Anda di halaman 1dari 12

BANGKITLAH KAUM TANI INDONESIA

Dalam Rangka Menyambut Hari Tani Nasional Tahun 2023

“Hanyalah Petani Lombok, sebagai bagian terpadu dari gerakan Indonesia semesta,
menghancurkan kekuasaan aristokrasi, barulah syarat-syarat politik akan tercipta yang akan
memungkinkan mereka mulai bekerja menuju kebebasan mereka.”

- Dr. Alfons van der Kraan

Oleh Kolektif FMN Cabang Mataram


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................................................................ 1


A. PENGANTAR...................................................................................................................................... 2
B. PERAMPASAN LAHAN SEBAGAI SYARAT PENJAJAHAN NEGARA SETENGAH
JAJAHAN SETENGAH FEODAL ........................................................................................................... 3
C. SITUASI UMUM PERAMPASAN LAHAN DI NTB ...................................................................... 5
D. PROBLEM DOMESTIK KAUM TANI ........................................................................................... 7
1. Mahalnya Biaya Produksi Akibat Monopoli Sarana Produksi Pertanian ................................. 7
2. Tidak adanya Jaminan Harga Hasil Produksi Pertanian ........................................................... 8
3. Mahalnya Biaya Kebutuhan Hidup dan Defisit Anggaran Keluarga Tani................................ 9
E. PERJUANGAN DEMOKRATIS NASIONAL SEBAGAI UPAYA UNTUK PEMBEBASAN
NASIB KAUM TANI ................................................................................................................................ 10

1
A. PENGANTAR
Kaum Tani dalam keadaan sosial-nya merupakan elemen klas dengan kadar penindasan yang
masif, bukti dari situasi Indonesia di bawah rezim SJSF (Setengah Jajahan Setengah Feodal)
adalah dari rekam jejak historis yang menunjukkan perampasan lahan merupakan makanan pokok
bagi para tuan tanah sebagai boneka Imperialis AS. Mulai dari peperangan di era Feodal sebagai
perang atas penguasaan lahan sebagai upaya penguasaan daya upeti, era Kolonialisme Hindia-
Belanda sebagai upaya penguasaan lahan atas komoditas produksi pangan, hingga perampasan
lahan yang terjadi di era kini sebagai upaya untuk terlibat pada skema pasar neoliberalisme milik
Imperialis AS melalui investasi asing dan menjauhkan diri dari kemandirian bangsa.

Namun perlawanan kembali yang dilakukan oleh kaum tani telah membuktikan bahwa perlawanan
atas perampasan lahan hanya dapat dilakukan oleh klas termaju dan klas yang paling merasakan
penghisapan atas situasi penjajahan yang tengah terjadi. Pertarungan klas antara Tuan Tanah dan
Kaum Tani yang terjadi sepanjang masa merupakan hal tidak bisa dihindarkan dalam situasi
objektif. Mulai dari pemberontakan petani atas penguasaan lahan di Banten pada 1888 dan Anyer
1926, hingga penolakan upaya perampasan lahan atas pembangunan Proyek Strategis Nasional
seperti pembangunan Bendungan di Wadas, Jawa Tengah; KEK Mandalika di Lombok Tengah,
NTB; Geothermal di Poco Leok, NTT; proyeksi IKN di se-Pulau Kalimantan, hingga perampasan
lahan dan kriminalisasi warga di Rempang, Kota Batam.

Kaum tani Indonesia yang berjumlah 65% dari total penduduk Indonesia, lebih dari 50%
menggantungkan hidupnya pada luas lahan yang kurang dari 0,5 Ha dengan penghasilan kurang
dari Rp. Rp.400.000-600.000. Ini akibat ketimpangan penguasaan lahan pertanian di pedesaan.
Jika dilihat penguasaan tanah oleh tuan tanah dan borjuasi besar komprador sangat-sangat timpang
atas monopoli tanah yang mereka lakukan. Perkebunan milik borjuasi besar komprador atau tuan
tanah besar menguasai kurang lebih 20 juta Ha tanah di Indonesia. Sementara monopoli atas tanah
dalam bentuk Taman nasional, PTPN, Ihutani, Perhutani, Hampir menguasai 21 juta Ha.
Sementara yang dikuasai oleh borjuasi asing atau imperialis (Freeport, Newmont, Blok Cepu,
Chevron, Bin Laden Group, dll) hampir 10 juta Ha. Dan seluruh orientasi atas penguasaan dan
monopoli tanah ini hanya untuk memenuhi kepentingan bahan baku industri imperialis bukan
untuk memenuhi kebutuhan domestik.

Akibat monopoli tanah secara besar-besaran tersebut, telah melahirkan ketimpangan kepemilikan
tanah, yang mana sebagian besar kaum tani Indonesia memiliki luas tanah yang sangat kurang

2
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan tidak memiliki tanah sama sekali. Hal ini telah
melahirkan praktek sewa tanah. Klas tuan tanah memberlakukan harga sewa tanah yang sangat
menindas kaum tani Indonesia.

Riba lahir karena buruh tani, tani miskin dan tani sedang bawah tidak pendapatan yang cukup
untuk menghidupi diri dan keluarganya dipedesaan dan juga untuk berproduksi. Riba yang terjahat
adalah riba di mana para tuan tanah dan klas lainnya meminjamkan uang kepada kaum tani tersebut
dengan keharusan membayar bunga yang tinggi dengan jaminan hasil, alat kerja, tenaga, dan
terutama tanah dengan tanpa memperdulikan penen gagal atau tidaknya. Riba adalah cara klas tuan
tanah dan juga tani kaya untuk memperluas tanahnya di pedesaan dan mempercepat akumulasi
kapitalnya. Riba di Indonesia memiliki berbagai penamaan yang buruh di pedesaan seperti lintah
darat, pembiak uang, tukang cekik, koperasi dan lain sebagainya.

Selain itu juga, akibat dominasi imperialisme yang menjadikan Indonesia sebagai pasar bagi hasil
produksinya, telah menindas kaum tani Indonesia akibat import pangan yang masuk dengan
bebasnya di Indonesia. Tingginya angka impor pangan di Indonesia, menunjukkan kerapuhan
kedaulatan petani dan rakyat akibat rendahnya akses atas tanah. Demikian pula kaum tani
Indonesia akan selalu mengalami kerugian akibat biaya produksi yang sangat mahal, sementara
hasil produksi yang selalu anjlok akibat kebijakan import pangan.

Kaum tani Indonesia dibagi ke dalam beberapa gologan; tani kaya, tani sedang (sedang atas,
sedang menengah, sedang, bawah) tani miskin dan buruh tani. Lahirnya golongan dalam tubuh
kaum tani ini merupakan dampak secara langsung atas berlangsungnya sistem setengah feodal
yang didominasi oleh imperialisme.

Kaum tani Indonesia dalam perjuangan demokrasi nasional menjadi kekuatan pokok untuk
menghancurkan kekuatan feodalisme dan imperialisme AS di Indonesia.

B. PERAMPASAN LAHAN SEBAGAI SYARAT PENJAJAHAN


NEGARA SETENGAH JAJAHAN SETENGAH FEODAL
Negara Setengah Jajahan Setengah Feodal atau yang kemudian disebut sebagai SJSF merupakan
pengertian esensial mengenai daya kuasa negara dibawah kontrol sistem Imperialisme. Tesis
mengenai SJSF memberikan sinyal atas absennya kuasa kemandirian rakyat melalui Reforma
Agraria Sejati dan Industrialisasi Nasional. Syarat penindasan SJSF adalah melalui skema
perampasan lahan yang merupakan bagian dari garis pasar neoliberalisme; Aktivitas Produksi,
Distribusi, dan Konsumsi yang dikuasai oleh sistem ekonomi Neoliberalisme milik Imperialisme
AS. Bagi Imperialis AS, SJSF merupakan status yang hangat untuk menghisap sumber daya

3
nasional. Kemandirian bangsa lebih lanut merupakan ancaman bagi Imperialis AS dalam hal
kepastian akumulasi kapital dan perputaran ketergantungan ekonomi nasional.

Pasca kudeta berdarah Oktober 1965, jatuhnya Indonesia adalah “the Greatest Prize” bagi AS.
Melalui Time Incorporation & The Rockafeller Foundation menginisiasi “Indonesia Investment
Conference” di Jenewa awal November 1967 yg dihadiri tim ekonom-diplomat top Soeharto dan
seluruh CEO perusahaan besar dari AS, Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, Jepang, dan Australia.

Hasil konferensi adalah pembagian kekayaan alam Indonesia di antara kekuatan imperialis.
Freeport mendapatkan bukit emas-tembaga di Papua Barat. Konsorsium Eropa mendapat nikel,
Alcoa mendapat bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis
mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan. Hingga sebuah Undang-
Undang tentang penanaman modal asing disodorkan kepada Soeharto membuat perampokan ini
bebas pajak lima tahun. Kendali ekonomi Indonesia di tangan IGGI, yang anggota-anggota intinya
adalah Amerika Serikat, Canada, Eropa, Australia, selain IMF-WB.

Konferensi demikian-lah yang kemudian memperkenalkan kekayaan Indonesia kepada para


boneka Imperialis AS. Syarat penjajahan yang harus ditinjau oleh Imperialis AS adalah upaya
untuk menguasai lahan agar dapat mengunci seluruh sektor pembangunan yang berkaitan dengan
kepentingan hak asasi manusia. Guna Imperialis AS untuk mengunci sektor esensial negara dunia
ketiga semata-mata agar dapat menciptakan nilai ketergantungan atas kebutuhan hidup yang lebih
lanut dapat menciptakan fungsi kontrol atas rakyat setengah jajahan.

Dewasa ini, upaya perampasan lahan semakin diperketat dengan melalui normalisasi rezim fasis
hingga menyetrum kepala massa rakyat atas dasar wacana pembangunan umum milik UU Cipta
Kerja. UU Cipta Kerja lebih lanjut merupakan perpanjangan tangan untuk memperbaharui skema
perampasan lahan. Penciptaan HPL (Hak Pengelolaan Lahan) yang disinyalir oleh UU Cipta Kerja
kemudian mereduksi status penguasaan lahan yang dikuasai oleh negara; Alih-alih justru
melahirkan skema penguasaan lahan baru yang dapat dikuasai oleh borjuasi besar komprador dan
seakan mereduksi peran negara sebagai entitas yang berhak menguasai lahan untuk kepentingan
kesejahteraan rakyat. HPL lebih lanjut mengisyaratkan status kepemilikan lahan dapat di
swastanisasi-kan.

Disisi lain tentang skema baru perampasan lahan dalam UU Cipta Kerja, regulasi ini
mengisyaratkan produktifnya Bank Tanah sebagai elemen yang mengumpulkan seluruh lahan-
lahan ex-HGU yang sudah kadaluwarsa. Selama ini pemerintahan SJSF kesulitan menyediakan
tanah bagi investor, dengan adanya Bank Tanah pemerintah memberikan tanah kepada perusahaan
apabila dapat membuka dan menciptakan lapangan pekerjaan untuk rakyat Indonesia Ketika
gagasan “penyediaan tanah untuk kepentingan investor” itu kemudian diramu dengan berbagai

4
tujuan yang tidak jelas definisi dan ruang lingkupnya, khususnya berkaitan dengan Reforma
Agraria versi Jokowi-MA, tampak bahwa tujuan ini tidak kompatibel dengan tujuan utama Bank
Tanah. Reforma Agraria seharusnya bertujuan untuk merombak ketimpangan dalam akses
penguasaan dan pemilikan tanah atas kuasa Tuan Tanah; suatu upaya yang terstruktur dan terfokus
karena bertujuan untuk memberikan keadilan ditengah situasi dan kondisi dimana sekelompok
masyarakat yang kuat posisi tawarnya berpeluang memperoleh akses seluas-luasnya atas tanah,
dan sebaliknya kelompok masyarakat yang lebih besar jumlahnya tetapi lemah posisi tawarnya,
relatif tertutup untuk memperoleh akses terhadap tanah yang merupakan hak ekonomi setiap

C. SITUASI UMUM PERAMPASAN LAHAN DI NTB


Di NTB dari 2 juta total luas daratanya 71% telah dikuasai oleh Kesatuan Pengelola Hutan (KPH),
Taman Nasional, Perusahaan Pertambangan, perusahaan perkebunan, Perusahaan pengembang
Pariwisata. lebih khusus di Lombok timur dari 2.679,88 km2 (267.988 Ha) luas daratanya
sebagian besarnya juga telah dikuasai oleh beberapa lembaga dan perusahaan sebagai berikut :

1. TNGR dengan luas 41.330 Ha yang sebagian besarnya berada dalam wilayah administrasi
kabupaten Lombok Timur yang selanjutnya melakukan monopoli kawasan hutan untuk
melakukan bisnis kayu dan pariwisata dengan kedok konservasi. Selain itu itu TNGR juga
sedang merencanakan untuk pembangunan perkebunan buah-buah berupa durian,
mangga,dll untuk menopang rencana pembangunan kawasan pariwisata (geo park
internasional) yang bukan tidak mungkin akan memobilisasi tenaga kaum tani secara gratis
dengan ilusi akan memberikan lahan garapan kepada kaum tani melalui skema perhutanan
social, hal tersebut juga pernah terjadi bebrapa tahun lalu dimana kaum tani pinggiran
TNGR dimobilisasi untuk penanaman beberapa jenis tanaman industry dikawasan hutan
dengan ilusi kaum tani bisa berladang melalui program GERHAN akan tetapi faktanya
seelah kayu mulai besar kaum tani selanjutnya di usir dan sama sekali tidak diberikan lahan
berladang sebagaimana yang telah dijanjikan.
2. KPH Rinjani Timur dengan luas 37.589 Ha yang mengklaim seluruh kawasan hutan
sekabupaten Lombok timur diluar kawasan TNGR. Sama seperti TNGR KPH Rinjani
timur juga melakukan bisnis kayu dan pariwisata diatas tanah yang dikuasainya yang
selanjutnya dikerjasamakan dengan perusahaan-perusahaan seperti Sadhana untuk bisnis
kayu dan PT. ESL, dll untuk pengembangan pariwisata
3. PT. Anugrah Mitra Graha dengan luas 2.018 Ha untuk pembangunan pertambangan pasir
besi yang berada di daerah pesisir kecamatan Pringgabaya
4. PT. Sadhana Arifnusa (anak perusahaan PT. Sampoerna group/ Phillip Morris
internasional) dengan luas 1.881 Ha dari total 3.810 Ha se-NTB untuk pengembangan

5
Hutan Tanaman Industri dengan jenis tanaman berupa kayu Sengon, Akasia, Kayu Putih
yang tersebar di atas lahan klaim KPH Rinjanitimur di kecamatan Sambalia
5. PT. SKE (anak perusahaan PT. Sampoerna group/ Phillip Morris internasional) dengan
luas yang diajukan adalah 550 Ha yang berada di kecamatan Sembalun. PT. SKE sedang
mengajukan rencana pengembangan perkebunan untuk menopang rencana pariwisata,
pembangunan hotel serta perumahan untuk poensiunan luar negeri bertaraf internasional.
6. PT. Agrindo Nusantara (anak perusahaan PT. Sampoerna group/ Phillip Morris
internasional) dengan luas 183,15 Ha, perusahaan ini sudah habis masa izinnya terhitung
sejak tanggal 31 Desember 2013 akan tetapi sampai saat ini masih melakukan
pengelaimantanah yang justrtu disewakan kepada pihak lain dan rencana lahan tersebut
masuk kedalam lahan yang diajukan oleh PT. SKE
7. PT. ESL dengan luas yang mengklaim lahan garapan serta perampunagan warga dimana
sebelumnya lahan tersebut terlebih dahulu diklaim oleh KPH Rinjani Timur sebagai
kawasan hutan lindung.
8. PT. Cosambi Victoryllack dengan luas 99 Ha yang berada di wilayah Biloq Petung
kecamatan Sembalun. Lahan tersebut telah lama ditelantarkan oleh perusahaan
Besarnya angka penguasaan tanah tersebut telah berakibat pada semakin menyempitnya lahan
pertanian rakyat dimana lahan pertanian dilombok timur berdasarkan data BPS kabupatren
Lombok Timur pada tahun 2016 adalah seluas 47.763 ha yang digarap oleh 221.549 orang petani.
jika dibagi rata antara jumlah petani dengan total luas lahan yang dikelola maka masing-masing
petani hanya mengelola sekitar 0,21 Ha (21 are), pada prakteknya ada juga petani yang mengelola
lebih lebih dari 0,21 Ha bahkan ada pula yang mencapai 1 hingga 2 Ha yang artinya banyak dari
jumlah petani yang dirilis oleh BPS tersebut yang merupakan petani tanpa lahan (buruh tani).

Hal serupa juga terjadi di Sembalun dimana dari 21.708 Ha (217,08 km 2) total luas kecamtan
Sembalun 14.716 Ha diantaranya dikuasai oleh Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) bersama
puluhan ribu hektar lainya yang berada di kawasan lainya di pulau Lombok (41.330 Ha luas TNGR
di NTB) yang saat ini sedang direncanakan untuk pembangunan kawasan Geo Park
Internasional.565 Ha dikuasai oleh KPH Rinjani Timur dan 555,5 Ha sedang diajukan menjadi
kawasan HGU/HGB oleh PT. SKE dimana 183,15 Ha yang termasuk didalamnya masih dikelola
oleh PT. Agrindo Nusantara meskipun telah habis masa izinya terhitung sejak tanggal 31
Desember 2013.

Total luas lahan yang bisa digarap oleh rakyat sembalun hanya 2.494 Ha yang terbagi menjadi
1.155 Ha tanah sawah dan 1.339 Ha tanah pertanian bukan sawah yang berupa lading tegalan tadah
huajan.

6
Angka 2.494 Ha tersebut jika dibagi rata dengan total jumlah penduduk sembalun yaitu 19.577
jiwa, maka setiap orang rata-rata memiliki luas lahan seluas 0,12 Ha atau 12 are yang tentunya
sangat jauh dari amanat UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 yaitu dimana negara menjamin
kepemilikan lahan seluas 2 Ha bagi setiap Keluarga Tani.

Angka kepemilikan lahan seluas 0,12 Ha juga tentunya merupakan angka kepemilikan lahan yang
sangat sempit bagi kaum tani ditengah harga kebutuhan-kebutuhan pokok yang terus meroket hari
demi hari. Selain itu, Pada prakteknya sebagian kaum tani juga ada yang menguasai lahan 50 are
bahkan 1 Ha yang artinya bahwa tidak sedikit juga kaum tani yang sama sekali tidak memiliki
tanah sehingga murni hanya menyandarkan hidupnya sebagai buruh tani atau menggarap lahan-
lahan hutan atau lahan HGU PT. SKE untuk tetap bisa bertahan hidup.

Selain soal minimnya kepemilikan tanah, kaum tani sembalun juga dihadapkan dengan mahalnya
biaya produksi pertanian seperti harga Pupuk dan obat-obatan yang kian hari semakin meningkat.

D. PROBLEM DOMESTIK KAUM TANI


1. Mahalnya Biaya Produksi Akibat Monopoli Sarana Produksi Pertanian
Selain soal minimnya kepemilikan tanah, kaum tani sembalun juga dihadapkan dengan mahalnya
biaya produksi pertanian seperti harga Pupuk dan obat-obatan yang kian hari semakin meningkat.

Sembalun sebagai wilayah pertanian yang sangat tersohor di NTB tentunya menjadi sasaran
menjanjikan ekspansi pasar bagi perusahaan-perusahaan pupuk dan obat-obatan skala besar seperti
Bayer, Monsanto, BASF, Syngenta, Cargyl, Cap Kapal Terbang, dll. Sejauh ini ada 11 nama pupuk
yang telah mampu kami tabulasikan dengan harga rata-rata 260.000 -300.000 untuk setiap
kwintalnya. Sedangkan obat-obatan ada sekitar 42 nama obat-obatan yang telah berhasil kami
tabulasikan dengan harga berkisar antara Rp. 11.000 – 150.000 untuk setiap botol atau sachetnya.

Ketergantungan petani Sembalun terhadap pupuk dan obat-obatan milik perusahaan besar
monopoli tersebut semakin hari semakin meningkat dengan berbagai macam skema baru, misalnya
dengan cara hutang, kredit, dan lain sebagainya yang terlihat seolah-olah membantu kaum tani
akan tetapi pada dasarnya tetap merupakan skema untuk tetap mengikat ketergantungan kaum tani
terhadap produk-produk perusahaan besar monopoli pupuk dan obat-obatan.

Dalam setiap kali musim tanam tak tanggung-tanggung kaum tani sembalun minimal
menggunakan 2-3 jenis pupuk untuk pupuk dasar dan 2-3 jenis pupuk untuk pupuk di masa
perawatan serta minimal 5 jenis obat-obatan. Yang kesemuanya itu tentunya telah memberatkan

7
proses produksi kaum tani belum lagi di tambah dengan biaya-biaya lain seperti pembelian tenaga
untuk menggarap lahan dan panen. Dalam satu kali musim tanam untuk tanaman jenis cabai
dengan luas lahan 10 are kaum tani sembalun harus menyiapkan modal minimal 6 jutaan dan
tentunya angka tersebut sangatlah mahal bagi kaum tani yang tidak pernah ada jaminan atas harga
hasil produksinya.

Mahalnya harga pupuk dan obat-obatan ditengah tingginya ketergantungan kaum tani terhadap
pupuk dan obat-obatan tersebut telah menyumbangkan besarnya biaya produksi yang harus
dikeluarkan oleh kaum tani setiap kali musim tanam yang tentunya juga akan berimbas pada
berkurangnya hasil produksi yang didapatkan oleh kaum tani setiap kali musim panen di luar
persoalan harga komoditas pertanian yang tidak menentu

Mahalnya biaya produksi yang harus ditanggung petani tersebut telah membuat sebagian besar
petani terjerat hutang kepada tengkulak dan lintah darat. Dalam hal ini Negara bukanya membuat
agar petani tidak terjerat hutang dengan cara menurukan biaya produksi yang harus dikeluarkan
petani akan tetapi Negara justeru memposisikan diri sebagai lintah darat yang bersaing dengan
lintah darat lainya dengan cara menggandeng lembaga-lembaga perBankan utuk menyediakan
sistem-sistem hutang kepada petani seperti KUR (Kredit Usaha Rakyat), Kartu Tani dan lain
sebagainya sehingga petani kemudian terikat hutang dengan BANK yang artinya secara tidak
langsung Negara tetap berupaya menarik keuntungan dari ketidakberdayaan kaum Tani di
pedesaan.

2. Tidak adanya Jaminan Harga Hasil Produksi Pertanian


Harga hasil produksi pertanian kaum tani ibarat dadu dalam permainan Judi yang dalam setiap kali
proses pelemparannya, peluang munculnya angka 1 sampai dengan angka 6 selalu sama, begitu
juga dengan harga hasil produksi pertanian dimana harga naik dan turun selalui mempunyai
peluang yang sama, sewaktu-waktu bisa menjadi sangat mahal dan menggiurkan akan tetapi pada
waktu yang lain menjadi sangat murah dan merugikan. Jika diibaratkan, maka bertani itu persis
seperti meja judi yang semuanya disandarkan hanya pada faktor keberuntungan saja.

Hal tersebut tentunya tidak terjadi dengan sendirinya, sebagaimana setiap meja judi yang pasti ada
bandar yang mengontrol dalam setiap permainan yang ditawarkan, begitu juga dengan dunia tani
pasti ada yang memegang kendalinya. Lebih tepatnya, situasi tersebut disebabkan oleh pelepasan
negara terhadap hasil produksi pertanian kepada mekanisme pasar semata yang kemudian
berakibat pada tidak berdaulatnya kaum tani dalam menentukan harga hasil produksi pertanianya.
Tak tanggung-tanggung, hasil produksi kaum tani harus melewati 4 mata-rantai tengkulak
barukemudian mencapai konsumen mulai dari tingkat terendah yang langsung terhubung dengan

8
kaum tani yaitu Tukang catut, selanjutnya tengkulak, selanjutnya pengepul, selanjutnya pengecer
baru kemudian sampai ke tangan konsumen, maka jangan heran jika harga di petani sangat rendah
akan tetapi begitu sampai ke tangan konsumen harga tersebut beruah drastis sanat mahal.

Tukang
Petani Tengkulak Pengepul Pengecer Konsumen
catut

Contoh :

Jika harga tomat dipetani seharga 1000 maka tengkulak akan mengambil dari tukang catut seharga
1.500 kemudian pengepul akan mengambil dari tengkulak dengan harga 1.500 – 2000 dan
pengecer amengambil dari pengepul dengan harga 2000- 2500 dan selanjutnya konsumen akan
menerima harga dari pengecer seharga 5.000 bahkan 10.000.

Dalam konsep ini pengepul menjadi pemain tunggal yang mengatur semuanya sebab akumulasi
hasil produksi terbesar dan tertinggi terletak padanya, sehingga pengepullah yang mengatur harga
baik untuk petani maupun konsumen.

Dalam kurun waktu 6 bulan terakhir saja untuk setiap komoditas pertanian kaum tani telah terjadi
berkali-kali penurunan dan peningkatan harga yang kesemuanya tergantung pada harga pasar,
misalnya untuk komoditas Cabai hampir tiap terus mengalami perubahan harga dari Rp. 4.000,
kemudian Rp. 7.000 hingga saat ini Rp. 25.000 disaat cabai sudahmulai langka dan bukan tidak
mungkin akan kembali mengalami penurunan pada bulan-bulan berikutnya, begitu juga dengan
komoditas tomat dari Rp. 2.000 kemudian Rp. 7.000, Rp. 4.000, Rp. 11.000, Rp. 15.000 dan saat
ini turun menjadi Rp. 5.000. hal serupa juga terjadi pada komoditas-komoditas pertanian lainya.

Penghitungan harga hasil produksi pertanian kaum tani semestinya harus tetap disejajarkan dengan
harga beras yang artinya satu Kg sayuran harga terendahnya harus dihargai setara dengan harga
satu Kg Beras, misalnya harga terendah dari 1 kg bawang merah harus sama dengan harga 1 kg
beras begitu juga dengan komoditas lainya, yang kesemuanya itu semestinya berada pada kontrol
negara secara penuh.

3. Mahalnya Biaya Kebutuhan Hidup dan Defisit Anggaran Keluarga Tani


Penderitaan kaum tani belum sampai disitu, kaum tani masih pula dihadapkan dengan terus
meningkatnya harga kebutuhan pokok mulai dari biaya makan sehari-hari hingga kebutuhan biaya
pendidikan bagi anak kaum tani.

9
Di sembalun setiap keluarga tani dalam tiap bulannya mengeluarkan biaya antara Rp. 2.500.000
sampai 3.500.000 untuk memenuhi kebutuhan hidup hal tersebut disebabkan oleh perbedaaan
harga kebutuhan masayarakat sembalun.

E. PERJUANGAN DEMOKRATIS NASIONAL SEBAGAI UPAYA


UNTUK PEMBEBASAN NASIB KAUM TANI
Rakyat Indonesia tidak akan dapat bebas sepenuhnya dan menentukan nasibnya sendiri untuk
mencapai kemajuan di lapangan ekonomi, politik, kebudayaan dan kemiliteran dan hubungan luar
negeri apabila tidak bersatu mengalahkan dominasi Imperialisme AS dan feodalisme di dalam
negeri yang menjadi agen atau kaki tangannya yaitu klas borjuasi besar komprador, tuan tanah dan
kapitalis birokrat. Rakyat Indonesia juga tidak dapat berharap pada imperialis AS, tuan tanah dan
kapitalis birokrat untuk memberikan kemerdekaan penuh pada bangsa dan rakyat Indonesia,
dengan sungguh-sungguh menjalankan reforma agraria sejati dan membangun industri nasional.
Sebab apa yang mereka lakukan hanyalah meneruskan produksi bahan mentah bagi imperialis
berbasis pada monopoli tanah yang luas, menyediakan tenaga kerja murah murah bagi pabrik milik
imperialis di Indonesia serta membiarkan negeri ini dalam cengkeraman utang dan investasi asing
serta menjadi tempat pemasaran. Keseluruhan masalah tersebut hanya melahirkan kemiskinan,
pengangguran akut, pendidikan dan kesehatan yang buruk serta kejahatan yang tidak ada akhirnya.
Berdasarkan keadaan objektif masyarakat Indonesia Setengah Jajahan Setengah Feodal, maka
perjuangan objektif yang harus dijalankan Indonesia adalah perjuangan demokratis nasional.

Karakter perjuangan rakyat Indonesia saat ini adalah Perjuangan Demokrasi Nasional. Yaitu
perjuangan bersifat Demokratis untuk menghancurkan secara politik dan ekonomi serta budaya
penindasan Feodalisme. Bersifat Nasional untuk menghancurkan secara politik, ekonomi dan
budaya dari penghisapan Imperialisme. Perjuangan Demokrasi Nasional adalah perjuangan yang
dilandasi adanya persamaan kepentingan antara klas buruh, kaum tani, dengan klas burjuasi (kecil
dan menengah) untuk menumbangkan feodalisme sebagai syarat untuk mendapatkan kebebasan,
baik dari penindasan dan penghisapan feodalisme maupun dari imperialisme.

Bagi kaum tani, perjuangan Demokratis Nasional berujuan untuk mengakhiri penghisapan
feodalisme terhadap kaum tani, melawan bentuk perampasan dan monopoli atas tanah. Oleh
karenanya, tujuan utama perjuangan Demokrasi Nasional adalah untuk menciptakan masyarakat
di mana tidak ada penekanan atas kemajuan tenaga produktif, sekaligus mengukuhkan identitas
kebangsaan yakni identitas masyarakat yang mandiri dan bersatu secara teritori, ekonomi, bahasa,
dan karakter nasional yang bebas dari cengkraman imperialisme dan feodalisme.

10
Hidup Kaum Tani!

Salam Demokrasi Nasional!

Jayalah Perjuangan Massa!

Hormat kami,

Sekretaris FMN Cabang Mataram Ketua FMN Cabang Mataram

Lalu Garin Hidayat L Muhammad Rizaldy

11

Anda mungkin juga menyukai