Anda di halaman 1dari 98

FAKTOR TERJADINYA PENGANIAYAAN TERHADAP

ANAK OLEH ANAK DIKOTA PONTIANAK DITINJAU


DARI SEGIKRIMINOLOGI

SKRIPSI

Oleh :

EDY MARBUN
A01112001

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

FAKULTAS HUKUM

PONTIANAK

2016
FAKTOR TERJADINYA PENGANIAYAAN TERHADAP
ANAK OLEH ANAK DIKOTA PONTIANAK DITINJAU
DARI SEGIKRIMINOLOGI

SKRIPSI

Oleh :

EDY MARBUN
A01112001

Skripsi ini Diajukan Sebagai Syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

FAKULTAS HUKUM

PONTIANAK

2016
FAKTOR TERJADINYA PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK OLEH
ANAK DI KOTA PONTIANAK DITINJAU DARI SEGI KRIMINOLOGI

Tanggung Jawab Yuridis Pada:

EDY MARBUN
NIM. A01112001

Disetujui Oleh:

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Dr. Sy. Hasyim Azizurrahman, SH, M.Hum Mega Fitri Hertini, SH, MH
NIP. 196305131988101001 NIP. 198604132009122005

Disahkan Oleh:
Dekan Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura

Dr. Sy. Hasyim Azizurrahman, SH, M.Hum


NIP. 196305131988101001

Tanggal Lulus: 11 Februari 2016


KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS TANJUNG PURA
FAKULTAS HUKUM
PONTIANAK

SUSUNAN TIM PENGUJI

PANGKAT TANDA
JABATAN NAMA
/GOL TANGAN
Ketua Dr. SY. HASYIM AZIZURRAHMAN, SH.,M.Hum Lektor
Penguji Kepala
NIP. 196305131988101001 IV/c

Sekretaris MEGA FITRI HERTINI, SH.,MH Asisten


Penguji Ahli
NIP. 198604132009122005 III/b

Penguji I Dr. Hj. SRI ISMAWATI, SH.,M.Hum Lektor


Kepala
NIP. 196610291992022001 IV/b

Penguji II Hj. HERLINA, SH.,MH Lektor


III/d
NIP. 196407031996012001

BERDASARKAN SURAT KEPUTUSAN DEKAN FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK

Nomor: 565/UN22.1/EP/2016
Tanggal: 5 Februari 2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha

Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan skripsi yang berjudul “FAKTOR TERJADINYA PENGANIAYAAN

TERHADAP ANAK OLEH ANAK DI KOTA PONTIANAK DITINJAU DARI

SEGI KRIMINOLOGI”. Skripsi ini disusun dalam rangka menyelesaikan studi

Strata I untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Tanjugpura Pontianak.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa hal ini tidak

akan berhasil tanpa bimbingan, motivasi dan bantuan dari berbagai pihak baik

secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini

penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Thamrin Usman, DEA, Rektor Universitas Tanjungpura Pontianak.

2. Dr. Sy. Hasyim Azizurrahman, SH, M.Hum, Dekan Fakultas Hukum Untan

Universitas Tanjungpura Pontianak serta Dosen Pembimbing I yang telah

membimbing dan memberi pengarahan hingga selesai penulisan skripsi ini.

3. Dr. Hj. Sri Ismawati, SH, M.Hum, Ketua Bagian Hukum Pidana serta Dosen

Penguji I yang telah memberikan saran dan masukan demi kesempurnaan

skripsi ini.

4. Mega Fitri Hertini, SH, MH,Sekretaris Bagian Hukum Pidana serta Dosen

Pembimbing II yang telah membimbing dan memberi pengarahan dalam

penulisan skripsi ini.


5. Hj. Herlina, SH, MH, Dosen Penguji II yang telah memberi saran dan

masukan demi kesempurnaan skripsi ini.

6. Prof. Dr. H. Garuda Wiko, SH, M.Si, selaku Dosen Pembimbing Akademik.

7. Seluruh staff di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura

Pontianak yang telah membantu proses administrasi demi kelancaran skripsi

ini.

8. Terima kasih kepada kedua Orang Tua, Keluarga dan Sonnia Valeria Markus

A.Md Keb atas segala dorongan, spirit, motivasi dan doa yang senantiasa

mengalir selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

9. Teman-teman seperjuangan yang telah memberikan dorongan moriil sehingga

skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

10. Terimakasih kepada anggota unit PPA Polresta Pontianak, Komisioner

KPAID Kalimantan Barat dan pihak-pihak yang telah membantu dalam

pengumpulan data pada penulisan skripsi ini.

11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

membantu memperlancar penulisan skripsi ini.

Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna,

oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.

Dan akhirnya penulis berharap semoga skripsi yang sederhana ini dapat

bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum.


Pontianak, Februari 2016

Penulis

EDY MARBUN
NIM. A01112001
ABSTRAK

Permasalahan kejahatan penganiayaan yang dilakukan oleh anak sudah


pada fase warning karena semakin hari semakin mengkhawatirkan. Penganiayaan
yang dilakukan oleh anak terhadap anak dapat memberikan dampak bagi anak
baik sebagai pelaku maupun anak sebagai korban. Karena dalam penganiayaan
yang menjadi pelaku akan mendapatkan ancaman pidana dan bagi korban sendiri
mendapatkan luka ringan maupun berat karena penganiayaan tersebut.

Berdasarkan data Polresta Pontianak, jumlah kasus anak yang berkonflik


dengan hukum terutama dalam kejahatan penganiayaan berjumlah 8 kasus pada
tahun 2015. Data tersebut merupakan data kasus kejahatan penganiayaan yang
dilakukan oleh anak terhadap anak. Oleh karena itu perlu adanya penelitian
hukum untuk mengetahui faktor penyebab anak melakukan kejahatan
penganiayaan sehingga dapat dilakukan upaya preventif terhadap anak sehingga
dapat menekan jumlah anak yang berkonflik dengan hukum terutama dalam
kejahatan penganiyaan.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis, dapat diketahui beberapa


faktor yang menjadi penyebab anak melakukan kejahatan penganiayaan. Faktor-
faktor yang menjadi penyebab anak melakukan kejahatan penganiayaan
berdasarkan hasil pengolahan data yang dilakukan oleh penulis adalah karena
tingkat emosi anak yang tidak stabil, kurangnya pengawasan orang tua, pengaruh
lingkungan dan pengaruh peniruan media elektronik.

Sebagai penutup berdasarkan hasil penelitian, dikemukakan kesimpulan


dan saran-saran yang kiranya dapat bermanfaat dan berguna dalam hal menekan
angka tingkat kejahatan penganiayaan yang dilakukan oleh anak.

Kata Kunci: Anak, Kejahatan Penganiayaan


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

ABSTRAK iv

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Peneltian 1

B. Masalah Penelitian 6

C. Tujuan Penelitian 7

D. Kerangka Pemikiran

1. Tinjauan Pustaka 7

2. Kerangka Konsep 26

E. Hipotesis 32

F. Metode Penelitian 32

BAB II FAKTOR TERJADINYA PENGANIAYAAN ANAK

TERHADAP ANAK DI KOTA PONTIANAK DITINJAU

DARI SEGI KRIMINOLOGI

A. Pengertian Anak 36

B. Pengertian Kejahatan dan Kejahatan Penganiayaan 39

C. Faktor Terjadinya Penganiayaan Anak Terhadap Anak 49


D. Upaya Penangulanggan Terjadinya Kejahatan

Penganiayaan Anak Terhadap Anak 57

BAB III PENGOLAHAN DATA

A. Analisa Data 62

B. Hasil Wawancara 67

C. Pembuktian Hipotesis 80

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan 82

B. Saran 83

DAFTAR PUSTKA

LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Rincian Jumlah Kejahatan Penganiayaan Yang Dilakukan

Oleh Anak Terhadap Anak Sepanjang Tahun 2010 -

Juli 2015 Di Kota Pontianak 63

Tabel 2 Status Anak 65

Tabel 3 Jenis Penganiayaan Yang Dilakukan Oleh Anak 66

Tabel 4 Status Orang Tua 67


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Anak merupakan generasi penerus bangsa, sudah selayaknya

mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, dalamrangka pembinaan

anak untuk mewujudkan sumber daya manusia yang tangguh serta

berkualitas sehingga dapat bersaing dalam era globalisasi yang sangat pesat

berkembang.

Salah satu pondasi yang sangat penting untuk mewujudkan negara

kuat, modern dan sejahtera adalah dengan menjadikan anak sebagai aset

masa depan. Sebagai komponen kemajuan bangsa anak harus diperhatikan

dengan baik dari berbagai aspekkehidupannya mulai dari pertumbuhan dan

perkembangan fisik maupun mentalnya. Dari segi pertumbuhan fisik sangat

penting untuk menjaga asupan gizi anak serta kesehatan anak sedangkan

dari segi perkembangan anak sangat penting untuk membimbing anak agar

memiliki kemampuan sosialisasi yang baik serta memperhatikan lingkungan

anak dan membentuk moral anak ke arah yang positif.

Seorang anak yang berada dalam tahap tumbuh kembang baik

secara fisik maupun mental belum mempunyai kemampuan untuk berdiri

sendiri dalam melaksanakan hak dan kewajibandalam kehidupan sosialnya.

Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi orang tua untuk menjamin,

memelihara dan mengamankan kepentingan anak.Kondisi fisik, mental dan


sosial seorang anak bersifat khas dan ditandai dengan sikap mementingkan

dirinya sendiri dan kurangnya pengawasan dari orang tua serta sikap meniru

lingkungan pergaulannya serta media elektronik. Oleh karena itu didalam

kenyataan banyak terjadi kekerasan, penganiayaan, bahkan pembunuhan

yang dilakukan oleh anak.

Kekerasan, peganiayaan, bahkan pembunuhan yang dilakukan oleh

anak adalah salah satu bentuk kejahatan anak. Emosional anak yang tak

terkendali dan kurangnya pengawasan dari orang tua menyebabkan anak

tersebut dengan mudah melakukan kekerasan fisik terhadap teman

sebayanya yang bahkan sampai mengarah ke penganiayaan bahkan sampai

menyebabkan kematian.

Anak sebagai penentu tercapainya cita-cita sebuah negara, oleh

karena itu segala perlindungan diberikan kepada anak untuk menjamin

terjaganya hak-hak anak seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pada masa depan, anak akan

menggantikan peran para generasi saat ini dalam berbagai aspek kehidupan.

Menjadi orang tua untuk anak-anaknya, menjadi pemimpin serta menjadi

tokoh-tokoh penting dalam perkembangan suatu bangsa dan negara.

Meskipun anak sebagai masa depan bangsa yang akan

menggantikan peran para generasi saat ini, namun pada faktanya dalam

proses tumbuh dan kembang anak pasti mengalami penyimpangan-

penyimpangan yang dapat mempengaruhi anak tersebut baik secara moral,

mental maupun fisik. Berbagai hal yang bersifat positif maupun negatif
dalam lingkungan anak akan memberikan dampak yang cukup besar dalam

pertumbuhan dan pembentukan karakter anak serta pola perilaku serta pola

pikir anak di masa depan. Hal-hal yang bersifat negatif inilah yang akan

mempengaruhi tumbuh dan kembang anak yang memberikan dampak dalam

pembentukan karakter serta pola perilaku dan pola pikir anak ke arah yang

negatif sehingga mengarah pada kenakalan anak bahkan sampai ke arah

kejahatan anak.

Mental anak yang masih dalam tahap pencarian jati diri, kadang

mudah terpengaruh dengan situasi dan kondisi lingkungan di sekitarnya.

Jika lingkungan tempat anak itu tumbuh adalah lingkungan yang buruk,

maka dapat berpengaruh terhadap perilaku dan pola pikir anak tersebut

sehingga anak mampu melakukan tindakan yang melanggar hukum. Hal itu

tentu dapat merugikan dirinya sendiri dan masyarakat di sekitarnya. Dan

tidak sedikit dari tindakan tersebut akhirnya menyeret mereka berurusan

dengan aparat penegak hukum.

Kenakalan anak adalah suatu penyimpangan perbuatan atau tingkah

laku anak dalam pergaulan anak tersebut yang dapat merugikan dan

menganggu teman-temannya maupun orang lain bahkan merugikan dirinya

sendiri. Kejahatan anak adalah bentuk penyimpangan anak yang

perbuatannya dapat diberikan sanksi berupa pidana karena telah melanggar

norma hukum yang berlaku.

Kejahatan anak saat ini bisa dikatakan sudah pada fase warning

karena semakin hari semakin meresahkan bahkan diluar batas kewajaran,


bukan hanya karena kejahatan yang anak lakukan adalah kejahatan yang

dapat dikatakan bahwa hanya orang dewasa saja yang dapat melakukannya

namun anak sebagai pelaku kejahatan yang pada masa yang akan datang

akan menjadi penerus bangsa serta mengantikan peran para generasi saat ini

dan sebagai masa depan suatu bangsa.

Di Kota Pontianak, berdasarkan data dari Polresta Pontianak bahwa

sepanjang tahun 2012 hingga Juli 2015 dalam kasus penganiayaan yang

dilakukan oleh anak terhadap anak adalah sebanyak 28 kasus, dengan

rincian per-tahunnya adalah sebagai berikut Tahun 2012 berjumlah 4 kasus,

Tahun 2013 berjumlah 7 kasus, Tahun 2014 berjumlah 9 kasus dan hingga

Juli 2015 berjumlah 8 kasus. Sedangkan berdasarkan data dari Lembaga

Pembinaan Khusus Anak (LPKA)/Lembaga Penitipan Anak Sementara

(LPAS) bahwa sepanjang tahun 2010 hingga November 2015 dalam kasus

penganiayaan yang dilakukan oleh anak terhadap anak adalah sebanyak 11

kasus, dengan rincian per-tahunnya adalah sebagai berikut Tahun 2010

berjumlah 3 kasus, Tahun 2011 berjumlah 2 kasus, Tahun 2012 berjumlah 0

kasus, Tahun 2013 berjumlah 3 kasus, Tahun 2014 berjumlah 2 kasus dan

hingga November 2015 berjumlah 1 kasus.

Berdasarkan data yang di dapat penulis dalam kasus kejahatan

penganiayaan yang dilakukan oleh anak adalah kejahatan penganiayaan

yang dilakukan oleh anak dilakukan terhadap teman sebayanya atau teman

sepermainannya serta terhadap orang lain yang mempunyai umur yang


sepantar dengannya ataupun mereka yang mempunyai bentuk fisik yang

sama ataupun lebih kecil dari dirinya.

Kejahatan yang dilakukan oleh anak menyebabkan anak tersebut

berkonflik dengan hukum. Dan karena hal tersebut anak harus memberikan

pertanggung jawabannya dihadapan hukum berupa penjatuhan sanksi.

Fakta menunjukkan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh anak

dewasa ini sangat bervariatif dan semakin bertambah. Seperti kejahatan

terhadap tubuh dan kejahatan terhadap nyawa atau dikenal dengan

penganiayaan dan pembunuhan. Kedua jenis kejahatan ini sangat erat

hubungannya satu sama lain karena pembunuhan hampir selalu didahului

dengan penganiayaan. Salah satu kejahatan terhadap tubuh dan terhadap

nyawa yang tidak bisa dipandang sebelah mata adalah kejahatan

penganiayaan khususnya yang dilakukan oleh anak terhadap anak.

Pembahasan mengenai kejahatan tubuh tidak lepas dari rumusan-

rumusan negara dalam melindungi hak-hak warga negaranya. Dibentuknya

pengaturan tentang kejahatan terhadap tubuh manusia ini ditujukan bagi

perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan

berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan

rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh

dapat menimbulkan kematian. Maka, kejahatan penganiayaan atau kejahatan

terhadap tubuh ini secara otomatis termasuk di dalam lingkup tindak pidana

yang unsur-unsur dan sanksi-sanksi bagi para pelakunya telah dimuat dalam

KUHP Buku II. Kejahatan terhadap “orang” dalam KUHP mencakup


kehormatan(penghinaan), membuka rahasia, kebebasan/kemerdekaan

pribadi, nyawa, tubuh/badan, harta benda/kekayaan. Namun pada umumnya,

para pakar menggabung hal-hal tersebut menjadi tindak pidana terhadap

jiwa dan tubuh, yang dalam KUHP diatur dengan sistematis sebagai,

kejahatan terhadap nyawa orang, penganiayaan, menyebabkan mati atau

lukanya orang karena kesalahan/kelalaian.

Kejahatan penganiayaan yang dilakukan oleh anak terhadap anak

menyebabkan keresahan dalam masyarakat karena kejahatan tersebut

membentuk watak anak menjadi keras sehingga mempengaruhi pola pikir

serta perilaku anak pada masa anak tersebut dewasa.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka penulis tertarik

untuk mengulas secara lebih dalam lagi dengan menuangkannya melalui

penulisan skripsi ini dan tertarik untuk mengangkat judul “FAKTOR

TERJADINYA PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK OLEH ANAK

DI KOTA PONTIANAK DITINJAU DARI SEGI KRIMINOLOGI”

B. Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang penelitian tersebut di atas, maka

yang menjadi permasalahan yang akan diulas oleh penulis dalam penulisan

ini yaitu, Apakah faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan

penganiayaan terhadap anak oleh anak di Kota Pontianak ditinjau dari

segi Kriminologi?
C. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai

penulis disamping tujuan ilmiah yaitu pembuktian hipotesis dan tujuan

praktis sebagai realisasi Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu Penelitian.

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah sebagai

berikut:

1. Untuk mendapatkan data dan informasi tentang kasus kejahatan

penganiayaan yang dilakukan oleh anak terhadap anak di Kota

Pontianak.

2. Untuk mengetahui dan mengungkapkan faktor-faktor penyebab

terjadinya kejahatan peganiayaan yang dilakukan oleh anak

tethadap anak di Kota Pontianak.

3. Untuk memberi sumbangsih dan pemikiran dalam upaya

pencegahan timbulnya kejahatan peganiayaan yang dilakukan oleh

anak terhadap anak di Kota Pontianak.

D. Kerangka Pemikiran

1. Tinjauan Pustaka

Indonesia adalah negara hukum, seperti tertuang dalam Pasal 1 ayat

(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara

Republik Indonesia yang dibangun dengan mengedepankan supremasi

hukum serta kepastian hukum. Hukum akan dijadikan oleh setiap insan

manusia sebagai pedoman untuk bersosialisai dalam kehidupan

bermasyarakat. Hukum sebagai seperangkat aturan yang di buat agar


terciptanya keamanan dan ketertiban dalam hidup bermasyarakat. Manusia

sebagai makhluk sosial juga menggunakan hukum sebagai batasan-batasan

supaya tidak melanggar hak orang lain dalam kehidupan bermasyarakat.

Anak sekalipun yang dianggap masih belum mengerti tentang kehidupan

bermasyarakat sudah diatur dan dijamin hak-haknya dalam bermasyarakat

dalam sebuah peraturan-peraturan berupa undang-undang atau peraturan-

peraturan lainnya.

Kedudukan anak dalam lingkungan hukum sebagai subjek


hukum ditentukan dari sistem hukum terhadap anak sebagai kelompok
masyarakat yang berada di dalam status hukum dan tergolong tidak
mampu atau di bawah umur. Maksud tidak mampu karena kedudukan
akal dan pertumbuhan fisik yang sedang berkembang dalam diri anak
yang bersangkutan. Meletakkan anak sebagai subjek hukum yang lahir
dari proses sosialisasi berbagai nilai ke dalam peristiwa hukum pidana
maupun hukum hubungan kontrak yang berada dalam lingkup hukum
perdata menjadi mata rantai yang tidak dapat dipisahkan.1

Mengenai batas umur anak tidak dapat ditentukan begitu saja,

tetapi umumnya yang dimaksud anakadalah orang yang belum dewasa atau

yang masih muda umurnya.Sebagian besar undang-undang ataupun

peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan anak memiliki

pengertian atau definisi tentang anak yaitu orang yang belum berusia 18

tahun dan belum pernah menikah, seperti tertuang dalam Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Menurut Children

Rights Convention (CRC) atau Konvensi Hak Anak.

1
. Maulana Hasan Wadong, 2000, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta,
Gramedia Wina Sarana, h.3
Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, anak adalah

bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang

merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki

peran penting dan mempunyai ciri dan sifat khusus memerlukan pembinaan

perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan

fisik, mental, sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.

Namun pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak, yang dimaksud anak adalah anak yang

berhadapan dengan hukum yang dibagi ke dalam tiga kategori yaitu anak

yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban kejahatan dan

anak yang menjadi saksi kejahatan. Dalam undang-undang ini yang

dimaksud dengan Anak yang berkonflik dengan hukum yang disebut Anak

Pelaku adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum

berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan kejahatan, dan

anak yang menjadi korban kejahatan yang selanjutnya disebut Anak Korban

dalam undang-undang ini adalah anak yang belum berumur 18 (delapan

belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian

ekonomi yang disebabkan oleh kejahatan serta anak yang menjadi saksi

kejahatan yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum

berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna

kepentingan penyidikan, penuntutan , dan pemeriksaan di sidang pengadilan

tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya

sendiri.
Pengertian anak yang terdapat dalam Pasal 45 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana yaitu:

Anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam


belas) tahun. Apabila anak yang masih dibawah umur terjerat perkara
pidana hakim dapat memerintahkan supaya anak yang terjerat
perkara pidana dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, atau
orang tua asuhnya, tanpa pidana atau memerintahkan supaya
diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana atau di pidana
pengurangan 1/3 (satu pertiga) dari ancaman maksimum 15 tahun.2

Anak yang melakukan kejahatan atau anak yang berkonflik dengan

hukum biasa disebut sebagai anak nakal atau anak yang melakukan

kenakalan namun kenakalan yang dilakukan anak dalam konteks ini berbeda

dengan kenakalan yang dimaksud dalam Pasal 489 KUHP.

Menurut DR. Wagiati Soetodjo, SH, M.S., kenakalan diambil


dari istilah asing yaitu Juvenile Deliquency. Juvenile sendiri berarti
young yaitu anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa
muda/sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan Deliquency
artinya doingwrong yang diartikan sebagai terabaikan atau
mengabaikan yang kemudian pengertian ini diperluas lagi menjadi
jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau,
penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila dan lain-lain.3

Menurut bentuknya, Sunarwiyati S. membagi kenakalan anak dan

remaja ke dalam tiga tingkatan, yaitu :

a. Kenakalan biasa, seperti suka berkelahi.

b. Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan.

c. Kenakalan khusus seperti penyalahgunaan narkotika.4

2
. Supramono Gatot, 2000, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, h.140
3
. Wagiati Soetodjo, 2006, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama Bandung, h.8
4
. Kartini Kartono, 1988, Psikologi Remaja, Bandung : PT.Rosda Karya
Anak-anak yang termasuk dalam golongan Juvenile Deliquency

sering kali dianggap sebagai anak yang sedang dalam masa transisi dengan

tingkah laku anti sosial dengan disertai pergolakan hati sehingga segala

jenis gejala kenakalan dan kejahatan yang muncul itu merupakan akibat dari

proses perkembangan pribadi anak yang mengandung unsur dan usaha:

1. Kedewasaan seksual;

2. Pencaharian suatu identitas kedewasaan;

3. Adanya ambisi materiil yang tak terkendali;

4. Kurang atau tidaknya disiplin diri.5

Selain itu, kejahatan yang dilakukan oleh anak merupakan produk

sampingan dari:

1. Pendidikan massal yang tidak menekankan pendidikan watak


dan kepribadian anak;
2. Kurangnya usaha orang tua dan orang dewasa menanamkan
moralitas dan keyakinan beragama pada anak-anak muda;
3. Kurang ditumbuhkannya tanggung jawab sosial pada anak-
anak remaja.6

Menurut Yudrik Jahja dalam bukunya Psikologi

Perkembangan bahwa masa pubertas itu dimulai antara usia 11 – 14

sampai pada usia sekitar 18 tahun.7 Masa pubertas adalaha masa transisi

yang dialami seorang anak dalam tumbuh kembangnya menuju dewasa. Dan

pada masa transisi ini menurut Yudrik Jahya merupakan masa sulit bagi

remaja maupun orang tuanya, dikarenakan sejumlah alasan, yaitu:

5
. Kartini Kartono, 2008, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Raja Grafindo Persada
Jakarta, (selanjuntnya disingkat Kartini Kartono I) h.8
6
. Kartini Kartono I, op.cit h.8
7
. Yudrik Jahja, 2012, Psikologi Perkembangan, Kencana Jakarta, h.225
1. Remaja mulai menyampaikan kebebasan haknya untuk
mengemukakan pendapatnya sendiri. Tidak terhindarkan, ini
dapat menciptakan ketegangan dan perselisihan, dan dapat
menjatuhkan ia dari keluarga.
2. Remaja lebih mudah dipengaruhi teman-temanya daripada
ketika masih lebih muda. Ini berarti pengaruh orang tua pun
melemah. Anak remaja berperilaku dan mempunyai
kesenangan yang berbeda bahkan bertentangan dengan
perilaku dan kesenangan keluarga. Contoh-contoh umum yaitu
mode pakaian, potongan rambut, atau musik, yang semuanya
harus muktahir.
3. Remaja mengalami perubahan fisik yang luar biasa, baik
pertumbuhan seksualitasnya. Perasaan seksual yang mulai
muncul dapat menakutkan, membingunkan,dan menjadi
sumber perasaan salah dan frustasi.
4. Remaja sering menjadi terlalu percaya diri dan ini sama-sama
dengan emosinya yang biasanya meningkat, mengakibatkan ia
sukar menerima nasihat orang tua.8

Alasan-alasan yang dikemukakan oleh Yudrik Jahja dalam

bukunya Psikologi Perkembangan menitik beratkan kepada internal

perkembangan anak tersebut menuju proses dewasa seperti mampu untuk

menyampaikan pandangannya sendiri, mudah dipengaruhi oleh

pergaulannya, mengalami pertumbuhan fisik dan seksualnya serta tingkat

emosi anak yang semakin meningkat dan sukar untuk dinasihati.

Perilaku anak yang tidak sesuai dengan norma itu dianggap

sebagai anak yang cacat sosial dan kemudian masyarakat menilai cacat

tersebut sebagai sebuah kelainan sehingga perilaku mereka pun disebut

dengan kenakalan.9

Anak dalam masa pubertas terkadang sering melakukan kenakalan

bahkan kejahatan, hal tersebut terjadi karena anak tersebut memiliki kontrol

8
. Ibid.
9
. Kartini, Kartono, 1986, Psikologi Sosial 2, Kenakalan Remaja, Jakarta: Rajawali, h.93
diri yang kurang dan terkadang membuat sendiri standar-standar tingkah

laku di luar standar norma yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.

Kejahatan yang dilakukan anak-anak tentu memiliki motif tertentu untuk

mencapai tujuannya. Adapun motif yang mendorong mereka melakukan

tindak kejahatan adalah:

1. Untuk memuaskan kecenderungan keserakahan.


2. Meningkatnya agresivitas dan dorongan seksual.
3. Salah-asuh dan salah-didik orang tua, sehingga anak menjadi
manja dan lemah mentalnya.
4. Hasrat untuk berkumpul dengan kawan senasib dan sebaya,
dan kesukaan untuk meniru-niru.
5. Kecenderungan pembawaan yang patologis atau abnormal.
6. Konflik batin sendiri, dan kemudian menggunakan mekanisme
pelarian diri serta pembelaan diri yang irrasional.10

Terdapat beberapa teori yang dikemukakan para sarjana untuk

menunjukkan penyebab terjadinyan Juvenile Deliquency, antara lain:

1. Teori Biologis;

2. Teori Psikogenis (Psikologis dan Psikiatri);

3. Teori Sosiogenis;

4. Teori Subkultur;11

Kejahatan remaja yang merupakan gejala penyimpangan dan

patologis secara sosial itu juga dapat dikelompokkan dalam satu kelas

defektif secara sosial dan mempunyai sebab-musabab yang majemuk, jadi

sifatnya multi kausal. Para sarjana menggolongkannya menurut beberapa

teori, sebagai berikut:

10
. Kartini Kartono I, op.cit h.9
11
. Kartini Kartono I, Op.Cit, h.25
1. Teori Biologis

Tingkah laku sosiopatik atau delinkuen pada anak-anak dan remaja

dapat muncul karena faktor-faktor fisiologis dan struktur jasmaniah

seseorang, juga dapat cacat jasmaniah yang dibawa sejak lahir. Kejadian ini

berlangsung:

a. Melalui gen atau plasma pembawa sifat dan keturunan, atau

melalui kombinasi gen, dan dapat juga disebabkan oleh tidak

adanya gen tertentu, yang semuanya bisa memunculkan

penyimpangan tingkah-laku, dan anak-anak menjadi delinkuen

secara potensial.

b. Melalui pewarisan tipe-tipe kecenderungan yang luar biasa

(abnormal), sehingga membuahkan tingkah-laku delinkuen.

c. Melalui pewarisan kelemahan konstitusional jasmaniah tertentu

yang menimbulkan tingkah-laku delinkuen atau sosiopatik.

Misalnya cacat jasmaniah bawaan brachydactylisme (berjari-jari

pendek) dan diabetes ispidius (sejenis penyakit gula) itu erat

berkorelasi dengan sifat-sifat kriminal serta penyakit mental. 12

2. Teori Psikogenesis

Teori ini menekankan sebab-sebab tingkah-laku delinkuen anak-

anak dari aspek psikologis. Antara lain inteligensi, ciri kepribadian,

motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi, internalisasi diri

12
. Kartini Kartono I, Op.Cit, h.25
keliru, konflik batin, emosi yang kontrovesial, kecenderungan

psikopatologis dan lain-lain.

Argumen sentral teori ini ialah sebagai berikut, delinkuen

merupakan bentuk penyelesaian atau kompensasi dari masalah psikologis

dan konflik batin dalam menanggapi stimuli eksternal/sosial dan pola-pola

hidup keluarga yang patologis. Kurang lebih 90% dari jumlah anak-anak

delinkuen berasal dari keluarga berantakan (broken home). Kondisi keluarga

yang tidak bahagia dan tidak beruntung, jelas membuahkan masalah

psikologis personal dan adjustment (penyesuaian diri) yang terganggu pada

diri anak-anak; sehingga mereka mencari kompensasi diluar lingkungan

keluarga guna memecahkan kesulitan batinnya dalam bentuk perilaku

delinkuen. Ringkasnya, delinkuensi atau kejahatan anak-anak merupakan

reaksi terhadap masalah psikis anak remaja itu sendiri.

Sebagian besar dari masyarakat tidak melakukan kejahatan,

sekalipun mempunyai kecenderungan egoistis dan anti sosial, disebabkan

adanya kontrol diri yang kuat dan kepatuhan secara normal terhadap kontrol

sosial yang efektif. Mayoritas anak tidak menjadi jahat. Yang penting harus

kita diketahui ialah pengaruh serta motif yang melatarbelakangi kemunculan

sifat-sifat delinkuen itu. Contohnya, kebanyakan anak-anak kriminal adalah

mereka yang suka tinggal kelas di sekolah dan yang putus sekolah.

Anak-anak delinkuen itu melakukan banyak kejahatan didorong

oleh konflik batin sendiri. Jadi mereka mempraktekkan konflik batinnya

untuk mengurangi beban tekanan jiwa sendiri lewat tingkah-laku agresif,


impulsif dan primitif. Oleh karena itu kejahatannya mereka pada umumnya

erat berkaitan dengn temperamen, konstitusi kejiwaan yang galau. Konflik

batin dan frustasi yang akhirnya ditampilkan secara spontan keluar.

Anak-anak delinkuen ini pada umumnya mempunyai intelegensi

herbal yang rendah, ketinggalan dalam pencapaian hasil skolastik (prestasi

sekolah rendah). Dengan kecerdasan yang tumpul dan wawasan sosial yang

kurang tajam,anak-anak tersebut mudah sekali terseret oleh ajakan buruk

untuk menjadi delinkuen jahat. Anak-anak delinkuen banyak membolos dari

sekolah. Kurang lebih dari anak-anak yang terbelakang mentalnya

menjadi kriminal, dan 50% dari anak-anak delinkuen itu pernah

mendapatkan hukuman polisi atau pengadilan lebih dari satu kali.13

Kira-kira sepertiga dari jumlah anak-anak dari lembaga

pemasyarakatan menderita konflik intrapsikis dan kelainan tempramental.

Kejahatan yang mereka lakukan biasanya dipraktekkan seorang diri, dengan

cara-cara yang implusif dan agresif, tidak peduli terhadap hasil

perolehannya, bahkan seringkali anak tadi tidak menghindarkan diri untuk

dikenali oleh orang luar. Jadi mereka secara kasar dan terang-terangan

melakukan tindak kriminal.

Akibat kelalaian orang tua dalam mendidik anak-anaknya, dan

tidak adanya kontrol yang terus-menerus, serta tidak berkembangnya

disiplin-diri, mudah membawa anak tersebut pada lingkungan sosial yang

tergabung dalam gang-gang. Mereka lalu belajar melakukan adaptasi

13
. Kartini Kartono I, Op.Cit, h.30
terhadap masyarakat secara normal, namun justru beradaptasi terhadap

masyarakat yang jahat dan menyimpang dari norma-norma sosial. Biasanya

anak-anak itu juga ditambahi beban ekstra berupa tekanan-tekan batin, sakit

karena pengaruh alkohol dan bahan-bahan narkotik, dan gangguan mental

tertentu.

Delinkuensi cenderung lebih banyak dilakukan oleh anak-anak,

remaja dan adolesens ketimbang dilakukan oleh orang-orang dengan

kedewasaan muda (young adulthood). Remaja dan adolesens delinkuen ini

mempunyai moralitas sendiri, dan biasanya tidak mengindahkan norma-

norma moral yang berlaku ditengah masyarakat. Disamping itu, semua fase

transisi, juga fase transisi masa kanak-kanak menuju kedewasaan, selalu

membangkitkan protes adolesens, walaupun banyak terdapat kesejahteraan,

kemakmuran, penghasilan yang tinggi dan kesempatan kerja di tengah

masyarakat. Semangat protes memberontak inilah yang ikut memainkan

peranan penting dalam membentuk pola tingkah-laku delinkuen.

3. Teori Sosiogenis

Kenakalan remaja pada faktor lingkungan keluarga dan

masyarakat. Para sosiolog berpendapat penyebab tingkah-laku delinkuen

pada anak-anak remaja ini adalah murni sosiologis atau sosial psikologis

sifatnya. Misalnya disebabkan oleh pengaruh sruktur sosial, tekanan

kelompok, peranan sosial, status sosial atau oleh internalisasi simbolis yang

keliru, Maka faktor-faktor kultural dan sosial itu sangat mempengaruhi,

bahkan mendominasi struktur lembaga-lembaga sosial dan peranan sosial


setiap individu ditengah masyarakat, status individu di tengah kelompoknya

partisipasi sosial, dan pendefinisian diri atau konsep dirinya.

Proses simbolisasi diri ini pada umumnya berlangsung tidak sadar

dan berangsur-angsur untuk kemudian menjadi bentuk kebiasaan jahat

delinkuen pada diri anak. Semua berlangsung sejak usia sangat muda, mulai

di tengah keluarga sendiri yang berantakan, sampai pada masa remaja dan

masa dewasa di tengah masyarakat ramai. Berlangsunglah kini

pembentukan pola tingkah-laku yang menyimpang dari norma-norma umum

yang progresif sifatnya, yang kemudian dirasionalisir dan dibenarkan sendiri

oleh anak lewat mekanisme negatif dan proses pembiasaan diri.

Dinyatakan bahwa, frekuensi delinkuensi anak remaja itu lebih

tinggi dari frekuensi kejahatan orang dewasa di kota-kota besar, jadi ciri-ciri

karekteristik sosio-kultural yang pada umumnya dilakukan secara bersama-

sama. Dengan demikian, sebab-sebab kejahatan anak remaja anak itu tidak

hanya terletak pada lingkungan familial dan tetangga saja, akan tetapi

disebabkan oleh konteks kulturalnya. Oleh karenanya jelas kejahatan anak

tersebut dipupuk oleh lingkungan sekitar yang buruk dan jahat, ditambah

dengan kondisi sekolah yang kurang menarik bagi anak.

Teori Sutherland menyatakan bahwa anak dan para remaja menjadi

delinkuen disebabkan oleh partisipasinya di tengah-tengah suatu lingkungan

sosial, yang ide dan teknik delinkuen tertentu dijadikan sarana yang efisiensi

untuk mengatasi kesulitan hidupnya. Semakin lama anak bergaul dan

semakin intensif relasinya dengan anak-anak jahat lainnya, akan menjadi


semakin lama pula proses berlangsungnya asosiasi diferensial tersebut,

semakin besar kemungkinan anak-anak remaja tadi benar-benar menjadi

kriminal.

4. Teori Subkultur (Pola Budaya) delikuensi

Subkultur delinkuen gang remaja itu mengaitkan sistem nilai,

kepercayaan/keyakinan, ambisi-ambisi tertentu (misalnya ambisi materiil,

hidup bersantai, pola kriminal, relasi heteroseksual bebas dan lain-lain) yang

memotivasi timbulnya kelompok-kelompok remaja berandalan dan

kriminal.

Menurut teori subkultur ini, sumber Juvenile Delinquency ialah,

sifat-sifat suatu struktur sosial dengan pola budaya (subkultur) yang khas

dari lingkungan familial, tetangga dan masyarakat yang didiami oleh remaja

delinkuen tersebut. Sifat-sifat masyarakat tersebut antara lain:

a. Punya populasi yang padat.

b. Status sosial-ekonomis penghuninya rendah.

c. Kondisi fisik perkampungan yang sangat buruk.

d. Banyak disorganisasi familial dan sosial bertingkat tinggi. 14

Anak-anak delinkuen dari subkultur kelas menengah banyak yang

menggunakan obat perangsang dan minuman alkoholik. Pertama, kebiasaan

ini dipakai untuk menghilangkan kejemuan dan kejenuhan. Kedua, untuk

melupakan dan menghilangkan konflik batin sendiri dan ketiga untuk

14
. Kartini Kartono I, Op.Cit, h.35
memberikan kegairahan serta keberanian hidup. Kebiasaan mabuk ini

banyak memunculkan keributan dan huru-hara massal.

Lebih spesifik lagi, Romli Atmasasmita menyebut penyebab kenakalan

anak sebagai motivasi dan membagi penyebab atau motivasi tersebut ke dalam

dua bagian yaitu15:

1. Motivasi intrinsik terdiri dari faktor

a. Faktor integentia;

b. Faktor usia;

c. Faktor kelamin

d. Faktor kedudukan anak dalam keluarga.

2. Motivasi ekstrinsik terdiri dari faktor

a. Faktor rumah tangga;

b. Faktor pendidikan dan sekolah;

c. Faktor pergaulan anak;

d. Faktor mass media.

Containment Theory yang digagas oleh Reckless berpendapat

bahwa terdapat beberapa cara pertahanan bagi individu agar

bertingkah laku selaras dengan nilai dan norma-norma yang ada di

dalam masyarakat16. Pertahanan tersebut dapat berasal dari dalam (intern),

yaitu berupa kemampuan seseorang melawan atau menahan godaan untuk

melakukan kejahatan serta memelihara kepatuhan terhadap norma-norma

15
. Romli Atmasasmita, 2010, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama,
Bandung. (selanjuntnya disingkat Romli Atmasasmita I)
16
. Dermawan, M. Kemal., & Mamik Sri Supatmi., 2011, Teori Pengendalian
Sosial,Jakarta, h.15
yang berlaku. Ada juga pertahanan yang berasal dari luar (extern), yaitu

suatu susunan hebat yang terdiri dari tuntutan-tuntutan legal dan larangan-

larangan yang menjaga anggota masyarakat agar tetap berada dalam ikatan

tingkah laku yang diharapkan oleh masyarakatnya tersebut. Dengan

demikan, kedua benteng pertahanan ini (intern dan extern) bekerja sebagai

pertahanan terhadap norma sosial dan norma hukum yang telah menjadi

kesepakatan bagi masyarakat.

Setiap orang merupakan subjek hukum maka secara otomatis setiap

orang harus mentaati dan mematuhi serta terikat oleh hukum tersebut dan

hal ini pula yang menyebabkan seseorang yang melakukan kejahatan akan

dimintai pertanggung jawabannya secara hukum (pidana). Pertanggung

jawaban ini juga mengikat terhadap anak yang melakukan suatu kejahatan

namun apabila anak tersebut sudah berumur 12 (dua belas) tahun namun

belum genap berumur 18 (delapan belas) tahun seperti yang sudah diatur

dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak. Namun sanksi pidana yang dijatuhkan

kepada anak didasarkan pada kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan anak.

Penjatuhan pidana atau tindakan merupakan suatu tindakan yang harus

mempertanggungjawabkan dan bermanfaat bagi anak. Hakim wajib

mempertimbangkan keadaan anak, keadaan rumah, keadaan lingkungan dan

laporan pembimbing kemasyarakatan.

Kelompok dimana seseorang hidup dan melangsungkan

kegiatannya dapat berpengaruh terhadap tingkah lakunya. Apalagi jika


seseorang itu masih termasuk dalam kelompok anak yang masih labil

kepribadiannya dan masih dalam tahap pencarian jati dirinya. Mereka inilah

yang dengan mudah dapat dipengaruhi ataupun diprovokasi oleh hal-hal

negatif yang menjurus pada pelanggaran, baik pelanggaran norma hukum

maupun pelanggaran norma yang lain seperti kekerasan yaitu

penganiayaan.Penganiayaan itu ialah kesenganjaan menimbulkan rasa

sakit atau menimbulkan luka pada tubuh orang lain.17

Prof. Simons berpendapat :


Bahwa berdasarkan pengertiannya yang paling tepat
memgenai kata penganiayaan dan sesuai dengan maksud pembentuk
undang-undang, suatu tindakan yang mendatangkan rasa sakit atau
menimbulkan luka pada tubuh orang lain tidak dapat dipandang
sebagai suatu penganiayaan, jika tindakan itu teah dilakukan dengan
maksud untuk menyembuhkan kesehatan badan. Adanya suatu tujuan
yang dapat dibenarkan itu sendiri tidak meniadakan sifatnya tindakan
tersebut sebagai suatu penganiayaan. Akan tetapi jika tindakan–
tindakan yang mendatangkan rasa sakit itu sifatnya adalah demikian
ringan dan dapat memperoleh pembenarannya pada suatu tujuan yang
dapat dibenarkan, maka tindakan-tindakan tersebut dapat dipandang
bukan sebagai suatu penganiayaan.18
Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut

penganiayaan. Pengaturan tentang kejahatan terhadap tubuh manusia

ini ditujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari

perbuatan-perbuatan yang berupa penyerangan atas tubuh atau bagian

dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka.19

Kejahatan terhadap tubuh atas dasar unsur kesalahannya terdiri dari

dua macam bentuk, yaitu :


17
. Lamintang, 2010, Kejahatan Terhadap Nyawa Dan Tubuh, Sinar Grafika, Jakarta,
h.132
18
. Ibid h.140
19
. Ismu Gunadi, 2011, Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana (jilid 2), PT.Prestasi
Pustakaraya, Surabaya, (selanjutnya disebut Ismu Gunadi I), h. 3
a. Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja.

Kejahatan yang dimaksudkan ini diberi kualifikasi sebagai

penganiayaan, dimuat dalam Buku II Pasal 351 sampai dengan 358.

b. Kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian, dimuat dalam Pasal 360

yang dikenal dengan kualifikasi karena lalai menyebabkan orang

lain luka.20

Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja

(penganiayaan) dapat dibedakan menjadi 5 macam yaitu:

a. Penganiayaan Biasa (Pasal 351 KUHP)

Penganiayaan biasa yang dapat juga disebut dengan penganiayaan

pokok atau bentuk standar ketentuan Pasal 351 yaitu pada hakikatnya semua

penganiayaan yang bukan penganiayaan berat dan bukan penganiayaan

ringan.

b. Penganiayaan Ringan (Pasal 352 KUHP)

Hal ini diatur dalam Pasal 352 KUHP. Menurut pasal ini,

penganiayaan ringan ini ada dan diancam dengan maksimum hukuman

penjara 3 (tiga) bulan atau denda tiga ratus rupiah apabila tidak masuk

dalam rumusan Pasal 353 dan Pasal 356 KUHP, dan tidak menyebabkan

sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan. Hukuman ini

bisa ditambah dengan sepertiga bagi orang yang melakukan penganiayaan

ringan ini terhadap orang yang bekerja padanya atau ada dibawah perintah.

c. Penganiayaan Berencana (Pasal 353 KUHP)

20
. Ibid.
Menurut Mr. M. H Tirtaamiddjaja mengutarakan arti

“direncanakan lebih dahulu” sebagai berikut :

“Bahwa ada suatu jangka betapapun pendeknya untuk mempertimbangkan

dan memikirkan dengan tenang.”21

Unsur perencanaan ini tidak perlu ada tenggang waktu lama antara

waktu merencanakan dan waktu melakukan perbuatan penganiayaan berat

atau pembunuhan. Meskipun ada tenggang waktu itu yang tidak begitu

pendek, belum tentu dapat dikatakan ada rencana lebih dulu secara tenang.

Ini semua tergantung kepada keadaan konkret dari setiap peristiwa. 22

d. Penganiayaan Berat (Pasal 354 KUHP)

Hal ini diatur oleh Pasal 354 KUHP. Perbuatan penganiayaan berat

haruslah dilakukan dengan unsur kesengajaan oleh orang yang menganiaya

seperti menusuk dengan pisau.

e. Penganiayaan Berat Berencana

Hal ini diatur oleh Pasal 355 KUHP. Kejahatan ini merupakan

hubungan antara penganiayaan berat (Pasal 354 ayat 1) dan penganiayaan

berencana (Pasal 535 ayat 2). Kedua bentuk penganiayaan ini harus

terpenuhi baik unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan

berencana. Kematian dalam penganiayaan berat berencana bukanlah

menjadi tujuan. Dalam hal akibat, kesengajaan ditujukan pada akibat

21
. Leden Marpaung, 2000, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, Sinar Grafika,
Jakarta, h.56
22
. Wirjono Prodjodikoro, 2008, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika
Aditama, Bandung, h.70
luka beratnya saja dan tidak pada kematian korban. Jika kesengajaan

terhadap matinya korban, maka disebut pembunuhan berencana.23

Kejahatan penganiayaan yang pelaku dan korbannya adalah anak

dalam hal ini yang kemudian dicari faktor penyebabnya dari sudut pandang

kriminologi. Secara harafiah, kriminologi berasal dari kata “crimen”

yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos” yang berarti ilmu

pengetahuan sehingga kriminologi dapat diartikan sebagai ilmu

tentang kejahatan atau penjahat.24 Disini yang menjadi pembahasan

dalam kriminologi adalah penyebab terjadinya kejahatan. Sedangkan

menurut Bonger, kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang bertujuan

menyelidiki kejahatan seluas-luasnya (kriminologi teoritis atau murni).

Kriminologi teoritis adalah ilmu pengetahuan yang berdasarkan

pengalaman yang seperti ilmu pengetahuan lainnya yang sejenis,

memperhatikan gejala-gejala dan mencoba menyelidiki sebab-sebab

dari gejala tersebut dengan cara-cara yang ada padanya.25Menurut Paul

Mudikdo Mulyadi, Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang

ditunjang oleh berbagai ilmu yang membahas kejahatan sebagai

masalah manusia.26

Peranan lingkungan pertemanan serta sikap meniru anak adalah hal

yang mempengaruhi pembentukan watak atau perilaku anak. M. Arifin

23
. Ismu Gunadi I, Op.Cit, hal.9
24
. Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2010, Kriminologi, Rajawali Press Jakarta, h.9
25
. Mr. W. A Bonger, 1995, Pengantar Tentang Kriminologi, Pustaka Sarjana Jakarta
26
. A. Gumilang, 1991, Kriminalistik Pengetahuan Tentang Teknik Dan Taktik
Penyidikan, Angkasa Bandung.
mengamati masalah anak dengan menguraikan faktor-faktor terjadinya.27 M.

Arifin menganggap bahwa "keadaan dan lingkungan sekitar remaja puber

yang bersifat negatif akan lebih mudah mempengaruhi tingkah laku yang

negatif pula. Sebaliknya keadaan lingkungan sekitar yang bersifat positif

akan mengandung nilai-nilai konstruktif yang akan memberikan

pengaruhpositif pula. Oleh karena situasi perkembangan jiwa remaja yang

labil demikian itu, maka cenderung untuk melakukan penyimpangan yang

dirasakan sebagai suatu proses terhadap situasi dan kondisi masyarakat yang

kurang akomodatif terhadap angan-angan dan gejolak jiwanya.”

Peran penting orang tua dalam pembentukan watak anak sangatlah

penting karena orang tua merupakan bagian penting dalam pertumbuhan dan

perkembangan anak karena dari sanalah pembentukan perilaku dan

pemasukan nilai-nilai dasar pada anak sebelum anak masuk dalam

lingkungan pertemanannya hingga ke lingkungan masyarakat.

2. Kerangka Konsep

Mental anak yang masih dalam tahap pencarian jati diri, sangat

mudah terpengaruh dengan situasi dan kondisi lingkungan di sekitarnya.

Jika lingkungan tempat anak itu tumbuh adalah lingkungan yang buruk, hal

tersebut juga dapat berpengaruh terhadap perilaku dan pola pikir anak

sehingga anak mampu melakukan tindakan menyimpang bahkan sampai

melanggar hukum.

27
. M.Arifin, 2004, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan umum, Jakarta: Bumi Aksara,
h.78
Kurangnya perhatian orang tua dalam mengawasi dan mendidik

anak sehingga dapat menyebabkan anak menjadi nakal atau Juvenile

Deliquency dan hal ini dapat mengarahkan anak pada kejahatan seperti

penganiayaan. Perhatian yang dimaksud adalah orang tua harus mengetahui

dan memahami tahap-tahap perkembangan anak serta mengetahui

kebutuhan pokok mereka yang harus terpenuhi, karena jika salah satu atau

kedua hal ini tidak terpenuhi maka setelah melewati tahap-tahap

perkembangan maka akan nampak perilaku anak yang menyimpang. 28 Pada

saat unsur-unsur tumbuh dan kembang anak dalam tahap berkembangnya

tidak diawasi dan kurang diperhatikan oleh orang tua hal tersebutlah yang

akan menyebabkan anak melakukan kenakalan yang bahkan sampai

kejahatan.

Keluarga yang tidak kondusif dan tatanan sosial masyarakat yang

tidak stabil akan mendorong pada tumbuhnya kenakalan anak. Sedangkan

menurut Sujanto, kenakalan anak disebabkan oleh keluarga. Karena

sejak kecil anak berada dalam lingkungan keluarga dan sebagian besar

waktunya pun dihabiskan bersama keluarga.29 Adapun keadaan keluarga

yang dapat menyebabkan kenakalan anak yakni keluarga yang tidak normal

(Broken Home) dan Quasi Broken Home. Broken Home atau keluarga tidak

normal disebabkan orangtua meninggal, perceraian, dan salah satu orang tua

tidak hadir secara continue dalam tenggang waktu yang lama. Quasi Broken

Home adalah kedua orangtua masih utuh, tetapi masing-masing anggota


28
. R. Abdul Djamali, 1984, Psikologi Dalam Hukum, Armico Bandung, h.127
29
. Agus Sudjanto, 1981, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Aksara Baru, h. 226
mempunyai kesibukan masing-masing sehingga tidak sempat memberikan

perhatiannya terhadap pendidikan anak-anaknya.

Aspek lain didalam keluarga yang menimbulkan kenakalan anak

adalah jumlah keluarga anak dan kedudukannya yang mempengaruhi

perkembangan jiwa anak. Seperti keluarga kecil, memperlakukan tidak adil

pada salah satu anak. Si bungsu yang selalu disayang dan anak tunggal akan

dimanja dengan pengawasan yang berlebihan. Keluarga besar, dengan

jumlah anggota keluarga yang banyak, anak-anak biasanya kurang bahkan

luput dari pengawasan orangtua. Jadi, kualitas rumah tangga atau kehidupan

keluarga jelas sangat mempengaruhi perkembangan anak, terutama dalam

membentuk prilaku deliquence.

Salah satu unsur yang terdapat dalam proses perkembangan

kepribadian anak adalah tingkat emosianal anak yang tinggi dimana unsur

ini yang akan menjadikan anak kurang mampu melakukan adaptasi pada

situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya

keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua

rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak.

Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada anak sehingga mereka

kurang mampu untuk mengatasi, apalagimemanfaatkan situasi itu untuk

pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan

diri dari masalah, menyalahkan orang atau pihak lain pada setiap

masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk

memecahkan masalah. Pada anak yang melakukan penganiayaan, ditemukan


bahwa mereka mengalami konflik batin, mudahfrustrasi, memiliki emosi

yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan

rendah diri yangkuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.

Hurlock dalam buku Psikologi Perkembangan, menyebutkan

tingkat emosi anak sebagai periode heightened emotionality, yaitu

suatu keadaan dimana kondisi emosi tampak lebih tinggi atau tampak

lebih intens dibandingkan dengan keadaan normal.30 Emosi yang tinggi

dapat termanifestasikan dalam berbagai bentuk tingkah laku seperti

bingung, emosi berkobar-kobar atau mudah meledak, bertengkar, tak

bergairah, pemalas, membentuk mekanisme pertahanan diri. Emosi yang

tinggi ini tidak berlangsung terus-menerus selama masa remaja.

Selain kurangnya perhatian orang tua terhadap unsur

perkembangan kepribadian anak, pengaruh lingkungan juga memiliki peran

yang cukup besar dalam mendorong anak melakukan kejahatan

penganiayaan khususnya lingkungan pergaulan atau pertemanan anak.

Berdasarkan Social Learning Theory yang dikemukakan oleh Albert

Bandura bahwa individu-individu mempelajari kekerasan dan agresi melalui

behavioral modeling: anak belajar bagaimana bertingkah laku melalui

peniruan tingkah laku orang lain. 31 Lingkungan adalah tempat anak

melakukan sosialisasi sekundernya sehingga baik dan buruknya lingkungan

anak tersebut akan langsung berdampak pada anak. Anak yang memiliki

30
. Fatimah, Enung. 2008. Psikologi Perkembangan : Perkembangan Peserta Didik.
Bandung: Pustaka Setia.
31
. Santoso, Topo. 2011. Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
tingkat emosional yang tinggi dan tidak dapat mengontrolnya cenderung

mempunyai sikap yang keras dan mempunyai sikap yang kasar. Dalam

pergaulannya anak tersebut cenderung memilih pergaulan yang sama yaitu

pergaulan tempat berkumpul anak-anak yang mempunyai sikap dan perilaku

yang sama dengannya. Pada pergaulan lingkungan pergaulan tersebut anak

akan mengalami proses belajar seperti berkelahi, melakukan kekerasan

bahkan sampai penganiayaan. Anak akan sangat mudah terpengaruh dan

melakukan hal yang sama karena pada masa-masa ini anak memiliki

kesukaan atau mudah untuk meniru-niru, sehingga hal inilah yang

mendorong anak mulai belajar melakukan kejahatan khususnya kejahatan

penganiayaan dalam lingkungan pergaulannya ditambah dengan interaksi

dan komunikasi yang sering sehingga membuat anak semakin terpengaruh.

Selain lingkungan pergaulan, lingkungan sekolah yang tidak sehat juga

mempengaruhi anak menjadi delikiuen. Menurut Moch. Lukman

Fatahullah Rais ada beberapa faktor penyebab lingkungan sekolah

tidak sehat, antara lain:32

a. Fasilitas sekolah, berupa gedung bangunan sekolah yang tidak

memenuhi persyaratan.

b. Sarana pendidikan, seperti buku, alat-alat peraga masih terbatas

jumlahnya.

c. Guru yang kurang dedikasi dan kurang memahami metode saja.

32
. Rais, Moch. Lukman Fatahullah., 1997, Tindak Pidana Perkelahian Pelajar, Sinar
Harapan, Jakarta, h.66
d. Kewibawaan guru menurun, akibatnya perbedaan stratifikasi

sosial.

e. Tipe lain dari tingkah laku kolektif elementer yang berkaitan

dengan kejahatan remaja ialah: kerusuhan dan kejahatan dan

kejahatan yang dilakukan pada musim liburan sekolah, berupa

perusakan milik orang lain, dengan sengaja melanggar otoritas

orang dewasa dan moralitas konvensional, disertai kejahatan

impulsif dan agresif. Pada prinsipnya tindak delinkuen tersebut

tidak menjadi tujuan primer mereka, akan tetapi merupakan

akibat dari keisengan dan keliaran anak-anak muda tersebut.

Sikap meniru yang dilakukan anak tidak hanya sebatas meniru apa

yang teman dalam lingkungan pergaulannya lakukan akan tetapi peniruan

terhadap hal-hal yang di baca, dilihat serta didengarnya melalui media

elektronik pun dapat mempengaruhi anak tersebut untuk mendorong anak

tersebut dalam melakukan kekerasan terhadap teman sebayanya yang

bahkan sampai melakukan penganiayaan. Manusia cenderung untuk meniru

perbuatan orang lain, semata-mata karena hal itu merupakan bagian dari

sifat biologis mereka untuk melakukan hal tersebut. Semua orang memiliki

kecenderungan yang kuat untuk menandingi (menyamai atau melebihi)

tindakan di sekitarnya.

Tayangan-tayangan pada media elektronik seperti televisi yang

sering menayangkan acara-acara yang mengandung unsur kekerasan seperti

perkelahian sangat mudah untuk dilihat oleh anak, kurangnya pengawasan


orang tua terhadap tayangan-tayangan tersebut membuat anak dengan

mudah menontonnya dan anak pun dengan mudah untuk meniru-niru apa

yang ada pada acara tersebut ditambah dengan pengaruh lingkungan

pergaulan anak yang memang sudah merupakan lingkungan yang keras.

E. Hipotesis

Berdasarkan tujuan masalah yang akan diteliti, maka penelitian

akan dirumuskan sementara dan masih harus dibuktikan kebenarannya

didalam pembuktian hipotesa nantinya. Perumusan yang ada dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

“BAHWA FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEJAHATAN

PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK OLEH ANAK DI KOTA

PONTIANAK ADALAH EMOSI ANAK YANG TIDAK

TERKENDALI, KURANGNYA PENGAWASAN DARI ORANG TUA,

PENGARUH LINGKUNGAN DAN PENGARUH PENIRUAN MEDIA

ELEKTRONIK”

F. Metode Penelitian

Berdasarkan masalah yang diteliti, maka penulis menggunakan

metode penelitian yuridis-sosiologis. Penggunaan metode sosiologis

digunakan untuk mencari faktor mengapa terjadinya kejahatan

penganiayaan yang dilakukan anak terhadap anak di Kota Pontianak,

sedangkan metode yuridis digunakan untuk menunjukkan bahwa perbuatan

penganiayaan yang dilakukan anak terhadap anak merupakan suatu tindak

pidana dan dari sudut pandang kriminologi merupakan suatu kejahatan.


1. Bentuk Penelitian

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Penelitian dilakukan dengan mempelajari literatur-literatur dan

perundang-undangan yang berlaku serta buku-buku yang

berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penulis secara langsung melakukan penelitian di lapangan untuk

memperoleh dan mengumpulkan data serta mengamatinya,

sehingga dapat mengungkapkan objek yang akan menjadi

permasalahan dalam penelitian.

2. Teknik dan Alat Pengumulan Data

a. Teknik Komunikasi Langsung

Yaitu penulis mengadakan kontak secara langsung pada sumber

data dengan cara wawancara (interview) untuk memperoleh dan

mengumpulkan data serta mengamati dan mengungkapkan

objek yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian.

b. Teknik Komunikasi Tidak Langsung

Yaitu dengan cara menggunakan angket (kuisioner) berstruktur

kepada responden.

3. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi adalah keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri

yang sama yang dapat berupa himpunan orang, benda (hidup


atau mati), kejadian, kasus-kasus, waktu atau tempat dengan

sifat atau ciri yang sama.33

Berdasarkan pengertian diatas yang menjadi populasi dalam

penelitian ini adalah :

 Pelaku penganiayaan.

 Penyidik PPA Polresta Pontianak.

 Orang Tua.

 Komisioner Komisi Perlindungan Anak Daerah

(KPAID) Kalimantan Barat.

b. Sampel

Sampel secara sederhana merupakan bagian dari populasi yang

menjadi sumber data penelitian. Menurut Bambang Sunggono,

SH, MS, “Sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari

populasi.”34 Sampel tak lain merupakan unit terkecil dari

populasi yang berperan sebagai sumber data dari penelitian ini.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pusposive

sampling atau penarikan sampel bertujuan dilakukan dengan

cara mengambil subjek didasarkan pada tujuan tertentu sehingga

sampel tersebut mencerminkan ciri-ciri dari populasi.

Berdasarkan dengan penarikan sampel tersebut, maka penulis

menetapkan sumber sampel sebagai berikut :

33
. Bambang Sunggono, 1996, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h.118
34
. Ibid, h.199
 5 Anak Pelaku penganiayaan.

 2 Penyidik PPA Polresta Pontianak.

 2 Orang Tua.

 1 Komisioner Komisi Perlindungan Anak Daerah

(KPAID) Kalimantan Barat.


BAB II

FAKTOR TERJADINYA PENGANIAYAAN

ANAK TERHADAP ANAK

A. Pengertian Anak

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia anak diartikan sebagai

keturunan kedua; manusia yang masih kecil.35 Pada undang-undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah amanah dan

karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan

martabat sebagai manusia seutuhnya, bahwa anak adalah tunas, potensi dan

generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis

dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan

eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.

Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979

tentang Kesejahteraan Anak, anak adalah seseorang yang belum mencapai

21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah menikah. Sedangkan menurut

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak, anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang

memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya; bahwa untuk

35
. Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka
menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapat perlindungan

khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan.

Salah satu yang menjadi tolak ukur untuk menentukan seseorang

dapat dikatakan sebagai seorang anak atau bukan adalah usia. Karena secara

umum usia menunjukkan perkembangan fisik maupun psikis seseorang

yang dikatakan sebagai anak. Batasan usia anak sendiri juga sudah di atur

dalam undang-undang atau peraturan lain yang mengatur tentang anak.

Seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dijelaskan

bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pada Undang-Undang Nomor

39 Tahun 1999 anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18

(delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam

kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 usia anak

dibagi dalam tiga kategori yaitu anak yang berkonflik dengan hukum yang

merupakan anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum

berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Kemudian anak yang menjadi korban tindak pidana yaitu anak yang belum

berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik,

mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

Dan anak yang menjadi saksi tindak pidana yaitu anak yang belum berumur

18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna

kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang pengadilan


tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya

sendiri. Dalam undang-undang tersebut ketiga kategori itu merupakan

kategori anak yang berhadapan dengan hukum.

Dan menurut Children Rights Convention (CRC) atau Konvensi

Hak Anak pada tanggal 20 September 1989 anak adalah setiap manusia

yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun kecuali berdasarkan

undang-undang yang berlaku untuk anak-anak, kedewasaan telah dicapai

lebih cepat.

Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar undang-undang di atas

menyebutkan bahwa yang disebut anak adalah seseorang atau manusia baik

itu laki-laki atau perempuan yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun

dan/atau belum menikah.

Anak dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak manapun yang

bertanggung jawab memiliki hak sebagai berikut:

1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan

bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya

maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan

berkembang dengan wajar.

2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan

kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan

kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga

negara yang baik dan berguna.


3. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa

dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

4. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang

dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan

perkembangaannya dengan wajar. 36

Dalam melindungi hak anak, anak juga mempunyai kewajiban

sebagai berikut:

1. Menghormati orang tua, wali, dan guru serta yang lebih tua

agar anak mempunyai budaya tertib, sopan, dan berbudi pekerti

yang luhur mampu menghargai dan menghormati orang yang

lebih tua.

2. Menyayangi, mampu memberi kasih sayang dan melindungi

adik, teman, dengan mencintai keluarga dan masyarakat.

3. Menunaikan ibadah sesuai ajaran agama yang dianut atau yang

sesuai bimbingan agama orang tua.

4. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.37

B. Pengertian Kejahatan dan Kejahatan Penganiayaan

1. Pengertian Kejahatan

Menurut Soesilo pengertian kejahatan terbagi menjadi dua yaitu

kejahatan secara yuridis yang merupakan perbuatan yang bertentangan

dengan undang-undang dan kejahatan dari segi sosiologis merupakan


36
. Gatot Supramono, 2002, Hukum Acara Peradilan Anak, Djambatan, Jakarta, h.7
37
. Handout, Timoer Hartadie, Hukum Perlindungan Anak, h. 5
perbuatan yang selain merugikan korban juga merugikan masyarakat karena

menyebabkan hilangnya keseimbangan, ketentraman, dan ketertiban.

Sedangkan menurut Kartini Kartono kejahatan juga terbagi menjadi

dua yaitu secara Yuridis Formal yaitu bentuk tingakah laku yang

bertentangan dengan moral kemanusiaan (Immoril), merugikan masyarakat,

a-sosial sifatnya dan melanggar hukum serta undang – undang pidana. 38

Secara sosiologis, kejahatan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan, dan

tingkah laku yang secara ekonomis, politis, dan sosial-psikologis sangat

merugikan masyarakat, melanggar norma-norma susila, dan menyerang

keselamatan warga masyarakat (baik yang telah tercakup dalam undang –

undang, maupun yang belum tercantum dalam undang- undang pidana).39

Masing – masing pengertian baik menurut Soesilo maupun Kartini

Kartono terdapat kesamaan yaitu membagi kejahatan menjadi dua bagian.

Pertama secara Yuridis, yaitu perbuatan yang melawan aturan undang-

undang pidana atau undang-undang lainnya yang dalam hal ini sering

disebut sebagai tindak pidana dan yang kedua secara sosiologis yang

merupakan perbuatan yang melawan norma-norma yang tumbuh dalam

masyarakat serta menyebaban kerugian bagi masyarakat, terlepas apakah

perbuatan tersebut sudah diatur dalam undang-undang atau tidak.

Pemahaman kejahatan secara sosiologis inilah yang digunakan dalam

kriminologi.

38
. Kartini Kartono II, op.cit h. 125
39
. Ibid. 126
2. Kejahatan Penganiayaan

Mengenai penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP, R. Soesilo dalam

bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, mengatakan

bahwa undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan

dengan “penganiayaan” itu. Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan

dengan “penganiayaan” yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak

enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Menurut alinea 4 pasal ini,

masuk pula dalam pengertian penganiayaan ialah “sengaja merusak

kesehatan orang”.

Bahwa mula-mula dalam rancangan undang-undang dari

Pemerintah Belanda ditemukan perumusan dengan sengaja

mengakibatkan rasa sakit dalam tubuh orang lain dan dengan sengaja

merugikan kesehatan orang lain.40 Perumusan ini dalam pembicaraan

dalam Parlemen Belanda dianggap tidak tepat karena meliputi juga

perbuatan seorang pendidik terhadap anak didiknya, dan perbuatan seorang

dokter terhadap pasiennya.

Keberatan ini diakui kebenarannya, maka perumusan diganti

menjadi penganiayaan dengan penjelasan bahwa ini berarti berbuat sesuatu

dengan tujuan (oogmerk) untuk mengakibatkan rasa sakit. Dan memang

inilah arti dari kata penganiayaan.

40
. Wirjono, Prodjodikoro, 2003, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung:
Rafika Aditama, h.68
Dengan demikian, unsur kesengajaan ini kini terbatas pada wujud

tujuan (oogmerk), tidak seperti unsur kesengajaan dan pembunuhan.

Menurut Mr. M.H. Tirtaamidjaja, pengertian penganiayaan sebagai

berikut:

“Menganiaya adalah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka

pada orang lain. Akan tetapi perbuatan yang menyebabkan sakit

atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai

penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah

keselamatan badan”.

Menurut ilmu pengetahuan (doktrin) pengertian penganiayaan

adalah sebagai berikut : “Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja

untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain.”

Berdasarkan doktrin diatas bahwa setiap perbuatan dengan sengaja

menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh merupakan penganiayaan yang

terhadap pelakunya diancam pidana. Padahal dalam kehidupan sehari-hari

cukup banyak perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau

luka pada tubuh yang terhadap pelakunya tidak semestinya diancam dengan

pidana. Dalam KUHP, penganiayaan diatur pada Bab XX tentang

Penganiayaan sebagai berikut:


BAB XX

PENGANIAYAAN

Pasal 351

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun

delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus

rupiah.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam

dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama

tujuh tahun.

(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 352

(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan

yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan

pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan

ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda

paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah

sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang

bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.

(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.


Pasal 353

(1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana

penjara paling lama empat tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatka luka-luka berat, yang bersalah

dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(3) Jika perbuatan itu mengkibatkan kematian yang bersalah diancam

dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 354

(1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena

melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama

delapan tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam

dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Pasal 355

(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu,

diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam

dengan pidana penjara paling lams lima belas tahun.

Pasal 356

Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah

dengan sepertiga:

1. bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah,

istrinya atau anaknya;


2. jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejsbat ketika atau karena

menjalankan tugasnya yang sah;

3. jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang herbahaya

bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum.

Pasal 357

Dalam hal pemidanaan karena salah satu kejahatan berdasarkan pasal 353

dan 355, dapat dijatuhkan pencabutan hak berdasarkan pasal 3o No. 1 - 4.

Pasal 358

Mereka yang sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian di

mana terlibat beberapa orang, selain tanggung jawab masing-masing

terhadap apa yang khusus dilakukan olehnya, diancam:

1. dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, jika akibat

penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-luka berat;

2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun, jika akibatnya ada yang

mati.

3. Kriminologi

Pada bagian-bagian sebelumnya sudah dijelaskan bahwa terdapat

beberapa pengertian tentang kriminologi menurut para ahli dan dari

beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kriminologi

merupakan ilmu pengetahuan yang berupaya menemukan penyebab

terjadinya kejahatan yang dalam proses pencarian penyebabnya tersebut

kriminologi dibantu oleh disiplin ilmu lainnya sepertiantropologi, sosiologi,

psikologi, ekonomi, kedokteran, statistik dan lain sebagainya.


Menurut Prof. Sudarto, S.H yang dipelajari dalam kriminologi

adalah :

a. Gejala kejahatan, “penjahat”, dan mereka yang ada


sangkut pautnya dengan kejahatan;
b. Sebab-sebab dari kejahatan;
c. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan, baik resmi oleh
penguasa maupun tidak resmi oleh masyarakat umum
bukan penguasa.41
Sedangkan menurut Sutherland Kriminologi terbagi kedalam 3

cabang ilmu utama yaitu :

a. Sosiologi Hukum

Kejahatan itu adalah perbuatan yang oleh hukum dilarang dan

diancam dengan suatu sanksi.Jadi yang menentukan bahwa

suatu perbuatan itu adalah kejahatan adalah hukum. Di sini

menyelidiki sebab-sebab kejahatan harus pula menyelidiki

faktor-faktor apa yang meyebabkan perkembangan hukum

(khususnya hukum pidana).

b. Etiologi Kejahatan

Merupakan cabang ilmu kriminologi yang mencari sebab

musabab dari kejahatan.Dalam kriminologi, etiologi kejahatan

merupakan kajian yang paling utama.

c. Penology

Pada dasaranya merupakan ilmu tentang hukuman, akan

tetapi Sutherland memasukkan hak-hak yang berhubungan

41
. Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, h.148
dengan usaha pengendalian kejahatan baik refresif

maupun preventif.42

Dari berbagai uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa

kriminologi merupakan ilmu yang bertujuan untuk mengungkap penyebab

terjadinya suatu kejahatan berdasarkan kajian-kajian disiplin ilmu-ilmu lain

di luar ilmu hukum.

Didalam kriminologi terdapat dua faktor yang dapat menjadi

penyebab timbulnya kejahatan yang dilakukan oleh anak, yaitu faktor intern

dan ekstern. Faktor intern merupakan faktor-faktor yang berasal dari dalam

diri anak tersebut antara lain :

a. Cacat yang bersifat biologis dan psychis

b. Perkembangan kepribadian dan intelegensi yang terhambat

sehingga tidak bisa menghayati norma-norma yang berlaku.43

Sedangkan faktor ekstern merupakan faktor-faktor yang berasal

dari luar diri anak tersebut, antara lain :

a. Pengaruh negatif dari orang tua;


b. Pengaruh negatif dari lingkungan sekolah;
c. Pengaruh negatif dari lingkungan masyarakat;
d. Tidak ada/kurang pengawasan orang tua;
e. Tidak ada/kurang pengawasan pemerintah;
f. Tidak ada/kurang pengawasan masyarakat;
g. Tidak ada pengisian waktu yang sehat;
h. Tidak ada rekreasi yang sehat;
i. Tidak ada pekerjaan;
j. Lingkungan fisik kota besar;
k. Anonimitas karena banyaknya penduduk kota-kota besar;
l. Dan lain-lain.44

42
. Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, op.cit, h. 11
43
. Ninik Widiyanti-Panji Anoraga, 1987, Perkembangan Kejahatan Dan Masalahnya
Ditinjau Dari Segi Kriminologi dan Sosial, Pradnya Paramita Jakarta h.38
Sutherland dalam teori Differential Association menyebutkan

sembilan pernyataan mengenai tindak kriminal, yaitu :

a. Tingkah laku kriminal dipelajari.

b. Tingkah laku kriminal dipelajari dalam hubungan interaksi dengan

orang lain melalui proses komunikasi.

c. Bagian penting dari mempelajari tingkah laku kriminal terjadi

dalam kelompok yang intim.

d. Memperlajari tingkah laku kriminal, termasuk didalamnya

mempelajari teknik melakukan kejahatan dan motivasi/dorongan

atau alasan pembenar.

e. Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatannya atas

peraturan perundangan : menyukai atau tidak menyukai.

f. Seseorang menjadi delinquent karena penghayatannya terhadap

peraturan perundangan : lebih suka melanggar daripada

menaatinya.

g. Asosiasi diferensial ini bervariasi bergantung pada frekuensi,

durasi, prioritas, dan intensitas.

h. Proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui pergaulan

dengan pola kriminal dan antikriminal melibatkan semua

mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar.

i. Sekalipun tingkah laku kriminal merupakan pencerminan dari

kebutuhan-kebutuhan umum dan nilai-nilai, tetapi tingkah laku

44
. Ibid.
kriminal tersebut tidak dijelaskan melaui kebutuhan umum dan

nilai-nilai tadi karena tingkah laku nonkriminal pun merupakan

pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama.45

Sehingga menurut Sutherland, bahwa seseorang dapat melakukan

kejahatan dikarenakaan mempelajari kejahatan dari lingkungan atau

kelompok yang di dalamnya terdiri dari orang-orang yang merupakan

pelaku kejahatan (penjahat), hal ini juga didorong oleh intensitas interaksi

dan komunikasi antara seseorang tersebut dengan kelompok ini. Yang

dipelajari dalam kelompok ini bukan hanya perilaku kejahatannya saja

namun juga teknik, dorongan (motivasi), serta alasan pembenar dalam

melakukan kejahatan. Dalam teori ini unsur pengaruh dari luar diri

seseorang itulah yang memiliki peran sangat besar dalam membentuk

seseorang menjadi seorang penjahat.

Teori belajar yang dimaksudkan Sutherland ini dapat juga diartikan

secara lebih luas lagi yaitu tidak hanya melalui kontak atau interaksi secara

langsung dengan orang yang dicontoh (face to face) namun juga dapat

melalui media lain seperti media elektronik contohnya video atau gambar.

C. Faktor Terjadinya Penganiayaan Anak Terhadap Anak

Setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki

hak-hak asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang

dilindungi oleh undang-undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

45
. Romli Atmasasmita I, Op.Cit, h 24
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga dengan kata lain

seseeorang berhak dan wajib diberlakukan sebagai manusia yang memiliki

derajat yang sama dengan yang lain. Hak hidup setiap manusia tidak dapat

dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun termasuk hak untuk

tidak disiksa, tidak diperbudak, tidak diperjualbelikan dan tidak dipaksa

untuk melakukan yang tidak disukai ataupun diperlakukan dengan tidak

sesuai harkat, martabat dan kehormatan dirinya sebagai manusia seutuhnya.

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

dalam dirinya juga melekat harkat dan martabat sebagai manusis seutuhnya,

bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita

perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai cirri dan sifat

khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada

masa depan. Bahwa agar setiap kelak mampu memikul tanggung jawab

tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk

tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial,

dan berakhlak mulia, sehingga perlu dilakukan upaya perlindungan untuk

mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap

pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak merupakan peraturan khusus yang mengenai masalah anak. Tujuan

dari Perlindungan anak sendiri disebutkan dalam Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 pada Pasal 3 bahwa, Perlindungan anak bertujuan untuk

menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar hidup, tumbuh, berkembang, dan


berpatisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,

demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan

sejahtera.

Sebagai generasi penerus maka sudah sepatutnya semua pihak turut

bertanggung jawab dalam menjaga kualitas anak-anak bahkan turut serta

juga dalam peningkatannya hal ini dikarenakan anak akan melewati masa

transisi dari anak-anak menuju dewasa dan pada masa transisi inilah anak

rentan terjerumus dalam hal-hal yang menyimpang. Pada masa ini anak

akan mulai berkenalan dengan berbagai macam jenis lingkungan pergaualan

dari lingkungan yang baik sampai lingkungan yang memberi pegaruh buruk.

Salah satu hal yang cukup diwaspadai adalah pengaruh dalam hal kekerasan

yang terjadi pada lingkungan anak. Cukup banyak anak-anak yang sedang

dalam masa transisi terjerumus menjadi pelaku kekerasan atau kejahatan

penganiayaan. Berbagai macam penyebab yang mempengaruhi anak

melakukan kejahatan penganiayaan mulai dari penyebab yang bersifat

internal atau pengaruh dari dalam diri anak tersebut maupun penyebab yang

bersifat eksternal atau pengaruh dari luar diri anak tersebut seperti

lingkungan.

Kenakalan Anak (JuvenileDelinquency) bukan sekedar kenakalan

biasa namun dapat dikelompokan kedalam kejahatan, baik itu kejahatan dari

segi yuridis atau tindak pidana maupun kejahatan dari segi sosologis karena

tindakan yang dilakukan sudah melanggar nilai dan norma baik nilai dan
norma yang dibentuk negara atau hukum pidana maupun nilai dan norma

yang belum diatur dalam hukum pidana namun tumbuh dan berkembang

dalam masyarakat serta dipegang erat oleh masyarakat.

Berbicara tentang Kenakalan Anak (Juvenile Deliquency), terdapat

beberapa teori yang menjelaskan penyebab terjadinya Kenakalan Anak

(Juvenile Deliquency) teori-teori tersebut adalah teori biologis, Psikogenis

(psikologis dan psikiatri), sosiogenesi, subkultur. Dalam teori biologis

Kartini Kartono menjelaskan bahwa Juvenile Delinquency disebabkan oleh

gen pembawa sifat keturunan atau kombinasi gen serta karena tidak adanya

gen tertentu dimana itu semua dapat menyebabkan penyimpangan perlaku,

pewarisan tipe-tipe kecenderungan yang abnormal, serta menyebabkan cacat

fisik atau jasmaniah. Itu semua bisa membuahkan perilaku delinkuen.

Tingkah laku sosiopatik atau delinkuen pada anak-anak dan remaja dapat

muncul karena faktor-faktor fisiologis dan struktur jasmaniah seseorang,

juga dapat cacat jasmaniah yang dibawa sejak lahir. Pada teori psikogenis,

aspek psikologis atau kejiwaan anak memiliki peran dalam membentuk

perilaku delinkuen anak seperti faktor intelegensi, ciri kepribadian,

motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi, internalisasi yang

keliru, konflik batin, emosi, kecenderungan psikopatologis dan lain-lain di

mana sikap delinkuen yang sebabkan oleh hal-hal tadi merupakan suatu

bentuk reaksi saat anak menghadapi suatu masalah dalam hidupnya. Teori

ini menekankan sebab-sebab tingkah-laku delinkuen anak-anak dari aspek

psikologis. Antara lain inteligensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap


yang salah, fantasi, rasionalisasi, internalisasi diri keliru, konflik batin,

emosi yang kontrovesial, kecenderungan psikopatologis dan lain-lain.

Selanjutnya, pada teori sosiogenis yang menjadi penyebab perilaku

delinkuen adalah faktor sosiologis atau sosio-psikologis yang disebabkan

oleh pengaruh sosial yang deviatif, tekanan kelompok, peranan sosial, status

sosial, atau internalisasi sosial yang keliru. Pada teori ini yang menjadi

faktor kunci perilaku delinkuen anak adalah pergaulan dengan anak-anak

yang sudah delinkuen, sehingga setiap perilaku delinkuen anak-anak

tersebut dijadikan contoh dan dilakukan. Sedangkan pada teori subkultur

penyebab delinkuen adalah kultur dimana dalam konteks ini yang dimaksud

kultur adalah kumpulan nilai dan norma yang menuntut bentuk tingkah laku

responsif sendiri yang khas pada anggota-anggota kelompok delinkuen atau

yang sering disebut gang. Sedangkan penggunaan istilah sub

mengindiskasikan bahwa budaya atau kultur tadi dapat masuk ke dalam

suatu sistem yang lebih inklusif dan itulah yang menyebabkan perilaku

delinkuen. Menurut teori subkultur ini, sumber Juvenile Delinquencyialah,

sifat-sifat suatu struktur sosial dengan pola budaya (subkultur) yang khas

dari lingkungan keluarga, tetangga dan masyarakat yang didiami oleh

remaja delinkuen tersebut.

Salah satu faktor yang mempengaruhi anak melakukan

penganiayaan adalah dalam proses perkembangan kepribadian anak tingkat

emosional anak yang tinggi dimana unsur ini yang akan menjadikan anak

kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks.


Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya,

tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama

makin beragam dan banyak.Tingkat emosi anak sebagai periode heightened

emotionality, yaitu suatu keadaan dimana kondisi emosi tampak lebih tinggi

atau tampak lebih intens dibandingkan dengan keadaan normal. Emosi yang

tinggi dapat termanifestasikan dalam berbagai bentuk tingkah laku seperti

bingung, emosi berkobar-kobar atau mudah meledak, bertengkar, tak

bergairah, pemalas, membentuk mekanisme pertahanan diri. Emosi yang

tinggi ini tidak berlangsung terus-menerus selama masa remaja.

Keluarga merupakan bagian terkecil dalam kehidupan

bermasyarakat dimana pendidikan awal atau sosialisasi primer seorang anak

dimulai dari sebuah keluraga, tempat anak tersebut lahir dan dibesarkan dan

keluarga akan memberikan bekal bagi seorang anak dalam menjalankan

kehidupan bermasyarakat di luar lingkungan keluarga. Keluarga yang baik

akan memberi penagurh yang baik bagi perkembangan serta tumbuh

kembang anak sedangkan keluarga yang tidak kondusif akan memberikan

pengaruh buruk bagi perkembangan serta tumbuh kembang anak. Keluarga

yang memberi penagruh buruk ini lah yang berpotensi membuat anak

melakukan perbuatan-perbuatan menyimpang dan berpotensi membuat anak

nakal atau delikuen. Keadaan keluarga yang dapat menyebabkan kenakalan

anak yakni keluarga yang tidak normal (Broken Home) dan Quasi Broken

Home. Broken Home atau keluarga tidak normal disebabkan orangtua

meninggal, perceraian, dan salah satu orang tua tidak hadir secara continue
dalam tenggang waktu yang lama. Quasi Broken Home adalah kedua

orangtua masih utuh, tetapi masing-masing anggota mempunyai kesibukan

masing-masing sehingga tidak sempat memberikan perhatiannya terhadap

pendidikan anak-anaknya.

Dalam konteks tersebut, Bimo Walgito menjabarkan lebih


jelas tentang fenomena tersebut, bahwa tidak jarang orang tua
tidak dapat bertemu dengan anak-anaknya. Coba bayangkan
orang tua kembali dari tempat kerja anak-anak sudah bermain
di luar, anak pulang orang tua sudah pergi lagi, orang tua
datang anak-anak sudah tidur dan seterusnya.46
Hal tersebut yang membuat anak merasa kurang mendapat

perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya dan ini kemudian

menyebabkan anak mengalami frustasi, konflik-konflik psikologis dan pada

akhirnya anak dengan mudah terdorong untuk menjadi delikuen.

Linkungan anak yang juga berperan besar dalam perkembangan

anak adalah sekolah. Sekolah merupakan tempat anak menempuh

pendidikan, tempat anak belajar dalam lingkungan formal. Dalam

menempuh pendidikan formal di sekolah, tidak hanya pendidikan yang

namun pembinaan karakter serta tingkah laku anak pun harus menjadi

tanggung jawab sekolah. Di sekolah, anak mengalami berbagai interaksi

baik dengan guru maupun teman-temannya. Hal inilah yang tidak jarang

memberi pengaruh negatif pada anak karena tidak semua anak yang masuk

ke dalam lingkungan sekolah itu memiliki sifat dan mempunyai latar

belakang keluarga yang baik. Kesejahteraan tenaga pendidik yaitu guru juga

46
. Wagiati Soetodjo, Op.Cit, h.22
mempengaruhi kualitas pendidikan yang diberikan kepada anak didik.

Kesejahteraan guru yang rendah membuat guru tidak optimal dalam

mengajar bahkan terkadang banyak guru yang acuh sehingga anak didik

tidak mendapatkan pendidikan yang optimal.

Lingkungan pergaulan anak selain di lingkungan sekolah yang juga

memberi pengaruh dalam pembentukan perilaku anak yaitu lingkungan

pergaulannya. Saat mulai memasuki lingkungan pergaulannya, anak

perlahan akan mulai menjauhkan dirinya dari lingkungan keluarga dan

mulai menunjukkan eksistensinya di lingkungan pergaulannya yang pada

dasarnya sudah bersifat delikuen. Karena memasuki lingkungan pergaulan

yang delikuen, secara perlahan anak juga akan menjadi delikuen, hal ini

disebabkan oleh tekanan pergaulan yang buruk dari lingkungan

pergaulannya. Tekanan ini yang kemudian menyebabkan terjadinya

transformasi psikologis dalam diri anak yang kemudian membuat perilaku

anak menjadi serupa dengan lingkungannya. Berdasarkan teori asosiasi

difererntial yang dikemukakan oleh Sutherland yaitu kenakalan anak

disebabkan oleh partisipasi anak di tengah-tengah lingkungan yang

menjadikan ide dan teknik delikuen sebagai sarana yang efisien dalam

mengatasi kesulitan dalam hidupnya. Semakin lama anak bergaul dalam

lingkungan yang delikuen, semakin luasa pergaulannya dengan anak-anak

nakal maka berlangsungnya proses asosiasi diferensial dalam diri anak

tersebut dan anak pun akan benar-benar menjadi nakal.


Media elektronik juga sebagai salah satu faktor yang

mempengaruhi anak menjadi delikuen. Media elektronik disini adalah film-

film atau tayangan-tayangan acara televisi yang mengandung unsur-unsur

kekerasan dalam adengannya. Sehingga anak meniru apa yang mereka lihat

di media elektronik tersebut.

Dari berbagai faktor yang menyebabkan terbentuknya perilaku

delikuen pada anak maka dapat disimpulkan terdapat beberapa faktor yang

menyebabkan anak melakukan kejahatan penganiayaan, yaitu tingkat

emosional anak yang tidak terkendali, kurangnya pengawasan dari orang

tua, pengaruh lingkungan dan peniruan media elektronik.

D. Upaya Penangulanggan Terjadinya Penganiayaan Anak Terhadap

Anak

Penanggulangan terhadap terjadinya kejahatan yang dilakukan anak

pada umumnya merupakan menjadi tanggung jawab semua pihak baik

keluarga, masyarakat dan pemerintah. Masalah kenakalan maupun kejahatan

yang dilakukan oleh anak pada saat ini sudah sangat memprihatinkan,

mengingat setiap waktu selalu saja terjadi tindak kenakalan maupun

kejahatan yang dilakukan oleh anak yang tidak hanya dari segi kuantitasnya

meningkat akan tetapi pula dari segi kualitas kenakalannya sudah

menyentuh pada apa yang orang dewasa sebut sebagai kejahatan atau tindak
pidana. Oleh karena itu perlu adanya upaya penanggulangan yang dilakukan

oleh semua pihak.

Pentingnya menjaga kualitas anak karena anak merupakan generasi

penerus bangsa dan negara maka perhatian terhadap kenakalan anak

(Juvenile Deliquency) menjadi sangat penting khusunya dalam hal kejahatan

penganiayaan yang dilakukan oleh anak terhadap anak.

Melihat masalah anak tersebut maka diperlukan upaya

penanggulangan baik secara represif maupun preventif. Secara represif

upaya ini sudah dilakukan dengan memberi sanksi terhadap pelaku serta

sebagai peringatan bagi yang belum ataupun berniat melakukan kejahatan

penganiayaan tersebut, namun faktanya penanggulangan kejahatan

penganiayaan yang dilakukan oleh anak tidak memberikan efek jera bagi

yang menjalani sanksi dan tidak efektif memberikan peringatan bagi yang

belum melakukan kejahatan penganiayaan hal ini terbukti masih terjadinya

kasus kejahatan penganiayaan yang dilakukan oleh anak setiap tahunnya

serta penanggulangan secara represif hanya memberikan dampak negatif

anak karena anak harus kehilangan masa-masa bermainnya serta adanya

efek negatif dari lembaga pemasyarakatan.

Selain upaya represif, pentingnya upaya preventif juga harus

dilakukan karena ada pepatah yang mengatakan yaitu sedia payung,

sebelum hujan. Artinya lebih baik melakukan pencegahan-pencegahan

supaya peluang-peluang anak melakukan kejahatan penganiayaan akan

semakin kecil serta faktor-faktor penyebabnya dapat kita tekan sekecil


mungkin. Upaya preventif ini dimulai dari lingkungan keluarga, karena

keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang primer dan fundamental.

Di dalam keluarga anak memperoleh pendidikan awal dan merupakan

tempat dimana anak bisa menghayati pertemuan-pertemuan dengan sesama

dan tempat perlindungan anak. Serta di dalam keluarga anak akan diberikan

bekal untuk menjalani kehidupan bermasyarakat. Lingkungan keluarga yaitu

orang tua harus mengetahui tahap-tahap perkembangan anak sehingga orang

tua mengetahui perhatian serta pengawasan apa yang harus diberikan

kepada anak, sehingga perhatian serta pengawasan yang dilakukan orang tua

dapat optimal dan anak tidak terjerumus ke hal-hal yang menyimpang.

Dalam perkembangan anak, pendidikan dalam bermasyarakat juga harus

diberikan supaya anak tahu cara bergaul sesama temannya serta bisa

beradaptasi dengan lingkungannya. Pada masa anak-anak, tingkat emosional

anak sangatlah tinggi karena pada masa ini anak-anak belum secara penuh

memahami perannya dalam masyarakat. Serta tingkat emosi anak sebagai

periode heightened emotionality, yaitu suatu keadaan dimana kondisi emosi

tampak lebih tinggi atau tampak lebih intens dibandingkan dengan keadaan

normal. Sehingga perlunya pengawasan yang diberikan orang tua supaya

anak tidak melakukan kekerasan terhadap teman atau pun orang lain.

Masyarakat merupakan tempat pendidikan anak yang lebih

kompleks. Proses sosialisasi anak biasanya berkembang dimulai dimana

anak tersebut menghabiskan waktunya bersama teman-teman sebayanya.

Disini penggunaan waktu senggang oleh anak-anak yang tanpa adanya


pengarahan dan pengawasan orang tua pada saat ini sering berlalu begitu

saja tanpa membuahkan sesuatu yang bermanfaat bagi anak, justru

perbuatan mereka tersebut lebih mengarah pada penyimpangan-

penyimpangan bahkan sampai ke arah kejahatan. Oleh karena itu orang tua

harus memberikan perngawasan serta pengarahan terhadap lingkungan

pergaulan anak karena jangan sampai anak berada di lingkungan yang

delikuen sehingga anak tersebut juga menjadi delikuen karena pada masa

anak-anak, pengaruh lingkungan yaitu teman lebih besar dan sangat mudah

diterima oleh anak dari pada pengaruh dari orang tua. Selain lingkungan

masyarakat, lingkungan sekolah juga merupakan tempat pembentukan anak

baik itu pembentukan mental, pengetahuan, maupun keterampilan. Sekolah

mempunyai tanggung jawab memberikan pendidikan terhadap anak

didiknya. Kekurangan dan kesalahan pendidikan dalam lingkungan sekolah

menyebabkan adanya peluang untuk timbulnya kenakalan anak. Oleh karena

itu, perlu diambil langkah-langkah sebagai upaya penanggulangan

terjadinya kejahatan penganiayaan yang dilakukan oleh anak yaitu seperti

mencukupi sarana dan prasarana, kurikulum pembelajaran diarahkan pada

pemumpukan mental yang kuat, kecakapan, dan keterampilan yang beguna,

peningkatan mutu guru, guru dan orang tua murid harus menjalin hubungan

kerja sama yang baik dan dalam usia pubertas perhatian dan pengawasan

oleh para guru perlu di tingkatkan.

Pengawasan orang tua terhadap tontonan-tontonan anak di media

elektronik juga harus di perhatikan karena pada dasarnya tidak semua


tontonan yang ada pada media elektronik itu baik dan berguna bagi

perkembangan anak melainkan faktanya sebagian besar tontonan yang ada

pada media elektronik tidak mempunyai nilai edukasi dan hanya bersifat

hiburan semata serta hanya mengejar rating dalam kompetesi media

elektronik tersebut serta banyaknya adegan-adegan kekarasan yang terjadi.

Dan pada masa perkembangan anak, anak akan sangat mudah untuk meniru

hal-hal yang bersifat positif dan negatif dalam tontonan di media elektronik

tersebut. Maka dari pada itu perlunya pengawasan dan perhatian dari orang

tua untuk menjaga tontotan yang sehat dan pantas bagi perkembangan anak.
BAB III

PENGOLAHAN DATA

A. Analisa Data

Tujuan dari analisa data adalah untuk membuktikan hipotesis yang

diajukan dari penelitian ini dengan didukung oleh data-data lapangan baik

berupa wawancara maupun melalui angket (kuisioner) kepada sampel yang

memiliki relevansi dengan penelitian ini.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian

sosio-yuridis yang mana penggunanan metode sosiologis ini bertujuan untuk

mencari faktor mengapa terjadinya kejahatan penganiayaan yang dilakukan

anak terhadap anak di Kota Pontianak, sedangkan metode yuridis digunakan

untuk menunjukkan bahwa perbuatan penganiayaan yang dilakukan anak

terhadap anak merupakan suatu tindak pidana dan dari sudut pandang

kriminologi merupakan sebuah kejahatan.

Yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

- 5 Anak Pelaku penganiayaan.

- 2 Penyidik Unit PPA Polresta Pontianak.

- 2 Orang Tua.

- 1 Komisioner Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAID)

Kalimantan Barat.
Pada analisa data ini, penulis akan mencoba mengungkapkan apa

saja yang menjadi faktor penyebab terjadinya kejahatan penganiayaan yang

dilakukan oleh anak terhadap anak di Kota Pontianak.

TABEL 1

RINCIAN JUMLAH KEJAHATAN PENGANIAYAAN YANG

DILAKUKAN OLEH ANAK TERHADAP ANAK

SEPANJANG TAHUN 2010 – JULI 2015

DI KOTA PONTIANAK

TAHUN JUMLAH PERSENTASE (%)

2012 4 14%

2013 7 25%

2014 9 32%

JANUARI-JULI 2015 8 29%

TOTAL 28 100%

Sumber data: Polresta Pontianak

Berdasarkan data pada tabel diatas terlihat bahwa sepanjang tahun

2012 hingga Juli 2015 kejahatan penganiayaan yang dilakukan oleh anak

terhadap anak di Kota Pontianak memang terbilang tidak begitu besar dari

sisi jumlah atau kuantitas, karena hanya berjumlah 28 kasus namun

kejahatan penganiayaan ini sangat berkaitan erat dengan kualitas mental dan

moral seorang anak serta mengingat bahwa anak merupakan generasi

penerus bangsa maka kejahatan ini menjadi sangat penting untuk


diungkapkan penyebab terjadinya kejahatan penganiayaan ini karena

kualitas mental dan moral anak akan menjadi penentu kualitas bangsa ini ke

depannya.

Berdasarkan tabel 1 juga terlihat bahwa dari sisi jumlah, kejahatan

penganiayaan mengalami kenaikan yang cukup besar dari tahun 2012 yang

berjumlah 4 kasus dan naik pada tahun 2013 yang berjumlah 7 kasus (naik

75%) dan pada tahun selanjutnya juga mengalami kenaikan yang tidak

begitu besar yaitu pada tahun 2014 berjumlah 9 kasus serta mengalami

penurunan pada Juli 2015 berjumlah 8 kasus.

Peningkatan dan penurunan jumlah kejahatan penganiayaan yang

dilakukan oleh anak terhadap anak di Kota Pontianak menunjukkan bahwa

upaya penanggulangan yang dilakukan belum memberikan hasil yang

maksimal sehingga muncul lagi kasus-kasus ini pada tahun-tahun

berikutnya bahkan mengalami peningkatan di beberapa tahun, sehingga

pengungkapan faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan ini menjadi

sangat penting untuk dapat menciptakan upaya-upaya penanggulangan yang

tepat. Upaya penanggulangan ini dilakukan sebagai upaya preventif kepada

anak-anak yang belum melakukannya karena setiap kasus pelakunya

merupakan anak-anak yang belum pernah melakukan kejahatan ini

sebelumnya atau dengan kata lain setiap kasus pelakunya merupakan orang-

orang baru khususnya yang sampai pada proses hukum, sedangkan

pengulangan atau residivis pada kasus penganiayaan ini khusunya di Kota

Pontianak dapat dikatakan belum ada.


TABEL 2

STATUS ANAK

NO STATUS JUMLAH PERSENTASE

1 PELAJAR 2 40%

2 PUTUS SEKOLAH 3 60%

TOTAL 5 100%

Sumber: Sampel Penelitian

Pada tabel 2 dapat dikatakan bahwa dari 5 orang responden anak

pelaku penganiayaan bahwa sebagian besar yaitu 3 orang atau 60% adalah

anak putus sekolah dan 40% atau 2 orang masih berstatus sebagai seorang

pelajar. Penyebab anak tersebut putus sekolah adalah karena anak tersebut

sudah tidak mau melanjutkan sekolahnya dan faktor ekonomi yaitu

ketidakmampuan orang tua untuk membiayai biaya sekolah anak tersebut.

Dari status anak tersebut dapat dikatakan bahwa anak yang masih

berstatus sebagai pelajar ataupun putus sekolah sama-sama dapat melakukan

penganiayaan karena anak tersebut berada pada masa mudah terpengaruh

oleh lingkungannya dan terpengaruh oleh media elektronik. Dan meskipun

anak-anak tersebut berstatus sebagai pelajar ataupun putus sekolah, anak-

anak tersebut masih mempunyai banyak waktu kosong. Waktu kosong ini

lah yang terkadang dimanfaatkan anak untuk mengisi dengan hal-hal yang

berkonotasi negatif seperti berkumpul bersama dengan teman-temanya yang

termasuk anak nakal sehingga dalam lingkungan ini anak-anak tersebut


mengalami proses belajar khususnya hal-hal yang bersifat kekerasan atau

kejahatan penganiayaan.

TABEL 3

JENIS PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

NO JENIS PENGANIAYAAN JUMLAH PERSENTASE

Penganiayaan Biasa
1 0 0
(Pasal 351 KUHP)

Penganiayaan Ringan
2 2 40%
(Pasal 352 KUHP)

Penganiayaan Berencana
3 0 0
(Pasal 353 KUHP)

Penganiayaan Berat
4 3 60%
(Pasal 354 KUHP)

Penganiayaan Berat Berencana


5 0 0
(Pasal 355 KUHP)

TOTAL 5 100%

Sumber: Sampel Penelitian (Anak sebagai Pelaku)

Dari data yang didapat dapat dikatakan bahwa jenis penganiayaan

yang banyak dilakukan oleh anak adalah penganiayaan berat, yaitu sebesar

60% atau 3 orang anak. Penganiayaan berat yang dilakukan oleh anak

disebabkan karena tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh anak

menyebabkan korbannya mengalami lukaberat, berdasarkan Pasal 90KUHP

yang dimaksud dengan luka berat adalah luka yang tidak dapat diharap akan
sembuh lagi dengan sempurna dan tidak bisa mengerjakan pekerjaan jabatan

atau pekerjaan pencaharian. Dan sebesar 40% atau 2 orang melakukan

penganiayaan ringan karena menyebabkan sakit pada korban.

TABEL 4

STATUS ORANG TUA

NO STATUS JUMLAH PERSENTASE

1 BEKERJA 2 100%

2 TIDAK BEKERJA 0 0%

TOTAL 2 100%

Sumber: Sampel Penelitian (Orang Tua Pelaku)

Dari data pada tabel 3 tentang status orang tua bahwa dapat

diketahui bahwa orang tua dari pelaku penganiayaan yaitu 100% adalah

sebagai pekerja atau bekerja sehingga membuat orang tua tersebut tidak

selalu ada di rumah dan tidak secara penuh dapat mengawasi anaknya oleh

karena jam kerja mereka yang mengaharuskan mereka untuk bekerja karena

untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

B. Hasil Wawancara

1. Anak sebagai Pelaku Penganiayaan

Berikut ini merupakan hasil wawancara peneliti terhadap anak

sebagai pelakuk kejahatan penganiayaan terhadap anak di Kota


Pontianak dengan tujuan untuk mengetahui penyebab anak melakukan

kejahatan penganiayaan dan latar belakang anak tersebut.

a. Nama : Jono Sugianto

Umur : 16 tahun

Alamat : Jalan Parit Pangeran

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap respoden

yang merupakan pelaku penganiayaan. Diketahui bahwa respoden dulu

pernah bersekolah dan hanya sampai pada tingkat sekolah dasar dan saat

ini sudah putus sekolah. Saat masih sekolah, respoden pernah membolos

sekolah serta dihukum oleh guru karena kenakalan yang dilakukannya di

sekolah seperti berkelahi dengan temannya.

Dalam wawancara, responden mengatakan bahwa penyebab

responden melakukan penganiayaan terhadap temannya karena

responden marah dan emosi saat di ejek oleh temannya sehingga

responden memukul temannya hingga menyebabkan luka dibagian

tangannya.

Responden juga sering menonton film-film action yang ada di

televisi. Kurangnya pengawasan orang tua kepada responden terhadap

akses media elektronik salah satunya adalah televisi memudahkan

responden untuk menonton segala acara-acara yang ada di televisi yang

terkadang memuat unsur kekerasan tanpa ada pengawasan.


b. Nama : Lukaman

Umur : 15 tahun

Alamat : Jalan Panglima A’im

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Saat kelas 2 SMP, responden sudah tidak meneruskan sekolahnya

karena tidak naik kelas. Saat masa sekolah responden pernah membolos

serta dihukum oleh gurunya karena sering tidak mengerjakan tugas dan

pernah memukul teman kelasnya.

orang tua responden tidak selalu ada di rumah sehingga

pengawasan terhadap respondenpun kurang baik. Hal tersebut membuat

responden untuk mudah mengakses segala media elektronik yang

responden miliki seperti handphone dan televisi. Dalam kesehariannya

responden sering mengakses konten-konten yang berisi kekerasan dan

memainkan game-game yang bersifat kekerasan seperti game perkelahian

di dalam handphonenya. Dan respondenpun sering menonton film-film

action yang hampir setiap malam tayang di televisi.

Penyebab responden melakukan penganiayaan karena responden

emosi terhadap anak lain yang menganggu responden dan teman-

temannya saat mereka bermain di depan gang mereka sehingga

respondenpun memukul anak tersebut seperti responden menirukan

pukulan-pukulan yang pernah responden akses di media elektronik.

c. Nama : Martin

Umur : 15 tahun
Alamat : Jalan Tanjung Hulu

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Responden adalah anak putus sekolah, responden putus sekolah

saat di bangku SMP karena faktor ekonomi dari keluarga responden.

Dalam kesehariannya responden pernah berkelahi dengan teman

dilingkungan rumahnya. Orang tua responden tidak selalu ada di rumah

sehingga menyebabkan pengawasan terhadap respondenpun sangat

minim.

Responden sering berkumpul bersama teman-temannya di

lingkungan rumahnya. Teman-teman responden termasuk anak nakal

karena beberapa dari mereka sering berkelahi bahkan ada beberapa yang

sudah merokok dan terkadang meminum minuman keras.

Responden menyatakan bahwa penyebab responden melakukan

penganiayaan terhadap temannya karena responden dihasut oleh teman-

temannya yang berada pada lingkungan itu sendiri. Teman-teman

responden menyuruh responden untuk memukul anak tersebut yang juga

termasuk temannya karena teman-teman responden mengatakan bahwa

anak tersebut telah mengejek-ejek responden.

d. Nama : Andy

Umur : 16 tahun

Alamat : Jalan Budi Utomo

Jenis Kelamin : Laki-Laki


Responden adalah siswa kelas 1 SMA, saat sekolah responden

pernah dihukum oleh gurunya karena berkelahi dengan temannya. Saat

pulang sekolah, responden tidak langsung pulang ke rumah melainkan

singgah untuk berkumpul bersama dengan teman-temannya. Hal tersebut

di karenakan orang tua responden tidak selalu ada di rumah sehingga

pengawasan terhadap responden sangat minim serta responden

berkumpul bersama anak-anak nakal. Sehingga responden mulai

mengikuti segala sesuatu yang ada pada lingkungan pertemannya

tersebut.

Responden sering mengakses konten-konten yang mengandung

unsur kekeras di handphonenya serta menonton film-film action di

televisi. Responden suka menonton film-film action.

Dalam wawancara, responden menyampaikan penyebab mengapa

responden melakukan penganiayaan terhadap anak seumurannya, hal

tersebut karena responden emosi kepada anak tersebut yang telah

mengejek-ejeknya serta memakinya.

e. Nama : Doni

Umur : 16 tahun

Alamat : Jalan G.S. Mahmud

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Responden berstatus sebagai seorang pelajar kelas 1 SMA, saat

sekolah responden pernah dihukum oleh gurunya karena berkelahi

dengan temannya. Dalam kesehariannya, orang tua responden tidak


selalu berada di rumah sehingga saat pulang sekolah responden tidak

langsung pulang ke rumah melainkan langsung pergi berkumpul bersama

teman-temannya yang termasuk anak nakal. Setelah pulang berkumpul,

responden menghabiskan waktunya di rumah dengan menonton dan

bermain handphone serta mengakses film-film yang mengandung unsur

kekerasan. Kurangnya pengawasan orang tua sehingga memudahkan

responden untuk menonton segala acara yang ada di televisi karena tidak

ada yang melarang.

Penyebab responden melakukan penganiayaan terhadap anak

seumurannya karena responden merasa dihina oleh anak tersebut yang

notabene adalah anak sekolah lain sehingga responden tidak mampu

untuk menahan emosinya dan langsung memukul anak tersebut. Teman-

teman respondenpun menyoraki responden untuk memukul anak

tersebut.

2. Orang Tua Pelaku

Selain mencari tahu faktor-faktor penyabab terjadinya kejahatan

penganiayaan dari pernyataan anak sebagai pelaku, perlu juga diketahaui

faktor-faktor peyebab terjadinya kejahatan ini dari sudut pandang pihak

lain seperti orang tua pelaku. Berikut adalah hasil wawancara dengan

orang tua dari 2 pelaku.


a. Nama : Imi

Umur : 47 tahun

Alamat : Jalan Budi Utomo

Jenis Kelamin : Perempuan

Responden adalah orang tua dari Andy yang juga adalah sampel

dalam penelitian ini. Oleh karena besarnya kebutuhan keluarga

sehingga responden juga harus bekerja, yaitu sebagai pedagang.

Pekerjaan membuat responden tidak selalu ada di rumah karena harus

berdagang di pasar. Pekerjaan responden juga membuat responden tidak

secara penuh mengawasi anaknya dan tidak mengenal siapa saja yang

menjadi teman anaknya sehingga anaknya dapat secara bebas berteman

dengan siapa saja dalam hal ini berteman dengan anak nakal sehingga

teman-teman anaknya melalui proses interaksi dapat memberikan

pengaruh negatif terhadap anaknya.

Dalam keseharian responden memang sering berkomunikasi dengan

anaknya tetapi anak responden tidak pernah bercerita tentang teman-

temanya kepada responden sehingga responden tidak mengenal dengan

baik teman anaknya dan karena kesibukannya bekerja sebagai

pedagang, responden pun tidak bisa secara penuh mengawasi dan

memantau seperti apa lingkungan anaknya.

Responden juga mengatakan dalam keseharian anaknya saat di

rumah, responden membebaskan anaknya untuk mengakses media

elektronik seperti televisi dan handphone tanpa adanya pengawasan


yang baik oleh responden. Sehingga memudahkan anaknya untuk

menonton serta mengakses segala hal termasuk yang mengandung

unsur kekerasan tanpa adanya dampingan dari responden.

b. Nama : Elianis

Umur : 38 tahun

Alamat : Jalan Tanjung Hulu

Jenis Kelamin : Perempuan

Responden adalah orang tua dari Martin yang juga adalah sampel

dalam penelitian ini. Karena faktor ekonomi sehingga responden tidak

menyanggupi untuk membiayai pendidikan anaknya di sekolah.

Dalam wawancara, responden mengatakan bahwa anaknya adalah

anak yang emosian dan keras kepala. Bahkan dalam keseharian anaknya

sering berkelahi dengan abangnya. Saat sekolah dulu, responden pernah

dipanggil oleh pihak sekolah karena kenakalan yang dilakukan oleh

anaknya yaitu berkelahi dengan temannya.

Responden pun mengatakan bahwa responden tidak selalu ada di

rumah karena responden harus bekerja sebagai pembantu rumah tangga

sehingga responden ada di rumah hanya pada waktu malam hari karena

saat jam 7 pagi responden sudah harus pergi dan pulang jam 7 malam.

Oleh karena itu responden mengaku tidak secara penuh dapat

mengawasi anaknya dan tidak mengenal teman-teman anaknya yang

termasuk anak nakal di lingkungan anaknya. Kurangnya komunikasi

antara responden dan anaknya juga menyebabkan responden kurang


mengetahui bagaimana lingkungan anaknya dan anaknya pun tidak

pernah bercerita tentang teman-temannya kepada responden.

Responden pun memberikan kebebasan untuk anaknya mengakses

media elektronik baik itu televisi ataupun handphone sehingga media

elektronik dapat dengan mudah memberikan pengaruh kepada anaknya

baik itu pengaruh yang positif atau negatif. Pengunaan media elektronik

yaitu handphone yang diberikan oleh responden kepada anaknya tanpa

adanya pengawasan yang dilakukan oleh responden sehingga membuat

anaknya dengan mudah mengakses hal-hal yang mengandung

kekerasan dan memberikan pengaruh terhadap anaknya.

3. Unit PPA Polresta Pontianak

Nama : Ronald W.K, SH dan Infan Pribadi SH,MH

Pangkat/Jabatan : Brigadir

Dalam wawancara, responden mengatakan bahwa penyebab anak

melakukan penganiayaan adalah faktor keluarga, lingkungan dan faktor

ekonomi. Dalam faktor keluarga, responden menjelaskan bahwa

kurangnya pengawasan orang tua terhadap anak tersebut sehingga anak

pada masanya adalah masa mencari jati diri oleh karena itu anak akan

sangat mudah menerima semua pengaruh yang baik ataupun yang buruk

tanpa pengawasan akan lebih dominan anak tersebut untuk

mendapatkan penagaruh buruk yang diberikan oleh lingkungannya.

Apalagi pada jaman modern saat ini, pengaruh media elektronik yaitu
televisi dan handphone yang sangat mudah untuk di akses oleh anak-

anak pada saat ini. Tanpa pengawasan, media elektronik tersebut pun

akan memberikan pengaruh yang buruk kepada anak karena anak

tersebut pada tahap belajar akan dengan mudah meniru hal-hal apa saja

yang dilihat dan didengarnya. Apalagi saat ini, media elektronik banyak

sekali memberikan seperti pada televisi yang memberikan tontotan

yang mengandung unsur kekerasan. Faktor lingkungan anak pun

memberikan dampak yang besar kepada anak karena lingkungan tempat

anak bermain dan berinteraksi akan sangata mudah untuk memberikan

pengaruh kepada anak, apalagi anak tersebut berada pada lingkungan

yang tidak baik dan bergaul bersama anak nakal yang akan memberikan

pengaruh buruk kepada anak tersebut. Dan faktor ekonomi menentukan

karena pada anak yang mempunyai latar belakang ekonomi rendah

maka orang tua pastinya kurang memperhatikan hal-hal yang khusus

terhadap anaknya seperti pendidikan, pembentukan karakter dan pola

perilaku anak. Serta kebutuhan-kebutuhan anakpun tidak secara penuh

terpenuhi.

Menurut responden yang menjadi latar belakang anak melakukan

penganiayaan karena tingkat pendidikan anak tersebut dan pembinaan

dari orang tua anak tersebut karena responden berpandangan pada masa

anak-anak, tingkat emosional anak akan sangat tinggi karena berada

pada masa transisi dan mencari jati diri oleh karena itu tingkat emosi

anak tersebut harusnya di tempah di dalam dunia pendidikan dan


dibutuhkan pembinaan yang benar oleh orang tua anak tersebut agar

dapat mengajarkan anankya agar tidak menjadi anak yang kasar dan

mempunyai watak keras serta emosional.

Langkah-langkah yang dilakukan oleh aparat kepolisian untuk

mengurangi atau menanggulangi masalah kejahatan penganiayaan yang

dilakukan oleh anak adalah melakukan penyuluhan-penyuluhan disetiap

lingkungan masyarakat tentang bahayanya dan dampak yang akan

diterima bila melakukan kejahatan terutama penganiayaan yang

dilakukan oleh anak sebagai pelaku.

4. Komisioner KPAID Kalimantan Barat

Dalam wawancara, responden mengatakan bahwa rentan umur anak

yang melakukan penganiayaan adalah 15 sampai 17 tahun. Dan gender

yang dominan melakukan penganiayaan adalah laki-laki karena pada

umumnya sebuah penganiayaan diawali dengan canda gurau antar teman

yang terkadang melampaui batas sehingga membuat salah satu merasa

emosi karena dianggap menghina dirinya sehinga terjadilah perkelahian

yang dalam pidana dikatakan sebagai penganiayaan dan hal tersebut

sering terjadi pada lingkungan pertemanan anak laki-laki. Dan pada

umur transisi yaitu 15 sampai 17 tahun adalah proses mencari jati diri

serta mempunyai emosi yang tidak stabil.

Faktor yang mempengaruhi anak melakukan penganiayaan selain

faktor emosi anak karena pada masanya merupakan masa seorang anak

mempunyai emosi yang tidak stabil dan sangat besar. Yaitu adalah
kurangnya pengawasan orang tua karena pada masa anak, pengawasan

orang tua adalah sesuatu yang sangat penting supaya anak tersebut tidak

mempunyai perilaku yang menyimpang. Pengaruh lingkungan yang

memberikan dampak kepada anak dan memberikan pengaruh-pengaruh

kepada anak. Apalagi anak tersebut berada pada lingkungan yang tidak

baik dan bergaul bersama anak-anak nakal maka anak tersebut juga akan

menjadi anak nakal dan melalui proses interkasi anak tersebut akan

menerima pengaruh-pengaruh tersebut.

Perkembangan media elektronik sangat memberikan pengaruh yang

besar terhadapa kehidupan bermasyarakat apalagi seorang anak yang

masih butuh bimbingan serta pengawasan yang penuh oleh orang

tuanya. Tontonan televisi yang mengadung unsur-unsur kekerasan yang

memberikan pembelajaran kepada anak karena anak akan sangat mudah

menerima segala pengaruh apalagi dalam acara di televisi unsur-unsur

kekerasan yang diberikan dalam adegan yang keren-keren. Dan anak

akan meniru hal-hal tersebut. Penggunaan handphone juga memberikan

pengaruh yang buruk apabila penggunaan tersebut tidak diawasi secara

penuh karena pada jaman modern saat ini, sebuah handphone bisa

mengakses apa saja yang diinginkan oleh penggunanya. Pengkasesan

konten-konten yang mengandung unsur kekerasan yang akan dilihat

oleh anak pada handphone tersebut memberikan pengaruh yang tidak

baik pada anak tersebut.


Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah atau

menanggulangi kejahatan penganiayaan yang dilakukan oleh anak

menurut responden adalah yang terpenting adalah kualitas dan kuantitas

pengawasan yang dilakukan oleh orang tua anak tersebut serta

memberikan bimbingan yang baik kepada anak agar tidak mudah

terpengaruh dengan hal-hal yang menyimpang dan mendidik anak agar

mampu menguasai tingkat emosinya karena pada umurnya, anak

memiliki emosi yang tinggi. Dan orang tua harus mengenal lingkungan

anaknya agar mempermudah pengawasan dan mengajarkan anaknya

untuk selektif memilih teman dalam hal ini tidak bergaul dengan anak

nakal. Memberikan batasan-batasan kepada anak dalam mengakses

media elektronik karena tidak semua yang ada pada media elektronik

memberikan manfaat kepada anak, bahkan banyak hal-hal atau konten-

konten yang bersifat atau mengandung unsur kekerasan sehingga

membutuhkan pengawasan dan pendampingan orang tua karena anak

akan sangat mudah meniru apa yang anak lihat. Serta upaya yang

dilakukan oleh lembaga pemerhati anak dalah hal ini adalah Komisi

Perlindungan Anak yaitu adalah memberikan penyuluhan-penyuluhan

serta sosialisai baik itu kepada orang tua maupun langsung kepada anak

tersebut.
C. Pembuktian Hipotesis

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan bahwa

anak yang menjadi pelaku kejahatan penganiayaan di Kota Pontianak

sedang berada pada rentan umur 15 sampai 17 tahun pada saat melakukan

kejahatan tersebut. Rentan umur seperti ini masuk dalam kategori masa

puber atau transisi karena pada masa ini seorang anak sedang mengalami

proses mencari jati diri dan mempunyai emosi yang tinggi sehingga lebih

agresif dan tanpa berpikir panjang dapat melakukan sebuah tindakan seperti

kekerasan.

Hasil wawancara yang dilakukan dengan anak sebagai pelaku,

orang tua pelaku, petugas unit PPA Polresta Pontianak serta Komisioner

KPAID Kalimantan Barat terbukti bahwa faktor penyebab anak melakukan

kejahatan penganiayaan adalah karena emosi anak yang tidak terkendali,

kurangnya pengawasan orang tua, pengaruh lingkungan dan pengaruh

peniruan media elektronik.

Hal tersebut diketahui dalam hasil wawancara yang telah

dipaparkan di atas. Dalam wawancara setiap anak mengatakan bahwa

awalnya mereka melakukan penganiayaan karena mereka emosi terhadap

korbannya, dan anak-anak tersebut berada pada lingkungan yang tidak baik.

Mereka bergaul bersama anak nakal yang melalui proses interaksi mereka

juga akan terpengaruh oleh anak nakal tersebut menurut petugas unit PPA

Polresta Pontianak dan Komisioner KPAID Kalimantan Barat karena pada

dasarnya anak akan sangat mudah terpengaruh karena mereka berada pada
masa untuk mencari jati diri sehingga apa yang dilakukan oleh temannya

dianggap hal yang bagus, keren. Dan anak pun akan mudah terpengaruh

dengan lingkungan mereka. Serta menurut petugas unit PPA Polresta

Pontianak dan Komisioner KPAID Kalimantan Barat, perkembangan media

elektronik pada jaman modern ini sudah memberikan dampak yang tidak

baik apabila tidak didampingi dan tidak diberikan pengawasan yang benar.

Karena pada jaman sekarang media elektronik sudah sangat banyak dan

canggih, apapun yang diinginkan oleh penggunanya dapat dengan mudah di

dapat. Anak-anak sebagai pengguna akan sangat mudah mengakses hal-hal

yang mengandung unsur kekerasan sehingga anak tersebut mendapatkan

pembelajaran dan dapat meniru hal-hal yang ada pada media elektronik

tersebut. Media elektronik seperti televisi memberikan tayangan-tayangan

yang menarik dan mengandung unsur kekerasan yang dapat dengan mudah

dilihat oleh anak tanpa adanya pengawasan dari orang tua sehingga anak

akan mudah untuk terpengaruh dan meniru adegan-adegan kekerasan yang

ada pada tayangan tersebut. Orang tua juga kurang melakukan pengawasan

yang intens terhadap anaknya sehingga pengaruh-pengaruh yang ada pada

lingkungan anak akan langsung diterima oleh anak tanpa adanya

pengawasan dari orang tua.


BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab sebelumnya dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1. Sepanjang tahun 2012 hingga Juli 2015 terjadi 28 kasus kejahatan

penganiayaan yang dilakukan oleh anak terhadap anak di Kota Pontianak

yang ditangani oleh Polresta Pontianak.

2. Faktor penyebab anak melakukan kejahatan penganiayaan adalah:

a. Emosi anak yang tidak terkendali

Anak pada rentan umur 15 sampai 17 tahun memang berada pada

masa pencarian jati diri dan memiliki tingkat emosi yang tinggi.

Karena pada rentan umur ini anak tidak pernh memikirkan dampak

yang dapat terjadi terhadap perbuatannya.

b. Kurangnya pengawasan orang tua

Perkembangan pada masa anak haruslah dibawah pengawasan orang

tua karena anak berada pada masa pencarian jati diri dan memiliki

tingkat emosi yang tinggi. Sehingga pengawasan orang tua sangat

penting. Tanpa pengawasan anak akan menerima semua pengaruh-

pengaruh yang menyimpang.


c. Pengaruh lingkungan

Lingkungan pertemanan yang tidak baik akan mengajarkan anak

untuk melakukan kenakalan bahkan kejahatan seperti salah satunya

kejahatan penganiayaan.

d. Pengaruh peniruan media elektronik

Peniruan yang dilakukan oleh anak terhadap tayangan-tayangan yang

ada pada media elektronik juga mempengaruhi anak untuk

melakukan kenakalan bahkan kejahatan karena tayangan-tayangan

yang ada pada media elektronik dianggap menarik oleh anak

meskipun terkadang mengandung unsur kekerasan dan pada masanya

anak akan mudah untuk meniru apa yang mereka lihat.

B. Saran

Dari kesimpulan di atas maka penulis memberikan saran-saran

untuk mencegah terjadinya kejahatan serupa lagi yaitu sebagai berikut:

1. Perlu adanya perhatian khusus dari orang tua terhadap anak yang sedang

dalam masa pencarian jati diri dan pada rentan umur 15 sampai 17 tahun

memiliki tingkat emosi yang tinggi, agar setiap perubahan perilaku anak

tetap terkontrol dan dalam pengawasan orang tua sehingga pada masa ini

dapat dilewati anak dengan baik dan anak tidak terjerumus dalam

kenakalan anak (Juvenile Deliquency).

2. Perlunya pengawasan orang tua terhadap lingkungan anak dalam hal ini

lingkungan pertemanan anak harus diawasi secara benar, orang tua harus
mengetahui siapa saja teman anak serta dimana anak bermain. Dan orang

tua diharapkan memberikan batasan-batasan kepada anak dalam hal ini

penggunaan media elektronik karena segala yang terdapat pada media

elektronik belum tentu baik bagi anak dan bermanfaat bagi anak.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

A. Gumilang, 1991, Kriminalistik Pengetahuan Tentang Teknik Dan Taktik

Penyidikan, Angkasa Bandung.

Agus Sudjanto, 1981, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Aksara Baru.

Bambang Sunggono, 1996, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

Dermawan, M. Kemal., & Mamik Sri Supatmi., 2011, Teori Pengendalian

Sosial,Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai

Pustaka

Fatimah, Enung. 2008. Psikologi Perkembangan : Perkembangan Peserta Didik.

Bandung: Pustaka Setia.

Gatot Supramono, 2002, Hukum Acara Peradilan Anak, Djambatan, Jakarta.

Handout, Timoer Hartadie, Hukum Perlindungan Anak.

Ismu Gunadi, 2011, Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana (jilid 2),

PT.Prestasi Pustakaraya, Surabaya.

Kartini, Kartono, 1986, Psikologi Sosial 2, Kenakalan Remaja, Jakarta: Rajawali.

Kartini Kartono, 2008, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Raja Grafindo

Persada Jakarta.
Lamintang, 2010, Kejahatan Terhadap Nyawa Dan Tubuh, Sinar Grafika, Jakarta.

Leden Marpaung, 2000, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, Sinar

Grafika, Jakarta.

M.Arifin, 2004, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan umum, Jakarta: Bumi

Aksara.

Maulana Hasan Wadong, 2000, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak,

Jakarta, Gramedia Wina Sarana.

Mr. W. A Bonger, 1995, Pengantar Tentang Kriminologi, Pustaka Sarjana Jakarta

Ninik Widiyanti-Panji Anoraga, 1987, Perkembangan Kejahatan Dan Masalahnya

Ditinjau Dari Segi Kriminologi dan Sosial, Pradnya Paramita Jakarta.

R. Abdul Djamali, 1984, Psikologi Dalam Hukum, Armico Bandung.

Rais, Moch. Lukman Fatahullah., 1997, Tindak Pidana Perkelahian Pelajar, Sinar

Harapan, Jakarta.

Romli Atmasasmita, 2010, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika

Aditama, Bandung.

Santoso, Topo. 2011. Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung.

Supramono Gatot, 2000, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta.

Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2010, Kriminologi, Rajawali Press Jakarta.

Wagiati Soetodjo, 2006, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama Bandung.


Wirjono, Prodjodikoro, 2003, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia,

Bandung: Rafika Aditama.

Wirjono Prodjodikoro, 2008, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika

Aditama, Bandung.

Yudrik Jahja, 2012, Psikologi Perkembangan, Kencana Jakarta.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Anda mungkin juga menyukai