS (Forum Pemuda Islam Surakarta).
Selain peran politik yang semakin terbuka, ada pula yang mengaitkan kemunculan
gerakan radikalisme Islam dengan kondisi negara yang melemah. Serangkaian peristiwa
kekerasan dan konflik bernuansa agama muncul pada saat rezim Orde Baru tumbang.
Peristiwa bom di Jakarta (2000) dan Bali I (2002) juga muncul di awal-awal era Reformasi.
Hal ini menunjukkan, proses delegitimasi kekuasaan negara seringkali memberikan ruang
bagi kemunculan gerakan-gerakan tandingan di luar lembaga kenegaraan yang dimotori oleh
aktor-aktor non-negara. Tulisan ini akan menganalisis kemunculan gerakan radikalisme Islam
dalam konteks politik demokrasi dan upaya penanggulangannya. Persoalan yang akan
dibahas adalah sejauh mana demokrasi menjamin kebebasan berpendapat dan kebebasan
berserikat atau berorganisasi; Bagaimana sikap kelompok progresif terhadap demokrasi;
Bagaimana kebijakan negara terhadap kelompok ekstremis; Bagaimana solusi menghadapi
gerakan Islam radikal di Indonesia dalam kerangka demokrasi?
Jaminan Demokrasi
Untuk melihat sejauh mana demokrasi memberikan jaminan kepada warga negara
dalam berpendapat, berserikat dan berkumpul, ada baiknya dirujuk pada dua ukuran-ukuran
normatif-konstitusional yang berupa peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia; dan
ukuran empiris-sosiologis berupa pengukuran sejumlah institusi pengukur yang melakukan
survey periodik tentang indeks demokrasi, indeks kebebasan dan semacamnya.Secara
normatif, Indonesia mengadopsi tatanan kenegaraan yang mengakomodasi berlakunya
prinsip-prinsip demokrasi seperti kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan
berpendapat, kebebasan beragama, kebebasan memilih secara politik, dan seterusnya.
Kemerdekaan-kemerdekaan semacam ini sudah diamanatkan oleh konstitusi Indonesia seperti
UUD 1945 yang diperkuat oleh UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di muka umum. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 mengafirmasi kebebasan
berpendapat: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat.” Sementara itu, Pasal 2 ayat (1) UU No. 9 Tahun 1998 menyatakan bahwa “Setiap
warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai
perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.” Kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul juga
merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang diafirmasi oleh Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (DUHAM) pasal 19 yang menegaskan bahwa: “Setiap orang berhak atas
kebebasan berpendapat dan berekspresi, dalam hal ini mencakup kebebasan untuk berpegang
teguh pada pendapat tertentu tanpa mendapatkan gangguan, dan untuk mencari, menerima
dan menyampaikan informasi dan ide/gagasan melalui media apa saja tanpa ada batasan.”
Meskipun ada jaminan untuk bebas berpendapat dan berekspresi, pelaksanaan hak tersebut
bukanlah tidak terbatas. Pada pasal 29 ayat 2 pada deklarasi yang sama ditegaskan bahwa:
“dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya
pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud
sematamata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan-
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi persyaratan aspek moralitas, ketertiban dan
kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Dalam konteks Indonesia,
penerapan hak berpendapat, berserikat dan berkumpul tidak selalu berjalan mulus. Sebagai
negara Timur, bentuk dan makna kebebasan yang dipahami masyarakat Indonesia tentu tidak
sepenuhnya sama dengan pemahaman masyarakat Barat yang individualistis dan liberal.
Tentu saja kebebasan dalam konteks Timur memerlukan keseimbangan yang mampu
mengendalikan pendulum kebebasan agar tidak berayun tanpa batas. Hak dan kebebasan
tersebut dibatasi oleh kerangka nilai-nilai funda mental berdasarkan alasan sosiologis
kolektivis yang selalu mengunggulkan ungkapan “tepo seliro” (bahasa Jawa, toleransi)
dengan mempertimbangkan lingkungan sekitar sebagai komponen penting dalam ekspresi
kebebasan dalam berekspresi. pertanyaan. Dalam konteks ini, masyarakat Indonesia akrab
dengan ungkapan “kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain”, “tidak ada
kebebasan tanpa batas”.
Di samping ukuran-ukuran normatif di atas, kebebasan juga dapat dilihat dari ukuran-
ukuran empiris. Hal demikian dapat dilakukan melalui lembaga-lembaga pengukuran baik di
tingkat nasional maupun internasional yang secara periodik mengukur tingkat kebebasan di
negeri ini. Salah satu alat pengukuran untuk mengevaluasi kinerja demokrasi sebuah negara
adalah dengan melihat indeks demokrasi (democracy index). Salah satu pengukuran indeks
demokrasi dilakukan oleh the Economist Intelligence Unit yang mengevaluasi kondisi
demokrasi di 167 negara. Indeks tersebut berdasarkan pada 60 indikator yang dikelompokkan
ke dalam lima kategori. Di antara aspek-aspek demokrasi yang diukur adalah pluralisme,
kebebasan sipil (civil liberties), dan budaya politik. Pengukuran tersebut mengklasifikasikan
negara-negara yang diukur ke dalam empat kelompok utama:
full democracies [bernilai 8,0-10]; flawed democracies [bernilai 6,0-7,9]; hybrid regimes
[bernilai 4,0-5,9], dan authoritarian regimes [bernilai 0-3,9]. Indeksasi demokrasi tersebut
pertama kali dilakukan pada 2006 yang kemudian di-update pada 2008, 2010 dan tahun-tahun
setelahnya. Dari seluruh negara yang diukur tingkat demokrasinya, negara yang masuk dalam
kategori full-democracies berjumlah 24 yang mayoritas dihuni oleh negara-negara Barat
(Eropa, Australia dan Amerika Utara). Indonesia berada pada posisi 49 sebagai negara
flaweddemocracies yang diapit oleh Trinidad & Tobago (ranking 48) dan Kroasia (ranking
50). Terdapat 52 negara dalam kategori ini, mayoritas berada di Asia, Afrika, dan Amerika
Latin. Negara tetangga yang termasuk dalam kategori ini antara lain Timor-Leste (peringkat
ke-46), Malaysia (ke-65), Singapura (ke-75), dan Filipina (ke-53). Sementara itu, banyak
negara di Timur Tengah yang menempati posisi ketiga (rezim hybrid) dan keempat
(kediktatoran), dengan jumlah total 91. Misalnya Arab Saudi di peringkat 161, Suriah (163), l
Iran (158), Libya (119). Yaman (149), dll. Dua kategori terakhir mewakili tingkat kinerja
demokrasi yang paling buruk. Parameter lain yang biasanya digunakan untuk mengukur
tingkat demokrasi di sebuah negara adalah Rumah Kebebasan (Freedom House) yang
bermarkas di Washington DC. Rumah Kebebasan mengklasifikasikan negara-negara yang ada
di dalamnya ke dalam tiga kategori: fully free, partly free, dan not free. Berdasarkan survey
yang dilakukan oleh Rumah Kebebasan pada 2015, Indonesia diklasifikasikan sebagai partly
free. Posisi ini dihuni oleh Indonesia dalam kurun dua tahun terakhir. Posisi ini patut
disayangkan karena selama empat tahun berturut-turut (2010-2013) Indonesia sudah masuk
dalam jajaran negara yang fully free. Sementara itu, negara tetangga Malaysia selalu
menempati kategori partly free, bersama Filipina, Singapura, dan Thailand. Secara nasional,
terdapat alat pengukuran lain atas demokrasi yang dilakukan oleh Program Pembangunan
PBB (UNDP) yang mengukur demokrasi setiap tahun. Aspek-aspek yang diukur oleh UNDP
mencakup tiga hal: civil liberties, political rights, dan democratic institutions. Jika aspek
pertama meliputi hak-hak sipil warga seperti kebebasan beragama, aspek kedua mencakup
hak warga untuk memilih dan dipilih dalam sistem pemilihan umum, dan aspek ketiga
mencakup lembaga-lembaga yang secara langsung menopang dan menumbuhkan semangat
demokrasi seperti parpol. Dilihat dari parameter UNDP, penerapan demokrasi di negeri ini
semakin menunjukkan trend penurunan indeks dari tahun 2009 sampai 2012. Pada 2009,
indeks demokrasi Indonesia mencapai 67,30, kemudian mengalami penurunan menjadi 63,17
(2010), 65,48 (2011), dan 62,63 (2012).
Demikianlah, dua parameter demokrasi yang dapat dijadikan sebagai patokan dalam
melihat kecenderungan naik-turunnya demokrasi di Indonesia. Dari segi apapun, Indonesia
sebenarnya cukup suportif terhadap tumbuh dan berkembangnya demokrasi. Sebab,
meminjam Robert Hefner, Indonesia tidak memiliki “kejanggalan peradaban” (civilizational
malady) yang dapat menghambat pertumbuhan demokrasi. Tidak seperti banyak diasumsikan
oleh kelompok incompatibility thesis, faktor agama—terutama Islam—tidak terbukti menjadi
penghambat bagi kehidupan demokrasi. Bahkan, sebaliknya, faktor agama memberikan andil
cukup signifikan dalam penerapan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Melalui ormas-ormas Islam moderat, terutama NU dan Muhammadiyah, nilai-nilai agama
seperti toleransi, keterbukaan, penghormatan terhadap nilainilai kemanusiaan, keadilan dan
kesederajatan dapat terjaga dengan baik dan dapat menumbuhkan semangat berdemokrasi di
republik ini.
Masalahnya adalah kelompok progresif yang mendapat manfaat dari sistem politik
demokratis mempunyai keinginan yang salah terhadap demokrasi. Kebanyakan kelompok
ekstremis mengusung ideologi Islam yang mengadvokasi seluruh anggota masyarakat untuk
menggantikan sistem demokrasi yang konon berasal dari Barat. Bagi mereka, sistem
demokrasi jelas tidak mewakili Islam karena agama tersebut tidak pernah mengenal istilah
demokrasi. Demokrasi dianggap sebagai hasil penciptaan akal manusia yang dianggap lebih
istimewa dari agama. Inilah yang digambarkan oleh kaum progresif sebagai “pemberontakan
melawan kedaulatan Tuhan.” Meskipun mereka mendapatkan keuntungan dari lingkungan
demokrasi di Indonesia, namun agenda gerakan mereka adalah menggulingkan demokrasi itu
sendiri, dengan kekerasan atau cara damai, yang dilakukan secara revolusioner secara
menyeluruh. Memang benar, reaksi kelompok radikal dan penolakan mereka terhadap
demokrasi sangatlah beragam; dari yang paling ringan sampai yang paling ekstrim.
Kelompok softer tidak terang-terangan menghujat sistem demokrasi, namun cerdik
menyamarkan penolakannya melalui analisis dan kajian empiris di dunia Barat yang
mengkaji kelemahan penguasaan sistem demokrasi, seperti aneksasi wilayah umat Islam,
pembantaian umat Islam, korupsi. mulai dari kapitalisme, dari perlakuan diskriminatif
terhadap minoritas Muslim di beberapa negara Barat, hingga masalah etika seperti kebebasan
seksual tradisional, aborsi, perjudian, bir beralkohol, dan lain-lain. Bahkan ketika mereka
mengkritik demokrasi, mereka tidak segan-segan menggunakan argumen demokrasi untuk
mempertahankan eksistensinya. Hal ini dilakukan bukan karena mereka mendukung atau
mendukung demokrasi, namun semata-mata sebagai taktik untuk melindungi eksistensi
mereka dari serangan “musuh” mereka. Sementara itu, di kalangan kelompok ekstremis
radikal, penolakan terhadap demokrasi harus dibayar mahal dan seringkali diungkapkan
melalui cara-cara kekerasan. Berbeda dengan kelompok progresif “lunak”, yang cenderung
menggunakan argumen rasional untuk menolak demokrasi, mereka hampir selalu
menggunakan argumen teologis standar untuk melakukan hal yang sama. Menurut kelompok
ekstremis radikal, istilah demokrasi tidak ditemukan dalam teks suci Al-Quran dan hadis atau
dalam tradisi keilmuan Islam lainnya. Demokrasi adalah suatu bentuk ajaran sesat yang
didasarkan pada gagasan masyarakat untuk mengikuti setiap keinginannya. Di Indonesia,
penolakan kelompok progresif terhadap sistem demokrasi terlihat dari keengganan mereka
untuk berjuang melalui sistem partai politik. Bagi mereka, berpartisipasi dalam sistem partai
politik berarti mereka melegitimasi sistem demokrasi yang mereka tolak. Akibatnya, agenda
amar makruf nahi munkar yang mereka laksanakan tidak dapat diungkapkan melalui jalur
politik resmi melainkan melalui media sosial seperti selebaran, reformasi surat kabar,
internet, dan penelitian terbatas mengenai hal tersebut. Sejauh ini, kelompok ekstremis belum
mendukung peraturan syariah di wilayah tersebut dan semakin meningkat di beberapa daerah
seperti Aceh dan Sulawesi Selatan. Mereka hanyalah kelompok penekan yang beroperasi
sepenuhnya di luar lingkaran sistem politik formal. Misalnya, munculnya peraturan anti-
alkohol diusung oleh partai politik pesaing melalui jalur resmi dan tidak semuanya berasal
dari partai politik Islam atau massa Islam.
Dalam melakukan aksi terhadap amar makruf nahi munkar, kelompok ekstremis
radikal bahkan tak segan-segan melakukan tindakan kekerasan seperti perusakan tempat
hiburan, penutupan paksa, dan perusakan fasilitas, pembakaran. Kelompok ekstremis yang
kerap menggunakan cara kekerasan antara lain FPI pimpinan Habib Rizieq Syihab.
Organisasi kerakyatan ini kerap terlibat bentrokan dengan kelompok lain yang dianggap
menghambat penerapan hukum Islam. Misalnya, dalam kasus RUU Pencabulan dan
Pornografi, kelompok ini sempat terlibat bentrok dengan pengunjuk rasa RUU tersebut di
Jakarta beberapa tahun lalu. Di Solo, kelompok ekstremis yang melakukan kejahatan
kekerasan didominasi oleh kelompok lokal seperti FPIS.
Bagaimana negara ini menghadapi kelompok ekstremis, baik yang lunak maupun
radikal, baik yang bersifat underground maupun terang-terangan? Berkembangnya wacana
ideologi radikal dalam kerangka kebebasan berekspresi jelas tidak bisa dihapuskan oleh para
pejabat negara. Tindakan keras Malaysia terhadap kelompok ekstremis jelas akan
mempengaruhi Indeks Kebebasan dan Demokrasi, yang diperbarui setiap tahunnya. Harus
diakui bahwa masa inovasi merupakan masa yang paling menguntungkan bagi kelompok
ekstremis untuk memobilisasi dan menjalankan aktivitas ideologisnya. Hal ini tidak mungkin
terjadi pada masa Orde Baru, ketika negara bertindak untuk menindas kelompok ekstremis,
baik agama maupun politik. Akibatnya, ormas radikal terang-terangan menganjurkan sikap
anti Pancasila dan menyatakan ingin menggantinya dengan sistem Islam seperti khilafah dan
hukum syariah. Pancasila, demokrasi dan lain-lain dianggap Taghut, ciptaan manusia yang
sudah menjadi aliran sesat.
Komplikasi lain yang muncul karena penerapan demokrasi adalah terkait dengan
politik elektoral. Penerapan demokrasi di Indonesia telah membawa konsekuensi politik
yang belum pernah terjadi sebelumnya. Salah satu konsekuensinya adalah keterikatan antara
lembaga pemilu atau lembaga pemilu dengan negara, yang dimediasi oleh aktor-aktor negara
seperti pemerintah dan anggota parlemen. Dalam konteks itu, kebijakan negara seringkali
mengikuti keinginan mayoritas masyarakat. Pengawasan yang berlebihan terhadap kelompok
ekstremis dapat menyebabkan tergerusnya perolehan suara di tingkat akar rumput pemilu.
Akibatnya, aktor-aktor negara seringkali tidak mampu bertindak netral atas nama negara.
Situasi seperti ini banyak ditemui aparat negara dalam kasus kekerasan agama yang
melibatkan kelompok ekstremis di beberapa wilayah di Indonesia. Mereka tidak berdaya
menghadapi tekanan politik yang memaksa mereka memihak kelompok tertentu yang
mempunyai daya tawar politik di tingkat lokal.
Bahkan dalam banyak kasus, aparat negara juga terlibat, baik secara terbuka maupun
sembunyi-sembunyi. Kenyataan ini mencerminkan adanya favoritisme negara dalam
kebijakan negara terhadap kelompok ekstremis. Misalnya, ketika konflik agama meletus di
Ambon dan Poso, keterlibatan aparat negara, termasuk aparat keamanan, dalam siklus konflik
bukanlah hal yang aneh. Aparat keamanan kelompok agama yang terlibat konflik
mendukung kelompoknya masing-masing dengan mempersenjatai kelompok sipil untuk
melakukan perlawanan. Pejuang dari masing-masing pihak diizinkan masuk ke gudang
senjata di markas polisi di zona konflik. Akibatnya, kombatan dapat dengan bebas
mengakses senjata dan menggunakannya dalam konflik. Hal ini dibuktikan dengan masifnya
peredaran senjata api saat terjadi konflik di dua wilayah tersebut.
Larangan negara terhadap aktivitas ekstremis baru muncul setelah fenomena NIIS.
Seperti diketahui, NIIS dinyatakan dilarang di Indonesia berdasarkan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (Perppu). Dalam kasus pelarangan ISIS, negara tidak
mengandalkan undang-undang anti-terorisme. Undang-undang ini tidak bisa digunakan untuk
melarang ujaran atau ideologi ekstremis yang belakangan ini berkembang bebas di ranah
publik. Undang-undang ini hanya dapat mencakup akibat dari tindakan yang dilakukan oleh
teroris. Aparat keamanan hanya dapat menangkap pelaku ekstremisme jika terdapat bukti
nyata keterlibatan mereka dalam suatu tindakan kekerasan. Oleh karena itu, seluruh ketentuan
hukum tersebut di atas tidak dapat melarang keberadaan tokoh radikal atau ormas yang
mengusung ideologi atau wacana khilafah, jihad, dan lain-lain. Bahkan banyak di antara
mereka yang terang-terangan menyatakan ingin mengganti demokrasi dan Pancasila dengan
ideologi radikal seperti Syariah atau Khilafah dan sebagainya.
Selain pendekatan keamanan melalui Densus 88, juga terdapat program deradikalisasi
melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Namun keberadaan organisasi
ini juga banyak menuai kritik. Salah satu kritik yang dilontarkan terhadap keberadaan BNPT
adalah ketidakjelasan ruang lingkup kerja dan format programnya, serta tidak menyasar
kelompok ekstremis sebagai sasaran utama. Penerapan kurikulum sebagian besar bersifat
fragmentaris, tidak terarah, dan terjadi di sejumlah wilayah yang tidak terpapar ideologi
ekstremis seperti di pesantren tradisional. Kritik sejumlah kalangan terhadap organisasi ini
patut dijadikan bahan refleksi guna meningkatkan kualitas kebijakan deradikalisasi yang
diterapkan BNPT. Jika tidak, keberadaan lembaga ini tidak akan menyelesaikan
permasalahan, malah justru menambah daftar permasalahan. Pembentukan lembaga-lembaga
tersebut hanya dianggap membuang-buang anggaran negara, tanpa program atau agenda yang
jelas. Sebaliknya, organisasi-organisasi ini dipandang memecah belah dan melemahkan umat
Islam dari dalam.
Saat ini, yang dibutuhkan Indonesia untuk mengalahkan gerakan ekstremis adalah
undang-undang dan peraturan khusus untuk melindungi dan menjaga eksistensi Pancasila dan
UUD 1945. Bentuknya tidak harus sama persis dengan Undang-Undang Anti Subversi atau
ISA di Malaysia. Pasalnya, kedua undang-undang tersebut terbukti memiliki kekurangan,
salah satunya adalah memperbolehkan otoritas negara untuk memenjarakan seseorang tanpa
melalui proses hukum terlebih dahulu. Namun undang-undang tersebut lebih menekankan
pada penindakan terhadap setiap orang yang dianggap memenuhi unsur pidana dengan
merencanakan atau melakukan penggulingan Pancasila dan UUD 1945, baik sendiri maupun
bersama-sama. Dengan undang-undang ini, kelompok ekstremis akan berupaya sekuat tenaga
untuk menggerakkan atau menyebarkan ideologi ekstremisnya guna menggulingkan ideologi
Pancasila dan UUD 1945.
Indonesia sebagai negara demokrasi tidak bisa pemihakan secara langsung. Konsep
demokrasi dalam konteks Indonesia harus dipahami secara holistik dengan Pancasila dan
UUD 1945. Secara anatomi, demokrasi, Pancasila dan UUD 1945 merupakan flesh-and-
blood kehidupan berbangsa dan bernegara, saling menyatukan dan melengkapi. Dengan
demikian, rumusan demokrasi afirmatif yang dibahas di sini bukanlah berpihak pada
demokrasi itu sendiri, melainkan berpihak pada demokrasi dengan mendukung Pancasila dan
UUD 1945 sebagai landasan ideologi dan konstitusi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sistem demokrasi akan terbentuk dengan sendirinya ketika keberadaan Pancasila dan UUD
1945 dikukuhkan. Hal ini dapat dipahami karena dari kedua sumber bernegara itulah terdapat
turunan peraturan per-undangan yang dapat menciptakan dan menopang iklim demokrasi di
negeri ini. Berbagai peraturan perundangan tentang politik dan tata-negara yang dimiliki di
republik ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kedua peraturan perundangan tertinggi di
atas.
Perangkat legislatif lain yang bertujuan untuk menjebak pelaku teroris adalah UU No.
Resolusi Nomor 9 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan kejahatan pendanaan
terorisme. Undang-undang ini muncul untuk mengantisipasi kegiatan penggalangan dana
yang dilakukan oleh kelompok ekstremis yang sebelumnya tidak diatur dalam undang-
undang no. 15 Tahun 2003. Sebagaimana lazimnya, lahirnya suatu undang-undang
merupakan reaksi terhadap fenomena-fenomena terkini yang tidak diperhitungkan dalam
peraturan perundang-undangan sebelumnya. Begitu pula dengan UU No. 9 Tahun 2013,
diketahui adanya aliran modal baik dari dalam negeri maupun dari dan ke Indonesia yang
dikumpulkan oleh kelompok ekstremis untuk mendanai kegiatan teroris dan berbagai
ekstremisme. Sebagai peraturan yang khusus dibuat untuk mengantisipasi pendanaan
terorisme, undang-undang tersebut sekali lagi tidak mengatur larangan penyebaran ideologi
ekstremisme-terorisme yang akhir-akhir ini semakin populer di masyarakat luas. Jika hal ini
tidak diatur dalam undang-undang, pelarangan ideologi ekstremis – terorisme tidak akan
efektif. Dalam konteks ini, Perppu tentang pelarangan NIIS tidak akan mampu mencegah
penyebaran ideologi radikal terorisme di Indonesia.
Realitas di atas terjadi ketika aparat keamanan tak mampu menangkap Abu Bakar
Ba'asyir yang dituding sebagai dalang sejumlah aksi dan pengeboman di sejumlah wilayah
tempatnya berada beberapa waktu lalu. Meski pihak berwenang mengetahui bahwa ia berada
di balik sebagian besar insiden ekstremisme dan terorisme di negara tersebut, namun aparat
keamanan tidak bisa berbuat apa-apa karena celah hukum yang dimaksud. Alasan
penangkapannya, kata polisi, terkait pemalsuan dokumen imigrasi dan bukan karena ideologi
ekstremisnya. Hal serupa juga terjadi ketika aparat keamanan gagal menangkap orang-orang
yang bersimpati dan pendukung gerakan NIIS. Perangkat tersebut hanya dapat bergerak jika
ada bukti fisik yang membuktikan bahwa perangkat tersebut mendukung NIIS, seperti
bendera hitam bersimbol Syahadat, bahan peledak, literatur jihad, dan fasilitas pembuatan
bom, dan masih banyak lagi. Penangkapan aktivis NIIS berdasarkan Perppu yang keberadaan
hukumnya tidak sekuat undang-undang. Oleh karena itu diperlukan suatu hukum untuk
menyempurnakan hukum bilangan. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme dan UU
No. 9 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan kejahatan pendanaan terorisme.
Penutup
Dari penjelasan di atas dapat ditarik pemikiran sebagai berikut. Pertama, Indonesia
adalah negara demokrasi dan harus berpegang teguh pada prinsip negara demokrasi.
Kebijakan melawan gerakan ekstremis harus menjadi bagian dari kerangka demokrasi dan
tidak boleh mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi. Indonesia tidak boleh meniru cara
otoriter yang dilakukan negara-negara “disiplin” seperti Malaysia yang lebih memilih
mengorbankan nilai-nilai demokrasi atas nama stabilitas ekonomi dan politik. Namun
kebebasan berekspresi yang disyaratkan oleh demokrasi tidak boleh melemahkan atau
terlemahkan negara. Negara berhak menerapkan kebijakan keras (namun dalam kerangka
negara demokratis) untuk mengalahkan gerakan keagamaan ekstremis.