Anda di halaman 1dari 15

Nama : Sam Daniswara

NIM : 02011282328167

Kelas : Pengantar Ilmu Politik (A)

No. DPNA : 75

RADIKALISME AGAMA DAN POLITIK DEMOKRASI DI INDONESIA PASCA-


ORDE BARU

Abstrak : Artikel ini menganalisis kemunculan radikalisme Islam di Indonesia pasca-Orde


Baru dalam kaitannya dengan politik demokrasi dan implikasinya terhadap kebijakan negara
terhadap radikalisme. Dengan menggunakan pendekatan politik-hukum, artikel ini
berargumen bahwa kelompok ekstremis harus diperlakukan secara hati-hati dalam kerangka
prinsip demokrasi, karena demokrasi harus menjamin kebebasan berekspresi bagi semua
orang. Dalam konteks ini, keberadaan ekstremisme Islam tidak bisa dibatasi karena alasan
ideologis yang diungkapkan dalam bentuk kebijakan negara yang represif dan antagonisme
terhadap kelompok ekstremis. Politik seperti ini bisa mengayunkan pendulum ke arah yang
kontraproduktif terhadap demokrasi itu sendiri, karena kelompok radikal justru bisa
memanfaatkan dinamika ini untuk mengkonsolidasikan dan menyebarkan ideologi
radikalisme di tengah masyarakat. Pasal ini mengusulkan undang-undang baru atau adendum
baru pasal untuk mengisi kekosongan yang belum tersentuh oleh dua undang-undang
sebelumnya mengenai pasal untuk memberantas kejahatan teroris.

Abstract: Religious Radicalism and the Politics of Democracy in Post New-Order


Indonesia. This article analyzes the emergence of Islamic radicalism in post-New Order
Indonesia in relation to democratic politics and its implications for policy. democratic politics
and its implications for state policy towards radicalism. Using a political-legal approach, the
article argues that extremist groups should be treated with caution, extremist groups should
be treated with caution within the framework of democratic principles, as democracy must
guarantee freedom of expression for all people. In this context, the existence of Islamic
extremism Islamic extremism cannot be restricted for ideological reasons expressed in the
form of repressive state policies and repressive state policies and antagonism towards
extremist groups. This kind of politics can swing the pendulum in a direction that is
counterproductive to democracy itself, because radical groups can actually utilize this
dynamic to consolidate and spread radical ideology in society. radicalism in society. This
article proposes a new law or a new addendum article to fill the void left by the previous two
previous laws regarding articles to combat terrorist crimes.

Pendahuluan

Perkembangan dan pertumbuhan gerakan ekstremis pasca Orde Baru tidak lepas dari
perubahan rezim yang semakin terbuka. Laskar Jundulloh, FPI, MMI, HTI dan lainnya
merupakan konsekuensi dari semakin terbukanya lingkungan politik dan demokrasi pasca
jatuhnya Orde Baru. Tanpa kehadiran Gerakan Reformasi, hampir dapat dipastikan
kelompok-kelompok ekstremis ini tidak akan berani muncul akibat represi politik yang
dilakukan rezim berkuasa. Keterbukaan politik yang diusung oleh Presiden Habibie, penerus
Presiden Soeharto, terbukti membangkitkan semangat baru di kalangan kelompok
masyarakat untuk mengekspresikan berbagai aspirasi dan kepentingan politiknya secara
terpadu dan leluasa. Pada masa ini, kelompok budaya dan politik yang tidak berafiliasi
dengan sekte agama tertentu pun ikut meramaikan ruang publik. Faktanya, keterbukaan
politik membuka peluang tidak hanya bagi sekte atau ideologi agama tetapi juga bagi
gerakan-gerakan yang menentangnya. Misalnya di Solo, muncul kelompok masyarakat
bernama PANGUNCI, kependekan dari Paguyuban Ngjuk Ciu (Perkumpulan Peminum Arak
Lokal). Kelompok ini jelas tidak mewakili aliran agama manapun. Padahal, kemunculan
kelompok tersebut bisa dimaknai sebagai antitesis dari gerakan keagamaan yang sedang
marak di kota budaya ini. Sebagaimana diketahui, kota ini menjadi tempat lahirnya banyak
gerakan keagamaan ekstremis seperti JI, Pondok Ngruki yang dipimpin Abu Bakar Ba'asyir,
Jamaah Ansorut Tauhid (JAT) yang dipimpin Abu Bakar Ba'asyir, Majlis Tafsir Al-Quran.
(MTA) didirikan oleh Abdullah Tufail dan FPIS (Forum Pemuda Islam Surakarta).

Selain peran politik yang semakin terbuka, ada pula yang mengaitkan kemunculan
gerakan radikalisme Islam dengan kondisi negara yang melemah. Serangkaian peristiwa
kekerasan dan konflik bernuansa agama muncul pada saat rezim Orde Baru tumbang.
Peristiwa bom di Jakarta (2000) dan Bali I (2002) juga muncul di awal-awal era Reformasi.
Hal ini menunjukkan, proses delegitimasi kekuasaan negara seringkali memberikan ruang
bagi kemunculan gerakan-gerakan tandingan di luar lembaga kenegaraan yang dimotori oleh
aktor-aktor non-negara. Tulisan ini akan menganalisis kemunculan gerakan radikalisme Islam
dalam konteks politik demokrasi dan upaya penanggulangannya. Persoalan yang akan
dibahas adalah sejauh mana demokrasi menjamin kebebasan berpendapat dan kebebasan
berserikat atau berorganisasi; Bagaimana sikap kelompok progresif terhadap demokrasi;
Bagaimana kebijakan negara terhadap kelompok ekstremis; Bagaimana solusi menghadapi
gerakan Islam radikal di Indonesia dalam kerangka demokrasi?

Jaminan Demokrasi

Sebagaimana disebutkan di atas, rezim demokrasi memberikan ruang partisipatif dan


adil bagi kelompok masyarakat untuk mengartikulasikan beragam kepentingannya. Dalam
rezim demokrasi, semua warga negara berhak mengutarakan pendapatnya dan berserikat
sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Semua warga negara mempunyai kedudukan
yang sama di hadapan hukum. Tidak ada yang lebih istimewa dari yang lain. Artinya, rezim
demokrasi harus mengakomodasi perbedaan individu, sepanjang hal tersebut dibenarkan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demokrasi harus memberikan hak hidup
kepada seluruh warga negara, apapun latar belakang sosial budaya dan agamanya, termasuk
musuh kita. Ini adalah keutamaan dan keistimewaan demokrasi yang tidak dimiliki oleh
rezim politik lainnya. Dalam negara demokrasi, hak-hak tersebut dijamin oleh konstitusi.
Pelanggaran terhadap salah satu hak tersebut merupakan pelanggaran konstitusi dan
dikenakan sanksi. Dalam rezim non-demokratis, tidak semua warga negara diperlakukan
sama di hadapan hukum. Warga negara juga tidak diperbolehkan menikmati hak-hak sipil
seperti hak berpendapat, hak menyatakan pendapat, hak berserikat, hak beragama, hak atas
rasa aman dan hak-hak lainnya. Di sejumlah negara “disipliner” seperti Korea Selatan dan
Korea Utara, Singapura, dan Tiongkok, warga negara tidak diberi kebebasan sipil untuk
menyuarakan aspirasi dan kepentingannya. Yang memotivasi mengapa negara sering
bertindak represif kepada warganya adalah karena aktor-aktor negara memperlakukan sektor
ekonomi lebih istimewa daripada kebebasan sipil. Kebebasan sipil, terlebih yang bersifat
ekstrem, dianggap dapat mengganggu konsentrasi kinerja negara dalam menjalankan
program-program pembangunannya. Itulah sebabnya negara-negara “disipliner” di atas
memiliki tingkat stabilitas pembangunan dan pertumbuhan yang baik, sekalipun hal itu
dilakukan di luar kerangka rezim demokrasi.
Bagaimana dengan Malaysia? Negara tetangga ini agak berbeda dengan negara-
negara “disiplin” yang disebutkan di atas, terutama dalam masalah kehidupan beragama.
Malaysia tidak bisa disebut sebagai negara demokratis dalam arti umum seperti Indonesia.
Mengingat perbedaan penganut agama yang berbeda dalam menjalankan keyakinan dan
agamanya, bukan berarti Indonesia dan Malaysia memiliki tingkat praktik demokrasi yang
sama. Malaysia telah mengambil tindakan tegas terhadap 4.444 kelompok atau individu yang
diyakini dapat melemahkan otoritas pemerintah, termasuk kelompok ekstremis, suatu hal
yang tidak ada di Indonesia. Di negeri ini, demokrasi sebenarnya memberikan ruang seluas-
luasnya bagi setiap warga negara untuk berbuat apa pun. Demokrasi yang dijelaskan dan
dipraktikkan di negara ini ternyata jauh lebih liar dibandingkan demokrasi di Malaysia.
Melalui undang-undang keamanannya, Malaysia dapat mengambil tindakan terhadap siapa
pun yang dicurigai membahayakan kehidupan publik. Dengan undang-undang ini,
pemerintah memiliki 4.444 lembaga yang berwenang menahan siapa pun yang dianggap
berbahaya tanpa proses hukum terlebih dahulu. Undang-undang ini memaksa kelompok
ekstremis mengungsi ke negara lain, bahkan ada yang mengungsi ke Indonesia, seperti
Noorder Mohd. Top dan Azhari yang tewas di tangan Densus 88. Pada awal Reformasi,
struktur kehidupan beragama di ruang publik sebenarnya jauh lebih fleksibel dibandingkan
pada masa Orde Baru. Pada masa Soeharto, Indonesia menerapkan undang-undang anti-
subversi yang sering disalahgunakan untuk tujuan represif melalui Keputusan Presiden No.
11 Tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversif. Oleh karena itu, undang-undang
ini secara umum dianggap menghambat independensi dan kebebasan masyarakat. . Dengan
runtuhnya Orde Baru dan pergantian rezim ke arah Reformasi, undang-undang ini menjadi
salah satu cita-cita penghapusan. Presiden BJ. Habibie, sebagai penerus Presiden Soeharto,
mengambil inisiatif pencabutan UU tersebut. Pencabutan UU tersebut terbukti menjadi pintu
masuk bagi kelompok aliran dan keagamaan untuk kembali aktif setelah sekian lama tiarap.
Pada saat itulah berbagai ormas radikal bermunculan. Mereka memanfaatkan kebebasan yang
diberikan oleh Presiden Habibie sebagai kendaraan untuk memasarkan gagasan-gagasan
keagamaannya yang radikal.

Untuk melihat sejauh mana demokrasi memberikan jaminan kepada warga negara
dalam berpendapat, berserikat dan berkumpul, ada baiknya dirujuk pada dua ukuran-ukuran
normatif-konstitusional yang berupa peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia; dan
ukuran empiris-sosiologis berupa pengukuran sejumlah institusi pengukur yang melakukan
survey periodik tentang indeks demokrasi, indeks kebebasan dan semacamnya.Secara
normatif, Indonesia mengadopsi tatanan kenegaraan yang mengakomodasi berlakunya
prinsip-prinsip demokrasi seperti kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan
berpendapat, kebebasan beragama, kebebasan memilih secara politik, dan seterusnya.
Kemerdekaan-kemerdekaan semacam ini sudah diamanatkan oleh konstitusi Indonesia seperti
UUD 1945 yang diperkuat oleh UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di muka umum. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 mengafirmasi kebebasan
berpendapat: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat.” Sementara itu, Pasal 2 ayat (1) UU No. 9 Tahun 1998 menyatakan bahwa “Setiap
warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai
perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.” Kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul juga
merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang diafirmasi oleh Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (DUHAM) pasal 19 yang menegaskan bahwa: “Setiap orang berhak atas
kebebasan berpendapat dan berekspresi, dalam hal ini mencakup kebebasan untuk berpegang
teguh pada pendapat tertentu tanpa mendapatkan gangguan, dan untuk mencari, menerima
dan menyampaikan informasi dan ide/gagasan melalui media apa saja tanpa ada batasan.”
Meskipun ada jaminan untuk bebas berpendapat dan berekspresi, pelaksanaan hak tersebut
bukanlah tidak terbatas. Pada pasal 29 ayat 2 pada deklarasi yang sama ditegaskan bahwa:
“dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya
pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud
sematamata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan-
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi persyaratan aspek moralitas, ketertiban dan
kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Dalam konteks Indonesia,
penerapan hak berpendapat, berserikat dan berkumpul tidak selalu berjalan mulus. Sebagai
negara Timur, bentuk dan makna kebebasan yang dipahami masyarakat Indonesia tentu tidak
sepenuhnya sama dengan pemahaman masyarakat Barat yang individualistis dan liberal.
Tentu saja kebebasan dalam konteks Timur memerlukan keseimbangan yang mampu
mengendalikan pendulum kebebasan agar tidak berayun tanpa batas. Hak dan kebebasan
tersebut dibatasi oleh kerangka nilai-nilai funda mental berdasarkan alasan sosiologis
kolektivis yang selalu mengunggulkan ungkapan “tepo seliro” (bahasa Jawa, toleransi)
dengan mempertimbangkan lingkungan sekitar sebagai komponen penting dalam ekspresi
kebebasan dalam berekspresi. pertanyaan. Dalam konteks ini, masyarakat Indonesia akrab
dengan ungkapan “kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain”, “tidak ada
kebebasan tanpa batas”.
Di samping ukuran-ukuran normatif di atas, kebebasan juga dapat dilihat dari ukuran-
ukuran empiris. Hal demikian dapat dilakukan melalui lembaga-lembaga pengukuran baik di
tingkat nasional maupun internasional yang secara periodik mengukur tingkat kebebasan di
negeri ini. Salah satu alat pengukuran untuk mengevaluasi kinerja demokrasi sebuah negara
adalah dengan melihat indeks demokrasi (democracy index). Salah satu pengukuran indeks
demokrasi dilakukan oleh the Economist Intelligence Unit yang mengevaluasi kondisi
demokrasi di 167 negara. Indeks tersebut berdasarkan pada 60 indikator yang dikelompokkan
ke dalam lima kategori. Di antara aspek-aspek demokrasi yang diukur adalah pluralisme,
kebebasan sipil (civil liberties), dan budaya politik. Pengukuran tersebut mengklasifikasikan
negara-negara yang diukur ke dalam empat kelompok utama:

full democracies [bernilai 8,0-10]; flawed democracies [bernilai 6,0-7,9]; hybrid regimes
[bernilai 4,0-5,9], dan authoritarian regimes [bernilai 0-3,9]. Indeksasi demokrasi tersebut
pertama kali dilakukan pada 2006 yang kemudian di-update pada 2008, 2010 dan tahun-tahun
setelahnya. Dari seluruh negara yang diukur tingkat demokrasinya, negara yang masuk dalam
kategori full-democracies berjumlah 24 yang mayoritas dihuni oleh negara-negara Barat
(Eropa, Australia dan Amerika Utara). Indonesia berada pada posisi 49 sebagai negara
flaweddemocracies yang diapit oleh Trinidad & Tobago (ranking 48) dan Kroasia (ranking
50). Terdapat 52 negara dalam kategori ini, mayoritas berada di Asia, Afrika, dan Amerika
Latin. Negara tetangga yang termasuk dalam kategori ini antara lain Timor-Leste (peringkat
ke-46), Malaysia (ke-65), Singapura (ke-75), dan Filipina (ke-53). Sementara itu, banyak
negara di Timur Tengah yang menempati posisi ketiga (rezim hybrid) dan keempat
(kediktatoran), dengan jumlah total 91. Misalnya Arab Saudi di peringkat 161, Suriah (163), l
Iran (158), Libya (119). Yaman (149), dll. Dua kategori terakhir mewakili tingkat kinerja
demokrasi yang paling buruk. Parameter lain yang biasanya digunakan untuk mengukur
tingkat demokrasi di sebuah negara adalah Rumah Kebebasan (Freedom House) yang
bermarkas di Washington DC. Rumah Kebebasan mengklasifikasikan negara-negara yang ada
di dalamnya ke dalam tiga kategori: fully free, partly free, dan not free. Berdasarkan survey
yang dilakukan oleh Rumah Kebebasan pada 2015, Indonesia diklasifikasikan sebagai partly
free. Posisi ini dihuni oleh Indonesia dalam kurun dua tahun terakhir. Posisi ini patut
disayangkan karena selama empat tahun berturut-turut (2010-2013) Indonesia sudah masuk
dalam jajaran negara yang fully free. Sementara itu, negara tetangga Malaysia selalu
menempati kategori partly free, bersama Filipina, Singapura, dan Thailand. Secara nasional,
terdapat alat pengukuran lain atas demokrasi yang dilakukan oleh Program Pembangunan
PBB (UNDP) yang mengukur demokrasi setiap tahun. Aspek-aspek yang diukur oleh UNDP
mencakup tiga hal: civil liberties, political rights, dan democratic institutions. Jika aspek
pertama meliputi hak-hak sipil warga seperti kebebasan beragama, aspek kedua mencakup
hak warga untuk memilih dan dipilih dalam sistem pemilihan umum, dan aspek ketiga
mencakup lembaga-lembaga yang secara langsung menopang dan menumbuhkan semangat
demokrasi seperti parpol. Dilihat dari parameter UNDP, penerapan demokrasi di negeri ini
semakin menunjukkan trend penurunan indeks dari tahun 2009 sampai 2012. Pada 2009,
indeks demokrasi Indonesia mencapai 67,30, kemudian mengalami penurunan menjadi 63,17
(2010), 65,48 (2011), dan 62,63 (2012).

Demikianlah, dua parameter demokrasi yang dapat dijadikan sebagai patokan dalam
melihat kecenderungan naik-turunnya demokrasi di Indonesia. Dari segi apapun, Indonesia
sebenarnya cukup suportif terhadap tumbuh dan berkembangnya demokrasi. Sebab,
meminjam Robert Hefner, Indonesia tidak memiliki “kejanggalan peradaban” (civilizational
malady) yang dapat menghambat pertumbuhan demokrasi. Tidak seperti banyak diasumsikan
oleh kelompok incompatibility thesis, faktor agama—terutama Islam—tidak terbukti menjadi
penghambat bagi kehidupan demokrasi. Bahkan, sebaliknya, faktor agama memberikan andil
cukup signifikan dalam penerapan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Melalui ormas-ormas Islam moderat, terutama NU dan Muhammadiyah, nilai-nilai agama
seperti toleransi, keterbukaan, penghormatan terhadap nilainilai kemanusiaan, keadilan dan
kesederajatan dapat terjaga dengan baik dan dapat menumbuhkan semangat berdemokrasi di
republik ini.

Sikap Kaum Radikal terhadap Demokrasi

Masalahnya adalah kelompok progresif yang mendapat manfaat dari sistem politik
demokratis mempunyai keinginan yang salah terhadap demokrasi. Kebanyakan kelompok
ekstremis mengusung ideologi Islam yang mengadvokasi seluruh anggota masyarakat untuk
menggantikan sistem demokrasi yang konon berasal dari Barat. Bagi mereka, sistem
demokrasi jelas tidak mewakili Islam karena agama tersebut tidak pernah mengenal istilah
demokrasi. Demokrasi dianggap sebagai hasil penciptaan akal manusia yang dianggap lebih
istimewa dari agama. Inilah yang digambarkan oleh kaum progresif sebagai “pemberontakan
melawan kedaulatan Tuhan.” Meskipun mereka mendapatkan keuntungan dari lingkungan
demokrasi di Indonesia, namun agenda gerakan mereka adalah menggulingkan demokrasi itu
sendiri, dengan kekerasan atau cara damai, yang dilakukan secara revolusioner secara
menyeluruh. Memang benar, reaksi kelompok radikal dan penolakan mereka terhadap
demokrasi sangatlah beragam; dari yang paling ringan sampai yang paling ekstrim.
Kelompok softer tidak terang-terangan menghujat sistem demokrasi, namun cerdik
menyamarkan penolakannya melalui analisis dan kajian empiris di dunia Barat yang
mengkaji kelemahan penguasaan sistem demokrasi, seperti aneksasi wilayah umat Islam,
pembantaian umat Islam, korupsi. mulai dari kapitalisme, dari perlakuan diskriminatif
terhadap minoritas Muslim di beberapa negara Barat, hingga masalah etika seperti kebebasan
seksual tradisional, aborsi, perjudian, bir beralkohol, dan lain-lain. Bahkan ketika mereka
mengkritik demokrasi, mereka tidak segan-segan menggunakan argumen demokrasi untuk
mempertahankan eksistensinya. Hal ini dilakukan bukan karena mereka mendukung atau
mendukung demokrasi, namun semata-mata sebagai taktik untuk melindungi eksistensi
mereka dari serangan “musuh” mereka. Sementara itu, di kalangan kelompok ekstremis
radikal, penolakan terhadap demokrasi harus dibayar mahal dan seringkali diungkapkan
melalui cara-cara kekerasan. Berbeda dengan kelompok progresif “lunak”, yang cenderung
menggunakan argumen rasional untuk menolak demokrasi, mereka hampir selalu
menggunakan argumen teologis standar untuk melakukan hal yang sama. Menurut kelompok
ekstremis radikal, istilah demokrasi tidak ditemukan dalam teks suci Al-Quran dan hadis atau
dalam tradisi keilmuan Islam lainnya. Demokrasi adalah suatu bentuk ajaran sesat yang
didasarkan pada gagasan masyarakat untuk mengikuti setiap keinginannya. Di Indonesia,
penolakan kelompok progresif terhadap sistem demokrasi terlihat dari keengganan mereka
untuk berjuang melalui sistem partai politik. Bagi mereka, berpartisipasi dalam sistem partai
politik berarti mereka melegitimasi sistem demokrasi yang mereka tolak. Akibatnya, agenda
amar makruf nahi munkar yang mereka laksanakan tidak dapat diungkapkan melalui jalur
politik resmi melainkan melalui media sosial seperti selebaran, reformasi surat kabar,
internet, dan penelitian terbatas mengenai hal tersebut. Sejauh ini, kelompok ekstremis belum
mendukung peraturan syariah di wilayah tersebut dan semakin meningkat di beberapa daerah
seperti Aceh dan Sulawesi Selatan. Mereka hanyalah kelompok penekan yang beroperasi
sepenuhnya di luar lingkaran sistem politik formal. Misalnya, munculnya peraturan anti-
alkohol diusung oleh partai politik pesaing melalui jalur resmi dan tidak semuanya berasal
dari partai politik Islam atau massa Islam.

Dalam melakukan aksi terhadap amar makruf nahi munkar, kelompok ekstremis
radikal bahkan tak segan-segan melakukan tindakan kekerasan seperti perusakan tempat
hiburan, penutupan paksa, dan perusakan fasilitas, pembakaran. Kelompok ekstremis yang
kerap menggunakan cara kekerasan antara lain FPI pimpinan Habib Rizieq Syihab.
Organisasi kerakyatan ini kerap terlibat bentrokan dengan kelompok lain yang dianggap
menghambat penerapan hukum Islam. Misalnya, dalam kasus RUU Pencabulan dan
Pornografi, kelompok ini sempat terlibat bentrok dengan pengunjuk rasa RUU tersebut di
Jakarta beberapa tahun lalu. Di Solo, kelompok ekstremis yang melakukan kejahatan
kekerasan didominasi oleh kelompok lokal seperti FPIS.

Fenomena terkini adalah munculnya beberapa pendukung gerakan Islamic State of


Iraq and Sham (ISIS/NIIS), muncul secara sporadis di beberapa daerah seperti Sukoharjo,
Malang, Tangerang, Surabaya dan daerah lainnya. Bentuk dukungan yang mereka berikan
adalah dengan mengumpulkan bantuan keuangan dan mengirimkan mujahid untuk membantu
pejuang ISIS di wilayah konflik. Ketertarikan masyarakat Indonesia untuk bergabung dengan
pejuang ISIS tidak hanya dilatar belakangi oleh faktor ideologi tetapi juga faktor ekonomi,
melalui janji gaji bulanan dan jaminan keamanan masyarakat bagi keluarga pejuang. Hingga
saat ini, lebih dari 500 warga negara Indonesia ditemukan di zona konflik dan berjuang
bersama pemberontak ISIS. Beberapa waktu lalu, 16 WNI dikabarkan ingin masuk ke Suriah
melalui Türkiye, namun dicegah oleh otoritas setempat. Mereka dipulangkan ke Indonesia.

Realitas gerakan progresif di Indonesia dan negara-negara lain mengingatkan kita


pada teori “jebakan demokrasi”. Memang benar, demokrasi telah dieksploitasi oleh
kelompok-kelompok ekstremis untuk mengambil tindakan yang bertujuan merebut kekuasaan
politik setelah gerakan mereka berakhir. Memang, sebagian kelompok radikal tidak mau
terlibat dalam kisruh sistem politik yang sebenarnya. Namun bukan berarti mereka enggan
memegang kekuasaan tertinggi suatu negara. Pada kenyataannya, mereka tetap berhasrat
merebut kekuasaan melalui cara-cara mereka sendiri. Jika tidak dengan cara damai, maka
dengan cara kekerasan. Kampanye damai yang dilakukan oleh mereka, pada saat-saat tertentu
akan menyentuh titik jenuh yang dapat memaksa mereka untuk beralih ke cara-cara
kekerasan jika kondisi menghendaki demikian. Bagi mereka, politics does matter. Politik
adalah manifestasi tertinggi dari cara mereka melakukan transformasi radikal melalui amar
makruf nahi munkar. Dengan kekuatan politik, setiap program dapat dilaksanakan dengan
otoritas.

Jalan menuju kekuasaan harus melalui strategi “ekstra parlementer”, terutama


melalui metode persuasi melalui kegiatan dakwah sosial dan kemasyarakatan serta kajian
agama. Strategi politik dan sosial yang dilakukan kelompok ekstremis sebagai upaya
mengislamkan negara melalui strategi “intra-parlementer” selalu berakhir dengan kegagalan.
Kegagalan demi kegagalan inilah yang memaksa mereka beralih ke strategi lain yang relatif
sulit diakses oleh aparat politik-negara, yaitu strategi sosial dan kemasyarakatan. Mereka
percaya bahwa seruan mereka terhadap komunitas ideologi radikal yang lebih luas pada
akhirnya akan membuahkan hasil. Strategi jenis ini menempatkan individu pada peran
sebagai agen yang akan menciptakan jaringan gerakan radikal di tingkat masyarakat. Ketika
setiap anggota masyarakat telah “terislamkan”, tinggal selangkah lagi mereka akan
mengambil alih kekuasaan.

Kebijakan terhadap Radikalisme

Bagaimana negara ini menghadapi kelompok ekstremis, baik yang lunak maupun
radikal, baik yang bersifat underground maupun terang-terangan? Berkembangnya wacana
ideologi radikal dalam kerangka kebebasan berekspresi jelas tidak bisa dihapuskan oleh para
pejabat negara. Tindakan keras Malaysia terhadap kelompok ekstremis jelas akan
mempengaruhi Indeks Kebebasan dan Demokrasi, yang diperbarui setiap tahunnya. Harus
diakui bahwa masa inovasi merupakan masa yang paling menguntungkan bagi kelompok
ekstremis untuk memobilisasi dan menjalankan aktivitas ideologisnya. Hal ini tidak mungkin
terjadi pada masa Orde Baru, ketika negara bertindak untuk menindas kelompok ekstremis,
baik agama maupun politik. Akibatnya, ormas radikal terang-terangan menganjurkan sikap
anti Pancasila dan menyatakan ingin menggantinya dengan sistem Islam seperti khilafah dan
hukum syariah. Pancasila, demokrasi dan lain-lain dianggap Taghut, ciptaan manusia yang
sudah menjadi aliran sesat.

Namun sikap demokratis terhadap kelompok radikal memang ibarat buah


simalakama; maju kena mundur kena. Tindakan terhadap kelompok kritis jelas akan
melemahkan kualitas demokrasi. Jika mereka tidak diadili, hal ini jelas akan melemahkan
demokrasi dari dalam, bahkan malah mematikannya. Di satu sisi, wacana khilafah dan negara
syariah sebagai fantasi negara ideal, dan di sisi lain wacana anti Pancasila dan anti demokrasi
seakan beredar bebas di ruang publik. Wacana dan ideologi radikal seringkali mampu
memukau orang-orang terpelajar yang berprofesi sebagai ilmuwan, dosen, guru, dan lain-lain.
Namun, negara tidak mempunyai kemampuan untuk menghalangi ujaran semacam ini. Jika
negara bertindak represif, bisa dipastikan pendulum demokrasi akan bergerak ke arah negatif.
Dalam konteks ini, negara hanya berhak melakukan intervensi ketika dampak ujaran terjadi,
misalnya ketika terjadi kekerasan yang melibatkan kelompok ekstremis. Hal ini terjadi karena
negara tidak bisa membungkam perdebatan radikal meski aparat keamanan negara (intelijen)
berhasil mendeteksi rencana kekerasan. Dilema inilah yang dihadapi negara-negara
demokrasi ketika menghadapi permasalahan radikalisme.

Komplikasi lain yang muncul karena penerapan demokrasi adalah terkait dengan
politik elektoral. Penerapan demokrasi di Indonesia telah membawa konsekuensi politik
yang belum pernah terjadi sebelumnya. Salah satu konsekuensinya adalah keterikatan antara
lembaga pemilu atau lembaga pemilu dengan negara, yang dimediasi oleh aktor-aktor negara
seperti pemerintah dan anggota parlemen. Dalam konteks itu, kebijakan negara seringkali
mengikuti keinginan mayoritas masyarakat. Pengawasan yang berlebihan terhadap kelompok
ekstremis dapat menyebabkan tergerusnya perolehan suara di tingkat akar rumput pemilu.
Akibatnya, aktor-aktor negara seringkali tidak mampu bertindak netral atas nama negara.
Situasi seperti ini banyak ditemui aparat negara dalam kasus kekerasan agama yang
melibatkan kelompok ekstremis di beberapa wilayah di Indonesia. Mereka tidak berdaya
menghadapi tekanan politik yang memaksa mereka memihak kelompok tertentu yang
mempunyai daya tawar politik di tingkat lokal.

Bahkan dalam banyak kasus, aparat negara juga terlibat, baik secara terbuka maupun
sembunyi-sembunyi. Kenyataan ini mencerminkan adanya favoritisme negara dalam
kebijakan negara terhadap kelompok ekstremis. Misalnya, ketika konflik agama meletus di
Ambon dan Poso, keterlibatan aparat negara, termasuk aparat keamanan, dalam siklus konflik
bukanlah hal yang aneh. Aparat keamanan kelompok agama yang terlibat konflik
mendukung kelompoknya masing-masing dengan mempersenjatai kelompok sipil untuk
melakukan perlawanan. Pejuang dari masing-masing pihak diizinkan masuk ke gudang
senjata di markas polisi di zona konflik. Akibatnya, kombatan dapat dengan bebas
mengakses senjata dan menggunakannya dalam konflik. Hal ini dibuktikan dengan masifnya
peredaran senjata api saat terjadi konflik di dua wilayah tersebut.

Larangan negara terhadap aktivitas ekstremis baru muncul setelah fenomena NIIS.
Seperti diketahui, NIIS dinyatakan dilarang di Indonesia berdasarkan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (Perppu). Dalam kasus pelarangan ISIS, negara tidak
mengandalkan undang-undang anti-terorisme. Undang-undang ini tidak bisa digunakan untuk
melarang ujaran atau ideologi ekstremis yang belakangan ini berkembang bebas di ranah
publik. Undang-undang ini hanya dapat mencakup akibat dari tindakan yang dilakukan oleh
teroris. Aparat keamanan hanya dapat menangkap pelaku ekstremisme jika terdapat bukti
nyata keterlibatan mereka dalam suatu tindakan kekerasan. Oleh karena itu, seluruh ketentuan
hukum tersebut di atas tidak dapat melarang keberadaan tokoh radikal atau ormas yang
mengusung ideologi atau wacana khilafah, jihad, dan lain-lain. Bahkan banyak di antara
mereka yang terang-terangan menyatakan ingin mengganti demokrasi dan Pancasila dengan
ideologi radikal seperti Syariah atau Khilafah dan sebagainya.

Di Indonesia, kebijakan negara terkait pemberantasan ekstremisme dan terorisme


banyak mendapat perlawanan dari sebagian komunitas Islam, terutama dari kalangan politik
radikal, yang berpendapat bahwa upaya pemusnahan kelompok ekstremis hanya bertumpu
pada satu pendekatan, yaitu pendekatan keamanan. Kritik terhadap kelompok ekstremis
didasarkan pada kenyataan bahwa banyak anggota kelompok ekstremis yang diperlakukan
sewenang-wenang, seringkali berujung pada kekerasan dan penembakan. Kritikus
mengatakan kebijakan seperti ini tidak akan menghapuskan ideologi progresivisme. Lebih
lanjut, pendekatan keamanan yang mengandalkan kekerasan negara, atau bahkan
penembakan, hanya akan memancing perlawanan dan perlawanan dari kelompok ekstremis.
Mereka bahkan menjadikan Tim Densus 88 Anti Terorisme pada khususnya dan kepolisian
pada umumnya menjadi sasaran kemarahan dan balas dendam para ekstremis yang
membunuh banyak kawan ekstremis. Sejumlah penembakan yang menyasar polisi di
beberapa daerah seperti Solo, Jakarta dan daerah lainnya merupakan wujud bentuk protes dan
balas dendam kelompok ekstremis tersebut. Mereka menggolongkan seluruh polisi sebagai
musuh Allah dan harus dilawan. Mereka tidak lagi melihat dengan jelas kelompok polisi
mana yang bertanggung jawab dalam menindas ekstremis atau teroris.

Selain pendekatan keamanan melalui Densus 88, juga terdapat program deradikalisasi
melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Namun keberadaan organisasi
ini juga banyak menuai kritik. Salah satu kritik yang dilontarkan terhadap keberadaan BNPT
adalah ketidakjelasan ruang lingkup kerja dan format programnya, serta tidak menyasar
kelompok ekstremis sebagai sasaran utama. Penerapan kurikulum sebagian besar bersifat
fragmentaris, tidak terarah, dan terjadi di sejumlah wilayah yang tidak terpapar ideologi
ekstremis seperti di pesantren tradisional. Kritik sejumlah kalangan terhadap organisasi ini
patut dijadikan bahan refleksi guna meningkatkan kualitas kebijakan deradikalisasi yang
diterapkan BNPT. Jika tidak, keberadaan lembaga ini tidak akan menyelesaikan
permasalahan, malah justru menambah daftar permasalahan. Pembentukan lembaga-lembaga
tersebut hanya dianggap membuang-buang anggaran negara, tanpa program atau agenda yang
jelas. Sebaliknya, organisasi-organisasi ini dipandang memecah belah dan melemahkan umat
Islam dari dalam.

Mengisi Ruang Kosong Undang-undang

Saat ini, yang dibutuhkan Indonesia untuk mengalahkan gerakan ekstremis adalah
undang-undang dan peraturan khusus untuk melindungi dan menjaga eksistensi Pancasila dan
UUD 1945. Bentuknya tidak harus sama persis dengan Undang-Undang Anti Subversi atau
ISA di Malaysia. Pasalnya, kedua undang-undang tersebut terbukti memiliki kekurangan,
salah satunya adalah memperbolehkan otoritas negara untuk memenjarakan seseorang tanpa
melalui proses hukum terlebih dahulu. Namun undang-undang tersebut lebih menekankan
pada penindakan terhadap setiap orang yang dianggap memenuhi unsur pidana dengan
merencanakan atau melakukan penggulingan Pancasila dan UUD 1945, baik sendiri maupun
bersama-sama. Dengan undang-undang ini, kelompok ekstremis akan berupaya sekuat tenaga
untuk menggerakkan atau menyebarkan ideologi ekstremisnya guna menggulingkan ideologi
Pancasila dan UUD 1945.

Indonesia sebagai negara demokrasi tidak bisa pemihakan secara langsung. Konsep
demokrasi dalam konteks Indonesia harus dipahami secara holistik dengan Pancasila dan
UUD 1945. Secara anatomi, demokrasi, Pancasila dan UUD 1945 merupakan flesh-and-
blood kehidupan berbangsa dan bernegara, saling menyatukan dan melengkapi. Dengan
demikian, rumusan demokrasi afirmatif yang dibahas di sini bukanlah berpihak pada
demokrasi itu sendiri, melainkan berpihak pada demokrasi dengan mendukung Pancasila dan
UUD 1945 sebagai landasan ideologi dan konstitusi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sistem demokrasi akan terbentuk dengan sendirinya ketika keberadaan Pancasila dan UUD
1945 dikukuhkan. Hal ini dapat dipahami karena dari kedua sumber bernegara itulah terdapat
turunan peraturan per-undangan yang dapat menciptakan dan menopang iklim demokrasi di
negeri ini. Berbagai peraturan perundangan tentang politik dan tata-negara yang dimiliki di
republik ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kedua peraturan perundangan tertinggi di
atas.

Dalam membangun negara hukum, Indonesia sebenarnya telah memiliki seperangkat


undang-undang yang mengatur tindak pidana secara teoritis melalui UU No.15 Tahun 2003.
Tindakan ini muncul sebagai respons terhadap serangkaian aksi teroris yang dilatar belakangi
oleh ideologi ekstremisme, khususnya bom Bali I pada tahun 2002 yang menewaskan lebih
dari 200 orang. Dari sudut pandang teleologis, pembenaran sebenarnya atas undang-undang
tersebut adalah kekerasan teroris yang dilakukan oleh kelompok ekstremis. Pasal-pasal di
dalamnya mengatur tindak kekerasan teroris dan implikasi hukumnya tanpa melarang
ideologi ekstremis. Jadi undang-undang no. Pasal 15 Tahun 2003 tidak boleh memuat hasutan
atau ajakan radikalisme dalam bentuk apapun. Sementara itu, kepenganutan terhadap ideologi
radikalisme jelas berangkat dari ajakan seseorang kepada calon penganut melalui
argumentasi-argumentasi ideologis dan teologis yang dapat menawan pikirannya. Di sinilah
terdapat ruang kosong perundangan yang harus diisi dalam rangka melakukan pencegahan
penyebaran ideologi radikalisme di Indonesia tanpa mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi.

Perangkat legislatif lain yang bertujuan untuk menjebak pelaku teroris adalah UU No.
Resolusi Nomor 9 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan kejahatan pendanaan
terorisme. Undang-undang ini muncul untuk mengantisipasi kegiatan penggalangan dana
yang dilakukan oleh kelompok ekstremis yang sebelumnya tidak diatur dalam undang-
undang no. 15 Tahun 2003. Sebagaimana lazimnya, lahirnya suatu undang-undang
merupakan reaksi terhadap fenomena-fenomena terkini yang tidak diperhitungkan dalam
peraturan perundang-undangan sebelumnya. Begitu pula dengan UU No. 9 Tahun 2013,
diketahui adanya aliran modal baik dari dalam negeri maupun dari dan ke Indonesia yang
dikumpulkan oleh kelompok ekstremis untuk mendanai kegiatan teroris dan berbagai
ekstremisme. Sebagai peraturan yang khusus dibuat untuk mengantisipasi pendanaan
terorisme, undang-undang tersebut sekali lagi tidak mengatur larangan penyebaran ideologi
ekstremisme-terorisme yang akhir-akhir ini semakin populer di masyarakat luas. Jika hal ini
tidak diatur dalam undang-undang, pelarangan ideologi ekstremis – terorisme tidak akan
efektif. Dalam konteks ini, Perppu tentang pelarangan NIIS tidak akan mampu mencegah
penyebaran ideologi radikal terorisme di Indonesia.

Realitas di atas terjadi ketika aparat keamanan tak mampu menangkap Abu Bakar
Ba'asyir yang dituding sebagai dalang sejumlah aksi dan pengeboman di sejumlah wilayah
tempatnya berada beberapa waktu lalu. Meski pihak berwenang mengetahui bahwa ia berada
di balik sebagian besar insiden ekstremisme dan terorisme di negara tersebut, namun aparat
keamanan tidak bisa berbuat apa-apa karena celah hukum yang dimaksud. Alasan
penangkapannya, kata polisi, terkait pemalsuan dokumen imigrasi dan bukan karena ideologi
ekstremisnya. Hal serupa juga terjadi ketika aparat keamanan gagal menangkap orang-orang
yang bersimpati dan pendukung gerakan NIIS. Perangkat tersebut hanya dapat bergerak jika
ada bukti fisik yang membuktikan bahwa perangkat tersebut mendukung NIIS, seperti
bendera hitam bersimbol Syahadat, bahan peledak, literatur jihad, dan fasilitas pembuatan
bom, dan masih banyak lagi. Penangkapan aktivis NIIS berdasarkan Perppu yang keberadaan
hukumnya tidak sekuat undang-undang. Oleh karena itu diperlukan suatu hukum untuk
menyempurnakan hukum bilangan. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme dan UU
No. 9 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan kejahatan pendanaan terorisme.

Penutup

Dari penjelasan di atas dapat ditarik pemikiran sebagai berikut. Pertama, Indonesia
adalah negara demokrasi dan harus berpegang teguh pada prinsip negara demokrasi.
Kebijakan melawan gerakan ekstremis harus menjadi bagian dari kerangka demokrasi dan
tidak boleh mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi. Indonesia tidak boleh meniru cara
otoriter yang dilakukan negara-negara “disiplin” seperti Malaysia yang lebih memilih
mengorbankan nilai-nilai demokrasi atas nama stabilitas ekonomi dan politik. Namun
kebebasan berekspresi yang disyaratkan oleh demokrasi tidak boleh melemahkan atau
terlemahkan negara. Negara berhak menerapkan kebijakan keras (namun dalam kerangka
negara demokratis) untuk mengalahkan gerakan keagamaan ekstremis.

Kedua, Indonesia (sebagai bagian dari negara demokrasi) harus mengembangkan


seperangkat peraturan hukum yang mengatur bagaimana setiap warga negara
mempertahankan hak kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan menganut keyakinan
agama ekstrem. Tidak ada seorangpun yang dilarang menganut paham ekstremisme agama
sampai yang bersangkutan mempunyai kekuatan atau dukungan yang diperlukan untuk
menumbangkan Pancasila dan UUD 1945. Undang-undang baru ini diharapkan dapat mengisi
kesenjangan tersebut, mengisi kesenjangan dalam peraturan perundang-undangan kita
sekaligus menyempurnakan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme dan UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pendanaan Terorisme. Undang-undang baru ini tidak melarang warga negara
mempunyai gagasan, konsep, atau ideologi keagamaan, sepanjang tidak bertujuan untuk
menggalang kekuatan untuk menggulingkan atau menumbanggka Pancasila dan UUD 1945.

Anda mungkin juga menyukai